Download - 10505264
![Page 1: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/1.jpg)
Resiliensi Pada Pengidap HIV/AIDS
Yurista Indah Pratiwi
Program Sarjana, Universitas Gunadarma
Abstrak
Dalam setiap individu resiliensi sangat diperlukan, terutama pada individu yangmengidap HIV/AIDS. Karena dengan adanya resiliensi individu memiliki kemampuan semangatuntuk bangkit, individu juga memiliki tujuan dan alasan untuk memperjuangkan hidupnya.Berdasarkan hal tersebut maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut: (1)Bagaimana gambaran resiliensi yang dimiliki pengidap Subjek? (2) Faktor – faktor apa yangmempengaruhi kualitas resiliensi Subjek? (3) Kemampuan apa saja yang mempengaruhiresiliensi pada Subjek? Sedangkan tujuannya adalah untuk mengetahui (1) Gambaran resiliensiyang dimiliki pengidap Subjek; (2) Faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas resiliensiSubjek; (3) Kemampuan apa saja yang mempengaruhi resiliensi pada Subjek. Metode yangdigunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara dan observasi. Metode observasi yangdigunakan yaitu observasi non partisipan, metode wawancara yang digunakan adalah wawancaraberstruktur. Subjek penelitian ini adalah seorang remaja akhir yang mengidap HIV/AIDS. Darihasil penelitian diperoleh bahwa (1) Resiliensi yang dimiliki oleh subjek cukup baik karenasubjek mempunyai semangat hidup dan mensyukuri waktu yang tersisa dalam hidupnya. (2)Faktor yang mempengaruhi kualitas resiliensi subjek adalah rasa empati terhadap lingkungansekitar, subjek selalu mandiri dalam kehidupan sehari-harinya, subjek memiliki hubungan baikdengan orang lain, subjek memiliki inisiatif yang baik dalam kehidupan sehari-harinya, subjekmemiliki kreativitas yang baik dalam bidang musik, subjek memiliki rasa humor dalamkehidupan sehari-harinya, dan subjek memiliki moralitas yang baik. (3) Kemampuan yangmempengaruhi resiliensi pada subjek adalah pengendalian diri yang baik, subjek mampumengendalikan keinginan ataupun tekanan dalam hidupnya, subjek selalu optimis dalammenjalani hidup, subjek selalu percaya diri dalam melakukan sesuatu, dan subjek memilikitujuan hidup yang baik dari sebelumnya.
Kata Kunci : Resiliensi, HIV/AIDS, Remaja
![Page 2: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/2.jpg)
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam kehidupan pastinya ada kebahagian dan juga kesedihan, keduanya tidak
dapat dipungkiri, kebahagian dan kesedihan akan seiring datang dalam kehidupan individu.
Ketika apa yang individu inginkan tercapai individu tersebut pasti merasa senang, gembira
dan bahagia. Tetapi ketika cobaan datang yang dirasakan pasti kecewa, sedih, bahkan merasa
menderita. Sebagai manusia yang hidup di dunia ini pastinya seorang individu akan berusaha
menerima cobaan yang datang di dalam hidup ini, walaupun awalnya tidak bisa terima
dengan cobaan yang menimpa individu tersebut, lambat laun seorang individu akan mencari
cara untuk tetap bertahan dengan cobaan yang datang.
Begitu juga dengan cobaan yang menimpa ketika individu mempunyai penyakit yang
sangat berat yang di luar dugaan, seperti penyakit HIV/AIDS. Penyakit HIV/AIDS adalah
sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan manusia, Virus ini merusak salah satu sel
darah putih yang dikenal sel T. AIDS atau disebut juga sindrom cacat kekebalan tubuh
merupakan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang
disebut HIV (Bambang, 2000).
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.
Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta
orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO
memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak
pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan
salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan
kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa
di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-
Sahara, perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan
parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua
Negara (Wikipedia, 2009).
Revalensi HIV/AIDS di Indonesia telah bergerak dengan laju yang sangat
mengkhawatirkan. Pada tahun 1987, kasus HIV/AIDS ditemukan untuk pertama kalinya
hanya di Pulau Bali. Sementara sekarang tahun 2007, hampir semua provinsi di Indonesia
sudah ditemukan kasus HIV/AIDS. HIV tidak ditularkan melalui hubungan sosial yang biasa
![Page 3: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/3.jpg)
seperti jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan, penggunaan peralatan
makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang, penggunaan kamar mandi atau toilet yang
sama atau tinggal serumah bersama Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). ODHA yaitu
pengidap HIV atau AIDS. Sedangkan OHIDA (Orang hidup dengan HIV atau AIDS) yakni
keluarga (anak, istri, suami, ayah, ibu) atau teman-teman pengidap HIV atau AIDS. Lebih
dari 80% infeksi HIV diderita oleh kelompok usia produktif terutama laki-laki, tetapi
proporsi penderita HIV perempuan cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak, 90 %
terjadi dari Ibu pengidap HIV. Hingga beberapa tahun, seorang pengidap HIV tidak
menunjukkan gejala-gejala klinis tertular HIV, namun demikian orang tersebut dapat
menularkan kepada orang lain (Parikesit, 2008).
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki
sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri,
virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh
yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV
mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga beresiko lebih besar
menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan
yang disebut limfoma. Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti
demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan,
merasa lemah, serta penurunan berat badan Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien
AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah
geografis tempat hidup pasien (Parikesit, 2008).
Ketika individu mengetahui mengidap penyakit tersebut, individu tersebut pasti
merasa marah, kecewa, sedih, takut, bahkan frustasi. Tetapi dengan semangat hidup yang
besar individu punya kemampuan untuk tetap bertahan dengan penyakit yang ia derita,
kemamapuan individu untuk tetap bertahan dengan cobaan yang ada disebut dengan
resiliensi yaitu kemampuan untuk bangkit kembali dengan sukses meskipun didapatkan
melalui resiko-resiko yang berat (Benard dalam Krovertz, 1999). Werner dan Smith (dalam
Isaacson, 2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas secara efektif untuk menghadapi
stres internal berupa kelemahan-kelemahan, maupun stres eksternal, misalnya penyakit,
kehilangan, atau masalah dengan keluarga.
![Page 4: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/4.jpg)
Terdapat individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif
sedangkan ada individu lain yang gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang
tidak menguntungkan, individu yang mampu bertahan dari situasi negatif berarti individu
tersebut sudah resilien (Tugade & Fredrickson, 2004). Tidak dapat dipungkiri jika seorang
individu mempunyai penyakit yang berat, ia stress memikirkan penyakit tersebut dan
bertanya-tanya dalam diri mengapa ia yang mengalami penyakit tersebut. Stres yang dialami
oleh penderita HIV/AIDS, cenderung membuat cara berpikir menjadi tidak akurat. Hal itu
membawa individu menjadi tidak resilien dalam menghadapi masalah, stres membahayakan
sistem kekebalan, yang memungkinkan individu menjadi lebih sering sakit. Individu dengan
resiliensi yang baik mampu menghadapi masalah dengan baik, mampu mengontrol diri,
mampu mengelola stress dengan baik dengan mengubah cara berpikir ketika berhadapan
dengan stres. Resiliensi memungkinkan individu untuk tetap fokus pada persoalan yang
sesungguhnya, dan tidak menyimpang ke dalam perasaan dan pikiran yang negatif, sehingga
individu bisa mengatasi resiko depresi dan banyak tantangan. Pikiran dan perasaan adalah
inti dalam memahami individu dalam rangka meningkatkan resiliensi (Grahacendikia, 2009).
Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya
bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan
terhadap masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol arah kehidupannya.
Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan mengurangi kemungkinan menderita depresi.
Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan
dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-
hari. Faktor yang mendukung resiliensi, diantaranya adalah dukungan sosial, berhubungan
dengan tingkat stress yang rendah. Individu dengan resiliensi yang tinggi memiliki dukungan
sosial yang lebih baik dan memiliki tingkat stress yang rendah (Aitken & Morgan, 1999).
Resiliensi sebagai kemampuan untuk secara terus menerus mendefinisikan diri dan
pengalaman, menjadi dasar untuk proses kehidupan yang menghubungkan antara sumber
daya individu dan spiritual (Grahacendikia, 2009). Jika individu yang menderita HIV/AIDS
mempunyai resiliensi, maka individu tersebut akan lebih mempunyai semangat hidup dan
mensyukuri waktu tersisa dalam hidupnya.
Reivich & Shatte (2002) menyatakan regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap
tenang di bawah kondisi yang menekan. Regulasi emosi erat kaitannya dengan pengendalian
![Page 5: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/5.jpg)
impuls. Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan,
dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki
kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada
akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Pengendalian impuls berhubungan
dengan empati, orang dengan pengendalian impuls rendah akan sulit untuk berempati dengan
orang lain. Empati merupakan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi
emosional dan psikologis orang lain.
Faktor-faktor resiliensi lainnya adalah optimise. Optimisme yang dimiliki oleh
seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki
kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga
merefleksikan Self-Efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa
ia mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Individu
yang resilien juga memiliki fleksibilitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua
penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah
satu gaya berpikir explanatory. Gaya berpikir mempengaruhi bagaimana pencapaian individu
untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya. Kemampuan individu
meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa disebut dengan
reaching out.
Faktor-faktor resiliensi ini juga memberikan kemampuan untuk meraih level tertinggi
dalam suatu pekerjaan, mengalami kepenuhan, hubungan yang penuh kasih, meningkatkan
kesehatan, kebahagiaan, dan anak-anak yang sukses. Hal ini memungkinkan seseorang untuk
mendapatkan pekerjaan yang dibutuhkan dan dapat menikmati kebahagiaan bersama
keluarga.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran resiliensi yang dimiliki pengidap HIV/AIDS ?
2. Faktor – faktor apa yang mempengaruhi kualitas resiliensi pada Subjek ?
3. Kemampuan apa saja yang mempengaruhi resiliensi pada Subjek?
![Page 6: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/6.jpg)
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran resiliensi pada subjek, faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi kualitas resiliensi pada subjek, dan untuk mengetahui
kemampuan apa saja yang mempengaruhi resiliensi pada subjek.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan penulis dapat memberikan masukan dan manfaat bagi
perkembangan ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Klinis, Psikologi Sosial dan
Psikologi Perkembangan terutama yang berkaitan dengan teori-teori resiliensi dan
HIV/AIDS.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi penderita HIV/AIDS, agar lebih
memahami tentang resiliensi pada pengidap HIV/AIDS. Dan bagi masyarakat agar lebih
memahami tentang HIV/AIDS. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat berguna bagi
penelitian selanjutnya terutama yang berhubungan dengan resiliensi dan HIV/AIDS.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Resiliensi
Secara etimologis resiliensi diadaptasi dari kata dalam Bahasa Inggris resilience yang
berarti daya lenting atau kemampuan untuk kembali dalam bentuk semula (Poerwadarminta,
1982). Menurut Reivich & Shatte (2002) resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk
bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Resiliensi adalah kapasitas
untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau
trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari.
Grotberg (dalam Schoon, 2006) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan
seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari
keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami
![Page 7: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/7.jpg)
kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu
masalah ataupun kesulitan.
Jadi, dapat disimpulkan resiliensi adalah suatu kemampuan untuk bertahan dan
bangkit dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup.
Terdapat individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif
sedangkan ada individu lain yang gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang
tidak menguntungkan, kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan
atau setelah mengalami tekanan yang berat dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade &
Fredrickson, 2004).
Menurut Desmita (2005), resiliensi (daya letur) adalah kemampuan atau kapasitas
insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk
menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang
merugikan dari kondisi-kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu yang wajar
untuk diatasi.
Werner dan Smith (dalam Isaacson, 2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas
untuk secara efektif untuk menghadapi stres internal berupa kelemahan-kelemahan, maupun
stres eksternal, misalnya penyakit, kehilangan, atau masalah dengan keluarga.
Menurut Wolin dan Wolin (1999), resiliensi adalah proses tetap berjuang saat
berhadapan dengan kesulitan, masalah atau penderitaan.
Resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit kembali dengan sukses meskipun
didapatkan melalui resiko-resiko yang berat (Benard dalam Krovertz, 1999).
Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan
yang dimiliki seseorang untuk menghadapi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, stres
internal maupun eksternal, dan proses tetap berjuang untuk bangkit kembali dari tekanan
hidup, masalah dan penderitaan serta belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya,
meskipun didapatkan melalui resiko-resiko yang berat.
![Page 8: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/8.jpg)
2. Karakteristik Resiliensi
Wolin dan Wolin (1999), memberikan bagian-bagian karakteristik resiliensi yaitu
sebagai berikut :
a. Insight
Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan menjawab
dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat memahami diri sendiri dan
orang lain serta dapat menyesuaikan diri dari berbagai situasi. Insight adalah kemampuan
yang paling mempengaruhi resiliensi.
b. Kemandirian
Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun
fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan
untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang
lain.
c. Hubungan
Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling
mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau memiliki role model yang sehat.
d. Inisiatif
Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab dengan
kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersikap proaktif,
bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha
memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat di ubah, serta meningkatkan kemampuan
untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat di ubah.
e. Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan
alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam
perilaku negatif, sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya
dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang
digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu
menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan.
![Page 9: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/9.jpg)
f. Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan
diri sendiri, dan menemukan kebahagian dalam situasi apapun. Individu yang resilien
menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru
dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan.
g. Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup
secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan
membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga
dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan.
3. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Wolin dan Wolin (1999), Faktor - faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu sebagai
berikut dibawah ini :
a. Regulasi emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu
yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila
sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga
mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif
ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan
tepat. Pengekpresian emosi yang tepat salah satu kemampuan individu yang resilien.
b. Pengendalian impuls
Pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan,
kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang.
c. Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan di
masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya.
d. Empati
Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis
dan emosi dari orang lain.
![Page 10: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/10.jpg)
e. Analisis penyebab masalah
Konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya
berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan
sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.
f. Efikasi diri
Efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan
memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri
mampu berhasil dan sukses.
g. Peningkatan aspek positif
Resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam
hidup .
4. Sumber Pembentukan Resiliensi
Upaya mengatasi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan dan mengembangkan
resilensi, sangat tergantung pada pemberdayaan tiga faktor dalam diri individu, yang oleh
Grotberg (1994) disebut sebagai tiga sumber dari resiliensi (three sources of resilience),
yaitu I have (aku punya), I am (aku ini), I can (aku dapat).
5. Interaksi antara Faktor I have, I am, I can
terdapat lima faktor yang sangat menentukan kualitas dari I have, I am, dan I can tersebut
(Grotberg, 1999) yaitu :
a. Kepercayaan (Trust) yakni faktor yang berhubungan dengan bagaimana lingkungan
mengambangkan rasa percaya seseorang.
b. Otonomi (autonomy), yaitu faktor yang berkaitan dengan beberapa individu
menyadari bahwa dirinya terpisah dan beberapa dari lingkungan sekitar sebagai
kesatuan diri pribadi.
c. Inisiatif (initiative), yaitu faktor ketiga pembentukan resiliensi yang berperan dalam
penumbuhan minat individu melakukan sesuatu yang baru.
![Page 11: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/11.jpg)
d. Industri (industry), yaitu faktor resiliensi yang berhubungan dengan pengembangan
keterampilan-keterampilan berkaitan dengan aktivitas rumah, sekolah, dan
sosialisasi.
e. Identitas (identity), yaitu faktor resiliensi yang berkaitan dengan pengembangan
pemahaman individu akan dirinya sendiri, baik kondisi fisik maupun psikologisnya.
B. HIV/AIDS
1. Pengertian HIV/AIDS
Menurut Barnet (dalam Bartlet & Adler,1996) HIV (Human Immunedeficiency Virus) adalah
virus penyebab AIDS, HIV terdapat didalam cairan tubuh seseorang yang telah terinfeksi
didalam darah, air mani atau cairan vagina. Sebelum HIV berubah menjadi AIDS,
penderitanya akan tampak sehat dalam waktu kira-kira 5-10 hari. Walaupun mereka tampak
sehat tetapi dapat menularkan HIV pada orang lain. Sedangkan AIDS (Acuquired Immune
Deficiency Syndrome) adalah sindrom menurunnya kekebalan tubuh disebabkan oleh HIV.
Orang yang mengidap AIDS amat mudah tertular oleh berbagai macam penyakit, karena
sistem kekebalan didalam tubuhnya telah tertular. Sampai sekarang belum ada obat yang
dapat menyembuhkan AIDS.
2. Penyebab HIV/AIDS
Menurut Johnson (dalam Asih, 1995) pengidap HIV/AIDS dapat menularkan melalui
hubungan seks yang tidak aman (oral, anal, vaginal). Transfusi darah yang mengandung virus
HIV. Penggunaan jarum suntik atau alat tusuk lain (tusuk jarum, tindik, tattoo), pisau cukur,
dan sikat gigi yang telah terkena darah pengidap HIV/AIDS yang tidak tersterilkan dengan
benar. Melalui ibu hamil yang mengidap virus HIV/AIDS kepada bayi yang dikandungnya.
3. Gejala dan Pembagian HIV/AIDS
Menurut Prawirohartono (1996) menjelaskan perjalanan gejala HIV/AIDS :
a. Hari ke-1
1) Terinfeksi HIV
2) Belum terlihat tanda-tanda penurunan kesehatan
3) Pemeriksaan darah negatif
![Page 12: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/12.jpg)
b. Setelah bulan ke-3
1) Belum terlihat tanda-tanda penurunan kesehatan yang nyata.
2) Pemeriksaan darah positif.
c. Setelah tahun ke-8
1) Cepat dan sering merasa lelah.
2) Pembesaran kelenjar (dileher, ketiak, lipatan paha).
3) Berat badan turun secara mencolok.
d. Tahun ke-8 sampai dengan tahun ke-10
1) Diare (mencret).
2) Radang (infeksi paru-paru).
3) Kanker kulit (berupa koreng diseluruh badan), radang (infeksi) selaput otak.
4) Tidak bisa mengurus diri sendiri sehingga memerlukan bantuan orang lain.
4. Fase – fase HIV/AIDS
Menurut Johnson (dalam Asih, 1995) ada 4 fase HIV/AIDS, yaitu:
a. Fase pertama
Belum terlihat gejala apapun meskipun sudah positif terinveksi HIV melalui tes darah.
b. Fase kedua
Belum terlihat gejala penyakit tetapi sudah bisa menularkan kepada orang lain.
Berlansung sekitar 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV.
c. Fase ketiga
Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit antara lain keringat yang berlebihan pada
waktu malam, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak
sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat badan
terus berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai berkurang tetapi
belum pada tahap AIDS
d. Fase keempat
Sudah masuk pada fase AIDS dan kekebalan tubuh sangat berkurang. Mulai ada infeksi
oportunistik yaitu kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi
paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru dan kesulitan bernafas, infeksi usus yang
![Page 13: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/13.jpg)
menyebabkan diare parah berminggu-minggu, dan infeksi otak yang menyebabkan
kekacauan mental dan sakit kepala
5. Penanggulangan HIV/AIDS
Menurut Kusnandar (2001) HIV/AIDS dapat ditanggulangi dengan perilaku hidup
yang sehat dan tanggung jawab seperti :
a. Perilaku seksual
1) Abtinace (tidak melakukan hubungan seks diluar nikah)
2) Be Faithful (saling setia terhadap pasangan)
3) Kondom (menggunakan kondom jika pasangan kita mengidap HIV, atau jika tidak
yakin terhadap pasangan)
b. Pengamanan darah
Jika memerlukan darah, korban atau keluarga harus minta kepastian terlebih dahulu
bahwa darah yang akan dipakai telah melalui proses skrining.
c. Penggunaan jarum suntik dan benda tajam lainnya
Penggunaan peralatan yang sudah disterilisasi dengan benar.
6. Masalah yang Dihadapi Penderita HIV/AIDS
Menurut Richardson (2002) seseorang yang mengetahui bahwa dirinya menjadi
seorang pengidap HIV positif akan menghadapi banyak masalah yang saling berhubungan
dan terus dipikirkannya, diantaranya adalah :
a. Diskriminasi AIDS
Diskriminasi terhadap penderita AIDS ini menyiksa individu yang mengidap HIV positif
sehingga penderita mudah marah, merasa takut, menjadi cemas yang berlebihan, dan
minder.
b. Isolasi
Penderita HIV/AIDS sering kali dikucilkan oleh masyarakat. Hal ini karena salahnya info
yang beredar mengenai AIDS dan penularannya sehingga membuat masyarakat takut dan
was-was.
![Page 14: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/14.jpg)
c. Kekuatiran
Kekuatiran yang dialami terasa lebih berat dan lebih dalam karena AIDS merupakan
suatu penyakit yang menakutkan karena sampai saat ini penyembuhannya
belumditemukan.
d. Depresi
Kebanyakan orang menjadi depresi saat mereka dinyatakan mengidap AIDS.
e. Seksualitas
Penderita HIV/AIDS membutuhkan bantuan dalam menyampaikan bahwa ia terkena
HIV kepada pasangan seksnya. Selain itu terjadi penurunan aktivitas seksual karena
dirinya merasa mengidap penyakit yang salah satu penularannya melalui hubungan seks.
F. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berbentuk studi kasus yang
dilakukan untuk memperoleh pengertian yang mendalam mengenai situasi dan makna suatu
atau objek yang diteliti. Dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara yaitu teknik
wawancara terstruktur dan observasi tidak terlibat (non partisipan).
G. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian ini adalah seorang laki – laki remaja akhir yang berusia 20 tahun
yang telah menderita virus HIV/AIDS selama 1 tahun akibat penggunaan narkoba
dimana jarum suntik sebagai alatnya. Subjek yang dibutuhkan 1 orang dengan 1
orang significant other.
H. HASIL PENELITIAN
(1). Resiliensi yang dimiliki oleh subjek cukup baik karena subjek mempunyai semangat
hidup dan mensyukuri waktu yang tersisa dalam hidupnya. (2) Faktor yang mempengaruhi
kualitas resiliensi subjek adalah rasa empati terhadap lingkungan sekitar, subjek selalu
mandiri dalam kehidupan sehari-harinya, subjek memiliki hubungan baik dengan orang lain,
subjek memiliki inisiatif yang baik dalam kehidupan sehari-harinya, subjek memiliki
kreativitas yang baik dalam bidang musik, subjek memiliki rasa humor dalam kehidupan
sehari-harinya, dan subjek memiliki moralitas yang baik. (3) Kemampuan yang
![Page 15: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/15.jpg)
mempengaruhi resiliensi pada subjek adalah pengendalian diri yang baik, subjek mampu
mengendalikan keinginan ataupun tekanan dalam hidupnya, subjek selalu optimis dalam
menjalani hidup, subjek selalu percaya diri dalam melakukan sesuatu, dan subjek memiliki
tujuan hidup yang baik dari sebelumnya.
I. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang diberikan oleh penulis yaitu:
1. Kepada Subjek
Untuk meningkatkan resiliensi para penderita HIV dapat mempertahankan aktivitas-
aktivitas positif yang telah terbangun dalam masyarakat, seperti, pengajian, perkumpulan,
dan aktivitas sosial lainnya. Aktivitas-aktivitas ini akan mendorong resiliensi pada para
pengidap HIV. Juga diharapkan untuk proaktif dan peka terhadap dukungan yang
menunjang mereka untuk menjadi resilien saat menghadapi penyakitnya.
2. Kepada Seluruh Masyarakat
Pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat menjadi mediator untuk mendorong dan
mensosialisasikan kegiatan yang dapat menjadi dukungan dan meningkatkan resiliensi
bagi para penyintas, antara lain: kegiatan yang terkait dengan penyuluhan-penyuluhan
psikologis serta mendukung aktivitas masyarakat setempat yang berperan meningkatkan
resiliensi. Pemerintah sebaiknya juga lebih menata organisasi bantuan bagi para penyintas
sehingga tidak menimbulkan permasalahan.
Ada baiknya untuk masyarakat tetap memberikan sosialisasi yang sama terhadap
pengidap HIV/AIDS, karena para pengidap HIV/AIDS bukan untuk dijauhi melainkan
harus didukung agar mereka tetap semangat menjalani hidup.
3. Kepada Peneliti Selanjutnya
Penelitian selanjutnya terkait resiliensi pada penderita HIV masih sangat diperlukan
terutama untuk memperdalam kajian budaya dalam hubungannya dengan resiliensi dan
dukungan sosial.
Diharapkan pada penelitian selanjutnya, ada baiknya penelitian dilaakukan lebih
mendalam agar mendapatkan hasil yang memuaskan.
![Page 16: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/16.jpg)
DAAFTR PUSTAKA
Amita, W. R. (2001). Dukungan Sosial yang Diperlukan pada Masa Penyembuhan RemajaKetergantungan Heroin; Ditinjau dari Teori Developmental Model of recovery. Depok:Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Arli, A, P. (2008). Lebih jauh dengan HIV/AIDS dan penanggulanggannya
http://netsains.com/2008/02/lebih-jauh-dengan-hivaids-dan-
penanggulanggannya/ ( 20 Juni 2010)
Bambang, H. (2000). Perkembangan penyakit HIV/AIDS. Jakarta: Departemen Kesehatan
Bartlet, G.J, & Adler, W, A. (1996). Petunjuk penting AIDS. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Benard. Resiliency: What We Have Learned. San Fransisco: WestEd
Departemen Sosial. (2004). AIDS: Penanggulangannya. Jakarta: Studio Driya Media
Desmita. (2005). Psikologi perkembangan. Bandung: PT Remaja Rodaskarya
Erviani, Ni Komang. 2007. Jalan Panjang Melepas Kecanduan. [online].http://www.balebengong.net/topik/budaya/2007/08/05/jalan-panjang melepas-kecanduan.html. Tanggal Akses: 3 Oktober 2010
Green, C. W . (1996). Perawatan dan dukungan untuk orang dengan HIV/AIDS di masyarkat.Jakarta: Yayasan Pelita Ilmu diterbitkan dengan dukungan The Ford Foundation
Grahacendikia. 2009. Resiliensi pada penderita kanker ditinjau dari dukungan sosial.http://grahacendikia.wordpress.com/2009/04/24/resiliensi-pada-penderita-kanker-ditinjau-dari-dukungan-sosial/ ( 20 Juni 2010 )
Grotberg. (1994). A guide to promoting resilience in children: Strengthening the Human Spirit.Denhaag
Grotberg, E. H. (1999). Taping your inner strenght : How to Find the Resilience to Deal withAnything. Oakland, CA : New Harbinger Publication Inc
Heru Basuki, A.M. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta:Universitas Gunadarma
Isaacson B. Characteristics and Enhancement of Resilency in Young People. University ofWinconsin Stout (August, 2002)
Johnson, E. M. (1995). Cara menghindari AIDS. Alih Bahasa: Asih, Y. G. Jakarta: Arcan
![Page 17: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/17.jpg)
Kartono. K. (1980). Pengantar metodologi research sosial. Bandung: Penerbit Alumni
Kidder, L. H. and C. M. Judd. 1986. Research methods in social relations. Holt, ReinhartandWinston, Inc. The Dryden Press, Orlando, Florida, USA
Kusnandar, H. (2001). Menanggulangi bahaya penyakit menular seksual. Edisi 1. Bandung: CV.Pioner Jaya Bandung
Moleong, L. (2004). Metodologi gabungan kuantitatif / kualitatif dan analisis data. Jakarta:Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Moleong, L. (2005). Metodologi penelitian kualitatif (ed,revisi). Bandung: PT RemajaRosdakarya
Morgan, D., Mahe, C., Mayanja, B., Okongo, J. M., Lubega, R. and Whitworth, J. A. (2002)."HIV-1 infection in rural Africa: is there a difference in median time to AIDS andsurvival compared with that in industrialized countries?". AIDS 16 (4): 597–632
Narbuko, C, & Achmadi, A. (2003). Metode penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara
Nasution, S. (1996). Metode research (1st ed). Jakarta: PT Bumi Aksara
Nawawi, H. (2003). Metodologi penelitian bidang sosial. Yogyakarta: Penerbit Gadjah MadaUniversity Press
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Depok: Lembagapengembangan sarana pengukuran dan pendidikan psikologi Universitas Indonesia
Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Depok: LembagaPengembangan sarana pengukuran dan pendidikan psikologi Universitas Indonesia
Poerwadarminta. (1982). Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta : Balai Pustaka
Prawirohartono, S. (1996). Sains biologi – 3b. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Reivich, K & Shatte, A. 2002. The Resilience Factor ; 7 Essential Skill For Overcoming Life’sInevitable Obstacle. New York, Broadway Books
Richardson, D. (2002). Perempuan dan AIDS. Yogyakarta: Med Press
Sabrawi, K, Maclaren. 1996. 11 langkah memahami AIDS, LP3Y, Yogyakarta
Sarafino, Edward P. (2006). Health Psychology. USA: Copyright Clearance Center. inc.
Sasangka, Hari. (2003). Narkotika Psikotropika dalam Hukum Pidana. Bandung: Mandar MajuSchoon, Ingrid. (2006). Risk and Resilience. New York: Cambridge University Press.
Sugiyono, (2007), Memahami penelitian kualitatif; Bandung; Alfabeta
![Page 18: 10505264](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081811/55cf93f7550346f57b9eec86/html5/thumbnails/18.jpg)
Supramono, Gatot. (2004). Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta: Djambatan
Tugade, M. M, & Fredrickson, B. L. (2004). Resilient individuals use positive emotions tobounce back from negative emotional experiences. Journal of Personality and SocialPsycgology, 86.320-333
Vrisab, R. (2001). Menanggulangi bahaya penyakit menular seksual. Edisi 3. Bandung: CV.Pioner Jaya Bandung
Wartono, H. JH. 1990. AIDS/HIV dikenal untuk dihindari. Jakarta: Lembaga PengembanganInformasi Indonesia (LEPIN)
Wikipedia. 2009. AIDS. http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS (20 Juni 2010)
Wikipedia. 2008. Resiliensi : http://id.wikipedia.org/wiki/Resiliensi (20 Juni 2010)
Willy, Heriadi. (2005). Berantas Narkoba Tak Cukup Hanya Bicara: Tanya Jawab & Opini.Jakarta: UII Press
Wolin, S, & Wolin, S. (1999). Projeck resilience avaliable.http://www.Projectresilience.com/resasbehavior.htm (20 Juni 2010)
Yin, R. K. (2004). Studi Kasus : daerah & metode. Jakarta. Rajawali: Pers