distribusi dan akumulasi krom di lingkungan kawasan
TRANSCRIPT
PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”
Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)
Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017
Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 330
available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/
DISTRIBUSI DAN AKUMULASI KROM DI LINGKUNGAN KAWASAN INDUSTRI
KULIT DESA BANYAKAN Crom Distribution and Accumulation in Leather Industry Area “Banyakan” Village
Djoko Rahardjo1, Aniek Prasetyaningsih
2
1, 2 Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana,
Dr. Wahidin 5-9 C Yogyakarta, HP. 08122950401
e-mail korespondensi: [email protected]
ABSTRAK Kecenderungan meluasnya distribusi serta meningkatnya konsentrasi dan akumulasi krom dilingkungan menjadi ancaman potensial bagi kesehatan masyarakat di sekitar kawasan industri. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring
lanjutan untuk mengetahui pola pencemaran krom dilingkungan. Penelitian dilakukan kawasan aliran pembuangan
limbah cair industri kulit yang berada di desa Banyakan yang meliputi 5 titik pengambilan sampel dengan jenis media
yaitu sampel air, sedimen, tanah, tanaman, hewan serta kuku dan rambut. Prosedur analisa Cr untuk sampel air berdasar pada APHA/AWWA/WEF Standard Methods, 20th Edition, 2001. Konsentrasi logam berat dianalisis
dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrometer (AAS), tipe flame dengan sistem duplo. Dari penelitian
diketahui bahwa krom dari pembuangan limbah cair industri penyamakan kulit di dusun Banyakan merupakan
sumber utama krom di lingkungan dan terdistribusi dalam komponen lingkungan seperti air (8.83 mg/l), sedimen (89.22 mg/kg), tanah (15.67 mg/kg), air sumur (0.43 mg/l), tanaman (3.43 mg/kg), hewan akuatik (8.6 mg/kg). Krom
pada sedimen, tanaman, dan hewan akuatik memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibanding hasil penelitian tahun
2014 dan 2015. Akumulasi krom juga ditemukan pada rambut dan kuku masyarakat desa Banyakan. Namun
demikian buangan limbah PT B dan konsentrasi krom dalam air sungai yang relatif berfluktuasi.
Kata kunci: akumulasi, banyakan, distribusi, krom.
ABSTRACT The tendency of expanding distribution and increasing concentration and accumulation of chromium in the
environment becomes a potential threat to public health around the industrial area. Therefore it is necessary for further monitoring to determine the pattern of chromium pollution in the environment. The study was conducted in
liquid waste disposal flow area of leather industry in Banyakan village which includes 5 types of sampling,i.e. sample
of water, sediment, soil, plants, and animals as well asthe nails and hair. Cr analytical procedures for water samples
was based on APHA / AWWA / WEF Standard Methods, 20th Edition, 2001. The amount of heavy metal concentrations were analyzed using Atomic Absorption Spectrometer (AAS), the type of flame. This procedure was
done with the Duplo system. The study found that chromium derived from liquid waste disposal tanning industry in
the Banyakan village is the main source of the concentration of chromium in the environment and is distributed to
almost all components of the environment such as water (8.83 mg / l), sediment (89.22 mg / kg), soil ( 15.67 mg / kg), water wells (0.43 mg / l), plants (3:43 mg / kg), aquatic animals (8.6 mg / kg). The concentration of chromium in the
sediment, plants and aquatic animals was found in higher concentrations compared to the results in 2014 and 2015.
Disposal activities of the liquid waste in leather industry has the potential to cause health problems by increasing the
accumulation of chromium in hair and nails of Banyakan village citizens. The pattern of chromium pollution in the environment for the year of 2014 – 2016 generally continues to increase, except for the sewage of PT B and the
concentration of chromium in the river water which relatively fluctuate.
Keywords: accumulation, banyakan, distribution, chromium
Industri penyamakan kulit merupakan salah satu
jenis industri yang menghasilkan limbah dalam jumlah
besar dan potensial menimbulkan masalah pencemaran
karena penggunaan bahan-bahan kimia. Industri
penyamakan kulit sebagian besar menggunakan proses
penyamakan secara kimia dengan menggunakan krom
yang membutuhkan banyak air. Dari penelitian yang
dilakukan Rahardjo (2014) tentang profil cemaran krom
di lingkungan kawasan industri diperoleh hasil bahwa
ditemukan 3 perusahaan pengolahan kulit membuang
limbah ke saluran irigasi dan kemudian masuk ke sungai,
dengan kisaran konsentrasi Dari aktivitas pembuangan
limbah cair industri kulit yang mengandung krom ke
lingkungan dengan konsentrasi yang tinggi dan
berlangsung secara terus menerus akan meyebabkan
logam berat krom terdistribusi secara luas ke berbagai
komponen lingkungan desa Banyakan, baik air irigasi, air
sumur, sedimen, tanah, berbagai jenis tanaman pangan,
hewan akuatik, bahkan juga ditemukan terakumulasi pada
rambut dan kuku warga masyarakat desa Banyakan
(Rahardjo, 2014). Konsentrasi akumulasi krom ditemukan
berkisar antara 0.024-1.904 mg/kg pada rambut dengan
rata-rata sebesar 0.77 mg/kg, konsentrasi ini lebih tinggi
bila dibanding besarnya krom yang terakumulasi pada
kuku, yaitu berkisar antara 0.059-0.422 dengan nilai rata-
rata sebesar 0.23 mg/kg. Ditemukan akumulasi krom pada
sampel rambut dan kuku membuktikan bahwa aktivitas
industri kulit terbukti mencemari lingkungan serta
berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan (Rahardjo,
2014). Dari penelitian yang dilakukan oleh Rahardjo
PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”
Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)
Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017
Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 331
available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/
(2014: 2015) diketahui bahwa logam berat krom telah
terdistribusi dihampir semua komponen lingkungan desa
Banyakan seperti air (1.538 mg/l), sedimen (68,85 mg/l),
tanah (1.582 mg/l), air tanah dangkal (0.352 mg/l),
tanaman (14.870 mg/l), hewan akuatik (9.269 mg/l).
Konsentrasi krom pada sedimen, tanaman, dan hewan
akuatik ditemukan dengan konsentrasi yang lebih tinggi
dibanding dengan hasil penelitian tahun 2014.
Kecenderungan meluasnya distribusi serta meningkatnya
konsentrasi dan akumulasi krom di lingkungan menjadi
ancaman potensial bagi kesehatan masyarakat di sekitar
kawasan industri. Untuk dapat memastikan bahwa ada
kecenderungan peningkatan konsentrasi dan akumulasi
pencemar krom maka perlu dilakukan penelitian lanjutan
untuk mengetahui pola pencemaran, distribusi dan
akumulasi krom selama periode 3 tahun. Dengan
penelitian ini diharapkan dapat diketahui pola pencemaran
krom, jalur distribusi, dan akumulasi di berbagai
komponen lingkungan sehingga dapat dengan segera
dilakukan langkah-langkah antisipasi baik dalam
pengelolaan lingkungan maupun upaya untuk mengelola
resiko paparan krom kepada warga masyarakat.
METODE
Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei – Oktober
2016. Tempat penelitian di desa Banyakan khusunya di
saluran air, sungai dan lahan pertanian yang mendapatkan
distribusi aliran air yang terkena dampak pembuangan
limbah cair industri kulit. Lokasi pengambilan sampel
ditentukan berdasarkan aliran effluen yang masuk ke
badan air, yang dimulai dari outlet pembuangan limbah
cair PT.A, masuk ke selokan, masuk ke sungai kecil dan
akhirnya masuk ke sungai Oya, sehingga ada lima (5) titik
pengambilan sampel air, sedimen dan biota yaitu T1 area
pembuangan oulet PT. A, T2, pertemuan saluran air dan
sungai, T3 aliran sungai dengan pemukiman yag padat,
T4 pertemuan sungai dengan sungai Oya serta T5 yaitu
bagian hilir sungai Oya. Sampel biota yang dimaksud
adalah beberapa tanaman konsumsi yang ditanam oleh
warga masyarakat sekitar seperti padi, ubi, cabe dll serta
beberapa jenis fauna sungai yang berhasil ditangkap.
Selain itu juga diambil sampel air sumur, kuku dan
rambut warga masyarakat yang berada di kawasan sekitar
aliran pembuangan limbah cair industri kulit.
Analisis konsentrasi krom untuk sampel air
dlakukan dengan pemekatan sampel dengan asam nitrat
pekat (HNO3) sebagaimana diatur dalam
APHA/AWWA/WEF Standard Methods, 20th Edition,
2001. Untuk sampel sedimen, biota, rambut dan kuku
dilakukan dengan metode ekstraksi asam (EPA Method
200.2, 1994). Besarnya konsentrasi logam berat dianalisis
dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrometer
(AAS), tipe flame. Prosedur ini dilakukan dengan sistem
duplo. Data kosentrasi krom untuk masing-masing media
ditampilkan dalam tabel dan dianalisis secara deskriptif
untuk mengambarkan pola pencemaran dan distribusi
pencemar krom di lingkungan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil analisis konsentrasi dan akumulasi
logam berat krom (krom total) diberbagai komponen
lingkungan, diperoles hasil bahwa semua komponen
lingkungan seperti air, sedimen, tanah, berbagai jenis
tanaman dan fauna sungai telah terkontaminasi oleh
logam berat krom. Bahkan logam berat krom juga
ditemukan didalam rambut dan kuku warga desa
Banyakan. Dari analisis buangan limbah cair dari tiga
ndustri penyamakan kulit yang besar diperoleh hasil
bahwa, dalam buangan limbah cair ketiga industri tersebut
masih ditemukan logam berat krom dengan kisaran 1.24 –
77.8 mg/L, dan ada perbedakan kisaran dan rata-rata
kandungan logam berat dalam buangan limbah untuk
ketiga industri tersebut. Buangan limbah PT. C diketahui
mempunyai nilai kisaran dan rata-rata kandungan logam
berat krom lebih tinggi yaitu 1.67-77.18 mg/l dan 41.27
mg/L dibanding dengan kedua industri yang lain (lihat
Tabel 1).
Rata-rata kandungan krom dalam buangan limbah
cair tersebut jauh lebih tinggi dari yang dipersyaratkan
oleh Standar Baku Mutu Limbah Cair menurut Surat
Keputusan Gubernur DIY Nomor 214/KPTS/1991 untuk
golongan baku mutu limbah I-IV yang berturut-turut
maksimal yang diperbolehkan sebesar 0,1 mg/L, 0,5.
mg/L, 1 mg/L dan 2 mg/L.
Tabel 1. Konsentrasi logam berat kromium pada berbagai sampel lingkungan
No. Jenis Sampel Jumlah
Sampel
Sampel
Positif
Konsentrasi
mg/L atau mg/Kg
Mean
1. Outlet PT. A 3 3 1.24-11.34 6.89
Outlet PT. B 3 3 1.43-6.20 4.25
Outlet PT. C 3 3 1.67-77.18 41.27 2. Air Sungai 5 5 0.11-27.18 8.83
3. Sedimen 5 5 15.10-98.39 89.22
4. Air Sumur 10 10 0.02-1.34 0.43
5. Tanah 10 10 3.59-31.16 15.67 6. Tanaman 10 10 1.22-9.06 3.43
7. Hewan Akuatik 5 5 0.08-32.40 8.6
8. Rambut 10 10 0,16-0,98 0.15
9. Kuku 10 10 0,25-3.21 0.92
PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”
Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)
Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017
Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 332
available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/
Rata-rata kandungan krom dalam buangan limbah
cair tersebut jauh lebih tinggi dari yang dipersyaratkan
oleh Standar Baku Mutu Limbah Cair menurut Surat
Keputusan Gubernur DIY Nomor 214/KPTS/1991 untuk
golongan baku mutu limbah I-IV yang berturut-turut
maksimal yang diperbolehkan sebesar 0,1 mg/L, 0,5.
mg/L, 1 mg/L dan 2 mg/L. Tingginya kandungan logam
berat krom pada buangan limbah cair yang dibuang secara
intens kelingkungan menjadi ancaman potensial bagi
kesehatan lingkungan dan masyarakat. Tingginya
kandungan logam berat krom pada buangan limbah yang
dibuang secara kontinyu kelingkungan menjadi faktor
penyebab tingginya konsentrasi logam berat krom yang
ditemukan di air sungai dan sedimen sungai. Air sungai
dengan kisaran 0.11-27.18 mg/l dan rata-rata 8.83 serta
sedimen dengan kisaran 15.10-98.39 mg/l dengan rata-
rata 89.22 mg/l (Tabel 4.1). Baik nilai hasil pengukuran
untuk semua sampel air sungai dan sedimen maupun nilai
rata-rata untuk kedua sampel tersebut jauh melebihi dari
yang dipersyaratkan oleh Peraturan Pemerintah RI Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air sungai dan Pengendalian Pencemaran Air,
yakni sebesar 0,05 mg/l dan ≤ 0.99 mg/kg berdasarkan
standar sediment quality guideline values for metals and
associated levels of concern to be used in doing
assessments of sediment quality tahun 2003. Lokasi
industri penyamakan kulit yang berada di tengah-tengah
lahan pertanian dan pemukiman menjadi problematika
lain yang sangat serius. Tidak dapat dipungkiri bahwa
aliran limbah dari industri penyamakan kulit berada di
tengah-tengah lahan pertanian warga Dusun Banyakan.
Dari penelitian yang dilakukan Rahardjo (2014; 2015),
ditemukan adanya akumulasi logam berat kromium di
dalam sampel tanaman dengan konsentrasi yang
bervariasi, begitu pula untuk sampel tanah, air sumur dan
rambut serta kuku. Tingginya rata-rata konsentrasi krom
pada berbagai komponen lingkungan disebabkan oleh
aktivitas pembuangan limbah yang secara kontinyu
dilakukan sehingga logam berat krom secara massif akan
terdistribusi dan terakumulasi pada berbagai komponen
lingkungan di desa Banyakan. Secara umum distribusi
logam krom di desa banyakan dapat dijelaskan pada
Gambar 1.
Dapat dilihat pada skema di atas, saluran limbah
industri penyamakan kulit masuk ke dalam sungai yang
kemudian terdistribusi merata ke seluruh komponen
lingkungan.
Gambar 1. Skema distribusi logam berat kromium
Pencemaran tersebut juga mengancam kualitas
produksi pertanian warga Dusun Banyakan II, sebab
aliran limbah masuk ke dalam saluran irigasi pertanian.
Tidak hanya itu, aliran sungai yang tegak lurus dengan
perkampungan warga dikhawatirkan menjadi faktor
determinan pencemaran air sumur oleh logam berat krom.
Bahkah aliran pembuangan limbah akhirnya bermuara di
sungai Opak, yang merupakan sungai terbesar di
Yogyakarta dan langsung menuju ke laut. Bahaya dari
cemaran krom dapat dikategorikan sebagai ancaman jarak
dekat hingga jauh. Paparan logam berat krom juga
berpotensi berdampak secara tidak langsung terhadap
kesehatan manusia. Untuk pekerja pabrik penyamakan
kulit, paparan logam berat kromium dapat terjadi selama
proses produksi. Dimana di dalam proses penyamakan
kulit di lakukan proses tanering menggunakan senyawa
Cr2O3yang dapat dengan mudah menguap. Uap dari
senyawa Cr2O3 menyebabkan udara lingkungan pabrik
memuat konsentrasi kromium yang masuk melalui saluran
pernafasan (inhalasi). Tidak hanya itu, paparan logam
berat kromium juga dapat terjadi melalui kontak langsung
dengan kulit (dermal) dimana sebagian besar pekerja
pabrik jarang menggunakan alat pengaman atau standar
keamanan kerja. Hal itu diperkuat oleh hasil analisis krom
pada rambut dan kuku warga desa Banyakan yang
ditemukan pada semua responden dengan kisaran
konsentrasi sebesar 0,16-0,98 mg/l dan rata-rata sebesar
0.15 mg/l untuk rambut dan kisaran 0,25-3.21mg/l dan
rata-rata 0.92 mg/l untuk kuku. Paparan logam berat
kromium juga dapat mengancam kesehatan warga Desa
Banyakan secara tidak langsung, bak melalui konsumsi
PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”
Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)
Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017
Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 333
available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/
air minum, dan melalui pola konsumsi (ikan, sayur, padi,
dll) yang semuanya telah tercemar oleh krom.
Konsetrasi krom pada hewan akuatik
Withgott and Brennan (2007), Wardhana (2004)
dan Connell (2002) mengatakan bahwa proses
perpindahan langsung suatu senyawa toksik dari air ke
makhluk hidup disebut sebagai biokonsentrasi,
sedangkan perpindahan suatu senyawa toksik melalui
rantai makanan kesuatu makhluk hidup disebut
biomagnifikasi. Dari hasil pengambilan sampel beberapa
hewan akuatik di berbagai lokasi pada titik pengambilan
sampel, hampir semua hewan akuatik yang ditemukan
terbukti telah terkontaminasi logam krom dengan kisaran
konsentrasi yang bervariasi yaitu berkisar antara 0.3-
12.32 mg/kg, dengan rata-rata 3.76 mg/kg. Hasil
penelitian ini jauh lebih tinggi dari hasil penelitian yang
diperoleh pada tahun 2014 dengan kisaran sebesar 0.02-
6.82 mg.kg dan rata-rata sebesar 2.01 mg/kg, pada tahun
2015 meningkat menjadi berkisar 0.04-8.96 mg/kg dan
rata-rata 2.58 mg/kg (Rahardjo, 2015). Meski penelitian
dilakukan dengan sampel yang berbeda, namun
pengambilan sampel dilakukan pada lokasi yang sama,
sehingga tingginya konsentrasi logam berat krom pada
berbagai jenis hewan akuatik menunjukkan juga semakin
tingginya konsentrasi krom dilingkungan, khususnya air
sungai dan sedimen. Dari 3 jenis sempel hewan akuatik,
keong tetap sebagai jenis hewan dengan konsentrasi
logam berat krom yang tertinggi yaitu berkisar 2.14-12.32
mg/kg dengan rata-rata sebesar 8.63 mg/kg (Tabel 2).
Tabel 2. Distribusi konsentrasi logam berat Krom pada beberapa jenis hewan akuatik
No Jenis Sampel Jumlah sampel 2014 2015 2016
Kisaran Mean Kisaran Mean Kisaran Mean
1. Ikan 5 0.02-0.04 0.03 0.04-1,25 0.45 0.3-1.36 0.91 2. Kepiting 4 0.16-2.06 1.43 0.31-2.81 1.51 1.6-2.62 1.73
3 Keong 6 3.52- 6.82 4.57 2.33-8.94 5.79 2.14-12.32 8.63
Rata-rata 0.02-6.82 2.01 0.04-8.96 2.58 0.3 –12.32 3.76
Berdasar di atas terlihat bahwa keong mempunyai
kandungan krom paling tinggi dibanding dengan kepiting
dan ikan. Biokonsentrasi dan akumulasi logam berat
dalam tubuh organisma akuatik umumnya dipengaruhi
oleh konsentrasi bahan pencemar dalam air, sedimen,
kemampuan akumulasi (fisiologis , sifat organisme (jenis,
umur dan ukuran). Hal tersebut dibuktikan dengan
tingginya konsentrasi krom dalam keong terutama yang
ditemukan di dekat area pembuangan limbah cair industri
penyamakan kulit. Tingginya krom pada keong dapat
disebabkan oleh beberapa faktor seperti sifat hidup keong
yang hidup di sedimen dan bersifat filter feeder dan juga
tingginya konsentrasi krom dalam air dan sedimen pada
lokasi tersebut. Keong baik jenis kecil maupun jenis
besar merupakan indikator yang baik dalam memonitor
suatu pencemaran lingkungan oleh logam. Hal tersebut
disebabkan oleh sifatnya yang menetap dalam suatu
habitat tertentu.
Dari analisis logam dalam jaringan keong tersebut
dapat diketahui kadar pencemaran logam di daerah
tersebut. Jenis keong juga dapat dipakai untuk memonitor
pengaruh konsentrasi logam terhadap kualitas air.
Dilaporkan juga bahwa keong kecil dapat mengakumulasi
logam berlipat ganda lebih besar daripada konsentrasi
logam tersebut dalam air di sekitarnya. Hal ini
menunjukkan bahwa keong yang berukuran kecil
merupakan bioakumulator paling baik terhadap logam
daripada organisme lainnya. Sementara kepiting dan ikan
hanya ditemukan dengan konsentrasi krom rata-rata
sebesar 1.73 mg/kg dan 0.91 mg/kg. Tanpa
mempertimbangkan faktor umur dan berat antar
organisma akuatik yang ditemukan maka konsentrasi
krom dalam kepiting dan ikan lebih kecil dibanding pada
keong, sehingga dapat diduga faktor penyebab utama
adalah sifat hidup, cara makan serta konsentrasi krom
pada air dan sedimen. Kepiting mempenyai sifat hidup
dan cara makan yang sama dengan keong, yaitu filter
feeder, namum kepiting relative mobil dibanding dengan
keong yang sesil. Oleh karena itu kepiting juga dapat
sering dijadikan sebagai bioindikator logam berat.
Sementara untuk ikan umumnya hidup berenang aktif
pada kolom air, dan hal inilah yang menyebabkan ikan
tidak banyak berpengaruh pada kondisi pencemaran
logam seperti makhluk lainnya (kepiting, udang dan
kerang).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi kandungan
logam berat dalam tubuh ikan adalah tingkah laku makan
ikan. Ikan yang spesiesnya berbeda umumnya memiliki
pola tingkah laku makan dan penyebaran habitat yang
berbeda pula. Penyebaran habitat dan pola tingkah laku
makan ini akan berpengaruh terhadap interaksi ikan yang
bersangkutan terhadap kandungan logam berat yang
tersuspensi di dasar perairan. Lodenius and Malm (1998)
dalam Simbolon, dkk (2010) telah menganalisis dampak
penambangan logam berat terhadap ikan di perairan.
Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan logam berat
tertinggi ditemukan pada kelompok ikan karnivora,
kemudian menyusul pada ikan pemakan plankton
(planktivora) dan omnivora, dan kandungan terendah
ditemukan pada ikan herbivora. Menurut Darmono
(1995) dalam Bangun (2005) kebanyakan logam berat
secara biologis terkumpul dalam tubuh organisme,
menetap untuk waktu yang lama dan berfungsi sebagai
racun kumulatif. Keberadaan logam berat dalam perairan
akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota.
Logam berat yang terikat dalam tubuh organisme yaitu
pada ikan akan mempengaruhi aktivitas organisme
tersebut.
Darmono (2001) dalam Erlangga (2007)
menyebutkan bahwa logam berat masuk ke dalam
PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”
Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)
Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017
Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 334
available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/
jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan
yaitu, saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi
melalui kulit. Di dalam tubuh hewan, logam diabsorpsi
darah berikatan dengan protein darah yang kemudian
didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi
logam yang tertinggi biasanya dalam organ dektoksifikasi
(hati) dan organ ekskresi (ginjal). Keracunan yang di
akibatkan oleh kromium (Cr) dapat bersifat akut dan
kronis. Untuk keracunan yang bersifat akut di tandai
dengan kecenderungan pembengkakan yang terjadi pada
hati. Sementara untuk keracunan yang bersifat kronis
dapat menimbulkan gejala kanker paru-paru dan dapat
berakhir pada kematian. Namun daya racun yang dibawa
oleh logam kromium (Cr) tidak sama untuk semua
makhluk hidup. Daya racun/tingkat keracunan pada
makhluk hidup di tentukan oleh sistem imunitas dari
masing-masing individu dalam menetralisir bahan-bahan
racun yang masuk ke dalam tubuh (Mukono, 2005; Daud,
2010).
Akumulasi krom pada Rambut dan Kuku
Kehadiran unsur-unsur beracun dan jejak dalam
jaringan biologis seperti rambut dan kuku bisa menjadi
ukuran jumlah pencemar yang diserab oleh seseorang.
Penentuan konsentrasi bahan pencemar dalam rambut
manusia adalah penting dalam biologi, medis, forensik
dan lingkungan (Ciswezkiet al, 1978). Dari hasil
pengambilan sampel rambut dan kuku dari 10 warga
masyarakat desa Banyakan yang tinggal di kawasan
sekitar industri penyamakan kulit, dan setelah dilakukan
ekstrasksi dan analisis kandungan krom diketahui bahwa
semua sampel baik kuku dan rambut warga ditemukan
adanya akumulasi logam krom dengan kisaran 0,16-0,98
mg/kg pada rambut, dan 0,25-3.21 mg/kg pada rambut,
lihat tabel di bawah ini. Ditemukannya logam krom pada
spesimen kuku dan rambut, membuktikan bahwa
masyarakat desa Banyakan telah terpapar dan
mengabsorbsi logam krom dalam jangka waktu yang
relatif lama.
Tabel 3. Akumulasi logam berat kromium pada rambut dan kuku
No Jenis Sampel Jumlah sampel 2014 2015 2016
Kisaran Mean Kisaran Mean Kisaran Mean
1. Rambut 10 0.06-0.42 0.23 0.08-0.56 0.20 0,16-0,98 0.15
2. Kuku 10 0.02-1.90 0.77 0.24-2.76 0.81 0,25-3.21 0.92
Hal ini sesuai dengan pernyataan Lake M (1982)
dan Pateringet al (1982) bahwa tingkat konsentrasi krom
pada rambut dan kuku menggambarkan retensi paparan
jangka panjang. Demikian pula bahwa konsentrasi logam
krom dalam kuku juga menunjukan beban pencemaran
logam berat dalam tubuh (Choudharyet al.,1995). Kuku
merupakan bioindikator cemaran logam berat yang
sifatnya kontinu.
Kuku dibentuk dari sel-sel keratinosit, sehingga
selama loam berat masih ada di dalam sistem (darah),
maka keratinosit juga akan mengakumulasi logam berat.
Kehadiran unsur-unsur beracun dan jejak dalam jaringan
biologis seperti rambut dan kuku bisa menjadi ukuran
jumlah pencemar yang diserab oleh seseorang. Penentuan
konsentrasi bahan pencemart dalam rambut manusia
adalah penting dalam biologi, medis, forensik dan
lingkungan, karena merupakan suatu matriks biologi yang
menarik untuk dikaji (Ciswezki et al, 1978).
Rambut merupakan jaringan yang menarik untuk
dianalisis karena mendapatkan sampel yang noninvasive
dan relative inert (Druyan et al, 1998). Akumulasi dalam
kuku dipengaruhi oleh umur, aktivitas kontak dengan
lingkungan yang tercemar, seperti petani, konsumni
komponen lingkungan yang telah tercemar krom , sumber
air, tanaman dan hewan. Krom masuk kedalam tubuh
manusia tidak hanya melalui oral (makanan dan
minuman) tetapi juga kontak langsung dengan periran
yang tercemar krom, hal ini terjadi karena mayoritas
warga desa Banyakan berprofesi sebagai petani dan
dalam melakukan kegiatan pertanian tidak mengenakan
sepatu dan kaos tangan. Kondisi tersebut ditunjang oleh
hasil pengukuran sampel komponen lingkungan lainnya,
seperti sungai, tanah, air tanah dan berbagai jenis tanaman
yang ada di kawasan desa Banyakan terlah tercemar oleh
logam krom. Sehingga warga desa Banyakan mempunyai
resiko tinggi terkena dampak kesehatan akibat paparan
krom dari aktivitas pembungan limbah cair industri kulit
ke lingkungan. Meski krom merupakan unsur esensial
dalam tubuh, khususnya krom valensi III dengan
kebutuhan lebih kurang 0.025 mg.hari, dan berperan
dalam metabolisme glukosa dan lipida, namun absorspsi
dan tingginya krom yang terdistribusi dalam tubuh,
terutama krom valensi VI dapat menyebabkan kanker
paru-paru, kanker ginjal, menurunnya jumlah sel darah
putih, sementara akumulasi dalam jangka pendek akan
menimbulkan mual, muntah dan ruam-ruam pada kulit
(Drewet al. 2006).
Kebiasaan masyarakat Indonesia umumnya senang
mengkonsumsi kuliner olahan dari keong, kerang dan
ikan, sehingga dapat berdampak fatal terhadap kesehatan
jika makanan yang dikonsumsi mengandung krom. Jika
seseorang ibu dengan berat badan 60 Kg mengkonsumsi
keong 10 gr tiap harinya, dengan kandungan krom pada
keong rerata 5μg/gr maka tubuhnya akan ketambahan
krom 0,83 µg/Kg bw/day. Jika mengkonsumsi keong
dilakukan secara rutin selama 10 tahun maka dapat
berpotensi munculnya kanker usus, gagal ginjal, kanker
payudara, keguguran serta menyebabkan kematian.
Pola pencemaran krom tahun 2014-2016
Dari tahun ke tahun, diketahui bahwa jumlah
industri penyamakan kulit di Desa Banyakan, Sitimulyo,
Piyungan, Bantul terus meningkat. Sampai dengan tahun
2015, terdapat 7 industri penyamakan kulit. Seluruh
PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”
Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)
Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017
Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 335
available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/
industri penyamakan kulit berkontribusi besar terhadap
pencemaran logam berat krom di lingkungan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahardjo
(2014 ; 2015), angka cemaran logam berat krom (Cr,
krom total) bervariasi berdasarkan jenis sampel, waktu
pengambilan sampel, dan jarak dari outlet. Hasil
penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa logam berat
krom telah terdistribusi merata ke seluruh komponen
lingkungan, seperti air sungai, sedimen dan berbagai biota
yang ada di Desa Banyakan.
Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian
pada tahun 2016 ini, semua sampel lingkungan juga
ditemukan konsentrasi logam berat krom bahkan dalam
jumlah yang jauh lebih tinggi dibanding dengan penelitian
yang dilakukan pada tahun 2014 dan 2015 untuk semua
komponen lingkungan. Hal tersbut menunjukkan bahwa
meningkatnya konsentrasi krom diberbagai komponen
lingkungan lebih disebabkan oleh berlangsungnya
aktivitas pembuangan limbah kulit yang mempunyai
kandungan logam berat krom secara terus menerus dalam
jumlah yang banyak. Selain itu faktor meningkatnya
konsentrasi dan akumulasi logam berat krom pada
sedimen, tanah, berbagai tanaman dan hewan akuatik
serta rambut dan kuku warga masyarakat disebabkan oleh
faktor biokonsentrasi dan bioakumulasi logam berat
krom. Rata-rata kandungan logam berat krom pada
limbah cair dari tahun 2014 sampai dengan 2016
cenderung meningkat (PT. A dan PT. C) kecuali di PT. B
relatif berfluktuasi, namun dengan kandungan logam
berat krom tetap lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
NAB yang dipersyararkan dalam Standar Baku Mutu
Limbah Cair menurut Surat Keputusan Gubernur DIY
Nomor 214/KPTS/1991 untuk golongan baku mutu
limbah I-IV yang berturut-turut maksimal yang
diperbolehkan sebesar 0,1 mg/L, 0,5. mg/L, 1 mg/L dan 2
mg/L. Hal yang sama juga terjadi pada sampel air sungai
dan sedimen, rata-rata konsentrasi logam berat krom pada
kedua sampel tersebut mengalami kenaikan yang tinggi
khususnya pada sedimen. Pada tahu 2014 rata-rata
konsentrasi krom sebesar 32.33 mg/l, naik menjadi 68.85
mg/l di tahun 2015 dan kembali naik dengan pesat di
tahun 2016 menjadi 89.22 mg/l (Tabel 4).
Berdasar Tabel 4 dibawah ini, terlihat bahwa
akumulasi cemaran logam berat krom pada sedimen terus
meningkat dari tahun ketahun. Hal tersebut disebabkan
oleh adanya proses pengendapan partikulat limbah di
dasar perairan, dimana partikulat tersebut merupakan
bahan-bahan organik yang mengadsorpsi logam berat
kromium. Hal tersebut selaras dengan pendapat Palar
(1994) yang menyebutkan bahwa, di dalam perairan krom
akan mengalami proses-proses kimia mulai dari
pengomplekan sampai dengan reaksi redoks. Proses kimia
tersebut dapat menyebabkan terjadinya pengendapan atau
sedimentasi di dasar perairan.
Tabel 4. Pola pencemaran krom dilingkungan tahun 2014 -2016
No Jenis Sampel
Data 2014 Data 2015 Data 2016
Konsentrasi
mg/L atau mg/Kg Mean
Konsentrasi
mg/L atau mg/Kg Mean
Konsentrasi
mg/L atau mg/Kg
Mean
1
Outlet PT. A 0.34 -8.04 4.89 0.34 - 8.04 6.79 1.24-11.34 6.89
Outlet PT. B 1.18 - 9.37 5.26 0.18 – 1.24 0.45 1.43-6.20 4.25
Outlet PT. C 0.38 - 29.56 14.97 0.38 – 60.75 38.36 1.67-77.18 41.27 2 Air Sungai 0.04 -9.06 2.10 0 - 7.16 1.53 0.11-27.18 8.83
3 Sedimen 2.11 - 327.28 32.33 2.75 - 99.60 68.85 15.10-98.39 89.22
4 Air Sumur 0 - 0.21 0.03 0.05 - 1.04 0.32 0.02-1.34 0.43
5 Tanah 0.27 - 56.19 6.13 0.11 - 7.01 1.58 3.59-31.16 15.67 6 Tanaman 0.02 - 193.93 11.93 0.73 - 32.41 14.87 1.22-9.06 3.43
7 Hewan Akuatik 0.02-6.82 2.52 1.26 - 65.49 9.26 0.08-32.40 8.6
(Sumber : Rahardjo (2014) ; Rahardjo (2015) dan Data Primer 2016)
Proses reduksi mengubah sebagian Cr6+
yang
sangat beracun menjadi Cr3+
yang kurang beracun.
Namun, proses reduski terjadi apabila kondisi perairan
bersifat asam, sebaliknya apabila kondisi perairan bersifat
basa maka Cr3+
akan diendapkan di perairan, sedangkan
Cr6+
larut terbawa aliran. Pola yang sama juga ditemukan
pada sampel tanaman, tanah, air sumur, hewan akuatik
serta rambut dan kuku warga masyarakat desa Banyakan,
secara keseluruhan rata-rata konsentrasi krom semakin
meningkat dari tahun 2014 ke tahun 2016. Hal ini
sungguh sangat mengkawatirkan karena selama 3 tahun
berjalan belum ada upaya yang dilakukan oleh pihak
perusahaan untuk mencoba meningkatkan efektifitas
pengolahan limbahnya dengan menurunkan konsentrasi
kandungan logam berat krom dalam buangan limbahnya
untuk tidak melebihi NAB yang ditetapkan. Hal lain yang
patut dipertanyakan adalah tidak adanya upaya
monitoring lingkungan dan industri yang dilakukan oleh
pemerintah dalam hal ini adalah Biro Lingkungan
Kabupaten Bantul dan atau Biro Lingkungan Hidup DIY
untuk melakukan upaya pembinaan kepada industri,
teguran dan berbagai upaya untuk mereduksi distribusi
cemaran logam berat krom di lingkungan. Kondisi ini
tentu akan meningkatkan resiko kesehatan bagi
masyarakat desa Banyakan akan munculnya dampak
kesehatan. Logam berat krom hampir telah ditemukan
diberbagai komponen lingkungan dan konsentrasi serta
akumulasinya terus meningkat. Melalui kontak secara
langsung dan pola konsumsi komoditas lokal, absorbsi
dan akumulasi krom pada masyarakat akan terus
meningkat. Tanpa upaya komprehensif dan simultan
untuk mereduksi kandungan logam berat krom pada
buangan limbah, serta upaya untuk melakukan remidiasi
krom dilingkungan secara masif dikawatirkan akan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”
Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)
Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017
Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 336
available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/
muncul dampak kesehatan akibat pencemaran logam berat
krom.
PENUTUP
Pembuangan limbah cair industri penyamakan
kulit di dusun banyakan merupakan sumber utama
konsentrasi krom di lingkungan dan telah terdistribusi
dihampir semua komponen lingkungan seperti air (8.83
mg/l), sedimen (89.22 mg/kg), tanah (15.67 mg/kg), air
sumur (0.43 mg/l), tanaman (3.43 mg/kg), hewan akuatik
(8.6 mg/kg). Konsentrasi krom pada sedimen, tanaman,
dan hewan akuatik ditemukan dengan konsentrasi yang
lebih tinggi dibanding dengan hasil penelitian tahun 2014
dan 2015. Aktivitas pembuangan limbah cair industri kulit
mempunyai potensi untuk menimbulkan gangguan
kesehatan dengan semakin meningkatnya akumulasi krom
dalam rambut dan kuku dalam rambut warga masyarakat
desa banyakan. Pola pencemaran krom dilingkungan dari
tahun 2014 – 2016, secara umum terus mengalami
peningkatan kecuali pada buangan limbah PT B dan
konsentrasi krom dalam air sungai yang relatif
berfluktuasi.
DAFTAR RUJUKAN
Argawala, S.P. 2006. Environmental Studies. Narosa
Publishing House PVT. LTD. New Delhi Chennai
Mumbai Kolkata
Boehm, P. D. 1987. Transport and transformation
process regarding hydrocarbon and metal
pollution in offshore sedimenary environment in:
Long term effect of shore oil and gas development.
D. F. Boesch and N. N. Rabalai. Elsivier applied
science. London.
Bryan, G.W. 1976. Heavy metal contamination in the sea.
In R. Johnston (Ed.) Effects of pollutants on
aquatic organisms. Cambridge university press,
Cambridge.
Connell, D.W and G.J. Miller. 2001. Chemistry and
Ecotoxicology of Pollution. A Wiley Interscience
Publication. London
Connell, Des W. 2002. Bioakumulasi Senyawaan
Xenobiotic. UI Press, Jakarta. Hal 5-75, 146-211
Darmono. 2001. Lingkungan hidup dan pencemaran :
Hubungan dengan toksikologi senyawa logam.
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Dewi, K. S. P. 1996. Tingkat pencemaran logam berat
(Hg, Pb dan Cd) di dalam sayuran, air Minum dan
rambut di Denpasar, Gianyar dan Tabanan.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
(Tesis).
Dewi.N.K., Purwanto, Henna Rya Sunoko 2010.
Biomarker Pada Ikan Sebagai Biomonitoring
Pencemaran Logam Berat Kadmium di Perairan
Kaligarang Semarang. Laporan Penelitian Hibah
Doktor. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi,
Kementerian Pendidikan Nasional. Jakarta.
EPA-Ohio, 2001, Sediment Sampling Guide and
Methodologies 2nd edition, Environmental
Protection Agency, state of Ohio
Forstner, U. dan G.T.W. Wittman. 1983. Metal pollution
in the aquatic environment. Springer verlag. Berlin
Heidelberg, New York, Tokyo, Germany.
Friedman, G.M. dan J. E. Sanders. 1978. Principles of
sedimenology. John Wiley and Sons, New York.
Hanson N, Guttman E, Larsson A. 2006. The effect of
different holding conditions for environmental
monitoring with caged rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss) Journal of Environmental
Monitoring 8 (10):994-999.
Hanson N, Larsson A. 2007. Influence of feeding
procedure on biomarkers in caged rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss) used in Environmental
Monitoring. Journal of Environmental Monitoring
9 (2):168-173.
Hanson. N.2008. Does Fish Health Matter ? The Utility of
Biomarkers in Fish for Environmental Assessment.
Ph.D. Thesis Department of Plant and
Environmental Sciences University of Gothenburg.
Hanson N, Larsson A. 2008a. Experiences from a
biomarker study on farmed rainbow trout used for
Environmental Monitoring in a Swedish river.
Submited Manuscript.
Hanson N, Larsson A. 2008b. Biomarker analyses in fish
suggest exposure to pollutants in an urban area
with a landfill. Submited Manuscript.
Hanson N, Persson S, Larsson A. 2008. Analyses of perch
(Perca fluviatilis) bile suggest increasing exposure
to PAH and other pollutans in a reference area on
the Swedish Baltic coast. Journal of
Environmental Monitoring. In Press DOI:10.1039/
b817703a.
Hanson N, Forlin L, Larsson A 2008. Evaluation of Long
Term Biomarker Data From Perch (Perca
Fluviatilis) in The Baltic Sea Suggest Increasing
Exposure To Environmental Pollutants.
Environmental Toxicology and Chemistry. In press
DOI:10.1897/08-259.1.
Hellawell, J.M. 2000. Biological Indicators of Freshwater
Pollution And Environmental Management.
Elsevier Applied Science. London and New York.
Hal. 58-76.
Henna Rya Sunoko 2007. Kajian Pemajanan Kronik Pb
Lingkungan Terhadap Biosintesis Heme dengan
Penanda Biologis δ Ala, Zn Protoporfirin,
PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”
Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)
Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017
Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 337
available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/
Protoporfirin dan Porfirin pada Anak. Disertasi.
Pasca Sarjana UNDIP. Semarang.
Hutabarat, S. dan S. Evans. 1985. Pengantar oseanografi.
Universitas Indonesia, Jakarta.
Hutagalung, H.P. 1984. Logam berat dalam lingkungan
Laut. Pewarta oceana IX No. 1 tahun 1984.
Jessica D, Robert M, Frederic S, Arnaud B, Delphine L,
Jean-Pierre, Patrick K.2007. Do sewage treatment
plant discharges substantially impair fish
reproduction in polluted rivers ? Science of the
Total Environment. 372(2-3):497-514.
Katzung B.G. 2007. Basic & Clinical Pharmacology,
10th Ed (Internasional Ed), Boston, Ner York: Mc
Graww Hill. P. 1-10.
Klaassen C.D. 2001. Csarett and Doull’s Toxicology: The
Basic Science of Poisons, 6th Ed. Mc. Graw Hill,
New Yorks.
Kosnett M.J. 2007. Heavy metal intoxication & chelators.
In Katzung B.G. (ed): Basic & Clinical
Pharmacology, 10th Ed (International Ed), Boston,
New York: Mc Graw Hill. P. 970-981.
Larsson A, Forlin L, Grahn O, Landner L, Lindesjoo E,
Sandstrom O. 2000. Guidelines for interpretation
and biological evaluation of biochemical,
physiological and pathological alterations in fish
exposed to pulp mill effluents. In: Ruoppa M,
Paasivirta J, Lehtinen K-J, Ruoanala S, editors.
Proceedings, 4th International Conference on
Environmental Impact of the Pulp and Paper
Industry, 12-15June 2000. Helsinki, Finland:
Finnish Environment Institute. P. 185-189.
Larsson A, Forlin, Lindesjoo E, Sandstrom O. 2002.
Monitoring of individual organism responses in
fish populations exposed to pulp mill effluents. In :
Struthridge T, Van den Heuvel M, Marvin N,
Slade A, Gifford J, editors. Environmental Impacts
of pulp and Paper Waste Streams. Pensacola, FL
(USA):SETAC Press.216-226.
Linderoth M, Hansson T, Liewenborg B, Sundberg H,
Noaksson E, Hanson M, Sebuhr Y, Balk L., 2006.
Basic physiological biomarkers in adult female
perch (perca fluviatilis) in achronically polluted
gradient in the Stockholm receptient (Sweden).
Marine Pollution Bulletin 53(8-9):437-450.
Liu, L., Fasheng, L., Xiong, D., 2006, Heavy metal
contamination and their distribution in different
size fractions of the surficial sediment of Haihe
River, China, Environ Geol, Vol 50, pp.431-438.
Liu Y, Deng L, Chen Y, Wu F, and Deng N., 2006,
Simultaneous photocatalytic reduction of Cr(VI)
and oxidation of bisphenol A induced by Fe(III)-
OH complexes in water, Journal Of Hazardous
Materials 139:399-402.
MENKLH. 1988. Keputusan Menteri Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor : 02/MENKLH/1988,
tentang pedoman penetapan baku mutu
lingkungan. Sekretariat MENKLH. Jakarta.
MENLH. 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor : 51/MENLH/2004 Tahun 2004, tentang
penetapan baku mutu air laut dalam himpunan
peraturan di bidang lingkungan hidup. Jakarta
Miller, T.G, Jr. 2007. Living in The Environment :
Principle, Connection and Solutions. Singapore:
Thompson Brooks/Cole.
Odum, E. P. 1971. Fundamental of ecology. W.B.
Sounders Co. Philadelphia.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan toksikologi logam berat.
Rineka cipta, Jakarta.
Palar H. 1995. Pencemaran dan Toksikologi Logam
Berat. Jakarta. Rineka Cipta
Panda SK, Choudhury S. 2005. Chromium stress in
plants, Brazilian Journal of Plant Physiology
17:95-192
Panda, S. K. and S. Choudhury. 2005. Toxic metals in
plants : Chromium stress in plants. Brazilian
Journal of Plant Physiology. 17 (1).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 tahun
2001. Tentang pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran perairan.
Plaa G.L. 2007. Introduction to toxicology:Occupational
& Environmental. In Katzung B.G. (ed): Basic &
Clinical Pharmacology, 10th Ed (International
Ed), Boston, New York: Mc Graw Hill p. 958-970.
Quano. 1993. Training manual on assesment of the
quality and type of land based pollution discharges
into the marine and coastal environment.
Racmansyah, P.R, Dalfiah, Pongmasak dan T, Ahmad.
1998. Uji toksisitas logam berat terhadap benur
udang windu dan nener bandeng. Jurnal Perikanan
Indonesia.
Rahardjo, D., 2014. ProfilCemaran Krom pada Air
Permukaan, Sedimen, Air Tanah dan Biota serta
Akumulasi pada Rambur dan Kuku Warga
Masyarakat di Sekitar Kawasan Industri Kulit
Desa Banyakan, Piyungan Bantul. Laporan
Penelitian-LPPM, UKDW.
Rahardjo, D.,2015. Profil Cemaran Kromium di
Lingkungan serta Konsentrasi dan Akumulasinya
dalam Darah dan Rambut. Laporan Penelitian.
Fakultas Bioteknologi UKDW.
Hanker, A. K., C. Cervantes, H. Loza-Tavera and S.
Avudainayagam. 2005. Chromium toxicity in
plants. Environment International. 31 : 739-753.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”
Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)
Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017
Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 338
available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/
Soegiharto, A. 1976. Sumber-sumber pencemaran.
Seminar pencemaran laut. LON – LIPI. ISOI.
Jakarta.
Schmitt CJ, Whyte JJ, Roberts AP, Annis ML, May TW,
Tillitt DE. 2007. Biomarkers of metals exposure in
fish from lead-zinc mining areas of south-eastern
Missouri, USA. Ecotoxicology and Environmental
Safety. 67 (1):31-47.
Sudarmaji J, Mukono dan Corrie IP.2006. Toksikologi
Logam Berat Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
dan Dampaknya. Jurnal KesehatanLingkungan.
129-142.
Viarenggo A, Lowe D, Bolognesi C, Fabbri E, Koehler
A.2007. The use of biomarkers in biomonitoring :
A 2-tier approach assessing the level of pollutant-
induced stress syndrome in sentinel organisms.
Comparative Biochemistry and Physiology Part C:
Toxicology and Pharmacology 146(3):281-300.
Waldichuck, M. 1974. Some biological concern in heavy
metals pollution. In Venberg, F. J. and W. B.
Venberg (ed). Pollution and physiology of marine
organism. Academic Press, Inc. New York.
Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran
Lingkungan. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Withgott Jay and Brennan Scott. 2007. Environment : The
Science Behind the Stories. San Fransisco;
Pearson Benjamin Cummings.
WHO (World Health Organization 1996, Guidelines for
Drinking-Water Quality, 2nd edn, vol. 2, Health
Criteria and Supporting Information, WHO,
Geneva.