abdulafaiqunair analisis terhadap kepemimpinan perempuan dalam
DESCRIPTION
Abdulafaiqunair Analisis Terhadap Kepemimpinan Perempuan DalamTRANSCRIPT
-
TESIS
ANALISIS TERHADAP KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM
BIROKRASI PEMERINTAHAN
(Studi Terhadap Kepemimpinan Perempuan di Kabupaten Tuban Jawa Timur)
Oleh: Abdullah Faiq
NIM: 090210503L
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA 2004
-
2
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA 2004
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis dengan baik. Dalam proses penulisan tesis ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepeda:
Prof. H. Kuntoro, dr., MPH, DrPH selaku pembimbing ketua dan Drs. Jusuf Irianto, M. Com yang dengan tulus dan ikhlas bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran serta perhatian yang tinggi telah memberikan dorongan, bimbingan dan arahan mulai dari penyusunan proposal sampai dengan penyusunan tesis ini.
Prof. Dr. Med. Puruhito, dr. selaku Rektor Universitas Airlangga atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan
pendidikan program Magister di Universitas Airlangga. Prof. Dr. H. Muhammad Amin, dr., spP (K), selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister.
Prof. Dr. Haryono Suyono, MA., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Ilmu PSDM yang selalu memberikan dorongan penuh dengan wawasan dan ide yang
cemerlang dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dr. H. Haryadi Soeparto, dr., DOR., APU, selaku Keua Peminatan
Pemerintahan Program Studi Ilmu PSDM yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan dorongan selama penulis mengikuti studi dan penulisan tesis.
Dr. Sunarjo, dr., MS., MSc., selaku Wakil Ketua Program Studi Ilmu PSDM yang dengan kesediaan penuh melayani pembimbingan, konsultasi serta
-
3
memberikan arahan, dorongan yang tinggi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Seluruh Dosen Ilmu PSDM yang telah memberikan bekal bagi penulis melalui materi-materi kuliah yang serius dan sangat bermanfaaat serta bernilai
guna tinggi dalam penyempurnaan penulisan tesis ini. Juga kepada seluruh Tenaga Administrasi yang dengan tulus ikhlas melayani keperluan penulis selama menjalani studi dan penulisan tesis ini.
Ketua Tim dan Anggota Tim Penguji tesis yang telah memberikan pemecahan, saran, dan masukan yang bermanfaat guna penyempurnaan tesis ini.
Bupati Dra. Haeny Relawati Rini Widyastuti, M. Si kabuaten Tuban Jawa
Timur yang telah menyediakan fasilitas untuk memudahkan penelitian dan penulisan tesis ini, dan kepada bapak Theo dan seluruh jajaran pegawai kabupaten, yang juga membantu kelancaran penulisannya.
Ayahanda Muhriy Syarkaniy (Alm.), Ibunda Hj. Noor Jannah yang telah memberikan doa, bekal, panutan, petuah, nasehat tentang kesabaran, keuletan dan ketekunan yang tiada henti-hentinya. Juga kepada saudaraku Achmad Jayyid
beserta Istri, H. Achmad Tahris beserta Istri, Achmad Chufaf beserta Istri, dan saudara-saudaraku yang tidak sempat penulis sebutkan yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan pendidiksn, dan tidak lupa kepada keponakanku Maimunah Syarifah yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Teristimewa untuk sahabat karibku Drs. Wahyu Dwi Prasetyodjati, dan Mukarramah, S. Hi yang selalu memberikan semangat dan dukungan penuh,
teriring do`a yang dalam, dengan kesabaran menemani penelitian penulis di kabupaten Tuban, dan menanti kesabaran penulis selama mengikuti pendidikan
ini.
Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu PSDM angkatan tahun 2002 yang selalu tulus dan saling membantu dalam menempuh pendidikan di Program Magister Universitas Airlangga ini.
Akhirnya dengan iringan doa semoga Allah SWT. memberikan pahala yang berlipat ganda atas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
-
4
Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang berkepentingan.
Surabaya, 17 September 2004
Penulis
Abdullah Faiq
-
5
RINGKASAN
Kepemimpinan perempuan menjadi isu publik yang selalu diperbincangkan, dan telah memancing polemik dan debat antara yang pro dan kontra terhadap pemimpin perempuan dalam sebuah negara, kendatipun pengakuan atas hak dasar kemanusiaan tampak mengalami peningkatan yang signifikan diberbagai belahan dunia. Pengakuan ini juga berlaku atas hak perempuan sebagaimana yang sejajar dengan laki-laki. Doktrin Agama seringkali dijadikan untuk membenarkan tindakan tidak adil dan bahkan tindakan kekerasan terhadap kaum perempuan. Doktrin Agama dianggap sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa ditafsirkan, sehingga posisi marginal perempuan dalam Agama dianggap takdir yang tidak dapat diubah. Selain Agama, budaya juga mempengaruhi terbentuknya struktur dan sosial politik yang timpang di masyarakat, sehingga perempuan yang pada posisi lemah hanya bisa bertahan dalam budaya patriarkhi.
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas, maka dalam penelitian ini menggunakan penelitian observasional dengan pendekatan survai dan bertujuan untuk menganalisis kepemimpinan perempuan dalam birokrasi pemerintahan. Perspektif yang diambil untuk menganalisis
kepemimpinan perempuan adalah perspektif sosial politik, Agama, dan budaya. Ketiga faktor tersebut, mempunyai pengaruh besar dalam penentuan kontruksi
masyarakat yang meneguhkan idiologi jender yang bias. Dari hasil pengujian statistik dengan menggunakan uji F menunjukkan ada
pengaruh gaya kepemimpinan, faktor sosial, agama, budaya secara bersama
sama terhadap prestasi kerja Bupati di Kabupaten Tuban, namun hanya 29,1 % perubahan variabel Y disebabkan oleh perubahan variabel X1 sampai X4.
Sedangkan sisanya yaitu 79,9 % disebabkan oleh variabel lain yang tidak masuk dalam model.
-
6
Maka hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara variabel gaya kepemimpinan (X1) terhadap prestasi kerja bupati Kabupaten Tuban. Sedangkan untuk variabel faktor sosial (X2), budaya (X3) agama (X4) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi kerja bupati Kabupaten Tuban. Dengan demikian faktor eksternal seperti sosial politik, budaya dan agama bukan merupakan faktor yang menghalangi prestasi dan kemampuan kerja dari Bupati Tuban
-
7
SUMMARY
ANALYSIS ON WOMAN LEADERSHIP IN GOVERNMENTAL BUREAUCRACY
Abdullah Faiq
Woman leadership becomes an interesting public issue, resulting in polemics and debates between those who support and those who refuse the leadership of woman in a country, although the recognition of human fundamental rights has become increasingly significant worldwide. This recognition is also in effect for the rights of woman, which are equal to those of man. The recognition of human rights is manifested in the various efforts attempted by thousands of activists in humanity movements, particularly the feminists or those who strive for the rights of woman. Unfortunately, religious doctrines are often used to justify injustice actions, even violence, against woman. Those doctrines are regarded as strict and uninterpretable, so that marginal position of woman in religion is seen as unchangeable fate. In addition to religion, culture also affects the formation of unfair social and political structure in the society, so that woman in her disadvantageous position can only survive within a depressing patriarchal culture. Based on those considerations, this study was aimed to analyze woman leadership in governmental bureaucracy. Perspectives taken to analyze woman leadership were from social, political, religious, and cultural perspectives. These three factors have major influence in determining social construction in establishing biased gender ideology. Results of statistical analysis using F test revealed simultaneous influence of leadership style, social factor, religious factor, and cultural factor on the achievement of Bupati at the District of Tuban. However, it was only 29.1% of the change in variable Y affected by the change in variable X1 to X4. The rest 79.9% were caused by other variables not included in the model. Additionally, there was significant influence of the variable of leadership style (X1) on the achievement of the Bupati of the District of Tuban, while social (X2), cultural (X3), and religious (X4) variables had no significant influence on the achievement of the Bupati of Tuban. Conclusively, external factors, such as social, political, cultural, and religious factors, are not obstacles for working capability and achievement of the Bupati of Tuban.
-
8
ABSTRACT
ANALYSIS ON WOMAN LEADERSHIP IN GOVERNMENTAL BUREAUCRACY
Abdullah Faiq
This study was aimed to analyze woman leadership in governmental bureaucracy. Perspectives taken to analyze woman leadership were from social, political, religious, and cultural perspectives. These three factors have major influence in determining social construction in establishing biased gender ideology. Results of statistical analysis using F test revealed simultaneous influence of leadership style, social factor, religious factor, and cultural factor on the achievement of Bupati at the District of Tuban. However, it was only 29.1% of the change in variable Y affected by the change in variable X1 to X4. The rest 79.9% were caused by other variables not included in the model. Additionally, there was significant influence of the variable of leadership style (X1) on the achievement of the Bupati of the District of Tuban, while social (X2), cultural (X3), and religious (X4) variables had no significant influence on the achievement of the Bupati of Tuban. Conclusively, external factors, such as social, political, cultural, and religious factors, are not obstacles for working capability and achievement of the Bupati of Tuban.
Keywords: Woman leadership, leadership style, working capability
-
9
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Realitas menunjukkan bahwa peristiwa sejarah banyak dipengaruhi oleh
persoalan kepemimpinan. Keberhasilan manajemen pemerintahan akan ditentukan
oleh efektivitas kepemimpinannya, sehingga kepemimpinan atau leadership dapat
dikatakan inti dari manajemen pemerintahan. Kepemimpinan merupakan sebuah
proses yang saling mendorong melalui keberhasilan interaksi dari perbedaan
individu, mengontrol daya manusia dalam mengejar tujuan bersama (Inu Kencana,
2003). Jadi kepemimpinan merupakan kehendak mengendalikan apa yang terjadi,
pemahaman merencanakan tindakan, dan kekuasaan untuk meminta penyelesaian
tugas, dengan menggunakan kepandaian dan kemampuan orang lain secara
kooperatif (Donald, 1998).
Dinamika manusia yang kemudian menampakkan diri dalam dinamika
organisasi dan dinamika masyarakat sebagai keseluruhan merupakan salah satu
faktor pendorong bagi berbagai jenis kemajuan yang hendaknya dicapai oleh umat
manusia. Dorongan untuk maju timbul karena hasrat dan keinginan manusia
meningkatkan kemampuannya untuk memuaskan berbagai jenis kebutuhannya
yang semakin lama semakin kompleks (Sondang,1999).
-
10
Semakin disadari bahwa terlepas dari meningkatnya pengetahuan dan
keterampilan berkat pendidikan yang semakin tinggi, cara terbaik untuk
memuaskan berbagai kebutuhan tersebut adalah dengan menggunakan berbagai
jalur organisasi (pemerintahan). Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa
semakin kompleks kebutuhan seseorang, semakin banyak organisasi yang
diikutinya, baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, agama, dan sosial.
Berbarengan dengan menikngkatnya kebutuhan untuk bergabung dalam
berbagai organisasi, semakin berkembang pula persepsi yang berkisar pada
pandangan bahwa dalam kehidupan organisasional perlu dijamin keseimbangan
antara hak dan kewajiban seseorang. Dalam hubungan organisasi dengan para
anggotanya, sering dirumuskan bahwa hak organisasi diperolehnya melalui
penunaian kewajiban oleh para anggotanya dan sebaliknya hak para anggota
organisasi merupakan kewajiban organisasi untuk memenuhinya. Pandangan
demikian mengejawantah pada tuntuatan adanya kepemimpinan yang adil dan
demokratis dalam organisasi yang bersangkutan (Sondang, 1999).
Dalam kepemimpinan pemerintahan ada tiga hal yang boleh diputuskan,
yaitu boleh mendirikan rumah tahanan bagi masyarakatnya (penjara), boleh
menghukum masyarakatnya (sanksi), dan boleh memungut harta masyarakatnya
(pajak). Akan tetapi pemerintah juga perlu melayani masyarakatnya dengan baik
dari hasil pajak dan retribusi masyarakat (Inu Kencana, 2003).
Tidak dapat disangkal, bahwa keberhasilan suatu pemerintahan baik
sebagai keseluruhan maupun berbagai kelompok dalam pemerintahan tertentu,
sangat tergantung pada mutu kepemimpinan yang terdapat dalam pemerintahan
-
11
yang bersangkutan. Bahkan kiranya dapat diterima sebagai suatu trueisme,
apabila dikatakan bahwa mutu kepemimpinan yang terdapat dalam suatu
pemerintahan memainkan peranan yang sangat dominan dalam keberhasilannya
menyelenggarakan berbagai kegiatannya. Seorang pemimpin harus memahami
ciri khas kontrak sosial dan moral antara pemimipin dan pendukungnya. Dalam
hal kekuasaan, pemimpin bergantung pada pengikutnya, dan sampai batas
tertentu, kemampuannya akan membuktikan hasil. Oleh karena itu, ia harus bisa
bekerja sama dengan mereka untuk mencapai sasaran yang telah disepakati
(Donald, 1998).
Pemerintahan mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan
keamanan negara, ke dalam maupun ke luar. Oleh karenanya pertama harus
mempunyai kekuatan militer atau kemampuan untuk mengendalikan angkatan
perang, kedua harus mempunyai kekuatan legislatif yang berfungsi membuat
undang-undang, yang ketiga harus mempunyai kekuatan finansial atau
kemampuan untuk mencukupi keuangan rakyatnya dalam rangka membiayai
kebutuhan negara dalam rangka penyelenggaraan peraturan. Hal tersebut dalam
rangka penyelenggaraan kepentingan negara.
Persoalan gender akhir-akhir ini sedang menjadi wacana publik yang
hangat dibicarakan oleh banyak kalangan. Persoalan ini menyangkut tentang
kemitraan dan keadilan peran sosial antara laki-laki dan perempuan, yang dalam
sepanjang manusia telah dikonstruksi oleh agama, adat, dan budaya. Dalam hal
peran ini sering terjadi kekaburan dalam kehidupan sehari-hari antara
ketimpangan peran kehidupan. Ada yang lebih berpegang pada adat, budaya dari
-
12
pada agamanya dan ada yang sebaliknya mereka lebih mengedepankan agama
dari pada adat, dan budayanya. Perdebatan mengenai status hukum kaum
perempuan yang terdapat dalam sunnatullah maupun ketentuan fitrah yang lain
mulai dari instink, kasih sayang model berfikir serta ketentuan yang tidak bisa
dirubah lagi kecuali adanya kemampuan di dalam kerangka berfikir itu sendiri
(tholchah, dalam Paradigma Gender 2003).
Di penghujung tahun 1998 yang lalu, di Indonesia wacana pemimipin
perempuan telah mencuat ke permukaan. Dalam catatan kami diskursus wacana
pemimipin perempuan telah memancing polemik dan debat antara yang pro
maupun kontra terhadap pemimpin perempuan dalam sebuah negara. Apalagi
dalam masyarakat yang secara umum bersifat patrilinial, yakni memuliakan kaum
laki-laki dalam semua aspek kehidupan. Sekali pun sejarah menunjukkan bahwa
banyak sekali pemimpin perempuan yang sukses dalam memimpin sebuah
bangsa. Ini merupakan sebuah fenomena yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa
perempuan sekarang ini telah tampil menduduki berbagai jabatan penting dalam
masyarakat (Awuy, 1999).
Dalam Tap MPR No. II/1973 dinyatakan, bahwa calon presiden dan wakil
presiden ialah orang Indonesia asli dan memenuhi beberapa syarat sebagai
berikut:
a. Warga Negara Indonesia.
b. Telah berusia 40 tahun.
c. Bukan orang yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam pemilihan
umum.
-
13
d. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
e. Setia kepada cita-cita proklamasi 17 Agustus 45, Pancasila, dan UUD 45.
f. Bersedia menjalankan haluan negara menurut garis besar yang telah
ditetapkan.
g. Berwibawa.
h. Jujur.
i. Cakap.
j. Adil.
k. Dukungan dari rakyat yang tercermin dalam Majelis (AM. Fatwa,1997).
Dari dasar ketetapan MPR di atas, jelas tidak peduli apakah dia laki-laki atau
perempuan asal memenuhi syarat-syarat di atas, jadilah ia seorang presiden atau
wakil presiden (pemimpin publik).
Indonesia sebagai negara yang demokratis dan menghormati Hak Asasi
Manusia (HAM) secara universal tidak mengenal paham diskriminasi jender.
Terlebih lagi, jika di tinjau dari segi hukum positif (UUD 45), yang berlaku di
negara Indonesia tidak ada satu pun undang-undang yang melarang seorang
perempuan menjadi pemimpin publik. Oleh karena itu rekomendasi yang menolak
kehadiran pemimipin perempuan sangat bertolak belakang dengan iklim di tingkat
internasional yang begitu gencar memperjuangkan harkat martabat kaum
perempuan untuk meraih kesempatan yang sama dalam aspek kehidupan sosial
berbangsa dan bernegara.
Ada pendapat sebagian Ulama atau Fuqaha` yang memahami secara
tekstual ayat-ayat Al-Qur`an dan Hadits Nabi saw. yang melarang adanya seorang
-
14
perempuan menjadi pemimpin publik. Kendati pun demikian, Al-Qur`an tidak
pernah menganut suatu faham yang memberikan keutamaan pada jenis kelamin
(gender) tertentu, atau pun mengistimewakan suku tertentu. Laki-laki dan
perempuan, dan suku bangsa mana pun mempunyai potensi yang sama untuk
menjadi seorang pemimpin publik (khalifah) dan hamba Allah (`abid). Hanya
saja yang dapat membedakan di sisi Allah adalah ketaqwaan manusia itu sendiri
(Said Aqil, 1999).
Maka perlu dikaji kembali ayat 34 Surat al-Nisa` ar-rijaalu qawwamuuna
`ala al-nisa`, yakni Kaum laki-laki menjadi tanggung jawab kaum perempuan
(QS. al-Nisa`) yang menjadikan pijakan utama pengharaman pemimpin
perempuan. Secara historis, menurut Imam Abul Hasan ibnu Ahmad Al-Wahidi
(w. 468 H) sebab-sebab turunnya ayat tersebut bermula dari cerita Sa`ad ibn
Rabi`, seorang pembesar Anshar. Diceritakan bahwa istrinya (Habibah) telah
berbuat durhaka, dan menentang keinginan Sa`ad untuk bersetubuh, lalu ia
ditampar oleh Sa`ad. Peristiwa tersebut sampai pada pengaduan Nabi sw. Nabi
saw kemudian memutuskan untuk menghukum Sa`ad, akan tetapi begitu Habibah
beserta ayahnya mengayunkan beberapa langkah untuk melakukan hukuman,
Nabi saw. memanggil keduanya lagi, seraya meberikan informasi ayat yang baru
turun melalui Jibril (ayat al-Nisa` 34), sehingga hukuman tersebut dibatalkan.
Dari sini dapat difahami bahwa pemakaian ayat tersebut untuk mengharamkan
kepemimpinan perempuan di luar urusan ranjang jelas memiliki validitas
argumentasi yang sangat lemah. Ayat tersebut juga bukan kalimat intruksi (Said
Aqil, 1999).
-
15
Sedangkan hadits shahih yang diceritakan Imam Bukhari (seorang perawi
hadits) Lan yafliha qaumun wallau amrahum imra`atan, yakni Tidak akan
bahagia suatu kaum apabila urusannya diserahkan kapada seorang perempuan.
Jika ditelusuri sebab-sebab munculnya, menurut Ahmad ibn Hajar al-Asqalani (w.
852 H), hadits tersebut bermula dari kisah Abdullah ibn Hudzafah, kurir
Rasulullah saw. yang menyampaikan surat ajakan masuk Islam terhadap Kisra
Anusyirwan, penguasa Persia yang beragama Majusi. Ternyata ajakan tersebut
ditanggapi sinis dengan merobek-robek surat yang telah dikirimkan Nabi saw.
Dari laporan tersebut Nabi saw memiliki firasat bahwa Imperium Persia kelak
akan terpecah belah sebagaimana Anusyirwan merobek-robek surat tersebut.
Tidak berapa lama, firasat itu terjadi, hingga akhirnya kerajaan tersebut dipimpin
putri Kisra yang bernama Buran. Mendengar realita negeri Persia yang dipimpin
wanita, Nabi saw berkomentar: lan yufliha qaumun wallau amrahum
imra`atan. Komentar Nabi saw. ini sangat argumentatif, karena kapasitas Buran
yang lemah di bidang kepemimpinan.
Obyek pembicaraan Nabi saw. hanya tertuju kepada ratu Buran, putri
Anusyirwan yang kredibilitas kepemimpinannya sangat diragukan. Terlebih di
tengah percaturan politik timur tengah saat itu yang rawan peperangan antar suku.
Dari aspek substansi teks, bukan berupa kalimat larangan, tapi hanya kalimat
informasi. Karena itu, hukum haram (larangan) pun tidak memiliki signifikan
yang akurat. Dalam realitas di masyarakat, ternyata banyak pemimpin publik
perempuan yang tidak kalah keberhasilannnya dibandingkan dengan pemimpin
publik laki-laki (Said Aqil, 1999). Dapat dipamahami, bahwa kelemahan
-
16
perempuan sebenarnya hanya merupakan pandangan kultural pada masa lampau,
yakni memposisikan perempuan semata-mata sebagai sub ordinatif. Penilaian itu
bukanlah suatu yang mutlak, melainkan terus berubah sejalan dengan
perkembangan zaman yang dinamis. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kondisi tatanan masyarakat pada suatu masa sangat mempengaruhi
pola berpikir setiap manusianya.
Pada hakekatnya, esensi dari kepemimpinan nasional terletak pada moral,
kualitas dan kapabilitasnya. Apalagi situasi dan kondisi politik Indonesia saat ini
sangat rawan dengan terjadinya disintegrasi, dimana tingkat kemajemukan sangat
tinggi. Karenanya, sangat diperlukan seorang negarawan yang menegakkan
kepemimpinan lintas rasial, etnis agama, berwawasan kemanusiaan yang modern
dan tidak mengeksploitasi perbedaan itu.
Perempuan mempunyai hak untuk menikmati hak-hak politik, memiliki
kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam menggapai hak untuk dipilih
sebagai pemimpin publik dan hak untuk menduduki jabatan politik. Pemahaman
yang melarang tampilnya kaum perempuan sebagai pemimpin publik, hanya
didasarkan pada pemahaman nash secara tekstual interpretatif. Jika nash yang
dianggap sebagai landasan larangan itu dipahami dengan memberikan interpretasi
secara kontekstual, akan diperoleh hukum yang memperbolehkan seorang
perempuan tampil sebagai pemimipin publik.
Dengan berdasarkan realitas di atas, maka tulisan ini berupaya
mengungkapkan tentang kepemimpinan perempuan di birokrasi pemerintah dalam
kasus khusus, yaitu kepemimpinan ibu Heny di pemerintah kabupaten Tuban
-
17
Jawa Timur yang dimungkinkan adanya aplikasi yang tidak pada tempatnya
seperti penyusupan perempuan dalam politik itu selalu dikalim dengan negatif,
pada hal semua itu tidak terlepas dari peran kaum lak-laki. Di sini Saya sebagai
penulis hanya berusaha mencari kebenaran dan kebaikan bagi Bangsa dan Negara.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan atas fenomena yang mengedepankan pada latar belakang
pemikiran di atas, maka dalam tulisan ini dapat dirumuskan permasalahnnya
sebagai berikut:
1. Apakah ada pengaruh gaya kepemimpinan, faktor sosial politik,
budaya, dan agama terhadap prestasi kerja Bupati kabupaten Tuban
dalam pemerintahannya ?
2. Apa yang paling berpengaruh terhadap prestasi kerja Bupati kabupaten
Tuban dalam pemerintahannya ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Umum
1. Menganalisis kepemimpian perempuan di pemerintah kabupaten
Tuban.
1.3.2. Khusus
1. Menganalisis gaya kepemimpinan, fakor sosal politik, budaya dan
agama Bupati kabupaten Tuban dalam pemerintahannya.
-
18
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Sebagai bahan masukan yang dapat memberikan penjelasan tentang
kepemimpinan perempuan dalam birokrasi pemerintah Indonesia,
khususnya dalam kasus penolakannya partai-partai pilitik yang
berasaskan Islam pada kepemimipinan perempuan.
3. Sebagai sarana untuk memberikan diskripsi kepada dunia akademik,
kalangan pemerintah, dan publik pada umumnya dalam kaitannya
dengan komunitas perempuan yang memiliki potensi politik yang
cukup baik yang berhubungan dengan kepemimpinannya di dalam
kehidupan politik kenegaraan.
-
19
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai konsep-konsep kepemimpinan
dan hubungannya dengan teori kepemimpinan yang dijadikan rujukan atau
referensi kaum perempuan, yaitu beberapa tulisan para ilmuan dan beberapa
pemaknaan teks al-Qur`an maupun hadits Nabi SAW. dan fakta sejarah pada masa
awal Islam berkembang. Disamping itu, akan diuraikan pula proses pemaknaan
mereka terhadap kepemimpinan politik dan apa implikasi terhadap langkah
mereka dalam pemimpin publik. Berkaitan dengan hal di atas, maka akan
dijelaskan wujud-wujud tindakan riil yang mereka hasilkan, dalam rangka
memimpin masyarakat.
2.1. Konsep Kepemimpinan
Secara etimologi kepemimpinan berasal dari kata dasar pimpin (lead)
berarti bimbing atau tuntun, dengan begitu di dalam terdapat dua pihak yaitu yang
dipimpin (rakyat) dan yang memimpin (imam). Setelah ditambah awalan pe
menjadi pemimpin (leader) berarti orang yang mempengaruhi pihak lain
melalui proses kewibawaan kominikasi sehingga orang lain tersebut bertindak
sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Dan setelah ditambah akhiran an
menjadi pimpinan artinya orang yang mengepalai. Apabila dilrengkapi dengan
-
20
awalan ke menjadi kepemimpinan (leadership) berarti kemampuan dan
kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar
melakuakan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang
bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok (Inu Kencana,
2003).
Jadi kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang
lain agar mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Miftah, 1997).
Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan menggerakkan atau memotivasi
sejumlah orang agar secara serentak melakukan kegiatan yang sama dan terarah
pada pencapaian tujuannya (Nawawi dan M. Martin, 1995). Oleh sebab itu, hal
yang penting dari kepemimpinan adalah adanya pengaruh dan efektifnya
kekuasaan dari seorang pemimpin. Jika seseorang berkeinginan mempengaruhi
perilaku orang lain, maka aktivitas kepemimpinan telah mulai tampak
relevansinya.
Seiring dengan pengertian di atas, pemimpin adalah orang yang
mempunyai wewenang dan hak untuk memepengaruhi orang lain, sehingga
mereka berprilaku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut melalui
kepemimpinannya.
Dengan demikian, secara sederhana kepemimpinan adalah setiap usaha
untuk mempengaruhi. Sementara itu kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu
potensi pengaruh dari seorang pemimpin tersebut. Ini merupakan suatu sumber
yang memungkinkan seorang pemimpin mendapatkan hak untuk mengajak atau
mempengaruhi orang lain (Miftah, 1997). Lebih lanjut, Miftah Toha juga
-
21
membedakan antara kekuasaan dan otoritas (authority) yang sering dianggap
sama pengertiannya. Authority dapat dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari
kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang diduduki seseorang
pemimpin. Dengan demikian otoritas adalah kekuasaan yang disahkan
(legitimazed) oleh suatu peranan formal seorang pemimpindalam sebuah
organisasi (Miftah, 1997).
Dari uraian di atas, kepemimpinan perempuan adalah termasuk tipe
kepemimpinan demokratik, karena jabatan yang disandangnya dari hasil pilian
masyarakat, kendati pun banyak kalangan politikus dari partai-partai yang
berasaskan Islam atau sebagian Ulama` menolaknya.
Pemimipin demokratik biasanya memandang peranannya selaku
koordinator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak
sebagai suatu totalitas, karena tipe pemimpin demokratik adalah tipe pemimipin
yang paling ideal dan paling didambakan. Memang, harus diakui bahwa
pemimpin yang demokratik tidak selalu merupakan pemimpin yang paling efektif
dalam kehidupan organisasi sosial karena ada kalanya, dalam hal bertindak dan
memgambil keputusan, bisa terjadi keterlambaatan sebagai konsekuensi
keterlibatan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan tersebut.
Sekalipun demikian, pemimpin yang demokratik tetap dipandang sebagai
pemimpin terbaik karena kelemahannya mengalahakan kekurangannya (Sondang
1999).
Setiap masyarakat membutuhkan para pemimpin yang dapat mengarahkan
dan mengkoordinasikan kegiatan bersama dan aktivitas untuk kepentingan umum.
-
22
Dan dengan cara yang dapat diterima, para pemimpin dapat merumuskan masalah
dan mengusahakan pemecahannya. Jadi, seseorang menjadi pemimpin karena
memang ada kebutuhan masyarakat akan seorang yang dipilih, yang dianggap
mampu mengadakan aktualisasi dan merealisasi dari kebutuhan yang dianggap
sebagai keinginan masyarakat (Susanto, 1983).
Para pemimpin itu dalam struktur masyarakat disebut sebagai kelompok
elit, sebagaimana dikemukakan oleh Schoorl, sebagai berikut: Dalam arti yang
paling umum, elit itu menunjuk sekelompok orang, yang di dalam masyarakat
menempati kedudukan yang lebih tinggi. Dalam arti yang lebih khusus, elit adalah
sekelompok orang terkemuka di beberapa bidang tertentu, dan khususnya
golongan kecil yang memegang pemerintahan serta lingkungan dari mana
pemegang kekuasaan itu diambil (Schoorl, 1991). Tampaknya, sudah menjadi
anggapan umum bahwa kekuatan pengerak masyarakat terdapat pada pemimpin.
Dalam setiap masyarakat secara wajar timbullah dua kelompok yang berbeda
peranan sosialnya, yaitu yang memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih dan
kelompok yang dipimpin, yaitu kelompok mayoritas kebanyakan. Dan untuk
menerangkan setiap perubahan dan perkembangan masyarakat perlu
diperhitungkan faktor kepemimpinan dari komunitas elit tersebut.
Sementara itu, jika dianalisis dari sifat hubungan antara pemimipin dan
masyarakat atau para pengikut, maka pada umumnya terdapat dua macam
pendekatan, yaitu bahwa pemimpinlah yang membuat masyarakat atau yang
disebut teori The Great Man (Miftah, 1997). Kedua adalah teori sosiologis,
yang meyakini bahwa masyarakatlah yang membuat pemimpin atau disebut juga
-
23
teori Sosial Learning (Miftah, 1997). Menurut Sartono Kartodirdjo, kedua teori
tersebut bisa disatukan menjadi teori kepribadian dalam situasi, artinya seorang
pemimpin lahir akibat interaksi antara faktor kepribadian dan faktor situasional.
Secara terperinci ia menyebutkan adanya interaksi dari tiga faktor, yaitu sifat
golongan, kepribadian dan situasi atau kejadian. Dari ketiga faktor itu
menunjukkan sifat multidimensional gejala kepemimpinan, yaitu aspek sosial
psikologis, sosiologis antropologis, dan sosial historis (Kartodirdjo, 1986).
Dari cara seorang pemimpin dalam melakukan kepemimpinannya itu dapat
digolongkan atas beberapa tipologi;
2.1.1. Tipe Otokratis
Kepemimpinan secara otokratis adalah kepemimpinan yang cara
memimpinnya menganggap organisasi sebagai miliknya sendiri. Sehingga
seorang pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap para anggota
organisasinya dan menganggap mereka itu sebagai bawahannya dan
merupakan alat atau mesin, tidak diperlakukan sebagaimana manusia.
Bawahan hanya menurut dan menjalankan perintah atasannya serta tidak boleh
membantah, karena pimpinan tidak mau menerima kritik, saran dan masukan.
Tipe kepemimpinan otokratis ini dapat kita jumpai dalam pemerintahan
feodal oleh kerajaan-kerajaan pada zaman abad pertengahan. Kepemimpinan
yang otokratis biasanya dikendalikan oleh seorang pemimpin yang
mempunyai perasaan harga diri yang sangat tinggi. Bawahannya dianggap
bodoh, tidak berpengalaman, dan selayaknya diperintah sesuka mereka.
-
24
Dengan egoisme yang sangat tinggi, seorang pemimpin yang otokratik
melihat peranannya sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan
organisasional seperti kekuasaan yang tidak perlu dibagi dengan orang lain
dalam organisasi, ketergantungan total para anggota organisasi mengenai
nasib masing-masing dan sebagainya.
2.1.2. Tipe Paternalistik
Cara ini dapat dikatakan untuk seorang pemimpin yang bersifat kebapaan,
ia menganggap bawahannya bagaikan anak yang belum dewasa. Tipe
pemimpin yang paternalistik banyak terdapat di lingkungan masyarakat yang
masih bersifat tradisional, umumnya di masyarakat agraris.Dengan demikian
pemimpin semacam ini jarang sekali atau tidak pernah memberikan kepada
bawahannya untuk bertindak sendiri, untuk mengambil inisiatif dan
mengambil keputusan. Para bawahannya tidak diberi kesempatan untuk
mengembangkan daya kreasi dan inovasinya.
Konsekuensi dari perilaku demikian ialah bahwa para bawahannya tidak
dimanfaatkan sebagai sumber informasi, ide, dan saran. Seorang pemimpin
yang paternalistik ini dalam hal-hal yang tertentu sangat dibutuhkan, akan
tetapi sebagai pemimpin pada umumnya kurang efektif.
2.1.3. Tipe Kharismatik
Rupanya sulit untuk menemukan sebab seorang pemimpin mempunyai
harisma. Yang jelas adalah bahwa pemimpin tersebut mempunyai daya tarik
sendiri. Pemimpin yang kharismatik mampu menguasai bawahannya karena
mereka diliputi oleh kepercayaan yang luar biasa terhadapnya. Para pengikut
-
25
seorang pemimpin yang kharismatik tidak pernah mempersoalkan nilai yang
diikuti, sikap, gaya dan perilaku yang digunakan pemimpin diikutinya.
Keputusan dan kesetiaan para bawahannya timbul dari kepercayaan yang
penuh keoada pemimpin yang dicintai, dihormati, dan dikagumi, bukan karena
benar tidaknya alasan-alasan dan tindakan seorang pemimpin. Kemampuan
untuk menguasai bawahannya yang terdapat pada diri seorang pemimpin yang
demikratis disebabkan kepercayaannya yang luar biasa kepada
kemampuannya itu. Seorang pemimpin yang demokratis adala pemimpin yang
dianggap mempunyai kekuatan ghaib atau kesaktian yang tidak dapat diindra
secara ilmiah, sehingga dikagumi para bawahannya meskipun para
bawahannya tidak selalu dapat menjelaskan secara konkrit mengapa orang
tersebut dikagumi.
2.1.4. Tipe Laissez Faire
Dapat dikatakan bahwa persepsi seorang pemimpin yang laissez faire
tentang peranannya sebagai seorang pemimpin berkisar pada pandangannya
bahwa pada umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya
karena para bawahannya terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang
mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran apa yang ingin
dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan
seorang pemimpin tidak perlu terlalu sering melakukan intervensi dalam
kehidupan organisasional.
Seorang pemimpin yang laissez faire melihat peranannya bagaikan polisi
lalu lintas. Dengan anggapan bahwa para bawahannya sudah mengetahui dan
-
26
cukup dewasa untuk taat kepada peraturan permainan yang berlaku, dan
cenderung memiliki peranan yang pasif dan membiarkan bawahannya berjalan
menurut tempatnya sendiri tanpa banyak mencampuri bagaimana bawahannya
harus berjalan dan bergerak. Kepemimpinan semacam ini biasanya tidak
kelihatan adan sebuah organisasi dan segalanya dilakukan tanpa ada rencana
dari pemimpin.
Nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin yang laissez faire dalam
menyelenggarakan fungsi-fungsi kepemimpinannya biasanya bertolak dari
falsafah hidup bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa solidaritas dalam
kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan kepada
organisasi, taat kepada norma-norma dan peraturan yang telah disepakati
bersama, mempunyai tangguing jawab yang besar terhadap tugas yang harus
diembannya. Dengan sikap demikian, maka tidak ada alasan kuat untuk
memperlakukan para bawahannya sebagai orang-orang yang tidak dewasa,
tidak bertanggung jawab, tidak setia dan tidak loyal. Nilai yang didasarkan
dalam kepemimpinan tersebut adalah nilai saling mempercayai yang besar.
2.2.5. Tipe Demokratik
Seorang pemimpin yang demokratik dihormati dan segani dan bukan
ditakuti karena perilakunya dalam kehidupan oeganisasional. Perilakunya
memberi motivasi para bawahannya menumbuhkan dan mengembangkan daya
inovasi dan kreativitasnya. Dalam pelaksanaan tugas kepemimpinannya mau
menerima saran-saran dari bawahannya dan bahkan kritik dimintanya dari
mereka demi kesuksesan kinerja bersama. Ia memberi kebebasan yang cukup
-
27
kepada bawahannya, karena menaruh kepercayaan yang besar bahwa mereka
itu akan berusaha sendiri menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Untuk dapat mencapai hasil yang baik, seoarang pemimpin yang
demokratik senantiasa berusaha memupuk kekeluargaan dan persatuan,
membangun semangat bekerja pada bawahannya. Satu lagi karakteristik
penting yang dimiliki seorang pemimpin demokratik yang sangat positif
adalah dengan cepat ia menunjukkan penghargaan kepada para bawahannya
yang berprestasi baik. Penghargaan itu dapat berbentuk kata pujian, tepukan
pada bahunya, memberikan piagam penghargaan, kenaikan pangkat atau
bahkan mempromosikan jika keadaan memungkinkan. Seorang pemimpin
yang demokratis akan bangga apabila para bawahannya menunjukkan
kemampuan kerja yang bahkan lebih tinggi dari kemampuan dirinya sendiri
(Sondang, 1999).
Pada zaman sekarang pemimpin semacam inilah yang diharapkan dan
dituntut masyarakat banyak, oleh karena kepemimpinan yang demokratik segala
aktivitas dapat dikerjakan dengan baik sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
Seiring dengan konsep di atas, berikut akan dijelaskan rujukan para kaum
perempuan tentang konsep kepemimpinan yang dijadikan landasan untuk
bertindak. Yang pertama, dapat dipahami dari surat Fathir, ayat 39, yaitu Dialah
Yang menjadikan kamu semua pemimpin (khalifah) di muka bumi, ayat ini
merupakan penjelasan pernyataan Allah, bahwa Dia memposisikan manusia
sebagai pemimpin (khalifah), tanpa memandang jenis kelaminnya baik perempuan
maupun laki-laki. Dan dapat dipahami pula dari surat Ali-Imran ayat 195,
-
28
disebutkan Sesungguhnya Aku tidak mensia-siakan amal perbuatan orang-orang
yang beramal, baik laki-laki maupun perempuan, surat al-Taubah ayat 71, juga
dikatakan Dan orang-orang yang beriman, baik laki-laki dan perempuan,
sebagian mereka adalah kekasih bagi sebagian yang lain: mereka menyuruh
untuk mengerjakan yang ma`ruf, menentang yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya, mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Ayat di atas secara jelas berusaha untuk mengkikis habis berbedaan jenis
kelamin (gender), khususnya dalam arti kemanusiaan. Secara umum kaum laki-
laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam setiap aspek kehidupan. Di
sisi lain, pada masa Nabi Sulaiman, di negeri yang diabadikan sebagai salah satu
nama surat dalam al-qur`an yang dikenal baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafur (negeri yang adil, makmur, aman, dan sentosa), yaitu negeri Saba`.
Negeri ini ternyata dipimpin oleh penguasa perempuan, Ratu Bilqis. Sedangkan
pada awal perkembangan Islam pun, Ummul Mu`minin siti `Aisyah juga pernah
menjadi seorang panglima perang dalam perang jamal. Realita semacam ini akan
menjadi tendensi dan semakin melunturkan larangan prempuan untuk tampil
sebagai serang pemimipin publik (Said Aqil, 1999).
Disamping itu al-Qur`an secara tegas memberikan pandangan tentang
kesetaraan laki-laki dan perempuan dilihat dari ayat yang membicarakan Adaam
dan Hawa, sampai mereka terlempar ke bumi, selalu menggunakan bentuk kata
ganti mereka berdua (huma).
-
29
2.2. Politik Perempuan
2.2.1. Pengertian Jender dan Jenis Kelamin
Kata gender (dibaca jender) berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis
kelamin baik perempuan maupun laki-laki (John M. Echols dan Hassan Shadily,
1983). Jender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan
apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Womens Studies Encylopedia
dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat
perbedaan (distinction) dalah hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. Hilary
M. Lips dalam bukunya Sex and Gender: an introduction mengartikan gender
sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural
expectations for women and men). Misalnya perempuan dikenal dengan lemah
lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan dan perkasa.
Menurut (Fakih, 2003) makna kata ini sebagai sifat yang melekat pada
kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstuksi secara sosial dan kultural. Sifat
ini bukan sifat bawaan akan tetapi sifat yang terbentuk karena pengaruh proses
sosial dan kultural. Sebagai contoh anak atau orang yang lahir dan dibesarkan di
desa yang jauh keramaian dan pergaulan akan cenderung kurang percaya diri, atau
apabila ia dikurung ia pasti akan berbicara halus dan pelan, sanagat sopan, dan
rendah hati. Karena sifat itu akan melekat hanya karena proses, bukan karena
dikodratkan, sifat itu bisa dipertukarkan.
-
30
Sekelompok sifat di atas, karena telah menjadi ciri yang telah berlangsung
lama, dianggap melekat pada diri laki-laki dan perempuan dan bersifat biologis.
Di sisi lain, perempuan menganggap bahwa dirinya memang demikian dan di sisi
lain, kaum laki-laki mengaganggap lebih unggul dari lawan jenisnya. Lanjut
Fakih, perbedaan jender yang telah lama ada berlangsung terus menerus, turun
menurun dari generasi ke generasi seolah telah menjadi sifat dan ketentuan Allah
SWT. Karena perempuan cenderung menganggap bahwa perbedaan tersebut
adalah hal yang kodrati, maka mereka sering merasa kalah dari laki-laki. Di dunia
kepemimipinan, meskipun perempuan yang memiliki kemampuan yang tidak
kalah dengan laki-laki, akan tetapi mereka enggan tampil di depan, belum bisa
menerima kelompoknya sendiri menjadi pemimipinnya, lebih suka rutinitas dan
cenderung menghindari tantangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Di mata
kaum laki-laki, mereka masih sering dipertanyakan dan diragukan
kepemimpinannya (Susanto, 1998).
Lanjut Fakih untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata
gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan
pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis
laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut : laki-
laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan
memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti
rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan
mempunyai alat menyusui. Secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa
-
31
dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan
perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis
atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat.
Pada bagian lain yang hampir serupa Shadily dalam Ihromi (2000)
membedakan antara antara gender dan jenis kelamin. Menurutnya istilah jender
serimg diartikan sebagai jenis kelamin (seks). Kedua istilah memang mengacu
pada perbedaan jenis kelamin, tetapi istilah seks terkait pada komponen
biologis.artinya : masing-masing jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) secara
biologis berbeda dan sebagai perempuan dan laki-laki mempunyai keterbatasan
dan kelebihan tertentu berdasarkan fakta biologis masing-masing. Misalnya :
seorang yang berjenis kelamin perempuan bisa mengandung, melahirkan dan
mempunyai air susu ibu (ASI). Seorang yang secara biologis dilahirkan sebagai
laki-laki mempunyai sperma. Perbedaan biologis masing-masing merupakan
pemberian Tuhan, dan tidak mudah untuk diubah.
Sebaliknya, jender, adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seorang.
Atau : jender adalah hasil konstruksi sosial yang terdiri dari sifat, sikap dan
perilaku seseorang yang ia pelajari. Yang dipelajari biasanya berbagai sifat dan
perilaku yang dianggap pantas bagi dirinya karena ia berjenis kelamin perempuan
atau laki-laki. Sifat-sifat seperti feminitas bagi perempuan dan maskulinitas
bagi laki-laki ditentukan oleh lingkungan budayanya. Melalui apa yang diajarkan
orang tuanya, guru-guru sekolahnya, guru agamanya, dan tokoh masyarakat
dimana seorang tergabung. Artinya : jender seorang diperoleh melalui suatu
proses yang panjang, sebagai hasil belajar seorang sejak ia masih usia dini.
-
32
2.2.2. Perempuan di Kancah Politik
Perempuan merupakan substansi yang selalu enak dan elok untuk
diperbincangkan oleh semua kalangan, baik kalangan laki-laki maupun kalangan
perempuan itu sendiri. Itu bisa dimaklumi, mengingat perempuan adalah sosok
yang cukup penting dalam kehidupan. Perempuan merupakan penerus, pengabdi,
dan pendidik bagi generasi yang akan datang, yaitu generasi yang akan
menentukan perjalanan bangsa tercinta ini.
Kalau kita berbicara perempuan haruslah pertama-tama kita mulai dengan
menempatkan mereka sebagai manusia. Dengan bertumpu pada titik pandang
kemanusiaan, kita akan menilai bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya
sama, mereka mempunyai kecerdasan otak yang sama, sama mulia budi
pekertinya, sama luhur cita-citanya, dan sama-sama memiliki impian dan harapan.
Dan tentu mereka mempunyai potensi kepemimpinan yang sama, baik potensi
kepemimpinan sebagai individu maupun makhluk sosial (Marwah Daud, 1996).
Kaum laki-laki telah melahirkan karya seni yang besar; kaum perempuan
telah melahirkan kaum laki-laki; dan ibu yang besar akan melahirkan bangsa yang
besar pula, sebagaimana yang dikutip oleh pemikir proklamator kita dalam Colin
Brown, Soekarno on the of women. Kutipan tersebut mengisyaratkan gambaran
kenyataan peran dan fungsi perempuan sangat penting dan menentukan dalam
kehidupan, karena perempuan menjadi pusat atau sentralnya sebuah bangsa akan
berkembang.
Kepemimpinan perempuan dalam era pembangunan baik sekarang
maupun masa akan datang mempunyai potensi dan peran yang besar dalam
-
33
pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya pada semua tingkat internasional,
regional.
Pada masa pra Islam dunia diwarnai oleh imperialisme dan kolonialisme
antar sesama manusia maupun antar kelompok, suku, dan bangsa. Kaum
perempuan diibaratkan tidak lebih dari barang yang bisa dijual belikan, menjadi
bagian dari kaum laki-laki (subordinatif), makhluk yang tidak berharga, tidak
memiliki independensi diri, hak-haknya boleh dirampas dan ditindas,
keberadaannya sering menimbulkan masalah, dan diletakkan dalam posisi
marginal. Setelah Islam datang membawa pesan moral kemanusiaan dan
mengajak manusia untuk melepaskan diri dari tirani kemanusiaan, dan manusia
dipandang setara di hadapan Allah SWT. Tidak ada yang lebih istimewa dan tidak
ada yang lebih nesta. Hanya satu yang manjadi pembeda di hadapan Allah SWT.
yaitu kadar ketaqwaannya (Syafiq, 2001).
Penghormatan Islam kepada kaum perempuan terjadi pada saat kehidupan
masyarakat Islam berada pada masa Rasulullah SAW. Kaum perempuan pada
masa tersebut mendapatkan perlakuan yang tidak berbeda dengan kaum laki-laki.
Apabila kaum laki-laki dapat berperan dalam dunia publik, perempuan juga tidak
dilarang pada medan yang sama. Rasulullah SAW. telah memulai suatu tradisi
baru yang dianggap tindakan revolusioner dalam memandang prempuan. Beliau
melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara pandang (world view)
masyarakat Arab yang pada waktu itu masih didominasi oleh cara pandang masa
Raja Fir`aun. Penghargaan terhap perempuan sudah tidak ada sama sekali,
kelahiran anak perempuan langsung membuat muka mereka masam.
-
34
Oleh sebab itu, dalam pelbagai kesempatan pembelaan Rasulullah SAW.
dilakukan di depan siapa pun dan dalm kesempatan apa pun. Rasulullah SAW.
sadar bahwa membela perempuan adalah wujud dari komitmen kemanusiaan.
Dalam sesempatan yang lain, Rasulullah SAW. menampilkan perempuan sebagai
sosok yang sangat penting dalam kehidupan, dalam fungsinya sebagai pembawa
cahaya terang bagi kehidupan keluarga. Dikatakan oleh beliau, bahwa perempuan
adalah pelita bagi kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, Islam sebenarnya
menjadi sarana yang tepat untuk mempersatukan misi dan visi kesetaraan kaum
laki-laki dan perempuan (Syafiq, 2001).
Walaupun sekarang sudah banyak perempuan yang memegang jabatan
politik (pemimpin publik) didalam kehidupan politik kenegaraan, namun
jumlahnya masih sedikit dibandingkan laki-laki, apalagi jika dibandingkan jumlah
perempuan yang prosentasenya lebih banyak dari lak-laki secara umum (Majid,
2003). Dan ketika Filipina memiliki presiden perempuan Qorazon Aquino, betapa
pers menyorotinya sedemikian rupa, tidak hanya karena ia seorang presiden,
namun juga karena ia perempuan, sampai-sampai pakaian yang dikenakan saja
diliput, sekalipun secara historis tidak sedikit perempuan yang berperan dalam
pentas politik (penguasa negara) (AM. Fatwa,1997).
Bahkan perempuan yang duduk di lembaga politik pemerintah hanya
sekitar 8% dari keseluruhan perempuan yang ada di suatu negara tertentu. Bahkan
perempuan di negara besar, seperti Amerika Serikat, kurang dari 5% dari jumlah
keseluruhan perempuan. Contoh lain, di Selandia baru prosentasenya yang duduk
didalam parlemen hanya mencapai 5% dari keseluruhan jumlah perempuan di
-
35
negara tersebut. Sedangkan di Britania Raya dan India, peran perempuan dalam
parlemen lumayan cukup besar, yang mencapai 8-10% dari keseluruhan
perempuannya. Itu sebagian contoh kecil dari gambaaran perempuan yang
menjabat jabatan politik dalam kehidupan politik kenegaraan (Teguh, 1999).
Sebagai bukti keberhasilan kaum perempuan yang menjabat dalam bidang
politik kenegaraan, cukuplah penulis sebutkan beberapa perempuan yang
menduduki jabatan pemimipin tertinggi di sejumlah negara, pada zaaman dahulu
hingga sekarang. Mereka termasuk para pemimpin yang sukses dan melebihi
kaum laki-laki:
1. Hatsybisut yang memimpin Mesir lebih dari dua puluh tahun pada masa
al-Usrah 18 (1555-1350 SM).
2. Cleopatra yang diasingkan saudaranya agar jauh dari kekuasaan. Akan
tetapi, ia tidak menyukai hidup terasing yang menyengsarakan. Kemudia
ia berusaha kembali ke tanah kelahirannya dan berhasil mengambil
kembali haknya untuk menjadi penguasa Mesir.
3. Shafiyyah Hatun, putri Raja Thahir yang berkuasa di Aleppo (Halab), pada
masa Al-Mamalik. Ia mengatur pemerintahan seperti raja-raja sebelumnya,
dan kejayaannya berlangsung sampai enam tahun.
4. Ghaziyyah Khayun, putri Raja Al-Kamil, istri Raja Al-Muzhaffar
Mahmud, yang menguasai Hamah.
5. Syajarah al-Durr yang sempat menyembunyikan berita kematian suaminya
agar tidak mempenagruhi mental para panglima pasukan yang akan
menyerang pasukan tentara salib yang dipimpin Louis IX. Syajarah
-
36
mengumpulkan para panglomanya dan berkata, Raja menyuruh kalian
untuk bersumpah kepadanya. Kemudian ia menyerahkan
kepemimpinannya kepada putranya, Raja Turan Syah. Dan ketika
kemenangan suadah diraihnya, Syajarah al-Durr mengumumkan kematian
suaminya dan pembaiatan kepada putranya. Kemudia semua bersepakat
untuk memberikan penghargaan kepada ratu ini dengan mengabadikan
namanya pada uang logam yang bertuliskan al-Musta`shimiyyah al-
Shalihiyyah Malikah al-Muslimin.
6. Al- Bisysyi yang memimpin Persia.
7. Bandranika Pemimpin Srilangka.
8. Indira Ghandi pemimpin India.
9. Fathimah `Ali jinan sebagai pemimpin Pakistan.
10. Margareth Teacher pemimpin Inggris.
11. Growharlem Bernette pemimpin Norwegia.
12. Corazon Aquino pemimpin Filipina.
13. Golda Meir pemimpin Mesir.
Dan masih banyak lagi sejumlah perempuan yang memegang tampuk
kepemimpinan, seperti negara kita sendiri yang dipimpin oleh ibu Megawati
Soekarno Putri, Ratu Denmark, Ratu Inggris, dan lain-lain di beberapa kerajaan di
Eropa (Qasim, 92).
Islam pun tidak kekurangan tokoh-tokoh perempuan, sebagaimana
Sayyidah `Aisyah binti Abu Bakar yang pernah memimpin perang Jamal. Di
dunia Islam muncul banyak perempuan yang berkiprah dalam dunia sosial
-
37
maupun politik. Mereka memiliki peranan besar dalam Islam. Barang kali
prosentase jumlah perempuan yang duduk dalam politik pada tahun-tahun
sekarang ini mengalami peningkatan, itulah harapan kita semua.
2.3. Kepemimpinan dalam Birokrasi Pemerintah
Pada dasarnya manusia ingin memiliki kekuasaan dan pengaruh, sehingga
manusia dikategorikan makhluk politik. Karena manusia merupakan makhluk
politik, tentunya mempunyai kepentingan dibidang politik. Kepentingan tersebut
pada umumnya tercermin dari keinginan untuk turut serta dilibatkan dalam
menentukan nasibnya dalam kehidupan bernegara, baik sebagai seorang
pemimpin maupun yang dipimpin. Sekalipun ada kalangan seseorang yang tidak
serta merta mampu mengekspresikan visi politiknya. Akan tetapi kemampuan
demikian dapat ditumbuhkan dan dikembangkan.
Obyek kepemimpinan dalam pemerintah adalah hubungan antara
pemimpin dengan yang dipimpin, dalam hal ini yang memimpin adalah
pemerintah, sedangkan yang dipimpin adalah rakyatnya sendiri, dan obyek
materinya adalah manusia (Inu Kencana, 2003). Sebagai terjemahan managemen
pemerintah, yakni adanya perlengkapan, kesempurnaan, dan kelancaran jalannya
aktifitas ketatalaksanaan pemerintah, merupakan indikasi kuat pada sebuah
keberhasilan para pemimpin pemerintahan pada semua jajaran maupun
keberhasilan para pemimpin administrasi pemerintah. Kebijakan yang dihasilkan
dari sebuah keputusan untuk menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan dan
pembangunan yang diambil oleh seluruh jajaran para pemimpin pemerintah
-
38
sebagai pedoman untuk bertindak. Lain halnya dengan keputusan yang diambil
oleh pemerintah dan aparatnya, selain menjadi pedoman bagi pemerintah dan
aparatnya sendiri, juga dapat merupakan pedoman untuk bertindak bagi pihak-
pihak lain di luar pemerintah dan aparaturnya (Sunindhia dan Widiyanti, 1993).
Negara dan pemerintah dituntut untuk memenuhi keinginan-keinginan atau
kebutuhan-kebutuhan masyarakat, karena pemerintah pada hakekatnya adalah
pelayan masyarakat. Pemerintah diadakan tidak untuk melayani diri sendiri, akan
tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan
bagi setiap anggota masyarakat, mengembangkan kemampuan, dan kreativitasnya
demi mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu birokrasi publik (pemerintah)
berkewajiaban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan publik yang
baik dan profesional. Jadi pelayanan berokrasi publik yang tujuannya
mensejahterakan masyarakat merupakan perwujudan dari fungsi aparatur negara
sebagai abdi masyarakat.
Untuk dapat menilai sejauh mana mutu dan kualitas pelayanan publik yang
telah diberikan oleh aparatur pemerintah, ada sepuluh kreteria yang menunjukkan
suatu pelayanan publik dikatakan baik.
1. Tangible, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personol, dan
komunikasi.
2. Reliable, terdiri dari kemapuan unit pelayanan dalam menciptakan
pelayanan yang dijanjikan dengan tepat.
3. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung
jawab terhadap mutu pelayanan yang diberikan.
-
39
4. Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan
yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan.
5. Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap
keinginan konsumen serta mau melakukan kontak hubungan pribadi.
6. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik
kepercayaan masyarakat.
7. Security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari
berbagai bahaya dan resiko.
8. Acces, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan
9. Communication, kemauan memberi layanan untuk mendengarkan
suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk
selalu menyampaikan informasi baru kepeda masyarakat.
10. Understanding the customer, melakukan segala usaha untuk
mengetahui kebutuhan pelanggan (Joko, 2001).
Terciptanya pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (Clean and
Good Gavernance) menjadi cita-cita dan harapan setiap bangsa. Sehingga UNDP
(United Nations Development Program), sebagaimana yang dikutip oleh lembaga
Administrasi Negara mengajukan karakteristik Good Gavernance, sebagai berikut;
1. Participation, setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan
keputusan, baik secara langsung mapun melalui intermediasi institusi
legetimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini
dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara serta
berpartisipasi secara konstruktif.
-
40
2. Rule of Law, kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa
pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.
3. Transparancy, transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus
informasi. Proses, lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima
oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat difahami dan
dapat dimonitor.
4. Responsiveness, para lembaga dan proses harus mencoba untuk
melayani setiap stakeholders.
5. Consensus orientation, Good Gavernance menjadi perantara
kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi
kepentingan yang lebih luas baik dalam hal beberapa kebijakan maupun
prosedur.
6. Equity, semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan,
mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau menjaga
kesejahteraan mereka.
7. Effectiveness and afficiency, proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik
mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan
menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
8. Accountability, para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor
swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik
dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi
dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk
kepentingan internal atau eksternal organisasi.
-
41
9. Strategic vition, para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif
good gavernance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke
depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan (Joko,
2001, 25).
Kepemimpinan dalam mewujudkan good gavernance hendaknya
kepemimpinan yang visioner, bersih, berwawasan, demokratis, responsif dan
responsible. Visi mencakup upaya yang mampu melihat jangkauan ke depan yang
bersekala nasional maupun regionanl. Demokratis dan responsif, merupakan
persyaratan untuk mengangkat pemimpin dalam birokrasi pemerintah. Pemimipin
yang demokratis dalam setiap proses pengambilan keputusan dan pemecahan
masalah, senantiasa melibatkan publik, dan keputusan yang dihasilkan
substansinya harus berpihak pada kepentingan publik. Sementara pemimpin yang
responsif adalah pemimpin yang cepat tanggap (respon) dan cepat menanggapi
(menindak lanjuti) keluhan, kepentingan, dan aspirasi yang dipimpinnya.
Sedangkan pemimpin yang responsibel adalah pemimpin yang memiliki sense of
responsibility and profesionally. Pemimipn yang responsif memiliki rasa
tanggung jawab dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya (Joko, 2001,
34).
Dan yang lebih penting lagi dalam kondisi perkembangan masyarakat
yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, yang
merupakan indikasi terjadinya empowering yang dialami oleh masyarakat
pemimpin birokrasi pemerintah harus mengubah posisi dan peran dalam
memberikan layanan masyarakat. Pemimpin yang suka mengatur dan memerintah,
-
42
sayogyanya berubah menjadi suka melayani dan yang suka menggunakan
pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju arah yang
fleksibel kolaburatis dan dialogis.
2.4. Perempuan dan Budaya
Sifat anti perempuan (misoginis) adalah suatu bukti kegusaran seorang
laki-laki atas derajat keberadaannya yang disamakan dengan perempuan
(Mernissi, 1991). Secara umum Perempuan selalu dimunculkan sebagai sosok
yang bermasalah ketika dikaitkan dengan organ tubuhnya. Puluhan abad lamanya
pandangan ini mewarnai hampir seluruh budaya manusia dan kemudian
mendapatkan legitimasi dari beberapa agama besar di dunia seperti Islam, Yahudi
dan Kristen. Ketiga agama tersebut mempunyai pandangan yang sama karena
persamaan latar belakang budaya. Dalam budaya patriarkhi, agama berfungsi
untuk melegitimasi kenormalan seksualitas dan status laki-laki. Konsekuensinya,
seksualitas dan status perempuan tidak akan pernah menempati satus laki-laki.
Selama budaya patriarkhi tetap dipertahankan, sejauh itu pula pandangan
misoginis dalam kadar yang berbeda tetap mewarnai kehidupan masyarakat.
Dari faktor di atas telah menyebabkan terpeliharanya ketimpangan jender
pada tingkat relasi sosial. Interpretasi agama mempunyai andil besar untuk
menempatkan ketimpangan tersebut sebagai bagian dari realitas obyektif yang
harus diterima (Abdullah, 2003). Lanjut Abdullah, agama dijadikan sebagai alat
pemaksa bagi kelebihan posisi dan peran yang diharapkan dari masing-masing
pihak sehingga akan sangat sulit bagi setiap individu untuk keluar dari tatanan
-
43
tersebut. Konsep kekuasaan bagi budaya patriarkhi adalah ekspresi dari seorang
laki-laki untuk menunjukkan kekuatannya sebagai penentu. Oleh karenanya,
setiap laki-laki merefleksikan kekuasaan tersebut kepada bagian masyarakat yang
lain, sebagaimana seorang suami kepada istrinya, kakak laki-laki terhadap
adiknya, dan pada tingkat yang tertinggi adalah seorang raja terhadap rakyatnya.
Ketidakadilan hubungan laki-laki dan perempuan seperti di atas dapat
dijadikan sebagai kontruksi sosial. Dalam masyarakat terdapat ideologi jender
yang membedakan laki-laki dan perempuan bukan hanya berdasarkan jenis
kelamin, akan tetapi juga berdasarkan peran masing-masing. Hampir dalam segala
hal, perempuan ditempatkan sebagai subordinat, sedangkan laki-laki adalah
superior. Struktur sosial masyarakat yang membagi-bagi tugas antara laki-laki dan
perempuan seringkali merugikan perempuan. Perempuan diharapkan bisa
mengurus dan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga, walaupun mereka
bekerja di luar rumah tangga, sebaliknya tanggungjawab laki-laki dalam menatur
rumah tangga sangat kecil.
Posisi perempuan Indonesia sejak dulu hingga sekarang hampir tidak
banyak berubah, dan perbedaan perlakuan tersebut telah dimulai sejak mereka
masih kanak-kanak. Anak perempuan diarahkan untuk bisa mengerjakan
pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, membersihkan lantai, mencuci,
menyetrika baju, dan mengasuh adiknya, sedangkan anak laki-laki seringkali
dibiarkan bermain sesukanya sendiri. Anak laki-laki juga jarang menerima
larangan ataupun peringatan tentang bagaimana mereka sebaiknya bersikap dan
bertingkah laku. Berbeda halnya dengan anak perempuan yang sangat sering
-
44
menerima berbagai larangan. Perempuan di batasi dengan norma yang tidak sama
dengan laki-laki sehingga tidak bisa berbuat sebebas laki-laki. Ada yang pendapat
yang menyatakan bahwa perempuan sebaiknya tidak bepergian sendiri di malam
hari. Bila itu dilakukan akan menimbulkan penilaian yang negatif dari masyarakat
(Sudjoko, 1975).
Pada umumnya, kebudayaan merupakan ketentuan arti mengenai kategori
laki-laki dan perempuan oleh masyarakat. Sehingga istilah laki-laki dan
perempuan merupakan berbagai kreteria yang dihubungkan dengan masyarakat
berdasarkan budaya. Penyebaran sikap yang dihubungkan dengan jender telah
dibuktikan di lintas devisi. Artinya alokasi pertanggungjawaban dan hampir
seluruh keputusan mengenai peningkatan karir karyawan, gaji, dan kekuasaan
dalam sebuah organisasi dipengaruhi perbedaan jender antara laki-laki dan
perempuan (Peter G, 2000).
Perempuan seringkali dianggap sebagai orang yang paling berperan dalam
pendidikan dan penerus nilai budaya bagi anak-anaknya. Sebagai orang yang
harus meneruskan nilai-nilai bagi generasi penerus, maka perempuan diharapkan
mempunyai kepribadian dengan ciri-ciri kehalusan, keagamaan, kesopanan, dan
lain sebagainya. Karena kewajiban itu harus dipikul perempuan, maka sejak dini
perempuan dipersiapkan untuk bias menjalankan tugas tersebut. Perempuan
seringkali dinomorduakan dalam hal pendidikan. Jika dalam suatu keluarga,
orangtua ternyata tidak mampu membiayai sekolah anak-anaknya, mereka akan
mendahulukan anak laki-laki. Laki-laki dipersiapkan sebagai tiang keluarga
nantinya, sedangkan perempuan hanya sebagai pengurus rumah tangga. Ada yang
-
45
lebih tragis lagi sebuah anggapan yang menyatakan; perempuan itu swarga nunut
neraka katut. Mereka menganggap bahwa perempuan tidak perlu berpretasi terlalu
tinggi sebab nantinya mereka hanya akan menumpang pada suami (Abdullah,
2003).
Dari budaya patriakhi tersebut, sehingga perempuan yang menjadi
pemimin publik sangat sedikit. Meski banyak studi yang mengindikasikan bahwa
perempuan mempunyai keahlian dalam berprilaku dan kualitas yang memenuhi
syarat dalam kepemimpinan yang efektif, akan tetapi mereka masih belum dapat
mewakili dalam kapasitas yang signifikan. Hal ini disebabkan berbagai rintangan
yang menghambat kemajuan kepemimpinan perempuan, antara lain; rintangan
secara kelompok, rintangan secara perorangan dan rintangan secara pribadi,
sehingga harus ada sebuah pola atau bentuk dalam memupuk perkembangan dan
kemajuan pemimpin perempuan (Peter G, 2000).
Perlakuan yang berbeda semacam ini sedikit demi sedikit memupuk
kesadaran laki-laki bahwa mereka adalah pihak yang harus selalu dimenangkan
dalam setiap konpetisi sekalipun mereka menggunakan cara yang tidak layak
disampaikan kepada publik. Mereka juga secara tidak langsung memperoleh
penegasan ataupun pengesahan bahwa merekalah makhluk nomor satu.
Perempuan selalu disadarkan bahwa mereka hanya merupakan subordinat laki-
laki. Berbagai upaya untuk meningkatkan kedudukan perempuan telah banyak
dilakukan. Sedikit demi sedikit perjuangan untuk menyamakan hak antara
perempuan dan laki-laki dilakukan. Perempuan mulai banyak yang menduduki
posisi penting dalam pemerintahan.
-
46
Berkaitan dengan perempuan di masa sekarang, Armahedi Mashar
menawarkan suatu gerakan pasca feminisme Islami yang integrative guna
membendung gerakan anti feminisme tradisional yang konservatif dan desakan
pro feminisme radikal yang agresif (progresif sekuler). Gerakan ini diharapkan
dapat mencairkan eksklusifitas gerakan feminisme radikal yang menempatkan
laki-laki dan perempuan sebagai lawan yang saling mengalahkan. Dan gerakan ini
akan mampu mendobrak persepsi tradisional konservatif yang selalu
mengagungkan supermasi kaum laki-laki. Pada akhirnya gerakan ini diharapkan
mampu menempatkan perempuan dan laki-laki dalam posisi setara dan berperan
sebagai kawan seiring dalam memajukan bangsa (Armahedi, 1995). Senada
dengan pendapat tersebut adalah gagasan transformasi yang dilontarkan oleh
Abdul Ahmed al Na`im. Transformasi terhadap ketentuan Islam adalah suatu
keharusan demi untuk memperoleh formulasi hukum yang memadai bagi
kehidupan kontemporer (Na`im, 1994).
Jadi kalau kita melihat bagaimana struktur dan norma yang tertanam
dalam masyarakat, kita bisa memahami jika kemudian timbul ketimpangan dalam
masyarakat. Laki-laki dipahami menjadi penghuni kelas satu, karena memang
sejak mereka lahir hal itu sudah tertanam, baik oleh keluarga maupun masyarakat.
Perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah dan menduduki subordinat. Kaum
laki-lakilah yang kuat dan mampu menyelesaikan masalah, termasuk pekerjaan
dengan baik. Sebetulnya perempuan juga mempunyai potensi yang tidak kalah
jika dibandingkan dengan laki-laki, namun mereka ragu dalam mengembangkan
diri karena ada struktur dan norma yang memojokkan kaum perempuan akibat
-
47
budaya patriarkhi yang sudah berkembang. Perempuan seringkali masih
dibingungkan oleh berbagai masalah yang muncul sebagai akibat dari peran
gandanya. Kemingkinan yang dapat dicapai oleh perempuan sangat luas. Hanya
keterbatasan kebiasaan, norma dan nilai yang tumbuh dalam masyarakat itulah
yang menghambat berbagai kemungkinan untuk merealisasikan potensinya,
sebagaimana yang dikatakan Leila Budiman (Leila, 1988).
Sejalan dengan itu, Mariane Weber berpendapat bahwa perempuan dan
laki-laki sebetulnya mempunyai kemampuan dan kapabelitas yang sama besar.
Perempuan juga bisa melakukan berbagai hal yang bisa dilakukan oleh kaum laki-
laki, namun perempuan tidak punya waktu yang cukup untuk itu semua. Mereka
harus membagi waktu untuk berbagai hal. Meskipun mereka bekerja, namun
mereka tetap harus mengurus rumah tangga dan memelihara anak mereka.
Berbeda halnya dengan laki-laki, mereka leluasa mengembangkan karir tanpa
harus memikirkan rumah tangga (Weber, 1991).
2.5. Stereotipe Negatif
Bagai sebuah siklus atau mata rantai yang saling mengkait, kondisi sosial
masyarakat semula sudah memposisikan kaum perempuan pada suatu strata
tertentu dalam sebuah kontruksi sosial yang telah diinstitusionalkan dan
disosialissikan sejak awal dan ditambah dengan kondisi riil kedudukan kaum
perempuan dalam segala bidang, baik bidang pendidikan, ekonomi,
ketenagakerjaan, pemerintahan dan lainnya yang tidak pernah atau belum sejajar
dengan kaum laki-laki menyebabkan munculnya stereotipe neganif terhadap kaum
-
48
perempuan yang menilai kaum perempuan adalah kaum yang lemah, tidak mampu
dan tidak bisa disejajarkan dengan laki-laki.
Stereotipe gender lahir dari adanya satu pembedaan antara perempuan dan
laki-laki dalam hal jenis kelamin (biologic), pemahaman ini pun akhirnya
berkembang dan terbangun adanya pencitraan yang berbeda antara perempuan dan
laki-laki. Megawangi (1999) memberikan gambaran bahwa kalau pun ada
perbedaan laki-laki dan perempuan hanya pada apa yang sering disebut 3 M (
menstruasi, melahirkan, dan menyusui). Aspek 3 M ini oleh para feminis diangap
bukan alasan seorang perempuan harus menjadi ibu, karena konsep ibu adalah
bukan karena alam (nature), melainkan karena adanya sosialisasi, atau konstruksi
sosial (nurture).
Secara fisik biologis laki-laki dan perempuan tidak saja dibedakan oleh
identitas jenis kelamin, bentuk dan atonomi biologis lainnya, melainkan juga
komposisi kimia dalam tubuh. Perbedaan tersebut menimbulkan akibat fisik
biologis, seperti laki-laki mempunyai suara besar, berkumis, berjenggot, pinggul
lebih ramping, dada yang datar. Sementara perempuan mempunyai suara yang
lembut bening, dada menonjol, pinggul lebih besar, dan organ reproduksi yang
amat berbeda dengan laki-laki. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai tersebut,
akan tetapi efek perbedaan biologis terhadap perilaku manusia khususnya dalam
perbedaan relasi gender, menimbulkan banyak perbedaan. Oleh sejumlah ilmuwan
perbedaan anatomis biologis dan komposisi kimia dianggap berpengaruh pada
perkembangan emosional dan kapasitas intelektual masing-masing tidak dapat
dikatakan semuanya benar, mengingat dalam hal tertentu justru akan terjadi
-
49
sebaliknya. Oleh karena itu perbedaan tersebut perlu dikritisi kembali sehingga
diperoleh kebenaran yang akurat (Dharma, 2002).
Tabel 2.5.1 Perbedaan Emosional dan Intelektual laki-laki dan perempuan
Laki-laki Perempuan
- Sangat agresif
- Independen
- Tidak emosional
- Dapat menyembunyikan emosi
- Tidak mudah berpengaruh
- Tidak mudah goyah menghadapi krisis
- Lebih aktif
- Lebih kompetitif
- Lebih logis
- Lebih mendunia
- Lebih terampil berbisnis
- Lebih terus terang
- Berperasaan tidak mudah tersinggung
- Lebih suka bertualang
- Mudah mengatasi persoalan
- Jarang menangis
- Penuh percaya diri
- Lebih banyak mendukung sikap agresif
- Lebih ambisi
- Tidak terlalu agresif
- Tidak terlalu independen
- Lebih emosional
- Sulit menyembunyikan emosi
- Mudah berpengaruh
- Mudah goyah menghadapi krisis
- Lebih pasif
- Kurang kompetitif
- Kurang logis
- Berorentasi ke rumah
- Kurang terampil bisnis
- Kurang berterus terang
- Berperasaan mudah tersinggung
- Tidak suka bertualang
- Sulit mengatasi persoalan
- Lebih sering menangis
- Kurang rasa percaya diri
- Kurang menyukai sikap agresif
- Kurang ambisi
-
50
- Mudah membedakan rasio dan rasa
- Memahami seluk beluk perkembangan
dunia
- Umumnnya tampil sebagai pemimpin
- Lebih merdeka
- Pemikiran lebih unggul
- Lebih bebas berbicara
- Lebih obyektif
- Sulit membedakan rasio dan rasa
- Kurang memahami seluk-beluk
perkembangan dunia
- Jarang tampil sebagai pemimpin
- Kurang merdeka
- Pemikiran kurang unggul
- Kurang bebas berbicara
- Lebih subyektif
Alice Rossi (1978) berpendapat, bahwa peran stereotipe gender ini
bersumber dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Berhubung
perempuan dianugerahkan alam untuk menjalankan proses reproduksi, maka
pengalaman proses reproduksi pada perempuan (hamil, melahirkan, dan
menyusui) akan memberikan peran berstereotipe gender. Sementara Fakih (2003)
memberikan gambaran awal tentang stereotipe gender pada makna stereotipe itu
sendiri, menurutnya secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan
terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotipe yang diberikan kepada suku bangsa
tertentu, misalnya Yahudi di Barat, Cina di Asia Tenggara, telah merugikan suku
bangsa tersebut. Hal ini tentunya menimbulkan ketidakadilan, Salah satu jenis
stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Misalnya yang
terjadi terhadap perempuan menurutnya adalah penandaan yang berawal dari
asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian
lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu
dikaitkan dengan stereotipe ini.
-
51
Hampir senada dengan pendapat Fakih diatas, Shadily (2000)
memberikan pandangan tentang stereotipe gender yang berlaku bahwa tugas
perempuan terutama adalah mendidik dan mengasuh anak juga menyebabkan
anak perempuan kurang diberi pengalaman atau kurang dipersiapkan untuk
berkompetisi di wilayah publik, sehingga perempuan hingga kini lebih
terkonsentrasi dalam pekerjaan-pekerjaan di sektor informal yang disesuaikan
dengan keterampilan terbatas yang mereka miliki. Akibatnya : secara ekonomis
dan sosial apa yang mereka kerjakan mempunyai status yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan apa yang dikerjakan laki-laki.
Sebenarnya banyak hal yang bisa kita lihat dalam keseharian bahwa
stereotipe gender pada perempuan ini memang terbentuk dan terbangun di
masyarakat. Berikut ini pendapat lain dari Behm & Kassin (1996) yang mengutip
dari penelitian William & Best pada tahun 1982 tentang stereotipe gender yaitu
meski bagaimanapun ketika seseorang ditanyai untuk mendeskripsikan sesosok
laki-laki dan perempuan, maka seseorang laki-laki akan dideskripsikan lebih
memiliki jiwa petualang, tegas, agresif, mandiri dan berorietasikan pada
pekerjaan; sebaliknya seseorang perempuan akan dideskripsikan lebih sensitif,
lemah lembut, kurang mandiri, emosional dan berorientasikan pada hal-hal
kemasyarakatan. Gambaran ini sangatlah universal dan diambil dari penelitian
dari sekitar 2.800 orang mahasiswa dari 30 negara yang berbeda mulai dari
Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Asia dan Australia.
Selain pendapat diatas ada juga penggambaran stereotipe gender ini
berdasarkan ketidaksamaan peran antara feminin dan maskulin yang dilakukan
-
52
oleh Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik (Indonesian Center for
Women in Politics) pada tahun 1999 dalam modulnya yang membagi
ketidaksamaan gender atas stereotipe, yaitu
Tabel 2.5.2 Ketidaksamaan gender atas stereotipe
Stereotipe Feminim Maskulin
Stereotipe Kerja
Pembagian Kerja
Ruang Lingkup Fungsi
Fungsi
Kerja Feminim (Perawat;
guru TK; Penata rambut;
Operator telepon dan
sebagainya)
Reproduktif (Melahirkan
anak)
Kerja Domestik
Pencari nafkah tambahan
Kerja Maskulin
(Insinyur; Pilot;
Politikus; Manajer dan
sebagainya)
Produktif (Menghasilkan
uang)
Publik
Pencari nafkah utama
-
53
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HEPOTESIS
3.1. Kerangka Konseptual
Adapun pemikiran yang melandasi pembuatan kerangka konseptual adalah
bahwa setiap manusia mempunyai kualitas kemampuan yang sama. Keberhasilan
dalam memimpin pemerintahan tergantung pada pengetahuan, kualitas, dan
kredibilitas masing-masing. Apabila seseorang mempunyai kemampuan, kualitas
dan kredibilitas yang tinggi, maka mereka akan mampu menjadi seorang
pemimpin pemerintahan yang baik. Kemampuan, kualitas dan kredibilitas yang
dimiliki seorang pemimpin dan sistem kepemimpinannya akan menentukan
berhasil dan tidaknya mereka.
-
54
Garis adalah yang diteliti
Garis adalah tidak diteliti, hanya sebagai penunjang
Prestasi Kerja
- Kualitas Kerja - Kuantitas Kerja - Efektifitas Kerja
Pendidikan dan Pelatihan
Pengalaman Kerja
Pengetahuan
Gaya Kepemimpinan
- Pandangan Sunber Daya
dan Dana - Cara Pendelegasian
Wewenang
- Pelibatan Bawahan
- Cara Memperlakukan Bawahan
- Pengakuan Bawahan
Sosial Politik
Budaya
Agama
-
55
B. Hipotesis
Berangkat dari rumusan masalah, tujuan serta teori yang sudah dipaparkan,
maka hipotesis yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah :
1. Ada pengaruh persepsi gaya kepemimpinan, faktor sosial politik,
budaya dan agama terhadap prestasi kerja.
-
56
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Untuk mengetahui terhadap kepemimpinan perempuan dalam berokrasi
pemerintahan, maka terlebih dahulu akan dijelaskan tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan latar belakang dipergunakannya metode kuantitatif dalam
penelitian. Dalam metode kuantitatif, penelitian ini mengunakan penelitian
observasional dengan pendekatan survai.
4.2. Metode Kuantitatif
4.2.1. Populasi dan Sampel
Sugiyono (2001) mengartikan populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas objek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah para pegawai eslon dua dan
tiga pada kabupaten Tuban Jawa Timur yang berjumlah 7 Dinas
Sedangkan pengertian sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik
yang dimiliki oleh populasi tersebut. Penelitian sampel sebagai prosedur untuk
menentukan sebagian dari populasi, diambil dan dipergunakan untuk menentukan
ciri dan sifat yang dikehendaki dari populasi.
-
57
4.2.2. Metode Pengambilan Sampel
Agar sampel ini benar-benar representatif, maka dalam penelitian ini
metode pengambilan sampel menggunakan metode total sampling yaitu
pengambilan sampel dari eselon dua dan tiga, yaitu 7 Dinas dari 12 Dinas sebagai
sampel penelitian.
Berdasarkan data yang ada, populasi dalam penelitian ini adalah para
pegawai eselon dua dan tiga pada 7 Dinas. Dengan demikian jumlah sampel yang
diambil adalah 86 orang.
4.2.3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Adapun lokasi penelitian berada di kabupaten Tuban Jawa Timur. Dalam
hal ini dikarenakan ibu Haeny Relawati Rini Widyastuti sebagai salah satu
pemimpin (Bupati) perempuan di wilayah kabupaten Tuban Jawa Timur.
Sedangkan waktu penelitian dimulai dari bulan Juni sampai bulan Agustus.
4.2.4. Variabel Penelitian
A. Klasifikasi Variabel
Dalam penelitian ini variabel yang digunakan diklasifikasi atas variabel
Dependen dan Independen
1. Variabel Dependen atau variabel tergantung, yaitu prestasi kerja Bupati.
2. Variabel Independen atau variabel bebas, yaitu gaya kepemimpinan (X1),
faktor sosial politik (X2), budaya (X3) dan agama (X4).
-
58
B. Definisi Oprasional
1. Kepemimpinan adalah suatu upaya dalam mempengaruhi perilaku orang
lain baik itu individu atau kelompok untuk melakukan apa yang diinginkan
malalui cara-cara yang terencana untuk mencapai tujuan bersama baik
individu, kelompok maupun organisasi (Yukl, 1998). Kepemimpinan pada
penelitian ditekankan pada persepsi, nilai, sikap, dan perilaku, dalam hal:
a. Pandangan terhadap sumber daya dan dana yang tersedia bagi
organisasi, hanya dapat digunakan oleh manusia dalam
organisasi untuk mencapai tujuan dan sasarannya.
b. Cara pendelegasian wewenang yang praktis dan realistis.
c. Pelibatan bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
d. Cara memperlakukan bawahannya sebagai makhluk sosial,
politik, ekonomi dan individu dengan karakteristik dan jati diri
yang khas.
e. Pengakuan bawahan atas kepemimpinannya didasarkan pada
pembuktian kemempuan memimipin oraganisasi dengan
efektif.
2. Prestasi Kerja adalah hasil karya yang timbul dari suatu kombinasi usaha,
kemampuan dan pengalaman seseorang untuk mencapai tujuan organisasi.
Dalam prestasi kerja dapat diukur berdasarkan; kualitas kerja, kuantitas
kerja,ketepatan waktu, kerja sama, dan efektifitas kerja.
-
59
3. Faktor sosial politik, adalah pandangan atau stereotype negatif masyarakat,
lembaga eksekutif atau pemerintahan akan kepemimpinan perempuan
yang sudah mengakar dan terpatri.
4. Faktor Budaya, adalah adanya sifat anti pada kaum perempuan
(misoginis), dan adanya (subordinat) yakni pandangan bahwa kaum
perempuan merupakan kaum nomor dua setelah laki-laki.
5. Faktor Agama, adalah adanya legitimasi agama yang dihasilkan dari
sebagian interpretasi yang melarang tampilnya kaum perempuan menjadi
pemimpin, sekalipun Allah memposisikan manusia sebagai pemimpin,
tanpa memandang jenis kelaminnya. Perempuan dan laki-laki mempunyai
hak yang ama dalam setiap kehidupan.
4.2.5. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung para bawahan
Bupati yaitu eselon dua dan tiga sesuai dengan item pertanyaan dalam kuesioner.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pemerintah kabupaten Tuban atau
melalui data yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan
dengan permasalahan penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan metode:
1. Observasi, yaitu metode pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti.
2. Kuesioner, yaitu metode pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan
tertulis yang telah disusun secara sistematis kepada responden.
-
60
3. Wawancara, yaitu metode pengumpulan data dengan tanya jawab kepada
responden sesuai dengan acuan yang ada dalam kuesioner.
4.2.6. Pengolahan Skor
Pengukuran sekor terhadap varibel-variabel dalam penelitian ini