Download - 1112015000027_Hendra Arighi_7B_ UAS Cak Nur
MAKALAH POLITIK ISLAM
“Nurcholish Madjid”
Dosen Pengampu: Idris Thaha, M.Si
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat kelulusan
Mata Kuliah Politik Islam
Disusun oleh:
Hendra Arighi (1112015000027)
KELAS 7B
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
Nurcholish Madjid dan Pemikirannya
Hendra Arighi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Abstrak
Penulisan Penelitian ini bertujuan untuk mengulas tentang siapa sosok cendekiawan muslim
Indonesia, yaitu Nurcholish Madjid, dimulai dari biografi serta jalan hidupnya. Lalu
dilanjutkan dengan berbagai pemikirannya yang khas mengenai agama, yaitu pluralisme
agama yang dipandang unik dan revolusioner di kalangan ulama. Fenomena pluralisme
agama merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Walau
demikian, dalam merespon fenomena ini, sikap para agamawan tidak
monolitik. Berbagai macam pandangan dan gagasan bermunculan.
Gagasan pluralisme agama ditanggapi berbeda-beda, dengan argumen
dan alur fikir yang berbeda. Yang demikian tergambar dari pemikiran
tokoh yang akrab dipanggil dengan sebutan Cak Nur tentang Pluralisme
Agama. Di penelitian ini akan dilihat bagaimana maksud Nurcholish
Madjid dengan teori pluralismenya tersebut. Pembuatan jurnal ini menggunakan
metode kualitatif non interaktif yang mana data-datanya hanya didapat dari sumber-sumber
sekunder seperti buku, jurnal, dan dari data web. Inti pembahasan dari penelitian ini adalah
biografi seorang Nurcholish Madjid dan pemikirannya mengenai pluralisme agama islam.
Kata Kunci: Nurcholish Madjid, Pluralisme, Sekularisme, Islam, Agama.
Pendahuluan
Latar Belakang
Seiring berjalannya zaman dan waktu, berbagai pemikiran dan penemuan terus
berkembang dan selalu muncul hal-hal yang baru. Dalam hal ini, dalam bidang agama yang
bersifat sensitif dan batiniyah pun bermunculan berbagai tokoh beserta pemikiran-
pemikirannya, baik positif maupun yang dipandang negatif oleh masyarakat awam. Salah
satu tokoh itu adalah seorang cendekiawan muslim asal Indonesia yaitu Nur Cholis Majid. Di
bidang yang sensitif dan rawan konflik ini yang dikarenakan para pengikut agama yang
bersifat fanatik dan memandang rendah agama lain, beliau merupakan salah satu orang yang
menggagas adanya kesama rataan antar berbagai agama-agama yang ada di dunia. Ini beliau
percayai karena pada hakikatnya agama semua mengajarkan kepada kebaikan dan berisi
nilai-nilai moral yang bersifat horizontal yaitu antar makhluk dan juga vertikal yang bersifat
ketuhanan.
Nurcholish Madjid menulis : sebagai sebuah pandangan
keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat Inklusif dan merentangkan
tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh filsafat Perenial
yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antara agama di
Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa
setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan
yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu
adalah jalan dar berbagai agama. Filsafat Perenial juga membagi agama
pada level esoterik (bathin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda
dengan agama lain dalam level eksoterik tetapi relatif sama dalam level
esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “satu Tuhan banyak jalan”1 . Pada
tempat lain, Nurcholish Madjid dalam Islam, Doktrin dan Peradaban
memandang Pluralisme adalah sebuah Aturan Tuhan (sunnatullah) yang
tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari.
Menurutnya, semua agama dalam inti yang paling mendalam adalah
sama.2
Pada dasarnya, apabila penulis boleh berpikir dan berpendapat, pemikiran plural
beliau ini sangatlah positif dikarenakan akan menghasilkan tatanan beragama dan
bermasyarakat yang harmonis dan seimbang walaupun berbeda-beda. Namun, dilain pihak
tidak dapat dipungkiri bahwa memang setiap agama pastilah mengklaim tentang kebenaran.
Maka dari itu, Nur Cholis Majid pastilah seorang ulama dan cendekiawan yang sangat bijak
dalam keagamaan dan keberagaman sehingga patutlah ditelaah mengenai kisah-kisah
hidupnya dalam biografi singkat di penelitian ini dan juga pemikiran-pemikiran keagamaan
dari beliau.
Rumusan Masalah
Dalam Makalah ini, akan dibahas dua hal yaitu mengenai:
1. Siapakah Nurcholis Madjid?
2. Bagaimanakah pemikiran Nurcholish Madjid mengenai sekularisme agama?
1 George, Grose, Tiga Agama Satu Tuhan, (Mizan, Bandung : 1999), h. xix.2 Nur Cholis, Majid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Paramadina, Jakarta: 1995) , h. 27
3. Bagaimanakah pemikiran Nurcholish Madjid mengenai Pluralisme Agama?
Landasan Teori
Pengertian Pluralisme Agama
Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya
kebenaran setiap agama adalah relatif oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup
berdampingan di syurga.
Pengertian Sekularisme
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia, Sekularisme adalah paham yang
berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Jadi terjadi
pemisahan antara kehidupan manusia di dunia, baik itu perbuatan dan sifat-sifatnya dengan
ajaran-ajaran agama yang dianut.
Pengertian Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Berbagai
jenis contoh agama antara lain, Islam, Katolik, Buddha, Yahudi.
Pengertian Islam
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Islam adalah ajaran agama yang diajarkan
Nabi Muhammad SAW, yang berpedoman kepada kitab suci Alquran yang diturunkan ke
dunia melalui wahyu dari Allah SWT. Islam juga berarti "berserah diri kepada Tuhan" adalah
agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Dengan lebih dari satu seperempat miliar
orang pengikut di seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia
setelah agama Kristen.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan abstrak dari makalah ini, maka tujuan dari makalah
ini adalah untuk membahas mengenai siapakah tokoh Nurcholish Madjid dan juga pemikiran-
pemikirannya mengenai pluralisme agama. Diharapkan penelitian ini dapat menambah
wawasan pembacanya, ataupun menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya.
Metodologi Penelitian
Jurnal ini menggunakan metode kualitatif non-interaktif, yaitu mengadakan
pengkajian berdasarkan analisis dokumen. Sesuai dengan namanya
penelitian ini tidak menghimpun data secara interaktif melalui interaksi
dengan sumber data manusia. Melainkan, Peneliti menghimpun,
mengidentifikasi, menganalisis, dan mengadakan sintesis data untuk
kemudian memberikan interpretasi terhadap konsep, kebijakan, peristiwa
yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat diamati. Sumber
datanya adalah dokumen-dokumen dari berbagai sumber yang relevan.
Pembahasan
Biografi Nurcholish Madjid
Nur Cholis Madjid lahir di Mojo Anyar, Jombang, Jawa Timur pada
tanggal 17 Maret 1939 (27 Muharram1358) dari kalangan keluarga santri.
Nur Cholis memulai pendidikannya dengan belajar di Sekolah Rakyat dan
Madrasah Ibtida’iyyah Pesantren Darul Ulum, kemudian melanjutkan ke
KMII (Kuliyyatul Muallimin) Pondok Modern Gontor. Setelah selesai
sekolah di Gontor, Pada tahun 1960, ketika Cak Nur menamatkan
belajarnya, ustaz Zarkasyi bermaksud mengirim Cak Nur ke Universitas
Al-Azhar, Kairo. Tetapi karena di Mesir pada saat itu krisis terusan Suez
yang cukup kontroversial dan saat itu sulit sekali untuk mendapatkan visa
ke Mesir, keberangkatan Cak Nur menjadi tertunda. Sambil menunggu
keberangkatannya ke Mesir itulah, Cak Nur memanfaatkan waktunya
untuk mengajar di Gontor selama satu tahun. Namun waktu yang
ditunggu-tunggu Cak Nur untuk berangkat ke Mesir tak kunjung tiba.
Cak Nur agak kecewa, tapi pak Zarkasyi kemudian mengirim surat
ke IAIN Jakarta dan meminta agar Cak Nur diterima di lembaga pendidikan
tersebut, pada masa itu alumni Gontor tidak diterima di IAIN, maka berkat
bantuan salah seorang alumni Gontor, Abdur Rahman Parto Sentono,
seorang dosen muda di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cak Nur
kemudian diterima sebagai mahasiswa Fakultas adab Jurusan Sastra Arab
dan Sejarah Pemikiran Islam. 3
3 Siti Nurjannah, Makalah Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur, (UIN, Ciputat: 2013) hal. 7
Cak Nur adalah orang yang tertarik dengan organisasi, sesuai
dengan masanya, pribadi yang suka berekplorasi seperti Cak Nur berjodoh
dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi yang dibesarkan
dan sekaligus membesarkannya. Di organisasi tersebut Cak Nur sangat
aktif. Setiap jenjang organisasi dilaluinya dengan penuh semangat.
Karirnya di HMI dimulai dari komisariat, lalu menjadi ketua umum PB HMI
cabang Jakarta, hingga akhirnya menjadi ketua umum PB HMI selama dua
periode berturut-turut, 1966-1968 dan 1968-1970. di kemudian hari, cara
pandang Cak Nur yang unik terhadap persoalan-persoalan keislaman
dalam konteks keindonesiaan telah mengantarkannya sebagai salah
seorang pemikir neo-modernis Islam terkemuka. Dan rupanya format
pemikiran Cak Nur juga terkristalisasikan sejak ia aktif di HMI, dan
bahkan membuat ia sanggup menjadi ketua umum selama dua periode.
Pada saat menjadi mahasiswa, Cak Nur banyak membaca
bermacam-macam buku keislaman karya-karya Maududi, Hassan Al-
Banna, Cak Nur juga banyak membaca karya-karya filsafat, sosiolog dan
politik seperti karya Karl Marx, Karl Mein heim, Arnold Tonybee, dan para
pemikir terkemuka lainnya.
Nur Cholis Madjid yang akrab dipanggil Cak Nur, pada masa
mudanya dipercaya menjadi ketua umum organisasi mahasiswa sampai
dua priode, yaitu ketua umum HMI tahun1966-1969 dan 1969-1972. Cak
Nur juga pernah menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia
Tenggara, dan asisten sekretaris jendral Islamic Federation of Student
Organization.
Nur Cholis dikenal sebagai salah satu pembaharu pemikiran Islam
di Indonesia pada tahun 1970-an. Bahkan beliaulah yang dinyatakan
sebagai pencetus pembaharuan Islam. Dikarenakan pidato Cak Nur pada
tanggal 2 Januari 1970 dengan judul makalah “Keharusan Pembaruan
Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” dinyatakan sebagai
momentum pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.
Setelah meraih gelar sarjana, kemudian melanjutkan studi ke
Universitas Chicago sampai meraih gelar Doktor Kalam di bidang
pemikiran Islam, dengan disertasi “Ibn Taimiyah on Kalam and Falsafah
Problem of Reason and Revelation in Islam”. Tahun 1978, Cak Nur
memperoleh beasiswa dari Ford Foundation guna melanjutkan studinya di
Universitas Chicago AS. Dan dari sanalah ia meraih doktor filsafatnya
dengan predikat summa cum laude pada tahun 1984. Bahkan, atas
prestasi dan sumbangan pemikirannya bagi peradaban Islam, di kemudian
hari Cak Nur cukup intens diminta menjadi dosen terbang di pelbagai
universitas terkemuka yang membuka kajian keislaman seperti
Universitas Momtreal dan Universitas Mc Gill, di Kanada.
Selama di Universitas Chicago dari tahun 1978-1984, Cak Nur
secara leluasa bisa berkunjung ke kepustakaan Islam klasik dan Islam
abad pertengahan yang begitu luas langsung di bawah mentor ilmuwan
neo-modernis asal Pakistan Prof. Fazlur Rahman. Pada saat itulah benih
pemikiran neo-modernis mulai diserap Cak Nur dan pengertian baru
mengenai pemikiran dan praktik gerakan neo-modernis ini pun
tampaknya terus terakumulasi selama ia menempuh pendidikan S-3-nya
itu.
Fazlur Rahman dapat disebut sebagai “guru” utama yang penting dalam
pematangan intelektual Cak Nur. Namun demikian, di antara sekian banyak tokoh yang
mempengaruhi pemikirannya, orang lain yang cukup berpengaruh adalah Buya Hamka. 4
Beberapa karya Nur Cholis Madjid yang berkaitan dengan pembaharuan pemikiran Islam di
Indonesia yaitu, The Issue of Modernization Among Muslims Indonesia, What Is Modern
Indonesia 1974, Islam in Indonesia Callanges Opportunities, Islam in The Contemporary
World 1980, Khazanah Intelektual Islam 1984, Isalam Kemodernan dan Keindonesiaan. Seri
Rangkuman Pemikiran Nur Cholis Fase Pertama Gagasan Pembaruan 1987-1994, Islam
Doktrin dan Peradaban, dan lain-lain.
Pemikiran Cak Nur Mengenai Sekularisme Agama
Nur Cholis merumuskan modernisasi sebagai rasionalitas hal ini
berarti proses perombakan pola pikir dan tata kerja baru yang akliah.
Kegunaanya untuk memperoleh efisiensi yang maksimal untul
kebahagiaan umat manusia. Pendekatan yang digunakan Nurkholis dalam 4 Hamidah, Rekonstruksi Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid (studi terhadap pluralisme agama), (IAIN Raden Fatah, Palembang: 2010) hal. 65
memahami umat dan ajaran islam lebih bersifat cultural normative
sehingga ada kesan bahwa lebih mementingkan komunitas dan
integralistik.
Dalam keyakinan Cak Nur, seorang Muslim semestinya menjadi
seseorang yang selalu bersedia menerima kebenaran-kebenaran baru dari
orang lain, dengan penuh rasa tawadhu kepada Tuhan. Makna
modernisasi identik dengan rasionalisasi. Sesuatu disebut moderen jika
bersifat rasional, ilmiah dan berkesesuaian dengan hokum-hukum alam.
Bila dikaitkan dengan perspektif Islam, modernisasi ialah rasionalisasi
yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip-
prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Modernitas sendiri bagi umat
Islam, akan membawa kepada pendekatan (taqarrub) dan Takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konteks yang lain, kemoderenan ini pun
berkaitan dengan tidak dibenarkannya manusia untk mengklaim
kebenaran yang mutlak. Menurut Cak Nur, seorang Muslim adalah
"seseorang yang senantiasa moderen, maju, progressif…"5
Pembaharuan Islam menurut Cak Nur sebagai penyegaran
pemahaman. Bukan inovasi dan pembaharuan. Jadi inti makna
pembaharuan adalah up dating pemahaman kita terhadap ajaran agama
kita dan cara mewujudkan ajaran itu dalam masyarakat. Ajaran Islam itu
sendiri sudah sempurna. Tapi pemahaman orang Islam terhadap ajaran
Islam selalu berubah dan terus berubah. Sedangkan tujuan pembaruan itu
sendiri dilakukan untuk membuat agama yang diyakini menjadi fungsional
dalam memberi jawaban terhadap tantangan moderen, dalam arti
mengarahkan, membimbing dan memberi makna kepadanya.
Nur Cholis Majid menekankan pentingnya diadakan pembaruan
setelah melihat kondisi dan persoalan yang dihadapi umat islam.
Menurutnya pembaharuan harus dimulai dengan dua tindakan, yuang
mana satu dan lainnya sangat erat hubunganya. Yaitu: melepaskan diri
dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai baru yang berorientasi kemasa
5 Deddy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, (Zaman Wacana Mulia, Bandung: 1998), hal. 174
depan. yang kemudian melahirkan ide sekulerisasi yang dianggap
kotroversial oleh sebagian orang.6
Sekularisasi dalam perspektif sosiologis mengandung makna
pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap penyucian yang tidak pada
tempatnya. Karena itu, ia mengandung makna desakralisasi, yaitu
pencopotan ketabuan dan kesakralan dari objek-objek yang semestinya
tidak tabu dan tidak sakral. Jika diproyeksikan pada situasi moderen Islam
sekarang, maka sekularisasi sebagaimana dimaksud Robert N. Bellah itu,
akan mengambil bentuk pemberantasan bid'ah, khurafat dan syirik
lainnya. Sekularisasi dalam pengertian semacam ini tak lain, daripada
konsekuensi tauhid. Dalam proses sekularisasi diperlukan adanya
kebebasan berpikir (intellectual freedom).
Jadi yang dimaksudkan dengan sekularisasi menurut Nurcholish
Madjid disini yaitu pemisahan antara urusan dunia dan akhirat. Ketika
menyagkut urusan dunia manusia diberi kebebasan untuk bersikap kritis
akan realitas yang terjadi disekitarnya. Dengan kata lain manusia diberi
kebebasan untuk mendayagunakan secara maksimal akan potensi yang
telah diberikan oleh tuhan untuk mengelola bumi atau semua urusan
yang berkenaan dengan keduniawian, dalam rangka menjalankan
tugasnya sebagi khalifah dimuka bumi. Jadi berkenaan dengan urusan
duniawi takdir manusia adalah kebabasan dan kemerdekaan
untuk menentukan masibnya sendiri, disini manusia tidak semata hanya
mengantungkan dirinya kepada tuhan tetapi manusia menentukan
nasibnya sendiri.
Sedang yang berkenaan dengan urusan akhirat atau keagamaan
maka manusia tidak mempunyai kebebasan untuk melaksanakan
kegiatan peribadatan sesuai dengan yang dikehendaki tetapi telah
ditentukan oleh tuhan apa yang harus dikerjakan maka dalam urusan
akhirat manusia tidak memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu
berdasarkan keinginannya.
6 Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nurcholis Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 193
Maka manusia harus memisahkan antara kebebasan dan
ketentuan, ketika manusia diberi kebebasan dalan urusannya maka ia
tidak boleh menyatakan bahwa ini adalah ketentuan yang tidak dapat
diubah lagi. Begitu pula ketika manusia telah ditentukan apa yang harus
dikerjakan maka ia tidak boleh mengubah ketentuan itu dengan alasan
kebebasan yang dimiliki. Maka perlulah kiranya untuk memisahkan antara
kebebasan tentang urusan dunia dan ketentuan dalam urusan akhirat,
dengan kata lain ini adalah sekularisasi.
Sekularisasi menurut Cak Nur merupakan usaha untuk
menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi, dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya.
Sekularisasi berbeda dengan secularism. Menurutnya, “Secularism is the
name for an ideology, a newclosed world view which function very much
like a new religion”. Sekularisasi tidak dimaksudkan sebagai penerapan
sekularisme atau apalagi merubah kaum Muslim menjadi sekularis. Tapi,
sebaliknya, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas
duniawi manusia “khalifah Allah di muka bumi.7
Konsep-konsep Cak Nur awal 1970-an memang cukup
mengundang simpati kalangan muda Islam, terutama di kota-kota besar.
Gelar Cak Nur sebagai "pembaharu" pun semakin santer ditujukan orang
kepadanya. Namun, banyak juga reaksi ketidaksetujuan dari berbagai
kalangan yang tampaknya masih ingin tampil sebagai 'penjaga gawang'
nilai-nilai Islam atau penjaga status quo berfikir umat. Isu sekualrisasi lalu
mendapat banyak tanggapan. H.M.Rasyidi dan Saefuddin Anshari,
misalnya, vokal sekali menentang gagasan-gagasan Cak Nur. Mereka tak
setuju diterapkannya sekularisasi bagi umat Islam. Alasannya, sekularisasi
tanpa sekularisme adalah mustahil. Sekularisasi tidak bias lain, selain
dinilai merupakan penerapan sekularisme.
Cak Nur sendiri, karena reaksi keras dari berbagai pihak, akhirnya
dapat memahami apa yang menjadi keberatan mereka. Cak Nur
mengakui, cukup sulit untuk menentukan kapan proses sekularisasi,
dalam makna sosiologisnya, berhenti dan berubah menjadi proses
7 Hamidah, Rekonstruksi Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid (studi terhadap pluralisme agama), (IAIN Raden Fatah, Palembang: 2010) hal. 75
penerapan sekularisme dalam makna filosofisnya. Mengingat begitu
rumitnya makna sekularisasi tersebut, Cak Nur berkesimpulan, maka
adalah bijaksana untuk tidak menggunakan istilah-istilah tersebut, dan
lebih menggantikannya dengan istilah-istilah teknis lainnya yang lebih
tepat dan netral. Ini menunjukkan bahwa beliau memang betul-betul
mengedepankan kedamaian dalam bermasyarakat. Walaupun istilah
diganti, namun nilai-nilai dari pemikirannya tetaplah sama tujuannya,
yaitu agar tercapai kedamaian dan saling menghargai antar umat
beragama.
Pemikiran Cak Nur mengenai Pluralisme Agama
Islam merupakan agama yang mampu memberikan respon
terhadap berbagai persoalan. Pemahaman Islam seperti ini seperti telah
pernah terwujud pada masa Islam klasik, pada masa ini Islam menjadi
rahmatan lil alamin. Islam telah mampu memberi kontribusi terhadap
budaya dan pemikiran Yahudi, Nasrani, sebagaimana pengakuan sarjana
Barat moderen, seperti Abraham S. Halkin bahwa ”Sastra Yahudi di import
dari al-Qur’an, Bahasa Arab, puisi dan Sejarah Islam”.8
Islam tidak membolehkan untuk memaksakan suatu agama, karena
manusia dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk
membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana yang
salah. Dengan kata lain, manusia kini dianggap telah dewasa sehingga
dapat menentukan sendiri jalan hidupnya yang benar, dan tidak perlu lagi
dipaksa-paksaseperti seseorang yang belum dewasa.
Menurut Cak Nur, Tuhan telah ”percaya” kepada kemampuan
manusia itu, maka Dia tidak lagi mengirimkan Utusan atau Rasul untuk
mengajari mereka tentang kebenaran. Deretan para Nabi dan Rasul telah
dditutup dengan kedatangan Nabi Muhammad saw. Sebagai Rasul
penutup, Nabi Muhammad membawa dasar-dasar pokok ajaran yang
terus menerus dapat dikembangkan untuk segala zaman dan tempat.
Maka sekarang terserah kepada manusia yang telah dewasa itu untuk
8 Nurcholis Madjid, Islam, Agama Kemanusian, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Paramadina, Jakarta: 1995), h.xvii
secara kreatif menangkap pesan dalam pokok ajaran Nabi penutup itu
dan memfungsikannya dalam hidup nyata mereka.
Dalam pandangan Cak Nur, karena iman kepada Allah dan
menentang tirani itu mempunyai kaitan logis dengan prinsip kebebasan
beragama, maka bahkan Nabi pun diingatkan: ”Walau seandainya
Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia di bumi. Maka
apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka
menjadi orang-orang yang beriman semua?” (Q.S. Yunus: 99). Ayat yang
senada terdapat dalam al-Qur’an surah al-Maidah: 48 sebagai berikut:
”untuk masing-masing di antara kalian (umat manusia) telah kami
buatkan syari’ah (jalan menuju kebenara) dan minhaj (metode
pelaksanaannya). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Allah jadikan
kalian (ummat manusia) umat yang tunggal. Tetapi Allah hendak menguji
kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian. Maka, berlomba-lombalah
dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kalian kembali
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian
perselisihkan itu” .
Dalam mengomentari ayat tersebut, Thabathaba’i mengatakan,
setiap umat memiliki syari’at yang berbeda dengan syari’at umat lain.
Seandainya Allah menghendaki niscaya Dia akan menciptakan satu umat
dan satu syari’at. Ayat tersebut memperlihatkan keragaman jalan yang
diberikan Allah kepada manusia. Dengan tegas dinyatakan bahwa syari’at
agama-agama itu memang berbeda, tak ditunggalkan. Ini karena agama
turun bukan di ruang yang hampa sejarah. Syari’at agama biasanya hadir
sebagai respons terhadap situasi dan kondisi zaman.
Setiap nabi membawa syari’atnya sendiri-sendiri. Walau gagasan
yang diusung seluruh para Nabi dan Rasul adalah parallel, syari’at yang
dipakai masing-masing cenderung berbeda. Sebab, tidaklah mustahil
bahwa sesuatu yang bernilai maslahat.dalam suatu tempat dan waktu
tertentu , kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan
waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan
konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena
diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada
waktu Ibn Rusyd dalam bukunya Fashl al-Maqal menyatakan, hikmah
(kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at
yang telah ditetapkan Allah.
Perbedaan antara Islam dan agama lain biasanya terletak pada
mekanisme pelaksanaan ajaran. Tujuan syari’at (maqashid al-syari’at)nya
bisa sama, tetapi bentuk syari’atnya boleh jadi berbeda. Sebab, secara
generis, syari’at atau syir’at sendiri berarti jalan (al-sabil, al-thariq).
Muhammad Imarah menyatakan, syari’at adalah jalan menuju
keselamatan atau Tuhan. Jalan menuju Tuhan itu tak tunggal. Ada banyak
jalan yang disediakan Allah menuju kedamaian. Allah berfirman di dalam
al-Qur’an, ”Allah memberi petunjuk melalui Wahyu-Nya terhadap orang
yang mengikuti keridaan-Nya untuk menulusuri jalan-jalan kedamaian.9
Prinsip kebebasan beragama adalah kehormatan bagi manusia dari
Tuhan, mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya.
Tentu tidak perlu lagi ditegaskan bahwa semua risisko pilihan itu adalah
tanggung jawab sepenuhnya manusia sendiri.
Menurut Cak Nur, para ahli mencatat bahwa pelembagaan prinsip
kebebasan beragama itu dalam sejarah umat manusia, yang pertama kali
ialah yang dibuat oleh Rasulullah saw. Sesudah beliau hijrah ke Madinah
dan harus menyusun masyarakat majemuk (plural) karena menyangkut
unsur-unsur non-Muslim. Sekarang prinsip kebebasan beragama itu telah
dijadikan salah satu sendi sosial politik moderen. Prinsip itu dijabarkan
oleh Thomas Jefferson yang ”Deist” dan ”Uniterianist Universalist”
namun menolak agama formal, dan oleh Robespiere yang percaya kepada
“Wujud Mahatinggi” namun juga menolak agama formal. Mungkin karena
agama formal yang mereka kenal di sana waktu itu tidak mengajarkan
kebebasan beragama.10
Sebagai sebuah pandangan keagamaan, menurut Cak Nur, pada
dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah
yang semakin pluralis. Sebagai contoh filsafat perenial yang belakangan
banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan 9 Hamidah, Rekonstruksi Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid (studi terhadap pluralisme agama), (IAIN Raden Fatah, Palembang: 2010) hal. 8310 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Paramadina, Jakarta: 2005), hal. 220
pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya
merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda,
pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai
agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin)
dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level
eksoterik, tetapi relative sama dalam level esoteric. Oleh karena itu ada
istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”.11
Pluralisme dalam pandangan Cak Nur adalah suatu kenyataan yang
mesti diterima, karena pluralisme adalah sunnatullah yang tidak akan
berubah, sehingga tidak mungkin dilawan atau diakhiri.
Pluralisme harus difahami sebagi suatu pertemuan sejati dari
keberagaman dalam ikatan-ikatan kesopanan. Jika pemahaman ini
dikembangkan secara konsisten, implikasi yang segera muncul adalah
pengakuan secara jujur terhadap pesan Tuhan dalam kitab sucinya. Atas
dasar ini klaim-klaim kebenaran dijauhi dan pada tahap selanjutnya
muncul sikap toleransi. Menurut Cak Nur relativisme internal itu tidak
berarti menghilangkan sama sekali (nihilisme) kebenaran agama
seseorang yang selama ini dipeluknya, sebab yang dikehendaki dalam
pertemuan sejati adalah sikap keagamaan al-hanafiyah al-samhah, yaitu
semangat mencari kebenaran yang toleran, tidak sempit, tanpa
kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa.. Sikap keagamaan seperti inilah
adalah sikap keagamaan yang sejati dan benar, yang menjanjikan
perdamaian dan kebahagiaan sejati. Bagaimanapun semua agama yang
ada pada mulanya menganut prinsip yang sama, yaitu keharusan
manusia untuk berserah diri kepada Yang Maha Esa, maka agama-agama
itu baik karena dinamika internalnya sendiri atau karena
persinggungannya satu sama lain, akan secara berangsur-angsur
menemukan kebenarannya sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu
dalam suatu titik pertemuan, common platform, dalam istilah al-Qur’an
kalimatun sawa’.12
11 Nurcholis Madjid, Tiga Agama Satu Tuhan, (Mizan, Bandung: 1999), h. xix12 Hamidah, Rekonstruksi Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid (studi terhadap pluralisme agama), (IAIN Raden Fatah, Palembang: 2010) hal. 85
Pemahaman pluralisme seperti di atas berkaitan dengan
pemahaman mengenai hakikat universalime agama bahwa semua agama
pada dasarnya secara esotorik disatukan dengan kebajikan universal,
yang menjadikan setiap agama sama-sama memiliki pandangan dasar
yang sama tentang realitas yang absolut. Tetapi mayoritas pemeluk
agama masih terpaku pada dimensi eksoterik agama yang cenderung
ritualistik, simbolik dan formalistik, tanpa menyadari kemana muara dari
dimensi eksoterik tersebut. Masyarakat seperti ini menolak kemungkinan
adanya dialog, bagi mereka klaim-klaim kebenaran adalah miliknya
sendiri sama sekali berbeda bahkan menganggap yang lainnya adalah
salah. Bahkan lebih dari itu, adanya kesadaran akan misi agama
menjadikan para pemeluknya membangun isu-isu antara lain
”Kristenisasi”, ”Islamisasi” dan lain-lain.
Umat Islam memiliki tanggung jawab dalam membuktikan Islam
sebagai agama universal dan sangat relevan dengan pluralisme agama
yang terjadi pada masa posmodernisme. Menurut Cak Nur dalam
menyikapi pluralisme agama, umat Islam khususnya dalam masyarakat
umumnya tidak boleh bersikap anti terhadap pluralisme tersebut. Akan
tetapi dituntut untuk bersikap terbuka, dan berlomba dalam mengejar
kebajikan dan bekerja sama untuk mewujudkan dalam berbagai
kebaikan.13
Menurut pandangan Sukidi Mulyadi bahwa ”Teologi Inklusif Cak
Nur”, merupakan alternatif dari ”Teologi Inklusif” yang manganggap
bahwa kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) suatu, menjadi
monopoli agama tertentu. Karena itu, dalam perspektif ”Teologi Inklusif”,
klaim bahwa hanya agamanya saja yang benar dan menjadi jalan
keselamatan, adalah teologi yang dipandang salah. Hampir semua agama
formal (organized religion), kata Sukidi memiliki klaim keselamatan:
”hanya agama sayalah yang memberikan keselamatan, sementara agama
Anda tidak, dan bahkan menyesatkan”. Klaim-klaim keselamatan seperti
itu bersifat latent dan terkadang juga manifes, terekspresikan keluar, ke
berbagai tradisi agama-agama, sehingga mengakibatkan perang
13 Ibid, hal. 78
(keselamatan) antar agama. Padahal, bukanlah klaim keselamatan itu
tidak saja mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama
lain, tetapi juga berimplikasi serius atas terjadinya konflik atas nama
agama dan Tuhan.14
Prinsip lain yang digariskan oleh Al-Quran, adalah pengakuan
eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas
beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan.
Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai Pluralisme keagamaan
dan menolak eksklusivisme. Dalam pengertian lain, ekskluvisme
keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Quran. Sebab Al-Quran
tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.15
14 Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), hal. 1215 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Mizan, Bandung: 1997), hal. 108
Penutup
Kesimpulan
Dari pembabaran materi diatas terutama pemikiran Nurcholis
Madjid mengenai sekularisme dan pluralisme versi beliau adalah bahwa,
pembaharuan dalam dunia islam yang menyangkut inovasi dan kemajuan
pemikiran yang bersifat duniawi namun tetap menjadi insan yang taqwa
kepada Tuhan adalah suatu keharusan. Kemunduran, keterbelakangan,
kejumudan, dan berbagai krisis yang menimpa umat islam, telah
membuat pembaruan sebagai suatu keharusan. Pembaruan pemikiran
Islam tentu harus berorientasi pada nila-nilai Islam yang bersumber dari
al-quran dan Sunnah Nabi. Pembaruan dapat diartikan sebagai
modernisasi untuk memperoleh dayaguna dalam berpikir dan bekerja
yang maksimal, guna kemaslahatan umat manusia. Hal ini menurut beliau
dapat diwujudkan dengan 2 (dua) konsep pemikiran revolusioner beliau
yang sangat bijak, yaitu sekularisme dan pluralisme ala Nurcholish Madjid
Pertama dari sekularisme yang dikemukakan oleh Cak Nur yang
dimaksudkan bahwa persepsi manusia tentang hal mutlak dan yang
masih bisa diusahakan harus diperhatikan, ini penting agar umat islam
memiliki jiwa yang bersemangat dalam setiap usahanya untuk melakukan
hal-hal positif terutama dalam pembangunan kemaslahatan umat
walaupun ada berbagai banyak rintangan yang membuat hal tersebut
nampak tidak mungkin, manusia harus tetap yakin dan berusaha untuk
mewujudkannya sepanjang tujuannya baik. Manusia wajib terus berikhtiar
dan bertawakal untuk mendapatkan hasil maksimal yang juga mendapat
berkah dari Tuhan, sehingga tidak hanya memperoleh suatu hal yang
tinggi dalam nilai materi namun kering dalam sisi spiritualnya yang pada
masa kini banyak terjadi. Disisi lain, tiap-tap manusia harus tetap
memperhatikan kewajiban mutlaknya sebagai hamba Allah Swt yaitu
bertaqwa, beriman, mengerjakan perintahnya dan menjauhi larangannya.
Melakukan peribadatan sesuai dengan aturan-aturan yang diwariskan oleh
Rasul SAW adalah suatu keharusan yang mutlak dan haram untuk dirubah
dan dilakukan penyimpangan terhadapnya. Ide sekularisasai yang
diajarakan Nur Cholis secara garis besar yakni memisahkan dunia dan
akhirat. Yaitu urusan dunia diurus ilmu dan kemampuan akal rasional
agama lebih mementingkan komunikasi psikologi spiritual atau
memisahkan secara jelas wilayah yang sacral dan wilayah yang temporal.
Selanjutnya dari sisi pluralisme yang menekankan bahwa setiap
manusia yang bertaqwa dan mengerjakan ajaran agamanya dengan baik
serta melakukan amalan-amalan terpuji bagi setiap makhluk di dunia ini,
apapun agama yang dianut berhak untuk masuk ke syurga dan diterima
berbagai amal-amal kebaikannya. Ini membuat setiap umat beragama
dapat menurunkan egonya untuk menentukan siapa yang benar dan
fokus untuk menjaga, membina dan memelihara hubungan baik antar
sesama manusia dan juga menjaga alam kehidupannya. Agam akan betul-
betul menjadi suatu pembawa kedamaian bagi alam semesta ini karena
menuru Cak Nur perbedaan agama adalah suatu wujud refleksi keimanan
manusia yang berbeda-beda kepada satu Tuhan yang sama. Pluralisme
Cak Nur sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam
bersifat Inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin
pluralis. Sebagai contoh filsafat Perenial yang belakangan banyak
dibicarakan dalam dialog antara agama di Indonesia merentangkan
pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya
merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda,
pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dar berbagai
agama. Filsafat Perenial juga membagi agama pada level esoterik (bathin)
dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level
eksoterik tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada
istilah ‘satu Tuhan banyak jalan’.