discharge planning herni

21
Pengaruh discharge planning oleh perawat terhadap kesiapan pasien post herniorafi menghadapi pemulangan Latar Belakang Hernia merupakan produksi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian yang lemah dari dinding rongga bersangkutan. Dinding perut terdiri dari beberapa lapis atau bagian dari luar ke dalam yaitu lapisan kutis dan subkutis, lemak subuktan dan fasia superfisial, kemudian setelahnya ada lapisan otot muskuloaponeurosis yang dibagi jadi 3 otot dinding perut, kemudian terakhir lapisan jaringan peritoneum. Lapisan otot perut sendiri yaitu muskulo-aponeurosis memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas isi abdomen, dan fungsi utama otot perut ini juga untuk menjaga seseorang menderita hernia bawaan maupun hernia yang didapat. Pada penderita hernia isi perut (usus) keluar dari dinding abdomen sehingga terlihat adanya penonjolan dan menyebabkan terjadinya bagian-bagian hernia yang terdiri dari: cincin, kantung dan isi hernia (Sjamsuhidajat dan Dejong, 2005). Hernia ini tidak terlalu menjadi masalah apabila isi dari hernia ini masih bisa keluar masuk kantung hernia, tidak menempel, tidak menyebabkan nyeri dan gangguan mobilisasi. Akan tetapi jika hernia sudah bertambah parah maka pada kebanyakan kasus akan terjadi proses inkarserata (terperangkapnya isi hernia di kantung hernia) dan strangulasi (tercekiknya isi hernia). Pada keadaan ini isi hernia tidak dapat kembali lagi dan akan mengakibatkan gejala-gejala

Upload: rambadiw

Post on 09-Aug-2015

355 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Pasien dengan hernia Discharge Planning

TRANSCRIPT

Page 1: Discharge Planning Herni

Pengaruh discharge planning oleh perawat terhadap kesiapan pasien post herniorafi menghadapi pemulangan

Latar Belakang

Hernia merupakan produksi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau

bagian yang lemah dari dinding rongga bersangkutan. Dinding perut terdiri dari beberapa

lapis atau bagian dari luar ke dalam yaitu lapisan kutis dan subkutis, lemak subuktan dan

fasia superfisial, kemudian setelahnya ada lapisan otot muskuloaponeurosis yang dibagi jadi

3 otot dinding perut, kemudian terakhir lapisan jaringan peritoneum. Lapisan otot perut

sendiri yaitu muskulo-aponeurosis memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas isi

abdomen, dan fungsi utama otot perut ini juga untuk menjaga seseorang menderita hernia

bawaan maupun hernia yang didapat. Pada penderita hernia isi perut (usus) keluar dari

dinding abdomen sehingga terlihat adanya penonjolan dan menyebabkan terjadinya bagian-

bagian hernia yang terdiri dari: cincin, kantung dan isi hernia (Sjamsuhidajat dan Dejong,

2005).

Hernia ini tidak terlalu menjadi masalah apabila isi dari hernia ini masih bisa keluar

masuk kantung hernia, tidak menempel, tidak menyebabkan nyeri dan gangguan mobilisasi.

Akan tetapi jika hernia sudah bertambah parah maka pada kebanyakan kasus akan terjadi

proses inkarserata (terperangkapnya isi hernia di kantung hernia) dan strangulasi (tercekiknya

isi hernia). Pada keadaan ini isi hernia tidak dapat kembali lagi dan akan mengakibatkan

gejala-gejala gangguan vaskularisasi mulai dari bendungan ringan hingga nekrosis jaringan.

Gejala yang timbul juga sudah mulai dirasakan seperti nyeri yang disertai mual atau muntah,

kembung, obstipasi, nyeri hebat dan kontinyu, daerah benjolan menjadi merah, pasien

menjadi gelisah, dan akan mengakibatkan kesulitan untuk berjalan atau berpindah sehingga

aktivitas terganggu. Apabila gejala sudah seperti ini maka tindakan salah satunya adalah

dengan pembedahan Herniorafi bisa ditegakkan (Syamsuhidajat dan Dejong, 2005).

Tindakan operasi atau pembedahan merupakan suatu pengalaman yang sulit bagi

kebanyakan pasien. Resiko maupun komplikasi yang timbul dari tindakan pembedahan bisa

saja terjadi dan membahayakan pasien, oleh karena itu diperlukan peran perawat dalam

tindakan pembedahan dengan memberikan intervensi keperawatan yang tepat untuk

mempersiapkan pasien baik dari segi fisik maupun psikologis pasien (Rodhianto, 2008).

Page 2: Discharge Planning Herni

Pembedahan sendiri didefinisikan sebagai cabang kedokteran yang menangani

penyakit, luka dan deformitas dengan cara manual atau operasi. Pembedahan ditujukan untuk

mempertahankan, atau mengangkat dengan resiko minimal, organ, jaringan, atau ekstremitas

yang mengalami kecelakaan atau luka ( Kamus kedoketaran Dorland, 1998).

Pembedahan dibagi dalam tiga tahap, yaitu preoperatif, intraoperatif, dan

pascaoperatif. Ketiga tahap ini disebut periode perioperatif. Untuk fase preoperatif sendiri

dimulai ketika keputusan diambil untuk melaksanakan intervensi pembedahan. Kegiatan-

kegiatan yang seharusnya dilaksanakan oleh perawat dalam tahap ini adalah pengkajian dan

persiapan preoperasi mengenai status fisik dan psikologi pasien, serta memberikan intervensi

perawatan agar pasien siap untuk menjalani operasi. Tahap ini berakhir ketika pasien diantar

ke kamar operasi dan diserahkan ke perawat bedah untuk perawatan selanjutnya (Baradero

M, 2008, hlm.11).

Kategori pembedahaan dibagi berdasarkan alasan pembedahan, urgensi pembedahan,

tingkat resiko, letak anatomi, dan tingkat operasi yang diperlukan. Tujuan utama pembedahan

dibagi menjadi lima sub-kategori : diagnostik, kuratif, restoratif, paliatif, dan kosmetik.

Operasi paliatif ditujukan untuk membuat pasien lebih nyaman, dan operasi kosmetik

ditujukan untuk merekontruksi kulit dan jaringan dibawahnya. Urgensi pembedahan terbagi

menjadi tidak mendesak, mendesak, dan sangat mendesak. Dan tingkat resiko operasi dibagi

menjadi minor dan mayor. Letak anatomi berdasarkan area tubuh yang akan dioperasi

(operasi abdominal, operasi intracranial, dan operasi jantung) (Ignatavicius & Workman

2006).

Salah satu tindakan pemebedahan adalah herniorafi. Umumnya terapi operasi pada

hernia merupakan terapi satu-satunya yang rasional, dan operasi ini termasuk indikasi operasi

elektif. Herniorafi sendiri merupakan prosedur operasi yang dilakukan pada pasien hernia

dengan melakukan pembebasan cincin dari hernia. Umumnya operasi dilakukan dengan

membuka bagian abdomen, kemudian bagian cincin dibebaskan dari kantung hernia

kemudian direposisikan dan bagian dinding perut yang melemahnya dijahit (Syamsuhidajat

dan Dejong, 2005). Akan tetapi setiap prosedur operasi pasti terdapat resiko yang

ditimbulkan juga. Komplikasi operasi hernia dapat berupa cedera v.femoralis, hematoma

(perdarahan), infeksi luka (Syamsuhidajat dan Dejong, 2005). Penelitian juga telah

menunjukkan bahwa komplikasi dari operasi ini masih terbilang tinggi seperti infeksi,

Page 3: Discharge Planning Herni

perdarahan, tromboflebitis, emboli paru, perforasi usus, dan yang paling merugikan adalah

terjadinya hernia berulang sehingga harus dioperasi lagi sebesar 30% angka kejadian

(Vidovic, et all, 2006).

Setelah tindakan pembedahan, pasien menjadi rentan terhadap infeksi karena

terjadinya stress yang serius pada tubuh, seperti terputusnya kontinuitas jaringan dan adanya

port de entry. Selain itu turunnya status imunitas pada tubuh pasien menyebabkan pasien

sangat rentan terkena infeksi (Healthnotes.com, 2004). Andra (2007) menyatakan

menyatakan pada pasien pasca operasi abdomen dengan non etiologi infeksi insiden

terjadinya peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan pembedahan) yang terjadi kurang

dari 2%, sedangkan pada pasca pembedahan pasien dengan penyakit inflamasi tanpa perforasi

(apendisitis, divertikulitis, kolesititis) resiko untuk terjadinya peritonitis sekunder dan abses

peritoneal kurang dari 10%, sedangkan pada pasien pasca pembedahan kolong gangren dan

perforasi visceral resiko terjadinya peritonitis sekunder dan abses meningkat hingga 50%.

Oleh karena itu pasien perlu di berikan pendidikan kesehatan agar pasien mampu mandiri

dalam melakukan perawatan luka yang benar sebelum pulang ke lingkungan rumah.

Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dari postoperasi ditentukan pada saat

preoperasi. Oleh karena persiapan preoperasi haruslah benar-benar siap. Pemeriksaan fisik,

emosional, resiko bedah, diagnostik, tindakan-tindakan persiapan operasi harus dilakukan

dengan baik ketika preoperasi (Potter and Perry, 2006). Fisik pasien harus dipersiapkan

dengan baik mengingat prosedur operasi merupakan prosedur yang memiliki resiko. Sebagai

contoh, penelitian terhadap 43 persiapan operasi yang sebelumnya dilakukan pencukuran

rambut area operasi dan melakukan personal hygiene berupa memandikan pasien terlebih

dahulu menunjukan dapat mengurangi resiko infeksi area operasi sebelum dan sesudah

operasi (Dizer, et all, 2009).

Penelitian case control terhadap 38 pasien yang dipuasakan sebelum operasi

menunjukan penurunan resiko terjadinya aspirasi selama periode intraoperatif sehingga

meunurunkan pula resiko terjadinya komplikasi intraoperasi dan pascaoperasi (Brady, 2010).

Hasil penelitian menunjukan pula pengaruh pemberian nutrisi yang adekuat pada fase

preoperasi dapat meningkatkan kesiapan pasien dalam menghadapi operasi dan berpengaruh

terhadap hasil pada postoperasi dengan mengurangi resiko komplikasi seperti infeksi

postoperasi dan memperpendek waktu perawatan di rumah sakit (Akbarshahi, et all, 2008).

Page 4: Discharge Planning Herni

Tidak hanya persiapan fisik saja, mental pasien pun harus dipersiapkan. Pemberian

informasi yang adekuat terhadap pasien akan berpengaruh terhadap berkurangnya kecemasan

pasien, pasien akan lebih siap dalam menjalani operasi dan akan meningkatnya kepuasan

pasien dan akan mempengaruhi waktu pemulangan pasien (Garretson, 2004).

Sebelum pemulangan pasien, pasien dan keluarganya harus mengetahui bagaimana

cara melakukan perawatan secara mandiri di rumah (Potter & Perry, 2005). Ketidaksiapan

pasien dalam melakukan perawatan secara mandiri bisa terjadi karena pasien tidak dipersiapkan

untuk mandiri saat menjalani perawatan di rumah sakit atau bisa terjadi karena pasien terlalu cepat

dipulangkan sehingga pasien beresiko menjalani hospitalisasi ulang (Torrance, 1997). Berdasarkan

hasil penelitian yang dilakukan Williams (2006) didapatkan bahwa pasien pasca bedah yang

mendapatkan pendidikan tentang nyeri dan manajemen luka, kebutuhan nutrisi dan komplikasi

pada umunya akan mengalami kekhawatiran dan menyebabkan mereka akan melakukan

kunjungan kembali ke fasiltas kesehatan setelah dipulangkan. Vaughan dan Taylor (1998 dalam

Torrance, 1997) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa pasien pasca bedah abdomen

mengalami defisiensi dalam hal mandi, berpakaian, diet, buang air besar, serta dalam aktifitas

seksual.

Oleh karena itu sebelum dipulangkan, pasien perlu dipersiapkan untuk menghadapi

pemulangan. Orem (1985 dalam Alligood & Tomey, 2006) menyatakan bahwa intervensi

keperawatan dibutuhkan karena adakanya ketidakmampuan klien dalam melakukan perawatan diri

secara mandiri disebabkan adanya keterbatasan. Salah satu intervensi keperawatan yang digunakan

adalah discharge planning (Perencanaan pulang pasien) untuk meningkatkan dan mempertahankan

tingkat kemandirian pasien, teman-teman, dan keluarga dengan menyediakan memandirikan

aktifitas perawatan diri (The Royal Mardsen Hospital 2004). Kesuksesan dischare planning dapat

menjamin pasien untuk melakukan perawatan secara mandiri dan menjamin keamanan pasien

setelat meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006).

Discharge planning adalah suatu proses dimana mulainya pasien mendapatkan

pelayanan kesehatan yang diikuti dengan kesinambungan perawatan baik dalam proses

penyebuhan maupun dalam mempertahankan derajat kesehatannya sampai pasien merasa siap

untuk kembali ke lingkungannya. Discharge planning menunjukan beberapa proses formal

yang melibatkan team atau memiliki tanggung jawab untuk mengatur perpindahan

sekelompok orang ke kelompok lainnya (RCP, 2001).

Page 5: Discharge Planning Herni

Discharge planning bertujuan untuk meningkatkan kontinuitas perawatan,

meningkatkan kualitas perawatan dan memaksimalkan manfaat sumber pelayanan kesehatan.

Discharge planning dapat mengurangi hari rawatan pasien, mencegah kekambuhan,

meningkatkan perkembangan kondisi kesehatan pasien dan menurunkan beban perawatan

pada keluarga dapat dilakukan melalui Discharge Planning (Naylor, 1990). Dan menurut

Mamon et al (1992), pemberian dischage planning dapat meningkatkan kemajuan pasien,

membantu pasien untuk mencapai kualitas hidup optimum sebelum dipulangkan, beberapa

penelitian bahkan menyatakan bahwa discharge planning memberikan efek yang penting

dalam menurunkan komplikasi penyakit, pencegahan kekambuhan, dan menurunkan angka

mortilitas dan morbiditas (Leimnetzer et al, 1993: Hester, 1996)

Perawat adalah salah satu anggota team discharge planner, dan sebagai discharge

planner perawat mengkaji setiap pasien dengan menggumpulkan dan menggunakan data yang

berhubungan untuk mengidentifikasi masalah aktual dan potensial, menentukan tujuan dengan

atau bersama pasien dan keluarga, memberikan tindakan khusus untuk mengajarkan dan

mengkaji secara individu dalam mempertahankan atau memulihkan kembali kondisi pasien

secara optimal dan mengevaluasi kesinambungan Asuhan Keperawatan. Merupakan usaha

perawat demi mencegah dan meningkatkan kondisi kesehatan pasien , dan sebagai anggota

tim kesehatan, perawat berkolaborasi dengan tim lain untuk merencanakan, melakukan

tindakan, berkoordinasi dan memfasilitasi total care dan juga membantu pasien memperoleh

tujuan utamanya dalam meningkatkan derajat kesehatannya.

Di indonesia semua pelayanan keperawatan di rumah sakit telah merancang berbagai

bentuk format discharge planning namun discharge planning kebanyakan hanya dipakai

dalam bentuk pendokumentasian resume pasien pulang, berupa informasi yang harus

disampaikan pada pasien yang akan pulang seperti intervensi medis dan non medis yang

sudah diberikan, jadwal kontrol, gizi yang harus dipenuhi setelah dirumah. Cara ini

merupakan pemberian informasi yang sasarannya ke pasien dan keluarga hanya untuk sekedar

tahu dan mengingatkan, namun tidak ada yang bisa menjamin apakan pasien dan keluarga

mengetahui faktor resiko apa yang dapat membuat penyakitnya kambuh, penanganan apa

yang dilakukan, oleh karena itu discharge planning sangat penting dimana akan memberikan

proses deep-learning pada pasien hingga terjadinya perubahan perilaku pasien dan

keluarganya dalam memaknai kondisi kesehatannya. Melihat pentingnya dischage planning

terhadap proses penyembuhan pasien post operasi herniorafi peneliti merasa tertarik untuk

Page 6: Discharge Planning Herni

menyelidiki bagaimana pengaruh discharge planning oleh perawat terhadap tingkat kemandirian

pasien.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Melihat latar belakang tersebut secara khusus peneliti ingin meneliti “bagaimana Pengaruh discharge planning oleh perawat terhadap kesiapan pasien post herniorafi menghadapi pemulangan”

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 TUJUAN UMUM

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh discharge planning yang

dilakukan oleh perawat terhadap tingkat kemandirian pasien menghadapai pemulangan.

1.3.2 TUJUAN KHUSUS

Penelitian ini memiliki tujuan khusus untuk mengidentifikasi :

1.3.1.1 Tingkat kemandirian pasien pasca operasi herniorafi menghadapi pemulangan sebelum

diberikan discharge planning.

1.3.1.2 Tingkat kemandirian pasien pasca operasi herniorafi menghadapi pemulangan setelah

diberikan discharge planning.

1.3.2.3 Perbedaan tingkat kemandirian pasien pasca bedah herniorafi menghadapi pemulangan

dengan pemberian discharge planning oleh perawat.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Bagi Profesi Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan evaluasi bagi perawat mengingat

hasil dari penelitian ini terlihat keadaan nyata dilapangan tentang proses discharge planning,

sehingga bisa menjadi acuan perawat untuk meningkatkan kualitas dan performa dalam

pemberian discharge planning.

1.4.2 Bagi Institusi Rumah Sakit

Hasil penelitian pengaruh dischrage planning pada pasien hernia ini bisa dijadikan

acuan bagi rumah sakit untuk mengurangi resiko kekambuhan pada pasien, meningkatkan

keamanan pasien serta meningkatkan mutu dan pelayanan rumah sakit. Hasil penelitian ini

diharapkan bisa menjadi referensi untuk meningkatkan kinerja perawat-perawat di rumah

sakit khususnya yang bekerja di ruang rawat inap bedah dengan pasien post herniorafi.

Page 7: Discharge Planning Herni

1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil rumusan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi yang dapat

digunakan sebagai informasi awal untuk penelitian berikutnya yang terkait dengan proses

pelaksanaan preoperasi pasien hernia. Bagi penelitian ke depannya mungkin saja bisa

dikembangkan untuk meneliti “ faktor-faktor yang mempengaruhi proses discharge

planning pada pasien pasca bedah herniorafi ”.

Page 8: Discharge Planning Herni

1.5 KERANGKA PENELITIAN

Operasi pembedahan merupakan suatu prosedur yang beresiko. Operasi akan

menghasilkan respon yang unik untuk setiap pasien, bergantung pada faktor psikososial dan

fisiologis yang ada pada diri pasien. Respon-respon umum yang terjadi akibat dari

pemebedahan ini umumnya yaitu respon neuroendokrin seperti:denyut jantung meningkat

dan tekanan darah tinggi dan respon psikologis (BaraderoM, 2008, hlm. 74). Hal ini juga

umumnya lazim terjadi pada pasien penderita hernia.

Hal ini berlaku terhadap operasi herniorafi. Operasi herniorafi meskipun masih

dianggap sebagai operasi yang umum pada penderita hernia masih memunculkan berbagai

komplikasi yang nyata. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa komplikasi dari

operasi ini masih terbilang tinggi seperti infeksi, perdarahan, tromboflebitis, emboli paru,

perforasi usus, dan yang paling merugikan adalah terjadinya hernia berulang sehingga harus

dioperasi lagi sebesar 30% angka kejadian. Oleh karena itulah dalam proses operasi hernia

haruslah berjalan dengan lancar dari mulai preoperasi sampai dengan postoperasi (Vidovic d

et all. 2006).

Tidak hanya persiapan fisik saja, mental pasien pun harus dipersiapkan. Pemberian

informasi yang adekuat terhadap pasien akan berpengaruh terhadap berkurangnya kecemasan

pasien, pasien akan kebih siap dalam menjalani operasi dan akan meningkatnya kepuasan

pasien dan akan mempengaruhi waktu pemulangan pasien (Garretson, 2004).

Setelah tindakan pembedahan, pasien menjadi rentan terhadap infeksi karena

terjadinya stress yang serius pada tubuh, seperti terputusnya kontinuitas jaringan dan adanya

port de entry. Selain itu turunnya status imunitas pada tubuh pasien menyebabkan pasien

sangat rentan terkena infeksi (Healthnotes.com, 2004). Andra (2007) menyatakan

menyatakan pada pasien pasca operasi abdomen dengan non etiologi infeksi insiden

terjadinya peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan pembedahan) yang terjadi kurang

dari 2%, sedangkan pada pasca pembedahan pasien dengan penyakit inflamasi tanpa perforasi

(apendisitis, divertikulitis, kolesititis) resiko untuk terjadinya peritonitis sekunder dan abses

peritoneal kurang dari 10%, sedangkan pada pasien pasca pembedahan kolong gangren dan

perforasi visceral resiko terjadinya peritonitis sekunder dan abses meningkat hingga 50%.

Oleh karena itu pasien perlu di berikan pendidikan kesehatan agar pasien mampu mandiri

dalam melakukan perawatan luka yang benar sebelum pulang ke lingkungan rumah.

Page 9: Discharge Planning Herni

Oleh karena itu sebelum dipulangkan, pasien perlu dipersiapkan untuk menghadapi

pemulangan. Orem (1985 dalam Alligood & Tomey, 2006) menyatakan bahwa intervensi

keperawatan dibutuhkan karena adakanya ketidakmampuan klien dalam melakukan perawatan diri

secara mandiri disebabkan adanya keterbatasan. Salah satu intervensi keperawatan yang digunakan

adalah discharge planning (Perencanaan pulang pasien) untuk meningkatkan dan mempertahankan

tingkat kemandirian pasien, teman-teman, dan keluarga dengan menyediakan memandirikan

aktifitas perawatan diri (The Royal Mardsen Hospital 2004). Kesuksesan dischare planning dapat

menjamin pasien untuk melakukan perawatan secara mandiri dan menjamin keamanan pasien

setelat meninggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006)

Discharge planning bertujuan untuk meningkatkan kontinuitas perawatan,

meningkatkan kualitas perawatan dan memaksimalkan manfaat sumber pelayanan kesehatan.

Discharge planning dapat mengurangi hari rawatan pasien, mencegah kekambuhan,

meningkatkan perkembangan kondisi kesehatan pasien dan menurunkan beban perawatan

pada keluarga dapat dilakukan melalui Discharge Planning (Naylor, 1990). Dan menurut

Mamon et al (1992), pemberian dischage planning dapat meningkatkan kemajuan pasien,

membantu pasien untuk mencapai kualitas hidup optimum sebelum dipulangkan, beberapa

penelitian bahkan menyatakan bahwa discharge planning memberikan efek yang penting

dalam menurunkan komplikasi penyakit, pencegahan kekambuhan, dan menurunkan angka

mortilitas dan morbiditas (Leimnetzer et al, 1993: Hester, 1996)

Seorang dischare planner bertugas membuat rencana, mengkoordinasikan dan

memonitor dan memberikan tindakan dan proses kelanjutan perawatan (Powell,1996).

Discharge planning itu menempatkan perawat pada posisi yang penting dalam proses

pengobatan pasien dan dalam team discharge planner rumah sakit, pengetahuan dan

kemampuan perawat dalam proses keperawatan dapat memberikan kontinuitas perawatan

melalui proses dischare planning (Naylor,1990). Perawat dianggap sebagai seseorang yang

memiliki kompetensi lebih dan punya keahlian dalam melakukan pengkajian secara akurat,

mengelola dan memiliki komunikasi yang baik dan menyadari setiap kondisi dalam

masyarakat (Harper,1998).

Apabila persiapan-persiapan discharge planning seperti beberapa poin yang dijelaskan

diatas dilakukan dengan baik maka kemungkinan besar pasien herniorafi dapat menjadi

mandiri serta kesiapan pasien secara fisik maupun mental padaa saat akan dipulangkan lebih

baik, dan setelah dipulangkan pasien akan cepat sembuh tidak terjadi komplikasi dan waktu

Page 10: Discharge Planning Herni

pemulangan pasien dari rumah sakit bisa lebih singkat. Tingkat keefektifan dan keadekuatan

dischage planning mungkin berpengaruh pada tingkat kemandirian pasien pasca bedah

herniorafi . Akan tetapi dalam kenyataannya di lapangan sering sekali persiapan-persiapan

seperti ini jarang dilakukan secara teratur oleh perawat. Oleh karena itu peneliti merasa perlu

sekali meneliti pengaruh discharge planning pada tingkat kemandirian post operasi herniorafi

menghadapi pemulangan.

Page 11: Discharge Planning Herni

Bagan Kerangka Pemikiran Pengaruh Discharge Planning Terhadap Tingkat Kemandirian Pasien Dalam Perawatan Kolostomi

Pasien dengan post operasi herniorafi

Proses Pemberian Discharge Planning Pada Pasien Kolostomi oleh perawat :

Tahap Persiapan :

Pengkajian Fisik: melakukan anamnesa pasien,mengkaji keluhan utama pasien, mengkaji riwayat penyakit, melakukan pemeriksaan fisik.

Pengkajian Psikologis: kaji keadaan psikologis dan pengetahuan pasien akan penyakit

Tahap Perencanaan :

Memprediksi permasalahan klien saat akan dipulangkan Melakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lain Menentukan rencana perawatan untuk mempersiapkan perawatan kesehatan klien

sesuai kebutuhan klien Mencatat perencanaan/intervensi sesuai kebutuhan klien dalam pedokumentasian

Tahap pelaksanaan :

Perawat menjelaskan konsep penyakit, perawatan berkelanjutan di rumah, pemberian obat, diet sesuai, pentingnya kontrol ulang, tanda-tanda memburuknya kondisi, dan cara merawat luka post op

Tahap Evaluasi :

Perawat menilai respon klien dan keluarga terhadap penkes yang diterima Perawat menilai kemampuan keluarga

Pengetahuan Perawat

DILAKSANAKAN :

Semua Aspek Discharge Planing Dilaksanakan

TIDAK DILAKSANAKAN :

Semua Aspek Discharge Planning Tidak Dilaksanakan

Page 12: Discharge Planning Herni

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen

yaitu desain yang digunakan untuk mengungkapkan kemungkinan adanya pengaruh

discharge planning yang dilakukan oleh perawat terhadap tingkat kemandirian pasien

post operasi herniorafi dalam menghadapi pemulangan. Rancangan penelitian yang

digunakan yaitu one group pre and posttest design, yang melibatkan satu kelompok

subyek serta melakukan pengukuran tingkat kesiapan pasien menghadapi pemulangan

sebelum pemberian intervensi yang memungkinkan peneliti dapat menguji perubahan-

perubahan yang terjadi setelah adanya intervensi (discharge planning) (Notoatmodjo,

2005).

Populasi dan Sampel

Populasi

Dalam penelitian ini yang menjadi populasinya yaitu pasien yang akan menjalani

operasi herniorafi di ruang bedah soka RSUD Sumedang. Tercatat selama tahun 2011

terdapat 123 pasien yang menjalani operasi herniorafi, kemudian ditarik rata-rata nya per

bulan maka jumlah populasinya yaitu sebanyak 11 pasien.

Sample

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling,

yaitu menetapkan sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi. Adapun yang menjadi kriteria

inklusi sampel dalam penelitian ini antara lain : pasien pasca bedah herniorafi, telah

menjalani perawatan di ruang rawat inap lebih dari 2 hari, pria/wanita berusia 18-50 tahun,

memiliki kesadaran penuh sehingga tidak memiliki halangan untuk belajar, tidak memiliki

penyakit komplikasi, dan bersedia menjadi responden penelitian.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang didasarkan

pada tinjauan pustaka. Kuesioner terdiri dari 2 bagian, yaitu data demografi dan data

Page 13: Discharge Planning Herni

tingkat kesiapan pasien pasca bedah herniorafi menghadapi pemulangan.

Kuesioner

Data Demografi

Terdiri dari jenis kelamin, usia, hari post ke berapa post operasi, alasan

diagnosa penyakit, dan pengalaman hospitalisasi sebelumnya. Data demografi

ini bertujuan untuk mengetahui karakterstik pasien dan mendeskripsikan

distribusi frekuensi dan presentasi demografi pasien.

Data Kesiapan Pasien Dalam Menghadapi Pemulangan pre dan post

Dishchage Planning