www.futurumcorfinan.com
Page 1
25 % Rule:
Masih Relevankah dalam Penentuan Royalti?
Pengantar
Ric Richardson, mungkin anda kurang familiar dengan nama ini. Namun nama ini sempat
mencuat di tahun 2009 ketika gugatan yang ia lakukan dikabulkan oleh pengadilan. Tidak
tanggung-tanggung kompensasi atas gugatan yang ia dapat adalah $ 388 juta. Kasus ini sendiri
melibatkan Uniloc (perusahaan yang didirikan oleh Ric Richardson) dan perusahaan IT raksasa
Microsoft. Uniloc menggugat Microsoft untuk membayar royalti atas penggunaan teknologi dari
Uniloc. Sayangnya pada tahun 2011, pengadilan membatalkan keputusan di tahun 2009 dan
menolak untuk menyetujui pembayaran royalti dengan alasan metode perhitungan yang dipakai
oleh Uniloc tidak dapat diterima.
Pengukuran nilai royalti dari penggunaan suatu hak kekayaan intelektual merupakan hal yang
kompleks dan sampai saat ini belum ada penggunaan metode standar yang disetujui oleh
semua pihak. Dalam perkembangannya terdapat beberapa metode yang bisa dipakai
diantaranya adalah Discounted Cash Flow, kapitalisasi pendapatan, Return on Investment,
Muhammad Putrawal
DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,
ATAU MENDISTRIBUSIKAN
SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN
INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS
DARI PENULIS
Untuk pertanyaan atau komentar bisa
diposting melalui website
www.futurumcorfinan.com
www.futurumcorfinan.com
Page 2
simulasi Monte Carlo, dan juga modifikasi dari pendekatan Black-Scholes. Selain metode ini
sebenarnya ada satu metode lagi yang cukup populer dan sering digunakan sebagai acuan
dalam melakukan penilaian hak kekayaan intelektual, metode ini dikenal dengan nama 25%
rule. Metode ini cukup sederhana dan sudah digunakan sejak tahun 70an dan masih terus
digunakan sampai sekarang. Richard Razgaitis menyebutnya sebagai “The most famous
heuristic, or rule of thumb” untuk menilai hak kekayaan intelektual1.
Metode 25% rule menyarankan bahwa pemakai paten (licensee) membayar tarif royalti setara
25% dari yang ekspetasi laba yang diharapkan untuk produk yang memakai manfaat paten
tersebut. 25% Rule telah digunakan terutama dalam menilai paten, aturan ini juga berguna (dan
diterapkan) dalam menilai hak cipta, merek dagang, rahasia dagang, dan skill/pengetahuan
teknis (technical know-how). Aturan ini sudah umum digunakan sejak beberapa dekade lalu.
Waktu terus berjalan dan kini bisnis mulai mengalami perubahan. Mulai muncul pertanyaan
apakah aturan ini masih berlaku? Apakah aturan ini masih mempunyai pengaruh yang kuat dan
relevan untuk digunakan sebagai dasar penentuan tarif royalti?
Terdapat beberapa pihak yang pro dan kontra terhadap penerapan aturan ini. Mulai muncul
beberapa kasus dimana terjadi penolakan penggunaan 25% rule sebagai dasar perhitungan
royalti. Salah satu kasus yang paling mencuat adalah keputusan pengadilan sengketa antara
Uniloc U.S.A., Inc. versus Microsoft Corp di tahun 2011. Dalam kasus ini, pengadilan setempat
memutuskan untuk tidak menerima metode 25% rule sebagai dasar dari perhitungan royalti
paten yang harus dibayarkan. Setelah kasus ini mulai muncul perdebatan bagaimana
pembayaran royalti yang wajar dan apakah 25 % rule ini masih bisa dipakai. Tulisan ini akan
membahas apa itu sebenarnya 25 % rule, bagaimana aturan ini diterapkan serta perdebatan
apakah aturan ini masih layak untuk diterapkan.
Sejarah 25 % Rule
Menurut beberapa sumber 25% rule secara resmi dikembangkan sejak beberapa dekade yang
lalu oleh Robert Goldscheider. Pada tahun 1950an Goldscheider, melakukan beberapa
penelitian empiris terhadap salah satu kliennya, anak perusahaan Amerika yang beroperasi di
Swiss. Perusahaan ini memiliki 18 lisensi eksklusif yang berlaku di seluruh dunia dengan masa
berlaku lisensi 3 tahun plus opsi untuk dapat diperpanjang. Pada penelitian ini ditemukan
bahwa perusahaan pemakai (licensee) menghasilkan laba sekitar 20% dari penjualan, dan
1 Razgaitis, Early-Stage Technologies, p. 96.
www.futurumcorfinan.com
Page 3
mereka membayar royalti kepada pemegang lisensi (licensor) sebesar 5% dari penjualan.
Dengan demikian, tingkat royalti yang dibayarkan merupakan 25% dari laba produk berlisensi
tersebut2.
Goldscheider pertama kali menulis metode ini pada tahun 1971.3 Walaupun dia juga
menyebutkan bahwa metode seperti ini sudah ada sebelumnya.4 Misalnya, pada tahun 1958,
Albert S. Davis seorang konsultan untuk Research Corporation, perusahaan yang mempelopori
pemberian lisensi untuk penemuan-penemuan teknologi yang dihasilkan oleh Universitas.
Albert S. Davis menulis: "Jika paten melindungi licensee dari kompetisi dan digunakan secara
valid, royalti yang diberikan harus mewakili sekitar 25% dari laba yang diharapkan.5
Bentuk metode yang sama juga muncul pada tahun 1938, ketika pengadilan the Sixth Circuit
Court of Appeals sedang menghadapi masalah dalam penentuan royalti yang wajar. Dalam
pengadilan tersebut ada pernyataan dari saksi ahli yang menyatakan bahwa "hak royalti yang
diberikan kepada penemu harus merepresentasikan proporsi tertentu dari laba yang dibuat oleh
produsen. Porsi untuk penemu mulai dari 10% hingga 30 % dari laba bersih produk tersebut.6
Pemikiran yang mendasari munculnya metode ini adalah bahwa licensor dan licensee harus
melakukan pembagian atas laba yang dihasilkan oleh produk yang memakai teknologi yang
dipatenkan. Ada asumsi adalah bahwa licensee berhak atas mayoritas terbesar dari pembagian
(misalnya, 75%) dari laba karena melakukan pengembangan awal, pengembangan lanjutan,
pemasaran produk, kontribusi teknologi / kekayaan intelektual pendukung, menanggung beban
operasional, dan menganggung risiko komersialisasi.7
Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah atas apa tarif royalti ini dibebankan? Dibebankan
terhadap laba yang mana? Terdapat beberapa hal yang dapat diperhatikan:
2 Robert Goldscheider, Technology Management: Law/Tactics/Forms (New York: Clark Boardman, 1991),
section 10.04.
3 Robert Goldscheider and James T. Marshall, “The Art of Licensing—From the Consultant’s Point of View,”
The Law and Business of Licensing 2 (1980), p. 645.
4 Goldscheider, Technology Management.
5 Albert S. Davis, Jr., “Basic Factors to Be Considered in Fixing Royalties,” Patent Licensing, Practicing Law
Institute (1958).
6 Horvath v. McCord Radiator and Mfg. Co. et al., 100 F.2d 326, 335 (6th Cir. 1938).
7 Robert Goldscheider, John Jarosz, and Carla Mulhern. Use of The 25 PerCent Rule in Valuing Intellectual Property
(2002). Page 1
www.futurumcorfinan.com
Page 4
Laba yang diperhitungkan adalah laba pihak licensee8, hal ini wajar mengingat pihak
licensee-lah yang akan menggunakan hak kekayaan intelektual. Nilai dari hak kekayaan
intelektual itu sendiri sebagian besar akan ditentukan oleh ketentuan khusus untuk
penggunanya (contohnya infrastruktur organisasional).9 Hak kekayaan intelektual seperti
halnya aset yang lain akan bermakna ketika berhasil menimbulkan manfaat saat
penggunaannya.10 Penggunaan hak kekayaan intelektual sendiri bertujuan untuk
mendapatkan manfaat di masa depan sehingga perhitungan akan fokus pada laba yang
diharapkan di masa depan untuk itu biaya yang berhubungan dengan masa lalu atau
sunk cost seharusnya diabaikan dalam perhitungan.11
Laba yang dimaksud laba disini adalah laba jangka panjang.12 Penggunaan dari suatu
lisensi bukan hanya berdampak untuk jangka waktu yang singkat saja namun juga
berpengaruh dalam jangka panjang. Jika analis hanya fokus pada periode yang pendek,
misalnya periode satu bulan atau satu tahun biasanya tidak akan merefleksikan manfaat
8 Dalam kasus penentuan royalti Standard Manufacturing Co., Inc dan DBP, Ltd v. United States, masing-masing ahli
dari kedua belah pihak fokus pada tingkat laba pengguna paten. Dalam kasus ini pengadilan mengambil
pengecualian dengan memakai laba dari pihak terdakwa, pengadilan memberikan pernyataan “bahwa keuntungan
pihak terdakwa lebih realistis dan dapat diandalkan dalam menghitung keuntungan yang diperoleh untuk [penggugat]
mengingat sebagian besar laba yang dihasilkan hasil dari penjualan produk yang sedang dipermasalahkan." Standar
Manufacturing Co, Inc. dan DBP, Ltd v. Amerika Serikat, 42 Fed. Cir. 748, 767 (1999). Pengadilan mencatat bahwa
berbagai pengadilan federal dengan kasus serupa mengambil pendekatan yang sama, mengutip Mahurkar v. CR
Bard., Inc, Davol Inc, dan Bard Access System, Inc., 79 F.3d 1572, 1580 (Fed. Cir. 1996) (pengadilan distrik tidak
mempermasalahkan dalam perhitungan porsi royalti dengan menggunakan laba dari produk yang sedang
dipermasalahkan); TWM Manufacturing Co, Inc v Dura Corp dan Kidde, Inc., 789 F. 2d 895, 899 (Fed Cir 1986..)
(Pengadilan menegaskan perhitungan kerugian berdasarkan keuntungan dari hak paten yang digunakan ).; Trans-
World Manufacturing Corp v. Al Nyman & Sons, Inc., dan Al-Site Corporation, 750 F. 2d 1552, 1568 (Diantara faktor-
faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan tarif royalti yang wajar adalah keuntungan yang diharapkan dari
penggunaan hak kekayaan intelektual dan bukti/fakta laba aktual yang sudah didapatkan dari paten yang
dipermasalahkan).
9 Baruch Lev, “Rethinking Accounting,” Financial Executive Online (March/April 2002), www.fei.org/
maggable/articles/3-4-2002.coverstory.cfm.
10 Dalam keadaan tertentu, laba dari licensor bisa dijadikan sebagai acuan.Artinya, keuntungan tersebut
mencerminkan keseriusan pihak tersebut dalam mengembangkan lisensi. Keuntungan tersebut juga dapat berfungsi
sebagai alternatif untuk mencari laba yang hilang atau lisensi yang tidak diketahui keuntungannya.
11 Richard Brealey and Stewart C. Myers, Principles of Corporate Finance, sixth ed. (New York: McGraw-Hill,
2000), p. 123.
12 Razgaitis, Early-Stage Technologies.
www.futurumcorfinan.com
Page 5
masa berkelanjutan yang akan dihasilkan oleh penggunaan hak kekayaan intelektual.
Selain itu beberapa perusahaan baru ataupun produk baru akan membutuhkan waktu
untuk mencapai tingkat operasional yang stabil dan efisiensi. Untuk itu, dalam rangka
mengevaluasi economic return dari suatu produk secara benar, terkadang investasi di
muka perlu untuk diamortisasi selama umur ekonomis produk (bukan hanya
ditempatkan di tahun awal nya).
Laba yang dipakai adalah “Fully loaded”, laba ini muncul setelah mempertimbangkan
bahwa faktanya terdapat biaya-biaya di luar biaya produksi yang masih perlu
dikeluarkan untuk mendukung aktivitas produk, meskipun biaya ini terkadang tidak bisa
dihubungkan langsung dengan volume produksi. Bagaimanapun biaya ini muncul
berkaitan dengan kepentingan terhadap produk yang dihasilkan. Kegagalan untuk
memperhitungkan biaya operasional ini dapat menyebabkan tingkat perhitungan
pengembalian produk yang terkesan terlalu tinggi.13
Dalam akuntasi terdapat beberapa macam istilah laba yang dikenal. Salah satunya adalah laba
kotor, laba kotor merupakan selisih antara pendapatan dan biaya produksi. Namun
bagaimanapun laba kotor tidak memperhitungkan semua biaya operasional yang berhubungan
dengan aktivitas setelah produksi. Biaya tersebut antara lain meliputi biaya pemasaran dan
penjualan, biaya umum dan administrasi, serta biaya penelitian dan pengembangan.
Bagaimanapun biaya ini terkait dengan produk yang akan dijual, untuk itu biaya ini tetap harus
diperhitungkan.
Ilustrasi Penggunaan 25% Rule
Hak kekayaan intelektual seperti halnya aset lain, dapat (dan) dinilai dengan menggunakan tiga
pendekatan, yaitu income approach, market approach, dan cost approach.14 Income approach
berfokus pada pengembalian yang dihasilkan oleh licensee karena manfaat hak kekayaan
13
Robert Goldscheider, John Jarosz, and Carla Mulhern. Use of The 25 PerCent Rule in Valuing Intellectual
Property(2002). Page 3
14 Shannon P. Pratt et al., Valuing a Business: The Analysis and Appraisal of Closely Held Companies, Third ed.
(New York: McGraw-Hill, 1996), pp. 149–285; Shannon P. Pratt et al., Valuing Small Businesses and Professional
Practices, Second ed. (New York: McGraw-Hill, 1993), pp. 507–524; Smith and Parr, Valuation of Intellectual
Property and Intangible Assets, pp. 127–136; Reilly and Schweihs, Valuing Intangible Assets, pp. 118–203.
www.futurumcorfinan.com
Page 6
intelektual yang dipakai. Market approach berfokus pada nilai market dari transfer teknologi
yang dilakukan. Cost approach berfokus pada kemampuan (dan biaya) yang diperlukan untuk
mengembangkan alternatif aset yang bertujuan untuk menghasilkan manfaat yang sama bagi
perusahaan (efisiensi).
25% rule merupakan bentuk dari income approach. Penggunaan metode ini sangat berguna
dalam kondisi hak kekayaan intelektual yang dipakai memberikan porsi yang signifikan dalam
suatu produk dan (atau) ketika manfaat tambahan dari hak kekayaan intelektual itu sulit untuk
diukur.15
Manfaat penggunaan hak kekayaan intelektual seringkali dikaitkan dengan peningkatan
pendapatan ataupun pengurangan biaya yang ditimbulkan oleh pemakaian suatu hak kekayaan
intelektual.16 25% Rule dapat (dan) diterapkan ketika pihak licensee melaporkan pendapatan
per lini produk dan data laba operasi yang dimunculkan sudah termasuk hak kekayaan
intelektual. Perlu diperhatikan bahwa bukan berarti yang menjadi satu-satunya penggerak
dalam penentuan value produk tersebut adalah karena pemanfaatan hak kekayaan intelektual
(Bahkan, yang mendasari 25% rule adalah pemahaman bahwa penggerak value dari suatu
produk tersebut terdiri dari beberapa faktor). Itulah sebabnya hanya sebagian dari laba (25%)
yang akan dibayar sebagai biaya lisensi. Dan bisa jadi pembagian laba yang sesuai mungkin
kurang dari 25% dari laba produk.
Aturan ini juga dapat (dan) diterapkan walau pihak licensee tidak melaporkan laba produk di
tingkat laba operasional. (Bahkan, pada kenyataan hanya sedikit perusahaan yang melaporkan
laba produk sampai level ini). Selama pendapatan produk dan harga pokok penjualan
dilaporkan (contoh : ada keterangan laba kotor), akuntan atau ekonom dapat (dan tidak)
mengalokasikan biaya umum (biaya di luar biaya produksi) untuk setiap lini produk dalam
rangka untuk memperoleh laba operasional. Ilustrasi berikut menunjukkan bagaimana aturan ini
diterapkan.17
15
Robert Goldscheider, John Jarosz, and Carla Mulhern. Use of The 25 PerCent Rule in Valuing Intellectual
Property(2002). Page 3
16 Paul E. Schaafsma, “An Economic Overview of Patents,” Journal of the Patent Trademark Office Society 79
(April 1997), pp. 251, 253.
17 Robert Goldscheider, John Jarosz, and Carla Mulhern. Use of The 25 PerCent Rule in Valuing Intellectual Property
(2002). Page 4
www.futurumcorfinan.com
Page 7
Sebuah hak kekayaan intelektual dapat meningkatkan atau memperbaiki pendapatan produk
melalui peningkatan harga jual (meskipun ada kemungkinan terjadi penurunan volume
penjualan) atau melalui peningkatan volume penjualan.
Kolom kedua pada ilustrasi di atas menggambarkan dampak dari paten terhadap peningkatan.
Dengan menerapkan 25% rule terhadap laba operasi maka didapatkan tingkat royalti sebesar
9,1%.
Sebuah hak kekayaan intelektual juga dapat mengurangi biaya produksi ataupun biaya
operasional untuk membuat suatu produk. Ilustrasi dibawah menggambarkan bahwa dengan
menerapkan 25% rule terhadap laba operasi didapatkan tingkat royalti sebesar 10%.18
18
Robert Goldscheider, John Jarosz, and Carla Mulhern. Use of The 25 PerCent Rule in Valuing Intellectual
Property(2002). Page 5
www.futurumcorfinan.com
Page 8
Aplikasi dan Justifikasi dari 25% Rule
25% Rule telah digunakan dalam kasus penggunaan lisensi dan juga dalam litigasi. Selama
lebih dari tiga dekade, berbagai studi telah mencatat penggunaan metode ini secara luas.
Dalam survei yang diterbitkan pada tahun 1997 mengenai penggunaan lisensi, Degnan dan
Horton menemukan bahwa sekitar 25% (angka ini hanya kebetulan belaka) perusahaan pemilik
lisensi menggunakan aturan 25% sebagai dasar awal dalam negosiasi. Mereka juga
menemukan bahwa sekitar 50% dari organisasi menggunakan "analisis profit-sharing" (variasi
lain dari 25% rule) dalam menentukan royalti.19
Salah satu contoh kasus adalah Standard Manufacturing Co., Inc. and DBP, Ltd. v. United
States, Pengadilan AS mengklaim menggunakan pendekatan dua-langkah untuk menentukan
tarif royalti yang wajar.20 Langkah pertama melibatkan estimasi dari nilai awal atau patokan
dasar untuk tarif royalti. Langkah kedua mensyaratkan dilakukan penyesuaian, baik positif atau
negatif tergantung dari kekuatan pada tawar-menawar dari kedua pihak. Kekuatan tawar
menawar ini biasa berkaitan dengan 15 faktor yang dijelaskan dalam Georgia Pacific Corp. v.
United States Plywood Corporation.21 Kasus ini memutuskan bahwa aplikasi dari 25% rule
merupakan pendekatan yang tepat untuk menentukan tarif dasar dari royalti yang akan
dibayarkan. Pengadilan juga mengungkapkan bahwa pengadilan-pengadilan lain juga mengakui
25% rule sebagai rule of thumb dalam penentuan royalti lisensi.
Berdasarkan pengamatan terdahulu, aturan ini terbukti memberikan panduan yang berguna
bagi pihak licensee dan licensor dalam mempertimbangkan porsi pembagian laba yang didapat
dari penggunaan hak kekayaan intelektual. Sebuah logika yang tidak realistis jika salah satu
pihak ingin mendapatkan seluruh laba 100% secara keseluruhan. Jelas dengan situasi ini tidak
akan ada kesepakatan tawar-menawar yang akan tercapai. Pembagian dengan 50/50 nampak
reasonable sebagai win-win solution, meski pada kenyataannya, bukti di lapangan
menunjukkan sebaliknya. Richard Razgaitis telah mengidentifikasi enam alasan bahwa
penggunaan pembagian 25/75 sebagai nilai dasar awal sangatlah logis22 :
19
Degnan and Horton, “A Survey of Licensed Royalties,” p. 92.
20 Standard Manufacturing Co., Inc. and DBP, Ltd. v. United States, 42 Fed. Cir. 748 (1999 U.S. Claims LEXIS 11)
21 Georgia-Pacific Corp. v. United States Plywood Corporation, 318 F. Supp. 1116 (S.D.N.Y. 1970), modified
and aphid, 446 F.2d 295 (2d Cir. 1971).
22 Razgaitis, Early-Stage Technologies, pp. 99–102.
www.futurumcorfinan.com
Page 9
1. "Memang beginilah adanya." Banyak pemberi lisensi dan pemegang lisensi telah
menyetujui pembagian 25/75. Hal ini, menurut Razgaitis, merupakan suatu norma
industri.
2. Biasanya 75% dari pekerjaan yang diperlukan untuk mengembangkan dan
mengkomersialkan produk harus dilakukan oleh penerima lisensi.
3. "He who has the gold makes the rules." hak kekayaan intelektual memiliki pengaruh
yang cukup besar dalam suatu bisnis, banyak alternatif investasi yang terbuka
dikarenakan adanya penggunaan hak kekayaan intelektual.
4. Rasio tingkat pengembalian (payback ratio) sebanyak 3 kali adalah hal yang umum.
Rasio ini juga dapat diperoleh licensee dengan mendapatkan 75% dari laba dengan
investasi sebesar 25%.
5. Teknologi adalah hal yang pertama dari 4 proses yang diperlukan dalam komersialisasi.
Hal yang lain adalah membuat produk siap untuk di proses, melakukan pemrosesan,
dan menjualnya.
6. Rasio penelitian dan pengembangan (R&D) terhadap laba umumnya berada di kisaran
25-33%.
Apakah 25% Rule masih relevan digunakan? : Kasus Uniloc Vs Microsoft
Dalam keputusan pengadilan kasus Uniloc vs Microsoft pada tahun 2011. Pengadilan Federal
membuat dua keputusan yang memberikan perubahan signifikan dalam standar pembayaran
royalti dalam hal hak kekayaan intelektual. Pertama, pengadilan menghapuskan 25% rule
sebagai “rule of thumb” yang sebelumnya biasa digunakan sebagai dasar untuk menghitung
tarif royalti yang wajar, Kedua, Pengadilan menekankan keterbatasan menggunakan "market
value" test yang dilakukan oleh pihak Uniloc.
Awal mula kasus ini dimulai pada tahun 2003 ketika Uniloc menggugat Microsoft yang dianggap
telah menggunakan teknologi yang telah mereka daftarkan hak patennya. Teknologi yang
dipermasalahkan melibatkan sistem registrasi software. Saat pertama kali menginstall suatu
aplikasi, pengguna software akan membutuhkan untuk memasukkan password untuk
mengaktifkan aplikasi ini. Sistem registrasi ini telah dipatenkan oleh Uniloc, tujuan registrasi ini
sendiri dimaksudkan untuk mencegah pengguna software memperbanyak software ini tanpa
seizin dari produsen software yang sah. (Jika anda sudah pernah menggunakan nomor seri
atau password untuk mengaktifkan aplikasi Microsoft Word saat penginstallan, anda sudah
www.futurumcorfinan.com
Page 10
menggunakan teknologi yang dipersoalkan). Pada persidangan di Rhode Island tanggal 8 April
2009 juri memutuskan bahwa Microsoft telah melanggar paten Uniloc. Berdasarkan perhitungan
dari ahli pihak Uniloc disebutkan bahwa jumlah ganti rugi royalti yang perlu dibayarkan sebesar
$ 565.000.000. Ahli Uniloc menggunakan dua pendekatan dalam kalkulasi perhitungan ini,
yaitu "25% Rule" dan "Entire Market Value Rule," Jumlah tersebut tidak sepenuhnya disetujui
oleh juri. Berdasarkan keputusan juri akhirnya ditetapkan bahwa Uniloc akan dibayar $
388.000.000.23
Logika dari tim ahli Uniloc tergambar dari ilustrasi dibawah. Diasumsikan bahwa per produknya
memiliki value added sebesar $ 10 dengan 25% rule maka porsi untuk Uniloc adalah $ 2,5 per
produk. Dikalikan dengan total seluruh produk maka didapat Angka $ 565.000.000.
Tim ahli Uniloc lalu memperkuat analisa ini dengan mengadakan reasonable checking dengan
membandingkan nilai royalti dengan total market value dari penjualan produk tersebut. Didapat
bahwa total royalti hanyalah bagian kecil jika dibandingkan dengan total sales nya (hanya 2,9%)
Pada tanggal 4 Januari tahun 2011, the United States Court of Appeals for the
Federal Circuit membatalkan keputusan sebelumnya dan mengeluarkan keputusan bahwa
acuan 25 % rule yang dipakai oleh pihak Uniloc tidak dapat diterima.
Pengadilan mencapai kesimpulan bahwa (i) aturan ini memiliki kecacatan fundamental dalam
menentukan tarif dasar dari royalti dalam suatu negosiasi dan (ii) aturan ini sudah "pasif
ditoleransi" dalam kasus-kasus sebelumnya di masa lalu. Konsisten dengan tujuan simulasi
23
Jessica Martinez, Uniloc v. Microsoft: Reducing the Potential to Recover Reasonable Royalty Rate
Damages, BERKELEY TECH. L.J. BOLT (February 23, 2011)
Value Added per Produk 10$
25% Rule 25%
Porsi Uniloc per Produk 2.50$
Total Unit Produk 225,978,721
Penggantian Royalti untuk Uniloc 564,946,803$
Market Value dari Penjualan Produk $ 19 Miliar
Penggantian Royalti untuk Uniloc hanyalan 2,9% dari nilai market
value penjualan produk
www.futurumcorfinan.com
Page 11
negosiasi, pengadilan menekankan bahwa ahli dari Uniloc perlu untuk menggunakan fakta-fakta
mengenai perusahaan, teknologi, dan industri yang mendukung penerapan 25% rule dalam
kasus ini.24 Pengadilan mempertanyakan darimana nilai $ 10 yang dijadikan sebagai patokan
pembagian porsi laba dan nilai $ 19 milliar sebagai nilai market value dari produk yang
disengketakan.
Meskipun pengadilan mengandalkan pada keputusan Mahkamah Agung untuk mensahkan
keputusan ini, sebetulnya penolakan 25% rule ini tidak memerlukan analisis hukum yang
mendalam dan lebih ditekankan pada logika akal sehat. Tingkat royalti dengan memakai 25%
rule dimaksudkan untuk mencerminkan harga yang pantas disetujui oleh Uniloc dan Microsoft
pada saat negosiasi.25 Jika dipikir secara logika tarif ini bisa dikatakan tidak layak mengingat
bahwa usaha yang dikeluarkan oleh untuk Microsoft menjual jutaan kopi softwarenya bisa
dikatakan cukup besar. Dan jika harus membayar $ 2,50 untuk setiap salinan software mereka
yang menggunakan teknologi Uniloc dirasa tidak relevan dan tidak sebanding dengan usaha
yang telah dilakukan oleh Microsoft. Keputusan akhir pengadilan menyimpulkan bahwa aturan
25% rule dihapuskan dan untuk kasus-kasus masa depan akan dibutuhkan pendekatan analisis
yang berbeda dengan cara melakukan pertimbangan eksplisit terhadap fakta dan keadaan dari
kasus yang dihadapi.
Konfirmasi Robert Goldscheider terhadap pemakaian 25% Rule setelah kasus Uniloc Vs
Microsoft
Robert Goldscheider menyakini bahwa pekerjaan menilai suatu hak kekayaan intelektual
bukanlah pekerjaan yang mudah dan butuh fleksibilitas dalam pengerjaannya. Selama lebih dari
lima puluh tahun pengalamannya sebagai negosiator, tim penasihat, dan juga sebagai ahli
dalam kasus litigasi yang melibatkan hak kekayaan intelektual, tidak dapat dipungkiri fakta
bahwa keahlian profesional ini memerlukan keterampilan yang cukup banyak seperti
pengetahuan umum tentang pasar, teknologi, dan bisnis dari masing-masing perusahaan yang
terlibat.
24
IPmetricsBLOG, The 25% Rule is legally iadequate – CAFC. Diakses 27 Februari 2015
25 Jessica Martinez, Uniloc v. Microsoft: Reducing the Potential to Recover Reasonable Royalty Rate
Damages, BERKELEY TECH. L.J. BOLT (February 23, 2011)
www.futurumcorfinan.com
Page 12
Bahkan ketika pengetahuan itu sudah dimiliki, diperlukan pengalaman khusus untuk
mengetahui bagaimana cara menerapkannya dalam transaksi atau konteks litigasi. Untuk
alasan itu, seringkali keahlian dalam menilai hak kekayaan intelektual juga disebutkan sebagai
suatu “seni”.26
Dalam penggunaannya seringkali 25% rule dianggap sebagai “crude tool” atau “rule of thumb”,
namun Robert Goldscheider percaya bahwa metode ini terus berkembang menjadi metodologi
yang sensitif yang masih dapat diterima oleh banyak pihak dalam pekerjaan menilai hak
kekayaan intelektual. Terlepas dari bagaimana pengadilan melihat peran 25% rule dalam
litigasi, aturan ini terus memandu hasil dari kesepakatan ribuan kerjasama lisensi hak kekayaan
intelektual (tidak melibatkan litigasi) di seluruh dunia. Namun, keputusan pengadilan mengenai
Uniloc ini tidak bisa dipungkiri bisa mengganggu konsistensi penerapan 25% rule antara
"negosiasi hipotetis" di pengadilan dan negosiasi yang sebenarnya terjadi di dunia nyata.
Perkembangan ini berbahaya dan perlu diperhatikan dampaknya.
Sebuah contoh dramatis keberhasilan penerapan 25% Rule terjadi pada awal 1990-an dalam
proses negosiasi antara dua perusahaan petrokimia besar, Dow Chemical Company dan WR
Grace.27 Dow adalah produsen terkemuka polietilen28, dengan penjualan tahunan melebihi $ 1
miliar. Salah satu proses pembuatan produknya (P-1) memerlukan pembelian senyawa (Y) dari
WR Grace dengan jumlah pemesanan mencapai senilai $ 400 juta per tahunnya.
26
Robert Goldsheider, The Classic 25% Rule and The Art of Intellectual Property Licensing.2011
27 Robert Goldsheider, The Classic 25% Rule and The Art of Intellectual Property Licensing.2011
28 Bahan kimia untuk pembuatan plastik
www.futurumcorfinan.com
Page 13
Dow memiliki hak paten pada produk P-1, dimana hak paten ini akan berakhir dalam tujuh
tahun. Di masa depan mereka memutuskan untuk tidak menggunakan lagi P-1 dan
mengalihkan semua produksi ke P-2. Dalam pembuatan P-2 ini Dow tidak memerlukan
pembelian senyawa dari WR Grace. Daripada menyia-nyiakan paten P-1, Dow memutuskan
untuk menawarkan WR Grace kesempatan untuk menjadi pemegang lisensi dari P-1. Grace
(sebagai satu-satunya produsen dari Y) selain mendapatkan laba tersendiri dari memproduksi
produk ini juga dapat menghindari terjadinya kerugian akibat tidak bisa lagi menjual senyawa Y
ke Dow.
Grace ternyata juga tertarik dengan ide ini. Pada negosiasi awal Grace menawarkan akan
memberikan pembayaran royalti sebesar 5% dari penjualan P-1 kepada Dow.
www.futurumcorfinan.com
Page 14
Sesuai dengan saran dari Robert Goldscheider. Dow mencoba mengkalkulasi nilai ini dengan
memakai aturan 25% rule. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dengan penggunaan paten
dari Dow, Grace bisa mendapatkan laba operasi sebesar 44% dari sales. Temuan ini dijadikan
dasar oleh pihak Dow meminta untuk meminta porsi royalty 11% (25% dari 44%) dari penjualan
Grace.
Setelah mengamati penawaran dari Dow, pihak Grace menyetujui kesepakatan ini dengan
pertimbangan mereka masih bisa menghasilkan 33% laba operasi dari penjualan produk P-1 ini.
Nilai 33% laba operasi ini juga masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata laba
operasi yang dimiliki oleh Grace. Untuk pihak Dow sendiri, penambahan 6% royalti ini akan
memberikan tambahan yang cukup signifikan dalam rekening bank Dow.
Kesimpulannya penerapan aturan 25% rule ini menghasilkan win-win solution bagi kedua belah
pihak mengingat :
1. Dow membuat lebih banyak laba, jika dibandingkan menerima penawaran 5% Grace
pada negosiasi awal.
2. Laba operasi yang dihasilkan Grace lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata laba
operasi yang dimiliki oleh Grace.
Penawaran pihak Grace
Grace Dow
Dengan jumlah royalti 5% from penjualan P-1
Membayar
Penawaran pihak Dow
Grace Dow
Dengan jumlah royalti 11% from penjualan P-1
*Catatan 11% = (25% dari 44%)
Dow mengkalkulasi bahwa Grace bisa
menghasilkan laba operasi 44% dari penjualan
JADI
Membayar
www.futurumcorfinan.com
Page 15
3. Grace tidak jadi mengalami kerugian akibat tidak lagi bisa menjual senyawa Y kepada
Dow.
Contoh diatas merupakan salah satu contoh yang diberikan Robert Goldscheider dalam
penerapan 25% rule di dalam kasus yang terjadi di lapangan. Dalam masa awal pemakaiannya
25% rule dipakai sebagai rasio pembagi yang dipakai pada awal melakukan negosiasi. Dengan
besaran rasio yang dimungkinkan (tetapi tidak harus) untuk dipakai sama dengan 25:75,
tergantung pada pengalaman para kedua belah pihak sebelumnya. Rasio ini bagaimanapun
merupakan sebuah hal yang harus dipertimbangkan lebih lanjut dalam setiap kasus, dengan
mempertimbangkan kondisi spesifik yang mempengaruhi masing-masing pihak dalam industri
yang bersangkutan. Tarif dasar yang diajukan pada negosiasi awal tetap terbuka kemungkinan
untuk direvisi oleh para ahli dari pihak yang bernegosiasi dengan mempertimbangkan Georgia-
Pacific Factor dan sumber informasi lain seperti informasi mengenai kemungkinan terjadi
kecacatan dalam pemakaian produk, Book of Wisdom, data statistik kriteria lisensi per industri,
dan pendapat peradilan.
Pernyataan diatas ini mencerminkan pemahaman ulang mengenai pemanfaatan dari 25% rule.
Robert Goldscheider ingin mengungkapkan bahwa jika ada kutipan pernyataan darinya yang
menyatakan bahwa setiap negosiasi hipotetis harus dimulai pada 25:75 dan nilai ini tidak akan
berubah merupakan pernyataan yang tidak benar dan menyesatkan. Proses penilaian yang
dilakukan harus diadaptasi berdasarkan kasus yang dihadapi, yang sangat memungkinkan
untuk dilakukan modifikasi.
Robert Goldscheider menyatakan bahwa pada beberapa kesempatan selain menggunakan
perbandingan 25:75, dia juga memutuskan menggunakan rasio dasar sebagai fungsi tambahan
(kadang-kadang disebut sebagai "Marjinal" laba operasi). Pendekatan alternatif perlu
diperhitungkan mengingat bahwa kontribusi relatif dari setiap pihak bisa berbeda - beda. Batas
awal seperti (dari 15:85 sampai untuk 80:20) masih terbuka untuk dimodifikasi lebih lanjut,
dengan mempertimbangkan metode pendekatan lain, seperti interpretasi dari faktor Georgia
Pacific, non-infringing dan the book of wisdom.29
29
Robert Goldsheider, The Classic 25% Rule and The Art of Intellectual Property Licensing.2011
www.futurumcorfinan.com
Page 16
Kritik terhadap 25% rule
Beberapa kritik yang dialamatkan terhadap metode ini antara lain :
Banyak pihak yang beranggapan bahwa aturan ini sebagai “crude tool” dan “rule of
thumb”. Salah satu yang melontarkan kritik adalah Mark Berkmann, yang menyatakan
bahwa: 25% rule tidak memperhitungkan keadaan khusus yang akan menentukan
nilai aktual paten yang dipermasalahkan. Tidak ada pertimbangan lain yang
diperhitungkan untuk menentukan jumlah/nilai dari keekonomisan atau penambahan
nilai yang dihasilkan oleh penggunaan suatu paten dibandingkan alternatif lainnya.30
Pendukung dari 25% rule tidak pernah menyepakati bagaimana cara mengukur laba
yang nantinya akan dipakai dalam penentuan pembagian royalti.31
Pada jurnal-jurnal awalnya Robert Goldscheider menggunakan 25% dari laba kotor.
Namun, ia kemudian memakai laba operasi dan menolak penggunaan laba kotor
sebagai ukuran dikarenakan bisa menghasilkan nilai yang salah.
Robert Goldscheider, bagaimanapun, telah menulis, "Aturan ini bukanlah untuk
membagi laba kotor." Sebaliknya, ia menegaskan aturan ini harus menggunakan
laba operasi dimana semua biaya operasional sudah dikeluarkan. Dia menjelaskan
bahwa laba kotor harus disesuaikan dengan mengalokasikan biaya umum (biaya
non manufaktur) untuk setiap lini produk untuk mendapatkan laba operasi. Jika
menggunakan pernyataan ini dan dikaitkan dengan kasus Microsoft maka
perhitungan terhadap kasus Microsoft bisa berbeda. Laba usaha untuk Microsoft
selama periode yang diklaim oleh pihak Uniloc adalah sekitar 35% dari pendapatan.
Jika dibandingkan dengan pendekatan berdasarkan laba kotor seperti yang
dilakukan Uniloc, maka akan memotong jumlah royalti lebih dari setengahnya,
mengurangi pembayaran royalti dari $ 200 juta menjadi di bawah $ 100 juta.32
Russell Parr menggambarkan pemakaian aturan dengan menggunakan laba kotor,
tetapi juga telah menyatakan pernyataan yang berbeda bahwa "satu-satunya
aplikasi yang sesuai dari aturan ini adalah laba operasi.
Richard Razgaitis berpendapat peraturan 25% berlaku untuk laba tambahan yang
timbul karena pemakaian paten.
30
Mark Berkman, “Valuing Intellectual Property Assets for Licensing Transactions,” Licensing Journal 22
(April 2002), p. 16.
31 Roy J. Epstein, “The 25% Rule for Patent Infringement damages after Uniloc,” 2011
32 Roy J. Epstein, “The 25% Rule for Patent Infringement damages after Uniloc,” 2011
www.futurumcorfinan.com
Page 17
Jonathan Kemmerer dan Jiaqing Lu berdebat untuk penggunaan EBITDA dalam
aturan ini.
William Lee menjelaskan dia menggunakan aturan ini dengan membandingkannya
terhadap ekspektasi laba yang didapatkan oleh lisensi, tanpa menyebutkan pada
definisi laba akuntansi tertentu.
Aturan ini tidak sejalan dengan rasionalitas dalam ekonomi atau prinsip dari bisnis.33.
Secara akal sehat tidak akan ada perusahaan yang akan membayar royalti diatas
manfaat tambahan yang diberikan oleh pemakaian hak kekayaan intelektual. Jika
manfaat tambahan yang disebabkan oleh pemakaian hak kekayaan intelektual
katakanlah hanyalah $ 6, pemegang lisensi rasional seharusnya tidak harus membayar
lebih dari $ 6, terlepas dari perhitungan apapun berdasarkan peraturan paten. Jika
hanya menggunakan aturan 25% rule secara mentah maka ada kemungkinan hal
seperti ini bisa terjadi.
Contoh :
Aturan ini tidak didukung dengan bukti empiris yang kuat. Pendukung dari 25% rule tidak
berhasil menyebutkan bukti empiris yang valid untuk mendukung rule ini. Contohnya
bukti empiris yang dipakai untuk menunjukkan kesuksesan penggunaan 25% rule
merupakan licensee yang tidak dipilih secara acak.
Contoh licensee yang digunakan sebagai contoh original terjadi pada tahun 1950an. Hal
ini tidak didukung bukti ilmiah yang bisa menunjukkan aturan ini berlaku dari tahun ke
tahun dan di semua industri. Selain itu yang dijadikan contoh hanya satu licensor (yaitu
klien Robert Goldshcieder itu sendiri)
33
Alan Cox, and Stephen Rusek, “The Demise of Junk Science and The 25% Rule,” 2010
Dengan Paten Tanpa Paten Perubahan
Laba 30 36 6
Royalti 0 9* 9
*Catatan 9 = (25% dari 36)
Perubahan royalti lebih tinggi jika dibandingkan dengan
perubahan laba
www.futurumcorfinan.com
Page 18
25% rule tidak dapat memenuhi syarat sebagai metode untuk menghitung kerugian yang
disebabkan oleh paten karena bahkan pendukung paling kuat dari metode ini juga
hanya menyebutkan aturan ini sebagai "titik awal" untuk beberapa perhitungan lain yang
dibutuhkan untuk menemukan jumlah besaran pembayaran royalti yang benar.
Penggunaan aturan 25% rule merupakan jalan yang memutar yang sebenarnya tidak
perlu untuk dilakukan. Hasil akhir yang nantinya dihasilkan juga tidak akurat. Pihak yang
mengevaluasi hak kekayaan intelektual harus memberikan analisis ekonomi yang
koheren didasarkan pada fakta-fakta dan data yang benar-benar terjadi pada kasus
yang dihadapi. Keakuratan dari data-data ini dinilai menggunakan statistik, benchmark
royalti yang valid, dan alat-alat empiris lainnya Daftar panjang kasus seperti Polaroid v.
Kodak, TWM v. Dura, Panduit, dan Georgia-Pacific-menunjukkan bagaimana tarif royalti
yang rasional dapat ditentukan berdasarkan fakta analisis, meskipun sebelumnya tidak
tersedia besaran royalti awal yang ditentukan. Dalam kasus ini aturan 25% rule tidak
digunakan dan tidak akan meningkatkan akurasi hasil akhirnya .
Kesimpulan
Dari pembahas di atas ada kecenderungan yang menunjukkan bahwa rule 25% ini tidak relevan
dan tidak bisa digunakan lagi. Berdasarkan pembahasan diatas bisa dilihat bahwa 25% rule
telah digunakan dalam dua keadaan. Yang pertama dalam kasus litigasi/sengketa ganti-rugi
pembayaran royalti atas penggunaan paten, dan yang kedua dalam kasus negosiasi awal untuk
penggunaan paten di masa depan. Perbedaan dari kedua keadaan di atas adalah waktu
terjadinya penggunaan paten, kondisi pertama menunjukkan penggunaan paten yang sudah
dilakukan di masa lampau, sedangkan kondisi kedua penggunaan paten baru akan dilakukan di
masa yang akan datang.
Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa terdapat beberapa pengadilan yang sudah
menolak gugatan-gugatan hukum yang menuntut pembayaran royalti dengan menggunakan
25% rule sebagai perhitungan dasar. Dalam kasus ini penggunaan 25% rule bisa dibilang
lemah, terutama karena tidak memperhitungkan fakta-fakta lain yang terjadi di lapangan. Meski
begitu perlu diperhatikan juga bahwa aturan ini masih bisa dipakai sebagai dasar awal dalam
pembuka negosiasi dari pihak yang ingin mengadakan kerja sama dalam pemakaian hak
kekayaan intelektual. Berdasarkan beberapa contoh kasus di atas terdapat telah menunjukkan
bahwa ada beberapa kesepakatan tawar menawar yang berhasil dilakukan dengan
www.futurumcorfinan.com
Page 19
menggunakan 25% rule sebagai basis. Yang perlu diperhatikan adalah penerapan dan
fleksibilitas dalam penggunaan metode ini. Rasio ini bisa digunakan dengan syarat tarif yang
diajukan merupakan sebuah hal yang harus dipertimbangkan lebih lanjut dalam setiap kasus,
dengan mempertimbangkan kondisi spesifik yang mempengaruhi masing-masing pihak.
~~~~~~ ####### ~~~~~~
www.futurumcorfinan.com
Page 20
Disclaimer
This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date of
writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication have been
compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not make any
representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any loss arising from
the use hereof. This material has been prepared for general informational purposes only and is not
intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your advisors
for specific advice.
This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of the
authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at www.futurumcorfinan.com
© FUTURUM. All Rights Reserved