pemimpin non muslim dalam...
TRANSCRIPT
PEMIMPIN NON MUSLIM DALAM PANDANGAN
NAHDLATUL ULAMA DKI JAKARTA
(Studi Kasus Gubernur Non-Muslim
di DKI Jakarta)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
MUHAMAD ALI ZAKINIM : 1113045000003
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2017 M / 1438 H
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Muhamad Ali Zaki, Pemimpin Non-Muslim dalam Pandangan NahdlatulUlama DKI Jakarta (Studi Kasus Gubernur Non-Muslim di DKI Jakarta).Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan Pimpinan WilayahNahdlatul Ulama DKI Jakarta terhadap pemimpin non-Muslim baik itu penguruspada tataran Tanfidziyah maupun Syuriyah. Dalam penelitian ini penulismenggunakan metode penelitian kualitatif berupa kajian studi kasus (fieldresearch), sehingga metode pengumpulan data dengan cara interview atauwawancara dan ditambah dengan dokumen seperti buku, jurnal, skripsi, sertaartikel. Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalahmetode pendekatan politik. Sumber data primer penelitian ini adalah al-Qur’an danHadits serta hasil wawancara, sedangkan sumber data sekundernya adalah, buku,jurnal, serta artikel-artikel melalui informasi media internet.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama(PWNU) DKI Jakarta, pada tataran Tanfidziyah maupun Syuriyah mayoritasmenolak pemimpin non-Muslim dengan merujuk kepada hasil Putusan MuktamarLirboyo 1999, hanya sebagian kecil pendapat yang membolehkan memilih non-Muslim dengan alasan bahwa dalam konteks Pilkada pemilihan Gubernur DKIJakarta adalah prosesi pemilihan pemimpin yang lebih dilihat kinerja yang baik danberintegritas tanpa melihat latar belakang agama. Paradigma berfikir alaintegralistik masih cukup besar mempengaruhi pola pikir mayoritas pengurusPWNU DKI Jakarta, hal ini terbukti dengan pandangan bahwa seorang pemimpinmemiliki fungsi menjalankan agama dan mengatur urusan politik, sehingga dalammenentukan sikap memilih pemimpin mempertimbangkan latar belakang agama.Paradigma pemikiran ala sekuleristik juga terlihat mempengaruhi sebagian kecilpengurus PWNU DKI Jakarta dalam menyatakan pandanganya terhadap pemimpinnon-Muslim. Ini terbukti dengan adanya upaya untuk keluar dari lingkar agama danlebih mengutamakan kinerja, integritas dan keadilan yang ada pada kepemimpinannon-Muslim.
Kata kunci : Pemimpin Non-Muslim, Pilkada DKI Jakarta, Darurat, NahdlatulUlama DKI Jakarta
Pembimbing : Dr. Khamami Zada, SH, MA, MDCDaftar pustaka : Tahun 1967 s.d 2015
v
بســـــــــم اللـــــــه الرحمـــــــن الرحيــــــــم
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan
semesta alam yang telah menciptakan manusia, alam semesta beserta hukum-
hukumnya, dengan rahmat dan hidayah-Nya dan dengan segala pertolongan-Nya
penulis dapat menyelesaikan penelitian dalam bentuk skripsi ini. Shalawat dan
salam penulis kirimkan kepada junjugan kita, Nabi Muhammad SAW, beserta
keluarganya, sahabat-sahabatanya, serta para pengikut-pengikutnya yang istiqomah
hingga hari akhir kelak.
Skripsi ini berjudul “Pemimpin Non-Muslim dalam Pandangan
Nahdlatul Ulama DKI Jakarta”. Temuan ilmiah skripsi ini menunjukkan bahwa
mayoritas pengurus Pwnu DKI Jakarta menolak pemimpin non-Muslim dengan
merujuk kepada hasil Putusan Muktamar Lirboyo 1999, hanya sebagian kecil
pendapat yang membolehkan memilih non-Muslim dengan alasan bahwa dalam
konteks Pilkada pemilihan Gubernur DKI Jakarta adalah prosesi pemilihan
pemimpin yang lebih dilihat kinerja yang baik dan berintegritas tanpa melihat
agama dan keyakinan. Pemikiran ala klasik dan paradigma integralistik dominan
mempengaruhi pemikiran pengurus PWNU DKI Jakarta, baik pada tataran
Tanfidzhiyah maupun Syuriyah.
Keberadaan skripsi ini dapat terselesaikan dengan berbagai kontribusi dari
berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan tulus kepada:
vi
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan perhatian, dukungan, kontribusi
pemikiran dan pandangan terhadap upaya perkembangan mutu
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada saat pelepasan KKN
2016, termasuk memberikan kontribusi positif kepada penulis secara
pribadi.
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum, yang telah memberikan dukungan, perhatian, informasi terkait
penelitian dalam seminar-seminar dan kuliah umum yang khusus
diselenggarakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Ibu Dra. Hj. Maskufa, MA, Ketua Prodi Hukum Tata Negara (Siyasah)
yang telah memberikan dukungan, perhatian, kontribusi pemikiran,
catatan kritis serta saran terhadap draft proposal skripsi pada saat
seminar proposal skripsi.
4. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, Wakil Ketua Prodi Hukum Tata Negara
(Siyasah) yang telah memberikan dukungan, kontribusi dan perhatian
lebih kepada seluruh mahasiswa Hukum Tata Negara, termasuk penulis
dalam proses penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak Dr. Khamami Zada, SH, MA, MDC, Pembimbing Skripsi, yang
telah meluangkan waktu, memberikan dukungan, memberikan
kontribusi pemikiran yang baru demi terselesainya skripsi ini. Beliau
sangat teliti, disiplin dan memiliki kepedulian tinggi atas penulis agar
selalu berusaha, bekerja keras, semangat, giat, tidak mudah putus asa,
vii
dan kecermatan supaya terlahir hasil penelitian yang memiliki kualitas
terbaik. Beliau berpesan kalau dalam melakukan penelitian harus
menghasilkan karya yang baru dan keluar dari kebiasaan-kebiasaan
yang dilakukan oleh mahasiswa kebanyakan.
6. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA, Dosen Pembimbing
Akademik penulis yang telah memberikan dukungan dan konrtibusi
pemikiran terhadap draft proposal skripsi ini. Meskipun beliau memiliki
kesibukan yang luar biasa, tetapi masih menyempatkan hadir ke kampus
bertemu dengan penulis untuk memperlancar penyelesaian skripsi ini.
7. Bapak KH. Mahfudz Asirun, Rais Syuriyah Pwnu DKI Jakarta yang
telah meluangkan waktu kepada penulis untuk bisa diwancarai,
sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.
8. Bapak KH. Dr. Samsul Ma’arif, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI
Jakarta yang telah meluangkan waktu kapan saja penulis inginkan untuk
wawancara, memberikan gambaran yang luas agar skripsi ini
teselesaikan dengan baik.
9. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Alm. Bakhtiar Tuangku Mudo dan
Ibunda Mariani, dengan ikhlas dan sabar mendoakan tiada henti untuk
penulis supaya sukses dalam menuntut ilmu. Meskipun ayahanda
sekarang tidak bisa menyaksikan penulis menyelesaikan studi strata satu
ini, maka keberhasilan ini penulis persembahkan untuk ayahanda
tercinta. Kepada brother and sister tercinta, Elvi Hendri Mardiyondri,
S.H.I, Mulyandri, S.Pd.i, Muhammad Ridwan, C. SH, Husni Fauziah,
viii
Afifatul Husna, terima kasih atas dukungan, semangat, serta bantuanya
baik materil maupun materil.
10. Ustadz Andi Badren, S.Sy, yang telah memberikan saran dan masukan
terhadap kesuksesan penulisan skripsi ini, karena beliaulah memberikan
saran untuk mengangkat judul skripsi ini, serta juga membantu dalam
menerjemahkan kitab-kitab arab yang dikutip.
11. Ustadz Gustar Umam, S.s, yang telah ambil andil dalam proses
penyelesaian skripsi ini, ikut menerjemahkan kitab-kitab arab yang
dikutip, serta memotivasi penulis agar cepat-cepat diselesaikan.
12. Segenap rekan-rekan Hukum Tata Negara (Siyasah) Acep Mukhlis,
Dara Wahyuni dkk, Reza Fajri Hidayat, SH yang ikut membantu dalam
pengeditan skripsi ini, teman-teman seperjuangkan kosan al-Khilafah
Abel Herdi Deswan Putra dan Eric Hardiansyah yang keduanya calon
SH.
13. Segenap pihak yang memberikan kontribusi positif dalam bantuk
apapun, baik langsung maupun tidak langsung, baik moril maupun
materil kepada penulis, yang karena keterbatasan tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Atas segala jasa dan bantuan dari semua pihak, penulis ucapkan terima kasih,
semoga kontribusi mereka menjadi amal kebaikan di sisi Allah SWT, dan
dipermudah segala urusannya. Penulis berharap, semoga hasil penelitian ini dapat
memberikan manfaat bagi segenap pihak. Amin Ya Rabb al-Alamin.
ix
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan-
kekurangan. Untuk itu, saran dan kritikan yang kontruktif dari semua pihak sangat
diharapkan oleh penulis. Atas saran dan kritikan tersebut, penulis ucapkan terima
kasih.
Jakarta, 7 Juni 2017
Muhamad Ali Zaki
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................v
DAFTAR ISI .......................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................1
B. Identifikasi Masalah ..........................................................................11
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................12
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................13
E. Review Studi Terdahulu ....................................................................13
F. Metode Penelitian ..............................................................................16
G. Sistematika Penulisan ........................................................................18
BAB II PEMIMPIN DALAM ISLAM
A. Pengertian, Syarat-Syarat dan Hukum Pemimpin dalam Islam ........20
B. Kepemimpinan Agama dan Politik ...................................................32
C. Pandangan Para Ulama Klasik tentang Pemimpin Non-Muslim ......38
BAB III SEKILAS TENTANG NAHDLATUL ULAMA
A. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama ................................................48
B. Garis Besar Pemikiran Nahdlatul Ulama ..........................................53
C. Metode Penggalian Hukum Nahdlatul Ulama ..................................55
D. Pendekatan Dakwah Nahdlatul Ulama ..............................................60
E. Nahdlatul Ulama dan Politik .............................................................61
xi
BAB IV PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DKI JAKARTA
TERHADAP PEMIMPIN NON MUSLIM
A. Pemimpin Non-Muslim dalam Putusan Muktamar Nahdlatul
Ulama Lirboyo Tahun 1999 ..............................................................64
B. Pro dan kontra Pemimpin Non-Muslim dalam Pandangan
PWNU DKI Jakarta ...........................................................................71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................85
B. Rekomendasi .....................................................................................86
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................87
LAMPIRAN ........................................................................................................92
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama, sekaligus sebagai sebuah sistem kehidupan (way of life),
yaitu sistem yang menggabungkan antara ibadah dan siyasah (politik).1 Karena
peranannya dalam kehidupan manusia bukan sekedar untuk memberi petunjuk,
tetapi juga untuk memberikan pengaruh dan mengaplikasikan ajaran-ajarannya
dalam semua aspek kehidupan manusia. Menghindari kemungkinan lahirnya
konflik, pertikaian, penindasan, peperangan, dan pembunuhan atau pertumpahan
darah yang pada giliranya nanti bisa berimplikasi pada terjadinya kehancuran sendi-
sendi kehidupan serta agar kehidupan dalam masyarakat dapat berjalan dengan
baik, tertib, damai, teratur maka perlu dipilih seorang pemimpin yang akan
memandu rakyat menggapai segala manfaat sekaligus menghindarkan mereka dari
berbagai mafsadat.2
Seorang Muslim tidak dapat mengatur kehidupannya sesuai dengan aturan
Islam kecuali jika ada pemimpin yang melindunginya sehingga terjamin keamanan
diri dan agamanya. Itulah sebabnya kepemimpinan dalam Islam merupakan prinsip
yang sangat penting dan mendasar bahkan dikatakan sebagai kewajiban.3 Mahmud
1 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta:Kencana, 2014, Cet. Pertama) h. 150. Khamami Zada dan Arif Arofah, Diskursus Politik Islam,(Jakarta: LSIP, 2004), h. 1.
2 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, (Jakarta: Pustaka SinarHarapan, 2006) h. 15.
3 Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005) h. 59.
2
Abdul al-Majid al-Khalidi menjelaskan bahwa kewajiban mewujudkan
kepemimpinan merupakan kewajiban dalam agama dan bagian aktifitas taqarrub
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena perintah taat kepada pemimpin, itu
juga merupakan perintah Allah untuk mewujudkan kepemimpinan, serta agama
tidak akan tegak tanpa kepemimpinan.4 Sehingga lahir ungkapan dari Imam Al-
Ghazali yang menyatakan bahwa agama adalah asas sedangkan kekuasaan adalah
penjaga, sesuatu yang tidak mempunyai asas akan runtuh dan sesuatu yang tidak
mempunyai penjaga akan hilang.
Oleh karena itu, Islam memerintahkan untuk memilih seorang pemimpin
yang benar-benar mengerti kondisi serta ajaran-ajaran yang diyakini oleh umat
Islam. Konsekuensinya adalah yang memimpin bagi umat Islam harus dari
kalangan umat Islam sendiri, karena jika seorang pemimpin dari kalangan Muslim
akan menjalankan hukum-hukum syara’ atau hukum Islam.5Muhammad Iqbal,
menjelaskan kepemimpinan Islam mempunyai fungsi religius dan politik dan tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lain.6 Sehingga seorang pemimpin harus
menjankan kepemimpinanya untuk mengurus urusan keduniaan umat dan
menjalankan agama serta aturan agama Islam itu sendiri. Inilah yang dicontohkan
oleh Nabi Muhammad Saw dan diikuti oleh para khalifah Khulafa ar-Rasyidun.
4 Mahmud Abdul Majid al-Khalidi, Pilar-Pilar Sistem Pemerintahan Islam, (Bogor: Al-Azhar, 2013), Terj. Harits Abu Ulya, cet. 1, h. 410.
5 Mahmud Abdul Majid al-Khalidi, Pilar-Pilar Sistem Pemerintahan Islam, h. 411.
6 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 150.
3
Hal yang menjadi alasan kepemimpinan umat Islam tidak boleh dipimpin oleh
non-Muslim dalam pandangan fikih Klasik adalah, pertama karena non-Muslim
tidak percaya terhadap kebenaran (agama) yang dianut oleh umat Islam, dan ketika
berkuasa mereka bisa bertindak sewenang-wenang terhadap umat Islam, semisal
mengusir umat Islam dari tanah kelahiranya, sebagaimana dulu non-Muslim pernah
mengusir Nabi Muhammad SAW dari Makkah (QS al-Mumtahanah : 1). Kedua,
non-Muslim sering mengejek dan mempermainkan agama yang dipeluk umat Islam
(QS al-Maidah : 57). Ketiga, non-Muslim tidak henti-hentinya menimbulkan
kemudharatan bagi umat Islam, suka melihat umat Islam hidup susah dan mulut
serta hati mereka menyimpan kebencian terhadap umat Islam (QS Ali Imran : 118).
Keempat, karena ketika telah berhasil menjadi penguasa atas umat Islam, non-
Muslim tidak akan memihak kepada kepentingan umat Islam (QS at-Taubah : 8),
karena mereka tentu lebih memihak kepada kepentingan sesama non-Muslim.
Kelima, pada saat non-Muslim berkuasa, mereka dapat memaksa umat Islam untuk
murtad dari agama Islam (QS Ali Imran :100). Maka dapat dikatakan bahwa non-
Muslim tidak layak dan haram untuk dijadikan pemimpin oleh umat Islam.7
Menjabatnya Basuki Tjahya Purnama menjadi Gubernur DKI Jakarta yang
sebelumnya sebagai Wakil Gubernur menuai kontroversi dalam sebagian kalangan
umat Islam khususnya yang tinggal di DKI Jakarta. Bila dilihat secara kasat mata
ini adalah kecelakaan politik. Ini disebabkan terpilihnya Joko Widodo sebagai
Presiden RI yang pada sebelumnya menjabat Gubernur DKI Jakarta. Maka secara
otomatis jabatan Gubernur digantikan oleh wakilnya, yaitu Basuki Tjahya Purnama.
7 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 71.
4
Jika Joko Widodo tidak mencalonkan diri sebagai presiden serta diperparah dengan
terpilihnya menajadi presiden RI, tentu tidak terjadi kisruh pada umat Islam akibat
DKI Jakarta dipimpin oleh seorang yang beragama non-Muslim. Meskipun pada
awalnya, ketika umat Islam mengetahui Wakil Gubenur DKI Jakarta adalah non-
Muslim juga terjadi penolakan, tetapi aksi itu tidak terlalu membesar.
Diskursus tentang pemimpin non-Muslim memang hal yang termasuk
fenomenal dalam Islam. Pembahasan tentang pemimpin non-Muslim bukan hanya
terjadi pada saat sekarang ini. Ulama-ulama dan intelektual Muslim sudah jauh-
jauh hari sudah terlibat pembahasan tentang boleh atau tidaknya umat Islam
dipimpin oleh orang non-Muslim. Meskipun diambil dari sumber yang sama yaitu
al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW, tetap saja terjadi pro kontra. Tentu ini
terjadi karena dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan dan kepahaman mereka
terhadap nash-nash agama serta kondisi sosial dan politik yang berkembang dalam
dunia Islam.
Para ulama yang ada dalam fikih klasik mengharamkan atau melarang
pemimpin non-Muslim terhadap umat Islam, mereka antara lain adalah, al-
Jashhash, al-Alusi, Ibn Arabi, Kiya al-Harasi, Ibnu Katsir, al-Shabuni , al-
Zamakhsyari, Ali al-Sayis, Thabathabai, al-Qurthubi, Wahbah al-Zuhaili, al-
Syaukani, at-Thabari, Sayyid Qutub, al-Mawardi, al-Juwaini, Abdul Wahab
Khallaf, Hasan al-Bana, al-Maududi dan Taqiyuddin an-Nabhani.8
Sedikit menyinggung pendapat ulama klasik seperti al-Jashshash berpendapat
bahwa tidak boleh ada sedikit pun kesempatan dibuka oleh umat Islam bagi orang
8 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 79.
5
non-Muslim untuk berkuasa atas umat Islam, dan ikut campur dalam menangani
sekecil apapun urusan internal umat Islam. Ibnu Katsir dalam menafsirkan salah
satu ayat dalam al-Quran, yaitu surat Ali Imran ayat 28 mengatakan bahwa Allah
melarang kepada hamba-hambanya yang beriman berteman akrab dengan orang-
orang kafir atau menjadikanya sebagai pemimpin, dengan meninggalkan orang-
orang yang beriman. Sebab jelas hal ini merupakan perwujudan cinta kasih umat
Islam terhadap non-Muslim. Siapa saja diantara umat Islam yang membangkang
terhadap Allah dengan mengasihi musuh-musuh-Nya dan memusuhi para kekasih-
Nya, akan mendapatkan siksa-Nya.9
Dilarangnya umat Islam mengangkat non-Muslim menjadi pemimpin, dalam
pandangan al-Zamakhsyari adalah logis, mengingat orang kafir adalah musuh umat
Islam. Pada prinsipnya tidak mungkin bagi seorang untuk mengangkat musuhnya
menjadi pemimpinya.10Thabathabai juga mengatakan bahwa kaum kafir dalah
musuh umat Islam. Senada dengan itu, Wahbah al-Zuhaili berpandangan bahwa
Allah melarang hambah-hambanya yang beriman untuk menjadikan orang-orang
kafir menjadi pemimpin bagi umat Islam. Karena bila itu terjadi niscaya segala
rahasia kaum muslimin dapat diketahui oleh non-Muslim.
Pembahasan tentang larangan non-Muslim dijadikan pemimpin untuk orang
Islam juga dibahas oleh ulama-ulama lainya seperti Ali as-Sayis, al-Juwaini, al-
Shabuni, al-Alusi, Sayyid Qutub, Hasan al-Bana serta Taqiyyuddin an-Nabhani.
Pada intinya menurut pandang para mereka bahwasanya Allah tidak membolehkan
9 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 97.
10 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 102.
6
umat Islam menjadikan orang-orang kafir atau non-Muslim dijadikan sebagai
pemimpin umat Islam, karena dali-dalil tentang pelarangan ini jelas serta ayat-ayat
Al-Quran yang mengabarkan tentang hal itu sangat banyak melebihi perkara-
perkara lain, seperti pembunuhan, zina, mencuri, minum khamar dan lain-lain.
Sedikit mengupas pandangan beberapa tokoh intelektual muslim liberal,
mereka beranggapan bahwa non-Muslim boleh menjadi pemimpin untuk kaum
Muslimin. Mereka mencoba membongkar kekudusan Al-Quran dan Sunnah
sebagaimana dalam pandangan ulama klasik yang mengharamkan pemimpin non-
Muslim. Serta beranggapan bahwa nash Al-Quran dan Hadits harus dapat
dikontekstualisasikan sejalan dengan perkembangan sejarah umat Islam.11
Tokoh-tokoh yang yang membolehkan non-Muslim boleh memimpin kaum
Muslimin ini diantaranya, pertama Mahmoud Muhammad Thoha, intelektual
muslim liberal asal Sudan, sorang insinyur, pendiri The Republican Brother, sebuah
kelompok reformasi Islam di Sudan, pada tahun 1985 dieksekusi mati oleh Ja’far
Numeiri atas pandanganya yang menentang penerapan syariat Islam sebagai hukum
di negara Sudan. Kedua, Abdullah Ahmed Al-Na’im, juga berkebangsaan Sudan,
seorang ahli hukum, ia merupakan seorang murid Dari Mahmoud Muhammad
Thoha. Ketiga, Thariq Al-Bishri, intekektual Muslim liberal asal Mesir, seorang
sejarawan. Keempat, Muhammad Sa’id Al-Ashmawi, intelektual Muslim asal
Mesir, seorang sarjana hukum yang mendapatkan penghargaan internasional dari
komite pengacara untuk HAM yang berpusat di New York City.12
11 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 168.
12 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 140.
7
Salah satu pandangan Mahmoud Muhammad Thaha adalah, minoritas non-
Muslim memiliki persamaan hak dan status sebagaimana dinikmati oleh umat Islam
termasuk menjadi seorang pemimpin. Menurutnya pandangan yang mengharamkan
pemimpin non-Muslim (ulama klasik) tidak mampu memberikan representase
demokratis yang proporsional kepada non-Muslim yang menjadi warga negara di
negara mayoritas Muslim.13 Penulis melihat inti dari pandangan Mahmoud
Muhammad Thoha ini adalah bahwasanya non-Muslim memiliki peluang dan
kesempatan yang sama dalam segala hal, sebagaimana peluang dan kesempatan
yang diberikan kepada kaum mayoritas Muslim. Ketika kesempatan itu tidak
dibuka peluangnya kepada non-Muslim, termasuk jadi pemimpin, maka ini akan
menciderai ide kebebasan atau nilai demokrasi yang disanjung-sanjung.
Persamaan hak dalam setiap sistem demokrasi dianggap sebagai sebuah
rukun inti, sebab ia mencakup hak-hak dan kebebasan-kebebasan mendasar bagi
setiap individu.14 Maka termasuk di dalamnya hak berpoltik untuk dapat dipilih
sebagai seorang pemimpin maupun hak untuk dapat memilih pemimpin yang sesui
dengan pilihanya sendiri, tanpa unsur paksaan.
Terlepas dari pendapat yang menolak maupun yang membolehkan orang
Muslim dipimpin oleh non-Muslim sebagaimana yang sudah dipaparkan diatas,
penulis merasa perlu mengkaji persoalan yang sama, seperti yang terjadi di DKI
Jakarta, di mana tejadi penolakan-penolakan dari sebagian umat Islam terhadap
13 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 140.
14 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, terj. Faturrahman A. Hamid, (Jakarta: Amzah,2005), h. 228.
8
Gubernnur non-Muslim. Penolakan ini masih dilakukan dari hari-kehari bahkan
semakin masif menjelang Pilkada DKI Jakarta. Aksi penolakan ini ada melalui
turun ke jalan, membagikan selembaran, seminar-seminar, bahkan disapaikan pada
saat ceramah dan khutbah pada shalat jumat. Yang apada intinya umat Islam
diberikan sebuah arahan agar tidak memilih pemimpin yang non-Muslim.
Terjadinya penolakan-penolakan yang terhadap Gubernur non-Muslim di
DKI Jakarta tidak hanya dilakukan oleh individu-individu. Penolakan-penolakan
terhadap pemimpin non-Muslim ini dilakukan juga oleh ormas-ormas Islam yang
menyatakan sikap haram memilih pemimpin non-Muslim, sebut saja seperti Hizbut
Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam. Dalam kedua ormas ini tidak ada
perbedaan pendapat satu dengan yang lain terhadap pemahaman larangan memilih
pemimpin non-Muslim. Kedua ormas ini sudah mulai dari bereaksi setelah bangku
Gubernur ditinggalkan oleh Joko Widodo yang terpilih serta diangkat menjadi
Presiden RI. Setelah bangku Gubernur DKI Jakarta ditinggal oleh Joko Widodo
maka secara otomatis yang menggantikan baliau adalah wakilnya, yaitu Basuki
Tjahya Purnama alias Ahok yang beragama non-Muslim. Bahkan Majelis Ulama
Indonesia sebagai lembaga yang diduduki oleh ulama-ulama yang kompeten dalam
keislaman terang–terangan mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam dilarang
memilih pemimpin non-Muslim. MUI menegaskan bahwa seorang Muslim harus
memilih pemimpin Muslim.15
15 http://m.republika.co.id./berita/pemilu/hot-politic/14/03/21n2siql-mui-muslim-jangan-memilih-pemimpin-nonmuslim. Diakses pada tanggal 26 April 2017.
9
Kemudian dari pada itu sebagai ormas Islam yang memiliki masa terbesar di
Indonesia,16 yaitu Nahdaltul Ulama (NU) belum menyatakan sikap secara
keorganisasian terhadap polemik Gubernur non-Muslim di DKI Jakarta, baik itu
pernyataan dibolehkan atau tidak dibolehkan, meskipun secara individu, tokoh-
tokoh Nahdlatul Ulama mengeluarkan pendapat terhadap Gubernur non-Muslim.
Pandangan para tokoh-tokoh ini pun secara kasat mata terlihat berbeda antara satu
dengan yang lain. Ada di antara tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama yang mengambil
sikap netral terhadap persoalan Gubernur non-Muslim, ada juga tokoh yang
melarang memilih Gubernur non-Muslim dan ada juga membolehkan bahkan
mendukungnya.
Salah satu tokoh Nahdlatul Ulama yang melarang memilih pemimpin non-
Muslim adalah KH. Shalahuddin Wahid (Gus Sholah), ia merupakan adik kandung
dari KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ia menegaskan bahwa keputusan
Muktamar lembaga tertinggi Nahdaltul Ulama melarang Muslim memilih
pemimpin non-Muslim.17 Pendapat ini berdasarkan keputusan Muktamar ke-30
Nahdlatul Ulama di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, 21-17 November 1999.
Di samping itu, tokoh Nahdlatul Ulama yang membolehkan pemimpinn non-
Muslim adalah Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU,
yang juga dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rumadi Ahmad. Rumadi
menjelaskan bahwa kepemimpinan dan pemilu selalu jadi masalah bagi pemilih
16 Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU Buku I: Sejarah, Istilah,Amaliah, Uswah, (Surabaya: Khalista, 2007), cet. Ke- 1, h. 11
17 www.jurnalmuslim.com. Diakses pada tanggal 26 April 2017, pukul 21. 30 wib.
10
beragama Islam, sebab ada teks yang mengaturnya. Ia berpendapat bahwasanya
teks itu pula yang dijadikan rujukan dan senjata untuk keuntungan politik. Bahkan
lebih lanjut konteks dibalik teks ini adalah peperangan pada masa lampau. Menurut
Rumadi, bagi orang Nahdlatul Ulama tidak ada lagi peperangan, karena sekarang
masa perdamaian. Maka jika merujuk kepada ayat tersebut untuk keharaman
pemimpin non-Muslim itu tidak relevan.18 Ini hanya sebagian kecil contoh
perbedaan pendapat yang terjadi di tubuh Nahdlatul Ulama.
Dengan adanya perbedaan pendapat yang kontra ini, penulis merasa bahwa
ini perlu dikaji dan diteliti lebih mendalam untuk menemukan titik temu persoalan.
Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama terhadap persoalan pemimpin non-
Muslim, dan apa penyebab muncul perbedaan pendapat di antara tokoh-tokoh
Nahdlatul Ulama sediri. Padahal seharusnya sebuah organisasi memiliki tata aturan
yang disebut dengan AD/ART yang menjadi acuan organisasi dalam menetapkan
suatu persoalan dan harus diikuti oleh semua anggota. Terlebih lagi di DKI Jakarta
penduduknya merupakan mayoritas beragama Islam, bahkan ormas Islam terbesar
di Indonesia ini memiliki massa yang banyak di DKI. Dengan adanya perbedaan
pendapat diantara tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama terhadap pemimpin non-Muslim,
menurut penulis tentu memberikan efek kebingungan kepada umat Islam DKI
Jakarta, terutama massa Nahdlatul Ulama.
18http://megapolitan.kompas.com/read/2016/09/15/16462071/pbnu.merujuk.ke.fatwa.1999.tentang.pemimpin.non-muslim diakses pada tanggal 26 April 2017, pukul 21.00 wib.
11
Dengan melihat latar belakang di atas, maka penulis terdorong dan
termotivasi untuk melakukan penelitian, dengan judul “Pemimpin Non Muslim
dalam Pandangan Nahdlatul Ulama DKI Jakarta”. Penelitian ini adalah studi
kasus terhadap Gubernur non-Muslim di DKI Jakarta.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah penulis paparkan di atas,
maka dapat diidentifikasikan menjadi beberapa poin berikut ini:
1. Bagaimana pengaplikasian konsep pemahaman fikih klasik dengan realita
politik kekinian yang ada di Indonesia?
2. Bagaimana Konstitusi Negara Republik Indonesia dalam mengatur hak warga
negara untuk menjadi seorang pemimpin atau pejabat negara?
3. Bagaimana pandangan HAM (Hak Asasi Manusia) terhadap problematika
pemimpin non-Muslim di negeri mayoritas pemeluk Islam?
4. Apakah faktor pendukung terpilihnya pemimpin non-Muslim di negeri
mayoritas Islam?
5. Bagaimana pandangan konsep negara modern terhadap pemimpin non-
Muslim?
6. Sejauh mana pengaruh ormas Islam moderat dan ormas Islam fundamental
dalam mengedukasi mayarakat Islam DKI Jakarta terhadap pemimpin non-
Muslim?
7. Bagaimana peran strategis yang seharusnya diambil oleh ormas Islam dan
Mejelis Ulama Indonesia terkait pemimpin non-Muslim di negeri mayoritas
Islam?
12
8. Bagaimana peran pemerintah dalam menindak lanjuti kasus pemimpin non-
Muslim yang menjadi pelemik dalam masyarakat Muslim di DKI Jakarta?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembahasan tentang pemimpin non-Muslim ini sangat luas dan menuai
berbagai macam pro dan kontra, karena setiap orang memiliki pandangan berbeda
dan penafsiran berbeda terhadap nash Al-Quran maupun hadits tentang perkara ini.
Dengan luasnya kajian terhadap pemimpin non-Muslim dan tidak mungkin dapat
dipecahkan dalam satu penelitian kali ini, maka perlu dibuat batasan masalah, yakni
masalah yang menuntut adanya pemecahan dengan segera dan berada dalam
jangkauan peneliti dari sudut ilmu pengetahuan, waktu dan biaya serta fasilitas-
fasilitas lainya. Pembahasan ini terfokus pada pandangan Nahdlatul Ulama pada
tataran Pengurus Wilayah Provinsi DKI Jakarta, yaitu Syuriyah yang terdiri dari
ulama pilihan serta berfungsi sebagai pembina, pengendali, pengawas dan penentu
kebijakan dalam organisasi Nadhlatul Ulama dan Tanfidziyah sebagai pelaksana
dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Syuriyah.
2. Perumusan Masalah
Melihat judul penelitian tersebut maka penulis perlu membuat rumusan
masalah yang dianggap penting yang akan dicari jawabanya dalam penelitian ini.
Rumusan masalahnya adalah bagaimana pandangan Nahdaltul Ulama DKI Jakarta
tentang pemimpin non-Muslim?
13
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti, yaitu
untuk mengetahui pandangan Nahdlatul Ulama DKI Jakarta terhadap pemimpin
non-Muslim.
2. Manfaat Penelitian
Adapun dari segi manfaat yang hendak dicapai penulis dalam penulisan ini
adalah sebagai berikut:
a. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk memberikan informasi dan
kontribusi bagi kalangan intelektual, akademisi dan masyarakat umum
yang ingin tahu lebih lanjut tentang bagaimana pemahaman Nahdlatul
Ulama terhadap pemimpin non-Muslim
b. Secara penelitian, tulisan ini juga bertujuan untuk menambah khazanah
keilmuan, terutama politik Islam bagi mahasiswa/mahasiswi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya
Fakultas Syariah dan Hukum.
E. Review Studi Terdahulu
Penulis menemukan beberapa judul penelitian yang sebelumnya pernah
ditulis dan berkaitan dengan judul skripsi yang penulis teliti ini. Dari beberapa
penelitian sebelumnya, penelitian tersebut memiliki berbagai perbedaan antara
judul, batasan masalah, pokok permasalahan, serta sudut pandang dengan skripsi
penulis. Adapun penelitian yang ada sebelumnya adalah sebagai berikut:
14
Mujar Ibnu Syarif dalam bukunya yang berjudul “Presiden Non Muslim Di
Negara Muslim: Tinjauan dari Prespektif Politik Islam dan Relevansinya dalam
Konteks Indonesia”, menjelaskan panjang lebar mengenai kontroversi mengenai
presiden non-Muslim di negara mayoritas Islam, serta mengemukakan kelompok
yang pro dan kontra terhadap pemimpin non-Muslim. Pada akhirnya penulis
mencoba menarik konteks dan relevansi pemimpin non-Muslim di Indonesia.19
M. Suryadinata dalam “Kepemimpinan non-Muslim dalam Al-Quran:
Analisis terhadap Penafsiaran FPI Mengenai Ayat Pemimpin non-Muslim”,
menjelaskan penafsiran FPI terhadap ayat-ayat pemimpin non-Muslim, yaitu
melarang memilih pemimpin non-Muslim. Kemudian juga dijelaskan penafsiran
FPI terhadap ayat-ayat mengenai ketaatan terhadap pemimpin atau pemerintah non-
Muslim. Dalam tulisan ini juga menjelaskan penafsiran FPI dalam kaca mata
Khaled Abou el-Fadl dan Abdullah Saeed. Di akhir tulisan ini penulis mnyimpulkan
bahwa FPI cendrung tekstualis dalam menafsirkan ayat Al-Quran tanpa
memperhatikan makna lain serta percaya pada teks semata.20
Wahyu Naldi dalam “Penafsiran terhadap Ayat-Ayat Larangan Memilih
Pemimpin non-Muslim dalam Al-Quran: Studi Komparasi antara M.Quraish
Shihab dan Sayyid Qutub”, menjelaskan persamaan dan perbedaan penafsiaran M.
Quraish Shihab dengan Sayyid Qutub serta relevansinya terhadap konteks
19 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, Buku oleh dosen FakultasSyariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: Pustaka SinarHarapan, Tahun 2006.
20 M. Suryadinata, “Pemimpin Non-Muslim Dalam Al-Quran: Analisis TerhadapPenafsiran FPI Mengenai Ayat Pemimpin Non-Muslim”, Fakultas Ushuluddin Universitas IslamNegeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ilmu Ushuluddin, Vol. 2, No. 3, Tahun 2015.
15
Indonesia. Akhir dari tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa Sayyid Qutub lebih
kepada pergerakan yang dibungkus dengan bahasa sastra dan cendrung tegas
bahkan keras serta menafsirkan ayat-ayat Al-Quran cendrung tekstualis. Dibanding
dengan Quraish Shihab lebih terbuka, penuh toleran serta memahi ayat-ayat Al-
Quran lebih holistik dan kontekstualis.21
Marzuki dalam “Memilih Pemimpin yang Benar Perspektif Islam”,
menjelaskan bahwa jika calon pemimpin semuanya Muslim, maka yang dipilih
adalah yang terbaik. Jika calon pemimpin dari Muslim buruk dan ada calon
pemimpin yang baik tapi non-Muslim, maka harus memilih pemimpin Muslim
walaupun buruk, karena dalam pandangan Islam kedua calon memiliki kekurangan
(tidak baik), sehingga yang dipilih adalah yang minim kekuranganya dengan
pertimbangan bahwa membuat orang buruk menjadi baik lebih mudah dibanding
membuat orang non-Muslim menjadi Muslim. Namun jika semua calon pemimpin
non-Muslim, maka harus ada patokanya, kalau untuk kemaslahatan individu maka
golput lebih baik, namun jika untuk kemaslahatan bersama (bangsa dan negara)
maka pilihlah salah satu calon non muslim tersebut.22
21 Wahyu Naldi, “Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Larangan Memilih Pemimpin Non-Muslim Dalam Al-Quran: Studi Komparatif M. Quraish shihab dan Sayyid Qutub”, Skripsi JurusanIlmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri SunanKalijaga Yogyakarta, Tahun 2015.
22 Marzuki, “Memilih Pemimpin Yang Benar Perspektif Islam”, Artikel dosen PKN danHukum Universitas Negeri Yogyakarta.
16
Meskipun pada penelitian-penelitian yang terdahulu membahas tentang tema
pemimpi non-Muslim, namun penelitian ini penulis fokus meneliti bagaimana
pandangan PWNU DKI Jakarta terhadap pemimpin non-Muslim, dan juga
penelitian ini adalah fokus pada konteks pilkada DKI Jakarta. Sehingga penelitian
memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya pada tataran masalah dan objek
yang menjadi kajian.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian yang penulis lakukan ini, penulis memaparkan hasil
penelitian ini secara kualitatif dengan data yang diperoleh terkait bagaimana
pandangan Nahdlatul Ulama DKI Jakarta terhadap pemimpin non-Muslim dengan
studi kasus Gubernur non-Muslim yang terjadi di DKI Jakarta.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan politik.
Proses pergantian kekuasan atau pemilihan pemimpin merupakan aktifitas politik
bernegara serta tidak terlepas dari unsur kepentingan, maka penulis akan
memaparkan bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama DKI Jakarta dalam
memandang soal kepemimpinan non-Muslim dalam konteks perpolitikan yang
sedang berkembang di negara Indonesia.
2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan adalah studi lapangan (field research), yaitu
suatu cara pendekatan dengan cara terjun langsung ke lapangan untuk mendapatkan
data yang dibutuhkan. Untuk menambah data yang dibutuhkan, penulis mencoba
menggunakan tiga sumber data, yaitu:
17
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dan
otentik, yaitu hasil dari wawancara dengan Pengurus Wilayah Nahdlatul
Ulama (PWNU) DKI Jakarta pada tataran ulama Tanfidziyah dan
Syuriyah, yaitu Samsul Ma’arif Sebagai Wakil Tanfidziyah dan Mahfudz
Asirun sebagai Rais Syuriyah.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer yaitu Al-Quran dan Hadits, tulisan-tulisan, baik
dalam bentuk buku, jurnal, artikel maupun melalui informasi media
internet.
c. Data Tersier
Data tersier adalah data yang memberikan petunjuk maupun arahan
terhadap data-data primer dan sekunder, yaitu berupa kamus ilmiah dan
buku pedoman penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu metode dalam pengumpulan data untuk
dapat memperoleh data & informasi dari narasumber secara lisan. Adapun
Proses wawancara dilakukan dengan cara tatap muka secara langsung
dengan narasumber, dalam hal ini wawancara dengan PWNU DKI Jakarta
18
baik Tanfidziyah maupun Syuriyah. Dalam proses wawancara interviewer
mengajukan beberapa pertanyaan, baik dengan meminta penjelasan atau
jawaban dari pertanyaan yang diberikan dan membuat catatan mengenai
hal-hal yang diungkapkan kepadanya.
b. Dukumen
Pengumpulan data yang diambil dari sejumlah besar fakta dan data
tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Seperti buku-buku,
jurnal, skripsi, artikel, maupun catatan-catatan.
3. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, penulis mengumpulan data-data yang diperlukan
dengan metode wawancara dan pengumpulan dokumen-dokumen dalam
meneliti bagaimana perspektif Nahdlatul Ulama DKI Jakarta terhadap pemimpin
non-Muslim.
Adapun dalam menganalisa data-data tersebut penulis menggunakan
metode deskriptif kualitatif yaitu tekni analisa data di mana penulis mengolah
dan memaparkan data-data yang diperoleh dari lapangan sehingga terlahirlah
sebuah kesimpulan yang memang dapat dipertanggung jawabkan secara
akademis.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan proposal skripsi ini dan supaya memudahkan para pembaca dalam
mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika
penulisan ini sebagai berikut:
19
BAB I Pendahuluan
Pada bab ini penulis membahas Latar Belakang, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi
Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Kepemimpin dalam Islam
Pada bab II ini penulis membahas Pengertian, Hukum dan Syarat-
Syarat Pemimpin Dalam Islam, Kepemimpinan Agama dan Politik,
Pandangan Para Ulama Klasik tentang Pemimpin Non-Muslim.
BAB III Sekilas Tentang Nahdlatul Ulama
Pada bab III ini penulis membahas Sejarah Lahirnya Nahdlatul
Ulama, Garis Besar Pemikiran Nahdlatul Ulama, Metode
Penggalian Hukum Nahdlatul Ulama, Pendekatan Dakwah
Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Ulama dan Politik.
BAB IV Pemahaman Nahdlatul Ulama Tentang Pemimpin Non-Muslim
Pada bab IV ini penulis akan memaparkan pandangan Nahdlatul
Ulama DKI Jakarta terhadap pemimpin non-Muslim.
BAB V Penutup
Pada bab IV ini penulis menguraikan kesimpulan dari bab-bab
sebelumnya serta memberikan rekomendasi mengenai pandangan
Nahdlatul Ulama DKI Jakarta terhadap pemimpin non-Muslim.
20
BAB IIKEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Pemimpin, Hukum dan Syarat Pemimpin dalam Islam
1. Pengertian Pemimpin dalam Islam
Definisi tentang pemimpin memiliki banyak variasi dan banyak yang
mencoba untuk mendefinisikan. Diantara lain, pemimpin adalah orang yang
memiliki segala kelebihan dari orang-orang lain. Pemimpin dalam pandangan orang
kuno adalah mereka yang dianggap paling pandai tentang berbagai hal yang ada
hubunganya kepada kelompok dan pemimpin harus pandai melakukanya (pandai
berburu, cakap dan pemberani berperang).1
Kata pemimpin dan kepemimpinan merupakan suatu kesatuan kata yang tidak
dapat dipisahkan baik secara struktur maupun fungsinya. Pemimpin dan
kepemimpinan adalah satu kesatuan kata yang mempunyai keterkaitan, baik dari
segi kata maupun makna. Maka pembahasan tentang masalah kepemimpinaan
sudah banyak dibahas tentang kepribadian dan sifat seorang pemimpin mulai dari
zaman Nabi hingga saat ini.2
Istilah kepemimpinan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari
kata “pimpin” yang mempunyai arti “dibimbing”. Sedangkan katra pemimpin itu
sendiri mempunyai makna orang yang memimpin.3 Sedangkan kepemimpinan
ditinjau dari segi bahasa, berasal dari leadership (kepemimpinan) yang berasal dari
1 Ngalim Purwanto dkk, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: Mutiara, 1984), h. 38.
2 Ghalia Indonesia, Pemimpin dan Kepemimpinaan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1948), h.7.
3 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 967.
21
kata leader (pemimpin). Kata ini muncul sekitar tahun 1300-an. Sedangkan kata
leadership muncul kemudian sekitar tahun 1700-an. Hingga pada tahun 1940-an,
kajian tentang kepemimpinan didasarkan pada teori sifat. Teori ini terbatas hanya
mencari sifat-sifat kepribadian, sosial, fisik atau intelektual yang membedakan
antara pemimpin dan bukan pemimpin.4 Artinya, kepemimpinan itu dibawa sejak
lahir atau bakat bawaan seseorang.
Siti Patimah, dengan mengutip pandangan Syarifuddin yang juga mengambil
pendapat Rahman menjelaskan bahwa kerangka dasar dalam memahami konsep
dasar dari berbagai teori kepemimpina menyebutkan bahwa sebutan kepemimpinan
dalam khazanah Islam yaitu: khalifah, imam, dan wali.5 Pemimpin adalah seseorang
yang diberi kedudukan tertentu dan bertindak sesuai dengan kedudukannya
tersebut. Dalam konteks khalifah Allah SWT berfirman:
ن يـفسد م وإذ قال ربك للمالئكة إين جاعل◌ يف األرض خليفة قالوا أجتعل فيها مآء وحنن نسبح حبمدك ونـقدس لك قال إين أعلم ما ال تـعلمون فيها ويسفك الد
(البقرة: ٠٣)Artinya: Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada paraMalaikat:"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di mukabumi". Mereka berkata:"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) dibumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkandarah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau danmensucikan Engkau". Rabbberfirman:"Sesungguhnya Aku mengetahui apayang tidak kamu ketahui". (QS. al-Baqarah: 30)
4 Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003),h. 8
5 Siti Patimah, Manajemen Kepemimpinan Islam, (Bandung: Alfabeta Bandung, 2015),Cet. Pertama, h. 37
22
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT menjadikan manusia sebagai
khalifah atau pemimpin. Manusia diberikan amanah oleh Allah SWT untuk
mengatur jagad raya ini, sedangkan makhluk Allah yang bernama malaikat merasa
khawatir terhadap kepemimpinan manusia. Allah SWT berfirman “Sesungguhnya
aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Maka seorang pemimpin haruslah
mempunyai ilmu khusus yang harus dimilikinya sehingga tidak akan mencelakakan
dirinya dan orang lain.6
Kepemimpinan dalam Islam merupakan usaha menyeru manusia kepada
amar ma’ruf nahi munkar, menyeru manusia untuk berbuat kebaikan dan mencegah
manusia berbuat keburukan. Kepemimpinan Islam adalah perwujudan dari
keimanan dan amal shaleh. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang mementingkan
kepentingan dirinya, kelompok, keluarga, kedudukan, dan hanya bertujuan untuk
kebendaan, penumpukan harta, bukanlah kepemimpinan Islam7 yang sebenarnya,
meskipun pemimpin tersebut beragama Islam dan berlabelkan Islam.
Di dalam Islam pemimpin kadang-kadang disebut imam, terkadang disebut
khalifah. Secara harfiah, imam berasal dari kata amma, ya’ummu yang artinya
menuju, menumpu, dan meneladani. Ini berarti seorang imam atau pemimpin harus
harus selalu di depan guna memberi keteladanan atau kepeloporan dalam segala
bentuk kebaikan. Disamping itu, pemimpin disebut juga dengan khalifah yang
berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang, karenanya khalifah dinyatakan
6 Siti Patimah, Manajemen Kepemimpinan Islam, h. 38.
7 Siti Patimah, Manajemen Kepemimpinan Islam, h. 38.
23
sebagai pengganti, karena mememang pengganti itu di belakang atau datang
sesudah yang digantikan.
2. Syarat- Syarat Pemimpin dalam Islam
Sebelum lebih jauh membahas tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi
seorang pemimpin dalam perspektif Islam, penulis ingin menjelaskan secara
singkat tentang istilah pemimpin yang ada dalam al-Qur’an. Dalam buku al-Qur’an
dan Kenegaraan:Tafsir al-Qur’an Tematik, kata pemimpin dalam al-Qur’an
terdapat dalam enam macam, yaitu khalifah, amir, ulul amr, imam,sultan, mulk, dan
awliya.8 Semua kata tersebut memiliki makna yang sepadan, tapi sekaligus
perbedaan dari segi penafsiran atau penjelasan. Oleh karena itu, penulis hanya fokus
kepada pembahasan kepemimpinan dalam Islam.
Dalam al-Qur’an dan Sunnah, ditemukan sebelas (11) syarat pemimpin dalam
Islam sebagaimana yang dijelaskan oleh Mujar Ibnu Syarif.9 Namun dalam tulisan
ini penulis hanya menjelaskan enam syarat yang paling dominan atau yang utama.
Keenam syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut: pertama, harus beragama
Islam. Syarat ini antara lain ditemukan dalam ayat 59 surat al-Nisa yang berbunyi
sebagai berikut:
(٩٥ : (النساء ياأيـها الذين ءامنوا أطيعوا اهللا وأطيعوا الرسول وأو ىل األمر منك م Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan
ulil amri (pemimpin) dari kalanganmu sendiri”(Q.S. al-Nisa : 59 ).
8 Muhammad Abd al-Jawwad, Trik Cerdas Memimpin Cara Rasulullah, ter. AbdurrahmanJufri, (Solo: Pustaka Iltizam, 2009), h. 10.
9 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, (Jakarta: Pustaka SinarHarapan, 2006) h. 33.
24
Syarat pemimpin harus beragama Islam itu, disimpulkan dari kata “minkum”
(منكم ) yang termaktub pada akhir ayat di atas, yang oleh para pendukung syarat ini
selalu ditafsirkan menjadi “minkum ayyuhalmuslimun”, yang berarti dari
kalanganmu sendiri wahai orang-orang Muslim.
Senada dengan ayat di atas, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Janganlah kamu mencari penerangan dari api kaum Musyrik”. (HR. al-
Nasa’i).
Kata nar (api) yang termaktub dalam hadits di atas merupakan simbol
kekuatan10 atau kekuasaan yang tidak boleh diberikan umat Muslim kepada non-
Muslim. Sehingga dari hadits diatas juga dapat disimpulkan bahwa yang boleh
menjadi penguasa atas umat Muslim hanyalah orang-orang Muslim juga, bukan
orang-orang non-Muslim.
Syarat harus beragama Islam ini sangat penting dipenuhi oleh seorang
pemimpin Islam, mengingat salah satu tugas utamanya adalah menerapkan syariat
Islam. Adalah suatu hal yang tidak logis bila tugas yang sangat penting ini
diserahkan kepada non-Muslim, yang tidak percaya kepada syariat Islam.11 Maka
secara otomatis penerapan syariat Islam akan sangat sulit untuk terealisasi serta
semua kepentingan-kepentingan umat Islam akan sangat sulit untuk diwujudkan.
Justru kepentingan-kepentingan dari kalangan merekalah yang akan diutamakan.
10 Abdurrahman al-Baghdadi, Islam Menolak Bantuan Militer Negara Kafir, (Surabaya:Suara Bersama, 1990), h. 58.
11 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 34.
25
Kedua, harus seorang laki-laki. Syarat ini dapat ditemukan dalam surat al-
Nisa ayat 34 yang berbunyi sebagai berikut:
الرجال قـوام ون على النسآء (النساء ٤٣)Artinya: “kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,...”(Q.S. al-Nisa : 34).
Senada dengan ayat di atas Nabi Muhammad SAW bersabda:
( لن يفلح قوم ولواامرهم امرأة. (البخارىArtinya: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat seorangwanita sebagai pemimpinya”. (H.R. Bukhari).
Hadits yang disebut di atas pertama kali dipopulerkan oleh Abu Bakrah,
seorang mantan budak yang dihadapkan pada suatu kondisi yang sangat sulit,
dimana ia dituntut untuk memilih antara mendukung Ali, Khalifah keempat dan
suami Fatimah, anak kesayangan Nabi, atau mendukung Aisyah, istri Nabi, dan
putri Abu Bakar, Khalifah pertama. Dalam posisi sulit ini, ketika dikonfirmasi
Aisyah mengenai bagaimana sikapnya yang sesungguhnya terhadap perjuangan
Aisyah dalam melakukan oposisi terhadap kekuasaan Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Secara diplomatis ia menjelaskan sikapnya dengan menyitir hadis tersebut.12
Sedikitnya ada empat alasan wanita tidak bisa menjadi seorang pemimpin.
Pertama, secara fitrah wanita dianggap tidak bisa memainkan peran politik semisal
mengatur negara dan menjadi kepala pemerintah. Kedua, wanita dianggap tidak
akan sanggup berkompetisi dengan pria. Ketiga, wanita memiliki kekurangan akal
dan agama.13 Keempat, asumsi teologis bahwa wanita diciptakan lebih rendah dari
12 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 34-35.
13 Siti Patimah, Manajemen Kepemimpinan Islam, h. 65.
26
pada laki-laki.14 Menurut Mujar Ibnu Syarif, sepertinya alasan keempatlah yang
menjadi dominan pengaruhnya.
Ketiga, harus sudah dewasa. Syarat ini dapat ditemukan dalam surat al-Nisa ayat 5
yang berbunyi sebagai berikut:
والتـؤتوا السفهآء أموالكم اليت جعل اهللا لكم قياما وارزقوهم فيها واكسوهم وقولوا هل م ( ٥ : (النساء قـوال معروفا
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belumsempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yangdijadikan Allah sebagai pokok kehidupan,...(Q.S. al-Nisa : 5).
Ayat di atas memberikan alasan kepada wali yatim agar jangan menyerahkan
harta anak yatim yang berada di bawah pengampuanya untuk dikelolanya sendiri
sebelum ia dewasa.15 Sebab sudah pasti anak yatim tersebut tidak akan mampu
mengelola sendiri hartanya. Maka dari itu bila mengelola hartanya sendiri seorang
yang belum dewasa dilarang, maka tentu ia lebih tidak diperbolehkan lagi untuk
mengatur atau memimpin pemerintahan yang jauh lebih sulit dibanding mengatur
dan mengelola sendiri harta kekayaanya. Kelompok Syiah Rafidhah yang
membolehkan seorang yang belum dewasa menjadi pemimpin pemerintahan
menurut Ibn Hazm, jelas merupakn pendapat yang keliru. Sebab seseorang yang
belum dewasa masih belum terkena khitab untuk menjalankan tugas-tugas agama,
sementara pemimpin pemerintahan sudah terkena khitab untuk menjalankan ajaran-
ajaran agama.16
14 Asghar Ali Enginer, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), h. 2.
15 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 36.
16 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 36.
27
Keempat, harus adil. Syarat ini antara lain dapat ditemukan dalam surat Shad
ayat 26 yang berbunyi sebagai berikut:
ياداود إنا جعلناك خليفة يف األرض فاحكم بـني الناس باحلق والتـتبع اهلوى ( ٢٦ : (ص فـيضلك عن سبيل اهللا
Artinya: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antaramanusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena iaakan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (Q.S. Shad: 26).
Senada dengan ayat diatas, Nabi Muhammad SAW bersabda:
ال حرم الله عليه ة ميوت يـوم ميوت وهو غاش لرعيته إ ما من عبد يستـرعيه الله رعي (البخرى مسلم)اجلنة
Artinya: “Tiada seorang yang diamanati oleh allah memimpin rakyat kemudianketika ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkanbaginya surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ciri-ciri pemimpin yang adil menurut al-Jurjani sebagaimana penulis kutip
dalam buku Mujar Ibnu Syarif ialah ia selalu menjauhkan diri dari dosa-dosa besar
dan juga tidak terus menerus melakukan dosa kecil, memihak kebenaran, dan selalu
menghindari perbuatan-perbuatan hina. al-Mawardhi juga menyatakan pemimpin
yang adil adalah pemimpin yang yang selalu berkata benar, jujur, bersih dari hal-
hal yang diharamkan, menjauhi perbuatan dosa, tidak peragu, mampu mengontrol
emosinya diwaktu senang dan di saat marah, dan selalu menonjolkan sikap ksatria
baik dalam soal agama maupun dunia.
Menurut al-Ghazali pemimpin yang adil adalah pemimpin yang mengasihi
rakyatnya, tidak menambah ataupun mengurangi hukuman yang dijatuhkan kepada
pelaku kejahatan, selalu menetapi jalan kebenaran, memiliki rasa malu, murah hati,
berani meluruskan buahnya yang berbuat zalim, tidak sombong dan pemarah, tidak
28
akan senang hidup bahagia sendiri sementara rakyatnya menderita, hidup sederhana
dan tidak pamer kemewahan. Serta yang terakhir akan menindak siapapun yang
melanggar hukum.17
Makna kata adil sebagaimana yang dijelaskan di atas, lazim juga digunakan
sebagai makna kata taqwa dan wara, sehingga pemimpin yang yang adil dapat juga
disebut pemimpin yang bertaqwa dan wara, atau bisa juga disebut pemimpin yang
berakhlak mulia. Sedangkan lawan kata adil adalah zalim, yang berarti seseorang
yang selalu berlaku buruk, suka menindas, senang berbuat aniaya, atau bertindak
sewenang-wenang.18
Kelima, harus pandai menjaga amanah dan profesional. Syarat ini dapat
ditemukan dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 55 :
(يسف : ٥٥) قال اجعلين على خزائن األرض إين حفيظ عليمArtinya: “Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir);sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan".(Q.S. Yusuf : 55).
Tentang hal ini Nabi Muhammad SAW juga bersabda, yang artinya :
Artinya: “Apabila suatu urusan dipercayakan kepada seseorang yang bukanahlinya, maka tunggulah waktu kehancuran”(HR. Bukhari).Pemimpin yang pandai menjaga amanah adalah pemimpin yang bertanggung
jawab dan selalu berusaha dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk
menunaikan dengan baik semua tugas dan kewajiban yang diembankan kepadanya.
Sedangkan seorang pemimpin yang profesional adalah seorang pemimpin yang
17 Al-Ghazali, Etika Berkuasa Nasehat-Nasehat Imam Al-Ghazali, terj. Arif D. Iskandardari al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Mulk, (Bandung: Pustaka Hidayat, 1998), h. 23-54.
18 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 39.
29
betul-betul memiliki keahlian, kecakapan, dan kemampuan untuk menjalankan
tugasnya sebagai seorang pemimpin.19
Dalam Surat Yusuf ayat 55 diatas seorang pemimpin yang pandai menjaga
amanah dan profesional itu disebut dengan istilah “hafizhun ‘alim”. Istilah ini
merupakan sifat yang dimiliki oleh Nabi Yusuf, yang ketika memimpin di Negeri
Mesir, ternyata benar-benar terbukti tampil sebagai pemimpin yang pandai menjaga
amanah dan profesional, sehingga Negeri Mesir menuju puncak kemakmuran
keadilan dan kesejahteraan.
Keenam, harus kuat atau harus sehat fisik dan mental, dapat dipercaya,
berilmu atau memiliki wawasan yang luas. Syarat ini dapat ditemukan dalam al-
Qur’an suarat al-Qashash ayat 26 dan surat al-Baqarah ayat 247, yang berbunyi
sebagai berikut:
(٦٢ : (القصص ر من استأجرت القوي األمني إن خيـArtinya: “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untukbekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”(Q.S. al-Qashash : 26).
(٧٤٢ : (البقرة إن اهللا اصطفاه عليكم وزاده بسطة يف العلم واجلسم Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) menjadi rajamudan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa"(Q.S. al-Baqarah : 247).
Syarat kekuatan atau kesehatan fisik antara lain, dapat mengakomodasi
pengertian, harus lengkap anggota tubuhnya atau tidak cacat fisik, semisal tidak
buntung tangan ataupun kakinya, tidak buta, tuli, bisu, lumpuh, dan gangguan
kesehatan yang bisa menjadi kendala baginya dalam bertugas. Sedangkan syarat
19 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 40.
30
keilmuan meliputi dua macam ilmu. Pertama, ilmu-ilmu syariat atau ilmu-ilmu
agama, seperti ilmu al-Qur’an, ilmu Hadits, ilmu Bahasa Arab, ilmu Fikih dan
Ushul Fikih serta ilmu Nasakh dan Mansukh. Kedua, ilmu-ilmu umum, seperti ilmu
politik, ilmu tata negara, ilmu ekonomi serta ilmu umum lainya yang dipergunakan
untuk kelancarannya dalam memimpin pemerintahan.
3. Hukum Mengangkat Pemimpin dalam Islam
Mayoritas ulama mengatakan bahwa mengangkat pemimpin untuk mengurus
umat itu hukumnya wajib. Kewajiban ini kewajiban ini bersandar kepada beberapa
alasan.20 Pertama, konsensus sahabat atas adanya figur seorang pemimpin,
sehingga para sahabat mendahulukan pembaiatan Abu Bakar atas pemakaman
Rasulullah SAW. Kedua, bahwa menegakkan hukuman dan benteng kekuasaan itu
wajib, dan jika ada sesuatu perkara tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu
tersebut, maka sesuatu itu menjadi wajib. Ketiga, bahwa dalam kepemimpinan akan
menarik kemanfaatan dan menolak kerusakan dan ini hukumnya wajib berdasarkan
dalil ijma’.
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa kewajiban itu adalah menurut
pendekatan rasio dengan alasan bahwa setiap umat pasti membutuhkan kekuatan
untuk mengatur peraturan dan mengatur individu, karena keberadaan seorang
hakim merupakan kebutuhan kehidupan sosial manusia. Sebaliknya sebagian umat
Islam beranggapan bahwa mengangkat pemimpin itu merupakan kewajiban
berdasarkan syariat, karena telah ada ijma sahabat dan tabi’in mengenai hal itu.21
20 Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, Cet. Pertama, h. 38-39.
21 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 27
31
Menurut teori yang benar adalah bahwa kedua pendapat ini dapat di
konklusikan dan mungkin di kompromikan, karena tidak ada penghalang bahwa
kepemimpinan itu merupakan tuntutan. Dan untuk menegakkan undang-undang
serta melindungi individual, maka hukum telah menetapkan sebagai penguat atas
tuntutan rasio, sehingga pendekatan rasio dan hukum dapat dikompromikan tentang
kewajiban mengangkat pemimpin. Hanya saja akan berperan sebagai penegak
secara mutlak. Sedangkan hukum mengantarkan idealisme yang tinggi, sehingga
dalam kepemimpinan akan menjadi kuat jika ada hubungan masyarakat dan tidak
ada unsur paksaan. Sedangkan yang dikehendaki hukum adalah mencapai
kehidupan individual yang sempurna sebagaimana yang dikehendaki akal.22
Berbeda dari pendapat yang diatas segelintir individu dari kalangan
Mutazilah, yakni Abu Bakar al-Asham, Hisyam Ibnu Amr al-Futi dan dari kalangan
Khawarij (yakni sekte Najdah), Athiyah Ibn Amr23, menurut mereka memilih
pemimpin itu tidak wajib dilakukan, yang wajib hanyalah memberi informasi
tentang hukum, dan bila umat telah sadar atas keadilan dan pelaksanaan hukum
Allah SWT maka tidak dibutukan figur pemimpin dan tidak wajib memilih
pemimpin.
Bahkan lebih mendetail lagi, mereka mengemukan tujuh argumentasi tidak
wajib adanya pemimpin.24 Pertama, pengangkatan seorang pemimpin bertentangan
22 Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, h. 39.
23 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran PolitikIslam, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 100.
24 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran PolitikIslam, h. 101-102.
32
dengan egalitarianisme, sebab posisis manusia itu sama. Kedua, dengan
diangkatnya seorang pemimpin, maka terjadi kontradiksi antara kewajiban mentaati
pemimpin dengan hak kebebasan berpendapat. Ketiga, pengangkatan seorang
pemimpin itu menafikan hak untuk mendapatkan kemerdekaan. Keempat,
pengangkatan seorang pemimpin dapat menimbulkan perpecahan. Kelima,
pemimpin yang terpilih itu tidak terpelihara dari dosa. Keenam, akan mendapatkan
kesulitan untuk berhubungan dengan seorang pemimpin dalam urusan duniawi.
Ketujuh, untuk dapat menjadi pemimpin banyak kriteria yang sult dipenuhi.
Ibnu Khaldun berkomentar dalam kitab Muqaddimah, sebagian manusia
keliru yang mengatakan bahwa menegakkan pemimpin itu tidak wajib, baik
menurut pendekatan akal maupun syara’.25 Beliau juga menjelaskan bahwasanya
faktor munculnya pendapat yang mengatakan pemimpin tidak wajib adalah karena
mereka yang berpendapat demikian kecewa pada raja atau kepala negara di zaman
mereka yang sering bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan jabatanya
untuk mengejar materi duniawi tanpa mengindahkan aturan syariat. Padahal yang
semestinya dilakukan adalah adalah mengutuk penyelewengan yang dilakukan oleh
seorang pemimpin, bukan menolak keberadaan seorang pemimpin.26
B. Kepemimpinan Agama dan Politik
Karena persoalan kepemimpinan tentu sangat erat kaitanya dengan urusan
kenegaraan atau aktifitas politik dan merupakan instrumen yang tidak terpisahkan
dari praktek bernegara, maka perlu dilihat bagaimana kaitan antara agama dan
25 Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, h. 39.
26 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 20-21.
33
negara (politik), sehingga bisa tergambar sebuah pola tentang relasi atau hubungan
agama dan politik, baik itu saling berkaitan maupun tidak berkaitan antara satu
dengan yang lain. Jika dilihat dari teori politik, para sosiolog teoritis politik Islam
merumuskan beberapa teori perihal relasi agama dan negara. Teori-teori tersebut
secara garis besar dapat dibedakan menajadi tiga bagian paradigma27 pemikiran
yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik dan paradigma sekuleristik.28
1) Paradigma Integralistik
Paradigma ini memecahkan masalah dengan mengemukakan konsep
bersatunya agama dan negara. Agama Islam dan negara tidak dapat dipisahkan.
Wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Oleh karena itu, dalam pandangan
paradigma ini, negara merupakan lembaga politik serta keagamaan. Pemerintahan
berjalan atas dasar “kedaulatan ilahi”, karena pada dasarnya teori ini mengatakan
bahwa kedaulatan berasal dari tuhan.29
Diantara tokoh-tokoh yang yang termasuk kedalam kategori pendukung
pemikiran seperti ini adalah Syeikh Hasan Albana, Rasyid Ridha, Sayyid Qutub
dan Abu al-A’la al-Maududi.30 Pendapat ini juga dipakai oleh kelompok Syiah,
hanya saja Syiah menyebut negara dengan imamah.
27 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, paradigma berarti model dalam teori ilmupengetahuan, kerangka berfikir. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka, 2002), h. 828.
28 Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras diIndonesia, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 100.
29 Din Syamsuddin, Etika dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2002),h. 58.
30 Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UIPress, 1993), h. 1.
34
Maka dapat dipahami bahwa paradigma pemikiran seperti ini asumsinya
ditegakkan diatas pemahaman bahwa Islam adalah satu agama sempurna yang
menpunyai kelengkapan ajaran disemua sisi kehidupan manusia, termasuk dalam
hal praktek bernegara. Oleh karena itu umat Islam berkewajiban menjalankan
sistem politik Islam sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW
dan al-Khulafa Arrasyidin. Paradigma ini menghendaki agar negara menjalankan
dwi fungsi secara bersamaan, yaitu lembaga politik dan keagamaan. Alhasil,
penyelenggaraan suatu pemerintahan tidak berdasarkan kedaulatan rakyat
melainkan merujuk kepada kedaulatan tuhan, sebab yang memiliki kedaulatan
hakiki ada pada tuhan. Pandangan ini mengilhami pemikiran dan gerakan
fundamentalisme.31
Penulis melihat pandangan paradigma ini dalam hal kepemimpinan
beranggapan bahwa tidak ada pemisahan anatara pemimpin agama dan pemimpin
politik. Karena Nabi Muhammad SAW pada masa kepemimpinanya diakui sebagai
pemimpin agama yaitu seorang utusan Allah dan juga dipilih dan diakui sebagai
pemimpin politik atau kepala negara pada masa Negara Madinah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa seorang pemimpin di dalam Islam memiliki dua fungsi
sekaligus, yaitu pemimpin agama dan pemimpin politik. Pemimpin agama yang
dimaksud adalah pemimpin dipilih bedasarkan tuntunan agama dan pemimpin itu
juga dituntut menjalankan aturan agama Islam. Maka dalam menjalankan aturan
agama Islam tersebut tentu teraplikasi dalam sebuah pemerintahan bernegara,
31 Zuly Qodir, Syariah Demokratik: Pemberlakuan Syariah Islam di Indonesia,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 35.
35
karena hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran dan Hadits ada yang bersifat
publik yang pelaksanaanya membutuhkan peran sebuah negara.
2) Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma ini, agama dan negara berhubungan secara simbiotik,
yaitu suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Maka
dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat
berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama
negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spritual.32
Menurut paradigma ini pembentukan sebuah negara Islam dalam
pengertianya yang formal dan ideologis tidaklah penting. Pandangan ini
beranggapan bahwa yang terpenting adalah bahwa negara karena posisinya bisa
menjadi instrumental dalam merealisasikan ajaran-ajaran agama dan menjamin
tumbuhnya nilai-nilai dasar. Maka dengan demikian tidak ada alasan teologis untuk
menolak gagasan politik mengenai kedaulatan ditangan rakyat, negara dan bangsa
sebagai unit teritorial yang sah, dan prinsip-prinsip umum teori politik modern
lainya. Atau dengan kata lain, tidak ada landasan kuat untuk meletakkan Islam
dalam posisi yang bertentangan dengan sistem politik modern.
Tampaknya al-Mawardhi (w. 1058 M), seorang teoritikus politik Islam
terkemuka, bisa dimasukkan sebagai salah satu kelompok pendukung paradigma
ini. Sebab dalam kitabnya yang mashur, al-Ahkam al-Shultaniyah, ia mengatakan:
32 Din Syamsuddin, Etika dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 60.
36
lembaga kepala negara dan pemerintahan diadakan sebagai pengganti fungsi
kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia.33
Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas
yang berbeda, namun mempunyai hubungan simbiotik. Keduanya merupakan dua
dimensi dari misi kenabian. Maka dalam rangka hubungan simbiotik ini, Ibnu
Taimiyah dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah juga mengatakan: sesungguhnya
adanya kekuasaan yang mengatur urusan manusia merupakan kewajiban agama
yang terbesar, sebab tanpa kekuasaan negara, agama tidak bisa berdiri tegak.34
Maka dapat disimpulkan bahwasanya paradigma simbiotik beranggapan
bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik. Dalam kerangka ini,
agama membutuhkan negara, karena dengan adanya negara agama dapat
berkembang. Sebaliknya negara membutuhkan agama, karena agama menyediakan
seperangkat nilai dan etika untuk menuntun perjalanan kehidupan bernegara.
Paradigma ini berusaha keluar dari belenggu dua sisi yang berseberangan, yaitu
integralistik dan sekuleristik. Alhasil, paradigma ini melahirkan gerakan
medernisme dan neomodernisme.35
33 Imam Al-Mawardhi, Hukum Tatanegara dan Kepemmpinan dalam Takaran Islam, terj.Abdul Hayyie Al-Kattani, Kamaluddin Nurdin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 15.
34 Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, Pokok-Pokok Pedoman dalam Bernegara, terj. HendriLaoust, (Bandung: CV Diponegoro, 1967), h. 162-210.
35 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:Bulan Bintang, 1996), h. 11.
37
3) Paradigma sekuleristik
Paradigma ini menolak kedua paradigma yang sudah dijelaskan sebalumnya.
Sebagai gantinya, paradigma sekuleristik mengajukan pemisahan (disparitas)
agama atas negara. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran
urusan negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam pada
bentuk tertentu dari sebuah negara.
Sebuah artikel tentang kepemimpinan agama dan politik memuat sebuah
tulisan pandangan Syafiq Hasyim Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi
Nahdlatul Ulama (LPTNU) menyatakan bahwa kepemimpinan (politik) tidak bisa
disamakan dengan kepemimpinan agama. Tugas pemimpin adalah menegakkan
keadilan dan tidak bisa disandera dengan kepentingan primordial. Ia menjelaskan
bahwa maqashidus syariah dalam konsep negara adalah manifestasi ilahiah di
muka bumi, maka norma yang harus diusung adalah keadilan, cinta kasih dan
kebersamaan. Ditegaskan bahwa keadilan tidak boleh memihak baik faktor agama
suku, dan keyakinan.36
Lebih lanjut Syafiq menegaskan, konteks memilih pemimpin adalah kinerja
dan gagasan dalam mamajukan bangsa. Persoalan pemerintah adalah persoalan
masyarakat. Kepemimpinan dipilih berdasarkan sejauh mana ia mampu
menyejahterakan dan mewujudkan keadilan sosial. Penulis melihat bahwa dalam
kasus kepemimpinan pandangan ini adalah paradigma berfikir secara sekuleristik
atau pemisahan doktrin agama dengan aktifitas politik.
36 www.nuonline.com. Berita diakses pada 20 April 2017
38
C. Pandangan Para Ulama Klasik tentang Pemimpin Non-Muslim
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidak bolehnya seorang non-
Muslim menjadi pemimpin bagi orang-orang Muslim. Maka secara global
pendapat-pendapat ini dapat dipetakan menjadi 2 kelompok berikut ini:
1. Kelompok Yang Menolak Pemimpin Non-Muslim
Kelompok yang termasuk menolak pemimpin non-Muslim antara lain adalah,
al-Jashsash, al-Alusi, Ibn Arabi, Kiya al-Harasi, Ibn Katsir, al-Shabuni, al-
Zamakhsyari, Ali al-Sayis, Thabathabai, al-Qurthubi, Wahbah al-Zuhaili, al-
Syaukani, al-Thabari, Sayyid Quthub, al-Mawardi, al-Juwaini, Abdul Wahhab
Khallaf, Muhammad Dhiya al-Din al-Rais, Hasan al-Bana, Hasan Ismail Hudaibi,
al-Maududi, dan Taqi al-Din al-Nabhani.37
al-Jashshash berpendapat bahwasanya tidak boleh ada sedikitpun kesempatan
dibuka oleh orang Islam untuk orang kafir berkuasa atas mereka, serta ikut campur
dalam menangani sekecil apapun urusan intern umat Islam. Dia mendasarkan
pendapatnya pada surat Ali Imran ayat 28 yang berbunyi sebagai berikut:
ن م ال يـتخذ المؤمنون الكافرين أوليآء من دون المؤمنني ومن يـفعل ذلك فـليس (٨٢ : (العمران هم تـقاة وحيذركم اهللا نـفسه وإىل اهللا المصري اهللا يف شيء إآل أن تـتـقوا منـ
Artinya: “Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafirmenjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapaberbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allahmemperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allahkembali (mu)” (Q.S. Ali Imran : 28).
Pada ayat ini dia memberikan cacatan bahwanya ayat ini dan ayat-ayat yang
lain yang memiliki isi yang senada denganya, maka ada petunjuk bahwa dalam hal
37 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 79.
39
apapun orang kafir tidak boleh berkuasa atas umat Islam. Dengan keyakinan seperti
itulah, al-Jashshash tidak hanya melarang umat Islam mengangkat non-Muslim
menjadi pemimpin, tapi juga tidak boleh melibatkan non-Muslim dalam segala
urusan umat Muslim, sekalipun ada pertalian darah dengannya.38 Maka dari itu,
seorang pria non-Muslim, tidak punya hak untuk mengurus dan menikahkan putra
kandungnya yang Muslim karena alasan beda agama.
Menurut al-Shabuni, yang dimaksud dengan ayat-ayat yang isinya senada
dengan surat Ali Imran ayat 28 apada kutipan pendapat al-Jashshash di atas adalah
ayat 51 surat al-Maidah, ayat 1 surat al-Mumtahanah, ayat 57 surat al-Maidah, ayat
118 surat Ali Imran, dan ayat 22 surat al-Mujadilah.39 Selain ayat-ayat sebagaimana
menurut al-Shabuni diatas, Wahbah al-Zuhaili menambahkan tiga ayat yang senada
dengan pendapat al-Jashshash diatas, yaitu ayat 144 surat al-Nisa, ayat 73 surat al-
Anfal, dan ayat 71 surat at-Taubah. Sedangkan Muhammad al-Ghazali dan Sayyid
Qutub masing-masing menambahkan satu ayat, yaitu ayat 8 surat at-Taubah dan
ayat 100 surat Ali Imran. Serta Mujar Ibnu Syarif menambahkan satu ayat lagi yaitu
ayat 141 surat a-Nisa.40
Menurut Mujar Ibnu Syarif kedua belas ayat yang disebutkan di atas,
meskipun memiliki redaksi yang berbeda satu sama lain, namun mengacu kepada
satu inti persoalan yang sama. Yang pada intinya adalah umat Islam dilarang untuk
38 Abu Bakar Ahmad Ibn Ali al-Razy al-Jashshash, AhkamAl-Qur’an, (Al-Qahirah: SyirkahMaktabah Wa Mathba’ah, t.th), jilid 2, h. 290
39 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 80.
40 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 81.
40
memilih non-Muslim menjadi pemimpin baik secara eksplisit maupun secara
implisit, terutama dipilih sebagai pemimpin negara atau pemimpin pemerintahan.
Ibn Arabi berpendat bahwasanya ayat 28 surat Ali Imran merupakan
ketentuan umum bahwa orang Islam tidak boleh mengambil orang kafir sebagai
pemimpinya, sekutunya untuk melawan musuh, menyerahkannya suatu amanat,
atau menjadikanya teman kepercayaan.41 Kiya al-Harasi juga berpandangan bahwa
ayat 28 surat Ali Imran itu merupakan dalil mengenai tidak bolehnya menjadikan
orang-orang kafir sebagai pemimpin orang-orang Islam atau bersikap lemah lembut
kepada meraka. Serta Ibnu Katsir menyatakan, bahwa ayat 28 surat Ali Imran
merupakan larangan Allah kepada hambanya yang beriman, berteman akrab dengan
orang-orang kafir atau menjadinya sebagai pemimpinya, dengan meninggalkan
orang-orang yang beriman. Sebab ini merupakan wujud cinta kasih kepada orang-
orang kafir. Namun Ibnu Katsir memberikan keringanan jika di beberapa negara
dan dalam beberapa kesempatan tertentu seorang Muslim takut terhadap kejahatan
orang-orang kafir, maka ia diberi keringanan untuk bertaqiyyah di hadapan mereka,
namun hanya secara zahirnya saja, tidak dalam batin dan niatnya. Ibnu Katsir
mendasarkan pendapatnya ini kepada hadits yang artinya sebagai berikut:42
“Sesungguhnya kami (sering) tersenyum di hadapan beberapa kaum,sedangkan (sebenarnya) hati kami mengutuknya”.(H.R. al-Bukhari).
41 Abu Bakar Muhammad Ibn Abdillah, Ahkam al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), jilid 2, h. 138-139.
42 Imam Abi al-Fida al-Hafidz Ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Azhim, (Beirut:Dar al-Fikr, 1992), jilid 1, hal. 439. Lihat juga Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di NegaraMuslim, h. 98.
41
Selain hadits di atas, Ibn Katsir mendasarkan pendapatnya pada surat an-Nahl
ayat 106 yang berbunyi sebagai berikut:
رح ش من كفر باهللا من بـعد إميانه إال من أكره وقـلبه مطمئن باإلميان ولكن من (النحل :٦٠١) بالكفر صدرا فـعليهم غضب من اهللا وهلم عذاب عظيم
Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (diamendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahalhatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orangyang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allahmenimpanya dan baginya azab yang besar.” (Q.S. an-Nahl : 106).
Menurut al-Zamakhsyari adalah logis dilarangnya umat Islam mengangkat
non-Muslim menjadi pemimpin karena mengingat orang-orang kafir adalah musuh
umat Islam, dan pada prinsipnya memang tidak akan pernah terjadi seseorang
mengangkat musuhnya sebagai pemimpinya. Bila orang Islam mengangkat orang-
orang kafir sebagai pemimpinya maka hal tersebut menurut Ali al-Sayis berarti
umat Islam memandang bahwasanya jalan yang ditempuh orang kafir tersebut baik.
Hal ini tidak boleh terjadi, sebab dengan meridhai kekafiran berarti seseorang telah
kafir.43
Mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin umat Islam, dalam
pandangan Thabathabai lebih berbahaya dari pada kekafiran kaum kafir dan
kemusyrikan kaum musyrik. Kaum kafir itu adalah musuh umat Islam, dan bila
musuh itu telah diambil sebagai teman, maka kala itu ia telah berubah menjadi
musuh dalam selimut yang jauh lebih sulit untuk dihadapi ketimbang musuh yang
43 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 102.
42
nyata-nyata berada diluar lingkungan umat Islam. Hal ini tegas Thabathabai tidak
boleh terjadi, sebab bila tidak, maka umat Islam akan mengalami kehancuran.44
Berbeda dengan al-Alusi, al-Jashshash, dan al-Shabuni, Wahbah al-Zuhaili
menyatakan yang dilarang hanyalah menyerahkan jabatan-jabatan publik yang
strategis, mulia, dan terhormat semisal kepala negara kepada orang kafir. Di luar
itu, semisal menjadi sektretaris negara ataupun jabatan-jabatan kurang strategis
lainya, dapat diserahkan kepada non-Muslim. Berbeda dengan al-Zuhaili, Ibn Arabi
menyatakan melarang umat Islam menjadikan orang kafir dalam segala posisi, baik
sebagai kepala negara maupun jabatan publik lainya. Pendapat Ibn Arabi ini
merujuk kepada kebijakan politik Umar Ibn Khattab yang mengirimkan surat
perintah kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk memecat sektretaris pribadinya yang
non-Muslim.45
Dari urain di atas sudah tergambar jelas bahwasanya mayoritas ulama
melarang umat Islam memilih orang kafir sebagai pemimpin. Dilarangnya orang
Islam untuk mengangkat orang kafir sebagai pemimpin didasarkan pada ayat-ayat
al-Qur’an yang memiliki isi yang senada antara satu dengan yang lain. Wahbah al-
Zuhaili berpendapat yang dilarang hanyalah menyerahkan jabatan-jabatan publik
yang strategis, mulia, dan terhormat (semisal kepala negara) kepada orang kafir,
sedangkan Ibn Arabi dan ulama lainya melarang orang kafir diangkat sebagai
pemimpin baik sebagai kepala negara maupun posisi strategis publik lainya. Namun
44 Al-Sayyid Muhammad Husein al-Thabathabai, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut:Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1972), jilid 3, h. 103.
45 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, hal. 105-106.
43
secara garis besar para ulama melarang menjadikan orang-orang kafir sebagai
pemimpin atas orang Islam.
2. Kelompok Pendukung Pemimpin Non-Muslim
Kelompok kedua ini terdiri dari beberapa intelektual Muslim liberal yang
menawarkan ijtihad politik baru yang mendukung pemimpin non-Muslim atas
orang Islam. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Mahmoud Muhammad
Thaha, Abdullah Ahmad an-Na’im, Thariq al-Bishri, Asghar Ali Enginer dan
Muhammad Sa’id al-Ashmawi. Kelima tokoh ini dilihat dari latar belakang
keilmuanya mayoritas tidak berdasarkan keilmuan syariah, mereka berlatar
belakang sebagai insinyur, sejarawan serta sarjana hukum.46
Menurut Mahmoud Thoha, non-Muslim memiliki persamaan hak dan status
sebagaimana yang dinikmati oleh umat Islam, termasuk menjadi pemimpin.47
Menurutnya, pandangan fikih klasik yang mendiskriminasikan non-Muslim
didasarkan kepada ayat-ayat Madaniyyah yang memang sarat dengan aura
diskriminatif, bukan didasarkan kepada ayat-ayat Makiyyah yang menekankan
martabat yang inheren pada seluruh umat manusia, tanpa membedakan jenis
kelamin, keyakinan, keagamaan, ras dan lain-lain. Untuk menghilangkan
diskriminasi terhadap non-Muslim, kata Thaha, ayat-ayat Madaniyyah yang dimasa
klasik digunakan sebagai argumentasi teologis untuk mendiskriminasikan non-
46 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 140.
47 Carolyne Fluehr Lobban, Melawan Ekstrimisme Islam: Kasus Muhammad Sa’id al-Ashmawi, Kata Pengantar dalam Muhammad Sa’id al-Ashmawi, Jihad Melawan Islam Ekstrim, terj.Hery Haryanto Azumi dari Againts Islamic Extrimism, (Depok: Desantara, 2002), cet. 2, h. 14.
44
Muslim, harus segera dicabut.48 Sebagai gantinya, ayat-ayat Makiyyah yang dulu
dicabut digunakan kembali sebagai basis hukum Islam modern. Sejalan dengan itu,
Thaha menawarkan sebuah konsep naskh baru yang sangat berbeda dengan konsep
naskh lama. Teori naskh lama yang menganggap bahwa ayat-ayat Madaniyyah
menghapus ayat-ayat Makiyyah, kata Thaha harus dibalik, yakni bahwa ayat
Makiyyah yang justru menghapus ayat Madaniyyah.49
Lebih lanjutnya, bagi Thaha ayat-ayat Makiyyah adalah sentral bagi ajaran
Islam. Ayat inilah yang akan mampu memberikan kebebasan yang sebenarnya dan
kesetaraan yang sungguh-sungguh bagi umat manusia tanpa memandang perbedaan
jenis kelamin, agama, dan keyakinan, sehingga toleransi dapat dijunjung tinggi.
Thaha berpendapat bahwa pemahaman baru terhadap al-Qur’an yang
diperkenalkannya adalah pesan kedua Islam (the second massage of Qur’an),
sehingga pembaharuan hukum Islam harus ditempuh dengan memberlakukan teori
evolusi hukum Islam.50
Mengomentari pandangan fikih klasik yang melarang pemimpin non-
Muslim, Ahmad an-Na’im juga menyatakan, semua umat Islam generasi awal
sudah benar ketika menafsirkan al-Qur’an dan Hadis dengan menerima
diskriminasi berdasarkan agama dalam konteks histori ketika itu. Argumentasinya
48 Abdullah Ahmad al-Na’im, Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy dan AmiruddinArrany dari Toward An Islamic Reformation Civil Liberties Human Rights And Internasional Law,(Yogyakarta: LKIS, 1994), h. 48 dan 88.
49 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 141.
50 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 143.
45
karena sejak masa-masa pembentukan syariah belum ada konsepsi Hak-Hak Asasi
Manusia Internasional di dunia ini. Sejak abad ke-7 hingga abad ke-20, kata an-
Naim adalah suatu hal yang normal di seluruh dunia untuk menentukan status dan
hak-hak seseorang berdasarkan agama.51 Akan tetapi, ini tidak dimaksudkan untuk
menyatakan bahwa untuk saat ini hal tersebut masih bisa dibenarkan.
Mengingat pendapat yang menolak pemimpin non-Muslim dibenarkan oleh
konteks historis yang ada dimasa lalu, maka selesailah sudah pembenaran itu
sekarang, sebab konteks historis yang ada sekarang ini sudah berbeda sama sekali
dengan konteks historis yang ada dimasa lalu. Setelah dikenal konsepsi hak-hak
asasi universal, kata an-Na’im diskriminasi atas dasar agama itu melanggar
penegakkan HAM. Kaum absolutis yang hidup di masa kontemporer, seperti al-
Maududi, Javid Iqbal, dan Hasan Turabi, yang masih saja menolak pemimpin non-
Muslim, adalah disebabkan karena mereka memandang aturan syariat yang
melarang umat Islam memilih pemimpin non-Muslim bersifat permanen. Padahal
sesungguhnya hal itu bersifat temporer (sementara).52
Pemikiran politik Islam klasik yang menolak pemimpin non-Muslim, kata an-
Na’im, sekalipun dijabarkan dari sumber-sumber wahyu fundamental Islam, al-
Qur’an dan Sunnah, sesungguhnya bukanlah wahyu, tetapi tidak lebih dari sekedar
produk penafsiran manusia atas sumber-sumber tersebut. Karena produk itu lahir
51 Abdullah Ahmad al-Na’im, Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy dan AmiruddinArrany dari Toward An Islamic Reformation Civil Liberties Human Rights And Internasional Law,h. 282 .
52 Abdullah Ahmad al-Na’im, Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy dan AmiruddinArrany dari Toward An Islamic Reformation Civil Liberties Human Rights And Internasional Law,h. 220.
46
sesuai dengan kondisi historisnya sendiri, yang berbeda dengan kondisi saat ini.
Maka dari itu diskriminasi berdasarkan agama sebagaimana lazimnya berlaku di
masa Klasik, secara moral tertolak dan secara politik sudah tidak dapat diterima
lagi.53
Di masa kontemporer saat ini, kata an-Na’im ayat-ayat yang melarang umat
Islam memilih pemimpin non-Muslim adalah tidak relevan lagi digunakan. Sebagai
gantinya, yang perlu ditonjolkan adalah ayat-ayat Makiyyah yang mengajarkan
persamaan universal seluruh umat manusia, tanpa memandang agama yang
dipeluknya. Selain menganjurkan umat Islam untuk meninggalkan ayat-ayat
Madaniyyah yang berisi pesan-pesan diskriminatif terhadap non-Muslim, an-
Nai’im juga menyarankan agar umat Islam dimasa kontemporer sekarang ini
berpegang kepada prinsip resiprositas, yaitu prinsip timbal balik yang sama
menghargai kepercayaan orang lain.54
Senada dengan pendapat yang dikutip di awal, Muhammad Sa’id al-Ashmawi
juga membolehkan non-Muslim menjadi pemimpin bahkan di negeri mayoritas
Muslim sekalipun. Argumentasiya karena ayat-ayat al-Qur’an yang melarang umat
Islam memilih pemimpin non-Muslim bersifat temporer. Ayat-ayat tersebut hanya
berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW di Madinah yang pada saat itu sedang
perang dengan orang kafir. Kerena kondisi seperti masa Nabi ini tidak ada lagi pada
53 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 146.
54 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, h. 146-148.
47
masa sekarang, maka larangan itu tidak berlaku lagi.55 Lebih lanjut, al-Ashmawi
beranggapan bahwa pendapat yang melarang memilih pemimpin non-Muslim,
adalah pendapat anti demokrasi, salah, dan tidak sesuai dengan era modern.
55 Muhammad Sa’id al-Ashmawi, Jihad Melawan Islam Ekstrim, ter. Hery Haryanto Azumidari Againts Islamic Extremism, (Depok: Desantara, 2002), cet. 1, h. 181.
48
BAB III
SEKILAS TENTANG NAHDLATUL ULAMA
1. Sejarah Berdiri Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama atau yang disingkat NU, artinya kebangkitan ulama. Sebuah
organisasi yang didirikan oleh para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 M/ 16
Rajab 1344 H di Surabaya.1 Organisasi ini merupakan salah satu organisasi terbesar
di Indonesia dewasa ini. Nahdlatul Ulama mempersatukan solidaritas ulama
tradisional dan para pengikut mereka yang berpaham salah satu dari empat mazhab
fikih Sunni, terutama Mazhab Syafi’i. Basis sosial Nahdlatul Ulama dari dahulu
hingga kini masih berada di pesantren.2
Sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama terbilang cukup unik, karena di samping
pengaruh politik etis yang diterapkan Belanda dalam konteks perjuangan
mewujudkan kemerdekaan3, juga karena reaksi terhadap situasi perkembangan
umat Islam di dunia. Saat itu terjadi perubahan mendasar sistem ketatanegaraan di
Turki dan Jazirah Arab4, sehingga angin perubahan itu menghembuskan angin
pembaharuan walaupun berbeda substansi.
1 Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU Buku I: Sejarah, Istilah,Amaliah, Uswah, (Surabaya: Khalista, 2007), cet. Pertama, h. 1-2.
2 Ibnu Hazen dkk, 100 Ulama dalam Lintas Sejarah Nusantara, (Jakarta: Lembaga Ta’mirMesjid PBNU), h. 3.
3 Laode Ida, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, (Jakarta: Sinar Harapan), h. 9-16.
4 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab PolitikNU dalam Sejarah, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2008), cet. Ke-1, h. 2.
49
Pembaharuan di Turki terjadi dengan sangat dramatik. Kehidupan kenegaraan
dan kemasyarakatan yang agamis beralih menjadi sekuler. Ini terjadi ketika
Musthafa Kemal Attartuk memperoklamasikan berdirinya Republik Turki pada
Tanggal 29 Oktober 1923. Pada tahap selanjutnya, Kemal Attartuk menghapus
Kekhilafahan Dinasti Ottoman yang diakui oleh seluruh dunia Islam pada tanggal
3 Maret 1924. Dengan berkiblat ke Barat, Kemal Attartuk memerintahkan untuk
menghapus semua yang berbau Islam. Hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an
dan Sunnah diganti dengan sumber hukum perdata adopsi dari Swiss. Sedangkan
hukum pidana diadopsi dari hukum pidana Italia.5
Perubahan dramatis dan radikal yang terjadi di Turki berpengaruh kepada
kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan di Mesir. Pro kontra terhadap sepak
terjang Kemal Attartuk pun terjadi di Mesir. Salah seorang ulama, Ali Abd al-Raziq
dengan tegas membenarkan dan mendukung langkah-langkah pembaharuan yang
dilakukan oleh Musthafa Kemal Attartuk. Lain halnya dengan Komite Khilafah di
Mesir. Komite ini menanggapi serius dihapuskanya Kekhilafahan Ottoman.
Keseriusan komite tersebut ditunjukkan dengan upaya untuk memparakasai
Muktamar Islam Sedunia dengan agenda pembentukan Khilafah dunia Islam. Umat
Islam Indonesia pun diundang untuk berpartisipasi dalam mukmatar ini.6
Sayangnya, dengan alasan keamanan mukatamar ini batal dilaksanakan.
5 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab PolitikNU dalam Sejarah, h. 2.
6 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab PolitikNU dalam Sejarah, h. 2-3.
50
Di Jazirah Arab, semakin lemahnya Dinasti Ottoman akibat kekalahan pada
Perang Dunia I mendorong Syarif Makkah, Husein II memproklamirkan
kemerdekaan Arabia dan menangkat dirinya sebagai raja. Wilayah Hijaz ini selama
empat abad menjadi salah satu provinsi Kekhilafahan Ottoman. Namun kekuasaan
Husein II tidak bertahan lama. Abdul Aziz Ibn Sa’ud (1880-1953) dari Nejd
berhasil merebut Hijaz dengan bekerjasama dengan Syeikh Muhammad Abdul
Wahab yang kemudian hari dikenal dengan pendiri aliran Wahabi. Aliran Wahabi
ini bertujuan untuk melakukan pemurnian paham tauhid umat Islam. Dengan dalih
ini, Abdul Aziz Ibn Sa’ud dengan segera memusnahkan semua hal yang dipandang
sebagai bid’ah dan kurafat. Kubah diatas makam Husein bin Ali menjadi korban
dan makam orang-orang suci dihilangkan. Bahkan kiswah penutup Ka’bah
diturunkan karena dianggap bid’ah.7
Imbas berbagai perkembangan mutakhir di negara-negara pusat Islam dunia
itu, di Indonesia tercermin dari dibentuknya Al-Islam, pada tahun 1921, dipelopori
oleh Sarekat Islam dan didukung oleh Muhammadiyah, dua organisasi yang sangat
menonjol sebagai gerakan pembaharuan Islam. Al-Islam cukup berperan mewakili
umat Islam Indonesia. Dalam kongres ke-I Cirebon atas prakasa Bratanata (ketua
SI) antara lain memutuskan dibentuknya Komite Al-Islam pusat dan Sunoso (ketua
SI Garut) dipilih sebagai ketua. Kongres ke-2 di Garut menghasilkan pengesahan
peraturan Komite Al-Islam.8
7 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab PolitikNU dalam Sejarah, h. 3.
8 Djawahi Hadikusumo, Matahari-Matahari Muhammadiyah, (Yogyakarta: T.pn, jilid 1,1975), h. 56.
51
Setahun setelah Raja Abdul Aziz Ibn Sa’ud menancapkan kekuasaanya di
Hijaz, dan memantapkan gerakan Wahabi, ia mengirimkan undangan kepada umat
Islam di seluruh dunia untuk menghadiri Muktamar al-Alam al-Islami (Muktamar
Islam Sedunia) di Makkah tanggal 1 Juni 1926. Undangan kepada umat Islam
Indonesia segera ditangani oleh Komite Khilafah Pusat ( dibentuk 4 Oktober 1924
di Surabaya). Komite kemudian memanggil Al-Islam untuk mengadakan kongres
membicarakan undangan tersebut.9
Dalam kongres ke-5 Al-Islam yang kemudian dilangsungkan di Bandung
bulan Februari 1926, K.H. Abdul Wahab Chasbullah atas nama para ulama
tradisional menyampaikan sejumlah usul untuk diperjuangkan dalam muktamar di
Makkah. Usul terpenting adalah agar Raja Abdul Aziz Ibn Sa’ud tetap menghormati
kebiasaan-kebiasaan agama yang telah menjadi tradisi. Kebiasaan-kebiasaan itu
antara lain membangun kuburan, memelihara makam orang-orang suci, membaca
doa-doa ajaran mazhab seperti dalailul khairat.10
Pendapat yang berkembang dalam kongres ini ternyata tidak dapat menerima
usul para ulama tradisional tersebut, sehingga K.H. Wahab Chasbullahh dan ulama
tradisinal meninggalkan arena sidang. Muktamar terus berlangsung dan
memutuskan dua orang akan mewakili umat Islam Indonesia, masing-masih H.
Oemar Said Tjokroaminoto (Sarekat Islam) dan K.H. Mas Mansur
(Muhammadiyah). Apa yang berkembang dalam kongres ke-5 Al-Islam secara
9 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab PolitikNU dalam Sejarah, h. 5.
10 Basit Adnan, Kemelut di NU Antara Kiyai dan Politik, (Solo: CV Mayasari, 1982), cet.Pertama, h. 12.
52
substansi menunjukkan terjadinya kristalisasi dalam kehidupan umat Islam
Indonesia, yaitu adanya kutub pendukung gerakan pembaharuan dan kutub kaum
tradisionalis (pesantren).11
Kekecewaan Kiai Wahab Chasbullah dan kawan-kawan terhadap kongres ke-
5 Al-Islam berlanjut dengan menyatakan mengundurkan diri dari Komite Khilafah.
Kiai Wahab dan kawan-kawan sepakat untuk melanjutkan perjuangan ulama dan
membentuk wadah baru bagi pendukung ahlussunnah wal jama’ah. Akhirnya
dibentuk Comite Meremboek Hidjaz (Komite Hijaz) yang diketuai oleh Hasan
Gipo, dibantu Saleh Sjamil (wakil ketua), Moehammad Shadiq Setijo (sekretaris),
dan Abdoel Halim (wakil sekretaris). K.H. Abdul Wahab Chasbullah, K.H.
Masjhoeri, K.H. Cholil menjadi penasehat.12
Pada tanggal 31 Januari 1926 K.H. Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971)
dan K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) dari Pondok Pesantren
Tebuireng, Jombang (Jawa Timur) mengundang sejumlah ulama, untuk
mengadakan rapat pertama Komite Hijaz. Rapat pertama Hijaz menghasilkan dua
keputusan penting. Pertama, mengirim delegasi ke Mekah untuk bertemu langsung
dengan Raja Abdul Aziz Ibn Sa’ud, menyampaikan usul seperti yang diutarakan
K.H. Abdul Wahab Chasbullah dalam Muktamar Al-Islam di Bandung. Kedua,
membentuk suatu jam’iyyah sebagai wadah persatuan para ulama dan tugas
memimpin umat menuju tercapainya izzul islam lil alamin (kejayaan Islam dan
11 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung JawabPolitik NU dalam Sejarah, h. 5.
12 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung JawabPolitik NU dalam Sejarah, h. 6.
53
umatnya) menuju rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Pada tanggal 16
Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926 inilah wadah jam’iyyah yang
kemudian bernama Nahdlatul Ulama secara resmi terbentuk dan pada tanggal
tersebut selalu diperingati sebagai hari lahir Nahdlatul Ulama.13
Rapat Komite Hijaz tersebut menjadi peristiwa sangat bersejarah dan
bermakna monumental. Komite Hijaz merupakan embrio Nahdlatul Ulama.
Kehadiran wadah Nahdlatul Ulama sudah dinantikan oleh pengikut paham
ahlussunnah wal jamaah. Empat tahun kemudian Nahdlatul Ulama mendapat
pengakuan dari Gubernur Hindia Belanda, 6 Februari 1930. Kepengurusan
Nahdlatul Ulama dibentuk menyusul kelahiranya itu terdiri dari dua badan, yaitu
Syuriah dan Tanfidziyyah.
2. Garis Besar Pemikiran Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaanya kepada sumber ajaran
Islam: al-Qur’an, Sunnah, Ijma (kesepakatan para sahabat dan ulama), dan Qiyas
(analogi).
Dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam dari sumbernya diatas,
Nahdlatul Ulama mengikuti paham Ahlussunnah Wal Jamaah dan menggunakan
jalan pendekatan mazhab14:
13 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung JawabPolitik NU dalam Sejarah, h. 6-7.
14 As’ad Said Ali, Pergolakan di Jantung Tradisi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,2008), h. 24-30.
54
a. Dalam bidang aqidah, Nahdaltul Ulama mengikuti paham ahlusunnah wal
jamah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu
Mansur al-Maturidi.
b. Dalam bidang fikih, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (madzhab)
salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik Bin
Anas, imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal.
c. Dalam bidang tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti antara lain Imam Junaidi
al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali serta imam-imam lainya.
Selanjutnya kontruksi tauhid, fikih, dan tasawuf tersebut dirumuskan menjadi
etika sosial. Kontruksi penting dari hal ini adalah prinsip-prinsip dasar kalangan
nahdliyyin dalam kehidupan kemasyarakatan, yang dirumuskan sebagai berikut:15
a. Sikap tawassuth dan i’tidal (moderat dan adil)
b. Sikap tasamuh (toleran terhadap perbedaan)
c. Sikap tawazun (seimbang)
d. Amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebaikan mencegah kemungkaran)
Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama fitrah yang
bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Paham
keagamaan yang dianut Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai baik
yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti
suku maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.16
15 As’ad Said Ali, Pergolakan di Jantung Tradisi, h. 31.
16 Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU Buku I: Sejarah, Istilah,Amaliah, Uswah, h. 12.
55
3. Metode Penggalian Hukum Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama sebagai Ijtima’iyyah sekaligus gerakan Diniyah Islamiyah,
sejak awal berdirinya telah menjadikan Ahlussunah wal Jama’ah sebagai basis
teologi. Sejalan dengan mayoritas ulama, Nahdlatul Ulama mendasarkan paham
keagamaanya kepada empat pilar sumber ajaran Islam yaitu, al-Qur’an, hadist,
ijma’ dan qiyas.17
Sebagai implikasi dari pemahaman terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah,
maka dalam memahami dan meninstimbatkan hukum Nahdlatul Ulama mengikuti
salah satu dari empat mazhab. Maka dalam hal ini, Nahdlatul Ulama mengikuti
Mazhab Syafii yang dikenal moderat. Bahkan dewasa ini berlakunya ajaran tersebut
menjadi tujuan organisasi dan mengusahakannya di tengah-tengah kehidupan
beragama masyarakat Indonesia dengan memelihara ukhuwah islamiyyah.18Ini
disebabkan oleh beberapa hal berikut:19 Pertama, madzhab fikih yang dominan
sejak masa awal Islam di Nusantara adalah madzhab Syafi’i. Kedua, pengalaman
sejarah berabad-abad dari umat Islam di Indonesia menunjukkan bahwa fikih Islam
versi mazhhab Syafi’i lebih cocok diterapka di Indonesia.
Selain dengan dua alasan yang dijelaskan diatas, ditambah pula dengan
adanya semacam kode etik bermadzhab yang tidak diperkenkan talfiq (pemaduan
antara dua madzhab dalam dua masalah yang masih dalam satu paket amalan),
17 M. Mansyur Amin, Dialog Penmikiran, Islam dan Realitas Empirik, (Yogyakarta:LKPSM NU DIY, 1993), h. 163
18 Rozikin Daman, Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah,(Yogyakarta: Gama Media, 2001), h. 65-67
19 M. Mansyur Amin, Dialog Penmikiran, Islam dan Realitas Empirik, h. 164
56
sehingga membuat nahdlatul ulama semakin mantap dalam mengedepankan
madzhab Syafi’i.20
Kecendrungan Nahdlatul Ulama dalam mengadopsi madzhab Syafi’i ini
dapat dilihat dari rujukan yang dipakai oleh komisi bahtsul masail dalam
mempertimbankan suatu persoalan. Antara lain kitab al-Umm, Mukhtasar al-
Muzani, al-Wahi al-Kabir, al-Musnad, ar-Risalah, dan sebagainya. Kitab-kitab ini
di lingkungan Nahdlatul Ulama dikenal dengan sebutan al-Kutub al-Mu’tabarah.21
Jika dalam kitab-kitab ini tidak ditemukan jawaban atas persoalan yang ada, maka
dipakai kitab-kitab dari madzhab yang lain.
Selain itu perlu diketahui bahwa Nahdlatul Ulama dikenal dengan
bermadzhab qauly, yaitu mengambil langsung pendapat-pendapat dari kitab fikih
sebagai rumusan hukum Islam. Sepintas memang anakronis, bagaimana mungkin
menjawab persoalan kontemporer dengan solusi masa lalu, dimana masalah itu
belum muncul.22 Dalam hubungan ini maka tidak ada menjadi keraguan tentang
latar belakang mnculnya rumusan itu dan bagaimana pula proses metodologi yang
dilalui yang tentu saja menyangkut masalah-masalah dasar dan perangkat kaidah
hukum Islam baik berupa qawa’id fiqhiyyah maupun qawaid ushuliyah (ushul
fikih).23
20 Mansyur Amin, Dialog Penmikiran, Islam dan Realitas Empirik, h. 164.
21 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1996), h. 175.
23 Mansyur Amin, Dialog Penmikiran, Islam dan Realitas Empirik, h. 165.
57
Sebelum dibahas tentang bagaimana tentang metodologi penggalian hukum
oleh Nahdlatul Ulama , maka seyogyanya diketahui dahulu tentang istilah-istilah
berikut ini:24
1. Bermadzhab qauly adalah mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam
lingkungan suatu madzhab.
2. Bermadzhab secara manhaji adalah bermadzhab dengan mengikuti jalan
pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh Imam madzhab.
3. Istinbath adalah mengeluarkan hukum syara dari dalilnya dengan qawaid
ushuliyah dan qawaid fiqhiyyah.
4. Qauli adalah pendapat Imam madzhab.
5. Wajah adalah pendapat ulama Imam madzhab.
6. Taqrir jami’i adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap
satu diantara qaul/wajah.
7. Ilhaqi adalah menyamakan hukum sesuatu kasus/masalah yang belum dijawab
oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab
(menyamakan dengan pendapat yang sudah jadi).
Untuk menentukan hukum secara optimal serta selaras dengan kehendak
syariat dan umat, alhasil disusunlah sistem pengambilan keputusan bahtsul masail
diniyah Nahdlatul Ulama sebagai berikut:
a. Prosedur Penjawaban Masalah
24 KH. Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama NU,(Surabaya: Dinamika Press, 1997), h. 364
58
Keputusan bahtsul masail di lingkungan Nandlatul Ulama dibuat dalam
rangka bermadzhab kepada salah satu dari empat madzhab yang disepakati dan
mengutamakan bermadzhab qauli. Oleh kerena itu prosedur penjawaban
masalah disusun sebagai berikut:25
1. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana
terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakai qaul/wajah sebagaimana
diterangkan dalam ibarat tersebut.
2. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan disana lebih
dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih satu
qaul/wajah.
3. Dalam qaus tidak ada qaul/wajah sama sekali yang meberikan penyelesain,
maka dilakukan prosedur ilhaqul masai’il binadhairiha secara jama’i oleh
para ahli.
4. Dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama seklai dan tidak mungkin dilakukan
ilhaqi, mak bisa dilakukan istinbath jama’i dengan prosedur bermadzhab
secara manhaji oleh para ahli.
b. Hierarki dan Sifat Keputusan Bahtsul Masail
1. Seluruh keputusan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama yang
diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam keputusan ini maka
baik diselenggrakan di dalam ataupun di luar organisasi mempunyai
kedudukan yang sederajat dan tidak saling membatalkan.
25 Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung,(Jakarta: Lajnah Ta’lif Wanasyr PBNU, 1992), h. 5-6
59
2. Suatu hasil keputusan bahtsul masail dianggap mempunyai kekuatan daya
ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus Besar Syuriyah Nahdlatul
Ulama tanpa harus menunggu Munas Ulama maupun Muktamar.
3. Sifat keputusan bahtsul masail tigkat Munas dan Muktamar adalah:
a) Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
b) Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai dampak
yang luas dan segala bidang.
Adapun cara pelaksanaan pemilihan qaul/wajah, ilhaqi dan istinbath juga
dicantumkan dalam hasil Munas Lampung tahun 1997, yaitu:26
1. Prosedur pemilihan qaul/wajah
a. Ketika dijumpai qaul/wajah dalam satu masalah yang sama maka
dilakukankan usaha memilih salah satu pendapat.
b. Pemilihan salah satu pendapat dilakukan dengan:
1) Mengambil pendaat yang lebih maslahat atau yang lebih kuat
2) Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar Nahdlatul
Ulama 1, bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih:
a) Pendapat yang disepakati oleh Asy-Syaikhani (an-Nawawi dan Rafi’i).
b) Pendapat yang dipegangi oleh an-Nawawi saja
c) Pendapat yang dipegangi oleh al-Rifa’i saja
d) Pendapat yang didukung oleh ayoritas ulama
e) Pendapat ulama yang terpandai
26 Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung, h. 5-6
60
f) Pendapat ulama yang paling wara’
2. Prosedur ilhaqi
Dalam hal ketika suatu masalah belum dipecahkan dalam kitab dimana
masalah tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaq al-masail bil nadhairihi
secara jama’i. Ilhaq dilakukan denan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilaihi
dan wajhul ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.
3. Prosedur istinbath
Dalam hal ketika tidak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya ilhaq
bih dan wajhul ilhaq sama sekali dalam kitab, maka dilakukan istinbath secara
jama’i, yaitu memperhatikan qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyah oleh para
ahlinya.
4. Pendekatan Dakwah Nahdlatul Ulama
Dalam pendekatan dakwahnya Nahdlatul Ulama banyak mengikuti dakwal
model Walisongo, yaitu menyesuaikan dengan budaya masyarakat setempat dan
tidak mengandalkan kekerasan.27 Budaya yang berasal dari suatu daerah ketika
Islam belum datang bila tidak bertentangan dengan agama, maka akan terus
dikembangkan dan dilestarikan. Sementara budaya yang jelas bertentangan
denggan agama ditinggalkan.
Karena identiknya gaya dakwah ala Walisongo itu, nama Walisongo melekat
erat dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama, sehingga dimasukan ke dalam bintang
27 Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU Buku I: Sejarah, Istilah,Amaliah, Uswah, h. 12.
61
sembilan lambang Nahdlatul Ulama. Maka secara garis besar pendekatan
kemasyarakatan Nahdlatul Ulama dikategorikan kedalam tiga bagian28:
a. Tawassuth dan I’tidal, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip
keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk pendekatan dangan
tatharruf (ekstrim).
b. Tasamuh, yaitu sikap toleran yag berisikan perhargaan terhadap perbedaan
pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat.
c. Tawazun, yaitu sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya
keserasian hubungan anatara sesama manusia dan antara manusia dengan
Allah SWT.
Karena prinsip dakwah yang model Walisongo itu, Nahdlatul Ulama dikenal
sebagai pelopor Islam moderat. Kehadirannya bisa diterima oleh semua kelompok
masyarakat. Bahkan sering berperan sebagai perekat bangsa.
5. Nahdlatul Ulama dan Politik
Perjuangan memeperoleh kemerdekaan Indonesia merupakan orientasi
berbagai organisasi pergerakan dan keagamaan, tak terkecuali Nahdlatul Ulama.
Realitas inilah yang agaknya memaksa Nahdlatul Ulama untuk bergulat di ranah
politik, bukan hanya berkutat pada kegiatan sosial semata. Persentuhan dengan
berbagai organisasi pergerakan pun tak terelakkan. Terutama dengan organisasi
dengan basis agama Islam, seperti Muhammadiyah, PSII, Persatuan Umat Islam
(PUI), Al-Islam dan Al-Irsyad.29
28 Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU Buku I: Sejarah, Istilah,Amaliah, Uswah, h. 13.
29 Basit Adnan, Kemelut di NU Antara Kiyai dan Politik, h. 12.
62
Kesadaran akan pentingnya persatuan dalam perjuangan mewujudkan
kemerdekaan mendorong berbagai organisasi Islam tersebut bersatu padu untuk
membentuk sebuah wadah bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang
berdiri pada tanggal 21 September 1937.30 Eksistensi MIAI pasca penjajahan
Belanda masih diakui oleh Jepang. Berbagai kebijakan Jepang banyak yang
menguntungkan umat Islam. Untuk lebih mengarah pada tujuan yang disesuaikan
dengan perkembangan zaman, MIAI kemudian diubah menjadi Majellis Syura
Muslimin Indonesia yang disingkat dengan Masyumi. Salah seorang pelopornya
adalah Abdul Wahid Hasyim.
Pada perkembangan selanjutnya terjadi perbedaan pendapat dalam tubuh
Masyumi. Ketidaksepahaman kebijaksanaan politik menghadapai Belanda dalam
perjanjian Linggarjati dan Renvile dan konflik sekitar distribusi kekuasaan
membuat Masyumi goyah.31 Nahdlatul Ulama yang dari awal ingin menjadi tulang
punggung partai Masyumi mencabut dukunganya dan mendirikan partai sendiri.
Keluarnya Nahdlatul Ulama ini dituangkan dalam surat keputusan Muktamar ke-
19 yang berlangsung di Palembang pada 28 April-1 Mei 1952. Pada muktamar
itulah Nahdlatul Ulama secara resmi menjadi partai politik32
30 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1994), h.99.
31 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung JawabPolitik NU dalam Sejarah, h. 16.
32 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung JawabPolitik NU dalam Sejarah, h. 16-17.
63
Perjalanan Nahdlatul Ulama di ranah politik mengukir sejarah monumental.
Pemilu pertama yang diselenggrakan pada tahun 1995 adalah momen show of force
bagi Nahdlatul Ulama. Dengan dukungan kader-kader muda berkualitas, Nahdlatul
Ulama menduduki posisi tiga besar, setelah PNI dan Masyumi. Keberhasilan ini
menjadikan Nahdlatul Ulama kembali diperhitungkan dalam kancah perpolitikan di
Indonesia. Pada era inilah, tepatnya malui Musyawarah Nasional Ulama pada tahun
1957, Nahdlatul Ulama mengeluarkan fatwa waliyyu al-amri adh-dharuri
bisyaukah untuk pemerintahan Presiden Soekarno. Derap langkah Nahdlatul Ulama
pun semakin mantap dan diperhitungkan. Pada masa pergolakan, yakni tahun 1960-
an, Nahdlatul Ulama mengambil peran signifikan dalam proses menyelamatkan
bangsa dan negara. Sumbangan terbesar Nahdlatul Ulama ditunjukan dengan peran
signifikannya dalam penumpasan pemberontakan G 30 S PKI. 33
33 Arief Mudatsir Mandan, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung JawabPolitik NU dalam Sejarah, h. 17.
64
BAB IVPEMIMPIN NON MUSLIM DALAM PANDANGAN NAHDLATUL
ULAMA DKI JAKARTA
A. Pemimpin Non-Muslim dalam Putusan Muktamar Lirboyo Tahun 1999
Aksi penolakan-penolakan yang dilakukan oleh sebagian ormas-ormasi Islam
terhadap pemimpin Gubernur non-Muslim di DKI Jakarta dan di kota-kota lain di
Indonesia semakin masif dilakukan menjelang Pilkada pemilihan Gubenur dan
Wakil Gubernur DKI Jakarta. Hal yang malatarbelakangi aksi penolakan-penolakan
ini adalah adanya pemahaman dari sebagin umat Islam terhadap larangan
mengangkat pemimpin non-Muslim di dalam Al-Quran. Salah satu ormas Islam,
yaitu FPI memahami bahwa ayat-ayat yang melarang mengangkat pemimpin non-
Muslim adalah bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar lagi.
Namun ada juga ormas Islam, yaitu Nahdlatul Ulama yang tidak
menyuarakan pandanganya akan larangan memilih pemimpin non-Muslim atau
melakukan aksi penolakan seperti yang dilakukan FPI dan ormas lainya yang
menolak pemimpin non-Muslim. Sudah barang tentu ini menjadi tanda tanya dari
umat Islam termasuk dari warga Nahdliyin sendiri, bagaimana sikap dan pandangan
Nahdlatul Ulama terhadap pemimpin non-Muslim. Ketika Nahdlatul Ulama tidak
menentukan sikap larangan atau kebolehan memilih pemimpin non-Muslim maka
warga umat Islam atau warga Nahdliyin DKI Jakarta akan kebingungan untuk
menentukan pilihanya pada Pilkada pemilihan Gubernur di DKI Jakarta.
Menjelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di DKI Jakarta,
pertarungan memperebutkan pemilih berlangsung sangat keras. Salah satu yang
suara yang diperebutkan adalah massa dari kalangan nahdliyin atau warga
65
Nahdlatul Ulama di DKI Jakarta. Suara massa Nahldatul Ulama memang menjadi
rebutan, karena salah satu karakteristik warga Nahdlatul Ulama adalah petronase
santri-kiai yang kuat. Apa yang menjadi keputusan kiai biasanya selalu diamini
sebagai kebenaran oleh santri. Karena itu dalam pandangan politisi, dengan
mendekati kiai Nahdlatul Ulama, diharapkan warganya akan mengikuti.1
Jauh sebelum isu pemimpin non-Muslim pada Pilkada pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubenur di DKI Jakarta, ternyata Nahdlatul Ulama sudah memiliki
keputusan terkait memberikan kekuasaan kenegaraan kepada non-Muslim,
termasuk hal kepemimpinan. Pembahasan tantang pandangan Nahdlatul Ulama
terhadap pemimpin non-Muslim ada pada hasil Muktamar ke-30 tahun 1999 di
Lirboyo. Dengan adanya pertanyaan bagaiman hukum memberikan urusan
kenegaraan kepada non-Muslim. sehingga lahirlah keputusan bahwa melarang
memberikan urusan kenegaraan kepada non-Muslim kecuali dalam keadan
darurat.2Keputusan inilah yang menjadi rujukan bagi warga Nahdliyin dalam
menetukan pilihan Gubernur pada Pilkada DKI Jakarta.
Maka kaitanya dengan persoalan mengangkat pemimpin non-Muslim,
keadaan darurat yang dimaksud ada tiga poin. Pertama dalam bidang-bidang yang
tidak bisa diatangani sendiri oleh orang Islam secara langsung atau tidak langsung.
Karena faktor kemampuan. Kedua, dalam bidang-bidang yang ada orang Islam
berkemampuan untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang
1 https://nusantara.news/dukungan-pkb-terhadap-ahok-pembangkangan-santri-kepada-kiai. Berita diakses pada 20 April 2017.
2 Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-30 tanggal 21-27 November di PondokPesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur.
66
bersangkutan khianat. Ketiga, sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada
non-Muslim itu nyata membawa manfaat. Dengan catatan bahwsanya orang non-
Muslim yang dimaksud adalah berasal dari kalangan ahlu dzimmah dan harus ada
mekanisme kontrol yang efektif.3
Dalam kaidah fikih ada kaidah yang berbunyi Adh-Dharuratu Tubihu
Mahzhurat (keadaan darurat memperbolehkan melakukan yang dilarang). Adh-
Dharurat adalah jamak dari kata dharurah, yang secara bahasa diartikan keadaaan
yang sangat sulit dan merupakan ism mashdar dari kata al-idhthirar. Misalnya
dikatakan Hamalatni adh-dharurarh ala kadza wa kadza (kesulitan itu membuatku
melakukan begini dan begitu).4
Adh-Dharurah dalam istilah syariat Islam adalah keadaan yang memaksa
untuk melakukan apa yang dilarang oleh syariat Islam. Sebagian fukaha
mendefenisikan bahwa ia adalah keadaan seseorang yang sampai pada batas yang
apabila dia tidak melakukakan apa yang dilarang, maka dia binasa atau hampir mati.
Sedangkan defenisi al-manzhurat adalah segala sesuatu yang dilarang oleh syariat
Islam, atau sesuatu yang diharamkan oleh syariat Islam.5
Kitab-kitab yang dipakai oleh Nadhlatul Ulama untuk menjadi rujukan dalam
menetapkan tentang larangan memberikan kekuasaan kenegaraan kepada non-
3 Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-30 tanggal 21-27 November di PondokPesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur.
4 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupa Sehari-Hari, terj.Muhyiddin Mas Rida, (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), h. 108.
5 Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupa Sehari-Hari, h. 108-109.
67
Muslim dan dibolehkan dalam kodisi darurat adalah kitab-kitab Mu’tabarah, antara
lain, pertama kitab at Tuhfah li-Ibnu Hajar al-Haitsamiy, dalam kitab ini dijelaskan
bahwasanya orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir dzimmi
atau lainya kecuali jika sudah sangat terpaksa. Didalam kitab itu juga dijelaskan
menurut dhahir pendapat mereka, bahwa meminta bantuan kepada orang kafir
tersebut tidak diperbolehkan walupun dalam kedaan darurat. Namun dalam penutup
disebutkan tentang kebolehan meminta bantuan jika memang darurat.6
Dalam kitab al-Syarwani ‘Alat Tuhfah, dijelaskan bahwa jika suatu
kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh
orang lain dari kalian umat Islam atau tampak adanya penghianatan pada si
pelaksana dari kalangan umat Islam dan aman ditangan kafir dzimmi, maka boleh
menyerahkanya karena dharurat. Namun demikian, bagi pihak yang menyerahkan
harus ada pengawasan terhadap orang kafir tersebut dan mampu mencegahnya dari
adanya gangguan terhadap siapapun dari kalangan umat Islam.7
Dalam tataran fikih siyasah, Nahdlatul Ulama mengambil pertimbangan
hukum dari kitab al-Ahkam As-Sulthaniyyah Imam al-Mawardhi. Dalam kitab
tersebut dijelaskan bahwasanya Imam al-Mawardhi berpendapat tentang Wazir
Tanfidz yang tidak diisyaratkan harus Muslim, sehingga menguasai hukum-hukum
6 Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-30 tanggal 21-27 November di PondokPesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur.
7 Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-30 tanggal 21-27 November di PondokPesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur.
68
syar’i pun tidak harus dipenuhi. 8 Penulis melihat bahwa pernyataan ini memiliki
isyarat bahwa tidak mutlak orang non-Muslim dilarang diberikan jabatan kekuasaan
kenegaraan.
Rais Syuriyah Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta Mahfudz
Asirun juga menyatakan bahwa kondisi yang dikatakan dharurat adalah ketika di
suatu negara mayoritas orang kafir kemudian orang Islam sedikit, dan kalau tidak
memilih terancam, dalam kondisi ini boleh memilih pemimpin yang non-Muslim
tersebut secara zahirnya saja, namun bathinya tidak.9 Atau dengan kata lain
sebagaimana yang dijelaskan oleh Mujar Ibnu Syarif, diberi dispensasi untuk
bertaqiyyah dihadapan orang-orang kafir secara zahir, tidak dalam bathin dan niat.
Ini juga pendapat dari ulama klasik seperti Ibnu Katsir, al-Jashshash, Ali al-Sayis
dan Wabah al-Zuhaili.10 Ini dilakukan hanya demi alasan keselamatan agama dan
jiwa .
Dalam hasil muktamar dijelaskan bahwa orang non-Muslim yang diberikan
keuasaan itu harus dari kalangan ahlul zhimmah. Menurut Mahfudz Asirun Pada
dasarnya sekarang tidak ada lagi kaum ahlul dzimmah. Karena pada teori dalam
fikih, ahlul dzhimmah adalah orang non-Muslim yang hidup di negara Islam yang
8 Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-30 tanggal 21-27 November di PondokPesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur. Lihat juga Al-Mawardhi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, terj.Fadli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2006), h. 47-48 .
9 Wawancara dengan KH. Mahfud Asirun An-Nadawy (Rais Syuriyah PWNU DKIJakarta) pada tanggal 24 April 2017 pukul 22.07 wib.
10 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, (Jakarta: Pustaka SinarHarapan, 2006) h. 97.
69
dikenakan pajak (membayar jizyah) dan tunduk pada aturan yang diberlakukan oleh
pemerintahan Islam.11 Hanya saja jika implikasinya pada konteks kekinian atau
lebih khusus pada konteks keindonesia, maka orang non-Muslim yang disebut
dengan ahlul dhimmah adalah yang dilindungi oleh negara dan mematuhi aturan
yang ada di negara Indonesia.
Lebih lanjut Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Samsul Ma’arif
menjelaskan bahwa tidak semua teori di dalam fikih itu diterapkan sama persis
dengan zaman dulu. Karena sekarang teori yang berkembang adalah teori
kebangsaan dan demokrasi, warga negara tidak dikualifikasi berdasarkan agama,
ras, dan golongan.12 Hak dan kewajiban warga negara sama dalam konteks hukum,
termasuk dalam membayar pajak. Jadi teori zaman dulu orang Islam wajib bayar
zakat, non-Muslim bayar pajak, tapi teori ini tidak diterapkan dalam kondis negara
Indonesia. Jadi Samsul Maarif menyatakan, kafir dzimmi itu adalah orang non-
Muslim yang taat dalam perundang-undangan, bisa mencontohkan kerukunan
dalam beragama, tidak melakukan perlawanan, saling menghormati kehidupan
beragama.13Jadi penulis melihat bahwa dalam konteks kekinian dan keindonesian
perihal ahlul dzimmah ini sangat erat kaitanyat dengan dinamika perkembangan
sosial politik yang terjadi di negeri Muslim.
11 Wawancara dengan KH. Mahfud Asirun An-Nadawy (Rais Syuriyah PWNU DKIJakarta) pada tanggal 24 April 2017 pukul 22.07 wib.
12 www.nu.or.id. Berita diakses pada 20 April 2017
13 Wawancara dengan Samsul Ma’arif (Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Jakarta),pada tanggal 03 Mei 217 pukul 05.53 Wib.
70
Ketika kekuasaan urusan kenegaraan diberikan kepada non-Muslim, maka
dalam keputusan muktamar itu harus ada mekanisme kontrol yang efektif. Maka
inilah tugas para ulama. Para ulama berkewajiban memberikan masukan dan saran
kepada pemerintah. Karena umara dan ulama dalam sebuah negara harus saling
berkaitan antara satu dengan yang lain. Baik dan buruknya sebuah negara serta
masyarakat yang dipimpin tergantung bagaimana keharmonisan hubungan antara
ulama dan umara.14Hubungan ini bukan hanya hubungan silaturrahim dan
sebagainya, tetapi lebih kepada hubungan politis yang terkait dengan kebijakan-
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah harus ada peran ulama.
Ketika dalam kondisi umat Islam sudah terlanjur dipimpin oleh non-Muslim,
maka umat Islam harus menerima kepemimpinan itu. Tetapi tidak mutlak menerima
dengan sepenuh hati. Umat Islam boleh menerima secara zahirnya saja, sedangkan
dalam bathin tetap menolak terhadap pemimpin non-Muslim tersebut.15 Kerena
kalau berontak, syarat-syaratnya dirasa belum cukup, maka lebih diutamakan
keselamatan dari pada pertumpahan darah.
Terkait polemik pemilihan Gubernur DKI Jakarta, salah satu badan otonom
dari Nahdlatul Ulama, GP Anshor membuat bahtsul masail dengan hasil bahwa
umat Islam dibolehkan mengangkat pemimpin non-Muslim,16 karena dianggap
14 Wawancara dengan KH. Mahfud Asirun An-Nadawy (Rais Syuriyah PWNU DKIJakarta) pada tanggal 24 April 2017 pukul 22.07 wib.
15 Wawancara dengan KH. Mahfud Asirun An-Nadawy (Rais Syuriyah PWNU DKIJakarta) pada tanggal 24 April 2017 pukul 22.07 wib.
16http://m.tribunnews.com/nasional/2017/03/12/boleh-memilih-pemimpin-non-muslim-hasil-keputusan-bahtsul-masail-gp-ansor. Berita diakses pada 20 April 2017.
71
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), setiap warga negara
bebas menetukan pilihan politiknya dalam memilih pemimpin tanpa memandang
latar belakang agama yang dianutnya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa terpilihnya
non-Muslim di dalam kontestasi politik berdasarkan konstitusi adalah sah, baik
secara konstitusi maupun agama.
Menanggapi hasil bahtsul masail GP Anshor tersebut, Rais Syuriyah
Nahdlatul Ulama DKI Jakarta Mahfudz Asirun menegaskan bahwa hasil bahtsul
masail yang diselenggarakan tersebut tidak bisa dijadikan dalil dan tidak bisa
membatalkan hasil Muktamar. Karena dalam pembahasan muktamar dibahas oleh
ulama Nahdlatul Ulama berskala nasional se-Indonesia, dan mereka memang
memiliki keilmuan yang mumpuni dalam hal tersebut. Sehingga keputusan hasil
muktamar ini tetap dipakai sampai sekarang untuk dijadikan rujukan oleh ulama-
ulama Nahdlatul Ulama dalam menghukumi polemik pemimpin non-Muslim.17
B. Pro dan Kontra Pemimpin Non Muslim dalam Pandangan PWNU DKI
Jakarta
Dalam konteks pemilihan Gubenur DKI Jakarta, Mahfudz Asirun memahami
bahwasanya umat Islam dilarang memberikan kekuasan kepada non-Muslim
kecuali dalam kondisi darurat aja, seperti keputusam Muktamar.18 Selagi masih ada
calon pemimpin dari yang muslim kenapa harus memilih pemimpin yang non-
17 Wawancara dengan KH. Mahfud Asirun An-Nadawy (Rais Syuriyah PWNU DKIJakarta) pada tanggal 24 April 2017 pukul 22.07 wib.
18 http://m.tribunnews.com/metropolitan/2017/04/16pwnu-jakarta-memilih-pemimpin-muslim-sesuai-muktamar-lirbooyo. Berita diakses pada 30 Mei 2017.
72
Muslim, karena kondisi dharurat belum dipenuhi dalam konteks pemilihan
Gubernur di DKI Jakarta. Alhasil Mahfudz Asirun menegaskan dukunganya serta
menyerukan agar umat Islam nahdliyin DKI memilih pemimpin yang Muslim dan
beriman.19Lebih lanjut meskipun atasan atau bawahanya mungkin saja mengatakan
bahwa Nahdlatul Ulama mendukung non-Muslim, yang jelas Rais Syuriyah
Nahdlatul Ulama DKI tidak mendukung gubernur non-Muslim. Mahfudz Asirun
menyampaikan ini karena merasa kewajiban dan merasa terpanggil, jangan sampai
warga Nahdliyin mendukung dan memilih Gubenur non-Muslim.
Mahfudz Asirun menambahkan bahwa, PWNU DKI Jakarta tidak mau neko-
neko, dan seharusnya bersikap sami’na wa atho’na dengan keputusan dan ketetapan
yang disepakati syuriyah dan sesepuh ulama seluruh Indonesia. Karenanya, ia
menilai ini harus menjadi keputusan bagi warga Nahdlatul Ulama atau Nahdliyin.
Hasil muktamar itu menjadi panduan terbaik bagi warga Nahdlatul Ulama dan umat
Islam.20
Lebih lanjut Mahfudz Asirun menjelaskan bahwa sebagai ormas Islam
terbesar, Nahdlatul Ulama harus menentukan sikap walaupun secara struktural
tidak berpolitik praktis. Maka dari itu warga Nahdlatul Ulama harus diarahkan dan
diberi pilihan arah memilih mereka. Pada dasarnya Nahdlatul Ulama sebenarnya
19 http://m.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/08/12/99237/kh-mahfudz-asirun-nu-dki-dukung-gubernur-muslim-beriman.html. Diakses pada 30 Mei 2017.
20 http://m.tribunnews.com/metropolitan/2017/04/16pwnu-jakarta-memilih-pemimpin-muslim-sesuai-muktamar-lirbooyo. Diakses pada 30 Mei 2017.
73
sudah mengetahui mengenai keputusan Muktamar Lirboyo, sehingga tidak perlu
ditafsirkan yang memang sudah final.21
Penulis melihat bahwa di samping alasan Mahfudz Asirun menolak Gubernur
non-Muslim dengan rujukan putusan Muktamar Lirboyo, ada sisi lain yang bersifat
politik yang cukup mempengaruhi pernyataanya tersebut. Sebagaimana yang
dikabarkan oleh salah satu media massa elektronik bahwa Mahfudz Asirun
menggunakan hak politiknya mendukung calon gubernur Muslim yaitu Anis
Baswedan pada putaran kedua pilkada pemilihan Gubernur DKI Jakarta.22 Namun,
perlu diketahui bahwa pada pilkada putaran pertama, Mahfudz Asirun tidak
mendeklarasikan dukungan kepada Anis Baswedan.
Meskipun Nahdlatul Ulama tidak berpolitik praktis, sebagaimana yang
Mahfudz Asirun tegaskan, namun ia pribadi sebagai Rais Syuriyah PWNU DKI
mendeklarasikan dukungannya kepada calon Gubernur Muslim Anis Baswedan.
Penulis melihat bahwa, meskipun Mahfudz Asirun mendeklrasikan dukunganya
bukan mewakili PWNU DKI Jakarta secara keseluruhan. Pernyataan ini cukup
mempengaruhi pilihan warga nahdliyin dan umat Islam DKI umumnya dalam
menentukan hak poilitik mereka, karena ia merupakan seorang tokoh serta Rais
Syuriyah PWNU DKI Jakarta.
21 http://m.republika.com.id/berita/nasional/politik/17/04/16/oogk1f385-patuhi-muktamar-lirboyo-pwnu-dki-serukan-nahdliyyin-pilih-gubernur-seiman. Diakses pada tanggal 30 Mei 2017.
22 http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/04/14/ood9ix284-secara-kultural-nu-dki-mendukung-penuh-aniessandi. Diakses pada tanggal 5 Juni 2017. Lihat juga berita dihttp://pilkada.tempo.co/read/news/2017/04/16/348866456/rais-syuriyah-nu-dki-jakarta-dukung-anies-sandi.
74
Wakil Ketua Tanfidziyah Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta
Munahar Mukhtar ketika mengomentari acara Istighosah Kebangsaan Nahdliyin
DKI Jakarta yang dihadiri oleh calon Gubernur non-Muslim Basuki Tjahya
Purnama menegaskan bahwa acara tersebut tidak mencerminkan sikap politik
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta. Ia menegaskan bahwa acara
tersebut digelar tanpa sepengetahuan pengurus dan bukan acara PWNU DKI
Jakarta.23 Lebih lanjut Munahar Mukhtar membantah PWNU dan warga Nahdliyin
mendukung calon Gubenur non-Muslim.24
Munahar Mukhtar menegaskan bahwa warga Nahdliyin masih sakit hati
dengan perlakuan Basuki Tjahya Purnama dan penasehat hukumnya terhadap Rais
Aam PBNU KH. Ma’ruf Amin pada sidang kasus penodaan agama oleh calon
Gubernur non-Muslim tersebut. PWNU DKI juga mendukung pernyataan tegas
Ketua Tanfidziyyah PBNU Said Aqil Siradj yang menyatakan Basuki Tjahya
Purnama bersalah terhadap Rais Aam PBNU. Munahar memastikan telah
mengantongi nama-nama pengurus yang hadir dalam acara istigosah tesebut dan
telah melaporkan nama-nama itu ke PBNU serta akan memberi sanksi tegas.25
Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta juga resmi megeluarkan
maklumat yang melarang pengurus dan warga Nahdliyin memilih calon Gubernur
non-Muslim di Pilkada DKI Jakarta. Menurut Munahar maklumat ini jauh lebih
23 https://m.detik.com/news/berita/d-3414804/kata-ahok-soal-istigasah-nahdliyin-yang-disoal-pwnu-dki . Diakses pada 30 Mei 2017.
24 http://tirto.id/disebut-dukung-ahok-pwnu-dki-masih-sakit-hati-cirJ. Diakses pada 30 Mei2017.
25 http://tirto.id/disebut-dukung-ahok-pwnu-dki-masih-sakit-hati-cirJ. Diakses pada 30 Mei2017.
75
tegas dibandingkan dengan maklumat bersifat himbauan yang dikeluarkan PBNU.
Ia kembali menegaskan bahwa seluruh warga Nahdliyin DKI Jakarta tidak boleh
memilih calon Gubernur non-Muslim karena telah menyakiti hati Rais Aam.26
Dari penyataan Munahar Mukhtar ini dapat dilihat bahwa keputusan untuk
menolak calon gubernur non-Muslim di samping pertimbangan putusan Muktamar
Lirboyo, ada faktor lain yang ikut mempengaruhi. Faktor yang mempengaruhi
Munahar Mukhtar dan PWNU DKI Jakarta adalah faktor primordial kultural
Nahdlatul Ulama, yaitu Munahar tidak bisa menerima tindakan tidak pantas dan
intimidasi calon gubernur non-Muslim DKI terhadap Rais Aam PBNU KH. Ma’ruf
Amin pada persidangan kasus penodaan agama oleh calon gubernur non-Muslim
tersebut.
Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Majelis Syura PWNU DKI Yusuf
Aman mengatakan bahwa Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta
memutuskan tidak akan memberikan dukungan kepada Basuki Tjahya Purnama
dalam pemilihan Gubenur DKI Jakarta. Ia menjelaskan bahwa masyarakat harus
dibantu dibukakan hatinya, agar mengetahui kondisi pemerintahan yang seutuhnya,
bukan hanya sepotong-sepotong, dan masyarakat harus mulai diajak untuk berfikir
kritis.27 Ia juga menjelaskan bahwa PWNU tentu tidak masuk ke wilayah politik
praktis, karena memang secara struktural Nahdlatul Ulama tidak boleh berpolitik,
26 http://tirto.id/disebut-dukung-ahok-pwnu-dki-masih-sakit-hati-cirJ. Diakses pada 30 Mei2017.
27 http://m.forum.detik.com/umat-islam-bersatu-nahdlatul-ulama-dki-tolak-ahok-di-pilkada-2017-t1386847.html. Diakses pada 30 Mei 2017.
76
tetapi secara kultural suara arus bawah Nahdlatul Ulama menolak calon Gubernur
non-Muslim.28
Sebagaimana yang dikabarkan oleh salah satu media massa, bahwa Yusuf
Aman menyatakan miris dengan jalannya pemerintahan di lingkungan
pemerintahan DKI, di mana menurutnya pola kepemimpinan yang dijalankan
begitu gaduh dan jauh dari kesejukan. Oleh karena itu ia menegaskan bahwa situasi
politik di ibu kota memang mebutuhkan perhatian dari semua pihak. Karenanya
Yusuf meminta agar kedepan masyarakat DKI bersatu padu dan sama-sama berfikir
bagaimana membangun Jakarta yang lebih baik kedepanya.29
Hal yang menjadi perhatian penulis adalah pernyataan ini dikeluarkan oleh
Yusuf Aman ketika sela-sela silaturrahmi DPD Partai Gerindra DKI Muhammad
Taufik dengan Pimpinan Pengurus Harian PWNU DKI Jakarta. Perlu diketahui
bahwa Partai Gerindara adalah salah satu partai besar pendukung calon Gubernur
Muslim di Pilkada DKI Jakarta. Penulis melihat bahwa pernyataan ini sarat akan
muatan politik dan kepentingan, karena secara tidak langsung partai politik justru
mengharapkan dukungan itu. Ditambah lagi dengan sikap Yusuf Aman yang tidak
sungkan mengamini statemen ketua DPD Gerindara DKI yang berkeyakinan bahwa
warga nahdliyin DKI tidak akan mendukung calon Gubernur non-Muslim.
28 http://www.jurnalmuslim.com/2016/pwnu-dki-jakarta-warga-nu-jakarta-tolak-ahok-menjadi-gubernur-di-pilgub-2017.html?m=1. Diakses pada 31 Mei 2017.
29 http://m.forum.detik.com/umat-islam-bersatu-nahdlatul-ulama-dki-tolak-ahok-di-pilkada-2017-t1386847.html. Diakses pada 5 Juni 2017.
77
Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DKI Jakarta Samsul Ma’arif juga
mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama sudah lama memiliki keputusan haram
memilih pemimpin non-Muslim, sebagaimana yang tercantum di dalam hasil
Muktamar Lirboyo Tahun 1999. Menurut Samsul Ma’arif, keputusan bahtsul
masail Nahdlatul Ulama itu satu tingkatan dengan fatwa MUI. Hanya saja istilah
yang dipakai berbeda, jika di MUI disebut dengan fatwa kalau di Nahdlatul Ulama
disebut dengan keputusan bahtsul masail.30
Lebih lanjut Samsul Ma’arif menjelaskan bahwa keputusan bahtsul masail
hasil muktamar tesebut disepakati oleh para kiai di Syuriyah Nahdlatul Ulama dan
para kiai-kiai yang lain dan menjadi pegangan bagi warga Nahdlatul Ulama. Ia
menegaskan bahwa jika ada orang Nahdlatul Ulama yang justru memilih pemimpin
non-Muslim, berarti ia tidak mengikuti hasil muktamar. Namun Samsul
menekankan harus memilih pemimpin Muslim, karena masih ada calon pemimpin
yang Muslim. Memilih pemimpin non-Muslim hanya boleh jika tidak ada calon
pemimpin Muslim.31
Dalam konteks pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta,
Samsul Ma’arif menambahkan secara institusional Nahdlatul Ulama tidak
mendukung salah satu calon. Namun, sesuai dengan pandangan Rais Aam PBNU,
pengecualian kondisi dharurat dalam hasil Muktamar Lirboyo tersebut tidak
30 http://www.wartapilihan.com/nu-dki-haram-pilih-pemimpin-non-muslim/. Diaksespada 31 Mei 2017.
31 http://www.wartapilihan.com/nu-dki-haram-pilih-pemimpin-non-muslim/. Diaksespada 31 Mei 2017.
78
berlaku di Pilkada DKI Jakarta, karena masih adanya calon gubernur yang
Muslim.32
Berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya Katib Syuriyah PWNU DKI
Jakarta Ahmad Zahari menghimbau agar masyarakat memilih pemimpin yang
sesuai dengan keinginan hati nuraninya, bukan berdasarkan desakan atau anjuran
siapa pun, apalagi bersifat memaksa. Sementara itu terkait isu agama yag sering
dimainkan dalam Pilkada DKI Jakarta, ia hanya meyakini bahwa ajaran agama
selalu menganjurkan pada kebaikan, tetapi harus dipisahkan dengan memilih
pemimpin dalam konteks Pilkada di Indonesia, sebab persoalan pilihan tergantung
pada individu masing-masing.33
Sedangkan terkait tempat ibadah yang dijadikan sebagai ajang kampanye dan
menyerang mereka yang berbeda penafsiran dalam kebolehan memilih pemimpin
non-Muslim, Ahmad Zahari mengingatkan bahwa rumah ibadah adalah tempat
umum sehingga sebaiknya tidak digunakan sebagai sarana melakukan orasi politik,
terlebih khutbah keagamaan yang bersifat takfiri dan bernada kebencian. Masjid
adalah untuk rumah bersama, siapa saja tidak hanya untuk satu pengikut atau
pendukung calon Gubernur. Ia mengimbau kalau dalam msjid mestinya umum-
32 http://m.suara.islam.com/read/kabar/nasional/21759/NU-DKI-Tegaskan-Pemimpin-Kenegaraan-tidak-Boleh-Non-Muslim. Diakses pada 31 Mei 2017.
33 http://www.nu.or.id/post/read/76582/imbauan-pwnu-dki-jakarta-terkait-pilkada.Diakses pada 31 Mei 2017.
79
umum saja (khutbah), karena tidak hanya satu orang atau kelompok. Khutbah
keagamaan jangan dijadikan alat kampanye kebencian untuk yang berbeda.34
Senada dengan pandangan Ahmad Zahari, Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI
Jakarta Taufik Damas menyatakan bahwa, larangan memilih pemimpin berbeda
keyakinan sebenarnya hanya persepsi sebagian orang yang meyakini bahwa umat
Islam tidak boleh memilih pemimpin dari non-Muslim. Tidak semua umat Islam
berfikiran seperti itu, karena kalau berbicara landasan teologisnya pun masih
menjadi perdebatan.
Para pendiri negara ini telah sepakat bahwa Pancasila dan UUD 1945 sudah
menjadi acuan kehidupan bagi bangsa dan negara Indonesia. Dalam artian setiap
orang menyadari bahwa siapapun yang hidup di bumi pertiwi, meski berbeda agama
dan suku, berhak menjadi calon pemimpin di Indonesia, baik sebagai Bupati,
Gubernur maupun Presiden. Dalam Undang-undang di Negara Indonesia tidak ada
aturan yang menyatakan bahwa memilih pemimpin harus yang beragama Islam atau
larangan memilih pemimpin non-Muslim.35
Labih lanjut Taufik Damas mengatakan bahwa ada sebagian orang
beranggapan tidak boleh memilih pemimpin kafir, namun argumen tersebut dinilai
kontroversial. Pada dasarnya arti kafir merupakan kalimat yang jika dibicarakan
mengandung makna yang masih kontroversi. Ada sebagain orang yang mengatakan
kafir itu adalah orang di luar Islam, tetapi kalau kembali kepada Al-Quran,
34 http://www.nu.or.id/post/read/76582/imbauan-pwnu-dki-jakarta-terkait-pilkada.Diakses pada 31 Mei 2017.
35 http://kabarinews.com/video-tidak-memilih-pemimpin-non-muslim-hanya-pandangan-sebagian-kaum-muslim/89662. Diakses pada 31 Mei 2017.
80
mengkaji kalimat kafir dengan berbagai defenisinya tidak selamanya mengacu
kepada orang yang-orang yang di luar Islam, tetapi lebih mengacu kepada sifat
orang-orang agama apapun. Taufik menjelaskan bahwa kafir itu adalah sifat orang
yang menutupi kebaikan dan kebenaran, kemudian dia melakukan itu demi
keuntungan pribadi atau kelompok, maka itulah orang-orang kafir. Menurut Taufik,
dalam Al-Quran sendiri dinyatakan bahwa orang non-Muslim, seperti Kristen dan
Yahudi disebut ahlul kitab.36
Dalam konteks pemilihan Gubernur DKI Jakarta, Taufik Damas menekankan
bahwa tidak benar klaim yang menyatakan semua warga Nahldatul Ulama di
Jakarta tidak memilih dan mendukung calon Gubernur non-Muslim. Ia berpendapat
bahwa memilih Gubernur itu berdasarkan pada penilaian atas kinerja, komitmen
dan integritas. Menurut dia, Basuki Tjahya Purnama sudah menyatakan dirinya
sebagai pemimpin yang menunjukkan kinerja baik, komitmen dan integritas
sebagai pengganti Gubernur sebelumnya. Ia menegaskan bahwa tidak semua
menolak Gubernur non-Muslim, tetapi yang nyaring suaranya adalah yang
menolak.37
Dua tokoh yang membolehkan memilih pemimpin non-Muslim sebagaimana
yang penulis paparkan diatas secara politik tidak diragukan lagi bahwa mereka
memang pendukung setia Basuki Tjahya Purnama. Tidak dapat dipungkiri bahwa
36 http://kabarinews.com/video-tidak-memilih-pemimpin-non-muslim-hanya-pandangan-sebagian-kaum-muslim/89662. Diakses pada 31 Mei 2017.
37 http://www.infomenia.net/2016/08/ungkapan-tokoh-nu-ini-mengejutkan.html?m=1.Diakses pada 31 Mei 2017.
81
ketika terjadi kasus penistaan agama yang dilakukan oleh calon Gubernur non-
Muslim tersebut, Taufik Damas merupakan koordinator Posko Relawan Nusantara
(RelaNU) yang merupakan garda terdepan pembela calon Gubernur non-Muslim
tersebut. Serta hal yang terpenting adalah Taufik Damas merupakan penulis dari
buku saku yang berjudul “7 Dalil Umat Islam DKI dalam Memilih Gubernur”, isi
dari buku itu adalah dukungan dan kebolehan memilih Gubernur non-Muslim.38 Di
sini terlihat bahwa ada unsur kepentingan yang tentu tidak dapat penulis sebutkan,
karena indikasi-indikasi untuk itu terlihat dari pembelaan dan dukungan Taufik
Damas terhadap calon gubernur non-Muslim tersebut.
Pada satu sisi dari urain tentang pandangan PWNU DKI tentang hukum
memilih pemimpin non-Muslim di atas terlihat bahwa mayoritas pengurus PWNU
DKI dalam menentukan sikapnya masih merujuk kepada hasil putusan Muktamar
Lirboyo. Hanya sebagian kecil saja yang tidak mengikuti putusan hasil muktamar,
karena dalam konteks Pilkada DKI Jakarta pilihan terhadap seorang pemimpin itu
dikembalikan kepada pemilih sendiri, tidak boleh dipaksa untuk memilih terhadap
satu calon dan pemimpin dipilih berdasarkan kineja, komitmen dan integritas,
bukan latar belakang agama. Penulis juga melihat bahwa pengaruh pemikiran gaya
Klasik masih mempenguruhi pola pemikiran atau pandangan mayoritas pengurus
PWNU DKI tentang larangan memilih pemimpin non-Muslim.
Paradigma pemikiran ala integralistik masih terlihat dan besar pengaruhnya
serta dipertahankan dalam menghukumi status hukum memilih pemimpin non-
38 http://bpt-network.com/berita/detail/relanu-bagikan-buku-saku-7-dalil-gubernur-kepada-relawan-basuki-djarot-35050. Diakses pada tanggal 30 Mei 2017.
82
Muslim. Terlihat dari pernyataan mayoritas pengurus PWNU DKI yang masih
melihat latar belakang agama dan keyakinan, bukan melihat kinerja dan nilai-nilai
keadilan iniversal. Meskipun sebagin kecil dari pengurus PWNU DKI yang
mencoba keluar dari lingkaran agama dan lebih melihat nilai-nilai kebaikan dan
keadilan yang ada pada kepemimpinan non-Muslim.
Paradigma pemikiran ala sekuleristik dalam hal kepemimpinan terlihat
mempengaruhi sebagian kecil pemikiran pengurus Nahdlatul Ulama DKI. Ini
terlihat ketika usaha untuk membedakan antara kepemimpinan agama dan politik,
karena dalam konteks Pilkada DKI Jakarta umat Islam hanya dihadapkan memilih
pemimpin dalam tataran pemerintahan daerah atau gubernur bukan memilih
pemimpin seperti halnya Khalifah atau Imam yang mempunyai dan menjalankan
misi keagamaan, sehingga masyarakat dihimbau untuk memilih pemimpin sesuai
dengan keinginan dan hati nurani pemilih. Desakan dengan latar belakang agama
dan anjuran ataupun paksaan untuk memilih salah satu calon Gubernur tentu
mencederai kebebasan dan sistem demokrasi yang diterapkan di negara Indonesia.
Namun, suatu hal yang menjadi cacatan adalah jika merujuk kepada AD/ART
Nahdlatul Ulama, ditemukan bahwa pada bab dua bagian pembahasan pedoman,
aqidah dan asas,39 pada pasal 6 dijelaskan bahwa dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia, Nahdlatul Ulama berasaskan kepada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 19945. Dalam hal ini penulis bisa mengambil sebuah
kesimpulan bahwa Nahdlatul Ulama dalam memahami kehidupan berbangsa dan
39 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah TanggaNahdlatul Ulama, (Jakarta: Lembaga Ta’lif wan Nasyar PBNU, 2015), cet. ke- 2, h. 38.
83
bernegara serta pandangan politiknya cendrung lebih mengarah kepada paradigma
berfikir ala simbiotik. Namun, dari pandangan politik tokoh-tokoh PWNU DKI
Jakarta terhadap pemimpin non-Muslim terlihat tidak singkron antara asas
kebangsaan organisasi Nahdlatul Ulama dengan realita pemikiran tokoh-tokoh
Nahdlatul Ulama. Ini terbukti ada sebagian pengurus PWNU DKI yang cendrung
berfikir mengarah kepada paradigma integralistik dan sebagian yang lain mengarah
kepada paradigma pemikiran sekuleristik.
Dalam konteks Indonesia yang plural serta menjunjung tinggi setiap hak dan
kewajiban warga negara di dalam konstitusi, tentunya secara bijak fatwa atau hasil
putusan muktamar tentang larangan memilih pemimpin non-Muslim tentu dianggap
tidak pas oleh sebagian kalanganan sehingga perlu ditinjau ulang lagi. Jika isu
agama ini terus bergulir dalam setiap aktifitas perpolitikan tentu akan mencederai
nilai-nilai pluralisme yang selama ini dijaga.
Penulis juga melihat dari perbedaan pendapat tentang larangan memilih
pemimpin non-Muslim ini memang lahir dari berbeda penafsiran tentang kondisi
darurat sebagaimana yang terdapat di dalam hasil putusan Muktamar Lirboyo.
Ketika dihadapkan dengan realita politik kekinian yang ada di Indonesia termasuk
pilkada pemilihan Gubernur di DKI Jakarta, maka akan muncul penafsiran berbeda
tentang aplikasi makna dharurat, tentu dipengaruhi beberapa hal seperti perbedaan
wawasan keilmuan dan kepentingan-kepentingan yang muncul dari aktifitas politik
ini. Sehingga Mahfudz Asirun dan Samsul Ma’arif serta tokoh yang menolak
pemimpin non-Muslim menegaskan bahwa kondisi dharurat sebagaimana yang
84
dijelaskan dalam hasil putusan Muktamar Lirboyo belum terpenuhi dalam konteks
Pilkada DKI Jakarta, karena masih ada calon Gubernur DKI Jakarta yang Muslim.
Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi di tubuh PWNU DKI Jakarta
tentang larangan memilih pemimpin non-Muslim seperti yang penulis jabarkan
sebelumnya, hemat penulis hal terpenting yang menjadi catatan bahwasanya dalam
dunia politik semua kemungkinan bisa terjadi. Ini terbukti meskipun Nadhlatul
Ulama sudah memiliki tuntunan dan merupakan putusan tertinggi dalam
menentukan larangan terhadap hukum memilih pemimpin non-Muslim
sebagaimana yang terdapat dalam putusan Muktamar Lirboyo 1999, ternyata masih
ada juga warga nahdliyin yang tidak berpedoman dan merujuk kepada hasil putusan
muktamar tersebut. Hasil putusan muktamar tersebut hanya menjadi alat legitimasi
terhadap dua kubu yang berkepentingan, baik kubu yang pro maupun yang kontra.
Hasil putusan muktamar bagi kubu yang berpandangan dilarang memilih
pemimpin non-Muslim menjadi pembenaran sikap politik mereka terhadap
dukungan dan jagoan mereka pada kontestasi pemilihan pemimpin, termasuk
pemilihan Gubernur. Namun bagi kubu yang membolehkan memilih pemimpin
non-Muslim, hasil putusan muktamar dianggap tidak relevan lagi dengan konteks
kekinian politik era modern, kalaupun hasil putusan muktamar tersebut dianggap
masih berfungsi, tapi penafsiran terhadap hasil putusan muktamar itu di kondisikan
penafsiranya dengan kepentingan mareka. Ini mengindikasikan bahwa agama atau
hasil putusan Muktamar tersebut bisa saja dijadikan alat politik pembenaran
kepentingan antara satu kubu dengan kubu yang lain. Putusan muktamar dalam
aplikasi konteks perpolitikan ril seolah-olah menjadi dua sisi hal yang berbeda,
85
karena hal yang membuatnya berbeda adalah penafsiran terhadap hasil putusan itu
yang berada pada dua sisi kubu yang berseberangan.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mayoritas pengurus Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI
Jakarta menolak pemimpin non-Muslim dan menyerukan agar tidak memilih calon
Gubernur non-Muslim pada Pilkada DKI Jakarta. Pandangan ini merujuk kepada
hasil putusan Muktamar Lirboyo 1999 yang melarang mengangkat pemimpin non-
Muslim kecuali dalam kondisi dharurat. Mayoritas pengurus PWNU DKI
beranggapan bahwa pada konteks Pilkada DKI Jakarta, kriteria-kriteria dharurat
belum terpenuhi. Hanya sebagian kecil dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
(PWNU) yang membolehkan memilih Gubernur non-Muslim.
Pengaruh pemikiran ala klasik dan paradigma pemikiran integralistik masih
sangat dominan dalam corak berfikir mayoritas pengurus PWNU DKI Jakarta baik
Tanfidziyah maupun Syuriyah. Ini terbukti dengan melihat latar belakang agama
dan keyakinan masih sangat menonjol dan dominan pengaruhnya dalam
menentukan memilih seorang pemimpin, sehingga mayoritas pengurus PWNU DKI
menolak umat Muslim dipimpin oleh Gubernur yang non-Muslim. Pemikiran ala
sekuleristik juga terlihat mempengaruhi corak berfikir sebagian kecil pengurus
PWNU DKI Jakarta, dengan cara keluar dari lingkaran agama dan keyakinan dan
lebih mengedepankan serta mengutamakan kepada kinerja, integritas dan keadilan
yang terdapat di dalam kepemimpinan non-Muslim.
Dalam konteks pilkada pemilihan Gubernur DKI Jakarta ada motif lain yang
cukup mempengaruhi pandangan pengurus PWNU DKI dalam mengemukakan
87
pandanganya terhadap pemimpin non-Muslim, yaitu dipengaruhi oleh kepentingan
politik. Terbukti ada dua kubu yang berseberangan dalam memahami larangan
memilih pemimpin non-Muslim, kubu yang melarang memilih pemimpin non-
Muslim yaitu dengan dalih ada larangan sebagaimana hasil putusan muktamar, di
kubu yang lain memandang bahwa putusan muktamar tidak relevan digunakan pada
konteks pilkada DKI Jakarta, kalaupun masih memakai hasil putusan muktamar,
namun dikondisikan dengan penafsiran mereka sendiri. Artinya tidak murni kubu
yang menolak pemimpin non-Muslim karena motif agama, namun dipengaruhi oleh
banyak faktor, antara lain kepentingan politik.
B. Rekomendasi
1. Kepada tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama seharusnya mengikuti putusan tertinggi
organisasi, termasuk pada tataran pengurus wilayah, sehingga diupayakan
mengesampingkan perbedaan-perbedaan pendapat antara satu dengan yang lain,
agar tercapai persatuan umat Islam.
2. Kepada warga nahdliyin dan umat Islam DKI Jakarta harus bisa bersikap
bijaksana dan mengambil hikmah serta mengikuti pendapat yang sesuai dengan
hati nurani. Masyarakat diharapkan tidak melakukan aktifitas-aktifitas yang bisa
merugikan diri sendiri dan orang lain, karena mendukung salah satu pendapat.
3. Pemerintah harus aktif dalam mengedukasi dan menangani persoalan perbedaan
pendapat tentang pemimpin non-Muslim tersebut, agar tidak terjadi gesekan-
gesekan yang terlalu jauh di dalam tubuh umat Islam, khususnya yang
berdomisili di DKI Jakarta.
88
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Al-Qur’an al-Karim
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Abdillah, Abu Bakar Muhammad, Ahkam al-Quran, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988.
Abdul Majid al-Khalidi, Mahmud Pilar-Pilar Sistem Pemerintahan Islam, Terj.Harits Abu Uly, Bogor: Al-Azhar, 2013.
Adnan, Basit, Kemelut di NU Antara Kiyai dan Politik, Solo: CV Mayasari, 1982,cet. Ke-1.
Ali, As’ad Said, Pergolakan di Jantung Tradisi, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,2008.
Amin, M. Mansyur, Dialog Penmikiran, Islam dan Realitas Empirik, Yogyakarta:LKPSM NU DIY, 1993.
Ashmawi, al, Muhammad Sa’id, Jihad Melawan Islam Ekstrim, ter. Hery HaryantoAzumi dari Againts Islamic Extremism, Depok: Desantara, 2002, cet. Ke-1.
Baghdadi, al, Abdurrahman, Islam Menolak Bantuan Militer Negara Kafir,Surabaya: Suara Bersama, 1990.
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru VanHoeve, 1996.
Daman, Rozikin, Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah,Yogyakarta: Gama Media, 2001.
Dimasyqi, al, Imam Abi al-Fida al-Hafidz Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim,Beirut: Dar al-Fikr, 1992.
Enginer, Asghar Ali, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, Yogyakarta: PustakaPelajar, 1997.
Fadeli, Soeleiman, Mohammad Subhan, Antologi Nu Buku I: Sejarah, Istilah,Amaliah, Uswah, Surabaya: Khalista, 2007, Cet. Ke- 1.
Ghazali, al, Etika Berkuasa Nasehat-Nasehat Imam al-Ghazali, terj. Arif D.Iskandar dari al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Mulk, Bandung: PustakaHidayat, 1998.
89
Hadikusumo, Djawahi, Matahari-Matahari Muhammadiyah, Yogyakarta: T.pn,1975.
Haidar M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1994.
Hazen, Ibnu, dkk, 100 Ulama dalam Lintas Sejarah Nusantara, Jakarta: LembagaTa’mir Mesjid PBNU.
Ida, Laode, Anatomi Konflik NU, Elit Islam dan Negara, Jakarta: Sinar Harapan,T,th.
Indonesia, Ghalia, Pemimpin dan Kepemimpinaan, Jakarta: Ghalia Indonesia,1948.
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:Kencana, 2014, Cet. Ke-1.
Jashshash, al, Abu Bakar Ahmad Ibn Ali al-Razy, Ahkam al-Qur’an, Al-Qahirah:Syirkah Maktabah Wa Mathba’ah, jilid 2, t.th.
Jawwad, al, Muhammad Abd, Trik Cerdas Memimpin Cara Rasulullah, ter.Abdurrahman Jufri, Solo: Pustaka Iltizam, 2009.
Khaliq, Farid Abdul, Fikih Politik Islam. Terj. Faturrahman A, Hamid, Jakarta:Amzah, 2005.
Khallaf, Abdul Wahab, Politik Hukum Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.
Lobban, Carolyne Fluehr, Melawan Ekstrimisme Islam: Kasus Muhammad Sa’idal-Ashmawi, Kata Pengantar dalam Muhammad Sa’id al-Ashmawi, JihadMelawan Islam Ekstrim, terj. Hery Haryanto Azumi dari Againts IslamicExtrimism, Depok: Desantara, 2002, cet. Ke-2.
Mandan, Arief Mudatsir, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung JawabPolitik NU dalam Sejarah, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2008.
Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama NU,Surabaya: Dinamika Press, 1997.
Mawardhi, al, Hukum Tatanegara Dan Kepemmpinan dalam Takaran Islam, terj.Abdul Hayyie Al-Kattani, Kamaluddin Nurdin, Jakarta: Gema Insani Press,2000.
Na’im, al, Abdullah Ahmad, Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedy danAmiruddin Arrany dari Toward An Islamic Reformation Civil Liberties HumanRights And Internasional Law, Yogyakarta: LKIS, 1994.
90
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Patimah, Siti, Manajemen Kepemimpinan Islam, Bandung: Alfabeta Bandung,2015, Cet. Ke-1.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah TanggaNahdlatul Ulama, Jakarta: Lembaga Ta’lif wan Nasyar PBNU, 2015.
Purwanto, Ngalim, dkk, Administrasi Pendidikan, Jakarta: Mutiara, 1984.
Qodir, Zuly, Syariah Demokratik: Pemberlakuan Syariah Islam di Indonesia,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Rivai, Veithzal, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, Jakarta: Raja Grafindo,2003.
Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,Jakarta: UI Press, 1993.
Syamsuddin, Din, Etika dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos,2002.
Syarif, Mujar Ibnu, Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran PolitikIslam, Jakarta: Erlangga, 2008.
-------, Presiden Non Muslim di Negara Muslim, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2006.
Taimiyah, Taqiyuddin Ibnu, Pokok-Pokok Pedoman dalam Bernegara, terj. Hendrilaoust, Bandung: CV Diponegoro, 1967.
Thabathabai, al, al-Sayyid Muhammad Husein, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an,Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1972.
Zada, Khamami, dan Arif Arofah, Diskursus Politik Islam, Jakarta: LSIP, 2004.
-------, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia,Jakarta: Teraju, 2002.
Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupa Sehari-Hari,terj. Muhyiddin Mas Rida. Jakarta: Al-Kautsar, 2008.
91
JURNAL
Suryadinata, M, “Pemimpin Non-Muslim dalam Al-Quran: Analisis TerhadapPenafsiran FPI Mengenai Ayat Pemimpin Non-Muslim”, Jurnal IlmuUshuluddin, 2015, Vol. 2, No. 3.
SKRIPSI
Naldi, Wahyu, “Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Larangan Memilih PemimpinNon-Muslim Dalam Al-Quran: Studi Komparatif M. Quraish Shihab danSayyid Qutub”, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun2015.
WAWANCARA
Wawancara pribadi dengan KH. Mahfud Asirun An-Nadawy, sebagai RaisSyuriyah Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta pada tanggal 24April 2017.
Wawancara pribadi dengan Samsul Ma’arif, sebagai Wakil Ketua TanfidziyahPimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta, pada tanggal 03 Mei 2017.
PUTUSAN
Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-30 tanggal 21-27 November 1999 diPondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur.
Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung,Jakarta: Lajnah Ta’lif Wanasyr PBNU, 1992.
ARTIKEL
http://bpt-network.com/berita/detail/relanu-bagikan-buku-saku-7-dalil-gubernur-kepada-relawan-basuki-djarot-35050. Diakses pada 31 Mei 2017.
http://kabarinews.com/video-tidak-memilih-pemimpin-non-muslim-hanya-pandangan-sebagian-kaum-muslim/89662. Diakses pada 31 Mei 2017.
http://m.forum.detik.com/umat-islam-bersatu-nahdlatul-ulama-dki-tolak-ahok-di-pilkada-2017-t1386847.html. Diakses pada 5 Juni 2017.
http://m.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/08/12/99237/kh-mahfudz-asirun-nu-dki-dukung-gubernur-muslim-beriman.html. Diakses pada 30 Mei2017.
http://m.republika.co.id./berita/pemilu/hot-politic/14/03/21n2siql-mui-muslim-jangan-memilih-pemimpin-nonmuslim. Diakses pada tanggal 26 April 2017.
92
http://m.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/04/14/ood9ix284-secara-kultural-nu-dki-mendukung-penuh-aniessandi. Diakses pada tanggal 5 Juni2017.
http://pilkada.tempo.co/read/news/2017/04/16/348866456/rais-syuriyah-nu-dki-jakarta-dukung-anies-sandi. Diakses pada tanggal 5 Juni 2017.
http://m.republika.com.id/berita/nasional/politik/17/04/16/oogk1f385-patuhi-muktamar-lirboyo-pwnu-dki-serukan-nahdliyyin-pilih-gubernur-seiman.Diakses pada tanggal 30 Mei 2017.
http://m.suara.islam.com/read/kabar/nasional/21759/NU-DKI-Tegaskan-Pemimpin-Kenegaraan-tidak-Boleh-Non-Muslim. Diakses pada 31 Mei 2017.
http://m.tribunnews.com/metropolitan/2017/04/16pwnu-jakarta-memilih-pemimpin-muslim-sesuai-muktamar-lirbooyo. Diakses pada 30 Mei 2017.
http://m.tribunnews.com/nasional/2017/03/12/boleh-memilih-pemimpin-non-muslim-hasil-keputusan-bahtsul-masail-gp-ansor. Diakses pada 20 April 2017.
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/09/15/16462071/pbnu.merujuk.ke.fatwa.1999.tentang.pemimpin.non-muslim. Diakses pada tanggal 26 April 2017.
http://tirto.id/disebut-dukung-ahok-pwnu-dki-masih-sakit-hati-cirJ. Diakses pada30 Mei 2017.
http://www.infomenia.net/2016/08/ungkapan-tokoh-nu-ini-mengejutkan.html?m=1. Diakses pada 31 Mei 2017.
http://www.jurnalmuslim.com/2016/pwnu-dki-jakarta-warga-nu-jakarta-tolak-ahok-menjadi-gubernur-di-pilgub-2017.html?m=1. Diakses pada 31 Mei 2017.
http://www.nu.or.id/post/read/76582/imbauan-pwnu-dki-jakarta-terkait-pilkada.Diakses pada 31 Mei 2017.
http://www.wartapilihan.com/nu-dki-haram-pilih-pemimpin-non-muslim/.Diakses pada 31 Mei 2017.
https://m.detik.com/news/berita/d-3414804/kata-ahok-soal-istigasah-nahdliyin-yang-disoal-pwnu-dki . Diakses pada 30 Mei 2017.
https://nusantara.news/dukungan-pkb-terhadap-ahok-pembangkangan-santri-kepada-kiai. Diakses pada 30 Mei 2017.
93
LAMPIRAN 1Transkip Hasil Wawancara Melalui Telepon
pada Tanggal 24 April 2017Pukul 22.07. WIB
Nama : KH. Mahfudz Asirun an-Nadhawy
Jabatan : Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta
1. Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama secara keorganisasianterhadap pemimpin non-Muslim?Itu ada pada Muktamar ke-30 di Lirboyo Tahun 1999, yang menghasilkanjawaban bagaimana hukum menyerahkan urusan kenegaraan kepada non-Muslim, maka jawabanya orang Muslim dilarang menyerahkan urusankenegaraan kepada non-Muslim, kecuali pada kondisi darurat.
2. Bagaimana kriteria-kriteria yang dikatakan sebagai kondisi darurat?Darurat misalnya, negara itu mayoritas orang kafir kemudian orang Islamsedikit, dan kalau tidak memilih terancam, maka itu boleh memilih non-Muslim secara zahirnya, namun bathinya tidak. Darurat juga dalam kondisiurusan-urusan yang tidak bisa ditangani oleh orang Muslim, sebagai contohjika naik pesawat pilotnya kan kafir dan orang Muslim gak ada yang bisa, itutidak apa-apa.
3. Bagaimana kaitanya dengan menyerahkan urusan kenegaraan kepadaorang non-Muslim, apakah contoh itu relevan?Sama saja.
4. Jika dalam konteks pemilihan Gubernur DKI, pendukung Ahokberdalih dengan alasan mendukung Ahok karena NU tidak melarangsecara mutlak memilih pemimpin non-Muslim, apakah itu bisadibenarkan? Bagaimana tanggapanya?Tidak dibenarkan, karena di Jakarta mayoritas Muslim, dan tidak ada larangmemilih Gubernur Muslim, ini berdasarkan arahan hasil muktamar yang ke-30 itu, yang dirujuk dari al-Qur’an dan Hadits dan kalam-kalam ulama.
5. Dalam bahsul masail hasil dari muktamar ke-30 itu dijelaskanbahwasanya dalam keadaan darurat urusan kenegaraan boleh diberikankepada non-Muslim, dalam bahsul masail itu ada catatan bahwasanyahanya boleh diberikan kepada ahlul zhimmah dan harus adamekanisme kontrol yang efektif, siapakah yang dikatakan ahlulzhimmah dalam konteks Indonesia dan siapa yang mengontrolnya?
Tidak ada ahlul zhimmah, jadi orang kafir yang ada di Indonesia bukan kafirzhimmah, karena kafir zhimmah itu adalah asalnya orang kafir yang tinggaldi bumi Muslim kemudian, mereka dikenakan pajak jiwa, ia mengikutiaturan-aturan Islam. Maka di Indonesia bukan kafir zhimmi, namundiberlakukanya seperti zhimmi dalam hal perlindungan oleh negara. Yang
94
mengontrol ulama, karena pada dasarnya ulama perencana dan pengontrol,umara sebagai pelaksana. Namun dalam penerapan di Indonesia terkadangulama ditinggalkan jalan bareng dalam membangun negara, malah terkadangulama yang memberi fatwa itu dikucilkan, pada konsepnya seperti itu, jadiwalaupun tidak bisa dilaksanakan semuanya, ya jangan ditinggal semuanya.Andaikan orang kafir itu sudah terlanjur memegang kekuasaan maka harusdikontrol, namun apakah pemerintah mendengarkan kontrol? Maka padatataran konsep ulama dan umara harus bersatu, manakala ulama dan umarabaik, maka masyarakat pun baik. Namun pada praktik pada hal tertentu sajaulama diajak bicara.
6. Dalam konstitusi RI yaitu UUD 1945 tidak melarang pemimpin non-Muslim, Bagaimana tanggapanya?Kalau bertentangan antara hukum posistif dengan al-Qur’an maka kita athi‘ullah wa athi ‘urrasul. Kalau ada pertentang mak baliknya ke al-Qur’an.Maka dalam konteks pemimpin non-Muslim harus kembali kepada al-Qur’an.Apapun omongan ataupun alasan yang bertentang dengan al-Qur’an, makakembali ke al-Qur’an. Jadi ada akal ada al-Qur’an, jika ada pertentangdengan al-Qur’an maka kalah akal. Akal itu pada dasarnya memperkuat al-Qur’an, bukan melemahkan al-Qur’an. Misalnya bagaiman perempuan 1banding 2 dengan laki-laki dalam hal harta warisan, kalau pakai akalseharusnya perempuan lebih banyak, karera dia lemah atau gak kuat mencarinafkah, dibandingkan laki-laki mempunyai tenaga yang kuat untuk mecarinafkah, maka seyogyanya perempuan lebih banyak, maka ini akal yangbertentangan dengan al-Qur’an. Maka akal yang mendukung al-Qur’anadalah karena laki-laki wajib memberikan nafkah, tempat tinggal, inilahnamanya akal mendukung al-Qur’an. Namun jika kita belum bisamenerapkan dan mengamalkan maka berdosa, kalau menolak hukum al-Qur’an maka kafir. Dalam hal kepemimpinan non-Muslim, maka berdosa,terkait siapa hal yang berdosa apakah pemerintah karena ulama sudahmenyampaikan, maka mungkin saja dosanya berbeda-beda. Jadi pada intinyajika menolak al-Qur’an satu ayat pun kafir, jika belum bisa mengamalkanberdosa. Tugas ulama hanya menyampaikan, pelaksana adalah penguasa.Dalam hadits man raa munkaran munkaran fal yugaiyruh biyadihi, inipenguasa, faillam yastati babilisasni adalah ulama.
95
7. Bagaimana pandangan NU terhadap agama dan politik dalam konteksIndonesia?Tidak saja Nahdlatul Ulama, majelis ulama juga berpandangan bahwasanyaagama tidak bisa dipisahkan dari politik, kedua nya harus bersatu. Jangankanperkara pemimpin, ke wc saja bawa agama. Maka pertanyaanya kenapamenyerahkan persoalan kepemimpinan tidak pakai agama?. Tidak adadisyariatkan dalam Islam pemisahan antara agama dan politik. Baik persoalankecil maupun besar, itu semuanya ibadah. Pada intinya agama tidak bisadipisahkan dengan negara. Ulam dan umara harus bersatu.
8. Bagaimana pandangan bapak terhadap pernyataan segelintir orangyang beranggapan bahwa dalam konteks Indonesia hanya memilihpemimpin pemerintahan, seperti kepala daerah bukan pemimpinagama?Itu bukan dalil, itu hanya pernyataan orang yang punya kepentingan saja.yang jadi dalil adalah al-Qur’an dan hadits. Apakah ketika dipimpin olehorang Islam tidak akan damai? Islam itu mengajarkan damai. Hukum negaraada yang sesuai dengan syara’ dan ada yang tidak sesuai. Jika tidak sesuaikita tidak bisa mengikuti. Kalaupun sudah terjadi pemimpin itu kafir, secarabathin kita tidak menerima walaupun secara zhahir menerima. Kerena kalauberontak, syarat-syaratnya belum cukup, lebih diutamakan keselamatan daripada pertumpahan darah.
9. Kenapa terjadi perbedaan pendapat dalam tubuh NU antar satu denganyang lain terhadap pemimpin non-Muslim?Ini di pengaruhi oleh keduniaan, kalau mereka taat kepada ulama, yang ulamaini adalah waratsatul anbiya, kenapa harus dibikin-bikin lagi bahsul masailyang bertentangan dengan hasil muktamar. Hasil muktamar itu adalah hasildari perkumpulan ulama seluruh Indonesia, sedangkan bahsul masail yangdilakukan oleh Anshor ini hanya dilakukan oleh beberapa orang saja, dan jugakeulamaannya tidak kelihatan serta dalil-dalil yang digunakan tidak bisaditerima, maka ini dibuat hanya ada maksud-maksud keduniaan berupakepentingan.
10. Terkait kepemimpinan Ahok di Jakarta, Apakah NU menolak karenamemamg murni karena agamanya atau karena gaya kepemimpinanya?Saling menyatu, karena kalau orang kafir itu pasti sombong, karena samaAllah saja berani apa lagi sama orang. Maka alasan utama adalah karenakafirnya. Jadi kafirnya yang dimaksud. Meskipun ada sikap-sikap baiknya.Cuma kalau ada yang menyematkan kata adil kepada orang kafir, itu tidakpas. Karena mungkin secara lughah adil tapi secara syar’i tidak.
11. Terkait surat al-Maidah ayat 51, apakah dalam pandangan NUdiartikan pemimpin?NU tidak punya pandangan, itu sudah sudah jelas dalam Kitab Tafsir, salahsatunyan Ibnu Katsir. Meskipun dalam kitab tafsir itu artinya pertemanan,
96
maka mafhumnya menjadikan teman saja tidak boleh apalagi menyerahkankekuasaan. Karena lebih utama lagi, karena kebijakan ditangan dia.
12. Terkait dengan ayat dilarang mengangkat orang kafir menjadipemimpin adalah pada waktu berperang, sedangkan kita sekarang tidakpada masa perang, maka sah sah aja mengangkat orang kafir sebagaipemimpin. Bagaimana tanggapan bapak?Perang itu ada yang pakai senjata,dan ada yang perang tidak pakai senjata,sebagai contoh yang sebelumnya dilapangan boleh bikin peringatan maulid,namun dilarang, yang tadinya di kecematan ada pengajian, sekarang dilarang.Yang awal nya pemimpin- tingkat desa Muslim diganti dengan kafir.
13. Bagaimana tanggapan bapak terhadap HAM, apakah pelaranganpemimpin non-Muslim tidak bertentang dengn HAM?HAM ada yang sesuai dengan ajara Islam, ada yang tidak sesuai dengansyariat. Sebagai contoh misalkan laki laki kawin dengan laki-laki, perempuankawin dengan perempuan, mereka minta pengakuan, apakah itu HAM? Makaini bertentanga dengan al-Qur’an. Ada al-Qur’an ada HAM, jikaberentanggan syariat yang dipakai. Maka terkait dengan memilih pemimpinnon-Muslim itu murni dilarang. Karena ada mutawalil mutlak dan mutwalilkhusus. Maka orang yang menyerahkan kepemimpin mutlak kepada nonMuslim, maka bisa mengelurkan dia dari Islam. Kalau yang mutawalil khasahseperti menyerahkan masalah nahkoda, siapa yang bisa silahkan, itu khusus,hanya pada hal yang tidak bisa kita lakukan, maka boleh diberikan kepadanon-Muslim. Yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam karena mutawalilmutlak, menyerahkan mutlak, ridha dengan dia. Karena perkarakepemimpinan ini termasuk bagian dari agama, maka tidak bolehmemberikanya kepada orang kafir.
97
LAMPIRAN 2Transkip Hasil Wawancara Melalui Telepon
pada Tanggal 3 Mei 2017Pukul 05.53. WIB
Nama : Dr. KH. Samsul Ma’arif
Jabatan : Wakil Tanfidziyah PWNU DKI Jakarta
1. Terjadi perbedaan pendapat antara tokoh satu dengan yang lain dalamtubuh NU tentang pemumpin non-Muslim. Bagaimana sebenarnyapandangan Nahdlatul Ulama tentang pemimpin non-Muslim?Harus dibedakan antara keputusan organisasi NU dengan pandapat-pendapatpara tokoh-tokoh atau ulama-ulama NU. Pertama saya akan memulai darikeputusan organisasi dulu. Memang dalam organisasi pernah dibahas padaMuktamar Lirboyo Tahun 1999 tentang menyerahkan kekuasaan kenegaraankepada non-Muslim, termasuk menyerahkan urusan kepemimpinan. Padasaat itu konteksnya adalah pemilihan ketua DPR/MPR. Sehingga dihasilkandari bahtsul masail itu adalah melarang menyerahkan urusan kenegaraankepada non-Muslim, kecuali dalam keadaan darurat. Kedua pendapat pribadiulama-ulama atau kiai-kiai memang ada polaisasi perbedaan secara pribadi-pribadi tentang mengangkat pimpinan. Pimpinan itu apakah hanya terbataskepada pemilihan Presiden atau semua pemimpin, maka yang dimaksuddengan pimpinan itu siapa, ini nantinya yang menjadi perdebatan di masing-masing orang. Dikalangan ulama NU sendiri bahwa meyakini ayat tentangpelarangan menjadikan orang kafir menjadi wali, itu dari aspek pendekatantafsir berbeda-beda. Itu tidak qath’i, artinya kata auliya itu sudah menjadimakna musytarak atau makna ganda. Pertama kalimat auliya, itu apakahdiartikan pemimpin atau diartikan lain sepeti penolong, teman setia. Olehkarena itu ketika ada kalimat musytarak, pasti disitu terjadi perbedaan, tidakbisa dikatakan ayat itu qat’iy atau pasti. Kedua makna kafir, terminologi kafirdalam al-Qur’an maknanya banyak, apakah orang kafir itu dikendaki orangselain Islam, atau orang kafir Quraiys yang penyembah berhala, sedanganpenyebutan orang Nashrani dan Yahudi menggunakan terminologi ahlulkitab. Sebagai contoh al-Qur’an membolehkan menikahi wanita ahlul kitabdan memakan sembelihan ahlul kitab. Kata untuk Yahudi dan Nashrani initidak disebut kafir, sebagimana kafir Makah penyembah berhala. Menikahiorang kafir tidak boleh dan memakan sembelihan orang kafir tidak bolehdimakan. Meskipun dalam hal menikahi perempuan ahlul kitab ada jugaperbedaan, tetapi ada peluang, seperti ulama Hanafi membolehkan menikahiwanita ahlul kitab (Yahudi Nashrani). Maka makna sebutan kafir itu terjadiperbedaan pendapat. Apalagi dalam kontek kekinian, misalnya pemimpin
98
sekarang itu perwilayah, berbeda dengan zaman dulu yang mempunyaiotoritas penuh. Sedangkan di Indonesia, pemimpin tidak satu satunya. Adalevel nasional, ada provinsi. tidak hanya ada Gubernur tapi ada DPR yangmengontrol. Jadi ada eksekutif, legislatif dan ada yudikatif. Inilah salah satupenyumbang perbedaan pendapat. Sehingga dari kiai NU, khusunya diJakarta ada yang membolehkan, yang membolehkan juga ada dua bagian, adayang mebolehkan karena beda penafsiran, dan ada yang membolehkan tetapmengacu kepada hasil muktamar karena dipandang termasuk kepada kondisidarurat. Ada pandangan bahwasanya calon yang dari Nashrani lebihmenguntungkan jika berhubungan dengan NU, sementara pasangan yangMuslim dianggap yang didukung oleh partai yang dalam tanda kutip, Sepertipartai PKS, dianggap tidak menguntungkan kepentingan NU. Walaupun inialasan-alasan yang kurang bisa diterima, karena alasan ini berupa dugaan.Namun ini terjadi digunakan sebagai alasan oleh beberapa utadz dan kiaiJakarta, kenapa medukung Ahok. Ini pandangan saya pribadi terhadap kiaiJakarta yaa!. Tentang beda penafsiran anda bisa cek dari tafsir-tafsir klasiknon-Indonesia, maupun tafsir orang Indonesia, seperti Quraisy Shihabtentang makna auliya, tafsir Idris, maka muncul perbedaan pendapat.
2. Bagaimana Kaitan Agama dan Negara (Politik) Dalam Pandangan NU?Jika merujuk kepada teori politik, ada tiga: pertama agama dan negara adalahsatu kesatuan, agama dan agama dipisah, agama menjadi moral berpolitik.Maka NU berada dalam posisi agama menjadi moral berpolitik atau agamadan negara saling mendukung, agama harus diberikan pujakan dasar moralberpolitik. Tetapi juga ada orang NU yang beranggapan bahwa agama dannegara satu kesatuan, bagi warga NU pandangan berpolitiknya berbeda beda,pada kesimpulan orang NU masuk pada dua teori pertama, bukan ketiga yangmemisahkan agama dengan negara. PAN dan PKB, agama dan negara bukansatu kesatuan, tapi agama menjadi pijakan moral berpolitik. Politik itu tidakhitam putih.
3. Apa alasan PBNU tidak menolak secara terang-terangan pemimpin non-Muslim, seperti sebagian ormas-ormas Islam lain?NU menjadikan hasil muktamar sebagai pedoman untuk memilih, tetapidalam praktek menghargai proses demokrasi. Ketika aturan mengatakan non-Muslim boleh menjadikan pemimpin dan non-Muslim memjadipemenangnya, kita harus menghormati, bahwa itu adalah hasil putusan yangharus dihormati dan diberi peluang untuk memimpin. Tidak boleh diturunkan,karena menurunkan pemimpin yang terpilih itu juga sebagai perbuatan dosa,secara konstitusi melarang dan ajaran agama apapun melarang. Maka kitaharus mengambil darul mafasid muqaddam ala jalbil mashalih (mencegahkerusakan diupayakan lebih dahulu sebelum upaya mendapatkan manfaat ).
99
Kedua pemimpin di negara ini ada masanya dan waktunya. Tentang hal iniada hikmahnya, umat Islam bersatu, bahwa ada kesadaran akan pentingnyapemimpin Muslim, karena pemimpin Muslim secara umum menguntungkanumat Islam, ada keinginan umat Islam untuk mentelaah kitab sucinya. Karenapemimpin di Indonesia dibatasi waktu, maka NU tidak menolak itu, NUmenjadikan sebuah pelajaran berpolitik, bahwa kedepan perlu perbaikan-perbaikan. Karaena ideal itu harus berproses. Dengan adanya kasus Ahok iniadalah proses untuk mendapatkan pemimpin yang ideal kedepanya. Kenapaada ahok, ya proses saja.
4. Dalam putusan muktamar, keadaan darurat boleh memberikankekuasaan kepada non-Muslim, yaitu kafir dzimmi, pada konteksIndonesia, siapa yang dikatakan ahlul dzhimmah?Warga negara yang baik dan yang taat hukum. Orang non-Muslim yang bisadiajak kerja sama dan taat kepada aturan-aturan. Jadi begini, konteksnyaberbeda negara dulu, sistem kengaraan pun sudah berbeda, maka tidak semuateori didalam fikih itu diterapka sama persis dengan zaman dulu. Karenasekarang adalah teori kebangsaan, misalkan hak kewajiban warga negarasama dalam konteks hukum termasuk dalam membayar pajak sama. Jadi teorizaman dulu orang Islam wajib bayar pajak, non-Muslim bayar pajak, tapiteori inikan tidak diterapkan dalam kondisi negara kita. Jadi dalam pandangansaya jika teori kafir dzimmi itu, ya orang Muslim yang taat dalam perundang-undangan, bisa mencontohkan kerukunan dalam beragama, tidak melakukanperlawanan, saling menghormati kehidupan beragama. Jadi dalam kontekskekinian, keindonesian terkait dengan dinamika politik.