ANALISA PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI
MUKOSILIAR HIDUNG PADA PEROKOK DAN NON
PEROKOK DENGAN UJI SAKHARIN
Laporam Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
DISUSUN OLEH:
Arvionita Utami
NIM: 1112103000037
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1437 H/ 2015 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 15 Oktober 2015
Arvionita Utami
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Analisa Perbedaan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung Pada Perokok
Dan Non Perokok Dengan Uji Sakharin
Laporan Penelitian
Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kedokteran (S.Ked)
Oleh
Arvionita Utami
NIM: 1112103000037
Pembimbing 1 Pembimbing 2
dr. Ibnu Harris Fadillah, Sp.THT-KL
dr.Siti Nur Aisyah Jauharoh, Ph.D
NIP: 197701022005012007
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2015 M
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan penelitian berjudul ANALISA PERBEDAAN WAKTU
TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PEROKOK DAN NON
PEROKOK DENGAN UJI SAKHARIN yang diajukan oleh Arvionita Utami
(NIM: 1112103000037), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan pada Oktober 2015. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Program
Studi Pendidikan Dokter.
Ciputat, 15 Oktober 2015
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang
dr. Ibnu Harris Fadillah, Sp.THT-KL
Pembimbing 1
dr. Ibnu Harris Fadillah, Sp.THT-KL
Pembimbing 2
dr.Siti Nur Aisyah Jauharoh, Ph.D
NIP: 197701022005012007
Penguji 1
dr. Devy Ariany, M.Biomed
NIP: 197304052011012002
Penguji 2
dr. Fikri Mirza P, Sp.THT-KL
PIMPINAN FAKULTAS
Dekan FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Prof. Dr. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes
NIP: 196508081988031002
Kaprodi PSPD FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dr. Achmad Zaki, M.Epid, Sp.OT
NIP: 197805072005011005
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
membeikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan penelitian ini. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasullah
SAW yang telah memberi teladan bagi penulis untuk menjalani kehidupan.
Laporan penelitian ini terselesaikan karena adanya bantuan dan dukungan dari
banyak pihak. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr (hc). dr. M.K Tadjudin, Sp. And selaku Dekan FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta selama penulis menjadi mahasiswa dari semester 1
hingga semester 6 yang telah memberi arahan bagi penulis selama menempuh
pendidikan di PSPD UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. dr. Ahmad Zaki, Sp. OT, M. Epid selaku Dekan FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang dari awal tahun ini menjabat dan memberikan
banyak inspirasi kepada banyak mahasiswa PSPD akan kecintaannya
terhadap profesi dokter dan PSPD UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. dr. Ibnu Harris Fadillah, Sp. THT-KL selaku pembimbing 1 yang telah
memberikan waktu dan tenaga untuk membantu penulis menyelesaikan
penelitian ini
4. dr. Siti Nur Aisyah Jauharoh, Ph.D selaku pembimbing 2 yang telah sabar
mendengarkan keluh kesah saya selama bimbingan dan telah memberikan
banyak masukkan hingga terselesaikannya laporan penelitian ini
5. dr. Fikry Mirza P, Sp.THT-KL dan dr. Devy Ariany, M. Biomed selaku
penguji yang telah memberikan koreksi dan memudahkan terselesaikannya
proses revisi
6. Mas Yasin dan Pak Masduki yang telah banyak membantu selama saya
mempersiapkan alat pemeriksaan di gedung Clinical Skill Unit (CSU)
7. Papa dan mama atas segala doa dan pengorbanannya selama penulis hidup
vi
8. Ahmad Muslim Hidayat T, S.Ked (kak Ayat) yang telah rela datanya penulis
gunakan sebagai studi pendahuluan dan banyak teori serta kisah hidup yang
banyak membuat penulis banyak belajar dari pengalamannya
9. UNO, teman-teman yang banyak membantu di waktu-waktu kritis penulis
10. Teman-teman sekontrakan Puri Laras 2
11. Putri Junita Sari, yang rela bolos kuliah untuk membantu mengambil data
12. Semua responden penelitian
13. BRAINS (PSPD 2012), calon teman sejawat yang sangat penulis sayangi.
Terima kasih sudah menjadi keluarga bagi penulis selama pendidikan di
PSPD UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14. Sahabat-sahabat sejak SMP dan SMA, yang banyak mendukung dalam doa
untuk terselesaikannya laporan penelitian ini
Penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak. Demikian
laporan penelitian ini penulis susun, semoga dapat bermanfaat untuk banyak
pihak.
Ciputat, 15 Oktober 2015
Arvionita Utami
vii
ABSTRAK
Arvionita Utami. Program Studi Pendidikan Dokter. Analisa Perbedaan
Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung Pada Perokok Dan Non Perokok
dengan Uji Sakharin
Latar belakang: Sistem transportasi mukosiliar (TMS) hidung merupakan sistem
pertahanan primer saluran respirasi yang dipengaruhi oleh berbagai kondisi.
Fungsi abnormal dari sistem mukosiliar ditemukan pada perokok, yang nantinya
berhubungan dengan terjadinya inflamasi dan infeksi di mukosa saluran respirasi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan waktu transportasi
mukosiliar hidung antara perokok dan non perokok. Metode: Penelitian ini
melibatkan 40 subjek penelitian yang terdiri dari 20 subjek perokok dan 20 subjek
non perokok (kelompok kontrol). Pada subjek dilakukan wawancara untuk
melihat kriteria inklusi dan kemudian dilakukan pemeriksaan fisik telinga, hidung,
dan tenggorok. Setelah itu dilakukan nasoendoskopi untuk melihat kriteria
eksklusi, jika tidak ditemukan kriteria eksklusi pada subjek kemudian dilakukan
tes untuk menguji waktu TMS hidung dengan uji sakharin. Hasil: Terdapat
perbedaan rerata waktu TMS hidung antara perokok dan non perokok sebesar 0,9
menit. perbedaan tersebut berupa pemanjangan waktu TMS pada perokok, tetapi
perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Kesimpulan: Tidak
ada perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar hidung yang bermakna antara
kelompok perokok (5,89 ± 1,95 menit) dan non perokok (4,99 ± 1,62 menit).
Kata kunci: perokok, waktu transportasi mukosiliar, uji sakharin
ABSTACT
Arvionita Utami. Medical Education Study Program. Analysis Of Nasal
Mucociliary Transport Time Difference In Smokers And Non-Smokers
Background: Nasal mucociliary transport (NMT) system is the primary defense of
respiratory tract that influence by many conditions. Abnormal function of
mucociliary tansport found in smoker, later on related infalamation and infection
event in the mucosa of respiratory tract. Objective: The main of this study is to
know the difference of nasal mucociliary transport (NMT) time between smokers
and non-smokers. Methods: The study involved 40 subjects consisted of 20
subjects were smokers and 20 non-smokers subjects (control group). The subjects
was interviewed to see the inclusions criteria and then conducted a physical
examination of ear, nose, and throat. After that, on the subjects conducted
nasoendoscopy to see the exclusions criteria, if there are no exclusion criteria on
the subjects then tested the NMT time with saccharin test. Results: There was
difference between the mean of NMT time of smokers and non-smokers is 0,9
minutes. The difference in the form of lengthening the NMT time in smokers, but
the difference was not statistically significant (p>0,05). Conclusions: There was
no significant diferrence between the mean NMT time of smokers (5,89 ± 1,95
minutes) and non-smokers (4,99 ± 1,62 minutes) group.
Key words: smoker, mucociliary transport time, saccharin test
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .................................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xi
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 3
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................. 3
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................ 3
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 5
2.1 Landasan Teori ..................................................................................... 5
2.1.1 Anatomi Hidung ........................................................................ 5
2.1.1.1 Struktur Hidung ............................................................. 5
2.1.1.2 Pendarahan Hidung ....................................................... 7
2.1.2 Histologi Mukosa Hidung .......................................................... 7
2.1.2.1 Epitel .............................................................................. 8
2.1.2.1.1 Struktur Silia ....................................................8
2.1.2.1.2 Komponen Struktur: Dinein ............................ 9
2.1.2.1.3 Gerak Silia ..................................................... 10
2.1.2.2 Palut Lendir .................................................................. 10
2.1.2.3 Membran Basal ............................................................ 11
2.1.2.4 Lamina Propia .............................................................. 11
2.1.3 Sistem Transportasi Mukosiliar (TMS) ................................... 12
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi TMS ............................................ 13
2.1.4.1 Kelainan Kongenital .................................................... 13
2.1.4.2 Alergi dan Infeksi ........................................................ 14
2.1.4.3 Lingkungan .................................................................. 14
2.1.4.4 Fisiologis atau Fisik ..................................................... 15
2.1.4.5 Obat-obatan ................................................................ 15
2.1.4.6 Struktur Hidung ........................................................... 15
2.1.5 Kandungan Rokok ................................................................... 16
2.1.6 Indeks Merokok ....................................................................... 16
2.1.6.1 Indeks Brinkman .......................................................... 17
2.1.6.2 Pack-Years of Smoking ................................................ 17
2.1.6.3 Klasifikasi Proenca ...................................................... 17
2.1.7 Efek Rokok Pada Sistem TMS ................................................ 18
ix
2.1.7.1 Efek Rokok Pada Epitel ............................................. 18
2.1.7.2 Efek Rokok Terhadap Palut Lendir .......................... 18
2.1.8 Efek Merokok Terhadap TMS ................................................. 19
2.1.9 Uji Sakharin ............................................................................. 19
2.2 Kerangka Teori ................................................................................... 21
2.3 Kerangka Konsep ............................................................................... 21
2.4 Definisi Operasional ........................................................................... 22
BAB 3 METODE PENELITIAN ........................................................................ 24
3.1 Desain Penelitian ................................................................................ 24
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 24
3.3 Sampel Penelitian ............................................................................... 24
3.4 Alat dan Bahan ................................................................................... 27
3.5 Cara Kerja Penelitian .......................................................................... 28
3.6 Managemen Data ................................................................................ 31
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 32
4.1 Hasil Penelitian ................................................................................... 32
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian ................................................ 32
4.1.2 Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung.................................... 33
4.2 Pembahasan ........................................................................................ 37
4.3 Aspek Keislaman ................................................................................ 39
4.4 Keterbatasan Penelitian ...................................................................... 40
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 41
5.1 Kesimpulam ........................................................................................ 41
5.2 Saran ................................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 42
LAMPIRAN ......................................................................................................... 46
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tampak anterolateral hidung luar yang menunjukkan penyusun
kartilago dan tulang .......................................................................... 5
Gambar 2.2 Anatomi respirasi bagian atas dilihat dari medial pada potongan
sagital ................................................................................................ 6
Gambar 2.3 Lapisan penyusun lapisan hidung ................................................... 7
Gambar 2.4 Sel-sel penyusun mukosa respirasi, m sel kolumnar dengan
mikrovilli; s sel Goblet; t sel kolumnar bersilia; b sel basal; bm
basal membran .................................................................................. 7
Gambar 2.5 Potongan melintang silia yang menunjukkan struktur pembentuknya.
A mikrotubul A; B mikrotubul B; C central sheath; H spoke head; I
inner dynein arm; M membran siliar; N nexin link; Oouter dynein
arm; P central pair of microtubules; S spoke ................................... 8
Gambar 2.6 Gerak silia. Silia tipis menunjukkan active stroke, sedangkan silia
tebal (warna hitam) menunjukkan recovery stroke untuk memulai
kembali siklus baru ........................................................................... 9
Gambar 3.1 Pembimbing melakukan pemeriksaan telinga .................................. 24
Gambar 3.2 Pembimbing melakukan pemeriksaan rhinoskopi anterior .............. 25
Gambar 3.3 Pembimbing melakukan nasoendoskopi pada subjek ...................... 25
Gambar 3.6 Peneliti mencatat hasil pemeriksaan ke dalam berkas medik subjek 26
Gambar 3.4 Sakharin padat yang diwarnai dengan methylene blue .................... 26
Gambar 3.5 Pembimbing meletakkan sakharin ................................................... 27
Gambar 4.1 Waktu Transportasi Mukosiliar Pada Perokok dan Non Perokok ... 34
Gambar 4.2 Waktu TMS berdasarkan klasifikasi Brinkman ............................... 35
Gambar 4.3 Waktu TMS berdasarkan klasifikasi Proenca .................................. 36
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Waktu transportasi mukosiliar ............................................................ 20
Tabel 4.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian ................................................. 32
Tabel 4.2 Waktu TMS hidung dan nilai distribusinya berdasarkan kelompok .... 33
xii
DAFTAR SINGKATAN
TMS: Transportasi Mukosiliar
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Olahan data ...................................................................................... 46
Lampiran 2: Riwayat penulis ............................................................................... 59
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kenyataan bahwa merokok masih menjadi masalah utama di berbagai
penjuru dunia adalah benar adanya. Diperkirakan 1, 25 miliar orang dewasa di
dunia adalah perokok, dan data internasional menemukan bahwa 20% anak
usia sekolah saat ini adalah perokok. Di banyak negara industri di Amerika
Utara dan Eropa Utara serta Barat telah terjadi penurunan jumlah pengguna
produk tembakau, tetapi hal itu berbanding terbalik dengan negara-negara di
Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Tahun 1999, dilaporkan sebesar 80%
perokok ada di negara berkembang. Hammond (2009) pun memprediksi
bahwa dua dekade lagi laporan kematian akibat rokok 70% akan ada di negara
berkembang, termasuk Indonesia.1-5
Tingginya jumlah perokok di negara berkembang juga dipengaruhi oleh
perkembangan sektor industri rokok. WHO (World Health Organization)
tahun 2013 dalam WHO report global tobacco epidemic, menyatakan bahwa
target industri rokok adalah negara berpenghasilan rendah - sedang, dan
Indonesia adalah satu target marketnya. Indonesia menjadi bukti target
industri rokok yang berhasil. Berdasarkan data Riskesdas, terjadi lonjakan
jumlah perokok usia 15 tahun ke atas dari 34,2% menjadi 36,3%, sebesar
64,9% laki-laki dan 2,1% adalah perempuan, dengan rerata jumlah batang
rokok perhari adalah 12,3 batang.6 Kondisi tersebut memprihatinkan
mengingat status kesehatan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah
dengan riwayat alokasi APBN kesehatan tidak pernah mencapai angka 5%
hingga tahun 2015 sekarang.7
Beberapa studi penelitian telah membuktikan bahwa rokok adalah faktor
risiko berbagai penyakit mematikan. Meskipun peringatan tentang bahaya
rokok bagi kesehatan sudah tercetak di setiap bungkus rokok yang beredar di
Indonesia, akan tetapi jumlah perokok masih sangat tinggi. Selain itu tidak
adanya larangan iklan rokok di televisi dan radio menjadi faktor penting masih
2
tingginya jumlah perokok. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya perokok
di Indonesia adalah rendahnya tingkat pendidikan.8
Rokok mengandung lebih dari 5000 bahan kimia dengan lebih dari 600
diantaranya adalah bahan aditif dan 69 diantaranya adalah karsinogenik.9
Merokok merupakan penyebab berbagai penyakit tidak menular, seperti
kanker primer, diabetes melitus, serta penyakit jantung dan paru kronik, dan
terhitung 63% penyebab kematian di dunia.8
Sebuah studi menyatakan bahwa
87-90% kanker paru disebabkan oleh rokok, dengan mortalitas penderita
kanker paru dengan merokok meningkat hingga 22 kali dibanding yang tidak
merokok. Penyakit lain yang berhubungan erat dengan rokok adalah Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan dilaporkan bahwa penyebab utama PPOK
di Amerika adalah rokok.10
Dari beberapa penyakit diatas, sudah terbukti bahwa erat sekali efek rokok
pada kesehatan sistem respirasi. Salah satu yang menarik minat peneliti adalah
hubungan antara efek rokok dengan sistem transportasi mukosiliar (TMS)
hidung. Mekanisme TMS ini berfungsi untuk pertahanan sistem respirasi
bagian atas maupun bagian bawah dengan cara membentuk gelombang sapuan
pada benda-benda asing seperti debu dan bahkan mikroorganisme yang
terperangkap di palut lendir.11
Sebelumnya telah dilakukan beberapa
penelitian di negara Barat tentang topik ini. Salah satunya penelitian oleh
Stanley dkk (1986) di London, menyimpulkan bahwa ada perbedaan
bermakna antara waktu TMS merokok dibanding dengan non-perokok.
Dalam studinya, rerata waktu TMS pada 29 perokok adalah 20,9 menit dengan
salah satunya lebih dari 60 menit yang signifikan berbeda (p<0,0001)
dibanding rata-rata waktu TMS non-perokok sebesar 11,1 menit.12
Di
Indonesia pun sudah dilakukan penelitian ini oleh Dermawan R (2010) dengan
hasil ada pemanjangan waktu TMS pada perokok.13
Penelitian lain dilakukan
oleh Proenca (2012) di India dan ditemukan pemanjangan waktu TMS pada
kelompok perokok.14
Maka dari itu, peneliti akan mencoba melakukan
penelitian ulang dengan uji sakharin yang ditambahkan pewarna Methylene
blue pada sakharin. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari subjektivitas
3
dari pasien. Penelitian ini lalu ditujukan untuk menganalisa hubungan antara
merokok dengan pemanjangan waktu TMS.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada
perokok dan non perokok?
1.3 Hipotesis
Terdapat perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok
dan non perokok.
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok
dan non perokok
1.3.2 Tujuan Khusus
- Mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung antara
non perokok dan perokok sesuai derajat merokoknya menurut
klasifikasi Brinkman
- Mengetahui perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung antara
non perokok dan perokok sesuai derajat merokoknya menurut
klasifikasi Proenca et al
1.4 Manfaat Penelitian
a. Bagi peneliti
Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran
Sebagai pengalaman awal untuk menjadi peneliti
b. Bagi masyarakat
Memberikan informasi tentang bahaya merokok terhadap pertahan
sistem pernapasan yaitu mekanisme transportasi mukosiliar
c. Bagi civitas akademik
4
Sebagai sumber referensi tentang hubungan merokok dengan
sistem transportasi mukosiliar
Sebagai usulan penelitian dan bahan rujukan untuk peneliti selanjut
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Anatomi Hidung
2.1.1.1 Struktur Hidung
Hidung adalah tempat masuk primer udara untuk sistem respirasi. Secara
anatomi dibagi menjadi bagian eksterna dan interna. Hidung eksterna atau
luar (Gambar 1) merupakan bagian dari hidung yang terlihat dari luar dan
berbentuk piramid, dibentuk oleh tulang dan kartilago hialin yang dilapisi
otot, jaringan ikat, dan kulit. Kerangka tulang dibentuk oleh os nasal, os
maxilla, dan os frontal. Sedangkan kerangka kartilago terdiri dari kartilago
septum nasal tepi anterior, sepasang kartilago nasal lateral superior yaitu di
inferior os nasal, dan sepasang kartilago nasal lateral inferior atau disebut
juga kartilago alar nasalyang membentuk dinding lateral dari nostril (Gambar
1). Nostril disebut juga nares eksterna yang merupakan lubang hidung luar
yang menjadi dasar bawah dari hidung luar.15-17
Gambar 2.1. Tampak anterolateral hidung luar yang menunjukkan penyusun kartilago dan tulang16
6
Hidung bagian interna atau dalam anteriornya dibatasi oleh hidung luar
dan posteriornya dibatasi oleh nasofaring dengan melewati dua lubang hidung
belakang disebut nares interna atau choanae.15,17
Rongga hidung atau kavum nasi kanan dan kiri dipisahkan oleh septum
nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi dibawah alar nasi disebut vestibulum
yang memiliki banyak rambut panjang (vibrise) dan kulit bagian luar yang
banyak mengandung kelenjar sebasea.15-17
Terdapat 4 dinding di setiap kavum nasi yaitu 1) septum nasi di dinding
medial; 2) konka di dinding lateral; 3) dasar rongga hidung yang dibentuk os
maksila dan os palatum di dinding inferior; dan 4) atap hidung yang dibentuk
oleh os sphenoid dan lamina kribriformis di dinding superior posterior dan
anterior. Septum nasi dibentuk oleh kartilago hialin di anteriornya, sisanya
dibentuk oleh vomer dan lapisan tulang os ethmoid, os maxillae, serta os
palatine. Sedangkan di dinding lateral terdapat 3 konka, yaitu konka superior,
medial, dan inferior.15-17
Disebutkan juga terdapat satu buah konka tambahan
diatas konka superior yaitu konka suprema yang biasanya rudimenter. Di atap
hidung, lamina krbriformis berasal dari lempeng os ethmoid yang berlubang-
lubang (kribosa= saringan) sebagai tempat masuk serabut saraf olfaktorius.17
Gambar 2.2. Anatomi respirasi bagian atas dilihat dari medial pada potongan sagital16
7
2.1.1.2 Pendarahan Hidung
Setiap dinding dan bagian hidung mendapatkan pendarahan dari berbagai
percabangan arteri. Atap rongga hidung dipendarahi a.ethmoid anterior
(cabang a.oftalmika) dan posterior (cabang a.karotis interna). Dasar rongga
hidung mendapat pendarahan dari ujung a.palatina an a.sfenopalatina yang
merupakan cabang dari a.maksila interna. Sedangkan bagian depan
dipendarahi dari cabang-cabang a.fasialis. bagian lain, di bagian depan
dinding medial yaitu septum terdapat pleksus Kiesselbach. Pleksus ini
merupakan anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor.16
Selain arteri, terdapat vena yang berjalan seiringan dengan arteri dengan
nama sesuai dengan arterinya. Muara aliran darah balik dari vestibulum dan
hidung luar adalah v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. 16
2.1.2 Histologi Mukosa Hidung
Mukosa hidung terbagi menjadi mukosa olfaktorius dan mukosa
respiratoriu. Mukosa olfaktorius terletak di atap kavum nasi. Disini akan
dibahas lebih lanjut tentang mukosa bagian respiratorius. Dari permukaan,
mukosa hidung disusun oleh palut lendir, epitel, membran basal, dan bagian
paling dalam yaitu tunika propria.
Gambar 2.3. Lapisan penyusun mukosa hidung18
8
2.1.2.1 Epitel
Gambar 2.4. Sel-sel penyusun mukosa respirasi, m sel kolumnar dengan mikrovilli; s sel Goblet; t sel
kolumnar bersilia; b sel basal; bm basal membran 19
Epitel hidung bagian respirasi terdiri dari 4 tipe sel yaitu 1) sel kolumnar
(disebut juga silindris atau torak) berlapis semu bersilia, 2) sel kolumnar tidak
bersilia dengan mikrovili disebut juga brush cell, 3) sel goblet, dan 4) sel
basal (Gambar 3).Tetapi tidak semua bagian dilapisi oleh epitel silindris
berlapis semu, pada vestibulum nasi pembetuk epitel kebanyakan adalah sel
skuamosa dan tepat pada bagian belakangnya terdiri dari sel epitel
transisional. Mitokondria sebagai sumber energi epitel kolumnar kebanyakan
berada di apeks sel. Selain itu, terdapat sel goblet yang merupakan kelenjar
sekretori tunggal yang memproduksi protein polisakarida yang membentuk
lendir dalam air.19-22
2.1.2.1.1 Struktur silia
Silia meupakan bagian ramping yang menonjol dari epitel menyerupai
rambut atau sikat. Terdapat 2 jenis silia yaitu silia motil dan non-motil. Silia
non-motil merupakan silia primer yang mentransmisikan sinyal sendiri ke
9
bagian bawah sel. Sedangkan silia motil berperan penting dalam transportasi
mukosiliar. Silia motil ini berada di permukaan apikal epitel. Satu buah epitel
dapat memiliki silia 100-200 buah atau 6-8 silia/ μm2 dengan panjang sekitar
2-6 μm dan diameter 0,1-0,3 μm. Kavum nasi bagian inferior konka inferior 1
cm dari tepi nares depan memiliki kepadatan silia yang jarang yaitu sebanyak
10% dari total permukaan. Stuktur silia terdiri dari 2 mikrotubulus sentral dan
9 pasang mikrotubulus di luarnya. Setiap pasang mikrotubulus luar terkoneksi
dan masing-masing membentuk spoke ke mikrotubulus sentral, kompleks 9
pasang + 2 mikrotubulus ini yang kemudian disebut aksonema. Bagian luar
mikrotubul dan mikrotubul sentral dilapisi oleh membran. Gambar 4
menunjukkan secara lengkap struktur dalam silia. Setiap pasang mikrotubulus
terdiri dari subfiber A dan B, A terdiri dari 13 protofilamen yaitu
mikrotubulus komplit, sedangkan B hanya terdiri dari 10 protofilamen dan
merupakan mikrotubulus inkomplit. Serat A menopang lengan dinein di
dalam dan luarnya dengan aktivitas ATPase. Dinein merupakan protein yang
berfungsi untuk pergeseran mikrotubulus.19-22
Gambar 2.5. Potongan melintang silia yang menunjukkan struktur pembentuknya. A mikrotubul A; B
mikrotubul B; C central sheath; H spoke head; I inner dinein arm; M membran siliar; N nexin link;
Oouter dinein arm; P central pair of microtubules; S spoke19
2.1.2.1.2 Komponen Struktur: Dinein
Lengan dinein Chalmydomonas tersusun dari 3 heavy chains (α; β; dan γ),
2 intermediete chains, 9 light chains, 3 docking complex protein, dan 2
10
associated proteins. Bagian yang berat adalah tempat hidrolisis ATP yang
nantinya digunakan untuk motilitas silia.19
2.1.2.1.3 Gerak Silia
Seluruh proses gerak siliar dikenal dengan istilah ciliary beat cycle yang
terdiri dari 2 komponen gerak (Gambar 5). Pertama yaitu active stroke atau
effective stroke, gerakan cepat yang tiba-tiba untuk mendorong palut lendir
(mucous blanket). Kedua yaitu recovery stroke, gerakan silia yang lebih
lambat untuk kembali ke posisi awal. Perbandingan waktu gerak keduanya
adalah 1:2-3. Gerak silia ini mempunyai pola seperti efek domino yaitu gerak
yang berurutan seperti gelombang (methacronical waves). Keseluruhan gerak
ini nantinya akan mendorong palut lendir untuk ke arah faring.19-20
Gambar 2.6. Gerak silia. Silia tipis menunjukkan active stroke, sedangkan silia tebal (warna hitam)
menunjukkan recovery stroke untuk memulai kembali siklus baru19
2.1.2.2 Palut Lendir
Palut lendir (mucous blanket) adalah lapisan lendir yang merupakan
gabungan produk dari sel goblet, kelenjar seromukosa, dan kelenjar lakrimal.
Terdiri dari 2 lapisan, yaitu lapisan superfisial dan lapisan perisiliar.20,26-28
Lapisan superfisial merupakan lapisan yang menyelubungi silia, bersifat
adhesif, lengket (gel layer), dan nonhomogen. Lapisan ini tebal, mengandung
air, karbohidrat, protein, dan lipid yang disekresi oleh sel Goblet dan kelenjar
submukosa. Mukoglikoprotein disini berfungsi menangkap partikel asing
11
yang terinhalasi seperti debu, alergen, substansi toksik, virus, dan bakteri.
Selain itu, lapisan ini melindungi dari suhu dingin, kelembaban rendah, gas
atau aerosol, dan menginaktivasi virus yang terjebak.19-20,25-28
Lapisan lain yaitu lapisan perisilia, lapisan tipis yang menopang lapisan
superfisial, sifatnya kurang lengket dan berkesinambungan. Cairan disini
mengandung mukoglikoprotein, protein serum, protein sekresi yang berat
molekulnya rendah. Sebagian besar struktur silia terendam di lapisan ini,
sehingga lapisan ini berperan penting untuk pergerakan silia. Selain itu,
denyutan silia juga terjadi di lapisan ini. Lapisan perisilia yang tebal akan
menghambat gerak silia dan bahkan bisa menghambat ujung silia mencapai
palut lapisan superfisial. Sehingga fungsi bersihan mukosiliar akan menurun.
Sebaliknya jika lapisan ini dangkal, lapisan superfisial yang lengket akan
masuk ke ruang perisiliar. Jadi ketinggian lapisan ini menentukan interaksi
antara silia dan palut lendir yang berkaitan dalam bersihan dan transportasi
mukosiliar.20,25-28
2.1.2.3 Membran basal
Membran basal merupakan lapisan ketiga dari mukosa hidung setelah
palut lendir dan epitel. Lapisan ini terdiri dari membran tipis rangkap.23
2.1.2.4 Lamina propria
Lapisan di bawah membran basalis ini kaya akan vaskular, jaringan ikat,
saraf, kelenjar mukosa, dan kelenjar limfoid. Tersusun dari 4 bagian, yaitu
lapisan subepitel, kelenjar superfisial, lapisan media dengan banyak sinus
kavernosusnya, dan kelenjar profunda. Sel-sel plasma dalam lamina propria
menghasilkan IgA yang nanti akan berdifusi keluar untuk mencapai lapisan
mukus. Selain itu juga ada albumin serum, IgE, dan IgG dari kapiler yang
berdifusi ke kelenjar submukosa lalu ke epitel sebagai perlindungan lokal
terhadap infeksi. Pleksus vena besar di lapisan ini juga berfungsi untuk
meghangatkan udara yang terinhalasi.20,23
12
2.1.3 Sistem Transportasi Mukosiliar
Sistem mukosiliar adalah hasil akhir koordinasi struktur dan fungsi dari
silia yang dibedakan menjadi 4 level:19
- Level pertama: silia tunggal
Ini terdiri 9 pasang + 2 mikrotubulus atau aksonema. Pemeriksaan untuk
melihat morfologi level ini dengan transmission electron microscopy
(TEM). Ciliary beat frecuency (CBF) adalah yang paling sering digunakan
untuk melihat fungsi level ini.
- Level kedua: koordinasi dan orientasi silia
Fungsi ini terbentuk dari sel kolumnar bersilia dan sel-sel diantaranya yang
menghasilkan transportasi mukosiliar. Aktivitas silia dikoordinasikan pada
fase dan arah gerak yang sama. Koordinasi ultrastruktural intra- dan
interseluler dapat dipelajari denegan menggunakan TEM dan scanning
electron microscopy (SEM).
- Level ketiga dan keempat: bentukan gelombang metakromal dan
perjalanan transportasi mukosiliar
Hasil akhir dari koordinasi diatas menghasilkan bentukan gelombang
metakromal yang dapat dengan mudah dilihat melalui SEM. Bentuk
gelombang metakromal dan CBF diregulasikan oleh mekanisme intrasiliar,
intraselular, dan interselular yang berbeda.
Transportasi mukosiliar (TMS) intinya bergantung pada fungsi gerak silia
di jalan napas yang mendorong palut lendir menuju faring. Mekanisme ini
merupakan sistem pertahanan lokal mukosa hidung dengan sistem kerja
menyapu partikel-partikel asing yang tersangkut dalam palut ke arah
nasofaring. Setelah di nasofaring, palut lenir akan turun untuk ditelan atau
dibatukkan. Transportasi mukosiliar ke arah faring ini merupakan sistem
pertahanan terpenting untuk saluran respirasi atas maupun bawah. Tarnsport
mukosiliar juga sering disebut dengan bersihan mukosiliar (mucociliary
13
clearance). Kecepatan transportasi mukosiliar di hidung 4,5-7 mm/menit,
sekitar 10-24 mm/menit di trakea, dan 0,5-2 mm/menit di bronkiolus.
Kecepatan tersebut sangat bervariasi, tergantung masing-masing individu.19,21
Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase) yang mirip
struktur imunoglobulin A (IgA) dan dapat merusak beberapa bakteri. Selain
itu, juga terdapat IgG dari sekresi sel. Zat imnuologik yang lain seperti
interferon juga dapat ditemukan pada infeksi akut virus.20-21
Penyakit saluran napas dapat merusak mekanisme bersihan ini dengan
mengubah jumlah dan kekentalan dari mukus dan cairan perisiliar atau
mengubah jumlah, struktur, dan aktivitas dari silia. Perubahan tersebut bisa
bersifat primer dan non-reversibel atau sekunder dan reversibel.19
2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi TMS
Penyakit yang berhubungan adalah yang berefek pada fungsi silia,
perubahan sifat dari mukus, atau obstruksi ostia (misalnya bukaan sinus
paranasal). Hal itu memicu infeksi dan perubahan pada keefektivan
transportasi mukosiliar.19
2.1.4.1 Kelainan Kongenital
Diskinesia silia primer (PCD) merupakan penyakit kongenital berupa
kekurangan atau tidak adanya lengan dinein silia, ketiadaan jari-jari radikal,
translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia yang abnormal, sel basal
abnormal, atau aplasia silia yang berakibat immotilnya silia secara sistemik.
Pasien mungkin infertil dan tidak dapat mengeluarkan mukus saluran
sinorespirasi secara efektif. Keadan stasisnya mukus mengakibatkan
rhinosinusitis kronik, bronkiektasis, dan infeksi saluran napas rekuren.
Tingkat kejadiaan kasus ini rendah, yaitu 1 dalam 15.000-30.000 kelahiran.
Uji sakharin pasien ini menunjukkan waktu TMS sebesar lebih dari 60
menit19,29
Fibrosis kistik (CF) merupakan gangguan autosomal resesif dari gen
CFTR yang mengakibatkan transportasi elektrolit abnormal. Secara klinis,
14
ditemukan meningkatnya viskositas mukus akibat fungsi abnormal sel goblet.
Pasien CF mempuyai cacat bersihan mukosiliar dengan tidak adekuatnya
gerak silia pada mukus tebal yang berujung pada bronkiektasis dan infeksi
paru berat. Biarpun begitu, pasien memiliki keluhan gangguan sinus dengan
berbagai keparahan walaupun jelas memiliki mutasi pada gen CFTR.
Kelainan lain yang dihubungkan dengan sinusitis kronik atau rekuren adalah
sindrom Young.19,21
Sindrom Kartagener, yaitu kelainan bawaan yang diturunkan secara
genetik. Sindrom ini meliputi bronkiektasis, sinusitis, dan sinus inversus.
Terdapat kekurangan sebagian atau seluruh lengan dinein luar atau dalam.21
2.1.4.2 Alergi dan Infeksi
Semua yang menyebabkan inflamasi dan edema mukosa juga berefek
negatif pada sistem transportasi mukosiliar. Diantaranya adalah iritasi, alergi,
dan infeksi akut saluran napas. Infeksi saluran napas akut mengubah
komposisi dari mukus, menurunkan motilitas silia, dan mengakibatkan edema
mukosa.19
Pada beberapa penelitian, adanya pemanjangan waktu transportasi
mukosiliar pada pasien atopi yang dirangsang dengan alergen spesifik akibat
edema mikroskopik pada sitoplasma hidung manusia. Alergi meningkatkan
level transudat di mukus hidung. Sebagai hasilnya, kedalaman lapisan
perisiliar meningkat dan merendam silia sehingga ujung atas silia tidak dapat
menyentuh gel layer. Edema pada rhinitis alergi juga menyumbat ostium
sinus yang berasosiasi pada buruknya ventilasi dan terjadinya mukostasis.
Kegagalan untuk mengenali faktor penyebab alergi hidung ini akan
menurunkan prognosis terapi intervensi bedah.19-20
2.1.4.3 Lingkungan
CBF bekerja optimal pada pH 7-9. Selain itu fungsi silia sangat tergantung
pada palut lendir. Keadaan lainnya adalah paparan berkepanjangan suatu
substansi iritan. Pada tahun 2002, penelitian Elynawati et al menunjukkan
15
perbedaan bermakna rata-rata waktu transport mukosiliar pada pekerja pabrik
kayu dibanding kontrol.30
2.1.4.4 Fisiologis atau Fisik
Suhu tubuh <10°C dan >45°C juga terbukti berpengaruh menghambat
sistem mukosiliar.39
Perbedaan jenis kelamin, dan posisi saat dilakukan uji
tidak mempengaruhi waktu transportasi mukosiliar. Tetapi ada efek dari
penambahan usia pada pemanjangan waktu TMS.
Studi oleh James et al di Hong Kong pada 90 voluntir subjek penelitian
usia 11-90 tahun menunjukkan adanya kolerasi positif antara CBF dan waktu
TMS hidung (dengan uji sakharin) dengan penambahan usia. Seluruh subjek
juga diperiksa ultrastruktur silianya dengan mikroskop elektron transmisi.
Secara signifikan, subjek >40 tahun memiliki penurunan CBF, semakin
memperlihatkan adanya mikrotubulus sentral tunggal, dan peningkatan waktu
TMS (p<0,05).40
2.1.4.5 Obat-obatan
Beberapa obat yang menurunkan aktivitas mukosiliar adalah obat-obat
topikal antibiotik dan anti jamur, terutama dalam penggunaan dengan
konsentrasi tinggi. Hal itu telah diteliti oleh Gosepath et al, yaitu dengan
menggunakan bahan betadine, H2O2, ofloksasin, dan itrakonazol.29
Obat-obatan seperti antihisamin, adrenalin, asetilkolin, dan kortikosteroid
juga memiliki efek terhadap durasi TMS.37
Antikolinergik, aspirin, anastetik,
dan benzodiazepin berefek menurunkan TMS. Sedangkan obat yang
meningkatkan TMS antara lain kolinergik, methilxantine, sodium
cromaglyeate, dan topikal salin hipertonik ataupun saline normal.41
2.1.4.6 Struktur hidung
Fungsi transportasi mukosiliar bisa terganggu secara lokal akibat kelainan
struktur hidung. Sebagai contoh jika mukosa hidung yang saling berhadapan
mendekat dan menempel, maka silia akan berhenti bergerak. Kelainan
16
struktur yang menghambat transportasi nasal mukosiliar antara lain adalah
deviasi septum, polip hidung, konka bulosa, dan kelainan lain di daerah
kompleks osteomeatal dan ostium sinus.19,28
2.1.5 Kandungan Rokok
Rokok tembakau mengandung lebih dari 4000 bahan kimia toksik dan 69
diantaranya adalah karsinogenik. Beberapa kandungan yang memiliki efek
buruk terhadap sistem respirasi adalah:11
- Tar, merupakan penyusun primer dari tembakau. Zat ini memicu
terjadinya kanker paru.
- Karbonmonoksida (CO), merupakan gas yang mirip seperti gas yang
dikeluarkan oleh knalpot mobil. Gas CO ini berbahaya karena
afinitasnya dengan Hb adalah 100x dibanding O2, sehingga
penyerapan O2 oleh Hb nantinya akan terganggu.
- Karbondioksida (CO2), terbentuk dari reaksi-reaksi kimia tubuh yang
harus segera dikeluarkan oleh paru.
- Nikotin, zat ini tidak berefek langsung terhadap sistem respirasi.
Nikotin merupakan zat adiktif yang memberikan efek candu pada
perokok. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa efek adiksi dari
nikotin mirip seperti heroin dan kokain. Nikotin menyebabkan
vasokonstriksi sistemik yang berujung pada hipertensi dan
menurunnya perfusi jaringan ke seluruh tubuh.
Zat beracun lain antara lain: amonia (terdapat juga di pembersih lantai),
benzene, nitrohistamin, naftalen (kapur barus), hidrogen sianida (toksin),
radon, aseton (penghapus cat kuku), toluen (pelarut), metanol (bahan bakar
roket), arsenik (toksin untuk semut putih), butan (bahan bakar korek api),
kadmium (bahan pembuat aki mobil), DDT (bahan pembuat racun serangga),
dan vini klorida (bahan pembuat plastik).11
2.1.6 Indeks Merokok
Indeks merokok merupakan metode formulasi yang digunakan untuk
menghitung derajat berat perokok. Terdapat dua yang sering secara luas
17
digunakan dan terakhir merupakan klasifikasi perokok dengan pengaruhnya
pada waktu TMS, yaitu:
2.1.6.1 Indeks Brinkman13
Derajat berat merokok menurut indeks Brinkman adalah:
o 0-199 = perokok ringan
o 200-599 = perokok sedang
o ≥600 = perokok berat
2.1.6.2 Pack-Years of Smoking13
Perbedaan metode hitung ini dengan indeks Brinkman hanya terletak pada
kuantitas merokok dari jumlah batang menjadi jumlah bungkus. Yang mana
satu bungkus disini diasumsikan memuat 20 batang rokok, jumlah yang
umum ditemukan di negara-negara barat. Tetapi jumlah batang rokok dalam
sebungkus ini tidak lazim ada di negara Indonesia.
Selain derajat berat merokok, terdapat juga klasifikasi yang
menggambarkan derajat berat merokok dengan waktu TMS
Derajat berat merokok menurut pack-years of smoking adalah:
o 0-20 = perokok ringan
o 20-30 = perokok sedang
o >30 = perokok berat
2.1.6.3 Klasifikasi Proenca10
Klasifikasi ini dibuat oleh Proenca et al dalam penelitiannya di Brazil
mengenai pengaruh derajat berat rokok dengan waktu TMS. Klasifikasi ini
∑ rokok yang dikonsumsi per hari (bungkus) x lama merokok (tahun)
∑ rokok yang dikonsumsi per hari (batang) x lama merokok (tahun)
18
dihitung dengan melihat jumlah rokok yang dihisap per hari, yaitu sebagai
berikut:
o 0-15 batang per hari = perokok ringan
o 16-25 batang per hari = perokok sedang
o >25 batang per hari = perokok berat
2.1.7 Efek Rokok Pada Sistem TMS
2.1.7.1 Efek Rokok Pada Epitel
Lamanya paparan dan banyaknya konsentrasi ekstrak rokok berkolerasi
dengan penurunan waktu hidup sel epitel kolumnar bersilia. Hal itu
dibuktikan pada penelitian Lan et al yang mengultur epitel kolumnar bersilia
yang kemudian memaparkannya pada konsentrasi ekstrak rokok yang
berbeda-beda. Perlakuan tersebut memicu apoptosis epitel yang terlihat secara
morfologis.32
Komposisi rokok seperti hidrogen sianida, akrolein, formaldehid, amoniak,
dan fenol terbukti toksik pada epitel mamalia yang diuji secara in vitro.33
Selain itu dalam 2 penelitian lain, pemberian kuantitas yang sedikit dari rokok
utuh atau ekstrak encernya mengakibatkan siliostasis pada epitel respirasi
manusia dalam studi in vitro.34,35
Penelitian Tamashiro et al juga semakin
membuktikan bahwa asap rokok yang dipaparkan ke kultur sel kolumnar
bersilia menurunkan frekuensi denyut silianya. Hal lain yang dibuktikan oleh
Tamashiro et al adalah adanya penurunan tumbuh silia yang berkolerasi
positif dengan penambahan frekuensi paparan asap rokok.34
2.1.7.2 Efek Rokok Terhadap Palut Lendir
Banyak data yang telah membuktikan bahwa merokok meningkatkan
produksi mukus saluran pernapasan. Selain itu rokok tembakau juga
berpengaruh pada komponen viskoelastik mukus menjadikannya lebih
lengket sehingga menghambat TMS.36
19
2.1.8 Efek Merokok Terhadap TMS
Penelitian oleh Stanley et al (1986) merupakan penelitian pertama yang
secara detail menunjukkan efek rokok terhadap TMS dan frekuensi denyut
silia. Subjek penelitian adalah perokok yang minimal 5 tahun merokok
dengan jumlah >10 batang per hari dan non-perokok sebagai kontrol.
Penilaian TMS menggunakan metode sakharin dengan modifikasi oleh
Rutland dan Cole yang dilakukan pada 29 perokok dan 27 perokok. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan adanya pemanjangan waktu TMS yang
signifikan pada perokok dengan mean 20,8 menit dibanding non-perokok
yaitu 11,1 menit. Salah satu perokok bahkan menunjukkan waktu TMS
sebesar >60 menit.38
Penelitian lokal tentang efek buruk rokok terhadap sistem mukosiliar juga
dilakukan. Salah satunya oleh Dermawan pada tahun 2010, menyimpulkan
bahwa ada perbedaan spesifik waktu TMS antara peokok dan bukan perokok
dengan perbedaan rerata 7,58 menit.14
Hampir mirip dengan penelitian sebelumnya, Hidayat AM (2014) juga
mendapatkan data adanya perbedaan rerata sebesar 2,3 menit antara perokok
dan non-perokok. Perbedaan yang tidak cukup jauh didapat antara perokok
ringan dan non-perokok yaitu sebesar 1,28 menit. Sedangkan perbedaan
rerata perokok berat dengan non-perokok adalah 4,35 menit. Kedua hal
tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Proenca et al yaitu adanya
perbedaan waktu TMS non-perokok dengan perokok ringan dan berat adalah
sebesar 1 menit dan 4 menit.44
2.1.9 Uji Sakharin
Sakharin salah satu tes skrining fungsi TMS yang sering digunakan di
klinik. Uji sakharin termasuk uji yang murah, non-invasif, dan sederhana
untuk dilakukan. Tes ini dilakukan dengan menggunakan sakharin granule
berdiameter ±1 mm (5 mg) yang dimasukkan ke dalam rongga hidung
dibawah konka inferior bagian medial sejauh 1 cm dari batas anterior konka
inferior atau 1,5 cm dari tepi nares anterior. Waktu yang diukur adalah waktu
20
setelah sakharin diletakkan hingga pasien merasakan manis. Selama
pengukuran, pasien dilarang untuk menghirup, bersin, batuk, merokok,
makan atau minum selama tes. Pasien dengan rhinorea cair dan obstruksi
nasal harus diekslusi. Kebanyakan orang dewasa normal akan merasakan
manis setelah 10-15 menit setelah aplikasi. Tetapi jika dalam waktu 60 menit
pasien tidak merasakan manis, pemeriksaan dihentikan kemudian pemeriksa
meletakkan sakharin ke lidah untuk membuktikan bahwa pasien tidak
merasakan manis tersebut selama waktu pengukuran tadi. 42,43
Metode uji sakharin ini dirasa masih subjektif, karena konfirmasi waktu
TMS sangat bergantung pada pasien. Persepsi rasa manis berbeda tiap
orangnya dan persepsi tersebut tidak dapat dinilai oleh pemeriksa. Maka dari
itu beberapa penelitian dan sumber mulai mencampurkan partikel sakharin ini
dengan methylene blue atau charcoal.42,43
Cara ini kemudian digunakan untuk
mengonfirmasi secara visual oleh pemeriksa persepsi manis yang dirasakan
pasien dengan inspeksi pada orofaring adanya warna biru atau hitam.
Tabel 2.2. Waktu transportasi mukosiliar43
Normal ≤20 menit
Memanjang 21 – 30 menit
Memanjang sekali 31 – 60 menit
Sangat memanjang > 60 menit
21
2.2 Kerangka Teori
2.3Kerangka Konsep
22
2.4 Definisi Operasional
Variabel Definisi Pengukuran Skala
Waktu
transportasi
mukosiliar
hidung
Waktu yang
diperlukan dalam
sistem bersihan
mukosiliar hidung
Alat ukur:
Sakharin, methylen
blue, dan stopwatch
Pengukur:
Dokter spesialis THT-
KL (pembimbing) dan
peneliti
Cara Ukur:
Sakharin serbuk
dicampur dengan
methylen blue,
kemudian diambil
dengan stik kayu.
Campuran tersebut
kemudian dimasukkan 1
cm dari batas anterior
konka inferior dengan
sebelumnya melalui
inspeksi nasoendoskopi
tidak ada obstruksi yang
sesuai dengan kriteria
eksklusi. Subjek
diminta untuk
memfleksikan kepala
sebesar 10˚. Waktu
dikur dari mulai
campuran sakharin itu
diletakkan hingga
pasien merasakan
Numerik -
rasio
23
manis. Pernyataan
subjek kemudian
dikonfirmasi dengan
inspeksi adanya warna
methylene blue pada
faring posterior
Status merokok Dikatakan
merokok jika
telah merokok ≥5
tahun dengan
jumlah konsumsi
rokok ≥10 batang
per hari
Dikatakan tidak
merokok jika
tidak pernah
merokok aktif
secara reguler
selama hidupnya
Alat ukur:
Kuesioner
Pengukur:
Peneliti
Cara Ukur:
Wawancara
Kategorik
nominal
Indeks merokok Jumlah rokok
yang dikonsumsi
dan lama
merokok, dalam
penelitian ini
digunakan indeks
Brinkman dan
Proenca untuk
mengukurnya
Alat ukur:
Kuesioner
Pengukur:
Peneliti
Cara Ukur:
Wawancara
Kategorik
ordinal
24
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan metode
potong lintang.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
a) Lokasi penelitian
Sebelum uji, dilakukan wawancara di sekitar kampus Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Uji sakharin dilakukan di gedung Clinical Skill
Unit FKIK UIN SH Jakarta. Sebelumnya, studi pendahuluan
dilakukan di Rumah Sakit Khusus THT Proklamasi BSD, Kota
Tangerang.
b) Waktu
Pengambilan data penelitian ini dilakukan pada bulan Juni -
September 2015. Sedangkan pengambilan data studi pendahuluan
dilakukan pada Agustus – September 2014.
3.3 Sampel Penelitian
a) Sampel
Sampel penelitian adalah perokok dan non-perokok yang
memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
b) Jumlah Sampel
Sebelumnya dilakukan penghitungan nilai simpang baku gabungan
(Sg) dengan rumus:
25
Keterangan:
Sg = simpang baku gabungan
(sg)2
= varian gabungan
S1 = simpang baku kelompok 1 pada penelitian sebelumnya
N1 = besar sampel kelompok 1 pada penelitian sebelumnya
S2 = simpang baku kelompok 2 pada penelitian sebelumnya
N2 = besar sampel kelompok 2 pada penelitian sebelumnya
Penelitian sebelumnya yang digunakan adalah penelitian Stanley
dkk38
√ = 7,19
Nilai S gabungan diatas kemudian dimasukkan ke dalam rumus
sampel:
[
]
Keterangan:
Zα : kesalahan tipe I sebesar 20% = 0,842
Zβ : kesalahan tipe II sebesar 5% = 1,645
S : standar deviasi. Pada penelitian ini besar standar
deviasi dicari menggunakan rumus SD gabungan
dari penelitian sebelumnya, yaitu penelitian
Stanley dkk38
x1−x2 : perbedaan rerata outcome minimal yang dianggap
bermakna
Sehingga, jumlah sampel dapat dihitung sebagai berikut:
26
[
]
[
]
[ ] = 20,03
Jadi, sampel minimal untuk penelitian ini adalah 20 orang tiap
kelompok.
c) Cara pengambilan sampel
Metode pengambilan sampel yang dipilih oleh peneliti adalah jenis
non-probability yaitu consecutive sampling dan sampel dari studi
pendahuluan.
d) Kriteria Sampel
Kriteria inklusi
- Bersedia menjadi subjek penelitian
- Berusia <40 tahun
- Tidak mengalami radang saluran napas akut 2 minggu terakhir
- Tidak memiliki rhinosinusitis kronik
- Tidak pernah didiagnosis oleh dokter mempunyai kelainan
kongenital yang mengganggu TMS seperti diskinesia silia
primer, sindrom Kartagener, fibrosis kistik, dan sindrom
Young
- Sejak 1 bulan sebelum uji sakharin, subjek tidak meminum
obat yang mempengaruhi waktu transportasi mukosilier, antara
lain: obat-obatan topikal seperti steroid; dekongestan;
hypertonic saline atau saline nasal spray; anti biotik, dan anti
jamur atau konsumsi obat sistemik seperti anti-kolinergik;
antihistamin; asetilkolin; adrenalin; beta adrenergik, narkotik;
etil alkohol; aspirin; kortikosteroid; benzodiazepin; kolinergik;
metilxantine; dan sodium kromagikolat,
27
- Tidak terpapar debu kayu secara reguler selama minimal 3
tahun
- Kriteria subjek perokok: telah merokok minimal 5 tahun
dengsn jumlah minimal 10 batang rokok per hari
- Kriteria subjek non-perokok: tidak pernah merokok aktif
secara reguler
Kriteria ekslusi
- Adanya kelainan rongga hidung, seperti deviasi septum dan
polip pada rongga hidung (dilihat saat pemeriksaan
nasoendoskopi)
- Adanya inflamasi berupa sekret mukopurulen dan warna konka
dan atau nasofaring hiperemis
- Adanya tanda alergi beupa warna konka livid dan atau post
nasal drip di nasofaring
3.4 Alat dan Bahan
a) Alat Penelitian
- Stik kayu kecil yang ditandai 1 cm dari ujung
- Lampu kepala
- Stopwatch
- Nasoendoskopi
- Otoskopi
- Spatel lidah
- Alcohol swab
- Kursi untuk pemeriksaan
b) Bahan Penelitian
- Sakharin padat berdiameter 0,5 – 1 mm
- Methylene blue cair
28
3.5 Cara Kerja Penelitian
1. Mencari subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi melalui
wawancara langsung oleh peneliti
2. Melakukan informed consent kepada subjek, menjelaskan segala
prosedur pemeriksaan dan uji sakharin
3. Melakukan pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorok yang
dilakukan oleh pembimbing dan dicatat oleh peneliti
Gambar 3.2 Pembimbing melakukan pemeriksaan rhinoskopi anterior
4. Melakukan nasoendoskopi untuk menilai struktur rongga hidung.
Pasien yang memiliki kelainan rongga hidung berupa penyempitan
rongga hidung akan tereksklusi
Gambar 3.1 Pembimbing melakukan pemeriksaan telinga
29
Gambar 3.3 Pembimbing melakukan nasoendoskopi pada subjek
Gambar 3.6 Peneliti mencatat hasil pemeriksaan ke dalam berkas
medik subjek
5. Meminta pasien memfleksikan kepala 10°, kemudian melakukan uji
sakharin sesuai metode uji sakharin yang telah dimodifikasi oleh
Rutland dan Cole42
6. Menempatkan sakharin sejauh 1 cm dari batas anterior konka inferior
dengan menggunakan stik kayu. Partikel sakharin sudah dicampur
methylene blue sebelumnya.
30
Gambar 3.4 Sakharin padat yang diwarnai dengan methylene blue
Gambar 3.5 Pembimbing meletakkan sakharin
7. Setelah sakharin diletakkan, subjek penelitian diminta untuk bernapas
normal (tidak boleh melakukan pernapasan paksa) dan tidak boleh
bersin, batuk, berbicara, makan, minum, merokok, mengubah posisi
kepala, atau memasukkan benda apapun ke lubang hidung.
8. Menghitung waktu dari mulai partikel sakharin diletakkan hingga
pasien merasakan rasa manis
9. Setelah pasien merasakan rasa manis, pemeriksa melakukan
nasoendoskopi untuk melihat jalur sakharin dengan adanya warna biru
dari methylene blue di dasar hidung menuju nasofaring dan juga
31
sebagai konfirmasi bahwa persepsi manis yang dirasakan pasien
bukan palsu
3.6 Managemen Data
Seluruh data yang diperoleh dicatat dalam formulir berkas pasien. Data
kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS 18. Pertama, data
diolah secara deskriptif untuk melihat karakteristik subjek penelitian dan
melihat rerata waktu TMS pada kelompok perokok dan non perokok, serta
kelompok di tiap klasifikasi Brinkman dan Proenca.
Uji normalitas yang dilakukan untuk analisa rerata waktu TMS kelompok
perokok dan non perokok pada penelitian ini adalah uji Shapiro-Wilk karena
jumlah data <50. Jika distribusi data bernilai normal, uji analisis numerik 2
kelompok (perokok dan non perokok) menggunakan t-independent test. Jika
distribusi data tidak normal, dilakukan transformasi untuk menormalkan, jika
hasil distribusi data tetap tidak normal maka uji analisis yang dilakukan
adalah uji Mann-Whitney.
Analisis lain yang peneliti lakukan adalah uji analisis perbedaan waktu
TMS pada >2 kelompok berdasarkan klasifikasi Brinkman dan Proenca
dengan one way analysis on variance (ANOVA) jika distribusi data normal
dan dilakukan uji Kruskal-Wallis jika distribusi data tidak normal.
32
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini menggunakan 40 subjek penelitian, dengan masing-masing
jumlah kelompok perokok dan non-perokok adalah 20 subjek. Data demografi
dasar subjek penelitian pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian
Karakteristik Perokok (n= 20) Non Perokok (n= 20)
Jumlah (n) Persentase (%) Jumlah (n) Persentase (%)
Kelompok usia
<24 tahun
25 - 34 tahun
>35 tahun
8
4
8
40,0
20,0
40,0
20
100,0
Pendidikan
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
2
6
12
10,0
30,0
60,0
20
100,0
Pekerjaan
Pelajar/ Mahasiswa
Office boy
Petugas Taman
Buruh
Satpam
Tukang Parkir
Wiraswasta
6
6
4
1
1
1
1
30,0
30,0
20,0
5,0
5,0
5,0
5,0
20
100,0
Klasifikasi Brinkman
Non perokok
Perokok Ringan
Perokok Sedang
Perokok Berat
14
4
2
70,0
20,0
10,0
20
100,0
Klasifikasi Proenca dkk
Non perokok
Perokok Ringan
Perokok Sedang
Perokok Berat
17
1
2
85,0
5,0
10,0
20
100,0
33
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa subjek penelitian sebesar 80%
berusia dibawah 35 tahun dengan rerata 25,34 ± 7,34 tahun. Dengan perincian usia
subjek perokok berkisar antara 21 sampai 38 tahun dengan rerata sebesar 29,57 ±
8,47 tahun. Sedangkan kelompok non perokok memiliki rerata lebih rendah yaitu
21,11 ± 1,07 tahun. Data demografis lain berupa pekerjaan dari subjek penelitian
didominasi oleh pelajar atau mahasiswa (65%,).
Spesifik pada kelompok perokok, peneliti membagi berdasarkan kriteria
Brinkman dan Proenca. Didapatkan data berdasarkan klasifikasi Brinkman, yaitu
sebanyak 70% perokok pada penelitian ini adalah perokok ringan, 20% adalah
perokok sedang, dan perokok berat dengan persentase terendah yaitu 10%. Sedikit
berbeda dengan Brikman, berdasarkan klasifikasi Proenca data kelompok perokok
pada penelitian ini adalah 85% perokok ringan, 5% perokok sedang, dan 10%
perokok berat.
4.1.2 Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung
Setelah uji sakharin dilakukan kepada kelompok perokok dan non
perokok, didapatkan hasil rerata waktu transportasi mukosiliar (TMS) hidung
sebagai berikut:
Tabel 4.2 Waktu TMS hidung dan nilai distribusinya berdasarkan kelompok
* p tidak dapat teridentifikasi yang menunjukkan distribusi tidak normal
34
Rerata waktu transportasi mukosiliar hidung pada subjek perokok
didapatkan memanjang dibanding pada subjek non perokok., yaitu 5,89 ± 1,95
menit. Sedangkan pada subjek non perokok adalah lebih pendek sebesar 4,99 ±
1,62 menit. Pada data kemudian dilakukan tes normalitas data dengan Shapiro-
Wilk. Distribusi data pada kelompok perokok dan non perokok memiliki nilai
p>0,05 yang menunjukkan bahwa data berdistribusi normal. Analisa dilanjutkan
dengan uji statistik unpaired t-test yang menghasilkan nilai p>0,05 (p= 0,122; IK
95% = (-0,25) – 2,05). Hasil tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna
rerata waktu TMS hidung padaperokok dan non perokok secara statistik. Rerata
waktu TMS hidung kelompok perokok dan non perokok ditunjukkan oleh Gambar
4.1.
Gambar 4.1 Waktu Transportasi Mukosiliar Pada Perokok dan Non
Perokok
Data kemudian dikelompokkan ulang berdasarkan klasifikasi Brinkman
menjadi kelompok non perokok, perokok ringan, perokok sedang, dan perokok
berat. Gambaran rerata waktu TMS berdasarkan klasifikasi Brinkman ada pada
Gambar 4.2.
35
Gambar 4.2 Waktu TMS berdasarkan klasifikasi Brinkman
Berdasarkan klasifikasi Brinkman pada Tabel 4.2. terlihat bahwa terdapat
perbedaan rerata waktu TMS hidung antara tiap kelompok. Uji one way anova
sebagai uji analitik untuk kelompok lebih dari 2 pada hal ini tidak dilakukan
karena distribusi kelompok perokok berat tidak normal dan jumlah subjek pada
kelompok sedang dan berat tidak memenuhi syarat uji (<10). Akhirnya, analisa
hanya dilakukan secara unpaired t-test antara kelompok non perokok dengan
kelompok perokok ringan dan perokok sedang. Perbandingan perokok ringan dan
non perokok menunjukkan beda rerata waktu TMS hidung sebesar 0,876 menit
(p= 0,1). Sedangkan beda rerata waktu TMS hidung pada kelompok perokok
sedang dan non perokok adalah 0,810 (p= 0,344). Secara deskriptif pada perokok
berat jika dibandingkan dengan non perokok, terdapat beda rerata 4,469 menit.
Pengklasifikasian selanjutnya adalah berdasarkan klasifikasi Proenca. Data
dibagi menjadi kelompok non perokok, perokok ringan, perokok sedang, dan
perokok berat. Gambaran rerata tiap kelompoknya terdapat pada Gambar 4.3.
36
Gambar 4.3 Waktu TMS berdasarkan klasifikasi Proenca
Pada data rerata waktu TMS hidung berdasarkan klasifikasi Proenca
(Tabel 4.2) terlihat perbedaan rerata waktu TMS hidung antar kelompok. Semua
perbedaan menunjukkan bahwa tiap derajat perokok memiliki waktu TMS yang
lebih panjang dibanding kelompok non perokok. Tetapi uji one way anova untuk
menganalisa perbedaan pada klasifikasi ini tidak dilakukan karena distribusi data
yang tidak normal pada kelompok perokok sedang dan berat. Analisa hanya
dilakukan pada kelompok perokok ringan dan non perokok menggunakan
unpaired t-test yang mneunjukan beda rerata sebesar 0,438 menit (p= 0,420). Dan
secara deskriptif, beda rerata waktu TMS kelompok perokok berat dengan non
perokok adalah 4,469 menit.
37
4.2 Pembahasan
Penelitian ini menggunakan 40 responden laki-laki, dengan proporsi 20
perokok dan 20 non perokok sebagai kelompok kontrol. Penelitian ini dari awal
hanya mamasukkan responden laki-laki karena sesuai riset kesehatan dasar
(Riskesdas) oleh Kementerian Kesehatan tahun 2013 bahwa proporsi penduduk
usia ≥15 tahun yang merokok di Indonesia didominasi oleh laki-laki yaitu sebesar
64,9%. Data juga menunjukkan usia perokok terbanyak ada pada usia<35 tahun,
hal tersebut sesuai dengan data Riskesdas tahun 2013. Sedangkan dari segi
pendidikan, kelompok perokok lebih banyak yang tamat SMA yang sesuai dengan
studi dari Riskesdas tahun 2013 yang menunjukkan bahwa perokok setiap hari
terbanyak adalah tamat SMA (28,7%).
Melalui uji sakharin, didapatkan rerata waktu trasnportasi mukosiliar
hidung pada kelompok perokok sebesar 5,89 ± 1,95 menit. Rerata tersebut sesuai
dengan penelitian Stanley, Proenca, dan Dermawan yang menyatakan bahwa
rerata waktu TMS hidung tidak lebih dari 30 menit.14,38,10
Dari analisis deskriptif didapatkan perbedaan rerata waktu transportasi
mukosiliar hidung antara kelompok perokok dan non perokok yaitu sebesar 0,9
menit. Ada pemanjangan waktu TMS pada kelompok perokok. Pemanjangan
waktu TMS hidung pada perokok juga didapatkan pada penelitian Proenca,
Stanley, dan Dermawan. Penelitian Proenca menunjukkan perbedaan rerata waktu
TMS hidung sebesar 2 menit. Penelitian Stanley dkk mendapatkan hasil
perbedaan waktu TMS hidung 9,7 menit. Penelitian Dermawan menunjukkan
selisih rerata waktu TMS hidung 7,58 menit. semua hasil penelitian diatas
menguatkan teori bahwa rokok memiliki efek buruk terhadap sistem TMS pada
perokok dengan ditemukannya pemanjangan waktu TMS hidung. 14,38,10
Perlu digarisbawahi bahwa perbedaan waktu TMS hidung yang
ditemukan pada penelitian ini tidak bermakna statistik yang ditunjukkan oleh
nilai p= 0,122 pada uji t tidak berpasangan. Hasil ini bertentangan dengan
penelitian Proenca, Stanley, dan Dermawan yang memperlihatkan ada perbedaan
bermakna antara rerata waktu TMS pada perokok dengan non perokok. 14,38,10
Hal
38
ini kemungkinan disebabkan oleh tidak meratanya proporsi subjek perokok
berdasarkan kriteria Brikman maupun Proenca. Kelompok perokok pada
penelitian ini didominasi oleh kelompok perokok ringan yaitu sebesar 70%
berdasarkan klasifikasi Brinkman dan 85% berdasarkan klasifikasi Proenca.
Banyak subjek yang merupakan perokok ringan mempunyai waktu TMS yang
tidak berbeda jauh dengan kelompok non perokok. Alasan ini dibuktikan dalam
penelitian Proenca dkk bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p=0,08) antara
perokok ringan dengan non perokok. Perbedaannya, pada penelitian Proenca
tersebut menunjukkan bukti bahwa ada perbedaan bermakna antara kelompok
perokok dan non perokok. Kebermaknaan itu dikarenakan meratanya proporsi
derajat berat merokok berdasarkan klasifikasi Proenca dkk. Sampel Proenca dkk
sebanyak 13 orang perokok berat, 22 orang perokok sedang, dan 17 orang
perokok ringan. Total sampel pada penelitian itu adalah 52 orang, dengan proporsi
kelompok perokok ringan hanya 32,69% dari total sampel.10
Sesuai dengan tujuan khusus penelitian, peneliti mencoba mencari
perbedaan rerata TMS hidung berdasarkan klasifikasi Brinkman dan Proenca.
Peneliti awalnya melihat distribusi kelompok data dengan Spahiro-Wilk. Pada
klasifikasi Brinkman didapatkan kelompok data yang tidak normal pada
kelompok perokok berat. Sedangkan pada klasifikasi Proenca kelompok data
berdistribusi tidak normal adalah kelompok data perokok berat dan perokok
sedang. Karena hal tersebut uji statistik untuk lebih dari 2 kelompok, one way
anova tidak dapat dikerjakan. Selain distribusi data yang tidak semua normal,
jumlah kelompok data yang kecil pada perokok sedang dan berat (<10) juga
menyebabkan uji one way anova tidak dapat dilakukan.
Walaupun uji one way anova tidak dikerjakan, peneliti mencoba melihat
perbedaan secara deskriptif. Ditemukan beda rerata pada semua kelompok derajat
perokok dibandingkan kelompok non perokok. Peneliti memakai uji unpaired t-
test untuk melihat signifikansi perbedaan antara perokok ringan dengan non
perokok dan perokok sedang dengan non perokok. Perbandingan perokok ringan
dan non perokok menunjukkan beda rerata waktu TMS hidung sebesar 0,876
menit (p= 0,1). Sedangkan beda rerata waktu TMS hidung pada kelompok
39
perokok sedang dan non perokok adalah 0,810 (p= 0,344). Kemudian, secara
deskriptif pada perokok berat jika dibandingkan dengan non perokok, terdapat
beda rerata 4,469 menit.
Analisa lain dilakukan antara kelompok perokok ringan dan kelompok non
perokok menurut klasifikasi Proenca. Didapatkann beda rerata sebesar 0,438
menit (p= 0,420). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Proenca bahwa tidak
terdapat perbedaan bermakna (p= 0,08) antara kelompok perokok ringan dan non
perokok yaitu sebesar 1 menit. Sedangkan untuk kelompok perokok sedang tidak
dianalisa karena jumlah subjek yang termasuk perokok sedang menurut klasifikasi
ini hanya berjumlah 1 orang sehingga tidak bisa dicari reratanya. Sedangkan
kelompok berat hanya dilihat perbedaannya dengan kelompok non perokok
secacara deskriptif tanpa dilakukan uji unpaired t-test karena distribusi data yang
tidak normal. Beda rerata antara kelompok perokok berat dengan non perokok
adalah sebesar 4,46 menit. Hasil perbandingan ini sesuai dengan penelitian
Proenca dkk yang menunjukkan adanya perbedaan rerata TMS yang bermakna
antara kelompok data perokok berat dengan non perokok yaitu sebesar 4 menit
(p=0,04).Penelitian Proenca dkk juga menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=
0,002) rerata waktu TMS hidung antara kelompok perokok berat dan perokok
sedang dengan perokok ringan. Data perbandingan rerata TMS hidung pada
subjek menurut klasifikasi Proenca ini menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat
merokok, semakin buruk derajat kerusakan pada sistem TMS yang ditunjukkan
oleh makin memanjangnya waktu transportasi mukosiliarnya.
4.3 Aspek Keislaman
Penelitian ini menunjukkan efek buruk rokok terhadap sistem transportasi
mukosiliar hidung pada perokok. Kerusakan yang ditimbulkan pada sistem TMS
ditunjukkan pdengan adanya pemanjangan waktu TMS hidung. Fungsi TMS
sebagai sistem pertahanan saluran nafas primer dengan mekanisme sapuan
terhadap partikel asing yang bisa menyebabkan gangguan pada saluran nafas, baik
inflamasi, infeksi, ataupun aktivitas sitotoksik dan karsinogenik sehingga
meningktkan risiko terjadinya penyakit saluran napas. Oleh karena itu, peneliti
menyarankan pada perokok untuk berhenti atau paling tidak mengurangi frekuensi
40
merokok untuk menghilangkan atau mengurangi dampak buruk dari rokok
terhadap kesehatan tubuh khususnya pada sistem TMS terkait kesehatan sistem
pernapasan. Perilaku konsumsi rokok disini juga tidak bisa dipandang baik dalam
segi pengeluaran dari perokok sendiri, seperti disampaikan oleh Allah SWT dalam
surat Al-Baqarah ayat 195:
Yang artinya, “Dan belanjakanlah harta bendamu di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
Ayat diatas jelas menerangkan bahwa Allah memerintahkan hamba-Nya
untuk membelanjakan harta untuk hal yang bermanfaat. Dalam konteks ini, rokok
jelas tidak memiliki manfaat bagi tubuh dan jauh lebih banyak mengandung
mudaratnya. Mengingat juga bahwa rokok merupakan salah satu faktor resiko
penyakit kardiovaskular, penyebab nomor satu kematian (kebinasaan) di seluruh
dunia.
4.4 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain:
− Proporsi derajat perokok yang tidak sama
Kelompok perokok pada penelitian ini didominasi oleh perokok ringan yaitu
sebesar 85% menurut klasifikasi Proenca dan 70% menurut klasifikasi Brinkman,
sehingga kemungkinan membuat perbedaan rerata waktu TMS hidung antara
perokok dan non perokok masih belum signifikan
− Asal populasi penelitian
Asal sampel penelitian ini tidak diambil dari suatu populasi, sehingga hasil
penelitian tidak menggambarkan suatu populasi dan memungkinkan terjadinya
bias
41
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
− Tidak didapatkan perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar hidung
secara statistik antara perokok (5,89 ± 1,95 menit) dan non perokok (4,99 ±
1,62 menit).
− Berdasarkan klasifikasi Brinkman, tidak didapatkam perbedaan rerata waktu
transportasi pada analisa antara kelompok perokok ringan (5,87 ± 1,58 menit)
dengan non perokok (4,99 ± 1,62 menit) dan antara perokok sedang (4,18 ±
0,81 menit) dengan non perokok (4,99 ± 1,62 menit).
− Berdasarkan klasifikasi Proenca, tidak didapatkam perbedaan rerata waktu
transportasi pada analisa antara kelompok perokok ringan (5,43 ± 1,62 menit)
dengan non perokok (4,99 ± 1,62 menit).
5.2 Saran
Dibutuhkan penelitian lanjutan dengan jumlah yang lebih banyak, minimal
sesuai dengan penelitian yang bermakna sebelumnya agar tidak terjadi
kesulitan dalam penghitungan statistik. Penelitian lanjutan juga harus
menyamakan proporsi jumlah subjek perokok berdasarkan derajat
merokoknya (minimal 10 subjek/ kelompok) agar pemanjangan waktu
transportasi mukosiliar hidung pada perokok dibandingkan non perokok dapat
dibuktikan lebih baik dan untuk dapat dilakukan analisa untuk membuktikan
adanya perburukan pada semakin tingginya derajat merokok.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Shafey O et.al [internet]. The tobacco atlas, 3rd edn. American Cancer
Society. 2010. (cited April 24 2015). Available from:
http://www.cancer.org/AboutUs/GlobalHealth/CancerandTobaccoControlRes
ources/the-tobacco-atlas
2. Warren C et.al. Patterns of global tobacco use in young people and
implications for future chronic disease burden in adults. The Lancet. 2006
Mar 4;367(9512):749-53.
3. Warren C et.al. Global youth tobacco surveillance 2000-2007. Morbidity and
Mortality Weekly Report 2008;57(SS01):1-21.
4. World Health Organization [internet]. The world health report 1999: making a
difference. Geneva: WHO. 1999. Available from: http://www.who.int/whr/en
5. Hammond SK. Global patterns of nicotine and tobacco consumption.
Handbook of Experimental Pharmachology 2009(192):3-28. Available from:
http://www.springerlink.com/content/t353k255747342h6/
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Depkes RI; 2013:hal 5,.169-175.
7. Departemen Keuangan Republik Indonesia [internet]. Seputar APBN,
anggaran kesehatan 2009-2014. Available from: http://www.depkeu.go.id/
8. World Health Organization. WHO global report on tobacco epidemic.
Luxenburg: WHO. 2013.
9. Action on Smoking and Health (ASH). Tobacco additives. Imperal Cancer
Research Fund. Available from: http://www.ash.org.uk/files/documents/
10. Tobing NH [internet]. Rokok dan kesehatan respirasi. (updated Mei 2001
cited March 9 2015). Available from: http://www.klikpdpi.com/jurnal-
warta/rokok/
11. Nungtjik AK, Mangunnegoro H, and Yunus F. Efikasi pemberian kombinasi
inhalasi salmeterol dan fluktikason propionat melalui alat diskus pada PPOK.
Maj Kedokt Indo. 2010; 60(12): 546-53.
12. Stanley PJ, Wilson R, Greenstone MA, et al. Effect of cigarette smoking on
nasal mucociliary clearance and ciliary beat frequency. Thorax.
1986;41(7):519-23.
43
13. Dermawan R. Perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada perokok
dan bukan perokok. Medan: FK USU. 2010. p.1-55.
14. Proenca et al. Mucociliary clearance and its relation with level the level of
physical activity in daily life in healthy smokers and nonsmokers. Revista Por
de Pneumologia. 2012; 18: 133-8.
15. Martini FH and Nath JL. Anatomy & physiology 9th edition. USA: Pearson
Edu. 2012.
16. Tortora GJ & Derickson B. Principles of anatomy and physiology 12th
edition. USA: John Wiley & Sons, inc. 2009.
17. Soetjipto D & Wardani RS. Hidung.Dalam Soepardi EA et al. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher edisi 7. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2014. p.96-100
18. Levy et al. Berne and Levy principles of physiology 4th edition. Canada:
Elsevier. 2006.
19. Onerci MT, editor. Nasal physiology and nasal pathophysiology of nasal
disorder. Heidelberg NY: Springer. 2013. p.10-31
20. Ballenger JJ. Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus
Paranasal dalam Penyakit Telinga,Hidung Tenggorok, Kepala dan Leher
Edisi 13 Jilid 2. Jakarta: Bina Rupa Aksara. 1994. p.1-25
21. Weir N, Golding-Wood DG. Infective rhinitis and Sinusitis.in : mackay IS,
Bull TR, Editors. Scott-Brown Otolaryngology (Rhinologi) 6th ed. Oxford,
Boston, Singappore:Butterworth-Heinemann.1997:4/8/1-49
22. Hilger PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan, dalam Boies Buku Ajar
Penyakit THT, Edisi 6. Jakarta: EGC. 1997. p.89-173
23. Bloom & Fawcett. Buku ajar histologi edisi 12. Jakarta: EGC. 2002.
24. Soekardono S. Transport mukosiliar hidung penderita rhinitis kronik sesudah
dan sebelum gurah. Artikel Ilmiah Dosen Ilmu THT FK UGM. 2004. p.2-8
25. Steven M. Anatomy of The Nose and Sinuses. In : Nasal and Sinus Surgery.
WB Saunders Company, Philadhelpia: 2000. p.13-15
26. Sakakura Y. Mucociliary transport in rhinologic disease. In: Bunnag C,
Muntarbhorn K, editors. Asean rhinological practice. Bangkok: Siriyot Co,
Ltd, 1997. p.43-137
44
27. Lindberg S. Mucociliary Transport. In: Rhinologic Diagnosis and Treatment.
McCaffrey TV. Thieme Medical Publishers, USA: 1997 p.155-173
28. Waguespack R. Mucociliary Clearance Patterns Following Endoscopic
SinusSurgery. Laryngoscope (supplement). 1995;105: p.1-40
29. Al-Rawi MM, Edelstein DR, Erlandson RA. Changes in nasal epithelium in
patients with severe chronic sinusitis; a clinicopathologic and electron
microscopic study. Laryngoscope. 1998. 108: p.1816-23
30. Elynawati N, Roestiniadi, Hoetomo. The influence of air polutant on
mucociliary transport in wood factory worker. 7 th ARSR 2002,pp.119
31. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus diseases. Dalam: Kennedy
DW, Bolger WE, Zinreich editors. Diseases of the sinus diagnosis and
management. London: BC Decker Inc. 2001. pp.8-155
32. Soedarjatni & Djoko SS. Nasal mucociliary clearance (NMC) dan nasal pH
pada 30 penderita diabetes melitus (NIDDM tipe II WHO). Dalam: Kumpulan
naskah ilmiah PIT Perhati. Bukit Tinggi. 1993.
33. Lan MY, Ho CY, Lee AH. Cigarette smoke extract induces cytotoxicity on
human airway epithelial cells bu comparative gene and cytokine expressions
studies. Toxicological Sciences. 2010;114(1):79-89
34. Kensler GJ, Battista SP. Component of cigarette smoke with ciliary depresant
activity. N Engl J Med. 1963;269:1161-6
35. Ballenger JJ. Experimental effect of cigarette smoke on human respiratory
cilia. N Eng J Med. 1960;263:832-5
36. Dalhamn T. The effect of cigarette smoke on ciliary activity in the upper
respiratory tract. Arch Otolaringol. 1959;70:166-7
37. Cohen NA et al. Cigarette smoke condensate inhibits transepithelial chloride
transport and ciliary beat frecuency. Laringoscope. 2009; 119: 2269-74.
38. Baby MK et al. Effect of cigarette smoking on nasal mucociliary clearance: A
comparative analysis using saccharin test. Lung India. 2014;31:39-42.
39. Indrayan A, Kumar R, and Dwivedi S. A simple index of smoking. COBRA.
2008; 40: 1-20.
40. Rusznak et al. The aseesment of nasal mucociliary clearance and the effect of
drugs. Respir Med. 1994; 88: 89-101.
45
41. James et al. The effect of aging on nasal mucociliary clearance, beat
frequency, and ultrastructure of respiratory cilia. Am J of Respir and Critical
Care Med vol 163. 2001.
42. Houtmeyers E et al. Effects of drugs on mucus clearance. Eur Respir J. 1999;
14: 452-467.
43. Chang CC, Incaudo GA, and Gershwin ME, editors. Diseases of the sinuses
2st edition. New York: Springer. 2014.
44. Prathibha KM et al. Measurement of nasal mucociliary clearance. Clin Res
Pulmonal 2(2): 1019 (2014).
45. Hidayat AM. Perbedaan waktu transportasi mukosiliar pada perokok dan
bukan perokok. Tangerang: FK UIN Jakarta. 2014.
46
LAMPIRAN
Lampiran 1: olahan data
Statistik usia subjek penelitian
Statistik usia subjek penlitian berdasarkan kelompok perokok dan non perokok
Descriptives
status merokok Statistic Std. Error
usia perokok Mean 29,576849 1,8951512
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 25,610252
Upper Bound 33,543446
47
5% Trimmed Mean 29,660731
Median 31,500000
Variance 71,832
Std. Deviation 8,4753739
Minimum 17,5151
Maximum 40,1288
Range 22,6137
Interquartile Range 17,2575
Skewness -,209 ,512
Kurtosis -1,632 ,992
non perokok Mean 21,110274 ,2403238
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 20,607271
Upper Bound 21,613277
5% Trimmed Mean 21,139269
Median 21,030137
Variance 1,155
Std. Deviation 1,0747606
Minimum 18,0740
Maximum 23,6247
Range 5,5507
Interquartile Range ,5055
Skewness -,503 ,512
Kurtosis 3,662 ,992
Statistik tingkat pendidikan subjek penelitian
pendidikan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid SD 2 5,0 5,0 5,0
SMP 6 15,0 15,0 20,0
SMA 32 80,0 80,0 100,0
48
pendidikan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid SD 2 5,0 5,0 5,0
SMP 6 15,0 15,0 20,0
SMA 32 80,0 80,0 100,0
Total 40 100,0 100,0
Statistik subjek penelitian berdasarkan klasifikasi Brinkman
Klasifikasi Brinkman 1
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid bukan perokok 20 50,0 50,0 50,0
perokok ringan 14 35,0 35,0 85,0
perokok sedang 4 10,0 10,0 95,0
perokok berat 2 5,0 5,0 100,0
Total 40 100,0 100,0
Statistik subjek penelitian berdasarkan klasifikasi Proenca
Klasifikasi Proenca
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid bukan perokok 20 50,0 50,0 50,0
perokok ringan 17 42,5 42,5 92,5
perokok sedang 1 2,5 2,5 95,0
perokok berat 2 5,0 5,0 100,0
Total 40 100,0 100,0
Gambaran waktu TMS hidung pada perokok dan non perokok
Descriptives
status merokok Statistic Std. Error
waktu TMS (menit) perokok Mean 5,8940 ,43640
95% Confidence Lower Bound 4,9806
49
Interval for Mean Upper Bound 6,8074
5% Trimmed Mean 5,8139
Median 5,6250
Variance 3,809
Std. Deviation 1,95166
Minimum 3,23
Maximum 10,00
Range 6,77
Interquartile Range 2,23
Skewness ,732 ,512
Kurtosis -,200 ,992
non perokok Mean 4,9952 ,36425
95% Confidence
Interval for Mean
Lower Bound 4,2328
Upper Bound 5,7576
5% Trimmed Mean 5,0252
Median 5,0850
Variance 2,654
Std. Deviation 1,62898
Minimum 1,35
Maximum 8,10
Range 6,75
Interquartile Range 2,05
Skewness -,342 ,512
Kurtosis ,640 ,992
Gambaran waktu TMS hidung berdasarkan klasifikasi Brinkman
Descriptives
Klasifikasi Brinkman 1 Statistic Std. Error
waktu TMS 0 Mean 4,9952 ,36425
50
(menit) 95%
Confidence
Interval for
Mean
L
o
w
e
r
B
o
u
n
d
4,2328
U
p
p
e
r
B
o
u
n
d
5,7576
5% Trimmed
Mean
5,0252
Median 5,0850
Variance 2,654
Std. Deviation 1,62898
Minimum 1,35
Maximum 8,10
Range 6,75
Interquartile
Range
2,05
Skewness -,342 ,512
Kurtosis ,640 ,992
perokok Mean 5,8721 ,42333
51
ringan 95%
Confidence
Interval for
Mean
L
o
w
e
r
B
o
u
n
d
4,9576
U
p
p
e
r
B
o
u
n
d
6,7867
5% Trimmed
Mean
5,8322
Median 5,8750
Variance 2,509
Std. Deviation 1,58396
Minimum 3,38
Maximum 9,08
Range 5,70
Interquartile
Range
1,23
Skewness ,639 ,597
Kurtosis ,683 1,154
perokok Mean 4,1850 ,40703
52
sedang 95%
Confidence
Interval for
Mean
L
o
w
e
r
B
o
u
n
d
2,8896
U
p
p
e
r
B
o
u
n
d
5,4804
5% Trimmed
Mean
4,1872
Median 4,2050
Variance ,663
Std. Deviation ,81406
Minimum 3,23
Maximum 5,10
Range 1,87
Interquartile
Range
1,57
Skewness -,112 1,014
Kurtosis -1,647 2,619
perokok Mean 9,4650 ,53500
53
berat 95%
Confidence
Interval for
Mean
L
o
w
e
r
B
o
u
n
d
2,6672
U
p
p
e
r
B
o
u
n
d
16,2628
5% Trimmed
Mean
.
Median 9,4650
Variance ,572
Std. Deviation ,75660
Minimum 8,93
Maximum 10,00
Range 1,07
Interquartile
Range
.
Skewness . .
Kurtosis . .
54
Gambaran waktu TMS hidung berdasarkan klasifikasi Proenca
Descriptivesa
Klasifikasi Proenca Statistic Std. Error
waktu TMS
(menit)
0 Mean 4,9952 ,36425
95% Confidence
Interval for Mean
Lower Bound 4,2328
Upper Bound 5,7576
5% Trimmed Mean 5,0252
Median 5,0850
Variance 2,654
Std. Deviation 1,62898
Minimum 1,35
Maximum 8,10
Range 6,75
Interquartile Range 2,05
Skewness -,342 ,512
Kurtosis ,640 ,992
perokok ringan Mean 5,4335 ,39397
95% Confidence
Interval for Mean
Lower Bound 4,5983
Upper Bound 6,2687
5% Trimmed Mean 5,3532
Median 5,4600
Variance 2,639
Std. Deviation 1,62440
Minimum 3,23
Maximum 9,08
Range 5,85
Interquartile Range 2,07
Skewness ,918 ,550
Kurtosis ,909 1,063
perokok berat Mean 9,4650 ,53500
95% Confidence Lower Bound 2,6672
55
Interval for Mean Upper Bound 16,2628
5% Trimmed Mean .
Median 9,4650
Variance ,572
Std. Deviation ,75660
Minimum 8,93
Maximum 10,00
Range 1,07
Interquartile Range .
Skewness . .
Kurtosis . .
a. waktu TMS (menit) is constant when Klasifikasi Proenca = perokok sedang. It has been
omitted.
Statistik Analitik
1. Waktu TMS hidung: perokok & non perokok
Uji normalitas data waktu TMS hidung dengan status merokok menggunakan uji
Shapiro-Wilk: nilai p>0,05 distribusi data normal
Tests of Normality
status merokok Kolmogorov-Smirnov
a Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
waktu
TMS
(menit)
d
i
m
e
n
s
i
o
n
1
perokok ,202 20 ,032 ,915 20 ,079
non perokok ,154 20 ,200* ,956 20 ,471
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
56
Unpaired t-test untuk menguji rerata waktu TMS perokok dan non perokok:
dilihat pada equal variance not assumed. p>0,05 tidak ada perbedaan bermakna
waktu TMS kelompok perokok dan non perokok
2. Waktu TMS hidung berdasarkan klasifikasi Brinkman
Distribusi data berdasarkan klasifikasi Brinkman menggunakan Shapiro-Wilk
perokok berat memiliki distribusi data tidak normal
Tests of Normality
Klasifikasi Brinkman 1 Kolmogorov-Smirnov
a Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
waktu
TMS
(menit)
d
i
m
e
n
s
i
o
n
1
0 ,154 20 ,200* ,956 20 ,471
perokok ringan ,221 14 ,062 ,912 14 ,170
perokok sedang ,173 4 . ,986 4 ,935
perokok berat ,260 2 .
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Unpaired t-test perokok ringan (Brinkman) – non perokok p= 0,127 (tidak
bermakna)
57
Unpaired t-test perokok sedang (Brinkman) – non perokok p= 0,173 (tidak
bermakna)
Unpaired t-test perokok berat (Brinkman) – non perokok p= 0,017 (tidak
bermakna)
3. Waktu TMS hidung berdasarkan klasifikasi Proenca
Uji normalitas data menggunakan Shapiro-Wilk perokok sedang hilang karena
df-nya hanya 1 dan perokok berat berdistribusi tidak normal
58
Tests of Normalityb
Klasifikasi
Proenca Kolmogorov-Smirnov
a Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
waktu
TMS
(menit) dimension1
0 ,154 20 ,200
*
,956 20 ,471
perokok
ringan
,216 17 ,033 ,903 17 ,077
perokok berat ,260 2 .
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
b. waktu TMS (menit) is constant when Klasifikasi Proenca = perokok sedang. It has been
omitted.
Unpaired t-test perokok ringan (Proenca) – non perokok p= 0,420 (tidak
bermakna)
59
Lampiran 2: Riwayat Penulis
Identitas Diri
Nama : Arvionita Utami
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Madiun, 8 Januari 1995
Agama : Islam
Alamat : Jl. Citarum kel. Taman, kec. Taman, kota Madiun,
Jawa Timur
E-mail : [email protected]
Riwayat Pendidikan
1999 – 2000 : TK Pertiwi Geger, Madiun
2000 – 2006 : SDN 2 Glonggong, Madiun
2006 – 2009 : SMPN 1 Dolopo, Madiun
2009 – 2012 : SMAN 1 Geger, Madiun
2012 – sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Riwayat Organisasi
2007 – 2008 : anggota Dewan Penggalang Pramuka SMPN 1 Dolopo
2010 – 2011 : anggota pengurus OSIS SMAN 1 Geger
2010 – 2011 : anggota pengurus Petugas Penyelenggara Upacara SMA
Negeri 1 Geger
2013 – 2014 : anggota pengurus BEMJ Pend. Dokter FKIK UIN SH
Jakarta
2014 – 2015 : kepala departemen Kesejahteraan Sosial BEMJ Pend.
Dokter FKIK UIN SH Jakarta
2013 – 2015 : active member of Center for Indonesian Medical Student’s
Activities (CIMSA) UIN SH Jakarta
2015 – 2016 : sekretaris bidang Community Empowerment Ikatan Senat
Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) wilayah 2