Download - 25.Penatalaksanaan Imobilisasi
Penatalaksanaan Imobilisasi dan Komplikasi Akibat Imobilisasi pada Orang Usia Lanjut
Setiati S *, Harimurti K *, Laksmi PW *, Govinda AG *, Aries W **
*Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSCM
** Departemen Rehabiliasi medik FKUI / RSCM
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan persentase populasi usia lanjut Indonesia berdampak pada peningkatan masalah
kesehatan yang berhubungan dengan warga usia lanjut. Proses menua mengakibatkan berkurangnya
fungsi berbagai organ tubuh sehingga seringkali berbagai masalah kesehatan terjadi dalam satu waktu
pada satu individu usia lanjut. Selain itu, kondisi akut suatu penyakit akan menguras cadangan faali
berbagai organ tubuh yang memang sudah berkurang sehingga menurunkan status fungsional
(kemandirian) seorang usia lanjut. Pada keadaan yang berat, mereka terpaksa harus berbaring di tempat
tidur atau duduk di kursi roda, tidak dapat bergerak kecuali dengan bantuan orang lain. Kondisi ini
menimbulkan berbagai komplikasi sistemik yang dapat mengantarkan pasien usia lanjut pada kondisi
terminal dan kematian terutama jika dibiarkan tanpa perawatan yang baik dan benar sesuai prosedur
medis.
Kematian pada orang usia lanjut yang mengalami penurunan status fungsional (imobilisasi) umumnya
karena emboli paru. Insidensi emboli paru meningkat sejalan peningkatan usia. Di Amerika Serikat, 1 di
antara 200 usia lanjut yang dirawat (0,5%) mengalami emboli paru. Prevalensi kondisi medis kronik pada
populasi usia lanjut juga lebih besar, 88% individu berusia lebih dari 65 tahun menderita paling sedikit satu
kondisi medis kronis dan 69% lainnya memiliki dua atau lebih kondisi medis kronis. Komorbiditas ini
berhubungan dengan tingginya insidensi disabilitas dan predisposisi bagi peningkatan risiko penurunan
status fungsional. Di Indonesia, Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM sepanjang
tahun 2005 menemukan 8,4% usia lanjut yang dirawat di ruang rawat geriatri mengalami imobilisasi.
Tingginya insidensi imobilisasi pada usia lanjut serta komplikasi sistemiknya yang bisa mengancam
jiwa memerlukan kesepahaman tentang tatalaksana imobilisasi serta komplikasinya.
IMOBILISASI: FAKTOR RISIKO DAN KOMPLIKASINYA
Definisi dan Pengertian
Imobilisasi didefinisikan sebagai kehilangan gerakan anatomik akibat perubahan fungsi fisiologis,
yang dalam praktek sehari-hari dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
mobilitas di tempat tidur, transfer, atau ambulasi selama lebih dari 3 hari.
Dalam praktek kedokteran dan rehabilitasi medik, imobilisasi digunakan untuk menggambarkan
sindrom degenerasi fisiologis yang diakibatkan penurunan aktivitas dan “deconditioning”. Mobilisasi
tergantung pada interaksi yang terkoordinasi antara fungsi sensorik persepsi, ketrampilan motorik, kondisi
fisik, tingkat kognitif, dan kesehatan premorbid, serta variabel eksternal seperti keberadaan sumber-
sumber komunitas, dukungan keluarga, adanya halangan arsitektural (kondisi lingkungan), dan
kebijaksanaan institusional.
Imobilisasi menimbulkan penyulit yang bersifat sistemik mulai dari sistem kardiovaskular hingga
kejiwaan, serta masalah sosial dan lingkungan. Komplikasi tersebut umumnya dapat dihindari melalui
pengelolaan imobilisasi yang baik dan benar. Upaya meningkatkan kemampuan mobilisasi usia lanjut yang
mengalami imobilisasi, meskipun sedikit, dapat menurunkan insidensi dan beratnya penyulit, memperbaiki
kesejahteraan pasien dan memperingan tugas pramuwerdha.
Faktor Risiko Imobilisasi
Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut
(Tabel 1). Dari faktor penyebab imobilisasi tersebut, beberapa dapat dicegah atau ditatalaksana sehingga
tidak lagi menyebabkan imobilisasi, namun pada beberapa keadaan faktor-faktor penyebab imobilisasi itu
tidak dapat dihindari.
Tabel 1. Penyebab Umum Imobilisasi pada Usia Lanjut
Gangguan muskuloskeletal Artritis Osteoporosis Fraktur (terutama panggul dan femur) Problem kaki (bunion, kalus) Lain-lain (misalnya penyakit Paget)
Gangguan neurologis
Strok Penyakit Parkinson Lain-lain (disfungsi serebelar, neuropati)
Penyakit kardiovaskular
Gagal jantung kongestif (berat) Penyakit jantung koroner (nyeri dada yang sering) Penyakit vaskular perifer (klaudikasio yang sering)
Penyakit paru Penyakit paru obstruktif kronis (berat) Faktor sensorik Gangguan penglihatan
Takut (instabilitas dan takut akan jatuh) Penyebab lingkungan
Imobilisasi yang dipaksakan (di rumah sakit atau panti werdha) Alat bantu mobilitas yang tidak adekuat
Nyeri akut atau kronik Lain-lain
Dekondisi (setelah tirah baring lama pada keadaan sakit akut) Malnutrisi Penyakit sistemik berat (misalnya metastasis luas pada keganasan) Depresi Efek samping obat (misalnya kekakuan yang disebabkan obat antipsikotik) Perjalanan lama yang menyebabkan seseorang tidak bergerak
Komplikasi Akibat Imobilisasi
Imobilisasi dapat menyebabkan proses degenerasi yang terjadi pada hampir semua sistem organ
sebagai akibat berubahnya tekanan gravitasi dan berkurangnya fungsi motorik. Sistem organ yang terkena
diantaranya sistem muskuloskeletal, kardiopulmonal, integumen, metabolik dan endokrin, neurologi dan
psikiatri, serta sistem gastrointestinal dan urinarius (Tabel 2).
Tabel 2. Efek Imobilisasi pada Berbagai Sistem Organ
Organ/Sistem Perubahan yang Terjadi Akibat Imobilisasi
Muskuloskeletal Osteoporosis, penurunan massa tulang, hilangnya kekuatan otot, penurunan area potong lintang otot, kontraktur, degenerasi rawan sendi, ankilosis, peningkatan tekanan intraartikular, berkurangnya volume sendi
Kardiopulmonal dan pembuluh darah
Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan perfusi miokard, intoleran terhadap ortostatik, penurunan ambilan oksigen maksimal (VO2 max), deconditioning jantung, penurunan volume plasma, perubahan uji fungsi paru, atelektasis paru, pneumonia, peningkatan stasis vena, peningkatan agregasi trombosit, dan hiperkoagulasi
Integumen Peningkatan risiko ulkus dekubitus dan maserasi kulit
Metabolik dan endokrin Keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria, natriuresis dan deplesi natrium, resistensi insulin (intoleransi glukosa), hiperlipidemia, serta penurunan absorpsi dan metabolisme vitamin/mineral
Neurologi dan psikiatri Depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan sensorik, gangguan keseimbangan, penurunan fungsi kognitif, neuropati kompresi, dan rekrutmen neuromuskular yang tidak efisien
Traktus gastrointestinal dan urinarius
Inkontinensia urin dan alvi, infeksi saluran kemih, pembentukan batu kalsium, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dan distensi kandung kemih, impaksi feses, dan konstipasi, penurunan motilitas usus, refluks esofagus, aspirasi saluran napas, dan peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal
PENATALAKSANAAN IMOBILISASI
Pengkajian geriatri paripurna diperlukan dalam mengevaluasi pasien usia lanjut yang mengalami
imobilisasi, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, evaluasi status fungsional, status mental, status kognitif,
dan tingkat mobilitas, serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi (Tabel 3).
Tabel 3. Evaluasi Pasien Usia Lanjut yang Mengalami Imobilisasi
Evaluasi Keterangan
Anamnesis
- Riwayat dan lama disabilitas/imobilisasi - Kondisi medis yg merupakan faktor risiko dan penyebab imobilisasi - Kondisi premorbid - Nyeri - Obat-obatan yang dikonsumsi - Dukungan pramuwerdha - Interaksi sosial - Faktor psikologis - Faktor lingkungan
Pemeriksaan Fisik
Status kardiopulmonal Kulit Muskuloskeletal: kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak sendi, lesi dan deformitas kaki Neurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorik Gastrointestinal Genitourinarius
Status Fungsional Antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) Barthel
Status Mental Antara lain dengan pemeriksaan geriatric depression scale (GDS)
Status Kognitif Antara lain dengan pemeriksaan mini-mental state examination (MMSE), abbreviated mental test (AMT)
Tingkat Mobilitas Mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di kursi roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri, cara berjalan (gait), nyeri saat bergerak
Pemeriksaan Penunjang Penilaian berat ringannya kondisi medis penyebab imobilisasi (foto lutut, ekokardiografi, dll) dan komplikasi akibat imobilisasi (pemeriksaan albumin, elektrolit, glukosa darah, hemostasis, dll)
Tatalaksana Umum
• Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwerdha
• Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan
ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
sendiri, semampu pasien
• Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan rencana terapi yang
mencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi
• Temukenali dan tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi
pada kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyerta lainnya
• Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat menyebabkan kelemahan atau
kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan bila memungkinkan.
• Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan, dan makanan yang mengandung serat, serta suplementasi
vitamin dan mineral
• Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi latihan mobilitas di
tempat tidur, latihan lingkup gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguatan otot-otot
(isotonik, isometrik, isokinetik), latihan koordinasi/ keseimbangan (misalnya berjalan pada satu garis lurus),
transfer dengan bantuan, dan ambulasi terbatas.
• Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan ambulasi
• Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet
Tatalaksana Khusus
• Tatalaksana faktor risiko imobilisasi (lihat Tabel 1)
• Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi
• Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yang kompeten
• Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit atau dirawat di rumah
sakit dan panti werdha untuk mencegah imobilisasi lebih lanjut
• Upayakan dukungan lingkungan dan ketersediaan alat bantu untuk mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut
yang mengalami disabilitas permanen
Strategi klinis untuk pengkajian dan penatalaksanaan keterbatasan mobilitas dapat dilihat pada
lampiran.
PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI AKIBAT IMOBILISASI
Tromboemboli Vena
Tromboemboli vena (venous thromboembolism, VTE) adalah penyakit vaskular yang kompleks yang
bermanifestasi sebagai trombosis vena dalam (deep vein thrombosis, DVT) atau emboli paru (pulmonary
embolism, PE). Insidensi tromboemboli vena meningkat pada kelompok usia 60 tahun atau lebih dan dapat
berakibat fatal bila tidak dicegah atau ditatalaksana secara optimal.
Selain imobilisasi lama, faktor risiko lain tromboemboli vena adalah pembedahan mayor, trauma
multipel, fraktur femur dan panggul, kelemahan ekstremitas bawah, usia lanjut, penyakit kardiopulmonal,
keganasan, pemakaian estrogen, serta trombofilia didapat maupun bawaan, yang umumnya faktor-faktor
risiko tersebut tidak berdiri sendiri.
Patogenesis timbulnya tromboemboli vena melibatkan tiga faktor (triad Virchow), yaitu kerusakan
dinding pembuluh darah, stasis vena, dan hiperkoagulasi. Imobilisasi secara langsung menyebabkan stasis
vena yang akan menghambat bersihan dan dilusi faktor koagulasi yang teraktivasi sehingga mudah terjadi
emboli.
Diagnosis
Secara klinis DVT maupun PE sulit didiagnosis. Gejala klinis klasik DVT meliputi bengkak, nyeri, dan
perubahan warna kulit pada ekstremitas yang terkena. Pada pemeriksaan fisik dapat diraba vena yang
mengalami trombosis, edema unilateral, perabaan yang hangat, tanda Homans (nyeri pada dorsofleksi
pasif kaki), dan dilatasi vena superfisial, yang dapat pula timbul pada beberapa keadaan lain seperti pada
cedera muskuloskeletal, selulitis, dan insufisiensi vena.
Wells dkk. mengembangkan suatu petunjuk prediksi klinis untuk memperkirakan kemungkinan
diagnosis DVT (Tabel 4a). Prediksi klinis ini bersama-sama dengan pemeriksaan lain seperti tes D-dimer
dan ultrasonografi (doppler) dapat memastikan atau menyingkirkan diagnosis DVT. Wells dkk. juga telah
mengembangkan petunjuk prediksi klinis untuk memperkirakan kemungkinan diagnosis PE (Tabel 4b), dan
bersama-sama dengan pemeriksaan penunjang seperti CT angiografi paru, ventilation-perfusion scanning,
angiografi, tes D-dimer, maupun ultrasonografi serial dipakai untuk memastikan diagnosis PE. Algoritme
diagnosis trombosis vena dalam dan emboli paru, serta rekomendasi profilaksis tromboemboli vena dapat
dilihat pada lampiran.
Tabel 4. Petunjuk Prediksi Klinis dari Wells untuk Diagnosis DVT dan PE
a. Trombosis Vena Dalam (DVT)
Gambaran Klinis Nilai
Kanker aktif (dlm terapi atau paliatif) 1 Paralisis, paresis, atau imobilisasi ekstremitas bawah 1 Tirah baring lebih dari 3 hari karena pembedahan (dlm 4 bulan) 1 Nyeri tekan terlokalisasi sepanjang distribusi vena dalam 1 Pembengkakan seluruh tungkai 1 Bengkak pada betis unilateral lebih dari 3 cm (di bawah tuberositas tibial) 1 Edema pitting unilateral 1 Kolateral vena superfisial 1 Ada diagnosis alternatif lain selain DVT dgn kemungkinan sama atau lebih -2
Total Nilai Interpretasi risiko berdasarkan nilai (kemungkinan DVT): nilai >3 risiko tinggi (75%) nilai 1-2 risiko sedang (17%) nilai <1 risiko rendah (3%)
b. Emboli Paru (PE)
Gambaran Klinis Nilai
Gejala klinis DVT 3 Diagnosis selain PE kurang mungkin 3 Frekuensi denyut jantung lebih dari 100 kali per menit 1,5 Imobilisasi dan pembedahan (dlm 4 minggu sebelumnya) 1,5 DVT atau PE sebelumnya 1,5 Hemoptisis 1 Keganasan 1
Total nilai Interpretasi risiko berdasarkan nilai (kemungkinan PE): nilai >6 risiko tinggi (78,4%) nilai 2-6 risiko sedang (27,8%) nilai <2 risiko rendah (3,4%)
Pencegahan
Umumnya pencegahan kejadian tromboemboli vena dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu:
1. Metode Mekanik:
• Graduated compression stocking (GCS) dengan memakai stoking elastis yang dililitkan pada
ekstremitas dengan gradasi ketat menuju ringan, dari distal ke proksimal
• Intermitten pneumatic compression (IPC)
• Venous foot pump (VFP)
Metode mekanik tidak menimbulkan risiko perdarahan, namun hasilnya tidak seefektif penggunaan obat-
obat antikoagulan dan dapat menimbulkan bias pada saat dilakukan pemeriksaan penapisan terhadap timbulnya
tromboemboli vena, berupa angka positif-palsu sebesar 10-30%. The American College of Chest Physicians
(ACCP) hanya merekomendasikan penggunaan profilaksis mekanik ini untuk kelompok dengan risiko
perdarahan tinggi atau digunakan sebagai kombinasi dengan obat antikoagulan untuk meningkatkan
efektivitasnya.
2. Metode Farmakologi
Obat-obatan antitrombotik yang diberikan meliputi antiplatelet (aspirin, dipiridamol, ticlopidin,
clopidogrel, cilostazol) dan antikoagulan oral (coumarin) atau antikoagulan parenteral (unfractionated
heparin, low-molecular-weight heparin, fondaparinux).
• Aspirin atau obat antiplatelet lain
Digunakan bersama-sama dengan antikoagulan. ACCP tidak merekomendasikan penggunaan aspirin
atau obat antiplatelet lain sebagai pencegahan tunggal
• Antikoagulan
� Unfractionated heparin (UFH)
UFH sebagai profilaksis DVT dan PE diberikan dengan dosis rendah (5000 unit) secara subkutan
setiap 8 atau 12 jam. Pada pasien yang akan menjalani pembedahan, UFH diberikan 1 atau 2 jam
menjelang pembedahan dilanjutkan tiap 8 jam (pada pasien dengan risiko tinggi) atau tiap 12 jam
(pada pasien dengan risiko menengah) sampai pasien dapat mobilisasi atau sampai pasien keluar dari
rumah sakit. Pada pasien nonbedah, termasuk usia lanjut yang mengalami imobilisasi lama, UFH 5000
unit subkutan tiap 12 jam diberikan sesegera mungkin sampai pasien mampu mobilisasi secara
adekuat. Pada beberapa keadaan, dimana faktor risiko tidak dapat diatasi dalam waktu singkat (seperti
keganasan, trombofilia, dan tromboemboli vena idiopatik), maka profilaksis dapat dilanjutkan dengan
antikoagulan oral.
Efek samping pemakaian heparin adalah perdarahan dan trombositopenia. Efek samping ini
meningkat pada pasien di atas usia 65 tahun, pasien pasca pembedahan, ulkus peptikum, penyakit
liver, keganasan, dan diatesis perdarahan. Trombositopenia yang transien dapat timbul pada 10-20%
pasien, namun komplikasi perdarahan mayor hanya terjadi pada kurang dari 2% pasien.
� Low-molecular-weight heparin (LMWH)
Berdasarkan rekomendasi ACCP, penggunaan LMWH lebih dianjurkan pada pasien dengan risiko
tinggi timbulnya tromboemboli vena.
Jenis LMWH yang digunakan antara lain: enoxaparin (40 mg subkutan, sekali sehari), dalteparin
(5000 unit subkutan, sekali sehari), nadroparin (2850 unit subkutan, sekali sehari), dan tinzaparin
(3500-45000 unit subkutan sekali sehari). Umumnya penggunaan LMWH sebagai profilaksis pada
berbagai kondisi pembedahan maupun nonbedah adalah selama 10 hari atau sampai pasien mampu
ambulasi secara adekuat. Bila diperlukan pada keadaan-keadaan tertentu, penggunaan LMWH dapat
dilanjutkan dengan antikoagulan oral (warfarin) sebagai profilaksis tromboemboli vena jangka panjang.
� Fondaparinux, suatu antitrombin yang langsung bekerja menghambat faktor Xa
Penggunaan fondaparinux sebagai pencegahan dan terapi terhadap tromboemboli vena telah
disetujui di Uni Eropa dan Amerika Serikat (US FDA).
Trombositopenia dapat terjadi pula pada penggunaan fondaparinux. Fondaparinux
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal berat, pasien dengan perdarahan aktif,
endokarditis bakterial, dan pasien yang hipersensitif terhadap fondaparinux. Untuk tujuan profilaksis,
fondaprinux diberikan sekali sehari dengan dosis 2,5 mg secara subkutan.
� Antikoagulan oral: warfarin atau coumarin jenis lain (lihat topik pencegahan sekunder)
Beberapa upaya lain untuk mencegah kejadian tromboemboli vena meliputi:
• Latihan tungkai dan gerak sendi aktif maupun pasif sesuai toleransi pasien
• Elevasi kaki setinggi 15-20° dengan lutut sedikit fleksi dan posisi kepala tempat tidur rendah atau
mendatar
• Hindari duduk di kursi pada masa awal pasca operasi
• Gunakan stoking elastik anti-flebitis pada pasien dengan varises atau memiliki riwayat flebitis
• Jalan kaki dalam waktu singkat secara teratur pasca operasi
Terapi
Sebagai terapi farmakologi dapat diberikan obat-obatan antitrombotik yang meliputi antikoagulan
parenteral (UFH, LMWH, fondaparinux) dan trombolitik (streptokinase, alteplase).
• Antikoagulan
� UFH
Loading dose diberikan sebesar 80 unit/kgBB secara bolus kemudian dilanjutkan dengan dosis 18
unit/kgBB per jam melalui infus kontinu. Pemantauan dengan activated partial tromboplastin time
(APTT), yang diharapkan mencapai 1,5 sampai 2,5 kali kontrol. Insidensi perdarahan mayor pada dosis
terapeutik lebih tinggi dibandingkan profilaksis, namun efeknya dapat diharapkan segera berhenti 2 jam
setelah infus dihentikan.
� LMWH
Pemberian LMWH sama efektifnya dengan pemberian UFH. Enoxaparin diberikan dengan dosis 1
mg/kgBB dua kali sehari atau 1,5 mg/kgBB sekali sehari secara subkutan. Dalteparin dengan dosis 200
IU/kgBB per hari (sebagai dosis tunggal atau dua kali sehari). Tinzaparin dengan dosis 175 anti-
Xa/kgBB per hari untuk pengobatan DVT. Sementara untuk terapi PE, hanya enoxaparin dan tinzaparin
yang telah terbukti efektif dan diterima oleh FDA.
� Fondaparinux
Untuk terapi PE maupun DVT, fondaparinux diberikan secara subkutan sekali sehari dengan dosis
5 mg (untuk BB <50 kg), 7,5 mg (untuk BB 50-100 kg), atau 10 mg (untuk BB >100 kg).
• Trombolitik
Umumnya diberikan pada pasien PE masif atau dengan keadaaan hemodinamik tidak stabil. Antara
lain alteplase dengan dosis 100 mg yang diberikan secara infus intravena selama 2 jam, atau streptokinase
yang diberikan dengan loading dose 250.000 IU dilanjutkan dengan 100.000 IU per jam selama 24 jam.
Pemberian trombolitik langsung pada trombus melalui kateter tidak terbukti lebih superior bila dibandingkan
pemberian secara perifer. Efek samping perdarahan pada pemakaian trombolitik lebih besar dibandingkan
dengan UFH, LMWH, maupun fondaparinux.
• Fisioterapi
Setelah 48 jam pasca terapi antikoagulan, latihan lingkup gerak sendi pasif sampai aktif dengan bantuan
dan pemberian stoking elastis dapat diberikan.
Pencegahan sekunder dan terapi jangka panjang
Pasien dengan faktor risiko yang belum sepenuhnya dapat disingkirkan diperlukan pencegahan
sekunder terhadap DVT maupun PE. Antikoagulan oral warfarin (atau coumarin jenis lain) dengan dosis
yang dititrasi untuk mencapai international normalized ratio (INR) antara 2 sampai 3 terbukti dapat
mencegah berulangnya DVT maupun PE hingga 90% bila dibanding plasebo. Warfarin umumnya diberikan
3 sampai 4 hari sebelum terapi antitrombotik lain dihentikan. LMWH tidak banyak digunakan untuk
pencegahan sekunder mengingat besarnya biaya dan efek samping osteoporosis pada pemakaian jangka
panjang, namun pada pasien keganasan yang juga mengalami DVT penggunaannya perlu
dipertimbangkan karena terbukti mengurangi risiko berulangnya DVT hingga separuhnya bila dibandingkan
dengan penggunaan warfarin.
Ulkus Dekubitus
Ulkus dekubitus timbul akibat tekanan yang terus-menerus pada bagian tubuh (tulang) yang menonjol
dalam jangka waktu yang cukup lama. Empat faktor yang berpengaruh pada patogenesis timbulnya ulkus
dekubitus adalah tekanan, daya regang, friksi/gesekan, dan kelembaban.
Berdasarkan klasifikasi Shea yang telah dimodifikasi dan dipakai sebagai panduan klinis oleh The
Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR), ulkus dekubitus dibagi menjadi 4 stadium (Tabel 5)
dan berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan ulkus dan perbedaan temperatur antara ulkus
dengan kulit sekitarnya, ulkus dekubitus dapat dibagi menjadi tiga tipe (Tabel 6).
Tabel 5. Stadium Ulkus Dekubitus Berdasarkan Modifikasi Klasifikasi Shea
Stadium Manifestasi Klinis
Stadium I
Eritema nonblanchable pada kulit yang masih utuh atau perubahan warna kulit yang hangat, edema, dan berindurasi pada pasien dengan kulit gelap
Stadium II Sudah terjadi kehilangan lapisan kulit epidermis dan/atau dermis
Stadium III Ulkus sudah berkembang ke jaringan lunak dan ke lapisan fasia dalam
Stadium IV Jaringan otot dan tulang sudah terlibat
Tabel 6. Tipe Ulkus Dekubitus
Tipe Manifestasi Klinis Perkiraan Lama Perawatan
Normal Beda temperatur dengan kulit sekitarnya hingga di bawah lebih
kurang 2,5°C
6 minggu
Arteriosklerotik
Selain faktor tekanan, terdapat gangguan aliran darah akibat
arteriosklerotik. Beda temperatur dengan kulit sekitarnya <1°C
16 minggu
Terminal Terjadi pada pasien yang akan meninggal Tidak dapat sembuh
Komplikasi ulkus dekubitus meliputi nyeri, infeksi lokal, selulitis, osteomielitis, sepsis, dan kematian.
Selain imobilisasi dan terbatasnya tingkat aktivitas, faktor risiko lain timbulnya ulkus dekubitus adalah kulit
yang kering, meningkatnya suhu tubuh, tekanan darah yang rendah, usia yang lanjut, inkontinensia,
malnutrisi, diabetes melitus, insufisiensi vaskular, obesitas, hipoalbuminemia, demensia berat, dan
berubahnya tingkat kesadaran.
Pencegahan
Setiap pasien yang mengalami imobilisasi harus dilakukan penilaian risiko untuk terjadinya ulkus
dekubitus dengan menggunakan skala Norton (Tabel 7). Skor <14 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk
terjadinya ulkus dekubitus. Skor <12 berkaitan dengan peningkatan risiko 50 kali lebih besar untuk
mendapatkan ulkus dekubitus, skor 12-13 memiliki risiko sedang, sedangkan skor >14 memiliki risiko
sangat kecil.
Tabel 7. Skala Norton untuk Mengukur Risiko Ulkus Dekubitus
Kondisi Pasien Keterangan Skor
Kondisi Fisik Umum Baik Cukup/lumayan Buruk Sangat buruk
4 3 2 1
Kesadaran Kompos mentis Apatis Confused Stupor
4 3 2 1
Tingkat Aktivitas Ambulatori Berjalan dengan bantuan Hanya bisa duduk Hanya bisa tiduran
4 3 2 1
Mobilitas Bergerak bebas Sedikit terbatas Sangat terbatas Tidak bisa bergerak/imobil
4 3 2 1
Inkontinensia Tidak ada Kadang-kadang Sering inkontinensia urin Inkontinensia urin dan alvi
4 3 2 1
AHCPR mensponsori suatu panduan untuk pencegahan ulkus dekubitus, yang meliputi pengkajian
faktor risiko, perawatan kulit dan terapi awal ulkus dekubitus, pencegahan/perlindungan terhadap efek
tekanan, gesekan, dan regangan, serta pemanfaatan program edukasi tentang ulkus dekubitus.
Pengkajian faktor risiko. Individu yang harus berbaring atau duduk dalam jangka panjang atau
mereka dengan ketidakmampuan untuk berubah posisi harus dianggap sebagai kelompok dengan risiko
tinggi untuk timbulnya ulkus dekubitus. Pengkajian faktor risiko ini dilakukan ketika masuk rumah sakit
untuk perawatan akut atau rehabilitasi, panti werdha, program perawatan di rumah, dan fasilitas perawatan
kesehatan lain. Risiko ulkus dekubitus harus dikaji ulang setiap ada perubahan dalam tingkat aktivitas atau
mobilitas.
Perawatan kulit dan terapi awal. Beberapa rekomendasi dibuat sebagai petunjuk praktis klinis
untuk mencegah ulkus dekubitus berdasarkan opini para ahli karena kurangnya bukti yang berbasis
penelitian, seperti yang diuraikan pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Rekomendasi Perawatan Kulit dan Terapi Awal untuk Pencegahan Ulkus Dekubitus
1. Amati kulit setiap hari secara sistematis. 2. Bersihkan kulit dengan bahan pembersih yang lembut secara rutin, hindari pemakaian air panas dan
minimalkan regangan dan gesekan pada kulit. 3. Kurangi kekeringan kulit karena kelembaban yang rendah dan paparan terhadap dingin, dan
gunakan pelembab untuk kulit kering. 4. Kurangi paparan kulit terhadap kelembaban karena inkontinensia, keringat, atau drainase luka. Jika
inkontinensia tidak dapat dikendalikan, setelah pengkajian dan terapi yang sesuai, gunakan bahan absorptif atau alas (underpad). Bahan topikal yang bekerja menghalangi kelembaban juga dapat digunakan.
5. Kurangi cedera kulit karena gesekan dan regangan dengan cara mengubah posisi, berpindah, dan berbalik; pelumas seperti minyak sayur atau krim; dan pelapis protektif, pembalut, atau alas di atas tulang yang menonjol.
6. Pastikan asupan gizi yang adekuat dan koreksi defisiensi nutrisi yang konsisten dengan seluruh target terapi.
7. Upayakan rehabilitasi yang sesuai dengan target terapi. 8. Catat seluruh intervensi dan hasil yang didapat.
Pencegahan efek akibat tekanan, gesekan, dan regangan. Mengubah posisi sesering
mungkin merupakan metode utama pencegahan ulkus dekubitus.
• Ubah posisi dengan punggung pasien miring 30o dari permukaan tempat tidur bergantian ke kiri atau kanan dan
telentang setiap 2-3 jam pada pasien dengan risiko tinggi dan 2-4 kali per hari pada pasien dengan risiko lebih
rendah
• Hindari posisi miring dengan punggung berada 90o terhadap permukaan karena akan memberikan tekanan
berlebihan pada trokanter mayor dan maleolus lateral.
• Gunakan bantal di antara tungkai, di bawah punggung, dan penyangga lengan untuk mempertahankan posisi
optimal, mencegah kontak antara tonjolan tulang yang satu dengan yang lainnya, antar ekstremitas maupun
dengan alas tidur, dapat mengangkat tumit dari alas tempat tidur, dan menopang pasien pada posisi miring
lateral 30o
• Bagi pasien yang harus memposisikan kepala tegak (posisi duduk) di tempat tidur atau pasien dengan
kemampuan terbatas duduk di kursi roda, ubah posisinya setiap 1 jam atau pasien diminta untuk mengubah
tumpuan berat badannya setiap 15 menit
• Untuk mencegah gaya regangan, jangan mendudukkan pasien pada sudut 30o, pasien sebaiknya berbaring atau
duduk tegak, karena posisi duduk dengan sudut 30o tersebut menyebabkan lekukan (angulasi) pada pembuluh
darah di daerah gluteal dan sakrum sehingga aliran darah dapat terhambat.
• Untuk mencegah gesekan, gunakan pelindung pergelangan kaki dan tumit serta pasien harus diangkat dan
jangan digeser atau ditarik dari tempat tidur
• Untuk mencegah maserasi kulit, jaga agar kulit tetap kering (memakai alas berdaya serap tinggi untuk pasien
dengan inkontinensia) tapi licin (lubricated) dengan mengoleskan emolien tipis-tipis setelah mandi atau
inkontinens.
• Gunakan alat pengurang tekanan, gesekan, atau regangan (kasur air atau kasur udara/kasur anti-dekubitus),
pada pasien yang dengan teknik perubahan posisi saja tidak cukup atau tidak memungkinkan
• Hindari penggunaan alat bantu berbentuk seperti donat untuk kursi dan kursi roda
Edukasi dan pendekatan multidisplin. Edukasi terhadap tenaga kesehatan di seluruh tingkat
pelayanan kesehatan serta pasien, keluarga, dan pramuwerdha (caregivers) mengenai faktor risiko dan
perawatan pada pasien dengan faktor risiko dapat mengurangi insidensi ulkus dekubitus, demikian pula
bila pendekatan tim multidisiplin diterapkan.
Terapi
Sesuai dengan panduan yang dikeluarkan oleh AHCPR, penatalaksanaan terhadap ulkus dekubitus
harus meliputi pendekatan sistemik, penggunaan kasur atau matras khusus, perawatan luka lokal,
pembedahan, dan terapi-terapi eksperimental.
Pendekatan sistemik
• Perhatikan status hidrasi pasien dan tatalaksana dengan baik jika terdapat gangguan
• Berikan asupan nutrisi yang adekuat dengan memperhatikan pula kebutuhan mineral dan vitamin. Pada pasien
malnutrisi yang mengalami ulkus dekubitus, nutrisi yang diberikan setidaknya 30 sampai 35 kalori/kgBB/hari
dengan protein sebanyak 1,25 sampai 1,5 g/kgBB/hari untuk mencapai keseimbangan nitrogen yang positif
• Antibiotika sistemik diindikasikan pada pasien dengan sepsis, selulitis, dan osteomielitis atau sebagai
pencegahan terjadinya endokarditis bakterial pada pasien dengan penyakit jantung katup yang memerlukan
debrideman ulkus. Antibiotika yang diberikan sebagai terapi awal sambil menunggu hasil kultur haruslah yang
berspektrum luas untuk kuman gram-positif dan negatif, serta anaerob. Ampisilin-sulbaktam, imipenem,
meropenem, tikarsilin klavulanat, piperasilin tazobaktan, serta kombinasi klindamisin dengan siprofloksasin atau
dengan aminoglikosida merupakan pilihan yang sesuai untuk terapi inisial
Penggunaan tempat tidur atau matras khusus
• Air-fluidized bed, low-air-loss bed, atau tempat tidur khusus yang dapat mengubah posisi pasien secara otomatis
Perawatan lokal
• Ulkus dekubitus stadium I dan II umumnya tidak memerlukan pemberian terapi topikal, cukup menjaga
kelembaban dan kebersihan ulkus, dan diharapkan akan membaik dengan sendirinya
• Pada luka yang bersih namun tidak menyembuh atau tetap mengeluarkan eksudat setelah 2 sampai 4 minggu
dengan perawatan yang optimal, dapat dicoba pemberian antibiotika topikal seperti silver sulfadiazin selama 2
minggu
• Hindari penggunaan povidon-iodin, iodofor, natrium hipoklorit, hidrogen peroksid, serta asam asetat
• Lakukan debrideman luka secara adekuat bila terdapat jaringan nekrotik, meliputi debrideman dengan pisau
atau gunting, atau pendekatan mekanik berupa pembalutan, hidroterapi, irigasi, dekstranomer, terapi enzimatik,
atau teknik autolitik
• Setelah ulkus bersih dan granulasi atau epitelisasi telah mulai, pertahankan kelembaban daerah ulkus dan
sekitarnya tanpa menghambat penyembuhan jaringan dengan menggunakan dressing seperti transparent film,
hydrocolloid dressing, atau cukup kasa yang dibasahi dengan normal salin
• Tatalaksana nyeri pada luka, terutama nyeri yang timbul saat dilakukan debrideman
• Lakukan pijat manual sirkular pada tepi luka dekubitus, phonophoresis dengan transducer ultrasound dan ZnO2,
serta transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) berfrekuensi rendah pada tepi luka untuk memperbaiki
vaskularisasi daerah luka, granulasi, dan epitelisasi jaringan
Prosedur pembedahan
• Meliputi penutupan luka, cangkok kulit (skin graft) dan flap miokutaneus, serta membuang tulang yang menonjol
sebagai penyebab ulkus
• Tindakan radikal seperti amputasi kadang diperlukan pada ulkus yang infeksinya mengalami komplikasi atau
meluas.
Terapi eksperimental
• Sebagai terapi tambahan, namun umumnya masih belum cukup data untuk mendukung penggunaannya.
• Terapi oksigen hiperbarik serta beberapa jenis terapi topikal dan faktor pertumbuhan (growth factor) sedang
dikembangkan sebagai cara untuk mempercepat penyembuhan luka.
Hipotensi Ortostatik
Salah satu akibat komplikasi imobilisasi pada sistem kardiovaskular adalah hipotensi ortostatik yang
ditegakkan bila dijumpai penurunan tekanan darah sistolik >20 mmHg atau diastolik >10 mmHg yang
diukur segera dalam waktu 2-3 menit dari posisi berbaring ke posisi tegak dan dapat disertai keluhan
dizziness atau sinkop (hipotensi ortostatik simtomatik).
Pencegahan
Hipotensi ortostatik dapat dicegah dengan mobilisasi bertahap secepatnya, diutamakan agar
secepatnya dapat duduk di tempat tidur dengan kaki menggantung ke bawah sambil digerak-gerakan.
Terapi
Evaluasi obat-obatan yang dikonsumsi dan status hidrasi pasien karena penyebab hipotensi ortostatik
antara lain adalah penggunaan obat-obatan anti-hipertensi, diuretika, antiparkinson, antipsikotik,
antidepresi, dan vasodilator tertentu, serta defisit cairan tubuh atau berkurangnya volume darah.
Bila sudah terjadi hipotensi ortostatik, atasi penyebab yang reversibel dan dapat dilakukan latihan
rekondisi sebagai berikut:
- apabila memiliki tilt table dilakukan latihan menggunakan tilt table, yaitu secara bertahap alas tilt table
ditegakkan perlahan-lahan, mulai dari 5 derajat, kemudian dipertahankan 5 menit pada tiap perubahan posisi.
Latihan tersebut dilakukan minimal sekali sehari sampai pasien mampu beradaptasi dengan posisi tersebut
sambil perlahan ditingkatkan menuju posisi berdiri tegak
- apabila alat tilt table tidak tersedia, dapat diberikan latihan rekondisi yang dimulai dengan menegakkan
sandaran tempat tidur secara bertahap, setiap 30 derajat, dipertahankan 5 menit, sampai pasien mampu
duduk tegak di atas tempat tidur dengan tungkai lurus. Pertahankan posisi tegak selama mungkin setiap hari,
terutama saat pasien dalam keadaan bangun, minimal 3 kali sehari, selama 2 jam setiap duduk tegak (contoh:
saat pasien melakukan aktivitas makan dan minum)
- selalu perhatikan keluhan subyektif pasien, perubahan nadi dan tekanan darah. Hentikan penambahan posisi
apabila tanda-tanda hipotensi ortostatik muncul dan segera kembalikan pada posisi terakhir yang tidak
mengakibatkan tanda-tanda tersebut muncul, pertahankan setiap perubahan posisi selama 5 menit sampai
pasien kembali dalam keadaan berbaring telentang
- setelah pasien mampu duduk tegak di atas tempat tidur tanpa disertai tanda-tanda hipotensi ortostatik, pasien
mulai diminta bergeser ke sisi tempat tidur, duduk dengan kedua lengan berpegangan atau menumpu pada
tempat tidur sebagai stabilisator dan tungkai menggantung ke bawah sambil digerakkan perlahan-lahan
menekuk dan lurus bergantian. Latihan ini dilakukan sampai pasien mampu duduk dengan punggung tegak
tanpa berpegangan. Posisi ini dilakukan terutama saat pasien sedang aktivitas makan dan minum
- setelah pasien mampu duduk di sisi tempat tidur, secara bertahap pasien dicoba berdiri berpegangan di
samping tempat tidur, berlatih memindahkan berat badan atau beban tubuh dari kaki kanan ke kiri serta
sebaliknya, sehingga aktivitas duduk dapat dilakukan di luar tempat tidur, pada kursi yang diletakkan di dekat
tempat tidur
- pasien dapat menggunakan stoking elastik pada abdomen dan ekstremitas bawah, terutama untuk mencegah
berkumpulnya darah pada daerah tersebut karena gerak kontraksi otot untuk memompa darah balik vena ke
jantung dari ekstremitas bawah kurang adekuat
Kontraktur
Kontraktur/deformitas terjadi akibat pemendekan serabut otot karena imobilisasi pada posisi non
fungsional, contohnya berbaring lama pada posisi tungkai menekuk, membuka keluar, atau drop foot
(pergelangan kaki dalam posisi plantar fleksi).
Pencegahan
Untuk mencegah kontraktur/deformitas, dapat dilakukan body positioning/stretching:
- mobilisasi bertahap secepatnya
- proper positioning, dengan memosisikan pasien sedemikian rupa agar dapat berbaring dengan posisi sendi-
sendi penopang tubuh pada keadaan serupa dengan saat berdiri tegak, yaitu kepala, punggung, serta tungkai
dalam keadaan lurus, sedangkan sendi pergelangan kaki dalam posisi seperti saat berdiri tegak dimana
tungkai dan kaki membentuk sudut 90 derajat
- static splinting (pemberian foot board, ankle foot orthosis) agar sendi pergelangan dipertahankan pada posisi
fungsional
- apabila pasien mampu menggerakkan tungkai secara mandiri saat sedang berbaring, maka dapat dilakukan
gerakan-gerakan sederhana sesuai dengan kemampuan pasien; dimulai dengan gerakan dorso fleksi-plantar
fleksi pergelangan kaki yang dilanjutkan dengan menekuk lutut secara bergantian dengan menggeser tungkai
pada tempat tidur, dari posisi lurus sampai menekuk secara berulang-ulang, minimal 3 kali sehari, 10 gerakan
untuk setiap tungkai atau sesuai kemampuan pasien
Terapi
Apabila sudah terjadi kontraktur atau terdapat keterbatasan gerak sendi, dilakukan latihan gerak
sendi ekstremitas aktif dan pasif disertai slow stretching minimal 1-2 kali sehari untuk menjaga seluruh
rentang gerak sendi. Untuk mempermudah stretching dapat diberikan ultrasound diatermi pada otot yang
hendak dilatih.
PENUTUP
Keberhasilan pembangunan kesehatan meningkatkan angka harapan hidup manusia Indonesia
berdampak pada peningkatan persentase populasi usia lanjut Indonesia dan masalah kesehatan yang
berhubungan dengan warga usia lanjut, salah satunya adalah imobilisasi. Imobilisasi dapat menimbulkan
berbagai komplikasi sistemik yang akan mengantarkan pasien usia lanjut pada kondisi terminal dan
kematian terutama jika dibiarkan tanpa perawatan yang baik dan benar sesuai prosedur medis. Tingginya
insidensi imobilisasi pada usia lanjut serta komplikasi sistemiknya yang bisa mengancam jiwa memerlukan
kesepahaman tentang tatalaksana imobilisasi serta komplikasinya.
Secara ringkas dapat disampaikan bahwa tatalaksana dalam masalah imobilisasi memerlukan
kerjasama tim interdisiplin, pasien, dan keluarga. Penatalaksanaan dimulai dari pengkajian geriatri
paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan rencana terapi. Berbagai kondisi medik dan faktor
eksternal yang mungkin merupakan faktor risiko terjadinya imobilisasi, serta penggunaan obat-obatan yang
mungkin memperberat keadaan imobilisasi, harus dievaluasi dan ditatalaksana secara optimal. Adanya
komplikasi akibat imobilisasi maupun infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang
mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyerta lainnya perlu ditemukenali dan
ditatalaksana secara komprehensif untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tatalaksana imobilisasi
dan komplikasi akibat imobilisasi meliputi tatalaksana farmakologi maupun non farmakologi berupa
berbagai latihan mobilitas, penggunaan alat bantu untuk berdiri dan ambulasi, serta manajemen miksi dan
defekasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson CL, Cutter NC. Immobility. Dalam: Hazzard WR, Blass JP, Etinger HW, Halter JB, Ouslander JG, penyunting.
Principles og Geriatric Medicine and Gerontology. New York: McGraw-Hill; 1999. h. 1565-75.
Allman RM. Pressure ulcers. Dalam: Hazzard WR, Blass JP, Etinger HW, Halter JB, Ouslander JG, penyunting. Principles og Geriatric Medicine and Gerontology. New York: McGraw-Hill; 1999. h. 1577-83.
Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Immobility. Dalam: Essentials of Clinical Geriatrics. New York: McGraw-Hill; 2004. h. 245-78.
Turpie AGG, Chin BSP, Lip GYH. Venous thromboembolism: pathophysiology, clinical feature, and prevention. BMJ. 2002;325:887-90.
Covey C, Wyatt S. Diagnosis, investigation, and management of deep vein thrombosis. BMJ. 2003;326:1180-4.
Geerts WH, Pineo GF, Heit JA, dkk. Prevention of venous thromboembolism: The Seventh ACCP Conference on Antithrombotic and Thrombolytic Therapy. Chest. 2004;126:338-400.
Ramzi DW, Leeper KV. DVT and pulmonary embolism: Part I. Diagnosis. Am Fam Physician. 2004;69:2829-36.
Ramzi DW, Leeper KV. DVT and pulmonary embolism: Part II. Treatment dan prevention. Am Fam Physician. 2004;69:2841-8.
Buller HR, Davidson BL, Decousus H, dkk, for The Matisse Investigators. Fondaparinux or enoxaparin for the initial treatment of symptomatic deep venous thrombosis. Ann Intern Med. 2004;140:867-73.
The Matisse Investigators. Subcutaneous fondaparinux versus intravenous unfractionated heparin in the initial treatment of pulmonary embolism. N Engl J Med. 2003;349:1695-702.
Bauer KA, Eriksson BI, Lassen MR, Turpie AGG, for the Steering Committee of the Pentasaccharide in Major Knee Surgery Study. Fondaparinux compared with enoxaparinfor the prevention of venous thromboembolism after elective major knee surgery. N Engl J Med. 2001;345:1305-10.
Eriksson BI, Bauer KA, Lassen MR, Turpie AGG, for the Steering Committee of the Pentasaccharide in Major Knee Surgery Study. Fondaparinux compared with enoxaparinfor the prevention of venous thromboembolism after hip-fracture surgery. N Engl J Med. 2001;345:1298-304.
Lassen MR, Borris LC, Nakov RL. Use of the low-molecular-weight heparin reviparin to prevent deep-vein thrombosisafter leg injury requiring immobilization. N Engl J Med. 2002;347:726-30.
Ridker PM, Goldhaber SZ, Danielson E, dkk, for the PREVENT Investigators. Long term, low- intensity warfarin therapy for the prevention of recurrent venous thromboembolism. N Engl J Med 2003;348:1425-34.
Agnelli G, Prandoni P, Samtamaria MG, dkk, and the Warfarin Optimal Duration Italian Trial Investigators. Three months versus one year of oral anticoagulant therapy for idiopathic deep venous thrombosis. N Engl J Med 2001; 345:165-9.
Anderson FA, Spencer FA. Risk factors for venous thromboembolism. Circulation. 2003;107:I.9-I.16.
Kyrle PA, Minar E, Bialonczyk C, dkk. The risk of recurrent venous thromboembolism in men and women. N Engl J Med. 2004;350:2558-63.
American Geriatrics Society Guideline. The use of oral anticoagulant (warfarin) in older people. Am J Geriatr Cardiol. 2003;12(3):153-60.
Bates SM, Ginsberg JS. Treatment of deep-vein-thrombosis. N Engl J Med. 2004;351:268-77.
Koopman MMW, Prandoni P, Piovella F, dkk, for the Tasman Study Group. Treatment of venous thromboembolism with intravenous unfractionated heparin administered in the hospital as compared with subcutaneous low-molecular-weight heparin administered at home. N Engl J Med. 1996;334:682-7.
Hyers TM. Venous thromboembolism. Am J Respir Crit Care Med. 1999;159-1-14.
Cohen AT, Davidson BL, Gallus AS, dkk, and ARTEMIS Investigators. Efficacy and safety of fondaparinux for the prevention of venous thromboembolism in older acute medical patients: randomised placebo controlled trial. BMJ. 2006;332:325-9.
Quinlan DJ, McQuillan A, Eikelboom JW. Low-molecular-weight heparin compared with intravenous unfractionated heparin for treatment of pulmonary embolism. A Meta Analysis of Randomized, Controlled Trial. Ann Intern Med. 2004;140:175-83.
Hirsh J, Lee AYY. How we diagnose dan treat deep vein thrombosis. Blood. 2002;99:3102-10.
Warkentin TE, Levine MN, Hirsh J, dkk. Heparin-induced thrombocytopenia in patients treated with low-molecular-weight heparin or unfractionated heparin. N Engl J Med. 1995;332:1330-5.
The Columbus Investigators. Low-molecular-weight heparin in the traetment of patients with venous thromboembolism. N Engl J Med. 1997;337:657-62.
Simonneau G, Sors H, Charbonnier B, dkk, for the THESEE Study Group. A comparison of low-molecular-weight heparin and unfractionated heparin for acute pulmonary embolism. N Engl J Med. 1997;337:663-9.
Levine M, Gent M, Hirsh J, dkk. A comparison of low-molecular-weight heparin administered primarily at home with unfractionated heparin administered in the hospital for proximal deep-vein thrombosis. N Engl J Med. 1996;334:677-81.
Hull R, Raskob G, Pineo G, dkk. A comparison of subcutaneous low-molecular-weight heparin with warfarin sodium for prophylaxis against deep-vein thrombosis after hip or knee implantation. N Engl J Med;329:1370-6.
Warkentin TE, Kelton JG. Temporal aspects of heparin-induced thrombocytopenia. N Engl J Med. 2001;344:1268-92.
European Pressure Ulcer Advisory Panel. Pressure Ulcer Treatment Guideline. Available at http://www.epuap.org/gltreatment.html Diakses pada 30 Maret 2006.
Nestle Clinical Nutrition. Pressure Ulcer Care Guidelines.
Lyder CH. Pressure ulcer prevention and management. JAMA. 2003;289:223-6.
Adelman AM. Orthostatic hypotension. Dalam: Adelman AM, Daily MO. Eds. 20 Common Problems Geriatics. Singapore: McGraw-Hill Book Co; 2001. h. 419-420.
Knight AL. Skin ulcer. Dalam: Adelman AM, Daily MO. Eds. 20 common problems Geriatics. Singapore: McGraw-Hill Book Co; 2001. h. 389-409.
Thind K, Feigenbaum L. Disability and rehabilitation. Dalam: Lonergen ET. a Lange Clinical Manual Geriatrics. 1st ed. London: Prentice Hall International Inc; 1996. h. 406-14.
Tierney LM. Vascular disease. Dalam: Lonergen ET. a Lange Clinical Manual Geriatrics. 1st ed. London: Prentice Hall International Inc; 1996. h. 119-20.
Lonergan ET, Stone JT. Pressure sores. Dalam: Lonergen ET. Lange Clinical Manual Geriatrics. 1st ed. London: Prentice Hall International Inc; 1996. h. 508-14.
Mix CM, Specht DP. Achieving functional independence. Dalam: Braddom RL. Physical medicine and rehabilitation.2nd ed. Philadelphia: WB Saunders; 2000. h. 517-34.
Pranarka K. Dekubitus. Dalam: Darmojo RB, Martono H. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). 2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2000. h. 215.
DiPonio LA. Deep venous thrombosis. Dalam: Brammer CM. Penyunting. Manual of PM&R. Philadelphia: Hanley & Belfus, Inc.; 2002. h. 231-7.
Kipp DA, Spires MC. Pressure ulcers: prevention and care. Dalam: Brammer CM. Penyunting. Manual of PM&R. Philadelphia: Hanley & Belfus, Inc.; 2002. h. 281-95.
Tong HC, Brammer CM. Deconditioning and bed rest. Dalam: Brammer CM. Penyunting. Manual of PM&R. Philadelphia: Hanley & Belfus, Inc.; 2002. h. 221-8.
Alterations in blood pressure: hypertension and orthostatic hypotension. Dalam: Porth CM. Penyunting. Pathophysiology Concepts of Altered Health States. 5th ed. Philadelphia: Lippincott; 1998. h. 379-82.
LAMPIRAN 1
INDEKS AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI BARTHEL (AKS BARTHEL)
No Fungsi Skor Keterangan Nilai Skor
1 Mengendalikan rangsang pembuangan tinja
0 1 2
Tak terkendali/tak teratur (perlu pencahar) Kadang-kadang tak terkendali (1x seminggu) Terkendali teratur
2 Mengendalikan rangsang berkemih
0 1 2
Tak terkendali atau pakai kateter Kadang-kadang tak terkendali (hanya 1x/ 24 jam) Mandiri
3 Membersihkan diri (seka muka, sisir rambut, sikat gigi)
0 1
Butuh pertolongan orang lain Mandiri
4 Penggunaan jamban, masuk dan keluar (melepaskan, memakai celana, membersihkan, menyiram)
0 1 2
Tergantung pertolongan orang lain Perlu pertolongan pada beberapa kegiatan tetapi dapat mengerjakan sendiri beberapa kegiatan yang lain Mandiri
5 Makan 0 1 2
Tidak mampu Perlu ditolong memotong makanan Mandiri
6 Berubah sikap dari berbaring ke duduk
0 1 2 3
Tidak mampu Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk (2 orang) Bantuan minimal 1 orang Mandiri
7 Berpindah / berjalan 0 1 2 3
Tidak mampu Bisa (pindah) dengan kursi roda Berjalan dengan bantuan 1 orang Mandiri
8 Memakai baju 0 1 2
Tergantung orang lain Sebagian di bantu (misalnya mengancing baju) Mandiri
9 Naik turun tangga 0 1 2
Tidak mampu Butuh pertolongan Mandiri
10 Mandi 0 1
Tergantung orang lain Mandiri
TOTAL SKOR
Keterangan : Skor AKS BARTHEL
20 : Mandiri 5 – 8 : Ketergantungan berat
12-19 : Ketergantungan ringan 0 – 4 : Ketergantungan total
9 – 11 : Ketergantungan sedang
LAMPIRAN 2
ABBREVIATED MENTAL TEST (AMT)
Status mental Nilai
A. Umur ...................... tahun
B. Waktu / jam sekarang ..........................
C. Alamat tempat tinggal ..........................
D. Tahun ini ..........................
E. Saat ini berada di mana .............................
F. Mengenali orang lain (dokter, perawat, penanya)
G. Tahun kemerdekaan RI ................................
H. Nama Presiden RI ..................................
I. Tahun kelahiran pasien atau anak terakhir ..........
J. Menghitung terbalik (20 s/d 1) ..........................
0. Salah 1. Benar
0. Salah 1. Benar
0. Salah 1. Benar
0. Salah 1. Benar
0. Salah 1. Benar
0. Salah 1. Benar
0. Salah 1. Benar
0. Salah 1. Benar
0. Salah 1. Benar
0. Salah 1. Benar
K. Perasaan hati (afeksi) A. Baik B. Labil C. Depresi
D. Gelisah E. Cemas
Total Skor :
(diisi oleh petugas)
Keterangan:
Skor AMT 0-3 : Gangguan ingatan berat 4-7 : Gangguan ingatan sedang 8-10 : Normal
LAMPIRAN 3
MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)
Nama Responden : Nama Pewawancara :
Umur Responden : Tanggal Wawancara :
Pendidikan : Jam mulai :
Nilai Maksimum
Nilai Responden
5 5
( )
( )
ORIENTASI Sekarang (hari-tanggal-bulan-tahun) berapa dan musim apa? Sekarang kita berada dimana? (Nama rumah sakit atau instansi, jalan, nomor rumah, kota, kabupaten, propinsi)
3
( )
REGISTRASI Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda, misalnya : Satu detik untuk tiap benda. Kemudian mintalah responden mengulang ke tiga nama benda tersebut. Berilah nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar, bila masih salah, ulangi penyebutan ke tiga nama benda tersebut sampai responden dapat mengatakannya dengan benar : (bola, kursi, sepatu) Hitunglah jumlah percobaan dan catatlah : --------- kali.
5
( )
ATENSI DAN KALKULASI Hitunglah berturut-turut selang 7 angka mulai dari 100 ke bawah. Berhenti setelah 5 kali hitungan (93-86-79-72-65). Kemungkinan lain, ejalah kata dengan lima huruf, misalnya ’ DUNIA’ dari akhir ke awal / dari kanan ke kiri : ’AINUD’. Satu (1) nilai untuk setiap jawaban yang benar.
3
( )
MENGINGAT Tanyakan kembali nama ke tiga benda yang telah disebut di atas. Berikan nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar.
9
( )
BAHASA a. Apakah nama benda ini? Perlihatkanlah pinsil dan arloji (2 nilai)
b. Ulangi kalimat berikut: ”JIKA TIDAK, DAN ATAU TAPI” (1 nilai ) c. Laksanakanlah 3 buah perintah ini :
Peganglah selembar kertas dengan tangan kananmu, lipatlah kertas itu pada pertengahan dan letakkan di lantai. ( 3 nilai )
d. Bacalah dan laksanakan perintah berikut : ” PEJAMKAN MATA ANDA” (1 nilai) e. Tulislah sebuah kalimat ! (1 nilai)
f. Tirulah gambar ini ! (1 nilai
Jumlah nilai :
( )
Tandailah tingkat kesadaran responden pada garis absis di bawah ini dengan huruf ’X’ SADAR SOMNOLEN STUPOR KOMA Jam selesai : Tempat wawancara :
Lembar Lampiran MMSE (BAHASA) :
• BACALAH DAN LAKSANAKANLAH PERINTAH BERIKUT : ”PEJAMKAN MATA ANDA ! ”
• TULISLAH SEBUAH KALIMAT ! ......................................................................................................................................................................................................................................................................................................
• TIRULAH GAMBAR INI !
LAMPIRAN 4
GERIATRIC DEPRESSION SCALE (GDS)
No. Pertanyaan Jawaban
1. Apakah anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda? YA TIDAK
2. Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat atau kesenangan anda? YA TIDAK
3. Apakah anda merasa kehidupan anda kosong? YA TIDAK
4. Apakah anda sering merasa bosan? YA TIDAK 5. Apakah anda sangat berharap terhadap masa depan? YA TIDAK
6. Apakah anda merasa terganggu dengan pikiran bahwa anda tidak dapat keluar dari pikiran anda?
YA TIDAK
7. Apakah anda merasa mempunyai semangat yang baik setiap saat? YA TIDAK
8. Apakah anda merasa takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada diri anda? YA TIDAK
9. Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup anda? YA TIDAK
10. Apakah anda sering merasa tidak berdaya? YA TIDAK
11. Apakah anda sering merasa resah dan gelisah? YA TIDAK
12. Apakah anda lebih senang berada di rumah daripada pergi ke luar rumah dan melakukan hal-hal yang baru?
YA TIDAK
13. Apakah anda sering merasa khawatir terhadap masa depan anda? YA TIDAK
14. Apakah anda merasa memiliki banyak masalah dengan daya ingat anda dibandingkan kebanyakan orang?
YA TIDAK
15. Apakah menurut anda hidup anda saat ini menyenangkan? YA TIDAK
16. Apakah anda sering merasa sedih? YA TIDAK
17. Apakah saat ini anda merasa tidak berharga? YA TIDAK
18. Apakah anda sangat mengkhawatirkan masa lalu anda? YA TIDAK
19. Apakah anda merasa hidup ini sangat menarik dan menyenangkan? YA TIDAK
20. Apakah sulit bagi anda untuk memulai sesuatu hal yang baru? YA TIDAK
21. Apakah anda merasa penuh semangat? YA TIDAK
22. Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada harapan? YA TIDAK
23. Apakah anda merasa orang lain memiliki keadaan yang lebih baik dari anda? YA TIDAK
24. Apakah anda sering merasa sedih terhadap hal-hal kecil? YA TIDAK
25. Apakah anda sering merasa ingin menangis? YA TIDAK
26. Apakah anda mempunyai masalah dalam berkonsentrasi? YA TIDAK
27. Apakah anda merasa senang ketika bangun di pagi hari? YA TIDAK
28. Apakah anda lebih memilih untuk tidak mengikuti pertemuan-pertemuan sosial/ bermasyarakat?
YA TIDAK
29. Apakah mudah bagi anda untuk membuat keputusan? YA TIDAK
30. Apakah pikiran anda secerah biasanya? YA TIDAK
Skor: hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal
• Setiap jawaban bercetak tebal mempunyai nilai 1.
• Skor antara 5 – 9 menunjukkan kemungkinan besar depresi
• Skor 10 atau lebih menunjukkan depresi
LAMPIRAN 5
Bila tidak bermasalah pertimbangkan untuk program latihan jasmani
Gambar 1. Strategi klinis untuk pengkajian dan penatalaksanaan keterbatasan mobilitas
Kaji tingkat mobilitas : Nonambulatori atau ambulatori
Kaji lama dan konsekuensinya
Kaji beratnya hambatan untuk perbaikan: - Defisit kognitif berat - Keterbatasan mobilitas yang berkepanjangan - Gangguan fisik ireversibel
- Kurangnya target dari pasien dan keluarga
Hambatan besar: sedikit atau tidak ada potensi
Tidak ada hambatan yang besar: potensial untuk perbaikan mobilitas
Asuhan untuk masalah mobilitas yang menetap - Tingkat asuhan yang diperlukan - Pelatihan bagi pramuwerdha (caregiver) - Peralatan - Adaptasi Lingkungan
Upaya untuk memperbaiki mobilitas - Kaji kemampuan mobilitas secara detil - Pengkajian & tatalaksana medis dari
gangguan - Pengkajian & tatalaksana biomekanik
dgn rehabilitasi dan latihan - Tim pengkajian dan asuhan untuk
hambatan psikologis, sosial dan lingkungan
Tidak ada perbaikan
Perbaikan
LAMPIRAN 6 TROMBOSIS VENA DALAM
Gejala pada tungkai dan dengan klinis adanya
trombosis vena dalam
Tentukan probabilitas adanya DVT
Probabilitas rendah Probabilitas sedang atau tinggi
Pemeriksaan D-Dimer ` Pemeriksaan ultrasonografi vena
Negatif Positif atau tidak tersedia Negatif Positif
Trombosis vena Pemeriksaan ultrasonogrfi Pemeriksaan Terdapat trombosis
dalam dapat vena D-Dimer vena dalam
disingkirkan
Negatif Positif Negatif Positif Terapi
Trombosis vena Terdapat trombosis Trombosis vena Pemeriksaan
dalam dapat vena dalam dalam dapat lebih lanjut
disingkirkan disingkirkan (misal: pemeriksaan II
ultrasonografi vena,
Terapi venografi)
Gambar 2. Algoritme diagnosis trombosis vena dalam
LAMPIRAN 7
EMBOLI PARU
Gejala dan tanda klinis emboli paru
Perkirakan probabilitas klinis adanya emboli paru
Pemeriksaan pencitraan paru
(dapat dipilih)
CT Pulmonary angiography Ventilation-perfusion lung scan
Positif Negatif Hasil scan normal
Diagnosis Pemeriksaan tungkai bawah Probabilitas rendah Evaluasi lebih lanjut
emboli paru dengan ultrasonografi kompresi atau sedang dari untuk diagnosis lain
pemeriksaan scan
(non diagnostik)
Terapi Negatif Positif
Probabilitas klinis Diagnosis emboli paru Probabilitas tinggi
Dari pemeriksaan scan
Rendah Sedang Tinggi Terapi Probabilitas klinis
Pemeriksaan angiografi Rendah Sedang atau tinggi
D-Dimer atau
Ultrasonografi
Serial Angiografi Diagnosis emboli paru
Negatif Positif Negatif Positif Terapi
Evaluasi Diagnosis emboli Evaluasi Diagnosis emboli
lebih lanjut paru lebih lanjut paru
untuk diagnosis untuk diagnosis
lain lain
Terapi Terapi
Gambar 3. Algoritme diagnosis emboli paru
LAMPIRAN 8
PROFILAKSIS TROMBOEMBOLI VENA PADA PASIEN YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT
Gambar 4. Panduan rekomendasi dan konsensus bebas tromboemboli vena
Evaluasi Faktor Risiko
Apakah mobilitas pasien berkurang dan apakah ada faktor risiko lain?
(lihat tabel 1)
Tabel 1. Faktor Risiko
Tromboemboli Vena
- Usia >40 tahun - ICU - Riwayat tromboemboli vena (trombosis vena dalam atau emboli paru)
- Obesitas - Strok iskemik (non-hemoragik) - Gagal jantung & penyakit paru kronik
- Gagal napas & pneumonia - Infeksi berat - Trombofilia - Gangguan active-collagen vaskular
- Gangguan inflamasi - Kateterisasi vena sentral & vena
varikosa
Pasien harus dievaluasi tiap hari untuk memonitor timbulnya faktor risiko tromboemboli vena
selama perawatan
Timbul faktor risiko untuk tromboemboli vena
selama perawatan
TATALAKSANA PROFILAKSIS
Profilaksis terhadap
tromboemboli vena
Tidak
Ya
Ya
Tabel 2. Kemungkinan Kriteria Eksklusi untuk Profilaksis
Tromboemboli Vena
Kriteria Eksklusi
Adakah kemungkinan kriteria eksklusi untuk profilaksis farmakologi (antikoagulan)?
(lihat tabel 2)
Indikasi untuk penggunaan metode mekanik (misalnya intermittent
pneumatic compression)
PROFILAKSIS • Low-molecular-weight heparin (LMWH) Diberikan sampai terdapat perbaikan kondisi klinis pasien
• UNFRACTIONATED HEPARIN (UFH) 5000 IU setiap 8 jam Diberikan sampai terdapat perbaikan kondisi klinis pasien
Uji klinik merekomendasikan penggunaan profilaksis farmakologi selama 7-12 hari, meskipun terapi jangka pendek dan panjang
sesuai dengan faktor klinis atau lama perawatan
Ya
Tidak
Semua pasien harus diskrining dan dipertimbangkan untuk profilaksis terhadap trombosis vena dalam
- Perdarahan aktif - Hipersensitif terhadap UFH atau LMWH
- Insufisiensi ginjal bermakna (tes klirens kreatinin <30 ml/menit)
- Koagulopati - Heparin induced trombocytopenia - Bedah intrakranial atau intraokular
- Anestesia epidural/spinal (24 jam)