abdulafaiqunair analisis terhadap kepemimpinan perempuan dalam

Upload: pejantan-tangguh

Post on 07-Jan-2016

39 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Abdulafaiqunair Analisis Terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam

TRANSCRIPT

  • TESIS

    ANALISIS TERHADAP KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM

    BIROKRASI PEMERINTAHAN

    (Studi Terhadap Kepemimpinan Perempuan di Kabupaten Tuban Jawa Timur)

    Oleh: Abdullah Faiq

    NIM: 090210503L

    PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS AIRLANGGA

    SURABAYA 2004

  • 2

    PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS AIRLANGGA

    SURABAYA 2004

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

    tesis dengan baik. Dalam proses penulisan tesis ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepeda:

    Prof. H. Kuntoro, dr., MPH, DrPH selaku pembimbing ketua dan Drs. Jusuf Irianto, M. Com yang dengan tulus dan ikhlas bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta perhatian yang tinggi telah memberikan dorongan, bimbingan dan arahan mulai dari penyusunan proposal sampai dengan penyusunan tesis ini.

    Prof. Dr. Med. Puruhito, dr. selaku Rektor Universitas Airlangga atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan

    pendidikan program Magister di Universitas Airlangga. Prof. Dr. H. Muhammad Amin, dr., spP (K), selaku Direktur Program

    Pascasarjana Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister.

    Prof. Dr. Haryono Suyono, MA., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Ilmu PSDM yang selalu memberikan dorongan penuh dengan wawasan dan ide yang

    cemerlang dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dr. H. Haryadi Soeparto, dr., DOR., APU, selaku Keua Peminatan

    Pemerintahan Program Studi Ilmu PSDM yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan dorongan selama penulis mengikuti studi dan penulisan tesis.

    Dr. Sunarjo, dr., MS., MSc., selaku Wakil Ketua Program Studi Ilmu PSDM yang dengan kesediaan penuh melayani pembimbingan, konsultasi serta

  • 3

    memberikan arahan, dorongan yang tinggi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

    Seluruh Dosen Ilmu PSDM yang telah memberikan bekal bagi penulis melalui materi-materi kuliah yang serius dan sangat bermanfaaat serta bernilai

    guna tinggi dalam penyempurnaan penulisan tesis ini. Juga kepada seluruh Tenaga Administrasi yang dengan tulus ikhlas melayani keperluan penulis selama menjalani studi dan penulisan tesis ini.

    Ketua Tim dan Anggota Tim Penguji tesis yang telah memberikan pemecahan, saran, dan masukan yang bermanfaat guna penyempurnaan tesis ini.

    Bupati Dra. Haeny Relawati Rini Widyastuti, M. Si kabuaten Tuban Jawa

    Timur yang telah menyediakan fasilitas untuk memudahkan penelitian dan penulisan tesis ini, dan kepada bapak Theo dan seluruh jajaran pegawai kabupaten, yang juga membantu kelancaran penulisannya.

    Ayahanda Muhriy Syarkaniy (Alm.), Ibunda Hj. Noor Jannah yang telah memberikan doa, bekal, panutan, petuah, nasehat tentang kesabaran, keuletan dan ketekunan yang tiada henti-hentinya. Juga kepada saudaraku Achmad Jayyid

    beserta Istri, H. Achmad Tahris beserta Istri, Achmad Chufaf beserta Istri, dan saudara-saudaraku yang tidak sempat penulis sebutkan yang telah membantu

    penulis dalam menyelesaikan pendidiksn, dan tidak lupa kepada keponakanku Maimunah Syarifah yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

    Teristimewa untuk sahabat karibku Drs. Wahyu Dwi Prasetyodjati, dan Mukarramah, S. Hi yang selalu memberikan semangat dan dukungan penuh,

    teriring do`a yang dalam, dengan kesabaran menemani penelitian penulis di kabupaten Tuban, dan menanti kesabaran penulis selama mengikuti pendidikan

    ini.

    Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu PSDM angkatan tahun 2002 yang selalu tulus dan saling membantu dalam menempuh pendidikan di Program Magister Universitas Airlangga ini.

    Akhirnya dengan iringan doa semoga Allah SWT. memberikan pahala yang berlipat ganda atas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

  • 4

    Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang berkepentingan.

    Surabaya, 17 September 2004

    Penulis

    Abdullah Faiq

  • 5

    RINGKASAN

    Kepemimpinan perempuan menjadi isu publik yang selalu diperbincangkan, dan telah memancing polemik dan debat antara yang pro dan kontra terhadap pemimpin perempuan dalam sebuah negara, kendatipun pengakuan atas hak dasar kemanusiaan tampak mengalami peningkatan yang signifikan diberbagai belahan dunia. Pengakuan ini juga berlaku atas hak perempuan sebagaimana yang sejajar dengan laki-laki. Doktrin Agama seringkali dijadikan untuk membenarkan tindakan tidak adil dan bahkan tindakan kekerasan terhadap kaum perempuan. Doktrin Agama dianggap sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa ditafsirkan, sehingga posisi marginal perempuan dalam Agama dianggap takdir yang tidak dapat diubah. Selain Agama, budaya juga mempengaruhi terbentuknya struktur dan sosial politik yang timpang di masyarakat, sehingga perempuan yang pada posisi lemah hanya bisa bertahan dalam budaya patriarkhi.

    Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas, maka dalam penelitian ini menggunakan penelitian observasional dengan pendekatan survai dan bertujuan untuk menganalisis kepemimpinan perempuan dalam birokrasi pemerintahan. Perspektif yang diambil untuk menganalisis

    kepemimpinan perempuan adalah perspektif sosial politik, Agama, dan budaya. Ketiga faktor tersebut, mempunyai pengaruh besar dalam penentuan kontruksi

    masyarakat yang meneguhkan idiologi jender yang bias. Dari hasil pengujian statistik dengan menggunakan uji F menunjukkan ada

    pengaruh gaya kepemimpinan, faktor sosial, agama, budaya secara bersama

    sama terhadap prestasi kerja Bupati di Kabupaten Tuban, namun hanya 29,1 % perubahan variabel Y disebabkan oleh perubahan variabel X1 sampai X4.

    Sedangkan sisanya yaitu 79,9 % disebabkan oleh variabel lain yang tidak masuk dalam model.

  • 6

    Maka hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara variabel gaya kepemimpinan (X1) terhadap prestasi kerja bupati Kabupaten Tuban. Sedangkan untuk variabel faktor sosial (X2), budaya (X3) agama (X4) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi kerja bupati Kabupaten Tuban. Dengan demikian faktor eksternal seperti sosial politik, budaya dan agama bukan merupakan faktor yang menghalangi prestasi dan kemampuan kerja dari Bupati Tuban

  • 7

    SUMMARY

    ANALYSIS ON WOMAN LEADERSHIP IN GOVERNMENTAL BUREAUCRACY

    Abdullah Faiq

    Woman leadership becomes an interesting public issue, resulting in polemics and debates between those who support and those who refuse the leadership of woman in a country, although the recognition of human fundamental rights has become increasingly significant worldwide. This recognition is also in effect for the rights of woman, which are equal to those of man. The recognition of human rights is manifested in the various efforts attempted by thousands of activists in humanity movements, particularly the feminists or those who strive for the rights of woman. Unfortunately, religious doctrines are often used to justify injustice actions, even violence, against woman. Those doctrines are regarded as strict and uninterpretable, so that marginal position of woman in religion is seen as unchangeable fate. In addition to religion, culture also affects the formation of unfair social and political structure in the society, so that woman in her disadvantageous position can only survive within a depressing patriarchal culture. Based on those considerations, this study was aimed to analyze woman leadership in governmental bureaucracy. Perspectives taken to analyze woman leadership were from social, political, religious, and cultural perspectives. These three factors have major influence in determining social construction in establishing biased gender ideology. Results of statistical analysis using F test revealed simultaneous influence of leadership style, social factor, religious factor, and cultural factor on the achievement of Bupati at the District of Tuban. However, it was only 29.1% of the change in variable Y affected by the change in variable X1 to X4. The rest 79.9% were caused by other variables not included in the model. Additionally, there was significant influence of the variable of leadership style (X1) on the achievement of the Bupati of the District of Tuban, while social (X2), cultural (X3), and religious (X4) variables had no significant influence on the achievement of the Bupati of Tuban. Conclusively, external factors, such as social, political, cultural, and religious factors, are not obstacles for working capability and achievement of the Bupati of Tuban.

  • 8

    ABSTRACT

    ANALYSIS ON WOMAN LEADERSHIP IN GOVERNMENTAL BUREAUCRACY

    Abdullah Faiq

    This study was aimed to analyze woman leadership in governmental bureaucracy. Perspectives taken to analyze woman leadership were from social, political, religious, and cultural perspectives. These three factors have major influence in determining social construction in establishing biased gender ideology. Results of statistical analysis using F test revealed simultaneous influence of leadership style, social factor, religious factor, and cultural factor on the achievement of Bupati at the District of Tuban. However, it was only 29.1% of the change in variable Y affected by the change in variable X1 to X4. The rest 79.9% were caused by other variables not included in the model. Additionally, there was significant influence of the variable of leadership style (X1) on the achievement of the Bupati of the District of Tuban, while social (X2), cultural (X3), and religious (X4) variables had no significant influence on the achievement of the Bupati of Tuban. Conclusively, external factors, such as social, political, cultural, and religious factors, are not obstacles for working capability and achievement of the Bupati of Tuban.

    Keywords: Woman leadership, leadership style, working capability

  • 9

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Realitas menunjukkan bahwa peristiwa sejarah banyak dipengaruhi oleh

    persoalan kepemimpinan. Keberhasilan manajemen pemerintahan akan ditentukan

    oleh efektivitas kepemimpinannya, sehingga kepemimpinan atau leadership dapat

    dikatakan inti dari manajemen pemerintahan. Kepemimpinan merupakan sebuah

    proses yang saling mendorong melalui keberhasilan interaksi dari perbedaan

    individu, mengontrol daya manusia dalam mengejar tujuan bersama (Inu Kencana,

    2003). Jadi kepemimpinan merupakan kehendak mengendalikan apa yang terjadi,

    pemahaman merencanakan tindakan, dan kekuasaan untuk meminta penyelesaian

    tugas, dengan menggunakan kepandaian dan kemampuan orang lain secara

    kooperatif (Donald, 1998).

    Dinamika manusia yang kemudian menampakkan diri dalam dinamika

    organisasi dan dinamika masyarakat sebagai keseluruhan merupakan salah satu

    faktor pendorong bagi berbagai jenis kemajuan yang hendaknya dicapai oleh umat

    manusia. Dorongan untuk maju timbul karena hasrat dan keinginan manusia

    meningkatkan kemampuannya untuk memuaskan berbagai jenis kebutuhannya

    yang semakin lama semakin kompleks (Sondang,1999).

  • 10

    Semakin disadari bahwa terlepas dari meningkatnya pengetahuan dan

    keterampilan berkat pendidikan yang semakin tinggi, cara terbaik untuk

    memuaskan berbagai kebutuhan tersebut adalah dengan menggunakan berbagai

    jalur organisasi (pemerintahan). Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa

    semakin kompleks kebutuhan seseorang, semakin banyak organisasi yang

    diikutinya, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, agama, dan sosial.

    Berbarengan dengan menikngkatnya kebutuhan untuk bergabung dalam

    berbagai organisasi, semakin berkembang pula persepsi yang berkisar pada

    pandangan bahwa dalam kehidupan organisasional perlu dijamin keseimbangan

    antara hak dan kewajiban seseorang. Dalam hubungan organisasi dengan para

    anggotanya, sering dirumuskan bahwa hak organisasi diperolehnya melalui

    penunaian kewajiban oleh para anggotanya dan sebaliknya hak para anggota

    organisasi merupakan kewajiban organisasi untuk memenuhinya. Pandangan

    demikian mengejawantah pada tuntuatan adanya kepemimpinan yang adil dan

    demokratis dalam organisasi yang bersangkutan (Sondang, 1999).

    Dalam kepemimpinan pemerintahan ada tiga hal yang boleh diputuskan,

    yaitu boleh mendirikan rumah tahanan bagi masyarakatnya (penjara), boleh

    menghukum masyarakatnya (sanksi), dan boleh memungut harta masyarakatnya

    (pajak). Akan tetapi pemerintah juga perlu melayani masyarakatnya dengan baik

    dari hasil pajak dan retribusi masyarakat (Inu Kencana, 2003).

    Tidak dapat disangkal, bahwa keberhasilan suatu pemerintahan baik

    sebagai keseluruhan maupun berbagai kelompok dalam pemerintahan tertentu,

    sangat tergantung pada mutu kepemimpinan yang terdapat dalam pemerintahan

  • 11

    yang bersangkutan. Bahkan kiranya dapat diterima sebagai suatu trueisme,

    apabila dikatakan bahwa mutu kepemimpinan yang terdapat dalam suatu

    pemerintahan memainkan peranan yang sangat dominan dalam keberhasilannya

    menyelenggarakan berbagai kegiatannya. Seorang pemimpin harus memahami

    ciri khas kontrak sosial dan moral antara pemimipin dan pendukungnya. Dalam

    hal kekuasaan, pemimpin bergantung pada pengikutnya, dan sampai batas

    tertentu, kemampuannya akan membuktikan hasil. Oleh karena itu, ia harus bisa

    bekerja sama dengan mereka untuk mencapai sasaran yang telah disepakati

    (Donald, 1998).

    Pemerintahan mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan

    keamanan negara, ke dalam maupun ke luar. Oleh karenanya pertama harus

    mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan

    perang, kedua harus mempunyai kekuatan legislatif yang berfungsi membuat

    undang-undang, yang ketiga harus mempunyai kekuatan finansial atau

    kemampuan untuk mencukupi keuangan rakyatnya dalam rangka membiayai

    kebutuhan negara dalam rangka penyelenggaraan peraturan. Hal tersebut dalam

    rangka penyelenggaraan kepentingan negara.

    Persoalan gender akhir-akhir ini sedang menjadi wacana publik yang

    hangat dibicarakan oleh banyak kalangan. Persoalan ini menyangkut tentang

    kemitraan dan keadilan peran sosial antara laki-laki dan perempuan, yang dalam

    sepanjang manusia telah dikonstruksi oleh agama, adat, dan budaya. Dalam hal

    peran ini sering terjadi kekaburan dalam kehidupan sehari-hari antara

    ketimpangan peran kehidupan. Ada yang lebih berpegang pada adat, budaya dari

  • 12

    pada agamanya dan ada yang sebaliknya mereka lebih mengedepankan agama

    dari pada adat, dan budayanya. Perdebatan mengenai status hukum kaum

    perempuan yang terdapat dalam sunnatullah maupun ketentuan fitrah yang lain

    mulai dari instink, kasih sayang model berfikir serta ketentuan yang tidak bisa

    dirubah lagi kecuali adanya kemampuan di dalam kerangka berfikir itu sendiri

    (tholchah, dalam Paradigma Gender 2003).

    Di penghujung tahun 1998 yang lalu, di Indonesia wacana pemimipin

    perempuan telah mencuat ke permukaan. Dalam catatan kami diskursus wacana

    pemimipin perempuan telah memancing polemik dan debat antara yang pro

    maupun kontra terhadap pemimpin perempuan dalam sebuah negara. Apalagi

    dalam masyarakat yang secara umum bersifat patrilinial, yakni memuliakan kaum

    laki-laki dalam semua aspek kehidupan. Sekali pun sejarah menunjukkan bahwa

    banyak sekali pemimpin perempuan yang sukses dalam memimpin sebuah

    bangsa. Ini merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa

    perempuan sekarang ini telah tampil menduduki berbagai jabatan penting dalam

    masyarakat (Awuy, 1999).

    Dalam Tap MPR No. II/1973 dinyatakan, bahwa calon presiden dan wakil

    presiden ialah orang Indonesia asli dan memenuhi beberapa syarat sebagai

    berikut:

    a. Warga Negara Indonesia.

    b. Telah berusia 40 tahun.

    c. Bukan orang yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam pemilihan

    umum.

  • 13

    d. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

    e. Setia kepada cita-cita proklamasi 17 Agustus 45, Pancasila, dan UUD 45.

    f. Bersedia menjalankan haluan negara menurut garis besar yang telah

    ditetapkan.

    g. Berwibawa.

    h. Jujur.

    i. Cakap.

    j. Adil.

    k. Dukungan dari rakyat yang tercermin dalam Majelis (AM. Fatwa,1997).

    Dari dasar ketetapan MPR di atas, jelas tidak peduli apakah dia laki-laki atau

    perempuan asal memenuhi syarat-syarat di atas, jadilah ia seorang presiden atau

    wakil presiden (pemimpin publik).

    Indonesia sebagai negara yang demokratis dan menghormati Hak Asasi

    Manusia (HAM) secara universal tidak mengenal paham diskriminasi jender.

    Terlebih lagi, jika di tinjau dari segi hukum positif (UUD 45), yang berlaku di

    negara Indonesia tidak ada satu pun undang-undang yang melarang seorang

    perempuan menjadi pemimpin publik. Oleh karena itu rekomendasi yang menolak

    kehadiran pemimipin perempuan sangat bertolak belakang dengan iklim di tingkat

    internasional yang begitu gencar memperjuangkan harkat martabat kaum

    perempuan untuk meraih kesempatan yang sama dalam aspek kehidupan sosial

    berbangsa dan bernegara.

    Ada pendapat sebagian Ulama atau Fuqaha` yang memahami secara

    tekstual ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadits Nabi saw. yang melarang adanya seorang

  • 14

    perempuan menjadi pemimpin publik. Kendati pun demikian, Al-Qur`an tidak

    pernah menganut suatu faham yang memberikan keutamaan pada jenis kelamin

    (gender) tertentu, atau pun mengistimewakan suku tertentu. Laki-laki dan

    perempuan, dan suku bangsa mana pun mempunyai potensi yang sama untuk

    menjadi seorang pemimpin publik (khalifah) dan hamba Allah (`abid). Hanya

    saja yang dapat membedakan di sisi Allah adalah ketaqwaan manusia itu sendiri

    (Said Aqil, 1999).

    Maka perlu dikaji kembali ayat 34 Surat al-Nisa` ar-rijaalu qawwamuuna

    `ala al-nisa`, yakni Kaum laki-laki menjadi tanggung jawab kaum perempuan

    (QS. al-Nisa`) yang menjadikan pijakan utama pengharaman pemimpin

    perempuan. Secara historis, menurut Imam Abul Hasan ibnu Ahmad Al-Wahidi

    (w. 468 H) sebab-sebab turunnya ayat tersebut bermula dari cerita Sa`ad ibn

    Rabi`, seorang pembesar Anshar. Diceritakan bahwa istrinya (Habibah) telah

    berbuat durhaka, dan menentang keinginan Sa`ad untuk bersetubuh, lalu ia

    ditampar oleh Sa`ad. Peristiwa tersebut sampai pada pengaduan Nabi sw. Nabi

    saw kemudian memutuskan untuk menghukum Sa`ad, akan tetapi begitu Habibah

    beserta ayahnya mengayunkan beberapa langkah untuk melakukan hukuman,

    Nabi saw. memanggil keduanya lagi, seraya meberikan informasi ayat yang baru

    turun melalui Jibril (ayat al-Nisa` 34), sehingga hukuman tersebut dibatalkan.

    Dari sini dapat difahami bahwa pemakaian ayat tersebut untuk mengharamkan

    kepemimpinan perempuan di luar urusan ranjang jelas memiliki validitas

    argumentasi yang sangat lemah. Ayat tersebut juga bukan kalimat intruksi (Said

    Aqil, 1999).

  • 15

    Sedangkan hadits shahih yang diceritakan Imam Bukhari (seorang perawi

    hadits) Lan yafliha qaumun wallau amrahum imra`atan, yakni Tidak akan

    bahagia suatu kaum apabila urusannya diserahkan kapada seorang perempuan.

    Jika ditelusuri sebab-sebab munculnya, menurut Ahmad ibn Hajar al-Asqalani (w.

    852 H), hadits tersebut bermula dari kisah Abdullah ibn Hudzafah, kurir

    Rasulullah saw. yang menyampaikan surat ajakan masuk Islam terhadap Kisra

    Anusyirwan, penguasa Persia yang beragama Majusi. Ternyata ajakan tersebut

    ditanggapi sinis dengan merobek-robek surat yang telah dikirimkan Nabi saw.

    Dari laporan tersebut Nabi saw memiliki firasat bahwa Imperium Persia kelak

    akan terpecah belah sebagaimana Anusyirwan merobek-robek surat tersebut.

    Tidak berapa lama, firasat itu terjadi, hingga akhirnya kerajaan tersebut dipimpin

    putri Kisra yang bernama Buran. Mendengar realita negeri Persia yang dipimpin

    wanita, Nabi saw berkomentar: lan yufliha qaumun wallau amrahum

    imra`atan. Komentar Nabi saw. ini sangat argumentatif, karena kapasitas Buran

    yang lemah di bidang kepemimpinan.

    Obyek pembicaraan Nabi saw. hanya tertuju kepada ratu Buran, putri

    Anusyirwan yang kredibilitas kepemimpinannya sangat diragukan. Terlebih di

    tengah percaturan politik timur tengah saat itu yang rawan peperangan antar suku.

    Dari aspek substansi teks, bukan berupa kalimat larangan, tapi hanya kalimat

    informasi. Karena itu, hukum haram (larangan) pun tidak memiliki signifikan

    yang akurat. Dalam realitas di masyarakat, ternyata banyak pemimpin publik

    perempuan yang tidak kalah keberhasilannnya dibandingkan dengan pemimpin

    publik laki-laki (Said Aqil, 1999). Dapat dipamahami, bahwa kelemahan

  • 16

    perempuan sebenarnya hanya merupakan pandangan kultural pada masa lampau,

    yakni memposisikan perempuan semata-mata sebagai sub ordinatif. Penilaian itu

    bukanlah suatu yang mutlak, melainkan terus berubah sejalan dengan

    perkembangan zaman yang dinamis. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan dan

    teknologi serta kondisi tatanan masyarakat pada suatu masa sangat mempengaruhi

    pola berpikir setiap manusianya.

    Pada hakekatnya, esensi dari kepemimpinan nasional terletak pada moral,

    kualitas dan kapabilitasnya. Apalagi situasi dan kondisi politik Indonesia saat ini

    sangat rawan dengan terjadinya disintegrasi, dimana tingkat kemajemukan sangat

    tinggi. Karenanya, sangat diperlukan seorang negarawan yang menegakkan

    kepemimpinan lintas rasial, etnis agama, berwawasan kemanusiaan yang modern

    dan tidak mengeksploitasi perbedaan itu.

    Perempuan mempunyai hak untuk menikmati hak-hak politik, memiliki

    kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menggapai hak untuk dipilih

    sebagai pemimpin publik dan hak untuk menduduki jabatan politik. Pemahaman

    yang melarang tampilnya kaum perempuan sebagai pemimpin publik, hanya

    didasarkan pada pemahaman nash secara tekstual interpretatif. Jika nash yang

    dianggap sebagai landasan larangan itu dipahami dengan memberikan interpretasi

    secara kontekstual, akan diperoleh hukum yang memperbolehkan seorang

    perempuan tampil sebagai pemimipin publik.

    Dengan berdasarkan realitas di atas, maka tulisan ini berupaya

    mengungkapkan tentang kepemimpinan perempuan di birokrasi pemerintah dalam

    kasus khusus, yaitu kepemimpinan ibu Heny di pemerintah kabupaten Tuban

  • 17

    Jawa Timur yang dimungkinkan adanya aplikasi yang tidak pada tempatnya

    seperti penyusupan perempuan dalam politik itu selalu dikalim dengan negatif,

    pada hal semua itu tidak terlepas dari peran kaum lak-laki. Di sini Saya sebagai

    penulis hanya berusaha mencari kebenaran dan kebaikan bagi Bangsa dan Negara.

    1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan atas fenomena yang mengedepankan pada latar belakang

    pemikiran di atas, maka dalam tulisan ini dapat dirumuskan permasalahnnya

    sebagai berikut:

    1. Apakah ada pengaruh gaya kepemimpinan, faktor sosial politik,

    budaya, dan agama terhadap prestasi kerja Bupati kabupaten Tuban

    dalam pemerintahannya ?

    2. Apa yang paling berpengaruh terhadap prestasi kerja Bupati kabupaten

    Tuban dalam pemerintahannya ?

    1.3. Tujuan Penelitian

    1.3.1. Umum

    1. Menganalisis kepemimpian perempuan di pemerintah kabupaten

    Tuban.

    1.3.2. Khusus

    1. Menganalisis gaya kepemimpinan, fakor sosal politik, budaya dan

    agama Bupati kabupaten Tuban dalam pemerintahannya.

  • 18

    1.4. Manfaat Penelitian

    1. Sebagai bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut.

    2. Sebagai bahan masukan yang dapat memberikan penjelasan tentang

    kepemimpinan perempuan dalam birokrasi pemerintah Indonesia,

    khususnya dalam kasus penolakannya partai-partai pilitik yang

    berasaskan Islam pada kepemimipinan perempuan.

    3. Sebagai sarana untuk memberikan diskripsi kepada dunia akademik,

    kalangan pemerintah, dan publik pada umumnya dalam kaitannya

    dengan komunitas perempuan yang memiliki potensi politik yang

    cukup baik yang berhubungan dengan kepemimpinannya di dalam

    kehidupan politik kenegaraan.

  • 19

    BAB 2

    KAJIAN PUSTAKA

    Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai konsep-konsep kepemimpinan

    dan hubungannya dengan teori kepemimpinan yang dijadikan rujukan atau

    referensi kaum perempuan, yaitu beberapa tulisan para ilmuan dan beberapa

    pemaknaan teks al-Qur`an maupun hadits Nabi SAW. dan fakta sejarah pada masa

    awal Islam berkembang. Disamping itu, akan diuraikan pula proses pemaknaan

    mereka terhadap kepemimpinan politik dan apa implikasi terhadap langkah

    mereka dalam pemimpin publik. Berkaitan dengan hal di atas, maka akan

    dijelaskan wujud-wujud tindakan riil yang mereka hasilkan, dalam rangka

    memimpin masyarakat.

    2.1. Konsep Kepemimpinan

    Secara etimologi kepemimpinan berasal dari kata dasar pimpin (lead)

    berarti bimbing atau tuntun, dengan begitu di dalam terdapat dua pihak yaitu yang

    dipimpin (rakyat) dan yang memimpin (imam). Setelah ditambah awalan pe

    menjadi pemimpin (leader) berarti orang yang mempengaruhi pihak lain

    melalui proses kewibawaan kominikasi sehingga orang lain tersebut bertindak

    sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Dan setelah ditambah akhiran an

    menjadi pimpinan artinya orang yang mengepalai. Apabila dilrengkapi dengan

  • 20

    awalan ke menjadi kepemimpinan (leadership) berarti kemampuan dan

    kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar

    melakuakan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang

    bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok (Inu Kencana,

    2003).

    Jadi kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang

    lain agar mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Miftah, 1997).

    Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan menggerakkan atau memotivasi

    sejumlah orang agar secara serentak melakukan kegiatan yang sama dan terarah

    pada pencapaian tujuannya (Nawawi dan M. Martin, 1995). Oleh sebab itu, hal

    yang penting dari kepemimpinan adalah adanya pengaruh dan efektifnya

    kekuasaan dari seorang pemimpin. Jika seseorang berkeinginan mempengaruhi

    perilaku orang lain, maka aktivitas kepemimpinan telah mulai tampak

    relevansinya.

    Seiring dengan pengertian di atas, pemimpin adalah orang yang

    mempunyai wewenang dan hak untuk memepengaruhi orang lain, sehingga

    mereka berprilaku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut melalui

    kepemimpinannya.

    Dengan demikian, secara sederhana kepemimpinan adalah setiap usaha

    untuk mempengaruhi. Sementara itu kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu

    potensi pengaruh dari seorang pemimpin tersebut. Ini merupakan suatu sumber

    yang memungkinkan seorang pemimpin mendapatkan hak untuk mengajak atau

    mempengaruhi orang lain (Miftah, 1997). Lebih lanjut, Miftah Toha juga

  • 21

    membedakan antara kekuasaan dan otoritas (authority) yang sering dianggap

    sama pengertiannya. Authority dapat dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari

    kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang diduduki seseorang

    pemimpin. Dengan demikian otoritas adalah kekuasaan yang disahkan

    (legitimazed) oleh suatu peranan formal seorang pemimpindalam sebuah

    organisasi (Miftah, 1997).

    Dari uraian di atas, kepemimpinan perempuan adalah termasuk tipe

    kepemimpinan demokratik, karena jabatan yang disandangnya dari hasil pilian

    masyarakat, kendati pun banyak kalangan politikus dari partai-partai yang

    berasaskan Islam atau sebagian Ulama` menolaknya.

    Pemimipin demokratik biasanya memandang peranannya selaku

    koordinator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak

    sebagai suatu totalitas, karena tipe pemimpin demokratik adalah tipe pemimipin

    yang paling ideal dan paling didambakan. Memang, harus diakui bahwa

    pemimpin yang demokratik tidak selalu merupakan pemimpin yang paling efektif

    dalam kehidupan organisasi sosial karena ada kalanya, dalam hal bertindak dan

    memgambil keputusan, bisa terjadi keterlambaatan sebagai konsekuensi

    keterlibatan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan tersebut.

    Sekalipun demikian, pemimpin yang demokratik tetap dipandang sebagai

    pemimpin terbaik karena kelemahannya mengalahakan kekurangannya (Sondang

    1999).

    Setiap masyarakat membutuhkan para pemimpin yang dapat mengarahkan

    dan mengkoordinasikan kegiatan bersama dan aktivitas untuk kepentingan umum.

  • 22

    Dan dengan cara yang dapat diterima, para pemimpin dapat merumuskan masalah

    dan mengusahakan pemecahannya. Jadi, seseorang menjadi pemimpin karena

    memang ada kebutuhan masyarakat akan seorang yang dipilih, yang dianggap

    mampu mengadakan aktualisasi dan merealisasi dari kebutuhan yang dianggap

    sebagai keinginan masyarakat (Susanto, 1983).

    Para pemimpin itu dalam struktur masyarakat disebut sebagai kelompok

    elit, sebagaimana dikemukakan oleh Schoorl, sebagai berikut: Dalam arti yang

    paling umum, elit itu menunjuk sekelompok orang, yang di dalam masyarakat

    menempati kedudukan yang lebih tinggi. Dalam arti yang lebih khusus, elit adalah

    sekelompok orang terkemuka di beberapa bidang tertentu, dan khususnya

    golongan kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dari mana

    pemegang kekuasaan itu diambil (Schoorl, 1991). Tampaknya, sudah menjadi

    anggapan umum bahwa kekuatan pengerak masyarakat terdapat pada pemimpin.

    Dalam setiap masyarakat secara wajar timbullah dua kelompok yang berbeda

    peranan sosialnya, yaitu yang memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih dan

    kelompok yang dipimpin, yaitu kelompok mayoritas kebanyakan. Dan untuk

    menerangkan setiap perubahan dan perkembangan masyarakat perlu

    diperhitungkan faktor kepemimpinan dari komunitas elit tersebut.

    Sementara itu, jika dianalisis dari sifat hubungan antara pemimipin dan

    masyarakat atau para pengikut, maka pada umumnya terdapat dua macam

    pendekatan, yaitu bahwa pemimpinlah yang membuat masyarakat atau yang

    disebut teori The Great Man (Miftah, 1997). Kedua adalah teori sosiologis,

    yang meyakini bahwa masyarakatlah yang membuat pemimpin atau disebut juga

  • 23

    teori Sosial Learning (Miftah, 1997). Menurut Sartono Kartodirdjo, kedua teori

    tersebut bisa disatukan menjadi teori kepribadian dalam situasi, artinya seorang

    pemimpin lahir akibat interaksi antara faktor kepribadian dan faktor situasional.

    Secara terperinci ia menyebutkan adanya interaksi dari tiga faktor, yaitu sifat

    golongan, kepribadian dan situasi atau kejadian. Dari ketiga faktor itu

    menunjukkan sifat multidimensional gejala kepemimpinan, yaitu aspek sosial

    psikologis, sosiologis antropologis, dan sosial historis (Kartodirdjo, 1986).

    Dari cara seorang pemimpin dalam melakukan kepemimpinannya itu dapat

    digolongkan atas beberapa tipologi;

    2.1.1. Tipe Otokratis

    Kepemimpinan secara otokratis adalah kepemimpinan yang cara

    memimpinnya menganggap organisasi sebagai miliknya sendiri. Sehingga

    seorang pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap para anggota

    organisasinya dan menganggap mereka itu sebagai bawahannya dan

    merupakan alat atau mesin, tidak diperlakukan sebagaimana manusia.

    Bawahan hanya menurut dan menjalankan perintah atasannya serta tidak boleh

    membantah, karena pimpinan tidak mau menerima kritik, saran dan masukan.

    Tipe kepemimpinan otokratis ini dapat kita jumpai dalam pemerintahan

    feodal oleh kerajaan-kerajaan pada zaman abad pertengahan. Kepemimpinan

    yang otokratis biasanya dikendalikan oleh seorang pemimpin yang

    mempunyai perasaan harga diri yang sangat tinggi. Bawahannya dianggap

    bodoh, tidak berpengalaman, dan selayaknya diperintah sesuka mereka.

  • 24

    Dengan egoisme yang sangat tinggi, seorang pemimpin yang otokratik

    melihat peranannya sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan

    organisasional seperti kekuasaan yang tidak perlu dibagi dengan orang lain

    dalam organisasi, ketergantungan total para anggota organisasi mengenai

    nasib masing-masing dan sebagainya.

    2.1.2. Tipe Paternalistik

    Cara ini dapat dikatakan untuk seorang pemimpin yang bersifat kebapaan,

    ia menganggap bawahannya bagaikan anak yang belum dewasa. Tipe

    pemimpin yang paternalistik banyak terdapat di lingkungan masyarakat yang

    masih bersifat tradisional, umumnya di masyarakat agraris.Dengan demikian

    pemimpin semacam ini jarang sekali atau tidak pernah memberikan kepada

    bawahannya untuk bertindak sendiri, untuk mengambil inisiatif dan

    mengambil keputusan. Para bawahannya tidak diberi kesempatan untuk

    mengembangkan daya kreasi dan inovasinya.

    Konsekuensi dari perilaku demikian ialah bahwa para bawahannya tidak

    dimanfaatkan sebagai sumber informasi, ide, dan saran. Seorang pemimpin

    yang paternalistik ini dalam hal-hal yang tertentu sangat dibutuhkan, akan

    tetapi sebagai pemimpin pada umumnya kurang efektif.

    2.1.3. Tipe Kharismatik

    Rupanya sulit untuk menemukan sebab seorang pemimpin mempunyai

    harisma. Yang jelas adalah bahwa pemimpin tersebut mempunyai daya tarik

    sendiri. Pemimpin yang kharismatik mampu menguasai bawahannya karena

    mereka diliputi oleh kepercayaan yang luar biasa terhadapnya. Para pengikut

  • 25

    seorang pemimpin yang kharismatik tidak pernah mempersoalkan nilai yang

    diikuti, sikap, gaya dan perilaku yang digunakan pemimpin diikutinya.

    Keputusan dan kesetiaan para bawahannya timbul dari kepercayaan yang

    penuh keoada pemimpin yang dicintai, dihormati, dan dikagumi, bukan karena

    benar tidaknya alasan-alasan dan tindakan seorang pemimpin. Kemampuan

    untuk menguasai bawahannya yang terdapat pada diri seorang pemimpin yang

    demikratis disebabkan kepercayaannya yang luar biasa kepada

    kemampuannya itu. Seorang pemimpin yang demokratis adala pemimpin yang

    dianggap mempunyai kekuatan ghaib atau kesaktian yang tidak dapat diindra

    secara ilmiah, sehingga dikagumi para bawahannya meskipun para

    bawahannya tidak selalu dapat menjelaskan secara konkrit mengapa orang

    tersebut dikagumi.

    2.1.4. Tipe Laissez Faire

    Dapat dikatakan bahwa persepsi seorang pemimpin yang laissez faire

    tentang peranannya sebagai seorang pemimpin berkisar pada pandangannya

    bahwa pada umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya

    karena para bawahannya terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang

    mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran apa yang ingin

    dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan

    seorang pemimpin tidak perlu terlalu sering melakukan intervensi dalam

    kehidupan organisasional.

    Seorang pemimpin yang laissez faire melihat peranannya bagaikan polisi

    lalu lintas. Dengan anggapan bahwa para bawahannya sudah mengetahui dan

  • 26

    cukup dewasa untuk taat kepada peraturan permainan yang berlaku, dan

    cenderung memiliki peranan yang pasif dan membiarkan bawahannya berjalan

    menurut tempatnya sendiri tanpa banyak mencampuri bagaimana bawahannya

    harus berjalan dan bergerak. Kepemimpinan semacam ini biasanya tidak

    kelihatan adan sebuah organisasi dan segalanya dilakukan tanpa ada rencana

    dari pemimpin.

    Nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin yang laissez faire dalam

    menyelenggarakan fungsi-fungsi kepemimpinannya biasanya bertolak dari

    falsafah hidup bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa solidaritas dalam

    kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan kepada

    organisasi, taat kepada norma-norma dan peraturan yang telah disepakati

    bersama, mempunyai tangguing jawab yang besar terhadap tugas yang harus

    diembannya. Dengan sikap demikian, maka tidak ada alasan kuat untuk

    memperlakukan para bawahannya sebagai orang-orang yang tidak dewasa,

    tidak bertanggung jawab, tidak setia dan tidak loyal. Nilai yang didasarkan

    dalam kepemimpinan tersebut adalah nilai saling mempercayai yang besar.

    2.2.5. Tipe Demokratik

    Seorang pemimpin yang demokratik dihormati dan segani dan bukan

    ditakuti karena perilakunya dalam kehidupan oeganisasional. Perilakunya

    memberi motivasi para bawahannya menumbuhkan dan mengembangkan daya

    inovasi dan kreativitasnya. Dalam pelaksanaan tugas kepemimpinannya mau

    menerima saran-saran dari bawahannya dan bahkan kritik dimintanya dari

    mereka demi kesuksesan kinerja bersama. Ia memberi kebebasan yang cukup

  • 27

    kepada bawahannya, karena menaruh kepercayaan yang besar bahwa mereka

    itu akan berusaha sendiri menyelesaikan tugasnya dengan baik.

    Untuk dapat mencapai hasil yang baik, seoarang pemimpin yang

    demokratik senantiasa berusaha memupuk kekeluargaan dan persatuan,

    membangun semangat bekerja pada bawahannya. Satu lagi karakteristik

    penting yang dimiliki seorang pemimpin demokratik yang sangat positif

    adalah dengan cepat ia menunjukkan penghargaan kepada para bawahannya

    yang berprestasi baik. Penghargaan itu dapat berbentuk kata pujian, tepukan

    pada bahunya, memberikan piagam penghargaan, kenaikan pangkat atau

    bahkan mempromosikan jika keadaan memungkinkan. Seorang pemimpin

    yang demokratis akan bangga apabila para bawahannya menunjukkan

    kemampuan kerja yang bahkan lebih tinggi dari kemampuan dirinya sendiri

    (Sondang, 1999).

    Pada zaman sekarang pemimpin semacam inilah yang diharapkan dan

    dituntut masyarakat banyak, oleh karena kepemimpinan yang demokratik segala

    aktivitas dapat dikerjakan dengan baik sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.

    Seiring dengan konsep di atas, berikut akan dijelaskan rujukan para kaum

    perempuan tentang konsep kepemimpinan yang dijadikan landasan untuk

    bertindak. Yang pertama, dapat dipahami dari surat Fathir, ayat 39, yaitu Dialah

    Yang menjadikan kamu semua pemimpin (khalifah) di muka bumi, ayat ini

    merupakan penjelasan pernyataan Allah, bahwa Dia memposisikan manusia

    sebagai pemimpin (khalifah), tanpa memandang jenis kelaminnya baik perempuan

    maupun laki-laki. Dan dapat dipahami pula dari surat Ali-Imran ayat 195,

  • 28

    disebutkan Sesungguhnya Aku tidak mensia-siakan amal perbuatan orang-orang

    yang beramal, baik laki-laki maupun perempuan, surat al-Taubah ayat 71, juga

    dikatakan Dan orang-orang yang beriman, baik laki-laki dan perempuan,

    sebagian mereka adalah kekasih bagi sebagian yang lain: mereka menyuruh

    untuk mengerjakan yang ma`ruf, menentang yang munkar, mendirikan shalat,

    menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya, mereka itu akan

    diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha

    Bijaksana.

    Ayat di atas secara jelas berusaha untuk mengkikis habis berbedaan jenis

    kelamin (gender), khususnya dalam arti kemanusiaan. Secara umum kaum laki-

    laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupan. Di

    sisi lain, pada masa Nabi Sulaiman, di negeri yang diabadikan sebagai salah satu

    nama surat dalam al-qur`an yang dikenal baldatun thayyibatun wa rabbun

    ghafur (negeri yang adil, makmur, aman, dan sentosa), yaitu negeri Saba`.

    Negeri ini ternyata dipimpin oleh penguasa perempuan, Ratu Bilqis. Sedangkan

    pada awal perkembangan Islam pun, Ummul Mu`minin siti `Aisyah juga pernah

    menjadi seorang panglima perang dalam perang jamal. Realita semacam ini akan

    menjadi tendensi dan semakin melunturkan larangan prempuan untuk tampil

    sebagai serang pemimipin publik (Said Aqil, 1999).

    Disamping itu al-Qur`an secara tegas memberikan pandangan tentang

    kesetaraan laki-laki dan perempuan dilihat dari ayat yang membicarakan Adaam

    dan Hawa, sampai mereka terlempar ke bumi, selalu menggunakan bentuk kata

    ganti mereka berdua (huma).

  • 29

    2.2. Politik Perempuan

    2.2.1. Pengertian Jender dan Jenis Kelamin

    Kata gender (dibaca jender) berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis

    kelamin baik perempuan maupun laki-laki (John M. Echols dan Hassan Shadily,

    1983). Jender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan

    apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Womens Studies Encylopedia

    dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat

    perbedaan (distinction) dalah hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik

    emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. Hilary

    M. Lips dalam bukunya Sex and Gender: an introduction mengartikan gender

    sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural

    expectations for women and men). Misalnya perempuan dikenal dengan lemah

    lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,

    rasional, jantan dan perkasa.

    Menurut (Fakih, 2003) makna kata ini sebagai sifat yang melekat pada

    kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstuksi secara sosial dan kultural. Sifat

    ini bukan sifat bawaan akan tetapi sifat yang terbentuk karena pengaruh proses

    sosial dan kultural. Sebagai contoh anak atau orang yang lahir dan dibesarkan di

    desa yang jauh keramaian dan pergaulan akan cenderung kurang percaya diri, atau

    apabila ia dikurung ia pasti akan berbicara halus dan pelan, sanagat sopan, dan

    rendah hati. Karena sifat itu akan melekat hanya karena proses, bukan karena

    dikodratkan, sifat itu bisa dipertukarkan.

  • 30

    Sekelompok sifat di atas, karena telah menjadi ciri yang telah berlangsung

    lama, dianggap melekat pada diri laki-laki dan perempuan dan bersifat biologis.

    Di sisi lain, perempuan menganggap bahwa dirinya memang demikian dan di sisi

    lain, kaum laki-laki mengaganggap lebih unggul dari lawan jenisnya. Lanjut

    Fakih, perbedaan jender yang telah lama ada berlangsung terus menerus, turun

    menurun dari generasi ke generasi seolah telah menjadi sifat dan ketentuan Allah

    SWT. Karena perempuan cenderung menganggap bahwa perbedaan tersebut

    adalah hal yang kodrati, maka mereka sering merasa kalah dari laki-laki. Di dunia

    kepemimipinan, meskipun perempuan yang memiliki kemampuan yang tidak

    kalah dengan laki-laki, akan tetapi mereka enggan tampil di depan, belum bisa

    menerima kelompoknya sendiri menjadi pemimipinnya, lebih suka rutinitas dan

    cenderung menghindari tantangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Di mata

    kaum laki-laki, mereka masih sering dipertanyakan dan diragukan

    kepemimpinannya (Susanto, 1998).

    Lanjut Fakih untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata

    gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan

    pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara

    biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis

    laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut : laki-

    laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan

    memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti

    rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan

    mempunyai alat menyusui. Secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa

  • 31

    dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan

    perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis

    atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.

    Pada bagian lain yang hampir serupa Shadily dalam Ihromi (2000)

    membedakan antara antara gender dan jenis kelamin. Menurutnya istilah jender

    serimg diartikan sebagai jenis kelamin (seks). Kedua istilah memang mengacu

    pada perbedaan jenis kelamin, tetapi istilah seks terkait pada komponen

    biologis.artinya : masing-masing jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) secara

    biologis berbeda dan sebagai perempuan dan laki-laki mempunyai keterbatasan

    dan kelebihan tertentu berdasarkan fakta biologis masing-masing. Misalnya :

    seorang yang berjenis kelamin perempuan bisa mengandung, melahirkan dan

    mempunyai air susu ibu (ASI). Seorang yang secara biologis dilahirkan sebagai

    laki-laki mempunyai sperma. Perbedaan biologis masing-masing merupakan

    pemberian Tuhan, dan tidak mudah untuk diubah.

    Sebaliknya, jender, adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seorang.

    Atau : jender adalah hasil konstruksi sosial yang terdiri dari sifat, sikap dan

    perilaku seseorang yang ia pelajari. Yang dipelajari biasanya berbagai sifat dan

    perilaku yang dianggap pantas bagi dirinya karena ia berjenis kelamin perempuan

    atau laki-laki. Sifat-sifat seperti feminitas bagi perempuan dan maskulinitas

    bagi laki-laki ditentukan oleh lingkungan budayanya. Melalui apa yang diajarkan

    orang tuanya, guru-guru sekolahnya, guru agamanya, dan tokoh masyarakat

    dimana seorang tergabung. Artinya : jender seorang diperoleh melalui suatu

    proses yang panjang, sebagai hasil belajar seorang sejak ia masih usia dini.

  • 32

    2.2.2. Perempuan di Kancah Politik

    Perempuan merupakan substansi yang selalu enak dan elok untuk

    diperbincangkan oleh semua kalangan, baik kalangan laki-laki maupun kalangan

    perempuan itu sendiri. Itu bisa dimaklumi, mengingat perempuan adalah sosok

    yang cukup penting dalam kehidupan. Perempuan merupakan penerus, pengabdi,

    dan pendidik bagi generasi yang akan datang, yaitu generasi yang akan

    menentukan perjalanan bangsa tercinta ini.

    Kalau kita berbicara perempuan haruslah pertama-tama kita mulai dengan

    menempatkan mereka sebagai manusia. Dengan bertumpu pada titik pandang

    kemanusiaan, kita akan menilai bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya

    sama, mereka mempunyai kecerdasan otak yang sama, sama mulia budi

    pekertinya, sama luhur cita-citanya, dan sama-sama memiliki impian dan harapan.

    Dan tentu mereka mempunyai potensi kepemimpinan yang sama, baik potensi

    kepemimpinan sebagai individu maupun makhluk sosial (Marwah Daud, 1996).

    Kaum laki-laki telah melahirkan karya seni yang besar; kaum perempuan

    telah melahirkan kaum laki-laki; dan ibu yang besar akan melahirkan bangsa yang

    besar pula, sebagaimana yang dikutip oleh pemikir proklamator kita dalam Colin

    Brown, Soekarno on the of women. Kutipan tersebut mengisyaratkan gambaran

    kenyataan peran dan fungsi perempuan sangat penting dan menentukan dalam

    kehidupan, karena perempuan menjadi pusat atau sentralnya sebuah bangsa akan

    berkembang.

    Kepemimpinan perempuan dalam era pembangunan baik sekarang

    maupun masa akan datang mempunyai potensi dan peran yang besar dalam

  • 33

    pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya pada semua tingkat internasional,

    regional.

    Pada masa pra Islam dunia diwarnai oleh imperialisme dan kolonialisme

    antar sesama manusia maupun antar kelompok, suku, dan bangsa. Kaum

    perempuan diibaratkan tidak lebih dari barang yang bisa dijual belikan, menjadi

    bagian dari kaum laki-laki (subordinatif), makhluk yang tidak berharga, tidak

    memiliki independensi diri, hak-haknya boleh dirampas dan ditindas,

    keberadaannya sering menimbulkan masalah, dan diletakkan dalam posisi

    marginal. Setelah Islam datang membawa pesan moral kemanusiaan dan

    mengajak manusia untuk melepaskan diri dari tirani kemanusiaan, dan manusia

    dipandang setara di hadapan Allah SWT. Tidak ada yang lebih istimewa dan tidak

    ada yang lebih nesta. Hanya satu yang manjadi pembeda di hadapan Allah SWT.

    yaitu kadar ketaqwaannya (Syafiq, 2001).

    Penghormatan Islam kepada kaum perempuan terjadi pada saat kehidupan

    masyarakat Islam berada pada masa Rasulullah SAW. Kaum perempuan pada

    masa tersebut mendapatkan perlakuan yang tidak berbeda dengan kaum laki-laki.

    Apabila kaum laki-laki dapat berperan dalam dunia publik, perempuan juga tidak

    dilarang pada medan yang sama. Rasulullah SAW. telah memulai suatu tradisi

    baru yang dianggap tindakan revolusioner dalam memandang prempuan. Beliau

    melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara pandang (world view)

    masyarakat Arab yang pada waktu itu masih didominasi oleh cara pandang masa

    Raja Fir`aun. Penghargaan terhap perempuan sudah tidak ada sama sekali,

    kelahiran anak perempuan langsung membuat muka mereka masam.

  • 34

    Oleh sebab itu, dalam pelbagai kesempatan pembelaan Rasulullah SAW.

    dilakukan di depan siapa pun dan dalm kesempatan apa pun. Rasulullah SAW.

    sadar bahwa membela perempuan adalah wujud dari komitmen kemanusiaan.

    Dalam sesempatan yang lain, Rasulullah SAW. menampilkan perempuan sebagai

    sosok yang sangat penting dalam kehidupan, dalam fungsinya sebagai pembawa

    cahaya terang bagi kehidupan keluarga. Dikatakan oleh beliau, bahwa perempuan

    adalah pelita bagi kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, Islam sebenarnya

    menjadi sarana yang tepat untuk mempersatukan misi dan visi kesetaraan kaum

    laki-laki dan perempuan (Syafiq, 2001).

    Walaupun sekarang sudah banyak perempuan yang memegang jabatan

    politik (pemimpin publik) didalam kehidupan politik kenegaraan, namun

    jumlahnya masih sedikit dibandingkan laki-laki, apalagi jika dibandingkan jumlah

    perempuan yang prosentasenya lebih banyak dari lak-laki secara umum (Majid,

    2003). Dan ketika Filipina memiliki presiden perempuan Qorazon Aquino, betapa

    pers menyorotinya sedemikian rupa, tidak hanya karena ia seorang presiden,

    namun juga karena ia perempuan, sampai-sampai pakaian yang dikenakan saja

    diliput, sekalipun secara historis tidak sedikit perempuan yang berperan dalam

    pentas politik (penguasa negara) (AM. Fatwa,1997).

    Bahkan perempuan yang duduk di lembaga politik pemerintah hanya

    sekitar 8% dari keseluruhan perempuan yang ada di suatu negara tertentu. Bahkan

    perempuan di negara besar, seperti Amerika Serikat, kurang dari 5% dari jumlah

    keseluruhan perempuan. Contoh lain, di Selandia baru prosentasenya yang duduk

    didalam parlemen hanya mencapai 5% dari keseluruhan jumlah perempuan di

  • 35

    negara tersebut. Sedangkan di Britania Raya dan India, peran perempuan dalam

    parlemen lumayan cukup besar, yang mencapai 8-10% dari keseluruhan

    perempuannya. Itu sebagian contoh kecil dari gambaaran perempuan yang

    menjabat jabatan politik dalam kehidupan politik kenegaraan (Teguh, 1999).

    Sebagai bukti keberhasilan kaum perempuan yang menjabat dalam bidang

    politik kenegaraan, cukuplah penulis sebutkan beberapa perempuan yang

    menduduki jabatan pemimipin tertinggi di sejumlah negara, pada zaaman dahulu

    hingga sekarang. Mereka termasuk para pemimpin yang sukses dan melebihi

    kaum laki-laki:

    1. Hatsybisut yang memimpin Mesir lebih dari dua puluh tahun pada masa

    al-Usrah 18 (1555-1350 SM).

    2. Cleopatra yang diasingkan saudaranya agar jauh dari kekuasaan. Akan

    tetapi, ia tidak menyukai hidup terasing yang menyengsarakan. Kemudia

    ia berusaha kembali ke tanah kelahirannya dan berhasil mengambil

    kembali haknya untuk menjadi penguasa Mesir.

    3. Shafiyyah Hatun, putri Raja Thahir yang berkuasa di Aleppo (Halab), pada

    masa Al-Mamalik. Ia mengatur pemerintahan seperti raja-raja sebelumnya,

    dan kejayaannya berlangsung sampai enam tahun.

    4. Ghaziyyah Khayun, putri Raja Al-Kamil, istri Raja Al-Muzhaffar

    Mahmud, yang menguasai Hamah.

    5. Syajarah al-Durr yang sempat menyembunyikan berita kematian suaminya

    agar tidak mempenagruhi mental para panglima pasukan yang akan

    menyerang pasukan tentara salib yang dipimpin Louis IX. Syajarah

  • 36

    mengumpulkan para panglomanya dan berkata, Raja menyuruh kalian

    untuk bersumpah kepadanya. Kemudian ia menyerahkan

    kepemimpinannya kepada putranya, Raja Turan Syah. Dan ketika

    kemenangan suadah diraihnya, Syajarah al-Durr mengumumkan kematian

    suaminya dan pembaiatan kepada putranya. Kemudia semua bersepakat

    untuk memberikan penghargaan kepada ratu ini dengan mengabadikan

    namanya pada uang logam yang bertuliskan al-Musta`shimiyyah al-

    Shalihiyyah Malikah al-Muslimin.

    6. Al- Bisysyi yang memimpin Persia.

    7. Bandranika Pemimpin Srilangka.

    8. Indira Ghandi pemimpin India.

    9. Fathimah `Ali jinan sebagai pemimpin Pakistan.

    10. Margareth Teacher pemimpin Inggris.

    11. Growharlem Bernette pemimpin Norwegia.

    12. Corazon Aquino pemimpin Filipina.

    13. Golda Meir pemimpin Mesir.

    Dan masih banyak lagi sejumlah perempuan yang memegang tampuk

    kepemimpinan, seperti negara kita sendiri yang dipimpin oleh ibu Megawati

    Soekarno Putri, Ratu Denmark, Ratu Inggris, dan lain-lain di beberapa kerajaan di

    Eropa (Qasim, 92).

    Islam pun tidak kekurangan tokoh-tokoh perempuan, sebagaimana

    Sayyidah `Aisyah binti Abu Bakar yang pernah memimpin perang Jamal. Di

    dunia Islam muncul banyak perempuan yang berkiprah dalam dunia sosial

  • 37

    maupun politik. Mereka memiliki peranan besar dalam Islam. Barang kali

    prosentase jumlah perempuan yang duduk dalam politik pada tahun-tahun

    sekarang ini mengalami peningkatan, itulah harapan kita semua.

    2.3. Kepemimpinan dalam Birokrasi Pemerintah

    Pada dasarnya manusia ingin memiliki kekuasaan dan pengaruh, sehingga

    manusia dikategorikan makhluk politik. Karena manusia merupakan makhluk

    politik, tentunya mempunyai kepentingan dibidang politik. Kepentingan tersebut

    pada umumnya tercermin dari keinginan untuk turut serta dilibatkan dalam

    menentukan nasibnya dalam kehidupan bernegara, baik sebagai seorang

    pemimpin maupun yang dipimpin. Sekalipun ada kalangan seseorang yang tidak

    serta merta mampu mengekspresikan visi politiknya. Akan tetapi kemampuan

    demikian dapat ditumbuhkan dan dikembangkan.

    Obyek kepemimpinan dalam pemerintah adalah hubungan antara

    pemimpin dengan yang dipimpin, dalam hal ini yang memimpin adalah

    pemerintah, sedangkan yang dipimpin adalah rakyatnya sendiri, dan obyek

    materinya adalah manusia (Inu Kencana, 2003). Sebagai terjemahan managemen

    pemerintah, yakni adanya perlengkapan, kesempurnaan, dan kelancaran jalannya

    aktifitas ketatalaksanaan pemerintah, merupakan indikasi kuat pada sebuah

    keberhasilan para pemimpin pemerintahan pada semua jajaran maupun

    keberhasilan para pemimpin administrasi pemerintah. Kebijakan yang dihasilkan

    dari sebuah keputusan untuk menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan dan

    pembangunan yang diambil oleh seluruh jajaran para pemimpin pemerintah

  • 38

    sebagai pedoman untuk bertindak. Lain halnya dengan keputusan yang diambil

    oleh pemerintah dan aparatnya, selain menjadi pedoman bagi pemerintah dan

    aparatnya sendiri, juga dapat merupakan pedoman untuk bertindak bagi pihak-

    pihak lain di luar pemerintah dan aparaturnya (Sunindhia dan Widiyanti, 1993).

    Negara dan pemerintah dituntut untuk memenuhi keinginan-keinginan atau

    kebutuhan-kebutuhan masyarakat, karena pemerintah pada hakekatnya adalah

    pelayan masyarakat. Pemerintah diadakan tidak untuk melayani diri sendiri, akan

    tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan

    bagi setiap anggota masyarakat, mengembangkan kemampuan, dan kreativitasnya

    demi mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu birokrasi publik (pemerintah)

    berkewajiaban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan publik yang

    baik dan profesional. Jadi pelayanan berokrasi publik yang tujuannya

    mensejahterakan masyarakat merupakan perwujudan dari fungsi aparatur negara

    sebagai abdi masyarakat.

    Untuk dapat menilai sejauh mana mutu dan kualitas pelayanan publik yang

    telah diberikan oleh aparatur pemerintah, ada sepuluh kreteria yang menunjukkan

    suatu pelayanan publik dikatakan baik.

    1. Tangible, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personol, dan

    komunikasi.

    2. Reliable, terdiri dari kemapuan unit pelayanan dalam menciptakan

    pelayanan yang dijanjikan dengan tepat.

    3. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung

    jawab terhadap mutu pelayanan yang diberikan.

  • 39

    4. Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan

    yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan.

    5. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap

    keinginan konsumen serta mau melakukan kontak hubungan pribadi.

    6. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik

    kepercayaan masyarakat.

    7. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari

    berbagai bahaya dan resiko.

    8. Acces, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan

    9. Communication, kemauan memberi layanan untuk mendengarkan

    suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk

    selalu menyampaikan informasi baru kepeda masyarakat.

    10. Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk

    mengetahui kebutuhan pelanggan (Joko, 2001).

    Terciptanya pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (Clean and

    Good Gavernance) menjadi cita-cita dan harapan setiap bangsa. Sehingga UNDP

    (United Nations Development Program), sebagaimana yang dikutip oleh lembaga

    Administrasi Negara mengajukan karakteristik Good Gavernance, sebagai berikut;

    1. Participation, setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan

    keputusan, baik secara langsung mapun melalui intermediasi institusi

    legetimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini

    dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta

    berpartisipasi secara konstruktif.

  • 40

    2. Rule of Law, kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa

    pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.

    3. Transparancy, transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus

    informasi. Proses, lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima

    oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat difahami dan

    dapat dimonitor.

    4. Responsiveness, para lembaga dan proses harus mencoba untuk

    melayani setiap stakeholders.

    5. Consensus orientation, Good Gavernance menjadi perantara

    kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi

    kepentingan yang lebih luas baik dalam hal beberapa kebijakan maupun

    prosedur.

    6. Equity, semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan,

    mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau menjaga

    kesejahteraan mereka.

    7. Effectiveness and afficiency, proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik

    mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan

    menggunakan sumber-sumber yang tersedia.

    8. Accountability, para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor

    swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik

    dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi

    dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk

    kepentingan internal atau eksternal organisasi.

  • 41

    9. Strategic vition, para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif

    good gavernance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke

    depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan (Joko,

    2001, 25).

    Kepemimpinan dalam mewujudkan good gavernance hendaknya

    kepemimpinan yang visioner, bersih, berwawasan, demokratis, responsif dan

    responsible. Visi mencakup upaya yang mampu melihat jangkauan ke depan yang

    bersekala nasional maupun regionanl. Demokratis dan responsif, merupakan

    persyaratan untuk mengangkat pemimpin dalam birokrasi pemerintah. Pemimipin

    yang demokratis dalam setiap proses pengambilan keputusan dan pemecahan

    masalah, senantiasa melibatkan publik, dan keputusan yang dihasilkan

    substansinya harus berpihak pada kepentingan publik. Sementara pemimpin yang

    responsif adalah pemimpin yang cepat tanggap (respon) dan cepat menanggapi

    (menindak lanjuti) keluhan, kepentingan, dan aspirasi yang dipimpinnya.

    Sedangkan pemimpin yang responsibel adalah pemimpin yang memiliki sense of

    responsibility and profesionally. Pemimipn yang responsif memiliki rasa

    tanggung jawab dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya (Joko, 2001,

    34).

    Dan yang lebih penting lagi dalam kondisi perkembangan masyarakat

    yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, yang

    merupakan indikasi terjadinya empowering yang dialami oleh masyarakat

    pemimpin birokrasi pemerintah harus mengubah posisi dan peran dalam

    memberikan layanan masyarakat. Pemimpin yang suka mengatur dan memerintah,

  • 42

    sayogyanya berubah menjadi suka melayani dan yang suka menggunakan

    pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju arah yang

    fleksibel kolaburatis dan dialogis.

    2.4. Perempuan dan Budaya

    Sifat anti perempuan (misoginis) adalah suatu bukti kegusaran seorang

    laki-laki atas derajat keberadaannya yang disamakan dengan perempuan

    (Mernissi, 1991). Secara umum Perempuan selalu dimunculkan sebagai sosok

    yang bermasalah ketika dikaitkan dengan organ tubuhnya. Puluhan abad lamanya

    pandangan ini mewarnai hampir seluruh budaya manusia dan kemudian

    mendapatkan legitimasi dari beberapa agama besar di dunia seperti Islam, Yahudi

    dan Kristen. Ketiga agama tersebut mempunyai pandangan yang sama karena

    persamaan latar belakang budaya. Dalam budaya patriarkhi, agama berfungsi

    untuk melegitimasi kenormalan seksualitas dan status laki-laki. Konsekuensinya,

    seksualitas dan status perempuan tidak akan pernah menempati satus laki-laki.

    Selama budaya patriarkhi tetap dipertahankan, sejauh itu pula pandangan

    misoginis dalam kadar yang berbeda tetap mewarnai kehidupan masyarakat.

    Dari faktor di atas telah menyebabkan terpeliharanya ketimpangan jender

    pada tingkat relasi sosial. Interpretasi agama mempunyai andil besar untuk

    menempatkan ketimpangan tersebut sebagai bagian dari realitas obyektif yang

    harus diterima (Abdullah, 2003). Lanjut Abdullah, agama dijadikan sebagai alat

    pemaksa bagi kelebihan posisi dan peran yang diharapkan dari masing-masing

    pihak sehingga akan sangat sulit bagi setiap individu untuk keluar dari tatanan

  • 43

    tersebut. Konsep kekuasaan bagi budaya patriarkhi adalah ekspresi dari seorang

    laki-laki untuk menunjukkan kekuatannya sebagai penentu. Oleh karenanya,

    setiap laki-laki merefleksikan kekuasaan tersebut kepada bagian masyarakat yang

    lain, sebagaimana seorang suami kepada istrinya, kakak laki-laki terhadap

    adiknya, dan pada tingkat yang tertinggi adalah seorang raja terhadap rakyatnya.

    Ketidakadilan hubungan laki-laki dan perempuan seperti di atas dapat

    dijadikan sebagai kontruksi sosial. Dalam masyarakat terdapat ideologi jender

    yang membedakan laki-laki dan perempuan bukan hanya berdasarkan jenis

    kelamin, akan tetapi juga berdasarkan peran masing-masing. Hampir dalam segala

    hal, perempuan ditempatkan sebagai subordinat, sedangkan laki-laki adalah

    superior. Struktur sosial masyarakat yang membagi-bagi tugas antara laki-laki dan

    perempuan seringkali merugikan perempuan. Perempuan diharapkan bisa

    mengurus dan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga, walaupun mereka

    bekerja di luar rumah tangga, sebaliknya tanggungjawab laki-laki dalam menatur

    rumah tangga sangat kecil.

    Posisi perempuan Indonesia sejak dulu hingga sekarang hampir tidak

    banyak berubah, dan perbedaan perlakuan tersebut telah dimulai sejak mereka

    masih kanak-kanak. Anak perempuan diarahkan untuk bisa mengerjakan

    pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, membersihkan lantai, mencuci,

    menyetrika baju, dan mengasuh adiknya, sedangkan anak laki-laki seringkali

    dibiarkan bermain sesukanya sendiri. Anak laki-laki juga jarang menerima

    larangan ataupun peringatan tentang bagaimana mereka sebaiknya bersikap dan

    bertingkah laku. Berbeda halnya dengan anak perempuan yang sangat sering

  • 44

    menerima berbagai larangan. Perempuan di batasi dengan norma yang tidak sama

    dengan laki-laki sehingga tidak bisa berbuat sebebas laki-laki. Ada yang pendapat

    yang menyatakan bahwa perempuan sebaiknya tidak bepergian sendiri di malam

    hari. Bila itu dilakukan akan menimbulkan penilaian yang negatif dari masyarakat

    (Sudjoko, 1975).

    Pada umumnya, kebudayaan merupakan ketentuan arti mengenai kategori

    laki-laki dan perempuan oleh masyarakat. Sehingga istilah laki-laki dan

    perempuan merupakan berbagai kreteria yang dihubungkan dengan masyarakat

    berdasarkan budaya. Penyebaran sikap yang dihubungkan dengan jender telah

    dibuktikan di lintas devisi. Artinya alokasi pertanggungjawaban dan hampir

    seluruh keputusan mengenai peningkatan karir karyawan, gaji, dan kekuasaan

    dalam sebuah organisasi dipengaruhi perbedaan jender antara laki-laki dan

    perempuan (Peter G, 2000).

    Perempuan seringkali dianggap sebagai orang yang paling berperan dalam

    pendidikan dan penerus nilai budaya bagi anak-anaknya. Sebagai orang yang

    harus meneruskan nilai-nilai bagi generasi penerus, maka perempuan diharapkan

    mempunyai kepribadian dengan ciri-ciri kehalusan, keagamaan, kesopanan, dan

    lain sebagainya. Karena kewajiban itu harus dipikul perempuan, maka sejak dini

    perempuan dipersiapkan untuk bias menjalankan tugas tersebut. Perempuan

    seringkali dinomorduakan dalam hal pendidikan. Jika dalam suatu keluarga,

    orangtua ternyata tidak mampu membiayai sekolah anak-anaknya, mereka akan

    mendahulukan anak laki-laki. Laki-laki dipersiapkan sebagai tiang keluarga

    nantinya, sedangkan perempuan hanya sebagai pengurus rumah tangga. Ada yang

  • 45

    lebih tragis lagi sebuah anggapan yang menyatakan; perempuan itu swarga nunut

    neraka katut. Mereka menganggap bahwa perempuan tidak perlu berpretasi terlalu

    tinggi sebab nantinya mereka hanya akan menumpang pada suami (Abdullah,

    2003).

    Dari budaya patriakhi tersebut, sehingga perempuan yang menjadi

    pemimin publik sangat sedikit. Meski banyak studi yang mengindikasikan bahwa

    perempuan mempunyai keahlian dalam berprilaku dan kualitas yang memenuhi

    syarat dalam kepemimpinan yang efektif, akan tetapi mereka masih belum dapat

    mewakili dalam kapasitas yang signifikan. Hal ini disebabkan berbagai rintangan

    yang menghambat kemajuan kepemimpinan perempuan, antara lain; rintangan

    secara kelompok, rintangan secara perorangan dan rintangan secara pribadi,

    sehingga harus ada sebuah pola atau bentuk dalam memupuk perkembangan dan

    kemajuan pemimpin perempuan (Peter G, 2000).

    Perlakuan yang berbeda semacam ini sedikit demi sedikit memupuk

    kesadaran laki-laki bahwa mereka adalah pihak yang harus selalu dimenangkan

    dalam setiap konpetisi sekalipun mereka menggunakan cara yang tidak layak

    disampaikan kepada publik. Mereka juga secara tidak langsung memperoleh

    penegasan ataupun pengesahan bahwa merekalah makhluk nomor satu.

    Perempuan selalu disadarkan bahwa mereka hanya merupakan subordinat laki-

    laki. Berbagai upaya untuk meningkatkan kedudukan perempuan telah banyak

    dilakukan. Sedikit demi sedikit perjuangan untuk menyamakan hak antara

    perempuan dan laki-laki dilakukan. Perempuan mulai banyak yang menduduki

    posisi penting dalam pemerintahan.

  • 46

    Berkaitan dengan perempuan di masa sekarang, Armahedi Mashar

    menawarkan suatu gerakan pasca feminisme Islami yang integrative guna

    membendung gerakan anti feminisme tradisional yang konservatif dan desakan

    pro feminisme radikal yang agresif (progresif sekuler). Gerakan ini diharapkan

    dapat mencairkan eksklusifitas gerakan feminisme radikal yang menempatkan

    laki-laki dan perempuan sebagai lawan yang saling mengalahkan. Dan gerakan ini

    akan mampu mendobrak persepsi tradisional konservatif yang selalu

    mengagungkan supermasi kaum laki-laki. Pada akhirnya gerakan ini diharapkan

    mampu menempatkan perempuan dan laki-laki dalam posisi setara dan berperan

    sebagai kawan seiring dalam memajukan bangsa (Armahedi, 1995). Senada

    dengan pendapat tersebut adalah gagasan transformasi yang dilontarkan oleh

    Abdul Ahmed al Na`im. Transformasi terhadap ketentuan Islam adalah suatu

    keharusan demi untuk memperoleh formulasi hukum yang memadai bagi

    kehidupan kontemporer (Na`im, 1994).

    Jadi kalau kita melihat bagaimana struktur dan norma yang tertanam

    dalam masyarakat, kita bisa memahami jika kemudian timbul ketimpangan dalam

    masyarakat. Laki-laki dipahami menjadi penghuni kelas satu, karena memang

    sejak mereka lahir hal itu sudah tertanam, baik oleh keluarga maupun masyarakat.

    Perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah dan menduduki subordinat. Kaum

    laki-lakilah yang kuat dan mampu menyelesaikan masalah, termasuk pekerjaan

    dengan baik. Sebetulnya perempuan juga mempunyai potensi yang tidak kalah

    jika dibandingkan dengan laki-laki, namun mereka ragu dalam mengembangkan

    diri karena ada struktur dan norma yang memojokkan kaum perempuan akibat

  • 47

    budaya patriarkhi yang sudah berkembang. Perempuan seringkali masih

    dibingungkan oleh berbagai masalah yang muncul sebagai akibat dari peran

    gandanya. Kemingkinan yang dapat dicapai oleh perempuan sangat luas. Hanya

    keterbatasan kebiasaan, norma dan nilai yang tumbuh dalam masyarakat itulah

    yang menghambat berbagai kemungkinan untuk merealisasikan potensinya,

    sebagaimana yang dikatakan Leila Budiman (Leila, 1988).

    Sejalan dengan itu, Mariane Weber berpendapat bahwa perempuan dan

    laki-laki sebetulnya mempunyai kemampuan dan kapabelitas yang sama besar.

    Perempuan juga bisa melakukan berbagai hal yang bisa dilakukan oleh kaum laki-

    laki, namun perempuan tidak punya waktu yang cukup untuk itu semua. Mereka

    harus membagi waktu untuk berbagai hal. Meskipun mereka bekerja, namun

    mereka tetap harus mengurus rumah tangga dan memelihara anak mereka.

    Berbeda halnya dengan laki-laki, mereka leluasa mengembangkan karir tanpa

    harus memikirkan rumah tangga (Weber, 1991).

    2.5. Stereotipe Negatif

    Bagai sebuah siklus atau mata rantai yang saling mengkait, kondisi sosial

    masyarakat semula sudah memposisikan kaum perempuan pada suatu strata

    tertentu dalam sebuah kontruksi sosial yang telah diinstitusionalkan dan

    disosialissikan sejak awal dan ditambah dengan kondisi riil kedudukan kaum

    perempuan dalam segala bidang, baik bidang pendidikan, ekonomi,

    ketenagakerjaan, pemerintahan dan lainnya yang tidak pernah atau belum sejajar

    dengan kaum laki-laki menyebabkan munculnya stereotipe neganif terhadap kaum

  • 48

    perempuan yang menilai kaum perempuan adalah kaum yang lemah, tidak mampu

    dan tidak bisa disejajarkan dengan laki-laki.

    Stereotipe gender lahir dari adanya satu pembedaan antara perempuan dan

    laki-laki dalam hal jenis kelamin (biologic), pemahaman ini pun akhirnya

    berkembang dan terbangun adanya pencitraan yang berbeda antara perempuan dan

    laki-laki. Megawangi (1999) memberikan gambaran bahwa kalau pun ada

    perbedaan laki-laki dan perempuan hanya pada apa yang sering disebut 3 M (

    menstruasi, melahirkan, dan menyusui). Aspek 3 M ini oleh para feminis diangap

    bukan alasan seorang perempuan harus menjadi ibu, karena konsep ibu adalah

    bukan karena alam (nature), melainkan karena adanya sosialisasi, atau konstruksi

    sosial (nurture).

    Secara fisik biologis laki-laki dan perempuan tidak saja dibedakan oleh

    identitas jenis kelamin, bentuk dan atonomi biologis lainnya, melainkan juga

    komposisi kimia dalam tubuh. Perbedaan tersebut menimbulkan akibat fisik

    biologis, seperti laki-laki mempunyai suara besar, berkumis, berjenggot, pinggul

    lebih ramping, dada yang datar. Sementara perempuan mempunyai suara yang

    lembut bening, dada menonjol, pinggul lebih besar, dan organ reproduksi yang

    amat berbeda dengan laki-laki. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai tersebut,

    akan tetapi efek perbedaan biologis terhadap perilaku manusia khususnya dalam

    perbedaan relasi gender, menimbulkan banyak perbedaan. Oleh sejumlah ilmuwan

    perbedaan anatomis biologis dan komposisi kimia dianggap berpengaruh pada

    perkembangan emosional dan kapasitas intelektual masing-masing tidak dapat

    dikatakan semuanya benar, mengingat dalam hal tertentu justru akan terjadi

  • 49

    sebaliknya. Oleh karena itu perbedaan tersebut perlu dikritisi kembali sehingga

    diperoleh kebenaran yang akurat (Dharma, 2002).

    Tabel 2.5.1 Perbedaan Emosional dan Intelektual laki-laki dan perempuan

    Laki-laki Perempuan

    - Sangat agresif

    - Independen

    - Tidak emosional

    - Dapat menyembunyikan emosi

    - Tidak mudah berpengaruh

    - Tidak mudah goyah menghadapi krisis

    - Lebih aktif

    - Lebih kompetitif

    - Lebih logis

    - Lebih mendunia

    - Lebih terampil berbisnis

    - Lebih terus terang

    - Berperasaan tidak mudah tersinggung

    - Lebih suka bertualang

    - Mudah mengatasi persoalan

    - Jarang menangis

    - Penuh percaya diri

    - Lebih banyak mendukung sikap agresif

    - Lebih ambisi

    - Tidak terlalu agresif

    - Tidak terlalu independen

    - Lebih emosional

    - Sulit menyembunyikan emosi

    - Mudah berpengaruh

    - Mudah goyah menghadapi krisis

    - Lebih pasif

    - Kurang kompetitif

    - Kurang logis

    - Berorentasi ke rumah

    - Kurang terampil bisnis

    - Kurang berterus terang

    - Berperasaan mudah tersinggung

    - Tidak suka bertualang

    - Sulit mengatasi persoalan

    - Lebih sering menangis

    - Kurang rasa percaya diri

    - Kurang menyukai sikap agresif

    - Kurang ambisi

  • 50

    - Mudah membedakan rasio dan rasa

    - Memahami seluk beluk perkembangan

    dunia

    - Umumnnya tampil sebagai pemimpin

    - Lebih merdeka

    - Pemikiran lebih unggul

    - Lebih bebas berbicara

    - Lebih obyektif

    - Sulit membedakan rasio dan rasa

    - Kurang memahami seluk-beluk

    perkembangan dunia

    - Jarang tampil sebagai pemimpin

    - Kurang merdeka

    - Pemikiran kurang unggul

    - Kurang bebas berbicara

    - Lebih subyektif

    Alice Rossi (1978) berpendapat, bahwa peran stereotipe gender ini

    bersumber dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Berhubung

    perempuan dianugerahkan alam untuk menjalankan proses reproduksi, maka

    pengalaman proses reproduksi pada perempuan (hamil, melahirkan, dan

    menyusui) akan memberikan peran berstereotipe gender. Sementara Fakih (2003)

    memberikan gambaran awal tentang stereotipe gender pada makna stereotipe itu

    sendiri, menurutnya secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan

    terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotipe yang diberikan kepada suku bangsa

    tertentu, misalnya Yahudi di Barat, Cina di Asia Tenggara, telah merugikan suku

    bangsa tersebut. Hal ini tentunya menimbulkan ketidakadilan, Salah satu jenis

    stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Misalnya yang

    terjadi terhadap perempuan menurutnya adalah penandaan yang berawal dari

    asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian

    lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu

    dikaitkan dengan stereotipe ini.

  • 51

    Hampir senada dengan pendapat Fakih diatas, Shadily (2000)

    memberikan pandangan tentang stereotipe gender yang berlaku bahwa tugas

    perempuan terutama adalah mendidik dan mengasuh anak juga menyebabkan

    anak perempuan kurang diberi pengalaman atau kurang dipersiapkan untuk

    berkompetisi di wilayah publik, sehingga perempuan hingga kini lebih

    terkonsentrasi dalam pekerjaan-pekerjaan di sektor informal yang disesuaikan

    dengan keterampilan terbatas yang mereka miliki. Akibatnya : secara ekonomis

    dan sosial apa yang mereka kerjakan mempunyai status yang lebih rendah bila

    dibandingkan dengan apa yang dikerjakan laki-laki.

    Sebenarnya banyak hal yang bisa kita lihat dalam keseharian bahwa

    stereotipe gender pada perempuan ini memang terbentuk dan terbangun di

    masyarakat. Berikut ini pendapat lain dari Behm & Kassin (1996) yang mengutip

    dari penelitian William & Best pada tahun 1982 tentang stereotipe gender yaitu

    meski bagaimanapun ketika seseorang ditanyai untuk mendeskripsikan sesosok

    laki-laki dan perempuan, maka seseorang laki-laki akan dideskripsikan lebih

    memiliki jiwa petualang, tegas, agresif, mandiri dan berorietasikan pada

    pekerjaan; sebaliknya seseorang perempuan akan dideskripsikan lebih sensitif,

    lemah lembut, kurang mandiri, emosional dan berorientasikan pada hal-hal

    kemasyarakatan. Gambaran ini sangatlah universal dan diambil dari penelitian

    dari sekitar 2.800 orang mahasiswa dari 30 negara yang berbeda mulai dari

    Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Asia dan Australia.

    Selain pendapat diatas ada juga penggambaran stereotipe gender ini

    berdasarkan ketidaksamaan peran antara feminin dan maskulin yang dilakukan

  • 52

    oleh Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik (Indonesian Center for

    Women in Politics) pada tahun 1999 dalam modulnya yang membagi

    ketidaksamaan gender atas stereotipe, yaitu

    Tabel 2.5.2 Ketidaksamaan gender atas stereotipe

    Stereotipe Feminim Maskulin

    Stereotipe Kerja

    Pembagian Kerja

    Ruang Lingkup Fungsi

    Fungsi

    Kerja Feminim (Perawat;

    guru TK; Penata rambut;

    Operator telepon dan

    sebagainya)

    Reproduktif (Melahirkan

    anak)

    Kerja Domestik

    Pencari nafkah tambahan

    Kerja Maskulin

    (Insinyur; Pilot;

    Politikus; Manajer dan

    sebagainya)

    Produktif (Menghasilkan

    uang)

    Publik

    Pencari nafkah utama

  • 53

    BAB 3

    KERANGKA KONSEPTUAL DAN HEPOTESIS

    3.1. Kerangka Konseptual

    Adapun pemikiran yang melandasi pembuatan kerangka konseptual adalah

    bahwa setiap manusia mempunyai kualitas kemampuan yang sama. Keberhasilan

    dalam memimpin pemerintahan tergantung pada pengetahuan, kualitas, dan

    kredibilitas masing-masing. Apabila seseorang mempunyai kemampuan, kualitas

    dan kredibilitas yang tinggi, maka mereka akan mampu menjadi seorang

    pemimpin pemerintahan yang baik. Kemampuan, kualitas dan kredibilitas yang

    dimiliki seorang pemimpin dan sistem kepemimpinannya akan menentukan

    berhasil dan tidaknya mereka.

  • 54

    Garis adalah yang diteliti

    Garis adalah tidak diteliti, hanya sebagai penunjang

    Prestasi Kerja

    - Kualitas Kerja - Kuantitas Kerja - Efektifitas Kerja

    Pendidikan dan Pelatihan

    Pengalaman Kerja

    Pengetahuan

    Gaya Kepemimpinan

    - Pandangan Sunber Daya

    dan Dana - Cara Pendelegasian

    Wewenang

    - Pelibatan Bawahan

    - Cara Memperlakukan Bawahan

    - Pengakuan Bawahan

    Sosial Politik

    Budaya

    Agama

  • 55

    B. Hipotesis

    Berangkat dari rumusan masalah, tujuan serta teori yang sudah dipaparkan,

    maka hipotesis yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah :

    1. Ada pengaruh persepsi gaya kepemimpinan, faktor sosial politik,

    budaya dan agama terhadap prestasi kerja.

  • 56

    BAB 4

    METODE PENELITIAN

    4.1. Rancangan Penelitian

    Untuk mengetahui terhadap kepemimpinan perempuan dalam berokrasi

    pemerintahan, maka terlebih dahulu akan dijelaskan tentang berbagai hal yang

    berkaitan dengan latar belakang dipergunakannya metode kuantitatif dalam

    penelitian. Dalam metode kuantitatif, penelitian ini mengunakan penelitian

    observasional dengan pendekatan survai.

    4.2. Metode Kuantitatif

    4.2.1. Populasi dan Sampel

    Sugiyono (2001) mengartikan populasi adalah wilayah generalisasi yang

    terdiri atas objek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu

    yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

    kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah para pegawai eslon dua dan

    tiga pada kabupaten Tuban Jawa Timur yang berjumlah 7 Dinas

    Sedangkan pengertian sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik

    yang dimiliki oleh populasi tersebut. Penelitian sampel sebagai prosedur untuk

    menentukan sebagian dari populasi, diambil dan dipergunakan untuk menentukan

    ciri dan sifat yang dikehendaki dari populasi.

  • 57

    4.2.2. Metode Pengambilan Sampel

    Agar sampel ini benar-benar representatif, maka dalam penelitian ini

    metode pengambilan sampel menggunakan metode total sampling yaitu

    pengambilan sampel dari eselon dua dan tiga, yaitu 7 Dinas dari 12 Dinas sebagai

    sampel penelitian.

    Berdasarkan data yang ada, populasi dalam penelitian ini adalah para

    pegawai eselon dua dan tiga pada 7 Dinas. Dengan demikian jumlah sampel yang

    diambil adalah 86 orang.

    4.2.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

    Adapun lokasi penelitian berada di kabupaten Tuban Jawa Timur. Dalam

    hal ini dikarenakan ibu Haeny Relawati Rini Widyastuti sebagai salah satu

    pemimpin (Bupati) perempuan di wilayah kabupaten Tuban Jawa Timur.

    Sedangkan waktu penelitian dimulai dari bulan Juni sampai bulan Agustus.

    4.2.4. Variabel Penelitian

    A. Klasifikasi Variabel

    Dalam penelitian ini variabel yang digunakan diklasifikasi atas variabel

    Dependen dan Independen

    1. Variabel Dependen atau variabel tergantung, yaitu prestasi kerja Bupati.

    2. Variabel Independen atau variabel bebas, yaitu gaya kepemimpinan (X1),

    faktor sosial politik (X2), budaya (X3) dan agama (X4).

  • 58

    B. Definisi Oprasional

    1. Kepemimpinan adalah suatu upaya dalam mempengaruhi perilaku orang

    lain baik itu individu atau kelompok untuk melakukan apa yang diinginkan

    malalui cara-cara yang terencana untuk mencapai tujuan bersama baik

    individu, kelompok maupun organisasi (Yukl, 1998). Kepemimpinan pada

    penelitian ditekankan pada persepsi, nilai, sikap, dan perilaku, dalam hal:

    a. Pandangan terhadap sumber daya dan dana yang tersedia bagi

    organisasi, hanya dapat digunakan oleh manusia dalam

    organisasi untuk mencapai tujuan dan sasarannya.

    b. Cara pendelegasian wewenang yang praktis dan realistis.

    c. Pelibatan bawahan dalam proses pengambilan keputusan.

    d. Cara memperlakukan bawahannya sebagai makhluk sosial,

    politik, ekonomi dan individu dengan karakteristik dan jati diri

    yang khas.

    e. Pengakuan bawahan atas kepemimpinannya didasarkan pada

    pembuktian kemempuan memimipin oraganisasi dengan

    efektif.

    2. Prestasi Kerja adalah hasil karya yang timbul dari suatu kombinasi usaha,

    kemampuan dan pengalaman seseorang untuk mencapai tujuan organisasi.

    Dalam prestasi kerja dapat diukur berdasarkan; kualitas kerja, kuantitas

    kerja,ketepatan waktu, kerja sama, dan efektifitas kerja.

  • 59

    3. Faktor sosial politik, adalah pandangan atau stereotype negatif masyarakat,

    lembaga eksekutif atau pemerintahan akan kepemimpinan perempuan

    yang sudah mengakar dan terpatri.

    4. Faktor Budaya, adalah adanya sifat anti pada kaum perempuan

    (misoginis), dan adanya (subordinat) yakni pandangan bahwa kaum

    perempuan merupakan kaum nomor dua setelah laki-laki.

    5. Faktor Agama, adalah adanya legitimasi agama yang dihasilkan dari

    sebagian interpretasi yang melarang tampilnya kaum perempuan menjadi

    pemimpin, sekalipun Allah memposisikan manusia sebagai pemimpin,

    tanpa memandang jenis kelaminnya. Perempuan dan laki-laki mempunyai

    hak yang ama dalam setiap kehidupan.

    4.2.5. Metode Pengumpulan Data

    Dalam penelitian ini, jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan

    data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung para bawahan

    Bupati yaitu eselon dua dan tiga sesuai dengan item pertanyaan dalam kuesioner.

    Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pemerintah kabupaten Tuban atau

    melalui data yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan

    dengan permasalahan penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan metode:

    1. Observasi, yaitu metode pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan

    langsung terhadap objek yang diteliti.

    2. Kuesioner, yaitu metode pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan

    tertulis yang telah disusun secara sistematis kepada responden.

  • 60

    3. Wawancara, yaitu metode pengumpulan data dengan tanya jawab kepada

    responden sesuai dengan acuan yang ada dalam kuesioner.

    4.2.6. Pengolahan Skor

    Pengukuran sekor terhadap varibel-variabel dalam penelitian ini