file · web viewyang lebih tinggi di dalam tatanan sosial masyarakat, semisal kita tahu...

13
Sejarah Mengayau Suku Dayak Kayau itu adalah kata-kata yang sangat angker dan menjadikannya momok menakutkan bagi masyarakat yang belum mengenalnya. Menurut pandangan orang Dayak kepala itu adalah memiliki kekuatan supranatural yang sangat tinggi dan juga sebagai simbol tingginya strata/status sosial seseorang di dalam masyarakat apabila semakin banyak mendapatkan kepala, bahkan dalam tradisi adat Dayak Kenyah apabila seseorang tersebut memiliki banyak kepala hasil mengayau, maka akan berhak memiliki Taring Macan Kumbang di telinga, dan di sebagian daerah kalimatan ini kehormatan tersebut bisa diberikan dengan cara membuatkan motif tato khusus ( tergantung daerah ). Biasanya semakin banyak hasil kayau itu bisa dilihat dari Mandaunya (terutama Dayak yang di Kalteng), yaitu ketika semakin banyaknya Rambut di Hulu Mandau dan juga semakin banyak tato yang iya punya seperti tato melingkar ( biasanya para Pangkalima yang memili tato ini ). Sebenarnya kayau itu sendiri tidak seperti apa yang masyarakat selama ini tafsirkan, adapun para penulis-penulis menyatakan bahwa kayau itu adalah “pemburu kepala”, sebenarnya tidak tepat bila dikatakan demikian, karena kayau itu sendiri hakekatnya adalah bukan “memburu” namun lebih tepat dikatakan “hukum sebab akibat” di tatanan masyarakat Dayak, karena ketika dia berbuat maka dia yang menanggung dari akibat pebuatan tersebut. Kayau menurut tradisi Dayak adalah dimana sesorang (kesatria) itu memang harus memotong kepala demi satu tujuan, yang dimana tujuan tersebut mempunyai tujuan yang jelas dan tersistematis dan dalam tujuan tersebut tidak bisa asal-asalan, karena masyarakat adat dayak juga mempunyai adat ataupun aturan yang melarang tentang pembunuhan, ini yang dikenal dengan sebutan, putang (Dayak Katingan), hasaki’/manyaki’ (Dayak Katingan) adapun jenis kayau menurut versi Kapuas (Dayak Ot Danum) dan katingan (Dayak Katingan, keluarga atau sub suku Dayak Ngaju) adalah sebagai berikut :

Upload: lehuong

Post on 03-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: file · Web viewyang lebih tinggi di dalam tatanan sosial masyarakat, semisal kita tahu dalam sejarah perjalanan Amai Daun (Dayak Ut danum, Kapuas, Kalteng). 3

Sejarah Mengayau Suku Dayak

Kayau itu adalah kata-kata yang sangat angker dan menjadikannya momok menakutkan bagi masyarakat yang belum mengenalnya. Menurut pandangan orang Dayak kepala itu adalah memiliki kekuatan supranatural yang sangat tinggi dan juga sebagai simbol tingginya strata/status sosial seseorang di dalam masyarakat apabila semakin banyak mendapatkan kepala, bahkan dalam tradisi adat Dayak Kenyah apabila seseorang tersebut memiliki banyak kepala hasil mengayau, maka akan berhak memiliki Taring Macan Kumbang di telinga, dan di sebagian daerah kalimatan ini kehormatan tersebut bisa diberikan dengan cara membuatkan motif tato khusus ( tergantung daerah ). Biasanya semakin banyak hasil kayau itu bisa dilihat dari Mandaunya (terutama Dayak yang di Kalteng), yaitu ketika semakin banyaknya Rambut di Hulu Mandau dan juga semakin banyak tato yang iya punya seperti tato melingkar ( biasanya para Pangkalima yang memili tato ini ).

Sebenarnya kayau itu sendiri tidak seperti apa yang masyarakat selama ini tafsirkan, adapun para penulis-penulis menyatakan bahwa kayau itu adalah “pemburu kepala”, sebenarnya tidak tepat bila dikatakan demikian, karena kayau itu sendiri hakekatnya adalah bukan “memburu” namun lebih tepat dikatakan “hukum sebab akibat” di tatanan masyarakat Dayak, karena ketika dia berbuat maka dia yang menanggung dari akibat pebuatan tersebut.

Kayau menurut tradisi Dayak adalah dimana sesorang (kesatria) itu memang harus memotong kepala demi satu tujuan, yang dimana tujuan tersebut mempunyai tujuan yang jelas dan tersistematis dan dalam tujuan tersebut tidak bisa asal-asalan, karena masyarakat adat dayak juga mempunyai adat ataupun aturan yang melarang tentang pembunuhan, ini yang dikenal dengan sebutan, putang (Dayak Katingan), hasaki’/manyaki’ (Dayak Katingan) adapun jenis kayau menurut versi Kapuas (Dayak Ot Danum) dan katingan (Dayak Katingan, keluarga atau sub suku Dayak Ngaju) adalah sebagai berikut :

1. Kayau Tabuh, adalah dimana ketika ada suatu peperangan memang mengharuskan mereka untuk memotong kepala dan atau karena keterpaksaan sehingga memang dilakukan seperti itu. Kenyah pada zaman sebelum penjajahan ataupun misionaris datang ke pulau kalimantan.

2.  Kayau Asang, adalah keinginan seseorang untuk mencari kekuasaan dan kekuatan atau hanya ingin mencari status sosial

Page 2: file · Web viewyang lebih tinggi di dalam tatanan sosial masyarakat, semisal kita tahu dalam sejarah perjalanan Amai Daun (Dayak Ut danum, Kapuas, Kalteng). 3

yang lebih tinggi di dalam tatanan sosial masyarakat, semisal kita tahu dalam sejarah perjalanan Amai Daun (Dayak Ut danum, Kapuas, Kalteng).

3.  Kayau Adat, adalah seperti yang kita tahu selama ini adalah pertama untuk suatu upacara tiwah maka harus ada kepala manusia untuk sebagai syarat pelengkap tiwah, yang dimana fungsinya itu sendiri adalah untuk menjadikan yang kena kayau tersebut sebagai budak di alam nirvana.

Upacara tiwah itu sendiri adalah upacara pengangkatan tulang belulang orang yang sudah mati, untuk dipindahkan ke Sandung (lihat. Kahayan) atau Pambak ( Katingan), yang dimana tujuannya itu sendiri adalah untuk menyempurnakan perjalanan orang yang sudah mati tersebut ke alam nirvana ke-7 atau disebut dengan “Lewu tatau habaras bulau habusung hintan hakarang lamiang. Lewu tatau dia rumpang tulang rundung raja dia kamalasu uhate”.

kemudian yang kedua adalah “kayau adat” karena menghina PENYANG seseorang yang didalam masyarakat adat tersebut (terutama masyarakat adat Dayak Kalteng), karena memang ini disebut dengan PALI’  dan bisa mendatangkan kutuk langsung dari Ranying Hatalla Langit bagi si penghina tersebut, begitu juga dengan kampung halaman yang selama dia huni tersebut, dan karena penghinaannya tersebut maka dia biasanya akan dihukum adat oleh tetua adat dengan memenggal kepala.

Yang terpenting perhatian ini hanya terjadi pada zaman dahulu saja, kalau untuk zaman sekarang setelah perjanjian Dayak di Tumbang Anoi, Hal tersebut sudah tidak pernah lagi terjadi.

4.  Kayau Habales/Hapalas, maksudnya disini adalah dimana Hakayau tersebut mempunyai tujuan untuk balas dendam akibat kekalahan yang terjadi selama peperangan yang pernah terjadi dan atau pembalasan dendam akibat suku yang lain pernah Mengayau masyarakat suku tersebut.

Namun setelah kolonial Belanda masuk, dengan berbagai cara pula mereka melakukan agar Hakayau tersebut tidak terjadi, karena itulah salah satu momok menakutkan bagi Kolonial Belanda pada saat itu dan juga menjadi penghalang bagi Belanda untuk menguasai tanah Kalimantan. Sehingga merekapun melakukan pendekatan terhadap para sesepuh Dayak, Tetua Adat, Damang, Pisur, untuk menyepakati agar hal itu tidak terjadi, dan melalui politik etis  kolonial Belanda ( VOC ) yang akhirnya melahirkan kesepakatan tumbang anoi.Pemerintah Belanda juga mendekati etnis Dayak dengan cara yang halus dan tidak berperang tapi mereka mengunakan “ Misionaris “. Maka tidak heran diberi nama Borneo ( Lahir Baru ).

Page 3: file · Web viewyang lebih tinggi di dalam tatanan sosial masyarakat, semisal kita tahu dalam sejarah perjalanan Amai Daun (Dayak Ut danum, Kapuas, Kalteng). 3

Namun setelah kesepakatan tersebut dilaksanakan agar Hakayau tersebut tidak lagi dilaksanakan bukannya Dayak tidak bisa mengayau lagi tapi justru tambah menguatkan posisi Dayak dan semakin membuat pertahanan Dayak pada zaman itu semakin kuat, dan dengan seiring waktu Kolonial Belanda pun sudah semakin tersingkir, mereka pun akhirnya benar-benar dan pelan-pelan meninggalkan pulau kalimantan karena tekanan yang berubi-tubi oleh penduduk pribumi.

A. Sistem Kepercayaan/Religi Suku Dayak

Masyarakat Dayak terbagi menjadi beberapa suku, yaitu Ngaju, Ot, Danum, dan Ma’anyan di Kalimantan Tengah. Kepercayaan yang dianut meliputi: agama Islam, Kristen, Katolik, dan Kaharingan (pribumi). Kata Kaharingan diambil dari Danum Kaharingan yang berarti air kehidupan. Masyarakat Dayak percaya pada roh-roh:

1. Sangiang nayu-nayu (roh baik);2. Taloh, kambe (roh jahat).

Dalam syair-syair suci suku bangsa Ngaju dunia roh disebut negeri raja yang berpasir emas. Upacara adat dalam masyarakat Dayak meliputi:

1. upacara pembakaran mayat,2. upacara menyambut kelahiran anak, dan3. upacara penguburan mayat.

Upacara pembakaran mayat disebut tiwah dan abu sisa pembakaran diletakkan di sebuah bangunan yang disebut tambak.

B. Sistem Kekerabatan Suku Bangsa Dayak

Sistem kekerabatan masyarakat Dayak berdasarkan ambilineal yaitu menghitung hubungan masyarakat melalui laki-laki dan sebagian perempuan. Perkawinan yang ideal adalah perkawinan dengan saudara sepupu yang kakeknya saudara sekandung (hajanen dalam bahasa Ngaju). Masyarakat Dayak tidak melarang gadis-

Page 4: file · Web viewyang lebih tinggi di dalam tatanan sosial masyarakat, semisal kita tahu dalam sejarah perjalanan Amai Daun (Dayak Ut danum, Kapuas, Kalteng). 3

gadis mereka menikah dengan laki-laki bangsa lain asalkan laki-laki itu tunduk dengan adat istiadat.

C. Sistem Politik Suku Dayak

Pemerintahan desa secara formal berada di tangan pembekal dan penghulu. Pembekal bertindak sebagai pemimpin administrasi. Penghulu sebagai kepala adat dalam desa. Kedudukan pembekal dan penghulu sangat terpandang di desa, dahulu jabatan itu dirangkap oleh patih. Ada pula penasihat penghulu disebut mantir. Menurut A.B. Hudson hukum pidana RI telah berlaku pada masyarakat Dayak untuk mendampingi hukum adat yang ada.

D. Sistem Ekonomi Suku Dayak

Bercocok tanam di ladang adalah mata pencaharian masyarakat Dayak. Selain bertanam padi mereka menanam ubi kayu, nanas, pisang, cabai, dan buah-buahan. Adapun yang banyak ditanam di ladang ialah durian dan pinang. Selain bercocok tanam mereka juga berburu rusa untuk makanan sehari-hari. Alat yang digunakan meliputi dondang, lonjo (tombak), dan ambang (parang). Masyarakat Dayak terkenal dengan seni menganyam kulit, rotan, tikar, topi, yang dijual ke Kuala Kapuas, Banjarmasin, dan Sampit.

Page 5: file · Web viewyang lebih tinggi di dalam tatanan sosial masyarakat, semisal kita tahu dalam sejarah perjalanan Amai Daun (Dayak Ut danum, Kapuas, Kalteng). 3

Gambar 1. Barang hasil anyaman dari rotan yang dibuat masyarakat Dayak.

E. Sistem Kesenian Suku Dayak

Seni tari Dayak adalah tari tambu dan bungai yang bertema kepahlawanan, serta tari balean dadas, bertema permohonan kesembuhan dari sakit, dan tari perang. Rumah adat Dayak adalah rumah betang yang dihuni lebih dari 20 kepala keluarga. Rumah betang terdiri atas enam kamar, yaitu kamar untuk menyimpan alat perang, kamar gadis, kamar upacara adat, kamar agama, dan kamar tamu.

gambar 2. Seorang anggota Suku Dayak Kenyah melakukan tarian perang selama pertemuan antar kepala Suku Dayak Kenyah di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, Rabu (16/05/2012). Foto: REUTERS/ Yusuf Ahmad

Page 6: file · Web viewyang lebih tinggi di dalam tatanan sosial masyarakat, semisal kita tahu dalam sejarah perjalanan Amai Daun (Dayak Ut danum, Kapuas, Kalteng). 3

Gambar 3. Rumah betang Suku Dayak (Detik.com)

F. Mandau, Senjata Tradisional Suku DayakMandau merupakan senjata tradisional khas Suku Dayak yang menyerupai pedang. Mandau terbuat dari besi dengan gagang terbuat dari kayu atau tulang. Sebelum pembuatan dimulai, terlebih dahulu dilakukan upacara adat sesuai dengan tradisi dari masing-masing suku Dayak.

Senjata Tradisional Suku Dayak

Biasanya orang awam akan sering kebingungan antara mandau dan ambang. Orang awam yang tak terbiasa melihat ataupun memegang mandau akan sulit untuk membedakan antara mandau

Page 7: file · Web viewyang lebih tinggi di dalam tatanan sosial masyarakat, semisal kita tahu dalam sejarah perjalanan Amai Daun (Dayak Ut danum, Kapuas, Kalteng). 3

dan ambang karena jika dilihat secara kasat mata memang keduanya hampir sama. Tetapi keduanya amat berbeda. Jika kita melihatnya dengan detail maka akan terlihat perbedaan yang sangat mencolok, yaitu pada mandau terdapat ukiran atau bertatahkan emas, tembaga, perak dan mandau lebih kuat serta lentur, karena mandau terbuat dari batu gunung yang mengandung besi yang diolah oleh seorang ahli. Sedangkan ambang hanya terbuat dari besi biasa, seperti besi per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan atau batang besi lain.

Mandau harus disimpan dan dirawat dengan baik ditempat khusus untuk penghormatan. Karena suku Dayak yakin bahwa mandau memiliki kekuatan spritual yang mampu melindungi pemiliknya dari serangan atau niat jahat dari lawan-lawannya. Dan mandau juga diyakini dijaga oleh seorang perempuan, dan jika pemiliknya bermimpi bertemu dengan perempuan yang menghuni mandau, berarti sang pemilik akan mendapatkan rejeki.

Pulang Atau Hulu Mandau

Mandau selain terbuat dari besi batuan gunung lalu diukir, pulang atau hulu mandau (tempat untuk memegang) dibuat berukiran dengan menggunakan tanduk kerbau untuk

Page 8: file · Web viewyang lebih tinggi di dalam tatanan sosial masyarakat, semisal kita tahu dalam sejarah perjalanan Amai Daun (Dayak Ut danum, Kapuas, Kalteng). 3

yang pulang berwarna hitam. Dan menggunakan tanduk rusa untuk pulang yang berwarna putih. Pembuatan pulang dapat juga menggunakan kayu kayamihing. Pada bagian ujung dari pulang diberi atau ditaruh bulu binatang atau rambut manusia. Untuk dapat melengketkan sebuah mandau dengan pulang dapat menggunakan getah kayu sambun yang terbukti sangat kuat kerekatannya. Setelah itu kemudian diikat lagi dengan jangang, namun jika jangang sulit ditemukan dapat menggunakan anyaman rotan.

Besi mantikei yang digunakan untuk bahan baku pembuatan mandau dapat ditemukan didaerah Kerang Gambir, sungai Karo Jangkang, sungai Mantikei anak sungai Samba simpangan sungai Katingan, dan Desa Tumbang Atei.

G. MOTIF KAIN Ulap Doyo (kain Tenun Khas Suku Dayak Beuaq)

Contoh kain tenun Ualp Doyo

Kutai Kartanegara adalah salah satu mutiara Indonesia yang cantik dan eksotik, kaya akan ragam hias dan ornamen, penuh dengan ekspresi seni yang tercermin berbagai aspek budaya."Kain Ulap Doyo" adalah kain tenun tradisional yang cantik nan elok yang biasa dibuat oleh wanita suku dayak Benuaq yang tinggal di Tanjung Isuy. Salah satu suku bangsa yang mendiami daerah hulu sungai Mahakam adalah suku bangsa Dayak Benuaq. Daerah persebarannya mencakup Kecamatan Danau Jempang, terutama di desa Tanjung Isuy, Pentat, Muara Nayan, dan Lempunah, serta sebagian di Kec. Tenggarong.

Bahan yang terkenal untuk pakaian adat tradisional Dayak Benuaq adalah kain tenunan serat daun doyo (Curculigo Latifolia). Secara almiah tumbuhan sejenis pandan ini berkembang dengan subur di daerah Tanjung Isuy. Dari tumbuhan inilah masyarakat Dayak Benuaq membuat benang yang kuat untuk

Page 9: file · Web viewyang lebih tinggi di dalam tatanan sosial masyarakat, semisal kita tahu dalam sejarah perjalanan Amai Daun (Dayak Ut danum, Kapuas, Kalteng). 3

ditenun. Daun doyo dipotong sepanjang 1-1,5 meter dan direndam di dalam air. Setelah daging daun hancur lalu seratnya diambil. Biasanya warna tenunan kain doyo (ulap doyo) memiliki tiga warna: Merah (berasal dari buah glinggam, kayu oter dan buah londo) Hitam, dan warna Coklat Muda (berasal dari kayu uwar). Ada beberapa jenis daun doyo yang sering dimanfaatkan yaitu Temoyo, Pentih, Tulang, Biang dan Lingau.

Ulap doyo dianggap sebagai tenun ikat yang sangat khas Dayak Benuaq. Motifnya stilasi dari bentuk flora, fauna, dan alam mitologi, sebagaimana lazimnya motif hias masyarakat Dayak lainnya. Pada bidang yang berwarna terang, pada kain bercorak hias itu muncul titik-titik hitam yang dihasilkan dari pengikatan sebelum dicelup bahan pewarna. Titik-titik hitam inilah yang hampir tak ditemui pada tenun ikat manapun di daerah lain. Dari kain tenun serat doyo ini dibuatlah destar, kopiah, baju, sarung, dan sebagainya.

Akulturasi dengan budaya lain juga meresap hingga ke pedalaman. Maka masyarakat Benuaq pun kemudian mengenal kain tenun kapas dengan warna-warni yang sangat kontras dengan warna serat tenun mereka. Dan dengan sangat kreatif masyarakat Benuaq mengaplikasikan kain-kain tersebut pada karya tenun ikat mereka. Hasilnya adalah busana upacara yang dibuat dari kombinasi tenunan serat doyo dengan kain warna-warni sebagai corak hias yang artistik, misalnya busana adat yang dipakai oleh para pemeliaten (ahli pengobatan tradisional).

Salah satu contoh ulap doyo

Dalam berbagai upacara adat seperti misalnya upacara kematian, upacara pengobatan, upacara panen hasil bumi, dan sebagainya, kaum perempuan mengenakan ulap doyo yang berfungsi seperti kain panjang (tapeh). Agar bebas bergerak ulap ini diberi belahan yang jika dipakai belahan itu berada di bagian

Page 10: file · Web viewyang lebih tinggi di dalam tatanan sosial masyarakat, semisal kita tahu dalam sejarah perjalanan Amai Daun (Dayak Ut danum, Kapuas, Kalteng). 3

belakang. Ulap yang berbelah ini disebut ulap sela. Ulap yang dikenakan sehari-hari biasanya berwarna hitam sedangkan yang dikenakan saat mengikuti upacara adat, diberi hiasan kain perca warna-warni bermotif bunga atau dedaunan. Sebagai baju biasanya dipakai kebaya tanpa lengan atau yang berlengan panjang. Sedangkan kaum pria biasanya menggunakan tenunan serat doyo ini untuk baju tanpa lengan dan celana pendek.

Dalam masyarakat Dayak masa lalu terjadi pelapisan sosial karena dulu masih terdapat raja pada setiap sukunya. Turunan para raja kemudian menurunkan para bangsawan yang disebut golongan mantiq, sedangkan masyarakat kebanyakan dinamakan kelompok merantikaq (keturunan orang-orang biasa). Golongan mantiq dan merantikaq dapat dibedakan dari ragam hias yang diimbuhkan pada pelbagai pelengkap acara adat.

Misalnya motif jautan nguku. Jautan berarti awan, sedang nguku berarti berarak. Ragam hias ini menggambarkan kebesaran seseorang dalam suasana kebahagiaan. motif ini biasanya dilukis pada templaq/tinaq (tempat penyimpanan tulang-belulang jenazah) golongan bangsawan atau raja-araja. Atau motif waniq ngelukng. Waniq berarti lebah dan ngelukng berarti menyerupai sarang lebah. Maknanya, bahwa orang yang sudah mempunyai cukup harta benda dapat melaksanakan upacara kematian. Ragam hias ini dilukiskan pada templaq/ tinaq tempat tulang belulang orang mati untuk golongan orang merantikaq tapi bisa juga untuk golongan bangsawan.

Kini tak ada lagi raja. Maka yang dianggap sebagai pemuka masyarakat adalah kepala adat, kepala suku, dan para ahli belian (ahli penyembuhan penyakit) yang disebut pemeliaten. Kepala adat suku Benuaq sekarang tampil lebih sederhana, hampir tidak nampak atribut tanda status pada busana yang dikenakannya. Mereka biasanya memakai destar atau leukng dari serat doyo atau kain biasa. Berbaju kemeja tanpa lengan dari kain serat doyo berwarna merah atau hitam. Dahulu kepala adat menggantungkan jimat-jimat, manik-manik, taring harimau dahan, taring beruang, dan patung-patung yang mempunyai kekuatan magis atau disebut tonoi. Dan memakai cawat atau cancut yang juga dibuat dari tenunan serat doyo.

Kepala adat yang merangkap kepala suku mengenakan topi yang berhiaskan bulu burung enggang, baju perang dari kulit kayu atau kulit harimau dahan, memakai cawat, dan tanpa alas kaki. Perisai di tangan kiri dan tombak digengggam di tangan kanan. Di pinggangnya tesengkelit sebilah mandau perang (parang/golok panjang) yang hulunya dihiasi dengan aneka warna bulu burung. Sarung mandaunya berukir dan pada ujungnya juga dihias bulubulu burung yang indah.