dokter keluarga
DESCRIPTION
dokelTRANSCRIPT
Blok XXI : Kedokteran Keluarga
“Analisis Jurnal : PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA DALAM PENATALAKSANAAN TERKINI SERANGAN ASMA
PADA ANAK”
Oleh :
Hartini Ahadiyatur Ru’yi
H1A212020
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
2015
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas yang paling sering dijumpai
pada anak dimana dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat bukan hanya di
negara maju namun juga di negara berkembang seperti Indonesia. Peningkatan tersebut
diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan terutama
polusi baik indoor maupun outdoor. Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10%
pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama. Dari masalah
ini dapat dilihat bahwa asma menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang perlu
mendapat perhatian serius oleh karenanya diperlukan penatalaksana asma jangka panjang
pada anak bertujuan untuk mencegah terjadinya serangan asma seminimal mungkin sehingga
memungkinkan anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan usianya.
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita bergejala pada umur 1
tahun, sedangkan 80-90% anak yang menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum
umur 4-5 tahun. Prevalensi asma menurun sebanding dengan bertambahnya usia terutama
setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa
lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi asma pada anak. Sebagian besar anak yang
terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang relatif mudah
ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak
yang terus menerus daripada yang musiman sehingga menjadikan anak tidak mampu dan
mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, serta fungsi dari hari ke hari.
Serangan asma biasanya mencerminkan kegagalan pencegahan asma, kegagalan
tatalaksana asma jangka penjang dan kegagalan penghindaran dari faktor pencetus. Oleh
karena itu diharapkan dengan pendekatan kedokteran keluarga yang tidak hanya mengobati
pasien saja melainkan juga bertindak lebih proaktif dalam upaya preventif dan promotif dapat
mengurangi angka terjadinya serangan asma pada anak. Pelayanan kesehatan primer
memegang peranan penting pada penyakit asma dalam hal penegakan diagnosis pertama kali,
terapi yang tepat, dan edukasi terutama kepada pasien dan keluarganya dalam pencegahan
terjadinya kekambuhan penyakit dan menurunnya kualitas hidup pasien asma.
Pendekatan kedokteran keluarga dalam penatalaksanaan asma anak dapat dilakukan
melalui aspek komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pada penderita dan keluarganya,
penghindaran terhadap faktor pencetus, dan medikamentosa. Pada KIE perlu ditekankan
bahwa keberhasilan terapi atau tatalaksana sangat bergantung pada kerjasama yang baik
antara keluarga (penderita) dan dokter keluarga yang menanganinya. Dokter layanan primer
harus melibatkan keluarga pasien asma termasuk pengasuhnya dalam tatalaksana penyakit ini
dimana keluarga penderita asma perlu dijelaskan mengenai asma secara detail dengan bahasa
yang dapat dipahami oleh kalangan non medis agar keluarga mengetahui apa yang terjadi
pada asma, kapan harus pergi ke dokter, penanganan pertama apabila terjadi serangan, dan
sebagainya. Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang
cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang menyebabkan
terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi,
edema mukosa, dan hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat
mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik. Tatalaksana jangka panjang pada asma
anak diberikan pada asma episodik sering dan persisten. Kortikosteroid adalah anti inflamasi
yang paling kuat yang sering diberikan pada penderita asma.
Dalam praktik kedokteran keluarga yang lebih mengutamakan upaya preventif dan
promotif dalam manajemen penyakit kronik seperti asma salah satunya, maka upaya
pencegahan yang dapat dilakukan meliputi 2 hal yaitu :
a. Mencegah Sensititasi
Langkah – langkah dalam mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi
(terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan
terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Hingga kini tidak ada bukti intervensi yang
dapat mencegah perkembangan asma selain menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in
utero atau setelah lahir.
b. Mencegah Eksaserbasi
Alergen indoor dan outdoor merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan
eksaserbasi asma. Contoh alergen indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa,
dan jamur. Sedangkan alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat.
Dokter keluarga dapat memberikan edukasi kepada orang tua pasien maupun pengasuh agar
dapat mengurangi pajanan penderita asma anak dengan beberapa faktor seperti
menghindarkan anak dari asap rokok, lingkungan rumah dan sekolah yang bebas alergen,
makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta
keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan
sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula
dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, stress dan berbagai
faktor lainnya.
Komunikasi yang baik dan terbuka antara praktisi dokter keluarga dan pasien serta
orang tua atau keluarga pasien adalah hal yang penting sebagai dasar penatalaksanaan dan
dengan begitu diharapkan agar dokter selalu bersedia mendengarkan keluhan pasien dan
keluarganya agar menunjang keberhasilan pengobatan. Komponen yang dapat diterapkan
dalam penatalaksanaan asma, yaitu mengembangkan hubungan dokter pasien, identifikasi dan
menurunkan pajanan terhadap faktor risiko, penilaian, pengobatan dan monitor asma serta
penatalaksanaan asma eksaserbasi akut.
Contoh kasus lain yang bisa didapatkan adalah skabies. Di Indonesia, penyakit ini
masih menjadi masalah tidak saja di daerah terpencil, tetapi juga di kota-kota besar bahkan di
Jakarta. Kondisi kota Jakarta yang padat merupakan faktor pendukung perkembangan skabies.
Berdasarkan pengumpulan data Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) tahun
2001, dari 9 rumah sakit di 7 kota besar di Indonesia, jumlah penderita skabies terbanyak
didapatkan Jakarta yaitu 335 kasus di 3 rumah sakit. Pelayanan kesehatan primer memegang
peranan penting pada penyakit skabies dalam hal penegakan diagnosis pertama kali, terapi
yang tepat, dan edukasi komunitas dalam pencegahan penyakit dan menularnya penyakit ke
komunitas, karena penyakit ini mudah sekali menular terutama pada pemukiman yang padat.
Transmisi atau perpindahan antar penderita dapat berlangsung melalui kontak kulit langsung
yang erat dari orang ke orang.
Tindakan yang dilakukan meliputi tindakan terhadap pasien, keluarga, dan
lingkungannya. Pada pasien dan keluarga diberikan krim permetrin 5% yang dioleskan pada
seluruh tubuh (dari leher hingga ke ujung jari kaki), dan dilakukan edukasi terhadap keluarga
mengenai skabies (penyebab, gejala, cara penularan, terapi), dan mengenai higiene pribadi
serta lingkungan. Keluarga diberikan motivasi untuk mencuci, menjemur, dan menyeterika
pakaian dan seprai yang digunakan dalam 1 minggu terakhir. Tindakan untuk mengatasi
masalah lingkungan antara lain dengan melakukan penyuluhan mengenai skabies yang
dihadiri oleh kader, wakil dari Puskesmas, dan para warga. Pada kesempatan tersebut juga
disampaikan pentingnya menjaga higiene lingkungan dan perilaku berobat yang baik. Dalam
menatalaksana pasien, seorang dokter perlu memperhatikan pasien seutuhnya, tidak hanya
tanda dan gejala penyakit namun juga psikologisnya. Pembinaan keluarga yang dilakukan
pada kasus ini tidak hanya mengenai penyakit pasien, tetapi juga mengenai masalah-masalah
lainnya seperti fungsi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan keluarga, perilaku kesehatan
keluarga, dan lingkungan.
Dalam SKN disebutkan bahwa, UKP strata pertama adalah UKP tingkat dasar, yaitu
yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan dasar yang ditujukan pada
perorangan. Penyelengaranya bisa pemerintah, masyarakat atau sektor swasta yang
diwujudkan dalam bentuk pelayanan profesional seperti praktik bidan, praktik perawat,
praktik dokter, praktik dokter gigi, poliklinik, balai pengobatan, praktik dokter/klinik 24 jam,
praktik bersama dan rumah bersalin termasuk pelayanan pengobatan tradisional dan alternatif
yang secara ilmiah terbukti keamanan dan khasiatnya, serta pelayanan kebugaran fisik dan
kosmetika. UKP strata pertama oleh pemerintah juga diselenggarakan oleh Puskesmas.
Dengan demikian Puskesmas memiliki dua fungsi pelayanan yaitu pelayanan kesehatan
masyarakat dan pelayanan kesehatan perorangan. Untuk masa yang akan datang, bila sistem
jaminan kesehatan telah berkembang, pemerintah tidak lagi menyelenggarakan UKP strata
pertama melalui Puskesmas. Penyelenggaraan UKP strata pertama akan diserahkan pada
masyarakat dan swasta dengan menerapkan konsep dokter keluarga, kecuali daerah yang
sangat terpencil masih dipadukan dengan pelayanan Puskesmas. Inilah yang kemudian
menjadi landasan bagi pengembangan dokter berbasis dokter keluarga di Indonesia. Upaya
kesehatan perorangan (UKP) strata kedua adalah upaya kesehatan tingkat lanjutan yang
menggunakan ilmu pengetahuan dan dan teknologi spesialistik yang ditujukan kepada
perorangan. Penyelenggaranya adalah pemerintah, masyarakat dan swasta dalam bentuk
praktik dokter spesialis, praktik dokter gigi spesialis, klinik spesialis, bali pengobatan
penyakit paru, balai kesehatan mata masyarakat, balai kesehatan jiwa masyarakat, RS kelas B
dan C non pendidikan milik pemerintah dan swasta. Sarana ini berfungsi sebagai pelayanan
langsung maupun sebagai sarana rujukan dari UKP strata pertama.
Seperti yang sudah banyak ditulis bahwa masalah yang sedang dihadapi saat ini adalah
terbatasnya dana, biaya kesehatan naik dengan cepat sejalan dengan banyaknya penyakit yang
tidak dapat ditanggulangi, adanya kesenjangan antara kebutuhan dan keinginan, dan
pelayanan jasa yang tidak efisien. Banyak upaya yang sudah dikerjakan untuk mengatasi
masalah tersebut. Deklarasi Alma Alta 1978 sebagai contohnya dengan visi Primary Health
Care for All. WHO Eropa, 1998 dengan visi Improving Health System: The Role of Family
Medicine dan menjadi rujukan sampai saat ini adalah kolaborasi antara WHO dan WONCA
yang menghasilkan Vision of Family Medicine. Kurangnya pelayanan kesehatan yang
komprehensif yang kemudian menciptakan kerjasama WHO dan WONCA menuju kesatuan
di bidang kesehatan dalam proyek WHO – WONCA TUFH (Towards Unity For Health) di
seluruh dunia. Dalam proyek ini, dokter pelayanan primer/dokter umum bekerja dengan visi
yang sama dalam jasa pelayanan kesehatan. Dalam WHO-WONCA Working Paper,
“Membuat Praktek dan Pendidikan Medis Relevan dengan Kebutuhan Manusia: Kontribusi
Kedokteran Keluarga”, hasil dari konferensi di Ontario, Kanada tahun 1994 dan juga WHO
Eropa tahun 1998 dalam “Kerangka Perkembangan Dokter Keluarga/Dokter Umum”.
Semangat WHO-WONCA Working paper ini, menjadi ilham berbagai negara untuk mulai
mengembangkan praktik dokter berbasis dokter keluarga. Dengan terhimpunannya dana yang
cukup maka manfaat UKP akan mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan sehingga dokter
keluarga dapat menjalankan upaya promotif dan preventif dengan insentif yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Liansyah TM. 2014. Pendekatan Kedokteran Keluarga Dalam Penatalaksanaan Terkini
Serangan Asma Pada Anak. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 14(3): 175-180
2. Mansyur M, Wibowo AA, Marie A, et al. 2007. Pendekatan Kedokteran Keluarga pada
Penatalaksanaan Skabies Anak Usia Pra-Sekolah. Majalah Kedokteran Indonesia.
57(2): 63-67
3. Idris F. 2006. Pelayanan Dokter Berbasis Dokter Keluarga di Indonesia.
http://eprints.unsri.ac.id/311/1/13._Yandok_berbasis_doga.pdf. 16 Desember
2015.