diskursus hukum kepemimpinan perempuan di daerah...

80
DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA PUTUSAN MK NOMOR 88/PUU-XIV/2016 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: FURBA INDAH NIM : 11140480000119 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M i

Upload: lecong

Post on 18-Aug-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA

PUTUSAN MK NOMOR 88/PUU-XIV/2016

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

FURBA INDAH

NIM : 11140480000119

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

i

Page 2: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA PUTUSAN MK

NOMOR 88/PUU-XIV/2016

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu

Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

FURBA INDAH

NIM : 11140480000119

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 M

i

Page 3: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN

PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA

PUTUSAN MK NOMOR 88/PUU-XIV/2016” telah diujikan dalam sidang

munaqasyah pada tanggal 26 Februari 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi

Ilmu Hukum.

Jakarta, Mei 2019

Mengesahkan

Dekan

ii

Page 4: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

LEMBAR PERNYATAAN

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli Saya yang diajukan untuk memenuhi

satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata I (S1) di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang Saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya Saya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 26 Februari 2019

iii

Page 5: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

ABSTRAK

Furba Indah NIM 1114048000119 “DISKURSUS HUKUM

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH KERATON

YOGYAKARTA Pasca Putusan MK No. 88/PUU-XVI/2016”, Strata Satu

(S1), Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara,

Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M, 75 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis diskusrsus kepemimpinanan

perempuan yang sedang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta ( DIY), baik

pengangkatan ratu di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan penetapan

gubernur perempuan di Daerah Itsimewa Yogyakarta (DIY). Secara khusus,

skripsi ini mencoba mendalami aturan yang berlaku secara “ paugeran “ atau

aturan adat dan juga Undang – Undang yang bersifat spesialis dalam mengatur

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Disamping itu, skripsi ini juga mencoba

membahas keadaan masyarakat Yogyakarta pasca Putusan MK No.88/PUU-

XVI/2016. Terakhir Penulis mencoba membahas bagaimana seharusnya hukum

dibuat agar tidak terjadi kekosongan hukum saat pengangkatan dan penetapan

pemimpin bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian empiris, kepustakaan (library

research) melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan Aturan

Adat (Paugeran), Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa

studi pustaka. Melalui studi pustaka peneliti mengumpulkan dokumen dan data

untuk diolah menggunakan metode analisis isi. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa Undang – undang dan Paugeran yang mengatur Pengangkatan Ratu dan

Penetapan Gubernur di Dearah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum memberikan

kepastian hukum. Terbukti dengan adanya beberapa pasal dalam UU tentang

keiwstimewaan Yogyakarta yang masih menimbulkan pertanyaan soal penetapan

gubernur di masa mendatang, dan juga soal tata cara pergantian sultan.

Kata Kunci : Daerah, Keistimewaan, monarki,Pengangkatan, penetapan

Pembimbing : Drs. Noryamin Aini, M. A.

Daftar Pustaka : Tahun 2000 s.d Tahun 2017.

iv

Page 6: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah S.W.T karena dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPIN

PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY) PASCA

PUTUSAN MK NO 88/PUU-XVI/2016”. Selanjutnya, dalam penelitian skripsi

ini, peneliti mengucapkan terimakasih untuk berbagai pihak, yaitu yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan dan para Wakil Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi

Ilmu Hukum.

3. Drs. Noryamin Aini, M.A, dosen pembimbing skripsi yang penuh

kesabaran dalam meluruskan alur berpikir penulis, serta sangat perhatian

dan ketelitian dalam memberikan berbagai ide, gagasan serta kritik yang

membangun dan melengkapi banyaknya kekurangan dalam penulisan

skripsi ini. Semoga ilmu yang diberikan pada Penulis menjadi amal jariyah

yang tak pernah putus di sisi Allah S.W.T.

4. Nurrohim Yunus, S.H,L.LM, dosen pembimbing akademik yang telah

berperan sebagai guru sekaligus ayah bagi Penulis selama masa

pendidikan. Semoga setiap bimbingan yang selalu menyemangati Penulis

dibalas dengan pahala yang setimpal dari Allah S.W.T.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu dan wawasan

kepada Penulis selama perkuliahan.

6. Kawan-kawan HMPS Ilmu Hukum yang telah membantu menambah

wawasan serta memberikan semangat dan dukungan untuk penulis.

7. Keluarga Study Gender Mahasiswa (STIGMA FSH) yang telah menjadi

tempat untuk Penulis mengaktualisasikan berbagai gagasan.

v

Page 7: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

8. Segenap keluarga Penulis, baik keluarga besar di Kuningan, Cirebon dan

juga Tebing Tinggi, Sumatera Utara, yang telah memberikan pecutan kisah

kehidupan, sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang

Perguruan Tinggi Negeri S1.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan

akademi maupun masyarakat luas.

Jakarta, 26 Februari 2019

Furba Indah

vi

Page 8: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN ................................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................iii

ABSTRAK .................................................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. v

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ vii

DAFTAR TABEL ................................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah

1

B. Identifikasi, Pembatasan

dan Perumusan Masalah 5

C. Tujuan Penelitian 6

D. Manfaat Penelitian 6

E. Tinjauan (Review)

Kajian Terdahulu 7

F. Metode Penelitian 8

G. Sistematika Penulisan

11

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL SISTEM

MONARKI DALAM TATA NEGARA DAERAH

ISTIMEWA YOGYAKARTA 13

A. Kedudukan Hukum Adat dalam Tata Pemerintahan

Indonesia 13

B. Tata Pengangkatan

Kepala Pemerintahan 14

BAB III PENGANGKATAN SULTAN DAN PENETAPAN

GUBERNUR DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 26

A. Sistem Pengangkatan Sultan pada Monarki Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat 28

B. Pengangkatan Sultan di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat 32

Page 9: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

vii

Page 10: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

C. Peraturan Penetapan Gubernur di Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY) 37

D. Sistem Penetapan Gubernur di Daerah Istimewa

Yogakarta 40

BAB IV PENEGAKAN HUKUM KONSTITUSIONAL DALAM

HUKUM ADAT PENGANGKATAN SULTAN DI

KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT 43

A. Perkembangan Penetapan Gubernur bagi Yogyakarta

sebagai Daerah Istimewa dalam bagian Negara Kesatuan

Republik Inodnesia (NKRI) 44

B. Pengangkatan Ratu dan Penetapan Gubernur Perempuan

di Daerah Istimewa Yogyakarta 48

BAB V PENUTUP ........................................................................................................... 62

A. Kesimpulan 62

B. Rekomendasi 62

C. Implikasi Penelitian

63

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 64

viii

Page 11: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Negara dan Tipe Monarki Konstitusional ................................................... 23

Tabel 3.2 Gubernur DIY dari masa ke masa ................................................................. 42

Tabel 3.3 Nama Ratu dan Sultanah Kerajaan Nusantara ........................................... 54

Tabel 3.4 Daftar Nama Pemimpin Perempuan di Wilayah Indonesia

Pasca Pilkada 2018 59

ix

Page 12: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai Negara kesatuan telah menetapkan otonomi daerah

dalam pengaturan setiap wilayahnya. Pemberian kewenangan daerah juga

memberikan kekhususan pada daerah-daerah tertentu yang mempunyai ciri

khas dalam wilayah atau sejarahnya. Kewenangan otonomi khusus tersebut

diberikan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), selain tiga daerah

lainnya seperti Aceh, Papua, dan DKI Jakarta. Hal ini disebabkan karena

Yogyakarta yang bermodelkan kerajaan telah berdiri sebelum adanya Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, Yogyakarta juga ikut serta

mengusir penjajah dan memperjuangkan NKRI, lalu meleburkan diri menjadi

salah satu wilayah dalam bagian NKRI.

Yogyakarta sebagai daerah istimewa mempunyai kewajiban untuk

melestarikan budayanya. Bentuk keistimewaan sekaligus upaya pelestarian

tersebut tergambar dalam tata cara penetepan Gubernur dan Wakil Gubernur

DIY. Gubernur dan Wakil Gubernur harus berasal dari keturunan Kesultanan

Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Hal ini ditetapkan

dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c Undang-undang No 13 Tahun 2012 tentang

Daerah Istimewa Yogyakarta yang berbunyi:

“bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur

dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”.

Pasal tersebut menegaskan bahwa hanya keturunan kesultanan keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang dapat menjadi

Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Aturan tersebut juga berlaku pada syarat

spesifik keturunan yang dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur hanya

berlaku bagi keturunan laki-laki. Hal ini mengikuti budaya Monarki

Kesultanan dan Kadipaten yang menganut sistem patriarkhi dalam

1

Page 13: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

2

pengangkatan seorang Sultan. Adapun paugeran1 yang dijadikan dasar bahwa

Sultan hanya berlaku bagi seorang laki-laki tersebut diambil dari sepenggal

kalimat dalam Serat Puji2 yang berbunyi :

“ Utamanya Raja itu Pria….”.

Dikarenakan pengangkatan dengan menggunakan asas patrilineal

tersebut masih terus dipertahankan. Sehingga, dapat dengan mudah

dipastikan bahwa aturan yang dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur

DIY hanya seorang laki-laki, terbukti hal ini ditegaskan dalam Pasal 18 ayat

(1) huruf m Undang-undang No 13 Tahun 2012, yang berbunyi sebagai

berikut:

“Menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat

pendidikan, pekerjaan,saudara kandung, istri, dan anak”.

Pasal tersebut menyatakan bahwa calon Gubernur dan Wakil Gubernur

harus menyerahkan daftar riwayat istri. Sehingga, memberikan tafsiran

bahwa perempuan tidak dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur

Yogyakarta, karena yang ditetapkan menjadi istri dalam hukum Indonesia

adalah seorang Perempuan. Hal ini tentu menjadi hambatan bagi perempuan

keturunan kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman

untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

Melestarikan budaya tentu menjadi sebuah kewajiban bagi setiap

masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat adat yang menganut adat

istiadat dalam budaya tertentu. Di sisi lain, upaya masyarakat untuk

merekonstruksi ulang budaya sebagai upaya menjawab tantangan zaman juga

sangat diperlukan. Dalam hal ini, upaya merekonstruksi atau meleburkan

budaya di DIY juga menjadi hal penting, khususnya dalam budaya suksesi

kepemimpinan. Upaya ini bertujuan semata-mata untuk memberikan

1 Menurut Bausastra Jawa yang dihimpun oleh W.J.S Poerwadarminta, ini bentuknya kamus

bahasa Jawa. Batavia 1939, Paugeran adalah weweton, Batokan, Dawuh Raja kepada seloroh dalem, abdi dalem, kawula dalem dan bukan tatanan pranatan, laku lampah atau panduan pelaksanaan keraton, Paugeran dapat dikatakan secara tertulis maupun lisan.

2 Serat Puji adalah Karya Sastra Agung dari Sri Sultan Hamnegkubuwono V tahun 1821-1855 yang isinya penuh ajaran-ajaran bagi seorang raja yang sedang bertakhta, ditulis dalam bahasa Jawa.

Page 14: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

3

kepastian dan perlindungan hukum bagi setiap warga Negara yang terwujud

dalam rekayasa budaya hukum.

Merekonstruksi budaya suksesi pengangkatan raja sekaligus mengikis

budaya patriarki dalam pengangkatan Sultan, sejatinya telah dilakukan oleh

Hamengkubuwono X di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kejadian

tersebut sudah dimulai dengan dikeluarkannya dawuh raja pada 5 Mei 2015

yang berbunyi :

“Putri Raja Mataram yang bergelar Gusti Kanjeng Ratu Pembayun ditetapkan sebagai Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Ning Bawono Langgeng Ing Mataram “

Pasca adanya dawuh raja tersebut kemudian digelar prosesi pemberian

gelar G.K.R Mangkubumi pada putri pertama Sultan Hamengkubuwono X.

Hal tersebut merupakan prosesi yang dilakukan sebagai salah satu langkah

sebelum ditetapkan menjadi penguasa Kesultanan Ngayogyakarta

Hadiningrat. Namun, dawuh raja ini menuai banyak kritikan dari kalangan

internal keraton seperti para adik laki-laki Sultan Hamengkubuwono X yang

sebelumnya diproyeksikan sebagai pengganti Sultan. Isi kritikan tersebut

kurang lebihnya mengatakan bahwa suksesi pengangkatan Sultan terhadap

perempuan tidak sesuai dengan adat istiadat kesultanan.3

Perubahan adat istiadat sejatinya telah banyak dilakukan oleh Sultan-

Sultan sebelumnya. Hal ini seperti apa yang dilakukan oleh

Hamengkubuwono IX, untuk pertama kali beliau menghapus lembaga pepatih

dalem yang menjadi orang kedua di Kesultanan. Padahal Pepatih dalem

bertugas mengoperasionalkan sehari-hari Kesultanan yang bisa dipersamakan

dengan Perdana Mentri. Selain itu, Hamengkubuwono IX juga pernah

memberikan kebebasan pada Hamengkubuwono X untuk memilih calon istri

atas kehendaknya sendiri yang bukan berasal dari kalangan kerajaan. Padahal,

Sultan sebelumnya diwajibkan memilih, bahkan cenderung dipilihkan oleh

orang tua agar menikah dengan keturanan kerajaan yang semata-mata untuk

mempertahankan trah dan terjalinnya kontrak politik saja. Selain upaya

3 G.K.R Hemas, Ratu di Hati Rakyat (Jakarta: KOMPAS, 2012, Cet. Pertama), h.,29

Page 15: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

4

merekontruksi budaya yang telah disebutkan, Hamengkubuwono IX juga

mereduksi masa pingitan yang seharusnya dilakukan selama 40 hari direduksi

hanya menjadi 3 hari.4, sehingga perubahan yang dicontohkan oleh Ayahnya

tersebut mengantarakan Hamengkubuwono X mereduksi masa pingitan

menjadi hanya sehari saja ketika menikahkan anak-anaknya.5 Persoalannya

adalah mengapa perubahan terkait suksesi pengangkatan Sultan Perempuan

terus diperdebatkan oleh beberapa kalangan di Internal Keraton. Hal ini tentu

menyimpan tanda tanya besar.

Upaya perubahan budaya atas suksesi kepemimpinan Yogyakarta juga

dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang merasa perlu adanya

perlindungan dan kepastian hukum bagi Perempuan keturunan Keraton

Ngayogyakarta Hadiingrat dan Kadipaten Pakualaman dengan mengajukan

judicial review terhadap UU No 13 Tahun 2012 Tentang Daerah

Keistimewaan Yogyakarta. Permohanan perubahan tersebut tepat pada pasal

yang membahas tentanng syarat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur

DIY, yakni pasal 18 ayat (1) huruf m kata istri untuk dapat dihilangkan. Pada

akhirnya, permohonan tersebut diterima sepenuhnya dengan putusan MK

bernomor 88/PUU-XIV/2016. Upaya yang awalnya bertujuan untuk

memberikan kepastian hukum bagi Perempuan keturunan Keraton

Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman untuk menjadi Pemimpin DIY,

pada akhirnya membuat situasi semakin memanas. Hal tersebut tergambar

pada sikap adik-adik Sultan yang sudah tidak mengikuti berbagai acara yang

diadakan oleh keraton.

Berangkat dari kondisi di atas, dirasa menarik untuk membahas

permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi dengan judul DISKURSUS

HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA PASCA PUTUSAN MK No. 88/PUU-XIV/2016.

4 Ibid

5 Ibid

Page 16: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

5

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Adapun masalah yang berhasil diidentifikasi oleh Peneliti dalam

Penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Yogyakarta ditetapkan menjadi daerah istimewa karena

keterlibatannya dalam mempertahankan NKRI.

b. Indonesia menetapkan Yogyakarta sebagai daerah istimewa dengan

keputusan presiden.

c. Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak pada

kepala daerah yang dijabat langsung oleh Sultan yang bertahta.

d. Aturan dalam UU DIY mengikuti paugeran tentang suksesi

pengangkatan Sultan di Keraton yang telah berlangsung berates-ratus

tahun.

e. Paugeran yang dibuat menghasilkan sistem patriarkhi di lingkungan

keratin Yogyakarta, sehingga setiap keturunan melakukan berbagai

cara untuk mempertahankan kekuasaannya.

f. Sultan Hamengkubuwono X mencoba merekonstruksi budaya

suksesi pengangkatan Sultan dengan cara mengeluarkan dawuh raja

yang menyatakan bahwa Putri pertamanya G.K.R Pembayun menjadi

Putri Mahkota.

g. Terjadi upaya reformasi hukum terkait penetapan Gubernur dan

Wakil Gubernur Yogya yang dilakukan oleh beberapa masyarakat

Yogya dengan mengajukan permohonan judicial review atas Pasal 18

ayat 1 huruf m UU tentang Keistimewaan DIY.

h. Terjadi diskursus hukum soal kepemimpinan kepala daerah DIY

yang akan dijabat oleh seorang Perempuan.

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang serta masalah yang berhasil diidentifikasi

oleh peneliti menyangkut problematika yang terus berkembang di Daerah

Istimewa Yogyakarta (DIY) terkait pengangkatan dan penetapan Kepala

Daerah DIY, maka timbullah diskursus hukum tentang kepemimpinan

Page 17: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

6

perempuan di daerah istimewa Yogyakarta pasca putusan MK no

88/PUU-XVI/2016.

3. Perumusan Masalah

Agar penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik, maka perlu dibuat

perumusan masalah sebagai berikut:

a. Apa perkembangan hukum adat ( paugeran ) Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat pasca adanya dawuh raja tentang penetapan putri

mahkota?

b. Apa perkembangan peraturan penetapan Kepala Daerah Istimewa

Yogyakarta ( DIY) Pasca putusan MK No 88/ PUU-XVI/2016?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka

penelitian ini berjalan dengan baik, maka perlu dibuat perumusan masalah

sebagai berikut:

1. Mengetahui perkembangan paugeran Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat pasca adanya dawuh raja tentang penetapan putri mahkota

2. Mengetahui perkembangan peraturan penetapan Gubernur di Daerah

Istimewa Yogyakarta pasaca Putusan MK no 88/PUU-XVI/2016.

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan yang ingin dicapai, tentunya peneliti berharap hasil

penelitian ini juga dapat memberi manfaat yang nyata untuk masyarakat di

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Adapun manfaat penelitian yang ingin

dihadirkan peneliti sebagai berikut:

1. Secara Teoretis

Hasil penilitian ini diharapkan dapat memperluas khazanah

keilmuan dalam bidang hukum, khususnya hukum tata Negara, juga

dalam bidang hukum Otonomi Daerah.

Page 18: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

7

2. Manfaat Praktis

Secara praktis tulisan ini dapat dijadikan rujukan untuk

mereformasi hukum tentang kepala daerah di Daerah istimewa

Yogyakarta (DIY) pada masa yang akan datang.

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk pada skripsi, jurnal serta

makalah internasional terdahulu dengan membedakan apa yang menjadi

fokus masalah dalam rujukan dengan fokus masalah yang peneliti bahas,

diantaranya:

1. Skripsi

a. Waldan Mufatir dalam skripsinya yang berjudul “ Kedudukan Sultan

Hamengkubuwono dan Adipati Paku Alam Sebagai Gubernur

Dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta :2015)”.

Skripsi ini membahas mengenai pengaturan mekanisme pengisian

jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Daerah istimewa

Yogyakarta. Membahas mengenai hak politik warga negara dalam

pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY berdasarkan

UUD 1945 Pasal 18 ayat (4).

b. Farid Mustofa dalam skripsinya yang berjudul “ Mekanisme

Pemilihan Kepala Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta

Persefektif Demokrasi. (Universitas Negeri Semarang: 2013)”.

Skrispi ini membahas mengenai sistem penetapan Kepala daerah di

DIY yang tidak sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut

Indonesia. Kemudian, skripsi ini menjabarkan tentang aturan kepala

daerah DIY yang hanya bisa dijabat oleh keluarga Kesultanan

Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman saja.

2. Jurnal dan Makalah

a. Ismu Gunadi Widodo dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol.11 No.2,

Mei 2011 yang berjudul “ Sistem Penetapan Gubernur Kepala Daerah

Page 19: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

8

Istimewa Yogyakarta dalam Sistem Pemilihan Kepala Daerah

Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945” Artikel ini membahas

mengenai penetapan keistimewaan DIY yang tercermin dalam

mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah Gubernur dan Wakil

Gubernur, dengan sistem penetapan Sri Sultan dan Sri Pakualaman

secara langsung oleh Presiden. Menganalisis sejauh mana aturan

penetapan langsung kepala daerah DIY dengan konstitusi Indonesia.

b. Sumarlam dalam makalah berjudul “Representasi Kekuasaan

Melalui Sabda Raja Paada Teks Berita Mengenai Konflik Internal

Keraton Yogyakarta (Sebuah Analisis Wacana Kritis).

(International Seminar Prasasti III: Current Research in

Linguistics, 2016)”. Makalah ini memaparkan hasil analisis teks berita

mengenai konflik internal yang terjadi di keraton pasca dikeluarkannya

sabda raja. Sedangkan peneliti akan membahas perkembangan

peraturan pengangkatan ratu dan penetapan gubernur maupun wakil

gubernur pasca Putusan MK No 88/PUU-XVI/2016.

F. Metode Penelitian

Pada bagian ini Peneliti akan menjelaskan secara rinci tentang hal-hal yang

terkait dengan metode penelitian,yaitu:

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah

pendekatan empiris, sosiologis, dan antropologis. Penelitian ini akan

mengamati secara langsung objek penelitiannya. Pokok kajian dalam

penelitian ini adalah pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum

positif dan hukum adat, serta permasalahan hukum secara faktual pada

setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Selain

itu, peneliti juga menggunakan Pendekatan Perundang-undangan (Statute

Approach) dan penelitian kepustakaan (library research), mengingat

peneliti berusaha menganalisis beberapa peraturan perundang-undangan

dan paugeran sebagai fokus penelitian, dan juga memulai penelitian

Page 20: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

9

setelah menganalisa ketentuan tertulis berupa buku-buku, dokumen cetak

dan dokumen elektronik dari berbagai hasil penelitian terdahulu yang

berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Hal ini karena

penelitian hukum empiris, bermula dari ketentuan hukum tertulis yang

diberlakukan pada peristiwa hukum in concreto dalam masyarakat.6

2. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data

Data yang penulis gunakan dalam penelitian ini berupa informasi

terkait Diskursus Hukum Kepemimpinan Perempuan sebagai Sultan dan

Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pasca putusan MK no

88/PUU-XIV/2016. Seperti, kritikan oleh sebagian keluarga keraton

pasca adanya dawuh raja tentang pengangkatan Putri Mahkota yang

dianggap tidak sesuai dengan Paugeran Keraton Ngayogyakarta dan

sikap diamnya sebagian keluarga keraton atas penetapan kepala daerah

DIY yang dapat dijabat oleh seorang perempuan.

Penelitian ini menggunakan sumber data yang berkaitan dengan

paugeran dan perundang-undangan kepemimpinan perempuan di daerah

istimewa Yogyakarta. Adapun, Informasi tersebut kemudian

dikelompokkan menjadi 2 (dua) sumber sebagai berikut: a. Sumber

Primer

Sumber primer dari penelitian ini yakni Putusan yang

diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi, Undang-undang No.13 Tahun

2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan

Paugeran tentang pengangkatan Sultan di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat yang ditetapkan pada masa Hamengkubuwono X.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yakni

sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Daerah

Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Paugeran yang berlaku di Keraton

6 Abdulkadir Muhammad, Hukum Dan Penelitian Hukum, (Bandung:citra Aditya Bakti,2004,

Cet. Pertama) h.,5

Page 21: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

10

Ngayogyakarta Hadingrat. Adapun sumber sekunder yang dimakasud

dalam penelitian ini sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18

2) Kontrak Politik antara Soekarno dan Hamengkubuwono IX

terkait peleburan DIY kepada NKRI tanggal 5 Agustus 1945.

3) Piagam penetapan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai

kepala Gubernur Yoyakarta oleh Presiden Soekarno tanggal 8

Agustus 1945

4) Keputusan DPD RI No 8/DPD/RI/2010-2011 tentang RUU

Daerah istimewa Yogyakarta.

5) Serat Puji

6) Sabda Tama Sultan Hamnegkubuwono X tanggal 10 Mei 2012

7) Sabda Tama Sultan hamengkubuwono X tanggal 6 Maret 2015

8) Sabda Raja Sultan Hamnegkubuwono X tanggal 25 April

2015.

9) Sabda jejaring Raja Mataram Sultan Hamnegkubuowono X

tanggal 31 Desember 2015.

Selanjutnya peneliti menggunakan metode pengumpulan data

berupa observasi dan studi dokumentasi dengan diawali membaca

naskah hukum positif dan hukum adat yang memiliki relevansi dengan

permasalahan yang sedang diteliti. Kemudian, mengamati

perkembangan keadaan peraturan terkait Kepala Daerah DIY melalui

kunjungan ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

3. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis hermeneutik analisis

framing, dan analisis wacana sekaligus. Metode analisis hermeneutik

digunakan untuk mengawali membaca peraturan perundang-undangan

dan paugeran tentang suksesi kepemimpinan DIY, kemudian diiringi

dengan analisis framing dan analisis wacana untuk memahami setiap

Page 22: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

11

dialektika dan dinamika sejarah yang mewujudkan adanya aturan-aturan

tersebut.

4. Teknik Penulisan

Teknik penyusunan dan penulisan skrispi ini berpedoman pada

buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum 2017,

yang telah ditetapkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penelitian

Untuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh dengan sistematis dan

terstruktur, maka skripsi ini disusun dengan sistematika penelitian yang

terdiri dari lima bab sebagai berikut:

: Merupakan bab pendahuluan yang

berisi uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah,

pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian dan

sistematika penulisan. : Landasan Teori. Dalam bab ini,

dijelaskan teori –teori tentang kedudukan hukum adat dalam tata

Negara Indonesia dan tata pengangkatan kepala Negara. : Pengangkatan Sultan di Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam bab ini, terdiri dari uraian

mengenai sistem pengangkatan sultan pada monarki keraton

ngayogyakarta hadiningrat, praktek pengangkatan sultan di

keraton ngayogyakarta hadiningrat, peraturan penetapan

gubernur di daerah istimewa Yogyakarta (DIY), dan sistem

penetapan gubernur di daerah istimewa Yogyakarta. : Analisis Penegakan Hukum

Konstitusional dalam Hukum Adat Pengangkatan Sultan di

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Bab ini merupakan inti dari

BAB IV

BAB III

BAB II

BAB I

Page 23: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

penelitian skripsi. Dalam bab ini dibahas duduk perkara

perkembangan

Page 24: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

12

penetapan gubernur bagi Yogyakarta sebagai Daerah

Istimewa dalam bagian NKRI dan Pengangkatan ratu dan

gubernur perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAB V : Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi tentang

kesimpulan pembahasan bab-bab sebelumnya dan rekomendasi.

Page 25: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL SISTEM MONARKI

DALAM TATA NEGARA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

A. Kedudukan Hukum Adat dalam Tata Pemerintahan Indonesia

Setiap masyarakat di daerah wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia telah mengatur lingkungannya masing-masing melalui berbagai

sistem yang sesuai dengan local wisdom daerahnya sendiri sebelum Indonesia

merdeka. Masyarakat itu biasa disebut dengan masyarakat adat. Masyarakat

adat biasanya membentuk hukum yang bersifat kekerabatan seperti

patrilineal, matrilineal, atau bilateral. Bentuk hukum tersebut sesuai dengan

ciri kehidupan mereka yang komunal, gotong-royong, dan saling tolong-

menolong.

Kebiasan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat adat tersebut,

menghadirkan budaya hukum di lingkungannya tersendiri. Menambahkan

atau mengurangi aturan, dengan cara musyawarah misalnya, dilakukan

sebagai upaya menanggapi gejala-gejala hukum yang terjadi. Hal ini, seperti

hal yang telah dikatakan oleh Hadikusuma bahwa budaya hukum merupakan

tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala

hukum.1 Sehingga, budaya Hukum yang berkembang memberikan kebiasaan

pada masyarakat untuk menyelesaikan problematika yang ada dengan prinsip-

prinsip dan hukum adat yang berlaku.

Indonesia sebagai Negara yang terdiri dari berbagai rasa, suku dan

agama telah melakukan penyatuan hukum untuk mengatur pemerintahanya

dengan cara tetap memberikan kewenangan bagi setiap daerah dalam

melestarikan hukum adat yang dianutnya. Secara tersirat, Indonesia telah

menetapkan hukum adat menjadi salah satu sumber hukum dalam

pembentukan hukum positif, pengakuan itu diperkuat dalam berbagai

1 Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2002),

h.29.

13

Page 26: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

14

peraturan perundang-undangan, seperti yang terdapat pada Pasal 18 ayat (1)

huruf b UUD 1945 yang berbunyi:

“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.

Selain ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, pengakuan

keberadaan hukum adat di Indonesia diperkuat juga dengan diberlakukannya

otonomi daerah. Selain itu juga, otonomi khusus diberlakukan untuk

memberikan kewenangan khusus pada suatu daerah yang mempunyai adat-

istiadat sendiri. Sehingga, daerah-daerah khusus tersebut dapat mengatur dan

melestarikan adat-istiadatnya sendiri. Oleh karena itu, kita dapat mencermati

bahwa Indonesia telah mengakui dan memberikan ruang tersendiri bagi

masyarakat adat, sepanjang hukum adat yang ditaatinya masih relevan dengan

hukum positive yang berlaku di Indoenesia.

B. Tata Pengangkatan Kepala Pemerintahan

Setiap Negara telah menentukan bentuk Negaranya masing-masing.

Ada yang memilih Monarki, Republik, Aristokrasi, ataupun Politea. Bentuk-

bentuk Negara tersebut dapat juga diidentifikasi salah satunya dengan melihat

tata cara pengangkatan kepala negaranya. Misalnya, bentuk negara republik

yang menetapkan kepala negaranya dengan cara pemilihan, sedangkan bentuk

negara monarki menetapkan dengan cara keturunan. Hal ini, seperti apa yang

dikatakan oleh Louis Diguit, bahwa untuk menetukan apakah Negara tersebut

berbentuk monarki atau republic dengan melihat cara penunjukan atau

pengangkatan kepala negaranya. Adapun monarki cara pengangktan kepala

negaranya diangkat berdasarkan keturunan, sedangkan republik diangkat

berdasarkan pemilihan.2

Pada masa awal pembentukan Negara, banyak negara di belahan dunia

memilih bentuk negara monarki untuk mengatur negaranya. Monarki adalah

2 Retno Listyarti dan Setiadi, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMK dan MAK Kelas X Standar isi 2006, (Jakarta: Erlangga,2008),h.21

Page 27: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

15

negara yang diperintah oleh satu orang saja, biasanya berbentuk

kerajaan,kesultanan atau kekaisaran yang pemimpinnya digantikan

berdasarkan keturunan.3 Setiap aturan kehidupan di negara yang berbentuk

monarki ditentukan berdasarkan keinginan Sang Raja. Hal ini seperti yang

telah dikatakan oleh Jellinek dalam buku Allgemeine Staatslehre, bahwa

Negara monarki berjalan sesuai dengan keinginan penguasa. Sehingga, pada

abad ke-15 menjadi puncak penjajahan atas negara-negara lemah di dunia

yang dilakukan oleh satu dominasi Negara saja. Negara yang mempunyai

kekuatan menaklukan negara-negara lemah untuk menguasai wilayahnya.4

Kekuasan wilayah yang sangat luas tersebut, menjadikan setiap pemimpin di

negara berbentuk monarki tidak menginnginkan kekuasaannya jatuh pada

orang yang bukan atas kehendak dirinya. Sehingga, peralihan kekuasaan

dalam negara berbentuk monarki menghalalkan segala cara dalam tata cara

pengangkatan kepala pemerintahannya.

Bentuk Negara Monarki yang telah menentukan aturan pengganti

pemimpinnya oleh keturunan Raja yang sedang bekuasa, mengantarkan setiap

keluarga kerajaan berlomba untuk merebut tahta raja dengan berbagai cara,

seperti pembunuhan, adu domba, dan bahkan peperangan antar keluarga.

Akibatnya, pemerintah tidak lagi mementingkan kebutuhan rakyat luas.

Sehingga, pada permulaan abad ke-16 yang ditandai dengan kokohnya

pemerintahan monarki gereja, muncul tindakan refresif warga yang

menginginkan zaman yang lebih modern, peristiwa tersebut ditandai dengan

berdirinya negara-negara nasional.5Terbentuknya Negara Nasional (nation

state) di berbagai wilayah Eropa, telah mengantarkan setiap Negara-negara di

dunia berani mencari bentuk negara yang sesuai dengan keinginan

masyarakatnya. Sehingga, berkembanglah susunan pemerintahan modern

yang akhirnya digandrungi zaman selanjutnya, seperti Negara Kesatuan dan

3 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta:Bumi Aksaara, 2010), h.59-60

4 Yuval Noah Harari, Sapiens, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2017), h.23

5 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h,. 198

Page 28: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

16

Neagara Federasi. Kedua susunan pemerintahan ini memiliki ciri dan

karakteristik masing-masing. Hal ini dapat dilihat dalam uraian di bawah ini:

1. Negara Kesatuan

Negara Kesatuan ialah suatu negara yang merdeka dan berdaulat,

dimana di seluruh negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintah

(pusat) yang mengatur seluruh daerah. Dengan demikian dalam negara

kesatuan hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintah pusat yang

mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang

pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintah dan

melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah –

daerah, di dalam maupun luar negri. Adapun macam-macam negara

kesatuan, antara lain:

a) Negara Kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala urusan

diatur oleh pemerintah pusat. Sedang pemerintah daerah tidak

mempunyai hak untuk mengurus sendiri daerahnya, pemerintah

daerah tinggal melaksanakan. Contoh: Jerman di bawah

kepemimpinan Hitler.

b) Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi (gedecentraliseerde

eenheidsstaat), di mana kepada daerah-daerah diberikan kesempatan

dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi

daerah) yang dinamakan daerah swatantra (daerah otonomi).

Contoh: Republik Indonesia dengan Daerah Swatantra (autonomie)

tingkat 1 (Daswati I atau pemprov) dan Daswati II atau Pemkot/pemkab.6

2. Negara Federasi

Negara federasi secara bahasa berasal dari kata”federal” bahasa

latin, yakni foedus yang artinya liga. Liga negara-negara kota yang

otonom pada zaman yunani kuno dapat dipandang sebagai negara federal

yang mula-mula. Negara federal lahir melalui suatu perjanjian

6 Titik Triwulan tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara,(Jakarta:Prestasi Pustaka,2006),

h.94

Page 29: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

17

internasioanl yang ditanda tangani oleh negara-negara merdeka, karena

negara-negara merdeka tersebut mempunyai jumlah wakil yang sama di

dalam Senat, sehingga Komposisi Dewan Perwakilan Negara atau Senat

ini yang menjamin bahwa negara-negara anggota, yakni masyarakat-

masyarakat daerah, secara tidak langsung telah ikut serta di dalam

prosedur pembuatan undang-undang pusat, yang sama dengan satu unsur

desentralisasi. Tetapi unsur desentralisasi yang didasarkan pada ide

persamaan pada ide persamaan dari negara-negara anggota ini hampir

seluruhnya dinetralisir dengan fakta bahwa Dewan Perwkilan Negara

harus menerima atau menetapkan resolusi-resolusinya menurut prinsip

mayoritas.7 Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan bahwa dalam

negara federal, wewenang membentuk undang-undang pusat dalam

mengatur berbagai hal telah terperinci satu persatu dalam konstitusi

federal. 8

Perkembangannya banyak Negara yang memilih Negara kesatuan atau

yang lebih cenderung dengan penyatuan. Hal ini, dikarenakan bahwa susunan

pemerinatahan seperti ini lebih mudah untuk menyatukan wilayah-wilayah

kecil yang mempunyai penguasa sendiri. Hukum juga dibuat untuk merespon

perkembangan zaman ini, perkembangan yang bertitik pada keinginan rakyat.

Utrecth juga mengemukakan bahwa dalam permulaan perkembangan

kenegaraan, perlu adanya sentralisasi kekuasaan supaya kekuatan-kekuatan

yang bertujuan akan meruntuhkan kesatuan yang baru itu dapat dilenyapkan.9

Peristiwa penyatuan atas daerah-daerah atau kekuasaan-kekuasaan kecil

tersebut dapat dicontohkan dengan adanya penyatuan kerajaan-kerajaan kecil di

Inggris, yang ditandai dengan berdirinya Unitarianisme Kerajaan Inggris,

peristiwa dimana bersatunya Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia yang

disatukan dengan adanya kesepakatan

7 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa media, 2009),h. 36

8 Ibid, h. 37

9 Ibid, h. 40

Page 30: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

18

bersama bernama Undang-undang Penyatuan (The Act of Union), yang

kemudian aturan tersebut dijadikan undang-undang yang sah di dalam Kitab

Undang-undang Kerajaan Inggris Raya.10

Melalui proses panjang tersebut akhirnya banyak Negara yang

memilih bentuk dan susunan pemerintahannya sesuai dengan keinginan

masyarakatnya. Semangat rakyat mencari bentuk Negara yang dapat

melindungi hak setiap individu dan pemerintahan yang tidak berbuat

sewenang-wenang juga mengantarkan Baron de Montesquieu –pemikir

pencerahan perancis- mencetuskan teori pembagian kekuasaan. Teori ini

bertujuan agar setiap lembaga pemerintahan dalam kerjanya melakukan

pengawasan yang berimbang. Pembagian kekuasaan tersebut terbagi atas

tiga lembaga yakni eksekutif (pelaksana), legislatif (pembuat aturan), dan

yudikatif (pengawas). Adapun orang yang mewakili ketiga lembaga tersebut

dipilih langsung oleh rakyat, sehingga setiap perwakilannya mempunyai

kewajiban untuk berbuat sesuai kehendak rakyat.

Pasca tercetusnya teori pembagian kekuasaan ini, bagi rakyat yang

tetap memilih dan menginginkan bentuk Negaranya monarki, pada akhirnya

tetap mempertahankan negaranya menggunakan bentuk monarki tersebut,

namun tidak kembali pada monarki yang mutlak hanya mengikuti keinginan

sang raja. Bentuk Negara monarki yang saat ini berkembang yakni bentuk

Negara monarki yang mempunyai batasan-batasan terhadap penguasa dalam

menjalankan pemerintahannya agar tidak sewenang-wenang terhadap

rakyatnya. Sehingga daam perkembangannya ada tiga macam monarki yang

digandrungi oleh banyak Negara, yakni sebagai berikut.

1. Monarki Absolut

Monarki Absolut adalah Seluruh kekuasaan raja berada di tangan

raja, raja mempunyai kekuasaan dan wewenang tidak terbatas (mutlak).

Suksesi pengangkatan kepala negaranya dengan cara diwariskan.11

10 C.F Strong, Konstitusi – Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan Bnetuk – Bentuk Konstitusi Dunia, (Bandung:Penerbit Nusa Media, 2008), h,. 118

11 Titik Triwulan tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara.h.91

Page 31: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

19

Contoh: Prancis di bawah Loius XIV dan Louis XVI, Spanyol di bawah

Raja Phillip II. Adapun Negara-negara modern yang sampai saat ini

masih menggunakan bentuk Negara monarki absulte ialah sebagai

berikut:

a. Arab Saudi

Arab Saudi adalah negara Arab Saudi diproklamirkan oleh Abdul

Aziz bin Abdurrahman As- Saud, yang akrab disapa Ibnu Sa’ud pada

23 September 1932. Ibnu Sa’ud kemudian menjadi raja pertama

dengan ibu kotanya Riyadh. Sebagai penganut model monarki absolut

Arab Saudi menganut hukum syariat islam yang berasas pada manhaj

salafiyah.12

b. Brunei Darussalam

Brunei Darussalam adalah sebuah negara kerajaan dengan

penguasa tunggal disebut sultan. Sultan memegang kekuasan tertinggi

yakni sebagi kepala negara dan kepala pemerintahan, Raja Brunei

bergelar Sultan Hasanah Bolkiah. Karena corak pemerintahannya

adalah monarki absolut, maka gelar ini diturunkan dalam wangsa

(keturunan raja) yang sama sejak abad ke -15.13

c. Swaziland

Swaziland adalah sebuah negara kecil di Afrika Selatan sebelah

barat yang tidak memiliki pantai. Kepala pemerintahannya adalah raja.

Tercatat, Raja Mswati III adalah pemimpin Swaziland sejak tahun

1986. Swaziland juga merupakan negara di Afrika yang menganut

monarki absolut terakhir.14

d. Oman

Oman merupakan salah stau negara di bagian selatan Jaziarah

Arab yang menganut sistem kerajaan berdasarkan kesukuan dengan

legitimasi Islam Sunni. Bentuk Negaranya adalah monarki absolut.

12 Ahmad Baso, NU STUDIES: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo – Liberal, (Jakarta:Erlangga,2007), h,.425

13 Radis Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, (Yogyakarta:Diva Pres), h.32

14 Ben Hills, Princess Masako: Kisah Tragis Putri Mahkota di Singgasan Negeri Sakura,(Jakarta: Pustaka Alvabe, 2009), h. 232

Page 32: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

20

Adapun raja atau penguasa tunggal neagra ini adalah Qoboos bin Said

al-said. Ia naik tahta setelah mengkudeta ayahnya Said bin Tamuir,

yang berkuasa pada 1932-23 Juli 1970.15

e. Qatar

Qatar berada di Timur Tengah yang terletak di sebuah

semenanjung kecil di Jazizrah Arab. Negara ini berbatasan dengan

Arab Saudi di bagian selatan, sedangkan yang lainnya berbatasan

dengan Teluk Persia. Meskipun termasuk negara-negara arab, Qatar

adalah negara liberalis. Hukum di Qatar cenderung lebih bebas dan

liberal. Di bawah kepemimpinan Emir Qatar, Hamad bin Khalifa Al

Thani, Qatar mengalami modernisasi dan liberalisasi.16

Negara-

negara yang telah disebutkan di atas, adalah negara yang

masih mempertahankan model monarki absolut sebagai sistem atau

bentuk pemerintahannya di era modern ini. Indonesia sebagai Negara

Kesatuan yang terlahir dari berbagai wilayah berbentuk kerajaan,

menyisihkan beberapa wilayah yang masih mempertahankan kerajaanya,

namun karena melebur dengan NKRI, maka kerajaanya sudah tidak

mempunyai kewenangan untuk mengatur sebuah wilayah, ia hanya

menjadi msyarakat adat yang memiliki kewenangan untuk melestarikan

budayanya. Menurut riset yang dilakukan oleh Kementrian dalam Negeri

Republik Indonesia tahun 2012, maka ada 186 kerajaan yang eksis secara

fisik, yakni wilayah, bangunan, budaya, dan struktur monarki, namun

tidak berdaulat lagi karena bergabung dengan NKRI.17

Adapun beberapa

keraajannya yakni sebagai berikut:

a. Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon adalah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat

pada abad ke-15 dan 16 Masehi. Kesultanan ini menjadi pangkalan

15 Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, h., 33

16

Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, h. 40

17 https://www.liputan6.com/news/read/2371749/5-kerajaan-yang-masih-eksis-di-tanah-air

Page 33: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

21

penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarpulau. Lokasinya

di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa

Tengah dan Jawa Barat, menjadikan pelabuhan yang 'menjembatani'

antara kebudayaan Jawa dan Sunda. Sehingga tercipta kebudayaan

yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi

kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda. Saat ini, masih berdiri

dan melakukan ritual kebudayaan.

b. Kasunanan Surakarta

Kasunan Surakarta Hadiningrat adalah kerajaan di Jawa Tengah

yang berdiri pada 1755, sebagai hasil perjanjian Giyanti 13 Februari

1755. Perjanjian ini menyepakati Kesultanan Mataram dibagi 2

wilayah kekuasaan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian ini

kesepakatan antara VOC dengan pihak-pihak yang bersengketa di

Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan Pangeran

Mangkubumi.

Pada dasarnya Kasunanan Surakarta tidak dianggap sebagai

pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri,

walau pun rajanya masih keturunan raja Mataram. Setiap raja

Kasunanan Surakarta yang bergelar Sunan--demikian pula raja

Kasultanan Yogyakarta yang bergelar Sultan, selalu menandatangani

kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.

c. Kesultanan Ternate

Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah

1 dari 4 kerajaan Islam di Kepulauan Maluku, yang merupakan di

antara kerajaan Islam tertua di Nusantara. Kesultanan Ternate

didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan ini

memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13

hingga ke-17.

Kesultanan Ternate mengalami kegemilangan pada paruh abad ke-

16, berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada

masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku,

Page 34: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

22

Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, serta bagian selatan

kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.

Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 3 kerajaan lain

yang memiliki pengaruh yaitu Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo,

dan Kesultanan Bacan. Sampai saat ini Kesultanan Ternate masih

menetapkan batas-batas kerajaanya.

d. Kesultanan Kanoman

Kesultanan Kanoman merupakan pecahan dari Kesultanan Cirebon

pada 1677. Keraton Kanoman didirikan Pangeran Mohamad Badridin

atau Pangeran Kertawijaya, yang bergelar Sultan Anom I sekitar 1678

M. Saat ini Kesultanan Kanoman masih taat memegang adat-istiadat

dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal,

seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur Sunan

Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara. Adapun Peninggalan-

peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan

syiar Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal

dengan Syarif Hidayatullah.18

2. Monarki Konstitusional

Monarki terbatas/konstitusional/monarche dengan undang-undang

yaitu suatu monarche yang di mana kekuasaan raja itu dibatsi oleh

konstitusi (UUD). Salah satu yang membedakan monarki konstitusional

dengan monarki absolut adalah orientasi pemerintahan. Pada monarki

konstitusional. Pemerintahan dibentuk oleh satu orang demi kepentingan

umum, sehingga mempunyai sifat baik dan ideal. Selain itu, model

pemerintahan ini telah menerepkan konsep trias politica. Dengan

penerapan konsep tersebut, kepala negara atau raja hanya berupa simbol.

Sebab raja tidak lagi memiliki kekuasaan pemerintahan yang penuh atau

mutlak seperti pada monarki absolut. Adapun pemegang kekuasaan

18

Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, h. 41

Page 35: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

23

tertinggi adalah perdana menteri karena ia dipilih oleh rakyat19

. Adapun

beberapa Negara di dunia yang menggunakan sistem ini adalah Inggris.

Inggris menggunakan model monarki konstitusional ini. Hal itu, dapat

dilihat dari adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara inggris.

Hood and Jackson seperti dikutip oleh Jimly Asshidiqie mengatakan:

“a body of laws, custom and conventions that define the composition

and powers of the organs of the state and that regulate the relations of

the various state organs to one another and to the private citizen.”

“Suatu bangun hukum, adat istiadat, kebiasan-kebiasaan yang

mennetukan susunan dan Kekuasaan organ-organ negara dan yang mengatur hubungan-hubungan di antara berbagai organ negara itu satu sama lain, serta hubungan organ –organ

negara itu dengan Warga negara.”20

Selain Inggris tentu ada beberapa negara lain yang menganut bentuk

pemerintahan monaraki konstitusional, setiap Negaranya itu memiliki ciri

khas dalam cara pengangkatan kepala Negara dan kepala

pemerintahannya masing-masing. Adapun Negara-negara yang menganut

monarki konstitusional ialah seperti bagan yang ada di bawah ini:21

Negara Tanggal konstitusi

Seleksi Monarki terakhir

Antigua dan 1981 Suksesi yang diwariskan

Barbuda

Pemilihan uskup La Seu Andorra 1993 d'Urgell dan pemilihan Presiden Perancis

Bahama 1973 Suksesi yang diwariskan

Barbados 1966 Suksesi yang diwariskan

Bahrain 2002 Suksesi yang diwariskan

Belgia 1831 Suksesi yang diwariskan

Belize 1981 Suksesi yang diwariskan

Bhutan 2007 Suksesi yang diwariskan

19

Saut Hamonangan Sirait, Politik Kristen di Indoneisa: Suatu Tinjauan Etis, (Jakarta:

Gunung Mulia, 2000), h., 38

20 Jimly Asshidiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Buku Kompas,2010), h.,6

21 Radis Bastian, Sistem – sistem Pemerintahan Dunia, (Yogyakarta :Diva Pres), h.34

Page 36: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

24

Negara Tanggal konstitusi

Seleksi Monarki

terakhir

Kamboja 1993 Dipilih oleh dewan tahta

Canada 1867 (terakhir

Suksesi yang diwariskan

diumumkan 1982)

Denmark 1953 Suksesi yang diwariskan

Grenada 1974 Suksesi yang diwariskan

Jamaika 1962 Suksesi yang diwariskan

Jepang 1946 Suksesi yang diwariskan

Yordania 1952

Suksesi yang diwariskan,

Kuwait 1962 dengan persetujuan diarahkan

Dewan Al-Sabah dan mayoritas

Majelis Nasional

Suksesi turun-temurun

Lesotho 1993 diarahkan persetujuan dari

Komisi kepala

Liechtenstein 1862

Luxembourg 1868

Dipilih dari sembilan Sultan

Malaysia 1957 secara keturunan dari negara-

negara Melayu

Monako 1911

Moroko 2011 Suksesi yang diwariskan

Norwegia 1814 Suksesi yang diwariskan

Selandia Baru 1907 Suksesi yang diwariskan

Papua Nugini 1975 Suksesi yang diwariskan

Saint Kitts dan 1983 Suksesi yang diwariskan

Nevis

Saint Lucia 1979 Suksesi yang diwariskan

Saint Vincent 1979 Suksesi yang diwariskan

dan Grenadines

Kepulauan 1978 Suksesi yang diwariskan

Solomon

Spanyol 1978 Suksesi yang diwariskan

Swaziland 1968 Suksesi yang diwariskan

dipindahkan dari monarki semi- Swedia 1974 konstitusional ke monarki

konstitusional

Diperintah oleh Raja Bhumibol Thailand 1946 Adulyadej sejak 1946 (raja

terlama)

Tonga 1970

Page 37: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

25

Negara Tanggal konstitusi

Seleksi Monarki terakhir

Tuvalu 1978 Suksesi yang diwariskan

Uni Emirat Presiden dipilih oleh tujuh raja

1971 multak merupakan Supremasi Arab

Konsul Federal

Britania Raya 1688 Suksesi yang diwariskan

Tabel 3.1 Negara dan Tipe Monarki Konstitusional

3. Monarki Parlementer

Monarki Parlementer adalah suatu monarki di mana terdapat suatu

parlemen (DPR). Dalam hal ini, sistem negara kerajaan memberikan

kekuasan khusus kepada parlemen (DPR). Para menteri, baik pereseorangan

maupun keseluruhan, bertanggung jawab kepada parlemen tersebut. Di sini,

raja adalah lambang kesatuan negara yang tidak dapat diganggu gugat dan

kedudukannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Contoh: Kerajaan Belanda22

Upaya memodifikasi bentuk monarki tersebut, juga terjadi di

Indonesia. Indonesia berasal dari penyatuan berbagai kerajaan, dari Sabang

sampai Merauke. Kemudian, Indonesia menetapkan Negara Republik sebagai

jati dirinya dengan asas demokrasi pemilihan dalam pengangkatan kepala

negaranya. Namun, Indonesia sebagai Negara kesatuan dengan sistem

desentralisasi telah memberikan kewenangan setiap daerah untuk mengatur

daerahnya masing-masing, termasuk dalam melestarikan adat istiadat.

Bahkan, Indonesia memberikan kewenangan bagi daerah-daerah tertentu

untuk mengatur tata cara penetapan kepala daerahnya dengan catatan tidak

keluar dari asas demokrasi yang dianut. Fenomena ini, terjadi di Daerah

Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menganut sistem monarki dalam penetapan

kepala daerahnya. Sehingga, disini dapat terlihat keunikan, bahwa adanya

sistem monarki yang digunakan untuk penetapan kepala daerah, dalam tubuh

Negara yang menganut sistem demokrasi untuk penetapan kepala negaranya.

22 Dianto Bachriadi dan Anton Lucas, Merampas Tanah rakyat, Kasus Tapos dan Cimacan,

(Jakarta: KPG, 2001), h.,121

Page 38: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

BAB III

PENGANGKATAN SULTAN DAN PENETAPAN GUBERNUR

DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Keunikan pengangkatan seorang pemimpin yang digambarkan pada bab

sebelumnya, memberikan ruang bagi para pengamat hukum ketatanegaraan untuk

dapat meneliti tentang pengangkatan kepala daerah yang menggunakan sistem

monarki, namun berada di dalam Negara yang pemilihan kepala Negaranya

dengan asas demokrasi lebih dalam. Sejatinya, telah Peneliti singgung di muka,

bahwa DIY telah menempuh perjalanan panjang dan penuh liku, sebelum

ditetapkannya menjadi daerah istimewa. Namun, Peneliti di sini akan menjelaskan

proses awal berdirinya Yogyakarta yang sering kita kenal Kesultanan

Ngayogyakarta Hadiningrat yang didirikan pasca adanya perjanjian Giyanti pada

tahun 1755 M.

Perjanjian Giyanti dibuat untuk menyelesaikan konflik antara Pangeran

Mangkubumi dan Mas Said yang terus bergulir di tubuh Kerajaan Mataram Islam,

Kerajaan yang menguasai banyak wilayah pada saat itu. Mangkubumi adalah

keturanan dari Sultan Agung yang memilki kerajaan Mataram, ia mulai

memperlihatkan kemampuannya terkait strategy politik ketika Pakubuwono II

memutuskan meninggalkan Istana Kartasura yang sudah kacau ke tepi Sungai

Sala.1 Kepindahan Pakubuwono II pada saat itu tidak mengurungkan para

pemberontak untuk tetap menyerang pasukannya, Mas Said,Pangeran Singasari

yang juga keponakan Pangeran Pakubuwana II dan Mangkubumi secara terus

menerus meneror dan menyulutkan api peperangan, maka Pakubuwono II

mengumumkan bahwa siapa saja yang bisa mengalahkan Mas Said dan

mengeluarkannya dari daerah Sukowati akan diberikan hadiah, maka pada saat itu

Mangkubumi mengambil tantangan tersebut dan mampu mengalahkan Mas Said.

Kemudian pada keadaan sulit tersebut, datang Gubernur baru yang akan mengatur

wilayah pesisir bernama Jendral Van Imhoff, Ia kemudian menagih perjanjian

1 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Jakarta: 1920 – 2004), h,.18

26

Page 39: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

27

yang dibuat pada tahun 1743, di mana VOC mempunyai hak atas daerah yang

sempit di wilayah pesisir dan semua sungai yang mengalir ke laut. Van Imhoff

mencoba mempertahankan daerah tersebut dengan menyudutkan Pakubuwono II

bahwa raja tidak dapat menjaga wilayah pesisir, sehingga dengan mudahnya Raja

tanpa pertimbangan penasehat menyepakati uang sewa atas daerah tersebut

seharga 20.000 real per tahun kepada VOC.2 Kesepakatan tersebut akhirnya

diberitahukan kepada setiap penasehat, Namun Mangkubumi merasa keberatan

dan tidak sepakat atas keputusan yang diambil oleh Raja. Ia mengganggap bahwa

Raja telah melanggar prinsip-prinsip yang diharuskan bagi seorang raja yakni

bermusyawarah terlebih dahulu dengan para penasehat. Kemudian, Mangkubumi

memberontak dan membangun kekuasaan tersebut di Yogyakarta. Selanjutnya,

kekuasaan yang ia pegang tersebut, Ia namakan Kesultanan Ngayogyakarta

Hadiningrat.

Setelah berdirinya Yogyakarta yang penuh strategi tersebut, Yogyakarta

berjalan memerintah wilayahnya sesuai dengan keinginan Sultan. Tentu, sistem

yang digunakan tidak lain sistem monarki. Mempertahankan wilayah kekuasaan,

juga menjadi tanggung jawab utama bagi para penerus Sultan. Pada masa

kekuasan Hamengkubuwono IX, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat perlu

bekerja keras melawan penjajah yang sudah merajalela menguasai Nusantara. Isu

akan didirikannya Negara Indonesia juga menjadi pertimbangan Sultan untuk

bergabung melawan Penjajah. Usaha bersama tersebut berhasil dan akhirnya

membuahkan kemerdekaan. Pada akhirnya, Yogyakarta bergabung dengan Negara

bernama Indonesia memiliki hak istimewa untuk mengatur wilayah kekuasaanya,

hal ini diatur dalam piagam kedudukan pada tanggal 19 Agustus 1945, Amanat 5

September 1945 dan Amanat 30 Oktober 1945 yang menyatakan peleburan

wilayah kekuasaan Yogyakarta pada Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Peleburan Yogyakarta menjadi bagian NKRI mengantarkan Pendiri

bangsa mengapresiasi peranan aktif Yogyakarta dengan memberikannya hak

istimewa. Khususnya, dalam hal pengangkatan dan penetapan kepala daerahnya.

2 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 20

Page 40: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

28

Hal ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 jo Undang-undang No 3 tahun 1950

tentang Pembentukan DIY. Oleh karena itu, untuk mengtahui lebih dalam

mengenai hal ini, kita akan coba menyusurinya tentang pengangkatan dan

penetaapan kepala daerah DIY, dari Sultan Hamengkubuwono I hingga Sultan

Hamengkubuwono X.

A. Sistem Pengangkatan Sultan pada Monarki Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat

Mempertahankan sebuah kerajaan agar bertahan lama, membutuhkan

pelestarian budaya yang baik dan benar. Hal tersebut, juga dilakukan oleh

Yogyakarta yang memiliki wilayah yang luas. Sistem itu dilakukan untuk

mengatur keberlangsungan kehidupan keraton, khususnya pada tata cara

pengangkatan Sultan yang biasa disebut suksesi. Sistem pengangkatan di

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tentu mempunyai ciri dan model

tersendiri yang kemudian ditetapkan dengan paugeran. Adapun, model

pengangkatan tersebut seperti; Monocentrum, Metafisis, Etis, Pragmatis, dan

Sinkretis. Adapun penjelasannya, seperti uraian di bawah ini:

1. Monocentrum

Adapun yang dimaksud dengan monocentrum ialah kepemimpinan

berpusat pada figur yang tunggal. Ciri yang seperti ini dipengaruhi era

kepemimpinan raja. Raja menjadi sumber sentral kekuatan.

Kepemimpinan jawa bersifat tunggal, yakni berpusat pada satu orang

(monoleaderr/monocentrum). Hal ini merupakan suatu kelemahan karena

begitu seorang pemimpin lenyap, maka sistem kepemimpinan memiliki

kekacauan. Terlebih lagi ketika raja menggariskan bahwa pemimpin

harus seorang laki-laki yang disebut Pangeran Pati, akan bermasalah

ketika raja tidak mempunyai keturunan laki-laki. Mitos kepemimpinan

akan habis (cures), manakala sistem tersebut ditaati secara kaku.3Hal ini

diatur dalam Serat Puji yang berbunyi :

3 Moedjanto,M.A, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, (Yogyakarta:

Yogyakarta Press, 2012), . hal 9

Page 41: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

29

“ Utamanya raja itu pria, akan tetapi ada perkecualian apabila

dalam keadaan tertentu, misalnya yang meninggal dunia tidak punya putra pria dan hanya memiliki putra perempuan, maka putra

perempuan itu dpaat diangkat menjadi ratu”.

2. Metafisis

Bahwa kepemimpinan Jawa juga bersifat metafisis, yakni selalu

dikaitkan dengan hal-hal metafisik seperti wahyu, pulung, drajat,

keturunan (nunggak seni), dan sebagainya. Hal ini dapat dicontohkan,

saat Hamengkubuwono V mendapatkan wahyu (petunjuk) untuk

menciptakan reportoar sacral tari Srimpi yang fenomenal Dewi

Renggowati, dikatakan fenomenal karena sebelumnya sebutan Srimpi itu

untuk menunjuk tarian yang dibawakan oleh 4 putri, tetapi Sultan

Hamnegkubuwono V justru menambahkan 1penari lagi jadi 5 orang

putri. Srimpi Dewi Renggowati ini mengajarkan pendidikan moral para

putri di dalam kehidupan keluarga ddan masyarakat, dimana keikhlasan

menjadi nilainya yang tertinggi.

3. Etis

Bahwa Nilai kepemimpinan jawa bersifat etis artinya apa yang

didiamkan adalah suatu yang berdasar pada baik buruk, tetapi konsep

aplikasi riil yang ditawarkan sama sekali tidak ditunjukan. Aturan ini

ditetapkan dalam Serat Tajus Salatin (Mahkota Para Sultan) dan Serat

Purwakandha (Babad Purwa). Kitab serat Tajussalatin ini berisi tentang

Etika Kekuasaan Islam yang mesti dipedomani oleh para Sultan. Inti dari

pesan etis dalam kitab ini adalah Sultan mesti mengenal Tuhan melalui

jalan pengenalan dan pengendalian diri, mewujudkan keadilan bagi

semua, mengayomi para hambanya dengan kasih saying, menjunjung

tinggi musyawarah di di dalam mengambil keputusan, mempunyai

kapabilitas dan eksabaran dalam menjalankan kekuasaan serta menyusun

dengan tertib sistem adminstrasi dan sebagainya.

4. Pragmatis

Bahwa konsep pragmatis ini yang dinyatakan oleh Sudardi (1995)

tampak dalam serat tripama (Tiga Umpamaan) dari lingkungan

Page 42: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

30

Magkunegaraan yang mengidolakan tiga tokoh kontrovesial: missal,

kehadiran tokoh Kumbangkarna, Adipati Karna, dan Sumatri (Patih

Suwanda) terkait erat dengan fakta historis Mangkunegaraan yang eksis

di pihak perlawanaan khususnya terhadap Kasunan yang merupakan

simbolisasi dari pandawa (raja- raja Mataram mengganggap dirinya

keturunan Arjuna).

5. Sinkretis

Bahwa Kepemimpinan Jawa bersifat Sinkretis artinya konsep-

konsep yang diambil adalah konsep-konsep yang berasal dari berbagai

agama yang memiliki pengaruh pada pola fikir di jawa, khususnya Islam

dan Hindu.4

Model pengangkatan yang telah dipaparkan di atas, memberikan pilihan

bagi para keturunan Sultan di keraton untuk melakukan berbagai cara dalam

memperebutkan kekuasaan. Adapun beberapa cara dalam merebutkan

kekuasaan akan dijelaskan secara gamblang di bawah ini:

1. Pemberontakan dan peperangan

Mempertahankan dan memperebutkan kekuasaan dengan cara

peperangan sangat lazim dilakukan oleh setiap kerajaan,seperti yang

dilakukan oleh Mangkubumi untuk mendirikan Yogyakarta dengan cara

memberontak Pakubuwono II dan menjalin sekutu dengan Mas Said

yang sebelumnya dijadikan musuh untuk ia lawan.

2. Diplomasi Perkawinan

Setelah peperangan tidak lagi menjadi satu-satunya cara untuk

mempersatukan kembali kerajaan demi memperluas kekuasaan,maka

Sultan Hamengkubuwano I yang masih mempunyai niatan untuk

mempersatukan Dinasti Mataram antara Kesultanan Ngayogyakarta dan

Kasunanan Surakarta, akhirnya mencoba menjodohkan putra

mahkotanya, R.M Sundoro dengan Putri Pangeran Mangkunegara I,

4 Moedjanto,M.A, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, h.10

Page 43: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

31

Namun perkawinan tersebut tidak terjadi, karena Pangeran

Mangkunegara I lebih memilih untuk menikahkan putrinya dengan

Susuhunan Pakubuwana III yang menjadi musuh Hamengkubuwono I,

sehingga akhirnya Dinasti mataram tidak dapat dipersatukan lagi.5

3. Perceraian secara paksa

Ketika perkawinan menjadi salah satu cara untuk mempertahankan

kekuasaan,maka jalan lain untuk memutus rantai perebutan kekuasaan

juga dilakukan perceraian jika dirasa”menantu”dianggap menjadi

ancaman mengambil tahta. Hal ini digambarkan pada tahun 1763, ketika

Ratu Bendara seorang Putri Hamengkubuwono I yang menjadi istri dari

Mangkunegara I (Mas Said) meninggalkannya dan kembali ke

Yogyakarta yang tidak lama setelah itu Sang ratu menceraikan

Mangkunegara. Sehingga, Mangkunegara I terus membenci kejadian ini

sampai akhir hayatnya,karena meerasa yakin bahwa Hamengkubuwono I

lah yang memaksa sang putri untuk menceraikannya, sedangkan sang

putri tidak menginginkannya.6

4. Kesepakatan dan Hukum baru

Membuat kesepakatan dan hukum baru untuk ditaati kedua belah

pihak sebagai poses legitimasi atas sebuah wilayah kerajaan menjadi hal

penting yang harus diperhatikan,pada tahun 1733-1734 misalanya sensus

baru dan kesepakatan pembagian wilayah antara Surakarta dan

Yogyakarta dicapai,dan penyelesaian sengketa selanjutnya

ditetapkan.7Pada saat itu, disetujui pula perundang-undangan baru,yang

mengakhiri yuridiksi yang rumit akibat dari pembagian tersebut dan yang

secara resmi mengatur hubungan antar warga kedua istana, sehingga pada

tahun 1771 dan 1773 aturan tersebut seperti Angger Ageng

5 M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h.224

6 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 226

7 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 228

Page 44: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

32

(Peraturan Hukum Besar) Angger-Arubiru (Undang-undang tentang

gangguan ketentraman).

B. Pengangkatan Sultan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Berbagai cara perebutan kekuasaan yang telah dipaparkan di atas,

tentunya memberikan batasan bagi keturunan Sultan untuk mengemban

kekuasaan. Bahkan, cara-cara pengangkatannya berkembang sesuai dengan

perkembangan zaman. Sehingga, setiap Sultan memiliki cara dan cirinya

masing-masing saat proses pergantian kekuasaan. Akan tetapi, walaupun

berbagai cara dilakukan dalam merebut kekuasaan, tentu saja dalam proses

perhelatan perebutan kekuasaannya tidak boleh melanggar paugeran yang

telah disepakti rakyat di lingkungan keraton. Untuk mengetahui setiap

perbedaan cara dan aturan suksesi tersebut, Maka sudah sebaiknya kita

memahami uraian di bawah ini:

1. Bendara Raden Mas Sujono 1756-1792 (Sultan Hamengkubuwono I)

Hamengkubuwono I yang mempunyai nama asli Raden Mas

Sujana yang bergelar Pangeran Mangkubumi merupakan putra

Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama

Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717. Mangkubumi adalah

keturanan dari Sultan Agung yang memilki kerajaan Mataram. Pada

mulanya, Mangkubumi melakukan pemberontakan bersama-sama dengan

Mas Said, kemudian meletuslah Perang Suksesi Jawa III pada tahun 1746

yang akhirnya dimenangkan oleh Mangkubumi. Dipenghujung tahun

1749 Pakubuwono jatuh sakit, sehingga Van Hohendroff sebagai

Gubernur Jendral baru untuk wilayah pesisir pada 15 Desember 1749

mengumumkan pengangkatan Putra Mahkota sebagai Susuhunan

Pakubuwono III (1749-1788), akan tetapi sebelum prosesi tersebut

berlangsung pada 12 Desember 1749 Mangkubumi telah lebih dulu

dinyatakan sebagai Raja oleh pengikutnya di daerah kekuasaanya.

Akhirnya, Pada tahun 1755 pengangkatan Hamengkubuwono I yang

Page 45: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

33

mempunyai kekuasaan di Yogyakarta disepakati dalam perjanjian

Giyanti.8

2. Bendara Raden Mas Sundoro 1792-1812 (Sultan Hmanegkubuwana II)

Pasca wafatnya Hamengkubuwono I pada Maret 1792, R.M

Sundoro yang telah dinobatkan sebagai Putra Mahkota akhirnya naik

tahta menggantikan Ayahandanya, R.M Sundoro kemudian bergelar

Sultan Hamengkubuwono II dan menjabat dari 1792-1810.9

3. Bendara Raden Mas Surojo 1812-1814 (Sultan Hamnegkubuwono III)

Pergantian kekuasan dari Hamengkubuwono II terhadap Raden

Mas (RM) Surojo banyak dicampuri oleh Pemerintahan Kolonial,

sehingga menuai pertikaian antara RM Surojo dengan Ayahandanya

sendiri. Hal ini, dikarenakan pada masa pememrintahan

Hamengkubuwono II, Deandles yang menjadi perwakilan VOC adalah

orang yang menyukai pembaharuan dan tidak menyukai sistem

keukasaan yang berpusat pada satu orang saja. Sedangkan,

Hamengkubuwono II adalah seoerang yang sangat tidak mempercayai

belanda dan tidak dapat berlaku ramah, sehingga Ia selalu menentang apa

yang diperintahkan oleh Belanda dan lebih cenderung mempertahankan

adat istiadat Keraton. Hal ini yang mengakibatkan Hamengkubuwana II

melancarkan peperangan terhadap Belanda melalui Raden Rangga

sebagai kepala Pemerintah wilayah mancanegara. Pemberontakan Raden

Rangga dan sikap Hamnegkubuwono II tersebut mendorong Deandles

merangkul RM Surojo melalui Danureja II –mantan Patih Sultan

Hamengkubuwono II- dan mengeluarkan ultimatum agar Hamengkubuwana

II mau menyetujui perubahan atas”minister”eropa di joggja dan mengangkat

kembali Danureja II, namun Sultan menolak hal tersebut. Sehingga,pada

bulan Desember 1810 Deandles bergerak menuju

8 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 229

9 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 230

Page 46: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

34

Yogyakarta dengan membawa 3.200 serdadu dan memaksa

Hamengkubuwona II turun tahta dan menyerahkan kekuasaannya kepada

RM Surojo, Putranya dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kedhaton yang

lahir pada 20 Februari 1769 sebagai ”wakil raja” yang berkuasa dan

menetapkan Hamengkubuwana II sebagai Sultan Sepuh.

Pergantian tersebut memberikan kekecewan kepada

Hamengkubuwana II, yang akhrinya Ia memanfaatkan kekacauan

penaklukan inggris untuk merebut tahtanya kembali dari Putra

Mahkotanya, akhirnya dengan bantuan Inggris keadaan keraton kembali

ke semula, namun Rafles yang juga sangat membenci dispotisme dan

baru menyadari dimanfaatkan oleh Hamengkubuwono II, mengadakan

perundingan-perundingan rahasia dengan R.M Surojo,Putra Mahkota

Hamengkubuwono II, dan Natakusuma –saudara Sultan

Hamengkubuwono II- untuk menghancurkan Sultan Hamengkubuwono

II. Sehingga, pada bulan Juni 1812 sebanyak 1.200 prajurit

berkebangsaan eropa dan spoy india ditambah 800 prajurit Legiun

Mangkunegara berhasil merebut Istana Yogyakarta dan memakzulkan

Hamengkubuwana II yang kemudian diasingkan ke Penang, tahta

kembali ke tangan Hamengkubuwana III. Kemudian, Natakusuma atas

bantuannya kepada pihak Inggris dihadiahi suatu daerah yang merdeka

dan dapat diwariskan yang dianugrahi gelar Pangeran Pakualam I (1813-

1829 m),10

Dari titik ini dimulailah pembaharuan sistem kerajaan

Yogyakarta dan Surakata yang kemudian memilki kerajaan senior dan

Junior, Surakarta Pakubuwana dan Mnagkunegara, adapun Yogya

Hamengkubuwano dan Pakualaman, hal ini yang akan menjadi intrik

baru pengangkatan tahta di masa mendatang untuk kerajaan Yogyakarta.

4. Bendara Raden Mas Ibnu Jarat 1814-1823 (Hamengkubuwono IV)

Hamengkubuwono III tidak lama memerintah, pada tahun 1814 ia

wafat dalam usia 43 tahun, saat itu RM Ibnu Jarat sebagai Putra Mahkota

10 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 232

Page 47: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

35

masih berusia 13 tahun, sehingga disepakati pemerintahannya diwalikan

pada Paku Alam 1 sampai 1820. Namun pada tahun 1822, Sultan

Hamengkubuwono IV meninggal dunia.

5. Bendara Raden Mas Batot Menol 1823-1835 (Hamengkubuwono V)

Setelah mangkatnya Hamengkubuwono IV ia digantikan oleh

Putra Mahkotany, Raden Mas Menol, dengan Gelar Hamengkubuwono

V, karena waktu dinobatkan masih berumur 3 tahun, maka

pemerintahannya diurus oleh dewan perwalian, Dewan perwalian

tersebut bertugas sampai Sultan berusia 17 tahun, sehingga barulah pada

sekitar tahun 1836, Sultan menjabat secara penuh.11

6. Bendara Raden Mas Murtedjo 1855-1877 (Hamengkubuwono VI)

Sultan Hamengkubuwono V mangkat pada tahun 1855 tanpa

meninggalkan Putra yang bisa mejadi penggantinya, akhirnya tahta

Sultan dilimpahkan pada adiknya Sultan Hamengkubuwono V,yang

bernama Pangeran Adipati Mangkubumi, dan kemudian bergelar

Hamengkubuwono VI menggantikan Sultan Hamengkubuwono V.

7. Bendara Raden Mas Musteyo 1877-1921 (Hamengkubuwono VII)

Pada tahun 1877, seorang putra Hamengkubuwono V , Raden Mas

Akhidayat, yang lahir setelah pengangkatan Hamengkubuwono VI,

melakukan pemberontakan dan meminta agar sepeninggal

hamengkubuwono VI Raden Mas akhidayat dinaikan ke atas tahta,

Hamengkubuwono VI. Hamengkubuwono VI yang menyadari bahwa

permaswarinya tidak memiliki seorang anak laki-laki, dan Ia tidak

menginginkan tahta Sultan jatuh pada keponakannya, akhirnya Sultan

Hamengkubuwono VI mengangkat salah seorang selirnya menjadi

prameswari, yang kemudian melahirkan Gusti Pangeran Hangabehi.

Selanjutnya, Pangeran Hangabehi diangkat menjadi Putra Mahkota

dengan nama Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Hanom (Adipati anom)

Hamengkunegoro. Walaupun RM Akhidayat masih mencoba untuk

11 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 241

Page 48: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

36

merebut kekuasaan, Sultan Hamnegkubuwono VI tetap menunjuk Putra

Mahkotanya untuk menggantikannya sebagai Sultan Hamengkubuwono

VII dengan dukungan penuh pihak Belanda12

.

8. Bendara Raden Mas Sujadi 1921-1939 (Hamengkubuwono VIII)

Pada tahun 1920 saat itu Hamengkubuwono VII berusia 80 tahun,

ia mengajukan permintaan berhenti dan mengangkat Putra Mahkotanya,

Raden Mas Sujadi, untuk menjadi penggantinya. Setelah disepakati oleh

Pemerintahan Belanda. RM Sujadi yang saat itu sedang study di Belanda,

pada tahun 1921 Ia dipanggil pulang untuk menggantikan posisi

Ayahnya dan dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono VIII.

9. Bendara Raden Mas Dorojatun 1940-1988 (Sultan Hamengkubuwono

IX)

Setelah wafatnya Sultan Hamengkubuwono VIII, sebagai Putra

Mahkota, RM Dorodjatun yang merupakan putra dari Sri Sultan

Hamengkubuwono VIII dengan R.A Kustilah, lahir pada 12 April 1912

atau bertepatan dengan Sabtu Pahing, 25 Rabingulakir tahun Jimakir

1842 penanggalan Jawa.13

Menggantikan posisi Ayahnya sebagai Sultan

Hamengkubuwono IX. Namun, dalam pengangkatannya, Sultan

Hamengkubuwono sempat tidak disetujui oleh Pemerintahan Belanda,

hal ini karena Ia menolak draf ”kontrak politik” yang disodorkan

Belanda, sebagai syarat penobatannya menjadi Sultan di Yogyakarta.

Padahal Kontrak politik tersebut telah lazim dilakukan oleh raja-raja

sebelum dirinya. Namun, Darojatun tetap konsisten untuk mengangkat

nilai tawar Keraton menjadi mitra kerja dengan Pemerintahan Belanda,

bukan menjadi bagian wilayah yang dijajah oleh Belanda. Sehingga,

pada masanya tarik ulur mengenai kontrak politik dengan Gubernur Dr.

Lucien Adam sampai 4 bulan lamanya. Akhirnya, Darojatun

12 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 222

13 Kustianti Muchtar, Pak Sultan dari Masa ke Masa, dalam Atmakusumah (Penyunting), 1982, Tahta untuk Rakyat: Celah – celah Sultan Hamegkubuwono IX, (Jakarta: PT Gramedia, 1982), h,.21

Page 49: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

37

memenangkan hasil kesepakatannya bahwa Yogyakarta tidak menjadi

wilayah penjajahan Hindia Belanda dan Ia sah menjadi Sultan

Hamengkubuwono XI tanpa harus disetujui oleh Pemerintahan Hindia

Belanda.14

10. Bendara Raden Mas Herjuno Darpito 1988-sekarang (Hamengkubuwono

X)

Pasca wafatnya Sultan Hamengkubuwono IX pada tanggal 3

oktober 1988, RM Herjuno Darpito sebagai Putra Mahkota secara

otomatis menggantikan Ayahnya sebagai Sultan Hamengkubuwono X,

yang kemudian penobatannya sebagai Sultan berlangsung pada 7 Maret

1989.

Setelah pemaparan Suksesi pengangkatan Sultan di keraton Yogyakarta,

kita dapat mencermati bahwa setiap Sultan memiliki ciri khas masing-

masing dalam proses pengangkatannya, ada yang diwakilkan, merebut

dengan paksa, menggunakan dukungan pihak ketiga, atau bahkan

dibunuh, semua cara tersebut hanya bertujuan untuk merebut tahta

Sultan. Walaupun menghalakan segala cara dalam proses

pergantiannnya, satu hal yang sama dilakukan oleh setiap Sultan adalah

menobatkan gelar Sultan sebagai penggantinya, pada anaknya yang telah

diangkat sebagai Putra Mahkota. Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa

Putra Mahkota adalah calon penerus Sultan selanjutnya.

C. Peraturan Penetapan Gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Keraton Yogyakarta telah berdiri semenjak Pemerintahan kolonial

bertahta, sehingga agar tetap berlangsungnya pemerintahan Keraton

Yogyakarta dapat menagatur wilayah kekuasaan, Yogyakarta tidak pernah

memberikan wilayahnya untuk dijajah oleh pemerintahan kolonial. Akhirnya,

Pemerintahan Hindia Belanda mengakui secara de facto keberadaan Keraton

14

Kustianti Muchtar, Pak Sultan dari Masa ke Masa, dalam Atmakusumah (Penyunting),

1982, Tahta untuk Rakyat: Celah – celah Sultan Hamegkubuwono IX, h. 39

Page 50: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

38

Yogyakarta sebagai sebuah kerajaan yang bertahta, sehingga pemerintahan

Hindia Belanda memberikan kewenangan pada Sultan untuk memerintah di

daerah kekuasaanya sederajat sebagai Bupati yang harus bertanggungjawab

pada Gubernur. Namun, Sultan yang bertahta harus atas persetujuan

Pemerintahan Hindia Belanda. Kontrak politik tersebut bergeser pada masa

pengangkatan Sultan Hamengkubuwono IX yang tercantum dalam Pasal 4

kontrak politik tentang kedudukan Sri Sultan yang kemudian ditanda tangani

oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Gubernur Lusian Adam pada

tanggal 18 Maret 1940. Aturan tersebut menyatakan bahwa Pemerintahan

kolonial tidak lagi menjadi pihak yang harus ikut terlibat dalam menentukan

pengganti Sultan di keraton Yogyakarta, namun pemerintahan Kolonial harus

tetap mengakui secara de facto dan de jure kekuasaan yang ada di bawah

tahta Sultan.

Susunan pemerintahan yang telah dibuat oleh Sultan Hamengkubuwono

IX tersebut berlangsung terus sampai Yogyakarta melebur ke dalam NKRI,

Pasca daerah-daerah bersatunya di Nusantara menjadi NKRI tetap mengakui

Yogyakarta sebagai bagian daerah dalam NKRI yang diberikan hak istimewa

untuk mengatur daerahnya sendiri, hal ini diatur dalam Amanat 5 Sepetember

1945 yang dikeluarkan oleh Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII yang

menyatakan penggabungan diri Kesultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten

Pakualaman ke dalam NKRI dengan status daerah istimewa yang memiliki

kekuasaan penuh untuk mengatur wilayahnya. Adapun amanat ini berbunyi

sebagai berikut :

“ Kami Hamnegkubuwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:

1. Bahwa Negri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negaraa Republik Indonesia.

2. Bahwa kami sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dan oleh karena itu berhubung

dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan

kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. 3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat

dengan pemerintahan pusat Negara Republik Inodnesia bersifat

Page 51: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

39

langsung dan kami bertanggung jawab atas Negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indoenesia.

Kami memerintahkan supaya segenap penduuk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahka Amanat kami.”

Amanat tersebut dijawab oleh Presiden Soekarno dengan

menyerahkan Piagam Kedudukan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam

VIII sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang sah di DIY pada

tanggal 6 September 1945. Setelah itu, kedudukan Sultan dan Paku Alam

sebagai Kepala daerah DIY diatur dalam Undang-undang No 3 tahun

1950 atas perubahan UU No.22 tahun 1947 tentang Pembentukan DIY,

dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa yang menjadi kepala daerah di

DIY ialah Gubernur yang berasal dari keturunan Sultan

Hamangkubuwono IX, dan Wakil Gubernur adalah keturunan Paku Alam

VIII.

Setelah itu UU no 3 tahun 1950 tentang Pembentukan DIY diperbaharui

dengan UU No 1 tahun 1957, kemudian diperbaharui lagi dengan UU No. 5

Tahun 1965 tentang DIY, Setelah itu diperbaharui lagi dengan UU No 5

Tahun 1974 tentang Pembentukan DIY dan akhirya pada tahun 2012

Undang-undang DIY diterbitkan untuk mengatur susunan pemerintahannya

dalam UU No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY). Adapun dalam UU ini telah ditetapkan bahwa yang dapat

menjadi Gubernur DIY ialah yang bertahta sebagai Sultan Hamnegkubuwono

dan yang menjadi Wakil Gubernur ialah yang bertahta sebagai Adi Pati paku

Alam. Hal ini diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf c UU No.13 Tahun 2012

tentang Keistimewaan DIY yang berbunyi:

“ Bertahta sebagai Hamengkubuwono untuk Calon Gubernur dan

bertahta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”.

Maka dapat sama-sama kita pahami, bahwa yang dapat menjadi Gubernur

dan Wakil Gubernur ialah siapapun yang sudah mengikuti proses penobatan

menjadi Sultan Hamengkubuwono dan telah disahkan untuk bertahta sebagai

penguasa Keraton Ngayogyakarta bagi calon Gubenur, dan yang dapat

dicalonkan menjadi Wakil Gubernur yakni siapapun yang sudah mengikuti

Page 52: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

40

proses penobatan menjadi Adipati Paku Alam dan telah disahkan untuk

menjadi penguasa Kadipaten Pakualaman. Sehingga, dalam pasal ini

ditegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk memilih dan

menentukan pengganti Sultan atau Adipati.

D. Sistem Penetapan Gubernur di Daerah Istimewa Yogakarta

Pasca diserahkannya Piagam Kedudukan atas Sri Sultan dan Adipati Paku

Alam pada tanggal 6 Sepetember 1945 (tertanggal 19 Agustus 1945) yang

berbunyi :

“ Kami Presiden Republik Indonesia menetapkan : Ingkang SInuwun

Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngalanga Abdurrahman

Sayyidin Panatagama Kalifatullah ingkang Kaping IX ing

Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya dengan kepercayaan

bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran,

tenaa, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai

bagian dari Republik Indonesia “

Sultan Hamengkubuwono IX dan Adipati Paku Alam selanjutnya

menjalankan amanah baru sebagai kepala pemerintahan DIY, yakni Sultan

Hamengkubuwono IX sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam sebagai

Wakil Gubernur DIY dengan masa jabatan seumur hidup. Semenjak itu,

Sultan dan Adipati memegang dua kekuasaan sekaligus yakni sebagai raja di

Keraton dan Kepala Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Saat menjalankan amanah sebagai Gubernur, Sultan Hamengkubuwono

juga banyak mengemban amanah lain untuk mempertahankan Negara

Indonesia. Pada 15 Juli 1948 Sultan Hamengkubuwono IX dinobatkan

menjadi Menteri Peratahanan Indonesia hingga 20 Desember 1949 untuk

mempertahankan Indonesia dari Agresi Militer II. Setelah itu, Pada 6

September 1950 Sultan Hamengkubuwono IX juga diangkat menjadi Wakil

Perdana Mentri Indonesia hingga 21 April 1951. Setelah sementara mengisi

wakil perdana mentri, Sultan Hamengkubuwono juga diangkat menjadi

Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri pada 25 Juli 1966-29

Maret 1973 dengan Keputusan Presiden RI No. 64 tahun 1974 tentang

Pemberhentian Sebagian Menteri Kabinet Perjuangan. Ketika Sultan

Page 53: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

41

menjabat sebagai Menteri, maka pekerjaannya sebagai Kepala Daerah

diwakilkan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII untuk mengurusi pemerintahan

dan Parentah Hageg Keraton oleh GP Hangabehi. Tidak lelah mengemban

dua amanah sekaligus, Sultan Hamengkubuwono IX pada 23 Maret 1973-23

Maret 1978 diangkat menjadi Wakil Presiden Soeharto, secara otomatis Ia

tidak bisa aktif dalam mengurus DIY, oleh karena itu pemerintahan sehari-

hari dijalankan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII yang kemudian diatur dalam

UU No. 5 Tahun 1947 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur khusus

tentang Yogyakarta dalam aturan peralihannya. Sehingga dapat kita cermati,

Sultan Hamengkubuwono IX tidak pernah digantikan kepemimpinannya

sebagai Sultan dan Gubernur, ia tetap menjadi Sultan dan Gubernur sempai

akhir hayatnya.

Saat Sultan Hamengkubuwono IX dirawat di rumah sakit hingga

wafatnya, pada 11 september 1988-11 September 1998, jabatan Gubernur

diberikan kepada KGPAA Paku Alam VIII sesuai dengan penunjukan

pemerintahan pusat, namun saat itu Adipati Paku Alam tidak mempunyai

Wakil Gubernur. Setelah wafatnya Paku Alam VIII, Daerah Istimewa

Yogyakarta mengalami kekosongan hukum untuk mengatur pergantian

kepala daerah, karena UU No 5 tahun 1974 hanya mengatur jabatan Gubernur

dan Wakil Gubernur pada saat Sultan Hamnegkubuwono IX dan Sri Paduka

Paku Alam VIII saja. Pada akhirnya, atas desakan rakyat DIY Sultan

Hamnegkubuwono X ditetapkan menjadi Gubernur pada 1988-2003, Sultan

Hamengkubuwono X tidak memiliki Wakil Gubernur pada saat itu karena

tahta Sri Paduka Paku Alam IX belum ditetapkan penggantinya. Kemudian,

pada tahun 2003-2008 Sultan Hamengkubuono X ditetapkan sebagai

Gubernur dan KGPAA Paku Alam IX sebagai Wakil Gubernur setiap 5 tahun

sekali. Pada tahun 2017, Sultan Hamengkubuwono X dan KGPAA Paku

Alam X menjabat kembali sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang

Diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 107/P tahun 2017 tentang

Pengangkatan Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX

sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Masa Jabatan Tahun 2017-2022.

Page 54: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

42

Adapun uraian masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dapat

digambarkan seperti bagan di bawah ini:

NO GUBERNUR MULAI AKHIR MASA KETERANGAN WAKIL

JABATAN JABATAN

1 Hamengkubuwono 19 Agustus 1 Oktober 1

[ket. 1] KGPAA

IX 1945 1988

VIII

2 KGPAA VIII 1 Oktober

11 [ket. 2] Lowong September 2

[ket. 3]

1988

1998

3 HAMENGKUBUW 3 Oktober 9 Oktober 3

[ket. 4] Lowong

ONO X 1998 2003

4 HAMENGKUBUW 9 Oktober 9 Oktober 4

[ket. 5] KGPAA IX

ONO X 2003 2008

5 HAMENGKUBUW 9 Oktober 9 Oktober [ket. 6]

KGPAA IX

ONO X 2008 2011

6 HAMENGKUBUW 9 Oktober 9 Oktober [ket. 7]

KGPAA IX

ONO X 2011 2012

7 HAMENGKUBUW 10 Oktober 10 Oktober 5

[ket. 8] KGPAA X

ONO X 2012 2017

8 HAMENGKUBUW 10 Oktober Petahana 6

KGPAA X

ONO X 2017

Tabel 3.2 Gubernur DIY dari masa ke masa

Keterangan:

1. Masa jabatan seumur hidup, pegawai negara dengan NIP 010000001

2. Wakil Gubernur yang melaksanakan tugas Gubernur dalam jabatan Penjabat 3. Gubernur Masa jabatan seumur hidup, pegawai negara dengan

NIP 010064150 4. Masa jabatan pertama.

5. Masa jabatan kedua.

6. Perpanjangan masa jabatan kedua

7. Perpanjangan kedua masa jabatan kedua 8. Masa jabatan ketiga.15

15 https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Gubernur_Daerah_Istimewa_Yogyakarta

Page 55: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

BAB IV

PENEGAKAN HUKUM KONSTITUSIONAL

DALAM HUKUM ADAT PENGANGKATAN SULTAN

DI KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

Indonesia sebagai Negara Kesatuan telah menetapkan sistem

desentralisasi untuk mengatur setiap wilayahnya, selain itu Indonesia juga

mengakui satuan wilayah yang mempunyai masyarakat adat. Bentuk Negara

Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, yang dijalankan

berdasarkan desentralisasi (Pemerintahan Daerah), dengan otonomi yang seluas-

luasnyanya.1 Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal

18 huruf b Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbunyi :

“ Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesattuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undnag-undang.” .

Penjabaran atas aturan pengakuan terhadap Masyarakat adat dalam

Undang-Undang Dasar tersebut terdapat dalam Undang-undnag No 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah dalam pasal 2 ayat (8) dan ayat (9) yang berbunyi :

“(8) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam Undang-undang. (9) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Pasal tersebut juga memberikan pengakuan atas pemerintahan daerah yang

bersifat istimewa, adapun pemerintahan yang diberikan kewenangan istimewa

yakni seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang ditetapkan dalam UU No

11 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Setiap daerah

dengan asas desentralisasinya mendapatkan kewenangan untuk memilih

1 Laica Marzuki,”Prinsip – Prinsip Pembentukan Peraturan Daerah”, Jurnal Konstitusi, Vol.

6,No.4,2009,h.10

43

Page 56: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

44

pemimpin daerahnya sesuai dengan bunyi Pasal 21 huruf b UU No 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah.

“ Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak:

a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; b. memilih pimpinan daerah ….”

Pasal tersebut telah mengatakan bahwa pemerintahan daerah dapat

menyelenggarakan proses pememilihan pimpinan daerahnya masing-masing,

sesuai dengan keinginan masyarakatnya itu sendiri. Adapun diskursus hukum

yang berkembang atas aturan di atas, akan diuraikan di bawah ini.

A. Perkembangan Penetapan Gubernur bagi Yogyakarta sebagai Daerah

Istimewa dalam bagian Negara Kesatuan Republik Inodnesia (NKRI)

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki sejarah khas dalam

dirinya sendiri yang sekaligus merupakan bagian dari sejarah survivalitas

Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Penelaahan atas sejarah

Yogyakarta dan Indonesia menunjukkan beberapa hal penting seperti, status

keistimewaan Yogyakarta merupakan pilihan politik sadar yang diambil

penguasa Yogyakarta Sultan Hamengkubuwano IX dan Paku Alam VIII dan

bukan pemberian dari entitas politik nasional. Penguasa Yogya tetap

mempertahankan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) secara sadar di tengah-tengah tawaran penguasa Belanda

memberikan kekuasaan atas seluruh Jawa bagi Hamengkubuwana IX yang

pada akhirnya di tolak secara mentah-mentah oleh beliau.2 Yogyakarta juga

memberikan ruang wilayah dan penduduk yang kongkrit bagi Indonesia awal,

pengakuan kedua raja atas kedaulatan Indonesia di wilayah kekuasaannya

telah mengisi ruang kosong dan rakyat sebagai dua unsur kunci sebuah

negara yang bernama Republik Indonesia. Yogyakarta juga menjadi kekuatan

2 Berulangkali Belanda mengirim utusan menemui Hamengkubuwono IX untuk kepentingan ini. Tercatat misalnya, Residen E.M Stok, Berkhuis, Kol. Van Langen, Prof. Husein Jayaningrat dan Sultan Hamid yang dijadikan utusan. Tetapi tidak satupun yang dapat bertemu langsung dengan Sultan Hamengkubuwano IX yang sellau mengutus salah seorang saudaranya, Pangeran Prabunigrat, Pangeran Mudaningrat atau Pangeran Bintara untuk menemui para utusan. Alasan yang selalu disampaikan adalah kesehatan beliau yang tidak menginjikan.

Page 57: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

45

penyelamat ketika Indonesia berada dalam situasi krisis untuk

mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Oleh karena

itu, DIY diberikan keistimewaan melalui UUD 1945 Pasal 18, Daerah

Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai daerah istimewa yang mempunyai adat-

istiadat yang dilindungi oleh undang-undang juga mempunyai kewenangan

untuk memilih pimpinan daerahnya sendiri. Daerah istimewa Yogyakarta

(DIY) sebagai daerah yang harus melestarikan budaya diberi kewenangan

untuk memilih orang yang memimpin DIY dengan cara penetapan. Hal ini

sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi :

“(1) Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud

dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. (2) Kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur…”

Penetapan bagi kepala daerah tersebut menjadi keistimewaan yang

dimiliki oleh DIY. Penetapan kepala daerahnya diberikan pada siapapun yang

telah diangkat dan bertahta sebagai Sultan di Keraton Yogyakarta dan Adipati

Paku Alam di Kadipaten Pakualaman yang dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (1)

huruf c tentang syarat dan ketentuan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil

Gubernur DIY yang berbunyi sebagai berikut:

“ (c) bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur….”.

Kedua, Yogyakarta memberikan ruang wilayah dan penduduk yang

kongkrit bagi Indonesia awal. Bahwa pengakuan kedua raja atas kedaulatan

Indonesia di wilayah kekuasaannya telah mengisi ruang kosong dan rakyat

sebagai dua unsur kunci sebuah negara yang bernama Republik Indonesia.

Ketiga,Yogyakarta menjadi kekuatan penyelamat ketika Indonesia berada

dalam situasi krisis untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17

Agustus 1945. Bahwa dijadikannya DIY sebagai ibukota negara ketika

Jakarta tidak dapat dipertahankan sebagai ibu kota negara sebagai akibat

Page 58: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

46

agresi militer Belanda ke-1 tahun 1948 dan fakta bahwa Yogyakarta menjadi

satu dari tiga daerah yang tetap menjadi NKRI ketika daerah lain terpecah

menjadi Republik Indoensia Serikat.3

Keistimewaan Indoenesia yang diberikan ke Pemeritahan Daerah

Yogyakarta adalah tata cara pengisian jabatan di Yogyaarta dengan Sultan

atau Adipati yang bertahta. Untuk itu dapat kita ketahui bersama bahwa

Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diberi kewennagan untuk merangkap dua

jabatan sekaligus. Perubahan politik nasional berikutnya yang terjadi setelah

turunnya Soeharto juga sama sekali tidak mengakhiri pengakuan legal atas

keberadaan daerah yang bersifat istimewa. Hal ini tercatata dalam Pasal 122

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang secara literal malah

mempertegas status keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh

melalui penegasan yang menyatakan bahwa:

”Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Privinsi Daerah Yogyakarta. Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Istimewa Aceh dan Provinsi

Istimewa Yogyakarta didasarkan pada Undang-Undang ini..”

Secara lebih spesifik penjelasan Pasal 122 menegaskan bahwa :

”Pengukuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada

asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuanagn nasional. Sedangkan

isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan

mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil

Gubernur dengan memeprtimbangkan calon dari keturunan Paku Alam

yang memenuhi syarat sesuai dengan Undang-undang ini.”

Ketentuan mengenai pengisisan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur

Kepala Daerah melalui mekanisme penetapan (pengangkatan) ini tetap

dipertahankan pada beberapa peraturan tentang Pemerintahan Daerah, bahwa

pada suatu waktu jabatan tersebut tidak terikat oleh waktu (seumur hidup).

Peraturan-peraturan tersebut seperti Penpres No 6 tahun 1959 pada pasal 6

3 SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Latar Belakang dan

Pengaruhnya,Yogyakarta: 2001 yang dibandigkan dengan Chidmad, Tatag, Sri Edang SUmiyati dan Budi Hartono, Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949, (Yogyakarta: Media Persindo,2001)

Page 59: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

47

ayat (1) dan (2), UU No.18 tahun 1965.4 UU No. 5 tahun 1970 Pasal 91 sub b,

UU No. 22 tahun 1999 (Penjelasan Pasal 122), dan diakhiri dengan UU No.

32 tahun 2004 pada Pasal 2 ayat (8) yang berbunyi:

”Negara mengakui dan menghormati satu-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi

landasan hukum keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),

khususnya mekanisme pengisisan jabatan Gubernur pada dasarnya

kesemuanya itu mengikuti mekanisme penetapan (Pengangkatan) Sultan di

Keraton. Perlindungan melalui payung hukum ini, mencirikan bahwa

Indonesia secara eksplisit dalam setiap Undang-Undang pemerintahan

daerahnya konsisten dalam mengakui keistimewaan Yogyakarta. Melalui

pelaksananan otonomi daerah peranan kepala daerah diharapkan mampu

memahami perubahan yang terjadi secara cepat dan tepat dalam persefektif

nasional maupun internasional.5Bahwa dengan otonomi daerah keberhasilan

untuk menyesuaikan perubahan akan sangat mudah tercapai dan pemilihan

umum yang dilakukan oleh setiap daerah baik perwakilan maupun pemilihan

langsung memberikan kesempatan bagi rakyat untuk mengambil keputusan

yang berkaitan dengan kepentingan publik sesuai dengan dengan demokrasi

yang bermartabat dan berkeadilan, maka dengan demikian bukan saja

kepastian, tetapi terangkum keadilan dan kemanfaatan dalam kerangka

memajukan kesejahteraan bersama.6

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 telah menentukan

Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah

4 Sifat Istimewa suatu daerah berlaku terus hingga dihapuskan. Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada sat berlakunya UU ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakrta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2).

5 Titik Triwulan Tutik,”Pemilihan Kepala Daerah Langsung dalam Persefektif Islam,”Jurnal

Komunikasi dan Informasi Keagamaan, Vol.6, No.4, Lembaga Penelitian IAII Sunan AMpel (Surabaya: 4 Oktober 2005),h.361

6 Zaenal Arifin Husein,”Pemilu Kepala Daerah dalam Transisi Demokrasi”, Jurnal Konstitusi, 2010, Vol.7,No.6,h.13

Page 60: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

48

provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.7 Hal ini, telah

memberikan makna bahwa demokrasi bukan hanya pemilihan langsung atau

keterwakilan saja, tidaklah semata-mata dilakukan secara langsung oleh

rakyat maupun pemilihan yang dilakukan oleh DPRD, tetapi juga

mempertimbangkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di daerah-daerah

yang bersifat khusus dan istimewa. Sebagaimana dimaksudkan Pasal 18 b

ayat (1) UUD 1945 bahwa terdapat mekansime lain dalam proses pengisian

jabatan kepala daerah, seperti halnya sistem penetapan Gubernur Kepala

Daerah dan Wakil Gubernur Provinsi DIY dengan demikian, sistem

pengangkatan Hamengkubuwono X dan Sri Paku alaman sebagai Gubernur

dan Wakil Gubernur tidaklah inkonstitusional selama penetapan tersebut

memeperoleh legitimasi dari masyarakat (masyarakat

menghendakinya).8Dalam perkembangannya untuk memberikan kepastian

hukum bagi Yogyakarta maka pada tanggal 31 Agustus 2012 disahkanlah

UU No 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

pada Pasal 9 sampai 24 Undang-Undang tersebut, menegaskan bahwa

penetapan Gubernur ditetapkan dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat,

dan yang menjadi Wakil Gubernur dari Kadipaten Paku Alaman, dengan

ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

B. Pengangkatan Ratu dan Penetapan Gubernur Perempuan di Daerah

Istimewa Yogyakarta

1. Pengangkatan ratu di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah ditetapkan menjadi

daerah istimewa yang diatur dalam UU No 13 tahun 2012 tentang

Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Salah satu yang

menjadi hak istimewa DIY ialah penetapan Gubernur dan Wakil

7 A. Mukhtie Fajar,”Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum

Pelanggaran Pemilu dan PHPU,”Jurnal Konstitusi, Vol.6,No.1,2009,h.5

8 Ismu Gunadi Widodo,”Sistem Penetapan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Sistem Pemeilihan Kepala Daerah Berdasarkan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945,”h.16.

Page 61: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

49

Gubernur yang diberikan pada seseorang yang bertahta sebagai Sultan

Hamengkubuwono dan Adipati Pakualaman. Seseorang yang bertahta

menjadi Sultan, maka akan ditetapkan sebagai Gubernur DIY, dan yang

bertahta sebagai Adipati Pakualam akan ditetapkan sebagai Wakil

Gubernur DIY. Hal ini telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) sampai (2) UU

NO 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yang berbunyi sebagai

berikut:

“ (1) Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY

sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang

ditetapkan dalam Undang-Undang ini. (2) Kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur…”.

Hal ini dikuatkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c UU NO 13 Tahun 2012

tentang Keistimewaan DIY, yang berbunyi sebagai berikut :

“(c) bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur….”.

Berdasarkan pasal yang telah dipaparkan di atas, maka Daerah

Istimewa Yogyakarta (DIY) hanya akan mendapatkan seorang kepala

daerah yang akan mengurusi urusan pemerintahannya setelah

ditetapkannya Sultan Hamengkubuwono di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat dan Adipati Pakualam di Kadipaten Pakualaman. Oleh sebab

itu, untuk menjalankan hak istimewanya Keraton Ngayogyakarta dan

Kadipaten Pakualaman diberikan kuasa penuh tanpa ada campur tangan

pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam

pengangkatan Sultan ataupun Adipati di masing-masing kesultanannya.

Hal ini, telah diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU No 13 tahun 2012 tentang

Kesitimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berbunyi:

Page 62: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

50

“Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat”. Sesuai dengan kewenangannya sebagai daerah Istimewa, kedua

Raja, baik Raja yang sedang bertahta di Kesultanan Ngayogykarta

ataupun Kadipaten Pakualaman selalu mempersiapkan salah satu

keturunannya untuk malanjutkan tahta sebagai Sultan ataupun Adipati.

Mendekati masa berakhir jabatannya Sultan Hamengkubuwono X

sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat, mengantarkan Hamengkubuwono X menetapkan penerus

tahtanya sebagai Sultan. Sultan Hamengkubuwono X yang hanya

mempunyai keturunan perempuan dari istri sahnya dan telah menetapkan

diri tidak menginginkan untuk mempunyai selir atau menikah lagi hanya

untuk mendapatkan keturunan laki-laki.9 Akhirnya, pada 5 Mei 2015

Sultan Hamengkubuwono menetapkan Putri pertamanya G.K.R

Pembayun sebagai Permaisuri yang akan menggantikan tahtanya sebagai

Sultan. Hal ini ditetapkan dalam Dawuh Raja yang berbunyi :

“Putri Raja Mataram yang bergelar Gusti Kanjeng Ratu Pembayun ditetapkan sebagai Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Ning Bawono Langgeng Ing Mataram “.

Adanya Dawuh Raja tersebut secara otomatis mengantarkan

Kesultanan Ngayogyakarta untuk pertama kalinya akan ditahta oleh

seorang Ratu. Hal ini, menimbulkan ketidaksetujuan dari beberapa

keluarga keraton yang sebelumnya telah disebut-sebut sebagai pengganti

Sultan Hamengkubuwono X. Adapun beberapa nama yang tidak

menyetujui adanya Dawuh Raja tersebut, seperti GPBH Hadisuryo,

GBPH Hadiwinoto, GBPH Prabukusumo, GBPH Candraningrat, GBPH

Suryodiningrat, GBPH Surya Mataram, dan GBPH Suryonegoro.10

Kalangan yang tidak sepakat dengan adanya Dawuh Raja tentang

9 G.K.R Hemas, Ratu di Hati Rakyat, h.20

10

https://nasional.tempo.co/read/1023874/mereka-yang-berpeluang-gantikan-sultan-hb-x/full&view=ok

Page 63: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

51

pengangkatan Sultan yang akan dijabat seorang Perempuan ini,

mengambil cerminan dari sikap Hamengkubuwono V yang

mengurungkan niatnya untuk tidak menjadikan putrinya sebagai Sultan,

karena Hamnegkubuwono V mendapatkan mimpi bahwa Sultan harus

mengenal Tuhan dengan jalan pengenalan dan pengendalian diri. Selain

itu, kalangan yang tidak sepakat keturunan Perempuan Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat dapat bertahta sebagai Sultan dengan

merujuk pada Serat Tajussalatin (Mahkota Para Sultan) dalam bab

perilaku tentang Sultan yang berbunyi :

“Hendaklah Raja itu laki-laki dan jangan perempun adanya….”.

Serat Tajussalitin yang menjadi rujukan para kalangan yang tidak

sepakat keturunan perempuan Keraton Ngayogyakrta Hadiningrat

menjadi seorang Ratu itu sebenarnya ditulis oleh Sultan

Hamengkubuwono V hanya menjelaskan tentang etika kekuasaan islam

yang harus dimiliki oleh seorang Sultan. Potongan pasal yang juga

dijadikan rujukan tidak memberikan tafsiran bahwa seorang Sultan wajib

ditahta oleh seorang laki-laki. Kata “ hendaklah” menurut KBBI

bermakna “seharusnya”, artinya lebih baik dijabat oleh seorang laki-laki

namun tidak dilarang juga jika yang akan menjabat tahta Sultan adalah

seorang perempuan. Hal ini juga ditegaskan dalam sepenggal kalimat

dalam Serat Puji yang membahas tentang suksesi Sultan di keraton

Ngayogyakarta berbunyi:

“ Utamanya Raja itu pria akan tetapi, ada perkecualian apabila dalam keadaan tertentu…” .

Paugeran tersebut telah menegaskan bahwa jika dalam keadaan tertentu,

misalnnya anak laki-laki Sultan yang sedang bertahta meninggal dunia

dapat digantikan oleh anak Sultan yang perempuan.

Alasan Kalangan yang tidak menyetujui keturunan perempuan

Kesultanan Ngayogyakarta dapat bertahta sebagai Ratu juga karena gelar

yang disematkan pada seorang Sultan yakni:

Page 64: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

52

“Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng

Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayyidin Panatagomo Khalifatullah Ingkang

Jumennag Kaping Satunggal Ing Ngayogyakarta Hadiningrat “

Menurut kalangan ini, gelar ini hasil adopsi dari konsep islam yang

menggunakan tanggung jawab kenabiannya disematkan pada seorang

laki-laki. Bagi kalangan ini, gelar yang disematkan pada setiap Sultan di

Keraton Ngayogyakarta adalah sebuah adat istiadat yang ditetapkan

dalam Panjangka yang dimuat pada Dawuh Dalem Angka

01/DD/HBIX/EHE-1932 tentang “Tata Pemerintahan Keraton

Ngayogyakarta Hadiningrat”. Menurut kalangan ini, gelar yang telah

disematkan selama 262 tahun itu tidak dapat diganti. Sehingga, Sabda

Raja pada 30 April 2015 mengganti gelar menjadi

“Ngarso Dalem Smapean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan

Hamengku Bawono Ingkang Jumenang Kasepuluh Suryaning

Mataram Senopati Ing Ngalogo Langgengi Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panotogomo” ditolak karena dirasa

melanggar paugeran.

Padahal aturan yang dirujuk oleh kalangan yang tidak setuju dengan

Sultan tidak memberikan argument kepastian hukum yang jelas.

Pergantian gelar yang termasuk dengan Sabda Raja tentang suksesi

pengangkatan pemimpin menjadi bagian dari sebuah Paugeran.

Kedudukan Paugeran menurut Basusatra Jawa ialah menjadi hak

pregrogratif Sultan untuk menentukan aturan yang akan diberlakukan di

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sehingga, Sultan yang sedang

berkuasa juga memiliki kewenangan untuk menentukan penggantinya,

secara otomatis Sultan mempunyai kewenangan untuk merubah gelar

bagi Sultan selanjutnya. Hal ini juga ditegaskan oleh KPH

Yudohadiningrat, S.H dalam lembaran risalah sidang Mahkamah

Konstitusi dalam keterangannnya menjadi ahli, ia mengatakan bahwa:

“Tentang Paugeran atau tata pemerintahan internal kesultanan dapat berubah dan menyesuaikan dengan zaman. Eksistensi

Yogyakarta sebagai daerah istimewa dan kerajaan yang diakui

dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak lepas dari upaya Sultan Yogyakarta yang bertakhta dalam merespon

Page 65: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

53

setiap perkembangan zaman. Para Sultan menerapkan

kebijakan pembaharuan perubahan sesuai dengan situasi yang

dihadapi, kebijakan pembaharuan perubahan yang diputuskan

oleh para Sultan yang bertakhta menjadi paugeran pada masa

tersebut. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa paugeran itu

bersifat dinamis dan tidak statis. Paugeran ditetapkan untuk

menyelesaikan persoalan yang muncul pada saat itu.“.

Adapun gelar Khalifatullah adalah pemberian gelar kerajaan Turki

Usmani yang diberikan sekitar tahun 1479 Masehi, pada saat Raden

Patah dibantu oleh tentara Turki untuk berperang dengan Prabu

Brawijaya V. Makna yang disematkan pada kata Khalifatullah

mempunyai arti “ mengemban amanah Allah di dunia” yang tidak

diberikan pada salah satu gender manapun. Oleh karena itu, paugeran

yang ada di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak melarang

perempuan keturunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk

menjadi seorang Sultan. Selain itu, sistem patrilineal juga menjadi alasan

bagi kelompok yang tidak menyetujui sabda raja tersebut, padahal aturan

yang biasa digunakan di keraton ialah sistem matrilineal, yang

mengatakan bahwa keturunan laki-laki yang layak menjadi Sultan ialah

yang berasal dari seorang Permaisuri bukan seorang selir. Sehingga,

merujuk pada tata cara suksesi Sultan ini, mengantarkan bahwa sistem

yang digunakan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menggunakan

sistem parental, yang membolehkan laki-laki atau perempuan bisa

menjadi seorang Sultan. Hal ini dikuatkan dengan data-data kerajaan-

kerajaan ada di Indoensia yang memberikan kewenangan pada

perempuan untuk mengemban tambuk politik, bahkan kerajaan islam di

Aceh yang notabanenya wilayah pertama masuknya islam juga

memberikan hak pada perempuan untuk bertahta sebagai Ratu. Adapun

daftar tersebut dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini:

NO NAMA RATU (SULTANAH) KERAJAAN TAHUN

1. Ratu Maharani Shima Kerajaan Kaliangga Tahun 647 M

2. Ratu Sri Isyanan Tunggawijaya Kerajaan Medang Tahun 947 M

3. Ratu Sanggamawijayatunggawarman Kerajaan Sriwijaya Tahun 1025 M

Page 66: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

54

4. Ratu Syah Alam Barisyah Kerajaan Perlak Tahun 1196 M

5. Ratu Dyah Gayatri Kerajaan Majapahit Tahun 1309 M

(Raja ke-II)

6. Ratu Tribuana Wijaya tunngal dewi Kerajaan Majapahit Tahun 1328 M

(Raja ke-III)

7. Sultanan Nahrasiyah Kerajaan Samudera Tahun 1405 M

Pasai

8. Ratu Stri Suhita Kerajaan Majapahit Tahun 1427 M

(Raja ke-VI)

9. We Banrigau Makkalempie Kerajaan Bone (Raja Tahun 1496 M

Mallajange’ri Cina ke- IV)

10. Ratu Anchesiny Kerajaan Haru Tahun 1537 M

(Ghori/ Guni)

11. Ratu Kencana Kerajaan Jepara Tahun 1549 M

(Putri Raja Denmark

Trenggana)

12. We Tenri Pattupu Kerajaan Bone (Raja Tahun 1602 M

Bone ke-XI)

13. Ratu Putri Hijau Kerajaan Aru, Deli Tahun 1607 M

Tua (Sumatera

Timur)

14. Sultanah Safiatuddin Syah Kerajaan Aceh Tahun 1641 M

Darussalam,

menggantikan Sultan

Iskandar Tsani

15. Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Kerajaan Aceh Tahun 1675 M

Syah Darussalam,

menggantikan Ratu

Safiatuddin Syah

Page 67: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

55

16. Ratu KZainatuddin Syah Kerajaan Aceh Tahun 1688 M

Darussalam,

menggantikan Ratu

Safiatuddin Syah.

17. Batari Toga Daeng Taaga Kerajaan Bone Tahun 1714 M

Tabel 3.3 Nama Ratu dan Sultanah Kerajaan Nusantara

Bagan tersebut menggambarkan bahwa kerajaan-kerajaan yang ada

di Indonesia dan bahkan kerajaan Islam, telah memberikan hak politik

pada perempuan sudah sejak jauh-jauh hari, dan bahwa bagan tersebut

juga menggambarkan bahwa ada kerajaan islam yang bersamaan

kepemimpinanaya dengan Sultan Hamnegkubuwono I yakni Batari Toga

Daeng Taga dari Kerajaan Bone. Selain pemaparan di atas, maka jika

kita ingin melihat kepemimpinan perempuan pada saat ini dan

memepertahankan sistem kerajaan, sudah barang tentu kita melihat

proses pengangkatan terhadap Ratu Elizabeth II yang menjadi Ratu

Persemakmuran Inggris hingga saat ini. Oleh karena itu, paugeran yang

ada di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan data pendukung telah

membolehkan Perempuan keturunan Ngayogyakarta Hadiningrat dapat

menajdi seorang Sultan.

2. Penetapan Gubernur Perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Setelah Sabda Raja yang menuai perdebatan pada 30 April 2015

dan 5 Mei 2015, lalu pada 6 September 2016 beberapa masayarakat dari

berbagai profesi seperti Prof. Dr. Saparinah Sadli, Sjamsiah

Achmad,M.A, Dra.Siti Nia Nurhasanah, Ninuk Sumaryani Widiyantoro,

Dra. Masruchah, Anggiastri Hanantyasari Utami, Dra. Im Surasih,

Sutaryo, APT,S.U, Bambang Prajitno Soeroso, Wawan Harmawan,S.E,

Raden Mas Adwin Suryo Sairiano, Supriyanto, S.E11

, mengajukan

11 Mereka berasal dari berbagai kalangan dan profesi, Saparinah Sadli ( Perintis berdirinya KOmnas Perempuan dan Pusat Studi Wanita), Sjamsiah Ahmad (Mantan Diplomat Hak Asasi Perempuan PBB), Siti Nia Nurhasanah (Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika), Ninuk Sumiarni (Psikiater), Dra. Masruchah (Karyawan Swasta), Anggiastri (Karyawan Swasta), Dr. Im. Sunarsih

Page 68: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

56

gugatan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi atas Pasal 18

Ayat 1 huruf m, yang berbunyi:

“menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan,saudara kandung, istri, dan anak;”

Kata ”istri” dalam pasal tersebut memberikan keterbatasan bagi

Perempuan dan laki-laki di Keturunana Kesultanan Ngayogyakarta

Hadiningrat tidak dapat menjadi Gubernur. Kata ”istri” yang menjadi

cerminan diskriminasi bagi perempuan dan beberapa golongan lainnya,

sangatlah tidak mencerminkan NKRI yang menganut asas demokrasi.

Pranata dan praktik demokrasi dalam kehidupan barat selalu merupakan

hasil interaksi antara tradisi nondemokratis dan antidemokratis dengan

tradisi demokratis yang ada, serta persepsi baru dalam bidang social

kemanusiaan, keagamaan, kebutuhan politik dan hak politik. Demokrasi

sejatinya juga sangat melekat di kehidupan NKRI apalagi pasca orde

baru, refromasi hukum secara materiil dan formil banyak dilakukan sana-

sini, untuk itu berpacu pada Pasal 28 I ayat 2 UUD 1945, yang berbunyi:

“Setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang bersifat

diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif

itu,”

Sementara dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia juga telah menajelaskan bahwa

”Diskriminasi adalah setiap pemabatasan, pelecehan, atau

penegcualian, yang langsung ataupun tak langsung didasarkan

pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,

kelompok golongan, status social, status ekonomi, jenis kelamin,

bahasa keyakinan politik yang berakibat pengurangan

penyimpangan atau penghapusan pengakuan pelaksanaan atau

penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam

kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,

ekonomi, hukum, social budaya dan aspek kehidupan lainnya.”

(Dosen), Bambang Prajitno (Karyawan Swasta), Wawan Harmawan ( Karyawan Swasta), Raden Mas Adwin Suryo (Abdi Dalem), Supriyanto ( Perangkat Desa).

Page 69: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

57

Dari dua payung hukum di atas, jelas bahwa diskriminasi sangatlah

dilarang dipraktikan di NKRI.

Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi berbagai instrument

hukum nasional yang melarang diskriminasi. Salah satu diantaranya

adalah Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional

tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) ICCPR

telah menyatakan bahwa:

“Setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini sepakat untuk

menghormati dan menjamin setiap individu dalam wilayahnya

dan yang tunduk pada yuridiksinya hak-hak yang diakui dalam

Konvenan ini, tanpa perbedaan dalam bentuk apappun, seperti

ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan

politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebngsaan atau

social hak milik, kelahiran atau status lainnya”

(Each State Party to the present Convenant undertakes to respect

and ensure to alla individuals within it’s territory and subject to

it’s jurisdiction the right recognized in the present Convenant

without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language,

religion, political or other opinion, nasional or social origin,

property, birth or other status).

Bahkan dalam membahas perempuan ICCPR telah secara khsus

menegaskan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam

penikmatan atas hak-hak politik, hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 ICCPR

yang mengatakan bahwa:

”Negara-Negara pihak dalam Kovenan ini sepaakat untuk

menjamin persamaan hak anatara laki-laki dan perempuan bagi penikmatan hak-hak sipil dna politik yang dinyatakan dalam

kovenan ini” (The State Parties to the present Covenant undertake to ensure the equal right of men and women to the enjoyment of all civil and political right set forth in the present Convenant).

Indonesia juga telah meratifikasi Convention on the Elimination of All

Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) tentang larangan

diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-undang Nomor 7

Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On the

Page 70: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

58

Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) Pasal 1

CEDAW telah menegaskan penegrtian dikriminasi terhadap perempuan

dengan rumusan:

“Untuk tujuan Konvensi ini istilah diskriminasi terhadap

perempuan diartikan sebagai setiap pembedaan, pengucilan

atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang

berakibat atau bertujuan mengurangi atau meniadakan

pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan hak

asasi dan kebebasan manusia dalam bidang politik, ekonomi,

social budaya, sipil atau bidang lainnya, terlepas dari status

perkawinan mereka, dan berlandaskan persamaan antara laki-

laki dan perempuan” (For the purposes of the present Convention. The

term”discrimination against women”shall mean any distinction,

exclusion or restriction made on the basis of sex which has the

effect or purpose of impairing or nullifying the recognition,

enjoyment or exercise by women, irrespective of their marital

status, on the basis of equality of men and women, of human rights

and fundamental freedom in the political economic, social,

cultural, civil or any other field).

Adapaun terkait persamaan hak antaar laki-laki dan perempuan telah

dijelaskan dalam Pasal 3 CEDAW yang berbunyi:

“Negara-Negara pihak akan mengambil segala upaya yang tepat

di segaal bidang termasuk legislasi. Guna menjamin

perkembangan dan pemajuan perempuan, dengan tujuan menjamin

mereka akan pelaksanaan dan penikmatan hak asasi dan

kebebasan mendasar di atas landasan persamaan dengan laki-

laki.” (State Parties shall take in all fields, in particular in the political,

social, economic and cultural fields, all appropriate measures,

including legislation, to ensure the full development and

advancement of women for the purpose of guaranteeing them the

exercise and enjoyment of human rights and fundamental freedoms

on a basis of equality with men).

Indonesia sebagai negara pihak (state party) maka sudah barang

tentu mempunyai kewajiban yang didasarkan pada hukum internasional

(international legal obligation) untuk mentaati perjanjiannya. Dalam hal

ini, untuk tidak melakukan sikap diskriminasi. Untuk itu, akhirnya pada

hari Kamis, 31 Agustus 2017 Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara

Page 71: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

59

No 88/PUU-VII/2016 dikabulkan seluruhnya, dan bahwa Pasal 18 ayat 1

huruf m kata”istri”nya dihapuskan. Berdasarkn keputusan tersebut,

mengantarkan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berada di wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu memastikan perlindungan

terhadap warga negaranya. Sehingga, dapat disimpulkan secara legalitas

DIY dapat dipimpin oleh Gubernur seorang Perempuan. Dalam Pasal 18

Ayat 1 huruf c telah dijelaskan bahwa:

“…yang bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk

calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”,

Dua pisau hukum yang menjadi acuan Daerah Istimewa Yogyakarta

(DIY) yakni hukum adat (paugeran) Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

dan UU No. 13 Tahun 2012 Tentang Keisitimewaan Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY), telah tertatat rapih untuk membolehkan Perempuan

menjadi pemegang kekuasaan. Setelah payung hukum yang jelas

membolehkan perempuan boleh menjabat pimpinan sebagai bupati, wali

kota atau gubernur telah mendorong perempuan-perempuan Indonesia

untuk berkiprah di dunia politik dan berkompetisi dalam pemilihan

umum. Adapun daftar nama perempuan yang menjabat di eksekutif,

sebagai berikut:

Daftar Pemimpin Perempuan di Wilayah Indonesia Pasca

Pilkada Serentak 2018

NO NAMA WILAYAH JABATAN

1. Khofifah Indar Parawansa Jawa Timur Gubernur

2. Iti Octavia Jayabaya Lebak Bupati

3. Dewi Handjani Tangamus Bupati

4. Ade Munawaroh Yasin Kabupaten Bogor Bupati

5. Anne Ratna Mustika Purwakarta Bupati

6. Ade Uu Sukaesih Banjar Wali Kota

7. Umi Azizah Tegal Bupati

8. Puput Tantriana Sari Probolinggo Bupati

9. Mundjidah Wahab Jombang Bupati

Page 72: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

60

10 Anna Mu’awanah Bojonegoro Bupati

11. Ika Puspitasari Mojokerto Wali Kota

12. Paulina Haning Bulu Rote Ndao Bupati

13. Erlina Mempawah Bupati

14. Tatong Bara Kotamobagu Wali Kota

Tabel 3.4 Daftar Nama Pemimpin Perempuan di Wilayah

Indonesia Pasca Pilkada 201812

Menyoal Paugaran seharusnya tidak lagi menjadi hambatan, karena

Sultan Hamengkubuwono X telah menyatakan bahwa Keraton

Ngayogyakarta dan Kadipaten Paku Alam itu dua-duanya menjadi satu.

Mataram itu negara yang merdeka yang memiliki aturan dan tata

pemerintahan sendiri seperti yang dikehendaki dan diperkenalkan

termasuk Mataram di dalam Nusantara. Medukung berdirinya negara,

tetapi tetap memiliki aturan dan tata pemerintahannya sendiri yang itu

seperti (suara tidak terdengar jelas) para Sultan Hamengkubuwono dan

Adipati Paku Alam, yang bertahta ditetapkan sebagai Gubernur dan

Wakil Gubernur .

Sifat Raja dalam keraton ialah inherent power, paugeran yang

menjadi konstitusi mengibaratkan juga Pangeran adalah konstitusi yang

hidup dalam hukum Keistimewaan Yogyakarta. Paugeran bisa saja lahir

dari bawah, namun kemudian kewajiban dan tanggung jawab guna

menghidupi tatanan, tata karma, atau uger berada di tangan raja.

Sehingga, Konstitusi dalam Keraton Yogyakarta dan Konstitusi

Indonesia sudah beriringan dan sejalan. Hal ini, memberikan analisa

bahwa penetapan menjadi seorang gubernur perempuan nyata-nyata

sudah diperbolehkan dan sangat dihormati akan seluruh haknya terkecil

hingga hak politik. Namun, Gubernur Daerah istimewa Yogyakarta

(DIY) yang sekaligus menjadi Sultan di Keraton, sesuai dengan

ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU No 13 Tahun 2012

12 Nasional.kompas.com, Senin 30 Juli 2018

Page 73: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

61

tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),yang

berbunyi:

“bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur.”

Bunyi pasal di atas menunjukkan bahwa Gubernur DIY adalah seorang

Sultan yang bertahta di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Wakil

Gubernur adalah seorang Adipati Paku Alam dari Kadipaten Pakulaman.

Hal ini memberikan pertanyaan yang mendasar bagi kita, jika ini menjadi

hak istimewa bagi sesorang Sultan atau adipati tersebut berkompeten

memangku jabatan juga sebagai gubernur, akankah keturunannya juga

mampu mengemban dua amanah sekaligus.

Hukum hadir untuk memberikan kepastian untuk kehidupan,

rekayasa hukum setidaknya mengantarkan bahwa pembuatan hukum

tersebut harus memprediksi kejadian-kejadian yang mungkin akan terjadi

di kemudian hari. Perempuan yang memegang jabatan sebagai eksekutif

seperti apa yang telah dipaparkan pada bagan di atas, baik Presiden,

Gubernur, Bupati maupun Walikota yang terpilih karena mengikuti

pemilihan umum dan mereka yang mendulang suara terbanyak akan

menjadi Presiden, Gubernur, Bupati maupun Walikota yang secara

otomatis rakyat mengamini dipimpin olehnya. Namun, hal ini tentu akan

berbeda jika kita dudukan pada Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

(DIY), jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur diberikan pada mereka

yang bergelar Sultan dan Wakil Gubernur yang bergelar Adipati Paku

Alam. Gubernur dan Wakil Gubernur ialah seseorang yang telah

ditetapkan dan mengikuti penunjukkan di internal keraton dan kadipaten.

Keturunan para Sultan di keraton maupun kadipaten keduanya selalu

dipersiapkan untuk menerima tanggung jawab guna agar siap ketika

mewarisi kebudayaan agar terus lestari. Akan tetapi, apakah keturannya

juga diberikan kemampuan untuk mengurusi rakyat yang menjadi

territorial Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan berlaku sebagai

Page 74: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

62

Gubernur dan Wakil Gubernur. Tentu ini menjadi tanda tanya besar bagi

tafsiran Pasal 18 ayat (1) huruf m tersebut. Namun, dikabulkannya

permohonan untuk dihilangkannya kata “ istri” pada Pasal 18 ayat (1)

huruf m tersebut telah menunjukkan hukum yang dapat merespon

perkembangannya zaman. Hukum yang memberikan keadilan gender

tanpa ada satupun diksriminasi dalam substansinya.

Page 75: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah Penulis paparkan di atas, maka Penulis

dapat mengambil kesimpulan dari permaslaahn yang dibahas yakni tentang

Diskursus Pengangkatan Ratu Daerah istimewa Yogyakarta Pasca Putusan

MK No 88/PUU-XVI/2016:

1. Perkembangan Hukum adat di Yogyakarta memperkenalkan sebuah

aturan baru yakni memperbolehkan perempuan menjadi Ratu yang

ditandai dengan adanya Dawuh Raja pada 5 Mei 2015 dari Sri Sultan

Hamengkubuwono X terhadap pengangkatan GKR Pembayun, Putri

pertama Sultan Hamengkubuwono X menjadi Putri Mahkota yang

bergelar Mangkubumi. Secara otomatis telah adanya perubahan dan

penetapan paugeran baru di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Perdebatan masih terjadi hingga saat ini di internal keraton, pasca

perubahan paugeran tersebut.

2. Perkembangan Peraturan penetapan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta

(DIY) juga memperkenalkan sebuah aturan baru pasca adanya

Permohonan Judicial Review terhadap Pasal 18 ayat (1) huruf m agar

dihapuskannya kata”istri”yang menggambarkan bahwa perempuan tidak

boleh menjadi seorang Gubernur telah dikabulkan, yang diputuskan

dalam Putusan MK No. 88/PUU-XVI/2016. Sehingga, mengantarkan

bahwa Perempuan yang memegang kekuasaan di Keraton atau Kadipaten

dapat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY juga.

B. Rekomendasi

1. Mensosialisasikan UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah

Istimewa Yogyakarta (DIY) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)

No 88/PUU-XVI/2016 pada masyarakat.

63

Page 76: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

64

2. Adanya penelitian tindak lanjut tentang Penerimaan Masyarakat DIY

terhadap Dawuh Raja dan UU No 13 Tahun 2012 tentang Keisitimewaan

DIY pasca Putusna MK No 88/PUU-XVI/2016.

C. IMPLIKASI PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan impilkasi secara

teoritis dan praktis sebagai berikut:

1. Implikasi Teoritis

Hukum hadir untuk memberikan kepastian bagi kehidupan setiap

umat manusia. Oleh karena itu, hukum harus dapat merespon setiap

perkembangan zaman yang ada. Adanya Dawuh Raja tentang penetapan

Putri Mahkota dan Putusan MK tentang permohonan untuk dapat

dihilangkannya kata “istri” pada Pasal 18 ayat (1) huruf m, menjadi salah

satu ciri bahwa hukum harus bersifat responsif terhadap perkembangan

zaman, yakni zaman yang tanpa adanya diskriminasi.

2. Implikasi Praktis

Hasil penelitian ini digunakan sebagai masukan bagi kalangan

Eksekutor dan Legislator dalam membuat aturan agar tidak

mendiskriminasi salah satu gender. Peraturan tersebut baik berupa

Undang- undang ataupun keputusan- keputusan. Hal ini, agar setiap aturan

yang dibuat juga dapat sejalan dengan perkembangan zaman.

Page 77: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdulkadir, M. (2004). Hukum Dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Adams, I. (2004). Ideologi Politik Mutakhir : Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depannya. Yogyakarta: Qalam.

Baso, A. (2007). NU STUDIES: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Jakarta: Erlangga.

Busroh, A. D. (2009). Ilmu Negara. Jakarta: PT.Bumi Aksara.

Harari, Yuval (2017). Sapiens, Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia HAW, W. (2002). Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT.Grafindo

Persada.

Hemas, G. (2002). Ratu di hati Rakyat. Jakarta: KOMPAS.

Hills, B. (2009). Princess Masako: Kisah Tragis Putri Mahkota di SInggasan Negeri Sakura . Jakarta : Pustaka Alvabe.

Huda, N. (2011). Ilmu Negara . Jakarta: Rajawali Press.

Irianto, S. (n.d.). Mempersoalkan “Netralitas” dan “Obejktivitas” Hukum”: Sebuah pengalaman Permepuan.

J.A, D. (2006). Politik yang Mencari Bentuk. Yogyakarta: LKIS.

Joseph Rudolph, J. F. (1996). International Encyclopedia of Government and Politics. In F. N. MAGIL. Singapura: Topan.

Kasali, R. (2007). Re code Yoaur Change DNA :Membebaskan Belenggu -

Belenggu untuk meraih keberanian dan Keberhasilan dalam Pembaharuan . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lawrance, F. F. (n.d.). Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial.

Maggalatung, A. S. (2015). Pengantar Studi Antropologi Hukum Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta Press.

Moedjanto, M. (n.d.). Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, .

Murata, S. (n.d.). The Tao Of islam.Batam: Lucky Publisher.

Prof. Siti Khamamah Suratno, P. D. (n.d.). Khazanah Budaya Keraton Yogyakarta. Yogyakarta.

65

Page 78: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

66

Radis, B. (2005). Sistem-sistem Pemerintahan Sedunia. Yogyakarta: Diva Press.

Rahardjo, S. (n.d.). Hukum dan Mayarakat,.

Ricklefs, M. (1920 -2004). Sejarah Indonesia Modern .

Savitri, N. (n.d.). Perempuan dan Hukum : Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan.

Setiadi, R. L. (2008). Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMK dan MAK Kelas X Standar isi 2006. Jakarta : Erlangga.

Simorangkir, B. (2000). Otonomi atau Federalisme Dampaknya Terhadap

Perekonomian. Jakarta: Pustaka SInar Harapan dan Harian Suara Pembaharuan.

Sirait, S. S. (2006). Politik Kristen di Indoensia: Suatu Tinjauan Etis . Jakarta: Gunung Mulia.

Soehino. (2001). Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.

Soekanto, S. (2010). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindoo.

Strong, C. (2008). Konstitusi - Konstitusi Politik : Kajian tentang Sejarah dan Bnetuk-Bentuk Konstitusi Dunia. Bandung: Penerbit Nusa Media.

Sumardjan, P. S. (n.d.). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu.

Watimena, R. A. (2007). Melampaui Negara Hukum Klasik. Yogyakarta:

Kanisius.

JURNAL

Asshidiqie, J. (2006). Partai Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen Demokrasi. Jurnal Konstitusi, Vol.3 No.4.

Badu, M. N. (2005). Demokrasi dan Amerika. Jurnal The Politic, Universitas Hasanudin, Vol.1 No.1.

Fajar, A. M. (2009). Pemilu Yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesain Hukum Pelangaran Pemilu dan PHPU. Jurnal Konstitusi, Vol. 6 No.1.

Hasugian, J. (Juli,2009). Kajian Kritis Historis 350 Tahun Penjajahan Belanda di Indoensia. Jurnal Habanaran Da Bona, Edisi 2.

Husein, Z. A. (2010). Pemilu Kepala Daerah dalam Transisi Demokrasi. Jurnal Konstitusi, Vol.7, No.6.

Page 79: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

67

Isharyanto, J. E. (2009). Pemilihan Umum dalam Persfektif Budaya Hukum

Berkonstitusi. Jurnal Konstitusi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, VOL.II, NO.1.

Marzuki, L. (2009). Prinsip-Prinsip Pembentukan Peraturan Daerah. Jurnal Konstitusi, Vol.6 No.4.

Sudrajat, H. (2010). Kewenangan Mahkamah Konstitusi Mengadili Perselisihan Hasil Pemilukada . Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No.4.

Tutik, T. T. (4 Oktober 2005). Pemilihan Kepala Daerah Langsung dalam

Persefektif Islam. Jurnal Komunikasi dan Informasi Keagamaan,Lembaga

Penelitian IAII Sunan Ampel Surabaya, Vol.6 No.4.

Widodo, I. g. (Mei,2011). Sistem Penetapan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Sistem Pemeilihan Kepala Daerah Berdasarkan Pasal

18 ayat 4 UUD 1945. Jurnal Dinamika Hukum, Vol.11 No.2.

WInarsi, S. (November,2008). Hukum Otonomi Daerah dalam Persefektif Filsafat Ilmu. Jurnal Konstitusi LKK Unair, Vol.1,No.1.

Wiyono, S. (2009). Pemilihan Multi Partai dan Stabilitas Pemerintahan Presidensial di Indonesia. Jurnal Konstitusi Wishnu Wardhana, Vol.1 No.

Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945

UU Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Daerah Istimewa Yogyakarta

Putusan MK NO 88/ PUU- XIV/2016

MEDIA

Chidmad, T. S. (2011). Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Yogyakarta: Media Persindo.

Hadiningrat, A. D. (2016, 16 November Minggu). Kunjungan Antropologi Hukum. (F. Indah, Interviewer)

SESKOAD. (2011). Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Latar Belakang dan Pengaruhnya . Yogyakarta.

Nasional.kompas.com, Senin 30 Juli 2018

Page 80: DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45737/1/FURBA INDAH...DISKURSUS HUKUM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DI DAERAH ISTIMEWA

68

Internet

(n.d.). Retrieved from https://www.liputan6.com/news/read/2371749/5-kerajaan-yang-masih-eksis-di-tanah-air

(n.d.). Retrieved from https://id.wikipedia.org/wiki/

Daftar_Gubernur_Daerah_Istimewa_Yogyakarta

(n.d.). Retrieved from http://indonesia-liok-blogspot.com/keistimewaan-yogyakarta-sejarah.html.Diakses Senin29 November 2010

(n.d.). Retrieved from http://indonesia-liok-blogspot.com/keistimewaan-yogyakarta-sejarah.html.Diakses Senin29 November 2010

(n.d.). Retrieved from https://kumparan.com/@kumparanstyle/kisah-di-balik-penobatan-elizabeth-ii-sebagai-ratu-inggris

(n.d.). Retrieved from https://nasional.tempo.co/read/1023874/mereka-yang-berpeluang-gantikan-sultan-hb-x/full&view=ok