Download - 78059507 HOM SK2 Thalassemia Major Copy
MODUL HEMATOLOGI-ONKOLOGI MEDIK
“SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 3 TAHUN DENGAN
KELUHAN PUCAT DAN PERUT MEMBUNCIT”
KELOMPOK V
030.09.025 ANNA KAUTSARIA P.
030.09.026 ANNISA PARASAYU
030.09.027 ANTONIUS VERDY T.
030.09.028 ARIANDA NURBANI W.
030.09.029 ARINI DAMAYANTI
030.09.030 ARUMTYAS C. W.
030.09.033 ATHIKA HERNI R.
030.09.034 ATHIKA RODHYA
030.09.035 AYU PARAMITHA
030.09.036 AYU PRIMA DEWI
030.09.038 AYU RAHMI M.
030.09.040 AYUNDA AFDAL
030.09.041 AYUNDA SHINTA N.
JAKARTA, 18 OKTOBER 2011
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
Topik tutorial
“Seorang anak laki-laki usia 3 tahun dengan keluhan pucat dan perut membuncit”
Pembimbing tutorial
dr. Suweino, SpBkm
Tutorial sesi 1 Tutorial sesi 2
Tanggal 14 Oktober 2011 17 Oktober 2011
Waktu 10.00 – 11.50 13.00 – 14.50
Durasi 2 jam 2 jam
Ketua diskusi Ayu Paramitha Ayu Paramitha
Sekertaris Athika Herni R Athika Herni R
Jumlah peserta 13 orang 12 orangPada tutorial sesi 2 satu orang peserta diskusi tidak hadir yaitu Ayu Rahmi M
dikarenakan sakit.
Perilaku peserta dan jalannya diskusi
Diskusi berjalan dengan lancar, semua peserta diskusi aktif dalam memberikan
pendapat dan dapat mengikuti arahan tutor dengan baik. Tutor membimbing peserta dengan
baik dan memberikan banyak informasi yang berguna untuk peserta.
Latar belakang
Thalasemia adalah suatu kelainan genetik yang sangat beraneka ragam yang ditandai
oleh penurunan sintesis rantai α atau β dari globin. Thalasemia merupakan inherited single-
genes disorder yang angka kejadiannya sangat tinggi terutama di daerah dengan endemik
malaria (seperti Indonesia).
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang anak laki-laki usia 3 tahun datang dengan keluhan pucat dan perut
membuncit, dibawa ibunya ke puskesmas. Pucat mulai tampak sejak 2 bulan terakhir dan
sudah 2x dibawa ke bidan dan diberi vitamin penambah darah.
Pada anamnesis lebih lanjut didapatkan bahwa anak terlihat kembung, tidak demam,
lebih sering tidur dan malas bermain, buang air kecil kuning gelap, buang air besar 1x sehari
konsistensi normal. Anak merupakan anak ke-4 dari empat bersaudara dan tidak ada yang
mengalami keluhan serupa. Anak lahir cukup bulan, lahir di bidan, langsung menangis, berat
badan lahir 3.100 gram, tinggi badan 48 cm.
Pemeriksaan fsisik dijumpai tampak pucat, kesadaran kompos mentis. Berat badan
10,1 kg, tinggi badan 85 cm. Tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 100x/menit, respirasi
30x/menit, suhu 37,2OC. Thoraks tidak terdapat retraksi dada, bunyi jantung S1 dan S2
normal, tidak ada gallop dan murmur. Paru normal. Abdomen tampak buncit, perabaan kenyal
dan lembut, teraba hepar 4 cm di bawah arkus kosta kanan dan 3 cm di bawah prosesus
sifoideus, tepi tajam dan permukaan rata. Limpa teraba di schuffner 2. Didapatkan facies
cooley, konjungtiva anemis, sklera sub ikterik.
Hasil laboratorium:
Hb 5,1 g/dL MCV 58 fl (82–92 fl)
Hematokrit 15% MCH 24 pg (27–31 pg)
Eritrosit 2,8 juta/uL MCHC 36% (32–37%)
Leukosit 12.700/uL Retikulosit 15% (0,5–1,5%)
Hitung jenis 0/2/1/62/31/3 RDW 2,6% (12–14%)
Trombosit 207.000/uL
Sediaan apus darah tepi:
Hb elektroforesa ditemukan :
Hb F 62% (Normal: ≤ 2%)
Hb A 15% (Normal: ≥ 95%)
Hb E 31%
BAB III
PEMBAHASAN
I. ANAMNESIS
Anamnesis ini dilakukan secara alloanamnesis.
Identitas pasien
Nama : -
Usia : 3 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Nama orangtua : -
Alamat : -
Umur orangtua : -
Pendidikan ortu : -
Agama : -
Keluhan Utama
Keluhan yang disampaikan oleh ibu pasien adalah pasien tampak pucat & perutnya
membuncit. Pucat mulai tampak 2 bulan terakhir dan sudah 2x dibawa ke bidan dan
diberi vitamin penambah darah.
Keluhan Tambahan
Anak terlihat kembung, tidak ada demam, lebih sering tidur dan malas bermain, BAK
kuning gelap.
Riwayat penyakit sekarang
Pucat mulai tampak sejak 2 bulan terakhir dan sudah 2x dibawa ke bidan dan diberi
vitamin penambah darah. Anak terlihat kembung, tidak demam, lebih sering tidur dan
malas bermain, buang air kecil kuning gelap, buang air besar 1x sehari konsistensi
normal.
Perlu ditanyakan anamnesis tambahan sebagai berikut:
◦ Sejak kapan terjadinya perut membuncit?
Hal ini perlu ditanyakan untuk menunjukkan keterkaitan antara terjadinya pucat
dan perut yang membuncit pada pasien. Jika terjadi pucat lalu diikuti dengan perut
membucit dapat dipikirkan hipotesis terjadinya perdarahan intra abdomen. Jika
sebaliknya, dapat dihipotesis terjadinya malnutrisi (gizi buruk) pada pasien.
◦ Apakah ada nyeri perut?
Nyeri perut perlu ditanyak untuk menyokong hipotesis perdarahan intra abdomen
dan kecacingan.
Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan anamnesis tambahan sebagai berikut:
◦ Apakah ada riwayat trauma?
Pertanyaan ini diajukan untuk memperkuat hipotesis terjadinya perdarahan intra
abdomen yang kemungkinan disebabkan oleh suatu trauma.
◦ Apakah ada riwayat kuning pada pasien?
Riwayat kuning pada pasien ditanyakan untuk menunjang hipotesis ganguan hepar
yang nanti akan berakibat gagal pembentukan faktor pembekuan darah sehingga
dapat menyebabkan perdarahan yang masif. Hal ini berkaitan dengan hipotesis
perut membuncit akibat perdarahan intra abdomen.
◦ Apakah jika ada luka pasien sulit sembuh?
Pertanyaan ini untuk mendukung hipotesis sudah terjadinya gangguan hepar
sebelumnya pada pasien.
Riwayat kehamilan ibu
Perlu ditanyakan anamnesis tambahan sebagai berikut:
◦ Bagaimana gizi ibu saat hamil?
Penting ditanyakan untuk mengetahui gizi terdahulu anak yang akan berhubungan
dengan tumbuh kembang anak.
Riwayat kelahiran
Anak lahir cukup bulan, lahir di bidan, langsung menangis, berat badan lahir 3.100
gram, tinggi badan 48 cm.
Dari anamnesis ditemukan berat badan dan tinggi badan bayi lahir normal, hal ini
menunjukkan bayi mendapatkan asupan gizi yang cukup semasa dalam kandungan.
Riwayat makanan
Perlu ditanyakan anamnesis tambahan sebagai berikut:
◦ Bagaiman nafsu makan anak?
Hal ini ditanyakan untuk menilai apakah asupan makanan anak cukup atau tidak.
◦ Bagaimana asupan makanannya? Cukup gizi atau tidak?
Pertanyaan ini untuk mendukung hipotesis malnutrisi (gizi buruk) sebagai etiologi
perut yang membuncit pada pasien.
Riwayat imunisasi
Riwayat imunisasi perlu ditanyakan untuk mengetahui status imun anak saat ini.
Riwayat tumbuh kembang
Riwayat tumbuh kembang perlu ditanyakan untuk mengetahui apakah masalah yang
dihadapi pasien saat ini mempengaruhi tumbuh kembang pasien atau tidak.
Riwayat keluarga
Anak merupakan anak ke-4 dari empat bersaudara dan tidak ada yang mengalami keluhan
serupa.
Riwayat pengobatan
Pasien sudah 2x dibawa ke bidan dan diberi vitamin penambah darah.
Dari anamnesis ini didapatkan pasien sudah diberi pengobatan namun keadaannya
tidak membaik yang dihipotesiskan sebagai salah diagnosis.
Perlu ditanyakan anamnesis tambahan sebagai berikut:
◦ Vitamin penambah darah apa yang diberikan oleh bidan?
Pertanyaan ini dapat membantu menyingkirkan hipotesis anemia defisiensi besi
atau pun vitamin B12. Hipotesis anemia defisiensi besi dapat disingkirkan jika
vitamin yang dimaksud adalah preparat besi dikarenakan terpai yang diberikan
tidak memberikan perubahan.
II. PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
1. Keadaan Umum
a. Kesan sakit : Tampak pucat
b. Keadaan gizi : Menurut BB/TB dalam table NCHS, tergolong dalam
malnutrisi berat (dalam persentil 5th)
c. Tingkat kesadaran :Kompos mentis
d. Warna kulit :Pucat
e. Habitus/ postur tubuh
f. Usia pasien ditaksir pemeriksa
g. Cara berjalan
h. Cara berbaring/ duduk
i. Cara bicara
j. Ada/ tidaknya: dyspnoe, oedema, dehidrasi, kejang, dll
k. Sikap dan watak pasien
l. Penampilan pasien
2. Tanda Vital
Data pasien Batas Normal Keterangan
Suhu 37,20C 36,5-37,20C Normal
Denyut nadi 100x/menit 60-140 x/ menit Normal
Tekanan darah 100/60mmHg <120/ <80 mmHg Normal
Pernafasan 30x/menit 20-30 x/ menit Normal
Berat badan 10,1 kg 15,78-17,77 kgMalnutrisi berat
Tinggi badan 85 cm 97,5-102 cm
Status lokalis
a. Kulit
b. Kelenjar getah bening
c. Kepala dan wajah
Konjunctiva anemis anemia yang dicurigai akibat adanya hemolisis
eritrosit sehingga menyebabkan pembuluh darah perifer vasokonstriksi
sebagai kompensasi dari pemenuhan suplai darah, termasuk pembuluh darah
ke konjunctiva
Sclera sub ikterik kemungkinan hal ini terjadi akibat adanya hemolitik
yang memicu peningkatan sekresi bilirubin
Facies cooley hidung masuk ke dalam & tulang pipi menonjol, khas pada
pasien β-thalassemia mayor
d. Leher
e. Thoraks
Paru-paru : Normal
Jantung : Bunyi jantung S1 dan S2 normal, tidak ada gallop & murmur
f. Abdomen dan viscera
Hepar :
Teraba 4 cm di bawah arcus costae kanan & 3 cm dibawah processus
xyphoideus, tepi tajam, & permukaan rata Hepatomegali, kemungkinan
akibat adanya hemolitik pada pasien thalassemia sehingga hepatosit harus
bekerja lebih berat untuk merombak eritrosit-eritrosit yang rusak.
Limpa :
Teraba di schuffner 2 Splenomegali, sama seperti mekanisme terjadinya
hepatomegali yang kemungkinan diakibatkan karena banyaknya eritrosit yang
lisis.
g. Genitalia eksterna
h. Anus dan rectum
i. Ekstremitas atas dan bawah
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sementara:
No.
Masalah Dasar masalah Hipotesis penyebab masalah
1. Malnutrisi berat BB/TB yg tidak sesuai dengan usia
Lebih sering tidur & malas bermain
Intake yg kurangSuplai nutrisi untuk
metabolisme tubuh kurang mencukupi (adanya gangguan
pd eritrosit)2. Anemia Pucat
Konjunctiva anemisβ-thalassemia mayor
3. Hepatosplenomegali Hepar & limpa terabaSklera ikterik
BAK kuning gelap
Lisisnya eritrosit pada anemia hemolitik (suspek β-thalassemia mayor)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium darah1
Data Anak Batas normal Keterangan
Hemoglobin 5,1 g/ dL 10 – 16 g/dL Menurun
Hematokrit 15 % 33- 38 % Menurun
Eritrosit 2,8 jt/uL 4,6 – 6,2 jt /uL Normal
Leukosit 12.700/ UI 5.000 – 10.000/ UI Meningkat
Hitung jenis:
Basofil 0 % 0 – 1 % Normal
Eosinofil 2 % 1 – 3 % Normal
Netrofil batang 1 % 0 – 5 % Normal
Netrofil segmen 62 % 50 – 65 % Normal
Limfosit 31 % 20 – 35 % Normal
Monosit 3 % 4 – 9 % Normal
Trombosit 207.000 µL 150.000 – 450.000 Normal
MCV 58 fl 82 – 92 fl Menurun
MCH 24 pg 27 – 31 pg Menurun
MCHC 36 % 32 – 37 Normal
Reticulosit 2,6 % 0,5 – 1,5 % Meningkat
RDW 15 % 12- 14 % Meningkat
Hemoglobin yang menurun mendukung hipotesis terjadinya anemia pada
pasien. Pemeriksaan ini mendukung hasil dari pemeriksaan fisik
yangmenunjukkan wajah yang pucat dan konjungtiva yang anemis.
Hematokrit yang menurun menunjukkan sel darah yang terdapat di plasma
sangat sedikit. Hal ini mendukung hipotesis terjadinya anemia hemolisis
akibat thalasemia.
Leukosit meningkat dikarenakan eritropoesis yang meningkat, menyebabkan
sel-sel eritrosit yang belum matang (masih punya inti) dikeluarkan dari
sumsum tulang sebagai kompensasi kurangnya eritrosit dalam plasma akibat
meningkatnya proses hemolisis. Eritrosit yang masih memiliki inti ini oleh alat
detektor darah dianggap sebagai leukosit sehingga seolah-olah pada pasien ini
terjadi leukositosis.
MCV menurun menunjukkan bentuk mikrositik.
MCH menurun menunjukkan bentuk hipokrom.
Retikulosit yang meningkat menunjukkan meningkatnya rangsangan
pembentukan sel darah merah di sumsum tulang. Hal ini dapat terjadi salah
satunya karena hemolisis yang dapat diakibatkan oleh thalasemia.
RDW meningkat menunjukkan varian bentuk dari eritrosit dalam plasma.
Semakin tinggi nilainya maka semakin banyak bentuk varian dari eritrosit.2
B. Sediaan apus darah tepi
Dari hasil pemeriksaan sediaan apus darah tepi ditemukan gambaran:
Anisositosis
Definisi anisositosis adalah keadaan dimana terdapat eritrosit di dalam darah
yang menunjukkan variasi ukuran yang besar sekali.3
Poikilositosis
Poikilositosis adalah keadaan dimana terdapat eritrosit dengan keragaman
bentuk yang abnormal dalam darah.3
Sel target
Sel target merupakan sel yang muncul akibat kurangnya Hb dalam sel darah
merah sehingga Hb terkonsentrasi di tengah sel darah merah.
C. Hb elektroforesis
Dari hasil pemeriksaan Hb elektroforesis didapatkan hasil sebagai berikut:
Hb F 62% (Normal: ≤ 2%)
Normalnya hanya ditemukan pada fetus dan bayi baru lahir. HbF kan
digantikan oleh HbA pada saat dewasa.4 Nilai yang meningkat salah satunya
ditemukan pada penderita thalasemia akibat gangguan sintesis globin sehingga
HbF tidak dapat dirubh menjadi HbA.
Hb A 15% (Normal: ≥ 95%)
Pada pasien dengan thalasemia akan ditemukan hasil HbF yang meningkat
dan HbA yang menurun akibat gangguan sintesis globin.4
Hb E 31%
HbE merupakan varian dari hemoglobin rantai beta.4
IV. DAFTAR MASALAH & HIPOTESIS
No. Masalah Dasar masalah Hipotesis penyebab masalah
1. Pucat Anamnesis riwayat Anemia
penyakit sekarang dan pemeriksaan fisik
Kurang giziVasokonstriksi perifer
Berkurangnya volume darahPenurunan kadar Hb
Thallasemia2. Perut membuncit Anamnesis dan
pemeriksaan fisikPenumpukan cairan intra
abdomenPerdarahan yang masuk ke
rongga peritoneumMalnutrisi
Sirosis hepatis3. Lebih sering tidur
dan malas bermainAnamnesis riwayat
kebiasaanHipotiroidisme
Anemia4. BAK kuning dan
gelapAnamnesis riwayat penyakit sekarang
Kurang intake cairan
5. Fascies colley Pemeriksaan fisik Anemia hipokrom mikrositer
6. Konjungtiva anemis Pucat Anemia defisiensi besi
7. Sklera sub-ikterik Pemeriksaan fisik Anemia hemolitikHepatitis
Obstruksi saluran empeu8. TD 100/60 mmHg Pemeriksaan fisik Vasodilatasi pembuluh darah
10. Hepatomegali Pemeriksaan fisik teraba hepar 4 cm di bawah arkus
aorta kanan & 3 cm di bawah processus sifoideus
Anemia hemolitik
11. Splenomegali Pemeriskaan fisik teraba spleen di schuffner 2
Anemia hemolitik
V. PENGKAJIAN (PATOFISIOLOGI)
Pada pasien ini, etiologi dari semua masalah adalah kelainan genetik yang bersifat
resesif yang diturunkan oleh kedua orang tuanya. Kelainan genetik ini menyebabkan kelainan
pembenrukan rantai globin yang menyebabkan sel eritrosit yang terbentuk menjadi lebih
rapuh disbanding dengan eritrosit pada normalnya. Pada awalnya, pasien talassemia dapat
hidup tanpa gejala, tetapi kemudian akibat dari anemia hemolitik yang massive gejala dari
elainan ini akan timbul.
Dari hemolisis yang dialami pasien pasien akan mengalami penurunan kemampuan
tubuh untuk melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebabkan akibat jumlah Hb yang menurun
karena Hb memiliki fungsi sebagai transport O2 kejaringan dan mengeluarkan CO2.
Akibatnya, anak akan menjadi lebih cepat lelah, lebih sering tidur, dan malas bermain.
Penurunan kadar Hb ini juga akan menyebabkan perangsangan pada sumsum tulang dan
menyebabkan peningkatan kinerja sumsum tulang dalam memproduksi sel darah merah. Hal
ini yang kemudian dapat dilihat dengan penampakan facies cooley yang ditandai dengan
masuk/melesaknya batang hidung (flat nasal Bridge), menonjolnya maxilla keluar (maxilla
hyperplasia), dan frontal bossing. Selain dilihat dari penampakan facies cooley, peningkatan
kinerja sumsum tulang sebagai kompensasi akan rendahnya Hb dapat dilihat dari
peningkatan jumlah sel retikulosit. Sel retikulosit merupakan sel muda calon eritrosit yang
belum matang dan masih memiliki inti. Selain itu, karena sel ini berinti, dalam perhitungan
otomatis sel darah merah, sering terjadi kesalahan perhitungan leukosit akibat sel
retikulosit yang meningkat itu memiliki kesamaan dengan leukosit yang menyebabkan
seakan-akan leukosit meningkat. Selain itu, penurunan Hb menyebabkan pembentukan
eritrosit yang berbentuk target cell. Eritrosit yang berbentuk sel target ini terbentuk karena
konsentrasi Hb yang rendah terkumpul pada tengah eritrosit itu sendiri. Penurunan Hb juga
menimbulkan mekanisme pertahanan organ vital terhadap hipoksia dengan vasokonstriksi
perifer yang menyebabkan pasien pucat dan konjungtiva anemis. Terakhir, penurunan Hb
menyebabkan viskositas darah menurun dan menghasilkan hasil hematokrit yang rendah,
tekanan darah yang rendah, dan eritrosit yang menurun.
Selain penurunan Hb darah, hemolisis eritrosit menyebabkan ambilan eritrosit di
hepar dan limpa meningkat. Limpa dan hati sebagai organ RES memiliki fungsi dalah
perombakan eritrosit yang rusak. Peningkatan kinerja kedua organ ini lantas menjadikan sel
organ tersebut membesar yang ditemukan dalam pemeriksaan fisik pasien sebagai
hepatosplenomegali. Selain itu, sedikit dijelaskan bahwa hemolisis eritrosit di sirkulasi
menyebabkan peningkatan kadar bilirubin I didarah yang akan di ubah menjadi Bilirubin II
oleh hati yang bersifat larut air. Pada konsentrasi tertentu zat ini dapat menyebar difuse ke
jaringan-jaringan tubuh. Hal ini dapat ditemukan dari sclera nya yang sub ikteri dan
meingkatan sekresinya di urin yang menyebabkan keruhnya urin pasien.
SK
EM
A. P
atof
isio
logi
yan
g m
engg
amb
ark
an t
emu
an k
lin
is y
ang
dit
emu
kan
p
ada
anam
nes
is, p
emer
iksa
an f
isik
, dan
has
il la
bor
ator
ium
VI. DIAGNOSIS
Berdasarkan uraian di atas mengenai tanda, gejala klinis, dan hasil pemeriksaan
laboratorium pada pasien, kemungkinan pasien menderita anemia hemolitik pada kelompok
hemoglobinopati. Hemoglobinopati pada pada pasien kemungkinan menderita thalasemia
yang bersifat herediter dimana pasien memiliki orang tua yang pembawa sifat carrier.
Kelompok kami mendiagnosisa pasien ini thalasemia secara pasti karena pada pemeriksaan
fisik didapatkan pasien tampak pucat, bentuk muka mongoloid (facies cooley) atau
deformitas tulang diakibatkan peningkatan eritropoesis dalam sumsum tulang, ditemukan
ikterus, gangguan pertumbuhan, dan hepatosplenomegali yang menyebabkan perut
membesar.
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan hematologi rutin
- Morfologi eritrosit (gambaran darah tepi) : Eritrosit hipokrom mikrositik, sel
target, normoblas (eritorit berinti), polikromasia, bashopillic stippling, Heinz
bodies pada β thalasemia
- Kadar Hb pada thalasemia mayor 3-9 g/dl, thalesmia intermedia 7-10 g/dl
2. Elektroforesis Hb
3. Pemeriksaan sumsum tulang
- Eritropoesis infektif menyebabkan hyperplasia eritroid yang ditandai dengan
peningkatan cadangan Fe
4. Pengukuran beban besi
5. Pengukuran ferritin serum dan ferritin plasma sebelum dilakukan tranfusi
6. Anilisis DNA
7. Pemeriksaan komplikasi penyakit thalasemia4
- Kolelitiasis : USG/CT-Scan
- Hemopoesis ekstramedular: Foto rontgen (X-Ray)
- Kelainan tulang: Xray/MRI
- Trombosis: USG Duplex, angiografi, hemostatis
- Kelainan jantung: Eko kardiografi
- Kelainan hati: LIC Liver Iron Concentration (biopsy)
VIII. KOMPLIKASI
Kelebihan/penumpukan besi. Orang dengan thalassemia mengalami penumpukan besi
di tubuhnya. Penyebabnya karena imbas penyakit itu sendiri atau karena frekuensi
transfusi darah. Besi yang terlalu banyak di dalam tubuh dapat merusak hati, jantung
dan sistem endokrin, termasuk berbagai kelenjar penghasil hormon yang mengatur
proses di seluruh tubuh.
Infeksi. Orang dengan thalassemia mempunyai risiko tertular penyakit infeksi yang
ditularkan melalui transfusi darah, misalnya hepatitis, di mana virus dapat merusak
hati.
Pada kasus thalasemia berat, komplikasi yang bisa terjadi di antaranya:
Cacat tulang. Thalassemia bisa membuat sumsum tulang berekspansi, sehingga tulang
menjadi melebar. Hal ini menimbulkan abnormalitas struktur tulang, khususnya pada
wajah dan tengkorak. Ekspansi sumsum tulang juga membuat tulang menjadi tipis dan
rapuh, meningkatkan peluang patah tulang, khususnya pada tulang belakang. Patah
tulang belakang membuahkan kompresi tulang belakang.
Pembesaran limpa (splenomegaly). Limpa bekerja untuk melindungi tubuh terhadap
infeksi dan menyaring bahan yang tidak diperlukan, misalnya sel-sel darah yang
rusak atau tua. Sel darah merah pada penderita Thalassemia yang lebih cepat pecah
daripada sel darah merah normal akan membuat limpa bekerja lebih keras
dibandingkan normal, menyebabkan organ ini membesar. Splenomegaly bisa
membuat anemia kian memburuk, dan mengurangi usia sel-sel darah merah yang
ditransfusi. Jika limpa tumbuh terlalu besar, mungkin organ ini harus diangkat.
Laju pertumbuhan lambat. Anemia bisa menyebabkan pertumbuhan anak berjalan
lambat. Anak dengan thalassemia berat umumnya jarang mencapai tinggi orang
dewasa normal. Karena masalah endokrin, mungkin juga terjadi penundaan pubertas
pada anak-anak ini.
Masalah jantung. Masalah jantung, seperti gagal jantung kongestif dan detak jantung
abnormal (arrhythmias), kerap dikaitkan dengan thalassemia berat.
IX. PENATALAKSAAN
Pada penatalaksanaan pada pasien harus melakukan pertimbangan aspek ekonomi,
sosial, dan budaya pasien. Untuk memberikan terapi senantiasa meminta persetujuan dari
pasien. Pada pasien anak tersebut dapat diberikan terapi:
1. Tranfusi : untuk mempertahankan kadar Hb diatas 10 g/dl. Sebelum melakukannya
dilakukan pemeriksaan genotif pasien untuk mencegah terapi antibody eritrosit.
Tranfusi PRC (packed red cells) dengan dosis 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1
g/dl.
2. Khelasi besi: untuk mengurangi penimbunan besi berlebihan akibat tranfusi. Khelasi
besi dapat berupa desferoksamin diberikan injeksi subkutan, desferipone (oral),
desferrithiochin (oral), dll.
3. Vitamin B12 dan asam folat: untuk meningkatkan efektivitas fungsional eritropoesis.
4. Vitamin C: untuk menigkatkan ekkresi besi. Dosis 100-250 mg/hari selama pemberian
kelasi besi.
5. Vitamin E: untuk memperpanjang masa hidup eritrosit. Dosis 200-400 IU setiap hari
6. Splenoktomi: limpa terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya menjadi rupture. Jika disetujui pasien
hal ini sebaiknya dilakukan setelah anak berumur diatas 5 tahun sehingga tidak terjadi
penurunan drastis imunitas tubuh akibat splenoktomi.
7. Pada sedikit kasus transplatasi sumsum tulang telah dilaksanakan pada umur 1 atau 2
tahun dari saudara kandung dengan HIA cocok (HIA-Matched sibling). Pada saat ini
keberhasilan hanya mencapai 30% kasus.
X. PENCEGAHAN
1. Pencegahan primer
Penyuluhan sebelum perkawinan (marriage conselling) untuk mencegah perkawinan
diantara pasien thalasemia agar tidak mendapatkan keturunan yang homozigot.
Perkawinan antara dua heterozigot (carrier) menghasilkan 25 % thalasemia
(homozogit), 30% carrier (heterozigot), dan 25% normal.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami isteri dengan thalasemia
heterozigot salah satu jalan keluar adalah insermasi buatan dengan sperma berasal dri
donor yang bebas dan thalasemia troit. Kelahiran kasus homozigot terhindar, tetapi
50% lainnya normal. Diagnosa prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion
merupakan suatu kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot intra
uterine sehingga dapat dipertimbangkan tindakan abortus provokotus
XI. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Prognosis untuk pasien ini dubia ad malam karena pada beta talasemia mayor sering
terjadi komplikasi yang berat , diantaranya kecacatan pada tulang ,
hepatospenomegali bahkan sampai mempunyai masalah dengan jantungnya .
Ditunjang apabila perawatan pada pasien tidak baik , pada pasien dengan beta
talasemia mayor hanya dapat bertahan hidup dari usia 1-8 tahun
Ad functionam : dubia ad malam
Prognosis untuk pasien ini dubia ad malam karena fungsi beberapa organ terganggu.
Sebagai contoh , bila pada talasemia terjadi penghancuran eritrosit yang sangat
banyak , ini akan memperberat kerja lien dan pada akhirnya akan terjadi
spenomegali . Spenomegali dapat membuat anemia semakin berat dan mengancam
pasok O2 ontunk jaringan yang lain tidak terpenuhi.
Ad sanationam : dubia ad malam
Prognosis kasus ini dubia ad malam apabila perawatan pada pasien tidak baik, pada
pasien dengan beta talasemia mayor hanya dapat bertahan hidup dari usia 1-8 tahun.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Berikut kami sajikan tinjauan pustaka mengenai thalasemia beta mayor yang kami
tegakan sebagai diagnosis pada kasus ini:
THALASEMIA
A. DEFINISI
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah
merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Akibatnya
penderita thalasemia akan mengalami gejala anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan
sering lemas, sukar tidur, nafsu makan hilang, dan infeksi berulang. Thalasemia terjadi akibat
ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi
hemoglobin sebagaimana mestinya. Thalasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang
merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam
amino yang membentuk hemoglobin. Thalasemia adalah penyakit yang sifatnya diturunkan.
Penyakit ini, merupakan penyakit kelainan pembentukan sel darah merah.
Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah dan
berfungsi sangat penting untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh
yang membutuhkannya sebagai energi. Apabila produksi hemoglobin berkurang atau tidak
ada, maka pasokan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh tidak dapat
terpenuhi, sehingga fungsi tubuh pun terganggu dan tidak mampu lagi menjalankan
aktivitasnya secara normal. Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang
berfungsi mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, selain itu yang memberikan
warna merah sel darah merah. Hemoglobin terdiri dari 4 molekul zat besi (heme), 2 molekul
rantai globin alpha dan 2 molekul rantai globin beta. Rantai globin alpha dan beta adalah
protein yang produksinya disandi oleh gen globin alpha dan beta. Hemoglobin terdiri dari 4
rantai asam amino (2 rantai amino alpha dan 2 rantai amino beta) yang bekerja bersama-sama
untuk mengikat dan mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Rantai asam amino inilah yang
gagal dibentuk sehingga menyebabkan timbulnya thalassemia.
Pada masuia dewasa hemoglobin terdiri dari Hb A (mayor) yang terdiri dari α2β2 dan
Hb A2 (minor) yang terdiri dari α2δ2. Pada bayi dan embrio terdapat bentuk hemoglobin lain
yaitu Hb F (α2γ2) dan hemoglobin embrional : Hb Gowers 1 (ζ2ε2), Hb Gowers 2 (α2ε2),
dan Hb Portland (ζ2γ2). Hemoglobin abnormal antara lain Hb H (β4) dan Hb Bart’s (γ4)
(Suryohudoyo. 2007). Sedangkan globin tersusun atas α helix (terdiri atas 141 asam amino)
dan β sheets (terdiri atas 146 asam amino) (Medicastore). α helix (kelompok α) terdiri dari
rantai alfa dan rantai zeta. Terletak pada kromosom 16. β sheets (kelompok β) terdiri dari
rantai beta, gamma, delta, dan epsilon. Terletak pada kromosom 11.
B. ETIOLOGI
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan dalam
pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk
menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1
gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan
gejala-gejala dari penyakit ini.
Thalasemia digolongkan bedasarkan rantai asam amino yang terkena 2 jenis yang
utama adalah :
1. Alfa – Thalasemia (melibatkan rantai alfa)
Alfa – Thalasemia paling sering ditemukan pada orang kulit hitam (25%
minimal membawa 1 gen).
Thalassemia alpha dibagi menjadi :
• Silent Carrier State (gangguan pada 1 rantai globin alpha). Pada keadaan ini mungkin
tidak timbul gejala sama sekali pada penderita, atau hanya terjadi sedikit kelainan berupa sel
darah merah yang tampak lebih pucat (hipokrom).
• Alpha Thalassemia Trait (gangguan pada 2 rantai globin alpha). Penderita mungkin hanya
mengalami anemia kronis yang ringan dengan sel darah merah yang tampak pucat
(hipokrom) dan lebih kecil dari normal (mikrositer).
• Hb H Disease (gangguan pada 3 rantai globin alpha). Gambaran klinis penderita dapat
bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan
perbesaran limpa (splenomegali).
• Alpha Thalassemia Major (gangguan pada 4 rantai globin alpha). Thalassemia tipe ini
merupakan kondisi yang paling berbahaya pada thalassemia tipe alpha. Pada kondisi ini tidak
ada rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi. Biasanya
fetus yang menderita alpha thalassemia mayor mengalami anemia pada awal kehamilan,
membengkak karena kelebihan cairan (hydrops fetalis), perbesaran hati dan limpa. Fetus
yang menderita kelainan ini biasanya mengalami keguguran atau meninggal tidak lama
setelah dilahirkan.
2. Beta – Thalasemia (melibatkan rantai beta)
Beta – Thalasemia pada orang di daerah Mediterania dan Asia Tenggara.
Thalassemia beta dibagi menjadi :
• Beta Thalassemia Trait. Pada jenis ini penderita memiliki satu gen normal dan satu gen
yang bermutasi. Penderita mungkin mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah
merah yang mengecil (mikrositer).
• Thalassemia Intermedia. Pada kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa
memproduksi sedikit rantai beta globin. Penderita biasanya mengalami anemia yang
derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.
• Thalassemia Major (Cooley’s Anemia). Pada kondisi ini kedua gen mengalami mutasi
sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Biasanya gejala muncul pada bayi
ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat.
Berbeda dengan thalassemia minor (thalassemia trait/bawaan), penderita thalassemia
mayor tidak dapat membentuk haemoglobin yang cukup di dalam darah mereka, sehingga
hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama-lama akan
menyebabkan asfiksia jaringan (kekurangan O2), edema, gagal jantung kongestif, maupun
kematian. Oleh karena itu, penderita thalassemia mayor memerlukan transfusi darah yang
sering dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya.
Secara umum, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu :
1. Thalasemia Mayor,
karena sifat sifat gen dominan. Thalasemia mayor merupakan penyakit yang ditandai
dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya, penderita kekurangan
darah merah yang bisa menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut, sel-sel darah merahnya
jadi cepat rusak dan umurnya pun sangat pendek, hingga yang bersangkutan memerlukan
transfusi darah untuk memperpanjang hidupnya.
Penderita thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir, namun di usia 3-18 bulan
akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa muncul gejala lain seperti
jantung berdetak lebih kencang dan facies cooley. Faies cooley adalah ciri khas thalasemia
mayor, yakni batang hidung masuk ke dalam dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang
yang bekerja terlalu keras untuk mengatasi kekurangan hemoglobin.
Penderita thalasemia mayor akan tampak memerlukan
perhatian lebih khusus. Pada umumnya, penderita thalasemia
mayor harus menjalani transfusi darah dan pengobatan seumur
hidup. Tanpa perawatan yang baik, hidup penderita thalasemia
mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8 bulan. Seberapa sering
transfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi tergantung dari
berat ringannya penyakit. Yang pasti, semakin berat
penyakitnya, kian sering pula si penderita harus menjalani
transfusi darah.
C. GEJALA
Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan secara
genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta
yang terletak pada kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu ditemukan berpasangan.
Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk
hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan disebut pembawa
sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih
mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik). Seorang
pembawa sifat thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi
pada kedua kromosom, dinamakan penderita thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah
gen yang sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat
thalassemia. Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari
ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat
thalassemia maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin beta yang berubah (gen thalassemia)
dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak hanya
mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayah maka anak hanya membawa penyakit
ini. Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan gen globin beta normal dari kedua orang
tuanya.
Mekanisme penurunan penyakit thalassemia :
Jika kedua orang tua tidak menderita
Thalassemia trait/bawaan, maka tidak
mungkin mereka menurunkan Thalassemia
trait/bawaan atau Thalassemia mayor kepada
anak-anak meraka. Semua anak-anak mereka
akan mempunyai darah yang normal.
Apabila salah seorang dari orang tua
menderita Thalassemia trait/bawaan,
sedangkan yang lainnya tidak maka satu
dibanding dua (50%) kemungkinannya
bahwa setiap anak-anak mereka akan
menderita Thalassemia trait/bawaan, tetapi
tidak seseorang diantara anak-anak mereka
Thalassemia mayor.
Dari skema diatas dapat dilihat bahwa kemungkinan
anak dari pasangan pembawa sifat thalassemia beta
adalah 25% normal, 50% pembawa sifat thalassemia
beta, dan 25% thalassemia beta mayor (anemia
berat).
Semua thalasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi. Sebagian besar
penderita mengalami anemia yang ringan. Pada bentuk yang lebih berat, misalnya beta-
thalasemia mayor, bisa terjadi sakit kuning (jaundice), luka terbuka di kulit (ulkus, borok),
batu empedu dan pembesaran limpa. Sumsum tulang yang terlalu aktif bisa menyebabkan
penebalan dan pembesaran tulang, terutama tulang kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang
menjadi lemah dan mudah patah. Anak-anak yang menderita thalasemia akan tumbuh lebih
lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya yang normal.
Karena penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani transfusi, maka kelebihan zat
besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot jantung, yang pada akhirnya bisa
menyebabkan gagal jantung.
Gejala-gejala thalassemia antara lain pucat (dikarenakan kekurangan hemoglobin yang
menyebabkan kurangnya eritrosit), perut buncit karena hepatomegali dan splenomegali
(keduanya akibat terjadinya penumpukan Fe karena bekerja terlalu keras dalam
membersihkan sel darah yang rusak), deformitas tulang muka, jantung berdebar-debar
(bekerja terlalu keras), urin keruh, anemia, kehitaman pada kulit (akibat dari meningkatnya
produksi Fe), ikhterus (akibat dari produksi bilirubin yang meningkat), retardasi pertumbuhan
dan penuaan dini, gagal jantung (disebabkan penumpukan Fe di otot jantung), dan penyakit
kuning.
Oleh karena itu, untuk memastikan seseorang mengalami thalasemia atau tidak,
dilakukan dengan pemeriksaan darah. Gejala thalasemia dapat dilihat pada banyak usia 3
bulan hingga 18 bulan. Bila tidak dirawat dengan baik, anak-anak penderita thalasemia mayor
ini hidup hingga 8 tahun saja. Satu-satunya perawatan dengan tranfusi darah seumur hidup.
Jika tidak diberikan tranfusi darah, penderita akan lemas, lalu meninggal.
D. DIAGNOSA
Thalasemia lebih sulit didiagnosis dibandingkan penyakit hemoglobin lainnya. Hitung
jenis darah komplit menunjukkan adanya anemia dan rendahnya MCV (mean corpuscular
volume). Elektroforesa bisa membantu, tetapi tidak pasti, terutama untuk alfathalasemia.
Karena itu diagnosis biasanya berdasarkan kepada pola herediter dan pemeriksaan
hemoglobin khusus.
Tes laboratorium untuk thalassemia meliputi : hematologi rutin (untuk mengetahui
kadar Hb tidak normal (3-9 g/dL),ukuran sel darah (<8 )), gambaran darah perifer
(mengetahui bentuk yang abnormal (serupa cakram tembak), warna (blackness), dan usia
(<120 hari)), feritin test (mengetahui status Fe), analisis Hb (menentukan jenis thalassemia),
foto rontgen cranial (melihat ada/tidaknya deformitas tulang pipih), full blood count
(menghitung darah secara lengkap), sediaan darah apus (menghitung bentuk dan jumlah sel
darah putih serta platelet), iron studies (membedakan anemia biasa atau thalassemia
herediter), molecular diagnosis yang meilputi : PCR (menggandakkan gen globin), DNA
sequencing (mengetahui urutan nukleotida), Southern Blotting (elektroforesis DNA
mrnggunakan nitroselulosa), dot blotting (penetesan DNA, RNA, atau protein secara
langsung pada membran penyangga), DGGE (Denaturating Gradient Gel Electrophoresis)
yang prinsipnya pemeriksaan pembukaan heliks ganda yang terjadi pada kadar denaturan
yang berbeda pada saat terjadi mutasi.
E. PENGOBATAN
Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian tambahan
asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat besi dan
obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa
menyebabkan keracunan. Efek samping transfusi darah adalah kelebihan zat besi dan terkena
penyakit yang ditularkan melalui darah yang ditransfusikan. Setiap 250 ml darah yang
ditransfusikan selalu membawa kira-kira 250 mg zat besi. Sedangkan kebutuhan normal
manusia akan zat besi hanya 1-2 mg perhari. Pada penderita yang sudah sering mendapatkan
transfusi kelebihan zat besi ini akan ditumpuk di jaringan-jaringan tubuh seperti hati, jantung,
paru, otak, kulit dll. Penumpukan zat besi ini akan mengganggu fungsi organ tubuh tersebut
dan bahkan dapat menyebabkan kematian akibat kegagalan fungsi jantung atau hati.
Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi
genetik masih dalam tahap penelitian.
F. PENCEGAHAN
Pada keluarga dengan riwayat thalasemia perlu dilakukan penyuluhan genetik untuk
menentukan resiko memiliki anak yang menderita thalasemia. Pengidap thalasemia yang
mendapat pengobatan secara baik dapat menjalankan hidup layaknya orang normal di tengah
masyarakat. Sementara zat besi yang menumpuk di dalam tubuh bisa dikeluarkan dengan
bantuan obat, melalui urine. Penyakit thalasemia dapat dideteksi sejak bayi masih di dalam
kandungan, jika suami atau istri merupakan pembawa sifat (carrier) thalasemia, maka anak
mereka memiliki kemungkinan sebesar 25 persen untuk menderita thalasemia. Karena itu,
ketika sang istri mengandung, disarankan untuk melakukan tes darah di laboratorium untuk
memastikan apakah janinnya mengidap thalasemia atau tidak.
Karena penyakit ini belum ada obatnya, maka pencegahan dini menjadi hal yang lebih
penting dibanding pengobatan. Program pencegahan thalassemia terdiri dari beberapa
strategi, yakni (1) penapisan (skrining) pembawa sifat thalassemia, (2) konsultasi genetik
(genetic counseling), dan (3) diagnosis prenatal.
Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif dan retrospektif.
Secara prospektif berarti mencari secara aktif pembawa sifat thalassemia langsung dari
populasi diberbagai wilayah, sedangkan secara retrospektif ialah menemukan pembawa sifat
melalui penelusuran keluarga penderita thalassemia (family study). Kepada pembawa sifat ini
diberikan informasi dan nasehat-nasehat tentang keadaannya dan masa depannya. Suatu
program pencegahan yang baik untuk thalassemia seharusnya mencakup kedua pendekatan
tersebut. Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik terutama di
negara-negara sedang berkembang, karena pendekatan prospektif memerlukan biaya yang
tinggi. Atas dasar itu harus dibedakan antara usaha program pencegahan di negara
berkembang dengan negara maju. Program pencegahan retrospektif akan lebih mudah
dilaksanakan di negara berkembang daripada program prospektif. Konsultasi genetik meliputi
skrining pasangan yang akan kawin atau sudah kawin tetapi belum hamil. Pada pasangan
yang berisiko tinggi diberikan informasi dan nasehat tentang keadaannya dan kemungkinan
bila mempunyai anak.
Diagnosis prenatal meliputi pendekatan retrospektif dan prospektif. Pendekatan
retrospektif, berarti melakukan diagnosis prenatal pada pasangan yang telah mempunyai anak
thalssemia, dan sekarang sementara hamil. Pendekatan prospektif ditujukan kepada pasangan
yang berisiko tinggi yaitu mereka keduanya pembawa sifat dan sementara baru hamil.
Diagnosis prenatal ini dilakukan pada masa kehamilan 8-10 minggu, dengan mengambil
sampel darah dari villi khorialis (jaringan ari-ari) untuk keperluan analisis DNA.
Dalam rangka pencegahan penyakit thalassemia, ada beberapa masalah pokok yang
harus disampaikan kepada masyarakat, ialah : (1) bahwa pembawa sifat thalassemia itu tidak
merupakan masalah baginya; (2) bentuk thalassemia mayor mempunyai dampak mediko-
sosial yang besar, penanganannya sangat mahal dan sering diakhiri kematian; (3) kelahiran
bayi thalassemia dapat dihindarkan.
Karena penyakit ini menurun, maka kemungkinan penderitanya akan terus bertambah
dari tahun ke tahunnya. Oleh karena itu, pemeriksaan kesehatan sebelum menikah sangat
penting dilakukan untuk mencegah bertambahnya penderita thalassemia ini. Sebaiknya semua
orang Indonesia dalam masa usia subur diperiksa kemungkinan membawa sifat thalassemia.
Pemeriksaaan akan sangat dianjurkan bila terdapat riwayat : (1) ada saudara sedarah yang
menderita thalassemia, (2) kadar hemoglobin relatif rendah antara 10-12 g/dl walaupun sudah
minum obat penambah darah seperti zat besi, (3) ukuran sel darah merah lebih kecil dari
normal walaupun keadaan Hb normal.
Hemoglobinopati9
Hemoglobinopati adalah sekelompok kelainan yang diturunkan melalui keluarga
(diwariskan) di mana ada produksi yang abnormal atau struktur dari molekul hemoglobin.
Gangguan tersebut termasuk penyakit hemoglobin C, penyakit hemoglobin SC, anemia sel
sabit, dan berbagai jenis thalassemia.
Hemoglobinopati adalah semacam kelainan genetik yang menghasilkan struktur yang
abnormal dari salah satu rantai globin dari molekul hemoglobin Hemoglobinopati diwariskan
gangguan gen tunggal6. Dalam banyak kasus, mereka diwariskan sebagai co-dominan
autosomal sifat.7 Hemoglobinopati umumnya termasuk penyakit sel sabit. Diperkirakan
bahwa 7% dari populasi dunia (420 juta) adalah pembawa, dengan 60% dari total dan 70%
berada di Afrika patologis. Hemoglobinopathies yang paling umum pada populasi etnis dari
Afrika, cekungan Mediterania dan Asia Tenggara.
Hemoglobinopati menyiratkan kelainan struktural dalam protein globin itu sendiri.8
Thalassemia, sebaliknya, biasanya menyebabkan rendahnya protein globin normal, seringkali
melalui mutasi pada gen pengatur. Dua kondisi mungkin tumpang tindih, namun, karena
beberapa kondisi yang menyebabkan kelainan pada protein globin (hemoglobinopati) juga
mempengaruhi produksi mereka (talasemia). Dengan demikian, beberapa
hemoglobinopathies juga thalassemia, tapi kebanyakan tidak.
Hemoglobinopati atau talasemia, atau keduanya, dapat menyebabkan anemia.
Beberapa varian hemoglobin terkenal seperti anemia sel sabit dan anemia bawaan
dyserythropoietic bertanggung jawab untuk penyakit, dan dianggap hemoglobinopathies.
Namun, varian banyak hemoglobin tidak menyebabkan patologi atau anemia, dan dengan
demikian sering tidak digolongkan sebagai hemoglobinopathies, karena mereka tidak
dianggap patologi. Varian hemoglobin adalah bagian dari pengembangan embrio dan janin
normal, tetapi mungkin juga bentuk mutan patologis hemoglobin dalam suatu populasi, yang
disebabkan oleh variasi dalam genetika. Varian lain tidak menyebabkan patologi terdeteksi,
dan dengan demikian dianggap non-patologis varian.8,9
Beberapa hemoglobinopathies (dan juga penyakit terkait seperti glukosa-6-fosfat
dehidrogenase defisiensi) tampaknya telah memberikan manfaat evolusi, khususnya untuk
heterozigot, di daerah di mana malaria adalah endemik. Hidup parasit malaria dalam sel
darah merah, tapi halus mengganggu fungsi sel normal. Pada pasien yang cenderung untuk
clearance cepat sel-sel darah merah, ini dapat mengakibatkan kerusakan awal sel yang
terinfeksi dengan parasit dan meningkatkan kesempatan untuk bertahan hidup bagi pembawa
sifat tersebut
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Sutedjo AY. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Yogyakarta: Amara Books; 2009 .p.20.
2. Red Cells Distribution Width (RDW). Available at:
http://ahdc.vet.cornell.edu/clinpath/modules/hemogram/rdw.htm. Accessed on: Oct
17th, 2011.
3. Kamus Saku Kedokteran Dorland. 25th ed. Alih bahasa: Poppy K, et al. Editor: Dyah
N. Jakarta: EGC; 1998 .p.58, 837.
4. Labast Online. Hemoglobin variants. Available at:
http://labtastonline.org/understanding/analytes/hemoglobin-var/?start-1. Accessed on:
October 17, 2011.
5. Mansjoer A. Kapita selekta kedokteran jilid 2. 3rd ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2000.
6. Mayo clinic. Komplikasi Thalasemia. Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/thalassemia/DS00905/DSECTION=complications.
Accessed on October 18, 2011.
7. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics.
18th ed. Philadelphia: Saunder Elsevier; 2007.
8. Yunir E, Soebardi S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: Interna
Publishing; 2009. p. 1392.
9. Golan DE. Hemolytic anemias: red cell membrane and metabolic defects. In:
Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders
Elsevier; 2007:chap 165.
BAB IV
PENUTUP DAN UCAPAN TERIMA KASIH
Sekian penjelasan kami menganai hasil diskusi kasus pertama. Akhir kata kami
ucapkan terima kasih kepada tutor pembimbing dan para narasumber yang kemudian akan
menilai makalah dan presentasi kami. Kritik dan saran akan kami jadikan pembelajaran untuk
diskusi, pembuatan makalah, ataupun seminar selanjutnya. Semoga ilmu yang dipelajari
dapat berguna.