diskusi pilkada dki

Upload: kopral-bambang

Post on 13-Jan-2016

15 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Makalah diskusi Pilkada DKI 2012. Disampaikan di depan teman-teman aktivis Hizbut Tahrir Indonesia, di Miliran, Jogja.

TRANSCRIPT

- Gubernur yang telah memimpin DKI Jakarta: 1. Suwiryo, 1945-1947 2. Daan Jahja, 1948-1950 3. Suwiryo, 1950-1951 4. Syamsurijal, 1951-1953 5. Sudiro, 1953-1960 6. Dr. Soemarno, 1960-1964 7. Henk Ngantung, 1964-1965 8. Dr. Soemarno, 1965-1966 9. Ali Sadikin, 1966-1977 10. Tjokropranolo, 1977-1982 11. Soeprapto, 1982-1987 12. Wiyogo Admodarminto, 1987-1992 13. Soerjadi Soedirdja, 1992-1997 14. Sutiyoso 1997-2007 15. Fauzi Bowo, 2007-2012. Total ada 13 nama yang pernah memimpin DKI hingga sekarang- Berjalannya proses demokrasi dalam pemerintahan daerah di DKI Jakarta menjadi tolak ukur pengelolaan daerah lain di Indonesia. DKI Jakarta turut menjadi barometer nasional dalam keberlangsungan kehidupan bernegara- DKI menjadi pusat pemerintahan RI, dimana 80% uang berputar didalamnya, kepentingan asing menyentuh para Birokratnya lewat perusahaan multinasional yang berkantor di Jakarta, cukong-cukong yang menguasai perekonomian nasional memulai lobinya dari DKI Jakarta, pusat hiburan (judi, prostitusi) yang menyokong pembangunan DKI Jakarta sejak era Ali Sadikin bermula dari sini, kedudukan sebagai Gubernur bahkan dinilai setara dengan RI 1, Gubernur menjadi pejabat kedua setelah Presiden yang wajib menyambut tamu luar negeri. Jadi, bisa dibayangkan keuntungan materiil dan immateriil dari menempati pos DKI 1. Karena itulah sejak era reformasi, PILKADA DKI selalu menarik perhatian di mata nasional.

Yang menjadi batasan dalam diskusi kali ini adalah fenomena pasangan cagub-cawagub dalam PILKADA DKI Jakarta Periode 2012-2017, Jokowi Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mampu menembus dominasi pasangan incumbent (petahana) Fauzi Bowo (Foke) dan Nachrowi Ramli (Nara). Menjadi unik dan menarik dikarenakan beberapa alasan terkait PILKADA DKI Jakarta 2012 seluruhnya terkait dengan empat poin berikut:1. Masa depan strategi politik santun2. Dukungan partai besar yang tidak menjamin perolehan suara pemilih. Membuktikan apakah benar dalam ritual pemilu, pemilih di DKI bersifat rasional, situasional, cair, dan tidak ada pemilih tradisional fanatik. 3. Peranan pengelolaan isu primordialisme dalam upaya pemenangan dan 4. Peran media dalam melakukan upaya pencitraan.

Pembahasan satu-persatu pasangan yang didukung partai :

KEKALAHAN FOKE-NARA- Didukung DEMOKRAT (34,04%), PAN (4,25%), HANURA (4,25%), PKB (1,06%) dan 3 partai non elemen (tidak ada wakil di DPRD DKI)- Jumlah kursi DPRD DKI 2009-2014 adalah 94 orang- FOKE pernah menjadi SEKDA DKI-WAGUB-GUB (status Quo)- Berpasangan dengan Nachrowi Ramli yang sesama etnis Betawi- Blunder isu primordial, fakta etnis Betawi 27,65% dibanding etnis Jawa 35,16% (2000). Label 'Betawi' malah mempertegas perbedaan dikalangan pemilih.- Kampanye FOKE hanya menyentuh kalangan elitis, sibuk mendatangi ketua-ketua ormas dan partai- DEMOKRAT tersandung banyak masalah dari kasus korupsi kadernya- Citra FOKE yang arogan, kasar, dan tidak merakyat- Tidak terasanya perbaikan dari sekelumit masalah di DKI

KEKALAHAN HNW-DIDIK- Suara PKS di kursi legislatif DKI sebesar 21,5% (raksasa DKI)- PILKADA DKI 2012, HNW hanya meraih 11,4%- Sebelum DKI, PKS kalah di Kab. Bekasi dan Pilgub Banten (basis massa)- PILKADA DKI 2007, Adang didukung PKS sendirian mendapat suara 42% Kemenangan Adang ditengarai bukan karena PKS, karena Adang bukan kader PKS, melainkan karena tidak ada pilihan selain Adang dan Foke- PKS menang di PILKADA 2007 karena hanya diikuti 2 kandidat- Kekalahan HNW bisa dikarenakan peran politik PKS yang tidak terlihat untuk warga DKI, atau karena sikap inkonsistensi sikap politik PKS menurun ke kader- Semakin sering PILKADA dilaksanakan, masyarakat terpolarisasi secara Pragmatis- Menerapkan strategi politik santun dengan memajukan nama HNW yang terkenal bersih dan jujur?- Putaran 2, suara kader PKS yang terkenal solid mulai diperebutkan

KEKALAHAN ALEX-NONO- Didukung Golkar (7,44%), PPP (7,44%), PDS (4,25%) dan 15 parpol non elemen- Jakarta bukan tempat yang ramah bagi Golkar, bahkan saat era Soeharto sedang kuat-kuatnya sekalipun Golkar kalah- Kader GOLKAR tersangkut korupsi pengadaan Qur'an- Citra partai yang turun setelah mendukung keputusan pemerintah menaikkan harga BBM- Track record ALEX yang tersandung kasus korupsi Kab. Musi Banyuasin dan Wisma Atlet Palembang saat menjabat sebagai Gubernur SumSel- Sosoknya telat diperkenalkan kepada warga DKI- Upaya pengurus GOLKAR yang anti pencalonan ABURIZAL BAKRIE dengan sengaja mengacaukan dukungan suara terhadap ALEX-NONO sehingga menjadi peringatan awal bagi ARB untuk memikirkan kembali ide pencalonan dirinya sebagai Capres dari GOLKAR untuk 2014.

KEMENANGAN JOKOWI-AHOK- Didukung PDIP, GERINDRA- Suara PDIP & GERINDRA di DPRD DKI, 11,7% & 6,38%- Walikota Solo 2005-2010 & 2010-2015 (menang mutlak 90% dgn dukungan PDIP, PAN, PKS. HNW menjadi pendukung kampanye)- Berhasil mengelola kegagalan konsep pasangan lain (disaat partai lain tersandung masalah, PDIP & GERINDRA bersih di DKI)- Kondisi sosiologis warga DKI yang menginginkan perubahan- Datang di saat yang tepat dimana masyarakat sudah bosan dengan citra 'Politik Santun' yang diperkenalkan SBY pada Pemilu 2004 dan ditiru nyaris seluruh kepala daerah di Indonesia Masyarakat menginginkan kepala daerah yang lebih banyak turun lapangan daripada di balik meja alias merakyat- Citra Jokowi sebagai kepala daerah yang sukses mengawal Surakarta, seperti saat memindahkan 104 PKL ke lokasi baru (Pasar Notoharjo dan Pasar gading pada 13 Januari 2012)

ISU PRIMORDIALISME PILKADA DKI JAKARTA Pada PILKADA DKI 2007, sebelum terpilih, Fauzi Bowo memainkan isu primordialisme (etnis Betawi) untuk mencari simpati. Jargon bahwa, orang Betawi harus jadi tuan di wilayahnya sendiri terus dipakai. Namun, seiring waktu berjalan, warga DKI, bahkan yang asli Betawi sekalipun tidak merasakan dampak dari terpilihnya kepala daerah yang seorang asli Betawi (baik dari perbaikan ekonomi, pemberdayaan etnis dan budaya Betawi) . Karena itulah, begitu isu yang sama dipakai pada PILKADA DKI 2012, dimana pasangan Jokowi dan Ahok yang menjadi target utama penyerangan, masyarakat sudah menyadari bahwa sudah tidak penting lagi mengedepankan suku maupun agama dalam memilih pemimpin. Baik yang putra daerah maupun pendatang, Jawa ataupun Cina, Islam maupun Nasrani, yang terpenting bagi masyarakat adalah pemimpin yang mampu menyejahterakan. Bagi masyarakat yang cerdas, pemujaan terhadap kelompok etnis yang menjadi bagian dari semangat primordialisme itu bagaikan pisau bermata dua yang bertolak belakang, satu sisi menghanyutkan, di sisi lain membahayakan. Yang memegang filosofi Bhineka Tunggal Ika tentu menyadari bila isu ini dipertahankan bukan tidak mungkin masyarakat yang terdiri dari beragam etnis akan terbelah karena masing- masing ingin menonjolkan identitas etnisnya. Dari sisi ini, Jokowi-Ahok mengambil 2 keuntungan. Pertama, simpati dari warga DKI yang melihat mereka berdua sebagai pasangan yang diserang dari alasan etnis oleh Foke-Nara. Kedua, semakin bertambahnya dukungan dari warga etnis Jawa yang terusik dengan isu Betawi yang digaungkan Foke-Nara.

DUKUNGAN PARTAI TIDAK MENJAMIN KEMENANGAN Jokowi-Ahok maju ke pertarungan kursi DKI 1 sebagai underdog. Siapapun mampu mengetahui kecilnya pengaruh PDIP dan GERINDRA di DKI (dilihat dari jumlah kursi di DPRD) meski mereka bergabung sekalipun. Sebaliknya, pasangan incumbent didukung partai raksasa pemenang PILKADA DKI 2007 dan PEMILU 2009 (DEMOKRAT), Hidayat Nur Wahid mendapat dukungan dari PKS yang pada PILKADA 2007 dengan gagah mampu bersaing dengan partai pendukung Fauzi Bowo seorang diri dengan raihan 42% suara. PKS juga menjadi partai kedua terbesar yang memiliki 21% perwakilan suara di DPRD DKI. Sedangkan Alex-Nono mendapat dukungan dari GOLKAR, PPP, dan PDS serta 15 partai tanpa suara di legislatif. Namun, diluar dugaan justru Jokowi-Ahok memenangkan perolehan suara pada putaran pertama, unggul 8% Suara dari kandidat terkuat sebelumnya, Foke-Nara. Bahkan, keunggulan pasangan independen Faisal-Biem atas Alex-Nono semakin mempertegas apa yang disebut sebagai teori underdog effect. Fenomena Jokowi-Ahok dan Faisal-Biem benar-benar menghancurkan adagium sebelumnya dimana dukungan partai besar pasti berjalan simetris dengan dukungan kader dan simpatisan. Kasus ini tentunya menjadi pelajaran bagi partai-partai besar, dimana mereka luput menyadari berkembangnya tingkat berpikir masyarakat DKI yang plural, yang mulai bisa menilai polah partai yang pragmatis, inkonsisten, tidak memiliki ciri khas, dan lebih senang bermain di tengah (cari aman). Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa partai besar sudah tidak memiliki bergaining position dimata masyarakat yang menginginkan perubahan dengan pertamakali melihat sosok (figur) pemimpin yang dikedepankan, baik oleh partai maupun secara independen. Masyarakat memilih dalam pengaruh situasi dan pengalaman yang telah dilewatinya. Ketika figur tertentu yang didukung banyak bendera, ternyata telah mendapat label gagal dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, maka pilihan terbaik adalah memilih figur yang memiliki rekam kerja bagus, dengan atau tanpa dukungan kapal parpol sekalipun. Terpilihnya Jokowi-Ahok di peringkat pertama menguatkan pendapat ini.

POLITIK SANTUN TELAH MATI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan sosok yang bertanggungjawab atas dikenalkannya strategi citra politik santun kepada masyarakat Indonesia. Ketika dalam kondisi dizalimi oleh Megawati yang menjadi presiden di tahun 2003, SBY mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menko Polkam. Kemudian tidak butuh waktu lama bagi SBY untuk menggalang dukungan dari masyarakat yang telanjur simpati dan maju dalam pencalonan presiden dari Partai Demokrat yang dibentuknya. Sebelumnya, media-media nasional ramai memberitakan perseteruan Megawati dengan SBY. Opini umum yang terbentuk, seorang menteri yang santun dan ramah telah dikucilkan oleh atasannya. Memanfaatkan momentum, SBY menjadi presiden RI 2004-2009 bersama Jusuf Kalla sebagai wakilnya. Sejak itu masyarakat benar-benar telah terbuai sosok politisi sekaligus pemimpin yang bila dilihat dari kulit luarnya begitu berwibawa, santun dalam berbicara, tidak terburu-buru dalam mengambil kebijakan. Masyarakat berpikir tidak perlu untuk mendapatkan kepastian apa yang akan diberikan dan apa yang telah diberikan pemimpin, asalkan mereka yang memegang amanah selalu terlihat baik di mata publik. Politik santun yang dipelopori SBY dipraktekkan banyak pejabat daerah di Indonesia. Mereka tampil apik di depan sorotan media, menebarkan senyum, rajin memanfaatkan reklame untuk mengiklankan kegiatan yang bernilai positif namun sebenarnya tidak substansial. Politik santun seperti ini akhirnya diketahui masyarakat sebagai kedok belaka guna menutupi borok dan buruknya kinerja kepemimpinan. Masyarakat akhirnya memahami bahwa politik layak mempertontonkan adegan pertarungan antar pemain demi mencapai tujuan, bukannya saling menjaga suasana nyaman yang sesungguhnya digunakan untuk meraih keuntungan pribadi maupun golongan dengan cara mencederai amanat rakyat yang diemban. PILKADA DKI 2012 telah menunjukkan gejala matinya politik santun seperti penggambaran di atas. Sosok-sosok yang banyak mengumbar senyum, membacakan janji-janji muluk, dikenal karena sifat jujur dan rendah-hati, pada kenyataannya tidak berhasil meraih suara yang signifikan. Sosok Hidayat Nur Wahid yang track-record-nya dikenal bersih, amanah, dan religius, justru tidak mampu menggerakkan masyarakat untuk memilih dirinya. Terlebih figur seorang Foke yang terjebak diantara pilihan santun dan arogan. Kesantunan foke lebih tertuju pada teman-teman politisi dan pengusaha yang sejak dirinya menjabat Sekretaris Daerah hingga Gubernur sama-sama mencapai titik nyaman dari sebuah kekuasaan. Sedangkan sikap arogannya lebih diarahkan kepada bawahan (PNS) yang mendukung saingan politik, dan rakyat menengah kebawah yang selalu luput dari penyejahteraan. Pada akhirnya masyarakat lebih menyukai sosok Joko Widodo yang dikenal sebagai kepala daerah yang lebih banyak bekerja di lapangan, yang mampu merealisasikan program-program nyata, yang berani memangkas jarak antara penguasa dengan rakyatnya, membuat kebijakan tidak populis dimata pengusaha, dan sebagainya. Masyarakat juga lebih tertarik jejak karir Ahok yang dikenal bersikap keras terhadap pengusaha di Belitung Timur, mewujudkan misi pemerintah untuk menjamin pendidikan dan kesehatan murah di daerahnya, dan aktif menjalin komunikasi dengan masyarakat. Kata kuncinya, tentu saja keteladanan, integritas, komitmen, dan tindakan nyata.

PENCITRAAN MEDIA Kenapa sosok Jokowi-Ahok memenangkan perebutan suara warga DKI Jakarta pada PILKADA 2012 putaran pertama yang baru saja usai? Politik uang, tetapi baik Jokowi ataupun PDIP diberitakan tidak terlalu berhasrat bermain di Jakarta. Jokowi berkali-kali mengatakan bahwa koalisi partai pendukungnya tidak memiliki dana sebanyak pasangan cagub-cawagub yang lain. Jokowi bahkan seperti lebih tertarik mempersiapkan diri menuju Pilgub Jateng. Sedangkan Megawati sebelumnya tidak memiliki sosok yang tepat untuk dimajukan dalam PILKADA DKI 2012. Namun cerita berubah ketika Prabowo Subianto ngotot berkoalisi dengan PDIP untuk maju pada Pilgub DKI. Prabowo bersedia membiayai sebagian besar kampanye Jokowi dan Ahok. Sosok Ahok sendiri terpilih setelah sebelumnya Dedy Mizwar ditolak mentah-mentah oleh sang jenderal karena masalah pribadi antara keduanya. Lalu, bagaimana bisa sosok Jokowi dan Ahok mencuat cepat di kalangan warga DKI Jakarta? Memang, nama Jokowi berkibar setelah memenangi pemilihan walikota Solo periode kedua tahun 2010 dengan presentase suara sebesar 91%. Jokowi juga berhasil menjadikan Solo (dengan brand The Spirit of Java) sebagai bagian dari Organisasi Kota-kota Warisan Dunia pada 2006. Belum lagi relokasi PKL ke sebuah pasar secara damai dan fenomenal di awal tahun 2012. Yang masih hangat, tentu saja proyek mobil nasional ESEMKA. Darimana kita mengetahui prestasi Jokowi selama ini, media! Media berhasil mencitrakan sosok Jokowi sejak 2011 sebagai kepala daerah yang dekat dengan rakyat, mengkaryakan pelajar SMK di daerahnya dengan mendukung penuh perakitan mobil, walikota yang bersedia dikatakan Bodoh oleh gubernurnya, dan berhasil menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau. Jokowi dengan citra alaminya yang ndeso dan sederhana telah jauh-jauh hari memenangkan strategi pencitraan dibanding rival-rival yang turut maju dalam PILKADA DKI 2012. Begitupun dengan Ahok yang sebelumnya tidak dikenal, namun dengan kreativitas tim sukses pasangan Kotak-Kotak tersebut sosoknya yang pernah menjabat Bupati Belitung Timur menjadi jualan renyah. Karena media, Ahok dikenal atas jasa menyediakan sekolah gratis hingga SMA dan layanan kesehatan bersubsidi. Karena media pula sosok Ahok yang dikenal sebagai kutu loncat dikalangan sesama politisi tidak terpublikasikan. Tim sukses Jokowi- Ahok juga memenangi pencitraan lewat media sosial seperti twitter, forum kaskus dan facebook dibanding calon lainnya. Bahkan tim sukses optimis dari kisaran kasar 7 juta pemilih, hanya 5%-nya saja yang tidak terkover media. Sehingga mayoritas pemilih pasti mengetahui sosok Jokowi-Ahok. Berlainan dengan Jokowi, Fauzi Bowo yang mengeluarkan banyak dana untuk lembaga survey demi citra dirinya yang paling paham masalah DKI justru terpuruk di media cetak, televisi, dan sosial. Foke telanjur mendapat citra negatif dari sifatnya yang terkenal arogan (terlebih setelah wakilnya mengundurkan diri), mudah naik darah, dan digambarkan tidak memiliki hasil kerja nyata setelah menjabat sebagai wakil gubernur dan gubernur. Uang sebesar 500 miliar yang digunakan untuk kampanye, tidak berimbas positif pada raihan suaranya di putaran pertama. Karena citra di media, masyarakat sulit mengetahui kekurangan Jokowi-Ahok. Karena citra di media pula, kelebihan Fauzi Bowo mustahil diberitakan. Masyarakat benar-benar digiring masuk ke dunia post-modern, dimana mereka yang masuk televisi adalah mereka yang menjadi manusia, dan yang tidak masuk televisi bukan siapa-siapa. Kesimpulannya, politik yang lahir melalui buah pencitraan tidak akan menghasilkan substansinya seperti tujuan menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Catatan:- Secara etimologis, primordialisme berasal dari bahasa Latin, primus yang artinya pertama, dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. - Primordial, artinya hubungan utama seseorang dalam kehidupan sosial, dengan hal-hal yang dibawanya sejak lahir seperti suku, asal usul daerah, dan agama. - Primordialisme berarti paham/keyakinan bahwa seseorang tidak akan lepas dari suku, asal-usul daerah, dan agamaya.- Demografi penduduk DKI 35,16% Jawa, 27,65% Betawi, 15,27% Sunda, 5,53% Tionghoa, 3,61% Batak, 3,18% Minangkabau- APBD DKI 2011 26 triliun, Solo hanya 76 miliar.- Penduduk DKI 2011 10 juta, Solo hanya 500 ribu- Citra menurut Berger, mengutip salah satu pemikir Marxis, Fredic Jameson merupakan produk terbaru dari kapitalisme. Dan posmodern merupakan salah satu tahapan dari kapitalisme.

-@kopbam-