2. tinjauan pustaka 2.1. keadaan di lokasi pesk talawaan...

20
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan di Lokasi PESK Talawaan-Tatelu Lokasi pertambangan emas skala kecil (PESK) di Kecamatan Talawaan- Tatelu tersebar terutama di Desa Tatelu, Tatelu Rondor, Wasian, Warukapas dan Talawaan yang semuanya berada di Kabupaten Minahasa Utara, termasuk dalam DAS Talawaan yang mempunyai luas sekitar 34.000 ha dan membentang mulai dari Gunung Klabat sebagai bagian hulu dan bermuara di Talawaan Bantik / Talawaan Bajo Kecamatan Wori di depan garis pantai kawasan Taman Nasional Laut Bunaken. Wilayah PESK Talawaan-Tatelu tersebar pada tanah-tanah Pasini seluas 822 ha terutama di lokasi yang disebut Bukit Batu Api dan Lempaoi, berada pada bagian hulu Sungai Talawaan, sehingga pengaruhnya kebagian hilir sangat besar. Jumlah masyarakat yang ikut aktif dalam penambangan sekitar 3.000 s/d 5.000 orang. Kegiatan PESK Talawaan-Tatelu ini telah berlangsung sejak tahun 1997, berawal informasi dari calon pekerja PT. Tambang Tondano Nusa Jaya yang melakukan penelitian bahwa di daerah ini terdapat deposit emas. Kegiatan ini juga dipicu oleh kondisi perekonomian bangsa kita yang sulit waktu itu akibat krisis. Tahun 1999 semakin berkembang karena ternyata batuan emas yang ditambang di daerah ini mengandung kadar emas yang cukup tinggi, disamping lokasinya yang dekat dengan pemukiman penduduk serta aksesibilitas yang begitu mudah ke lokasi galian. Saat ini, meskipun PESK Talawaan-Tatelu dikategorikan ilegal namun operasinya tetap berlangsung bahkan bahan merkuri yang sangat ketat pemasarannya dapat diperoleh dengan mudah oleh masyarakat. Mekanisme pengolahan emas di PESK sebagai berikut: 1) Diawali dengan penambangan batuan mengandung emas yang disebut rep. Rep yang diperoleh dimasukkan dalam karung goni dan diangkut ke tempat pengolahan, 2) Batuan rep dihancurkan di tempat pengolahan dengan alat penghancur yang digerakkan mesin atau ditumbuk dengan menggunakan martil, 3) Hancuran batuan rep dimasukkan kira-kira sebanyak 40 kg per tromol dan diputar selama 3 jam dimana masing-masing tromol diisi dengan merkuri sebanyak 1 s/d 2 kg per tromol kemudian diputar sekitar

Upload: nguyendat

Post on 16-Apr-2018

222 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

9

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keadaan di Lokasi PESK Talawaan-Tatelu

Lokasi pertambangan emas skala kecil (PESK) di Kecamatan Talawaan-

Tatelu tersebar terutama di Desa Tatelu, Tatelu Rondor, Wasian, Warukapas dan

Talawaan yang semuanya berada di Kabupaten Minahasa Utara, termasuk dalam

DAS Talawaan yang mempunyai luas sekitar 34.000 ha dan membentang mulai dari

Gunung Klabat sebagai bagian hulu dan bermuara di Talawaan Bantik / Talawaan

Bajo Kecamatan Wori di depan garis pantai kawasan Taman Nasional Laut Bunaken.

Wilayah PESK Talawaan-Tatelu tersebar pada tanah-tanah Pasini seluas 822 ha

terutama di lokasi yang disebut Bukit Batu Api dan Lempaoi, berada pada bagian

hulu Sungai Talawaan, sehingga pengaruhnya kebagian hilir sangat besar. Jumlah

masyarakat yang ikut aktif dalam penambangan sekitar 3.000 s/d 5.000 orang.

Kegiatan PESK Talawaan-Tatelu ini telah berlangsung sejak tahun 1997,

berawal informasi dari calon pekerja PT. Tambang Tondano Nusa Jaya yang

melakukan penelitian bahwa di daerah ini terdapat deposit emas. Kegiatan ini juga

dipicu oleh kondisi perekonomian bangsa kita yang sulit waktu itu akibat krisis.

Tahun 1999 semakin berkembang karena ternyata batuan emas yang ditambang di

daerah ini mengandung kadar emas yang cukup tinggi, disamping lokasinya yang

dekat dengan pemukiman penduduk serta aksesibilitas yang begitu mudah ke lokasi

galian. Saat ini, meskipun PESK Talawaan-Tatelu dikategorikan ilegal namun

operasinya tetap berlangsung bahkan bahan merkuri yang sangat ketat pemasarannya

dapat diperoleh dengan mudah oleh masyarakat.

Mekanisme pengolahan emas di PESK sebagai berikut: 1) Diawali dengan

penambangan batuan mengandung emas yang disebut rep. Rep yang diperoleh

dimasukkan dalam karung goni dan diangkut ke tempat pengolahan, 2) Batuan rep

dihancurkan di tempat pengolahan dengan alat penghancur yang digerakkan mesin

atau ditumbuk dengan menggunakan martil, 3) Hancuran batuan rep dimasukkan

kira-kira sebanyak 40 kg per tromol dan diputar selama 3 jam dimana masing-masing

tromol diisi dengan merkuri sebanyak 1 s/d 2 kg per tromol kemudian diputar sekitar

10

setengah jam untuk memungkinkan terjadinya amalgamasi unsur emas dengan

merkuri, 4) Isi tromol dikeluarkan dan dilakukan pemisahan antara batuan rep yang

telah halus dari amalgam dengan bantuan aliran air. Rep halus disimpan dalam

karung menjadi limbah padat, sedangkan amalgam dibakar untuk memisahkan

merkuri dan emas berdasarkan titip uap karena merkuri lebih dulu menguap dan

terlepas dari emas, 5) Pembakaran secara sederhana dengan kompor gas pada sebuah

pinggan tanah liat secara langsung di udara terbuka sehingga uap merkuri yang

berwarna kebiru-biruan tersebar di lingkungan sekitar. Ada yang menggunakan retort

untuk mengumpulkan kembali merkuri, tapi umumnya perlengkapan keselamatan

pekerja seperti sarung tangan dan arah angin masih kurang diperhatikan, 6) Aliran air

yang digunakan memisahkan merkuri amalgam dan rep halus ini dialirkan ke kolam,

namun ada juga yang melalui saluran kecil langsung ke selokan yang pada akhirnya

menuju ke Sungai Talawaan. Meskipun ada yang menggunakan kolam tetapi karena

air yang diperlukan sangat banyak sehingga kolam menjadi penuh dan tidak mampu

menampung semua air yang mengalir masuk. Apalagi bila musim hujan tiba, kolam

yang ada sama sekali hampir tidak ada manfaatnya, 7) Limbah dalam bentuk lumpur

rep di buang ke tempat penimbunan yang nantinya pada saat penghujan mengalir

dalam bentuk suspensi ke sungai Talawaan.

Data pemantauan yang dilakukan sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2003

oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Provinsi Sulawesi Utara

kerjasama dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) Regional

III Makassar, The Canada Education for Peace Initiative (CEPI) Kanada, Natural

Resource Management (NRM) Sulut, The United Nations Industrial Development

Organization- Global Mercury Project (UNIDO – GMP) Phase I menunjukkan selang

tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 konsentrasi merkuri dalam perairan sungai

Talawaan telah melebihi standar baku mutu lingkungan. Konsentrasi merkuri pada

lokasi yang dekat dengan unit pengolahan emas telah melebihi standar baku mutu

yang dipersyaratkan yaitu 0.05 ppm. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka

kontaminasi merkuri atas para pekerja tambang dan masyarakat sekitar daerah

tambang akan semakin tinggi, sehingga dapat menjadi suatu ancaman yang serius

11

bagi kesehatan mereka. Kebijakan penanggulangan harus segera diupayakan untuk

mencegah terjadinya keadaan yang lebih buruk.

2.2. Karakteristik Merkuri

Merkuri adalah salah satu unsur logam penting dalam teknologi saat ini,

memiliki nomor atom (NA=80) dan massa molekul relatif (MR=200,59). Memiliki

simbol kimia Hg yang merupakan singkatan dari bahasa Yunani Hydrargyrum yang

berarti cairan perak, dan masyarakat umum mengenal dengan nama merkuri yang

berarti mudah menguap. Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berbentuk cair

dalam temperatur kamar (250C) dengan titik beku paling rendah (-39

0C), memiliki

kecenderungan menguap lebih besar, mudah bercampur dengan logam-logam lain

menjadi logam campuran (Amalgam/Alloi), dan dapat mengalirkan arus listrik

sebagai konduktor baik tegangan arus listrik tinggi maupun tegangan arus listrik

rendah, serta dapat menghambat kerja enzim dan protein (Alfian, 2006).

Menurut Darmono (2006), secara umum merkuri memiliki 3 bentuk kimia

yang berpengaruh pada pengendapannya, yaitu: (1) unsur merkuri (Hg0) memiliki

tekanan uap yang tinggi dan sukar larut di dalam air. Pada suhu kamar kelarutannya

kira-kira 60 mg/l dalam air dan antara 5- 50 mg/l dalam lipida. Bila ada oksigen,

merkuri diasamkan langsung ke dalam bentuk ionik. Uap merkuri hadir dalam bentuk

monoatom (Hg). Saluran pernapasan merupakan jalan utama penyerapan unsur Hg

dalam bentuk uap, (2) merkuri anorganik (Hg2+

dan Hg2 2+

), terdiri dari raksa unsur

dan garam merkurous (Hg2Cl2) dan merkurik (HgCl2) yang dapat terurai. Di antara

dua tahapan pengoksidaan, Hg2+ adalah lebih reaktif. Ia dapat membentuk kompleks

dengan ligan organik, terutama golongan sulfurhidril. Contohnya HgCl2 sangat larut

dalam air dan sangat toksik, sebaliknya HgCl tidak larut dan kurang toksik, (3)

merkuri organik adalah senyawa merkuri yang terikat dengan atom karbon yaitu:

senyawa alkil merkuri = CH3HgCl, senyawa aril merkuri = C6H5HgCl, senyawa

alkoksiaril merkuri= CH3OCH2HgCl, ikatan merkuri karbon stabil karena aktivitas

merkuri yang stabil terhadap oksigen.

12

Menurut WHO (2000) secara umum merkuri memiliki 3 bentuk kimia yang

berpengaruh pada pengendapannya, yaitu: (1) Merkuri metal atau unsur merkuri

(Hg0) merupakan logam berwarna putih, berkilau dan pada suhu kamar berada dalam

bentuk cairan. (2) Senyawa merkuri anorganik terjadi ketika merkuri dikombinasikan

dengan elemen lain seperti klorin (Cl), sulfur atau oksigen. Senyawa-senyawa ini

biasa disebut garam-garam merkuri. Senyawa merkuri anorganik berbentuk bubuk

putih atau kristal, kecuali merkuri sulfida (HgS) yang biasa disebut Sinabar adalah

berwarna merah dan akan menjadi hitam setelah terkena sinar matahari. (3) Senyawa

merkuri organik terjadi ketika merkuri bertemu dengan karbon atau organomerkuri.

Banyak jenis organomerkuri, tetapi yang paling populer adalah metilmerkuri (dikenal

dengan monometilmercuri) CH3-Hg-COOH. Pada waktu yang lampau, senyawa

organomerkuri yang dikenal adalah fenilmerkuri yang digunakan dalam beberapa

produk komersial. Organomerkuri lainnya adalah dimetilmerkuri (CH3-Hg-CH3) yang

juga digunakan sebagai standar referensi tes kimia.

Merkuri termasuk logam yang sangat toksik pada organisme maka pemerintah

melalui Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas

Air dan Pengendalian Pencemaran Air menetapkan kriteria mutu untuk setiap kelas

air dan dimana kadar merkuri maksimum yang diziinkan untuk berada dalam badan

air yaitu pada kualitas air golongan I adalah air yang dapat digunakan sebagai air

minum secara langsung tanpa pengolahan (dimasak sampai 100oC) terlebih dahulu

sebesar 0.001 mg/l (ppm), pada kualitas air golongan II adalah air yang dapat

digunakan sebagai air baku air minum sebesar 0.001 mg/l, pada kualitas air golongan

III adalah air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan

sebesar 0.002 mg/l, dan pada kualitas air golongan IV adalah air yang dapat

digunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan,

industri, pembangkit listrik tenaga air sebesar 0.005 mg/l. Diagnosa toksisitas

merkuri tidak dapat dilakukan dengan tes biokimia, tapi dengan diagnosis analisis

kadar Hg dalam darah, urin, dan rambut. Konsentrasi maksimum Hg dalam darah 10-

20 μg/l, dalam urin sebesar 50 μg/l, dan dalam rambut sebesar 1-2 mg/kg (CETEM,

2004).

13

Dampak positif merkuri adalah: (1) Merkuri metal atau unsur merkuri (Hg0)

dapat digunakan untuk bahan pembuat themometer, barometer. Merkuri metal banyak

digunakan untuk produksi gas khlorin dan kaustik soda serta pemurnian emas. Juga

digunakan untuk pembuatan baterai, dan saklar listrik. Untuk bahan penambal gigi

biasanya mengandung merkuri metal 50%. Estimasi yang dilakukan oleh WHO

menyatakan bahwa sekitar 3% dari total konsumsi merkuri digunakan untuk dental

amalgam. (2) Senyawa merkuri anorganik digunakan sebagai fungisida. Garam-

garam merkuri anorganik termasuk amoniak merkurik klorida dan merkuri iodide

digunakan untuk cream pemutih kulit. Merkuri chlorida (HgCl2) adalah sebagai

antiseptik atau disinfektan. Merkuri klorida digunakan sebagai katalis, industri baterai

kering, dan fungisida dalam pengawetan kayu. Merkuri asetat digunakan untuk

sintesa senyawa organomerkuri, sebagai katalis dalam reaksi-reaksi polimerisasi

organik dan sebagai reagen dalam kimia analisa. Senyawa-senyawanya banyak

digunakan sebagai disinfektan, pestisida, bahan cat, antiseptik, baterai kering,

photografi, di pabrik kayu dan pabrik tekstil. (3) Senyawa merkuri organik, metil

merkuri dan fenil merkuri ada dalam bentuk garam-garamnya seperti metal merkuri

klorida dan fenil merkuri asetat. Sampai tahun 1970-an metil merkuri dan etil merkuri

digunakan untuk mengawetkan biji-bijian dan infeksi fungi. Ketika diketahui adanya

efek negatif terhadap kesehatan dari bahan berbahaya metil merkuri dan etil merkuri,

maka penggunaan selanjutnya sebagai fungisida biji-bijian dilarang. Sabun dan krem

yang mengandung merkuri telah digunakan dalam waktu yang lama oleh masyarakat

kulit hitam di beberapa wilayah untuk pemutih kulit (WHO, 2000).

Dampak negatif pada lingkungan yang terkontaminasi merkuri sangat

membahayakan kehidupan manusia karena adanya rantai makanan. Jalur utama

pajanan metilmerkuri pada manusia adalah melalui konsumsi ikan (Barkay, 2005).

Merkuri terakumulasi dalam mikroorganisme yang hidup di air sungai, danau, dan

laut melalui proses metabolisme. Bahan-bahan mengandung merkuri yang terbuang

ke dalam sungai atau laut dimakan oleh mikroorganisme tersebut dan secara kimiawi

terubah menjadi senyawa metilmerkuri. Mikroorganisme dimakan ikan sehingga

metilmerkuri terakumulasi dalam jaringan tubuh ikan. Ikan kecil menjadi rantai

14

makanan ikan besar dan akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan penelitian,

konsentrasi merkuri yang terakumulasi dalam tubuh ikan diperkirakan 40-50 ribu kali

lipat dibandingkan konsentrasi merkuri dalam air yang terkontaminasi (Stwertka,

1998).

Pengaruh toksisitas merkuri terhadap ikan dan biota perairan dapat bersifat

lethal dan sublethal. Pengaruh lethal menyebabkan gangguan pada saraf pusat

sehingga ikan tidak bergerak atau bernapas akibatnya cepat mati. Pengaruh sub lethal

terjadi pada organ-organ tubuh, menyebabkan kerusakan pada hati, mengurangi

potensi untuk berkembangbiak, pertumbuhan dan sebagainya. Selain itu pencemaran

perairan oleh merkuri mempunyai pengaruh terhadap ekosistem setempat yang

disebabkan oleh sifatnya yang stabil dalam sedimen, kelarutannya yang rendah dalam

air dan kemudahannya diserap serta terakumulasi dalam jaringan tubuh organisme air

(Alfian, 2006).

Pencemaran lingkungan adalah suatu keadaan yang terjadi karena perubahan

kondisi tata lingkungan (tanah, udara dan air) yang tidak menguntungkan (merusak

dan merugikan kehidupan manusia, binatang dan tumbuhan) yang disebabkan oleh

kehadiran benda-benda asing (seperti sampah, limbah industri, minyak, logam

berbahaya, dsb.) sebagai akibat perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan

lingkungan tersebut tidak berfungsi seperti semula (Susilo, 2003). Oleh karena itu

usaha pengolahan emas dengan menggunakan merkuri tidak boleh membuang

limbahnya ke dalam aliran sungai sehingga tidak terjadi kontaminasi pada lingkungan

disekitarnya, dan limbah yang mengandung merkuri harus ditempatkan secara khusus

serta ditangani secara hati-hati (Darmono, 2006).

2.3. Bioremediasi Menggunakan Bakteri

Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan

dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran.

Bioremediasi bukanlah konsep baru dalam mikrobiologi terapan, karena mikrob telah

banyak digunakan selama bertahun-tahun dalam mereduksi senyawa organik dan

15

bahan beracun. Pada lingkungan tercemar merkuri banyak ditemukan komunitas

bakteri pereduksi merkuri.

Bakteri dapat digunakan untuk mereduksi logam merkuri dengan cara

mentransformasikan logam berat tersebut melalui proses oksidasi, reduksi, metilasi,

dan dimetilasi. Sifat kontinyu dari bakteri yang tahan Hg2+

yaitu yang dapat

mereduksi Hg2+

menjadi Hg0 dengan merkuri reduktase serta menguapkan Hg

0 dari

limbah yang terkontaminasi (Gadd, 1992; Misra, 1992).

Nakamura et al. (1990) menemukan bakteri aerob dan aerob fakultatif yang

dapat mereduksi Hg2+

menjadi Hg0

dengan mekanisme detoksifikasi antara lain:

Bacillus sp., Pseudomonas sp., Corynebacterium sp., Micrococcus sp. dan Vibrio sp.

dari pantai Minamata, Jepang. Beberapa bakteri aerobik dan fakultatif dapat

mengkatalisasi proses reduksi Hg2+

menjadi Hg0 seperti Bacillus, Pseudomonas,

Corynebacterium, Micrococcus dan Vibrio (Blake et al., 1993). Sadhukhan et al.

(1997) menemukan bakteri resisten merkuri dari genus Bacillus, Escherichia,

Klebsiella, Micrococcus, Pseudomonas, Salmonella, Streptococcus, Staphylococcus,

Shigella, and Sarcina yang diisolasi dari tambak ikan di Calcutta, India. Handayani

(2001) menemukan bakteri pereduksi merkuri Pseudomonas sp. dan Flavobacterium

sp. asal Pongkor dan Ekosistem Air Hitam Kalimantan Tengah. Petrova et al. (2002)

menemukan bakteri Gram positif (Micrococcos, Exiguobacterium, Arthrobacter dan

Bacillus) dan bakteri Gram negatif (Pseudomonas, Acinotobacter, Myxobacteriales,

dan Plesiomonas) yang diisolasi dari sedimen permafrost di Kolyma dan Canada.

Sulastri (2002) menemukan bakteri pereduksi merkuri yaitu Escherichia coli,

Aeromonas cavidae, Hafnia alvei, Citrobacter frundii, Pseudomonas psedomallei,

dan Enterobacter agglomerans dari Ekosistem Air Hitam Kalimantan Tengah yang

mampu tumbuh pada konsentrasi 320 ppm HgCl2 dan bakteri Pseudomonas

pseudomallei ICBB 1512 memiliki aktivitas cukup tinggi dalam mereduksi merkuri

dibandingkan isolat Flavobacterium sp. Zulkifli (2002) memperoleh bakteri

pereduksi merkuri yang mampu tumbuh pada media LB dengan konsentrasi sampai

1000 ppm HgCl2 yaitu ICBB 2813, ICBB 2820, ICBB 1508, dan ICBB 1512. Nofiani

(2004) menemukan bakteri Gram negatif yang resisten terhadap merkuri yaitu

16

Enterobacter cloacae dan E. hafniae dari daerah bekas penambangan emas tanpa

izin (PETI) yang berumur 6 tahun di daerah Mandor, Kalimantan Barat. Media

seleksi yang digunakan isolasi bakteri resisten merkuri adalah media seleksi padat

Canstein yang mengandung HgCl2 10 g/ml. Menurut Green-Ruiz (2005) dengan

menggunakan isolat Bacillus sp. dan pemberian pH optimal antara 4.5 – 7.0 pada 25

°C, kebanyakan adsorpsi merkuri terjadi pada 20 menit pertama. Madigan (2006)

menemukan bakteri yang tahan terhadap merkuri dan menurunkan pencemaran

merkuri, seperti Pseudomonas, Bacillus, Serratia, dan Enterobacter karena

mempunyai operan gen mer yang menyandi enzim merkuri reduktase yang terkait

dengan NADPH. Enzim ini mereduksi ion merkuri yang bersifat racun Hg2+

menjadi

ion Hg0 yang tidak berbahaya. Jaysankar (2008) menemukan beberapa bakteri

resistan merkuri dari laut yang mampu tumbuh sampai 25 ppm (mg/l) yaitu:

Alcaligenes faecalis (tujuh isolat), Bacillus pumilus (tiga isolat), Bacillus sp. (satu

isolat), Pseudomonas aeruginosa (satu isolat), and Brevibacterium iodinium (satu

isolat). Suheryanto et al., (2008) menemukan 6 isolat yang mampu tumbuh pada

media LB dengan konsentrasi antara 1.0 ppm sampai 2.5 ppm MeHg (metil merkuri)

dari Sungai Sangon, Yogyakarta. Santi (2009) menemukan bahwa Pseudomonas

fluorescens strain KTSS yang diisolasi dari tambang batu bara wilayah penambangan

PT Tambang Batu Bara Bukit Asam, Sumatera Selatan memiliki potensi mereduksi

logam merkuri dalam tanah. Shovitri et al., (2010) menemukan 17 isolat bakteri tahan

merkuri dari Kali Mas Surabaya dan berdasarkan karakter biokimia ke-17 isolat

tersebut masuk ke dalam tujuh genus yang berbeda, yaitu ada kecenderungan masuk

ke genus Providencia, Neisseria, Shigella, Lampropedia, Serratia, Enterobacter dan

Bacillus. Ketujuh belas isolat tersebut secara individu mampu hidup pada 10 ppm

HgCl2 dan mereduksi 43%-75% ion Hg2+

menjadi ion Hg0.

Mekanisme Transformasi Merkuri

Mekanisme resistensi merkuri pada bakteri merupakan reduksi enzimatik

Hg2+

oleh enzim merkuri reduktase di dalam sitoplasma menjadi logam Hg0 yang

bersifat kurang toksik dibanding Hg2+

, volatil dan cepat hilang dari lingkungan.

17

Selain menghasilkan enzim merkuri reduktase, bakteri resisten merkuri juga

menghasilkan enzim organomerkuri liase yaitu: enzim yang memotong ikatan karbon

merkuri dalam senyawa seperti metal merkuri dan fenil merkuri, sehingga Hg2+

yang

dilepas dan secara bertahap direduksi oleh merkuri reduktase (Misra, 1992).

Proses detoksifikasi merkuri secara umum terdiri dari dua tahap. Tahap

pertama, senyawa organomerkuri didegradasi melalui pemecahan secara katalis

ikatan C-Hg oleh organomerkuri liase, yang merupakan produk dari gen mer B. Pada

tahap kedua, ion merkuri hasil tahap pertama direduksi secara enzimatik dengan

menggunakan enzim merkuri reduktase (hasil dari mer A) dan mengkonsumsi

NADPH, selanjutnya menghasilkan produk akhir logam merkuri (Hg0) yang

dilepaskan keluar sel (Misra, 1992). Menurut Wagner-Dobler (2003) bakteri memiliki

mekanisme untuk mendetoksifikasi merkuri [operon resisten merkuri (mer)]

berdasarkan pada mekanisme reduksi intraselular Hg2+

menjadi bentuk non-toksik

Hg0 oleh enzim merkuri reduktase. Aktivitas merkuri reduktase dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain: konsentrasi Hg2+

, pH, dan redoks potensial (Barkay et

al., 1991). Aktivitas maksimal merkuri reduktase adalah 1.2 nmol mg-1

terjadi pada

konsentrasi awal Hg2+

50 mol dm-3

dan pH optimum 7.0 (Chang et al., 1999).

Barkay (2000) menjelaskan bahwa ada empat jenis mekanisme enzimatis

terkait dengan mekanisme transformasi merkuri yang dilakukan oleh bakteri yaitu:

(1) reduksi Hg2+

menjadi Hg0, (2) pemecahan senyawa organomerkuri (termasuk

MeHg+), yang menghasilkan bentuk Hg

0, (3) metilasi Hg

2+, dan oksidasi Hg

0 menjadi

Hg2+

. Reaksi reduksi dan pemecahan senyawa organomerkuri dilakukan oleh enzim

dan protein (mer) operon dari bakteri yang resisten terhadap merkuri dengan produk

akhir Hg0. Operon mer memiliki situs pelekatan spesifik untuk protein (merT, merP,

dan merC) yang mentransport Hg2+

ke dalam sitoplasma dan mencegah penghancuran

sel. Di dalam sel, Hg2+

direduksi oleh NADPH menjadi Hg0 oleh enzim merkuri

reduktase (merA). Beberapa operon mer bakteri mengandung gen merB yang

mengkodekan enzim merkuri liase. Enzim ini dapat mendetoksifikasi senyawa

organomerkuri termasuk MeHg2+

dan Me2Hg.

18

Detoksifikasi merkuri oleh bakteri resisten merkuri terjadi karena bakteri

resisten merkuri memiliki gen resisten merkuri, mer operon. Struktur mer operon

berbeda untuk tiap jenis bakteri. Umumnya struktur mer operon terdiri dari gen

metaloregulator (merR), gen transpor merkuri (merT, merP, merC), gen merkuri

reduktase (merA) dan organomerkuri liase (merB) (Silver, 1998; Nascimento, 2003).

Yamaguchi et al., (2007) mengidentifikasi 3 tipe transport dalam bakteri yaitu gen

mer C, gen mer F and gen mer T untuk mereduksi ion (Hg2+

) dan metil merkuri

menjadi elemen merkuri (Hg0) yang volatil dan tidak toksik.

Menurut Tedja (2009) bahwa suhu dan pH merupakan faktor lingkungan yang

sangat menentukan kehidupan bakteri. Suhu yang rendah dapat menyebabkan

aktivitas enzim menurun dan jika suhu terlalu tinggi dapat mendenaturasi protein

enzim. Pada suhu optimum pertumbuhan bakteri berlangsung dengan cepat. Diluar

kisaran suhu optimum pertumbuhan bakteri menjadi lambat atau tidak ada

pertumbuhan. Suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri dapat dikelompokkan

menjadi 3 yaitu : (1) psikrofil (0-200C), (2) mesofil (20-50

0C), dan (3) termofil (50-

1000C), sedangkan pH mempengaruhi metabolisme bakteri. Pada umumnya bakteri

tumbuh dengan baik pada pH netral (7.0). Berdasarkan nilai pH yang dibutuhkan

untuk kehidupannya dikenal 3 kelompok: (1) Acidofilik/ acidotoleran (asam), (2)

Mesofilik/ mesotoleran (netral), dan (3) Basofilik/ basotoleran (basa).

Pertumbuhan sel dicirikan dengan waktu yang dibutuhkan untuk

menggandakan massa atau jumlah sel. Umumnya pertumbuhan sel dinyatakan

melalui massa sel, karena lebih mudah, cepat dan sederhana. Massa sel dalam

penelitian dapat dianalisa melalui kerapatan optik/kekeruhan cairan media kultivasi

dan bobot biomassa kering. Kurva kerapatan optik (OD) memiliki 3 fase yaitu: fase

adaptasi, fase eksponensial, dan fase stasioner (Laily, 2004).

Metode pewarnaan Gram bakteri ditemukan oleh Christian Gram tahun 1883.

Pewarnaan gram merupakan pewarnaan diferensial dalam pencirian dan identifikasi

bakteri. Bakteri gram positif berwarna ungu sedangkan bakteri gram negatif berwarna

merah, perbedaan hasil dalam pewarnaan gram disebabkan perbedaan struktur

dinding sel bakteri. Dalam pewarnaan Gram digunakan biakan segar yang berumur

19

24-48 jam untuk mendapatkan hasil yang baik terutama pada bakteri Gram positif,

jika digunakan biakan tua maka banyak sel mengalami kerusakan pada dindingnya

sehingga zat warna dapat keluar sewaktu dicuci dengan larutan pemucat. Ini berarti

bahwa bakteri Gram positif dengan dinding yang rusak tidak lagi dapat

mempertahankan kompleks warna kristal violet-yodium sehingga terlihat sebagai

bakteri gram negatif (Bibiana, 1994).

Perbedaan antara bakteri Gram positif dan Gram negatif terletak pada dinding

selnya. Pada bakteri Gram positif dinding sel tersusun atas peptidoglikan dan

komponen khusus berupa asam-asam teikhoat dan teikhuronat serta polisakarida;

sedangkan dinding sel bakteri Gram negatif tersusun atas peptidoglikan dengan

komponen-komponen khusus berupa lipoprotein, selaput luar dan lipopolisakarida

(Tedja, 2009). Kemampuan bakteri menghasilkan polisakarida ekstraselular dapat

melindungi sel dari pengaruh toksik logam berat (Ahmad et al., 2005).

2.4. Bioremediasi Menggunakan Bioreaktor

Bioremediasi adalah upaya penanganan masalah limbah dan pencemaran

lingkungan dengan menggunakan bakteri untuk membersihkan senyawa pencemar

dari lingkungan. Pada proses ini terjadi biotransformasi atau biodetoksifikasi

senyawa toksik menjadi senyawa yang kurang toksik atau tidak toksik. Bioremediasi

dengan bakteri merupakan salah satu dari beberapa teknologi penyehatan lingkungan

yang ekonomis dimana 1/400 lebih murah dibanding teknologi resin. Bioremediasi

dapat membersihkan polutan yang ada dalam tanah dan air (Crawford, 2005). Bakteri

resistan merkuri mampu membersihkan limbah industri mengandung merkuri secara

sederhana, ramah lingkungan, dan merupakan salah satu teknologi alternatif yang

efektif (Wagner, 2003).

Menurut Sunarko (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan

suatu proses bioremediasi dalam pengolahan pencemar lingkungan yaitu (1)

tersedianya mikroorganisme yang dapat mentransformasikan, mendegradasi dan

mendetoksifikasi kontaminan sasaran, (2) ketersediaan nutrien dan kontaminan bagi

20

pertumbuhan bakteri, (3) kondisi lingkungan yang kondusif untuk hidup dan tumbuh,

serta menunjang aktivitas transformatif bakteri dengan laju yang optimal.

Bioreaktor atau reaktor biologis adalah tempat berlangsungnya perubahan

suatu zat akibat adanya reaksi kimia dalam proses tangki fermentasi yang

dikendalikan (Hartoto dan Sailah, 1992). Menurut Machfud et al. (1989), fermentasi

memiliki pengertian sebagai suatu proses terjadinya perubahan kimia pada suatu

substrat organik melalui aktifitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Menurut

Tjokrokusumo (1998) pada dasarnya reaktor pengolahan secara biologis dapat

dibedakan atas 2 jenis yaitu: reaktor pertumbuhan tersuspensi dan reaktor ertumbuhan

melekat. Pada reaktor pertumbuhan tersuspensi, mikrob tumbuh dan berkembang

dalam keadaan tersuspensi; sedangkan pada reaktor pertumbuhan melekat, bakteri

tumbuh pada media pendukung dengan membentuk lapisan film atau biofilm untuk

melekatkan dirinya. Pertumbuhan bakteri akan melekat bila tumbuh pada medium

padat sebagai pendukung dan aliran limbah kontak dengan organisme.

Media pendukung dapat berupa batuan vulkanik, batu-batu besar karang,

lembaran plastik bergelombang atau cakram yang berputar. Batuan vulkanik yang

berperan sebagai media pendukung dimana bakteri pereduksi merkuri tumbuh diatas

media tersebut membentuk lapisan biofilm untuk melekatkan diri pada permukaan

batu (Tjokrokusumo, 1998). Menurut Barus (2007), dari hasil foto scanning electron

micrograph (SEM) memperlihatkan morfologi batu vulkanik yang tidak teratur dan

memiliki banyak rongga-rongga didalamnya. Rongga-rongga tersebut berfungsi

sebagai tempat melekat bagi bakteri, membentuk koloni (pertumbuhan biofilm), dan

memberikan perlindungan terhadap abrasi aliran limbah cair dalam bioreaktor

(Elfrida, 1999).

Biofilm merupakan suatu fenomena alamiah dimana sebagian besar bakteri di

alam berasosiasi dengan permukaan padatan. Biofilm terdiri dari sel-sel bakteri yang

melekat erat ke suatu permukaan sehingga berada dalam keadaan diam (sesil), tidak

mudah lepas atau berpindah tempat (irreversible). Pelekatan ini seperti pada bakteri

disertai oleh penumpukan bahan-bahan organik yang diselubungi oleh matrik polimer

ekstraseluller yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. Matrik ini berupa struktur

21

benang-benang bersilang satu sama lain yang dapat berupa perekat bagi biofilm.

Biofilm terbentuk karena adanya interaksi antara bakteri dan permukaan yang

ditempeli. Interaksi ini terjadi dengan adanya faktor-faktor yang meliputi kelembaban

permukaan, makanan yang tersedia, pembentukan matrik ekstraseluller (exopolimer)

yang terdiri dari polisakarida, faktor-faktor fisikokimia seperti interaksi muatan

permukaan dan bakteri, ikatan ion, ikatan Van Der Waals, pH dan tegangan

permukaan serta pengkondisian permukaan. Dengan kata lain terbentuknya biofilm

adalah karena adanya daya tarik antara kedua permukaan (psikokimia) dan adanya

alat yang menjembatani pelekatan (matrik eksopolisakarida). Odergaard et al. (1994)

menyatakan bahwa keuntungan reaktor biofilm dalam menangani limbah industri

yaitu: (1) perlakuan yang diterapkan dapat dibuat lebih kompak karena membutuhkan

tempat yang relatif sedikit, (2) hasil perlakuan tidak terikat oleh pemisahan slugde

pada akhir proses, dan (3) biomassa yang terjerat dapat digunakan dengan cara lain

yang lebih khusus karena tidak tercampur dengan sludge.

Menurut Barus (2007) pengolahan limbah cair dengan menggunakan sistem

bioreaktor mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mereduksi merkuri dalam

waktu yang relatif singkat. Pembentukan biofilm 6 hari merupakan kondisi paling

optimum untuk mereduksi merkuri. Pada perlakuan tersebut menggunakan bakteri

Pseudomonas pseudomallei ICBB 1512 yang mampu hidup pada 6 ppm HgCl2 dan

dapat menurunkan merkuri sebesar 98.54 % (dari 6.53 menjadi 0.10 ppm).

Pengoperasian bioreaktor menggunakan kultur tunggal bakteri pereduksi merkuri

lebih efisien daripada penggunaan kultur campuran karena memiliki aktivitas yang

tinggi sehingga dapat digunakan dalam pengolahan limbah tercemar merkuri

(Zulkifli, 2002).

Karbon aktif merupakan karbon yang memiliki luas permukaan yang sangat

besar sehingga dapat digunakan untuk berbagai aplikasi seperti menyerap bau, warna,

pengotor, bahkan logam berat seperti merkuri. Karbon aktif dalam bentuk serbuk

kecepatan adsorpsinya lebih cepat daripada dalam bentuk butiran (granula). Sumber

bahan baku karbon aktif terdiri dari kayu, ampas tebu, kulit buah, batok kelapa, dan

batubara muda. Karbon aktif memiliki 2 bentuk yang biasa digunakan dalam

22

pengolahan air minum yaitu: bentuk bubuk dan bentuk butiran (granular). Karbon

aktif selain dapat menghilangkan zat-zat organik, juga digunakan untuk menjerap

bahan-bahan anorganik seperti Fe, Pb, Ag, Cd, Hg dan sebagainya dalam jumlah

tertentu. Menurut Gluszcz et al. (2008) penggunaan karbon aktif dengan a fixed-bed

bioreaktor dapat digunakan dalam proses bioreduksi ion merkuri karena dapat

menurunkan konsentrasi merkuri sekitar 50%.

Suhu berperan penting dalam mengatur jalannya reaksi metabolisme bagi

semua makhluk hidup. Khususnya bagi bakteri, suhu lingkungan yang berada lebih

tinggi dari suhu yang dapat ditoleransi akan menyebabkan denaturasi protein dan

komponen sel esensial lainnya sehingga sel akan mati. Demikian pula bila suhu

lingkungannya berada di bawah batas toleransi, membran sitoplasma tidak akan

berwujud cair sehingga transportasi nutrisi akan terhambat dan proses kehidupan sel

akan terhenti.

Power of Hidrogen yang lazimnya disingkat pH (derajat keasaman) untuk

menyatakan tingkat keasaman dan atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan.

Yang dimaksudkan “keasaman” adalah konsentrasi ion hydrogen (H+) dalam pelarut

air, sedangkan “kebasaan” adalah konsentrasi ion OH- dalam pelarut air. Suatu

larutan dikatakan netral apabila memiliki nilai pH=7, nilai pH>7 menunjukkan

larutan memiliki sifat basa, dan nilai pH<7 menunjukan keasaman (Bibiana, 1994).

Pertumbuhan dan kemampuan hidup bakteri sangat dipengaruhi sangat dipengaruhi

oleh pH lingkungan dan tiap bakteri menunjukkan kebutuhan yang berbeda. Tiap

mikrob memiliki kemampuan tumbuh dalam kisaran pH yang spesifik yang mungkin

lebar atau sempit dengan laju pertumbuhan yang cepat dalam kisaran optimum yang

sempit.

2.5. Bioremediasi Menggunakan Tanaman

Bioremediasi tidak hanya terbatas pada pemanfaatan aktifitas mikrob, tetapi

juga menggunakan tanaman yang disebut fitoremediasi. Istilah fitoremediasi berasal

dari kata Inggris „phytoremediation‟; kata ini sendiri tersusun atas dua kata, yaitu

phyto yang berasal dari kata Yunani phyton "tumbuhan" dan remediation yang

23

berasal dari kata Latin remedium "menyembuhkan", dalam hal ini berarti juga

"menyelesaikan masalah dengan cara memperbaiki kesalahan atau kekurangan".

Dengan demikian fitoremediasi dapat didefinisikan: penggunaan tumbuhan untuk

menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar

baik itu senyawa organik maupun anorganik. Fitoremediasi dapat diaplikasikan pada

limbah organik maupun anorganik dalam bentuk padat, cair, dan gas (Salt et al.,

1998).

Fitoremediasi adalah salah satu teknologi yang bersahabat dengan lingkungan

yang tidak mahal dan efektif. Tanaman-tanaman hiperakumulator logam dapat

digunakan untuk mengubah logam baik yang berasal dari daratan maupun lautan

(Shah, 2007). Menurut Suthersan (2001) bahwa proses dalam fitoremediasi

berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara serial yang dilakukan

tumbuhan terhadap zat kontaminan/ pencemar yang berada disekitarnya, yaitu:

1. Phytoacumulation adalah proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari

media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga

Hyperacumulation.

2. Rhizofiltration adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh

akar untuk menempel pada akar.

3. Phytostabilization adalah penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar

yang tidak mungkin terserap kedalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut

menempel erat (stabil ) pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air

dalam media.

4. Rhyzodegradation adalah penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas

mikrob yang berada disekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan

bakteri.

5. Phytodegradation adalah proses yang dilakukan tumbuhan menguraikan zat

kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan

yang tidak berbahaya dengan dengan susunan molekul yang lebih sederhana

yang dapat berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat

berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar dengan bantuan

24

enzym yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan

mengeluarkan enzym berupa bahan kimia yang mempercepat proses

degradasi.

6. Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat contaminan oleh

tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan

yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya di uapkan ke atmosfir. Beberapa

tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan 1000 liter perhari untuk

setiap batang.

Laporan pertama mengenai adanya tumbuhan hiperakumulator muncul pada

tahun 1948 oleh Minguzzi dan Vergnano, yang menemukan kadar nikel sebesar 1.2%

dalam daun Alyssum bertolonii. Tumbuhan hiperakumulator logam adalah tumbuhan

yang mempunyai kemampuan untuk mengkonsentrasikan logam di dalam

biomassanya dalam kadar yang luar biasa tinggi. Kriteria tanaman hipertoleran

(Chaney et al., 1995) adalah sebagai berikut: (1) Tumbuhan harus bersifat

hipertoleran agar dapat mengakumulasi sejumlah besar logam berat di dalam batang

serta daun, (2) tumbuhan harus mampu menyerap logam berat dari dalam larutan

tanah dengan laju penyerapan yang tinggi, dan (3) tumbuhan harus mempunyai

kemampuan untuk mentranslokasi logam berat yang diserap akar ke bagian batang

serta daun.

Hasil penelitian Syafrani (2007) bahwa tumbuhan wlingen (Scirpus grossus),

melati air (Echinodorus paleafolius), genjer (Limnocharis flava), kiapu atau apu-apu

(Pistia stratiotes) dapat digunakan untuk pengendalian limbah cair dari sub-DAS

Tapung Kiri, Propinsi Riau. Menurut Guntur (2008) bahwa kualitas limbah rumah

tangga yang telah melalui proses bioremediasi dengan simulasi tanaman air yaitu:

Mendong (Iris sibirica), Teratai (Nymphaea firecrest), Kiambang (Spirodella

polyrrhiza) dan Hidrilla (Hydrilla verticillata) pada umumnya telah memenuhi syarat

untuk dilepas ke lingkungan, baik ditinjau dari kualitas fisik dan kimia, maupun

kualitas mikrobiologis. Menurut Supradata (2005) bahwa tanaman hias jenis Cyperus

alternifolius memiliki kinerja yang cukup baik dalam pengolahan air limbah rumah

tangga dengan system lahan basah buatan aliran bawah permukaan (SSF-Wetlands).

25

Menurut Khiatuddin (2003) jenis-jenis tanaman yang dapat digunakan pada

lahan basah buatan yaitu: 1) tanaman yang mencuat di permukaan air seperti:

Andropogon virginianus, Polygonum spp., Alternanthera spp; Phalaris arundinacea,

Thypa domingensis, Thypa latifolia, Thypa orientalis, Canna flaccid; 2) tanaman

yang mengambang dalam air seperti: Potamogeton spp., Egeria densa,

Ceratophyllum demersum, Elodea nuttallii, Myriophyllum aquaticum, Algae; dan 3)

tanaman yang mengapung di permukaan air seperti: Lagorosiphon major, Salvinia

rotundifolia, Spirodela polyrhiza, Pistia stratoites, Lemna minor, Eichornia

crassipes, Lemna gibba.

Gambar 3. Jenis-jenis Tanaman Lahan Basah (Khiatuddin, 2003)

Proses pengolahan limbah cair dalam kolam yang menggunakan tanaman air

terjadi proses penyaringan dan penyerapan oleh akar dan batang tanaman air, proses

pertukaran dan penyerapan ion, dan tanaman air juga berperan dalam menstabilkan

pengaruh iklim, angin, cahaya matahari dan suhu (Reed, 2005).

Tanaman Typha sp. termasuk Kingdom: Plantae, (unranked): Angiosperms,

(unranked): Monocots, (unranked): Commelinales, Ordo: Poales, Family: Typhaceae,

Genus: Typha L. Tanaman Typha sp. sering digunakan sebagai bahan kerajinan atau

tali. Menurut Hidayah (2010) tanaman Cattail (Typha Angustifolia) dalam sistem

lahan basah buatan pengolahan air limbah domestik dapat menurunkan kandungan

pencemar dalam air limbah dengan waktu tinggal 3 sampai dengan 15 hari, efisiensi

penyisihan COD 77.6% - 91.8%, BOD 47.4% – 91.6% dan TSS 33.3% – 83.3%.

26

Keunggulan pengolahan air limbah dengan sistem ini selain kualitas hasil air

pengolahan yang sesuai baku mutu air limbah domestik juga dapat meningkatkan

kualitas tanah. Hibrid dari tanaman Typha angustifolia and Typha latifolia dapat

digunakan sebagai tanaman lahan basah buatan (Selbo, 2004).

Sedangkan tanaman Eceng gondok termasuk Kingdom: Plantae, Divisi:

Magnoliophyta, Kelas: Liliopsida, Ordo: Commelinales, Famili: Pontederiaceae,

Genus: Eichhornia Kunth, dan Spesies: E. crassipes. Eceng gondok atau enceng

gondok adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Eceng gondok pertama kali

ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp

von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika

sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil.

Eceng gondok hidup

mengapung di air dan kadang-kadang berakar dalam tanah. Tingginya sekitar 0.4 –

0.8 meter. Tidak mempunyai batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung

dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan

daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk

bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam.

Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut.

Eichhornia crassipes merupakan tumbuhan air yang dapat menyerap hara dan logam

berat dalam jumlah yang cukup signifikan. Zat hara yang terserap oleh akar tanaman

akan ditranslokasikan di dalam tubuh tanaman. Hasil penelitian yang telah dilakukan

di bak percobaan menunjukkan bahwa penggunaan eceng gondok dengan penutupan

50% dari luas area percobaan pengolahan limbah cair tahu dapat menurunkan residu

a b

Gambar 4. Tanaman Eceng gondok (a) dan tanaman Typha (b)

27

2.6. Lahan Basah Buatan

Istilah “Lahan Basah”, sebagai terjemahan “wetland” baru dikenal di

Indonesia sekitar tahun 1990. Sebelumnya masyarakat Indonesia menyebut kawasan

lahan basah berdasarkan bentuk/nama fisik masing-masing tipe seperti: rawa, danau,

sawah, tambak, dan sebagainya. Pengertian fisik lahan basah yang digunakan untuk

menyamakan persepsi semua pihak mulai dikenal secara baku sejak diratifikasinya

Konvensi Ramsar tahun 1991 yaitu: “Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut,

dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir;

tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak

lebih dari enam meter pada waktu surut.” Salah satu upaya minimalisasi limbah

secara efektif dan efisien adalah menggunakan sistem lahan basah buatan.

Lahan basah buatan adalah semua lahan basah yang secara sengaja diciptakan

untuk menggantikan habitat alam sebagai suatu keharusan dalam rangka menurunkan

tekanan limbah yang begitu besar dilepaskan ke perairan alam. Lahan basah buatan

harus direncanakan, didisain, dikontruksi dan di monitor secara hati-hati. Komponen

yang harus diperhatikan dalam lahan basah buatan adalah air, tanah, dan tanaman

(Sabaruddin, 2006).

Menurut Wang et al. (2010) Sistem Lahan Basah Buatan diklasifikasikan ke

dalam 2 tipe yaitu sistem aliran horizontal (HFS) dan system aliran vertikal (VFS).

Dalam sistem aliran horizontal dikenal 2 tipe yaitu: sistem aliran permukaan (surface

flow = SF) dan sistem aliran bawah permukaan (subsurface flow = SSF). Klasifikasi

Lahan Basah Buatan berdasarkan jenis tanaman yaitu : 1) sistem yang menggunakan

tanaman makrophyta mengambang (floating), 2) sistem yang menggunakan tanaman

makrophyta dalam air (submerged) dan umumnya digunakan pada sistem Lahan

Basah Buatan tipe Aliran Permukaan (Surface Flow Wetlands), dan 3) sistem yang

menggunakan tanaman makrophyta yang akarnya tenggelam (amphibiuos) dan

biasanya digunakan untuk Lahan Basah Buatan tipe Aliran Bawah Permukaan

(Subsurface Flow Wetlands) SSF-Wetlands.

Sistem lahan basah bisa menggunakan aliran air dalam (submerged flow)

ataupun aliran air permukaan (surface flow). Direkomendasikan ketinggian air sekitar

28

30 cm karena sel yang dangkal dipercaya memiliki aerasi limbah yang lebih baik

daripada sel yang dalam. Selain itu, akar akan lebih banyak berada di bagian atas

substrat dimana oksigen tersedia lebih banyak.

Substrat yang umum digunakan adalah kerikil bersih dengan ukuran tertentu.

Batuan sungai berbentuk bulat lebih disukai karena menghindari substrat mengeras.

Pasir atau campuran kerikil/pasir merupakan alternatif yang baik. Batuan kapur tidak

direkomendasikan karena mudah mengeras. Diameter kerikil yang digunakan

berkisar antara 0.5-1.3 cm, bahkan ada yang menggunakan ukuran 5.0 cm, tetapi

ukuran kerikil yang kecil diyakini lebih mendukung pertumbuhan tanaman. Sel

terakhir dari sistem pengolah limbah lahan basah buatan biasanya berisi filter pasir.

Selain kerikil dan pasir, dapat juga digunakan substrat yang mengandung tanah

lempung dan lumpur. Substrat yang digunakan sebaiknya dicuci lebih dahulu untuk

menghindari partikel halus yang dapat menyumbat ruang pori substrat sehingga

terjadi aliran permukaan.