Download - 10505264

Transcript
Page 1: 10505264

Resiliensi Pada Pengidap HIV/AIDS

Yurista Indah Pratiwi

Program Sarjana, Universitas Gunadarma

Abstrak

Dalam setiap individu resiliensi sangat diperlukan, terutama pada individu yangmengidap HIV/AIDS. Karena dengan adanya resiliensi individu memiliki kemampuan semangatuntuk bangkit, individu juga memiliki tujuan dan alasan untuk memperjuangkan hidupnya.Berdasarkan hal tersebut maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut: (1)Bagaimana gambaran resiliensi yang dimiliki pengidap Subjek? (2) Faktor – faktor apa yangmempengaruhi kualitas resiliensi Subjek? (3) Kemampuan apa saja yang mempengaruhiresiliensi pada Subjek? Sedangkan tujuannya adalah untuk mengetahui (1) Gambaran resiliensiyang dimiliki pengidap Subjek; (2) Faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas resiliensiSubjek; (3) Kemampuan apa saja yang mempengaruhi resiliensi pada Subjek. Metode yangdigunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara dan observasi. Metode observasi yangdigunakan yaitu observasi non partisipan, metode wawancara yang digunakan adalah wawancaraberstruktur. Subjek penelitian ini adalah seorang remaja akhir yang mengidap HIV/AIDS. Darihasil penelitian diperoleh bahwa (1) Resiliensi yang dimiliki oleh subjek cukup baik karenasubjek mempunyai semangat hidup dan mensyukuri waktu yang tersisa dalam hidupnya. (2)Faktor yang mempengaruhi kualitas resiliensi subjek adalah rasa empati terhadap lingkungansekitar, subjek selalu mandiri dalam kehidupan sehari-harinya, subjek memiliki hubungan baikdengan orang lain, subjek memiliki inisiatif yang baik dalam kehidupan sehari-harinya, subjekmemiliki kreativitas yang baik dalam bidang musik, subjek memiliki rasa humor dalamkehidupan sehari-harinya, dan subjek memiliki moralitas yang baik. (3) Kemampuan yangmempengaruhi resiliensi pada subjek adalah pengendalian diri yang baik, subjek mampumengendalikan keinginan ataupun tekanan dalam hidupnya, subjek selalu optimis dalammenjalani hidup, subjek selalu percaya diri dalam melakukan sesuatu, dan subjek memilikitujuan hidup yang baik dari sebelumnya.

Kata Kunci : Resiliensi, HIV/AIDS, Remaja

Page 2: 10505264

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam kehidupan pastinya ada kebahagian dan juga kesedihan, keduanya tidak

dapat dipungkiri, kebahagian dan kesedihan akan seiring datang dalam kehidupan individu.

Ketika apa yang individu inginkan tercapai individu tersebut pasti merasa senang, gembira

dan bahagia. Tetapi ketika cobaan datang yang dirasakan pasti kecewa, sedih, bahkan merasa

menderita. Sebagai manusia yang hidup di dunia ini pastinya seorang individu akan berusaha

menerima cobaan yang datang di dalam hidup ini, walaupun awalnya tidak bisa terima

dengan cobaan yang menimpa individu tersebut, lambat laun seorang individu akan mencari

cara untuk tetap bertahan dengan cobaan yang datang.

Begitu juga dengan cobaan yang menimpa ketika individu mempunyai penyakit yang

sangat berat yang di luar dugaan, seperti penyakit HIV/AIDS. Penyakit HIV/AIDS adalah

sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan manusia, Virus ini merusak salah satu sel

darah putih yang dikenal sel T. AIDS atau disebut juga sindrom cacat kekebalan tubuh

merupakan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang

disebut HIV (Bambang, 2000).

Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.

Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta

orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO

memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak

pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan

salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan

kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa

di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-

Sahara, perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan

parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua

Negara (Wikipedia, 2009).

Revalensi HIV/AIDS di Indonesia telah bergerak dengan laju yang sangat

mengkhawatirkan. Pada tahun 1987, kasus HIV/AIDS ditemukan untuk pertama kalinya

hanya di Pulau Bali. Sementara sekarang tahun 2007, hampir semua provinsi di Indonesia

sudah ditemukan kasus HIV/AIDS. HIV tidak ditularkan melalui hubungan sosial yang biasa

Page 3: 10505264

seperti jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan, penggunaan peralatan

makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang, penggunaan kamar mandi atau toilet yang

sama atau tinggal serumah bersama Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). ODHA yaitu

pengidap HIV atau AIDS. Sedangkan OHIDA (Orang hidup dengan HIV atau AIDS) yakni

keluarga (anak, istri, suami, ayah, ibu) atau teman-teman pengidap HIV atau AIDS. Lebih

dari 80% infeksi HIV diderita oleh kelompok usia produktif terutama laki-laki, tetapi

proporsi penderita HIV perempuan cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak, 90 %

terjadi dari Ibu pengidap HIV. Hingga beberapa tahun, seorang pengidap HIV tidak

menunjukkan gejala-gejala klinis tertular HIV, namun demikian orang tersebut dapat

menularkan kepada orang lain (Parikesit, 2008).

Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki

sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri,

virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh

yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV

mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga beresiko lebih besar

menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan

yang disebut limfoma. Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti

demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan,

merasa lemah, serta penurunan berat badan Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien

AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah

geografis tempat hidup pasien (Parikesit, 2008).

Ketika individu mengetahui mengidap penyakit tersebut, individu tersebut pasti

merasa marah, kecewa, sedih, takut, bahkan frustasi. Tetapi dengan semangat hidup yang

besar individu punya kemampuan untuk tetap bertahan dengan penyakit yang ia derita,

kemamapuan individu untuk tetap bertahan dengan cobaan yang ada disebut dengan

resiliensi yaitu kemampuan untuk bangkit kembali dengan sukses meskipun didapatkan

melalui resiko-resiko yang berat (Benard dalam Krovertz, 1999). Werner dan Smith (dalam

Isaacson, 2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas secara efektif untuk menghadapi

stres internal berupa kelemahan-kelemahan, maupun stres eksternal, misalnya penyakit,

kehilangan, atau masalah dengan keluarga.

Page 4: 10505264

Terdapat individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif

sedangkan ada individu lain yang gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang

tidak menguntungkan, individu yang mampu bertahan dari situasi negatif berarti individu

tersebut sudah resilien (Tugade & Fredrickson, 2004). Tidak dapat dipungkiri jika seorang

individu mempunyai penyakit yang berat, ia stress memikirkan penyakit tersebut dan

bertanya-tanya dalam diri mengapa ia yang mengalami penyakit tersebut. Stres yang dialami

oleh penderita HIV/AIDS, cenderung membuat cara berpikir menjadi tidak akurat. Hal itu

membawa individu menjadi tidak resilien dalam menghadapi masalah, stres membahayakan

sistem kekebalan, yang memungkinkan individu menjadi lebih sering sakit. Individu dengan

resiliensi yang baik mampu menghadapi masalah dengan baik, mampu mengontrol diri,

mampu mengelola stress dengan baik dengan mengubah cara berpikir ketika berhadapan

dengan stres. Resiliensi memungkinkan individu untuk tetap fokus pada persoalan yang

sesungguhnya, dan tidak menyimpang ke dalam perasaan dan pikiran yang negatif, sehingga

individu bisa mengatasi resiko depresi dan banyak tantangan. Pikiran dan perasaan adalah

inti dalam memahami individu dalam rangka meningkatkan resiliensi (Grahacendikia, 2009).

Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya

bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan

terhadap masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol arah kehidupannya.

Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan mengurangi kemungkinan menderita depresi.

Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan

dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-

hari. Faktor yang mendukung resiliensi, diantaranya adalah dukungan sosial, berhubungan

dengan tingkat stress yang rendah. Individu dengan resiliensi yang tinggi memiliki dukungan

sosial yang lebih baik dan memiliki tingkat stress yang rendah (Aitken & Morgan, 1999).

Resiliensi sebagai kemampuan untuk secara terus menerus mendefinisikan diri dan

pengalaman, menjadi dasar untuk proses kehidupan yang menghubungkan antara sumber

daya individu dan spiritual (Grahacendikia, 2009). Jika individu yang menderita HIV/AIDS

mempunyai resiliensi, maka individu tersebut akan lebih mempunyai semangat hidup dan

mensyukuri waktu tersisa dalam hidupnya.

Reivich & Shatte (2002) menyatakan regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap

tenang di bawah kondisi yang menekan. Regulasi emosi erat kaitannya dengan pengendalian

Page 5: 10505264

impuls. Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan,

dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki

kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada

akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Pengendalian impuls berhubungan

dengan empati, orang dengan pengendalian impuls rendah akan sulit untuk berempati dengan

orang lain. Empati merupakan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi

emosional dan psikologis orang lain.

Faktor-faktor resiliensi lainnya adalah optimise. Optimisme yang dimiliki oleh

seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki

kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga

merefleksikan Self-Efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa

ia mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Individu

yang resilien juga memiliki fleksibilitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua

penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah

satu gaya berpikir explanatory. Gaya berpikir mempengaruhi bagaimana pencapaian individu

untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya. Kemampuan individu

meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa disebut dengan

reaching out.

Faktor-faktor resiliensi ini juga memberikan kemampuan untuk meraih level tertinggi

dalam suatu pekerjaan, mengalami kepenuhan, hubungan yang penuh kasih, meningkatkan

kesehatan, kebahagiaan, dan anak-anak yang sukses. Hal ini memungkinkan seseorang untuk

mendapatkan pekerjaan yang dibutuhkan dan dapat menikmati kebahagiaan bersama

keluarga.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran resiliensi yang dimiliki pengidap HIV/AIDS ?

2. Faktor – faktor apa yang mempengaruhi kualitas resiliensi pada Subjek ?

3. Kemampuan apa saja yang mempengaruhi resiliensi pada Subjek?

Page 6: 10505264

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran resiliensi pada subjek, faktor-faktor

apa saja yang mempengaruhi kualitas resiliensi pada subjek, dan untuk mengetahui

kemampuan apa saja yang mempengaruhi resiliensi pada subjek.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan penulis dapat memberikan masukan dan manfaat bagi

perkembangan ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Klinis, Psikologi Sosial dan

Psikologi Perkembangan terutama yang berkaitan dengan teori-teori resiliensi dan

HIV/AIDS.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi penderita HIV/AIDS, agar lebih

memahami tentang resiliensi pada pengidap HIV/AIDS. Dan bagi masyarakat agar lebih

memahami tentang HIV/AIDS. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat berguna bagi

penelitian selanjutnya terutama yang berhubungan dengan resiliensi dan HIV/AIDS.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Resiliensi

Secara etimologis resiliensi diadaptasi dari kata dalam Bahasa Inggris resilience yang

berarti daya lenting atau kemampuan untuk kembali dalam bentuk semula (Poerwadarminta,

1982). Menurut Reivich & Shatte (2002) resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk

bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Resiliensi adalah kapasitas

untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau

trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.

Grotberg (dalam Schoon, 2006) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan

seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari

keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami

Page 7: 10505264

kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu

masalah ataupun kesulitan.

Jadi, dapat disimpulkan resiliensi adalah suatu kemampuan untuk bertahan dan

bangkit dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup.

Terdapat individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif

sedangkan ada individu lain yang gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang

tidak menguntungkan, kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan

atau setelah mengalami tekanan yang berat dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade &

Fredrickson, 2004).

Menurut Desmita (2005), resiliensi (daya letur) adalah kemampuan atau kapasitas

insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk

menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang

merugikan dari kondisi-kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu yang wajar

untuk diatasi.

Werner dan Smith (dalam Isaacson, 2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas

untuk secara efektif untuk menghadapi stres internal berupa kelemahan-kelemahan, maupun

stres eksternal, misalnya penyakit, kehilangan, atau masalah dengan keluarga.

Menurut Wolin dan Wolin (1999), resiliensi adalah proses tetap berjuang saat

berhadapan dengan kesulitan, masalah atau penderitaan.

Resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit kembali dengan sukses meskipun

didapatkan melalui resiko-resiko yang berat (Benard dalam Krovertz, 1999).

Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan

yang dimiliki seseorang untuk menghadapi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, stres

internal maupun eksternal, dan proses tetap berjuang untuk bangkit kembali dari tekanan

hidup, masalah dan penderitaan serta belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya,

meskipun didapatkan melalui resiko-resiko yang berat.

Page 8: 10505264

2. Karakteristik Resiliensi

Wolin dan Wolin (1999), memberikan bagian-bagian karakteristik resiliensi yaitu

sebagai berikut :

a. Insight

Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan menjawab

dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat memahami diri sendiri dan

orang lain serta dapat menyesuaikan diri dari berbagai situasi. Insight adalah kemampuan

yang paling mempengaruhi resiliensi.

b. Kemandirian

Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun

fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan

untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang

lain.

c. Hubungan

Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling

mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau memiliki role model yang sehat.

d. Inisiatif

Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab dengan

kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersikap proaktif,

bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha

memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat di ubah, serta meningkatkan kemampuan

untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat di ubah.

e. Kreativitas

Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan

alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam

perilaku negatif, sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya

dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang

digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu

menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan.

Page 9: 10505264

f. Humor

Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan

diri sendiri, dan menemukan kebahagian dalam situasi apapun. Individu yang resilien

menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru

dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan.

g. Moralitas

Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup

secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan

membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga

dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan.

3. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Wolin dan Wolin (1999), Faktor - faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu sebagai

berikut dibawah ini :

a. Regulasi emosi

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu

yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila

sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga

mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif

ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan

tepat. Pengekpresian emosi yang tepat salah satu kemampuan individu yang resilien.

b. Pengendalian impuls

Pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan,

kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang.

c. Optimisme

Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan di

masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya.

d. Empati

Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis

dan emosi dari orang lain.

Page 10: 10505264

e. Analisis penyebab masalah

Konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya

berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan

sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.

f. Efikasi diri

Efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan

memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri

mampu berhasil dan sukses.

g. Peningkatan aspek positif

Resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam

hidup .

4. Sumber Pembentukan Resiliensi

Upaya mengatasi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan dan mengembangkan

resilensi, sangat tergantung pada pemberdayaan tiga faktor dalam diri individu, yang oleh

Grotberg (1994) disebut sebagai tiga sumber dari resiliensi (three sources of resilience),

yaitu I have (aku punya), I am (aku ini), I can (aku dapat).

5. Interaksi antara Faktor I have, I am, I can

terdapat lima faktor yang sangat menentukan kualitas dari I have, I am, dan I can tersebut

(Grotberg, 1999) yaitu :

a. Kepercayaan (Trust) yakni faktor yang berhubungan dengan bagaimana lingkungan

mengambangkan rasa percaya seseorang.

b. Otonomi (autonomy), yaitu faktor yang berkaitan dengan beberapa individu

menyadari bahwa dirinya terpisah dan beberapa dari lingkungan sekitar sebagai

kesatuan diri pribadi.

c. Inisiatif (initiative), yaitu faktor ketiga pembentukan resiliensi yang berperan dalam

penumbuhan minat individu melakukan sesuatu yang baru.

Page 11: 10505264

d. Industri (industry), yaitu faktor resiliensi yang berhubungan dengan pengembangan

keterampilan-keterampilan berkaitan dengan aktivitas rumah, sekolah, dan

sosialisasi.

e. Identitas (identity), yaitu faktor resiliensi yang berkaitan dengan pengembangan

pemahaman individu akan dirinya sendiri, baik kondisi fisik maupun psikologisnya.

B. HIV/AIDS

1. Pengertian HIV/AIDS

Menurut Barnet (dalam Bartlet & Adler,1996) HIV (Human Immunedeficiency Virus) adalah

virus penyebab AIDS, HIV terdapat didalam cairan tubuh seseorang yang telah terinfeksi

didalam darah, air mani atau cairan vagina. Sebelum HIV berubah menjadi AIDS,

penderitanya akan tampak sehat dalam waktu kira-kira 5-10 hari. Walaupun mereka tampak

sehat tetapi dapat menularkan HIV pada orang lain. Sedangkan AIDS (Acuquired Immune

Deficiency Syndrome) adalah sindrom menurunnya kekebalan tubuh disebabkan oleh HIV.

Orang yang mengidap AIDS amat mudah tertular oleh berbagai macam penyakit, karena

sistem kekebalan didalam tubuhnya telah tertular. Sampai sekarang belum ada obat yang

dapat menyembuhkan AIDS.

2. Penyebab HIV/AIDS

Menurut Johnson (dalam Asih, 1995) pengidap HIV/AIDS dapat menularkan melalui

hubungan seks yang tidak aman (oral, anal, vaginal). Transfusi darah yang mengandung virus

HIV. Penggunaan jarum suntik atau alat tusuk lain (tusuk jarum, tindik, tattoo), pisau cukur,

dan sikat gigi yang telah terkena darah pengidap HIV/AIDS yang tidak tersterilkan dengan

benar. Melalui ibu hamil yang mengidap virus HIV/AIDS kepada bayi yang dikandungnya.

3. Gejala dan Pembagian HIV/AIDS

Menurut Prawirohartono (1996) menjelaskan perjalanan gejala HIV/AIDS :

a. Hari ke-1

1) Terinfeksi HIV

2) Belum terlihat tanda-tanda penurunan kesehatan

3) Pemeriksaan darah negatif

Page 12: 10505264

b. Setelah bulan ke-3

1) Belum terlihat tanda-tanda penurunan kesehatan yang nyata.

2) Pemeriksaan darah positif.

c. Setelah tahun ke-8

1) Cepat dan sering merasa lelah.

2) Pembesaran kelenjar (dileher, ketiak, lipatan paha).

3) Berat badan turun secara mencolok.

d. Tahun ke-8 sampai dengan tahun ke-10

1) Diare (mencret).

2) Radang (infeksi paru-paru).

3) Kanker kulit (berupa koreng diseluruh badan), radang (infeksi) selaput otak.

4) Tidak bisa mengurus diri sendiri sehingga memerlukan bantuan orang lain.

4. Fase – fase HIV/AIDS

Menurut Johnson (dalam Asih, 1995) ada 4 fase HIV/AIDS, yaitu:

a. Fase pertama

Belum terlihat gejala apapun meskipun sudah positif terinveksi HIV melalui tes darah.

b. Fase kedua

Belum terlihat gejala penyakit tetapi sudah bisa menularkan kepada orang lain.

Berlansung sekitar 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV.

c. Fase ketiga

Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit antara lain keringat yang berlebihan pada

waktu malam, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak

sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat badan

terus berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang tetapi

belum pada tahap AIDS

d. Fase keempat

Sudah masuk pada fase AIDS dan kekebalan tubuh sangat berkurang. Mulai ada infeksi

oportunistik yaitu kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi

paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru dan kesulitan bernafas, infeksi usus yang

Page 13: 10505264

menyebabkan diare parah berminggu-minggu, dan infeksi otak yang menyebabkan

kekacauan mental dan sakit kepala

5. Penanggulangan HIV/AIDS

Menurut Kusnandar (2001) HIV/AIDS dapat ditanggulangi dengan perilaku hidup

yang sehat dan tanggung jawab seperti :

a. Perilaku seksual

1) Abtinace (tidak melakukan hubungan seks diluar nikah)

2) Be Faithful (saling setia terhadap pasangan)

3) Kondom (menggunakan kondom jika pasangan kita mengidap HIV, atau jika tidak

yakin terhadap pasangan)

b. Pengamanan darah

Jika memerlukan darah, korban atau keluarga harus minta kepastian terlebih dahulu

bahwa darah yang akan dipakai telah melalui proses skrining.

c. Penggunaan jarum suntik dan benda tajam lainnya

Penggunaan peralatan yang sudah disterilisasi dengan benar.

6. Masalah yang Dihadapi Penderita HIV/AIDS

Menurut Richardson (2002) seseorang yang mengetahui bahwa dirinya menjadi

seorang pengidap HIV positif akan menghadapi banyak masalah yang saling berhubungan

dan terus dipikirkannya, diantaranya adalah :

a. Diskriminasi AIDS

Diskriminasi terhadap penderita AIDS ini menyiksa individu yang mengidap HIV positif

sehingga penderita mudah marah, merasa takut, menjadi cemas yang berlebihan, dan

minder.

b. Isolasi

Penderita HIV/AIDS sering kali dikucilkan oleh masyarakat. Hal ini karena salahnya info

yang beredar mengenai AIDS dan penularannya sehingga membuat masyarakat takut dan

was-was.

Page 14: 10505264

c. Kekuatiran

Kekuatiran yang dialami terasa lebih berat dan lebih dalam karena AIDS merupakan

suatu penyakit yang menakutkan karena sampai saat ini penyembuhannya

belumditemukan.

d. Depresi

Kebanyakan orang menjadi depresi saat mereka dinyatakan mengidap AIDS.

e. Seksualitas

Penderita HIV/AIDS membutuhkan bantuan dalam menyampaikan bahwa ia terkena

HIV kepada pasangan seksnya. Selain itu terjadi penurunan aktivitas seksual karena

dirinya merasa mengidap penyakit yang salah satu penularannya melalui hubungan seks.

F. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berbentuk studi kasus yang

dilakukan untuk memperoleh pengertian yang mendalam mengenai situasi dan makna suatu

atau objek yang diteliti. Dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara yaitu teknik

wawancara terstruktur dan observasi tidak terlibat (non partisipan).

G. SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian ini adalah seorang laki – laki remaja akhir yang berusia 20 tahun

yang telah menderita virus HIV/AIDS selama 1 tahun akibat penggunaan narkoba

dimana jarum suntik sebagai alatnya. Subjek yang dibutuhkan 1 orang dengan 1

orang significant other.

H. HASIL PENELITIAN

(1). Resiliensi yang dimiliki oleh subjek cukup baik karena subjek mempunyai semangat

hidup dan mensyukuri waktu yang tersisa dalam hidupnya. (2) Faktor yang mempengaruhi

kualitas resiliensi subjek adalah rasa empati terhadap lingkungan sekitar, subjek selalu

mandiri dalam kehidupan sehari-harinya, subjek memiliki hubungan baik dengan orang lain,

subjek memiliki inisiatif yang baik dalam kehidupan sehari-harinya, subjek memiliki

kreativitas yang baik dalam bidang musik, subjek memiliki rasa humor dalam kehidupan

sehari-harinya, dan subjek memiliki moralitas yang baik. (3) Kemampuan yang

Page 15: 10505264

mempengaruhi resiliensi pada subjek adalah pengendalian diri yang baik, subjek mampu

mengendalikan keinginan ataupun tekanan dalam hidupnya, subjek selalu optimis dalam

menjalani hidup, subjek selalu percaya diri dalam melakukan sesuatu, dan subjek memiliki

tujuan hidup yang baik dari sebelumnya.

I. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, saran yang diberikan oleh penulis yaitu:

1. Kepada Subjek

Untuk meningkatkan resiliensi para penderita HIV dapat mempertahankan aktivitas-

aktivitas positif yang telah terbangun dalam masyarakat, seperti, pengajian, perkumpulan,

dan aktivitas sosial lainnya. Aktivitas-aktivitas ini akan mendorong resiliensi pada para

pengidap HIV. Juga diharapkan untuk proaktif dan peka terhadap dukungan yang

menunjang mereka untuk menjadi resilien saat menghadapi penyakitnya.

2. Kepada Seluruh Masyarakat

Pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat menjadi mediator untuk mendorong dan

mensosialisasikan kegiatan yang dapat menjadi dukungan dan meningkatkan resiliensi

bagi para penyintas, antara lain: kegiatan yang terkait dengan penyuluhan-penyuluhan

psikologis serta mendukung aktivitas masyarakat setempat yang berperan meningkatkan

resiliensi. Pemerintah sebaiknya juga lebih menata organisasi bantuan bagi para penyintas

sehingga tidak menimbulkan permasalahan.

Ada baiknya untuk masyarakat tetap memberikan sosialisasi yang sama terhadap

pengidap HIV/AIDS, karena para pengidap HIV/AIDS bukan untuk dijauhi melainkan

harus didukung agar mereka tetap semangat menjalani hidup.

3. Kepada Peneliti Selanjutnya

Penelitian selanjutnya terkait resiliensi pada penderita HIV masih sangat diperlukan

terutama untuk memperdalam kajian budaya dalam hubungannya dengan resiliensi dan

dukungan sosial.

Diharapkan pada penelitian selanjutnya, ada baiknya penelitian dilaakukan lebih

mendalam agar mendapatkan hasil yang memuaskan.

Page 16: 10505264

DAAFTR PUSTAKA

Amita, W. R. (2001). Dukungan Sosial yang Diperlukan pada Masa Penyembuhan RemajaKetergantungan Heroin; Ditinjau dari Teori Developmental Model of recovery. Depok:Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Arli, A, P. (2008). Lebih jauh dengan HIV/AIDS dan penanggulanggannya

http://netsains.com/2008/02/lebih-jauh-dengan-hivaids-dan-

penanggulanggannya/ ( 20 Juni 2010)

Bambang, H. (2000). Perkembangan penyakit HIV/AIDS. Jakarta: Departemen Kesehatan

Bartlet, G.J, & Adler, W, A. (1996). Petunjuk penting AIDS. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Benard. Resiliency: What We Have Learned. San Fransisco: WestEd

Departemen Sosial. (2004). AIDS: Penanggulangannya. Jakarta: Studio Driya Media

Desmita. (2005). Psikologi perkembangan. Bandung: PT Remaja Rodaskarya

Erviani, Ni Komang. 2007. Jalan Panjang Melepas Kecanduan. [online].http://www.balebengong.net/topik/budaya/2007/08/05/jalan-panjang melepas-kecanduan.html. Tanggal Akses: 3 Oktober 2010

Green, C. W . (1996). Perawatan dan dukungan untuk orang dengan HIV/AIDS di masyarkat.Jakarta: Yayasan Pelita Ilmu diterbitkan dengan dukungan The Ford Foundation

Grahacendikia. 2009. Resiliensi pada penderita kanker ditinjau dari dukungan sosial.http://grahacendikia.wordpress.com/2009/04/24/resiliensi-pada-penderita-kanker-ditinjau-dari-dukungan-sosial/ ( 20 Juni 2010 )

Grotberg. (1994). A guide to promoting resilience in children: Strengthening the Human Spirit.Denhaag

Grotberg, E. H. (1999). Taping your inner strenght : How to Find the Resilience to Deal withAnything. Oakland, CA : New Harbinger Publication Inc

Heru Basuki, A.M. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta:Universitas Gunadarma

Isaacson B. Characteristics and Enhancement of Resilency in Young People. University ofWinconsin Stout (August, 2002)

Johnson, E. M. (1995). Cara menghindari AIDS. Alih Bahasa: Asih, Y. G. Jakarta: Arcan

Page 17: 10505264

Kartono. K. (1980). Pengantar metodologi research sosial. Bandung: Penerbit Alumni

Kidder, L. H. and C. M. Judd. 1986. Research methods in social relations. Holt, ReinhartandWinston, Inc. The Dryden Press, Orlando, Florida, USA

Kusnandar, H. (2001). Menanggulangi bahaya penyakit menular seksual. Edisi 1. Bandung: CV.Pioner Jaya Bandung

Moleong, L. (2004). Metodologi gabungan kuantitatif / kualitatif dan analisis data. Jakarta:Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Moleong, L. (2005). Metodologi penelitian kualitatif (ed,revisi). Bandung: PT RemajaRosdakarya

Morgan, D., Mahe, C., Mayanja, B., Okongo, J. M., Lubega, R. and Whitworth, J. A. (2002)."HIV-1 infection in rural Africa: is there a difference in median time to AIDS andsurvival compared with that in industrialized countries?". AIDS 16 (4): 597–632

Narbuko, C, & Achmadi, A. (2003). Metode penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara

Nasution, S. (1996). Metode research (1st ed). Jakarta: PT Bumi Aksara

Nawawi, H. (2003). Metodologi penelitian bidang sosial. Yogyakarta: Penerbit Gadjah MadaUniversity Press

Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Depok: Lembagapengembangan sarana pengukuran dan pendidikan psikologi Universitas Indonesia

Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Depok: LembagaPengembangan sarana pengukuran dan pendidikan psikologi Universitas Indonesia

Poerwadarminta. (1982). Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta : Balai Pustaka

Prawirohartono, S. (1996). Sains biologi – 3b. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Reivich, K & Shatte, A. 2002. The Resilience Factor ; 7 Essential Skill For Overcoming Life’sInevitable Obstacle. New York, Broadway Books

Richardson, D. (2002). Perempuan dan AIDS. Yogyakarta: Med Press

Sabrawi, K, Maclaren. 1996. 11 langkah memahami AIDS, LP3Y, Yogyakarta

Sarafino, Edward P. (2006). Health Psychology. USA: Copyright Clearance Center. inc.

Sasangka, Hari. (2003). Narkotika Psikotropika dalam Hukum Pidana. Bandung: Mandar MajuSchoon, Ingrid. (2006). Risk and Resilience. New York: Cambridge University Press.

Sugiyono, (2007), Memahami penelitian kualitatif; Bandung; Alfabeta

Page 18: 10505264

Supramono, Gatot. (2004). Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta: Djambatan

Tugade, M. M, & Fredrickson, B. L. (2004). Resilient individuals use positive emotions tobounce back from negative emotional experiences. Journal of Personality and SocialPsycgology, 86.320-333

Vrisab, R. (2001). Menanggulangi bahaya penyakit menular seksual. Edisi 3. Bandung: CV.Pioner Jaya Bandung

Wartono, H. JH. 1990. AIDS/HIV dikenal untuk dihindari. Jakarta: Lembaga PengembanganInformasi Indonesia (LEPIN)

Wikipedia. 2009. AIDS. http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS (20 Juni 2010)

Wikipedia. 2008. Resiliensi : http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi (20 Juni 2010)

Willy, Heriadi. (2005). Berantas Narkoba Tak Cukup Hanya Bicara: Tanya Jawab & Opini.Jakarta: UII Press

Wolin, S, & Wolin, S. (1999). Projeck resilience avaliable.http://www.Projectresilience.com/resasbehavior.htm (20 Juni 2010)

Yin, R. K. (2004). Studi Kasus : daerah & metode. Jakarta. Rajawali: Pers


Top Related