25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
Kawasan Perairan Pantai Desa Ponelo secara administratif termasuk
wilayah di Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi
Gorontalo. Letak geografis berada pada titik koordinat 00⁰51’35” LU dan
122⁰53’47” BT, dengan batas-batas sebelah Utara berbatasan dengan Pulau
Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu, sebelah Timur berbatasan dengan Desa
Moloahu, sebelah selatan berbatasan dengan Pelabuhan Anggrek, dan sebelah
Barat berbatasan dengan Desa Malambe. Desa Ponelo terbagi atas beberapa dusun
yaitu Dusun Ponelo 1, Dusun Ponelo 2, dan Dusun Bihe. Panjang garis perairan
pantai Desa Ponelo mencapai 13,5 km. Perairan Pantai Desa Ponelo terdapat tiga
ekosistem laut yaitu ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun. Terdapat
juga beberapa biota diantaranya bulu babi, bintang laut, mentimun laut (teripang)
dan khususnya ikan.
Perairan Pantai Desa Ponelo terdiri atas pasir putih dan bebatuan, untuk
jenis substrat yang terdapat di Perairan Pantai Desa Ponelo yaitu pasir kasar
bercampur pecahan karang mati, pecahan cangkang Mollusca dan terdapat
sebagian karang hidup. Ada beberapa usaha/kegiatan masyarakat yang dilakukan
di perairan Pantai Desa Ponelo diantaranya pemeliharaan ikan kerapu
menggunakan keramba jaring apung (KJA) dan penangkapan ikan menggunakan
sero.
Sumber : Daud, 2012
B. Komunitas Ikan di Ekosistem
Hasil penelitian pada
Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulaun, Kabupaten Gorontalo Utara secara
keseluruhan jumlah ikan yang
dari 12 famili yaitu 3 spesies dari famili Mullidae, 3 spesies d
Pomacentridae, 3 spesies dari famili Siganidae, 3 spesies dari famili Scaridae, 2
Daud, 2012
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
B. Komunitas Ikan di Ekosistem Padang Lamun
Hasil penelitian pada ekosistem padang lamun di Perairan Pantai Desa
Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulaun, Kabupaten Gorontalo Utara secara
jumlah ikan yang ditemukan sebanyak 21 spesies ikan yang
dari 12 famili yaitu 3 spesies dari famili Mullidae, 3 spesies d
Pomacentridae, 3 spesies dari famili Siganidae, 3 spesies dari famili Scaridae, 2
ST II
ST I
26
Perairan Pantai Desa
Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulaun, Kabupaten Gorontalo Utara secara
21 spesies ikan yang terdiri
dari 12 famili yaitu 3 spesies dari famili Mullidae, 3 spesies dari famili
Pomacentridae, 3 spesies dari famili Siganidae, 3 spesies dari famili Scaridae, 2
ST III
27
spesies dari famili Labridae dan masing-masing 1 spesies dari famili
Acanthuridae, famili Lethrinidae, famili Gobiidae, famili Lutjanidae, famili
Gerreidae, famili Zanclidae, dan famili Haemulidae. Secara lengkap disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Jenis Ikan yang ditemukan Pada Lokasi Penelitian
No
Famili Spesies Lokasi
Total individu Stasiun
1 Stasiun
2 Stasiun
3
1
Mullidae
Parupeneus indicus 0 0 5 5 Scarus dimidiatus 0 0 4 4 Parupeneus multifasciatus 0 0 5 5
2
Pomacentridae
Chrysiptera rollandi 2 3 3 8 Abudefduf bengalensis 4 3 4 11 Amblyglyphidodon curacao 6 8 9 23
3
Siganidae
Siganus canaliculatus 14 7 0 21 Siganus punctatissimus 15 13 15 43 Siganus virgatus 4 12 4 20
4
Scaridae
Calotomus spinidens 2 6 13 21 Scarus dimidiatus 0 1 3 4 Scarus ghobban 1 2 5 8
5 Acanthuridae Acanthurus xanthopterus 1 0 3 4
6 Lethrinidae Lethrinus lentjan 0 2 1 3
7 Gobiidae Amblygobius phalaena 3 5 2 10
8 Lutjanidae Lutjanus decussatus 0 0 2 2
9 Gerreidae Gerres oyena 4 2 0 6
10 Zanclidae Zanclus cornutus 0 0 3 3
11 Haemulidae Plectorhinchus polytaenia 1 3 3 7
12 Labridae
Halichoeres hortulanus
11 3 3 17
Halichoeres zeylonicus 6 1 5 12
Total spesies 74 71 92 237 Ket: Stasiun 1. Dekat pemukiman Stasiun 2. Tidak ada pemukiman Stasiun 3. Dekat mangrove
Jumlah famili dan spesies yang diperoleh relatif lebih sedikit dibandingkan
dengan beberapa wilayah lain di Indonesia, antara lain penelitian yang dilakukan
28
di Pulau Barrang Lompo pada tahun 2010 pada ekosistem padang lamun
ditemukan jenis ikan lamun secara keseluruhan yaitu 28 spesies ikan yang berasal
dari 14 famili (Rappe, 2010).
Selanjutnya di Pantai Tanjung Merah Perairan Bitung diperoleh jenis ikan
pada tahun 2003 terdiri dari 35 famili dengan jumlah 108 jenis ikan lamun, tahun
2004 terdapat 24 famili dengan 50 jenis ikan lamun, sementara pada tahun 2005
terdapat 26 famili dengan 60 jenis ikan lamun (Heriman, 2006)
Berdasarkan Tabel 5 maka diperoleh bahwa stasiun 3 yang memiliki
jumlah spesies maupun jumlah individu tertinggi yaitu sebanyak 92 spesies.
Setelah itu disusul stasiun 1 dengan jumlah jenis ikan lamun sebanyak 74 dan
terakhir disusul stasiun 2 sebanyak 71 spesies. Berdasarkan pengamatan kondisi
lamun dari ketiga stasiun menunjukkan bahwa stasiun 3 kondisi lamunnya lebih
rapat dibandingkan 2 stasiun lainnya. Hal ini mungkin yang menyebabkan
tingginya jumlah spesies dan jumlah individu yang ditemukan di stasiun 3.
Menurut Takaendangan, dkk, (2004), kerapatan padang lamun dan
banyaknya jenis lamun penyusun berpengaruh terhadap keberadaan ikan disuatu
daerah/lokasi. Keanekaragaman ikan ditemukan lebih tinggi pada padang lamun
dengan kerapatan yang tinggi baik itu tersusun oleh satu spesies lamun
(monospesifik) maupun oleh lebih dari satu spesies lamun (multispesific),
dibandingkan pada padang lamun dengan kerapatan rendah dan pada daerah tidak
bervegetasi.
Famili mullidae tidak ditemukan pada stasiun 1 dan 2 dimana hanya
terdapat pada stasiun 3. Hal ini disebabkan stasiun 1 dan 2 tidak terdapat karang
29
hidup yang berasosiasi dengan ekosistem padang lamun. Siklus hidup dari famili
mullidae lebih dominan pada ekosistem terumbu karang dibandingkan pada
ekosistem padang lamun dan merupakan ikan nokturnal (aktif ketika malam hari)
dan diurnal (aktif ketika siang hari),
Terangi (2004), menyatakan pengelompokan ikan karang berdasarkan
periode aktif mencari makan ada 3 yaitu:
1. Ikan nokturnal (aktif ketika malam hari), contohnya pada ikan-ikan dari
suku Holocentridae, suku Apogoninade, suku Hamulidae, suku
Priacanthidae, Muraenidae, Seranidae, dan suku Mullidae.
2. Ikan diurnal (aktif ketika siang hari), contohnya pada ikan-ikan dari suku
Labridae, suku Chaetodontidae, suku Pomacentridae, suku Scaridae, suku
Acanthuridae, suku Bleniidae, suku Balistidae, suku Pomaccanthidae,
suku Monacanthidae, suku Ostracionthidae, suku Etraodontidae, suku
Canthigasteridae dan suku Mullidae.
3. Ikan crepuscular (aktif diantara) contohnya pada ikan-ikan dari suku
Sphyraenidae, suku Serranidae, suku Carangidae, suku Scorpaenidae, suku
Synodontidae, suku Carcharhinidae, suku lamnidae dan suku Spyrnidae.
C. Komposisi Jenis Ikan di Ekosistem Padang Lamun
Menurut Fachrul (2007) dalam Latuconsina, dkk, (2012), komposisi
spesies adalah perbandingan antara jumlah individu setiap spesies dengan jumlah
individu seluruh spesies yang tertangkap dikalikan dengan nilai 100%. Hasil nilai
rata-rata analisa data untuk komposisi jenis ikan dapat dilihat pada Tabel 6.
30
Tabel 6. Komposisi Jenis Ikan yang ditemukan Pada Lokasi Penelitian
No Famili Spesies Lokasi Rata-
rata (%)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
1
Mullidae
Parupeneus indicus 0,00 0,00 5,43 1,81 Scarus dimidiatus 0,00 0,00 4,35 1,45 Parupeneus multifasciatus 0,00 0,00 5,43 1,81
2
Pomacentridae
Chrysiptera rollandi 2,70 4,23 3,26 3,40 Abudefduf bengalensis 5,41 4,23 4,35 4,66 Amblyglyphidodon curacao 8,11 11,27 9,78 9,72
3
Siganidae
Siganus canaliculatus 18,92 9,86 0,00 9,59 Siganus punctatissimus 20,27 18,31 16,30 18,29 Siganus virgatus 5,41 16,90 4,35 8,88
4
Scaridae
Calotomus spinidens 2,70 8,45 14,13 8,43 Scarus dimidiatus 0,00 1,41 3,26 1,56 Scarus ghobban 1,35 2,82 5,43 3,20
5 Acanthuridae Acanthurus xanthopterus 1,35 0,00 3,26 1,54
6 Lethrinidae Lethrinus lentjan 0,00 2,82 1,09 1,30
7 Gobiidae Amblygobius phalaena 4,05 7,04 2,17 4,42
8 Lutjanidae Lutjanus decussatus 0,00 0,00 2,17 0,72
9 Gerreidae Gerres oyena 5,41 2,82 0,00 2,74
10 Zanclidae Zanclus cornutus 0,00 0,00 3,26 1,09
11 Haemulidae Plectorhinchus polytaenia 1,35 4,23 3,26 2,95
12 Labridae
Halichoeres hortulanus
14,86 4,23 3,26 7,45
Halichoeres zeylonicus 8,11 1,41 5,43 4,98 Berdasarkan Tabel 6 diperoleh nilai rata-rata komposisi jenis ikan
ekosistem padang lamun tertinggi adalah famili Siganidae, spesies Siganus
punctatissimus sebanyak 18,29%. Setelah itu disusul famili Pomacentridae,
spesies Amblyglyphidodon curacao sebanyak 9,72%, famili Scaridae, spesies
Calotomus spinidens sebanyak 8,43%, Famili Labridae, spesies Halichoeres
hortulanus sebanyak 7,45%, Halichoeres zeylonicus sebanyak
4,98%, famili Gobiidae, spesies Amblygobius phalaena sebanyak 4,42%, famili
Haemulidae, spesies Plectorhinchus polytaenia sebanyak 2,95%, famili
31
Gerreidae, spesies Gerres oyena sebanyak 2,74%, famili Mullidae, spesies
Parupeneus indicus sebanyak 1,81%, famili Acanthuridae, spesies Acanthurus
xanthopterus sebanyak 1,54%, Famili Lethrinidae, spesies Lethrinus lentjan
sebanyak 1,30%, famili, Zanclidae, spesies Zanclus cornutus sebanyak 1,09%,
famili Lutjanidae, spesies Lutjanus decussatus sebanyak 0,72%.
Perbedaan jumlah nilai setiap jenis tidak terlalu menyolok dapat dilihat
dari beberapa jenis yang nilai hanya berbeda 1% diantaranya spesies
Amblyglyphidodon curacao sebanayak 9,72%, spesies Calotomus spinidens
sebanyak 8,43% dan spesies Halichoeres hortulanus sebanyak 7,45%,. Perbedaan
ini diduga ataupun diakibatkan oleh lokasi pengambilan sampel yang berbeda, di
samping faktor ekologi yang lain. Jenis yang dominan pada penelitian ini
menunjukkan kemiripan dengan beberapa penelitian lain di perairan Indonesia
bagian Timur, yaitu famili Siganidae lebih dominan dibandingkan jenis-jenis
lainnya.
Makatipu (2007), melaporkan di Perairan Padang Lamun Tanjung Merah,
Bitung, Sulawesi Utara komposisi/kelimpahan jenis ikan yang dominan adalah
famili Labridae. Terdapat dua jenis diantaranya Halichoeres papilionaceus
(16,08%) dan H. melanurus (15,65%) selanjutnya diikuti famili Siganus, spesies
Siganus canaliculatus dengan komposis/kelimpahan 11,13%.
Data hasil penelitian dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian di
perairan tropik yang lain, dengan menyusun daftar familli berdasarkan sepuluh
famili ikan terpenting pada berbagai ekosistem padang lamun di Perairan Tropik
di Indonesia (Tabel 1). Dimana famili Siganidae dalam skala dunia tidak masuk
32
dalam sepuluh besar namun menduduki peringkat tiga di Pulau Seribu
(Peristiwady, 1988 dalam Heriman, 2006). Hasil penelitian menujukkan bahwa
famili Siganidae menduduki peringkat pertama. Ini kemugkinan disebabkan
tempat hidupnya lebih dominan pada ekosistem padang lamun dari pada di
ekosistem terumbu karang dan diduga karena famili ini menjadikan ekosistem
padang lamun pada perairan Pantai Ponelo sebagai habitat ideal untuk tempat
asuhan dan pembesaran. Famili Siganidae merupakan penghuni berkala atau
transit yang mengunjungi padang lamun untuk berlindung atau mencari makan
(Tomascik, et al., 1997 dalam Heriman 2006).
D. Indeks Keanekaragaman, Kemerataan, dan Dominansi
Menurut Odum, (1983) dalam Rappe, (2010), indeks keanekaragaman,
keseragaman/kemertaan, dan dominansi menunjukkan keseimbangan dalam
pembagian jumlah individu setiap jenis dan juga menunjukkan kekayaan jenis.
Hasil analisa data untuk indeks keanekaragaman (D’), indeks
keseragaman/kemerataan (Es) dan indeks dominansi (D) ikan yang ditemukan
selama penelitian setiap staiun dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Rata-Rata Indeks keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi di Setiap Stasiun Pengamatan
No Stasiun Indeks
Keanekaragaman (D')
Indeks Kemerataan (Es)
Indeks Dominansi (D)
1 Stasiun 1 0,88 0,94 0,12
2 Stasiun 2 0,89 0,95 0,11
3 Stasiun 3 0,92 0,96 0,08
33
Berdasarkan Tabel 7 diperoleh indeks keanekaragaman (D’) ikan pada
ekosistem lamun pada seluruh stasiun berkisar antara, 0,88 – 0,92 kategori
keanekaragaman tinggi, sementara indeks keseragaman/kemerataan (Es) berkisar
antara, 0,94 – 0,92 dengan kategori tinggi dan untuk indeks dominansi (D) ikan
pada ekosistem lamun pada semua lokasi berkisar antara, 0,08 - 0,12 dengan
kategori dominasi rendah, sehingga kriteria komunitas berada pada kondisi stabil.
Umumnya apabila suatu komunitas memiliki nilai keanekaragaman (D’)
dan keseragaman/kemerataan (Es) tinggi, maka nilai dominansi (D) cenderung
rendah; menandakan kondisi komunitas yang stabil; sebaliknya apabila nilai
keanekaragaman (D’) dan keseragaman/kemerataan (Es) rendah, maka nilai
dominansi (D) tinggi, menunjukkan ada dominasi suatu spesies terhadap spesies
lain; dan dominasi yang cukup besar akan mengarah pada kondisi komunitas yang
labil atau tertekan (Masrizal & Azhar, 2001 dalam Manik, 2011).
Menurut Takaendangan, dkk, (2004), kerapatan padang lamun dan
banyaknya jenis lamun penyusun berpengaruh terhadap keberadaan ikan disuatu
daerah/lokasi. Keanekaragaman ikan ditemukan lebih tinggi pada padang lamun
dengan kerapatan yang tinggi baik itu tersusun oleh satu spesies lamun
(monospesifik) maupun oleh lebih dari satu spesies lamun (multispesific),
dibandingkan pada padang lamun dengan kerapatan rendah dan pada daerah tidak
bervegetasi.
Nilai yang diperoleh relatif lebih rendah dibandingkan dengan beberapa
wilayah lain di Indonesia, antara lain di hamparan ekositem padang lamun di
Pantai Tanjung Merah dilaporkan bahwa indeks keanekaragaman pada tahun 2003
34
berkisar antara 3,14-3,97, pada tahun 2004 berkisar antara 2,64-2,23, dan pada
tahun 2005 berkisar antara 2,79-3,21. Sementara indeks keseragaman/kemerataan
pada tahun 2003 berkisar antara 0,68-0,82, pada tahun 2004 berkisar antara
0,49-0,51 dan pada tahun 2005 berkisar antara 0,64-0,73 (Heriman, 2006).
Adapun di Pulau Barrang Lompo pada tahun 2010. Dimana nilai indeks
keanekaragaman pada semua stasiun berkisar antara 1,10–2,44, sementara nilai
indeks keseragaman/kemerataan pada semua stasiun berkisar antara 0,60-0,85,
sedangkan nilai indeks dominasi dilaporkan pada semua stasiun berkisar antara
0,12–0,41 (Rappe, 2010).
Hasil perhitungan menggunakan analisis rancangan acak kelompok
(varians) dengan uji f menggunakan ANOVA dua arah (Two-way
Anova) menunjukkan tidak ada perbedaan antara nilai indeks keanekaragaman
(D’), kemerataan (Es) dan dominasi (D) dari tiap – tiap stasiun dimana Fhitung
lebih kecil dari Ftabel (Lampiran 5). Hasil ini menandakan bahwa ketiga
lokasi/stasiun penelitian tidak ada perbedaan atau memiliki kemiripan dan
mengalami tingkat gangguan yang sama. Dilihat dari kondisi lokasi penelitian
belum ada kegiatan/aktivitas masyarakat yang dapat merusak ekosistem padang
lamun.
E. Parameter Kualitas Air Laut yang Mendukung Kehidupan Ikan di Ekosistem Padang Lamun
Hasil pengukuran nilai rata-rata parameter kualitas air laut yaitu suhu, pH,
dan salinitas pada seluruh stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 8.
35
Tabel 8. Nilai Parameter Kualitas Air Laut pada Lokasi Penelitian Parameter Kualitas air laut
Satuan Lokasi Nilai
rata-rata Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Temperatur air Laut (suhu)
(⁰C) 30,1 30,3 30,1 30,17
pH air Laut (-) 6,91 6,81 6,82 6,85 Salinitas air
Laut (‰) 33 35 30 32,67
1. Suhu
Hasil pengukuran suhu di seluruh stasiun pengamatan selama di lapangan
maka diperoleh kisaran suhu rata-rata 30,17 oC, sehingga dapat dikatakan
perairan ini masih dianggap layak bagi kehidupan ikan. Kisaran suhu yang
dianggap layak bagi kehidupan organisme akuatik bahari adalah 25- 32 ⁰C.
Kisaran suhu ini umumnya di daerah beriklim tropis seperti Indonesia. Laju
metabolisme ikan dan hewan air lainnya secara langsung meningkat dengan
naiknya suhu. Peningkatan metabolisme juga berarti meningkatkan kebutuhan
akan oksigen (Perkins, 1974 dalam Efriyeldi, 1999).
2. pH
Nilai rata-rata pH yang diperoleh dari hasil pengukuran di seluruh stasiun
pengamatan yaitu berkisar 6,85, sehingga dapat dikatakan perairan ini dalam
keadaan baik dan masih optimal bagi kehidupan ikan. Seperti yang diketahui
bahwa nilai pH yang normal dalam suatu perairan berkisar antara 6-8.
Menurut Kordi dan Tancung (2007) dalam Latuconsina, dkk, (2012), nilai
pH 6,5 – 9,0 merupakan kisaran pH optimal bagi pertumbuhan ikan. pH air
mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad
renik. Perairan yang asam akan kurang produktif karena kandungan oksigen
36
terlarutnya rendah, yang berakibat aktivitas pernafasan ikan meningkat dan nafsu
makan menurun. Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang besar
terhadap kehidupan tumbuhan dan hewan perairan sehingga dapat digunakan
sebagai petunjuk untuk menilai kondisi suatu perairan sebagai lingkungan tempat
hidup (Odum, 1996 dalam Herawati, 2008).
3. Salinitas
Berdasarkan pengukuran di lapangan nilai rata-rata salinitas diseluruh
stasiun pengamatan yaitu : 32,67‰, dan masih toleran terhadap kehidupan ikan.
Laevastu & Hayes (1982) dalam Latuconsina, dkk, (2012), kisaran optimal air laut
yaitu 30‰ - 40‰, dimana bahwa dengan kisaran ini ikan masih toleran hidup.
Setiap jenis ikan memiliki kemampuan yang berbeda untuk beradaptasi dengan
salinitas perairan laut, meskipun ada yang bersifat eurihaline namun sebagian
besar bersifat stenohalin. Sementara itu menurut Kordi dan Tancung (2007) dalam
Latuconsina, dkk, (2012), salinitas air berpengaruh terhadap tekanan osmotik air,
dan semakin tinggi salinitas akan semakin besar tekanan osmotiknya yang
berpengaruh terhadap biota perairan.
4. Substrat
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan bahwa diseluruh stasiun
mempunyai jenis substrat yang sama yaitu pasir kasar, bercampur pecahan karang
mati, pecahan cangkang mollusca dan terdapat karang hidup. Menurut Lalli &
Parsons (1993) dalam Pandiangan (2006), substrat batu menyediakan tempat bagi
spesies yang melekat sepanjang hidupnya, juga digunakan oleh hewan yang
bergerak sebagai tempat perlindungan terhadap predator. Substrat dasar yang
37
halus seperti lumpur, pasir, pecahan karang mati dan tanah liat menjadi tempat
makanan dan perlindungan bagi ikan maupun hewan dasar.