distribusi dan akumulasi krom di lingkungan kawasan

9
PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner” Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017 Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 330 available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/ DISTRIBUSI DAN AKUMULASI KROM DI LINGKUNGAN KAWASAN INDUSTRI KULIT DESA BANYAKAN Crom Distribution and Accumulation in Leather Industry Area “Banyakan” Village Djoko Rahardjo 1 , Aniek Prasetyaningsih 2 1, 2 Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana, Dr. Wahidin 5-9 C Yogyakarta, HP. 08122950401 e-mail korespondensi: [email protected] ABSTRAK Kecenderungan meluasnya distribusi serta meningkatnya konsentrasi dan akumulasi krom dilingkungan menjadi ancaman potensial bagi kesehatan masyarakat di sekitar kawasan industri. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring lanjutan untuk mengetahui pola pencemaran krom dilingkungan. Penelitian dilakukan kawasan aliran pembuangan limbah cair industri kulit yang berada di desa Banyakan yang meliputi 5 titik pengambilan sampel dengan jenis media yaitu sampel air, sedimen, tanah, tanaman, hewan serta kuku dan rambut. Prosedur analisa Cr untuk sampel air berdasar pada APHA/AWWA/WEF Standard Methods, 20th Edition, 2001. Konsentrasi logam berat dianalisis dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrometer (AAS), tipe flame dengan sistem duplo. Dari penelitian diketahui bahwa krom dari pembuangan limbah cair industri penyamakan kulit di dusun Banyakan merupakan sumber utama krom di lingkungan dan terdistribusi dalam komponen lingkungan seperti air (8.83 mg/l), sedimen (89.22 mg/kg), tanah (15.67 mg/kg), air sumur (0.43 mg/l), tanaman (3.43 mg/kg), hewan akuatik (8.6 mg/kg). Krom pada sedimen, tanaman, dan hewan akuatik memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibanding hasil penelitian tahun 2014 dan 2015. Akumulasi krom juga ditemukan pada rambut dan kuku masyarakat desa Banyakan. Namun demikian buangan limbah PT B dan konsentrasi krom dalam air sungai yang relatif berfluktuasi. Kata kunci: akumulasi, banyakan, distribusi, krom. ABSTRACT The tendency of expanding distribution and increasing concentration and accumulation of chromium in the environment becomes a potential threat to public health around the industrial area. Therefore it is necessary for further monitoring to determine the pattern of chromium pollution in the environment. The study was conducted in liquid waste disposal flow area of leather industry in Banyakan village which includes 5 types of sampling,i.e. sample of water, sediment, soil, plants, and animals as well asthe nails and hair. Cr analytical procedures for water samples was based on APHA / AWWA / WEF Standard Methods, 20th Edition, 2001. The amount of heavy metal concentrations were analyzed using Atomic Absorption Spectrometer (AAS), the type of flame. This procedure was done with the Duplo system. The study found that chromium derived from liquid waste disposal tanning industry in the Banyakan village is the main source of the concentration of chromium in the environment and is distributed to almost all components of the environment such as water (8.83 mg / l), sediment (89.22 mg / kg), soil ( 15.67 mg / kg), water wells (0.43 mg / l), plants (3:43 mg / kg), aquatic animals (8.6 mg / kg). The concentration of chromium in the sediment, plants and aquatic animals was found in higher concentrations compared to the results in 2014 and 2015. Disposal activities of the liquid waste in leather industry has the potential to cause health problems by increasing the accumulation of chromium in hair and nails of Banyakan village citizens. The pattern of chromium pollution in the environment for the year of 2014 2016 generally continues to increase, except for the sewage of PT B and the concentration of chromium in the river water which relatively fluctuate. Keywords: accumulation, banyakan, distribution, chromium Industri penyamakan kulit merupakan salah satu jenis industri yang menghasilkan limbah dalam jumlah besar dan potensial menimbulkan masalah pencemaran karena penggunaan bahan-bahan kimia. Industri penyamakan kulit sebagian besar menggunakan proses penyamakan secara kimia dengan menggunakan krom yang membutuhkan banyak air. Dari penelitian yang dilakukan Rahardjo (2014) tentang profil cemaran krom di lingkungan kawasan industri diperoleh hasil bahwa ditemukan 3 perusahaan pengolahan kulit membuang limbah ke saluran irigasi dan kemudian masuk ke sungai, dengan kisaran konsentrasi Dari aktivitas pembuangan limbah cair industri kulit yang mengandung krom ke lingkungan dengan konsentrasi yang tinggi dan berlangsung secara terus menerus akan meyebabkan logam berat krom terdistribusi secara luas ke berbagai komponen lingkungan desa Banyakan, baik air irigasi, air sumur, sedimen, tanah, berbagai jenis tanaman pangan, hewan akuatik, bahkan juga ditemukan terakumulasi pada rambut dan kuku warga masyarakat desa Banyakan (Rahardjo, 2014). Konsentrasi akumulasi krom ditemukan berkisar antara 0.024-1.904 mg/kg pada rambut dengan rata-rata sebesar 0.77 mg/kg, konsentrasi ini lebih tinggi bila dibanding besarnya krom yang terakumulasi pada kuku, yaitu berkisar antara 0.059-0.422 dengan nilai rata- rata sebesar 0.23 mg/kg. Ditemukan akumulasi krom pada sampel rambut dan kuku membuktikan bahwa aktivitas industri kulit terbukti mencemari lingkungan serta berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan (Rahardjo, 2014). Dari penelitian yang dilakukan oleh Rahardjo

Upload: others

Post on 14-Jan-2022

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DISTRIBUSI DAN AKUMULASI KROM DI LINGKUNGAN KAWASAN

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”

Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)

Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 330

available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

DISTRIBUSI DAN AKUMULASI KROM DI LINGKUNGAN KAWASAN INDUSTRI

KULIT DESA BANYAKAN Crom Distribution and Accumulation in Leather Industry Area “Banyakan” Village

Djoko Rahardjo1, Aniek Prasetyaningsih

2

1, 2 Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana,

Dr. Wahidin 5-9 C Yogyakarta, HP. 08122950401

e-mail korespondensi: [email protected]

ABSTRAK Kecenderungan meluasnya distribusi serta meningkatnya konsentrasi dan akumulasi krom dilingkungan menjadi ancaman potensial bagi kesehatan masyarakat di sekitar kawasan industri. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring

lanjutan untuk mengetahui pola pencemaran krom dilingkungan. Penelitian dilakukan kawasan aliran pembuangan

limbah cair industri kulit yang berada di desa Banyakan yang meliputi 5 titik pengambilan sampel dengan jenis media

yaitu sampel air, sedimen, tanah, tanaman, hewan serta kuku dan rambut. Prosedur analisa Cr untuk sampel air berdasar pada APHA/AWWA/WEF Standard Methods, 20th Edition, 2001. Konsentrasi logam berat dianalisis

dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrometer (AAS), tipe flame dengan sistem duplo. Dari penelitian

diketahui bahwa krom dari pembuangan limbah cair industri penyamakan kulit di dusun Banyakan merupakan

sumber utama krom di lingkungan dan terdistribusi dalam komponen lingkungan seperti air (8.83 mg/l), sedimen (89.22 mg/kg), tanah (15.67 mg/kg), air sumur (0.43 mg/l), tanaman (3.43 mg/kg), hewan akuatik (8.6 mg/kg). Krom

pada sedimen, tanaman, dan hewan akuatik memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibanding hasil penelitian tahun

2014 dan 2015. Akumulasi krom juga ditemukan pada rambut dan kuku masyarakat desa Banyakan. Namun

demikian buangan limbah PT B dan konsentrasi krom dalam air sungai yang relatif berfluktuasi.

Kata kunci: akumulasi, banyakan, distribusi, krom.

ABSTRACT The tendency of expanding distribution and increasing concentration and accumulation of chromium in the

environment becomes a potential threat to public health around the industrial area. Therefore it is necessary for further monitoring to determine the pattern of chromium pollution in the environment. The study was conducted in

liquid waste disposal flow area of leather industry in Banyakan village which includes 5 types of sampling,i.e. sample

of water, sediment, soil, plants, and animals as well asthe nails and hair. Cr analytical procedures for water samples

was based on APHA / AWWA / WEF Standard Methods, 20th Edition, 2001. The amount of heavy metal concentrations were analyzed using Atomic Absorption Spectrometer (AAS), the type of flame. This procedure was

done with the Duplo system. The study found that chromium derived from liquid waste disposal tanning industry in

the Banyakan village is the main source of the concentration of chromium in the environment and is distributed to

almost all components of the environment such as water (8.83 mg / l), sediment (89.22 mg / kg), soil ( 15.67 mg / kg), water wells (0.43 mg / l), plants (3:43 mg / kg), aquatic animals (8.6 mg / kg). The concentration of chromium in the

sediment, plants and aquatic animals was found in higher concentrations compared to the results in 2014 and 2015.

Disposal activities of the liquid waste in leather industry has the potential to cause health problems by increasing the

accumulation of chromium in hair and nails of Banyakan village citizens. The pattern of chromium pollution in the environment for the year of 2014 – 2016 generally continues to increase, except for the sewage of PT B and the

concentration of chromium in the river water which relatively fluctuate.

Keywords: accumulation, banyakan, distribution, chromium

Industri penyamakan kulit merupakan salah satu

jenis industri yang menghasilkan limbah dalam jumlah

besar dan potensial menimbulkan masalah pencemaran

karena penggunaan bahan-bahan kimia. Industri

penyamakan kulit sebagian besar menggunakan proses

penyamakan secara kimia dengan menggunakan krom

yang membutuhkan banyak air. Dari penelitian yang

dilakukan Rahardjo (2014) tentang profil cemaran krom

di lingkungan kawasan industri diperoleh hasil bahwa

ditemukan 3 perusahaan pengolahan kulit membuang

limbah ke saluran irigasi dan kemudian masuk ke sungai,

dengan kisaran konsentrasi Dari aktivitas pembuangan

limbah cair industri kulit yang mengandung krom ke

lingkungan dengan konsentrasi yang tinggi dan

berlangsung secara terus menerus akan meyebabkan

logam berat krom terdistribusi secara luas ke berbagai

komponen lingkungan desa Banyakan, baik air irigasi, air

sumur, sedimen, tanah, berbagai jenis tanaman pangan,

hewan akuatik, bahkan juga ditemukan terakumulasi pada

rambut dan kuku warga masyarakat desa Banyakan

(Rahardjo, 2014). Konsentrasi akumulasi krom ditemukan

berkisar antara 0.024-1.904 mg/kg pada rambut dengan

rata-rata sebesar 0.77 mg/kg, konsentrasi ini lebih tinggi

bila dibanding besarnya krom yang terakumulasi pada

kuku, yaitu berkisar antara 0.059-0.422 dengan nilai rata-

rata sebesar 0.23 mg/kg. Ditemukan akumulasi krom pada

sampel rambut dan kuku membuktikan bahwa aktivitas

industri kulit terbukti mencemari lingkungan serta

berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan (Rahardjo,

2014). Dari penelitian yang dilakukan oleh Rahardjo

Page 2: DISTRIBUSI DAN AKUMULASI KROM DI LINGKUNGAN KAWASAN

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”

Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)

Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 331

available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

(2014: 2015) diketahui bahwa logam berat krom telah

terdistribusi dihampir semua komponen lingkungan desa

Banyakan seperti air (1.538 mg/l), sedimen (68,85 mg/l),

tanah (1.582 mg/l), air tanah dangkal (0.352 mg/l),

tanaman (14.870 mg/l), hewan akuatik (9.269 mg/l).

Konsentrasi krom pada sedimen, tanaman, dan hewan

akuatik ditemukan dengan konsentrasi yang lebih tinggi

dibanding dengan hasil penelitian tahun 2014.

Kecenderungan meluasnya distribusi serta meningkatnya

konsentrasi dan akumulasi krom di lingkungan menjadi

ancaman potensial bagi kesehatan masyarakat di sekitar

kawasan industri. Untuk dapat memastikan bahwa ada

kecenderungan peningkatan konsentrasi dan akumulasi

pencemar krom maka perlu dilakukan penelitian lanjutan

untuk mengetahui pola pencemaran, distribusi dan

akumulasi krom selama periode 3 tahun. Dengan

penelitian ini diharapkan dapat diketahui pola pencemaran

krom, jalur distribusi, dan akumulasi di berbagai

komponen lingkungan sehingga dapat dengan segera

dilakukan langkah-langkah antisipasi baik dalam

pengelolaan lingkungan maupun upaya untuk mengelola

resiko paparan krom kepada warga masyarakat.

METODE

Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei – Oktober

2016. Tempat penelitian di desa Banyakan khusunya di

saluran air, sungai dan lahan pertanian yang mendapatkan

distribusi aliran air yang terkena dampak pembuangan

limbah cair industri kulit. Lokasi pengambilan sampel

ditentukan berdasarkan aliran effluen yang masuk ke

badan air, yang dimulai dari outlet pembuangan limbah

cair PT.A, masuk ke selokan, masuk ke sungai kecil dan

akhirnya masuk ke sungai Oya, sehingga ada lima (5) titik

pengambilan sampel air, sedimen dan biota yaitu T1 area

pembuangan oulet PT. A, T2, pertemuan saluran air dan

sungai, T3 aliran sungai dengan pemukiman yag padat,

T4 pertemuan sungai dengan sungai Oya serta T5 yaitu

bagian hilir sungai Oya. Sampel biota yang dimaksud

adalah beberapa tanaman konsumsi yang ditanam oleh

warga masyarakat sekitar seperti padi, ubi, cabe dll serta

beberapa jenis fauna sungai yang berhasil ditangkap.

Selain itu juga diambil sampel air sumur, kuku dan

rambut warga masyarakat yang berada di kawasan sekitar

aliran pembuangan limbah cair industri kulit.

Analisis konsentrasi krom untuk sampel air

dlakukan dengan pemekatan sampel dengan asam nitrat

pekat (HNO3) sebagaimana diatur dalam

APHA/AWWA/WEF Standard Methods, 20th Edition,

2001. Untuk sampel sedimen, biota, rambut dan kuku

dilakukan dengan metode ekstraksi asam (EPA Method

200.2, 1994). Besarnya konsentrasi logam berat dianalisis

dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrometer

(AAS), tipe flame. Prosedur ini dilakukan dengan sistem

duplo. Data kosentrasi krom untuk masing-masing media

ditampilkan dalam tabel dan dianalisis secara deskriptif

untuk mengambarkan pola pencemaran dan distribusi

pencemar krom di lingkungan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil analisis konsentrasi dan akumulasi

logam berat krom (krom total) diberbagai komponen

lingkungan, diperoles hasil bahwa semua komponen

lingkungan seperti air, sedimen, tanah, berbagai jenis

tanaman dan fauna sungai telah terkontaminasi oleh

logam berat krom. Bahkan logam berat krom juga

ditemukan didalam rambut dan kuku warga desa

Banyakan. Dari analisis buangan limbah cair dari tiga

ndustri penyamakan kulit yang besar diperoleh hasil

bahwa, dalam buangan limbah cair ketiga industri tersebut

masih ditemukan logam berat krom dengan kisaran 1.24 –

77.8 mg/L, dan ada perbedakan kisaran dan rata-rata

kandungan logam berat dalam buangan limbah untuk

ketiga industri tersebut. Buangan limbah PT. C diketahui

mempunyai nilai kisaran dan rata-rata kandungan logam

berat krom lebih tinggi yaitu 1.67-77.18 mg/l dan 41.27

mg/L dibanding dengan kedua industri yang lain (lihat

Tabel 1).

Rata-rata kandungan krom dalam buangan limbah

cair tersebut jauh lebih tinggi dari yang dipersyaratkan

oleh Standar Baku Mutu Limbah Cair menurut Surat

Keputusan Gubernur DIY Nomor 214/KPTS/1991 untuk

golongan baku mutu limbah I-IV yang berturut-turut

maksimal yang diperbolehkan sebesar 0,1 mg/L, 0,5.

mg/L, 1 mg/L dan 2 mg/L.

Tabel 1. Konsentrasi logam berat kromium pada berbagai sampel lingkungan

No. Jenis Sampel Jumlah

Sampel

Sampel

Positif

Konsentrasi

mg/L atau mg/Kg

Mean

1. Outlet PT. A 3 3 1.24-11.34 6.89

Outlet PT. B 3 3 1.43-6.20 4.25

Outlet PT. C 3 3 1.67-77.18 41.27 2. Air Sungai 5 5 0.11-27.18 8.83

3. Sedimen 5 5 15.10-98.39 89.22

4. Air Sumur 10 10 0.02-1.34 0.43

5. Tanah 10 10 3.59-31.16 15.67 6. Tanaman 10 10 1.22-9.06 3.43

7. Hewan Akuatik 5 5 0.08-32.40 8.6

8. Rambut 10 10 0,16-0,98 0.15

9. Kuku 10 10 0,25-3.21 0.92

Page 3: DISTRIBUSI DAN AKUMULASI KROM DI LINGKUNGAN KAWASAN

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”

Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)

Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 332

available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

Rata-rata kandungan krom dalam buangan limbah

cair tersebut jauh lebih tinggi dari yang dipersyaratkan

oleh Standar Baku Mutu Limbah Cair menurut Surat

Keputusan Gubernur DIY Nomor 214/KPTS/1991 untuk

golongan baku mutu limbah I-IV yang berturut-turut

maksimal yang diperbolehkan sebesar 0,1 mg/L, 0,5.

mg/L, 1 mg/L dan 2 mg/L. Tingginya kandungan logam

berat krom pada buangan limbah cair yang dibuang secara

intens kelingkungan menjadi ancaman potensial bagi

kesehatan lingkungan dan masyarakat. Tingginya

kandungan logam berat krom pada buangan limbah yang

dibuang secara kontinyu kelingkungan menjadi faktor

penyebab tingginya konsentrasi logam berat krom yang

ditemukan di air sungai dan sedimen sungai. Air sungai

dengan kisaran 0.11-27.18 mg/l dan rata-rata 8.83 serta

sedimen dengan kisaran 15.10-98.39 mg/l dengan rata-

rata 89.22 mg/l (Tabel 4.1). Baik nilai hasil pengukuran

untuk semua sampel air sungai dan sedimen maupun nilai

rata-rata untuk kedua sampel tersebut jauh melebihi dari

yang dipersyaratkan oleh Peraturan Pemerintah RI Nomor

82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan

Kualitas Air sungai dan Pengendalian Pencemaran Air,

yakni sebesar 0,05 mg/l dan ≤ 0.99 mg/kg berdasarkan

standar sediment quality guideline values for metals and

associated levels of concern to be used in doing

assessments of sediment quality tahun 2003. Lokasi

industri penyamakan kulit yang berada di tengah-tengah

lahan pertanian dan pemukiman menjadi problematika

lain yang sangat serius. Tidak dapat dipungkiri bahwa

aliran limbah dari industri penyamakan kulit berada di

tengah-tengah lahan pertanian warga Dusun Banyakan.

Dari penelitian yang dilakukan Rahardjo (2014; 2015),

ditemukan adanya akumulasi logam berat kromium di

dalam sampel tanaman dengan konsentrasi yang

bervariasi, begitu pula untuk sampel tanah, air sumur dan

rambut serta kuku. Tingginya rata-rata konsentrasi krom

pada berbagai komponen lingkungan disebabkan oleh

aktivitas pembuangan limbah yang secara kontinyu

dilakukan sehingga logam berat krom secara massif akan

terdistribusi dan terakumulasi pada berbagai komponen

lingkungan di desa Banyakan. Secara umum distribusi

logam krom di desa banyakan dapat dijelaskan pada

Gambar 1.

Dapat dilihat pada skema di atas, saluran limbah

industri penyamakan kulit masuk ke dalam sungai yang

kemudian terdistribusi merata ke seluruh komponen

lingkungan.

Gambar 1. Skema distribusi logam berat kromium

Pencemaran tersebut juga mengancam kualitas

produksi pertanian warga Dusun Banyakan II, sebab

aliran limbah masuk ke dalam saluran irigasi pertanian.

Tidak hanya itu, aliran sungai yang tegak lurus dengan

perkampungan warga dikhawatirkan menjadi faktor

determinan pencemaran air sumur oleh logam berat krom.

Bahkah aliran pembuangan limbah akhirnya bermuara di

sungai Opak, yang merupakan sungai terbesar di

Yogyakarta dan langsung menuju ke laut. Bahaya dari

cemaran krom dapat dikategorikan sebagai ancaman jarak

dekat hingga jauh. Paparan logam berat krom juga

berpotensi berdampak secara tidak langsung terhadap

kesehatan manusia. Untuk pekerja pabrik penyamakan

kulit, paparan logam berat kromium dapat terjadi selama

proses produksi. Dimana di dalam proses penyamakan

kulit di lakukan proses tanering menggunakan senyawa

Cr2O3yang dapat dengan mudah menguap. Uap dari

senyawa Cr2O3 menyebabkan udara lingkungan pabrik

memuat konsentrasi kromium yang masuk melalui saluran

pernafasan (inhalasi). Tidak hanya itu, paparan logam

berat kromium juga dapat terjadi melalui kontak langsung

dengan kulit (dermal) dimana sebagian besar pekerja

pabrik jarang menggunakan alat pengaman atau standar

keamanan kerja. Hal itu diperkuat oleh hasil analisis krom

pada rambut dan kuku warga desa Banyakan yang

ditemukan pada semua responden dengan kisaran

konsentrasi sebesar 0,16-0,98 mg/l dan rata-rata sebesar

0.15 mg/l untuk rambut dan kisaran 0,25-3.21mg/l dan

rata-rata 0.92 mg/l untuk kuku. Paparan logam berat

kromium juga dapat mengancam kesehatan warga Desa

Banyakan secara tidak langsung, bak melalui konsumsi

Page 4: DISTRIBUSI DAN AKUMULASI KROM DI LINGKUNGAN KAWASAN

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”

Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)

Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 333

available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

air minum, dan melalui pola konsumsi (ikan, sayur, padi,

dll) yang semuanya telah tercemar oleh krom.

Konsetrasi krom pada hewan akuatik

Withgott and Brennan (2007), Wardhana (2004)

dan Connell (2002) mengatakan bahwa proses

perpindahan langsung suatu senyawa toksik dari air ke

makhluk hidup disebut sebagai biokonsentrasi,

sedangkan perpindahan suatu senyawa toksik melalui

rantai makanan kesuatu makhluk hidup disebut

biomagnifikasi. Dari hasil pengambilan sampel beberapa

hewan akuatik di berbagai lokasi pada titik pengambilan

sampel, hampir semua hewan akuatik yang ditemukan

terbukti telah terkontaminasi logam krom dengan kisaran

konsentrasi yang bervariasi yaitu berkisar antara 0.3-

12.32 mg/kg, dengan rata-rata 3.76 mg/kg. Hasil

penelitian ini jauh lebih tinggi dari hasil penelitian yang

diperoleh pada tahun 2014 dengan kisaran sebesar 0.02-

6.82 mg.kg dan rata-rata sebesar 2.01 mg/kg, pada tahun

2015 meningkat menjadi berkisar 0.04-8.96 mg/kg dan

rata-rata 2.58 mg/kg (Rahardjo, 2015). Meski penelitian

dilakukan dengan sampel yang berbeda, namun

pengambilan sampel dilakukan pada lokasi yang sama,

sehingga tingginya konsentrasi logam berat krom pada

berbagai jenis hewan akuatik menunjukkan juga semakin

tingginya konsentrasi krom dilingkungan, khususnya air

sungai dan sedimen. Dari 3 jenis sempel hewan akuatik,

keong tetap sebagai jenis hewan dengan konsentrasi

logam berat krom yang tertinggi yaitu berkisar 2.14-12.32

mg/kg dengan rata-rata sebesar 8.63 mg/kg (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi konsentrasi logam berat Krom pada beberapa jenis hewan akuatik

No Jenis Sampel Jumlah sampel 2014 2015 2016

Kisaran Mean Kisaran Mean Kisaran Mean

1. Ikan 5 0.02-0.04 0.03 0.04-1,25 0.45 0.3-1.36 0.91 2. Kepiting 4 0.16-2.06 1.43 0.31-2.81 1.51 1.6-2.62 1.73

3 Keong 6 3.52- 6.82 4.57 2.33-8.94 5.79 2.14-12.32 8.63

Rata-rata 0.02-6.82 2.01 0.04-8.96 2.58 0.3 –12.32 3.76

Berdasar di atas terlihat bahwa keong mempunyai

kandungan krom paling tinggi dibanding dengan kepiting

dan ikan. Biokonsentrasi dan akumulasi logam berat

dalam tubuh organisma akuatik umumnya dipengaruhi

oleh konsentrasi bahan pencemar dalam air, sedimen,

kemampuan akumulasi (fisiologis , sifat organisme (jenis,

umur dan ukuran). Hal tersebut dibuktikan dengan

tingginya konsentrasi krom dalam keong terutama yang

ditemukan di dekat area pembuangan limbah cair industri

penyamakan kulit. Tingginya krom pada keong dapat

disebabkan oleh beberapa faktor seperti sifat hidup keong

yang hidup di sedimen dan bersifat filter feeder dan juga

tingginya konsentrasi krom dalam air dan sedimen pada

lokasi tersebut. Keong baik jenis kecil maupun jenis

besar merupakan indikator yang baik dalam memonitor

suatu pencemaran lingkungan oleh logam. Hal tersebut

disebabkan oleh sifatnya yang menetap dalam suatu

habitat tertentu.

Dari analisis logam dalam jaringan keong tersebut

dapat diketahui kadar pencemaran logam di daerah

tersebut. Jenis keong juga dapat dipakai untuk memonitor

pengaruh konsentrasi logam terhadap kualitas air.

Dilaporkan juga bahwa keong kecil dapat mengakumulasi

logam berlipat ganda lebih besar daripada konsentrasi

logam tersebut dalam air di sekitarnya. Hal ini

menunjukkan bahwa keong yang berukuran kecil

merupakan bioakumulator paling baik terhadap logam

daripada organisme lainnya. Sementara kepiting dan ikan

hanya ditemukan dengan konsentrasi krom rata-rata

sebesar 1.73 mg/kg dan 0.91 mg/kg. Tanpa

mempertimbangkan faktor umur dan berat antar

organisma akuatik yang ditemukan maka konsentrasi

krom dalam kepiting dan ikan lebih kecil dibanding pada

keong, sehingga dapat diduga faktor penyebab utama

adalah sifat hidup, cara makan serta konsentrasi krom

pada air dan sedimen. Kepiting mempenyai sifat hidup

dan cara makan yang sama dengan keong, yaitu filter

feeder, namum kepiting relative mobil dibanding dengan

keong yang sesil. Oleh karena itu kepiting juga dapat

sering dijadikan sebagai bioindikator logam berat.

Sementara untuk ikan umumnya hidup berenang aktif

pada kolom air, dan hal inilah yang menyebabkan ikan

tidak banyak berpengaruh pada kondisi pencemaran

logam seperti makhluk lainnya (kepiting, udang dan

kerang).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi kandungan

logam berat dalam tubuh ikan adalah tingkah laku makan

ikan. Ikan yang spesiesnya berbeda umumnya memiliki

pola tingkah laku makan dan penyebaran habitat yang

berbeda pula. Penyebaran habitat dan pola tingkah laku

makan ini akan berpengaruh terhadap interaksi ikan yang

bersangkutan terhadap kandungan logam berat yang

tersuspensi di dasar perairan. Lodenius and Malm (1998)

dalam Simbolon, dkk (2010) telah menganalisis dampak

penambangan logam berat terhadap ikan di perairan.

Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan logam berat

tertinggi ditemukan pada kelompok ikan karnivora,

kemudian menyusul pada ikan pemakan plankton

(planktivora) dan omnivora, dan kandungan terendah

ditemukan pada ikan herbivora. Menurut Darmono

(1995) dalam Bangun (2005) kebanyakan logam berat

secara biologis terkumpul dalam tubuh organisme,

menetap untuk waktu yang lama dan berfungsi sebagai

racun kumulatif. Keberadaan logam berat dalam perairan

akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota.

Logam berat yang terikat dalam tubuh organisme yaitu

pada ikan akan mempengaruhi aktivitas organisme

tersebut.

Darmono (2001) dalam Erlangga (2007)

menyebutkan bahwa logam berat masuk ke dalam

Page 5: DISTRIBUSI DAN AKUMULASI KROM DI LINGKUNGAN KAWASAN

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”

Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)

Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 334

available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan

yaitu, saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi

melalui kulit. Di dalam tubuh hewan, logam diabsorpsi

darah berikatan dengan protein darah yang kemudian

didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi

logam yang tertinggi biasanya dalam organ dektoksifikasi

(hati) dan organ ekskresi (ginjal). Keracunan yang di

akibatkan oleh kromium (Cr) dapat bersifat akut dan

kronis. Untuk keracunan yang bersifat akut di tandai

dengan kecenderungan pembengkakan yang terjadi pada

hati. Sementara untuk keracunan yang bersifat kronis

dapat menimbulkan gejala kanker paru-paru dan dapat

berakhir pada kematian. Namun daya racun yang dibawa

oleh logam kromium (Cr) tidak sama untuk semua

makhluk hidup. Daya racun/tingkat keracunan pada

makhluk hidup di tentukan oleh sistem imunitas dari

masing-masing individu dalam menetralisir bahan-bahan

racun yang masuk ke dalam tubuh (Mukono, 2005; Daud,

2010).

Akumulasi krom pada Rambut dan Kuku

Kehadiran unsur-unsur beracun dan jejak dalam

jaringan biologis seperti rambut dan kuku bisa menjadi

ukuran jumlah pencemar yang diserab oleh seseorang.

Penentuan konsentrasi bahan pencemar dalam rambut

manusia adalah penting dalam biologi, medis, forensik

dan lingkungan (Ciswezkiet al, 1978). Dari hasil

pengambilan sampel rambut dan kuku dari 10 warga

masyarakat desa Banyakan yang tinggal di kawasan

sekitar industri penyamakan kulit, dan setelah dilakukan

ekstrasksi dan analisis kandungan krom diketahui bahwa

semua sampel baik kuku dan rambut warga ditemukan

adanya akumulasi logam krom dengan kisaran 0,16-0,98

mg/kg pada rambut, dan 0,25-3.21 mg/kg pada rambut,

lihat tabel di bawah ini. Ditemukannya logam krom pada

spesimen kuku dan rambut, membuktikan bahwa

masyarakat desa Banyakan telah terpapar dan

mengabsorbsi logam krom dalam jangka waktu yang

relatif lama.

Tabel 3. Akumulasi logam berat kromium pada rambut dan kuku

No Jenis Sampel Jumlah sampel 2014 2015 2016

Kisaran Mean Kisaran Mean Kisaran Mean

1. Rambut 10 0.06-0.42 0.23 0.08-0.56 0.20 0,16-0,98 0.15

2. Kuku 10 0.02-1.90 0.77 0.24-2.76 0.81 0,25-3.21 0.92

Hal ini sesuai dengan pernyataan Lake M (1982)

dan Pateringet al (1982) bahwa tingkat konsentrasi krom

pada rambut dan kuku menggambarkan retensi paparan

jangka panjang. Demikian pula bahwa konsentrasi logam

krom dalam kuku juga menunjukan beban pencemaran

logam berat dalam tubuh (Choudharyet al.,1995). Kuku

merupakan bioindikator cemaran logam berat yang

sifatnya kontinu.

Kuku dibentuk dari sel-sel keratinosit, sehingga

selama loam berat masih ada di dalam sistem (darah),

maka keratinosit juga akan mengakumulasi logam berat.

Kehadiran unsur-unsur beracun dan jejak dalam jaringan

biologis seperti rambut dan kuku bisa menjadi ukuran

jumlah pencemar yang diserab oleh seseorang. Penentuan

konsentrasi bahan pencemart dalam rambut manusia

adalah penting dalam biologi, medis, forensik dan

lingkungan, karena merupakan suatu matriks biologi yang

menarik untuk dikaji (Ciswezki et al, 1978).

Rambut merupakan jaringan yang menarik untuk

dianalisis karena mendapatkan sampel yang noninvasive

dan relative inert (Druyan et al, 1998). Akumulasi dalam

kuku dipengaruhi oleh umur, aktivitas kontak dengan

lingkungan yang tercemar, seperti petani, konsumni

komponen lingkungan yang telah tercemar krom , sumber

air, tanaman dan hewan. Krom masuk kedalam tubuh

manusia tidak hanya melalui oral (makanan dan

minuman) tetapi juga kontak langsung dengan periran

yang tercemar krom, hal ini terjadi karena mayoritas

warga desa Banyakan berprofesi sebagai petani dan

dalam melakukan kegiatan pertanian tidak mengenakan

sepatu dan kaos tangan. Kondisi tersebut ditunjang oleh

hasil pengukuran sampel komponen lingkungan lainnya,

seperti sungai, tanah, air tanah dan berbagai jenis tanaman

yang ada di kawasan desa Banyakan terlah tercemar oleh

logam krom. Sehingga warga desa Banyakan mempunyai

resiko tinggi terkena dampak kesehatan akibat paparan

krom dari aktivitas pembungan limbah cair industri kulit

ke lingkungan. Meski krom merupakan unsur esensial

dalam tubuh, khususnya krom valensi III dengan

kebutuhan lebih kurang 0.025 mg.hari, dan berperan

dalam metabolisme glukosa dan lipida, namun absorspsi

dan tingginya krom yang terdistribusi dalam tubuh,

terutama krom valensi VI dapat menyebabkan kanker

paru-paru, kanker ginjal, menurunnya jumlah sel darah

putih, sementara akumulasi dalam jangka pendek akan

menimbulkan mual, muntah dan ruam-ruam pada kulit

(Drewet al. 2006).

Kebiasaan masyarakat Indonesia umumnya senang

mengkonsumsi kuliner olahan dari keong, kerang dan

ikan, sehingga dapat berdampak fatal terhadap kesehatan

jika makanan yang dikonsumsi mengandung krom. Jika

seseorang ibu dengan berat badan 60 Kg mengkonsumsi

keong 10 gr tiap harinya, dengan kandungan krom pada

keong rerata 5μg/gr maka tubuhnya akan ketambahan

krom 0,83 µg/Kg bw/day. Jika mengkonsumsi keong

dilakukan secara rutin selama 10 tahun maka dapat

berpotensi munculnya kanker usus, gagal ginjal, kanker

payudara, keguguran serta menyebabkan kematian.

Pola pencemaran krom tahun 2014-2016

Dari tahun ke tahun, diketahui bahwa jumlah

industri penyamakan kulit di Desa Banyakan, Sitimulyo,

Piyungan, Bantul terus meningkat. Sampai dengan tahun

2015, terdapat 7 industri penyamakan kulit. Seluruh

Page 6: DISTRIBUSI DAN AKUMULASI KROM DI LINGKUNGAN KAWASAN

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”

Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)

Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 335

available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

industri penyamakan kulit berkontribusi besar terhadap

pencemaran logam berat krom di lingkungan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahardjo

(2014 ; 2015), angka cemaran logam berat krom (Cr,

krom total) bervariasi berdasarkan jenis sampel, waktu

pengambilan sampel, dan jarak dari outlet. Hasil

penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa logam berat

krom telah terdistribusi merata ke seluruh komponen

lingkungan, seperti air sungai, sedimen dan berbagai biota

yang ada di Desa Banyakan.

Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian

pada tahun 2016 ini, semua sampel lingkungan juga

ditemukan konsentrasi logam berat krom bahkan dalam

jumlah yang jauh lebih tinggi dibanding dengan penelitian

yang dilakukan pada tahun 2014 dan 2015 untuk semua

komponen lingkungan. Hal tersbut menunjukkan bahwa

meningkatnya konsentrasi krom diberbagai komponen

lingkungan lebih disebabkan oleh berlangsungnya

aktivitas pembuangan limbah kulit yang mempunyai

kandungan logam berat krom secara terus menerus dalam

jumlah yang banyak. Selain itu faktor meningkatnya

konsentrasi dan akumulasi logam berat krom pada

sedimen, tanah, berbagai tanaman dan hewan akuatik

serta rambut dan kuku warga masyarakat disebabkan oleh

faktor biokonsentrasi dan bioakumulasi logam berat

krom. Rata-rata kandungan logam berat krom pada

limbah cair dari tahun 2014 sampai dengan 2016

cenderung meningkat (PT. A dan PT. C) kecuali di PT. B

relatif berfluktuasi, namun dengan kandungan logam

berat krom tetap lebih tinggi dibandingkan dengan nilai

NAB yang dipersyararkan dalam Standar Baku Mutu

Limbah Cair menurut Surat Keputusan Gubernur DIY

Nomor 214/KPTS/1991 untuk golongan baku mutu

limbah I-IV yang berturut-turut maksimal yang

diperbolehkan sebesar 0,1 mg/L, 0,5. mg/L, 1 mg/L dan 2

mg/L. Hal yang sama juga terjadi pada sampel air sungai

dan sedimen, rata-rata konsentrasi logam berat krom pada

kedua sampel tersebut mengalami kenaikan yang tinggi

khususnya pada sedimen. Pada tahu 2014 rata-rata

konsentrasi krom sebesar 32.33 mg/l, naik menjadi 68.85

mg/l di tahun 2015 dan kembali naik dengan pesat di

tahun 2016 menjadi 89.22 mg/l (Tabel 4).

Berdasar Tabel 4 dibawah ini, terlihat bahwa

akumulasi cemaran logam berat krom pada sedimen terus

meningkat dari tahun ketahun. Hal tersebut disebabkan

oleh adanya proses pengendapan partikulat limbah di

dasar perairan, dimana partikulat tersebut merupakan

bahan-bahan organik yang mengadsorpsi logam berat

kromium. Hal tersebut selaras dengan pendapat Palar

(1994) yang menyebutkan bahwa, di dalam perairan krom

akan mengalami proses-proses kimia mulai dari

pengomplekan sampai dengan reaksi redoks. Proses kimia

tersebut dapat menyebabkan terjadinya pengendapan atau

sedimentasi di dasar perairan.

Tabel 4. Pola pencemaran krom dilingkungan tahun 2014 -2016

No Jenis Sampel

Data 2014 Data 2015 Data 2016

Konsentrasi

mg/L atau mg/Kg Mean

Konsentrasi

mg/L atau mg/Kg Mean

Konsentrasi

mg/L atau mg/Kg

Mean

1

Outlet PT. A 0.34 -8.04 4.89 0.34 - 8.04 6.79 1.24-11.34 6.89

Outlet PT. B 1.18 - 9.37 5.26 0.18 – 1.24 0.45 1.43-6.20 4.25

Outlet PT. C 0.38 - 29.56 14.97 0.38 – 60.75 38.36 1.67-77.18 41.27 2 Air Sungai 0.04 -9.06 2.10 0 - 7.16 1.53 0.11-27.18 8.83

3 Sedimen 2.11 - 327.28 32.33 2.75 - 99.60 68.85 15.10-98.39 89.22

4 Air Sumur 0 - 0.21 0.03 0.05 - 1.04 0.32 0.02-1.34 0.43

5 Tanah 0.27 - 56.19 6.13 0.11 - 7.01 1.58 3.59-31.16 15.67 6 Tanaman 0.02 - 193.93 11.93 0.73 - 32.41 14.87 1.22-9.06 3.43

7 Hewan Akuatik 0.02-6.82 2.52 1.26 - 65.49 9.26 0.08-32.40 8.6

(Sumber : Rahardjo (2014) ; Rahardjo (2015) dan Data Primer 2016)

Proses reduksi mengubah sebagian Cr6+

yang

sangat beracun menjadi Cr3+

yang kurang beracun.

Namun, proses reduski terjadi apabila kondisi perairan

bersifat asam, sebaliknya apabila kondisi perairan bersifat

basa maka Cr3+

akan diendapkan di perairan, sedangkan

Cr6+

larut terbawa aliran. Pola yang sama juga ditemukan

pada sampel tanaman, tanah, air sumur, hewan akuatik

serta rambut dan kuku warga masyarakat desa Banyakan,

secara keseluruhan rata-rata konsentrasi krom semakin

meningkat dari tahun 2014 ke tahun 2016. Hal ini

sungguh sangat mengkawatirkan karena selama 3 tahun

berjalan belum ada upaya yang dilakukan oleh pihak

perusahaan untuk mencoba meningkatkan efektifitas

pengolahan limbahnya dengan menurunkan konsentrasi

kandungan logam berat krom dalam buangan limbahnya

untuk tidak melebihi NAB yang ditetapkan. Hal lain yang

patut dipertanyakan adalah tidak adanya upaya

monitoring lingkungan dan industri yang dilakukan oleh

pemerintah dalam hal ini adalah Biro Lingkungan

Kabupaten Bantul dan atau Biro Lingkungan Hidup DIY

untuk melakukan upaya pembinaan kepada industri,

teguran dan berbagai upaya untuk mereduksi distribusi

cemaran logam berat krom di lingkungan. Kondisi ini

tentu akan meningkatkan resiko kesehatan bagi

masyarakat desa Banyakan akan munculnya dampak

kesehatan. Logam berat krom hampir telah ditemukan

diberbagai komponen lingkungan dan konsentrasi serta

akumulasinya terus meningkat. Melalui kontak secara

langsung dan pola konsumsi komoditas lokal, absorbsi

dan akumulasi krom pada masyarakat akan terus

meningkat. Tanpa upaya komprehensif dan simultan

untuk mereduksi kandungan logam berat krom pada

buangan limbah, serta upaya untuk melakukan remidiasi

krom dilingkungan secara masif dikawatirkan akan

Page 7: DISTRIBUSI DAN AKUMULASI KROM DI LINGKUNGAN KAWASAN

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”

Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)

Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 336

available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

muncul dampak kesehatan akibat pencemaran logam berat

krom.

PENUTUP

Pembuangan limbah cair industri penyamakan

kulit di dusun banyakan merupakan sumber utama

konsentrasi krom di lingkungan dan telah terdistribusi

dihampir semua komponen lingkungan seperti air (8.83

mg/l), sedimen (89.22 mg/kg), tanah (15.67 mg/kg), air

sumur (0.43 mg/l), tanaman (3.43 mg/kg), hewan akuatik

(8.6 mg/kg). Konsentrasi krom pada sedimen, tanaman,

dan hewan akuatik ditemukan dengan konsentrasi yang

lebih tinggi dibanding dengan hasil penelitian tahun 2014

dan 2015. Aktivitas pembuangan limbah cair industri kulit

mempunyai potensi untuk menimbulkan gangguan

kesehatan dengan semakin meningkatnya akumulasi krom

dalam rambut dan kuku dalam rambut warga masyarakat

desa banyakan. Pola pencemaran krom dilingkungan dari

tahun 2014 – 2016, secara umum terus mengalami

peningkatan kecuali pada buangan limbah PT B dan

konsentrasi krom dalam air sungai yang relatif

berfluktuasi.

DAFTAR RUJUKAN

Argawala, S.P. 2006. Environmental Studies. Narosa

Publishing House PVT. LTD. New Delhi Chennai

Mumbai Kolkata

Boehm, P. D. 1987. Transport and transformation

process regarding hydrocarbon and metal

pollution in offshore sedimenary environment in:

Long term effect of shore oil and gas development.

D. F. Boesch and N. N. Rabalai. Elsivier applied

science. London.

Bryan, G.W. 1976. Heavy metal contamination in the sea.

In R. Johnston (Ed.) Effects of pollutants on

aquatic organisms. Cambridge university press,

Cambridge.

Connell, D.W and G.J. Miller. 2001. Chemistry and

Ecotoxicology of Pollution. A Wiley Interscience

Publication. London

Connell, Des W. 2002. Bioakumulasi Senyawaan

Xenobiotic. UI Press, Jakarta. Hal 5-75, 146-211

Darmono. 2001. Lingkungan hidup dan pencemaran :

Hubungan dengan toksikologi senyawa logam.

Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Dewi, K. S. P. 1996. Tingkat pencemaran logam berat

(Hg, Pb dan Cd) di dalam sayuran, air Minum dan

rambut di Denpasar, Gianyar dan Tabanan.

Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

(Tesis).

Dewi.N.K., Purwanto, Henna Rya Sunoko 2010.

Biomarker Pada Ikan Sebagai Biomonitoring

Pencemaran Logam Berat Kadmium di Perairan

Kaligarang Semarang. Laporan Penelitian Hibah

Doktor. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi,

Kementerian Pendidikan Nasional. Jakarta.

EPA-Ohio, 2001, Sediment Sampling Guide and

Methodologies 2nd edition, Environmental

Protection Agency, state of Ohio

Forstner, U. dan G.T.W. Wittman. 1983. Metal pollution

in the aquatic environment. Springer verlag. Berlin

Heidelberg, New York, Tokyo, Germany.

Friedman, G.M. dan J. E. Sanders. 1978. Principles of

sedimenology. John Wiley and Sons, New York.

Hanson N, Guttman E, Larsson A. 2006. The effect of

different holding conditions for environmental

monitoring with caged rainbow trout

(Oncorhynchus mykiss) Journal of Environmental

Monitoring 8 (10):994-999.

Hanson N, Larsson A. 2007. Influence of feeding

procedure on biomarkers in caged rainbow trout

(Oncorhynchus mykiss) used in Environmental

Monitoring. Journal of Environmental Monitoring

9 (2):168-173.

Hanson. N.2008. Does Fish Health Matter ? The Utility of

Biomarkers in Fish for Environmental Assessment.

Ph.D. Thesis Department of Plant and

Environmental Sciences University of Gothenburg.

Hanson N, Larsson A. 2008a. Experiences from a

biomarker study on farmed rainbow trout used for

Environmental Monitoring in a Swedish river.

Submited Manuscript.

Hanson N, Larsson A. 2008b. Biomarker analyses in fish

suggest exposure to pollutants in an urban area

with a landfill. Submited Manuscript.

Hanson N, Persson S, Larsson A. 2008. Analyses of perch

(Perca fluviatilis) bile suggest increasing exposure

to PAH and other pollutans in a reference area on

the Swedish Baltic coast. Journal of

Environmental Monitoring. In Press DOI:10.1039/

b817703a.

Hanson N, Forlin L, Larsson A 2008. Evaluation of Long

Term Biomarker Data From Perch (Perca

Fluviatilis) in The Baltic Sea Suggest Increasing

Exposure To Environmental Pollutants.

Environmental Toxicology and Chemistry. In press

DOI:10.1897/08-259.1.

Hellawell, J.M. 2000. Biological Indicators of Freshwater

Pollution And Environmental Management.

Elsevier Applied Science. London and New York.

Hal. 58-76.

Henna Rya Sunoko 2007. Kajian Pemajanan Kronik Pb

Lingkungan Terhadap Biosintesis Heme dengan

Penanda Biologis δ Ala, Zn Protoporfirin,

Page 8: DISTRIBUSI DAN AKUMULASI KROM DI LINGKUNGAN KAWASAN

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”

Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)

Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 337

available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

Protoporfirin dan Porfirin pada Anak. Disertasi.

Pasca Sarjana UNDIP. Semarang.

Hutabarat, S. dan S. Evans. 1985. Pengantar oseanografi.

Universitas Indonesia, Jakarta.

Hutagalung, H.P. 1984. Logam berat dalam lingkungan

Laut. Pewarta oceana IX No. 1 tahun 1984.

Jessica D, Robert M, Frederic S, Arnaud B, Delphine L,

Jean-Pierre, Patrick K.2007. Do sewage treatment

plant discharges substantially impair fish

reproduction in polluted rivers ? Science of the

Total Environment. 372(2-3):497-514.

Katzung B.G. 2007. Basic & Clinical Pharmacology,

10th Ed (Internasional Ed), Boston, Ner York: Mc

Graww Hill. P. 1-10.

Klaassen C.D. 2001. Csarett and Doull’s Toxicology: The

Basic Science of Poisons, 6th Ed. Mc. Graw Hill,

New Yorks.

Kosnett M.J. 2007. Heavy metal intoxication & chelators.

In Katzung B.G. (ed): Basic & Clinical

Pharmacology, 10th Ed (International Ed), Boston,

New York: Mc Graw Hill. P. 970-981.

Larsson A, Forlin L, Grahn O, Landner L, Lindesjoo E,

Sandstrom O. 2000. Guidelines for interpretation

and biological evaluation of biochemical,

physiological and pathological alterations in fish

exposed to pulp mill effluents. In: Ruoppa M,

Paasivirta J, Lehtinen K-J, Ruoanala S, editors.

Proceedings, 4th International Conference on

Environmental Impact of the Pulp and Paper

Industry, 12-15June 2000. Helsinki, Finland:

Finnish Environment Institute. P. 185-189.

Larsson A, Forlin, Lindesjoo E, Sandstrom O. 2002.

Monitoring of individual organism responses in

fish populations exposed to pulp mill effluents. In :

Struthridge T, Van den Heuvel M, Marvin N,

Slade A, Gifford J, editors. Environmental Impacts

of pulp and Paper Waste Streams. Pensacola, FL

(USA):SETAC Press.216-226.

Linderoth M, Hansson T, Liewenborg B, Sundberg H,

Noaksson E, Hanson M, Sebuhr Y, Balk L., 2006.

Basic physiological biomarkers in adult female

perch (perca fluviatilis) in achronically polluted

gradient in the Stockholm receptient (Sweden).

Marine Pollution Bulletin 53(8-9):437-450.

Liu, L., Fasheng, L., Xiong, D., 2006, Heavy metal

contamination and their distribution in different

size fractions of the surficial sediment of Haihe

River, China, Environ Geol, Vol 50, pp.431-438.

Liu Y, Deng L, Chen Y, Wu F, and Deng N., 2006,

Simultaneous photocatalytic reduction of Cr(VI)

and oxidation of bisphenol A induced by Fe(III)-

OH complexes in water, Journal Of Hazardous

Materials 139:399-402.

MENKLH. 1988. Keputusan Menteri Kependudukan dan

Lingkungan Hidup Nomor : 02/MENKLH/1988,

tentang pedoman penetapan baku mutu

lingkungan. Sekretariat MENKLH. Jakarta.

MENLH. 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup

Nomor : 51/MENLH/2004 Tahun 2004, tentang

penetapan baku mutu air laut dalam himpunan

peraturan di bidang lingkungan hidup. Jakarta

Miller, T.G, Jr. 2007. Living in The Environment :

Principle, Connection and Solutions. Singapore:

Thompson Brooks/Cole.

Odum, E. P. 1971. Fundamental of ecology. W.B.

Sounders Co. Philadelphia.

Palar, H. 1994. Pencemaran dan toksikologi logam berat.

Rineka cipta, Jakarta.

Palar H. 1995. Pencemaran dan Toksikologi Logam

Berat. Jakarta. Rineka Cipta

Panda SK, Choudhury S. 2005. Chromium stress in

plants, Brazilian Journal of Plant Physiology

17:95-192

Panda, S. K. and S. Choudhury. 2005. Toxic metals in

plants : Chromium stress in plants. Brazilian

Journal of Plant Physiology. 17 (1).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 tahun

2001. Tentang pengelolaan kualitas air dan

pengendalian pencemaran perairan.

Plaa G.L. 2007. Introduction to toxicology:Occupational

& Environmental. In Katzung B.G. (ed): Basic &

Clinical Pharmacology, 10th Ed (International

Ed), Boston, New York: Mc Graw Hill p. 958-970.

Quano. 1993. Training manual on assesment of the

quality and type of land based pollution discharges

into the marine and coastal environment.

Racmansyah, P.R, Dalfiah, Pongmasak dan T, Ahmad.

1998. Uji toksisitas logam berat terhadap benur

udang windu dan nener bandeng. Jurnal Perikanan

Indonesia.

Rahardjo, D., 2014. ProfilCemaran Krom pada Air

Permukaan, Sedimen, Air Tanah dan Biota serta

Akumulasi pada Rambur dan Kuku Warga

Masyarakat di Sekitar Kawasan Industri Kulit

Desa Banyakan, Piyungan Bantul. Laporan

Penelitian-LPPM, UKDW.

Rahardjo, D.,2015. Profil Cemaran Kromium di

Lingkungan serta Konsentrasi dan Akumulasinya

dalam Darah dan Rambut. Laporan Penelitian.

Fakultas Bioteknologi UKDW.

Hanker, A. K., C. Cervantes, H. Loza-Tavera and S.

Avudainayagam. 2005. Chromium toxicity in

plants. Environment International. 31 : 739-753.

Page 9: DISTRIBUSI DAN AKUMULASI KROM DI LINGKUNGAN KAWASAN

PROSIDING SEMINAR NASIONAL III TAHUN 2017 “Biologi, Pembelajaran, dan Lingkungan Hidup Perspektif Interdisipliner”

Diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Biologi-FKIP bekerjasama dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK)

Universitas Muhammadiyah Malang, tanggal 29 April 2017

Rahardjo & Prasetyaningsih, Distribusi dan Akumulasi Krom 338

available at http://research-report.umm.ac.id/index.php/

Soegiharto, A. 1976. Sumber-sumber pencemaran.

Seminar pencemaran laut. LON – LIPI. ISOI.

Jakarta.

Schmitt CJ, Whyte JJ, Roberts AP, Annis ML, May TW,

Tillitt DE. 2007. Biomarkers of metals exposure in

fish from lead-zinc mining areas of south-eastern

Missouri, USA. Ecotoxicology and Environmental

Safety. 67 (1):31-47.

Sudarmaji J, Mukono dan Corrie IP.2006. Toksikologi

Logam Berat Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)

dan Dampaknya. Jurnal KesehatanLingkungan.

129-142.

Viarenggo A, Lowe D, Bolognesi C, Fabbri E, Koehler

A.2007. The use of biomarkers in biomonitoring :

A 2-tier approach assessing the level of pollutant-

induced stress syndrome in sentinel organisms.

Comparative Biochemistry and Physiology Part C:

Toxicology and Pharmacology 146(3):281-300.

Waldichuck, M. 1974. Some biological concern in heavy

metals pollution. In Venberg, F. J. and W. B.

Venberg (ed). Pollution and physiology of marine

organism. Academic Press, Inc. New York.

Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran

Lingkungan. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Withgott Jay and Brennan Scott. 2007. Environment : The

Science Behind the Stories. San Fransisco;

Pearson Benjamin Cummings.

WHO (World Health Organization 1996, Guidelines for

Drinking-Water Quality, 2nd edn, vol. 2, Health

Criteria and Supporting Information, WHO,

Geneva.