45
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Profil Kepulauan Togean
Kepulauan Togean terletak di tengah Teluk Tomini yang memanjang dari
barat ke timur pada koordinat 00.08’21’’- 00.45’12’’ LS and 1210.33’21’’-
1220.23’36 BT, dengan luas daratan kurang lebih 755,4 km2. Secara administratif
Gugus Pulau Togean berada dalam wilayah Kabupaten Tojo Una Una Propinsi
Sulawesi Tengah yang berbatasan dengan Perairan Teluk Tomini dan Propinsi
Gorontalo di Sebelah Utara. Sebelah Selatan dengan Perairan Teluk Tomini,
daratan utama Kabupaten Tojo Una Una dan Kabupaten Banggai. Sebelah Timur
dengan Kecamatan Walea Kepulauan. Sebelah Barat dengan Perairan Teluk
Tomini dan Kecamatan Una-Una (BPS 2010).
Kepulauan Togean terdiri dari kurang lebih 25 pulau besar dan kecil (CII
2006). Secara administratif Kepulauan Togean terdiri dari enam gugusan pulau
besar yaitu Pulau Batudaka, Pulau Talatakoh, Pulau Togean, Pulau Una-Una,
Pulau Wahi Bahi, Pulau Walea Kodi. Kepulauan Togean memiliki tiga kecamatan
yaitu yaitu Kecamatan Una Una, Kecamatan Togean dan yang terakhir adalah
Kecamatan Walea kepulauan. Kabupaten Tojo Una-Una merupakan kabupaten
pemekaran dari Kabupaten Poso pada tahun 2003.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sulawesi
Tengah No. 136/1028/Bappeda tahun 1996, kawasan hutan di Kepulauan Togean
dibagi menjadi Hutan Lindung, Area Penggunaan Lain, Hutan Produksi yang
dapat dikonversi, Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas. Dengan
penunjukkan Kepulauan Togean sebagai Taman Nasional SK Menteri Kehutanan
RI No 418 Tahun 2004, maka fungsi hutan yang ada hanya akan meliputi areal
penggunaan lain dan taman nasional.
Kawasan Kepulauan Togean tidak hanya memiliki arti penting bagi
Kabupaten Tojo Una-Una sendiri, namun bagi ekosistem Teluk Tomini. Kawasan
ini dapat berfungsi sebagai area perlindungan potensi flora dan fauna khas dan
endemik Togean, menjaga kelangsungan fungsi hidrologi serta optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya alam laut, sekaligus juga mendukung perkembangan
perekonomian daerah khususnya di bidang pariwisata dan perikanan. Bahkan
46
secara nasional Kepulauan Togean menjadi bagian dari Program Pengembangan
Perikanan Terpadu Teluk Tomini (Zamani et al. 2007).
Secara Geomorfologi berdasarkan penelitian biodiversitas yang dilakukan
oleh CII (2005), Kepulauan Togean terletak di punggung tinggi laut dengan
kedalaman kurang dari 200 m, kecuali di timur laut lepas pantai Walea Bahi
dengan tebing curam lebih dari 1000 m, yang merupakan bagian dari punggung
gunung api Togean yang sudah mati dengan puncak tertinggi gunung Benteng
(542 m) di Pulau Togean. Kecuali Una-Una, kepulauan ini merupakan bagian
dari rangkaian pulau karang yang membentang dari gugusan Pulau Peleng
menuju daratan Sulawesi terus ke barat laut sampai sekitar pulau Batudaka. Pulau-
pulau karang tersebut diduga terbentuk dari permukaan terumbu karang pada
masa Tersier pada daerah gunung api yang bersifat basal. Pulau Una-Una
merupakan satu-satunya pulau yang masih menunjukkan kegiatan vulkanik aktif
dan secara struktural menjadi bagian dari wilayah Pegunungan Api Utara
(Northern Volcanic Mountains) yang mencakup kawasan Sulawesi Utara.
Kepulauan Togean memiliki iklim laut tropis dengan sifat iklim musiman,
dimana musim kemarau terjadi antara bulan Juni sampai September, sedangkan
musim hujan terjadi antara Oktober sampai Mei. Kawasan Teluk Tomini memiliki
bulan basah selama 7-9 bulan dengan bulan kering berlangsung selama 3 bulan.
Curah hujan yang tinggi umumnya terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-
Nopember, sementara hujan rendah terjadi pada bulan September dan Desember-
Januari. Curah hujan berkisar 1.200 – 4.100 mm/tahun (Laapo 2010).
Kepulauan Togean terkenal dengan keindahan sumberdaya lautnya yang
memiliki potensi besar dalam usaha wisata laut, sebagian pulau di Kepulauan
Togean saat ini telah dimanfaatkan sebagai objek wisata baik yang dikelola oleh
swasta asing maupun masyarakat lokal.
4.2. Profil Pulau Kabalutan
Pulau Kabalutan secara administrasi juga sebagai desa masuk dalam
Kecamatan Walea Kepulauan, dengan luas Desa 15,13 km2 yang terletak di Pulau
Talatako. Pulau Kabalutan berbatasan dengan Teluk Tomini di sebelah Barat,
Sebelah Timur berbatasan dengan Tumbalawa, Sebelah Utara berbatasan dengan
Desa Patoyan/Tangkubi dan Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bomba.
47
Jumlah penduduk di Pulau Kabalutan adalah 2.913 Jiwa dengan proporsi
perempuan lebih banyak yaitu 1.733 jiwa dan Laki-laki 1.180 jiwa.
Secara fisik sebagian besar areal pulau didominasi oleh tanah berbatu
(limestone) sehinga sulit ditumbuhi tanaman. Sebagian besar penduduk (90
persen) dari total 2.913 jiwa bermata pencaharian sebagai nelayan (Tabel 4).
Hanya bagian kecil penduduk berusaha di bidang pertanian, biasanya mereka
berasal dari komunitas non Bajau, atau komunitas Bajau yang sudah melakukan
perkawinan dengan komunitas lain seperti suku Bugis, Buton atau Saluan, hanya
sebagian kecil asli Bajau yang bisa berkebun. Berdasarkan survei yang dilakukan,
68.42 % responden memiliki sumber pendapatan yang diupayakan dari laut dan
sekitar 31.58 % memiliki nafkah ganda yang berasal dari hasil kebun berupa
kelapa dan cengkeh.
Mereka memiliki kebun cengkeh dan beberapa yang mengupayakan kopra.
Komunitas Sama atau Bajau dahulu hanya mengenal mengail atau memanfaatkan
sumberdaya laut dan dahulu makanan pokok komunitas Bajau hanya sagu yang
juga dikenal dengan nama Sinole.
Tabel 5 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian
No Mata Pencaharian Jumlah (orang)
1 Nelayan 677
2 Petani 115
3 Pegawai 8
4 Pengrajin 3
5 Tukang Kayu 2
6 Tukang Batu 2
7 Pedagang 4
Jumlah 801Sumber: Fadli (2009)
Tingkat pendidikan masyarakat Kabalutan masih sangat rendah, jumlah
penduduk yang tidak sekolah mencapai 1.431 orang dan hanya 19 orang yang
berhasil menamatkan pendidikan sekolah menengah atas (tabel 5). Sebagian besar
penduduk yang melanjutkan sekolah biasanya berasal dari komunitas lain selain
Bajau, tercatat hanya satu putra Bajau yang lulus Sarjana dan menjadi berprofesi
sebagai guru SD di Kabalutan. Tetapi saat ini, pendidikan di Kabalutan sudah jauh
lebih baik karena sudah terbangun sekolah SLTP hingga SMU sejak tahun 2010.
48
Gambar 7. Persentase sumber pendapatan komunitas Kabalutan(sumber: Data Survei, 2012)
Tabel 6 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah Keterangan
1 Tidak Sekolah 1.431
2 Tamat SD 417 Tamat SD
3 Dasar 35 Tamat SLTP
4 Menengah Pertama 19 Tamat SMU
5 Menengah Atas Tinggi 11 D2, S1
Jumlah 2.913Sumber: Fadli (2009)
Selain komunitas Bajau, saat ini desa tersebut juga dihuni oleh etnis lain
seperti Gorontalo, Buton, Muna, Bugis, serta Saluan. Tidak sedikit pendatang dari
pulau terdekat yang tinggal menjadi warga Kabalutan untuk melakukan bisnis
ikan hidup. Tercatat terdapat 4 pengumpul/pembeli/tengkulak ikan hidup di Desa
Kabalutan, dan hanya satu yang asli orang Bajau. Hanya keluarga Bajau yang
sudah melakukan perkawinan dengan non Bajau yang mengupayakan kebun
cengkeh, contohnya komunitas Buton, Bugis dan Saluan yang memang memiliki
riwayat hidup berkebun. Komunitas Bugis lainnya di Kabalutan memiliki usaha
kios, mereka menduduki kelas ekonomi teratas di Kabalutan.
Komunitas Sama di Desa Kabalutan hidup dirumah panggung berdinding
kayu dan beralaskan atap rumbia daun sagu. Berikut kalender musim nelayan
Kabalutan, selain menangkap ikan nelayan Kabalutan juga mencari kima.
49
Gambar 8 Kalender musim nelayan Kabalutan (Wawancara, 2012)
4.3. Karakteristik Terumbu Karang di Kepulauan Togean
Kepulauan Togean merupakan bagian dari ‘Segitiga Terumbu Karang’
(Coral Triangle) yang merupakan areal dengan keragaman karang tertinggi di
dunia. Coral triangle ini meliputi wilayah Indonesia, Fhilipina, Malaysia, Papua
Nugini, hingga Microneasia. Dalam dokumen Marine RAP (2001) dinyatakan
bahwa Togean merupakan “The Heart of Coral Triangle.” Terumbu karang di
Kepulauan Togean kaya akan keanekaragaman hayati laut dengan tipe terumbu
karang (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), dan karang cincin (atoll)
yang letaknya berdekatan satu sama lain.
Berdasarkan Hasil Marine Rapid Assessment Program (MRAP) tahun 1998
di Kepulauan Togean, mengidentifikasi sedikitnya 262 spesies karang yang
tergolong kedalam 19 familia pada 25 titik terumbu karang yang tersebar di
Kepulauan Togean. Selain itu, terdapat jenis karang endemik Togean, yaitu
Acropora togeanensis pada 11 titik pengamatan terumbu karang. Enam jenis
karang baru juga ditemukan di Kepulauan Togean dan Banggai yaitu masing-
masing satu jenis dari genus Acropora, Porites, Leptoseris, Echinophyllia dan 2
jenis dari genus Galaxea. Berdasarkan hasil penelitian Wallace et al. dari total 91
jenis Acropora yang ditemukan di Indonesia (merupakan tertinggi di dunia), 78
diantaranya terdapat di Kepulauan Togean. Jenis ikan terumbu karang di
Kepulauan Togean tercatat 596 spesies ikan yang termasuk dalam 62 familia.
Jenis Paracheilinus togeanensis dan Escenius sp. diduga kuat merupakan endemik
yang hanya bisa ditemukan di Kepulauan Togean. Selain itu juga tercatat 555
spesies moluska dari 103 familia, 336 gastropoda, 211 bivalvia, 2 cephalopoda, 2
scaphopoda dan 4 spesies chiton. Jenis fauna dilindungi/endemik di Kepulauan
Togean.
50
Pada beberapa area di Kepulauan Togean yaitu Pulau Kadidiri, Coral
Garden, Pulau Taipi, Teluk Kilat, Katupat, Bangkagi dan Mogo Besar.
Menunjukan rata-rata persentase tutupan karang di seluruh lokasi pengamatan
(lokasi selam dan snorkeling) mencapai 56.38 %. Secara spesifik rata-rata
persentase tutupan karang di lokasi selam yakni 46.91 %, dengan tutupan karang
keras mencapai 36.93 % (Zamani et al. 2007 ).
Kelimpahan sumberdaya terumbu karang tersebut juga disertai oleh
degradasi terumbu karang yang meningkat setiap tahunnya, secara spasial luasan
terumbu karang yang diperoleh dari hasil klasifikasi peta citra tahun 2001
dibandingkan hasil klasifikasi peta citra tahun 2007 menunjukan bahwa terjadi
penurunan luasan karang dari 11.064,33 ha pada tahun 2001 turun menjadi
9.767,98 ha pada tahun 2007. Selama 6 tahun terjadi penurunan luas terumbu
karang sebesar 1.296,35 ha (11,72%). Berdasarkan data MRAP 1998 dan
berdasarkan Laporan Monitoring dan Evaluasi Biologi tahun 2004 di Teluk Kilat
(CII 2006), hasil penelitian Zamani et al. (2007) untuk stasiun Pulau Kadidiri,
Coral Garden, Pulau Taipi, Teluk Kilat, Katupat, Bangkagi dan Monggo Besar
menunjukan laju pertumbuhan terumbu karang dan laju degradasi terumbu karang
sebesar 0.05.
Sedangkan berdasarkan survei yang dilakukan oleh CII tahun 1998 dan
dibandingkan tahun 2004 pada beberapa lokasi, kerusakan terumbu karang di
beberapa lokasi tersebut menunjukan adanya penurunan kualitas terumbu karang
di Kepulauan Togean. Penurunan persentase tutupan karang hidup (hard coral)
selama 6 tahun terakhir mencapai 12.58 % atau sekitar 2.09 % tiap tahun,
sedangkan tutupan karang mati meningkat sekitar 8.38 % atau rata-rata 1.39 %
tiap tahun.
Di sisi lain berdasarkan analisis perbandingan hasil survei MRAP tahun
1998 dengan survei tahun 2007, penurunan luasan kondisi terumbu karang tidak
selalu menyebakan terjadinya penurunan persentase penutupan pada beberapa titik
pengamatan yaitu Pulau Kadidiri, Coral Garden, Pulau Taipi, Teluk Kilat,
Katupat, Bangkagi dan Monggo Besar. Penurunan luas persentase penutupan
karang hanya terjadi di bagian Teluk Kilat dan perairan di sebelah selatan Pulau
51
Togean, sementara di stasiun pengamatan lain menunjukan penambahan luas
persentase penutupan terumbu karang (Zamani et al. 2007).
Kerusakan terumbu karang tersebut bisa disebabkan oleh aktivitas manusia
seperti pemboman, pembiusan ikan dan penambangan batu karang untuk bahan
bangunan serta dampak dari aktivitas penangkapan atau wisata. Faktor alami yang
menyebabkan kerusakan terumbu karang adalah booming acanthaster plancii dan
bleaching atau pemutihan karang. Kemudian yang menjadi permasalahan bagi
pulau adalah pencemaran limbah akibat limbah domestik (Zamani et al. 2007).
Disisi lain, fokus kerusakan terumbu karang yang terjadi di Kepulauan
Togean tertuju pada aktivitas masyarakat Togean khususnya oleh komunitas
Bajau yang hidup dari laut. Perdagangan ikan hidup jenis Napoleon yang sempat
marak di Pulau Togean khususnya Desa Kabalutan mengakibatkan degradasi
terumbu karang meningkat tajam yang menyebabkan ikan tersebut menjadi
langka. Hal tersebut merupakan salah satu alasan inisiasi kebijakan Daerah
Perlindungan Laut di Desa Kabalutan. Penurunan luas penutupan karang salah
satunya disebabkan oleh adanya aktivitas nelayan yang memakai alat tangkap
yang merusak pada perairan selatan Pulau Togean, sedangkan pada area yang
dikelola oleh resort terjadi peningkatan persentase penutuapan terumbu karang
(Zamani et al. 2007). Hal ini menunjukan bahwa area yang dikelola oleh resort
yang dijadikan objek wisata snorkeling dan penyelaman lebih terjadi kelestarian
alamnya.
4.4. Kondisi Terumbu Karang di Pulau Kabalutan
Pulau Kabalutan memiliki rangkaian terumbu karang yang melimpah,
hampir seluruhnya di kelilingi terumbu karang. Jenis terumbu karang yang
dominan adalah jenis Acropora yaitu Branching, Tabulate, Encrusting,
Submassive, Digitate. Sedangkan non Acropora adalah Coral branching, Coral
Massive, Coral Encrusting, Submassive, Foliose, Mushroom, Millepora dan
Heliopora. Di Pulau Kabalutan juga ditemui karang endemik Togean yaitu
Acropora togeanensis (BTNKT 2011).
Hasil survei terumbu karang yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional
Kepulauan Togean pada tahun 2010 menunjukan rata-rata tutupan karang 22.27%
- 67.6%, sementara hasil monitoring pada Juli 2011 rata-rata tutupan karang
52
sebesar 19.5% - 66.4%. Pada beberapa titik pengambilan sampel di Kepulauan
Togean menunjukan kondisi stabil sedangkan di stasiun lain menunjukan
penurunan khususnya di wilayah Pulau Kabalutan, Pulau Taupan, Milok dan
Pautu.
Dalam mengambarkan kondisi terumbu karang di Pulau Kabalutan,
penelitian ini menggunakan data BTNKT di wilayah perairan bagian Selatan
Kabalutan. Topografi di bagian Selatan Kabalutan adalah reef slope yang landai
dengan kedalaman antara 2-8 m. Persentase tutupan terumbu karang hidup di
perairan bagian Selatan Kabalutan pada tahun 2010 sebesar 22.27%, sedangkan
persentase tutupan terumbu karang mati adalah sebesar 35.60%. Sementara
persentase tutupan karang hidup di bagian Selatan Kabalutan pada tahun 2011
sebesar 19.10 % dan persentase tutupan karang mati adalah 68.60 %. Berdasarkan
Kepmen LH No. 04 tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu
Karang, penutupan karang tersebut dapat dikategorikan dalam kondisi rusak
buruk. Pada tahun sebelumnya yaitu 2010 juga menunjukan kondisi yang sama
yaitu rusak. Tingginya persentase tutupan karang mati disebabkan oleh
penggunaan alat tangkap yang merusak oleh komunitas Bajau yaitu penggunaan
bom dan bius. Kondisi di perairan bagian Selatan Kabalutan yang memiliki slope
yang landai memungkinkan orang menggunakan bahan peledak untuk mencari
ikan dengan mudah dan efektif (BTNKT 2011).
Tutupan alga menunjukkan persentase yang tinggi pada tahun 2010 yaitu
30.69%. Tingginya tutupan alga disebabkan karena banyaknya patahan karang
yang mati akibat penggunaan bahan peledak yang marak digunakan beberapa
tahun lalu yang kemudian ditutupi alga. Dilokasi ini juga ditemukan tutupan alga
yang menutupi kerangka karang yang mati dengan bentuk utuh akibat penggunaan
potas beberapa tahun lalu. Pemutihan karang terlihat pada lokasi yang relatif
dangkal yang sering terkena pasang surut dan sinar matahari langsung. Sedangkan
pada tahun 2011, terlihat tutupan alga menjadi 0%, hal ini disebabkan karena pada
tahun tersebut, terjadi pengeboman dan penggunaan potas lagi secara besar-
besaran untuk menangkap ikan, hal tersebut mengakibatkan banyak karang yang
hancur baik karang hidup dan mati, terlihat dari tabel di atas terjadi peningkatan
persentase karang mati yang cukup signifikan sebesar 68%, diduga hancurnya
53
karang mati tersebut juga mengakibatkan hancurnya organisme alga yang hidup di
media karang mati.
Gambar 9 Persentase tutupan karang hidup, karang mati, alga, abiotik dan biotalainnya di perairan bagian Selatan Pulau Kabalutan tahun 2010 dan 2011 (Sumber:
BTNKT 2010, 2011)
Jika dibandingkan dari tahun 1998, 2008, 2010, dan 2011, kondisi ekosistem
terumbu karang hidup memperlihatkan penurunan yang sangat signifikan dari
tahun 1998-2011 yakni sebesar 56.4%, sedangkan karang matinya mengalami
peningkatan yang cukup signifikan yakini sebesar 125% (Gambar 6).
Tabel 7 Analisis persentase tutupan karang di perairan bagian Selatan Kabalutantahun 1998, 2008, 2010 dan 2011
Lokasi KategoriPersentase tutupan karang (%)
1998 2008 2010 2011
SelatanKabalutan
Karang hidup 44.70 30.70 22.27 19.50Karang mati 30.50 34.50 35.60 68.60
Abiotik 9.00 17.50 4.75 8.30
Lainnya 15.80 17.30 37.38 3.60Sumber : BTNKT 1998, 2008, 2010, 2011
54
Gambar 10 Rata-rata persentase tutupan karang di perairan bagian Selatan PulauKabalutan, 1998-2011 (Sumber: BTNKT 1998,2008,2010,2011)
Gambar 11 Karang rusak akibat pemboman di perairan bagian Selatan Kabalutan(Sumber: BTNKT, 2011)
Cukup jauhnya lokasi di perairan bagian Selatan Kabalutan (± 7,6 km dari
pemukiman) menyebabkan pengawasan lebih sulit dilakukan sehingga
penggunaan alat tangkap merusak masih terus berlangsung, intensitas
pemanfaatan perikanan di lokasi ini sudah lama berlangsung oleh nelayan baik
dari sekitar kampung Kabalutan maupun diluar seperti dari Bunta dan Pagimana.
Sementara itu di wilayah perairan bagian Barat Pulau Kabalutan yang dekat
pemukiman menujukan kondisi yang berbeda seperti yang ditunjukan pada tabel
7.
55
Tabel 8 Analisis persentase tutupan karang di perairan bagian Barat Kabalutantahun 2011
Lokasi KategoriPersentase tutupan karang (%)
tahun 2011
Barat Kabalutan
Karang hidup (Acropora) 13.90Karang hidup (Non-Acropora) 42.60Karang mati 12.30Alga 0.00Lainnya 2.40Abiotik 28.80
Sumber : BTNKT 2011
Persentase tutupan karang hidup baik jenis Acropora dan Non Acropora di
perairan bagian Barat Kabalutan adalah 56.50%. Berdasarkan Kepmen LH No. 04
tahun 2001, penutupan karang tersebut dapat dikategorikan dalam kondisi baik.
Jenis karang yang mendominasi kawasan ini adalah acropora branching, foliose
dan massive.
Gambar 12 Grafik Rata-rata persentase tutupan karang di perairan bagian SelatanKabalutan dan perairan bagian Barat Kabalutan tahun 2011
(Sumber: BTNKT, 2011)
Jika dibandingkan dengan daerah di perairan bagian Selatan Kabalutan,
kondisi karang di daerah site Barat Kabalutan lebih baik terlihat pada gambar 12
dimana kondisi karang hidup Acropora di site Barat Kabalutan sebesar 13.9%,
sedangkan di Selatan Kabalutan 0.40%. Kondisi karang hidup Non Acropora di
56
site Barat Kabalutan sebesar 42.60%, sedangkan di Selatan Kabalutan sebesar
19.10%. Dan kondisi karang matinya di site Barat Kabalutan lebih kecil yakni
sebesar 12.30 %, sedangkan di Selatan Kabalutan mencapai 68.60%. Masih
baiknya kawasan ini bila dibandingkan dengan Selatan Kabalutan yaitu :
1. Letaknya dekat dengan pos pengawas yang berada dilokasi dekat dengan
pemukiman sehingga masih dalam jangkauan pengawasan.
2. Pada areal ini pernah diinisiasi sebagai zona inti (no take zone) dari program
Daerah Perlindungan Laut (DPL) oleh Conservation International Indonesia.
4.5. Pola pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya laut di Pulau
Kabalutan
Pulau Kabalutan didominasi oleh komunitas Bajau yang mengupayakan
sumber penghidupannya dengan memanfaatkan laut. Komunitas ini erat kaitannya
dengan kondisi terumbu karang yang ada di Kabalutan saat ini. Pola pemanfaatan
komunitas Bajau sendiri telah mengalami perubahan yang cukup signifikan akibat
perubahan metode dan penggunaan alat tangkap. Untuk menelusuri perubahan
tersebut, maka penting mengetahui pola pemanfaatan berdasarkan periode transisi
waktu.
Pada sebelum tahun 1980an, nelayan Kabalutan menggunakan alat dan cara
tradisional dalam melakukan aktivitas penangkapan. Hutabarat (2001) mencatat
bahwa dalam memanfaatkan sumberdaya laut masyarakat Bajau memiliki
berbagai teknik tangkap, diantaranya “Missi” (memancing), Bapatape,
Ngarinta/Baninta, Ngetu/Baetul/Barenjo, Nonda/Batonda (Menggunakan pancing
tonda), Ngarua/Bapukat (memukat), Nyingkel/Bakanjai (Menombak), Nuong
(Menyelam), Mana/Bapanah (memanah), Ngal’kima (mengambil kima).
Penelitian yang dilakukan oleh Hutabarat menyebutkan bahwa pada
pelaksanaannya, teknik-teknik tersebut beberapa dapat menimbulkan kerusakan
terhadap karang dan beberapa tidak menimbulkan kerusakan sama sekali. Dengan
memadukan pengetahuan lokal yang digunakan untuk memprediksi alam serta
kemampuan berbagai tekhnik menangkap secara tradisional komunitas Bajau
dianggap mempraktekan kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati dengan cara
yang ramah. Keragaman aplikasi penangkapan yang dilakukan oleh komunitas
57
Bajau Kabalutan tersebut dapat digolongkan sebagai kegiatan konservasi yang
bersandar pada pengetahuan lokal.
Pada era 1970-an nelayan Kabalutan hanya melakukan penjualan ikan
dalam bentuk ikan garam dalam ukuran kecil dan sedang. Cara penangkapan
tradisional mulai berubah pada awal tahun 1994, saat perdagangan ikan hidup
dikenalkan khususnya untuk jenis ikan kerapu, pada periode ini nelayan
melakukan penangkapan secara masif untuk jenis ikan Napoleon (Cheilinus
undulatus) atau yang biasa dikenal oleh penduduk Togean dengan nama ikan
maming. Sebagian besar komunitas Kabalutan menangkap ikan jenis tersebut
dengan cara atau metode yang merusak yaitu menggunakan obat bius. Sementara
itu penggunaan bom diperuntukan bagi ikan pelagis seperti jenis ikan lolosi
(Caesio spp) yang biasa bergerombol dalam jumlah besar.
Penggunaan bius ini berdampak pada rusaknya terumbu karang, disisi lain
perburuan ikan Napoleon menyebabkan lipan laut (achanster planci) meningkat.
Saat itu, setidaknya ada tiga cara atau metode penangkapan yang dilakukan oleh
komunitas Bajau dan berdampak pada kerusakan yaitu, babom, babius dan
bapotas dengan penjelasan sebagai berikut.
a. Babom sendiri adalah istilah yang biasa dipakai oleh nelayan di Togean
untuk penangkapan ikan menggunakan bom atau bahan peledak. Bom ini
bisa dirakit dari mulai jenis yang paling sederhana hingga dengan
menggunakan detonator atau pemicu peledak. Bahan peledak utama bom
menggunakan pupuk tanaman (biasanya ber cap Matahari dan Obor),
kemudian bahan lainnya adalah korek api atau biasa dikenal dengan sebutan
“machis”, bola lampu senter dan botol kaca bekas minuman ringan. Tiap
kelompok nelayan bisa membawa 10 hingga 20 botol bom ini sekali melaut.
b. Babius merupakan cara menangkap ikan menggunakan bahan beracun
berupa KCN atau potasium sianida. Bahan kimiawi tersebut dilarutkan
dalam konsentrasi tertentu dan dimasukkan dalam botol plastik, saat nelayan
menyelam, larutan disemprotkan dilokasi ikan berdiam.
c. Bapotas merupakan teknik menangkap ikan dengan cara menebarkan
butiran-butiran potas pada lokasi dimana banyak ikan berkumpul. Nelayan
memilih cara tersebut untuk mempercepat dan lebih mudah mendapatkan
58
ikan, terutama untuk bius yang merupakan cara aman agar menjaga ikan
tetap hidup. Cara tersebut dilakukan untuk menangkap ikan ekonomis
seperti ikan Napoleon (Cheilinus).
Dampak praktek penangkapan dengan menggunakan bom menimbulkan
kerusakan fatal pada terumbu karang yaitu menyebabkan lubang bekas ledakan
dengan diameter hampir 1 hingga 3 meter, serta berakibat pada hancurnya karang
sehingga sulit mendapatkan ikan yang hidup disekitar karang. Dari hasil survei
yang dilakukan oleh CII (2004) banyak dari jenis karang bercabang atau
Acroporidae ditemukan hancur. Sedangkan dampak potas terhadap terumbu
karang adalah karang mati dengan kerangka karang yang masih utuh dan lama
kelamaan ditumbuhi alga sehingga bertampak kehijauan. Luas kematian karang
akibat potas sangat erat kaitannya dengan besaran dan konsentrasi penggunaan
bahan potas sendiri. Babius menyebabkan ikan lemas dan karang yang terkena
semprotan juga ikut mati, biasanya bekas semprotan terlihat seperti spot-spot.
Sementara itu survei CII juga menunjukan bahwa penggunaan potas dan bius
paling banyak ditemukan di Desa Kabalutan dibandingkan dengan Desa lainnya di
Kepulauan Togean (tabel 9).
Penelitian yang dilakukan oleh Celia Lowe pada kurun waktu 1994 dan
1997 menjelaskan, komunitas Sama atau Bajau merupakan orang yang paling
menerima konsekuensi dari kerusakan terbesar dari terumbu karang akibat
penangkapan ikan hidup yang juga dilakukan oleh komunitas sama ini, sedangkan
keuntungan keuntungan dari rantai perdangan ikan hidup tidak berada pada
komunitas. Hal ini bisa ditelusuri dari keuntungan yang didapatkan dari masing-
masing aktor dalam rantai komoditas perdagangan ikan hidup (tabel 9).
Tabel 9 Harga ikan hidup pada tahun pertengahan tahun 1997
No Nama ikan Nama ilmiahHarga dinelayan
($)
Hargapengumpul
($)
Harga direstauran Cina
(1995) ($)
1 Napoleon WrasseCheilinusundulatus 7.50 125 180
2 Polkadot grouperCromileptesaltivelis 9 90 <180
3 Coral trout (Plectropomus)Leopardus P.Maculatus 6 25
4 Flowery cod (Epinephelus) fuscogutattus 2.50 25Sumber: Johannes dan Riepen in Lowe (2001)
59
Tabel 10 Matriks analisis ancaman terhadap terumbu karang di Kepulauan Togean
No. Ancaman KadidiriUtara
MalengeBatudaka
AtolPasir
Tengah
BatuMandi,TelukKilat
Pasibatang(Kabalutan)
Indikator
1 Bahan Peledak ++ ++ ++ ++ ++ +++ Kerusakan karang atau patahan karang(rubble) dalam jumlah besar danmeliputi area relatif luas
2 Potasium sianida (potas/bius) ++ ++ ++ ++ ++ ++ Karang pucat (memutih) yang lambatlaut ditutupi oleh alga
3 Sedimentasi - - - - + - Ditunjukkan oleh polip karang yangbanyak ditutupi oleh lapisan jelly ataulendir
4 Penambangan karang - - - - + - Tercabutnya badan karang darisubstratnya.
5 Lipan laut (Acanthasterplancii)
+ ++ - + + + Adanya “jalur putih” yang merupakankarang mati akibat pemangsaan olehlipan laut
6 Perubahan lingkungan (suhu& salinitas)
- - - - + - Kematian secara perlahan yangdiakibatkan stress. Catatan : asumsimengacu pada kematian akibat ElNino ataupun turunnya salinitas akibatpemasukan air tawar.
7 Aktivitas manusia di terumbukarang (tertabrak perahu,jangkar, berjalan di ataskarang, fin penyelam)
+ + + + - ++ Patahan khususnya di daerah ujungkarang
Sumber: Conservation International Indonesia (2004)
60
Nelayan merupakan pihak yang paling mendapatkan keuntungan terkecil
dari rantai komoditas penjualan ikan hidup, dari tabel bisa dilihat margin atau
selisih yang diterima oleh pengumpul adalah sebesar $117,5 sedangkan nelayan
hanya mendapatkan sebesar $7,5 sedangkan rantai terakhir yaitu restauran
memiliki margin sebesar $62,5. Dalam rantai komoditas penjualan ikan hidup,
pihak pengumpul atau fish camp mendapatkan keuntungan yang sangat tinggi,
tidak heran jika para pengumpul bisa memodali kebutuhan para nelayan seperti
bensin, motor katinting dan kebutuhan lainnya sebagai suatu bentuk pengikat.
Disisi lain, menurut Lowe (2001), sianida diperkenalkan oleh para pengumpul,
mereka yang memasok sianida dan mengajarkan cara menggunakannya. Dengan
demikian bisa diambil kesimpulan bahwa secara tidak langsung pengumpul paling
berkontribusi terhadap kerusakan terumbu karang.
Sementara saat ini di Kabalutan, cara penangkapan ikan jenis kerapu untuk
perdagangan ikan hidup telah mengalami perubahan. Jika dahulu para nelayan
Kabalutan banyak yang menggunakan sianida, saat ini para nelayan menggunakan
umpan untuk menangkap ikan karang. Cara penangkapan tradisonal ini disebut
dengan missi. Umpan yang digunakan adalah ikan hidup kecil sebesar setengah
telapak tangan yang dikailkan dan kemudian ikan tersebut dijatuhkan ke dalam air
hingga menyentuh dasar. Kail tersebut diberikan pemberat/ladung sehingga ikan
yang dikailkan hanya bergerak disatu titik saja menunggu ikan Sunu
menangkapnya. Ikan Sunu bisa ditemukan pada kedalaman 60 depa atau setara
dengan 90 m.
Para nelayan komunitas Sama sendiri memiliki pengetahuan dan
pengalaman tersendiri dalam menangkap ikan sunu jenis merah ini. Untuk
menghindari kematian ikan pasca tertangkap, nelayan akan mengecek apakah ikan
kekurangan atau membutuhkan udara. Jika dirasakan ikan kelebihan udara maka
ikan akan disuntik dibagian bawah perut hingga udara bisa keluar, dan jika ikan
membutuhkan udara maka nelayan akan meniupkan udara melalui jarum dibagian
yang sama. Setelah itu, ikan disimpan di dalam bak penampungan yang terdapat
di perahu katinting. Namun tidak semua orang Bajau melakukan penangkapan
ikan jenis super atau ikan Sunu. Sebagian besar yang melakukan penangkapan
61
ikan hidup ini adalah komunitas Bajau asli dari golongan tua. Mereka
memodifikasi teknik-teknik yang berbeda sesuai dengan pengalaman.
Untuk satu jenis ikan Sunu atau super dengan berat 0,5 hingga 0,9 ons akan
dihargai Rp 250.000,-, tetapi jika berat ikan lebih dari 1 kg maka ikan Sunu akan
dihargai jauh lebih murah. Ukuran 0,5 hingga 0,9 ons merupakan ukuran yang
sudah ditentukan oleh penampung, ukuran ini berdasarkan ukuran ekonomis
restoran di Hongkong. Ikan super dari Desa Kabalutan dan hampir di wilayah lain
di Togean akan dikirim ke Hongkong. Saat sedang perayaan tahun baru Cina yang
jatuh antara bulan Desember-Februari, harga ikan Sunu dengan ukuran lebih dari
0,9 ons bisa dihargai lebih tinggi karena pada hari raya kebutuhan ikan dengan
ukuran besar meningkat. Selain ukuran dan berat, warna ikan pun mempengaruhi
harga penjualan, harga merah lebih mahal dibandingkan dengan jenis ikan Sunu
yang berwarna gelap.
Kebutuhan permintaan ikan Kerapu hidup di pasar China dan Hongkong
mencapai 120 ton per hari. Harga untuk Kerapu tikus di pasar ikan bisa mencapai
US$100 per kg dan ketika sudah dimasak di sebuah restoran bisa mencapai
US$180 per kg. Hasil survei CII tahun 2002 menghitung secara umum nilai
ekonomi perdagangan ikan hidup di seluruh Togean mencapai nilai sekitar US$
977.000 atau setara dengan Rp 7,8 miliar. Pada masa awal perkembangannya,
seorang pengusaha ikan hidup di kepulauan Togean dapat menampung sekitar 300
ekor ikan Napoleon per bulan. Bahkan, terkadang 1 ekor ikan mencapai berat
lebih dari 10 kg. Namun tahun 1998, mereka rata-rata hanya mampu menerima
sekitar 100 ekor dari nelayan.
Pengumpul hanya menghargai ikan super dengan ukuran 0,5 kg hingga 0,9
kg sebesar Rp250.000,- sedangkan ukuran yang besar (> dari standar) hanya
dihargai Rp125.000,-. Untuk ikan super yang masih kecil dibawah 0,5 kg akan
dihargai Rp75.000,-/ekor, biasa disebut ikan baby, dan pengumpul akan
memeliharanya hingga sesuai dengan ukuran ekonomis. Margin atau selisih harga
yang diterima oleh pengumpul untuk satu jenis ikan super pada ukuran 0,5-0,9 kg
adalah Rp150.000- dengan total harga sekitar Rp400.000,-. Pengumpul
mendapatkan keuntungan lebih saat menjual ikan dengan ukuran yang lebih besar,
karena untuk ikan super lebih dari 1 kg akan tetap dihargai sama oleh pedagang
62
besar. Jika dibandingkan dengan margin penjualan ikan Napoleon pada tahun
1990an, nelayan saat ini mendapatkan harga yang lebih tinggi yaitu sekitar 26 $
untuk ikan jenis sunu merah. Margin pengumpul sebesar 20 $ hingga 78 % dan
margin restauran sebesar 51 $. Pada rantai penjualan ikan sunu merah, keuntungan
terbesar tetap berada pada rantai pengumpul dan bukan nelayan.
Tidak semua nelayan Kabalutan mampu melakukan penangkapan ikan
kerapu hidup, berdasarkan wawancara dengan pengumpul di Kabalutan sendiri
hanya terdapat sekitar 40 nelayan yang menangkap ikan kerapu jenis hidup.
Selain menangkap ikan sunu yang dijual secara hidup, nelayan Kabalutan juga
menangkap ikan target lainnya yaitu ikan lolosi, barakuda, katamba, baronang dan
lainnya. Berdasarkan hasil survei, selain menangkap ikan jenis kerapu, saat ini
ikan yang lebih banyak didapatkan nelayan Kabalutan adalah ikan lolosi yaitu
sebesar 78.95 %. Berikut tabel jenis ikan dan persentase nelayan yang
menangkap. Kemudian dari keseluruhan jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan,
peresentase ikan yang dijual paling tinggi adalah ikan jenis kerapu sunu merah
yaitu 55.26 %. Ikan lolosi merupakan jenis ikan yang paling banyak menjadi ikan
konsumsi sekaligus ikan yang dijual karena lebih mudah untuk mendapatkan ikan
jenis ini dibandingkan dengan jenis Kerapu sunu.
Tabel 11 Jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan Kabalutan
Jenis IkanNama latin
Jumlahnelayan
PersentaseNelayan
(%)
Dikonsumsi sendiri
DijualDikonsum
si danDijual
Lolosi Caesio teres 30 78.95 2.63 31.58 39.47KerapuSunu
Leopardgrouper 29 76.32 0.00 55.26 18.42
Baracuda 3 7.89 0.00 0 5.26Kerapulainnya
Plectropomusmaculatus 24 63.16 0.00 34.21 15.79
Katamba Lethrinuserythracanthus 7 18.42 7.89 2.63 5.26
Bubara 8 21.05 7.89 2.63 7.89Baronang Siganus
canaliculatu 6 15.79 7.89 5.26 2.63Lainnya 6 15.79 7.89 10.53 5.26
Sumber : Data Survei 2012
Nelayan Kabalutan menangkap ikan di beberapa area sekitar Kabalutan,
mereka memiliki penamaan tersendiri pada masing-masing tempat. Area
penangkapan nelayan Kabalutan merupakan area hamparan panjang terumbu
63
karang yang bersambung. Bagian Barat Kabalutan mencakup area Sappa Toro
Poteh, Lana Korapu, Lana Toro Wa Massing, Lanna Toro Sidrawi. Selatan
Kabalutan mencakup Toro Pasibatah, Silalang Malalang, Sappa Ruma, Sappa
Buntar dan Sapaa Aloang dan Lanna Kulape. Sedangkan bagian utara adalah
Sappa Siring.
Hasil survei menunjukan bahwa setiap responden hanya menggunakan kail
dan pancing dalam menangkap ikan baik di area sekitar pemukiman maupun area
yang lebih jauh dari pemukiman. Hanya saja tidak sedikit dari komunitas
Kabalutan yang masih mengupayakan penggunaan bom dalam menangkap ikan.
Berdasarkan survei yang dilakukan hampir 26.32 % dari nelayan Kabalutan yang
menggunakan bom dan potas. Informasi ini juga dikuatkan dengan dari beberapa
hasil wawancara mendalam yang menyebutkan praktek pemboman masih
berlangsung di Kabalutan secara sembunyi dan sangat hati-hati. Walaupun dari
segi kuantitas dibandingkan periode 1990an, saat ini praktek pemboman di
Kabalutan telah berkurang. Berdasarkan survei lapang khususnya di Silalang
Malalang, terlihat patahan karang yang diakibatkan oleh pemboman, selain itu
seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya bahwa berdasarkan laporan
Balai Taman Nasional Kepulauan Togean menunjukan bahwa di Selatan
Kabalutan khususnya ditemukan penggunaan potas yang masih baru yang
menyebabkan kerusakan karang. Hal ini sejalan dengan survei mengenai jenis
ikan dan area penangkapan, dimana lokasi Silalang Malalang banyak ditemukan
ikan lolosi. Penggunaan bom biasanya dilakukan oleh nelayan Kabalutan untuk
menangkap ikan Lolosi.
Tabel 12 Lokasi dominan penangkapan ikan sesuai jenis
No Jenis Ikan Lokasi % Nelayan1 Lolosi Silalang malalang 43.332 Kerapu Sunu Lana korapu 58.623 Baracuda Toro Pasibatah, Sappa Aloang, Sappa Ruma 33.334 Kerapu lainnya Lana korapu 66.675 Katamba Sekitar pemukiman 1006 Mubara Wa massing 62.57 Baronang Sekitar pemukiman 1008 Lainnya Silalang malalang 33.33
Sumber : Data survei 2012
64
Gambar 13 Area Penangkapan Nelayan Kabalutan (Sumber: Data survei, 2012)
65
Gambar 14. Jenis alat tangkap nelayan Kabalutan (Sumber: Data Survei, 2012)
Gambar 15 Jenis ikan dan area penangkapan nelayan Kabalutan(Sumber: Data Survei, 2012)
Sementara itu untuk jenis ikan Kerapu banyak ditemukan di Lana Korapu
yang letaknya di Barat Kabalutan lebih dekat dengan pemukiman jika
dibandingkan dengan Selatan Kabalutan. Hampir 100 % nelayan menangkap ikan
katamba pada area sekitar pemukiman yang biasanya lebih banyak dikonsumsi
sendiri.
66
Pulau Kabalutan dihuni oleh mayoritas suku Bajau yang bergantung pada
laut, sedangkan komunitas non bajau memiliki sumber penghidupan yang berasal
dari pertanian, hanya sedikit komunitas asli Bajau yang memiliki kebun. Beberapa
diantaranya adalah keluarga Bajau yang sudah melakukan perkawinan dengan non
Bajau yang mengupayakan kebun cengkeh, biasanya pihak perempuan berasal
dari komunitas Bajau dan yang laki-laki berasal dari komunitas diluar Bajau,
contoh saja komunitas Buton, Bugis dan Saluan yang memang memiliki riwayat
hidup berkebun.
Gambar 16 Persentase sumber pendapatan masyarakat Kabalutan(Sumber: Data Survei, 2012)
Berdasarkan survei yang dilakukan, terdapat 6 kategori sumber pendapatan
dari komunitas di Kabalutan, yaitu yang hanya memiliki sumber pendapatan dari
laut sebagai nelayan, dan bagi yang memiliki sumber pendapatan lainnya seperti
kebun atau yang berasal dari jasa. Berdasarkan survei sumber pendapatan yang
dilakukan, nelayan yang hanya bergantung pada laut lebih banyak berada pada
kelas pendapatan < Rp. 100.000 yaitu sebesar 29 %. Komunitas nelayan yang
tidak memiliki diversifikasi mata pencaharian menjadi lebih rentan dibandingkan
dengan komunitas memiliki sumber pendapatan lainnya.
Dari seluruh paparan sebelumnya, dapat disarikan bahwa perubahan cara
penangkapan oleh komunitas Bajau Kabalutan dari penggunaan alat tangkap
tradisional menjadi penggunaan alat tangkap merusak (babius dan babom) terjadi
67
pada sekitar tahun 1990-an, saat perdagangan ikan hidup Napoleon yang bernilai
sangat ekonomis diperkenalkan. Hal ini yang secara signifikan merubah tatanan
kelola terhadap sumberdaya laut khususnya dampaknya terhadap terumbu karang.
Saat ini sebagian dari komunitas Kabalutan tetap menggunakan bom dan potas
untuk menangkap ikan, hal ini dikuatkan oleh hasil survei terumbu karang oleh
BTNKT 2011 yang menunjukan kerusakan terumbu karang akibat penggunaan
potas. Sementara sebagian kecil dari mereka tetap melakukan penjualan ikan
hidup dengan jenis ikan sunu. Berbeda dengan pola pemanfaatan pada kurun
waktu 1990an, saat ini penangkapan ikan jenis Kerapu Sunu tidak menggunakan
obat bius tetapi menggunakan cara tradisional yang ramah lingkungan yaitu missi.
Pada rantai penjualan komoditas ikan baik hidup jenis Napoleon atau Sunu,
keuntungan terbesar tetap berada pada level pengumpul. Jika dibandingkan
dengan komunitas lain yang ada di Kabalutan, komunitas Bajau merupakan
komunitas yang paling rentan secara ekonomi, hal ini karena hanya bergantung
pada laut sebagai satu-satunya sumber pendapatan, berbeda dengan komunitas
non Bajau yang memiliki diversifikasi mata pencaharian yaitu dari hasil
perkebunan (cengkeh, kelapa).
4.6. Upaya Rehabilitasi Karang dan Pemberdayaan Komunitas Kabalutan
Introduksi beragam program konservasi terumbu karang atau inisiasi
pengelolaan kawasan konservasi Kepulauan Togean telah banyak dilakukan, baik
yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun NGO lingkungan
nasional hingga trans-nasional. Beberapa adalah inisiasi Daerah Perlindungan
Laut (DPL) di Kabalutan dan Teluk Kilat pada tahun 2004, pembersihan lipan laut
disekitar wilayah Desa Katupat oleh LSM Toloka pada tahun 2002 hingga
program bantuan yang diberikan oleh Dinas Kelautan Kabupaten Tojo Una Una
pada tahun 2011.
Diantara beragam inisiasi tersebut yang cukup lama melakukan
pendampingan masyarakat khususnya di wilayah Kabalutan adalah pembentukan
daerah perlindungan laut (DPL) yang diinisiasi oleh NGO lingkungan
internasional yakni Conservation International (CI). Dalam prakteknya, gagasan
DPL dibentuk dan dirumuskan dalam bingkai besar community-based natural
resource management (CBNRM).
68
Pada masa inisiasi pembentukan DPL yang berada di dua lokasi yaitu Teluk
Kilat dan Kabalutan, Conservation International Indonesia (CII) bersama
masyarakat telah melakukan kegiatan sebagai berikut:
1. Penetapan lokasi perlindungan, termasuk zona inti melalui pertemuan desa
secara partisipatif dan intensif menuju suatu kesepakatan masyarakat. Di
Kabalutan telah terdapat zona inti yaitu di Sappa Batang Toroh Sidarawi
seluas 22 ha. Di teluk Kilat terdapat 2 zona inti yang masing-masing dikelola
masyarakat Lembanato dan Matobiyai, yaitu di Urung Dolom dan Manggafai
dengan total luas areal sekitar 36,92 ha.
2. Inisiasi Pembuatan Peraturan Desa (PERDES) yang mengatur pemanfaatan
dan perlindungan di Teluk Kilat dan Kabalutan.
3. Penyediaan sarana penunjang, seperti papan peringatan, pelampung dan sabua
(yang berfungsi sebagai pos penjagaan) di sekitar DPL.
4. Studi banding ke TN. Bunaken dan DPL berbasis masyarakat di Desa
Blongko dan Tumbak, Sulawesi Utara serta pelatihan monitoring terumbu
karang dan hutan bakau.
5. Peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam melakukan monitoring dan
evaluasi kondisi terumbu karang dan hutan mangrove.
6. Dialog kebijakan untuk memperoleh dukungan dari Pemerintah Daerah
Kabupaten Tojo Una Una.
7. Kerjasama dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulawesi
Tengah untuk pengembangan ekonomi skala kecil (small grant).
Inisasi DPL Kabalutan pada kurun waktu tahun 2005 hingga 2006 oleh CII,
berhasil membangun kesepakatan bersama komunitas mengenai zonasi
pemanfaatan yang termasuk didalamnya mengatur zona inti yang terletak di Sappa
Toro Sidrawi yaitu perairan bagian Barat Pulau Kabalutan seluas 22 ha.
Kesepakatan ini berhasil menekan laju kerusakan terumbu karang dan berhasil
meningkatkan kualitas tutupan karang hidup dan menekan laju penggunaan alat
tangkap merusak khususnya di area dekat pemukiman yang dijadikan sebagai
zona inti (Toro Sidrawi). Kondisi ini didukung juga oleh pengawasan dan
penertiban yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap penggunaan alat
tangkap yang merusak.
69
Disisi lain, penerapan zona inti berdampak pada perubahan area tangkapan
nelayan menjauh dari pemukiman yang berdekatan dengan lokasi zona inti DPL.
Sementara itu, pada lokasi lain yaitu di perairan Selatan Kabalutan yaitu Sappa
Toro Pasibatang, Silalang Malalang, Sappa Ruma dan Sappa Buntar menunjukan
trend kerusakan terumbu karang yang terus meningkat dalam kurun waktu 13
tahun terakhir (1998 – 2011). Hal ini menjadi catatan tersendiri, bahwa inisisasi
DPL belum berhasil menekan laju degradasi secara menyeluruh. Dengan kata lain,
penutupan akses pada area zona inti berdampak pada peningkatan kerusakan
terumbu karang di tempat lain yang dalam hal ini adalah wilayah perairan di
bagian Selatan Kabalutan.
Namun ketika penelitian ini berlangsung di Desa Kabalutan, zona inti yaitu
di Sappa Batang Toroh Sidarawi seluas 22 ha tidak lagi menjadi zona inti (no-take
zone), karena hampir semua nelayan di Desa Kabalutan tidak memiliki pantangan
untuk mengambil ikan di lokasi manapun baik di dalam maupun di luar wilayah
DPL termasuk tetap menangkap di wilayah zona inti. Peraturan desa yang
mengatur mengenai DPL dan pembagian zona pun hingga ini belum terlaksana.
Sewaktu inisiasi DPL memang ada penanda wilayah yaitu papan peringatan,
pelampung dan sabua (yang berfungsi sebagai pos penjagaan) di sekitar DPL.
Hanya saja karena sudah cukup lama, semua fasilitas tersebut tidak ada
dikarenakan proses pelapukan kayu.
Selain itu, program pemberdayaan juga diberikan oleh Dinas Perikanan dan
Kelautan yang ditujukan agar masyarakat sama bisa melestarikan dan menjaga
laut. Program yang turun tersebut berupa bantuan bibit dan perlengkapan
budidaya rumput laut yang diberikan kepada kelompok nelayan. Selain bantuan
berupa bibit dan perlengkapanan budidaya, juga dibangun gudang rumput laut
yang diperuntukan untuk menampung hasil budidaya rumput laut. Beberapa
waktu berjalannya bantuan ini, masyarakat mengeluh akan gagalnya program ini.
Pertama, disebabkan oleh penyakit yang terkena pada rumput laut, kedua,
program ini dianggap tidak realistis karena jumlah bantuan bibit dirasakan sangat
kurang, bantuan perlengkapan tidak sebanding dengan bibit yang diberikan.
Jumlah panen beberapa kelompok rumput laut di Kabalutan tidak sebanyak yang
70
diharapkan, sehingga gudang yang ada tidak pernah penuh dengan hasil panen
rumput laut.
Program bantuan lainnya adalah bantuan kapal fiber 22 unit yang ditujukan
kepada komunitas nelayan Kabalutan, yang berasal dari Badan Penanggulangan
Bencana Pemerintah Pusat yang penyalurannya diberikan melalui Dinas
Perikanan. Selain kapal fiber, kelompok nelayan Kabalutan juga mendapatkan
bantuan keramba 44 unit dan bagan apung fiber sebanyak 10 unit yang
diperuntukan untuk budidaya. Selain itu, bantuan lain adalah satu banguan pos
penjaga yang berfungsi sebagai lokasi pemantauan aktivitas penggunaan alat
tangkap merusak. Di Kabalutan sendiri ada 4 petugas pengawas yang diberi honor
Rp300.000,-/bulan oleh Dinas Perikanan. Program penjaga ini hanya ada
dibeberapa pulau yang ditinggali oleh mayoritas nelayan bajau. Jika dibandingkan
dengan desa lainnya, Desa Kabalutan mendapatkan porsi pengawas paling
banyak, hal ini disebabkan oleh padatanya populasi penduduk di Kabalutan.
Berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa aparatur desa dan nelayan,
banyak bantuan yang diberikan dirasakan belum tepat sasaran bahkan boleh
dikatakan tidak tepat. Kapal fiber yang diberikan pada kelompok sebanyak 22 unit
tidak bermanfaat bagi nelayan dikarenakan kapal tersebut terlalu boros bensin,
hampir tiga kali lipatnya jika dibandingkan dengan biaya operasional nelayan
yang menggunakan katinting. Semua nelayan lebih memilih menggunakan
katinting dibandingkan dengan perahu fiber bantuan, dan keramba fiber juga tidak
dimanfaatkan oleh nelayan Kabalutan, karena tidak semuanya mampu menjadi
penampung ikan hidup.
Pemerintah daerah Tojo Una-Una saat ini melarang penangkapan ikan untuk
jenis Napoleon, hal ini merupakan salah satu respon terhadap degradasi terumbu
karang akibat penggunaan alat tangkap yang merusak. Selain itu, pelarangan
penangkapan ikan Napoleon berawal dari “daftar merah” ikan yang terancam
punah yang diikeluarkan oleh IUCN, Ikan Napoleon diketegorikan sebagai ikan
yang memiliki produktivitas rendah dan beresiko tinggi terhadap kepunahan.
Spesies ini dimasukkan dalam daftar karena melihat kemerosotan jumlah di
berbagai wilayah di dunia. Secara umum, peraturan mengenai perikanan di
Indonesia diatur di dalam UU No. 9 tahun 1985. Keputusan Menteri Pertanian No.
71
375/Kpts/IK.250/5/1995 mengenai pelanggaran penangkapan Ikan Napoleon
menyebutkan bahwa “(Pasal 1) ikan Napoleon dilarang untuk ditangkap, (Pasal 2)
kecuali jika ada ijin dari menteri pertanian melalui Direktorat Jendral Perikanan
untuk kepentingan penelitian dan pengembangan budidaya, serta jika ditangkap
oleh nelayan tradisional dengan menggunakan alat dan cara yang tidak merusak
sumberdaya ikan dan lingkungannya”. Keputusan Menteri Perdagangan No.
94/Kp/V/1995 mengenai Pelarangan Ekspor Ikan Napoleon menyatakan
dilarangnya ekspor ikan Napoleon dalam keadaan hidup atau mati, maupun
bagian - bagian dari ikan tersebut (Dhafir 2011).
Pelarangan ikan Napoleon di Kabupaten Tojo Una Una mampu menekan
laju kerusakan ikan akibat penggunaan obat bius sianida. Walaupun pada
kenyataannya, saat penelitian ini berlangsung, di Kabalutan sendiri masih ada
pengumpul yang menyimpang ikan Napoleon dalam jumlah yang banyak di
kerambanya, dengan alasan sebagai koleksi di keramba. Fenomena ini
menunjukan bahwa pada tataran lokal, penjualan ikan Napoleon masih
berlangsung. Penulis mengalami kesulitan dalam menggali informasi mengenai
penangkapan ikan Napoleon dan khususnya informasi mengenai praktek
pengemboman. Faktor penerapan sanksi hukum dari aparatur merupakan alasan
utamanya.
Kesimpulan yang bisa ditarik dari paparan diatas adalah baik upaya
rehabilitasi dan program pemberdayaan yang dilakukan baik dari pemerintah
maupun organisasi pemerintah mampu mengurangi tingkat penggunaan alat
tangkap yang merusak pada areal yang lokasinya dekat dengan pemukiman tetapi
belum mampu menghentikan praktek penggunaan alat tangkap yang merusak
pada areal yang jauh dari pemukiman. Hal ini disebabkan oleh : pertama, areal
dekat pemukiman pernah dijadikan zona inti DPL dimana CII menjadi salah satu
penggeraknya pada kurun waktu 2005 hingga 2006 dan kedua : adalah areal
dekat pemukiman masih terjangkau dari tim pengawas yang tinggal di
pemukiman. Sementara itu, pada lokasi terumbu karang yang lainnya yaitu
Selatan Kabalutan menunjukan peningkatan laju kerusakan terumbu karang
karena masih adanya penggunaan alat tangkap yang merusak.
72
4.7. Analisis Kebijakan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Kepulauan
Togean
4.7.1.Sejarah Kebijakan
Kabupaten Tojo Una-Una merupakan kabupaten hasil pemekaran dari
wilayah Kabupaten Poso, tepatnya pada tahun 2003. Di bawah wilayah
administrasi kabupaten Poso, Kepulauan Togean telah diajukan sebagai taman
wisata laut berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Tengah melalui Dinas Kehutanan.
Wilayah Togean sejak sejak dahulu hingga sekarang memang banyak dikunjungi
oleh wisatawan domestik dan mancanegara, walaupun aktivitas wisata tersebut
sempat terhenti karena kerusuhan panjang yang terjadi di wilayah Poso. Oleh
karena potensi Togean yang kaya akan keindahan terumbu karang, maka orientasi
pengelolaan berfokus pada pengembangan wisata laut baik yang dikelola oleh
warga lokal maupun warga asing.
Berdasarkan dokumentasi Conservation International Indonesia (CII), pada
tahun 2004, Menteri Kehutanan RI berdasarkan SK No. 418/Menhut/04 menunjuk
kawasan Togean menjadi Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) seluas
362.605 ha yang meliputi ± 10.659 (sepuluh ribu enam ratus lima puluh
sembilan) hektar hutan lindung, hutan produksi terbatas seluas ± 193 (seratus
sembilan puluh tiga) hektar, hutan produksi tetap seluas ± 11.759 (sebelas ribu
tujuh ratus lima puluh sembilan) hektar, hutan produksi yang dapat dikonversi
seluas ± 3.221 (tiga ribu dua ratus dua puluh satu) hektar dan perairan laut seluas
± 336.773 (tiga ratus tiga puluh enam ribu tujuh ratus tujuh puluh tiga) hektar.
Pada tahun 1989 Gubernur Sulawesi Tengah mengirim surat rekomendasi
kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan agar 10.000 ha kawasan laut
kepulauan Togean untuk ditetapkan sebagai taman wisata laut. Antara tahun 1989
hingga 1993, Kementrian Lingkungan Hidup maupun Bapenas telah mengusulkan
sebagian wilayah Kepulauan Togean sebagai kawasan konservasi dengan status
bervariasi, seperti Suaka Margasatwa, Cagar Alam Laut, atau Cagar Alam
Multiguna.
Setelah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata mencanangkan Kepulauan
Togean sebagai kawasan Ekowisata Bahari Unggulan Nasional, Gubernur
Sulawesi Tengah kembali menyurati Menteri Kehutanan agar wilayah Kepulauan
73
Togean seluas 411,373 ha dijadikan taman wisata laut. Surat Gubernur ini pun
didukung oleh Bupati Tojo Una Una. Enam bulan kemudian, Kementrian
Kehutanan mengirim Tim Terpadu untuk melakukan kajian dan verfikasi
lapangan ke Kepulauan Togean. Rekomendasi tim terpadu adalah; 1) luasan
seluas 411.373 hektar secara teknis maupun administrasi pengelolaan kawasan
akan lebih efektif bila ditingkatkan statusnya sebagai taman nasional, 2)
memperhatikan potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, maka pengelolaan
kawasan kepulauan Togean akan lebih optimal bila diwadahi oleh status taman
nasional, 3) taman nasional memungkinkan adanya pembentukan zonasi-zonasi
yang lebih jelas dan sesuai dengan kebutuhan pengelolaan sehingga mampu
mengakomodasi berbagai kebutuhan masyarakat, baik tentang perlunya status
hukum maupun pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam kawasan kepulauan
Togean yang berkelanjutan, 4) taman nasional secara kelembagaan memiliki
landasan hukum yang jelas dan memiliki manajemen pengelolaan tersendiri
sehingga lebih efektif mencegah pemanfaatan yang tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip konservasi, 5) status taman nasional akan lebih mampu melindungi
ekosistem Kepulauan Togean dari kekhawatiran dari dampak negatif terhadap
lingkungan secara luas akibat rencana pengembangan kawasan teluk Tomini
sebagai pusat pengembangan ekonomi berbasis sektor kelautan.
Dengan mempertimbangkan masukan dari tim terpadu tersebut, Gubernur
Sulawesi Tengah kembali mengirimkan surat yang mengubah usulan status
Kepulauan Togean dari Taman Wisata Alam Menjadi Taman Nasional. Usulan
Gubernur pun disetujui Menteri Kehutanan yang akhirnya mengeluarkan Surat
Keputusan No.418/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang penunjukan
wilayah perairan dan hutan di Kepulauan Togean seluas 362.605 hektar sebagai
Taman Nasional.
Conservation International Indonesia (CII) adalah salah satu lembaga yang
diminta untuk memfasilitasi proses pembentukan Taman Nasional ini. Kepala
Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah telah mengirim surat khusus No
522/30.01/PGTH tanggal 19 Mei 2004 kepada CII palu untuk meminta dukungan
data dan informasi biodiversitas dan sosial ekonomi yang dibutuhkan sebagai
dasar pembentukan Taman Nasional ini. Dalam prosesnya selanjutnya, BKSDA
74
juga terlibat dalam peroses pengusulan ini. CII juga telah melakukan konsultasi
dengan beberapa NGO di Palu.
Pada level pemerintah daerah Kabupaten Tojo Una-Una saat ini menolak
keberadaan taman nasional di wilayahnya. Secara resmi Bupati Tojo Una-Una
mengirimkan surat meminta BKSDA untuk menghentikan aktivitas yang
dilakukan antara lain sosialisasi program dan kegiatan lain. Pemerintah daerah
lebih memilih menjadikan Kepulauan Togean sebagai taman wisata laut dan
bukan taman nasional, walaupun sempat Bupati pada bulan Mei tahun 2006
memberikan surat rekomendasi terhadap pengukuhan taman nasional. Selain itu,
pada tataran dasar hukum atau landasan kebijakan wilayah Tojo Una-Una,
pemerintah daerah saat ini masih berpegang dengan dasar hukum Peraturan
Pemerintahan RI Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional dalam lampiran VII Nomor urut 324 Peraturan Pemerintah RI yang
berisikan mengenai, Kepulauan Togean dan Pulau Batudaka ditetapkan sebagai
Taman Wisata Laut.
Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Una-Una melalui Pemerintah Propinsi
Sulawesi Tengah mengusulkan kepada pemerintah pusat bahwa dalam
penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi pengaturan, pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota dan
kawasan strategis dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan
kewenangan yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007
tentang penataan ruang. Dengan dasar ini Pemerintah Daerah mengusulkan
pencabutan status Taman Nasional dan disesuaikan dengan peraturan tersebut
yang menyebutkan bahwa status kepulauan Togean merupakan Taman Wisata
Laut. Dengan dasar hukum ini, Pemda Tojo Una-Una sudah membuat peta
perubahan tata batas dan fungsi hutan yang baru, karena pasca pemekaran
Kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Una-Una belum memiliki peta batas yang baru.
Peta usulan tata ruang kawasan hutan dan Tabel data perubahannya tercantum
pada Tabel 13.
Pada peta tersebut menunjukan bahwa perubahan terbesar yang diajukan
oleh Dinas Kehutanan adalah untuk jenis Non Kawasan Hutan sebesar 61.83 %
yaitu dari luasan awal sebesar 179.833,52 ha menjadi 291.023 ha. Pengajuan
75
perubahan yang diajukan oleh Dinas Kehutanan terkait dengan fungsi kawasan
kehutanan dikarenakan Tojo Una-Una belum memiliki RTRW sendiri pasca
mekar dari kabupaten Tojo Una-Una. Perubahan fungsi kawasan ini menggunakan
dasar Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang RTRWN. Sejauh ini areal didominasi
dengan kebun rakyat serta pemukiman sejak tahun 1918. Tumpang tindih
peraturan menyebabkan sulitnya menyelesaikan proses perubahan ini.
Tabel 13 Pengajuan perubahan kawasan hutan Kabupaten Tojo Una-Una
No FungsiKondisi awal
(ha)Usulan (ha) Selisih (ha)
1. Kawasan Hutan Lindunga. Kawasan suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian alam11.571, 25 10.683 888,25
b. Hutan Lindung 165.097, 60 130.406 34.691,60
Total 176.668, 85 141.089 35.579,852. Kawasan Budidaya
Kawasan Hutana. Hutan Produksi Terbatas 137.295,87 104.717 32.578,87b. Hutan Produksi Tetap 60.427, 14 35.786 24.641,14c. Hutan Produksi Yang Dapat
dikonversi18.389, 62 - 18.389,62
Total 216.112, 63 140.503 75.609.63Non Kawasan Hutana. Areal Penggunaan Lahan Lain 179.833, 52 291.023 -111.189,48
Total Seluruhnya 572.615 572,615 -
Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Tojo Una-Una
Riwayat kebijakan yang dihasilkan oleh para pemangku kebijakan terkait
dengan pengelolaan Kepulauan Togean yang disusun secara kronologi dapat
dilihat pada Gambar 17. Untuk pemetaan aktor dan pendekatan pengelolaan
sumberdaya di Kepulauan Togean bisa dilihat dalam Tabel 13.
4.7.2.Analisis Kebijakan Sumberdaya di Kepulauan Togean
Dalam kepengurusan sumberdaya di Kepulauan Togean, pemerintah pusat
dalam hal ini Kementrian Kehutanan masih memiliki kewenangan yang kuat
terhadap pengelolaan sumberdaya di Togean melalui Taman Nasional melalui SK
Menhut No 418 Tahun 2004. Sementara itu, pemerintah daerah Tojo Una-Una
masih memegang kuat dasar hukum Undang – Undang No 26 tahun 2006 yang
mengatur bahwa penyelengaraan penataan ruang yang meliputi pengaturan,
76
Gambar 17 Sejarah kebijakan pengelolaan sumberdaya Kepulauan Togean
77
Tabel 14 Matriks status kawasan Kepulauan Togean
No Variabel
Status Kawasan
Taman Wisata Laut Cagar Alam Laut Cagar Alam Multi Guna
KawasanEkowisata Bahari
UnggulanNasional
Taman Nasional
1Dasarhukum/ketetapan
Surat usulan Gubernur kepada MenteriKehutanan 556/38/Dishut/GSTMengusulkan Taman Wisata AlamLaut (ekowisata) Kepulauan Togeanseluas 411.373 Ha;
Laporan MenteriKependudukan danLingkungan UsulanCagar Alam laut :100.000 ha
Bappenas dalamBiodervesity Action Plan
PerencanaanKawasanEkowisata
Undang-undang Nomor 5Tahun 1990
SK. Gubernur 503/3931/Dinhut/89 :Kepulauan Togean dinyatakan sebagaiTaman Wisata Laut; seluas 100.000 ha
Peraturan PemerintahNomor 68 Tahun 1998
SK. Menhut 188.44/0840/Dephut/89Menetapkan Kawasan Taman WisataLaut seluas 100.000 ha;
Surat Keputusan No.418/Menhut/04
Perpres No 88 tahun 2011 RencanaTata Ruang Pulau Sulawesi yangmenyatakan bahwa Kepulauan Togeandan Batudaka Sebagai Taman Wisata
2LembagaPenginisiasi
Propinsi Sulawesi tengahMenteri Kependudukandan Lingkungan
BappenasMenteriKebudayaan danPariwisata
KementrianKehutanan/Pengelola BalaiTaman Nasional. danConservation International(CI)
3 Pendekatan Co ManagementGoverment BasedManagement
Co Management Co ManagementGoverment BasedManagement
4Sumberdaya ygdiatur
Sumber Hayati Laut : Terumbu KarangEndemik,
Tumbuhan, satwa danekosistem laut
Tumbuhan, satwa danekosistem
Sumberdaya Hayatilaut : TerumbuKarang
Sumberdaya Laut danHutan baik tumbuhanmaupun satwa
5 Pola akses warga Terbatas secara tidak ketat Terbatas Terbatas Terbuka Terbatas secara ketatSumber: Hasil Analisis (2012)
78
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
Kabupaten/Kota dan kawasan strategis dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota. Kawasan strategis yang dimaksudkan adalah Taman Wisata
Laut yang telah di tetapkan melalui Perpres No 88 Tahun 2011.
Kedua belah pihak, baik Kementrian Kehutanan dan Pemerintah Daerah
Tojo Una Una merasa memiliki hak terhadap pengelolaan sumberdaya Kepulauan
Togean, hal ini yang memicu konflik diantara mereka dan menyebabkan tumpang
tindih kebijakan yang berimplikasi pada terjadinya dualisme pengelolaan antara
pusat dan daerah. Kebijakan taman nasional menempati posisi level paling tinggi
dalam hierarki kawasan konservasi yang berimplikasi pada terbatasnya kawasan
hutan yang dapat diakses untuk kegiatan non konservasi. Hal ini yang menjadi
salah satu alasan penolakan Kabupaten Tojo Una Una, berdasarkan peta
pengajuan perubahan kawasan dan peta rencana tata ruang kabupaten menunjukan
bahwa pemerintah daerah fokus pada pengajuan perubahan wilayah hutan menjadi
non kawasan hutan yaitu areal penggunaan lain. Dalam peta rencata tata ruang
yang disiapkan, APL akan digunakan salah satunya untuk lokasi tambang mineral
serta pemanfaatan lainnya yang bisa menghasilkan pendapatan untuk daerah. Oleh
karenanya pemerintah daerah menolak insiasi taman nasional yang akan
mengurangi luasan kawasan non hutan atau APL yang bisa berimplikasi pada
pengurangan pendapatan daerah.
Pengelolaan taman nasional berada dalam kewenangan Kementrian
Kehutanan. Hal ini merujuk pada kebijakan Undang-Undang No 5 tahun 1990
tentang Konsevasi Sumberdaya Alam Hayati. Melalui undang-undang ini
pemerintah pusat berwenang menetapkan kawasan konservasi yang meliputi
taman nasional, taman hutan serta taman wisata alam. Selanjutnya pemerintah
mengeluarkan peraturan pemerintah No 68 tahun 1998 tentang kawasan suaka
margasatwa dan konservasi. Peraturan Pemerintah tersebut juga mengatur
mengenai kriteria penetapan kawasan taman nasional, seperti kecukupan ukuran
untuk proses ekologis, keunikan sumberdaya alamnya, keaslian ekosistem, potensi
wisata bahari, dan kemungkinan zonasi (Satria 2009). Sebagai pelaksana teknis di
lapang, Kementrian Kehutanan membetuk Balai Konservasi Sumberdaya Alam
(BKSDA). Disisi lain, konteks munculnya wacana taman nasional di Kepulauan
79
Togean pertama kali diinisiasi oleh tim terpadu yang didominasi oleh lembaga
NGO Conservation International Indonesia (CII) yang memiliki latar belakang
konservasi. Hasil rekomendasi tim terpadu ini lah yang menjadi titik balik
perubahan kebijakan pengelolaan Kepulauan Togean dari taman wisata menjadi
taman nasional.
Sementara itu, berdasarkan Undang Undang No.32 tahun 2004 tentang
pemerintah daerah dalam mengatur dan mengelola sumber daya di wilayah laut
(Pasal 18), dijelaskan bahwa Pemerintah Propinsi berwenang hingga wilayah 12
mil dan sepertiganya adalah kewenangan pemerintah kota/kabupaten.
Kewenangan tersebut mencakup 1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan kekayaan laut, 2) pengaturan administrasi, 3) pengaturan tata ruang
dan 4) penegakan hukum. Dalam Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007
mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Daerah Propinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota dijelaskan bahwa kelautan dan perikanan,
pertanian, kehutanan, energi sumber daya mineral dan pariwisata merupakan
urusan pilihan yang dilakukan oleh pemerintah daerah propinsi dan
kabupaten/kota. Tetapi dengan adanya Undang Undang No 32 tahun 2004 serta
PP No 38 Tahun 2007, kebijakan mengenai konservasi masih belum bisa dikelola
oleh pemerintah daerah. Tumpang tindih peraturan tersebut yang berkontribusi
terhadap belum sinkronnya peraturan yang berdampak pada pengelolaan di level
daerah.
Pada masa sentralisasi atau masa orde baru, peraturan dan perundang-
undangan pengelolaan sumberdaya alam berlandaskan pada keutamaan
kewenangan terpusat pada penyelanggara negara, sebagai pengatur atas
kepentingan nasional. Pembangunan ekonomi Indonesia pada masa ini masih bias
darat, sedangkan pembangunan ekonomi yang berbasiskan pengembangan
kepulauan dan laut belum terkelola. Disisi lain, pengelolaan sumberdaya laut pada
masa ini masih menggunakan pendekatan antroposentrisme yaitu pendekatan yang
berpusat pada manusia sehingga pengelolaan sumberdaya berfokus pada
eksploitasi besar-besaran seperti penambangan pasir, reklamasi pantai,
pengoperasian pukat harimau, kapal ikan asing atau penetapan sebagai wilayah
konservasi oleh pusat.
80
Disisi lain tumpang tindih kebijakan dan pengelolaan sumberdaya juga
muncul pada saat Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) berdiri tahun 1999,
DKP menganggap urusan taman laut dibawah kewenangannya, karena taman laut
merupakan bagian dari domain ekosistem laut. Antara Departemen Kehutanan dan
Departemen Kelautan Perikanan memiki persepsi yang berbeda terhadap konsep
preservasi dan konservasi. Departemen Kehutanan mengembangkan konservasi
sebagai perlindungan ekosistem yang memisahkan apakah satu kawasan dan
spesies dilindungi atau tidak. Jadi ikan diklasifikasikan untuk diproteksi atau
tidak, sedangkan musim atau ukuran, dan wilayah tangkapan tidak
dipertimbangkan dalam pengelolaan. Departemen Kelautan dan Perikanan
menganggap pola konservasi laut oleh Departemen Kehutanan terlalu simplitis
bila diperlakukan seperti ekosistem hutan di daratan, mengingat pengelolaan
wilayah teresterial mesti berbeda dengan laut (Subekti 2008).
Hingga pada tahun 2004, DPR mengeluarkan revisi Undang-Undang
Perikanan Nomor 31 tahun 2004 yang memberikan otoritas untuk mengelola
kawasan konservasi laut, yaitu taman nasional. Hanya saja pada realisasinya,
peralihan wewenang dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan
dan Perikanan belum bisa terwujud disebabkan oleh masalah teknis dan serta
terkait sejarah panjang wewenang Departemen Kehutanan yang sudah sangat
mengakar pada kawasan konservasi. Tercatat hanya 4 taman nasional laut yang
wewenangnya sudah diberikan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan yaitu
Taman Wisata Laut Gili Anyar, Gili Meno dan Gili Trawanan di NTB, Taman
Wisata Laut Pulau Padaido di Papua, Taman Wisata Laut Kapopong di Sulawesi
Tenggara dan yang terakhir adalah Taman Wisata Alam laut Pulau Weh di
Sumatera Barat. Taman Wisata Laut Togean dan Pulau Batudaka sendiri
didukung oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang termasuk dalam
salah satu KKLD yang diinisiasi dalam kurun waktu 2002 -2004 (Daftar KKLD
bisa dilihat pada Tabel 15).
81
Tabel 15 Daftar kawasan konservasi laut daerah kurun waktu 2002-2004
No Nama Kawasan Luas Kabupaten Keunikan
1 Taman laut Selat Pantar 21.850 Alor, Propinsi NusaTenggara
Terumbu Karang,Penangkapan Ikan Paus
2 Taman Wisata Laut PulauPenyu
733 Pantai Selatan, SumateraBarat
Penyu dan Terumbukarang
3 Pulau Kakaban 2.489 Berau, Kalimantan Timur Terumbu karang dandanau
4 Taman Wisata Laut Biawak 720 Indramayu, Jawa Barat Terumbu karang
5 Taman Wisata KepulauanTiworo
27.396 Muna, Sulawesi Tenggara Terumbu karang
6 Taman Wisata GiliLawang, Gili Sulat, danPetagan
5.807 Lombok timur.Nusatenggara Barat
Terumbu karang
7 Taman Wisata Laut danKonservasi Bengkayang
15.300 Bengkayang, KalimantanBarat
Terumbu karang
8 Taman wisata laut PulauTogean dan PulauBatudaka
113.171 Poso, Central Sulawesi Terumbu karang
9 Taman Wisata Laut 1.294 Bitung, Sulawesi Utara Terumbu karang
10 Taman Wisata TelukRatatotok
330 Minahasa, Sulawesi Utara Terumbu karang
11 Taman NasionalKepualauan Banggai
275.839 Banggai, Sulawesi Tengah Terumbu karang, Ikanbanggai
12 Wilayah Laut daerahCijulang
1.449 Ciamis, Jawa Barat Terumbu karang danMangrove
13 Area Konservasi danTaman Wisata Pulau GiliBanta
43.750 Bima, Nusatenggaran Barat Tarumbu karang
14 Taman Wisata laut PulauSembilan dan Pulau LautBarat Selatan
22.099 Kotabaru, KalimantanSelatan
Tarumbu karang,Mangrove, Ikan Hias
15 Taman Wisata laut danDaerah perlindungan LautBuleleng
18.970 Buleleng, Bali Tarumbu karang,Mangrove, Ikan Hias
16 Taman Laut SuakaMargasatwa Pasoso
313 Donggala, Sulawesi tengah Terumbu karang
17 Lingga na Lingga, Kepulauan Riau
Sumber : Satria 2009
Pada periode sentralisasi, kebijakan pengelolaan sumberdaya laut di
Kepulauan Togean diatur oleh pemerintah pusat dengan pendekatan pengelolaan
berbasis wisata laut, yang kemudian berubah menjadi pendekatan konservasi
melalui Taman Nasional dimana kontribusi wacana lembaga internasional CII
sangat besar. Sementara itu, perubahan rejim pengelolaan dari sentralistik menjadi
desentralistik telah memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah Tojo Una-
Una untuk mengatur sumberdayanya, termasuk dalam mendorong kebijakan
82
pengelolaan yang berbasis wisata laut serta pengelolaan hutan dengan status areal
penggunaan lain (APL). Kepentingan pemerintah daerah ini erat hubungannya
dengan kepentingan ekonomi dimana pendapatan asli daerah banyak
dikontribusikan melalui sektor kehutanan dan wisata. Sedangkan Pemerintah
Pusat melalui Kementrian Kehutanan masih menganggap bahwa wilayah
konservasi khususnya taman nasional menjadi kewenangan pusat. Walaupun
secara yuridis hukum, posisi Peraturan Presiden mengenai Tata Ruang Taman
Pulau Togean sebagai Taman Wisata Laut lebih tinggi dibandingkan dengan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan mengenai penetapan Kepulauan Togean sebagai
Taman Nasional. Dengan demikian, di Kepulauan Togean telah terjadi dualisme
pengelolaan antara pusat dan daerah. Tumpang tindih dan dualisme pengelolaan
ini masih menghambat proses kerja teknis (zonasi wilayah konservasi baik pada
Taman Nasional maupun Taman Wisata Laut) pada level lapangan, sehingga
keduanya sama-sama belum dapat menyelesaikan fenomena degradasi terumbu
karang akibat pemanfaatan yang merusak.
4.7.3.Dinamika Ekologi dan Sosial di Pulau Kabalutan
Berdasarkan sejarah pemanfaatan sumberdaya laut oleh masyarakat
Kabalutan serta analisis kebijakan pengelolaan sumberdaya di Kepulauan Togean,
dapat dipetakan tipologi akses terhadap sumberdaya serta moda (corak) produksi
komunitas (Gambar 18) yang memperlihatkan dinamika ekologi dan sosialnya.
Tipologi dibagi menjadi empat quadran (Q) atau pola yaitu: akses terbuka pada
komunitas subsisten (Q I), akses terbuka pada komunitas pasar (Q II), akses
tertutup pada komunitas pasar (Q III), dan akses tertutup pada komunitas
subsisten (Q IV). Setiap pola memiliki konsekuensi terhadap kondisi ekologi
maupun sosial-ekonomi (Tabel 16).
Pada awalnya suku Bajau Kabalutan hanya memanfaatkan sumberdaya laut
untuk kebutuhan subsisten yaitu pada kurun waktu sekitar tahun 1960 an (Q1),
dimana mereka melakukan proses penggaraman terhadap hasil tangkapannya.
Mengikuti penjelasan teori Chayanov (1967) mengenai perilaku ekonomi peisan,
bahwa motivasi komunitas peisan subsisten berbeda dengan motivasi sistem
kapitalis/pasar dimana tujuan utama produksi bukan untuk kepentingan akumulasi
keuntungan melainkan memenuhi kebutuhan subsisten (Kerblay 1971).
83
Akses Terhadap SDLTerbuka
1990an -2004
<1960
I II
SubsistenPasar /
Ekonomi
IV III
2004-Sekarang
Akses Terhadap SDLTertutup/Terbatas
Gambar 18 Tipologi akses dan corak produksi komunitas
Komunitas Bajau sendiri sejak dahulu memiliki sejarah penangkapan
tradisional dengan segala bentuk adaptasinya terhadap lingkungan laut. Secara
subsisten, nelayan suku Bajau sejak dahulu menggunakan kail untuk menangkap
berbagai jenis ikan karang, khususnya ikan kerapu. Hutabarat (2001) mencatat
bahwa dalam memanfaatkan sumberdaya laut masyarakat Bajau memiliki
berbagai teknik tangkap, diantaranya “Missi” (memancing), Bapatape,
Ngarinta/Baninta, Ngetu/Baetul/Barenjo, Nonda/Batonda (Menggunakan pancing
tonda), Ngarua/Bapukat (memukat), Nyingkel/Bakanjai (Menombak), Nuong
(Menyelam), Mana/Bapanah (memanah), Ngal’kima (mengambil kima).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dikatakan bahwa penggunaan teknik
penangkapan tradisional oleh masyarakat Bajau ada yang berpengaruh terhadap
kondisi terumbu karang tetapi ada juga yang tidak. Teknik Missi, Bapatape,
Ngarinta, Ngetu, dan Nonda memiliki kesamaan, yaitu menggunakan tali nilon
dan mata pancing sebagai bahan utama, sehingga tidak berdampak negatif
terhadap terumbu karang. Masyarakat Bajau memadukan pengetahuan mengenai
kecerahan air, hembusan angin, cahaya bulan, kedalaman, serta kuat lemahnya
cahaya lampu petromaks dalam menangkap ikan. Sementara itu, untuk beberapa
teknik tradisional seperti nyingkel, Nuong, Bapanah dan Ngal’kima menyebabkan
kerusakan terumbu karang.
84
Pada tipe masyarakat subsisten dengan akses terbuka (Q I), tujuan produksi
pada komunitas subsisten bukan dalam rangka mengakumulasi keuntungan
(ekonomi), seperti yang terjadi pada komunitas Bajau di Kabalutan di era 1960-
an. Pada era itu, akses terhadap sumberdaya masih terbuka dan komunitas Bajau
masih menggunakan pengetahuan dan teknologi yang telah turun-temurun (local
knowledge). Meskipun sebagian dari cara dan teknologi yang digunakan pada saat
itu memungkinkan dapat merusak terumbu karang, namun laju dan tingkat
kerusakan masih tergolong sangat kecil, yang memungkinkan ekosistem terumbu
karang melakukan regenerasi.
Kemudian pola tersebut berubah seiring dengan waktu dengan
meningkatnya permintaan pasar ekport ikan hidup tahun 1990-an hingga tahun
2000an. Modernisasi, komodifikasi dan komersialisasi komoditas perikanan
mendorong perubahan pola pemanfaatan serta pola pengelolaan komunitas
terhadap sumberdaya. Komersialisasi dan komodifikasi sendiri adalah muculnya
pasar baru untuk produk perikanan yang bernilai tinggi, yang dapat
mempengaruhi dan menekan sistem pengelolaan berbasis lokal atau tradisional,
dengan membawa nilai baru yang merubah cara pandang persepsi lokal mengenai
nilai (Ruddle 1996). Perubahan struktural dalam perekonomian lokal yang
menyebabkan nelayan akan terus melanggar aturan atau kebiasaan tradisional.
Selain itu, komunitas Bajau sendiri tidak memiliki pimpinan adat atau lembaga
adat yang kuat yang berfungsi untuk mengelola dan mengontrol sumberdaya laut
untuk menekan laju pengikisan nilai-nilai lokal yang sebenarnya telah dijalani
sejak dahulu oleh komunitas Bajau.
Hal ini turut tercermin pada komunitas nelayan di Kabalutan pada era 1990-
an seiring meningkatnya permintaan pasar eksport ikan hidup yaitu ikan Napoleon
(Q II). Berbeda dengan corak produksi subsisten, faktor tingginya permintaan
(harga) pasar ekspor ikan hidup (market driven), tujuan produksi dimaksudkan
untuk memaksimalkan keuntungan (profit maximization). Selain mendorong
migrasi warga luar Kabalutan masuk ke dalam wilayah Kabalutan, tingginya
harga penawaran ikan hidup di pasar global memacu nelayan meningkatkan
jumlah tangkapannya, salah satunya dengan menggunakan bom dan obat bius.
Dalam era perdagangan ikan hidup, laju kerusakan terumbu karang di wilayah
85
Kabalutan meningkat. Meski pendapatan nelayan Bajau meningkat, namun dalam
seluruh rantai nilai perdagangan ikan hidup justru pedagang dan pengumpul
(komunitas non Bajau) yang memperoleh surplus terbesar.
Pada tahun 2005, melalui insiatif pemerintah pusat bersama NGO
konservasi (CII) mendorong hadirnya tata kelola kawasan konservasi yang
bersifat tertutup dan terbatas. Penutupan atau pembatasan akses terhadap sebuah
kawasan untuk kepentingan konservasi seperti taman nasional atau daerah
perlindungan lainnya sangat berdampak pada tingkat kesejahteraan komunitas
subsisten (Q IV). Dalam kondisi ini, selain mengancam sumber nafkah, juga
rawan terhadap kriminalisasi komunitas subsisten dan tradisional seperti yang
banyak terjadi di Indonesia saat ini.
Sementara saat ini pada pada karakteristik komunitas pasar dengan akses
terbatas (Q III) yaitu pada saat hadirnya insiatif insiasi Taman Nasional
Kepulauan Togean (TNKT) oleh pemerintah pusat bersama NGO lingkungan
trans-nasional melalui DPL, tetap tidak memperbaiki kualitas terumbu karang
karena dengan dorongan pasar tetap tinggi. Meskipun inisiasi zona inti DPL
(dekat wilayah pemukiman nelayan Bajau) oleh CII berhasil menekan laju
kerusakan terumbu karang, namun penggunaan alat tangkap yang merusak masih
terjadi meski secara diam-diam dan kerusakan di tempat lain (Selatan Kabalutan)
justru menunjukkan tren meningkat.
Saat ini nelayan Kabalutan mengalami penurunan kualitas terumbu karang
yaitu dengan ditandai oleh penurunan tangkapan yang berimplikasi pada
penurunan pendapatan. Sebagian kecil dari mereka masih tetap melakukan
pemboman dan menggunakan potas sebagai cara cepat mendapatkan tangkapan
disaat mereka sulit mendapatkan ikan dengan menggunakan alat tangkap
tradisional, hal ini dikarenakan karena pasar tetap mendorong mereka untuk
menyediakan stok ikan. Pengumpul masih tetap membeli ikan hasil pemboman
atau ikan Napoleon yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Di sisi lain,
komunitas bajau sangat rawan ekonomi dan paling termarjinalkan karena tidak
memiliki alternatif mata pencaharian seperti halnya suku non bajau yang
mengusahakan kebun.
86
Sementara itu, sebagai respon dalam mengatasi masalah penggunaan alat
tangkap merusak dan membangun alternatif mata pencaharian, pemerintah daerah
memiliki beberapa upaya dan program yang diberikan kepada nelayan Kabalutan,
yaitu program bantuan kapal, pembentukan tim pengawasan serta program
budidaya rumput laut. Hanya saja, dirasakan program tersebut belum bisa secara
optimal mengurangi penggunaan alat tangkap merusak. Hal ini disebabkan oleh,
pertama : bantuan kapal yang diberikan terlalu boros bensin sehingga tidak
terpakai oleh nelayan, kedua untuk bantuan budidaya laut, bibit yang diberikan
tidak sebanding dengan alat yang diberikan.
Pembentukan tim pengawasan belum mampu mengurangi laju penggunaan
bom dan potas, karena pada dasarnya tim pengawas masih bekerja mengawasi
perairan di sekitar pemukiman yaitu dekat pos penjagaan. Selain itu, adanya
keengganan melaporkan tindak pelanggaran yang dilakukan oleh tetangga dan
kerabatnya sendiri menjadi satu hambatan psikologis. Dengan kata lain kesadaran
komunitas akan pentingnya terumbu karang masih rendah.
Disisi lain tumpang tindih kebijakan pengelolaan yang muncul pada masa
desentralisasi antara pemerintah pusat dan daerah menyebabkan kondisi terumbu
karang tetap mengalami kerusakan, karena pemerintah pusat melalui BTNKT
belum bisa membuat zonasi wilayah konservasi akibat penolakan yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah Tojo Una Una dan mayoritas masyarakat Kepulauan
Togean. Sementara itu, Pemerintah Daerah Tojo Una Una mengalami hambatan
dalam merealisasikan kebijakan Taman Wisata Laut karena terbitnya SK No. 418
Tahun 2004 mengenai penunjukan Taman Nasional Kepulauan Togean, selain itu
Perpres No 88 tahun 2011 mengenai rencana tata ruang Sulawesi yang
menyebutkan bahwa Kepulauan Togean sebagai Taman Wisata Laut terlambat
diterbitkan. Sehingga kedua belah pihak masih bersitegang dalam melegalisasi
kebijakan pengelolaan yang seharusnya berlaku. Secara hirerarki, Peraturan
Presiden memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan SK Menteri
Kehutanan, seharusnya SK tersebut dengan sendirinya tidak berlaku. Hanya saja,
Kementrian Kehutanan masih belum memberikan pernyataan atas tumpang tindih
kebijakan ini dan terus melakukan aktivitas di Kepulauan Togean. Berdasarkan
hasil identifikasi masalah pengelolaan dan pemanfaatan di Pulau Kabalutan
87
tersebut, dapat dibuat skema yang menempatkan identifikasi masalah sesuai
dengan posisinya, yaitu seperti terlihat pada gambar 19.
Akar Masalah
Driven market : PasarIkan hidup & Pasar Ikan
hasil Pemboman
Dualisme PengurusanKepulauan Togean
antara Pusat & Daerah :
Dorongan Harga dankemudahan tekhnologi
Tumpang tindihnyakebijakan
Masalah Antara
Penggunaan metode danalat tangkap yang
merusak
Penurunan hasiltangkapan dan
pendapatan, Tidak adadiversifikasi pencaharian
Sumber daya manusiayang rendah
Penegakan Hukum yangMasih belum Optimalmelibatkan komunitas
Fenomena Lapang
Kerusakan TR yangmasih berlangsung
Komunitas bajau dalamstrata terendah
Penjualan Ikan Napoleondan Ikan hasil Bom
Program Pengawasanyang dibentuk belum
efektif
Migrasi Masuk
Program Bantuan yangmasih
“satu arah”
Tidak berlakunyapengelolaan tradisional
Gambar 19 Identifikasi masalah pengelolaan dan pemanfaatan di PulauKabalutan (Sumber: Hasil Analisis 2012)
Jika menggunakan periodesasi rejim pengelolaan yaitu pada periodesasi
sentralisasi dan desentralisasi, bisa disimpulkan kondisi ekologi, sosial dan
ekonomi sebagai berikut :
1. Pada masa desentralisasi, kondisi terumbu karang tidak menunjukan kondisi
yang baik. Hal ini ditunjukan dengan peningkatan tutupan karang mati di
wilayah bagian Selatan Pulau Kabalutan sebesar 125 %.
2. Secara ekonomi pada masa sentralistik pendapatan nelayan meningkat secara
drastis karena tingginya harga jual ikan hidup jenis Napoleon (Cheilinus
undulatus) serta kemudahaan mendapatkan ikan dengan metode pemboman.
88
Sedangkan pada periode desentralisasi, pendapatan nelayan menurun karena
turunnya daya dukung yang menyebabkan ikan sulit didapatkan saat ini.
3. Pada masa desentralisasi, tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya meluas. Hal ini dicerminkan dari adanya inisiasi Daerah
Perlindungan Laut (DPL) berbasis masyarakat di Pulau Kabalutan.
4.7.4. Sistem Pengelolaan di Pulau Kabalutan
Kerusakan terumbu karang yang terus terjadi di Pulau Kabalutan
dipengaruhi oleh berbagai aspek yang bersumber pada perubahan pola
pemanfaatan serta tumpang tindihnya kebijakan. Pola pemanfaatan di Pulau
Kabalutan mengalami perubahan yang cukup signifikan dari penggunaan teknik
tradisional menjadi teknik merusak. Perubahan ini didorong oleh pasar yaitu
meningkatnya harga ikan khususnya untuk ikan jenis kerapu. Pada level
kebijakan, tumpang tindih kebijakan pengelolaan sumber daya Kepulauan Togean
antara Kementrian Kehutanan dan Pemerintah Daerah Tojo Una Una
berkontribusi terhadap ketidak jelasan status dan kewenangan terhadap
pengelolaan. Berdasarkan kompleksitas permasalahan pengelolaan yang
melibatkan peran pengelola sumberdaya, kebijakan serta dampak terhadap kondisi
ekologi dan ekonomi masyarakat. Oleh karenanya penting menggunakan skema
Ruddle (1996) dalam menganalisis permasalahan pengelolaan yang bertumpu
pada analisis kewenangan, hak, aturan serta pengawasan. Skema ini berperan
dalam menemukan akar masalah serta untuk menemukan solusi dari masalah.
Dengan menggunakan skema Ruddle (1996), menganalisis kondisi sistem
pengelolaan sumberdaya laut di Kepulauan Togean adalah sebagai berikut :
1. Authority (kewenangan)
Pada periode sentralisasi di level kebijakan kewenangan diatur oleh
pemerintah pusat serta pemerintah daerah melalui inisiasi kebijakan: Taman
Wisata Laut, Cagar Alam Laut, Cagar Alam Multi Guna, dan Kawasan Ekowisata
Bahari Unggulan Nasional. Pada level lokal, Kabalutan dihuni oleh mayoritas
komunitas Bajau yang memiliki cara tangkap tradisional, hanya saja komunitas
Bajau tidak memiliki pimpinan komunitas atau lembag adat yang berfungsi untuk
mengatur dan mengontrol pengelolaan sumberdaya laut berbasis lokal. Sedangkan
89
pada periode desentralisasi kewenangan pengelolaan sumberdaya Kepulauan
Togean masih diatur oleh pemerintah pusat serta daerah melalui kebijakan
penunjukan Taman Nasional serta Taman Wisata Laut. Sementara itu pada tataran
lokal, pemerintah pusat melalui Conservation International Indonesia (CII)
menginisiasi pengelolaan terumbu karang dalam program Daerah Perlindungan
Laut (DPL) yang berbasis komunitas dengan konsep partisipatif. Konsep ini
secara efektif menekan laju degradasi terumbu karang disekitar zona inti. Dalam
kurun waktu 2005 hingga 2006 DPL sangat efektif menekan degradasi kerusakan
pada wilayah zona inti hanya saja diluar zona inti khususnya di wilayah perairan
Selatan Kabalutan kerusakan masih berlangsung.
2. Right atau hak
Berdasarkan Ostrom dan Schlengger (1990) ditingkat komunitas pada
sebelum tahun 2004, hak yang berlaku adalah hak atas akses (right of access) dan
hak pemanfataatan (right of withdrawal), yang kemudian berubah menjadi hak
pemanfaatan yang lebih terbatas karena penunjukan Kepulauan Togean sebagai
Taman Nasional dan salah satu nya dengan inisiasi program DPL di Kabalutan.
Sebelum penunjukan Taman Nasional, masyarakat bisa mengakses seluruh area
penangkapan disekitar pulau Kabalutan, sedangkan setelah inisiasi DPL,
komunitas memiliki zonasi wilayah tangkapan yang boleh dan tidak boleh
diakses. Sementara itu, pada level kebijakan, hak pengelolaan pada sentralisasi
ada pada pemerintah pusat, sedangkan pada periode desentralisasi, hak
pengelolaan seharusnya berada pada pemerintah daerah, hanya saja Kementrian
Kehutanan melalui Taman Nasional mengklaim memiliki hak pengelolaan yang
sama.
3. Rules atau Aturan
Pada kurun waktu 1990-2004, tidak ada aturan yang disepakati oleh
komunitas Bajau di Kabalutan. Secara formal yang berlaku adalah peraturan
pemerintah termasuk aturan pelarangan penggunaan alat tangkap yang merusak.
Hanya saja, pada masa ini terjadi kesenjangan (Gap) antara aturan yang berlaku
dan aturan pada prakteknya.
90
Tabel 16 Dinamika pemanfaatan sumberdaya, karakteristik akses dan kondisi sosial ekologi Pulau Kabalutan
Q Pola Kondisi Ekologis Kondisi Sosial Periodesasi
I
Akses TerbukapadaKomunitasSubsisten
Kondisi terumbu karang masih dalam kategori Baik karenapenggunaan Alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan olehkomunitas Kabalutan.Tidak banyak ditemukan predator terumbu karang yaitu acanthasterplancii atau yang disebut dengan lipan laut
Masih redahnya Akses Masyarakat terhadap kebutuhandasar : pendidikan, kesehatan.
Masa< 1990
Ikan Napoleon sangat mudah didapatkan disekitar pemukimanKabalutan. Pada tahun 1986, nelayan Kabalutan bisa memperolehikan jenis kerapu dengan berat hingga 40 kg dan panjang 1 meter.
Hasil tangkapan bisa mencapai rata-rata 25 kg seharidengan menggunakan alat tradisional.
II Akses TerbukapadaKomunitas-Pasar
Kondisi terumbu karang di Kabalutan mulai mengalami degradasikarena penggunaan alat tangkap yang merusak dan maraknyapenangkapan ikan Napoleon secara masif oleh nelayanmenyebabakan meningkatkan acanthaster plancii.
Pendapatan komunitas nelayan Bajau meningkat.Dengan penggunaan bom ikan, tangkapan bisa mecapairatusan kg dalam sekali membom. Diperkirakanpendapatan nelayan mencapai Rp. 1.250.000. Dengancara membius, rata-rata satu nelayan bisamendapatkan Ikan Napoleon hingga 50 - 70 kg/bulan.
1990an -2004
III
Akses Tertutuppadakomunitas-Pasar
Terjadi fenomena kualitas terumbu karang yang berbeda antarawilayah Barat dan Selatan Kabalutan. Pada kurun waktu tahun 2010hingga 2011, di Selatan Kabalutan menunjukan peningkatan tutupankarang mati sebesar 92.72 % dan penurunan tutupan karang hidupsebesar 12.44 %, sedangkan pada Barat Kabalutan tahun 2011menunjukan tutupan karang hidup dalam kategori baik yaitu 54.90% dan tutupan karang mati sebesar 12.30 %.
Dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, pendapatannelayan Kabalutan mengalami penurunan. 68.42 %responden menyatakan bahwa pendapatan dari hasillaut saat ini semakin sedikit.
2004 – saatiniBerdasarkan hasil survei menunjukan bahwa 57.89 % responden
menyatakan bahwa ikan Napoleon merupakan ikan yang sulitditemukan saat ini, kemudian sebesar 36.84% menjawab ikan jeniskerapu yang sulit ditemukan.
Terjadi penurunan hasil tangkap nelayan. Satupengumpul hanya bisa mendapatkan rata-rata 100kg/bulan untuk jenis Ikan kerapu Sunu. Dalam sekalimelaut, seorang nelayan hanya bisa mendapatkan rata-rata 2 kg untuk ikan jenis kerapu. (lebih detail lihatlampiran)
Sumber: Hasil analisis 201
91
Pada prakteknya, komunitas masih menggunakan alat tangkap yang
merusak baik secara diam-diam maupun terbuka. Kurun waktu ini, pengusaha
yang mampu membayar petugas dapat diloloskan dari upaya penegakan hukum.
Sedangkan pada tahun > 2004, Gap antara aturan dengan prakteknya tetap terjadi
karena penggunaan alat tangkap yang merusak masih terus berlangsung secara
diam-diam walaupun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pada tahun 1990an.
4. Monitoring, Enforcement dan Sanction
Pada periodesasi sentralisasi, pelarangan penggunaan alat tangkap merusak
diatur oleh pemerintah daerah dalam menekan laju degradasi terumbu karang pada
kurun 1990an, saat perdagangan ikan hidup marak dilakukan. Pemerintah daerah
menggunakan aparat kepolisian untuk menindak para pelaku pemboman dan
pembiusan, hanya saja monitoring dan sanksi dilakukan sebagai formalitas saja,
sedangkan disisi lain izin pengumpul tetap diberikan izin oleh pemerintah daerah.
Pada masa desentralisasi, monitoring, pelaksanaan dilakukan dengan
menggunakan aparat baik formal dan non formal secara partisipatif, pada level
lokal tim pengawas dibentuk untuk melakukan monitoring terhadap penggunaan
alat tangkap yang merusak. Sanksi bagi pelanggar yang tertangkap adalah
hukuman penjara, tidak ada sanksi sosial dari komunitas. Hanya saja monitoring
dirasakan belum efektif. Aparatur penegak hukum dalam hal ini yaitu polisi air
belum memiliki jadwal rutin untuk memonitoring pulau – pulau di Kepulauan
Togean, termasuk Kabalutan. Minimnya jumlah aparat yang tidak setara dengan
luasnya jangkauan kerja di Kepulauan Togean menjadi salah satu hambatan dalam
monitoring.
Tim pengawasan yang melibatkan masyarakat belum mampu mengurangi
laju penggunaan bom dan potas, karena pada dasarnya tim pengawas masih
bekerja mengawasi perairan di sekitar pemukiman yaitu dekat pos penjagaan.
Selain itu, adanya keengganan melaporkan tindak pelanggaran yang dilakukan
oleh tetangga dan kerabatnya sendiri menjadi satu hambatan psikologis. Dengan
kata lain kesadaran komunitas akan pentingnya terumbu karang masih rendah.
92
Tabel 17 Skema pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya Kepulauan
Togean berdasarkan Skema Ruddle 1996
Coral ReefFisheriesManagementSystem
PeriodesasiSentralisasi Desentralisasi
Authority Kewenangan penuh diatur olehpemerintah pusat melalui inisiasikebijakan: Taman Wisata Laut,Cagar Alam Laut, Cagar AlamMulti Guna, dan KawasanEkowisata Bahari UnggulanNasional. Dalam skema Ruddle1996 dikategorikan tipe “fisheriesspecialist”
Kewenangan pengelolaan sumberdayakepulauan togean diatur oleh pemerintahpusat serta daerah. Melalui kebijakanpenunjukan Taman Nasional serta TamanWisata Laut. Terjadi dualisme pengaturanpengelolaan antara Pemerintah Daerah danKementrian Kehutanan. Dalam skema Ruddle1996 masih dikategorikan tipe “fisheriesspecialist”. Akan tetapi pada level lokal, CIIpada kurun waktu 2004-2006 mengaturpengelolaan terumbu karang di Kabalutanmelalui DPL yang berbasis partisipatif.
Right Hak pemanfaatan (right ofwithdrawal)
Hak pemanfaataan (right of withdrawal) yangterbatas pada level komunitas.
Rules Adanya kesenjangan antaraperaturan formal danimplementasi.
Adanya kesenjangan antara peraturan formaldan implementasi.
Monitoring,Enforcement,Sanction
Bersifat longgar yang dilakukanoleh pemerintah.
Dilakukan oleh pemerintah dengan sanksiyang lebih ketat tetapi belum secara efektifmembuat efek jera.
4.7.5 Rekomendasi Sistem Pengelolaan Pulau Kabalutan
Berdasarkan identifikasi masalah yang dilakukan paling tidak ada 4 masalah
mendasar dari sistem pengelolaan sumberdaya laut di Kabalutan yaitu : 1)
Dorongan pasar yang menyebabakan harga tinggi dan kemudahan tekhnologi, 2)
penurunan pendapatan dan tangkapan nelayan Kabalutan, 3) pada level kebijakan
terdapat tumpang tindih kebijakan pengelolaan Kepulauan Togean yang
menyebabkan dualisme pengelolaan antara Kementrian Kehutanan dan
Pemerintah Daerah. Keduanya sama-sama belum bisa menyelesaikan masalah
pada level lokal karena masing-masing berkonflik sehingga rencana pengelolaan
terhambat.
Dengan menggunakan konsep Ruddle, 1996 maka rekomendasi pengelolaan
yang tawarkan melalui analisis tersebut adalah sebagai berikut :
1. Dorongan pasar yang menyebabkan meningkatnya harga dan kemudahan
tekhnologi
a. Kewenangan : pembentukan lembaga Masyarakat Nelayan Togean level
lokal (desa dan kecamatan) untuk mengatur dan pengelolaan sumberdaya
93
laut yang berbasis kolaborasi di level lokal dan pada level pemerintah
daerah. Pembentukan lembaga pada level lokal masih dianggap efektif
dalam mengontrol pola pemanfaatan nelayan yang merusak.
b. Aturan : pada level lokal mendorong kesepakatan bersama mengenai
aturan pengelolaan terumbu karang dan penerapan sanksi sosial. Sementara
pada level pasar, penetapan dan pemberlakuan harga yang lebih rendah
untuk jenis ikan hasil pemboman. Kesepakatan ini harus di sepakati bersama
oleh pedagang dan disosialisasikan kepada konsumen akhir baik pada level
menengah (restauran) dan konsumen rumah tangga.
c. Pengawasan dan sanksi : pengawasan bagi nelayan dilakukan oleh
komunitas sendiri dengan penerapan sanksi sosial bagi yang melanggar
kesepakatan bersama.
Pada level pengumpul : Pengawasan dilakukan dengan melakukan
pemantauan dan pengawasan di lokasi penjualan ikan seperti TPI dan Pasar,
selanjutnya dilakukan pemerikasaan fisik terhadap ikan. Bagi pedagang dan
pengumpul yang terbukti membeli ikan hasil pemboman dan ikan Napoleon
maka akan diberikan sanksi hukum formal.
2. Penurunan pendapatan dan tangkapan nelayan Kabalutan
a. Menciptakan Insentif bagi nelayan : Penguatan bantuan alternatif mata
pencaharian (Budidaya rumput laut) sebagai alternatif pendapatan nelayan
bajau. Selain itu, penting mendorong penguatan Lembaga Nelayan sebagai
lembaga ekonomi kolektif.
3. Tumpang tindih kebijakan yang menyebabkan dualisme pengelolaan di
Kepulauan Togean antara Pemerintah Daerah Tojo Una Una (Taman Wisata
Laut) dan Kementrian Kehutanan (Taman Nasional).
a. Kewenangan : merujuk pada Undang Undang No 32 Tahun 2004 dan PP
No 38 Tahun 2007, kewenangan atas pengelolaan berada pada pemerintah
daerah yaitu menurujuk pada Perpres No 88 tahun 2011 yang menyebutkan
bahwa Kepulauan Togean ditetapkan sebagai Taman Wisata Laut.
b. Hak : hak pengelolaan oleh pemerintah daerah
94
Berdasarkan rekomendasi pengelolaan dengan menggunakan skema Ruddle
1996, disimpulkan bahwa sistem pengelolaan yang harus didorong dalam
pengelolaan di Pulau Kabalutan adalah pengelolaan berbasis kolaborasi antara
komunitas bersama pemerintah. Dimana konsep kewenangan, hak, peraturan yang
berlaku dan pengawasan serta sanksi disepakati bersama dan dijalani oleh
komunitas Kabalutan atas dasar kesadaran partisipasi dengan dukungan
pemerintah daerah.