Download - 4. Lapkas Anastesi Ika
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika
Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan
lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera
kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi
dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin
meningkat.1,2
Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif
antara 15–44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas,
disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir
separuh dari seluruh kematian akibat trauma.2
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, setiap
petugas kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan dan keterampilan praktis
untuk melakukan penanganan pertama dan tindakan live saving. Diharapkan dengan
penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TRAUMA KAPITIS
2.1.1 Penatalaksanaan Trauma Kapitis
Adapun penatalaksanaan trauma kapitis meliputi:4
1. Jalan nafas dan ventilasi
- Intubasi trakea. Langkah pertama dalam terapi darurat adalah mengamankan jalan
nafas dan memastikan bahwa ventilasi sudah adekuat. Karena semua pasien trauma
dipertimbangkan memiliki lambung yang penuh dan sering juga mendapat trauma
servikal, tekanan pada krikoid dan stabilisasi in-line terhadap tulang servikal
dilakukan selama digunakan laringoskop dan intubasi.
- Intubasi nasal juga menambah resiko pada pasien yang menderita fraktur basis
kranii karena masuknya benda terkontaminasi ke otak. Fraktur basis kranii diduga
ktika terjadi perdarahan dari kavum timpani, otorrhea, petekiae pada prosesus
mastoideus (Battles’s sign), dan petekiae disekitar bola mata (Panda sign).
- Obat-obatan untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi.
- Ventilasi mekanik. Segera setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non depolarisasi
diberikan dan ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mmHg. Hiperventilasi agresif
(PaCO2 <30 mmHg) sebaiknya dihindarkan kecuali herniasi transtentorial dicurigai.
Jika terdapat hipoksemia, harus diperbaiki secepatnya. Jika terdapat aspirasi masif,
suction bronkus dapat dilakukan.
2. Stabilisasi kardiovaskular
Hipotensi sistemik merupakan salah satu kontributor mayor terhadap jeleknya
prognosa pada pasien trauma kepala. Penilaian tanda-tanda vital harus disesuaikan
dengan umur pasien. Hal ini dimaksudkan agar dapat dilakukan evaluasi dan
penangan pasien dengan tepat.
2
- Resusitasi cairan
Hipovolemia sering tertutup oleh tekanan darah yang relatif stabil sekunder akibat
hiperaktivitas simpatis atau respon refleks terhadap peningkatan TIK. Karena itu,
resusitasi cairan harus dilakukan tidak hanya berdasarkan tekanan darah namun juga
oleh urine output dan CVP.
Larutan kristaloid dan koloid. Kristaloid isotonik dan hipertonik dan larutan
koloid dapat diberikan untuk menjaga volume intravaskular yang adekuat.
Produk darah dan darah. Pasien yang mempunyai nilai hematokrit yang
rendah membutuhkan tranfusi untuk mengoptimalkan oxygen delivery. Hematokrit
idealnya dipertahankan diatas 30%.
Efek samping larutan yang mengandung glukosa. Larutan yang mengandung
glukosa sebaiknya dihindarkan karena hiperglikemia dihubungkan dengan
perburukan neurologis. Glukosa sebaiknya digunakan hanya untuk menangani
hipoglikemia. Kadar plasma sebesar 80-150 mg/dL sebaiknya dicapai. Kadar plasma
diatas 200 mg/dL
- Inotropik dan vasopresor
Jika tekanan darah dan cardiac output tidak dapat diperbaiki melalui resusitasi cairan,
pemberian inotropik dan vasopresor secara intravena mungkin diperlukan. Infus
fenilefrin atau dopamin direkomendasikan untuk menjaga Cerebral Perfusion
Pressure diatas 60 mmHg.
3. Penilaian neurologis
- Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan metode yang sederhana dan diterima
secara universal untuk menilai tingkat kesadaran dan status neurologis pasien
dengan trauma kepala.
1. Skor GCS <8 menandakan trauma kepala berat
2. Skor GCS 9-12 menandakan trauma kepala sedang
3. Skor GCS 13-15 menandakan trauma ringan
3
- Respon pupil (ukuran, refleks cahaya) dan penilaian simetris ekstremitas harus
secepatnya dinilai.
4. Penilaian cedera organ lain
Pasien trauma sering menderita yang berasal dari cedera pada sistem organ
multipel. Perhatian terutama ditujukan untuk menentukan ada tidaknya
perdarahan intratoraks atau intraperitoneal. Jika perdarahan dicurigai,
eksplorasi toraks maupun abdomen harus dilakukan segera.
Penanganan terhadap peningkatan TIK.
- Hiperventilasi.
Jika terdapat bukti terjadinya herniasi transtentorial pada pasien dengan trauma
kepala berat, hiperventilasi sampai kadar PaCO2 sebesar < 30 mmHg karena
hiperventilasi dapat dengan cepat dan efektif menurunkan TIK.
- Terapi diuretik
Manitol, 0,25-1 g/kgBB secara intravena diberikan dalam 10 menit pada pasien
dengan sangkaan herniasi transtentorial. Osmolaritas serum dijaga dan tidak
boleh melebihi 320 mOsm/L.
- Posisi
Menaikkan posisi kepala 30-45o memfasilitasi drainase CSF dan menurunkan
TIK. Efek penurunan TIK ini ditiadakan pada kaadaan dimana tekanan darah
sistemik menurun.
- Kortikosteroid
Sebelumnya kortikosteroid diperkirakan mempunyai manfaat dalam
mengurangi edema otak yang juga menurunkan TIK pada pasien dengan trauma
kepala. Namun, beberapa laporan terakhir menunjukkan perburukan pada
pasien yang diberikan terapi kortikosteroid. Karena itu, kortikosteroid tidak
berperan dalam penanganan trauma kepala meskipun bermanfaat pada trauma
spinal.
4
2.2. Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Trauma Kapitis
2.2.1. Primary Survey
A: Airway: Bebaskan jalan nafas
1. Penilaian
a. Mengenal patensi airway
b. Penilaian cepat adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway
a. Melakukan triple airway manuever (chin-lift, head till, dan jaw thrust)
b. Membersihkan airway dari benda asing
c. Memsang pipa naso-faring atau oro-faringeal
d. Memasang airway definitif
- Intubasi oro-atau naso-trakeal
- Krikotiroidotomi dengan pembedahan
e.Melakukan jet insufflation dari airway dan mengetahui bahwa tindakan ini
bersifat sementara
3.Menjaga leher dalam posisi netral, bila perlu secara manual, bila melakukan
tindakan untuk membebaskan airway.
4. Fiksasi leher dengan berbagai cara
B: Breathing: ventilasi dan oksigenasi
1. Penilaian
a. Bebaskan leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala
b. Tentukan laju dan dalamnya pernafasan
c. Inspeksi dan palpasi leher dan leher untuk adanya deviasi trakea, ekspansi
thoraks simetris atau tudak simetris, pemakaian otot tambahan, dan tanda-tanda
cedera lainnya
d. Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e. Auskultasi toraks bilateral.
5
2. Pengelolaan
a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi
b. Ventilasi dengan alat bag-value-mask
c. Menghilangkan tension pneumothoraks
d. Dressing open pneumothoraks
e. Memasang sensor C2 dari kapnograf pada ETT
f. Memasang pulse oximetry
C : Circulation: kontrol perdarahan
1. Penilaian
a. Dapat mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b. Mengetahui sumber perdarahan internal
c. Nadi: kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoxus
d. Warna kulit
e. Tekanan darah
2. Pengelolaan
a. Tekanan langsung pada tempat perdarahan eksternal
b. Mengenal adanya perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah, serta
konsultasi bedah
c. Memasang 2 kateter IV ukuran besar
d. Mengambil sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes
kehamilan, golongan darah dan cross match, dan analisis gas darah
e. Memberikan cairan dengan cairan RL yang di hangat kan dan pemberian darah
f. Memasang pneumatic anti shock garment atau bidai pneumatik untuk kontrol
perdarahan
g. Cegah hipotermi
6
D : Disability: pemeriksaan neurologis singkat
1. tentukan tingkat kesadaran dengan memakai skor GCS
2. nilai pupil, besarnya, isokor dan reaksi
E : Exposure/ Environment: buka pakaian penderita dan cegah hipotermia
2.2.2 Secondary Survey
B1 : Breath (nafas): sistem respirasi
a. Pola nafas
b. Tanda-tanda obstruksi
c. Pernafasan cuping hidung
d. Frekuensi nafas
e. Pergerakan rongga dada à simetris/tidak
f. Suara nafas tambahan à (-) pada obstruksi total
g. Udara nafas yang keluar dari hidung
h. Sianosis pada ekstremitas
i. Auskultasi à wheezing, ronki
j. Pasien sadar à tanyakan adakah keluhan pernafasan :
(-) à cukup berikan O2
Tanda-tanda obstruksi (+) à terapi sesuai kondisi (aminofilin,
kortikosteroid, tindakan triple manuver airway)
B2 : Blood (darah): sistem kardiovaskuler
a. Tekanan darah
b. Nadi
c. Perfusi perifer
d. Status hidrasi (hipotermi – syok)
e. Kadar Hb
B3 : Brain (otak) à sistem SSP
7
a. Menilai kesadaran pasien
b. Dinilai dengan GCS (Glasgow Coma Scale)
c. Perhatikan gejala kenaikan TIK.
B4 : Bladder (kandung kemih): sistem urogenitalis
a. Periksa kualitas, kuantitas, warna, kepekatan urin à mencerminkan kadar
elektrolit
b. Untuk menilai :
1. Apakah pasien masih dehidrasi
2. Apakah ada kerusakan ginjal saat operasi à acute renal failure, transfusi
hemolisis
B5 : Bowel (usus): sistem gastrointestinalis
a. Tanda-tanda dilatasi lambung
b. Tanda-tanda cairan bebas
c. Distensi abdomen
d. Perdarahan lambung postoperasi
e. Obstruksi à hipoperistaltik, gangguan organ lain, mis: hepar, lien, pankreas
f. Dilatasi usus halus
B6 : Bone (tulang): sistem muskuloskeletal
a. Tanda-tanda sianosis
b. Warna kuku
c. Perdarahan postoperasi
d. Gangguan neurologis à gerakan ekstremitas
2.2.3 Rehidrasi
8
Strategi untuk rehidrasi adalah dengan memperhitungkan defisit cairan, cairan
rumatan yang diperlukan dan kehilangan cairan yang sedang berlangsung disesuaikan
Cara rehidrasi9
1. Nilai status dehidrasi , banyak cairan yang diberikan (D) = derajat dehidrasi (%) x
BB x 1000 cc
2. Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan (untuk dewasa 40 cc/kgBB/24 jam
atau rumus holliday-segar seperti untuk anak-anak)
3. Pemberian cairan :
dehidrasi berat dan sedang bolus 20 – 40 cc/kg/ 30-60 mnt dan dapat diulang 20
cc/kg/30-60 menit. Sisanya dibagi 50% 8 jam pertama dan 50 % 16 jam kedua
ditambah kebutuhan basal, cairan yang masih hilang dan adanya febris ditambah
10 % tiap kenaikan 1 derajat celcius
a. 6 jam I = ½ D + ¼ M atau 8 jam I = ½ D + ½ M
b. 18 jam II = ½ D + ¾ M atau 16 jam II = ½ D + ½ M
2.3. Tatalaksana Kegawatdaruratan dalam Fraktur Tibia - Fibula
Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk mempertahankan
kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik anatomi maupun
fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey primer yang meliputi Airway,
Breathing, Circulation, 2) meminimalisir rasa nyeri (3) mencegah cedera iskemia-
reperfusi, (4) menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial kontaminasi.
Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi dan reposisi
sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses persambungan tulang
dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut.1
1. Survey Primer
9
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability Limitation, exposure).1,2
A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran
jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh adanya benda
asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien
dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan
pemasangan airway definitif.
B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus menjamin
ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru yang baik,
dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien dengan fraktur
ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m lewat
non-rebreathing mask dengan reservoir.
C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di sini
adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering menjadi
permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang terbuka.
Kerusakan pada jaringan lunak dapat mengenai pembuluh darah besar dan
menyebabkan pendarahan yang hebat. Patah tulang femur dapat menyebabkan
kehilangan darah dalam paha 3 – 4 unit darah dan membuat syok kelas III.
Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah menggunakan penekanan langsung
dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami pendarahan di atas level
tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata
dengan mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar
patahan. Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat
menghentikan pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting
disamping usaha menghentikan pendarahan.
10
D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat
terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal. GCS merupakan
sistem skoring yang sederhana namun dapat meramalkan kesudahan pasien terutama
perkiraan motorik terbaiknya.
E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka, penting
bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia. harus dipakaikan selimut
hangat, ruangan yang cukup hangat, dan diberikan cairan intravena yang hangat agar
pasien tidak hipotermia. pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma
muskuloskeletal seperti fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan
radiologi.
Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam
posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah
fraktur. hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas
dan dipertahankan dengan alat imobilisasi. pemakaian bidai yang benar akan
membantu menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan
jaringan lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah
fraktur.1,2
Pada dislokasi sendi umumnya perlu dilakukan pembidaian dalam posisi
sebagaimana ditemukan. pemasangan bidai harus dilakukan sedini mungkin, namun
tidak boleh mengganggu resusitasi yang merupakan prioritas utama. setelah
pemasangan bidai dan meluruskan fraktur maka harus dilakukan pemeriksaan status
neurovaskular. Fraktur tertentu dapat dipasangi bidai khusus. Long Spine Board
11
digunakan untuk pasien trauma multiple dengan dugaan trauma spinal yang tidak
stabil, namun karena dasar yang keras apalagi bila dipakai tanpa bantalan dapat
menyebabkan dekubitus pada oksiput, scapula, sacrum, dan tumit. karena itu sesegra
mungkin pasien dipindahkan secara hati-hati ke tempat yang lebih lembut, dengan
memakai scoop stretcher atau cara log-rolling.1,2
Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint.
Traction splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di
proksimal traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan
bokong, perineum dan pangkal paha. fraktur kolum femoris akan merasa lebih
nyaman jika menggunakan traksi kulit atau traksi sepatu busa dengan posisi lutut
sedikit fleksi. Cara paling sederhana dalam membidai tungkai yang trauma adalah
dengan tungkai sebelahnya. pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips
dapat membantu kenyamanan dan stabilitas. tungkai tidak boleh dilakukan
imobilisasi dalam ekstensi penuh, melainkan dengan flexi kurang lebih 10 derajat
untuk menghindarkan tekanan pada struktur neurovaskular. Fraktur tibia sebaiknya
dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter,long leg splint. jika
tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan
pergelangan kaki. fraktur ankle diimobilisasi dengan bidai bantal atau karton dengan
bantalan, dengan demikian menghindari tekanan pada daerah tulang yang menonjol.1,2
12
Pemeriksaan Radiologi
umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan bagian dari survey
sekunder. jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang akan dilakukan ditentukan oleh
hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan hemodinamik, serta mekanisme trauma. foto
pelvis AP perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien multitrauma tanpa kelainan
hemodinamik dan pada pasien dengan sumber pendarahan yang belum dapat
ditentukan.1,2
2. Survey Sekunder
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah
anamnesis danpemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari cedera
cedera lain yang
mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati.
Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat
AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate dan
Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk
ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh
pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary
survey, misalkan pasien yang mengalami kecelakaan mobil dan duduk di kursi
pengemudi kemungkinan mengalami cedera tulang belakang atau abdomen apabila
mengalami tabrakan dari depan dan menggunakan sabuk pengaman. Selain riwayat
13
AMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai penanganan sebelum
pasien sampai di rumah sakit.2
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi
adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi
neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara
pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita menilai
warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian inspeksi
dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal aktif, begitu
pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi
menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah
yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan ancaman sindroma
kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa
daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan Move kita
memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal. Pasien dengan rasa sakit, nyeri
tekan, dan gerakan abnormal maka diagnosis fraktur hampir sudah dapat dipastikan.
Tetapi usaha untuk menunjukkan krepitasi dan gerakan abnormal tidak dianjurkan
sehingga kita dapat menilai tanda tanda fraktur melalui rasa sakit, nyeri tekan,
pembengkakan dan deformitas. Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba
pulsasi bagian distal dari fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari
kemudian membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi
mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat
mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien dengan hemodinamik yang
normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya
gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Pemeriksaan ankle/brachial index
yaitu membandingkan tekanan sistolik di tungkai yang cidera dibagi tekanan sistolik
lengan yang tidak cidera dapat memperkirakan adanya cedera arteri. Batas dari ankle
brachial index yang normal adalah diatas 0.9 dan pemeriksaaannya menggunakan
doppler. Selain itu hematoma yang membesar atau pendarahan yang memancar dari
luka terbuka menunjukkan adanya trauma arterial.1,2
14
Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumper – sumber
yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara yang dapat
dilakukan adalah mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka fraktur
dengan kasa steril lembab atau juga bisa diberikan betadine pada kasa. Berikan
vaksinasi tetanus dan juga antibiotik sebagai profilaksis infeksi. Antibiotik yang dapat
diberikan adalah Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 – 2 g dibagi dosis 3 -4
kali sehari) dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo. Aminoglikosid (antibiotik
untuk gram negatif) seperti gentamicin (120 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan
untuk tipe II dan tipe III klasifikasi Gustilo.Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari)
dapat ditambahkan untuk mengatasi kuman anaerob. Pemberian antibiotik dapat
dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka ditutup. Debridement luka di kamar operasi
juga sebaiknya dilakukan sebelum 6 jam pasca trauma untuk menghindari adanya
sepsis pasca trauma.1,2
Reduksi, Reposisi dan imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat menunggu
hingga pasien siap untuk dioperasi kecuali ditemukan defisit neurovaskular dalam
pemeriksaan. Apabila terdapat indikasi untuk reposisi karena defisit neurovaskular,
maka sebaiknya reposisi dilakukan di UGD dengan menggunakan teknik analgesia
yang memadai.1
Ada beberapa pilihan teknik analgesia untuk managemen pasien fraktur
ekstrimitas bawah di UGD. Untuk pasien yang mengalami isolated tibia atau ankle
fractures, Inhaled Nitrous oxide dan Oxygen (Entonox) mungkin berguna untuk
manipulasi, splintage dan transfer pasien. Tindakan ini memiliki kontraindikasi pada
pasien yang kemungkinan mengalami pneumothorax atau cedera kepala. Entonox
juga tidak baik digunakan pada pasien yang mengalami syok sirkulasi karena
mengandung campuran 50/50 nitrous oxide dan oxigen.1
Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam patah tulang
digunakan srategi “Three Step Analgesic Ladder” dari WHO. Pada nyeri akut,
sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat seperti Opioid kuat.3 Opioid seperti
morfin Intravena dapat menyediakan analgesia yang sangat efektif. Pemberiannya
15
harus dititrasi dan juga diberikan anti mual berkaitan dengan efek sampingnya.
Pemberian intravena dipertimbangkan karena onsetnya yang cepat sehingga mampu
dengan cepat meredakan nyeri pasien. Morphine diasosiasikan dengan dengan rasa
mual, depresi nafas dan penurunan kesadaran pada dosis besar. Dosis pemberian
morfin adalah 0.05 – 0.1 mg/kg diberikan intravena setiap 10/15 menit secara titrasi
sampai mendapat efek analgesia. Terdapat evidence terbaru di mana pada tahun
terakhir ini Ketamine juga dapat dipergunakan sebagai agen analgesia pada dosis
rendah (0.5 – 1 mg/kg). Obat ini juga harus ditritasi untuk mencapai respon optimal
agar tidak menimbulkan efek anastesi. Efek menguntungkan dari ketamine adalah
ketamine tidak menimbulkan depresi pernafasan, hipotensi, dan menimbulkan efek
bronkodilator pada dosis rendah. Kerugian ketamine adalah dapat menimbulkan
delirium, tetapi dapat dicegah dengan memasukkan. benzodiazepine sebelumnya (0.5
– 2 mg midazolam intravena). Peripheral nerve blocks juga menjadi pilihan baik
dilakukan tunggal maupun kombinasi dengan analgesik intravena. Yang umumnya
digunakan adalah femoral nerve block.1
2.4. TEKNIK ANASTESI
2.4.1 Pelaksanaan Anestesi Umum
Setelah pasien memasuki ruang operasi, monitor harus dipasang untuk
mengevaluasi pasien selama operasi. Anestesi umum biasanya merupakan teknik
yang dipilih. Tujuan dari anestesi umum adalah pemeliharaan yang adekuat dari
ventilasi dan oksigenasi, stabilitas kardiovaskuler, kontrol hipertensi intrakranial,
normalisasi asam-basa atau elektrolit dan pencegahan untuk terjadinya hipotermia
dan koagulopati. Obat-obat yang digunakan dapat berupa obat induksi, pelumpuh
otot, sedatif atau analgetik.8
2.4.2 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesia
Setiap saat, ruang operasi harus selalu tersedia untuk prosedur emergensi.
ersiapan harus dilakukan secara sistematis mulai dari peralatan anestesi, peralatan
16
untuk jalan nafas, obat anestesi baik yang intravena, inhalasi, muscle relaxant, dan
obat resusitasi. Anamnesis untuk mendapatkan riwayat penyakitnya, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium serta kebugaran untuk anestesia.15
Penilaian kebugaran fisik berdasarkan The American Society of
Anesthesiologist (ASA)5-7:
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
2.4.3. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya: 5
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2. Mempelancar induksi anestesia.
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia.
7. Mengurangi isi cairan lambung.
8. Mengurangi refleks yang membahayakan.
2.4.4. Induksi Anestesi
Preoksigenasi penting sebelum dilakukannya anestesi induksi berurutan secara
cepat. Induksi anestesia ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
17
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi
dapat dilakukan dengan intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal. 5
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Salah satu contohnya adalah
ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/KgBB. Pasca anestesia dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedativa seperti midasolam. Ketamin tidak dianjurkan pada pasien
dengan tekanan darah tinggi (TD>160 mmHg). Ketamin dapat menyebabkan pasien
tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka. 5
2.4.5. Monitoring Perianestesia
Monitoring Perianestesia bertujuan untuk membantu anestetis mendapatkan
informasi fungsi organ vital selama perianastesia, suapaya dapat bekerja dengan
aman. Monitoring secara elektronik membantu anestetis mengadakan observasi
pasien lebih efisien secara terus menerus. Monitoring yang standar atau minimal
yaitu, stetoskop prekordial/esofageal, manset tekanan darah, EKG, oksimeter dan
termometer. Sebelum mengerjakan anestesia semua peralatan haraus diperiksa apakah
dalam keadaan yang cukup baik. 8
2.4.6. Monitoring Pascanestesia
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang
inilah pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak
berdekatan dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang
memerlukan pembedahan ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR,
dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi
oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Pasien yang sudah di recovery
harus terus mendapatkan suplai oksigen, harus terus di monitor airway, breathing dan
circulation-nya,dan diberikan analgesik yang dibutuhkan. 5
Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis, hipotensi,
kesakitan, efek samping obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh. Setelah
18
disingkirkan sebab-sebab tersebut diatas, pasien dapat diberikan penenang midazolam
(dormikum) 0,05-0,1 mg/kgBB. 5
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1. Anamnesa Pribadi
Nama : Kalep Kaban
Umur : 13 tahun
No MR : 51.96.79
Alamat : Jl. Jamin Ginting Kel. Lab CIH Medan Tuntungan
Tanggal masuk : 22 Juni 2012
Pukul : 23.04 WIB
19
3.2. Anamnesa Penyakit
Keluhan utama : Penurunan Kesadaran
Telaah : Hal ini dialami oleh pasien ± 1/2 jam sebelum masuk
rumah sakit. Pasien ditabrak oleh sepeda motor yang
sedang melaju dalam kecepatan tinggi saat hendak
menyeberang jalan. Pasien terjatuh dalam keadaan
tersungkur dan kepala pasien menghantam aspal. Pasien
pingsan dan tak sadarkan diri. Riwayat muntah proyektil
(+), kejang- kejang (-), sakit kepala (sdn).
RPT : Tidak jelas
RPO : Tidak ada
3.3 Time Sequence
22 Juni 2012 19.00 WIB Pasien datang ke IGD RS HAM
22 Juni 2012 21.00 WIB Konsul tindakan anestesi
22 Juni 2012 23.30 WIB ACC Tindakan anastesi
23 Juni 2012 00.05 WIB Tindakan operasi di COT
3.4 Pemeriksaan Fisik PRIMARY SURVEY (pukul 19.30 WIB)
A (Airway) : unclear, gurgling (-), snooring (-), crowing (-),
B (Breathing) : Spontan, RR 28 x/menit, SP: vesikuler ka=ki, ST : -/-,
pernafasan cuping hidung (-), hematopneumothorax (-), jejas
pada thorak (+), flail chest (-)
C (Circulation) : Akral : H/M/K, Nadi: HR : 85 x/I reg, t/v cukup, TD :
120/80 mmHg, temperatur 370C.
D (Disability) : Sens : alert, pupil isokor, ki=ka, Ø : 3 mm/3 mm, RC +/+,
racoon’s eye -/-, bloody rhinore -/-, bloody otorrhoe -/-, battle
sign -/-.
20
E (Exposure) : cegah hipotermi
3.5 Penanganan Di IGD
• Pertahankan jalan nafas
• Pemasangan collar brace
• Berikan oksigen: 8-10 l/ menit .
• Pemasangan iv line dengan abbocath no. 18 G
• Inj. Ceftriaxon 1 gram iv , skin test
• Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
• Inj. Ranitidin 50 mg/ 12 jam
• Inj. Tramadol 1 amp/ 8 jam
• Pasang kateter urine
3.6 Hasil Laboratorium
Darah Lengkap
Hb : 11,8g%
Ht : 35,2 %
Leukosit :18.490 mm3
Trombosit : 156.000 mm3
PT/APTT/TT/INR : 20,6(12,5) / 42,1(32,5) / 15,3(12,5) / 1,57
Na/K/Cl : 138 / 3,3 / 110 mEq/L
KGD ad random : 117,80 mg/dl
SGOT : 47 U/L
SGPT : 19 U/L
Ureum : 25,80 mg/dL
Kreatinin : 0,88 mg/dL
Urinalisa
21
Warna : Kuning
Glukosa : Negatif
Bilirubin : Negatif
Keton : Negatif
Berat Jenis : 1.020
PH : 6.0
Protein : Negatif
Urobilinogen : Negatif
Nitrit : Negatif
Darah : Negatif
Sedimen Urine
Eritrosit : 0-1
Leukosit : 0-1
Epitel : 0-1
Casts : Negatif
Kristal : Negatif
3.7 Hasil Foto
22
FOTO THORAKS CERVICAL LATERAL
SCHEDEL AP SCHEDEL LATERAL
23
PELVIC AP TIBIA
CT SCAN
24
3.8 Rencana Pre Operasi
Diagnosa pre-operasi : HI GCS 11 ec SDH + contusio bifrontal + Open
fraktur tibia fibula grade I B
Tindakan : Craniotomy Decompresi bifrontal emergency +
Debridement
PS ASA : 3E
Anestesi : GA -ETT
Posisi : Supine
3.9 Problem List Pre Operasi
Masalah Pemecahan
Pasien emergency, multiple trauma
Pasien GCS 10 dengan airway tidak
bebas, ancaman aspirasi
Perdarahan di kepala dan kaki
Pasien emergency lambung penuh,
bahaya aspirasi
- primary survey, secondary survey
- pastikan airway bebas dengan
oksigenasi dan ventilasi yang baik,
airway definitif à mencegah aspirasi
dan control ventilasi.
- hentikan perdarahan dimana kaki di
gips dan kepala ditutupi dengan
verban, resusitasi cairanà jangan
hipovolume
- intubasi
Peningkatan tekanan intracranialà
muntah
- posisi head up 30 derajat, no straining,
no bucking, no coughing à sedasi
cukup, relaksan cukup, control
25
3.10 Problem List Durante Operasi
• Posisi Head Up 30 derajat à cegah hiperfleksi, leher netral, drainase vena
dan CSF tetap baik
• Operasi di daerah kepala, fiksasi ett dan corrugate tube harus baik, tidak boleh
kinking, monitoring manometer, saturasi, dan alarm ventilator, precordial
stetoskop, monitoring dislodge
• Pertahankan CPP > 60 mmHg, MAP> 65
• Patikan normovolume à tidak hipovolumia, tidak overload (edema paru)
• CO2 normokarbia is the best,
• Perdarahanà siapkan darah, iv line ganda, cairan kolloid dan darah
pertahankan hematokrit 33%, pantau jumlah perdarahan dengan seksama
3.11 Problem List Post Operasi
Masalah Pemecahan
Bila buka duraà potensial sekuele
infeksi
Edema Cerebri
Nyeri
Dalam keadaan hipermetabolisme
TIK
- antibiotika menembus B3à
carbapenem
- control
- analgesia opiat dan nsaid
- kalori dan protein lebih tinggi
- Usaha2 menurunkan TIK à head
up position , manitol
26
3.12 Pemeriksaan Fisik di COT
Pemeriksaan Fisik di IGD Tanggal 13/02/2012 Pukul 22.40 Wib
B1 : Airway : clear, RR: 20 x/I , SP: Vesikuler, ST: -/-, snoring (-),
gurgling (-), crowing (-), PCH(-). Mallampati : 1, JMH : >6 cm, GL :
bebas , Riwayat asma (-), alergi (-), batuk (-), sesak (-), retraksi iga (-)
B2 : Akral :H/M/K, TD:130/80, HR : 88x/i, reg, T/V: kuat/cukup, T: 37˚C
B3 : Sens :CM,Pupil: isokor Ø 3 mm ka=ki, RC +/+, Riwayat kejang (-)
B4 : UOP : (+), kateter (+), volume 30cc/jam pekat
B5 : Abdomen soepel, Peristaltik (+), MMT pkl. 12.00 WIB
B6 : fraktur di tibia fibula kiri.
3.13 Teknik Anestesi
- Posisi Head Up 30 derajat
- Connect ET ke Mesin Anestesi dgn Setting VCV, TV 360 cc, rr : 14 x/I, I:E
1:2, FiO2 50 %, O2 : Air 2lpm : 2lpm, Sevoflurane 1 %
- Setting Relaksan dengan atracurium à 10 mg/15 menit
- Setting Analgetika dengan Fentanyl bolus 100 mcg kemudian maintenance
fentanyl 50 mcg à 50 mcg/jam, monitoring
3.14 Durante Operasi
Lama Operasi : 5 jam
TD : 140-190/80-120 mmHg
HR : 108- 130x/i
RR : 13 - 17 x/i
SpO2 : 99- 100%
UOP : 800cc
Cairan :
Pre Op : 1000cc RL
Durante Op : 1500cc RL
27
500cc HES 6 %
700 cc FWB
175cc PRC
200 cc FFP
200 cc Manitol
Perdarahan : +1000 cc
28
29
3.15 Post Operasi
Diagnosa post op : Post operasi craniectomy ec HI GCS E1 M1 Vt ec SDH
+ contusio bifrontal + Open fraktur tibia fibula grade I
B
3.16 Pemeriksaan Fisik Post Operasi
B1 : Airway : clear, terintubasi, RR: 12 x/I , SP: Vesikuler, ST: -/-, snoring
(-), gurgling (-), crowing (-)
B2 : Akral : H/M/K, TD:130/75 mmHg, HR : 100x/i,reguler T/V: kuat/cukup
B3 : Sens : DPO, Pupil: isokor Ø 2 mm ka=ki, RC menurun/menurun.
B4 : UOP : cateter (+), vol: 800/1,5jam, warna: kuning jernih
B5 : Abdomen soepel, peristaltik (+)<<, muntah (-), luka operasi tertutup
verban (simpan batok)
B6 : edema (-), fraktur dengan back slab
3.17 Rencana Post Operasi
Cek darah rutin, elektrolit, LFT, RFT, KGD, albumin, AGDA, HST
3.18 Monitoring Post Operasi
Balance Cairan
Hemodinamik
3.19 Terapi Post Operasi
Bed rest
O2 nasal canul 3 L/menit
Diet : SV 2000 Kcal/day, Protein 90 gr protein
IVFD R Sol 3 RL 1 12 gtt/i
Inf SP Fentanyl 200 mcg/50 cc (4 mcg/cc)à 6 cc/jam iv
Inf drip Farmadol 1 gr/8 jam iv
30
Inj. Meropenem 1 gr/8 jam iv ext 4 jam
Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam iv
Inj Fenitoin 100 mg/ 8 jam iv
Inf SP Propofol 1 % 6 cc/jam iv
Inf SP Vecuronium 0,1 % 5 cc/jam iv
Bed Rest, Head Up 30 derajat,
Mechanical Ventilator dengan Modus VCV, TV 360 cc, rr 12, I:E 1:2,
FiO2: 50 %
,
31
DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support for Doctors.
American College of Surgeon, 1997 : 195-227.
2. Trauma Kepala, Diakses dari:
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Kepalateks.html.
3. Hafid A, Kasan U, Darmadipura HMS, Wirjowijoyo B. Strategi Dasar
Penanganan Cidera Otak. Warta IKABI Cabang Surabaya. 1989 : 107-128.
4. Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for Neurosurgery.
In:Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia. 4th ed.
Lippincott.
5. American college of surgeons commite on trauma. 2004. Cedera Termal.
Jakarta: IKABI, Hal :255-263.
6. Dachlan, Ruslan., Persiapan Pra Anestesi. Jakarta: CV. Infomedika.
Fakultas Kedokteran Indonesia. 1989. 34-48.
7. Latief, SA.2001. Petunjuk Praktis Anestiologi. Jakarta : FK UI. Hal: 29-46.
8. Muhiman, Muhardi., dkk. Anestesi Umum. Jakarta: CV. Infomedika.
Fakultas Kedokteran Indonesia. 1989. 93-103.
9. Advanced Trauma Life Support. Chicago: American College of Surgeons.
Edisi ketujuh. 2004.
32
10. Lee C, Porter KM. Prehospital Management of Lower Limb Fracture.
Emerg Med J. 2005;22:660–663.
11. American College of Surgeons Comittee on Trauma. Advanced Trauma Life
Support for Doctors (ATLS) Student Course Manual. 8th ed. Chicago, IL :
American College of Surgeons ; 2008.
12. Mangku G, Senapathi T.G.A. eds Wiryana I.M.W, Sinardja K, Sujana
I.B.G, Budiarta I.G. Penatalaksanaan Nyeri. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta Barat : Indeks. 2010.
33