Pharmacology of Drug in Management Airway
TJOKORDA G. A. SENAPATHI
Department Anesthesiology and Intensive Care, Sanglah General Hospital,
University of Udayana, Denpasar
Abstrak
Intubasi trakea dapat menyelamatkan nyawa yang disebabkan oleh obstruksi jalan
napas atas, dengan jalan mengamankan jalan napas dari aspirasi, memastikan napas paten
untuk ventilasi kendali, memungkinkan dilanjutkan dengan intervensi-ventilasi pada
akhirnya memungkinkan kontrol pO2 dan pCO2, pengurangan beban kerja pernapasan
dan kebutuhan oksigen, pengurangan kerja jantung, pengurangan dan pengendalian
tekanan intrakranial.
Metode intubasi endotrakeal perlu obat-obatan seperti atropin, lidokain, opioid
(fentanil, pethidin, morfin), sedatif (diazepam, midazolam), anestesi inhalasi, pelumpuh
otot (NMBA) golongan depolar: suxamethonium; nondepolar: rokuronium, vekuronium,
atrakurium.
Lidokain dapat menekan refleks batuk, laringospasme & bronkospasme.
Opioid: Fentanil sebagai premedikasi diberikan 3 mcg / kgbb; 30-60 detik
sebelum laringoskopi; dapat menurunkan respon simpatik khusus pada penyakit arteri
koroner, aneurisma, tekanan intrakranial yang meningkat.
Sedasi dan obat induksi dengan efek menekan kesadaran, arnnesik-analgesik
seperti sodium thiopental (pentothal), benzodiazepin (Midazolam), propofol, etomidate,
ketamine.
Obat pelumpuh otot hanya dapat diberikan jika anda yakin dapat mengelola jalan
napas. Obat pelumpuh otot golongan depolarisasi seperti suksinilkolin dan golongan non
depolarisasi seperti pankuronium 0,08 mg / kgbb, vekuronium 0,1 mg / kgbb, rokuronium
0,6 mg / kgbb (aminosteroid), atrakurium 0,4 mg / kgbb, mivakurium
(benzilisoquinolinum).
Kata Kunci : Farmakologi, Obat,Manajement Jalan Nafas
1
Fentanyl
Fentanyl merupakan derivat agonis opioid sintetis fenil piperidine yang strukturnya
berasal dari meperidin. Sebagai analgesik, fentanyl lebih poten 75-125 kali dibanding
morfin.
Farmakokinetik
Dosis tunggal fentanyl yang diberikan secara intravena memiliki onset yang lebih
cepat dan durasi aksi yang pendek dibanding morfin. Meskipun kesan klinis bahwa
fentanyl menghasilkan onset cepat, jeda waktu yang berbeda terjadi antara konsentrasi
fentanyl plasma puncak dan puncak perlambatan pada EEG (effect-site equilibration time
antara darah dan otak). Saat dosis intravena multipel diberikan, atau diberikan infus
kontinyu, terjadi saturasi progresif pada jaringan yang inaktif. Sehingga plasma
konsentrasi fentanyl tidak turun secara cepat, dan durasi analgesianya dapat memanjang,
begitu juga dengan efek depresi ventilasinya.
Metabolisme
Norfentanyl secara struktur mirip normoperidin dan merupakan metabolit utama
fentanyl pada manusia. Aktifitas farmakologinya diperkirakan minimal.
Waktu Paruh Context-sensitive
Karena durasi infus kontinyu fentanyl meningkat diatas 2 jam, waktu paruh context-
sensitif opioid ini menjadi lebih besar dibanding sufentanyl. Hal ini menggambarkan
saturasi fentanyl pada jaringan inaktif selama pemanjangan waktu penginfusan dan
kembalnya opioid dari perifer ke plasma.
Bypass Kardiopulmoner
Semua opioid menunjukkan penurunan konsentrasi plasma dengan adanya bypass
kardiopumoner.
Kegunaan Klinis
Dosis rendah fentanyl, 1-2 µg/kg IV, diinjeksikan untuk mendapatkan analgesia.
Fentanyl 2-20 µg/kg IV, dapat diberikan sebagai adjuvan anestesi inhalasi untuk
mengaburkan respon sirkulasi pada (a) laringoskopi direk untuk intubasi endotrakhea,
atau (b) perubahan mendadak karena stumulasi bedah. Penentuan waktu ijeksi fentanyl
intravena untuk mencegah atau memperbaiki respon harus berdasarkan waktu effect-site
equiibration, dimana fentanyl lebih lama daripada alfentanil dan remifentanil. Dosis
tinggi fentanyl, 50-150 µg/kg IV, telah digunakan tunggal untuk memproduksi anestesi
dalam pembedahan. Dosis tinggi tunggal fentanyl memiliki keuntungan hemodinamik
yang stabil karena (a) rendahnya efek depresi miokard, (b) tidak adanya histamin release,
(c)supressi stress respon terhadap pembedahan. Fentanyl dapat diberikan melaluri
preparat transmukosa (fentanyl oral transmukosa) bentuk desain khusus untuk
memberikan 5-20 µg/kg fentanyl. Sistem fentanyl transdermal diberikan sebelu induksi
anestesi dan habis dalam 24 jam, menurunkan keperluan opioid parentral untuk analgesia
postoperasi.
Efek samping
Efek samping fentanyl mirip dengan opioid
Efek kardiovaskuler
2
Jika dibandingkan dengan morfin, fentanyl, bahkan dalam dosis tinggi (50 µg/kg IV),
tidak menimbulkan pelepasan histamin. Bradikardi lebih sering pada fentanyl daripada
morfin dan dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan kardiak output yang
ocasional.
Aktifitas seizure
Jika tidak didapatkan aktifitas kejang pada EEG, sangat sulit untuk membedakan
kekakuan otot rangka atau mioklonik karena opioid dari aktifitas seizure.
Tekanan Intrakranial
Pemberian fentanyl dan sufentanil pada pasien cedera kepala diketahui meningkatkan
TIK sebesar 6-9 mHg, meskipun tidak merubah PaCO2. Peningkatan TIK ini terjadi
bersamaan dengan penurunan mean arterial pressure dan cerebral perfusion pressure.
Interaksi obat
Konsentrasi analgesik fentanyl berpotensiasi sangat besar dengan efek midazolam dan
menurunkan kebutuhan dosis propofol. Kombinasi opioid dan benzodiazepin
memberikan sinergisme dalam hipnosis dan depresi ventilasi.
Propofol
Propofol adalah modulator selektif reseptor GABA yang merupakan
neurotransmiter inhibitor utama di sistem saraf pusat. Saat reseptor GABA diaktifkan
akan terjadi peningkatan konduksi klorida transmembran sehingga terjadi hiperpolarisasi
membran sel post-sinap dan inhibisi fungsi neuron post-sinap. Interaksi antara propofol
dengan reseptor GABA menurunkan kecepatan disosiasi neurotransmiter inhibisi
(GABA) dari reseptornya sehingga memperpanjang efek GABA.
Struktur Bangun dan Karakteristik Propofol Propofol adalah bagian dari grup alkylphenol yang memiliki kemampuan
hipnotik pada binatang coba. Propofol (2,6-diisophropyl-phenol) terdiri dari cincin
phenol dengan dua gugus isoprophyl. Karakteristik potensi, kecepatan induksi dan waktu
pemulihan sangat dipengaruhi oleh panjangnya rantai alkilphenol ini. Propofol tidak larut
dalam air tetapi merupakan suatu emulsi minyak dan air. Alkylphenol menjadi minyak
dalam temperatur kamar dan tidak larut dalam larutan air, namun propofol sangat larut
lemak. Formulasi yang ada sekarang mengandung 1% propofol, 10% soy bean oil
(minyak kedelai), 2,25% glycerol (gliserol), dan 1,2% egg fosfatide (fosfatida telur
murni) atau lecitin telur (kuning telur). Pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap
telur belum tentu akan alergi terhadap propofol karena kebanyakan reaksi alergi telur
disebabkan oleh bagian putih telur, sedangkan lecitin telur berasal dari ekstraksi kuning
telur. Keburukan propofol yang dirasakan oleh pasien adalah nyeri yang timbul saat
penyuntikan oleh karena formula yang beredar memiliki keasaman pH sekitar 7.
Formula propofol di atas sangat mudah menjadi media tumbuh bakteri, sehingga tehnik
seril sangat diperlukan dalam penggunaan propofol dan sebaiknya tidak melebihi 6 jam
dari saat pertama kali mebuka ampul obat.Saat ini propofol sudah mengandung 0,005%
disodium edetate atau 0,025% sodium metabisulfite untuk mengurangi pertumbuhan
mikroorganisme walaupun hal ini belumlah memenuhi standar pharmacopie Amerika
Serikat. Semua formula yang tersedia secara komersial stabil pada suhu kamar dan tidak
3
sensitif terhadap cahaya. Jika diperlukan dalam konsentrasi yang lebih rendah dalam
larutan, sebaiknya dilarutkan dalam dextrose 5% air (D5W) secara teori larutan ini akan
mengakibatkan sedikit perubahan pada farmakokinetik, pemecahan emulsi, degradasi
spontan propofol dan kemungkian perubahan efek farmakologi.
Farmakokinetik Propofol
a. Absorpsi
Sediaan propofol di pasaran sebagai induksi anestesi hanya untuk penggunaan
intravena saja dan memberikan efek sedasi sedang sampai berat.
b. Distribusi
Tingginya tingkat kelarutan propofol dalam lemak menyebabkan onset kerja cepat.
Waktu yang diperlukan dari saat pertama kali diberikan bolus sampai pasien terbangun
(waktu paruh) sangat singkat yaitu 2-8 menit. Waktu paruh eliminasi sekitar 30-60 menit
(Katzung, 2004). Banyak peneliti yang mempunyai pendapat yang sama bahwa waktu
pemulihan propofol lebih cepat dan kurangnya perasaan seperti mabuk dibandingkan obat
lain (methohexital, thiopental atau etomidate). Hal ini menyebabkan propofol menjadi
pilihan untuk anestesi rawat jalan (one day care). Sehubungan dengan volume distribusi
yang lebih rendah pada orang dewasa maka kebutuhan dosis induksi lebih rendah dan
perempuan memerlukan dosis yang lebih besar dibanding laki-laki juga waktu bangun
pada perempuan lebih cepat. Farmakokinetik propofol digambarkan sebagai model 3
kompartemen, dimana pada pemberian bolus propofol, kadar propofol dalam darah akan
menurun dengan cepat akibat adanya redistribusi dan eliminasi. Waktu paruh distribusi
awal dari propofol adalah 2-8 menit. Pada model tiga kompartemen waktu paruh
distribusi awal adalah 1-8 menit, yang lambat 30-70 menit dan waktu paruh eliminasi 4-
23,5 jam. Waktu paruh yang panjang diakibatkan oleh karena adanya kompartemen
dengan perfusi terbatas. Context sensitive half time untuk infus propofol sampai 8 jam
adalah 40 menit. Propofol mengalami distribusi yang cepat dan luas juga dimetabolisme
dengan cepat.
Waktu yang diperlukan untuk bangun dari anestesi atau sedasi dari propofol hanya 50%,
sehingga waktu pulih sadar dari propofol tetap cepat meskipun pada infus kontinyu yang
lama.46
c. Biotransformasi
Tingginya tingkat bersihan (clearence) propofol di hepar (hampir 10 kali lipat
dibanding tiopental) menyebabkan cepatnya waktu pemulihan setelah pemberian infus
kontinyu.46
d. Ekskresi
Walaupun metabolisme propofol utamanya diekskresikan melalui ginjal, tetapi
penurunan fungsi ginjal tidak mempengaruhi bersihan propofol.
4
Farmakodinamik Propofol
a. Susunan Saraf Pusat
Mekanisme kerja dari propofol adalah dengan meningkatkan aliran γ-aminobutyric
acid (GABA)-induced chloride melalui ikatan pada subunit β dari reseptor GABA.
Propofol melalui aksinya pada reseptor GABA di hipokampus menghambat pelepasan
asetilkolin di hipokampus dan korteks prefrontal. Sistem α2-adrenoreseptor juga
tampaknya memainkan peran tidak langsung dalam efek penenang propofol. Propofol
juga bekerja pada penghambatan dari subtipe N-metil-D-aspartat (NMDA) dari reseptor
glutamat melalui modulasi kanal sodium, sehingga menyebabkan efek pada sistem saraf
pusat (SSP). Propofol tidak memiliki komponen analgetik. Dua efek menguntungkan
propofol adalah efek antiemetik dan rasa nyaman pada pasien. Propofol meningkatkan
konsentrasi dopamin di nucleus accumbens. Efek antiemetik propofol dapat dijelaskan
dengan penurunan kadar serotonin yang dihasilkan dalam daerah postrema, yang
mungkin disebabkan karena penghambatan GABA. Permulaan hipnosis setelah
pemberian dosis 2,5 mg/kg BB sangat cepat (arm-brain circulation time), dengan efek
puncak terlihat pada 90 sampai 100 detik. Dosis efektif median (ED 50) propofol untuk
hilangnya reflek mata adalah 1 sampai 1,5 mg/kgBB setelah bolus. Durasi hipnosis
adalah tergantung dosis, antara 5 sampai 10 menit setelah 2 sampai 2,5 mg/kgBB bolus
propofol. Efek propofol pada EEG yang dinilai setelah pemberian 2,5 mg/kgBB diikuti
dengan pemberian kontinyu menunjukkan peningkatan awal dalam irama alfa diikuti
dengan pergeseran ke gamma dan frekuensi theta. Pada pemberian pemberian propofol
dari dosis 3µg /mL ke dosis 8 µg/mL awalnya amplitudo akan meningkat dan diikuti
penurunan amplitudo yang nyata bila diberikan lebih dari 8 µg/mL. Konsentrasi propofol
di mana 50% dari orang coba gagal menanggapi perintah lisan adalah pada dosis
2,5µg/mL. Kejang (gerakan involunter) setelah pemberian propofol telah dilaporkan,
terutama pada induksi, jarang selama operasi berlangsung dan kadang-kadang paska
operasi. Opistotonus juga pernah dilaporkan karena pemberian propofol. Rasa nyaman,
fantasi sexual dan halusinasi merupakan efek sentral yang menyenangkan karena
propofol. Dosis propofol menjadi lebih rendah jika dikombinasikan dengan obat lain.
Konsentrasi propofol (jika dikombinasikan dengan Nitric Acid 66%) diperlukan selama
operasi adalah 1,5-4,5 µg/ mL,dan konsentrasi untuk operasi besar adalah 2,5-6 µg/
mL.10,11
b. Kardiovaskular
Efek utama propofol pada sistim kardiovaskular adalah menurunkan tekanan darah
dengan cara menurunkan systemic vascular resistance (SVR) yaitu dengan menghambat
aktivitas vasokonstriktor oleh sistim simpatis, menurunkan kontraktilitas otot jantung,
dan menurunkan preload. Kejadian hipotensi pada pemberian propofol lebih sering
terjadi dibandingkan dengan tiopental tetapi biasanya akan dihilangkan akibat perlakuan
saat laringoskopi intubasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian hipotensi adalah
besarnya dosis, kecepatan injeksi dan umur tua. Efek kardiovaskular propofol telah
dievaluasi setelah penggunaannya untuk induksi dan pemeliharaan anestesi. Efek yang
paling menonjol propofol adalah penurunan tekanan darah arteri selama induksi anestesi.
Terlepas dari adanya penyakit kardiovaskular, dosis induksi 2 sampai 2,5 mg/kg
menghasilkan penurunan 25% sampai 40% dari tekanan darah sistolik, perubahan serupa
terlihat pada tekanan darah rata-rata dan diastolik. Penurunan tekanan arteri dikaitkan
dengan penurunan curah jantung kurang lebih 15%, indek volume sekuncup kurang lebiih
5
20%, dan tahanan vaskular sistemik 15% sampai 25%. Dalam tinjauan retrospektif
terhadap 2406 pasien, Reich menunjukkan bahwa 9% dari pasien mengalami hipotensi
berat, 0 sampai 10 menit setelah induksi anestesi umum. Prediktor signifikan secara
statistik multivarian hipotensi 0 sampai 10 menit setelah induksi anestesi termasuk status
fisik ASA kelas III dengan V, dengan dasar TAR kurang dari 70 mmHg, usia 50 tahun
atau lebih, menggunakan propofol dan fentanil untuk induksi anestesi. Kombinasi
propofol dengan fentanil adalah stimulus utama yang ampuh untuk hipotensi. Selama
pemeliharaan anestesi dengan infus propofol, tekanan darah sistolik arteri juga menurun
menjadi 20% sampai 30%. Pada pemberian dosis pemeliharaan propofol 100
µg/kgBB/menit terjadi penurunan yang signifikan dalam resistensi pembuluh darah
sistemik (30%), tetapi curah jantung dan volume sekuncup tidak berubah. Efek
penekanan pada pembuluh darah (vasodilatasi), konsumsi oksigen dan penekanan pada
otot jantung jauh lebih jelas terjadi pada saat induksi dibandingkan pada pemeliharaan
anestesi. Efek lain Propofol adalah tidak meningkatkan blokade neuromuskuler yang
dihasilkan oleh obat pelumpuh otot.
c. Respirasi
Apnea bisa terjadi setelah pemberian dosis induksi propofol, kejadian dan lamanya
apnea bergantung pada dosis, kecepatan injeksi, dan premedikasi yang diberikan
sebelumnya. Sebesar 25% sampai 30% pasien mengalami apnea selama induksi propofol.
Durasi apnea terjadi akibat propofol dapat diperpanjang hingga lebih dari 30 detik,
namun kejadian apnea yang berkepanjangan (> 30 detik) meningkat lebih lanjut dengan
penambahan opiat, baik sebagai premedikasi atau sebelum induksi anestesi. Kejadian
apnea dengan propofol lebih sering dibandingkan dengan anestesi IV umum lainnya yang
digunakan untuk induksi. Permulaan apnea biasanya didahului dengan pengurangan
volume napas ditandai pasang surut dan takipnea. Infus pemeliharaan propofol (100 µg/
kgBB/menit) menghasilkan penurunan 40% pada tidal volume dan peningkatan 20%
pada frekuensi pernapasan, dengan perubahan tak terduga dalam ventilasi semenit.
Menggandakan laju infus dari 100 ke 200 mcg/kgBB/menit menyebabkan penurunan
lebih lanjut volume tidal (455-380 mL), tetapi tidak ada perubahan dalam frekuensi
pernapasan. Selama infus pemeliharaan propofol (54 µg/kgBB/menit), PaCO2 cukup
meningkat 39-52 mmHg. Penggandaan laju infus tidak mengakibatkan peningkatan lebih
lanjut dalam PaCO2. Propofol (50-120 µg/kgBB/menit) juga menekan respon ventilasi
terhadap hipoksia, akibat kerja langsung pada kemoreseptor badan karotid.Propofol
menyebabkan bronkodilatasi pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis. Dalam
model hewan percobaan dengan endotoksemia septik, propofol (10 mg/ kgBB/ jam)
secara nyata mengurangi mediasi radikal bebas dan katalis siklooksigenase peroksidasi
lemak. Manfaat ini belum dikonfirmasi pada manusia. Propofol pada konsentrasi
terapeutik juga melindungi makrofag tikus dari nitrat oksida-induced apoptosis.
Efek Samping Propofol
Induksi anestesia menggunakan propofol dapat mengakibatkan beberapa efek
samping, antara lain nyeri saat injeksi, mioklonus, apneu, penurunan tekanan darah arteri
dan walaupun jarang terjadi, tromboplebitis pada vena tempat propofol diinjeksikan
(Simon, 2001). Mioklonus terjadi lebih sering pada propofol dibandingkan dengan
tiopental, tetapi lebih jarang dibandingkan dengan etomidat dan metohexital. Apneu
setelah pemberian propofol biasa terjadi. Insiden apneu sama dengan setelah pemberian
6
thiopental dan metohexital, walaupun insiden apneu lebih dari 30 detik lebih tinggi pada
propofol. Penurunan tekanan darah sistemik adalah efek samping yang paling penting
saat induksi propofol. Mungkin injeksi perlahan dan dosis yang lebih kecil, pada pasien
yang sudah direhidrasi adekuat akan mencegah turunnya tekanan darah sistemik.
Sebaliknya, efek laringoskopi dan intubasi endotrakeal serta peningkatan MAP, frekuensi
nadi dan SVR secara bermakna lebih rendah pada pemberian propofol daripada tiopental.
Efek propofol yang paling menonjol adalah menurunkan tekanan darah arterial selama
induksi anestesia. Dosis induksi 2,0-2,5 mg/kg berat badan menghasilkan penurunan
tekanan darah sistolik 25-40%. Perubahan serupa juga terlihat pada tekanan darah
diastolik. Biasanya insiden hipotensi akibat pemberian propofol ini berlangsung selama
5-10 menit pertama setelah induksi. Propofol dianggap menghambat barorefleks sehingga
menurunkan respon takikardi terhadap hipotensi. Propofol dapat mengurangi aktifitas
saraf simpatis lebih besar daripada saraf parasimpatis, sehingga parasimpatis lebih
dominan dan dapat menyebabkan bradikardi maupun asistol pada induksi
anesthesia.(Simon,2001). Nyeri saat injeksi lebih ringan atau sama dengan etomidat,
sama dengan metohexital dan lebih berat dari tiopental. Nyeri saat injeksi dapat dikurangi
dengan cara injeksi pada vena yang lebih besar, menghindari injeksi pada vena di dorsum
manus dan menambahkan lidokain pada larutan propofol. Mekanisme terjadinya nyeri
yang disebabkan oleh penyuntikan propofol sampai saat ini belum jelas karena propofol
tersedia dalam larutan steril, nonpirogenik, isotonis dengan pH = 7,0. Klemen dan Arnold
telah membuktikan bahwa penyuntikan dengan larutan yang mempunyai pH < 4 atau pH
>11 dapat menyebabkan nyeri.
Kontra Indikasi Propofol Propofol dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi propofol dan
putih susu. Pasien dengan kelainan jantung yang diberikan obat propofol, harus dimonitor
secara ketat hemodinamik maupun respirasinya, serta pemberian propofol dititrasi sesuai
respon kardiovaskular pasien.11
Propofol Related Infusion Syndrome (PRIS)
Propofol related infusion syndrome (PRIS) adalah merupakan kumpulan gejala
yang timbul yang dihubungkan dengan pemberian propofol. Istilah ini diperkenalkan
pertama kali tahun 1992. Kumpulan gejala tersebut adalah bradiaritmia, asidosis
metabolik, gagal jantung progresif dan angka kematian sangat tinggi. Seiring dengan
waktu, pengertian PRIS berkembang meliputi gejala rabdomiolisis, hiperkalemia,
hiperlipidemia, kelainan fungsi ginjal progresif dan kelainan yang khas pada gambaran
elektrokardiogram pada lead prekordial kanan berupa gambaran Brugada. Pada penelitian
Wysowski dan Pollock, 2006, dari 68 orang dewasa yang didapatkan gejala PRIS yang
meninggal setelah pemberian propofol nonprosedural untuk tujuan sedasi didapatkan
rata-rata penggunaan propofol lebih dari 90 µg/KgBB/menit dan rata-rata waktu
pemberian 4,4 hari. Walaupun sampai saat ini penyebab mengapa propofol dapat
menyebabkan terjadinya PRIS belum diketahui secara pasti tetapi diperkirakan propofol
bisa menjadi penyebab terjadinya kerusakan rantai respirasi mitokondria sehingga
produksi ATP menurun dan terjadinya keadaan hipoksia tingkat seluler di jaringan
jantung dan otot. Pada pemeriksaan biopsi otot dan analisa metabolisme lemak pada
pasien PRIS didapatkan kerusakan sel mitokondria dan gangguan metabolism acyl-
7
carnitine akibat hambatan oksidasi beta. Akibat terjadinya penumpukan asam lemak
bebas dapat menyebabkan gangguan fungsi jantung. Faktor resiko lain yang dapat
menyebabkan PRIS adalah: keadaan stress metabolik, kebutuhan energi yang tinggi
misalnya pada penyakit kritis, trauma berat, trauma otak yang berat, sepsis, simpanan
karbohidrat yang rendah (pada anak-anak) dan pada keadaan kadar lemak darah yang
tinggi (dihubungkan dengan kemampuan larut propofol dalam lemak). Pencegahan
terjadinya PRIS ditujukan pada faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya PRIS.
Mengurangi kadar lemak dalam tubuh (kolesterol dan trigeliserida), meningkatkan
metabolism lemak dan meningkatkan sirkulasi asam lemak bebas. Teorinya adalah
dengan pemberian karbohidrat 6-8 mg/KgBB/menit sebelum pemberian propofol dapat
menekan metabolisme lemak sehingga diharapkan menekan kejadian PRIS. Mengurangi
pemberian dosis propofol < 5 mg/kgBB/menit dan durasi pemberian < 48 jam juga
diharapkan mengurangi kejadian PRIS. Penatalaksaan PRIS sangat ditentukan oleh
cepatnya diagnosa PRIS. Penghentian pemberian propofol sesegera mungkin dan
pemberian kombinasi vasopresor dan inotropik. Pemasangan alat pacu jantung dapat
dipertimbangkan. Hemodialisis dan hemofiltrasi dilakukan untuk mengurangi kadar
propofol dalam plasma juga dilaporkan sukses pada beberapa kasus. Penatalaksanaan lain
adalah dengan penggunaan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) juga sukses
pada beberapa kasus. Selain PRIS pada pemberian propofol dengan konsentrasi di dalam
plasma lebih dari 20 µg/ml akan dapat menyebabkan adanya kejadian glutamate
excitotoxicity yang berperanan sangat penting dalam terjadinya iskemia dan rusaknya sel
saraf di otak. Hal ini juga yang menyebabkan terjadinya patologi epilepsi dan trauma
otak.
Sedatif: Diazepam; midazolam
PREMEDIKASI
Sesuai dengan tujuan preanestesi yaitu untuk mengurangi rasa cemas dan rasa takut
di gunakan prosedur dengan menggunakan benzodiazepin. Golongan ini sangat efektif
pada pasien dengan rasa tukut atau rasa cemas neuronal dan dapat diberikan secara oral
maupun secara parenteral (maladaptif, rasa cemas patologik).Derivat dengan kemampuan
larut dalam lemak yang tinggi hampir seluruhnya diabsorpsi sempurna dan cepat setelah
intake oral, dan efek yang ditimbulkan dapat diamati dalam 30-60 menit. Untuk kontrol
yang cepat pada keadaan panik, diazepam, chlordiazepoxide, flunitrazepam, dan
midazolam, yang digunakan secara intravena, sangat bermanfaat.
EFEK FISIOLOGIS
Setidaknya, terdapat lima efek yang nyata terhadap kebiasaan manusia. Anti cemas,
hipnotik sedatif, amnesia, relaksan otot (mediasi sentral), dan anti konvulsi.
8
Anti Cemas
Rasa cemas sering timbul pada pasien sebelum tindakan anestesi dan pembedahan. Efek
ini sering timbul pada pasien dengan tingkat yang bervariasi, namun sangat signifikan
pada pasien dengan tipe kepribadian cemas dengan tingkat kecemasan berkisar 40-60 %.
Ada beberapa keuntungan dari penurunan cemas, induksi dari zat anestesi akan lebih
mudah, dan penggunaan dosis zat anestesi berkurang serta tampak penurunan respon
stress dimana terjadi penghambatan terhadap pelepasan katekolamin dan steroid.
Minimalisasi efek cemas dimaksudkan untuk mengurangi rasa sakit setelah tindakan
anestesi dan pembedahan.
Penggunaan obat penenang sangat baik untuk mengurangi rasa takut dan rasa cemas,
dimana pada keadaan ini golongan benzodiazepin sangat akan efektif. Dalam hal ini,
golongan benzodiazepin lebih berguna dibandingkan golongan barbiturat.
Lorazepam, diazepam, midazolam, dan oxazepam oral memberikan penyembuhan yang
baik dari rasa cemas pada orang dewasa. Pada anak-anak golongan barbiturat merupakan
anti cemas yang lebih baik.
Sedasi
Singkatnya, pada golongan benzodiazepin, efek sedasi yang muncul merupakan
konsekuensi dari berkurangnya rasa cemas. Dosis yang lebih besar dari dosis yang biasa
digunakan dapat meningkatakan efek sedasi, namun efek ini tidak berkurang pada
penggunaan jangka panjang. Kualitas tidur pada malam hari akibat penggunaan
benzodiazepin oral telah dianalisa. Flunitrazepam, lorazepam dan midazolam
menyebabkan efek tidur yang baik pada 90 % pasien dengan dosis oral 2.0, 2.5,3.0 mg.
Hal ini juga sama dengan efek sedatif klasik barbiturat dan efeknya lebih baik dari anti
histamin. Tidak seperti barbiturat, obat ini biasanya tidak menekan kecepatan pergerakan
dari bola mata (REM) pada waktu tidur dan secara keseluruhan kurang berhubungan.
Bagaimanapun, flunitrazepam (30 mg) berhubungan dengan penurunan REM.
Benzodiazepin kerja pendek memiliki efek hipnotik sedatif yang bagus. Temazepam,
dengan efek terapi 5-10 jam merupakan pilihan utama sedasi malam hari. Efek triazolam
yang sangat cepat, menghasilkan efek sedasi yang sangat bagus selama 5 jam dan sedikit
berkurang pada tindakan bedah di pagi hari.
Benzodiazepin bermanfaat pada penyembuhan gangguan tidur dan penyakit insomnia,
utamanya pada pecandu. Flurazepam dan perphenazine dalam hal ini sangat sempurna.
Juga efektif secara berturut-turut pada chloral hidrat > chlorpromazine >
diphenhydramine.
Efek Amnesia
Efek amnesia sangat signifikan bila dibandingkan dengan scopolamin. Pada penggunaan
10 dan 20 mg diazepam oral, menunjukkan efek yang tergantung pada dosis. 10 mg
menyebabkan amnesia dalam 120 menit sedangkan 20 mg menyebabkan amnesia seperti
pada saat operasi. Pada anak-anak, dua jadwal pemberian dosis diazepam yang telah
digunakan, dimodifikasi kembali : 0,25 atau 0,5 mg/kg sebagai sirup oral. Dosis lain
9
tergantung pada tingkat amnesia dan eliminasi kembali. Tidak ada ketentuan hubungan
antara level plasma dengan jawaban di atas. Lorazepam pada penggunaan oral tampak
sebagai derivat yang sangat poten, menyebabkan amnesia yang panjang. Onsetnya
lambat, namun disertai sedasi dan amnesia antegrade superior.
Relaksan Otot
Efek ini pertama kali ditemukan oleh Randall dan tampak selektif. Efek ini merupakan
mediasi sentral dan merupakan efek yang independen dibandingkan efek perifer.
Efek Lain
Efek penting lainnya yang telah ditemukan : anti emetik yang baik, telah diteliti
perpanjangan dari blok neuromuskular tubokurarin, tidak tampak efek analgesia
tersendiri, namun tampak potensiasi dari efek analgesia narkotik. Penurunan dalam
kortisol plasma telah dilaporkan bersama dengan golongan benzodiazepin.
PERBEDAAN KLINIK
Semua golongan benzodiazepin memiliki persamaan farmakologis. Perbedaan klinis
dalam potensi bersifat kuantitatif dan berhubungan dengan farmakokinetik individual
dalam hal absorpsi, distribusi dan metabolisme. Semua golongan obat ini memiliki ciri
umum seperti anti cemas, sedasi, efek hipnotik, dan anti konvulsi dengan peningkatan
dosis dan konsentrasinya pada otak.
Perbedaan farmakologik yang tidak begitu nyata pada variasi derivat benzodiazepin telah
dirangkum oleh Kanto (tabel 30-4 ). Disamping efek anti cemas dan anti insomnia,
golongan ini memiliki efek relaksasi otot yang dihubungkan ke aksi upper motor neuron
sentral. Diazepam efektif dalam mengurangi spastisitas dan atetosis pada cerebral palsy.
PILIHAN PADA GOLONGAN BENZODIAZEPIN
Golongan benzodiazepin memiliki gambaran dinamika yang hampir sama, dengan
berbagai perbedaan yang tidak begitu nyata dalam hal efek pada elemen sifatnya.
Sebagian besar proses pemilihan berhubungan dengan perbedaan yang besar dalam
farmakokinetik dan salah satu klasifikasi signifikan dari obat tersebut di dasari oleh lama
kerjanya. Pada tindakan anestesi, telah dipilih empat golongan benzodiazepin yang
digunakan untuk injeksi.
Midazolam
Merupakan golongan benzodiazepin yang paling sering digunakan untuk operasi. Tidak
sama dengan diazepam, obat ini dapat larut dalam air. Secara kimia, merupakan derivat
imidazo-benzodiazepin. Nitrogen pada cincin imidazol memberikan dasar yang kuat pada
molekul dan kemampuan untuk larut dalam air yang besar. Hal ini tampak pada pH dan
pada kondisi dimana pH menjadi rendah, cincin imidazol sebaliknya terbuka. Sediaan
midazolam maleat yang diperdagangkan berasal dari garam klorida yang dapat larut
dalam lemak secara bebas dan dapat di sangga sampai pH 3,5 dan stabilitas dari
midazolam encer dapat dipertahankan. Bagai manapun, pada saat nilai pH tinggi dan pH
plasma 7,4, cincin akan tertutup, yang kemudian membuat peningkatan derajat kelarutan
10
dalam lemak. Cincin yang tertutup merupakan struktur yang efektif, dan prosesnya
berkisar 5-10 menit untuk dapat tertutup sempurna
Penggunaan ٭
Penggunaan secara oral dari midazolam merupakan cara yang paling afektif untuk
menimbulkan tidur pada bayi dan anak-anak. Obat ini ini diberikan melalui pemberian
parenteral (5 mg/ml) yang sama dengan volume sirup coklat-cerry atau sama dengan
sirup biasa NF dengan rasa peppermint. 38
Bentuk sediaan yang enak, dapat diterima oleh
hampir semua anak-anak merupakan bentuk larutan seperti sediaan parenteral midazolam
15 ml (5,0 mg/ml) ditambahkan 14,5 ml sirup sederhana NF dicampur dengan 0,5 ml
minyak peppermint dengan konsentrasi akhir 2,5 mg/ml midazolam.
Larutan dengan konsentrasi yang lebih dapat dibuat serupa seperti pada 3.0 mg /ml
midazolam. Dimana larutan ini dapat bertahan sampai 14 hari dalam botol kaca berwarna
pada suhu kamar. 39
Dosis 0.5, 0.75, dan 1.0 mg/kg berat badan telah diketahui dapat menyebabkan efek
sedasi dan anti cemas dalam waktu 15 menit. Untuk anak-anak yang berumur 1-6 tahun,
dosis oral 0.5 mg/kg (5,0 sampai 15 ml solusi) perbedaan efek pada anak-anak dibanding
orang dewasa lebih cepat 10 menit. Satu yang dapat diharapkan pada penggunaan dalam
dosis yang besar untuk anak yang lebih sehat dan pasien dengan usia tua dan untuk
menghasilkan efek sedasi yang cepat dengan dosis di atas 1.0 mg/kg. Absorpsi relatif
lebih cepat, dan efek sedasi tampak dalam 15 menit dan efek puncak sekitar 30 menit.
Metabolisme pertama yang luas pada hati berperan penting dalam bioavailabilitas sekitar
50 % dari dosis.
Intra Muskuler ٭
Karena obat ini dapat larut di dalam air, maka sangat cepat diserap dan
bioavailabilitasnya 90 %. Waktu kerjanya dalam 15 menit setelah pemberian dosis 0,1
mg/kg. Dosis untuk sedasi dan anti cemas adalah 0,1 mg/kg. Puncak efek sedasi berkisar
antara 30-45 menit, yang sesuai untuk pertengahan waktu konsentrasi maksimal plasma.
Daerah injeksi yang tepat yaitu pada otot vastus lateralis. Rasa nyeri ditemukan pada
sekitar 10 % pasien. Konsentrasi plasma hampir setengahnya seperti pada dosis
intravena.
Intravena ٭
Dalam sirlulasi, obat ini dengan cepat menyebabkan perubahan farmakokinetik. Respon
penundaan singkat pada farmakodinamik tampak dari konversi ke pembukaan struktur
cincin, sampai cincin menutup efektif. Penggunaan midazolam sebagai agen induksi
intravena tampak jelas pada tempat lain. Dosis untuk menimbulkan ketidaksadaran
adalah 0,2 sampai 0,25 mg/kg. Tidak seperti diazepam, golongan benzodiazepin ini tidak
menyebabkan terjadinya trombosis atau tromboplebitis, dan metabolitnya tidak
menimbulkan efek sedasi.
11
Farmakokinetik ٭
Tingkah laku diikuti oleh dua bentuk kompartemen. Fase dilusi inisial pada kompartemen
intravaskular lambat, membutuhkan waktu kurang dari 2 menit, diikuti oleh distribusi
inisial ke jaringan yang kaya vaskuler dengan waktu paruh 7,2 menit. Waktu paruh
pemisahan singkat yaitu berkisar 2,5 jam (rata-rata 2,1 sampai 3,4 jam). Proses
pemisahan umumnya berhubungan dengan metabolisme dan eksresi. Pada pasien dengan
usia muda, waktu paruh pemisahan meningkat sampai 5,6 jam. Pada pasien gemuk
meningkat sampai 8,4 jam
Tabel 30-5. Sifat-sifat kimia dan farmakokinetik Diazepam dan Midazolam
Keterangan Diazepam Midazolam
Sifat-sifat kimia
Kelarutan Tidak larut dalam air Larut dalam air karena
merupakan grup Tersedia dalam larutan organik imidazol
atau emulsi lemak
Bentuk
intravena Larytan pelarut organic Larutan aqua
pKa 3,4 6,2
Kelarutan dalam lemak
Octanol : rasio penyangga 309 34
Farmakokinetik
Ikatan protein plasma 97-99 % 94-98 %
Volume distribusi (VD (1/kg) 0,7-1,6 0,8-1,6
Waktu peruh eliminasi (h) (T½-ß) 20-70 1,5-5
Klirens
Total tubuh (ml/mnt/kg) 0,24-0,53 6,4-11,1
Plasma (ml/mnt) 20-47 268-630
Metabolisme Desmethyldiazepam dan Metabolit aktif α-
hydroxymidazolam, oxazepam, keduanya hipnotik
aktif yang sangat cepat dikinjugasi dalam bentuk inaktif
(T½-ß <1h) Puncak kedua Terjadi pada 6-8 hari dalam
sirku- Jika ada, jumlahnya sedikit dan secara lasi dan secara
klinik signifikan klinik tidak signifikan Farmakodinamik
Onset (menit) 10 2-12
Durasi (jam) 4-5 2,5
Konsentrasi efektif 300-400 ng/ml 40-50 ng/ml sedasi
600 ng/ml (tidur) 50-100 ng/ml tidur
Dari Dundee,J.W. Wyant, G. M.: Anestesi intraena, ed. 2, Edinburgh, Churchill
Livingstone, 1988.
12
Metabolisme ٭
Hati merupakan tempat utama proses metabolisme (gambar 30-4), dan hampir semua
obat mengalami hidroksilasi pada ikatan metil pada cincin imidazol ke α-
hidroksimidazolam atau ke 4-hidroksimidazolam, dimana keduanya dikonjugasi dengan
cepat di hati. Kedua metabolit inisial juga dapat mengalami hidroksilasi panjang ke
dihidroksi α, 4 bentuk ini kemudian terkonjugasi menjadi glukoronida. Metabolit utama
adalah α-hidroksimetilmidazolam, yang memiliki beberapa aktivitas farmakologik.,
namun dikunjugasi dengan cepat dan tidak memilki arti klinis. Eliminasi pada hati
bergantung pada aliran darah. Perubahan pada aliran darah di hati dapat merubah klirens.
Metabolisme ekstrahepatik juga dapat terjadi.
Klirens midazolam dari darah, cepat dan 10 kali lebih cepat dibandingkan diazepam.
Sekitar setengah liter plasma dibersihkan perjam per kilogram.
Ekskresi ٭
Semua metabolit seperti glukoronida dapat di deteksi pada urine. Metabolit utama, α-
hidroksimetilmidazolam, hampir 45-50 % dari konjugasi glukoronida urine. kurang dari
1 % midazolam di eksresi dalam bentuk utuh.
Ikatan Plasma ٭
Midazolam terikat erat dan meluas pada protein plasma dari sekitar 94 % obat injeksi.
Ikatannya pada fraksi protein. Hipoalbuminemia dapat mengurangi fraksi ikatan dan
dapat menyebabkan perubahan fraksi yang besar pada obat bebas.
Level Plasma ٭
Setelah pemberian secara intravena dengan dosis 0,1mg/kg midazolam, satu hal yang
telah diketahui adalah peningkatan yang cepat dari obat sekitar 300 ng/ml, diikuti oleh
penurunan secara bieksponensial. Pada awal penurunan yang cepat sampai 100 ng/ml
berhubungan dengan distribusi ke jaringan yang kaya vaskular dan mewakili fase α,
dengan waktu paruh 12 menit. Hal ini diikuti oleh penurunan yang lambat sampai 30
ng/kg mewakili fase ß, dengan waktu paruh sekitar 2,5 jam. Penurunan ini terjadi selama
proses eliminasi.
Variasi Dosis ٭
Dosis midazolam yang dibutuhkan untuk menimbulkan sedasi menurun sekitar 15 %
setiap dekade hidup (gambar 30-5). Oleh karena itu, penggunaan midazolam haruslah
hati-hati pada usia tua.
OBAT OBAT PELUMPUH OTOT
Relaksasi otot rangka bisa didapat dari anestesi inhalasi yang dalam, blok saraf regional,
atau dengan pemberian obat pelumpuh otot. Pada thn 1942, Harold Griffith
mempublikasikan sebuah hasil studi mengunakan ekstrak curare (panah beracun dari
Amerika Selatan) dalam pelaksanaan anestesi. Obat pelumpuh otot dengan cepat menjadi
bagian rutin dalam obat-obat anestesi. Seperti yang ditekankan oleh Griffith, sangat
13
penting mengingat bahwa pelumpuh otot menghasilkan kelumpuhan otot, bukan anestesi.
Pelumpuh otot tidak menimbulkan ketidaksadaran, amnesia atau analgesia.
TRANSMISI NEUROMUSKULAR
Area di antara saraf motorik dan sel otot disebut sebagai hubungan saraf-otot.
Membran sel saraf dan serat otot dipisahkan oleh jarak yang pendek (20 nm), disebut
celah sinap. Saat aksi potensial pada saraf terjadi maka terjadi depolarisasi di ujungnya,
terjadi pemasukan kalsium melalui kanal kalsium gerbang-muatan, masuk ke sitoplasma,
sehingga vesikel simpanan bergabung dengan membran terminal dan melepaskan isi
vesikel yaitu asteilkolin. Molekul Ach berdifusi melewati celah sinap dan berikatan
dengan reseptor asetilkolin nikotinik di motor end plate. Setiap hubungan saraf-otot
memiliki sekitar 5 juta reseptor. Akan tetapi aktivasi dari 500.000 reseptor cukup untuk
kontaksi otot yang normal.
Struktur reseptor Ach berbeda-beda pada jaringan yang berbeda dan waktu
perkembangan yang berbeda. Setiap reseptor Ach di hubungan saraf-otot normalnya
mengandung lima subunit protein: 2 subunit α, 1 sub unit β, δ dan ε. Hanya dua subunit α
identik yang mampu mengikat molekul Ach. Bila kedua tempat ditempati oleh Ach,
terjadi perbuhan konformasi pada subunit secara cepat (1 ms) membuka kanal ion di inti
reseptor. Kanal tidak akan terbuka bila hanya satu tempat yang ditempati oleh Ach.
Isoform reseptor Ach lain mengandung subunit γ, bukannya ε. Isoform ini dianggap
sebagai reseptor imatur atau fetal karena bentuk ini terekspresi pada otot fetal. Sering
juga disebut extrajunctional karena bisa terdapat di mana saja di membran otot, baik di
dalam maupun di luar hubungan saraf-otot.
Aliran kation melaui kanal reseptor Ach yang terbuka (sodium dan kalsium masuk,
potasium keluar), menyebabkan potensial pada end-plate. Saat cukup reseptor yang telah
ditempati oleh Ach maka potensial end-plate akan cukup kuat untuk menimbulkan
depolarisasi pada membran perijunctional. Daerah perijunctional memiliki kanal sodium
paling banyak di membran. Aksi potensial yang terjadi di membran otot dan sistem
tubulus-T akan membuka kanal sodium dan melepaskan kalsium dari retikulum
sarkoplasma. Kalsium intraseluler inilah yang menyebabkan protein kontraktil aktin dan
myosin berinteraksi dan menghasilkan kontraksi otot.
Ach secara cepat dihidrolisa menjadi asetat dan kolin oleh enzim spesifik
acetylcholinesterase. Pada akhirnya kanal ion pada reseptor akan tertutup dan end-plate
akan mengalami repolarisasi. Saat aksi potensial berhenti maka kanal sodium di membran
otot juga tertutup. Kalsium kembali ke dalam retikulum sarkoplasma dan sel otot akan
mengalami relaksasi.
Efek farmakologis utama obat-obat pelumpuh otot adalah menghambat transmisi
rangsang saraf di hubungan saraf-otot. Berdasarkan mekanisme kerjanya dapat dibagi
menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru kerja asetilkolin) dan obat pelumpuh
otot non depolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin). Berdasarkan durasi kerjanya dibagi
menjadi kerja cepat, sedang dan lama (short acting, intermediate acting dan long acting).
Obat –obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzylisoquinolinium atau senyawa
aminosteroid.
14
FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik obat pelumpuh otot ditentukan berdasarkan onset dan lamanya otot
dilumpuhkan. Secara klinis, cara yang digunakan untuk menentukan tipe, kecepatan
onset, besar pengaruh dan durasi kerja obat pelumpuh otot adalah mencatat respon otot
rangka perifer terhadap rangsang listrik yang diberikan melalui alat peripheral nerve
stimulator. Yang paling sering digunakan adalah kontraksi otot adductor pollicis setelah
rangsang listrik di nervus ulnaris (single twitch terhadap 1Hz). Untuk mengetahui
persamaan potensi antara obat-obat pelumpuh otot, ditentukan dosis yang diperlukan
untuk membuat penekanan 95% terhadap respon single twitch (ED95). Kecuali disebutkan
lain, ED95 diasumsikan sebagai potensi obat pelumpuh otot pada keadaan dengan anestesi
N2O-barbiturate-opioid. Pada anestesi inhalasi, nilai ED95 jauh menurun dibanding tanpa
anestesi inhalasi.
Obat pelumpuh otot mempengaruhi otot kecil dan bergerak cepat (mata, jari)
sebelum otot di abdomen (diafragma). Onset pelumpuh otot non-depolarisasi lebih cepat
tapi kurang kuat pada otot laring (pita suara) dibanding otot perifer (adductor pollicis).
Otot yang berperan pada penutupan glottis (otot thyroaritenoid) memiliki waktu kontraksi
cepat sedangkan otot otot adductor pollicis sebagian besar terdiri dari serat otot kontraksi
lambat. Pada serat otot kontraksi cepat terdapat lebih banyak reseptor asetilkolin
dibanding yang lambat. Tampaknya lebih banyak reseptor yang perlu ditempati untuk
menghambat otot kontaksi cepat dibanding yang lambat. Onset aksi yang lebih cepat
pada pita suara dibanding pada adductor pollicis menandakan lebih cepatnya tercapai
keseimbangan antara kadar pada plasma dan saluran nafas dibanding dengan adductor
pollicis. Pada obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja sedang maupun cepat, periode
lumpuhnya laring sangat singkat, dapat saja sudah menurun saat efek maksimum didapat
pada adductor pollicis. Sangat penting diingat bahwa dosis yang diperlukan untuk
melumpuhkan diafragma adalah dua kali lipat dibanding untuk adductor pollicis.
Pengawasan terhadap adductor pollicis adalah indikator yang buruk untuk mengetahui
relaksasi laring (otot crycothyroid). Sedangkan stimulasi terhadap saraf wajah dan respon
otot orbicularis oculi lebih mencerminkan hambatatan tehadap otot diafragma.
Respon single twitch yang dirangsang dengan menggunakan peripheral nerve
stimulator mencerminkan keadaan di post hubungan saraf-otot, sedangkan respon
terhadap rangsang berkelanjutan (50 – 100 Hz) atau train-of-four (TOF) mencerminkan
keadaan keadaan di membran presinap. Perbedaan efek obat pelumpuh otot terhadap
stimulasi tunggal maupun jamak atau berkelanjutan mencerminkan perbedaan besar
efeknya di presinap dan postsinap.
FARMAKOKINETIK
Obat pelumpuh otot, karena memiliki grup quaternary ammonium, merupakan
senyawa yang sangat terionisasi dan larut dalam air pada pH fisiologis serta susah larut
dalam lemak. Karena sifatnya tersebut volume distribusinya sangat terbatas, dan sesuai
dengan volume cairan ekstrasel (kira kira 200 ml/kg). Obat pelumpuh otot tidak dapat
melewati sawar membran lipid dengan mudah, seperti sawar darah-otak, epitel tubulus
ginjal atau plasenta. Oleh karena itu, obat-obat pelumpuh otot tidak memberikan efek
pada susunan saraf pusat, reabsorbsi pada tubulus ginjal minimal, absorbsi oral tidak
efektif dan pemberian pada ibu hamil tidak mempengaruhi janin. Redistribusi obat ini
juga berperan dalam farmakokinetiknya.
15
Pembersihan dari plasma, volume distribusi dan waktu paruh eliminasi obat-obat
pelumpuh otot dipengaruhi oleh umur, anestesi inhalasi dan adanya penyakit hepar atau
ginjal. Karena sebagian besar daripada obat mengalami ionisasi maka kadar yang cukup
tinggi dipertahankan di plasma dan tidak terjadi reabsorbsi obat-obat yang diekskresikan
pada ginjal. Penyakit ginjal dapat sangat mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh
otot non depolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh otot tidaklah banyak terikat dengan
protein plasma (hingga 50%) dan sangat kecil kemungkinan bahwa ikatan pada protein
plasma ataupun protein lain akan berpengaruh pada ekskresi obat pelumpuh otot melalui
ginjal.
Farmakokinetik obat pelumpuh otot non depolarisasi dihitung setelah pemberian
intravena cepat. Tingkat hilangnya obat pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama dari
plasma dikarakterisasikan dengan penurunan cepat pada awalnya (distribusi ke jaringan)
dan diikuti dengan penurunan yang lebih lambat (pembersihan). Obat anestesi inhalasi
memiliki efek yang sangat minimal terhadap farmakokinetik obat pelumpuh otot. Bila
volume distribusi berkurang, karena meningkatnya ikatan dengan protein, dehidrasi atau
perdarahan akut, dosis obat yang sama dapat menimbulkan konsentrasi plasma yang
meningkat dan potensi obat semakin kuat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot
hamper tidak berkaitan dengan durasi kerjanya bila diberikan secara intravena cepat.
SEJARAH
Penggunaan modern obat pelumpuh otot sejak 1932, saat fraksi d-tubocurarine (dTc)
yang dimurnikan diberikan untuk mengontrol spasme otot pada pasien dengan tetanus.
Pada 1940, dTc diberikan sebagai ajuvan pada terapi syok elektrik yang diinduksi dengan
obat. Penggunaan dTc sebagai pelemas otot pada pembedahan dengan anestesi umum
dilaporkan tahun 1942. Penggunaan hewan yang telah dikurarisasi pada eksperimen
untuk mengetahui efek suksinilkolin (SCh) terhadap parasimpatis pada tahun 1906,
menyembunyikan efek pelumpuh otot obat ini. Hingga tahun 1949 barulah efek
pelumpuh otot dari suksinilkolin diketahui. Antara 1949 dan 1960, dTc dan SCh tetap
merupakan obat pelumpuh otot yang paling sering digunakan. Pankuronium
diperkenalkan pada tahun 1960 sebagai obat pelumpuh otot non depolarisasi kerja
panjang golongan aminosteroid. Pada tahun 1980, dua obat pelumpuh otot non
depolarisasi yang baru, atrakurium (benzylisoquinoline) dan venkuronium (aminosteroid)
diperkenalkan. Diikuti cisatrakurium pada tahun 1995 dan mivakurium pada tahun 1997
dan terbaru adalah rokuronium.
KEGUNAAN KLINIS
Pada saat ini, penggunaan obat pelumpuh otot terutama untuk melemaskan otot
untuk mempermudah intubasi trakeal dan membuat kondisi pembedahan dengan anestesi
umum lebih baik. Dosis dua kali lipat ED95 sering direkomendasikan untuk
mempermudah intubasi trakeal, sementara penekanan 90% terhadap respon single-twitch
merupakan bukti klinis bahwa pelemasan otot oleh obat telah cukup untuk
mengoptimalkan pembedahan. Pelumpuh otot tidak memiliki efek penekanan susunan
saraf pusat dan analgetik. Oleh karena itu, obat ini tidak dapat digunakan untuk
menggantikan obat anestesi. Ventilasi paru harus dilakukan secara mekanis bila
kelumpuhan otot terjadi akibat obat-obat ini. Spasme laring dapat diobati secara efektif
dengan SCh 0,1 mg/kg IV. Penggunaan pelumpuh otot di luar ruang operasi di antaranya
16
untuk tata laksana pasien yang memerlukan ventilasi mekanis (contoh: sindroma distres
nafas pada orang dewasa/ ARDS, penekanan terhadap nafas spontan, tetanus).
Secara klinis, tingkat hambatan yang terjadi diukur dengan respon otot lurik terhadap
rangsang elektrik yang diberikan melalui kulit ke nervus ulnaris atau nervus facialis oleh
peripheral nerve stimulator. Secara tradisional, rasio TOF <0,7 dianggap cukup
mencerminkan telah cukupnya kekuatan otot yang kembali untuk ventilasi secara
spontan, baik kembalinya tersebut secara alamiah ataupun dengan pemberian obat
antagonis pelumpuh otot non depolarisasi. Bukti bahwa disfungsi faring pada orang
dengan TOF < 0,9 lebih banyak daripada yang memiliki TOF > 0,9 menyebabkan
perlunya peninjauan kembali terhadap penuntun tradisional tersebut. Tanda klinis lain
yang menunujukkan ada/ tidaknya efek sisa pelumpuh otot adalah kekuatan genggaman
tangan, kemampuan untuk mengangkat kepala, pengukuran kapasitas vital dan terjadinya
inspirasi tekanan negatif.
PEMILIHAN OBAT
Memilih antara obat pelumpuh otot depolarisasi atau non depolarisasi dipengaruhi
oleh kecepatan onset, durasi kerja dan kemungkinan efek samping akibat pengaruh obat
ini selain di hubungan saraf-otot, termasuk respon kardiovaskular karena pelepasan
histamin pada pemberian obat pelumpuh otot non depolarisasi benzylisoquinolinium.
Onset yang cepat dan durasi yang singkat, misalnya saja pada suksinilkolin, sangat
berguna bila intubasi trakeal adalah tujuannya. Rokuronium adalah satu-satunya obat
pelumpuh otot non depolarisasi yang onset kerjanya cepat seperti SCh, tapi durasi
kerjanya lebih panjang. Bila waktu yang lebih panjang diperlukan, obat pelumpuh otot
non depolarisasi yang diberikan intermiten atau secara kontinu adalah pilihannya. Saat
onset yang cepat tidak diperlukan, relaksasi otot rangka untuk fasilitasi intubasi trakea
didapat dari obat pelumpuh otot non depolarisasi. Beberapa obat pelumpuh otot non
depolarisasi dapat menurunkan tekanan darah sistemik secara signifikan (pelepasan
histamin akibat pemberian atrakurium dan mivakurium) atau meningkatkan denyut
jantung (pankuronium). Akibat pada sirkulasi yg diakibat obat ini tidak menguntungkan
pada keadaan hipovolemia, penyakit arteri koroner, atau penyakit katup jantung.
Bradikardia yang disebabkan anestesi dengan opioid dapat tertutupi dengan pemberian
pankuronium yang menyebabkan jantung bekerja lebih cepat. Tetapi hal ini tidak terjadi
pada obat-obat yang tidak menaikkan denyut jantung seperti venkuronium, roluronium,
cisatrakurium, doxakurium, pipekuronium.
SEKUENS DARI ONSET OBAT PELUMPUH OTOT
Obat pelumpuh otot mempengaruhi otot kecil yang bergerak cepat, yaitu yang
terdapat di mata dan jari terlebih dahulu kemudian yang di badan dan abdomen.Pada
akhirnya, otot interkostal dan diafragma juga lumpuh. Pemulihan dari kelumpuhannya
biasanya terjadi sebaliknya, jadi diafragma adalah yang pertama pulih sebelum yang
lainnya.Perbedaan onset dan pemulihan mungkin terjadi karena tercapainya
keseimbangan kadar obat yang lebih cepat pada otot dengan aliran darah lebih banyak.
Pemberian obat pelumpuh otot IV pada orang sadar pada awalnya akan menyebabkan
kesulitan fokus dan kelemahan otot mandibular, ditandai dengan ptosis, diplopia dan
disfagia. Relaksasi otot pada telinga tengah meningkatkan kemampuan untuk mendengar
Kesadaran dan sensorium tetap tidak terganggu walaupun otot total lumpuh.
17
Berikut adalah klasifikasi obat pelumpuh otot berdasarkan cara kerja, durasi kerja dan
kelompok kimiawinya.
Tabel 1. Klasifikasi Obat-obat Pelumpuh Otot :
Klasifikasi klinik Klasifikasi kimia
Depolarisasi
Suksinil kolin
Non depolarisasi
Long acting
Pancuronium Aminosteroid
Doxacuronium Aminosteroid
Pipecuronium Aminosteroid
Intermediate acting
Atracurium Benzylisoquinoline
Vecuronium Aminosteroid
Rocuronium Aminosteroid
Cisatracurium Benzylisoquinoline
Short acting
Mivacurium Benzylisoquinoline
18
Tabel 2. Perbandingan Farmakologi Obat-obat Pelumpuh Otot Non Depolarisasi :
ED 95
(mg/kg)
Dosis
intubasi
(mg/kg)
Onset of
action
(menit)
Lama
kerja
(menit)
Ekskresi
renal
(% tidak
berubah)
Ekskresi
empedu
(% tidak
berubah)
Degradasi
lewat
hepar (%) Hidrolisis
di plasma
Degradasi
dipengaruhi
suhu tubuh
Degradasi
dipengaruhi
pH darah
Eleminasi
tergantung
fungsi ginjal
Eleminasi
tergantung
fungsi hepar
Long acting
Pancuronium 0,06-0,07 0,1 3-5 60-90 80 5-10 10 Tidak
Doxacuronium 0,03 0,05-0,08 4-6 60-90 70 30 ? Tidak Ya Ya Sedikit
Pipecuronium 0,05-0,06 0,14 3-5 60-90 70 20 10 Tidak Ya Ya Tidak
Intermediate
acting Ya Ya
Atracurium 0,25 0,4-0,5 3-5 20-35 10
Tdk
signifikan ? Ya*
Vecuronium 0,05-0,06 0,08-0,1 3-5 20-35 15-25 40-75 20-30 Tidak Ya Ya Tidak Tidak
Rocuronium 0,3 0,6-1,2 1-2 20-35 10-25 50-70 10-20 Tidak Ya Tidak Ya Ya
Cisatracurium 0,05 0,1 3-5 20-35
Tdk
signifikan
Tdk
signifikan 0 Tidak* Ya Tidak Ya Ya
Short acting Ya Ya Tidak Tidak
Mivacurium 0,08 0,25 2-3 12-20 <10
Tdk
signifikan 0 Ya
Ya ? ? ?
* juga melalui Hofmann elimination
19
ATRAKURIUM
Atrakurium adalah obat pelumpuh otot non depolarisasi bisquaternary benzylisoquinolinium
dengan ED95 0,2 mg/kg berat badan, dengan onset of action 2-5 menit dan lama kerja 20-35
menit. Tempat kerja atrakurium seperti obat pelumpuh otot non depolarisasi lain yaitu di
presinap dan post sinap reseptor kolinergik. Atrakurium juga bekerja secara langsung
menggangu aliran ion melewati saluran dari reseptor nikotinik kolinergik. Kurang lebih 82%
atrakurium terikat pada protein plasma, mungkin abumin. Atrakurium didegradasi melalui
Hofman elimination pada suhu dan pH normal. Atrakurium terlarut dalam air tersedia dalam
larutan dengan pH 3,25-3,65 untuk mencegah degradasi spontan. Karena bersifat asam ini,
atrakurium jangan digabung dengan obat yang bersifat alkali seperti barbiturat. Bila atrakurium
terpapar sehingga pH nya meningkat sebelum masuk ke sirkulasi maka secara teori akan
mengakibatkan obat ini pecah prematur. Potensi dari atrakurium bila disimpan pada suhu kamar
akan menurun sebesar 5% setiap 30 hari.
Bersihan
Atrakurium didegradasi secara spontan non enzimatik pada suhu dan pH tubuh normal
melalui reaksi katalisa Hofmann elimination. Selanjutnya dan secara simultan mengalami
metabolisme hidrolisis secara tidak spesifik melalui plasma esterase. Laudanosine adalah hasil
dari kedua metabolisme ini. Hasil metabolisme ini tidak aktif di dalam hubungan syaraf otot
tetapi dalam konsentrasi yang tinggi dapat menstimulasi sistem syaraf pusat. Electrophilic acrylat
juga terbentuk dari Hofmann elimination. Metabolit ini bersifat reaktif pada studi in vitro dapat
menyebabkan kerusakan sel dengan alkylating nucleophiles dari membrane sel. Hofmann
eliminasi merupakan mekanisme eliminasi kimia sedangkan hidrolisis ester adalah mekanisme
biologi. Kedua mekanisme ini tidak tergantung pada fungsi ginjal dan hepar. Laudinosine
merupakan hasil metabolit utama dari kedua mekanisme metabolisme atrakurium, dimana
Hoffman eliminasi menghasilkan 2 molekul laudanosine sedangkan hidrolisis ester
menghasilkan satu molekul laudanosine dari setiap molekul atrakurium yang dimetabolisme.
Puncak konsentrasi laudanosine dalam plasma manusia terjadi 2 menit setelah injeksi cepat
atrakurium secara IV. Kliren laudanosine tergantung pada hepar, dimana 70% melalui empedu
dan sisanya lewat urine. Adanya sirosis hepatik tidak mengganggu kliren dari laudanosine, tetapi
ekskresi akan terganggu pada pasien dengan obstruksi saluran empedu. Konsentrasi laudanosine
plasma setelah dosis tunggal atrakurium sebesar 0,5 mg/kg berat badan lebih tinggi pada pasien
dengan gangguan ginjal dibandingkan dengan pasien normal. Walaupun laudanosine tidak aktif
dalam hubungan syaraf otot, pada percobaan binatang memperlihatkan bahwa laudanosine dapat
menstimuli CNS, meningkatkan MAC dari obat anestesi volatil dan menyebabkan vasodilatasi
perifer. Sebagai contoh : pada binatang yang teranestesi yang mendapatkan infus laudanosine
secara kontinyu, konsentrasi laudanosine plasma > 6 mikrogram/mL menyebabkan hipotensi,
konsentrasi laudanosine plasma > 10 mikrogram/mL memperlihatkan gambaran epileptic pada
EEG dan konsentrasi laudanosine plasma 17 mikrogram/mL menyebabkan penurunan kesadaran.
Pasien yang mendapatkan atrakurium dosis paralisis (0,5 mg/kgBB) konsentrasi puncak
laudanosine dalam plasma adalah 0,3 mikrogram/mL dimana 20 kali lebih kecil untuk
menyebabkan efek kardiovaskular pada binatang. pH mempengaruhi Hofmann eliminasi
(dipercepat pada kondisi alkali dan diperlambat pada kondisi asidosis)
20
Efek pada kardiovaskular.
Tekanan darah sistemik dan heart rate berubah bukan karena injeksi cepat dari atrakurium
dengan dosis lebih dari 2 kali ED95 tapi dipengaruhi karena pemberian anestesi termasuk N2O,
fentanil dan isofluran. Selama anestesi dengan N2O, pemberian atrakurium IV dengan cepat
sebesar 3 kali ED95 meningkatkan denyut jantung sebesar 8,3% dan menurunkan MAP sebesar
21,5%. Perubahan ini bersifat sementara, terjadi dalam 60-90 menit setelah pemberian
atrakurium dan terjadi selama 5 menit. Kemerahan pada muka pada beberapa pasien
menandakan adanya pelepasan histamin sebagai mekanisme terhadap perubahan sirkulasi yang
terjadi akibat pemberian atrakurium dosis tinggi secara cepat.
Bahan Pustaka
Morgan,G. et all (2006), Neuromuscular Blocking Agents, in: Clinical Anesthesiology 4th
ed, Lange Medical Books/ McGraw Hill Medical Publishing Division, United State of
America, pp. 205-24.
Stoelting,R. et all (2006), Neuromuscular-Blocking Drugs, in: Pharmacology and
Physiology in Anesthetic Practise 4th
ed, Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia, pp
208-45.
KETAMINE
Ketamin adalah obat yang menghasilkan anestesi disosiasi, yang kemudian ditandai
dengan disosiasi pada EEG diantara talamokortikal dan sistem limbik. Anestesi disosiasi
menyerupai kondisi kataleptik dimana mata masih tetap terbuka dan ada nistagmus yang
lambat. Pasien tidak dapat berkomunikasi, meskipun dia tampak sadar. Refleks-refleks masih
dipertahankan seperti refleks kornea, refleks batuk dan refleks menelan, namun semua refleks
ini tidak boleh dianggap sebagai suatu proteksi terhadap jalan nafas. Variasi tingkat hipertonus
dan gerakan otot rangka tertentu sering kali terjadi dan tidak tergantung dari stimulasi bedah.
Ketamin mempunyai efek sedatif dan analgetik yang kuat. Dosis induksi 1-2 mg/kgBB
intravena, 3-5 mg/kgBB intramuskular. Pada dosis subanestesi ketamin menghasilkan efek
analgetik yang memuaskan.
STRUKTUR KIMIA
Ketamin, 2-(o-chlorophenyl) – -(methylamino) -cyclohexanonehydrochloride, suatu
arylcycloalkylamine yang secara struktural berhubungan dengan phencyclidine (PCP) dan
cyclohexamine. Ketamin hidroklorid adalah molekul yang larut dalam air, dengan berat molekul
238 dan pKa 7,5. Walaupun larut dalam air, kelarutannya dalam lemak sepuluh kali dibanding
tiopenton, sehingga dengan cepat didistribusi ke organ yang banyak vaskularisasinya, termasuk
otak dan jantung, dan selanjutnya diredistribusikan organ-organ yang perfusinya lebih sedikit.
Keberadaan atom karbon asimetris menghasilkan dua isomer optik dari ketamin yaitu S(+)
ketamin dan R(-) ketamine. Sediaan komersil ketamin berupa bentuk rasemik yang mengandung
kedua enantiomer dalam konsentrasi sama. Masing-masing enantiomer mempunyai potensi
berbeda. S(+) ketamin menghasilkan analgesia yang lebih kuat, metabolisme yang lebih cepat
dan pemulihannya, kurangnya sekresi saliva dan rendahnya kejadian emergence reation ataupun
mimpi buruk/halusinasi dibanding R(+) ketamin.
21
MEKANISME AKSI
Ketamin berikatan secara non kompetitif terhadap tempat terikatnya phencyclidine pada
reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), suatu subtipe dari reseptor glutamat, yang berlokasi di
saluran ion. Ketamin menghambat aliran ion transmembran. Reseptor NMDA adalah suatu
reseptor saluran kalsium. Agonis endogen dari reseptor ini adalah neurotransmiter eksitatori
seperti asam glutamat, asam aspartat, dan glisin. Pengaktifan dari reseptor mengakibatkan
terbukanya saluran ion dan depolarisasi neuron. Reseptor NMDA ini terlibat dalam input
sensoris pada level spinal, talamik, limbik dan kortikal. Ketamin menghambat atau
menginterferensi input sensoris ke sentral yang lebih tinggi dari sistem saraf pusat, dimana
terdapat respon emosional terhadap stimulus dan pada tempat untuk proses belajar dan memori.
Ketamin menghambat pengaktifan dari reseptor NMDA oleh glutamat, mengurangi pelepasan
glutamat di presinaps dan meningkatkan efek dari neurotransmiter inhibisi GABA.
Ketamin juga berinteraksi dengan reseptor mu, delta dan kappa opioid. Efek analgesi
ketamin mungkin disebabkan oleh pengaktifan reseptor ini di sentral dan spinal. Beberapa efek
ketamin dapat disebabkan karena kerjanya pada sistem katekolamin, dengan meningkatkan
aktivitas dopamin. Efek dopaminergik ini mungkin berhubungan dengan efek euforia, adiksi dan
psikotomimetik dari ketamin. Kerja dari ketamin ini juga disebabkan oleh efek agonis pada
reseptor adrenergik α dan β, efek antagonis pada reseptor mu skarinik di sistem saraf pusat, dan
efek agonis pada reseptor ζ.
FARMAKOKINETIK
Ketamin dapat diberikan melalui oral, rektal, intranasal, intra-muskular ataupun
intravena. Untuk operasi dan manajemen nyeri paska bedah ketamin dapat diberikan secara
intratekal dan epidural.
Farmakokinetik ketamin menyerupai tiopental yaitu onset yang cepat, durasi yang relatif
singkat, dan kelarutan dalam lemak yang tinggi. Hal ini disebabkan karena ketamin mempunyai
berat molekul yang kecil dan pKa yang mendekati pH fisiologi, sehinga dengan cepat melewati
sawar darah otak dan mempunyai onset 30 detik setelah pemberian intravena. Konsentrasi
plasma puncak dari ketamin terjadi dalam 1 menit setelah pemberian intravena dan bertahan
selama 5-10 menit, dan 5 menit setelah injeksi intramuskular, bertahan 12-25 menit. Analgesia
diperoleh pada dosis 0,2-0,75 mg/kgBB intravena.
Ketamin tidak terikat secara signifikan pada plasma dan didistribusikan dengan cepat
pada jaringan. Pada awalnya ketamin didistribusikan pada jaringan yang perfusinya tinggi seperti
otak, dimana konsentrasi puncak mungkin 4 sampai 5 kali dari darah. Kelarutan yang tinggi
dalam lemak menyebabkan cepat menembus sawar darah otak. Selanjutnya, ketamin
menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak sehingga mempermudah perjalanan obat dan
kemudian menambah cepat konsentrasi obat dalam otak. Kemudian didistribusikan kembali dari
otak dan jaringan yang perfusinyatinggi ke jaringan yang perfusinya rendah.
Angka klirens dari ketamin relatif tinggi yaitu 1 liter/menit, mendekati aliran darah hepar
yang berarti perubahan pada aliran darah hepar mempengaruhi klirens dari ketamin. Distribusi
volume yang besar yaitu 3 liter/menit, menghasilkan eliminasi waktu paruh yang cepat yaitu 2-3
jam. Ketamin dimetabolisme di hepar oleh enzim mikrosomal hepatik melalui N-demetilasi dari
ketamin oleh sitokrom P-450 menjadi norketamin (metabolit I), kemudian dihidroksilasi menjadi
hidroksi-norketamin. Produk ini berkonjugasi ke derivat glukoronid yang larut dalam air dan
diekskresi di urin. Norketamin adalah metabolit aktif dengan potensi anestesi sepertiga dari
ketamin dan mempunyai efek analgesi.
22
Interaksi ketamin dengan obat pelumpuh otot adalah efek potensiasi dari obat pelumpuh
otot. Kombinasi ketamin dengan teofilin dapat menyebabkan kejang. Diazepam menghambat
efek kardiostimulasi dari ketamin dan memperpanjang eliminasi waktu paruh ketamin.
Propranolol, fenoksibenzamin dan antagonis simpatis lain menutupi efek depresi otot jantung
ketamin. Jika dikombinasi dengan halotan, ketamin menimbulkan depresi otot jantung. Terdapat
toleransi untuk efek analgesi dari ketamin yang terjadi pada pasien yang menerima dosis
berulang. Dalam hal ini, toleransi dapat terjadi pada pasien yang menerima lebih dari dua kontak
dalam interval yang pendek. Interaksi ketamin dengan propofol adalah aditif, bukan sinergisme.
FARMAKODINAMIK
1. Susunan Saraf Pusat
Ketamin menghasilkan stadium anestesi yang disebut anestesi disosiasi. Pada susunan
saraf pusat, ketamin bekerja di sistem proyeksi talamoneokortikal. Secara selektif menekan
fungsi saraf dikorteks (khususnya area asosiasi) dan talamus ketika secara terus menerus
merangsang bagian dari sistem limbik, termasuk hipokampus. Proses ini menyebabkan
disorganisasi fungsional pada jalur non-spesifik di otaktengah dan area talamus. Ada juga
pendapat bahwa ketamin menekan transmisi impuls di formasi retikular medula medial, yang
berperan pada transmisi komponen emosi nosiseptif dari spinal cord ke pusat otak yang lebih
tinggi. Ketamin juga dianggap menduduki reseptor opioid di otak dan spinal cord, yang
menyebabkan ketamin memiliki sifat analgetik. Interaksi pada reseptor NMDA juga
menyebabkan efek anestesi umum sebaik efek analgesia dari ketamin. Ketamin meningkatkan
metabolisme otak, aliran darah otak dan tekanan intra kranial. Ketamin mempunyai efek
eksitatori di susunan saraf pusat sehingga meningkatkan CMRO2. Dengan peningkatan aliran
darah otak yang sejalan dengan peningkatan respon sistem saraf simpatis, maka tekanan
intrakranial juga meningkat setelah pemberian ketamin. Hal ini dapat dikurangi dengan
pemberian diazepam ataupun tiopental.
Ketamin menyebabkan reaksi psikis yang tidak disukai yang terjadi pada saat bangun
yang disebut emergence reaction. Manifestasi dari reaksi ini yang bervariasi tingkat
keparahannya adalah berupa mimpi buruk, perasaan melayang, ataupun ilusi yang tampak dalam
bentuk histeria, bingung, euphoria dan rasa takut. Hal ini biasanya terjadi dalam satu jam
pertama pemulihan dan akan berkurang satu jam sampai beberapa jam kemudian. Ada pendapat
yang menyatakan bahwa emergence reaction ini disebabkan depresi pada nukleus yang merelai
system pendengaran dan penglihatan sehingga terjadi mispersepsi dan misinterpretasi.
Insidensnya adalah 10-30 % pada orang dewasa pada pemberian ketamin sebagai obat tunggal
anestesi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah umur, dosis, jenis kelamin, status psikis, dan
obat yang diberikan bersamaan dengan ketamin. Orang dewasa dan perempuan lebih sering
dibandingkan anak-anak dan laki-laki. Dosis yang besar (>2mg/kgBB IV) dan kecepatan
pemberian ketamin mempengaruhi kejadian ini. Kelemahan psikis dan orang-orang pemimpi
juga lebih mudah mengalaminya. Banyak obat telah digunakan untuk mengurangi reaksi ini,
seperti golongan benzodiazepine (midazolam, lorazepam dan diazepam).
23
2. Sistem Pernafasan
Ketamin menjaga patensi dari jalan nafas dan fungsi pernafasan, meningkatkan ventilasi
serta mempunyai efek minimal terhadap pusat pernafasan dimana ketamin sedikit memberikan
respon terhadap CO2. Ada penurunan sementara dari volume semenit setelah bolus 2 mg/kgBB
intravena. Apnoe dapat terjadi setelah pemberian dengan cepat dan dosis yang tinggi, namun hal
ini jarang terjadi. Bagaimanapun pemberian yang bersamaan dengan sedatif ataupun opioid dapat
menyebabkan depresi pernafasan.
Efek ketamin terhadap bronkus adalah relaksasi otot polos bronkus. Ketika diberikan
pada pasien dengan masalah pada jalan nafas dan bronkospasme, komplians paru dapat
ditingkatkan. Ketamin seefektif halotan dalam mencegah bronkospasme. Mekanismenya adalah
mungkin akibat rangsang simpatis ataupun ketamin dapat secara langsung mengantagonis efek
spasme dari karbakol dan histamin. Karena efek bronkodilatasi ini, ketamin dapat digunakan
untuk terapi status asmatikus yang tidak respon terhadap pengobatan konvensional.
Masalah pada sistem pernafasan dapat timbul akibat efek hipersalivasi dan hipersekresi
kelenjar mukus di trakea-bronkeal yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas akibat
laringospasme. Atropin dapat diberikan untuk mengatasi hal ini. Aspirasi dapat terjadi walaupun
refleks batuk, refleks menelan, refleks gag relatif intak setelah pemberian ketamin.
3. Sistem Kardiovaskular
Ketamin menstimulasi sistem kardiovaskuler menyebabkan peningkatan tekanan darah,
curah jantung, laju jantung, resistensi pembuluh darah sistemik, tekanan arteri pulmonalis, dan
resistensi pembuluh darah pulmonal. Hal ini diakibatkan oleh karena peningkatan kerja dan
kebutuhan oksigen otot jantung. Mekanisme ini sendiri masih dipertanyakan.
Ada pendapat menyatakan bahwa efek-efek ini sebagai akibat peningkatan aktifitas
sistem saraf simpatis, sehingga pelepasan norepinefrin semakin besar yang diakibatkan oleh
penekanan pada refleks baroreseptor. Pengaruh ketamin pada reseptor NMDA di nukleus traktus
solitaries menyebabkan penekanan refleks baroreseptor ini. Ketamin memiliki sifat inotropik
negatip terhadap otot jantung. Tetapi respon simpatis yang sentral selalu menutupi efek depresi
otot jantung ini. Ketamin juga bekerja pada sistem saraf perifer dengan menginhibisi uptake
intraneuronal dari katekolamin dan menginhibisi uptake norepinefrin ekstraneuronal pada
terminal saraf simpatis.
Peningkatan tekanan darah sistolik pada orang dewasa yang mendapat dosis klinis
ketamin adalah 20-40 mmHg dengan peningkatan sedikit tekanan darah diastol. Biasanya
tekanan darah sistemik meningkat secara progresif dalam 3-5 menit pertama setelah injeksi intra
vena ketamin dan kemudian akan menurun ke level sebelum injeksi 10-20 menit kemudian.
Ketamin merupakan obat pilihan yang paling rasional untuk induksi anestesi cepat pada
pasien gawat darurat terutama pasien dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil.
4. Hepar dan Ginjal
Ketamin tidak merubah test laboratorium secara bermakna terhadap fungsi hepar dan
ginjal.
5. Endokrin
Pada awal pembedahan, ketamin meningkatkan kadar gula darah, kortisol plasma dan
prolaktin. Setelah itu tidak ada perbedaan dalam metabolisme dan sistem endokrin.
24
INTERAKSI
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dipotensiasi oleh ketamin. Kombinasi teofilin
dengan ketamin dapat mempredisposisi pasien terhadap kejang. Diazepam mengurangi efek
stimulasi terhadap kardiovaskular dan memperpanjang waktu paruh eliminasinya, sehingga
waktu pulih sadar ketamin menjadi tertunda. Ketamin menyebabkan depresi otot jantung ketika
diberikan bersamaan dengan halotan. Halotan memperlambat distribusi dan menghambat
metabolisme hepatik ketamin, sehingga memperpanjang efek ketamin terhadap susunan saraf
pusat. N2O mengurangi dosis ketamin dan memperpendek waktu pulih sadar ketamin.
Pemberian berulang ketamin dapat menyebabkan toleransi. Efek ini dapat terjadi secara
akut yang disebabkan oleh perubahan pada tempat ketamin bekerja daripada karena peningkatan
dalam kecepatan metabolisme, yang tampak dari terjadinya toleransi ini setelah suntikan
pertama, tanpa perubahan dalam konsentrasi plasma.
EFEK SAMPING
Ketamin mempunyai efek samping berupa mual, muntah, efek psikomimetik seperti
halusinasi, diplopia, mimpi buruk, ansietas, euphoria.
KONTRA INDIKASI
Ketamin dikontraindikasikan pada keadaan-keadaan seperti pasien dengan peningkatan
tekanan intra kranial, pasiendengan operasi mata karena ketamin dapat meningkatkan tekanan
intra okular, pasien dengan penyakit jantung iskemik, hipertensi, penyakit aneurisma vaskular,
pasien dengan riwayat gangguan psikiatri ataupun pasien yang diduga cenderung mengalami
delirium paska operasi.
KETAMIN DOSIS RENDAH
Ketamin dosis rendah disebut juga ketamin dosis analgesia ataupun dosis subanestesia
yaitu 0,2-0,75 mg/kgBB IV. Literatur lain menyebutkan dosis analgesia dicapai pada 0,2 - 0,5
mg/kgBB IV. Pada dosis 0,25-0,5 mg/kgBB IV yang diberikan setelah midazolam 0,07-0,15
mg/kgBB IV dikatakan ketamin memberikan efek sedasi yang memuaskan, amnesia dan
analgesia tanpa depresi kardiovaskular yang signifikan.
Terhadap kejadian emergence reaction, Subramaniam K, menyebutkan efek samping
ketamin tidak meningkat dengan dosis kecil ketamin. Pada dosis 0,15-1 mg/kgBB IV tidak
meningkatkan efek psikomimetik seperti halusinasi ataupun efek sedasi yang dalam.
Arora menyatakan penambahan ketamin dosis kecil 0,5 mg/kgBB terhadap induksi
propofol 1,5 mg/kgBB IV dapat mengurangi kejadian desaturasi dan apnoe. Salah satu efek
samping yang ditakutkan pada pemberian ketamin adalah spasme laring yaitu tertutupnya pita
suara yang dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas sebagian ataupun total. Tetapi Newton dan
Fitton (2008) menyebutkan pada 92 pasien yang diberikan ketamin dosis 0,5-1 mg/kgBB IV
sebagai prosedural sedasi di ruang emergensi, kejadian spasme laring ini tidak ditemukan.
Pada pasien-pasien neurologi, Albanese J dkk. menyebutkan bahwa pada penelitian
terhadap pasien dengan cedera kepala akibat trauma, ketamin menurunkan tekanan intra kranial
dan aktivitas EEG pada pasien yang dikontrol pernafasan dengan ventilasi mekanik, yang
disedasi dengan propofol 3 mg/kgBB IV, serta tidak meningkatkan MAP.
Pada dosis 0,1-0,5 mg/kgBB IV, ketamin memberikan efek analgesia yang memuaskan
selama operasi dan pada manajemen nyeri pasca bedah, tanpa suatu sedasi maupun perubahan
pada hemodinamik dan pernafasan. Efek mual dan muntah juga jauh berkurang pada dosis ini.
Penggunaan ketamin dosis rendah dengan obat anestesi lokal juga telah banyak dilakukan.
25
Suzuki et al. (2006) memberikan ketamin 0,05 mg/kgBB/jam IV sebagai tambahan terhadap
infus epidural ropivakain dan morfin kontinu, dan diperoleh hasil bahwa ketamin meningkatkan
efek analgesia dari ropivakain-morfin dan mengurangi nyeri paska torakotomi. Untuk
pencegahan kejadian menggigil pada anestesi umum, profilaksis ketamin dosis 0,5 mg/kgBB IV
yang diberikan 20 menit sebelum operasi berakhir, telah terbukti efektif untuk mencegah
menggigil paska operasi. Pada anestesi spinal, ketamin 0,5 mg/kgBB IV ataupun ketamin 0,25
mg/kgBB IV + midazolam 37,5μg/kgBB IV dapat mencegah kejadian menggigil setelah
pemberian bupivakain 15 mg.
26
Daftar pustaka
G. Edward Morgan, Maged S. Mikhail and Michael J. Murray. 2013. Clinical
Anesthesiology, 5 th Edition. California: Lange Medical Book/ McGraw-Hill
Medical Publishing Division.p 239-53, 263-276, 937-58
Katzung, BG. 2012. Basic & Clinical Pharmacology 12th Edition. McGraw-Hill
Medical,New York
Longnecker D, Brown D,Newman M, Zapol W. 2012. Anesthesiology 2nd
Edition,McGraw-
Hill Company,New York.
Peck T, Hill S, Williams M. 2003. Pharmacology for Anaesthesia and Intensive Care.
Greenwich Medical Media.
Stoelting, R.K. dan Hillier, S.C. 2006. Pharmacology and Physiology In Anesthetic
Practice. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Barash, Paul G., Cullen, Bruce F.,Stoelting, Robert K.,Cahalan, Michael K., Stock and M.
Christine.2009. Clinical Anesthesia, 6th Edition.Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins.