eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...awal_ujian_tertutup.docx · web viewtanpa ada...

123
REKONSTRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA BERKEADILAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL HUKUM ADAT LAMPUNG Ujian Tertutup Disertasi Diajukan untuk memenuhi Syarat memperoleh gelar doktor dalam Ilmu Hukum Efa Rodiah Nur NIM : 1010111500005 i

Upload: nguyenkiet

Post on 29-Jan-2018

247 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

REKONSTRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA BERKEADILAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN BERBASIS KEARIFAN

LOKAL HUKUM ADAT LAMPUNG

Ujian Tertutup Disertasi

Diajukan untuk memenuhi Syarat memperoleh gelar doktor dalam Ilmu Hukum

Efa Rodiah NurNIM : 1010111500005

UNIVERSITAS DIPONEGOROPROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

SEMARANG2016

i

Page 2: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

REKONSTRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA BERKEADILAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL

HUKUM ADAT LAMPUNG

EFA RODIAH NURNIM : 1010111500005

Semarang,................ Mei 2016Telah Disetujui Untuk Dilaksanakan oleh :

Menyetujui :

Promotor Co. Promotor

Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH Dr. Eddy Rifai, SH., MH NIP. 19430123 197010 1 001 NIP 19610912 198603 1 003

Mengetahui :Ketua Program Doktor Ilmu Hukum

Prof. Dr. FX. Adji Samekto, SH., M.Hum.NIP. 19620118 1987 032001

ii

Page 3: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Efa Rodiah Nur

NIM : 1010111500005

Alamat : Jalan. Way Besai No. 16 sumurbatu TBU Bandar Lampung

Asal Instansi : IAIN Raden Intan Lampung

Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Karya Tulis saya, disertasi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk

mendapatkan gelar akademik (doktor), baik di Universitas Diponegoro maupun

diperguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri,

tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Promotor.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau

dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan

sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan judul

buku aslinya dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari

terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah

diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang

berlaku diperguruan tinggi ini.

Semarang, ......... Mei 2016Yang Membuat Pernyataan,

Efa Rodiah NurNIP: 1010111500005

iii

Page 4: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

ABSTRAK

Sistem hukum Indonesia yang dibangun dari nilai-nilai adat dan kearifan lokal perlu diberikan ruang kembali dalam pembangunan sistem hukum nasional. Dalam penanganan tindak pidana ringan di Lampung menggunakan hukum adat dirasakan memberikan rasa keadilan bagi para pihak. Diperlukannya upaya untuk melegitimasi dan memberikan ruang untuk penyelenggaraan media penyelesaian perkara melalui kearifan lokal berbasis hukum adat Lampung.

Permasalahan yang relevan untuk dikaji dalam disertasi ini adalah : (1) Mengapa penyelesaian tindak pidana ringan dengan menggunakan hukum positif mengusik rasa keadilan terhadap masyarakat, (2) Bagaimana penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung, (3) Bagaimana merekonstruksi sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan dengan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung.

Penelitian disertasi ini menggunakan paradigma constructivist dengan Metode Pendekatan Non Doktrinal atau socio-legal research dengan metode Kualitatif, spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis, jenis data utama dalam penelitian ini adalah data lapangan dan didukung oleh data kepustakaan, metode analisis data menggunakan Yuridis-kualitatif. Untuk validasi data lapangan menggunakan teknik wawancara dan observasi.

Hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian disertasi ini sesuai dengan permasalahan yang dijadikan fokus dalam penelitian didapati hal-hal sebagai berikut: Pertama, bahwa Penegakan hukum pidana menggunakan hukum positif yang tertulis tehadap tindak pidana ringan tidak memberikan keadilan yg bersifat substansial. Kedua, Penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung dengan menggunakan media Rembuk Pekon. Ketiga, pendekatan deregulasi kebijakan dan harmonisasi antara hukum positif dan kearifan lokal berbasis hukum adat Lampung, dengan melakukan dekonstruksi terlebih dahulu dan kemudian merekonstruksi sistem hukum berkeadilan.

Bahwa proses penegakan hukum pidana atas tindak pidana ringan dengan melalui sistem peradilan pidana masih dirasa mengusik keadilan masyarakat dan dengan adanya gugatan terhadap sistem peradilan pidana dengan media Rembuk Pekon berbasis Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung maka perlu diintegrasikan. Adat istiadat Lampung memberikan ruang dalam harmonisasi hukum nasional dengan kearifan lokal yang berbasis hukum adat Lampung yang bertujuan untuk memberikan keadilan.

Kata Kunci : Rekonstruksi, Sistem Hukum Pidana, Kearifan Lokal, Hukum Adat Lampung, Penegakan Hukum atas Tindak Pidana Ringan, Berkeadilan

iv

Page 5: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

ABSTRACT

Indonesian legal system which constructed by tradition values and local wisdom needed to give the space within the development of national legal system. In handling the less serious crime cases, Lampung using customary laws which provide a sense of justice for the parties. The effort to legitimize and to give the space for the provision of settling disputes through local wisdom based on traditional law is needed.

Relevant issues in this dissertation are: (1) Why is the completion of a less serious crime by using positive law disturb the sense of justice to the people, (2) How is the settlement of less serious crime based on local wisdom of indigenous Lampung society, (3) How to reconstruct the criminal justice system in the completion of a less serious crime with customary law based on Lampung local wisdom.

This dissertation research using constructivist paradigm with Non- Doctrinal Approach method or socio-legal research with qualitative methods, using descriptive analytical research specifications, the type of key data in this study is supported by field data and literature data, methods of data analysis using qualitative juridical. To validate field data using interview and observation techniques.

Results of research and discussion in this dissertation in accordance with the issues being focused in the research found the following things: First, that the enforcement of criminal law is using positive law for minor criminal offenses do not provide substantial justice. Second, Completion of minor criminal offenses based on local wisdom of indigenous Lampung using a Rembuk Pekon. Thirdly, the approach of deregulation policies and harmonization between positive law and customary law, by deconstructing and then reconstruct the legal system of justice.

That the process of criminal law enforcement on less serious crime with through the criminal justice system is still considered disturbing the sense of justice and the lawsuit in the criminal justice system can use Lampung Customary Law so that it is needed to be integrated. Lampung customary law gives the space for the harmonization of national legislation with its the local wisdom that aims to provide justice.

Keywords: Reconstruction, Criminal Justice System, Local Wisdom, Lampung Customary Law, Law Enforcement on less serious crime, Fair.

v

Page 6: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

RINGKASAN

Penelitian disertasi ini dilatarbelakangi oleh pandangan penulis terhadap

hukum itu sendiri, paradigma saat ini terkait dengan menafsirkan hukum hanya

menafsirkan Undang-Undang semata. Sedangkan di dalam perkembangan hukum

pidana Indonesia yang tidak terlalu sistematis banyak dirasakan, diperlukannya

penataan kembali dan penyesuaian antara lain penegakan hukum pidana terhadap

tindak pidana ringan sebagaimana dalam hukum acara pidana diatur dalam

ketentuan Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Apabila berbicara tentang hukum di Indonesia, maka yang terlintas

dalam pemikiran penulis akan langsung bertujuan pada Undang-Undang,

Peraturan Perundang-Undangan atau peraturan tertulis lainnya. Padahal

sebenarnya, hukum mempunyai begitu banyak aspek dan terdiri dari banyak

komponen atau unsur-unsur yang lain. Aspek atau unsur mana yang dianggap

paling penting tergantung dari falsafah hukum yang dianut oleh sistem hukum

yang bersangkutan. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana ringan

sebagaimana dalam hukum acara pidana diatur dalam ketentuan Pasal 205 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada pokoknya tindak pidana

ringan diancam dengan pidana paling lama tiga bulan penjara. Tindak pidana

ringan yang perlu mendapat perhatian meliputi pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan

482 KUHP, Pasal-pasal ini telah mengalami perubahan berdasarkan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 16 Tahun 1960, dan Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.

vi

Page 7: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa

menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang.

Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi

pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum tidak dapat hanya dilihat dari

kaca mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan

semua unsur yang ada, seperti hukum yang hidup atau hukum yang tidak tertulis,

moral, perilaku, dan budaya. Oleh karena itu, perlu orientasi dan cara pandang

baru dalam penegakan hukum.

Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih

didominasi oleh cara berpikir legisme, cara penegakan hukum pidana yang hanya

bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan semata. Cara seperti ini lebih

melihat persoalan hukum sebagai persoalan hitam putih, padahal hukum itu

bukanlah semata-mata ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum.

Hukum harus pula dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang senyatanya yang

dapat diterima oleh dan bagi semua insan yang ada didalamnya. Cara pandang

legisme inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis penegakan hukum di

Indonesia. Oleh karena itu, perlu alternatif lain di dalam menegakkan hukum

sehingga ia sesuai dengan konteks sosialnya.

Terobosan dalam penegakan hukum dimana terdapat harmonisasi antara

hukum positif dan hukum yang hidup di masyarakat harus diperhatikan pula, agar

dalam suatu proses pencarian kebenaran sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

Sepertihalnya penggunaan hukum pidana adat Lampung dalam penyelesaian

perkara ringan yang berdasarkan kearifan lokal, dengan memenuhinya rasa

vii

Page 8: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

keadilan masyarakat setempat terhadap tindak pidana ringan yang diselesaikan

melalui hukum adat seyogyanya tidak perlu diteruskan kembali melalui proses

sistem peradilan pidana. Penegakan hukum pidana yang demikian akan mebunuh

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta kearifan-kearifan lokal yang ada di

masyarakat adat Lampung.

Pada realitasnya, terdapat kasus-kasus yang dapat dijadikan bahan untuk

pondasi konstruksi realitas penegakan hukum tindak pidana ringan yang ada

khususnya di Lampung, seperti halnya kasus kawin lari pada masyarakat adat

Lampung Pepadun, serta kasus “Cekcok Rumah Tangga”, kasus “Kesalah

Pahaman”, kasus “Pencurian”, kasus “Penganiayaan”, ¸kasus “Laka Lantas”,

kasus “Keributan”, kasus “Penyerobotan Tanah”, kasus” Perbuatan Tidak

Menyenangkan”, kasus “Penggelapan”, kasus “Penganiayaan ringan”, kasus

“Perbuatan Cabul”, kasus “Penipuan”, kasus-kasus tersebut telah diselesaikan

dalam koridor hukum adat dengan media kearifan lokal, meskipun banyak juga

yang penyelesaiannya tidak melalui jalur hukum adat tetapi melalui peradilan

formal.

Perkara-perkara Tindak Pidana Ringan (TIPIRING) yang masuk ke

pengadilan juga telah membebani pengadilan, baik dari segi anggaran maupun

dari segi persepsi publik terhadap pengadilan. Sebagaimana dinyatakan oleh guru

besar Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie bahwa penumpukan perkara di

pengadilan mencapai 3 (tiga) juta kasus. Tanpa ada akselerasi proses kerja

pengadilan angka itu makin menggelembung. Pada level Mahkamah Agung

tercatat sekitar 13 (tiga belas) ribu perkara kasasi yang belum ditangani hingga

viii

Page 9: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

akhir tahun 2011. Dalam hal ini penegakan hukum pidana berdasarkan pada

ketentuan dalam Hukum positif (KUHP dan Undang-Undang diluar KUHP).

Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya penyelesaian

konflik secara damai, misalnya masyarakat Jawa, Lampung, Bali, Sumatra

Selatan, Lombok, Papua, Sulawesi Barat, dan masyarakat Sulawesi Selatan.

Penyelesaian konflik secara musyawarah untuk secepat mungkin diadakan

perdamaian berkembang sebagai hukum adat. Perkembangan selanjutnya dari

hukum adat pada suku bangsa di Indonesia khususnya terhadap penyelesaian

konflik melalui musyawarah memiliki berbagai kesamaan yaitu konflik diarahkan

pada harmonisasi atau kerukunan dalam masyarakat serta tidak memperuncing

keadaan, dengan sedapat mungkin menjaga suasana perdamaian.

Budaya musyawarah, sebagai sistem nilai yang dihayati oleh masyarakat

Indonesia, merupakan semangat untuk masing-masing pihak yang berunding

didalam musyawarah tersebut untuk menyelesaikan konflik misalnya, akan

berupaya mengurangi pendiriannya sehingga dapat dicapai titik temu yang

menguntungkan bagi semua pihak, yang berujung pada mufakat. Suatu

musyawarah memerlukan tokoh yang dihormati untuk memimpin musyawarah

dapat mencapai mufakat tersebut. Apa yang diputuskan dalam musyawarah guna

menyelesaikan konflik tersebut secara perlahan-lahan berkembang menjadi

hukum adat.

Eksistensi penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui hukum adat

merupakan dimensi baru, dikaji dari aspek teoretis dan praktik. Dikaji dari

dimensi praktik maka hukum adat akan berkorelasi dengan proses peradilan.

ix

Page 10: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Semakin meningkatnya jumlah volume perkara, menjadi beban bagi pengadilan

dalam memeriksa dan memutus perkara sesuai asas “peradilan sederhana, cepat

dan biaya ringan” tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan yaitu

kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Dalam praktek sosial pada

masyarakat Indonesia, penyelesaian secara kekeluargaan sudah lama dikenal dan

telah menjadi tradisi antara lain pada Masyarakat Papua, Aceh, Bali, Sumatera

Barat dan masyarakat Lampung.

Di antara beragam hukum adat yang tersebar di Indonesia, hukum adat

Lampung adalah salah satu hukum adat yang berlaku di Indonesia dan mengatur

masyarakat adat Lampung selama ratusan tahun dari generasi ke generasi, bahkan

hingga kini masih berlaku mengikat bagi masyarakat adat Lampung.

Argumentasi hukum terhadap penggunaan hukum adat dalam proses

penegakan hukum selaras dengan ketentuan Pasal 18 B ayat (2) dengan ini

penyelesaian perkara tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat

Lampung sebagai alternatif dalam pencapaian keadilan. Dalam konteks

penegakan hukum pidana saat ini bahwasanya perlu dilakukan rekonstruksi

sistem hukum pidana dalam aspek hukum formal, agar supaya pada tataran

penegakan hukum pidana dalam tindak pidana ringan terdapat ruang untuk

menyesaikan perkara dengan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung. Dari

uraian latar belakang tersebut di atas, penulis meyakini bahwa dalam proses

penegakan hukum pidana, masih terbuka ruang untuk memberikan keadilan

kepada masyarakat. Dengan pendekatan rekonstruksi sistem hukum pidana

berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal

x

Page 11: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

hukum adat Lampung dapat memberikan keadilan khususnya masyarakat di

ruang yuridiksi hukum adat Lampung. Maka penulis merasa dipandang perlu

untuk melakukan suatu kajian mengenai “Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana

Berkeadilan Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Berbasis Kearifan Lokal

Hukum Adat Lampung”

Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan yang relevan yang

dapat dijadikan Fokus studi dalam penelitian ini adalah membangun konstruksi

sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan.

Kearifan lokal sebagai bagian dari aspek sosial budaya, tertuang dalam bentuk

perilaku dan simbol-simbol sosial masyarakat.

Bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat adat Lampung yang ada tersebut

perlu dikonstruksi seideal mungkin sehingga sistem peradilan pidana dapat lebih

efektif dalam menyelesaikan kasus tindak pidana ringan yang berbasis kearifan

lokal hukum adat Lampung.

Berdasarkan fokus studi, yakni bagaimana sistem hukum pidana

berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal dapat

diselesaikan secara lebih efektif, maka dipandang perlu penelitian ini dilakukan

agar diperoleh pemahaman yang lebih seksama dan mendalam baik secara teoritik

maupun secara praktis. Secara substantif ada beberapa permasalahan yang dikaji

yakni penyelesaian tindak pidana ringan dengan menggunakan sistem peradilan

pidana masih mengusik rasa keadilan masyarakat.

Adapun rumusan masalah di dalam disertasi ini yang pertama, mengapa

penyelesaian tindak pidana ringan dengan menggunakan hukum positif mengusik

xi

Page 12: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

rasa keadilan masyarakat ? Kedua, bagaimana penyelesaian tindak pidana ringan

berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung ? Dan yang ketiga bagaimana

merekonstruksi sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian tindak

pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung.

Penelitian disertasi ini menggunakan paradigma constructivist dengan

Metode Pendekatan Non Doktrinal atau socio-legal research dengan metode

Kualitatif, spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis, jenis data

utama dalam penelitian ini adalah data lapangan dan didukung oleh data

kepustakaan, metode analisis data menggunakan Yuridis-kualitatif. Untuk

validasi data lapangan menggunakan teknik wawancara dan observasi.

Hasil penelitian dan pembahasan, pada masalah yang pertama bahwa

penggunaan sistem peradilan modern sebagai sarana pendistribusi keadilan

terbukti menjumpai banyak hambatan. Adapun yang menjadi faktor penyebab

adalah karena peradilan modern sarat dengan beban formalitas, prosedur,

birokrasi, serta metodologi yang ketat. Oleh karena itu, keadilan yang

didistribusikan melalui lembaga peradilan diberikan melalui keputusan birokrasi

bagi kepentingan umum karenanya cenderung berupa keadilan yang rasional.

Maka tidak heran jika keadilan yang diperoleh masyarakat modern tidak lain

adalah keadilan birokratis. Ketua majelis hakim yang berwenang dalam perkara

itu tidak melakukan pengecekan/kontrol atas isi BAP setelah persidangan. Dalam

praktik beberapa BAP ditandatangani oleh ketua majelis hakim apabila perkara

tersebut sudah pada tahap pembacaan tuntutan.

xii

Page 13: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi keadilan

tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum modern di

Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu

institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar. Padahal

secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang kita pakai tetap

merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.” Oleh sebab itu, untuk

menanggulangi kesulitan yang dialami bangsa Indonesia disebabkan

menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum modern sebagai kaidah

positif menjadi kaidah kultural.

Persoalannya, karena sistem hukum modern yang liberal itu tidak

dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada

masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu. Di samping itu

juga, akibat sistem hukum liberal tidak dirancang untuk memberikan keadilan

substantif, maka seorang dengan kelebihan materiel akan memperoleh “keadilan”

yang lebih daripada yang tidak. Apabila kita terus menerus berpegang kepada

doktrin liberal tersebut, maka kita akan tetap berputar-putar dalam pusaran

kesulitan untuk mendatangkan atau menciptakan keadilan dalam masyarakat.

Dalam rangka melepaskan diri dari doktrin liberal itulah, maka gagasan orang-

orang atau pihak-pihak untuk mencari dan menemukan keadilan melalui forum

alternatif di luar lembaga pengadilan modern sesungguhnya merupakan upaya

penolakan terhadap cara berpikir hukum yang tertutup. Hal itu disebabkan para

pencari keadilan masih sangat merasakan, betapa pun tidak sekuat seperti pada

abad ke-sembilan belas, filsafat liberal dalam hukum dewasa ini masih sangat

xiii

Page 14: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

besar memberi saham terhadap kesulitan menegakkan keadilan substansial

(substantial justice). Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa hukum

modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang

didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar, yakni melalui kebijakan kolonial

di Hindia Belanda. Padahal suatu peralihan dari status sebagai bangsa terjajah

menjadi bangsa merdeka sungguh merupakan suatu momentum yang cukup

krusial. Dalam kehidupan hukum di masa Hindia-Belanda, bangsa Indonesia tidak

mengambil tanggungjawab sepenuhnya dalam masalah penegakan, pembangunan,

dan pemeliharaan hukumnya, melainkan hanya sekadar menjadi penonton dan

objek kontrol oleh hukum. Sedangkan sejak hari kemerdekaannya, bangsa

Indonesia terlibat secara penuh ke dalam sekalian aspek penyelenggaraan hukum,

mulai dari pembuatan sampai kepada pelaksanaannya di lapangan.

Salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh

kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum

dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Untuk

mewujudkan amanat UUD 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan asas-asas penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman yang diatur dalam Pasal 2 bahwa: (1) Peradilan dilakukan“Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; (2) Peradilan negara

menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila; (3)

Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah Peradilan

negara yang diatur dengan Undang-Undang; (4) Peradilan dilakukan dengan

xiv

Page 15: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

sederhana, cepat, dan biaya ringan. Bertolak dari asas-asas tersebut maka nilai-

nilai hukum yang harus diwujudkan pada penyelenggaraan peradilan dalam

rangka menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila

adalah mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang

dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Keadilan berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam tulisan ini diartikan sebagai keadilan

hakiki/materiel/substansial yaitu keadilan yang sesungguhnya tanpa ada rekayasa.

Konteks pelayanan hakim dalam menjalankan tugasnya harus bersifat aktif

bertanya dan memberikan kesempatan yang sama kepada penuntut umum dan

terdakwa untuk bertanya kepada saksi agar dapat menemukan kebenaran

materiel, ini mengingat hakim bertanggungjawab atas segala apa yang

diputuskannya. Putusan hakim yang berkualitas akan mewujudkan rasa hormat

dan wibawa hukum di hadapan publik. Namun sebaliknya jika kualitas putusan

hakim rendah maka dipastikan akan terbangun citra negatif pada hakim dan

hukum, sehingga hakim dan hukum tidak memiliki kewibawaan moral dan sosial

sekaligus. Tiga puluh lima Putusan hakim pada prinsipnya putusan moral, namun

bisa juga menimbulkan malapetaka jika tidak cermat, keliru atau salah.

Pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan Negeri (PN Kelas IA Tanjungkarang

sebagian besar menggunakan acara pemeriksaan biasa yang proses dan tata cara

penanganannya yaitu setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) baik dari Kejaksaan

Negeri Bandar Lampung maupun Kejaksaan Tinggi Lampung menyerahkan

surat dakwaan (pelimpahan perkara) ke Bagian Pidana PN Kelas IA

Tanjungkarang untuk dilakukan registrasi, maka selanjutnya perkara tersebut

xv

Page 16: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri (KPN) melalui panitera untuk

dilakukan pemeriksaan administrasi apakah perkara tersebut menjadi wewenang

PN Kelas IA Tanjungkarang. Jadwal sidang perkara pidana di PN. Tanjungkarang

dilaksanakan mulai pukul 09.00 Wib mulai hari senin sampai kamis setiap

minggunya, namun dalam praktik dilaksanakan di atas pukul 13.00 Wib. Praktik

pembuktian dilakukan dengan cara memeriksa beberapa orang saksi sekaligus

pada waktu yang bersamaan, begitu juga bagi para terdakwa yang perkaranya

saling berkaitan. Selain itu ditemukan adanya pemeriksaan saksi yang berstatus

terdakwa dalam kasus yang sama (saksi mahkota).

Berita acara pemeriksaan (BAP) saksi, pemeriksaan ahli, dan terdakwa yang

dibuat oleh panitera pengganti pada umumnya bukan merujuk pada keterangan

saksi atau terdakwa di persidangan, melainkan menyalin (copy paste) dari BAP

penyidikan, sedangkan terdakwa/penasehat hukum tidak mempunyai akses untuk

meneliti isi BAP tersebut.

Setelah proses pembuktian selesai, tiba saatnya majelis hakim memberikan

putusan. Pada umumnya jarak antara selesainya pembuktian dengan pembacaan

putusan adalah 1 (satu) minggu untuk kesempatan majelis hakim bermusyawarah

untuk menjatuhkan putusan. Namun tidak menutup kemungkinan pada kasus-

kasus tertentu pembacaan putusannya tertunda berminggu-minggu dengan

berbagai alasan. Dalam praktik penyusunan surat putusan hanya disusun oleh

salah seorang anggota majelis hakim biasanya anggota yang paling yunior

(anggota ke-2) atau walaupun yang menyusun salah seorang hakim anggota tapi

isinya atas arahan ketua majelis (three in one), bahkan ada konsep surat putusan

xvi

Page 17: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

yang dibuat oleh Panitera Pengganti (PP) dengan cara mencontoh pada surat

putusan perkara sejenis. Pembacaan putusan oleh majelis hakim dilakukan secara

bersamaan terhadap beberapa terdakwa dalam perkara yang berbeda tetapi

peristiwa hukumnya/kasusnya sama (berkas perkara dipisah) sedangkan surat

putusannya belum diketik.

Dari kasus diatas yang telah dipaparkan secara sosiologis dalam praktik

penyelesaian perkara ringan yang penyelesaiannya cepat dan damai, pernah terjadi

untuk kasus sebagian besar sengketa yang muncul di tingkat desa biasanya ringan,

perkelahian antar tetangga atau anak-anak muda, pencurian kecil dan hujatan atau

fitnah. Dimana resikonya kecil, mekanisme peradilan non negara biasanya

berjalan efektif. Karena kasus-kasus semacam ini adalah yang paling umum

terjadi, kepuasan yang tinggi sangat diharapkan.

Pada pembahasan masalah kedua Berkaitan dengan penyelesaian tindak

pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung, Koesnoe

mengemukakan pendekatan hukum adat dalam penyelesaian konflik adat

berdasarkan tiga asas, yakni, asas rukun, asas patut, dan asas laras.

Dikaji dari perspektif politik hukum pidana Indonesia (ius constituendum)

melalui ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2015 telah diakui eksistensi

hukum yang hidup dalam masyarakat. Dimensi ini menyebabkan asas legalitas

formal dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak dapat diberlakukan

secara mutlak/absolut atau imperatif karena adanya pengecualian sebagaimana

diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP. Pengakuan terhadap

eksistensi ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP ditegaskan pada Penjelasan

xvii

Page 18: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP bahwa, “adalah suatu kenyataan bahwa dalam

beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak

tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah

tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu

yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar

hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut

mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan

pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat

tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat

tertentu”.

Kemudian dalam ketentuan Pasal 54 huruf c RUU KUHP Tahun 2015

ditentukan pula tujuan pemidanaan yaitu “menyelesaikan konflik dan

mengembalikan keseimbangan” yang berorientasi kepada eksistensi kearifan lokal

yang berakar dari budaya Indonesia, selain konsep pemidanaan Barat. Tujuan

pemidanaan “pengembalian keseimbangan dalam masyarakat atau pemulihan

keadaan” didasarkan pada pemikiran bahwa dalam masyarakat adat, menurut

Mallinc Krodt sebagaimana yang dikemukakan oleh Lublink Weddick bahwa

delik bukan saja dipandang sebagai perbuatan yang merugikan secara materiil

pada diri seseorang semata, melainkan juga mengakibatkan kerugian secara magis

berupa gangguan keseimbangan alam sehingga masyarakat juga merasa akan

terkena pengaruhnya (kerugian) atas gangguan ini. Gangguan keseimbangan

menurut Van Vollenhoven merupakan suatu keadaan keseimbangan magis yang

xviii

Page 19: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

terputus yang juga mengakibatkan gangguan ketertiban hidup dalam masyarakat.

Oleh karena itu bila terjadi perbuatan pidana di dalam masyarakat, maka

keseimbangan yang terganggu ini harus dikembalikan atau dipulihkan melalui

pengenaan reaksi adat.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo, sebenarnya sistem pidana dan

pemidanaan di wilayah Indonesia sejak zaman dahulu telah mengenal falsafah

pemidanaan. Hal ini terlihat dari berbagai kitab hukum kuno dan hukum adat dari

berbagai daerah telah menyiratkan tujuan dari respon masyarakat terhadap

terjadinya pelanggaran ketertiban hidup. Sejumlah kitab kuno ini antara lain :

1) Kitab Ciwasasana atau Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa (abad ke-10);

2) Kitab Gadjahmada (abad ke-14); 3) Kitab Simbur Cahaya, di Palembang (abad ke-16); 4) Kitab Kuntara Raja Niti, di Lampung (abad ke-16); 5) Kitab Lontara’ ade’, di Sulawesi Selatan (abad ke-19), dan lain-lain

Dari berbagai kitab tersebut telah mengenal asas legalitas dan asas

proporsionalitas yang menjadi pilar dari hukum pidana moderen. Misalnya Pasal

65 Kitab Perundang Majapahit tentang penjatuhan denda, berbunyi : “Ingatlah,

djangan sekali-kali radja yang berkuasa mendjatuhkan denda lebih besar dari pada

seketi enam laksa …..” Asas proporsionalitas terlihat dalam Pasal 93 “…..

kesalahan besar dendanya besar, kesalahan kecil dendanya kecil …..”

Kearifan lokal adalah kekayaan leluhur yang bersifat turun temurun berupa

tata nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat serta berpengaruh dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat baik dalam bentuk pola fikir maupun perilaku.

Secara terminologi kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan berarti bijak

xix

Page 20: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

atau kebijaksanaan dan lokal secara terminologi berarti “setempat” tetapi secara

hakiki maksudnya adalah tumbuh atau muncul dari tempat/komunitas itu sendiri

dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat atau komunitas itu sendiri.

Pada masyarakat Lampung dikenal adanya Lembaga perwatin dan

kepunyimbangan yang merupakan irisan dan lapisan penting dalam diagram

struktur sosial masyarakat. Lembaga ini merupakan mekanisme dan bentuk

pemerintahan lokal yang terkait dengan proses kepemimpinan dalam

penyelenggaraan sistem kemasyarakatan (Social System). Kepunyimbangan

merupakan proses kepemimpinan geneologis patriarki (dari garis keturunan laki-

laki tertua) yang berasal dari keluarga batih-inti (Nuwo-Nuwa-Lamban-necluer-

family) sebagai institusi kepemimpinan di level bawah. Kepunyimbangan yang

terbawah ini meningkat lagi ke tingkat atas secara berturut-turut yaitu

kepunyimbangan suku, kepunyimbangan Tiyuh-Anek-pekon (kampong, desa),

dan kepunyimbangan ke-Buay-an. Kepunyimbangan ke-Buay-an merupakan

mekanisme rekrutmen kepemimpinan yang didasarkan atas silsilah asal-usul

keturunan kekerabatan tertua (generasi pertama) yang menempati suatu wilayah

teritorial tertentu (tiyuh). Generasi pertama ini yang melahirkan generasi-generasi

selanjutnya dan menyebar dengan cara membuka pembagian wilayah garapan

perladangan-perkebunan dan permukiman (huma, umbul).

Secara garis besar masyarakat Lampung di bagi menjadi dua rumpun

besar, yaitu masyarakat Lampung Saibatin dan Pepadun. Masing-masing

masyarakat Lampung Saibatin dan Pepadun ini terdiri dari beberapa asal-usul ke-

buayaan sehingga sistem pemerintahan diantara keduanya berbeda pula.

xx

Page 21: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Meminjam terminologi Nisbet dalam membagi tipologi masyarakat, mungkin

dapat dikatakan bahwa masyarakat Saebatin, dalam menentukan status seseorang

lebih cenderung mencerminkan komunitas yang didasarkan atas “Ascribed Status

and Tradition” (status yang diwariskan dalam koridor tradisi”), sementara dalam

masyarakat adat Pepadun memiliki ciri “achieved status and contract” di mana

status seseorang diukur dari prestasi dan ditentukan oleh kontrak sosial dalam

sidang kerapatan Perwatin. Dua tipologi masyarakat adat Lampung yang

disebutkan di atas akan lebih tepat bila merujuk pada pendapat Raja Saebatin dari

Paksi Buay Pernong yaitu Komisaris Besar Edward Syah Pernong yang bergelar

Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengan Paksi Sekala Beghak Yang

Dipertuan Agung ke-23 yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan dalam

masyarakat adat Saebatin bersifat aristiokratis, sedangkan masyarakat adat

Pepadun lebih kental demokratis.

Secara umum, dua rumpun besar masyarakat Lampung sebagaimana yang

telah disebutkan di atas terdiri dari keanggotaan (membership) dari bermacam-

macam sub rumpun dalam sistem ke-buay-an yang dibedakan atas dasar

pembagian kesukuan-turunan dari kebuayan tersebut. Dalam masyarakat

Lampung Saebatin terdiri dari sub rumpun besar yaitu Meninting, Teluk,

Semangka, Belalalu/Krui, Ranau, Komering/Kayu Agung dan Cikoneng/Banten.

Sedangkan Pepadun yang terdiri dari kebuayan-kebuayan yang tergabung dalam

Abung Siwo Mego, kebuayan-kebuayan yang mengelompok dalam sub-rumpun

Mego Pak Tulangbawang, Pubian Telu Suku, Way Kanan Buay Lima, dan Bunga

Mayang Sungkai. Baik Saebatin maupun dalam masyarakat Pepadun karena

xxi

Page 22: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

memiliki asal-usul kebuayan yang sangat beragam, sehingga pengaturan

pemerintahan lokalnya diatur dalam mekanisme permusyawaratan para

punyimbang yang diwakili oleh punyimbang ditingkatannya masing-masing

dalam lembaga representatif yang disebut sebagai Perwatin (Proatin). Perwatin

adalah lembaga demokrasi para pemimpin-pemimpin-punyimbang dalam

memutuskan persoalan-persoalan dalam penyelenggaraan sistem dan tatanan

kehidupan masyarakatnya.

Lembaga kepunyimbangan dan perwatin sebagai kekhasan kearifan lokal

sejak lama eksis jauh sebelum masyarakat Lampung mengenal paradigma nation-

state dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan jauh sebelum Belanda

menaklukkan Lampung pada akhir abad ke-19. Akar yang menghunjam kokoh

dalam urat nadi kehidupan bersama masyarakat Lampung menjadi landasan-

pondasi bangunan demokrasi dan politik lokal, yaitu sejak Lampung dikuasai oleh

rezim kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Karakteristik sistem pemerintahan

kekerabatan-kebuayan tidak hilang dari pengaruh dan hegemomi dua kekuatan

besar Negara “adidaya” tersebut. Lembaga kepunyimbangan dan Perwatin

menjadi pola lokal yang berdiri sendiri meskipun para pemimpin Lampung

memberi legitimasi dua kekuatan besar tersebut dengan cara memberi sejumlah

upeti dan Seba (Sowan).

Lembaga kepunyimbangan berwenang menciptakan norma sosial dan

norma hukum sebagai pedoman bagi warga masyarakat adat. Norma ini

mengandung suatu keharusan/kewajiban dan larangan (Cepalo). Norma dan

xxii

Page 23: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

hukum ini diputuskan dan ditetapkan melalui sidang kerapatan perwatin secara

musayawarah yang dihadiri oleh para punyimbang adat.

Hasil tim penelitian Fakultas Hukum UNILA yang diketuai M.Faqih

melaporkan bahwa Prowatin (Perwatin) masih eksis dan berfungsi sebagai

lembaga musyawarah dalam menyelesaikan sengketa hukum di kalangan

masyarakat adat.

Penyimbang menurut pengertian aslinya berasal dari kata simbang yang

artinya giliran atau gantian, dengan arti giliran memimpin. Simbang berarti pula

menirukan dan melanjutkan dari sebelumnya. Simbang juga dimaknai sebagai

keseimbangan antara kewibawaan pemimpin dan keaikhlasan yang dipimpin.

Adanya kearifan antara sang pemimpin dan yang dipimpin. Jadi dalam adat

penyimbang seseorang dapat memimpin sesuai dengan adat yang berlaku, namun

kedudukannya sebagai pemimpin kelak akan diganti dengan yang lain sesuai

dengan musyawarah dan mufakat. Kepenyimbangan adalah konsep dalam strata

sosial yang didapat dari hubungan darah (clan). Bagi masyarakat Lampung,

kepeyimbangan seseorang dalam suatu marga, tidak berlaku bagi marga lain.

Penyimbang marga di Lampung adalah tokoh yang dituakan dalam sebuah

marga, sebutan lain dari keluarga. Secara sosial, marga mengacu pada sekelompok

orang yang berasal dari satu keluarga besar. Struktur masyarakat Saibatin, adok

atau juluk atau sebutan untuk anak laki-laki dilihat berdasarkan urutan tertua dan

termuda adalah; Pangeran, Raja, Dalom dan Kemas. Selanjutnya untuk menjadi

penyimbang hanya anak lelaki tertua dari garis laki-laki yakni mereka yang

memperoleh panggilan Pangeran yang dapat diangkat menjadi penyimbang adat.

xxiii

Page 24: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Ketika pangeran menjadi penyimbang adat, ia memperoleh gelar Suttan, Suntan

atau Sultan. Susunan penyimbang terdiri dari (terendah-teratas) penyimbang suku,

penyimbang pekon/kampung, dan penyimbang marga.

Dalam adat Lampung yang patrilinear, marga dilihat dari garis ayah.

Karena itu, dari satu marga dalam adat Lampung, selalu ada yang disebut

penyimbang. Penyimbang bisa diartikan sebagai orang yang dituakan dalam

marga itu. Orang tersebut sesuai garis keturunan ayah (patrilinear), berada dalam

posisi sebagai anak tertua. Dialah yang kemudian disebut sebagai penyimbang.

Dari pengertian penyimbang ini, posisi seorang penyimbang cuma berlaku dalam

marga dia sendiri. Penyimbang dari marga A, tidak serta-merta menjadi

penyimbang untuk marga lain.

Adapun perwatin atau prowatin adalah lembaga permusyawaratan pada

penyimbang di tingkat suku, tiuh/pekon, dan marga. Anggota perwatin adalah

para penyimbang di setiap tingkatan. Artinya dalam lembaga perwatin tingkat

marga, maka anggotanya terdiri dari penyimbang-penyimbang di level marga.

Sedangkan bila lembaga perwatin di tingkat tiuh anggotanya adalah para

penyimbang di tingkat tiuh tersebut. Dalam lembaga perwatin, keputusan diambil

secara demokratis dimana setiap penyimbang yang menjadi anggota lembaga

perwatin (yang ketika berbicara di forum disebut merwatin) mempunyai hak suara

dan mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat. Jadi kedudukan para

penyimbang dalam perwatin setara satu sama lain dan keputusan yang diambil

dalam forum tersebut mengikat semua anggota perwatin atau para penyimbang

yang ada. Seluruh kelompok marga yang ada di Lampung dikumpulkan lewat

xxiv

Page 25: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

representasi seluruh penyimbang marga. Kepada para penyimbang diperkenalkan

konsep prowatin sebagai upaya menata satu sistem pemerintahan negara yang

dimulai pada tingkat suku (dusun/umbul).

Berkenaan dengan penyelesaian perkara yang merugikan pihak-pihak atau

salah satu pihak di dalam kearifan lokal hukum adat Lampung dikenal pula

rembuk pekon, yang mana dalam metode penyelesaiannya serupa dengan mediasi,

yang pada intinya mengutamakan musyawarah mufakat. Maka tidak tertutup

kemungkinan bilamana dapat di lakukannya penyelesaian tindak pidana ringan

meggunakan pendekatan kearifan lokal hukum adat Lampung. Dalam prakteknya

dapat di gambarkan melalui kasus perkelahian antara Andreansyah bin Suhut

Gianto dengan Yudi Wastono bin Misdi dimana dalam hal tersebut

penyelesaiannya melalui media rembuk pekon. Dan tidak dibawa keranah hukum

formal. Dengan media kearifan lokal ini proses tindak pidana ringan dapat

terselesaikan dengan keadilan yang dirasakan oleh para pihak.

Dalam praktek penegakan hukum pidana yang merupakan tugas pokok

Polri dalam menjalankannya sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini Polri telah

melakukan media Rembuk Pekon sebagai solusi dalam pemecahan masalah dalam

penyelesaian tindak pidana ringan yang tujuannya sebagai alat untuk mencapai

keadilan untuk para pihak.

Selanjutnya pembahasan tentang rekonstruksi sistem hukum pidana

berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan dalam usaha

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga

xxv

Page 26: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum

pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan

hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law

enforcement policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum

pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan

penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga

merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik

dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.

Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi

kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktik

perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum

pidana merupakan bagian dari kebijakan kebijakan atau politik hukum yang

dianut di Indonesia.

Tidak ada keraguan sedikitpun menempatkan Pancasila sebagai dasar

negara. Dalam posisi seperti itu, Pancasila harus dijadikan sebagai paradigma

(kerangka berfikir, sumber nilai, dan orientasi arah) dalam pembangunan hukum,

termasuk semua upaya ke arah pembaharuannya. Dalam tahapan implementasinya

tidak dapat serta merta menempatkan pancasila, karena saat ini terhalang oleh

eksistensi hukum modern, bahkan sama halnya dengan penerapan hukum adat

dalam sistem hukum nasional penuh dengan halangan prosedural.

Salah satu bentuk nyata mengembalikannya sebagai ideologi negara

dalam makna yang sesungguhnya, Pancasila harusnya mampu menjadi dan

ditempatkan sebagai kaidah penuntun dalam proses pembentukan peraturan

xxvi

Page 27: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

perundang-undangan. Dalam kaitan ini, Notonagoro menyatakan bahwa Pancasila

merupakan cita hukum (rechtsidee) karena kedudukannya sebagai pokok kaidah

fundamental negara (staatsfundamentalnorm) yang mempunyai kekuatan sebagai

grundnorm. Sebagai cita hukum, Pancasila menjadi bintang pemandu seluruh

produk hukum nasional. Karenanya, semua produk hukum ditujukan untuk

mencapai ide-ide yang dikandung Pancasila.

Pilihan hukum akan menjadi bagian penting dalam merekonseptualisasi

model sistem hukum nasional, dengan metode setidaknya akan dihasilkan sistem

hukum pidana yang terbuka yang kemudian dapat terlihat dengan jelas masalah-

masalah dalam penegakan hukum pidana saat ini. Melalui berbagai model yang

telah banyak di kembangkan para ahli hukum Indonesia tentang pembaharuan

hukum pidana Indonesia, dalam hal ini penulis mencoba membuat model yang

terintegral dalam sistem hukum pidana nasional yang khususnya mengenai

penyelesian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung

sebagai media dalam memberikan keadilan.

Pembangunan sistem hukum nasional secara sederhana, dengan perbedaan

mencoba mengakomodir sistem nilai yang hidup di dalam kesatuan nasional.

Indonesia dikenal sebagai negara yang bercorak multikultural, multietnik, agama,

ras, dan multi golongan. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika secara de facto

mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Wilayah negara yang membentang luas dari Sabang sampai

Merauke. Indonesia memiliki sumber daya alam (natural resources) yang kaya

dan melimpah bak untaian zamrud mutu manikam di bentang garis Khatulistiwa,

xxvii

Page 28: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

dan berwujud sebagai sumber daya budaya (cultural resources) yang beragam

coraknya. Dengan diakomodirnya untuk proses penyelesaian tindak pidana maka

bukan tidak mungkin peraturan tersebut akan berdaya guna, karena dengan sangat

dimengerti dan mudah dipahami terhadap nilai aturan tersebut yang diadopsi dari

sumber nilai diluar hukum.

Studi tentang hukum sebagai sistem pengendalian sosial (social control)

dalam kehidupan masyarakat telah banyak dilakukan oleh para ahli antropologi.

Karena itu, dikatakan bahwa para antropolog memberi kontribusi yang sangat

bermakna dalam pengembangan konsep hukum yang dioperasikan dalam

masyarakat. Hukum dipelajari sebagai bagian integral dari kebudayaan secara

keseluruhan, dan hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang

dipengaruhi oleh aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, religi, dan

lain-lain. Dengan dasar argumentasi tersebut, akan dihasilkan Sistem Hukum

Pidana Nasional Berbasiskan Pancasila.

Tentang sistem hukum pidana berkeadilan dengan berbasis kearifan lokal

hukum adat Lampung penulis mencoba memformulasikan dalam khasanah

memfokuskan kajian sistem dan menyesuaikan sistem tersebut dengan nilai yang

di terima dan dianggap ada oleh masyarakat setempat, dan tak jarang hasil dari

penggunaannya menghasilkan keadilan yang melebihi nilai dari hukum positif

Indonesia. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana ringan dengan

menggunakan sistem hukum pidana nasional, maka sudah pasti akan melalui

tahapan-tahapan yang telah di perintahkan untuk diikuti berdasarkan perintah

Peraturan Perundang-undangan. Berbeda halnya dengan pendekatan nilai kearifan

xxviii

Page 29: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

lokal hukum adat Lampung. Norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat

secara metodologis dapat dipahami dari keputusan-keputusan seseorang atau

sekelompok orang yang secara sosial diberi otoritas untuk menjatuhkan sanksi

kepada para pelanggar hukum. Proses penegakkan hukumnya tidak formal dan

selalu dirasakan keadilannya oleh pihak-pihak yang menggunakan sistem hukum

pidana yang berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung.

Penyelesian dalam penegakan hukum melalui Kearifan Lokal berbasis

Hukum Adat senyatanya sesuai dengan Konstitusi dan sistem Hukum Nasional.

Hukum adat pada hakikatnya mengembalikan keseimbangan atas perilaku

menyimpang di masyarakat, di dalam penegakan hukum melalui Kearifan Lokal

berbasis Hukum Adat Lampung senyatanyapun memiliki kemanfaatan yang sama

yaitu mengembalikan keseimbangan dalam tatanan di masyarakat. Pada

pembangunan sistem hukum pidana nasional perlunya mengabsorpsi (menyerap)

Kearifan Lokal dengan basis Hukum Adat (dengan unsur asas hukum pidana,

ketentuan-ketentuan umum) seperti di Lampung melalui Rembuk Pekon (tempat

bermusyawarah), anjaw silau (silaturrahmi), angkonan muarghi (mengangkat

persaudaraan), perdamaian (pemaafan) dan pemberian gelar, ini merupakan ciri

khas adat Lampung, unsur-unsur dalam penegakan hukum melalui Kearifan Lokal

Hukum Adat Lampung senyatanya memberikan rasa keadilan terhadap penegakan

hukum atas tindak pidana ringan.

Sisi-sisi penegakan hukum pidana saat ini terpaku hanya melalui

pendekatan hukum positif yang tertulis dan diundangkan oleh pemerintah,

melalui penegakan penegakan hukum yang statis dengan hanya merujuk padan

xxix

Page 30: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

sistem dan metode hukum positif ini menjadi titik tolak dalam membangun

kembali dari hasil rekonstruksi dalam penegakan hukum atas tindak pidana ringan

di Lampung, dengan fokus antara lain ;

Pertama melalui pendekatan substansi hukum bahwa merekonstruksi

bangunan hukum yang sudah ada dengan berbasiskan nilai pada kearifan lokal di

Lampung, penegakan hukum atas tindak pidana ringan di Lampung yang

senyatanya untuk aparatur tetap mempergunakan hukum yang sifatnya tertulis

semata. Dengan pendekatan rekonstruksi melalui pendekatan substansi hukum

secara konstitusional keberlakuan dalam masyarakat memiliki legitimasi

konstutisonal, dengan dasar tersebut pembangunan paradigma segmentasi dalam

penerapan hukum untuk penggunaan Kearifan Lokal hukum adat Lampung pada

kualifikasi tindak pidana ringan, melalui model tersebut akan memberikan media

alternatif untuk mencari keadilan dalam penegakan hukum atas penyelesaian

tindak pidana ringan di Lampung.

Kedua melalui pendekatan Struktur, dalam bangunan struktur hukum saat

ini dengan mengedepankan model moderenisme kelembagaan di dalam Sistem

Peradilan Pidana menjadi dasar tertundanya dalam mendistribusikan keadilan.

Dengan bangunan kelembagaan berdasarkan Undang-Undang sektor kelembagaan

didalam Sistem Peradilan Pidana saat ini menjadikan keadilan pun memiliki

tempat dalam hukum tertulis yang dipositifkan. Atas argumentasi hukum tersebut

dalam pendekatan subsistem struktur memerlukan kebijakan penataan kembali

sebagai legitimasi kewenangan terhadap subsistem struktur agar selaras dengan

bangunan substansi hukum pidana nasional, melalui pemberian jaminan hukum

xxx

Page 31: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

atas penyelenggara Sistem Peradilan Pidana untuk memberikan alternatif terhadap

penegakan hukum dengan Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung. Dengan fokus

rekonstruksi subsistem substansi dan subsistem struktur dengan model

pembaharuan hukum untuk mendekatkan keadilan dapat memberikan model-

model dalam penegakan hukum sepertihalnya, doubel track system (model dua

jalur) dan pengalihan (diversi) hukum (kebijakan mengesampingkan hukum

tertulis), dapat digunakan dalam penyelesaian tindak pidana ringan di Lampung

dengan tetap memperhatikan Kearifan lokal Hukum Adat Lampung. Dengan

demikian akan menjadi model pembaharuan hukum pidana nasional dalam

penegakan hukum dengan harmonisasi antara Kearifan Lokal berbasiskan hukum

adat dengan hukum tertulis yang dipositifkan oleh pemerintah.

Rekomendasi yang pertama perlu dikembangkan model dalam

penyelesaian tindak pidana ringan khususnya menggunakan media kearifan lokal

dengan media hukum adat. Yang kedua perlu dikembangkan dan diformulasikan

kebijakan hukum pidana untuk mencoba mengkontruksikan kembali sistem

penyelesaian dengan berbasis hukum adat yang berkeadilan dengan pendekatan

kearifan lokal. Dan yang ketiga perlu di kembangkan bentuk dan di tetapkan

kebijakan hukum pidana yang diarahkan kepembaharuan hukum pidana guna

mencapai keadilan yang substansial tanpa mengesampingkan aspek keadilan

formal.

xxxi

Page 32: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

SUMMARY

This dissertation research was based on legal subject perpective about law

itself, recent paradigm related to legal interpretation just interpret Act merely.

Whereas, within Indonesia criminal law development which wasn't too systematic

was felt needed rearrange and adjustment, for example, criminal law maintenance

about light crime such as within law judicial procedure regulated within definition

of Article 205 of Criminal Procedure Act (KUHAP).

When talking about the law in Indonesia, the author thought directly to

Acts, Regulation, Legislation or other written rules. When in fact, the law has so

many aspects and is made up of many components or other elements. Aspects or

elements which are considered the most important subject of legal philosophy

embraced by the legal system concerned. Enforcement of criminal law against

misdemeanor in criminal procedural law as stipulated in article 205 the Code of

Criminal Procedure In essence, a misdemeanor punishable by a maximum of three

months in prison. Misdemeanor that need attention include Article 364, 373, 379,

384, 407, and 482 Penal Code, the Articles have been amended by the

Government Regulation in No. 16 of 1960, and the Supreme Court Regulation

No. 2 of 2012.

xxxii

Page 33: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Most law enforcement agencies reduce the understanding that

enforcing the law is defined the same as enforcing the acts. This

understanding implies that the acts (legislation) become the center of

attention. In fact, law enforcement can not only be seen from the eye of the

act, but should be viewed as a whole by involving all elements, such as the

living law or unwritten law, morals, behavior, and culture. Therefore, it is

necessary orientation and a new approach to law enforcement.

Law enforcement through the criminal justice system is still

dominated by ‘legisme’ way of thinking, a way of criminal law

enforcement relied only to legislation alone. This way is better viewed as a

matter of law issues in black and white, but the law was not merely the

absence of non-legal concepts. Laws should also be viewed from a social

perspective, the actual behavior that is acceptable and for all human beings

in it. Legisme perspective is actually one of the causes of the crisis of law

enforcement in Indonesia. Therefore, other alternatives need to enforce the

law so that it corresponds to the social context.

Breakthrough in law enforcement where there is harmonization

between positive law and the living law in society must be noted also, that

in a truth-seeking process in accordance with the public sense of justice.

Likewise the use of criminal law in the settlement of indigenous Lampung

light based on local wisdom, to fulfill a sense of justice the local

communities for minor criminal offenses were resolved through customary

xxxiii

Page 34: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

law should not have to be passed back through the criminal justice system.

Criminal law enforcement will vanish the values that live in the

community and local wisdom in indigenous Lampung.

In reality, there are cases that can be used as material for the

foundation of the construction of law enforcement misdemeanors that exist

especially in Lampung, as was the case eloped indigenous Lampung

Pepadun, as well as cases of "Domestic issues", the case of

"misunderstanding" , "theft", "persecution", the case "traffic accident",

"commotion", "land invasions", the case of "unpleasant act",

"embezzlement", "simple assault" "molestation ", and " fraud ", the cases

have been resolved within the customary way, yet also some of it through

the formal justice.

Misdemeanor that go to trial have also been the burden for the

court, both in terms of budget and in terms of public perception. As stated

by the professor of the University of Indonesia Asshiddiqie that the

buildup of a court reaches three (3) million cases. Without the acceleration

of the process of court that figure increasingly bloated. At the Supreme

Court level recorded about 13 (thirteen) thousand cassation cases were not

addressed until the end of 2011. In this case the enforcement of criminal

law is based on the provisions in positive law (Penal Code and the Acts

outside the penal Code).

 Various ethnic groups in Indonesia have a culture of peaceful conflict

resolution, for example, the Java community, Lampung, Bali, South

xxxiv

Page 35: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Sumatra, Lombok, Papua, West Sulawesi and South Sulawesi. Settlement

of the conflict as soon as possible consensus for peace held evolved as

customary law. The subsequent development of customary law on ethnic

groups in Indonesia, especially on the settlement of the conflict through

compromise have many similarities which are directed at the

harmonization of conflict or harmony in society and do not exacerbate the

situation, to the extent possible to maintain an atmosphere of peace.

Culture deliberation, as a value system that is internalized by the people of

Indonesia, is a passion for each of the parties to negotiate in these

deliberations to resolve the conflict, for example, will seek to reduce its

establishment in order to achieve common ground that benefits all parties,

which resulted in consensus. A deliberation requires a respected figure to

lead the deliberation to reach consensus. What was decided in the meeting

to resolve the conflict slowly evolved into customary law.

The existence of the settlement out of court through customary law

is a new dimension, studied from theoretical and practical aspects.

Examined from the dimensions of the practice of customary law will be

correlated with the judicial process.

The increasing number of case volume is a burden for the court to

examine and decide cases in accordance with the principles of justice

‘simple, fast and inexpensive" without compromising the achievement of

the goals of justice, namely the rule of law, expediency and fairness. In

social practice in Indonesian society, in a family settlement has long been

xxxv

Page 36: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

recognized and has become a tradition among others, the people of West

Papua, Aceh, Bali, West Sumatra and Lampung people.

Among the various customary laws spread across Indonesia,

Lampung customary law is one of the customary laws in Indonesia and

Lampung organize indigenous peoples for hundreds of years from

generation to generation even today they are binding for indigenous

peoples Lampung.

Legal arguments against the use of customary law in the law

enforcement process in line with the provisions of Article 18 and

paragraph (2) of this groundbreaking settlement with a misdemeanor based

on local wisdom of indigenous Lampung as an alternative in achieving

justice. In the context of criminal enforcement at this time that it is

necessary to do the reconstruction of the criminal justice system in a

formal legal aspects, so that at the level of criminal enforcement in minor

criminal cases there is room for settle the dispute with customary law

based on local wisdom Lampung. From the above description of the

background, the author believe that in the process of criminal law

enforcement, there is still open space to provide justice to the people. With

the approach of the reconstruction of criminal justice systems in the

resolution of minor criminal offenses based on local wisdom of indigenous

Lampung can deliver justice, especially people in the room Lampung

jurisdiction of customary law. The author feel it is necessary to conduct an

xxxvi

Page 37: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

assessment of the "Reconstruction of the Criminal Justice Legal System In

light crime Settlement Based Local Wisdom Lampung Customary Law "

Based on this background relevant issues that can be used as a focus of

study in this research is to develop the legal system construction in the

settlement of criminal justice misdemeanor. Local wisdom as part of the

socio-cultural aspects, embodied in the form of behavioral and social

symbols.

The forms of local wisdom of indigenous Lampung that there

needs to be constructed as ideal as possible so that the criminal justice

system can be more effective in resolving minor criminal cases based on

local wisdom of indigenous Lampung.

Based on the focus of the study, namely how the criminal justice

system in the resolution of minor criminal offenses based on local wisdom

can be resolved more effectively, it is necessary the study was conducted

in order to obtain a more thorough understanding and deep both

theoretically and practically. Substantively there are some problems that

assessed the completion of a misdemeanor by using the criminal justice

system is still disturbing sense of justice.

The formulation of the problem in this dissertation first, why the

settlement of misdemeanor using positive law can disturb public sense of

justice? Second, how the settlement of minor criminal offenses based on

local wisdom of indigenous Lampung? And the third is how to reconstruct

xxxvii

Page 38: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

the justice system of criminal law in the resolution of minor criminal

offenses with customary law based on local wisdom Lampung.

This dissertation research using constructivist paradigm with Non

Doctrinal Approach method or socio-legal research with qualitative

methods, using descriptive analytical research specifications, the type of

key data in this study is supported by field data and literature data,

methods of data analysis using qualitative juridical. To validate field data

using interview and observation techniques.

  The results of research and discussion, the first problem that the

use of modern justice system as a means of justice distributor proven

across many obstacles. As for the causative factor is that modern justice

burdened with formalities, procedures, bureaucracy and strict

methodology. Therefore, justice is distributed through the judiciary given

through bureaucratic decisions for the common good thus tend to be

rational justice. So do not wonder if justice is obtained modern society is

nothing but bureaucratic justice. Chairman of the judges in charge of the

case it does not check / control over the contents of the dossier after the

trial. In practice some the report signed by the presiding judge if the case

is already at the stage of case hearing

. The existence of the judiciary system as one of the justice

distribution agent cannot be separated from the acceptance and the use of

modern law in Indonesia. Modern law in Indonesia is accepted and

implemented as a new institution to be imported or imposed on the

xxxviii

Page 39: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

outside. Viewed from the optical socio-cultural, modern law that we use

remains a kind of "strange object in our bodies." Therefore, to overcome

the difficulties experienced by the Indonesia due to use of modern law, is

to make modern law as a rule be positive cultural norms.

The problem is, because the modern liberal legal system was not

designed to reflect and give justice to the wider community, but rather to

protect individual liberties. In addition, also, due to the liberal legal system

is not designed to provide substantive justice, the one with the excess

material will obtain "justice" more than those without. If we continue to

cling to the liberal doctrine, then we will still swirling in the maelstrom of

trouble to bring in or create justice in society. In order to break away from

the liberal doctrine that, the idea of people or parties to seek and find

justice through alternative forums outside the institution modern court is

actually a way of thinking the rejection of laws that are closed. That is

because the justice seekers still feel, however not as strong as in the

nineteenth century, the liberal philosophy in the law today is still very

large stock gives justice to the difficulties substantially (substantial

justice). As has been stated in advance that the modern law in Indonesia is

accepted and implemented as a new institution to be imported or imposed

from the outside, through colonial policy in the Dutch East Indies.

Whereas a transition from status as a colonized people became

independent nation is indeed a quite crucial momentum. In a legal life in

the Dutch East Indies, the Indonesian people do not take full responsibility

xxxix

Page 40: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

in matters of enforcement, construction, and maintenance of the law, but

merely a spectator and object control by law. Meanwhile, since the day of

independence, Indonesian people fully involved in all aspects in the

administration of justice, from the scratch until its implementation in

practice.

One of the important principles of a constitutional state is the

guarantee of the implementation of independent judicial power, free from

the influence of other powers to conduct judiciary to uphold law and

justice as stipulated in Article 24 paragraph (1) The Constitution of The

Republic of Indonesia 1945. In order to realize the mandate of the

Constitution, Law number 48 Year 2009 concerning judicial power

establishes the principles of the organization of judicial power under

Article 2 that: (1) Justice is done, "As Justice by God the almighty"; (2)

The Court states implement and enforce law and justice based on

Pancasila; (3) All courts in the entire territory of the Republic of Indonesia

is a country that is governed by the Courts Act; (4) Justice is done with a

simple, fast, and low cost. Starting from these principles, the values of law

that must be realized in the administration of justice in order to implement

and enforce the law and justice based on Pancasila is justice based on God

which is done in a simple, fast and inexpensive. Justice is based on God in

this paper is defined as the intrinsic justice / materiel / substantial that real

justice without any engineering.

xl

Page 41: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Context service of judges in performing their duties must be active

to ask and give equal opportunity to the public prosecutor and the accused

to ask the witness to find the truth of the material, is given judge

accountable for what it decides. Decision qualified judges will realize the

respect and authority of the law in public. But on the contrary if the quality

is low, the judge's decision is certain to awaken the negative image of the

judge and the law, so that the judge and the law don’t have the moral

authority and social at the same time. Thirty-five verdicts in principle

moral judgments, but it can also be disastrous if not careful, mistaken or

wrong. Examination of criminal cases in the District Court Class IA

Tandjungkarang mostly using interrogation usual processes and

procedures for handling that is, after the Public Prosecutor , both from the

State Attorney Bandar Lampung and the High Court of Lampung submit

indictments (the transfer case) to Section criminal of the court Class IA

Tandjungkarang to submit a registration, then the next case was handed

over to the Chairman of the Court (KPN) through the clerk to do

administrative examination whether the case is under the authority of the

PN Class IA tanjungkarang. Schedules hearing criminal cases in District

Court. Tandjungkarang held starting at 09.00 pm began Monday through

Thursday each week, but in practice carried over at 13:00 am. the practice

of evidence done by examining several witnesses at once at the same time,

as well as for the defendants that their case related to each other. also

xli

Page 42: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

found a hearing witnesses the status of the accused in the same case

(crown witness).

Dossier (BAP) witness, expert examination, and the defendant made by

the clerk replacement is generally not referring to the testimony of

witnesses or the accused in the trial, but a copy (copy and paste) of the

report investigation while the accused / counsel did not have access to

research the contents of the dossier.

Once the verification process is complete, it's time the judges give

a verdict. In general, the distance between the completion of the proof of

the verdict is 1 (one) week for the judges deliberated opportunity to make

a decision. But did not rule on certain cases the reading of the verdict was

delayed for weeks by a variety of reasons. In the practice of drafting letter

ruling only compiled by a member of the panel of judges are usually

members of the most junior (member of the 2nd) or though constituting

one of the judges but the content on the landing head of the panel (three in

one), there is even a draft of the decision made by the Registrar in a

manner modeled on a similar case letter ruling. Verdict by the judges

carried out simultaneously against several defendants in the case were

different but the events of legal / same case (split) while the decision has

not been typed letter.

From the above cases has been described sociologically in the

practice of settling disputes light rapid and peaceful settlement, once the

case for most of the cases of disputes arising at the village level are usually

xlii

Page 43: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

mild fights between neighbors or younger children, petty theft and

blasphemy or defamation. Where the risk is small, non-state justice

mechanisms are usually effective. Because such cases are the most

common, high satisfaction is expected.

In connection with the discussion of the second issue of the settlement of

minor criminal offenses based on local wisdom of indigenous Lampung,

Koesnoe proposed approach customary law in indigenous conflict

resolution based on three principles, namely, the principle of harmonious,

the principle is worth, and barrel.

Examined from the political perspective of the Indonesian criminal law

(ius constituendum) through the provision of Article 1 paragraph (3) the

draft of Penal Code year 2015 has recognized the existence of laws that

live in the community. This dimension led to formal legality principle in

the provisions of Article 1 secton (1) Penal Code draft can not be enforced

as absolute / absolute or imperative for their exclusion as stipulated in

Article 1 (3), (4) Penal Code draft. Recognition of the existence of the

provisions of Article 1 (3) Penal Code draft was confirmed on the

elucidation of Article 1 paragraph (3) Penal Code draft that, "it is a fact

that in some specific regions in Indonesia there are legal provisions that

are not written in the society and serve as law in the area. Such things are

also in the field of criminal law that is usually referred to by the customary

criminal offense. To provide a robust legal basis regarding the entry into

force of customary criminal law, then it gets the settings explicitly in the

xliii

Page 44: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Code of Penal this. The provisions in this paragraph is an exception to the

principle that criminal provisions stipulated in the legislation. He admitted

criminal acts such indigenous to better satisfy the justice that live in a

particular community ".

Later in the provision of Article 54 letter c draft for Penal Code in 2015

defined the objectives of sentencing that "resolve the conflict and restore

the balance" which is oriented to the existence of local knowledge that is

rooted in the culture of Indonesia, in addition to the concept of punishment

West. The purpose of sentencing "the return of balance in society or the

recovery state" based on the idea that the indigenous people, according to

Mallinc Krodt as proposed by Lublink Weddick that the offense is not just

seen as an act that is harmful to the material in a person alone, but also

resulted in a loss magically in the form of natural balance disorders so that

people also felt it would be exposed to its influence (loss) for the

interruption. Mr Van Vollenhoven balance disorder is a condition that

disconnects the magical balance that also lead to disturbances in the

society. Therefore, if there is a crime in the community, then the balance is

disturbed, this must be returned or restored through the imposition of

customs reaction.

Harkristuti Harkrisnowo, actual penal system and punishment in

the Indonesian territory since ancient times has been familiar with the

philosophy of punishment. This is evident from the various books of the

ancient law and customary law of various areas has implied the purpose of

xliv

Page 45: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

the public response to the violation of order of life. A number of ancient

books include:

1) Book Ciwasasana or Purwadhigama at the time of King Dharmawangsa

(contract, 10);

2) The Book Gadjahmada (14th century);

3) The book Simbur Light, Palembang (16th century);

4) Book of Kuntara Raja Niti, in Lampung (16th century);

5) The Book Lontara 'ade', in South Sulawesi (the 19th century), and

others

Of the many books that have been familiar with the principle of legality

and the principle of proportionality of the pillars of modern criminal law.

For example, Article 65 Majapahit Book of Regulations on the imposition

of fines, reads: "Remember, do not let all-time king of the ruling charged

the fines greater than sixty thousand ... .." The principle of proportionality

stipulated in Article 93 "... .. big mistake big penalties, minor penalties for

small mistakes ... .. "

Local wisdom is a ancestral hereditary, formed of values that grow

and developed in society and influence in the daily life of society, both in

the form of thought patterns and behaviors. In terms of local wisdom

consists of two words that mean sage wisdom or wisdom and local

terminology means "local" but essentially the intention is to grow or

emerge from the place / the community itself and believed by the

community or the community itself.

xlv

Page 46: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

In Lampung people recognized the Institute perwatin and

kepunyimbangan which is sliced and important layers in the social

structure diagram. This institution is the mechanisms and forms of local

government related to the leadership process in the administration of the

social system. Kepunyimbangan is geneologis patriarchal leadership

process (from the lineage of the oldest male) from the nuclear family-core

as an institution of leadership at lower levels. Kepunyimbangan the bottom

is increased again to the top tier in a row that kepunyimbangan tribe,

kepunyimbangan Tiyuh-Anek-pekon (kampong, village), and

kepunyimbangan ke-Buay-an. Kepunyimbangan ke-Buay-an all a

leadership recruitment mechanisms based on genealogical origins of

kinship oldest offspring (first generation) who occupy a particular

territorial area (tiyuh). This first generation that gave birth to future

generations and spread by opening zoning-plantations and arable farming

settlements (huma, pennant).

Broadly speaking Lampung people divided into two large clumps,

namely Lampung people Saibatin and Pepadun. Each community

Lampung Pepadun Saibatin and is composed of several origins ke-Buay-

an so that the system of government of the two differently.

Borrowing terminology of Nisbet in dividing the typology of the

community, it may be said that the public Saebatin, in determining the

status of a person is more likely to reflect the community that is based on

"Ascribed Status and Tradition" (status is inherited in the corridor tradition

xlvi

Page 47: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

"), while the indigenous peoples Pepadun characterized" achieved status

and contract "in which a person's status of achievement is measured and

determined by the social contract in court Perwatin density. Two

typologies of indigenous Lampung mentioned above would be more

appropriate to refer to the opinion of King Saebatin of Paksi Buay Pernong

namely Commissioner Edward Syah Pernong the title of Sultan Prince

Raja selalau Leaders Agung With Paksi Sekala Beghak Yang Pertuan

Agong to 23 which says that the system governance within indigenous

communities are aristocrats Saebatin, while the indigenous peoples

democratic Pepadun more viscous.

In general, two large clumps of Lampung people as mentioned

above consist of: membership (membership) of the various sub clumps in

the system all Buay's differentiated on the basis of tribal division-

derivative of the kebuayan. In Lampung people composed of sub Saebatin

large clumps that Meninting, bay, Watermelon, Belalalu / Krui, Ranau,

Ogan / Wood Court and Cikoneng / Banten. While Pepadun consisting of

kebuayan-kebuayan incorporated in Abung Siwo Mego, kebuayan-

kebuayan clustered in sub-clumps Mego Pak Tulangbawang, Pubian telu

Tribes, Buay Right Way Lima and Bunga Mayang Sungkai. Both Pepadun

Saebatin and in the community because it has its origins kebuayan very

diverse, so the local government arrangements stipulated in the

consultative mechanism punyimbang represented by punyimbang at its

own level in a representative institution known as Perwatin. Perwatin is a

xlvii

Page 48: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

democratic institution of the leaders-punyimbang in deciding the issues in

the administration of the system and the livelihood of its people.

Kepunyimbangan institutions and perwatin as typical local wisdom has

long existed long before Lampung people familiar with the paradigm of

the nation-state and the Republic of Indonesia, even long before the Dutch

conquered Lampung at the end of the 19th century. Stabbing roots firmly

in the lifeblood of the community together Lampung be the cornerstone of

democracy-building foundation and local politics, which is controlled by

the regime since Lampung kingdom of Srivijaya and Majapahit.

Characteristics of kinship system of government-kebuayan not disappear

from the influence and hegemomi two great powers of the State

"superpower" is. Kepunyimbangan institutions and Perwatin into a pattern

of local stand-alone although the leaders Lampung legitimacy of the two

great powers by giving a number of tributes and Seba (Sowan).

Kepunyimbangan institutions authorized to create social norms and

legal norms as guidelines for indigenous peoples. This norm contains a

requirement / obligation and prohibition (Cepalo). Norma and this law is

decided and determined by trial perwatin density in meeting attended by

indigenous punyimbang.

Results of the research team of the Faculty of Law UNILA, chaired by

M.Faqih reported that Prowatin still exist and function as institutions of

deliberation in resolving legal disputes among indigenous peoples.

xlviii

Page 49: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Penyimbang according to its original meaning is derived from the

word meaning simbang turn or rotation, meaning turn lead. Simbang also

means imitating and continuing . Simbang also be interpreted as a balance

between the authority of the leader and the led keaikhlasan. Their wisdom

between the leader and the led. So in penyimbang indigenous person can

lead accordance with prevailing custom, but his position as a leader will

soon be replaced with another according to the deliberation and consensus.

Kepenyimbangan is the concept of the social strata obtained from blood

relations (clan). For the people of Lampung, kepeyimbangan someone in a

clan, does not apply to other genera.

Penyimbang clan in Lampung is the elder leaders in a clan, another

name of the family. Socially, clan refers to a group of people who came

from a large family. Saibatin community structures, ADOK or named or

designation for boys seen in order of oldest and youngest are; Prince,

King, Dalom and Pack. Furthermore, to be penyimbang only the eldest son

of the male line: those who obtain the Prince calls that can be made into

custom penyimbang. When the prince became customary penyimbang, he

earned Suttan, Suntan or Sultan. Penyimbang arrangement consists of

(low-top) penyimbang tribe, penyimbang pekon / village, and penyimbang

clan.

In Lampung patrilinear customary, the views from the paternal

clan. Therefore, from one clan in indigenous Lampung has called

penyimbang. Penyimbang could be interpreted as an elder person in the

xlix

Page 50: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

clan. The person corresponding paternal line (patrilinear), are in position

as the eldest. He then called penyimbang. Penyimbang of understanding

this, the position of a penyimbang only applies in her own clan.

Penyimbang from clan A, does not necessarily become penyimbang to

other generation.

The perwatin or prowatin is a consultative institution at

penyimbang in rates, tiuh / pekon, and clan. Members perwatin is the

penyimbang in every levels. This means that in institutions perwatin clan

level, the membership consists of penyimbang-penyimbang at clan level.

Meanwhile, when the institution perwatin level tiuh members are

penyimbang in the tiuh level. In perwatin institutions, decisions are taken

democratically in which each member institution penyimbang being

perwatin (who when speaking at the forum called merwatin) with voting

rights and the right to express opinions. So the position of the penyimbang

in perwatin similar to each other and the decisions taken in the forum

binding on all members of the penyimbang perwatin or existing. The

whole clan groups in Lampung penyimbang collected through the

representation of the entire clan. Penyimbang introduced to the concept

prowatin an effort to organize a system of government that began in rate

(village / pennant).

With regard to the settlement of adverse parties or one of the

parties in the local wisdom of indigenous Lampung also known pekon

consultation, which in the settlement method is similar to mediation,

l

Page 51: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

which basically prioritizing consensus. Then there is a possibility to use

Lampung indigenous customary law. In practice can be described through

a case of fighting between Andreansyah bin Suhut Gianto with Yudi

Wastono bin Misdi which in terms of the settlement through a media

conference pekon. And not taken formal legal areas. This local wisdom

with process media misdemeanor can be resolved with justice felt by the

parties.

In the practice of criminal law enforcement, the primary duty of the Police

accordance with Act No. 2 Year 2002 on the Indonesian National Police.

In this case the Police has conducted a media conference Pekon as a

solution in solving problems in the completion of a misdemeanor that

purpose as a tool to achieve justice for the parties.

Further discussion about the reconstruction of the criminal justice system

of law in the resolution of minor criminal offenses in crime prevention

efforts with the criminal law in essence is also part of law enforcement

efforts (especially criminal law enforcement). Therefore it is often said

that the political or criminal law policy is also part of the policy of law

enforcement (law enforcement policy). Efforts and policies to create good

rules of criminal law in essence cannot be removed from the crime

prevention goals. Thus, policies or politics of criminal law is also part of a

political criminal, the criminal law policy is identical to the definition of

"crime prevention policies with the criminal law". The use of criminal law

in Indonesia as a means to tackle crime does not seem to be a problem.

li

Page 52: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

This is evident from the practice of law as long as these show that the use

of criminal law is part of a political policy or law adopted in Indonesia.

There is no doubt whatsoever put Pancasila as the state principle.

In such a position, Pancasila should serve as a paradigm (a framework of

thinking, the source of value, and orientation) in the development of the

law, including all efforts towards renewal. In the stages of implementation

can not necessarily put Pancasila, because at this time stunted by the

existence of modern law, even as well as the application of customary law

in the national legal system is filled with procedural hitch.

One form of the state ideology in the true sense, Pancasila should be

capable of being placed as a rule and guide in the process of establishing

legislation. In this regard, Notonagoro states that Pancasila is the ideal law

(rechtsidee) because of his position as principal fundamental principle

states (staatsfundamentalnorm) has the power as Grundnorm. As the ideals

of law, Pancasila became a guiding star throughout the national law.

Therefore, all laws aimed to achieve the ideas contained in Pancasila.

Choice of law will be an important part in re- model the national

legal system, the method will produce at least open the criminal justice

system that can then be seen clearly problems in the enforcement of

criminal law at this time. Through a variety of models that have been

widely developed jurists Indonesia about the renewal of the Indonesian

criminal law, in this case the author tries to create a model that is integral

in the system of national criminal law, especially regarding the remedy

lii

Page 53: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

misdemeanor based on local wisdom of indigenous Lampung as the media

in providing justice ,

Development of national legal systems are simple, with trying to

accommodate the differences in value systems that live inside national

unity. Indonesia is known as a multicultural, multi-ethnic, religious, racial,

and multi class country. Spread from Sabang to Merauke, Indonesia has

many natural resources and abundantly like emeralds in the Equator, and

also own many cultural resources. With the completion of the process for

the criminal offense is not impossible that such regulations will be useful,

because with a very understandable and easy to understand the value of

these rules, which were adopted from the source values outside the law.

The study of law as a social control system in people's lives have

been done by anthropologists. Therefore, it is said that anthropologists

contribute very significantly in the development of the concept of the law

operated in the community. Studied law as an integral part of the culture as

a whole, and studied law as a product of social interaction are influenced

by aspects of other cultures, such as politics, economics, religion, and

others. On the basis of this argument will produce National Criminal

Justice System Based on Pancasila.

About the criminal law system linked with local wisdom-based

customary law , author tries to formulate in the repertoire focusing system

study and adjust the system to the value of the received and considered

there by the local community, and often result from its use to produce

liii

Page 54: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

justice that exceed the value of positive law Indonesia. Enforcement of

criminal law against misdemeanor by using a system of national criminal

law, then it is definitely going through stages that have been commanded

to be followed by the command of legislation. Unlike the approach of

local moral values of indigenous Lampung. Legal norms prevailing in

society is methodologically can be understood from the decisions of a

person or group of people who are socially given the authority to impose

sanctions on offenders. The law enforcement process is not formal and

always felt justice by parties who use the criminal justice system based on

local wisdom of indigenous Lampung.

Dispute settlement through Indigenous Customary Law based in

fact in accordance with the Constitution and the National Law system is

essentially restore balance on deviant behavior in society, within the rule

of law through the Indigenous Customary Law have the same benefit that

restores the balance in the order in society. On the construction of criminal

justice systems nationwide need to absorb Local Wisdom on the basis of

customary law (with elements of the principle of criminal law, the general

provisions) such as in Lampung through consultation Pekon (places for

deliberation), anjaw silau (togetherness), angkonan muarghi

(brotherhood), peace and awarding the title, this is the hallmark of

indigenous Lampung, the elements in law enforcement through indigenous

customary law Lampung in fact provide a sense of justice to enforce a

misdemeanor.

liv

Page 55: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

The sides of criminal law enforcement currently fixated only through an

approach of positive law is written and legislated by the government,

through the enforcement of law enforcement are static with only a

reference to a unified system and method of positive law becomes the

starting point in rebuilding of reconstruction results in enforcement on

misdemeanor in Lampung, focusing among other things;

The first approach legal substances that reconstruct existing law on the

basis of the value of local wisdom in Lampung, enforcement of

misdemeanor in Lampung is realistic to keep using the legal apparatus.

With the approach of the reconstruction approach legal substance

constitutionally enforceability in society constitutional legitimacy, on the

basis of the development paradigm of segmentation in the application of

law to the use of Indigenous customary law Lampung in qualifying

misdemeanor, through the model will provide an alternative media to seek

justice in the enforcement law on completion of misdemeanor in

Lampung.

The second approach structures, in the legal structure, a model of

institutional in the Criminal Justice System became the basis of the delay

in distributing justice. With this legal structure under the Act of

institutional sectors in the Criminal Justice System at this time to make

justice also has a place in the written law applied. On legal arguments that

the approach sub-system structure requires a policy realignment as the

legitimacy of the authority of the Sub Structural keep pace with the

lv

Page 56: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

building substance of national criminal laws, through the provision of

legal security of the organizers of the Criminal Justice System to provide

an alternative to the rule of law with Indigenous Customary Law

Lampung. With a focus Reconstruction Subsystems substance and

Subsystems structure model law reform to bring justice to provide models

in the enforcement of the law as ever, double Track system (model two-

lane) and transfer (diversion) law (policy override the written law), can be

used in settlement misdemeanor in Lampung with regard to local wisdom

Customary Law Lampung. Thus, it will be a model of national criminal

law reforms in law enforcement with the harmonization of Local Wisdom

is based on customary law with written law.

The first recommendation that the model needs to be developed in

the resolution of minor criminal offenses, especially using local wisdom

media with customary law media. The latter needs to be developed and

formulated policy of criminal law to try build the re-settlement system

with customary law based justice approach local wisdom. And the third

needs to be developed in the form and set the criminal law policy which is

directed to the reform of criminal law in order to achieve substantial

justice without neglecting the formal aspect of justice.

lvi

Page 57: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Hirabbil ‘alamin, segala puji kami haturkan kepada Allah

SWT, Tuhan Semesta Alam yang Maha Rahman dan Rahim, Shalawat serta salam

senantiasa tercurah dan dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta

segenap keluarga, para sahabat dan seluruh umatnya. Penulis menyadari, hanya

dengan Rahmat dan Karunia Allah SWT, dan atas niat kesungguhan serta Ridha

Ilahi, semua telah dimudahkan dalam segala urusan yang telah penulis uraikan

dalam tulisan ini, sekalipun dengan keterbatasan kemampuan penulis sebagai

dosen dilingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung

sekaligus sebagai hamba Allah yang senantiasa memohon bermunajah untuk

menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul “Rekonstruksi

Sistem Hukum Pidana dalam penyelesaian Tindak Pidana Ringan Berbasis

Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung”.

Ada pengalaman yang lucu jika diingat, pada saat mendaftar ke KPK

UNDIP UNILA, pada waktu itu saya bersama teman-teman (Liky Faizal dan Eko

Hidayat), kami bertiga berkomitmen jika salah satu diantara kami tidak lulus,

maka kami bertiga memutuskan tidak kuliah semuanya, Alhamdulillah hasil

seleksi pada waktu itu kami bertiga lulus semuanya. Namun dalam perjalanan

studi hingga tahap kualifikasi tidak semua berjalan lancar, akhirnya tinggallah

saya seorang diri melanjutkan ketahap berikutnya hingga bisa menyelesaikan

penelitian disertasi sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar akademik

tertinggi Doktor dalam bidang ilmu hukum.

lvii

Page 58: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Penelitian disertasi ini dilatarbelakangi oleh pandangan penulis terhadap

hukum itu sendiri, paradigma saat ini terkait dengan menafsirkan hukum hanya

menafsirkan Undang-Undang semata. Sedangkan di dalam perkembangan hukum

pidana Indonesia yang tidak terlalu sistematis banyak dirasakan diperlukannya

penataan kembali dan penyesuaian antara lain Penegakan hukum pidana terhadap

tindak pidana ringan sebagaimana dalam hukum acara pidana diatur dalam

ketentuan Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana dalam Penyelesaian tindak pidana

ringan dengan berbasis Hukum Adat Lampung dimaksud sebagai upaya

membangun konstruksi sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian

tindak pidana ringan. Kearifan lokal sebagai bagian dari aspek sosial budaya,

tertuang dalam bentuk perilaku dan simbol-simbol sosial masyarakat.

Bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat adat Lampung yang ada tersebut

perlu dikonstruksi seideal mungkin sehingga sistem peradilan pidana dapat lebih

efektif dalam menyelesaikan kasus tindak pidana ringan yang berbasis kearifan

lokal hukum adat Lampung.

Karya ini tentunya akan banyak mengundang polemik dikalangan

akademisi dan juga praktisi hukum, mengingat basis teori yang dijadikan dasar

dalam studi ini masih dalam tahap pencarian jatidiri. Akan tetapi justru budaya

akademik seperti inilah yang perlu dikembangkan, mengingat dunia keilmuan itu

tidak sepi dari wacana-wacana baru yang kebenarannya tentunya harus dibuktikan

dengan hasil-hasil penelitian.

lviii

Page 59: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Penulis mengakui secara jujur bahwa karya ini pada hakikatnya bukanlah

semata-mata buah karya penulis sendiri, akan tetapi telah melibatkan banyak

pihak yang ikut memberikan kontribusi baik berupa motivasi, pikiran, tenaga, dan

financial yang tak terhitung. Oleh karena itu perkenankan penulis menyampaikan

ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. H. Yos Johan Utama, SH.,M.Hum, sebagai Rektor Universitas

Diponegoro Semarang.

2. Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH.,MH.,CN., sebagai Dekan Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

3. Prof. Dr. FX. Adji Samekto, SH.,M.Hum, sebagai Direktur Program

Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

4. Prof. Dr. Rahayu, S.H,M.H., sebagai sekretaris pada Program Doktoral

Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

5. Prof. Barda Nawawi Arief, S.H. Sebagai Promotor yang telah

membimbing dengan amat sangat sabar, meluangkan waktu dan telah

memperlakukan penulis sebagai keluarga sendiri, sehingga penulis lebih

nyaman dalam bimbingan dan dalam memperoleh pembelajaran dalam

banyak hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan di bidang hukum

maupun non hukum, disamping kearifan dan keteladanan serta nasehat-

nasehat agama dari beliau.

6. Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., sebagai co-promotor yang telah banyak

membantu memberikan bimbingan dan arahan penulisan disertasi ini

lix

Page 60: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

dengan penuh kesabaran dan dedikasi yang tinggi, tegas dan serta berjiwa

besar khususnya dalam memberikan masukan dan bimbingannya.

7. Prof. Dr. Supanto, S.H.,M.Hum., sebagai penguji eksternal, yang telah

memberikan masukan atas kekurangan dan penyempurnaan dalam

penulisan disertasi ini.

8. Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H., sebagai penguji yang

telah memberikan bimbingan, arahan yang sangat berharga serta masukan

atas kekurangan dan penyempurnaan dalam penulisan disertasi ini.

9. Dr. RB. Sularto, S.H, M.Hum., sebagai penguji yang telah memberikan

bimbingan dan masukan yang sangat berharga atas kekurangan dan

penyempurnaan dalam penulisan disertasi ini.

10. Dr. Pujiono, S.H, M.Hum., sebagai penguji yang telah memberikan

bimbingan dan masukan yang sangat berharga atas kekurangan dan

penyempurnaan dalam penulisan disertasi ini.

11. Dr. Sukirno, S.H.,M.Si., sebagai penguji yang telah memberikan masukan

yang berharga dan penyempurnaan dalam penulisan disertasi ini.

12. Prof. Dr. I. Gede B. Wiranata sebagai Koordinator Pelaksanaan

Perkuliahan Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP-UNILA di Universitas

Lampung beserta Staf Administrasi yang telah memberikan kesempatan,

sarana dan bantuan kepada penulis selama menempuh pendidikan.

13. Para dosen pengajar Program Doktor Ilmu Hukum KPK UNDIP-UNILA

yang telah membagikan ilmunya dan arahan selama penulis menempuh

pendidikan terutama kepada yang terhormat dan amat terpelajar ; Prof. Dr.

lx

Page 61: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Mahfud MD, Prof. Dr. Arif Hidayat, S.H., M.S., almarhum Prof.

Dr.SoetandyoWignyo Soebroto, MPA., Prof. Dr. Sunarto, S.H.,M.H., Dr.

Yuswanto, S.H., M.H., dan lainnya yang tidak dapat disebutkan namanya

yang telah membagikan ilmunya kepada penulis selama menempuh

pendidikan.

14. Pemerintah Provinsi Lampung atas segala bantuan kepada penulis selama

menempuh pendidikan.

15. PT. AKR Corporindo Tbk di Jakarta Khususnya Bapak Haryanto

Adikoesoemo sebagai Direktur Utama diperusahaan tersebut, yang telah

membantu secara financial selama lebih kurang 5 (lima) semester.

16. Dr. H. Muhammad Fanshurullah Asa, S.T., M.T., (salah satu Komite BPH

Migas) dan sebagai Dosen di LEMHANAS yang telah merekomendasikan

penulis untuk mendapat bantuan biaya pendidikan dan terus memotivasi

penulis untuk segera menyelesaikan studi S 3.

17. Prof. Dr. H. Muhammad Mukri M.Ag, selaku Rektor IAIN Raden Intan

Lampung yang telah banyak memotivasi dan memberikan bantuan

finansial dan moral kepada penulis.

18. Prof. Dr. H. Faisal, M.Ag., selaku Wakil Rektor IAIN Raden Intan

Lampung yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan baik

secara moral maupun finansial kepada penulis.

19. Segenap Dosen pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas

Diponegoro Semarang, yang telah membimbing dan mengajarkan

khasanah keilmuan yang holistik, serta staff administrasi, dan seluruh staff

lxi

Page 62: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

perpustakaan atas layanan dan keramahan yang luar biasa membantu

penulis dalam penulisan disertasi ini.

20. Teman sejawat Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung

terutama, ayundaku Dr. Hj. Zuhraini, S.H.,M.H., Linda Firdawati, S.Ag,

M.Ag. Dr. Hj. Erina Fane, Khumadi Djakfar, M.H., Khairuddin, M.A.,

Nurlaili S.Ag., M. Ag., Yassir Fauzi, M.H., Ghandi Liorba, M.Ag., beserta

seluruh dosen dan staf dilingkungan IAIN Raden Intan Lampung yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan

baik moril maupun materil kepada penulis selama menempuh pendidikan.

21. Kapolresta Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Kelas I A

Tanjung Karang, Tokoh-tokoh Adat Lampung yang telah membantu

dalam diskusi dan memberikan data dan solusi-solusi yang sangat

bermanfaat dalam penelitian penulis.

22. Kepada ayahanda Drs. Nurullah Asa (Alm), dan Ibunda Dra. Hj.

Zanariyah Haiyyin, yang telah membesarkan, mendidik dan menjadi

motivasi bagi penulis, Almarhum mertuaku Mulyanzen dan Nasimah

Syarief, anakku semata wayang Anery Ari Ramaulan, adik-adikku

tersayang,( Ahyan Nur, S.Ag., Heppy Sa’adah,M.Pd., Maria Shopia,S.E.,

Rina Karuma,S.E., Septina Ayu Badriyah,S.E., dan almarhum Abdul

Jalil), atas segala kesabaran, pengorbanan dan bantuan moril dan materil

serta doa selama penulis menempuh pendidikan.

lxii

Page 63: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

23. Teman-teman sesama mahasiswa angkatan ke IV PDIH KPK UNDIP

UNILA, Liky Faizal, Eko Hidayat, Slamet, Endang, Yuli, Oki Hajiansyah,

Baharuddin, dan Marcel PDIH KPK UNDIP UNILA.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun jasa baiknya menjadi

faktor penentu dalam keberhasilan penulisan dan penyelesaikan disertasi

ini. Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari

sempurna untuk dapat dikatakan karya disertasi. Andaikata penulisan ini

tidak dibatasi atas keterbatasan waktu, tenaga dan biaya rasanya penulis

ingin mengakaji dan terus memperbaiki tulisan ini agar dapat dikatakan

mendekati layak sebagai disertasi. Meskipun demikian kami senantiasa

berdoa semoga Allah SWT yang Maha Sempurna memberikan

kesempurnaannya dalam manfaat dan kepentingan bagi sesama dalam

pengembangan ilmu hukum dan bagi kepentingan bersama dalam

khasanah lainnya. Oleh karena itu semua kritik dan saran bagi

penyempurnaan tulisan ini sangat penulis harapkan. Semoga Allah

mengampuni segala dosa dan kesalahan kita.

Semarang, Mei 2016

Penulis

Efa Rodiah Nur

lxiii

Page 64: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... iLEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iiPERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................... iiiABSTRAK ..................................................................................................... ivABSTRACT .................................................................................................... vRINGKASAN ................................................................................................. viSUMMARY .................................................................................................... xixKATA PENGANTAR .................................................................................... lviiDAFTAR ISI ................................................................................................... lxivGLOSARI ....................................................................................................... lxviiiDAFTAR SINGKATAN ............................................................................... lxxiDAFTAR TABEL .......................................................................................... lxxiiiDAFTAR GAMBAR ...................................................................................... lxiv

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 11.1. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 1.2. Fokus Studi dan Permasalahan .............................................. 22 1.3. Kerangka Pemikiran .............................................................. 241.4. Tujuan Penulisan Disertasi .................................................... 511.5. Kontribusi Penulisan Disertasi ............................................. 511.6. Proses Penelitian ..................................................................... 52

1.6.1. Metode Pendekatan ...................................................... 52 1.6.2. Lokasi Penelitian .......................................................... 54 1.6.3. Unit Analisis dan Tehnik Sampling ............................. 55 1.6.4. Pengumpulan Data dan instrumen Penelitian .............. 56 1.6.5. Metode Analisis Data ................................................... 59 1.6.6. Validitas Data ............................................................... 61

1.7. Sistematika dan Pertanggungjawaban Penulisan ................... 621.8. Orisinalitas Disertasi .............................................................. 65

BAB II PERGESERAN DAN DIALEKTIKA HUKUM MODERN DAN HUKUM YANG BERBASISKEARIFAN LOKAL ADAT ....... 722.1. Konsepsi Negara Hukum dalam Polarisasi Sejarah dan

Pemaknaan................................................................................ 722.1.1. Sejarah Singkat Perkembangan Konsep Negara Hukum 722.1.2. Konsep Negara Hukum ................................................ 772.1.3. Perkembangan Konsep Negara Hukum ........................ 80

2.2. Keritik Terhadap Hukum Modern dan Ilmu Hukum Positivistik 84

lxiv

Page 65: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

2.2.1. Gambaran Dialektis Hukum Modern ............................ 842.2.2. Keritik Terhadap Positivistik Ilmu Hukum ................... 882.2.3. Keritik Terhadap Hukum Moderen di Indonesia .......... 94

2.3. Rekonstruksi ........................................................................... 972.3.1. Makna Rekonstruksi ...................................................... 1022.3.2.Gugatan melalui Rekonstruksi Hukum Pidana Indonesia 103

2.4. Sejarah Singkat dan Perkembangan Hukum Pidana Indonesia 1072.4.1. Masa Sebelum Penjajahan ............................................. 1072.4.2. Masa Kedatangan Belanda ke Indonesia ....................... 1082.4.3. Masa Pendudukan Jepang .............................................. 1142.4.4. Masa Setelah Kemerdekaan ........................................... 115

2.5. Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia ....... 1222.6. Eksistensi Hukum Adat dalam Hukum Pidana Indonesia ....... 124

2.6.1. Posisi Hukum Adat dalam Hukum Pidana ..................... 1242.6.2. Gambaran Badan Peradilan Adat di Indonesia .............. 131

2.7. Sistem Hukum yang Berkeadilan ............................................. 1412.7.1. Perihal Keadilan ............................................................. 1412.7.2. Sistem Hukum Berkeadilan Pancasila ........................... 149

2.8. Perihal Kearifan Lokal ............................................................ 1692.9. Model-Model Formulasi Penyelesaian Perkara Tindak Pidana

Ringan ..................................................................................... 1712.10. Konsepsi Tindak Pidana dalam Hukum Pidana ..................... 180

2.10.1. Pengertian Tindak Pidana ........................................... 1802.10.2. Orientasi Aspek Kebijakan Hukum Pidana saat ini .... 185

2.11. Tindak Pidana Ringan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia ................................................................... 193

2.11.1. Aspek Hukum Tindak Pidana Ringan .......................... 1932.11.2. Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut

KUHAP ......................................................................... 2072.12. Pemidanaan dan Hapusnya Pemidanaan ............................... 218

2.12.1. Sifat Dapat di Pidananya Perbuatan dan Pelaku ......... 2182.12.2. Alasan Penghapus Pidana ........................................... 219

BAB III KONSTRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN ....................... 2263.1. Gambaran Singkat Sistem Peradilan Pidana Indonesia ........... 2263.2. Sistem Hukum Pidana Indonesia ............................................. 2283.3. Sistem Hukum Pancasila .......................................................... 2323.4. Praktek Penegakan Hukum Pidana atas Tindak Pidana Ringan ..................................................................................... 235

lxv

Page 66: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

3.5. Refleksi Filosofis Pelayanan Publik Sebagai Dasar Rekonstruksi Birokrasi Peradilan Pidana ................................. 242

3.6. Penggunaan Hukum Modern melalui Penyelesaian Tindak Pidana Ringan dalam Mendistribusikan Keadilan ................... 243

3.7. Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan ................................. 2493.8. Keadilan Restoratif : Makna dan Tujuannya ........................... 2543.9. Prinsip-prinsip Dasar dan Keadilan Restoratif ....................... 2583.10.Terobosan Mahkamah Agung RI dalam Penegakan

Hukum Pidana yang Memberikan Rasa Keadilan atas Hukum Modern ........................................................................ 262

3.11. Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di Lampung .................. 266

BAB IV KONSTRUKSI PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL HUKUM ADAT LAMPUNG .................................................................................... 2694.1. Nilai-Nilai Kearifan Lokal ....................................................... 2694.2 Hukum Pidana Adat di Indonesia............................................. 2734.3. Asas-Asas Hukum Pidana Adat Indonesia Sebuah Penjelajahan

Normatif dan FIlosifis .............................................................. 2774.4. Sifat Hukum Pidana Adat Indonesia ........................................ 2814.5 Kearifan Lokal Hukum Pidana Adat Sebagai Filsafat Pemidanaan

di Indonesia............................................................................... 2844.6. Hukum Pidana Adat dalam Korelasinya dengan Filsafat Hukum,

Teori Hukum dan Dogmatika Hukum ..................................... 2934.7. Makna Simbolik Sistem Hukum Berbasis Kearifan Lokal ...... 2984.8. Kelembagaan Adat di Lampung dan Pemaknaannya .............. 3034.9. Konstruksi Penyelesaian Perkara melalui Kearifan Lokal Hukum

Adat Lampung ......................................................................... 3114.10. Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Melalui Hukum Adat

Lampung Berbasis Kearifan Lokal yang Berkeadilan ........... 317

BAB V REKONSTRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA BERKEADILAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL HUKUM LAMPUNG ......... 3225.1. Penempatan Teori dalam Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana

Berkeadilan dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Berbasis Kearifan Lokal.......................................................................... 322

5.2. Model Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Berkeadilan Berbasis Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung sebagai Paradigma Pembaharusan Sistem Hukum Pidana ..................................... 360

lxvi

Page 67: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

5.3. Perkembangan Penerapan Model Penyelesaian Perkara Pidana melalui Mediasi Penal dan Kearifan Lokal .............................. 3645.3.1. Konsepsi Keadilan dari Aspek Hukum Islam dan Korelasi

dengan Kearifan Lokal dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan ........................................................................... 364

5.3.2. Kearifan Lokal ............................................................... 3695.3.3. Penerapan Mediasi oleh Lembaga Kepolisian Republik

Indonesia dalam Penanganan Tindak Pidana Sebagai Perwujudan Restorasi Justitia ....................................... 377

5.4. Tawaran Konsep Penyelesian Perkara Pidana Ringan di Lampung menggunakan Hukum Adat Berbasiskan Kearifan Lokal ....... 3925.4.1. Eksistensi Lembaga Kearifan Lokal Berbasis Hukum Adat

Lampung ........................................................................ 3925.4.2. Model Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan

menggunakan Kearifan Lokal Berbasiskan Hukum Adat Lampung ........................................................................ 400

BAB VI PENUTUP .....................................................................................6.1. Kesimpulan ............................................................................. 4196.2 Saran ........................................................................................ 423

...................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 424DAFTAR INDEKS ......................................................................................... 446LAMPIRAN

lxvii

Page 68: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

GLOSARI

Phenomenology : Sebuah gerakan filsafat abad ke 20 yang menonjol dalam metodenya yang cermat dan tidak bisa dalam menggambarkan sifat-sifat (makna) universal dari suatu subjek yang nampak dalam kesadaran, seperti aturan logis, nilai, perasaan, ide, atau objek material.

Hukum adat : Hukum asli bangsa Indonesia yang bersumber pada peraturan-peraturan hukum yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta dipertahankan dengan kesadaran masyarakat. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis

Hukum adat Lampung

: Hukum asli masyarakat kesatuan hukum adat Lampung yang secara yuridiksi memiliki ikatan dengan masyarakat yang berdiam di suatu wilayah tertentu.

Hegemoni : (Hegemony) dominasi sebuah kelas sosial terhadap kelas lainnya lewat keberhasilan menanamkan pandangan hidup, realis sosial serta hubungan kemanusiaannya, sehingga diterima sebagai sesuatu yang dianggap benar, atau alamiah bagi orang-orang yang ter-subordinasi.

Intertekstualitas : (Intertextuality) kesaling bergantungan satu teks dengan teks sebelumnya, dalam bentuk kesilangan berbagai kutipan dan ungkapan-ungkapan yang satu sama lain mengisi.

Logos : Kebenaran dari kebenaran, atau kebenaran yang tertinggi yang merupakan sumber dari segala kebenaran.

Logosentrisme : (Logocenterism) kecenderungan sistem pemikiran yang mencari legitimasi dengan mengacu pada dalil-dalil kebenaran universal atau jaminan makna sentral dan orisinal

Malee : Sesuatu yang cair, sulit untuk dipegang. Ini merupakan istilah yang dipergunakan oleh Charles Sampford untuk menggambarkan situasi masyarakat yang bergerak dan berubah secara terus menerus.

lxviii

Page 69: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

Ontologi (Ontology)

: Salah satu cabang dari metafisika. Sebuah aliran filsafat yang berbicara tentang usaha untuk mendeskripsikan hakikat wujud tinggi, yang Esa, yang absolut, yang abadi, yang sempurna. Pernyataan-pernyataan ontology biasanya mempertanyakan ulang suatu realitas sesuatu.

Posmodernisme : (Postmoderenisem) gerakan kebudayaan pada umumnya yang dicirikan oleh pertentangan terhadap totalitaritas universalisme serta kecenderungannya kearah keanekaragaman dan tumpang tindihnya berbagai citraan dan gaya, sehingga menimbulkan fragmentasi, kontradiksi, dan pendakalan makna kebudayaan.

Positivisme : Sebuah mazhab filsafat yang memiliki orientasi ilmiah pada 30-an dan 40-an. Tujuannya adalah untuk menggusur sebagaian besar filsafat dan agama sebagai sesuatu yang tidak bermakna dengan menetapkan kriteria verifikasi, dan untuk mempertegas kembali serta menyelesaikan persoalan-persoalan bersifat menggunakan bahasa yang formal.

Positivisme Hukum

: Aliran pemikiran hukum dalam hukum yang membaca konsep hukum secara ekslusif dan berakar bagi peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Positivisme dimaknai pula sebagai sebuah teori yang menyatakan bahwa hukum hanya akan valid jika berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrumen didalam sebuah negara.

Realitas (Reality) : Segala kondisi, situasi atau objek-objek yang dianggap benar-benar ada di dalam dunia kehidupan, sebagai kebalikan dari apa yang disebut fiksi, ilusi, halusinasi atau fantasi.

Rembuk Pekon : Adalah suatu media yang dipergunakan oleh masyarakat hukum adat di Lampung dalam penyelesaian permasalahan antara individu dengan individu,dan dalam perkembangannya rembuk pekon di adopsi oleh institusi pemerintah di Lampung dalam penyelesaian tindak pidana ringan

Strukturalisme (Structuralism)

: Gerakan intelektual yang berkaitan dengan penyimpangan struktur berbagai pemikiran dan tingkah laku manusia, yang prinsipnya adalah satu totalitas yang kompleks hanya dapat dipahami sebagai sesuatu

lxix

Page 70: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

perangkat unsur-unsur yang saling berkaitan.

Teks (Text) : Kombinasi tanda dan kata baik verbal maupun visual

lxx

Page 71: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

DAFTAR SINGKATAN

AB = Algemen Bepalingen van Wetgeving

AKBP = Adjun Komisaris Besar Polisi

ABRI = Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

ADR = Alternative Dispute Resolution

AJM = Access to Justice Movement

BAP = Berita acara pemeriksaan

BR = Besluiten Regering

BW = Burgerlijk Wetboek

BPD = Badan Permusyawaratan Desa

CLS = Critical Legal Studies

DPR = Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

FKPM = Forum kemitraan Polisi Masyarakat

HIR = Herziene Indische Reglement

IS = Indische Staatregeling

ICCPR = International Covenant on Civil and Political Rights

ILO = International Labor Organisation

KPN = Ketua Pengadilan Negeri

KDRT = Kekerasan Dalam Rumah Tangga

KUHP = Kitab Undang-undang Hukum Pidana

KUHAP = Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

LHP = Lembaga Himpun Pemekonan

MA = Mahkamah Agung

PA = Pengadilan Agama

PT = Pengadilan Tinggi

PERMA = Peraturan Mahkamah Agung

PN = Pengadilan Negeri

PPNS = penyidik pegawai negeri sipil

PBB = Perserikatan Bangsa-Bangsa

lxxi

Page 72: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

POP = Peraturan Organisasi Pengadilan

RR = Regeling Reglement

RO = Reglement op de Rechtilijke Organisatie

RUU KUHP = Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana

RV = Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering

RI = Republik Indonesia

SISKUMNAS = Sistem hukum Nasional

SPP = Sistem Peradilan Pidana

TIPIRING = Tindak Pidana Ringan

UUDS = Undang-Undang Dasar Sementara

UUD = Undang-Undang Dasar

UUDNRI

1945

= Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

UU = Undang-Undang

UUDRT = Undang-Undang Darurat

UNDIP = Universitas Dipenogoro

VOC = Vereenigde 'oost Indische Compagnie

WvK = Wetboekvan Koopenhandel

WvSNI = Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie

lxxii

Page 73: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Orisinalitas Penelitian .................................................................... 66

lxxiii

Page 74: eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/51622/...AWAL_UJIAN_TERTUTUP.docx · Web viewTanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan ... prosedur, birokrasi, serta ... karena dengan sangat

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran .................................................................... 50

Gambar 1.2. Lokasi Penelitian ......................................................................... 55

Gambar 1.3. Konstruksi Data Kepustakaan ..................................................... 57

Gambar 1.4. Metode Pengumpulan Data dan Analisa Data ............................ 60

Gambar 1.5. Analisa Data Kualitatif ................................................................ 61

Gambar 2.1. Hubungan dalam Bekerjanya Hukum ......................................... 82

Gambar 3.1. Data Responden .......................................................................... 242

Gambar 3.2. Kontradiktif Sistem Hukum Pidana ............................................ 248

Gambar 4.1. Tujuan Hukum Menurut Aliran Utilitarianisme ......................... 301

Gambar 4.2 Mazhab-Mazhab Keadilan Perkembangan Ilmu Hukum ............. 302

Gambar 5.1. Dinamika dan Spirit Hukum ....................................................... 329

Gambar 5.2. Bangunan Sistem Hukum Pidana Nasional ................................ 364

Gambar 5.3. Model Bangunan Sistem Hukum Berbasis Kearifan Lokal ........ 366

Gambar 5.4. Kelembagaan Pemerintahan Pekon Way Empulau Ulu............... 401

Gambar 5.5. Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan dengan Model Rembuk Pekon Adat Lampung.................................................... 417

Gambar 5.6. Formulasi Model Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan Melalui Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung ......................... 419

Gambar 5.4. Model Formulasi Penyelesaian Perkara TindakPidana Ringan dalam Fondasi Ilmu Hukum .................................................................. 420

lxxiv