9
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keadaan di Lokasi PESK Talawaan-Tatelu
Lokasi pertambangan emas skala kecil (PESK) di Kecamatan Talawaan-
Tatelu tersebar terutama di Desa Tatelu, Tatelu Rondor, Wasian, Warukapas dan
Talawaan yang semuanya berada di Kabupaten Minahasa Utara, termasuk dalam
DAS Talawaan yang mempunyai luas sekitar 34.000 ha dan membentang mulai dari
Gunung Klabat sebagai bagian hulu dan bermuara di Talawaan Bantik / Talawaan
Bajo Kecamatan Wori di depan garis pantai kawasan Taman Nasional Laut Bunaken.
Wilayah PESK Talawaan-Tatelu tersebar pada tanah-tanah Pasini seluas 822 ha
terutama di lokasi yang disebut Bukit Batu Api dan Lempaoi, berada pada bagian
hulu Sungai Talawaan, sehingga pengaruhnya kebagian hilir sangat besar. Jumlah
masyarakat yang ikut aktif dalam penambangan sekitar 3.000 s/d 5.000 orang.
Kegiatan PESK Talawaan-Tatelu ini telah berlangsung sejak tahun 1997,
berawal informasi dari calon pekerja PT. Tambang Tondano Nusa Jaya yang
melakukan penelitian bahwa di daerah ini terdapat deposit emas. Kegiatan ini juga
dipicu oleh kondisi perekonomian bangsa kita yang sulit waktu itu akibat krisis.
Tahun 1999 semakin berkembang karena ternyata batuan emas yang ditambang di
daerah ini mengandung kadar emas yang cukup tinggi, disamping lokasinya yang
dekat dengan pemukiman penduduk serta aksesibilitas yang begitu mudah ke lokasi
galian. Saat ini, meskipun PESK Talawaan-Tatelu dikategorikan ilegal namun
operasinya tetap berlangsung bahkan bahan merkuri yang sangat ketat pemasarannya
dapat diperoleh dengan mudah oleh masyarakat.
Mekanisme pengolahan emas di PESK sebagai berikut: 1) Diawali dengan
penambangan batuan mengandung emas yang disebut rep. Rep yang diperoleh
dimasukkan dalam karung goni dan diangkut ke tempat pengolahan, 2) Batuan rep
dihancurkan di tempat pengolahan dengan alat penghancur yang digerakkan mesin
atau ditumbuk dengan menggunakan martil, 3) Hancuran batuan rep dimasukkan
kira-kira sebanyak 40 kg per tromol dan diputar selama 3 jam dimana masing-masing
tromol diisi dengan merkuri sebanyak 1 s/d 2 kg per tromol kemudian diputar sekitar
10
setengah jam untuk memungkinkan terjadinya amalgamasi unsur emas dengan
merkuri, 4) Isi tromol dikeluarkan dan dilakukan pemisahan antara batuan rep yang
telah halus dari amalgam dengan bantuan aliran air. Rep halus disimpan dalam
karung menjadi limbah padat, sedangkan amalgam dibakar untuk memisahkan
merkuri dan emas berdasarkan titip uap karena merkuri lebih dulu menguap dan
terlepas dari emas, 5) Pembakaran secara sederhana dengan kompor gas pada sebuah
pinggan tanah liat secara langsung di udara terbuka sehingga uap merkuri yang
berwarna kebiru-biruan tersebar di lingkungan sekitar. Ada yang menggunakan retort
untuk mengumpulkan kembali merkuri, tapi umumnya perlengkapan keselamatan
pekerja seperti sarung tangan dan arah angin masih kurang diperhatikan, 6) Aliran air
yang digunakan memisahkan merkuri amalgam dan rep halus ini dialirkan ke kolam,
namun ada juga yang melalui saluran kecil langsung ke selokan yang pada akhirnya
menuju ke Sungai Talawaan. Meskipun ada yang menggunakan kolam tetapi karena
air yang diperlukan sangat banyak sehingga kolam menjadi penuh dan tidak mampu
menampung semua air yang mengalir masuk. Apalagi bila musim hujan tiba, kolam
yang ada sama sekali hampir tidak ada manfaatnya, 7) Limbah dalam bentuk lumpur
rep di buang ke tempat penimbunan yang nantinya pada saat penghujan mengalir
dalam bentuk suspensi ke sungai Talawaan.
Data pemantauan yang dilakukan sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2003
oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Provinsi Sulawesi Utara
kerjasama dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) Regional
III Makassar, The Canada Education for Peace Initiative (CEPI) Kanada, Natural
Resource Management (NRM) Sulut, The United Nations Industrial Development
Organization- Global Mercury Project (UNIDO – GMP) Phase I menunjukkan selang
tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 konsentrasi merkuri dalam perairan sungai
Talawaan telah melebihi standar baku mutu lingkungan. Konsentrasi merkuri pada
lokasi yang dekat dengan unit pengolahan emas telah melebihi standar baku mutu
yang dipersyaratkan yaitu 0.05 ppm. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka
kontaminasi merkuri atas para pekerja tambang dan masyarakat sekitar daerah
tambang akan semakin tinggi, sehingga dapat menjadi suatu ancaman yang serius
11
bagi kesehatan mereka. Kebijakan penanggulangan harus segera diupayakan untuk
mencegah terjadinya keadaan yang lebih buruk.
2.2. Karakteristik Merkuri
Merkuri adalah salah satu unsur logam penting dalam teknologi saat ini,
memiliki nomor atom (NA=80) dan massa molekul relatif (MR=200,59). Memiliki
simbol kimia Hg yang merupakan singkatan dari bahasa Yunani Hydrargyrum yang
berarti cairan perak, dan masyarakat umum mengenal dengan nama merkuri yang
berarti mudah menguap. Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berbentuk cair
dalam temperatur kamar (250C) dengan titik beku paling rendah (-39
0C), memiliki
kecenderungan menguap lebih besar, mudah bercampur dengan logam-logam lain
menjadi logam campuran (Amalgam/Alloi), dan dapat mengalirkan arus listrik
sebagai konduktor baik tegangan arus listrik tinggi maupun tegangan arus listrik
rendah, serta dapat menghambat kerja enzim dan protein (Alfian, 2006).
Menurut Darmono (2006), secara umum merkuri memiliki 3 bentuk kimia
yang berpengaruh pada pengendapannya, yaitu: (1) unsur merkuri (Hg0) memiliki
tekanan uap yang tinggi dan sukar larut di dalam air. Pada suhu kamar kelarutannya
kira-kira 60 mg/l dalam air dan antara 5- 50 mg/l dalam lipida. Bila ada oksigen,
merkuri diasamkan langsung ke dalam bentuk ionik. Uap merkuri hadir dalam bentuk
monoatom (Hg). Saluran pernapasan merupakan jalan utama penyerapan unsur Hg
dalam bentuk uap, (2) merkuri anorganik (Hg2+
dan Hg2 2+
), terdiri dari raksa unsur
dan garam merkurous (Hg2Cl2) dan merkurik (HgCl2) yang dapat terurai. Di antara
dua tahapan pengoksidaan, Hg2+ adalah lebih reaktif. Ia dapat membentuk kompleks
dengan ligan organik, terutama golongan sulfurhidril. Contohnya HgCl2 sangat larut
dalam air dan sangat toksik, sebaliknya HgCl tidak larut dan kurang toksik, (3)
merkuri organik adalah senyawa merkuri yang terikat dengan atom karbon yaitu:
senyawa alkil merkuri = CH3HgCl, senyawa aril merkuri = C6H5HgCl, senyawa
alkoksiaril merkuri= CH3OCH2HgCl, ikatan merkuri karbon stabil karena aktivitas
merkuri yang stabil terhadap oksigen.
12
Menurut WHO (2000) secara umum merkuri memiliki 3 bentuk kimia yang
berpengaruh pada pengendapannya, yaitu: (1) Merkuri metal atau unsur merkuri
(Hg0) merupakan logam berwarna putih, berkilau dan pada suhu kamar berada dalam
bentuk cairan. (2) Senyawa merkuri anorganik terjadi ketika merkuri dikombinasikan
dengan elemen lain seperti klorin (Cl), sulfur atau oksigen. Senyawa-senyawa ini
biasa disebut garam-garam merkuri. Senyawa merkuri anorganik berbentuk bubuk
putih atau kristal, kecuali merkuri sulfida (HgS) yang biasa disebut Sinabar adalah
berwarna merah dan akan menjadi hitam setelah terkena sinar matahari. (3) Senyawa
merkuri organik terjadi ketika merkuri bertemu dengan karbon atau organomerkuri.
Banyak jenis organomerkuri, tetapi yang paling populer adalah metilmerkuri (dikenal
dengan monometilmercuri) CH3-Hg-COOH. Pada waktu yang lampau, senyawa
organomerkuri yang dikenal adalah fenilmerkuri yang digunakan dalam beberapa
produk komersial. Organomerkuri lainnya adalah dimetilmerkuri (CH3-Hg-CH3) yang
juga digunakan sebagai standar referensi tes kimia.
Merkuri termasuk logam yang sangat toksik pada organisme maka pemerintah
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air menetapkan kriteria mutu untuk setiap kelas
air dan dimana kadar merkuri maksimum yang diziinkan untuk berada dalam badan
air yaitu pada kualitas air golongan I adalah air yang dapat digunakan sebagai air
minum secara langsung tanpa pengolahan (dimasak sampai 100oC) terlebih dahulu
sebesar 0.001 mg/l (ppm), pada kualitas air golongan II adalah air yang dapat
digunakan sebagai air baku air minum sebesar 0.001 mg/l, pada kualitas air golongan
III adalah air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan
sebesar 0.002 mg/l, dan pada kualitas air golongan IV adalah air yang dapat
digunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan,
industri, pembangkit listrik tenaga air sebesar 0.005 mg/l. Diagnosa toksisitas
merkuri tidak dapat dilakukan dengan tes biokimia, tapi dengan diagnosis analisis
kadar Hg dalam darah, urin, dan rambut. Konsentrasi maksimum Hg dalam darah 10-
20 μg/l, dalam urin sebesar 50 μg/l, dan dalam rambut sebesar 1-2 mg/kg (CETEM,
2004).
13
Dampak positif merkuri adalah: (1) Merkuri metal atau unsur merkuri (Hg0)
dapat digunakan untuk bahan pembuat themometer, barometer. Merkuri metal banyak
digunakan untuk produksi gas khlorin dan kaustik soda serta pemurnian emas. Juga
digunakan untuk pembuatan baterai, dan saklar listrik. Untuk bahan penambal gigi
biasanya mengandung merkuri metal 50%. Estimasi yang dilakukan oleh WHO
menyatakan bahwa sekitar 3% dari total konsumsi merkuri digunakan untuk dental
amalgam. (2) Senyawa merkuri anorganik digunakan sebagai fungisida. Garam-
garam merkuri anorganik termasuk amoniak merkurik klorida dan merkuri iodide
digunakan untuk cream pemutih kulit. Merkuri chlorida (HgCl2) adalah sebagai
antiseptik atau disinfektan. Merkuri klorida digunakan sebagai katalis, industri baterai
kering, dan fungisida dalam pengawetan kayu. Merkuri asetat digunakan untuk
sintesa senyawa organomerkuri, sebagai katalis dalam reaksi-reaksi polimerisasi
organik dan sebagai reagen dalam kimia analisa. Senyawa-senyawanya banyak
digunakan sebagai disinfektan, pestisida, bahan cat, antiseptik, baterai kering,
photografi, di pabrik kayu dan pabrik tekstil. (3) Senyawa merkuri organik, metil
merkuri dan fenil merkuri ada dalam bentuk garam-garamnya seperti metal merkuri
klorida dan fenil merkuri asetat. Sampai tahun 1970-an metil merkuri dan etil merkuri
digunakan untuk mengawetkan biji-bijian dan infeksi fungi. Ketika diketahui adanya
efek negatif terhadap kesehatan dari bahan berbahaya metil merkuri dan etil merkuri,
maka penggunaan selanjutnya sebagai fungisida biji-bijian dilarang. Sabun dan krem
yang mengandung merkuri telah digunakan dalam waktu yang lama oleh masyarakat
kulit hitam di beberapa wilayah untuk pemutih kulit (WHO, 2000).
Dampak negatif pada lingkungan yang terkontaminasi merkuri sangat
membahayakan kehidupan manusia karena adanya rantai makanan. Jalur utama
pajanan metilmerkuri pada manusia adalah melalui konsumsi ikan (Barkay, 2005).
Merkuri terakumulasi dalam mikroorganisme yang hidup di air sungai, danau, dan
laut melalui proses metabolisme. Bahan-bahan mengandung merkuri yang terbuang
ke dalam sungai atau laut dimakan oleh mikroorganisme tersebut dan secara kimiawi
terubah menjadi senyawa metilmerkuri. Mikroorganisme dimakan ikan sehingga
metilmerkuri terakumulasi dalam jaringan tubuh ikan. Ikan kecil menjadi rantai
14
makanan ikan besar dan akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan penelitian,
konsentrasi merkuri yang terakumulasi dalam tubuh ikan diperkirakan 40-50 ribu kali
lipat dibandingkan konsentrasi merkuri dalam air yang terkontaminasi (Stwertka,
1998).
Pengaruh toksisitas merkuri terhadap ikan dan biota perairan dapat bersifat
lethal dan sublethal. Pengaruh lethal menyebabkan gangguan pada saraf pusat
sehingga ikan tidak bergerak atau bernapas akibatnya cepat mati. Pengaruh sub lethal
terjadi pada organ-organ tubuh, menyebabkan kerusakan pada hati, mengurangi
potensi untuk berkembangbiak, pertumbuhan dan sebagainya. Selain itu pencemaran
perairan oleh merkuri mempunyai pengaruh terhadap ekosistem setempat yang
disebabkan oleh sifatnya yang stabil dalam sedimen, kelarutannya yang rendah dalam
air dan kemudahannya diserap serta terakumulasi dalam jaringan tubuh organisme air
(Alfian, 2006).
Pencemaran lingkungan adalah suatu keadaan yang terjadi karena perubahan
kondisi tata lingkungan (tanah, udara dan air) yang tidak menguntungkan (merusak
dan merugikan kehidupan manusia, binatang dan tumbuhan) yang disebabkan oleh
kehadiran benda-benda asing (seperti sampah, limbah industri, minyak, logam
berbahaya, dsb.) sebagai akibat perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan
lingkungan tersebut tidak berfungsi seperti semula (Susilo, 2003). Oleh karena itu
usaha pengolahan emas dengan menggunakan merkuri tidak boleh membuang
limbahnya ke dalam aliran sungai sehingga tidak terjadi kontaminasi pada lingkungan
disekitarnya, dan limbah yang mengandung merkuri harus ditempatkan secara khusus
serta ditangani secara hati-hati (Darmono, 2006).
2.3. Bioremediasi Menggunakan Bakteri
Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan
dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran.
Bioremediasi bukanlah konsep baru dalam mikrobiologi terapan, karena mikrob telah
banyak digunakan selama bertahun-tahun dalam mereduksi senyawa organik dan
15
bahan beracun. Pada lingkungan tercemar merkuri banyak ditemukan komunitas
bakteri pereduksi merkuri.
Bakteri dapat digunakan untuk mereduksi logam merkuri dengan cara
mentransformasikan logam berat tersebut melalui proses oksidasi, reduksi, metilasi,
dan dimetilasi. Sifat kontinyu dari bakteri yang tahan Hg2+
yaitu yang dapat
mereduksi Hg2+
menjadi Hg0 dengan merkuri reduktase serta menguapkan Hg
0 dari
limbah yang terkontaminasi (Gadd, 1992; Misra, 1992).
Nakamura et al. (1990) menemukan bakteri aerob dan aerob fakultatif yang
dapat mereduksi Hg2+
menjadi Hg0
dengan mekanisme detoksifikasi antara lain:
Bacillus sp., Pseudomonas sp., Corynebacterium sp., Micrococcus sp. dan Vibrio sp.
dari pantai Minamata, Jepang. Beberapa bakteri aerobik dan fakultatif dapat
mengkatalisasi proses reduksi Hg2+
menjadi Hg0 seperti Bacillus, Pseudomonas,
Corynebacterium, Micrococcus dan Vibrio (Blake et al., 1993). Sadhukhan et al.
(1997) menemukan bakteri resisten merkuri dari genus Bacillus, Escherichia,
Klebsiella, Micrococcus, Pseudomonas, Salmonella, Streptococcus, Staphylococcus,
Shigella, and Sarcina yang diisolasi dari tambak ikan di Calcutta, India. Handayani
(2001) menemukan bakteri pereduksi merkuri Pseudomonas sp. dan Flavobacterium
sp. asal Pongkor dan Ekosistem Air Hitam Kalimantan Tengah. Petrova et al. (2002)
menemukan bakteri Gram positif (Micrococcos, Exiguobacterium, Arthrobacter dan
Bacillus) dan bakteri Gram negatif (Pseudomonas, Acinotobacter, Myxobacteriales,
dan Plesiomonas) yang diisolasi dari sedimen permafrost di Kolyma dan Canada.
Sulastri (2002) menemukan bakteri pereduksi merkuri yaitu Escherichia coli,
Aeromonas cavidae, Hafnia alvei, Citrobacter frundii, Pseudomonas psedomallei,
dan Enterobacter agglomerans dari Ekosistem Air Hitam Kalimantan Tengah yang
mampu tumbuh pada konsentrasi 320 ppm HgCl2 dan bakteri Pseudomonas
pseudomallei ICBB 1512 memiliki aktivitas cukup tinggi dalam mereduksi merkuri
dibandingkan isolat Flavobacterium sp. Zulkifli (2002) memperoleh bakteri
pereduksi merkuri yang mampu tumbuh pada media LB dengan konsentrasi sampai
1000 ppm HgCl2 yaitu ICBB 2813, ICBB 2820, ICBB 1508, dan ICBB 1512. Nofiani
(2004) menemukan bakteri Gram negatif yang resisten terhadap merkuri yaitu
16
Enterobacter cloacae dan E. hafniae dari daerah bekas penambangan emas tanpa
izin (PETI) yang berumur 6 tahun di daerah Mandor, Kalimantan Barat. Media
seleksi yang digunakan isolasi bakteri resisten merkuri adalah media seleksi padat
Canstein yang mengandung HgCl2 10 g/ml. Menurut Green-Ruiz (2005) dengan
menggunakan isolat Bacillus sp. dan pemberian pH optimal antara 4.5 – 7.0 pada 25
°C, kebanyakan adsorpsi merkuri terjadi pada 20 menit pertama. Madigan (2006)
menemukan bakteri yang tahan terhadap merkuri dan menurunkan pencemaran
merkuri, seperti Pseudomonas, Bacillus, Serratia, dan Enterobacter karena
mempunyai operan gen mer yang menyandi enzim merkuri reduktase yang terkait
dengan NADPH. Enzim ini mereduksi ion merkuri yang bersifat racun Hg2+
menjadi
ion Hg0 yang tidak berbahaya. Jaysankar (2008) menemukan beberapa bakteri
resistan merkuri dari laut yang mampu tumbuh sampai 25 ppm (mg/l) yaitu:
Alcaligenes faecalis (tujuh isolat), Bacillus pumilus (tiga isolat), Bacillus sp. (satu
isolat), Pseudomonas aeruginosa (satu isolat), and Brevibacterium iodinium (satu
isolat). Suheryanto et al., (2008) menemukan 6 isolat yang mampu tumbuh pada
media LB dengan konsentrasi antara 1.0 ppm sampai 2.5 ppm MeHg (metil merkuri)
dari Sungai Sangon, Yogyakarta. Santi (2009) menemukan bahwa Pseudomonas
fluorescens strain KTSS yang diisolasi dari tambang batu bara wilayah penambangan
PT Tambang Batu Bara Bukit Asam, Sumatera Selatan memiliki potensi mereduksi
logam merkuri dalam tanah. Shovitri et al., (2010) menemukan 17 isolat bakteri tahan
merkuri dari Kali Mas Surabaya dan berdasarkan karakter biokimia ke-17 isolat
tersebut masuk ke dalam tujuh genus yang berbeda, yaitu ada kecenderungan masuk
ke genus Providencia, Neisseria, Shigella, Lampropedia, Serratia, Enterobacter dan
Bacillus. Ketujuh belas isolat tersebut secara individu mampu hidup pada 10 ppm
HgCl2 dan mereduksi 43%-75% ion Hg2+
menjadi ion Hg0.
Mekanisme Transformasi Merkuri
Mekanisme resistensi merkuri pada bakteri merupakan reduksi enzimatik
Hg2+
oleh enzim merkuri reduktase di dalam sitoplasma menjadi logam Hg0 yang
bersifat kurang toksik dibanding Hg2+
, volatil dan cepat hilang dari lingkungan.
17
Selain menghasilkan enzim merkuri reduktase, bakteri resisten merkuri juga
menghasilkan enzim organomerkuri liase yaitu: enzim yang memotong ikatan karbon
merkuri dalam senyawa seperti metal merkuri dan fenil merkuri, sehingga Hg2+
yang
dilepas dan secara bertahap direduksi oleh merkuri reduktase (Misra, 1992).
Proses detoksifikasi merkuri secara umum terdiri dari dua tahap. Tahap
pertama, senyawa organomerkuri didegradasi melalui pemecahan secara katalis
ikatan C-Hg oleh organomerkuri liase, yang merupakan produk dari gen mer B. Pada
tahap kedua, ion merkuri hasil tahap pertama direduksi secara enzimatik dengan
menggunakan enzim merkuri reduktase (hasil dari mer A) dan mengkonsumsi
NADPH, selanjutnya menghasilkan produk akhir logam merkuri (Hg0) yang
dilepaskan keluar sel (Misra, 1992). Menurut Wagner-Dobler (2003) bakteri memiliki
mekanisme untuk mendetoksifikasi merkuri [operon resisten merkuri (mer)]
berdasarkan pada mekanisme reduksi intraselular Hg2+
menjadi bentuk non-toksik
Hg0 oleh enzim merkuri reduktase. Aktivitas merkuri reduktase dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain: konsentrasi Hg2+
, pH, dan redoks potensial (Barkay et
al., 1991). Aktivitas maksimal merkuri reduktase adalah 1.2 nmol mg-1
terjadi pada
konsentrasi awal Hg2+
50 mol dm-3
dan pH optimum 7.0 (Chang et al., 1999).
Barkay (2000) menjelaskan bahwa ada empat jenis mekanisme enzimatis
terkait dengan mekanisme transformasi merkuri yang dilakukan oleh bakteri yaitu:
(1) reduksi Hg2+
menjadi Hg0, (2) pemecahan senyawa organomerkuri (termasuk
MeHg+), yang menghasilkan bentuk Hg
0, (3) metilasi Hg
2+, dan oksidasi Hg
0 menjadi
Hg2+
. Reaksi reduksi dan pemecahan senyawa organomerkuri dilakukan oleh enzim
dan protein (mer) operon dari bakteri yang resisten terhadap merkuri dengan produk
akhir Hg0. Operon mer memiliki situs pelekatan spesifik untuk protein (merT, merP,
dan merC) yang mentransport Hg2+
ke dalam sitoplasma dan mencegah penghancuran
sel. Di dalam sel, Hg2+
direduksi oleh NADPH menjadi Hg0 oleh enzim merkuri
reduktase (merA). Beberapa operon mer bakteri mengandung gen merB yang
mengkodekan enzim merkuri liase. Enzim ini dapat mendetoksifikasi senyawa
organomerkuri termasuk MeHg2+
dan Me2Hg.
18
Detoksifikasi merkuri oleh bakteri resisten merkuri terjadi karena bakteri
resisten merkuri memiliki gen resisten merkuri, mer operon. Struktur mer operon
berbeda untuk tiap jenis bakteri. Umumnya struktur mer operon terdiri dari gen
metaloregulator (merR), gen transpor merkuri (merT, merP, merC), gen merkuri
reduktase (merA) dan organomerkuri liase (merB) (Silver, 1998; Nascimento, 2003).
Yamaguchi et al., (2007) mengidentifikasi 3 tipe transport dalam bakteri yaitu gen
mer C, gen mer F and gen mer T untuk mereduksi ion (Hg2+
) dan metil merkuri
menjadi elemen merkuri (Hg0) yang volatil dan tidak toksik.
Menurut Tedja (2009) bahwa suhu dan pH merupakan faktor lingkungan yang
sangat menentukan kehidupan bakteri. Suhu yang rendah dapat menyebabkan
aktivitas enzim menurun dan jika suhu terlalu tinggi dapat mendenaturasi protein
enzim. Pada suhu optimum pertumbuhan bakteri berlangsung dengan cepat. Diluar
kisaran suhu optimum pertumbuhan bakteri menjadi lambat atau tidak ada
pertumbuhan. Suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri dapat dikelompokkan
menjadi 3 yaitu : (1) psikrofil (0-200C), (2) mesofil (20-50
0C), dan (3) termofil (50-
1000C), sedangkan pH mempengaruhi metabolisme bakteri. Pada umumnya bakteri
tumbuh dengan baik pada pH netral (7.0). Berdasarkan nilai pH yang dibutuhkan
untuk kehidupannya dikenal 3 kelompok: (1) Acidofilik/ acidotoleran (asam), (2)
Mesofilik/ mesotoleran (netral), dan (3) Basofilik/ basotoleran (basa).
Pertumbuhan sel dicirikan dengan waktu yang dibutuhkan untuk
menggandakan massa atau jumlah sel. Umumnya pertumbuhan sel dinyatakan
melalui massa sel, karena lebih mudah, cepat dan sederhana. Massa sel dalam
penelitian dapat dianalisa melalui kerapatan optik/kekeruhan cairan media kultivasi
dan bobot biomassa kering. Kurva kerapatan optik (OD) memiliki 3 fase yaitu: fase
adaptasi, fase eksponensial, dan fase stasioner (Laily, 2004).
Metode pewarnaan Gram bakteri ditemukan oleh Christian Gram tahun 1883.
Pewarnaan gram merupakan pewarnaan diferensial dalam pencirian dan identifikasi
bakteri. Bakteri gram positif berwarna ungu sedangkan bakteri gram negatif berwarna
merah, perbedaan hasil dalam pewarnaan gram disebabkan perbedaan struktur
dinding sel bakteri. Dalam pewarnaan Gram digunakan biakan segar yang berumur
19
24-48 jam untuk mendapatkan hasil yang baik terutama pada bakteri Gram positif,
jika digunakan biakan tua maka banyak sel mengalami kerusakan pada dindingnya
sehingga zat warna dapat keluar sewaktu dicuci dengan larutan pemucat. Ini berarti
bahwa bakteri Gram positif dengan dinding yang rusak tidak lagi dapat
mempertahankan kompleks warna kristal violet-yodium sehingga terlihat sebagai
bakteri gram negatif (Bibiana, 1994).
Perbedaan antara bakteri Gram positif dan Gram negatif terletak pada dinding
selnya. Pada bakteri Gram positif dinding sel tersusun atas peptidoglikan dan
komponen khusus berupa asam-asam teikhoat dan teikhuronat serta polisakarida;
sedangkan dinding sel bakteri Gram negatif tersusun atas peptidoglikan dengan
komponen-komponen khusus berupa lipoprotein, selaput luar dan lipopolisakarida
(Tedja, 2009). Kemampuan bakteri menghasilkan polisakarida ekstraselular dapat
melindungi sel dari pengaruh toksik logam berat (Ahmad et al., 2005).
2.4. Bioremediasi Menggunakan Bioreaktor
Bioremediasi adalah upaya penanganan masalah limbah dan pencemaran
lingkungan dengan menggunakan bakteri untuk membersihkan senyawa pencemar
dari lingkungan. Pada proses ini terjadi biotransformasi atau biodetoksifikasi
senyawa toksik menjadi senyawa yang kurang toksik atau tidak toksik. Bioremediasi
dengan bakteri merupakan salah satu dari beberapa teknologi penyehatan lingkungan
yang ekonomis dimana 1/400 lebih murah dibanding teknologi resin. Bioremediasi
dapat membersihkan polutan yang ada dalam tanah dan air (Crawford, 2005). Bakteri
resistan merkuri mampu membersihkan limbah industri mengandung merkuri secara
sederhana, ramah lingkungan, dan merupakan salah satu teknologi alternatif yang
efektif (Wagner, 2003).
Menurut Sunarko (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
suatu proses bioremediasi dalam pengolahan pencemar lingkungan yaitu (1)
tersedianya mikroorganisme yang dapat mentransformasikan, mendegradasi dan
mendetoksifikasi kontaminan sasaran, (2) ketersediaan nutrien dan kontaminan bagi
20
pertumbuhan bakteri, (3) kondisi lingkungan yang kondusif untuk hidup dan tumbuh,
serta menunjang aktivitas transformatif bakteri dengan laju yang optimal.
Bioreaktor atau reaktor biologis adalah tempat berlangsungnya perubahan
suatu zat akibat adanya reaksi kimia dalam proses tangki fermentasi yang
dikendalikan (Hartoto dan Sailah, 1992). Menurut Machfud et al. (1989), fermentasi
memiliki pengertian sebagai suatu proses terjadinya perubahan kimia pada suatu
substrat organik melalui aktifitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Menurut
Tjokrokusumo (1998) pada dasarnya reaktor pengolahan secara biologis dapat
dibedakan atas 2 jenis yaitu: reaktor pertumbuhan tersuspensi dan reaktor ertumbuhan
melekat. Pada reaktor pertumbuhan tersuspensi, mikrob tumbuh dan berkembang
dalam keadaan tersuspensi; sedangkan pada reaktor pertumbuhan melekat, bakteri
tumbuh pada media pendukung dengan membentuk lapisan film atau biofilm untuk
melekatkan dirinya. Pertumbuhan bakteri akan melekat bila tumbuh pada medium
padat sebagai pendukung dan aliran limbah kontak dengan organisme.
Media pendukung dapat berupa batuan vulkanik, batu-batu besar karang,
lembaran plastik bergelombang atau cakram yang berputar. Batuan vulkanik yang
berperan sebagai media pendukung dimana bakteri pereduksi merkuri tumbuh diatas
media tersebut membentuk lapisan biofilm untuk melekatkan diri pada permukaan
batu (Tjokrokusumo, 1998). Menurut Barus (2007), dari hasil foto scanning electron
micrograph (SEM) memperlihatkan morfologi batu vulkanik yang tidak teratur dan
memiliki banyak rongga-rongga didalamnya. Rongga-rongga tersebut berfungsi
sebagai tempat melekat bagi bakteri, membentuk koloni (pertumbuhan biofilm), dan
memberikan perlindungan terhadap abrasi aliran limbah cair dalam bioreaktor
(Elfrida, 1999).
Biofilm merupakan suatu fenomena alamiah dimana sebagian besar bakteri di
alam berasosiasi dengan permukaan padatan. Biofilm terdiri dari sel-sel bakteri yang
melekat erat ke suatu permukaan sehingga berada dalam keadaan diam (sesil), tidak
mudah lepas atau berpindah tempat (irreversible). Pelekatan ini seperti pada bakteri
disertai oleh penumpukan bahan-bahan organik yang diselubungi oleh matrik polimer
ekstraseluller yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. Matrik ini berupa struktur
21
benang-benang bersilang satu sama lain yang dapat berupa perekat bagi biofilm.
Biofilm terbentuk karena adanya interaksi antara bakteri dan permukaan yang
ditempeli. Interaksi ini terjadi dengan adanya faktor-faktor yang meliputi kelembaban
permukaan, makanan yang tersedia, pembentukan matrik ekstraseluller (exopolimer)
yang terdiri dari polisakarida, faktor-faktor fisikokimia seperti interaksi muatan
permukaan dan bakteri, ikatan ion, ikatan Van Der Waals, pH dan tegangan
permukaan serta pengkondisian permukaan. Dengan kata lain terbentuknya biofilm
adalah karena adanya daya tarik antara kedua permukaan (psikokimia) dan adanya
alat yang menjembatani pelekatan (matrik eksopolisakarida). Odergaard et al. (1994)
menyatakan bahwa keuntungan reaktor biofilm dalam menangani limbah industri
yaitu: (1) perlakuan yang diterapkan dapat dibuat lebih kompak karena membutuhkan
tempat yang relatif sedikit, (2) hasil perlakuan tidak terikat oleh pemisahan slugde
pada akhir proses, dan (3) biomassa yang terjerat dapat digunakan dengan cara lain
yang lebih khusus karena tidak tercampur dengan sludge.
Menurut Barus (2007) pengolahan limbah cair dengan menggunakan sistem
bioreaktor mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mereduksi merkuri dalam
waktu yang relatif singkat. Pembentukan biofilm 6 hari merupakan kondisi paling
optimum untuk mereduksi merkuri. Pada perlakuan tersebut menggunakan bakteri
Pseudomonas pseudomallei ICBB 1512 yang mampu hidup pada 6 ppm HgCl2 dan
dapat menurunkan merkuri sebesar 98.54 % (dari 6.53 menjadi 0.10 ppm).
Pengoperasian bioreaktor menggunakan kultur tunggal bakteri pereduksi merkuri
lebih efisien daripada penggunaan kultur campuran karena memiliki aktivitas yang
tinggi sehingga dapat digunakan dalam pengolahan limbah tercemar merkuri
(Zulkifli, 2002).
Karbon aktif merupakan karbon yang memiliki luas permukaan yang sangat
besar sehingga dapat digunakan untuk berbagai aplikasi seperti menyerap bau, warna,
pengotor, bahkan logam berat seperti merkuri. Karbon aktif dalam bentuk serbuk
kecepatan adsorpsinya lebih cepat daripada dalam bentuk butiran (granula). Sumber
bahan baku karbon aktif terdiri dari kayu, ampas tebu, kulit buah, batok kelapa, dan
batubara muda. Karbon aktif memiliki 2 bentuk yang biasa digunakan dalam
22
pengolahan air minum yaitu: bentuk bubuk dan bentuk butiran (granular). Karbon
aktif selain dapat menghilangkan zat-zat organik, juga digunakan untuk menjerap
bahan-bahan anorganik seperti Fe, Pb, Ag, Cd, Hg dan sebagainya dalam jumlah
tertentu. Menurut Gluszcz et al. (2008) penggunaan karbon aktif dengan a fixed-bed
bioreaktor dapat digunakan dalam proses bioreduksi ion merkuri karena dapat
menurunkan konsentrasi merkuri sekitar 50%.
Suhu berperan penting dalam mengatur jalannya reaksi metabolisme bagi
semua makhluk hidup. Khususnya bagi bakteri, suhu lingkungan yang berada lebih
tinggi dari suhu yang dapat ditoleransi akan menyebabkan denaturasi protein dan
komponen sel esensial lainnya sehingga sel akan mati. Demikian pula bila suhu
lingkungannya berada di bawah batas toleransi, membran sitoplasma tidak akan
berwujud cair sehingga transportasi nutrisi akan terhambat dan proses kehidupan sel
akan terhenti.
Power of Hidrogen yang lazimnya disingkat pH (derajat keasaman) untuk
menyatakan tingkat keasaman dan atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan.
Yang dimaksudkan “keasaman” adalah konsentrasi ion hydrogen (H+) dalam pelarut
air, sedangkan “kebasaan” adalah konsentrasi ion OH- dalam pelarut air. Suatu
larutan dikatakan netral apabila memiliki nilai pH=7, nilai pH>7 menunjukkan
larutan memiliki sifat basa, dan nilai pH<7 menunjukan keasaman (Bibiana, 1994).
Pertumbuhan dan kemampuan hidup bakteri sangat dipengaruhi sangat dipengaruhi
oleh pH lingkungan dan tiap bakteri menunjukkan kebutuhan yang berbeda. Tiap
mikrob memiliki kemampuan tumbuh dalam kisaran pH yang spesifik yang mungkin
lebar atau sempit dengan laju pertumbuhan yang cepat dalam kisaran optimum yang
sempit.
2.5. Bioremediasi Menggunakan Tanaman
Bioremediasi tidak hanya terbatas pada pemanfaatan aktifitas mikrob, tetapi
juga menggunakan tanaman yang disebut fitoremediasi. Istilah fitoremediasi berasal
dari kata Inggris „phytoremediation‟; kata ini sendiri tersusun atas dua kata, yaitu
phyto yang berasal dari kata Yunani phyton "tumbuhan" dan remediation yang
23
berasal dari kata Latin remedium "menyembuhkan", dalam hal ini berarti juga
"menyelesaikan masalah dengan cara memperbaiki kesalahan atau kekurangan".
Dengan demikian fitoremediasi dapat didefinisikan: penggunaan tumbuhan untuk
menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar
baik itu senyawa organik maupun anorganik. Fitoremediasi dapat diaplikasikan pada
limbah organik maupun anorganik dalam bentuk padat, cair, dan gas (Salt et al.,
1998).
Fitoremediasi adalah salah satu teknologi yang bersahabat dengan lingkungan
yang tidak mahal dan efektif. Tanaman-tanaman hiperakumulator logam dapat
digunakan untuk mengubah logam baik yang berasal dari daratan maupun lautan
(Shah, 2007). Menurut Suthersan (2001) bahwa proses dalam fitoremediasi
berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara serial yang dilakukan
tumbuhan terhadap zat kontaminan/ pencemar yang berada disekitarnya, yaitu:
1. Phytoacumulation adalah proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari
media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga
Hyperacumulation.
2. Rhizofiltration adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh
akar untuk menempel pada akar.
3. Phytostabilization adalah penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar
yang tidak mungkin terserap kedalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut
menempel erat (stabil ) pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air
dalam media.
4. Rhyzodegradation adalah penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas
mikrob yang berada disekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan
bakteri.
5. Phytodegradation adalah proses yang dilakukan tumbuhan menguraikan zat
kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan
yang tidak berbahaya dengan dengan susunan molekul yang lebih sederhana
yang dapat berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat
berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar dengan bantuan
24
enzym yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan
mengeluarkan enzym berupa bahan kimia yang mempercepat proses
degradasi.
6. Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat contaminan oleh
tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan
yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya di uapkan ke atmosfir. Beberapa
tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan 1000 liter perhari untuk
setiap batang.
Laporan pertama mengenai adanya tumbuhan hiperakumulator muncul pada
tahun 1948 oleh Minguzzi dan Vergnano, yang menemukan kadar nikel sebesar 1.2%
dalam daun Alyssum bertolonii. Tumbuhan hiperakumulator logam adalah tumbuhan
yang mempunyai kemampuan untuk mengkonsentrasikan logam di dalam
biomassanya dalam kadar yang luar biasa tinggi. Kriteria tanaman hipertoleran
(Chaney et al., 1995) adalah sebagai berikut: (1) Tumbuhan harus bersifat
hipertoleran agar dapat mengakumulasi sejumlah besar logam berat di dalam batang
serta daun, (2) tumbuhan harus mampu menyerap logam berat dari dalam larutan
tanah dengan laju penyerapan yang tinggi, dan (3) tumbuhan harus mempunyai
kemampuan untuk mentranslokasi logam berat yang diserap akar ke bagian batang
serta daun.
Hasil penelitian Syafrani (2007) bahwa tumbuhan wlingen (Scirpus grossus),
melati air (Echinodorus paleafolius), genjer (Limnocharis flava), kiapu atau apu-apu
(Pistia stratiotes) dapat digunakan untuk pengendalian limbah cair dari sub-DAS
Tapung Kiri, Propinsi Riau. Menurut Guntur (2008) bahwa kualitas limbah rumah
tangga yang telah melalui proses bioremediasi dengan simulasi tanaman air yaitu:
Mendong (Iris sibirica), Teratai (Nymphaea firecrest), Kiambang (Spirodella
polyrrhiza) dan Hidrilla (Hydrilla verticillata) pada umumnya telah memenuhi syarat
untuk dilepas ke lingkungan, baik ditinjau dari kualitas fisik dan kimia, maupun
kualitas mikrobiologis. Menurut Supradata (2005) bahwa tanaman hias jenis Cyperus
alternifolius memiliki kinerja yang cukup baik dalam pengolahan air limbah rumah
tangga dengan system lahan basah buatan aliran bawah permukaan (SSF-Wetlands).
25
Menurut Khiatuddin (2003) jenis-jenis tanaman yang dapat digunakan pada
lahan basah buatan yaitu: 1) tanaman yang mencuat di permukaan air seperti:
Andropogon virginianus, Polygonum spp., Alternanthera spp; Phalaris arundinacea,
Thypa domingensis, Thypa latifolia, Thypa orientalis, Canna flaccid; 2) tanaman
yang mengambang dalam air seperti: Potamogeton spp., Egeria densa,
Ceratophyllum demersum, Elodea nuttallii, Myriophyllum aquaticum, Algae; dan 3)
tanaman yang mengapung di permukaan air seperti: Lagorosiphon major, Salvinia
rotundifolia, Spirodela polyrhiza, Pistia stratoites, Lemna minor, Eichornia
crassipes, Lemna gibba.
Gambar 3. Jenis-jenis Tanaman Lahan Basah (Khiatuddin, 2003)
Proses pengolahan limbah cair dalam kolam yang menggunakan tanaman air
terjadi proses penyaringan dan penyerapan oleh akar dan batang tanaman air, proses
pertukaran dan penyerapan ion, dan tanaman air juga berperan dalam menstabilkan
pengaruh iklim, angin, cahaya matahari dan suhu (Reed, 2005).
Tanaman Typha sp. termasuk Kingdom: Plantae, (unranked): Angiosperms,
(unranked): Monocots, (unranked): Commelinales, Ordo: Poales, Family: Typhaceae,
Genus: Typha L. Tanaman Typha sp. sering digunakan sebagai bahan kerajinan atau
tali. Menurut Hidayah (2010) tanaman Cattail (Typha Angustifolia) dalam sistem
lahan basah buatan pengolahan air limbah domestik dapat menurunkan kandungan
pencemar dalam air limbah dengan waktu tinggal 3 sampai dengan 15 hari, efisiensi
penyisihan COD 77.6% - 91.8%, BOD 47.4% – 91.6% dan TSS 33.3% – 83.3%.
26
Keunggulan pengolahan air limbah dengan sistem ini selain kualitas hasil air
pengolahan yang sesuai baku mutu air limbah domestik juga dapat meningkatkan
kualitas tanah. Hibrid dari tanaman Typha angustifolia and Typha latifolia dapat
digunakan sebagai tanaman lahan basah buatan (Selbo, 2004).
Sedangkan tanaman Eceng gondok termasuk Kingdom: Plantae, Divisi:
Magnoliophyta, Kelas: Liliopsida, Ordo: Commelinales, Famili: Pontederiaceae,
Genus: Eichhornia Kunth, dan Spesies: E. crassipes. Eceng gondok atau enceng
gondok adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Eceng gondok pertama kali
ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp
von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika
sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil.
Eceng gondok hidup
mengapung di air dan kadang-kadang berakar dalam tanah. Tingginya sekitar 0.4 –
0.8 meter. Tidak mempunyai batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung
dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan
daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk
bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam.
Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut.
Eichhornia crassipes merupakan tumbuhan air yang dapat menyerap hara dan logam
berat dalam jumlah yang cukup signifikan. Zat hara yang terserap oleh akar tanaman
akan ditranslokasikan di dalam tubuh tanaman. Hasil penelitian yang telah dilakukan
di bak percobaan menunjukkan bahwa penggunaan eceng gondok dengan penutupan
50% dari luas area percobaan pengolahan limbah cair tahu dapat menurunkan residu
a b
Gambar 4. Tanaman Eceng gondok (a) dan tanaman Typha (b)
27
2.6. Lahan Basah Buatan
Istilah “Lahan Basah”, sebagai terjemahan “wetland” baru dikenal di
Indonesia sekitar tahun 1990. Sebelumnya masyarakat Indonesia menyebut kawasan
lahan basah berdasarkan bentuk/nama fisik masing-masing tipe seperti: rawa, danau,
sawah, tambak, dan sebagainya. Pengertian fisik lahan basah yang digunakan untuk
menyamakan persepsi semua pihak mulai dikenal secara baku sejak diratifikasinya
Konvensi Ramsar tahun 1991 yaitu: “Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut,
dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir;
tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak
lebih dari enam meter pada waktu surut.” Salah satu upaya minimalisasi limbah
secara efektif dan efisien adalah menggunakan sistem lahan basah buatan.
Lahan basah buatan adalah semua lahan basah yang secara sengaja diciptakan
untuk menggantikan habitat alam sebagai suatu keharusan dalam rangka menurunkan
tekanan limbah yang begitu besar dilepaskan ke perairan alam. Lahan basah buatan
harus direncanakan, didisain, dikontruksi dan di monitor secara hati-hati. Komponen
yang harus diperhatikan dalam lahan basah buatan adalah air, tanah, dan tanaman
(Sabaruddin, 2006).
Menurut Wang et al. (2010) Sistem Lahan Basah Buatan diklasifikasikan ke
dalam 2 tipe yaitu sistem aliran horizontal (HFS) dan system aliran vertikal (VFS).
Dalam sistem aliran horizontal dikenal 2 tipe yaitu: sistem aliran permukaan (surface
flow = SF) dan sistem aliran bawah permukaan (subsurface flow = SSF). Klasifikasi
Lahan Basah Buatan berdasarkan jenis tanaman yaitu : 1) sistem yang menggunakan
tanaman makrophyta mengambang (floating), 2) sistem yang menggunakan tanaman
makrophyta dalam air (submerged) dan umumnya digunakan pada sistem Lahan
Basah Buatan tipe Aliran Permukaan (Surface Flow Wetlands), dan 3) sistem yang
menggunakan tanaman makrophyta yang akarnya tenggelam (amphibiuos) dan
biasanya digunakan untuk Lahan Basah Buatan tipe Aliran Bawah Permukaan
(Subsurface Flow Wetlands) SSF-Wetlands.
Sistem lahan basah bisa menggunakan aliran air dalam (submerged flow)
ataupun aliran air permukaan (surface flow). Direkomendasikan ketinggian air sekitar
28
30 cm karena sel yang dangkal dipercaya memiliki aerasi limbah yang lebih baik
daripada sel yang dalam. Selain itu, akar akan lebih banyak berada di bagian atas
substrat dimana oksigen tersedia lebih banyak.
Substrat yang umum digunakan adalah kerikil bersih dengan ukuran tertentu.
Batuan sungai berbentuk bulat lebih disukai karena menghindari substrat mengeras.
Pasir atau campuran kerikil/pasir merupakan alternatif yang baik. Batuan kapur tidak
direkomendasikan karena mudah mengeras. Diameter kerikil yang digunakan
berkisar antara 0.5-1.3 cm, bahkan ada yang menggunakan ukuran 5.0 cm, tetapi
ukuran kerikil yang kecil diyakini lebih mendukung pertumbuhan tanaman. Sel
terakhir dari sistem pengolah limbah lahan basah buatan biasanya berisi filter pasir.
Selain kerikil dan pasir, dapat juga digunakan substrat yang mengandung tanah
lempung dan lumpur. Substrat yang digunakan sebaiknya dicuci lebih dahulu untuk
menghindari partikel halus yang dapat menyumbat ruang pori substrat sehingga
terjadi aliran permukaan.