disampaikan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan ... · • pasal 27 ayat (2) uud 45...
TRANSCRIPT
Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan Sekolah Staf Pimpinan Bank Indonesia (SESPIBI)
Angkatan XXXI
BRANCHLESS BANKING SETELAH MULTILICENSE:
ANCAMAN ATAU KESEMPATAN BAGI PERBANKAN NASIONAL
PUNGKY PURNOMO WIBOWO NIP. 11853
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulilah ke hadirat Allah SWT dan atas berkat
dan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan
jadwal yang ditentukan. Makalah ini Penulis susun dan persembahkan sebagai salah
satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan kepemimpinan di Bank Indonesia pada
SESPIBI Angkatan XXXI Tahun 2013. Dalam keterbatasan waktu yang tersedia dalam
program SESPIBI XXXI, Penulis berusaha untuk menghasilkan makalah yang dapat
memberikan kontribusi serta sumbangan pemikiran yang signifikan untuk Bank
Indonesia.
Dalam kesempatan ini, Penulis menyampaikan ungkapan terima kasih kepada
Dewan Gubernur Bank Indonesia dan Pimpinan Satuan Kerja yang telah memberikan
kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti SESPIBI XXXI ini. Ucapan terima kasih juga
Penulis haturkan kepada Direktur Program SESPIBI XXXI, Pimpinan dan seluruh Staf
Departemen Sumber Daya Manusia, Ibu Eni V. Panggabean selaku pembimbing,
kawan-kawan yang sangat inspiratif di program SESPIBI XXXI, khususnya Sdri. Yunita
Resmi Sari, Sdri. Elisabeth Sukawati, Sdr. Yudi Permana, kawan-kawan di Tim Financial
Inclusion yang telah membantu penyediaan data dan referensi guna penyusunan
makalah ini, dan para pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, yang telah
berkontribusi sehingga makalah ini dapat kami selesaikan.
Akhir kata, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan
saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak.
Jakarta, 27 Juni 2013
ii
ABSTRAK
Peran dan fungsi bank dalam perekonomian yang sangat strategis, membuat posisi perbankan sangat penting untuk mendorong kegiatan ekonomi. Bank dapat mempengaruhi dan menentukan semua aspek kegiatan ekonomi di suatu negara. Ketidakmampuan bank dalam memberikan layanan yang optimal akan menyebabkan kegiatan ekonomi terganggu dan bisa mengakibatkan semua sektor ekonomi tidak bisa bekerja optimal. Melihat dari perspektif demand dan supply, terlihat fungsi Bank sebagai agent of development dapat dikatakan belum dilakukan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan adanya kebijakan insentif yang dapat mengoptimalkan fungsi bank sebagai sebagai agent development. Diakhir tahun 2012 Bank Indonesia mengeluarkan Pengaturan multilicense dan pembukaan jaringan kantor diarahkan untuk mendorong Bank agar meningkatkan efisiensi kegiatan operasionalnya dan daya saing dengan ditunjang oleh permodalan yang kuat. Masih dalam upaya mengoptimalkan fungsi bank sebagai agent development, diawal 2013, Bank Indonesia meluncurkan program branchless banking dalam kerangka besar sebagai salah satu kegiatan financial inclusion. Dengan dukungan inovasi delivery channel Branchless Banking, pangsa pasar untuk unbanked people akan menjadi target bisnis yang menarik bagi perbankan di Indonesia. Disamping itu, dukungan kondisi geografis dan kondisi masyarakat Indonesia, branchless banking diharapkan akan dapat mendukung perluasan akses layanan jasa keuangan bagi masyarakat. Dari sini dapat terlihat adanya sinergi dari kedua kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Kedua kebijakan tersebut memiliki tujuan yang saling mendukung dalam rangka menjembatani permasalahan disparitas layanan keuangan perbankan dimana multilicense dan pengaturan pembukaan kantor cabang akan memberikan insentif bagi bank untuk membuka layanan di daerah yang masih minim layanan perbankan dan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Kedua kebijakan ini juga akan mampu bersinergi untuk mendorong efisiensi operasional bank memperluas jangkauan akses layanan perbankan bagi masyarakat dan meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM. Berdasarkan analisa kuantitatif dan kualitatif yang telah dilakukan, terdapat beberapa kesimpulan dan saran kepada Bank Indonesia sebagai otoritas yang mengawasi dan mengatur perbankan nasional saat ini dan OJK pada waktunya. Selanjutnya disampaikan juga strategi yang dapat ditempuh oleh perbankan nasional, OJK dan BI untuk menjaga agar tujuan dan pelaksanaan kegiatan branchless banking dapat terlaksana secara benar, tepat dan terukur. Keyword: Branchless Banking
iii
EXECUTIVE SUMMARY
Bank sebagai lembaga intermediasi sangat berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi
utamanya bank yang sehat dan efisien. Perbankan yang efisien akan mendukung pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, masih banyak
penduduk Indonesia belum berbank baik menabung ataupun mendapat fasilitas pembiayaan.
Berdasarkan hasil survei Bank Dunia, kurang dari 50% penduduk Indonesia memiliki rekening
bank pada institusi keuangan formal (bank) dan hanya 17% dari penduduk yang mempunyai
akses kredit. Lebih jauh, hasil survei rumah tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun
2010 menunjukkan bahwa 62% rumah tangga tidak memiliki tabungan sama sekali. Jumlah
kepemilikan rekening masyarakat Indonesia dinilai masih rendah bahkan se-ASEAN.
Disisi lain, sektor UMKM yang merupakan sektor yang terbukti tangguh dalam menghadapi
krisis ekonomi kurang mendapat perhatian karena berbagai kendala. Sektor ini diperkirakan
memberikan kontribusi sebesar 57,1% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dengan
pangsa mencapai 99 persen dari total unit usaha di Indonesia serta menyerap 97.2% dari total
tenaga kerja. Ironisnya, pangsa kredit UMKM hanya 20% dari total kredit perbankan. Padahal
tiga penelitian yang ada terkait UMKM mengungkapkan potensi pembiayaan perbankan untuk
UMK masih cukup tinggi. Dengan menggunakan asumsi bahwa PDB sampai dengan tahun
2018 tumbuh 6,5%, dan potensi usaha Mikro dan Kecil di tahun 2018 diperkirakan mencapai
Rp1.588,42 triliun.
Fakta dimaksud mengakibatkan rasio outstanding kredit perbankan (27,49% terhadap GDP),
Kredit UMKM (0,67% terhadap GDP) maupun outstanding dana pihak ketiga (36,41%
terhadap GDP) terendah dikawasan. Masyarakat Indonesia ternyata lebih banyak
memanfaatkan layanan keuangan dari sektor informal atau tidak menabung sama sekali.Fakta
ini menjadi kendala untuk percepatan pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan
maupun mendukung sustainability pertumbuhan ekonomi.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab terbatasnya layanan perbankan ke masyarakat
diseluruh pelosok adalah terbatasnya infrastruktur karena kondisi alam Indonesia yang
berkepulauan. Perhitungan skala ekonomis operasional bank di suatu daerah tersebut menjadi
faktor penting seperti tergambar kecilnya indikator jumlah layanan perbankan seperti kantor
cabang dan ATM untuk setiap 1000 km2 luasan wilayah.
Lebih jauh, masyarakat sendiri masih merasakan hambatan dalam memperoleh layanan jasa
keuangan formal dari perbankan. Selain keterbatasan infrastruktur lembaga keuangan
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 iv
dimaksud, juga disebabkan rendahnya penghasilan sehingga pendapatan yang diterima
penduduk desa lebih banyak digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan hasil survei Bank Dunia
79% masyarakat yang tidak memiliki tabungan karena tidak memiliki uang. Namun demikian,
masyarakat berpendapatan rendah adalah active money managers yang sangat membutuhkan
akses keuangan terhadap lembaga keuangan khususnya perbankan. Selain itu, rendahnya
pemahaman masyarakat tentang keuangan (financial literacy) dan belum tersedianya produk
yang sesuai untuk kelompok masyarakat kecil menambah rumit persoalan.
Untuk itu, perlu terobosan dan inovasi agar seluruh masyarakat dapat menikmati jasa layanan
dari perbankan. Hal ini juga terjadi diberbagai belahan dunia terutama di emerging economies
melalui dengan apa yang dinamakan dengan kebijakan keuangan inklusif. Salah satunya
melalui penerapan branchless banking. Keuangan Inklusif adalah sebuah kondisi dimana
masyarakat memiliki akses yang berkesinambungan terhadap jasa keuangan yang dibutuhkan
atau sebuah proses untuk menyediakan jasa keuangan kepada masyarakat luas dan rumah
tangga berpenghasilan rendah pada harga yang dapat dijangkau.
Untuk menajwab persoalan dimaksud dan atas dasar fakta dan trend yang terjadi, Bank
Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan dengan tujuan meningkatakan jangkauan akses
namun tanpa menimbulkan dampak negative yang berlebihan baik bagi perbankan sendiri,
masyarakat maupun perekonomin. Kebijakan dimaksud ditekankan kepada penguatan
ketahanan, daya saing, sekaligus penguatan fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan untuk
penguatan ketahanan dan daya saing perbankan dilakukan melalui penerapan aturan ijin
berlapis (multilisence). Sedangkan kebijakan dalam rangka perluasan akses keuangan
masyarakat melalui kebijakan branchless banking. Kedua kebijakan ini juga didukung dengan
penguatan fungsi intermediasi perbankan dilakukan melalui mewajibkan bank untuk
menyalurkan 20 persen dari total kredit untuk sektor UMKM secara gradual.
Namun demikian, kebijakan dimaksud tidak serta merta dapat mencapai tujuan yang
diharapkan, banyak kendala yang dihadapi seperti disebutkan diatas. Harapan agar kebijakan
ini diharapkan dapat menjangkau unbanked people dan masyarakat remote area untuk
menerima layanan perbankan, serta meningkatkan peranan bank dalam penyaluran kredit bagi
UMKM bukanlah pekerjaan mudah. Namun hal ini patut dilakukan mengingat berbagai
landasan teori mendukung kearah tersebut diantaranya :
• Tujuan negara yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 v
• Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia dimana implementasi branchless banking diharapkan
dapat membantu pemerataan pendapatan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, yang
merupakan pengamalan moral politik kenegaraan sila pertama, dimana meningkatkan
kesejahteraan umum adalah merupakan tanggung jawab yang suci, dalam membangun
dunia baru yang lebih baik berdasarkan keadilan sosial (sila kedua) serta dalam kerangka
memperjuangkan kepentingan nasional (sila ketiga), dengan demikian kedaulatan rakyat
(dalam bidang ekonomi) akan semakin tinggi. Karena itu negara wajib mendengarkan suara
rakyat (sila keempat) dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat dan mengikut
sertakan seluruh rakyat dalam (sila kelima) kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya serta
secara khusus memperhatikan warga bangsa yang lemah kedudukannya agar tidak terjadi
ketidakadilan serta kesewenang-wenangan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang
lemah.
• Pasal 27 ayat (2) UUD 45 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
• Pasal 28 ayat (2) UUD 45 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan dan keadilan.
• Ketahanan Nasional, dimana kemiskinan yang disebabkan salah satunya karena rendahnya
akses pada lembaga keuangan. Implementasi BB merupakan salah satu strategi
pengentasan kemiskinan, secara tidak langsung akan meningkatkan ketangguhan
masyarakat, otomatis akan meningkatkan ketahanan ekonomi, yang pada gilirannya akan
meningkatkan Ketahanan Nasional.
• Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) 2005-2025 dimana untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing,
dibutuhkan perekonomian domestik yang kuat yang berorientasi dan berdaya saing global,
dimana salah satunya adalah melalui pengembangan sektor keuangan. Pengembangan
sektor keuangan dilakukan melalui peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank
dan non-bank dalam pendanaan pembangunan terutama peningkatan akses pendanaan
bagi “orang yang kurang beruntung” dimanapun berada.
• Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa
untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional, pelaksanaan
pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya perekonomian nasional yang
berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, andal, berkeadilan, dan mampu
bersaing di kancah perekonomian internasional.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 vi
• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank sebagai badan
usaha dalam kegiatannya adalah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
• Teori Pembangunan untuk Rakyat oleh Ginanjar Kartasasmita menyebutkan bahwa
pembangunan dan kebijakan yang berorientasi serta berpihak pada kepentingan rakyat
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam bukunya Pembangunan
untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan (1996). Pertumbuhan hanya
akan berkesinambungan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat
sendiri, baik berupa produktifitas rakyat maupun dana yang dihimpun melalui tabungan
rakyat. Makin tumbuh dan bekembang pembangunan yang berdasar pada daya rakyat
sendiri, maka makin kukuh pula kemandirian suatu bangsa. Kemandirian yang dibangun
adalah dengan rasa percaya diri dan dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain,
bukan dalam keterisolasian yang menyebabkan kemandegan (Kartawan, 2011).
• Teori Pengembangan UMKM oleh Selanjutnya hasil penelitian Syamsul Hadi dan kawan-
kawan dari CIReS dalam bukunya Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF menyebutkan
bahwa pembangunan Indonesia akan lebih kuat dan mandiri jika dalam prosesnya selalu
mengembangkan program pembangunan usaha kecil dan menengah yang komprehensif
(Syamsul Hadi dkk, 2004).
• Survei Bank Dunia di seluruh dunia menunjukkan bahwa sektor keuangan memiliki peran
penting dan signifikan dalam pengentasan kemiskinan, mengurangi perbedaan
pendapatan, dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian.
Karya tulis ini akan mencoba mengukur dan menganalisa efektivitas kebijakan yang dikeluarkan
yaitu pengaturan multi-license dan pembukaan jaringan kantor serta implementasi BB dalam
memperkuat struktur perbankan Indonesia dan pengaruhnya terhadap akses keuangan
masyarakat luas. Terdapat empat pokok permasalahan terkait kebijakan multi-license dan
branchless banking dimaksud dengan penekanan sebagai berikut:
1. Tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB dalam meningkatkan
akses keuangan masyarakat.
2. Tingkat potensi pembiayaan khususnya untuk UMKM yang besar akan semakin besar.
3. Tingkat efisiensi yang mungkin timbul.
4. Tingkat kebehasilan kebijakan Branchless Banking dalam meningkatkan akses keuangan,
dengan penekanan pada probabilitas peningkatan kepemilikan rekening tabungan serta
Estimasi Penambahan Rekening Tabungan.
Berbagai metode yang ada akan dimanfaatkan untuk menjawab rumusan permasalahan diatas,
baik dengan metode kuantitatif maupun kualitatif seperti Metode Data Envelope Analysis (DEA)
dan Matrix BCG untuk menjawab rumusan permasalahan pertama; dan Concentration Ratio
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 vii
(CR) serta Herfindahl-Hirschman Index (HHI) untuk permasalahan yang ketiga. Prediksi
peningkatan pengunaan jasa perbankan akan digunakan pendekatan regresi linear maupun
logistik untuk menjawab permasalahan keempat. Sementara itu analia kuatitatif melalui
konfirmasi dengan hasil penelitian yang ada dilakukan untuk menajwab permasalahan kedua.
Kajian ini juga diperkuat dengan anlisa SWOT dari penerapan branchless banking dan
multilicense sekaligus strategi untuk mengantisipasi ataupun memperkuatnya. Adapun analisa
SWOT terkait kedua kebijakan dimaksud antara lain sebagai berikut :
• Strength : seperti perbankan local lebih mengenal nilai-nilai kedaerahan, kemampuan
mengembangkan produk yang sesuai dengan karakteristik masyarakat, kemampuan untuk
bekerjasama dengan unit ekonomi lokal
• Weaknesses : seperti tingkat efisiensi usaha yang masih rendah, tingginya suku bunga
pinjaman khususnya kredit UMKM, masih kalahnya profesionalitas SDM, kurangnya inovasi
produk dan jasa, pelayanan yang rigid dan formalitas dan kemampuan pengelolaan risiko
dibidang mass market masih terbatas.
• Opportunity : seperti masih luasnya pangsa pasar, menurunkan risiko likuiditas dengan
mperoleh sumber dana retail baru, menurunkan risiko kredit dan melalui diversigikasi risiko
dengan peningkatan kredit UMKM khususnya kredit mikro dan efisiensi.
• Threat : seperti meningkatnya persiangan dengan ASEAN banking integration,
meningkatnya risiko operasional serta risiko reputasi.
Adanya kebijakan branchless banking dan multilicense tentunya perlu diliat efektivitasnya
melalui beberapa indicator, diantaranya a) Bertambahnya jumlah layanan bank. b) Tersedianya
produk bank yang sesuai, c) Bertambahnya jumlah pemilik rekening d) Tercapainya pemerataan
pendapatan masyarakat yang tercermin dari menurunnya Gini Ratio; e) jika keempat indikator
sebelumnya dapat terpenuhi, maka diharapkan tingkat kemisikinan akan turun.
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan multilicense dan pembukaan
jaringan kantor dapat menjawab permasalahan disparitas layanan keuangan perbankan dan
kebijakan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people dan
masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Lebih jauh, kebijakan
multilicense dan branchless banking akan mampu bersinergi untuk mendorong efisiensi
operasional serta dapat meningkatkan penyaluran kredit bagi UMKM sekalgisu memudahkan
bank memnuhi kewajiban untuk menyalurkan kredit UMKM sebesar 20%.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii ABSTRAK ...................................................................................................... iii EXECUTIVE SUMMARY ................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xv BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ..................................................................................... 3
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 4
1.4 Metode Analisis ........................................................................................ 4
1.5 Alur Pikir ................................................................................................... 7
1.6 Pola Pikir ................................................................................................... 8
BAB 2. LANDASAN PEMIKIRAN DAN OPERASIONAL .......................................... 10
2.1 Landasan Pemikiran .................................................................................. 10
2.2 Paradigma Nasional .................................................................................. 11
2.2.1 Pancasila sebagai Landasan Ideal ..................................................... 11
2.2.2 UUD NRI Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional .................... 11
2.2.3 Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konseptual .......................... 12
2.3 Peraturan Perundang-undangan sebagai Landasan Operasional ................. 12
2.3.1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 ..................... 12
2.3.2 Undang-undang nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia ..... 13
2.3.3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ……………….13
2.4 Landasan Operasional Perbankan .............................................................. 14
2.4.1 Jenis Bank ....................................................................................... 14
2.4.2 Produk dan Kegiatan Usaha Bank .................................................... 14
2.5 Landasan Teori .......................................................................................... 15
2.5.1 Teori Akses Lembaga Keuangan ...................................................... 16
2.5.2 Teori Pembangunan untuk Rakyat ................................................... 16
2.5.3 Teori Pengembangan UMKM .......................................................... 18
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 ix
2.6 Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 18
2.6.1 Sarwono Sudarto, 2004: Optimalisasi Peran Perbankan Guna
Mendorong Pertumbuhan UMKM dan Koperasi dalam rangka
Meningkatkan Ketahanan Nasional .......................................................... 16
2.7 Perkembangan Lingkungan Strategis ......................................................... 16
2.8 Implikasi Financial Inclusion ....................................................................... 17
2.8.1 Terhadap Percepatan Perekonomian Masyarakat ............................. 17
2.8.2 Terhadap Ketahanan Nasional ......................................................... 17
2.9 Pokok-Pokok Persoalan dalam Financial Inclusion ...................................... 18
2.10 Kondisi Financial Inclusion yang Diharapkan ............................................ 18
2.11 Indikasi Keberhasilan ............................................................................... 19
BAB 3. KEBIJAKAN MULTILICENSE DAN PERLUASAN JARINGAN
KANTOR BANK .............................................................................................. 20
3.1 Banyak Masyarakat yang Belum Terlayani .................................................. 22
3.2 Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat terhadap Jasa Keuangan .... 23
3.2.1 Tingkat Pendapatan Masyarakat ...................................................... 23
3.2.2 Keterbatasan Ketersediaan Jasa Perbankan ...................................... 23
3.3 Latar Belakang Kebijakan Multilicense ....................................................... 24
3.3.1 Inefisiensi Perbankan nasional ......................................................... 24
3.3.2 Fokus Khusus pada Usaha Kecil, Mikro dan Menengah .................... 25
3.4 Kebijakan Perizinan Berjenjang (Multilicense) ............................................. 26
3.4.1 Modal Inti ....................................................................................... 27
3.5 Latar Belakang Kebijakan Branchless Banking ............................................ 29
3.5.1 Alternatif Model Branchless Banking .............................................. 31
BAB 4. ANALISA KEBIJAKAN BRANCHLESS BANKING SETELAH PENERAPAN
KEBIJAKAN MULTILICENSE UNTUK MEMPERLUAS BASIS NASABAH BANK .......... 37
4.1 Studi Empiris Kebijakan Multilicense, perluasan jariangan Kantor, dan BB di
Indonesia ........................................................................................................ 38
4.1.1 Studi Empiris Multilicense Terkait Modal inti, Perluasan Jaringan
Kantor, dan Tingkat Kejenuhan Bank........................................................ 38
4.1.2 Studi Empiris Pemetaan, Potensi, serta Forecasting Pembiayaan UMKM
(BCG Matrix) ............................................................................................ 46
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 x
4.1.3 Studi Empiris Analisis Efisiensi Perbankan Indonesia Berkaitan Dengan
Tingkat Efisiensi Yang Timbul dari Sinergi Pengaturan Multilicense,
Pembukaan Jaringan Kantor dan Implementasi Branchless Banking ........... 58
4.1.4 Analisis Penerapan Branchless Banking Dalam Meningkatkan Jumlah
Rekening .................................................................................................. 62
BAB 5. ANALISA SWOT PENERAPAN BRANCHLESS BANKING SETELAH KEBIJAKAN
MULTILICENSE DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERBANKAN NASIONAL ............. 65
5.1 Kapasitas Bank di Indonesia dibandingkan Bank di Negara ASEAN ............. 65
5.1.1 Perbandingan Asset dan Modal Inti Perbankan Nasional dengan
Regional ................................................................................................... 65
5.1.2 Modal Inti ....................................................................................... 66
5.1.3 Capital Adequacy Ratio (CAR) ......................................................... 67
5.2 Tingkat Efisiensi Bank di Indonesia ............................................................ 69
5.2.1 BOPO Bank ..................................................................................... 69
5.2.2 Net Interest Margin ......................................................................... 70
5.2.3 Loan to Deposit Ratio ...................................................................... 72
5.3. Analisis SWOT Perbankan Nasional dalam Melaksanakan Kebijakan
Branchless Banking setelah Penerapan Multilicense Policy ......................... 73
5.3.1 Penguatan Strategi SWOT dan Konsepsi Kebijakan .......................... 74
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 76
6.1 KESIMPULAN ............................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 80
LAMPIRAN .................................................................................................... 85
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Jumlah Bank Perkapita Maret 2012 ........................................................ 1
Gambar 1.2 Tingkat Kepadatan Bank di Beberapa Pulau Besar di Indonesia 2011 ....... 2
Gambar 1.3 Indeks Stabilitas Sistem Keuangan .......................................................... 11
Gambar 2.1 Kerangka Kerja Kebijakan Keuangan Inklusif (Financial Inclusion) ............ 12
Gambar 3.1 Persebaran Jaringan Kantor Bank di Indonesia ........................................ 21
Gambar 3.2 Rasio Jumlah Kantor Bank dengan Jumlah Kecamatan ............................ 21
Gambar 3.3 Pergeseran Distribudi Pendapatan Masyarakat Indonesia ......................... 22
Gambar 3.4 Presentase Jumlah Bank Komersial dan BPR di Pedesaan ......................... 24
Gambar 3.5 Akses Kepada Jasa Tabungan ................................................................. 24
Gambar 3.6 Kontribusi UMKM Dalam Perekonomian Indonesia ................................. 25
Gambar 3.7 Jumlah Bank Menurut Modal Inti ............................................................ 27
Gambar 3.8 Analisis GAP Kebijakan Multilicense di Indonesia ..................................... 28
Gambar 3.9 Ruang Lingkup Kegiatan Usaha Bank Berdasarkan BUKU ........................ 29
Gambar 3.10 Tingkat Akses Keuangan di Berbagai Negara Asia ................................. 30
Gambar 3.11 Model Branchless Banking .................................................................... 31
Gambar 3.12 Alur Bank-based Model ........................................................................ 35
Gambar 3.13 Alur Non-bank Based............................................................................ 35
Gambar 3.14 Alur Hybrid Model ................................................................................ 36
Gambar 4.1 Kerangka Kerja Analisis DEA Perbankan Indonesia .................................. 39
Gambar 4.2 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia ................................. 43
Gambar 4.3 BCG Matriks Tingkat Kepadatan Bank di Indonesia ................................. 44
Gambar 4.4 Sepuluh Provinsi dengan Share Dana Pihak Ketiga dan Kredit Terbesar di
Indonesia ................................................................................................................... 46
Gambar 4.5 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia dan Kebijakan
Branchless Banking .................................................................................................... 46
Gambar 4.6 Pemetaan Kondisi Pembiayaan UMKM di Indonesia ................................ 48
Gambar 4.7 Pemetaan Kondisi UMK di Indonesia ....................................................... 52
Gambar 4.8 Forecast Total kredit dan Kredit UMKM di Indonesia ............................... 53
Gambar 4.9 Analisis Perkembangan Kredit UMKM di Indonesia ................................. 54
Gambar 5.1 Perbandingan Asset 5 Bank Terbesar di Beberapa Negara ASEAN ............ 66
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 xiii
Gambar 5.2 Modal Inti Bank Besar di ASEAN ............................................................. 66
Gambar 5.3 CAR Perbankan di Beberapa Negara ASIA Triwulan IV-2011.................... 68
Gambar 5.4 Perkembangan CAR, ATMR, dan Modal Industri Perbankan Nasional ...... 68
Gambar 5.5 Perkembangan ROA dan NIM Industri Perbankan Nasional ...................... 69
Gambar 5.6 BOPO Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011 .................. 69
Gambar 5.7 Perkembangan BOPO Industri Perbankan Nasional .................................. 70
Gambar 5.8 NIM Perbankan di Beberapa Negara ASIA Triwulan IV-2011 .................... 70
Gambar 5.9 LDR Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011 ..................... 72
Gambar 5.10 Rata-Rata Suku Bunga Kredit dan DPK Rupiah ...................................... 73
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Perbandingan Tingkat Penggunaan Layanan Keuangan Indonesia dengan
Negara Lain Tahun 2010 ............................................................................. 20
Tabel 3.2 Perbandingan Tingkat Akses Terhadap Perbankan Tahun 2010 ................... 21
Tabel 3.3 Bank Based Model ...................................................................................... 33
Tabel 3.4 Non-Bank Based Model .............................................................................. 34
Tabel 4.1 Status persaingan Usaha Tingkat Provinsi .................................................... 45
Tabel 4.2 Estimasi Kreditel Ritel dengan Alternatif 1 ................................................... 49
Tabel 4.3 Estimasi Kreditel Ritel dengan Alternatif 2 ................................................... 50
Tabel 4.4 Rangkuman Estimasi Potensi Pembiayaan UMK ........................................... 51
Tabel 4.5 Hasil Estimasi Markov Switching untuk Fungsi Kredit ................................... 56
Tabel 4.6 Matriks Transisi dan Matriks Durasi ............................................................. 57
Tabel 4.7 Perkembangan Efisiensi Perbankan dan Cooperation Ratio .......................... 59
Tabel 4.8 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia-Kredit ............................. 61
Tabel 4.9 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia-Kredit ............................. 61
Tabel 4.10 Hasil Perhitungan model regresi Logistik ................................................... 62
Tabel 4.11 Hasil Analisis Model Regresi Linier ............................................................. 63
Tabel 4.12 Estimasi Pertambahan Rekening Berdasarkan Zona Provinsi ....................... 64
Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fungsi utama bank adalah sebagai lembaga intermediasi, antara pihak yang kelebihan dana
(supply unit) dengan pihak yang membutuhkan dana (demand unit). Dana yang diterima
bank dapat disalurkan pada kegiatan-kegiatan produktif, menyerap tenaga kerja,
meningkatkan output dan pada akhirnya menggerakkan siklus perekonomian. Oleh karena
itu, pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat memerlukan dukungan industri perbankan1
yang sehat dan efisien.
Dalam proses intermediasi, bank memiliki kemampuan untuk menjembatani kepentingan
yang berbeda antara deposan dan peminjam dalam hal preferensi likuiditas atau waktu dari
uang. Pada level ekonomi makro bank merupakan sarana transmisi dari kebijakan moneter;
sedangkan pada level mikro ekonomi, bank merupakan sumber utama pembiayaan bagi para
pengusaha maupun individu (Konch, 2000).
Keberadaan masyarakat merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan oleh
perbankan, oleh karena itu, jumlah kantor bank di suatu wilayah harus memperhatikan
tingkat populasi dan kepadatan penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk di suatu
wilayah, maka semakin tinggi kebutuhan mereka terhadap jasa perbankan. Gambar 1.1
menunjukkan jumlah kantor bank dan jumlah bank perkapita di setiap provinsi di Indonesia.
Gambar 1.1 Jumlah Bank Perkapita Maret 2012
Sumber: Statistik Perbankan, Bank Indonesia, diolah.
DKI Jakarta merupakan provinsi dengan rasio jumlah bank perkapita tertinggi. Hal ini
disebabkan karena provinsi tersebut merupakan ibukota negara dengan tingkat aktivitas
1 Sampai dengan saat ini sistem keuangan masih didominasi oleh perbankan dengan pangsanya dilihat dari sisi asset mencapai 75,8 persen. Sementara itu, kontribusi lembaga keuangan lainnya seperti asuransi hanya mencapai 10,1 persen, perusahaan pembiayaan sebesar 6,1 persen, dan lembaga keuangan lainnya memiliki pangsa asset kurang dari 5 persen. Dari gambaran tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa sebagian besar masyarakat kita yang “melek” lembaga keuangan lebih memilih perbankan, padahal di sisi lain apabila masyarakat membutuhkan pembiayaan atau ingin mencari outlet penempatan dananya, pasar modal atau asuransi dapat dijadikan sebagai pilihan.
1
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
ekonomi yang tinggi. Sementara itu, Bali dan DI Yogyakarta memiliki rasio jumlah bank
perkapita tertinggi kedua dan ketiga setelah DKI Jakarta. Hal ini disebabkan karena kedua
Provinsi tersebut memiliki volume transaksi dan perputaran uang yang cukup tinggi mengingat
banyaknya wisatawan asing maupun lokal yang berkunjung. Di sisi lain, banyak Provinsi-
Provinsi yang memiliki jumlah penduduk yang banyak namun hanya dilayani dengan sedikit
kantor bank, seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Meskipun industri
perbankan memiliki perkembangan yang signifikan di Indonesia, akan tetapi, tingkat
persebaran bank di Indonesia tidak merata. Gambar 1.2 di bawah ini menunjukkan tingkat
kepadatan bank (bank density) di pulau-pulau besar di Indonesia.
Gambar 1.2 Tingkat Kepadatan Bank di Beberapa Pulau Besar di Indonesia 2011
Sumber: SEKDA-Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik, 2011, diolah.
Kepadatan bank dapat dilihat dari sisi spasial yaitu jumlah bank per kilometer persegi maupun
dari sisi ukuran pasar, yaitu jumlah bank per seribu penduduk. Gambar di atas menunjukkan
bahwa Jawa adalah pulau dengan jumlah kantor bank per kilometer persegi tertinggi. Setiap
dua kilometer persegi wilayah di Jawa dilayani oleh satu kantor bank. Sedangkan, di Maluku,
setiap 253 kilometer persegi wilayah hanya dilayani oleh satu kantor bank. Dari sisi ukuran
pasar, Sumatera merupakan pulau dengan jumlah kantor bank per seribu penduduk tertinggi.
Setiap seribu penduduk mampu dilayani oleh satu kantor bank. Sedangkan di Papua, setiap
17.000 penduduk hanya mampu dilayani oleh satu bank.
Untuk dapat berperan optimal dalam perekonomian, bank perlu untuk bekerja secara efisien.
Perbankan yang efisien berkaitan erat dengan sistem keuangan yang efisien. Sektor keuangan
yang efisien akan mendorong efektivitas alokasi sumber daya keuangan dan mengurangi
misalokasi sumber daya produktif. Selain itu, perbankan yang efisien akan mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat.
Data terakhir yang menunjukkan bahwa perbankan Indonesia masih belum efisien. Salah satu
indikator inefisiensi adalah nilai net interest margin. Secara khusus, 14 bank Tier 3 dan Tier 4
dapat memenuhi himbauan BI untuk menurunkan suku bunga dana pihak ketiga yang
2
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
mendekati BI rate. Namun, ketika BI Rate stabil di kisaran 6.5 s.d 6.75% dan suku bunga dana
pihak ketiga (DPK) stabil di kisaran suku bunga penjaminan LPS, suku bunga kredit secara
umum masih berada di atas 10%. Hal ini menujukkan sebuah anomali, dimana seharusnya
suku bunga kredit berada di bawah 10%. Kondisi tersebut menyebabkan net interest margin
perbankan Indonesia masih berada pada kisaran 6% atau tertinggi di kawasan ASEAN+52.
Sebagai upaya untuk merealisasikan hal tersebut, maka Bank Indonesia mengeluarkan
beberapa kebijakan dalam rangka penguatan ketahanan, daya saing perbankan, sekaligus
penguatan fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan untuk penguatan ketahanan dan daya
saing perbankan dilakukan melalui penerapan aturan ijin berlapis (multilisence). Sedangkan
dalam rangka penguatan fungsi intermediasi perbankan dilakukan melalui kebijakan yang
mewajibkan bank untuk menyalurkan 20% dari total kredit untuk sektor usaha mikro, kecil,
dan menengah; dan melalui perluasan akses keuangan masyarakat melalui kebijakan
branchless banking (selanjutnya disingkat BB).
1.2. Rumusan masalah
Terdapat empat pokok rumusan permasalahan yang coba dibahas terkait dengan
kebijakan branchless banking setelah multi license apakah merupakan ancaman dan
keuntungan bagi perbankan nasional. Keempat rumusan permasalahan di bawah ini
untuk menganalisis sinergi dari kedua kebijakan dimaksud dengan penekanan kepada:
5. Tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB3 oleh Bank
Indonesia (BI) dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat terhadap perbankan;
khususnya masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang UMKM (Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah).
6. Tingkat potensi pembiayaan khususnya untuk UMKM yang besar diprediksi akan
semakin mendorong perbankan untuk mengambil potensi tersebut, terutama dengan
adanya kebijakan multilicense dan BB tersebut. Tingkat sinergi dari kedua kebijakan
tersebut selanjutnya akan berdampak positif; tidak hanya terhadap industri perbankan
dan perekonomian nasional; Namun dalam penulisan penelitian ini, akan dilihat lebih
jauh apakah terjadi down-side effect atau ancaman yang mungkin timbul apabila
tidak terjadi sinergi di antara kedua kebijakan tersebut.
7. Tingkat efisiensi yang mungkin timbul, sebagai akibat adanya sinergi pengaturan
multilicense, pembukaan jaringan kantor dan implementasi BB, terhadap kondisi
perbankan dan perekonomian Indonesia. Pengukuran peluang ini dilakukan dengan
2 Asean+5 terdiri dari negara Indonesia, Philipine, Thailand, Malaysia, Singapur dan Brunei, Kamboja,Laos, Myanmar dan Vietnam. 3 Kebijakan multilicense dan branchless banking (BB) tersebut akan dibahas secara mendalam di Bab 3.
3
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
membandingkan down-side effect atau ancaman dan sinergi antara kebijakan
multilicense dan BB tersebut.
8. Tingkat kebehasilan kebijakan branchless banking dalam meningkatkan akses
keuangan terhadap perbankan, dengan penekanan pada probabilitas peningkatan
kepemilikan rekening tabungan serta Estimasi Penambahan Rekening Tabungan.
Dalam hal ini apabila tingkat keberhasilan BB tersebut menunjukan hasil yang kurang
memuaskan, maka kebijakan BB tersebut dapat dipandang sebagai ancaman (down-
side effect) bagi perbankan nasional.
1.3 Tujuan Penelitian
Karya tulis ini akan mengukur dan menganalisa kemampuan pengaturan multilicense dan
pembukaan jaringan kantor serta implementasi BB dalam memperkuat struktur
perbankan Indonesia dan pengaruhnya terhadap akses keuangan masyarakat luas sebagai
bagian dari program inklusi keuangan, dengan menjawab keempat rumusan
permasalahan di atas. Dengan memiliki analisa yang komprehensif dari seluruh
permasalahan dalam penelitian ini, karya tulis ini diharapkan mampu menjawab dampak
positif berupa keuntungan atau kesempatan maupun ancaman (down-side effect) yang
mungkin timbul dari kebijakan branchless banking dan multilicense terhadap perbankan
dan perekonomian nasional. Penulisan penelitian ini mencoba menjelaskan pula critical
point yang perlu menjadi perhatian dalam implementasi kedua kebijakan tersebut.
1.4 Metode Analisis
Keempat rumusan pokok permasalahan di Sub Bab 1.2 di atas dapat dianalisa dengan
menggunakan 4 analisa kuantitatif4. Dua analisa kuantitatif (DEA dan Matrix BCG) yang
pertama dilakukan untuk menjawab rumusan permasalahan pertama dan kedua; dan
analisa kuantitatif Concentration Ratio (CR) yang selanjutnya dianalisis lebih jauh dengan
menggunakan metode Herfindahl-Hirschman Index (HHI) untuk menjelaskan rumusan
permasalahan yang ketiga; sementara rumusan permasalahan keempat dilakukan dengan
metode regresi logistik dan lineaer . Alur anisa kuantitatif yang akan dibahas secara
mendalam di Bab 4 dalam penulisan penelitian ini, dapat dijelaskan secara singkat sebagai
berikut:
1. Menjawab rumusan permasalahan pertama (tingkat urgensi dari
dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB)
a. Analisa kuantitatif mengenai perlunya diatur produk dan kegiatan perbankan
secara lebih terinci berdasarkan kapasitas yang dimiliki oleh bank yang meliputi
kapasitas modal inti, skala ekonomi dan struktur organisasi perusahaan dijelaskan
4 Analisa secara menyeluruh dengan menggunkaan analisa kuantitatif dapat diiukuti secara lengkap di Bab 4. 4
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
dengan menggunakan Metode Data Envelope Analysis (DEA)5.DEA ini
menggambarkan pentingnya kebijakan multilicense (perijinan berjenjang),
khususnya dalama pembukaan jaringan kantor bank dalam mendorong
optimalnya pelayanan kantor bank kepada masyarakat Indonesia.
b. Sebagai kelanjutan dari hasil yang diperoleh dari Analisa DEA di point 1 tersebut,
dilakukan analisa kejenuhan bank (bank density6) di seluruh wilayah Indonesia
sebagai dasar untuk perlunya dilakukan kebijakan inovatif untuk perluasan
pelayanan perbankan (antara lain kebijakan BB). Tingkat kejenuhan tersebut
diukur menggunakan teknik Matrix BCG, yang dikembangkan oleh Boston
Consulting Group pada tahun 19707, berdasarkan economic of scale dan financial
service coverage8.
2. Membahas permasalahan kedua (Tingkat Pemetaan dan Potensi Pembiayaan
UMKM Khususnya UMK)
Dilakukan dengan Analisa BCG Matriks untuk tingkat kejenuhan layanan perbankan
di suatu daerah tertentu. Hal ini dikonfirmasi pula dengan tiga hasil penelitian dari
Bank Tabungan Pensiunan Nasional, Kementerian Koperasi dan UMKM serta Bank
Indonesia (penelitian berdasarkan household survey tahun 2010) dan forecasting
kebutuhan kredit UMKM.
3. Merespon Permasalahan Ketiga (Tingkat Efisiensi dari Sinergi Pengaturan
Multilicense and BB)
a. Dalam menjelaskan tingkat efisiensi yang mungkin timbul dari sinergi kebijakan
multilicense dan BB, dilakukan perhitungan ukuran penguasaan pangsa pasar
kredit dan dana pihak ketiga (DPK) yang dilakukan oleh kelompok bank, yang
dikategorikan “besar” berdasarkan peraturan multilicense, terhadap total kredit
dan DPK. Ukuran tersebut disebut dengan Concentration Ration (CR).
5 DEA merupakan studi empiris yang dapat digunakan untuk mengevaluasi produktivitas dan performa sebuah bank dengan menggunakan pendekatan non parametik. Grigorian dan Manole (2005) melakukan penelitian pada sektor keuangan di Bahrain sedangkan Wezel (2010) melakukan studi empiris di Amerika Tengah. 6 Bank density mengukur kepadatan bank di suatu wilayah berdasarkan jangkauan layanan dan proporsi jumlah penduduk yang dilayani. Tingkat kejenuhan tersebut dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan total jumlah kantor bank di suatu wilayah dengan luas wilayah untuk melihat kepadatan bank dari sisi spasial jangkauan pelayanan. Disamping itu, tingkat kejenuhan bank juga dapat dilihat dengan membandingkan jumlah kantor bank dengan jumlah penduduk untuk melihat kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanannya. 7 Matriks ini didasarkan pada teori siklus produk (life cycle theory). BCG Matrix merupakan matriks 2x2 dengan variabel pangsa pasar monopoli sebagai sumbu axis dan tingkat pertumbuhan pasar sebagai sumbu ordinat. Model analisis ini dapat digunakan juga untuk memetakan industri perbankan per provinsi di wilayah Indonesia yang memiliki banyak pelaku pasar dengan persaingan monopolistik. Pengembangan model analisis ini untuk industri perbankan dilakukan dengan penyesuaian variabel pada sumbu X dan sumbu Y. 8 McKinnon (1973) dan Levine (1977) menyatakan bahwa persaingan yang sangat ketat akibat penumpukan jumlah bank pada suatu wilayah dapat menimbulkan kejenuhan bank (bank saturation). Sehingga pendirian bank dalam suatu wilayah harus melihat aspek density ratio atau jumlah bank per jumlah penduduk (ritonga et al, 2004)
5
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
b. Concentration ratio yang diperoleh dianalisis lebih jauh dengan menggunakan
Herfindahl-Hirschman Index (HHI). Indeks ini merupakan indeks yang secara umum
diterima sebagai ukuran konsentrasi pasar. Nilai HHI diukur sebagai jumlah dari
kuadrat pangsa pasar perusahaan yang berkompetisi. Dalam hal ini, apabila
dianggap bahwa pada sektor perbankan, keempat kelompok BUKU9 (Bank Umum
Kegiatan Usaha) bank sebagai kelompok yang berkompetisi dalam sektor
perbankan di Indonesia, maka HHI sektor perbankan di Indonesia dapat dikukur.
Nilai HHI ini diharapkan dapat menjawab tngkat efisiensi yang dapat timbul,
sebagai akibat adanya sinergi pengaturan multilicense dan implementasi BB,
sebagaimana dirumuskan dalam perumusan masalah kedua di atas.
4. Menjelaskan tingkat keberhasilan Branchless Banking dalam meningkatkan
probabilitas kepemilikan rekening tabungan dan estimasi peningkatan jumlah
rekening tabungan tersebut, dengan melakukan analisa sebagai berikut:
a. Untuk menghitung probabilitas kepemilikan rekening tabungan akan
digunakan model regresi logistik dengan melibatkan enam variabel prediktor
sebagai indikator kepemilikan rekening.
b. Model regresi linear digunakan untuk melakukan estimasi peningkatan
rekening tabungan jika ada penambahan layanan jasa keuangan. Dasar
perhitungan dengan menggunakan model regresi linier dari setiap zona
kejenuhan bank.
9 Kebijakan Multilicense menggolongkan perbankan di Indonesia menjadi 4 (empat) sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha 1 s.d. 4. Penjelasan tentang hal ini dapat diikuti dengan lengkap di Bab 3.
6
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
1.5 Alur Pikir
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka dapat dibuat alur pikir seperti gambar diatas. Terdapat disparitas (perbedaan) layanan keuangan
perbankan di Indonesia, terutama layanan keuangan yang masih terpusat di Pulau Jawa. Permasalahan spasial ini mendorong Bank Indonesia untuk
dapat meningkatkan layanan perbankan terutama di daerah luar Jawa. Kebijakan multilicense dan BB merupakan kebijakan yang tepat untuk keluar
dari permasalah tersebut. hal ini disebabkan karena untuk membuka bank baru, terutama di luar Jawa, membutuhkan biaya yang besar. Dengan
adanya branchless banking dan multilicense diharapkan kinerja dan akses layanan perbankan meningkat, sehingga pada akhirnya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional.
DISPARITAS LAYANAN
KEUANGAN PERBANKAN
SECARA SPASIAL
PERBANKAN DI
INDONESIA
PELUANG
TANTANGAN
KEBIJAKAN MULTILICENSE,
BRANCHLESS BANKING
TINGKAT LAYANAN
PERBANKAN DI DAERAH
PERTUMBUHAN
EKONOMI
KEBIJAKAN MULTILICENSE
KEBIJAKAN PEMBUKAAN
KANTOR CABANG
PENINGKATAN KINERJA DAN
AKSES LAYANAN PERBANKAN
KESEJAHTERAAN
MASYAKARAT
7
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
1.6 Pola Pikir
Pengaruh Lingkungan atau Lingkungan strategis: • Global: Masyarakat Dunia • Regional: Masyarakat Ekonomi Asean • Nasional: Industri perbankan dan keuangan nasional
PELUANG : menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan, serta meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM tantangan dan kendala: (i) potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan disegmen UMKM yang menjadi pemicu antara
efisiensi pemain lain atau mematikan pemain lain (ii) penurunan resiko kredit UMKM (TAMBAL SULAM KREDIT) (iii) Jumlah penduduk yang tersebar di luar Jawa (iv) Ketidakstabilan kondisi lingkungan
PERLUASAN JARINGAN LAYANAN
PERBANKAN
KEBIJAKAN BANK INDONESIA : 1. MULTILICENSE 2. BRANCHLESS BANKING (BB)
Peningkatan (I) Performance (kinerja
perbankan): Profitabilitas, Efisiensi dan Stabilitas Sistem Keuangan.
(II) Memperluas akses layanan perbankan dan penyaluran kredit
Subyek Obyek Metoda
Seluruh bank di Indonesia yang meliputi supra struktur;. sub struktu dan infrastruktur.
Peraturan Perundangan; Perbankan: melalui perluasan jaringan layanan Masyarakat.: dengan meningkatnya
Legisasi dengan Perijinan berjenjang; branhless banking(BB) melalui bank & non bank-based model; Edukasi dan Sosialisasi
KESEJAHTERAAN MASYAKARAT
PERTUMBUHAN EKONOMI
8
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
Pola pikir kajian ini dapat dijelaskan melalui bagan pola pikir diatas. Perluasan
jaringan layanan perbankan dapat dilakukan melalui kebijakan multilicense (perijinan
berjenjang) dan BB. Kebijakan ini bertujuan untuk memperluas basis nasabah dan
memperluas jaringan unit layanan keuangan dengan melakukan beberapa metode.
Kebijakan ini juga didukung dengan lingkungan strategis yaitu lingkungan tingkat
regional (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan nasional.
Selanjutnya, peluang kebijakan ini diharapkan dapat menjangkau unbanked people
dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan, serta
meningkatkan peranan bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM. Adapun
tantangan untuk kedua kebijakan ini adalah terdapat potensi munculnya kepadatan
tingkat layanan perbankan di segmen UMKM. Secara umum dapat disebutkan,
bahwa dampak jangka pendek dari kedua kebijakan tersebut adalah peningkatan
performance, profitabilitas, efisiensi dan Stabilitas Sistem Keuangan yang saat ini
telah terjaga dengan baik (Gambar 1.3), yang pada nantinya dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Secara lebih
khusus Bagan 1.5 dan 1.6 tersebut akan dijelaskan secara lebih mendalam di bab-
bab selanjutnya dalam penulisan makalah ini.
Gambar 1.3 Indeks Stabilitas Sistem keuangan
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 9
BAB 2 LANDASAN PEMIKIRAN DAN OPERASIONAL
2.1 Landasan Pemikiran
Sesuai Pembukaan UUD 1945, Pemerintah Negara Republik Indonesia, tujuan negara
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Selanjutnya, agar tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan UUD 1945 dapat tercapai, diperlukan suatu strategi pembangunan nasional
yang tepat, terukur serta terarah.
Gambar 2.1 Kerangka Kerja Kebijakan Keuangan Inklusif (Financial Inclusion)
Sumber: Kantor Wakil Presiden RI, Strategi Nasional Keuangan Inklusif (Revisi), 2012
Namun demikian, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum tersentuh oleh jasa
layanan sektor keuangan formal. Salah satu upaya mengatasi hal ini, di beberapa
Negara, khususnya negara yang tergabung dalam G20, dengan melaksanakan program
financial inclusion (selanjutnya disingkat FI) atau kebijakan keuangan inklusif.
Pengurangan Kemiskinan
Stabilitas Sistem Keuangan
Pemerataan Pendapatan
Masyarakat yang berdaya beli dan produktif Sistem Keuangan yang m udah d iakses
Tujuan Utama
Untuk mencapai kesejahteraan ekonomi melalui pengurangan kemiskinan, pemerataan pendapatan & stabilitas sistem keuangan di Indonesia dgn menciptakan sistem keuangan yg dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat
Kelompok Sasaran
Kelompok Pekerja Migran dan Penduduk Daerah Terpencil Sangat Miskin Miskin Bekerja /
Produktif Hampir Miskinir Miskin Tidak Miskin
Lembaga Keuangan (Bank & Lembaga
Keuangan Non Bank) Saluran
Pemerintah
Keuangan Publik • Subsidi • Insentif Fiskal • Bantuan Sosial • BLT • Jamkesmas ,
dll
Produk / Jasa Keuangan • Tabungan • Kredit • Asuransi • Remitansi • Dana Pensiun • Reksa dana , dll
Ketahanan Intermediasi
Efisiensi
Fasilitas Intermediasi & Distribusi
Kebijakan / Peraturan Pendukung
Pemetaan Informasi Keuangan
Fasilitas Keuangan
Publik Strategi Perlindungan
Konsumen Edukasi
Keuangan
Pilar Keuangan Inklusif
• Mediasi Perbankan • Transparansi Produk • TabunganKu
• Branchless banking • Kredit “ Start - Up ” • Sertifikasi tanah
• Multilicensing • Kebijakan
B ranchless banking • Kebijakan kredit start - up
• Edukasi Pelajar , TKI, dan masyarakat
lain • Kampanye Bersama
• Financial Identity Number (FIN)
• Credit Rating Contoh Program
KERANGKA KEUANGAN INKLUSIF
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 10
Framework besar kegiatan FI Indonesia dapat digambarkan secara garis besar pada
Gambar 2.1.
Dalam Gambar 2.1 dapat diikuti bahwa salah satu program dalam keuangan inklusif (FI)
adalah kebijakan BB yaitu kegiatan layanan jasa perbankan dan sistem pembayaran
yang diselenggarakan oleh bank dan telco tanpa melalui kantor bank tapi
menggunakan teknologi dan pihak ketiga (agen) sehingga dapat meningkatkan akses
keuangan masyarakat dan kelompok miskin produktif) dan UMKM.
2.2 Paradigma Nasional
2.2.1 Pancasila sebagai Landasan Ideal
Pancasila sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
pandangan hidup bangsa Indonesia adalah suatu nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia, yang mencerminkan moral dan akhlak manusia Indonesia dan
diyakini kebenarannya serta kesaktiannya.
Dalam hal ini, implementasi branchless banking diharapkan dapat membantu
pemerataan pendapatan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, yang
merupakan pengamalan moral politik kenegaraan sila pertama, dimana
meningkatkan kesejahteraan umum adalah merupakan tanggung jawab yang
suci, dalam membangun dunia baru yang lebih baik berdasarkan kemanusian
yang adil dan beradab (sila kedua) serta dalam kerangka memperjuangkan
kepentingan nasional (sila ketiga), dengan demikian kedaulatan rakyat (dalam
bidang ekonomi) akan semakin tinggi. Karena itu negara wajib mendengarkan
suara rakyat (sila keempat) dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat
dan mengikut sertakan seluruh rakyat dalam (sila kelima) kehidupan ekonomi,
sosial, dan budaya serta secara khusus memperhatikan warga bangsa yang
lemah kedudukannya agar tidak terjadi ketidakadilan serta kesewenang-
wenangan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.
2.2.2 UUD NKRI Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan sumber dari segala sumber hukum positif di Indonesia. Sebagai
sebuah negara hukum, maka seluruh penyelenggaraan negara diatur menurut
hukum yang berlaku. Dalam sistem hukum, maka semua orang memiliki
kedudukan yang sama dan setara tanpa diskriminasi. Sehingga semua orang
menjadi terlindungi sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NKRI
1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 11
Optimalisasi BB merupakan perwujudan dari amanat tujuan nasional yang
tercantum dalam Pembukaan UUD NKRI 1945 tersebut yakni memajukan
kesejahteraan umum yang berdasarkan keadilan sosial. Selanjutnya pada Pasal
27 ayat (2) menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Amanat pasal 28 ayat (2)
menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan, salah satu caranya adalah dengan berbank.
Dengan demikian pelaksanaan branchless banking sesuai dengan dasar
konstitusional.
2.2.3 Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konseptual
Sudah jamak diketahui bahwa dalam mencapai tujuan nasional, bangsa
Indonesia menghadapi berbagai tantangan, ancaman, hambatan, dan
gangguan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar bangsa Indonesia.
Karena itu bangsa Indonesia membutuhkan Ketahanan Nasional yang tangguh,
salah satunya melalui pendekatan kesejahteraan. BB dapat sebagai sarana agar
setiap orang memperoleh haknya dalam mendapatkan layanan penuh dari
lembaga keuangan secara tepat waktu, aman, nyaman, dan terjangkau, tanpa
mengurangi harkat dan martabatnya. Dalam konteks Ketahanan Nasional, maka
ancaman kemiskinan yang juga disebabkan rendahnya akses pada lembaga
keuangan, dapat dikurangi melalui implementasi BB. Karena itu BB merupakan
salah satu strategi pengentasan kemiskinan, yang secara tidak langsung akan
meningkatkan ketangguhan masyarakat, dan selajutnya secara otomatis akan
meningkatkan ketahanan ekonomi, yang pada gilirannya akan meningkatkan
Ketahanan Nasional.
2.3 Peraturan Perundang-undangan sebagai Landasan Operasional
2.3.1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.
Dalam arah RPJPN 2005-2025 disebutkan bahwa untuk mewujudkan bangsa
yang berdaya saing, dibutuhkan perekonomian domestik yang kuat yang
berorientasi dan berdaya saing global, dimana salah satunya adalah melalui
pengembangan sektor keuangan. Pengembangan sektor keuangan dilakukan
melalui peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank dan non-bank
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 12
dalam pendanaan pembangunan terutama peningkatan akses pendanaan bagi
“orang yang kurang beruntung” dimanapun berada.
2.3.2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan
bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional
dan pelaksanaan pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya
perekonomian nasional yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata,
mandiri, andal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomian
internasional. Sehingga menjadi tugas bagi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
(saat ini juga otoritas pengawas dan pengaturan perbankan) untuk mendukung
semua upaya dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.
Sesuai UU BI, tugas utama Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 8, yaitu:
a) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b) Mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan c) Mengatur dan mengawasi Bank.
Sementara, terkait pengaturan dan pengawasan bank, diarahkan untuk
mengoptimalkan fungsi perbankan nasional sebagai: a) Lembaga kepercayaan
masyarakat dalam penghimpunan dan penyaluran dana; b) Pelaksana kebijakan
moneter; c) Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan
ekonomi serta pemerataan. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut pendekatan
yang dilakukan adalah dengan menerapkan: a) Kebijakan untuk memberikan
keleluasaan berusaha (deregulasi); b) Kebijakan prinsip kehati-hatian bank
(prudential banking); dan c) Pengawasan bank yang mendorong bank tetap
mengacu kepada prinsip kehati-hatian. Berdasarkan Pasal 16 ayat (2) dan Pasal
29 beserta penjelasannya, selanjutnya diatur kewenangan Bank Indonesia dalam
pengaturan dan pengawasan bank10.
2.3.3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Bank sebagai badan usaha dalam kegiatannya adalah dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam kegiatannya, perbankan
10 (1) Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank; (2) Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan; (3)Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision); (4) Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 13
dihimbau dan diwajibkan untuk ikut membantu proses peningkatan taraf hidup
rakyat melalui bisnis yang dilakukan. Perbankan dengan fungsi utamanya
sebagai penghimpun dana dan penyalur pinjaman kepada masyarakat, memiliki
peranan yang strategis untuk melakukan hal tersebut. Untuk mewujudkannya
secara lebih efisien, salah satunya melalui penerapan BB.
2.4 Landasan Operasional Perbankan
2.4.1 Jenis Bank
Secara umum, jenis Bank berdasarkan fungsinya menurut Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 yang telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 adalah:
No Jenis Keterangan
1 Bank Umum Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, artinya dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada.
2 Bank Perkreditan
Rakyat (selanjut-nya
disingkat BPR)
BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum selain itu cakupan wilayah BPR juga lebih sempit dibandingkan dengan cakupan wilayah bank umum.
2.4.2 Produk dan Kegiatan Usaha Bank
Berdasarkan UU, produk dan kegiatan usaha bank dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis, antara lain:
No Jenis Keterangan
1 Penghimpunan Dana Dilakukan dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito.
2 Penyaluran Dana Dilakukan dalam bentuk penyaluran dana pihak ketiga yang disimpan di bank melalui penyaluran kredit.
3 Trade Finance Berkaitan dengan perdagangan internasional atau ekspor impor.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 14
4 Treasury
Kegiatan inti dalam bank yang berfungsi dan bertanggung jawab untuk mengelola risiko likuiditas, risiko suku bunga, risiko nilai tukar, risiko kredit (dalam penempatan dana selain pada
kredit dan pembelian surat berharga / investasi),
risiko kepatuhan (compliance risk) yang terkait dengan treasury, dan risiko operasional yang terkait dengan fungsi treasury.
5 Keagenan dan Ker-ja
sama
Keagenan produk keuangan dalam bentuk instrumen investasi yang diterbitkan oleh penerbit asing di dalam dan luar negeri, antara lain agen reksadana, agen penjualan Surat Berharga Negara (selanjutnya disingkat SBN), bank kustodian, dan wali amanat.
6 Sistem Pembaya-ran
Antara lain penyelenggara kartu kredit, penerbitan kartu Auto Teller Machine (selanjutnya disingkat ATM), penerbitan kartu debet, kliring, inkaso, transfer, dan e-money.
7 E-banking
Jasa dan produk bank secara langsung kepada nasabah melalui elektronik dan saluran komunikasi interaktif. Beberapa media E-banking, antara lain internet banking, SMS atau m-banking, phone banking, dan ATM.
2.5 Landasan Teori
2.5.1 Teori Akses Lembaga Keuangan
Pengalaman Grameen Bank di Bangladesh sejak awal tahun 70-an, menjadi
dasar bagi Muhammad Yunus untuk menyatakan bahwa kemiskinan adalah
penyangkalan terhadap semua hak asasi manusia. Grameen Bank yang dikenal
sebagai bank untuk kaum miskin, hakikatnya adalah pelaksanaan FI yang luar
biasa, karena diberikan khusus kepada perempuan pada suatu negara dimana
perempuan dianggap sebagai warga negara kelas dua. Pengalaman itulah
kemudian memunculkan tulisan yang saat ini sangat dikenal di dunia keuangan
mikro, yaitu “akses terhadap lembaga keuangan adalah hak asasi manusia”
(Yunus, 2007). FI yang salah satu kegiatannya dilakukan melalui BB, yang
sebelumnya telah didahului dengan penerbitan kebijakan multilicense, pada
dasarnya sama dengan grameen bank yang memberikan akses seluas-luasnya
pada masyarakat untuk berbank.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 15
2.5.2 Teori Pembangunan untuk Rakyat
Ginanjar Kartasasmita menyebutkan bahwa pembangunan dan kebijakan yang
berorientasi serta berpihak pada kepentingan rakyat dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam bukunya Pembangunan untuk Rakyat,
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan (1996). Pertumbuhan hanya akan
berkesinambungan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari
rakyat sendiri, baik berupa produktifitas rakyat maupun dana yang dihimpun
melalui tabungan rakyat. Makin tumbuh dan bekembang pembangunan yang
berdasar pada daya rakyat sendiri, maka akan semakin kukuh pula kemandirian
suatu bangsa. Kemandirian yang dibangun adalah dengan rasa percaya diri dan
dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain, bukan dalam keterisolasian
yang menyebabkan kemandegan (Kartawan, 2011).
2.5.3 Teori Pengembangan UMKM
Selanjutnya hasil penelitian Syamsul Hadi dan kawan-kawan dari CIReS dalam
bukunya Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF menyebutkan bahwa
pembangunan Indonesia akan lebih kuat dan mandiri jika dalam prosesnya
selalu mengembangkan program pembangunan usaha kecil dan menengah
yang komprehensif (Syamsul Hadi dkk, 2004).
2.6 Tinjauan Pustaka
2.6.1 Sarwono Sudarto, 2004: Optimalisasi Peran Perbankan Guna
Mendorong Pertumbuhan UMKM dan Koperasi dalam rangka
Meningkatkan Ketahanan Nasional
Dalam tulisannya, Sarwono Sudarto (2004) menyebutkan bahwa kendala
pengembangan UMKM salah satunya adalah karena akses pembiayaan. Namun
dalam tulisan tersebut tidak menyebutkan solusi bagaimana membuka akses
dimaksud dalam rangka mengembangkan UMKM. Dalam hal ini, BI
menekankan kebijakan BB sebaagi salah satu cara untuk meningkatkan akses
keuangan masyarakat.
2.7 Perkembangan Lingkungan Strategis
Kondisi dunia yang semakin tanpa batas (borderless) membuat Indonesia tidak bisa
bersifat eksklusif dari percaturan dunia yang ada dewasa ini. Masing masing negara
saling membutuhkan mengingat terdapat perbedaan competitive advantage di masing-
masing negara. Di kawasan Asia, penerapan masyarakat ekonomi Asia maupun Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 16
perdagangan bebas diregional perlu disikapi hati-hati dan dimanfaatkan. Langkah
strategis yang perlu dilakukan adalah melakukan adaptasi agar bisa memanfaatkan
peluang yang dihasilkan dari perubahan tersebut. Tingginya tingkat pertumbuhan
ekonomi dan masih besarnya masyarakat yang belum tersentuh jasa layanan bank di
Indonesia tentunya menarik industri perbankan dari negara lain (asing) untuk masuk ke
Indonesia sebagai negara dengan potensi market yang besar.
Peluang yang bisa diperoleh dari perubahan lingkungan tersebut, antara lain adalah a)
Dukungan masyarakat dunia yang tinggi (APEC dan G20) terhadap program FI; b)
Peningkatan hubungan dagang Indonesia dengan negara mitra semakin membutuhkan
layanan jasa perbankan; c) Rendahnya akses masyarakat kepada lembaga perbankan
sehingga mendorong terciptanya kebijakan strategis untuk meningkatkan akses
keuangan dimaksud; d) Peningkatan kesempatan perbankan untuk melakukan ekspansi
binisnya, e) lahirnya kebijakan yang integratif dan terpusat tentang FI.
Adapun kendala yang bisa terjadi dari lingkungan strategis, antara lain: a) Implementasi
Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 yang mendorong meningkatnya tingkat
kompetisi di sistem keuangan dan perbankan nasional sebagai akibat masuknya
lembaga keuangan dan perbankan asing; b) Fakta luasnya jangkauan wilayah Indonesia
yang harus dilayani menuntut adanya inovatif and strategic action; c) Rendahnya tingkat
efisiensi sektor perbankan nasional jika akan membuka jaringan kantor baru, dan d)
Rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat (financial literacy).
2.8. Implikasi Financial Inclusion melalui Branchless Banking
2.8.1 Terhadap Percepatan Perekonomian Masyarakat
Saat ini pendekatan pengentasan kemiskinan dengan penurunan tingkat
pengangguran salah satunya dilakukan dengan pendekatan akses terhadap
lembaga keuangan. Survei Bank Dunia di seluruh dunia menunjukkan bahwa
sektor keuangan memiliki peran penting dan signifikan dalam pengentasan
kemiskinan, mengurangi perbedaan pendapatan, dan meningkatkan
pertumbuhan perekonomian.11 Melihat kesenjangan pendapatan yang masih
lebar di Indonesia, maka akses terhadap lembaga keuangan sebagai alat untuk
mempercepat pemerataan pendapatan menjadi relevan dan strategic untuk
dilakukan.
11 Keterangan lebih detail lihat www.worldbank.org Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 17
2.8.2 Terhadap Ketahanan Nasional
Data indeks Gini di Indonesia tahun 2012 sebesar 0,41 mengindikasikan
kesenjangan pendapatan masih sangat tinggi, sehingga dibutuhkan suatu
kebijakan nyata dalam mendukung percepatan pemerataan perekonomian,
khususnya pemerataan pendapatan masyarakat.
Kebijakan yang inovatif ini sangat diperlukan, mengingat apabila terdapat
ketidakmerataan pendapatan masyarakat, maka akan mengganggu proses
pembangunan nasional. Selanjutnya, disadari jika pembangunan nasional
terhambat terhambat, hal ini berakibat pada lemahnya Ketahanan Nasional
Indonesia. Sebagaimana dikemukakan diatas, salah satu wujud keberhasilan
pembangunan nasional adalah dengan menurunnya tingkat kemiskinan. Salah
satu strategi untuk mengatasi kemisikinan tersebut adalah melalui pemerataan
pendapatan masyarakat dengan memperluas akses terhadap lembaga
keuangan.
2.9 Pokok-Pokok Persoalan dalam Financial Inclusion
Berdasarkan uraian di atas, disadari bahwa pelaksanaan kegiatan FI di Indonesia tidak
dengan mudah dapat dilaksanakan. Hal ini dikarenakan masih adanya beberapa
persoalan strategis yang harus dicarikan solusinya. Beberapa pokok persoalan tersebut
adalah: terbatasnya infrastruktur lembaga keuangan; rendahnya pemahaman
masyarakat tentang keuangan (financial literacy); Belum tersedianya produk yang sesuai
untuk kelompok masyarakat kecil; Belum optimalnya kebijakan Pemerintah tentang FI,
dalam hal ini Pemerintah belum mengeluarkan kebijakan terpadu terkait dengan FI12.
2.10 Kondisi Financial Inclusion yang Diharapkan
Sesuai dengan pembukaan UUD1945 dan UU No. 17/2007 tentang RPJPN tersebut
diatas, maka pembangunan perekonomian harus dapat menjamin kesempatan
berusaha dan bekerja bagi seluruh masyarakat dan mendorong tercapainya
penanggulangan kemiskinan.
Berdasarkan dua landasan tersebut maka kebijakan perekonomian nasional juga harus
mengutamakan kelompok masyarakat bawah (lemah) sehingga akses perbankan harus
dibuka seluas-luasnya. Hal ini sangat sesuai dengan target dari kegiatan FI yang
dilaksanakan oleh BI.
12 Pada Bulan Juli 2012, telah diterbitkan Strategi National Keuangan Inklusif (SNKI) dari Tim Percepatan Penanggulangan Kemisininan dari kantor Wakil Presiden Republik Indonesia. Namun penerbitan SNKI tersebut masih bersifat soft launching, dan belum ditandatangani oleh Wapres RI maupun oleh Presiden Republik Indonesia. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 18
2.11 Indikasi Keberhasilan
Beberapa indikator dalam percepatan FI yang diharapkan bisa terlaksana dengan baik di Indonesia adalah: a) Bertambahnya jumlah kantor bank. Dalam hal ini penambahan jumlah kantor bank difokuskan kepada daerah di luar Jawa dan Bali karena lebih dari 52% kantor bank berada di Jawa; b) Tersedianya produk bank yang sesuai, bank dituntut untuk dapat menyediakan produk bank yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat tanpa harus mengurangi prinsip kehati-hatian dan menyediakan layanan produk keuangan tersebut dengan harga yang terjangkau untuk rakyat miskin; c) Bertambahnya jumlah pemilik rekening di bank. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa semikn banyak masyakarkat yang terlayani oleh perbankan; d) Tercapainya pemerataan pendapatan masyarakat yang tercermin dari menurunnya Gini Ratio yang saat ini sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi sebesar 0.41 di tahun 2012; e) jika keempat indikator sebelumnya dapat terpenuhi, maka diharapkan tingkat kemisikinan akan turun; sehingga total jumlah penduduk misikin akan berkurang tahap demi tahap.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 19
BAB 3 KEBIJAKAN MULTILICENSE, PERLUASAN JARINGAN KANTOR DAN BRANCHLESS BANKING 3.1 Banyak Masyarakat yang Belum Terlayani
Berdasarkan hasil survei Bank Dunia, kurang dari 50% penduduk Indonesia memiliki
rekening bank pada institusi keuangan formal (bank). Selain itu kurang dari separuh
penduduk Indonesia yang memiliki tabungan di bank dan hanya 17% dari penduduk
yang mempunyai akses kredit melalui institusi keuangan formal (bank). Selebihnya
masyarakat lebih banyak memanfaatkan layanan keuangan dari sektor informal ataupun
tidak memiliki akses terhadap jasa keuangan dari segala jenis lembaga keuangan.13
Tabel 3.1 Perbandingan Tingkat Penggunaan Layanan Keuangan Indonesia
dengan Negara Lain tahun 2010
Sumber: Bank Dunia dan IMF
Hasil survei rumah tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2010
menunjukkan bahwa 62% rumah tangga tidak memiliki tabungan sama sekali. Jumlah
kepemilikan rekening tabungan masih di bawah 50% total penduduk Indonesia. Saat ini
yang hanya sekitar 19,6% masyarakat Indonesia berusia di atas 15 tahun yang
mempunyai rekening tabungan. Sementara itu, jumlah rekening di Malaysia sudah
66,2%, Thailand 72,7%, Singapura 98,2% dan Indonesia hanya lebih baik dari
Kamboja. Jumlah kepemilikan rekening masyarakat Indonesia dinilai masih rendah
bahkan se-ASEAN.
Hal tersebut berdampak pada rasio outstanding kredit perbankan (27,49% terhadap
GDP), Kredit UMKM (0,67% terhadap GDP), Jumlah depositor di perbankan per 1000
13 The World Bank 2009. Improving Access to Financial Services in Indonesia Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 20
penduduk dewasa, maupun outstanding dana pihak ketiga (36,41% terhadap GDP)
yang relatif lebih rendah sebagaimana Tabel 3.1. Kredit UMKM baru mencapai 0,67%,
masih jauh dibandingkan Malaysia dan Thailand. Dana Pihak Ketiga (DPK) share
terhadap GDP juga masih rendah yaitu sebesar 36,41%.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab adalah terbatasnya infrastruktur karena
kondisi alam Indonesia yang berkepulauan menjadi kendala melayani masyarakat
daerah terpencil. Terbatasnya layanan perbankan ke beberapa daerah tersebut sejatinya
juga tidak terlepas dari perhitungan skala ekonomis operasional bank di suatu daerah
tersebut. Hal ini terlihat pada indikator indikator jumlah layanan perbankan seperti
kantor cabang dan ATM untuk setiap 1000 km2 serta rasio antara layanan perbankan
dengan luasan wilayah sebagaimana Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Perbandingan Tingkat Akses Terhadap Perbankan Tahun 2010
Sumber: Bank Dunia dan IMF
Di daerah Papua Barat dan Papua, sebuah layanan perbankan melayani radius lebih dari
1000 km2. Jarak yang jauh yang harus ditempuh masyarakat untuk menikmati layanan
perbankan yang juga dipersulit dengan kondisi medan dan minimnya infrastruktur.
Gambar 3.1 Persebaran Jaringan Kantor Bank di Indonesia
Sumber: Statistik Keuangan Daerah Berbagai Provinsi, Bank Indonesia, diolah
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 21
Disparitas layanan perbankan juga terjadi di tingkat kecamatan. Tingkat layanan
perbankan di tingkat kecamatan yang tertinggi ada di Jakarta, rata-rata setiap
kecamatan dilayani oleh 91 kantor bank. Sedangkan di Papua tingkat layanan
perbankannya paling rendah, dimana satu kecamatan hanya dilayani oleh kurang dari
satu kantor bank atau tidak semua kecamatan tersedia layanan perbankan. Disparitas
layanan bank menyebabkan terciptanya kondisi financial exclusion bahkan mengarah
kepada financial explotation.
Gambar 3.2 Rasio Jumlah Kantor Bank dengan Jumlah Kecamatan
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.
Disparitas dalam pelayanan jasa keuangan tersebut selanjutnya menimbulkan kenaikan
pendapatan dari kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi yang jauh lebih cepat dari
pada kenaikan dari kelompok masyarakat terendah dan menengah (Gambar 3.3). Hal ini
harus segera diatasi dengan kebijakan serta tindakan yang cepat dan strategik,
khususnya dalam memperluas jaringan kantor perbankan nasional tanpa harus
meningkatakan biaya overhead cost perbankan secara signifikan bagi perbankan namun
dapat menjangkau masyarakat luas (outreach yang lebih luas).
Gambar 3.3 Pergeseran Distribusi Pendapatan Masyarakat Indonesia
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 22
3.2 Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat terhadap Jasa Keuangan
3.2.1 Tingkat Pendapatan Masyarakat
Masyarakat masih merasakan hambatan14 dalam memperoleh layanan jasa keuangan
formal dari perbankan. Selain keterbatasan fasilitas lembaga keuangan, juga disebabkan
rendahnya penghasilan di pedesaan sehingga pendapatan yang diterima penduduk desa
lebih banyak digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan hasil survei Bank Dunia 79%
masyarakat yang tidak memiliki tabungan karena tidak memiliki uang. Namun demikian,
masyarakat berpendapatan rendah adalah active money managers yang sangat
membutuhkan akses keuangan terhadap lembaga keuangan khususnya perbankan.
3.2.2 Keterbatasan Ketersediaan Jasa Perbankan
Bank umum sebagai lembaga keuangan yang mendominasi sektor keuangan di
Indonesia ternyata hanya melayani sebagian kecil keluarga di Indonesia. Sektor informal
lebih banyak melayani masyarakat dibandingkan sektor perbankan. Dalam hal ini,
sepertiga dari penduduk Indonesia bahkan tidak memiliki tabungan, dan masuk ke
dalam kategori financially excluded atau penduduk yang terpinggirkan dari jasa
tabungan. Berdasarkan survei PODES (tahun 2005) dan survei ATF (tahun 2007), jumlah
layanan perbankan seperti keberadaan kantor bank komersil dan khususnya BPR
(Gambar 3.4) yang seharusnya bisa menyentuh masyarakat kelas bawah masih sangat
terbatas. Namun keberadaan bank komersil di daerah pedesaan menurut survei ATF
hanya 25,9% walaupun angka tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan survei
Bank Dunia yang hanya menunjukan porsi sebesar 16,1%.
14 Beberapa faktor penghambat akses masyrakat terhadap layanan jasa keuangan tersebut antara lain jauhnya jarak tempuh atau lamanya waktu yang diperlukan dari rumah kecabang bank atau ATM terdekat; persyaratan yang ditetapkan oleh bank khususnya untuk persyaratan identitas sulit dan memerlukan proses yang kompleks; besarnya biaya administrasi bulanan atau saldo minimum yang tinggi; produk seperti tabungan sederhana, kredit investasi atau asuransi kesehatan yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan; tingkat pengetahuan keuangan (financial literacy) yang rendah; dan psikologi dan budaya yang belum terbiasa menggunakan layanan perbankan. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 23
Gambar 3.4 Persentase Jumlah Bank Komersial dan BPR di Pedesaan
Sumber : Improving Access to Financial Services in Indonesia, Bank Dunia. 2009
Berdasarkan hasil survei Bank Dunia 2009, menunjukkan bahwa 38% penduduk
Indonesia termasuk financially excluded. Presentase penduduk yang masuk
financially included namun menabung di sektor informal mencapai 18%,
sehingga bila dijumlah dengan yang tidak memiliki perbankan adalah 56%
penduduk tidak menggunakan jasa perbankan. Hal ini menutut adanya suatu
kebijakan yang bersifat inovatif untuk meningkatkan akses layanan keuangan
penduduk kepada perbankan melalui peningkatan kantor atau point-point
layanan bank (Gambar 3.5).
Gambar 3.5 Akses kepada Jasa Tabungan
Sumber: meningkatkan akses terhadap jasa keuangan di Indonesia, Bank Dunia. 2009
3.3 Latar Belakang Kebijakan Multilicense dan Perluasan Jaringan Kantor
3.3.1 Inefisiensi Perbankan nasional
Perbankan Indonesia masih menunjukkan adanya inefisiensi, dari sisi skala
usaha, dimana struktur perbankan nasional memiliki rentang yang sangat lebar
berdasarkan modal inti yang dimiliki. Struktur perbankan Indonesia saat ini
didominiasi oleh 18 bank besar, dengan sebagian bank memiliki modal inti
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 24
dibawah Rp5 triliun; hal ini mengandung konsekuensi sebagian kecil bank
Indonesia yang mampu beroperasi secara efisien.
Salah satu indikator inefisiensi adalah nilai net interest margin (selanjutnya
disingkat NIM). Saat ini net interest margin perbankan Indonesia masih berada
pada kisaran 6 persen atau tertinggi di kawasan ASEAN-5; padahal sektor
perbankan yang efisien sangat penting adalah merupakan sangat strategik
dalam rangka mendorong perekonomian dan stabilitas sistem keuangan.
Perkembangan tersebut apabila dihubungkan dengan adanya rencana
pembentukan Masyrakat Ekonomi Asean (selanjutnya disingkat MEA) pada
tahun 2020, dimana akan dilakukan penghapusan pembatasan perdagangan
jasa untuk semua sektor ekonomi yang tersisa, maka tingkat efisiensi sektor-
sektor utama termasuk sektor perbankan menjadi sangat mutlak dalam menjaga
momentum pertumbuhan ekonomi nasional, sebagai akibat meningkatnya
persaingan yang mungkin timbul akibat terbentuknya MEA. Untuk itu perlu
segregation pelayanan bank berdasarkan kekuatannya agar efisien dan
berdampak positif bagi perbankan sendiri, ekonomi dan stabilitas dalam bentuk
kebijakan perijinan berjenjang (multilicense).
3.3.2 Fokus Khusus pada Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM)
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa sebagian besar pendudk Indonesia
berusaha di sektor UMKM, maka perhatian kepada sektor UMKM menjadi suatu
hal yang mutlak dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Sektor UMKM
merupakan sektor yang terbukti tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi
yang dialami Indonesia. Pada Krisis Asia 1998, sektor UMKM merupakan sektor
yang dapat bertahan dibandingkan dengan sektor yang lebih besar.
Gambar 3.6 Kontribusi UMKM dalam Perekonomian Indonesia
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 25
Data Kementerian Koperasi dan UKM (2011) menunjukkan bahwa UMKM
diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 57,1% terhadap Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) (dengan menggunakan harga konstan tahun dasar 2011).
Dari kontribusi sebesar 57,1% tersebut, 32%merupakan kontribusi usaha mikro,
dan 10,99% merupakan kontribusi usaha kecil. Pangsa UMKM sendiri mencapai
99 persen dari total unit usaha di Indonesia. Sedangkan dalam hal tenaga kerja,
UMKM menyerap 97.2% dari total tenaga kerja di Indonesia (Gambar 3.6).
Menyadari peran penting UMKM dalam perekonomian, dan berdasarkan UU
No.20 tahun 200815 mengenai Usaha Mikro Kecil dan Menengah, maka Bank
Indonesia mengeluarkan PBI No.14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau
Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka
Pengembangan UMKM. Dalam ketentuan tersebut bank umum diwajibkan
memberikan kredit/pembiayaan kepada UMKM sekurang-kurangnya 20% dari
total kredit/pembiayaan bank. Batasan minimum ini akan diimplementasikan
secara bertahap sampai dengan tahun 2018.
3.4 Kebijakan Perizinan Berjenjang (Multilicense)
Kebijakan Perijinan Berjenjang yang telah disebutkan di atas, mengatur perbankan
nasional dengan melakukan penggolongan (segregration) perbankan Indonesia
berdasarkan modal inti dan mengkaitkannya dalam kegiatan usaha yang boleh
dilakukan oleh masing-masing individual bank. Dalam pembahasan mengenai kebijakan
multilicense ini, pembahasan difokuskan pada perluasan jaringan kantor bank sebagai
akibat dari terbatasnya layanan jasa keuangan oleh bank sebagaimana telah dibahas di
atas.
15 Berdasarkan UU No.20 tahun 2008 tentang UMKM, usaha UMKM tersebut didefinisikan sebagai berikut: Usaha Mikro merupakan usaha produktif milik orang perorangan dan/badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro, dengan kriteria sebagai usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak sebesar Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah); Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil. Kriteria usaha kecil adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta rupiah); dan Usaha Menengah merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sesuai kriteria usaha menengah. Kriteria usaha menengah menurut UU ini adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah).
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 26
3.4.1 Modal Inti
Dalam upaya untuk memperluas jaringan layanan perbankan di wilayah
Indonesia, salah satu kebijakan yang ditetapkan adalah dengan kebijakan
perizinan berjenjang. Perizinan berjenjang terkait produk dan aktivitas
disesuaikan dengan kapasitas permodalan setiap bank agar dapat beroperasi
secara efisien dan ideal, seperti dalam Gambar 3.7.
Gambar 3.7 Jumlah Bank Menurut Modal Inti
Tier 4: 4 Bank
Tier 3: 14 Bank
Tier 2: 38 Bank
Tier 1: 53 Bank
Berdasarkan analisis gap diagram dibawah (Gambar 3.8), Bank Indonesia telah
merumuskan kebijakan mengenai multilisence dengan beberapa pertimbangan:
a) Perijinan jenis kegiatan usaha bank umum tidak dapat lagi diberikan sama
untuk semua bank karena beragamnya kondisi bank; b) Perijinan jenis kegiatan
usaha perlu diatur ulang berdasarkan kapasitas yang dimiliki setiap bank sesuai
kemampuan modal dan kinerja; c) Penataan perijinan kegiatan usaha bank
diharap juga dapat mewujudkan ketahanan struktur perbankan nasional yang
kokoh dan berdaya saing; d) Pengaturan perijinan kegiatan usaha bank
diarahkan untuk meningkatkan kapasitas tata kelola bank sehingga mempunyai
kemampuan dalam mengendalikan risiko; e) Tantangan persaingan yang
dihadapi perbankan nasional terutama menghadapi implementasi Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015. f) Mewujudkan perbankan nasional yang mempunyai
daya saing lokal, nasional dan regional serta penyediaan pembiayaan yang
efisien; g) Meningkatkan fungsi intermediasi bank khususnya pembiayaan
UMKM.
Modal Inti < Rp 1 Trilyun
Modal Inti Rp 1-5 Trilyun
Modal Inti Rp 5-30 Trilyun
Modal Inti > Rp 30 Trilyun
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 27
Gambar 3.8 Analisis Gap Kebijakan Multilisence di Indonesia
Beberapa hal yang menjadi ruang lingkup dalam perijinan berjenjang, antar lain
(Gambar 3.9):
a. Target nasabah, sebagai lending indikatif adalah: BUKU 1: Segmen Plafond s.d
Rp10M minimal 70%; BUKU 2: Segmen Plafond s.d Rp10M minimal 60%;
BUKU 3: Segmen Plafond s.d Rp10M minimal 20% dan maksimal 40%; BUKU
4: Segmen Plafond s.d Rp10M minimal 20% dan maksimal 30%;
b. Izin atas produk/aktivitas dan pembukaan jaringan kantor. Dalam hal ini,
semua bank umum kelompok usaha wajib memperoleh izin/persetujuan atas
produk/aktivitas tertentu serta pembukaan jaringan kantor (seluruh jaringan
kantor);
c. Perluasan produk dan aktivitas. Bank dapat memperluas cakupan produk dan
aktivitas dengan produk dan aktivitas BUKU lain sepanjang dapat
meningkatkan modal inti sesuai persyaratan;
d. Jumlah Jaringan Kantor. Bank Umum Kelompok Usaha yang mempunyai
modal inti lebih tinggi dapat memiliki jumlah jaringan kantor yang lebih
banyak berdasar perhitungan theoretical capital;
e. Bank Fokus. Bank dapat menjadi bank focus pada sector ekonomi/kegiatan
tertentu dengan persetujuan pengawas.;
f. Kepemilikan perusahaan anak (konglomerasi). BUKU 1: Tidak
diperkenankan; BUKU 2: Diperkenankan pada lembaga keuangan di
1. Ketahanan perbankan
2. Peningkatan governance
3. Daya saing local, nasional dan regional
4. Penyediaan pembiayaan yang efisien
5. Intermedia, unbanked people
6 Kontribusi pada
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 28
Indonesia. Maksimal sebesar 15% dari modal bank; BUKU 3: Diperkenankan
pada lembaga keuangan di Indonesia dan/atau luar negeri. Maksimal sebesar
25% dari modal bank. BUKU 4: Diperkenankan pada lembaga keuangan di
Indonesia dan/atau luar negeri. Maksimal sebesar 35% dari modal bank.
Sedangkan terkait dengan penyertaan dari bank Umum Konvensional kepada
anak perusahaan yang berupa Bank Umum Syariah diatur dengan komposisi
sebagai berikut: BUKU 1: Tidak Diperkenankan; BUKU 2: maksimal 20% dari
modal Bank; BUKU 3: maksimal 30% dari modal Bank; BUKU 4 : maksimal
35% dari modal Bank.
Gambar 3.9 Ruang Lingkup Kegiatan Usaha Bank berdasarkan BUKU
Hal dimaksud diatas dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor berdasarkan
Modal Inti Bank. Kebijakan ini dapat dipandang sebagai kebijakan yang inovatif
dalam memperluas jaringan kantor (point-point) layanan perbankan untuk
menjawab keterbatasan kesediaan jasa perbankan sebagaimana disampaikan
dalam Sub bab 3.2.2 mengenai keterbatasan kesediaan jasa perbankan.
3.5 Latar Belakang Kebijakan Branchless Banking
Keuangan Inklusif adalah sebuah kondisi dimana masyarakat memiliki akses yang
berkesinambungan terhadap jasa keuangan yang dibutuhkan (ADB, 2000). Sementara,
Leedladhar (2005) berpendapat bahwa inklusi keuangan adalah sebuah proses untuk
menyediakan jasa keuangan kepada masyarakat luas dan rumah tangga berpenghasilan
rendah pada harga yang dapat dijangkau. Upaya peningkatan inklusi keuangan ini
merupakan salah satu target kebijakan diberbagai negara, terutama negara
berkembang. Gambar 3.10 menunjukkan tingkat akses keuangan di Asia. Berdasarkan
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 29
gambar tersebut dapat dilihat bahwa tingkat akses keuangan di tiga negara dengan
jumlah penduduk terbesar di dunia (Cina, India, dan Indonesia) kurang dari 50 persen.
Dari ketiga negara tersebut, India memiliki tingkat akses keuangan tertinggi dengan
tingkat sebesar 48 persen.
Gambar 3.10
Tingkat Akses Keuangan di Berbagai Negara di Asia
Sumber: World Bank Composite Measure of Access to Finance 2007 Report; WRI population data;
UNCTAD population data; AFI analysis and AFI -Tokyo, dalam Hannig (2009).
Secara umum, Honohan (2004) mengklasifikasikan hambatan-hambatan yang dihadapi
masyarakat dalam mengakses jasa keuangan dalam 3 kelompok utama, yaitu:
Hambatan harga (price barriers); Hambatan informasi (information barrier); dan
Hambatan desain produk dan jasa (product and service design barriers). Di Indonesia
sendiri, sektor perbankan memiliki pangsa pasar hingga mencapai 80% dari seluruh
total pangsa pasar lembaga keuangan, namun, jumlah populasi unbanked16, seperti
yang telah disebutkan di Sub bab 3.2.2 sebelumnya.
Kondisi tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan dunia,
menyikapi hal ini, berbagai negara telah menerapkan beberapa instrumen untuk
meningkatkan inklusi keuangan. Diantaranya melalui mobile banking, agent banking (atau
lazim dikenal sebagai branchless banking), state bank reforms, pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro
(Microfinance), dan perlindungan konsumen (consumer protection) melalui peningkatan transparansi,
keadilan, dan “melek” finansial (financial literacy) konsumen. Sejalan dengan hal tersebut,
16 Hasil survei World Bank (2010) menunjukkan bahwa 32 persen penduduk Indonesia tidak memiliki tabungan, baik di lembaga keuangan formal maupun di lembaga keuangan informal dan dapat dikelompokkan sebagai financially excluded dari segi tabungan. Dari segi pinjaman, hanya 60 persen penduduk yang memiliki akses terhadap kredit (yang terdiri dari 17 persen penduduk yang meminjam di lembaga keuangan bank dan 43 persen meminjam di lembaga keuangan non-bank informal), sementara sekitar 40 persen penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap pinjaman (financially excluded dari sisi kredit). Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 30
kerangka dasar pembangunan dan program-program pro rakyat yang dicanangkan
pemerintah sejak awal, didasarkan kepada empat pilar utama: pro-growth, pro-job, pro-
poor, dan pro-environment dapat dipandang sebagai hal yang sangat tepat dan sesuai
dengan kerangka dasar pemerataan hasil pembangunan guna mempercepat
pencapaian keadilan sosial dan pengurangan kemiskinan.17.
3.5.1 Alternatif Model Branchless Banking
Gambar 3.11 Model Branchles Banking (BB)
Sumber: diolah dari beberapa referensi model branchless banking
BB sebagai bagian dari program FI adalah saluran distribusi yang digunakan
untuk memberikan jasa keuangan dan sistem pembayaran secara terbatas
melalui unit khusus pelayanan keuangan (agen) tanpa harus melalui pendirian
kantor fisik bank. Bank Indonesia pada tahun 2012 mengeluarkan kebijakan BB
sebagai tindak lanjut kebijakan multilicense, yang telah dibahas di Sub Bab 3.4
di atas, sebagai salah satu strategi peningkatan inklusi keuangan di Indonesia.
Dalam aplikasi BB tersebut terdapat dua model yang umum digunakan yakni
bank based model dan non-bank based model. Selain itu terdapat juga hybrid
model yang merupakan perpaduan antara bank based dan non-bank based
model.
17 Velix V. Wanggai, Meneguhkan Arah Pembangunan Yang berkeadilan: Safari Ramadhan Presiden SBY, Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2012, Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 31
3.5.1.1 Bank Based Model dan Non Bank Based Model
Dalam model ini, penyelenggara layanan adalah Bank. Bank menciptakan
produk dan jasa keuangan, namun pendistribusian produk dan layanan tersebut
dilakukan melalui retail agent yang mengelola semua atau hampir semua
interaksi dengan nasabah.18 Bank berperan penuh mulai dari proses perizinan
awal, pelaksanaan operasional, pengelolaan financial dan sistem. Sementara,
perusahaan telco berperan menyediakan jaringan/saluran infrastruktur untuk
melakukan transaksi layanan perbankan. Perusahaan telco mendapatkan fee
dari penggunaan jaringan oleh nasabah19.
Adapun jenis saluran distribusi layanan dibagi menjadi dua yakni melalui retail
agent dan mobile banking yang disediakan oleh bank, dengan penjelasan
sebagai berikut:
a. Retail Agent (bank based model)
Retail agent berinteraksi dengan nasabah dalam menyedikan jasa layanan
keuangan (Tabel 3.3). Nasabah dapat melakukan penyetoran simpanan atau
penarikan uang dan bahkan transfer dana. Dalam proses penyediaan jasa,
retail agent melakukan komunikasi langsung dengan bank dengan
menggunakan telepon genggam maupun terminal Point of Sale (POS) dalam
bentuk EDC dan lainnya20.
18 Lyman et all, CGAP Focus Note No.38, 2006 19 Setiap nasabah mempunyai hubungan kontraktual langsung dengan lembaga keuangan formal (bank) meskipun nasabah melakukan transaksi melalui retail agent atau MNO. Hubungan kontraktual ini dapat berupa account based maupun one off transaction. Layanan yang disediakan merupakan layanan jasa keuangan standar seperti: tabungan/simpanan, kredit dan remmitance/transfer. 20 Di beberapa negara, retail agent dapat menangani prosedur pembukaan rekening dan dalam beberapa kasus dapat mengidentifikasi dan menyediakan jasa pinjaman untuk nasabah. Retail agent mengecek dokumen identitas nasabah dan proses transaksi, mendebit atau mengkredit rekening nasabah jika itu adalah pembelian atau transfer dana antar rekening. Catatan elektronik dari transaksi akan ditransfer langsung ke bank atau dikelola oleh agent proses pembayaran yang menyelesaikan transaksi di antara rekening nasabah dan rekening penerima. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 32
Tabel 3.3 Bank Based Model NASABAH RETAIL AGENT BANK
Tahap 1: Nasabah meminta jasa keuangan
Tahap 2: Retail agen mengecek ID nasabah dan memproses transaksi melalui infrastruktur bank (POS) atau payment processing agent
Tahap 3: Bank mengkredit dan mendebit rekening bank nasabah dan pihak lain untuk transaksi
Contoh Jasa Ditawarkan: Mendeposit atau me-narik dana dari akun e-money nasabah; transfer dana; pem-bayaran tagihan/ pa-jak; pengajuan dan pencairan pinjaman pembukaan rekening dan pengajuan apli-kasi credit card
Contoh Retail Agen: Outlet retail, organisasi social (LSM, MFIs, dll), kantor pos
Contoh pihak lain: termasuk retail agen (untuk deposit atau penarikan dana), penerima transfer dana (nasabah lain, perusa-haan listrik, dirjen pajak)
Sumber: Lyman et all, CGAP Focus Note No.38, 2006
Dalam penunjukan retail agent oleh bank, ada dua jenis agen yang
digunakan yaitu: 1). Super Agent: merupakan badan hukum dimana
bank menjalin kerjasama untuk distribusi layanan keuangan. Badan
hukum ini umumnya memiliki jaringan yang luas dan bisnis yang sudah
berjalan. Super Agent yang dapat digunakan oleh bank diantaranya PT.
Pos Indonesia, perusahaan distributor yang memiliki jaringan luas, dan
perusahaan telekomunikasi; 2). Sub Agent: merupakan jaringan dari
super agent yang tersebar di seluruh wilayah. Transaksi face to face
dengan nasabah akan berlangsung dengan sub-agen.
b. Mobile Financial Services (non-bank based model)
Layanan Mobile Financial Services (MFS) yang disediakan adalah mobile
banking, yang merupakan pengembangan dari layanan perbankan. Alur
branchless banking dengan menggunakan bank based model
digambarkam Gambar 3.12. Penerapan bank based model di Indonesia
dapat dijumpai dalam layanan mobile banking yang ditawarkan oleh
sebagian besar bank yang beroperasi saat ini. Layanan mobile banking
ini merupakan sarana penunjang transaksi bagi nasabah yang telah
mempunyai rekening di bank tersebut21.
21 Saat ini layanan mobile banking masih terbatas pada pengecekan saldo, transfer dana, pembelian barang dan bayar tagihan. Sedangkan untuk pembukaan rekening, penambahan simpanan dan pembukaan rekening tidak dapat dilakukan dalam mobile banking. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 33
Gambar 3.12 Alur Bank-based Model
Adapun penyelenggaran MFS (Tabel 3.4) melalui non-bank model adalah
skema penyelenggaraan BB dimana seluruh proses perizinan dan
operasional dilakukan oleh institusi non-bank. Institusi tersebut
menyediakan jasa perbankan yang paling dasar dan bank tidak terlibat
langsung dalam operasional bisnis. Nasabah tidak memiliki hubungan
kontraktual dengan bank dan produk yang ditawarkan berupa electronic
money (E-money). E-money merupakan nilai uang yang diukur dengan
mata uang yang disimpan dalam bentuk elektronik dan dapat digunakan
melakukan transaksi pembayaran yang diterima oleh entitas lain selain
penerbit. 22
Tabel 3.4 Non-bank Based Model23 NASABAH RETAIL AGENT NONBANK BANK
Tahap 1: Nasabah meminta jasa keuangan atau penjualan via hand phone atau smart card
Tahap 2: Retail agen mengecek ID nasabah dan memproses transaksi mewakili non-bank, via hand phone atau smart card reader
Tahap 3: Non-bank meregister transaksi, mengupdate akun e-money (virtual) milik nasabaj dan pihak lain untuk transaksi. Non-bank mengelola akun nasabah individu.
Tahap 4: Bank (secara umum) menyimpan dana dari penerbitan e-money non-bank, mewakili nonbank. Bank tidak memiliki hubungan dengan nasabah/retail agen.
22 The Bank for International Settlements (BIS, 1996), European Union (2008) 23 Lyman et all, CGAP Focus Note No.38, 2006 Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 34
Contoh Jasa Ditawarkan: Mendeposit/menarik dana dari akun e-money nasabah (cash in and cash out); pembelian barang;transfer dana;pencairan pinja- man/pembayaran angsuran dan pajak.
Contoh Retail Agen: Department Store, supermarket, penjual pulsa, usaha komersial lainnya
Contoh pihak lain: termasuk retail agen (untuk deposit, penarikan dana, atau pembelian barang), penerima transfer dana (nasabah lain, perusahaan listrik, dirjen pajak)
*ini merupakan praktek dari operator mobile phone di Filipina dan Kenya
Nasabah hanya bertransaksi dengan agen dengan menukarkan uang
tunai atau mentransfer sejumlah nilai uang dalam bentuk electronic
record (rekening virtual). Rekening virtual ini disimpan dalam server non-
bank seperti operator telekomunikasi dan atau penerbit stored value
card. Saldo dalam rekening tersebut dapat digunakan untuk
bertransaksi. Selain itu, non-bank based model dapat berupa jaringan
pembayaran (network payments) dimana nasabah bahkan pemerintah
dapat melakukan pembayaran kepada pihak ketiga24. Alur BB dengan
menggunakan non-bank based model dapat dilihat dalam Gambar 3.13.
Gambar 3.13 Alur Non-bank Based
Jenis e-money terdapat dua jenis yakni stored valued card dan mobile wallet
yang ditawarkan oleh perusahaan telekomunikasi, dengan rincian sebagai
berikut: 1) Stored Value Card (SVC) yang merupakan salah salah satu bentuk e-
money yang menggunakan media plastic card, serupa dengan debit card milik
24 Diharapkan perkembangan branchless banking ke depan ini bisa dimanfaatkan untuk mendukung program Pemerintah dalam penyaluran BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan program-program yang bersifat subsidi lainnya.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 35
bank. SVC menggunakan teknologi magnetic stripe untuk menyimpan informasi
dan dana25. 2) Mobile Wallet merupakan salah satu bentuk e-money yang
disediakan oleh operator telekomunikasi (mobile network operator atau MNO).
Dalam aplikasi ini, konsumen menyetor atau mentransfer sejumlah dana dalam
rekening virtual yang dikelola oleh MNO. Rekening virtual ini terhubung
dengan nomer telepon pemilik dan pelanggan tidak harus memiliki rekening
bank. Electronic value yang ada di dalam kartu telepon dapat digunakan
sebagai alat pembayaran dan alat transfer dana.
3.5.1.2 Model Hybrid
Skema Hybrid Led adalah skema penyelenggaraan branchless banking di mana
terdapat kerjasama antara bank dengan institusi non-bank (operator
telekomunikasi, agen dan lainnya) dalam bentuk joint venture maupun
partnership, untuk menyediakan layanan perbankan penuh bagi nasabah
melalui telepon genggam.Dalam skema ini (Gambar 3.14), kedua belah pihak
(bank dan telco) memanfaatkan keunggulan masing-masing untuk menguasai
pasar yang dituju. Di mana, jasa-jasa mobile wallet (jasa-jasa yang terkait
dengan jaringan telekomunikasi seperti pengiriman uang melalui sms, pengisian
saldo elektronik, dan sebagainya) menjadi tanggung jawab MNO, sementara,
jasa-jasa mobile banking (terkait dengan pengelolaan simpanan atau tabungan,
transfer antar rekening, pengecekan saldo tabungan, dan lain-lain) menjadi
tanggung jawab dari bank26.
Gambar 3.14 Alur Hybrid Model
25 Meskipun demikian, SVC berbeda dengan debit card. Konsumen harus mengisi saldo kartu tersebut sebelum menggunakan kartu. Hal ini membatasi risiko overdraft, karena konsumen hanya dapat menggunakan dana sesuai dengan saldo yang diisi. 26 Dalam model ini juga terdapat interoperabilitas antar layanan yang diberikan MNO dan bank. Sebagai contoh, mesin ATM yang dikelola oleh bank dapat menjadi cashpoint bagi e-money yang diselenggarakan MNO. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 36
BAB 4 ANALISA KEBIJAKAN BRANCHLESS BANKING SETELAH MULTI LICENSE (PERLUASAN JARINGAN KANTOR) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERBANKAN DAN PEREKONOMIAN NASIONAL
Sebagaimana telah disampaikan pada Bab 1 Pendahuluan, disadari bahwa Bank merupakan
komponen yang penting dari sistem keuangan karena fungsi dan perannya dalam
perekonomian. Fungsi Bank sebagai lembaga intermediasi khususnya dalam penyaluran kredit
mempunyai peranan penting bagi pergerakan roda perekonomian secara keseluruhan dan
memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Bank memiliki kemampuan untuk
menjembatani kepentingan yang berbeda antara deposan dan peminjam dalam hal preferensi
likuiditas atau waktu dari uang. Pada level ekonomi makro bank merupakan alat dalam
menetapkan kebijakan moneter sedangkan pada level mikro ekonomi bank merupakan sumber
utama pembiayaan bagi para pengusaha maupun individu (Konch, 2000).
Peran dan fungsi Bank dalam perekonomian yang sangat strategis, membuat posisi perbankan
sangat penting untuk mendorong kegiatan ekonomi. Bank dapat mempengaruhi dan
menentukan semua aspek kegiatan ekonomi di suatu negara. Ketidakmampuan Bank dalam
memberikan layanan yang optimal akan menyebabkan kegiatan ekonomi terganggu dan semua
sektor ekonomi tidak bisa bekerja optimal. Untuk dapat berperan optimal dalam perekonomian,
Bank perlu untuk bekerja secara efisien. Perbankan yang efisien berkaitan erat dengan sistem
keuangan yang efisien. Sektor keuangan yang efisien akan mempengaruhi alokasi sumber daya
keuangan dengan cara yang paling efektif dan mengurangi misalokasi sumber daya produktif.
Selain itu, perbankan yang efisien akan mendukung dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai upaya untuk merealisasikan hal tersebut, sebagaimana telah diulas secara mendalam
pada Bab 3, maka Bank Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan dalam rangka penguatan
ketahanan dan daya saing perbankan, dan dalam rangka penguatan fungsi intermediasi
perbankan. Kebijakan untuk penguatan ketahanan dan daya saing perbankan dilakukan melalui
penerapan multilicense. Sedangkan kebijakan dalam rangka penguatan fungsi intermediasi
perbankan dilakukan melalui mewajibkan bank untuk menyalurkan 20% dari total kredit untuk
sektor UMKM; serta melalui perluasan akses masyarakat terhadap layanan keuangan melalui
BB.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 37
4.1 Studi Empiris Kebijakan Multilisence, Perluasan Jaringan Kantor dan BB di
Indonesia
4.1.1 Studi Empiris Multilicense terkait Modal Inti, Perluasan Jaringan Kantor dan
Tingkat Kejenuhan Bank
4.1.1.1 Analisa Data Envelope Analysis (DEA)
Dalam Sub Bab ini, analisa DEA menjawab perumusan masalah pertama
mengenai tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense oleh BI
(November, 2012) dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat terhadap
perbankan; khususnya masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang UMKM.
Studi empiris untuk menganalisis modal inti perbankan dan kegiatan usaha ini
dilakukan dengan beberapa pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah
dengan menggunakan metode Data Envelope Analysis (DEA)27. Metode DEA
yang digunakan dalam analisis ini adalah metode DEA yang dikembangan oleh
Grigorian dan Manole (2005) dan Wezwel (2010). Metode DEA ini selanjutnya
akan dilengkapi dengan analisa tingkat kejenuhan Bank. Dalam penyusunan
makalah ini, disampaikan Analisa DEA yang telah dilakukan BI sebelum
dikeluarkannya kebijakan multilicense yang diperdalam lebih lanjut dengan
memasukan variable biaya tenaga kerja dan ratio biaya tenaga kerja terhadap
total biaya.
Analisis DEA untuk perbankan Indonesia dilakukan dengan menggunakan
kerangka kerja seperti yang tertera pada Gambar 4.1. Analisis tersebut
melibatkan dua jenis input, yaitu input nominal dan input rasio. Input nominal
yang digunakan adalah biaya tenaga kerja, aktiva tetap, dan dana pihak ketiga.
Sedangkan input rasio yang digunakan adalah rasio biaya tenaga kerja terhadap
total biaya, rasio aktiva tetap terhadap total aset, dan rasio dana pihak ketiga
terhadap total aset. Skor efisiensi suatu bank berada dalam range skor DEA 0
sampai dengan 100. Semakin tinggi skor DEA suatu bank, maka semakin efisien
bank tersebut. Metode DEA ini diestimasi untuk 120 bank di Indonesia.
27 DEA adalah merupakan metode yang digunakan untuk mengevaluasi produktivitas dan performa sebuah bank dengan menggunakan pendekatan nonparametrik. Grigorian dan Manole (2005) melakukan penelitian pada sektor keuangan di Bahrain sedangkan Wezel (2010) melakukan studi empiris mengenai efisiensi perbankan domestik dan asing di Amerika Tengah. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 38
Gambar 4.1. Kerangka Kerja Analisis DEA Perbankan Indonesia
Berdasarkan input nominal dan input rasio, kelompok bank yang paling efisien
ditunjukkan oleh skor DEA antara 85-100. Untuk kelompok ini, modal inti
perbankan yang efisien adalah sebesar Rp5,6 triliun. Sedangkan untuk level
moderate, dengan skor DEA 45-55, modal inti yang dimiliki perbankan pada
level ini adalah Rp1 triliun.
Selanjutnya, pendekatan kedua untuk menganalisis modal inti ini adalah dengan
menggunakan pendekatan pertumbuhan ekonomi. Terdapat dua model yang
dianalisis dalam pendekatan ini, yaitu model empiris dan model pertumbuhan.
Asumsi yang digunakan dalam estimasi model empiris adalah pertumbuhan
ekonomi berada pada kisaran 6–6,5%. Dengan asumsi ini, untuk mencapai
pertumbuhan kredit perbankan total sekitar 22–23%, diperlukan rasio modal
inti perbankan (rasio Tier-1) sekitar 11–13%. Model estimasi berupa model
empiris ini mengacu pada model estimasi yang digunakan oleh Hagerty (2009),
Bikker dan Hu (2001), Naceur dan Kandil (2007), dan Aydin (2008) dimana
model estimasi merupakan model pertumbuhan kredit dari sisi demand dengan
periode data 2003:1 - 2010:3 Hasil simulasi dengan menggunkan model empiris
menghasilkan modal inti bank pada Tier-1 sebesar Rp2,12 triliun (untuk analisis
pada seluruh bank) dan modal inti sebesar Rp0,95 triliun untuk bank-bank di
luar 14 bank besar.
Sedangkan untuk pendekatan dengan modal pertumbuhan asumsi yang
digunakan adalah: a) Pertumbuhan ekonomi 6–7% dan didukung pertumbuhan
kredit minimum 21%; b) Analisis dilakukan pada bank kecil dengan modal
kurang dari Rp1 triliun dengan total asset sebesar 10% dari seluruh asset
perbankan; c) Bank kecil adalah homogen; d) Fungsi intermediasi 80% dan
likuiditas bank yang optimal; e) ROA sebesar 2,7%; f) Laba tahun berjalan yang
menjadi modal inti sebesar 50%.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa modal inti dari 71 bank yang menjadi sampel
dalam estimasi ini akan memiliki modal inti sebesar Rp1 triliun pada tahun
2019/2020. Hasil simulasi dampak dilakukan terhadap kondisi perbankan
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 39
apabila kebijakan modal inti ini dilaksanakan. Dampak yang dianalisis dalam
hubungannya dengan kegiatan usaha untuk masing-masing kelompok bank.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa bank pada Tier 1 merupakan kelompok bank
yang akan terkena dampak paling signifikan terhadap kebijakan multilicense ini.
Secara rinci, dampak kebijakan multilisence terhadap bank Tier 1 adalah sebagai
berikut: a) 18 Bank harus menghentikan aktivitas valas dan keagenan; b) 12
Bank tidak diperkenankan menghimpun giro, tabungan, dan deposito valas; c)
Seluruh bank dibatasi dalam hal kegiatan trade finance, yaitu hanya pada Surat
Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) dan bank garansi; d) 3 Bank dibatasi
dalam hal kegiatan treasury yang dilakukan, yaitu hanya pada aktivitas jual beli
mata uang asing dan pasar uang dalam Rupiah; e) 1 Bank dibatasi dalam hal
keagenan dan kerja sama, yaitu terbatas pada bancassurance dengan model
bisnis referensi; f) 18 bank harus meningkatkan modal.
Sedangkan hasil simulasi untuk dampak kebijakan multilisence pada bank Tier 2,
sebagai berikut: a)Terkait kegiatan treasury, tiga bank tidak diijinkan melakukan
transaksi derivatif kompleks dan structured product; b)Terkait kegiatan
keagenan dan kerja sama, terdapat beberapa bank yang dibatasi, yaitu: i) Enam
bank dibatasi dalam hal aktivitas bancassurance, yaitu hanya dengan model
bisnis referensi dan distribusi; ii) Empat bank tidak diijinkan melakukan kegiatan
custodian; iii) Tiga bank tidak diijinkan melakukan kegiatan wali amanat.
Sedangkan untuk simulasi mengenai alokasi kredit produktif, apabila ditetapkan
alokasi kredit minimal untuk masing-masing kelompok bank, maka terdapat
beberapa bank yang saat ini belum memenuhi kriteria persentase minimal kredit
produktif untuk masing-masing kelompok. Untuk BUKU 1, terdapat 20 bank
yang alokasi kredit produktifnya dibawah 55%. Untuk BUKU 2, terdapat 10
bank yang alokasi kredit produktifnya dibawah 60%. Untuk BUKU 3, terdapat 3
bank yang memiliki alokasi kredit produktif dibawah 65%. Sedangkan untuk
BUKU 4, terdapat 1 bank yang alokasi kredit produktifnya dibawah 70%.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa perbankan di Indonesia belum memiliki
tingkat modal inti yang efisien. Sehingga terdapat bank yang melakukan
berbagai kegiatan usaha namun tidak didukung dengan modal inti yang sesuai.
Hal ini menyebabkan perbankan di Indonesia dikatakan belum efisien. Oleh
karena itu, perumusan masalah pertama pada Bab 1 telah dijawab dengan
analisa tersebut di atas bahwa kebijakan multilicense sangat diperlukan untuk
memperbaiki kondisi dan struktur perbankan nasional.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 40
Selanjutnya untuk mengatur perbankan di Indonesia dalam rangka
meningkatkan efisiensi, maka perbankan Indonesia perlu diatur secara lebih
terinci berdasarkan kapasitas yang dimiliki setiap bank. Namun pengaturan ini
dapat menyebabkan adanya beberapa bank yang saat ini telah melakukan
beberapa kegiatan usaha idak lagi dapat melakukan kegiatan tersebut karena
dianggap memiliki modal yang tidak mencukupi. Oleh karena itu, dalam hal
kebijakan pengelompokan perbankan berdasarkan modal inti dan kegiatan
usaha, perlu disusun sebuah mekanisme yang memungkinkan bank-bank yang
dianggap tidak dapat melakukan suatu aktivitas usaha, untuk menyesuaikan
kegiatannya ataupun jumlah modalnya28.
4.1.1.2 Analisa Tingkat Kejenuhan Bank (Bank Density)
Sesuai dengan perumusan masalah pertama di Bab 1 dan tujuan penelitian
dalam penulisan makalah ini, maka analisa DEA ini harus dilengkapi lebih jauh
dengan analisa tentang pembukaan jaringan kantor. Dalam pembukaan jaringan
kantor bank, perlu dipertimbangkan beberapa faktor agar keberadaan bank
dapat memberikan manfaat yang optimal dan mendorong distribusi kantor
layanan bank yang lebih merata. Diharapkan melalui analisa ini akan
menguatkan jawaban untuk rumusan permasalahan pertama yang telah
dijelaskan melalui metode DEA. Disparitas kantor layanan bank antar wilayah
dapat mempengaruhi aksesibilitas masyarakat terhadap perbankan. Jika
dibiarkan dengan skema kebijakan yang berlaku, dapat diduga layanan bank
masih terkonsentrasi di pusat-pusat aktivitas ekonomi. Sehingga diperlukan
insentif agar bank tertarik membuka layanan di wilayah underbanked. Jika
perbankan bersedia masuk zona underbanked, maka fungsi bank sebagai agent
of development dan agent of services dapat lebih optimal. Rincian detail tentang
analisa ini dapat diikuti di Lampiran 1.
Seperti yang telah disebutkan di atas, analisa kuantitatif DEA, yang dilakukan
untuk menjawab perumsusan masalah pertama yang menjadi alasan kuat dan
strategik untuk mengeluarkan kebijakan multilicense, dilengkapi dengan analisa
tingkat kejenuhan bank (bank density29) dalam suatu daerah terkait dengan
28 Sebagai contoh bagi bank yang produk dan jenis usahanya melampaui yang diperkenankan oleh BUKU dimana bank tersebut berada dapat meningkatkan modal intinya sehingga berada pada BUKU yang lebih tinggi dengan cakupan dan aktivitas usaha yang lebih luas, atau secara bertahap menghentikan produk dan aktivitasnya sesuai dengan aktivitas yang diperkenankan untuk BUKU dimana bank tersebut berada. 29 Bank density mengukur kepadatan bank di suatu wilayah berdasarkan jangkauan layanan dan proporsi jumlah penduduk yang dilayani. Kepadatan bank dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan total jumlah kantor bank di suatu wilayah dengan luas wilayah untuk melihat kepadatan bank dari sisi spasial jangkauan pelayanan. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 41
tingkat persaingan bank di daerah tersebut. McKinnon (1973) dan Levine (1997)
menyatakan bahwa persaingan yang sangat ketat akibat penumpukan jumlah
bank pada suatu wilayah dapat menimbulkan kejenuhan bank (bank saturation).
Sehingga pendirian bank dalam suatu wilayah harus melihat aspek density ratio
atau jumlah bank per jumlah penduduk.30 Analisa tingkat kejenuhan bank
dalam Sub Bab 4.1.1 ini merupakan hasil analisa yang telah dilakukan BI
(November, 2012) dalam rangka penyusunan kebijakan multilicense dengan
ditambahkan variable deposito dan giro sebagai komponen dari DPK(Dana Pihak
Ketiga) untuk masing-masing Provinsi.
Terdapat dua cara menghitung bank density. Kedua cara tersebut dapat
diformulasikan sebagai berikut:
1. Kepadatan dari sisi spasial jangkauan pelayanan, yang diformulasikan
dengan:
2. Kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanan, yang diformulasikan dengan:
Semakin besar nilai bank density dari sisi spasial menunjukkan semakin padat
jumlah kantor bank di setiap kilometer persegi wilayah. Sedangkan, semakin
besar bank density dari sisi jangkauan pasar pelayanan, maka semakin banyak
penduduk yang dilayani oleh bank di suatu wilayah. Kedua hal tersebut
mengindikasikan tingkat persaingan yang tinggi di sektor perbankan. Tingkat
persaingan yang tinggi dapat mengarah pada kejenuhan sektor perbankan di
wilayah tersebut.
Pengukuran tingkat kepadatan bank dapat pula dilihat dengan menggunakan
pendekatan BCG matriks. Metode ini dikembangkan oleh Boston Consulting
Group pada tahun 1970. Matriks ini didasarkan pada teori siklus produk (life
cycle theory). BCG Matrix merupakan matriks 2x2 dengan variabel pangsa pasar
monopoli sebagai sumbu aksis dan tingkat pertumbuhan pasar sebagai sumbu
ordinat. Model analisis ini dapat digunakan juga untuk memetakan industri
perbankan per provinsi di wilayah Indonesia yang memiliki banyak pelaku pasar
Selain itu, kepadatan bank juga dapat dilihat dengan membandingkan jumlah kantor bank dengan jumlah penduduk untuk melihat kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanannya. 30 Ritonga et al (2004) Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 42
dengan persaingan monopolistik. Pengembangan model analisis ini untuk
industri perbankan dilakukan dengan penyesuaian variabel pada sumbu X dan
sumbu Y. Matriks yang dibentuk melalui analisis ini dapat dilihat pada Gambar
4.2.
Gambar 4.2 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia
Selanjutnya Matriks BCG pada Gambar 4.3 menunukkan matriks BCG untuk
kepadatan bank di setiap provinsi di Indonesia. Matriks tersebut dibentuk
dengan menggunakan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
sebagai sumbu tegak dan faktor Dana Pihak Ketiga (DPK) perkapita dan kredit
perkapita sebagai sumbu mendatar. Nilai threshold pertumbuhan PDRB
ditentukan dengan angka pertumbuhan PDRB nasional (harga berlaku),
sedangkan nilai threshold faktor DPK perkapita dan kredit perkapita digunakan
DPK perkapita dan kredit perkapita nasional.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 43
No Propinsi1 Aceh2 Sumatera Utara3 Sumatera Barat4 Riau5 Jambi6 Sumatera Selatan7 Bengkulu8 Lampung9 Kepulauan Bangka Belitung10 Kepulauan Riau11 DKI Jakarta12 Jawa Barat13 Jawa Tengah14 DI. Yogyakarta15 Jawa Timur16 Banten17 Bali18 Nusa Tenggara Barat19 Nusa Tenggara Timur20 Kalimantan Barat21 Kalimantan Tengah22 Kalimantan Selatan23 Kalimantan Timur24 Sulawesi Utara25 Sulawesi Tengah26 Sulawesi Selatan27 Sulawesi Tenggara28 Gorontalo29 Sulawesi Barat30 Maluku Utara31 Maluku32 Papua33 Papua Barat
UNDERBANKED EQUILIBRIUM MODERAT
EQUILIBRIUM RENDAH
OVERBANKED
Sumber: Data PDRB Provinsi atas dasar harga berlaku 2010 dari BPS Data Penduduk hasil Sensus 2010 dari BPS Data DPK dan Kredit per Desember 2011 dari SEKDA
Gambar 4.3 BCG Matriks untuk Tingkat Kepadatan Bank di Indonesia
Berdasarkan Gambar 4.3, masih banyak provinsi di Indonesia yang berada di
area underbanked. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya provinsi yang berada di
kuadran kiri atas, yaitu sebanyak tiga belas provinsi. Ketiga belas provinsi
tersebut memiliki akses yang rendah terhadap pelayanan jasa perbankan,
namun potensi pertumbuhan ekonomi dan economies of scale yang dimiliki
cukup tinggi. Sementara itu, terdapat sepuluh provinsi yang berada di area
overbanked (kuadran kanan bawah) dengan pelayanan jasa perbankan yang
tinggi namun memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah. Masing-masing
terdapat lima provinsi baik yang berada pada area low equilibrium banked
dengan akses pelayanan jasa perbankan dan pertumbuhan ekonomi yang
rendah maupun middle equilibrium banked dengan akses pelayanan jasa
perbankan dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Provinsi untuk setiap
katagori dalam matriks pada Gambar 4.3 dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Status Persaingan Usaha Tingkat Provinsi Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 44
No Underbanked Equilibrium Rendah Equilibrium Moderat Overbanked
1 Lampung Aceh Papua Kalimantan Timur
2 Jambi Sulawesi Tenggara Sumatera Utara Kepulauan Riau
3 Papua Barat DI Yogyakarta *) Riau Bali
4 Sulawesi Barat Jawa Tengah *) Kalimantan Tengah Sulawesi Utara
5 Sulawesi Selatan Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Banten
6 Nusa Tenggara Barat Jawa Barat *) DKI Jakarta
7 Maluku Utara Bangka Belitung
8 Nusa Tenggara Timur Bengkulu
9 Gorontalo Jawa Timur *)
10 Sulawesi Tengah
11 Sumatera Selatan
12 Maluku
13 Sumatera Barat
Keterangan: *) cenderung overbanked
Dari berbagai studi mengenai kepadatan bank tersebut dapat dilihat bahwa
distribusi kantor bank sangat terkait dengan tingkat kegiatan ekonomi di suatu
daerah. Kegiatan ekonomi yang masih dominan berada di Jawa menjadi pull
factor bagi bank untuk memperluas jaringan kantor di wilayah ini saja.
Sedangkan sebagian besar provinsi di luar Jawa masuk pada kategori
underbanked (Gambar 4.4). Pada kondisi ini, diperlukan kebijakan yang bersifat
insentif sehingga mendorong perbankan untuk melayani di wilayah-wilayah
underbanked. Kebijakan ini tentu harus dilakukan oleh Bank Indonesia agar
bank bisa menjalankan salah satu fungsinya, yaitu sebagai agent of
development.
Gambar 4.4. Sepuluh Provinsi dengan Share Dana Pihak Ketiga dan Kredit Terbesar di Indonesia
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 45
Sumber: Bank Indonesia, 2013
Dalam hubungannya dengan kebijakan branchless banking, maka matriks BCG
pada Gambar 4.3 diadaptasi menjadi Gambar 4.5. Pada matriks tersebut dapat
dilihat bahwa prioritas utama dari kebijakan branchless banking adalah daerah
yang berada pada Kuadran IV atau daerah underbanked. Sedangkan prioritas
kedua adalah daerah Kuadran III, atau daerah Low Equilibirum Banked. Daerah
Medium Equilibrium Banked atau Kuadran I adalah daerah menjadi prioritas
ketiga dalam kebijakan ini.
Gambar 4.5 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia dan
Kebijakan Branchless Banking
Dengan hasil dari analisa DEA (Sub Bab 4.1.1.1) dan Analisa BCG Matriks (Sub
Bab 4.1.1.2) yang telah dilakukan di atas, dapat diangap sebagai jawaban dari
perumusan masalah pertama akan pentingnya kebijakan multilicense dan BB
yang saling melengkapi satu sama lain; dimana dengan adanya sinergi kedua
kebijakan tersebut, masyarakat (walaupun berada di pedesaan) akan
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 46
dimungkinkan untuk mendapatkan layanan keuangan dengan harga yang
mudah, aman dan terjangkau sesuai dengan tujuan dari kegiatan Financial
Inclusion (dijelaskan di Bab 2).
4.1.2 Studi Empiris Pemetaan, Potensi serta Forecasting Pembiayaan UMKM (BCG
Matrix)
4.1.2.1 Analisa Pemetaan dan Potensi Kredit UMKM
Dalam menjawab perumusan masalah kedua seperti yang telah
dijelaskan di atas, dalam penulisan makalah ini, dilakukan pula
pemetaan akses masyarakat yang bergerak dalam bidang UMKM
khususnya UMK (Usaha Mikro Kecil) terhadap perbankan. Analisa ini
dilakukan untuk melihat apakah ada potensi peningkatan akses
keuangan kelompok masyarakat tersebut sebagai akibat kebijakan
multilicense dan branchless banking. Dalam hal ini, Pemetaan dengan
menggunakan BCG Matrix digunakan pula untuk memetakan kondisi
pembiayaan UMKM di Indonesia saat ini. Metode yang digunakan
sebelumnya dimodifikasi dengan mengubah sumbu X menjadi kredit
UMK per kapita. Pemetaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.6.
Berdasarkan analisa tersebut dapat dilihat bahwa di provinsi Lampung,
Maluku, Jawa Timur, dan Sumatra Selatan merupakan provinsi yang
masuk dalam katagori underbanked untuk pembiayaan UMKM.
Sedangkan provinsi Bali, Papua, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta
merupakan provinsi yang masuk dalam katogori overbanked dalam
pembiayaan UMKM.
Gambar 4.6 Pemetaan Kondisi Pembiayaan UMKM di Indonesia
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 47
Namun secara umum, pembiayaan UMKM masih dianggap sebagai pembiayaan
yang masih memiliki potensi yang sangat besar. Hasil analisis potensi pasar bagi
sektor UMKM yang dilakukan dalam penelitian ini dikonfirmasi pula dengan
hasil estimasi yang telah dilakukan sebelumnya (tiga penelitian terdahulu).
Ketiga penelitian tersebut dijelaskan dengan singkat sebagai berikut.
a. Penelitian: Hasil Riset BTPN
Estimasi potensi pasar ini dilakukan dengan menggunakan kajian DPNP
tahun 2012. Menurut kajian tersebut, potensi pasar kredit UMK di Indonesia
sebesar Rp1500 triliun. Potensi ini mencakup pembiayaan oleh bank
konvensional maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dari potensi pasar
sebesar Rp1500 triliun tersebut, baru sekitar Rp281,84 triliun pembiayaan
yang telah disalurkan melalui kredit oleh bank umum maupun BPR. Angka
ini baru mencakup 18,8 persen dari total potensi yang diperkirakan.
Berdasarkan estimasi tersebut, maka masih ada potensi sebesar 81,2 persen
atau sebesar Rp1.218,16 yang belum tergarap. Namun estimasi tersebut
belum memperhitungkan UMKM yang telah dibiayai melalui Lembaga
Keuangan Mikro (LKM). Secara lengkap estimasi tesebut dapat dilihat pada
Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Estimasi Kredit Ritel dengan Alternatif 1
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 48
Potensi UMK Total Kredit (Rp T)
Potensi UMK Rp 1.500
Kredit UMK oleh BPR dan Bank Umum Rp 281,84 (18,8%)
Belum tergarap Rp 1.218,16 (81,2%)
Sumber : DPNP, Kajian Market Competition, Bank Indonesia – 2012 (Hasil diskusi dengan BTPN)
Studi tersebut juga mengestimasi pertumbuhan pembiayaan UMKM tahun
2018. Dengan mengasumsikan pertumbuhan kredit sebesar 20%, maka
pada tahun 2018, jumlah minimum pembiayaan UMKM yang wajib
disalurkan oleh perbankan diperkirakan mencapai Rp1.617,13 triliun. Angka
ini diperoleh dengan menghitung 20 persen dari total kredit yang disalurkan.
Namun studi tersebut juga menggarisbawahi adanya kecenderungan bank
untuk menyalurkan kredit kepada usaha Menengah dibandingkan UMK.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang mendorong perbankan untuk
menyalurkan kredit kepada UMK.
b. Penelitian dengan Data Kementrian Koperasi dan UKM
Alternatif kedua estimasi potensi pasar UMK dilakukan dengan
menggunakan data Kementrian Koperasi dan UKM. Berdasarkan data
tersebut, potensi usaha mikro dan Kecil pada tahun 2011 masing-masing
diperkirakan mencapai Rp761,28 triliun dan Rp261,32 triliun. Sementara
total kredit UMK yang sudah disalurkan oleh bank umum dan BPR mencapai
27,56%, yaitu Rp261,45 triliun disalurkan oleh bank umum dan Rp20,39
triliun disalurkan oleh BPR (angka tersebut belum memperhitungkan UMK
yang telah dibiayai melalui Lembaga Keuangan Mikro lainnya). Dengan
demikian, masih terdapat potensi pembiayaan kredit UMK oleh perbankan
sekitar Rp740,71 triliun atau sekitar 72,44%. Hasil estimasi tersebut dapat
dilihat pada Tabel 4.3.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 49
Tabel 4.3 Estimasi Kredit Ritel dengan Alternatif 2
Potensi UMK Total Kredit (Rp T)
Potensi UMK (data Kemenkop) Rp1.022,55 (100,00%)
Usaha Mikro Rp761,23
Usaha Kecil Rp 261,32
Penyaluran Kredit UMK oleh Bank Umum dan BPR Rp281,84 (27,56%)
Kredit Mikro Rp112,73
Kredit Kecil Rp169,11
Belum tergarap Rp 740,71 (72,44%)
Usaha Mikro Rp648,5
Usaha Kecil Rp92,21
c. Penelitian Household Produktif Non-Pegawai
Penelitian ketiga estimasi potensi pasar UMK dilakukan dengan
menggunakan data Survei Rumah Tangga DPNP. Berdasarkan data survei ini,
rumah tangga produktif non-pegawai adalah sebesar 57,63% dari total
rumah tangga. Sementara itu, berdasarkan data BPS Agustus 2012, bukan
angkatan kerja – sektor rumah tangga mencapai 33,6 juta penduduk.
Dengan demikian, proyeksi potensi UMK mencapai 19,4 juta penduduk. Dari
19,4 juta penduduk tersebut, diasumsikan 75% merupakan potensi pangsa
usaha Mikro dan 25% merupakan potensi pangsa usaha Kecil (mengacu
kembali kepada data Kementrian Koperasi dan UKM, 2011). Besarnya skala
UMK per penduduk adalah sebesar jumlah kredit per rekening saat ini, yaitu
Rp16,93 juta per 1 unit usaha Mikro dan Rp144,35 juta per 1 unit usaha
Kecil (data sampai dengan Desember 2012). Sehingga, besarnya potensi
UMK dapat dihitung sebagai berikut: ditambah dengan Usaha Mikro: 75% x
19,4 juta penduduk x Rp16,93 juta = Rp245,88 triliun; Usaha Kecil: 25% x
19,4 juta penduduk x Rp144,35 juta = Rp698,80 triliun; sehingga Total
potensi usaha: Rp245,88 triliun + Rp689,80 triliun = Rp944,68 triliun.
Dengan memperhitungkan angka penyaluran kredit UMK oleh perbankan
(bank umum dan BPR) sebesar Rp281,84 triliun, maka masih terdapat
potensi pembiayaan UMK oleh perbankan sebesar Rp622,84 triliun atau
70,17% (belum memperhitungkan UMK yang telah dibiayai melalui
Lembaga Keuangan Mikro lainnya).
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 50
Ketiga penelitian di atas menunjukkan bahwa potensi pembiayaan perbankan untuk
UMK masih cukup tinggi (ketiga alternatif estimasi tersebut dirangkum pada Tabel 4.4).
Potensi pasar kredit UMK masih sangat besar dan hanya kurang dari 30% yang baru
tergarap, baik melalui pembiayaan oleh bank konvensional maupun BPR. Dengan
menggunakan asumsi bahwa PDB sampai dengan tahun 2018 akan tumbuh pada
angka yang sama, yaitu 6,5%, dan usaha Mikro dan Kecil memiliki pangsa yang relatif
sama, maka potensi usaha Mikro dan Kecil di tahun 2018 diperkirakan mencapai
Rp1.588,42 triliun. Walaupun demikian potensi ini lebih rendah dibandingkan dengan
prediksi jumlah kredit UMKM yang disalurkan oleh perbankan pada tahun 2018
(Penelitian 1), yaitu Rp1.617,13 triliun (dengan asumsi pertumbuhan kredit 20% per
tahun dan semua bank memenuhi ketentuan minimum penyaluran kredit kepada
UMKM).
Tabel 4.4 Rangkuman Estimasi Potensi Pembiayaan UMK
Alternatif Pendekatan Potensi UMK
Jumlah Potensi
Jumlah Pembiayaan UMK oleh Bank Umum
dan BPR (Rp T)
Potensi Pembiayaan UMK
UMK (Rp T) Rp T % Alternatif
1 Hasil Riset BTPN 1500
281,84
1218,16 81,20
Alternatif 2
Kementrian Koperasi dan UKM
1022,55 740,71 72,44
Alternatif 3
Pendekatan RT Produktif Non-
Pegawai 944,68 662,84 70,17
Analisis potensi kredit UMKM juga dilakukan dengan menggunakan BCG Matrix yang
digunakan untuk mengukur tingkat kejenuhan kredit. Dalam analisis ini, pertumbuhan
PDRB kembali menjadi sumbu Y, namun pada analisis ini sumbu X menunjukkan potensi
UMK. Empat kuadran dalam analisis ini adalah: a) Kuadran 1: potensi tinggi, economic
of scale tinggi; b)Kuadran 2: potensi tinggi, economic of scale rendah; c) Kuadran 3:
potensi rendah, economic of scale rendah; d) Kuadran 4: potensi rendah, economic of
scale tinggi.
Hasil analisis yang dilakukan dapat diikuti dalam Gambar 4.7, menujukkan provinsi yang
memiliki potensi tinggi dan economic of scale tinggi adalah Papua Barat dan Kalimantan
Timur. Sedangkan provinsi yang termasuk ke dalam kuadran potensi rendah dan
economic of scale rendah adalah provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan
Barat, Nusa Tenggara Barat dan Papua.
Berdasarkan analisa BCG Matrix untuk pemetaan potensi pembiayaan UMKM di atas,
dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kebijakan branchless banking, yang
memungkinkan bank untuk memberikan layanan keuangan tanpa harus membangun Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 51
kantor fisik bank melainkan melalui point of service (agen), dimana pendiriannya tidak
diperhitungkan dalam perluasan jaringan kantor dalam kebijakan multilicense, akan
mendorong perbankan untuk mempunyai kecenderungan memberikan kredit UMK
dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Gambar 4.7 Pemetaan Kondisi UMK di Indonesia
4.1.2.2 Studi Empiris Forecasting Total Kredit dan Kredit UMKM di Indonesia
Melalui dua kebijakan tersebut, branchless banking dan multilisence, diharapkan
perbankan Indonesia dapat menjadi sektor perbankan yang lebih kuat dan dapat
meningkat outreach kepada masyarakat. Perbankan diharapkan dapat menjangkau
unbanked people dan meningkatkan penyaluran kredit ke sektor UMKM. Namun
dengan adanya kedua kebijakan tersebut, maka muncul pula downside effect
(ancaman) yang menyertainya.
Dengan adanya kedua kebijakan tersebut, terdapat potensi munculnya kepadatan
tingkat layanan perbankan di segmen UMKM. Hal ini disebabkan pangsa UMKM yang
sebelumnya menjadi pasar bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR), bank dalam katagori
BUKU 1 dan lembaga keuangan mikro. Terdapat kekhawatiran bahwa kebijakan ini
akan membuat bank BUKU 1 semakin kehilangan pangsa pasar, dan menyebabkan
bank tersebut kesulitan likuiditas yang pada akhirnya akan menjadi bank yang
bermasalah. Hal tersebut secara tidak langsung akan dapat mendorong konsolidasi atau
pembelian bank dari kelompok yang lebih besar (bank BUKU 2, BUKU 3, dan khususnya
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 52
BUKU 4). Untuk menganalisis hal tersebut lebih jauh lagi, maka dikembangkan sebuah
model untuk menentukan kapan saatnya pangsa kredit UMKM tersebut telah jenuh dan
potensi yang ada telah dapat terpenuhi.
Model estimasi dilakukan dengan melakukan forecasting sederhana untuk jumlah total
kredit. Untuk memperoleh hasil forecasting yang baik, maka beberapa model diestimasi
dan dibandingkan nilai forecast yang diperoleh dengan nilai total kredit aktual. Langkah
ini disebut dengan forecasting ex-post. Dalam langkah ini, diperoleh beberapa model
forecasting. Dari beberapa model tersebut, dilakukan evaluasi untuk memilih tiga model
terbaik dengan menggunakan ukuran-ukuran kebaikan forecast. Rata-rata hasil
forecasting ketiga model terbaik tersebut merupakan kandidat nilai forecast total kredit.
Hasil forecast tersebut dievaluasi dengan menggunakan uji beda rata-rata, uji beda
median, dan uji beda varian, untuk memastikan bahwa nilai total kredit hasil forecast
secara statistik tidak berbeda dengan nilai total kredit aktual.
Setelah model terbaik diperoleh, maka model tersebut digunakan untuk melakukan
forecast nilai total kredit sampai dengan tahun 2020. Nilai kredit UMKM diasumsikan
sebesar 20% dari nilai total kredit (Treshold 20% tersebut diatur dalam kebijakan
multilicense). Hasil estimasi nilai total kredit dan kredit UMKM dapat dilihat pada
Gambar 4.8.
Gambar 4.8 Forecast Total Kredit dan Kredit UMKM Indonesia
Setelah nilai foracast total kredit UMKM sampai dengan tahun 2020 dapat diperoleh,
maka hasil ini dibandingkan dengan nilai potensi kredit UMKM yang telah diestimasi
sebelumnya. Dari hasil analisis potensi kredit UMKM telah dapat diestimasi bahwa
terdapat tiga alternatif nilai potensi kredit UMKM di Indonesia, yaitu Rp1500 triliun,
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 53
Rp1.022,55 triliun, dan Rp944,68 triliun. Dari ketiga alternatif tersebut, maka nilai
Rp1500 disebut sebagai threshold optimis, sedangkan Rp944,68 triliun merupakan
threshold pesimis. Nilai forecast total kredit UMKM kemudian dianalisis untuk
mengetahui periode waktu kedua threshold tersebut dapat terlampaui. Hasil analisis
yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4.9.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua threshold tersebut dapat dilampaui dalam
waktu kurang dari 10 tahun semenjak PBI mengenai pembiayaan UMKM dikeluarkan.
Dengan asumsi bahwa nilai potensi tersebut konstan, maka threshold pesimis akan
dapat dilalui pada tahun 2016. Sedangkan untuk threshold optimis akan dapat
dilampaui pada tahun 2019. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
sebelum threshold terlampaui, maka semua lembaga keuangan akan berusaha
memanfaatkan potensi kredit UMKM yang tersedia. Dalam periode ini, maka
kekhawatiran mengenai berkurangnya pangsa pasar bank BUKU 1, BPR, dan LKM tidak
terjadi. Namun setelah threshold terlampaui, maka kompetisi tajam antar lembaga
keuangan yang menawarkan kredit akan terjadi. Pada periode inilah kekhawatiran
mengenai apakah akan terjadi persaingan yang akan membahayakan bagi bank BUKU
1, BPR dan LKM dapat terjadi. Hal ini menjawab rumusan permasalahan kedua di Bab 1
bahwa kebijakan multilicense dan branchless banking akan sangat membantu
pembiayaan perbankan (seluruh BUKU dan BPR) kepada UMKM khususnya UMK
sepanjang threshold belum terlampaui. Namun, apabila threshold sudah terlampaui,
maka Bank yang berada di BUKU 1, BPR dan LKM akan menemui permalahan dalam
berkompetisi dengan Bank-Bank yang berada di kelompok BUKU 2,3 dan 4.
Gambar 4.9 Analisis Perkembangan Kredit UMKM di Indonesia
Sumber: CEIC, diolah dan Estimasi Analisis Potensi Kredit UMKM oleh Bank Indonesia
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 54
Dalam penulisan penelitian ini, analisa di atas dilengkapi pula dengan memodelkan
perekonomian dengan mengasumsikan adanya rezim tunggal (single regime) memiliki
kelemahan, yaitu memberikan hasil pengukuran volatilitas yang relatif tidak fleksibel
dan dianggap konstan sepanjang estimasi. Salah satu cara untuk mengatasi masalah
tersebut adalah dengan mengijinkan kemungkinan adanya model regime-switching
(perpindahan rezim). Dalam model regime-switching, parameter estimasi berbeda untuk
setiap rezim. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi kemungkinan adanya mekanisme
ekonomi yang menyebabkan variabel dependen mengalami perubahan (switching)
selama proses estimasi. Walaupun rezim itu sendiri tidak dapat diobservasi, akan tetapi
probabilitas terjadinya rezim tersebut dapat diestimasi berdasarkan suatu set informasi
yang tersedia (Santoso, 2008).
Hamilton (1989) mengembangkan sebuah model Markov-switching untuk memodelkan
data runtun waktu dengan kemungkinan adanya perubahan rezim. Setelah itu,
berbagai pengembangan terhadap model Markov-switching banyak dilakukan. Sebuah
model dengan structural break pada parameter dapat diformulasikan sebagai berikut
(Kim dan Nelson dalam Santoso (2008):
, dengan
Dimana adalah variabel dependen, adalah vektor variabel eksogen, dan
adalah residual. Residual ( ) daripersamaan conditional mean di atas, diasumsikan
berdistribusi normal yang dapat dituliskan sebagai berikut:
Apabila diasumsikan terdapat dua rezim, dimana rezim 1 (stabil) dan rezim 2 (volatil),
maka conditional mean dari persamaan di atas adalah:
sedangkan, conditional variance-nya adalah sebagai berikut:
dimana, adalah variabel random yang dapat dituliskan sebagai berikut:
(stabil) atau (volatil)
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 55
Pada persamaan conditional mean di atas, kondisi stabil ( ) ditunjukkan oleh
parameter dan ; sedangkan pada saat kondisi volatil ( ) ditunjukkan oleh
parameter β2 dan . Menurut Kim dan Nelson (dalam Santoso, 2008), apabila St
dapat diobservasi dan diketahui sebelumnya (a priori), maka persamaan conditional
mean dapat diestimasi dengan menggunakan variabel dummy. Namun, apabila St
merupakan rezim yang tidak dapat diobservasi (unobserved states) pada waktu t dan
tidak diketahui a priori, maka model Markov-switching dapat digunakan untuk
mengestimasinya. Dalam hal ini, untuk memodelkan Sttersebut, Hamilton (1994)
menggunakan ordo pertama rantai Markov (first order Markov-chain).
Dalam penelitian ini, model regime switching digunakan untuk mengestimasi faktor-
faktor yang mempengaruhi permintaan kredit. Dengan menggunakan metode ini, maka
akan dapat diketahui apakah ada perbedaan dalam permintaan kredit pada periode
stabil, dan pada periode volatil. Persamaan conditonal mean yang diestimasi adalah
sebagai berikut:
Dimana Outstanding Creditt adalah tingkat pertumbuhan
domestik kredit, gt adalah pertumbuhan ekonomi, inft adalah inflasi, tt adalah suku
bunga pinjaman, dan gexetadalah tingkat perubahan nilai tukar. Hasil estimasi Markov
Switching untuk persamaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.11, sedangkan matriks
transisi dan matriks durasi dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil Estimasi Markov Switching Model
Dependen Variabel: Pertumbuhan Kredit Domestik
Observasi: Januari 2002 - Januari 2013
Variabel Koefisien Standar Error z-Statistik Prob.
State 1: Kondisi Volatil
C 0.05406 0.01169 4.62505 0.00000
Suka Bunga Pinjaman -3.21611 0.81072 -3.96697 0.00010
Inflasi -0.16958 0.10085 -1.68150 0.09270
Log(Sigma) -5.02574 0.17814 -28.21227 0.00000
State 2: Kondisi Stabil
C 0.04413 0.01995 2.21215 0.02700
Suku Bunga Pinjaman -2.99429 1.71000 -1.75105 0.07990
Inflasi 0.00830 0.16819 0.04933 0.96070
Log(Sigma) -3.88684 0.09195 -42.27189 0.00000
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 56
Parameter Matriks Transisi
P11-C 1.28988 0.76099 1.69499 0.09010 P21-C -2.44925 1.00483 -2.43748 0.01480
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,BI, 2013
Dalam estimasi, variabel independen disimulasikan untuk mendapatkan hasil estimasi
yang robust. Hasil estimasi juga menunjukkan variabel pertumbuhan nilai tukar dan
pertumbuhan ekonomi tidak secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan kredit
domestik. Variabel yang mempengaruhi pertumbuhan kredit domestik dalam estimasi
yang robust adalah suku bunga pinjaman dan inflasi.
Dari hasil estimasi diperoleh nilai koefisien yang berbeda untuk dua kondisi yang
diamati, yaitu kondisi stabil dan kondisi volatil. Pengaruh inflasi dan suku bunga
pinjaman juga berbeda untuk dua kondisi tersebut. Pada kondisi stabil, pada α=10
persen, maka hanya suku bunga pinjaman yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
kredit domestik, sedangkan untuk kondisi volatil, suku bunga pinjaman dan inflasi
berpengaruh terhadap pertumbuhan domestik kredit. Koefisien suku bunga pinjaman
pada kondisi volatil lebih tinggi dibandingkan dengan koefisien pada kondisi stabil. Hal
ini menunjukkan bahwa suku bunga pinjaman memiliki kecenderungan efek negatif
lebih tinggi pada kondisi volatil dibandingkan dengan kondisi stabil. Sedangkan nilai
inflasi hanya secara signifikan dan negatif mempengaruhi pertumbuhkan domestik
kredit pada kondisi volatil.
Tabel 4.6 menunjukkan hasil estimasi transisi dan durasi. Hasil estimasi menunjukkan
bahwa probabilitas untuk tetap berada pada kondisi stabil, maupun kondisi volatil lebih
tinggi dibandingkan dengan probabilitas untuk berpindah dari kondisi stabil – volatil,
ataupun dari kondisi volatil – stabil. Probabilitas untuk berpindah dari kondisi stabil ke
volatil juga lebih kecil dibandingkan dengan probabilitas untuk berpindah dari kondisi
volatil ke stabil (0,0795 dibandingkan dengan 0.2159). Sedangkan ekspektasi
perekonomian berada pada kondisi volatil adalah selama 4,6 bulan, dan berada pada
kondisi stabil selama 12,6 bulan.
Tabel 4.6 Matriks Transisi Probabilitas dan Durasi
Matriks Transisi Probabilitas
State 1: Volatil State 2: Stabil
State 1: Volatil 0.7841 0.2159
State 2: Stabil 0.0795 0.9205
Ekspektasi Durasi untuk Masing-Masing State
State 1: Volatil 4.632342
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 57
State 2: Stabil 12.57967
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia, BI, 2013
4.1.3 Studi Empiris Analisis Efisiensi Perbankan Indonesia Berkaitan dengan
Tingkat Efisiensi yang timbul dari Sinergi Pengaturan Multilicense,
Pembukaan Jaringan Kantor dan Implementasi BB
4.1.3.1 Pengukuran Efisiensi dengan Menggunakan Concentration Ratio
Dalam penulisan makalah ini, tingkat efisiensi perbankan yang diukur
dengan CR31 menggunakan dua buah rasio32 yaitu Net Interest Margin
(NIM) dan BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional).
Kedua nilai tersebut dapat dibandingkan dengan perkembangan
penguasaan pasar oleh bank besar di Indonesia, yang dalam hal ini
merupakan bank yang berada pada BUKU 4. Hal ini untuk melihat
apakah kenaikan penguasaan pasar oleh bank yang berada pada BUKU
31 Dalam hal ini ukuran efisiensi perbankan diregresi terhadap sekelompok variabel yang diasumsikan memperngaruhi efisiensi tersebut, dimana salah satunya adalah concentration ratio (CR) yang merupakan variabel sebagai proxy dari kebijakan multilisence. Dalam hal ini ukuran efisiensi perbankan diregresi terhadap sekelompok variabel yang diasumsikan memperngaruhi efisiensi tersebut, dimana salah satunya adalah concentration ratio (CR) yang merupakan variabel sebagai proxy dari kebijakan multilisence. 32 Untuk memilih variable yang tepat dalam perhitungan CR digunakan pendekatan Granger Casuality. Apabila terdapat dua buah variabel X dan Y, kita tidak memliki informasi apakah variabel X mempengaruhi variabel Y ataukah variabel Y mempengaruhi variabel X. Untuk dapat mengetahui mengenai arah hubungan antar variabel, maka diperlukan sebuah uji statistik. Salah satu uji yang digunakan secara luas adalah Granger Causality Test. Apabila ada dua persamaan sebagai berikut.
ttttttt eXXYYX +++++= −−−− 24132211 ββββα (1)
ttttttt eXXYYY +++++= −−−− 24132211 γγγγδ (2)
Granger Causality Test dilakukan untuk mengetahui apakah variabel Y mempengaruhi variabel X. Apabila variabel Y mempengaruhi variabel X, maka lag dari variabel Y akan signifikan pada persamaan (1) . Apabila pada persamaan (2), lag variabel X tidak mempengaruhi variabel Y, maka dikatakan bahwa variabel Y secara unilateral Granger cause variabel X. Demikian pula sebaliknya, apabila pada persamaan (2) lag variabel X secara signifikan mempengaruhi variabel Y, namun pada persamaan (1) lag variabel Y tidak signifikan mempengaruhi X, maka dapat disimpulkan bahwa variabel X secara unilateral Granger cause variabel Y. Namun hasil pengujian dapat pula memberikan hasil lag variabel Y signifikan mempengaruhi variabel X pada persamaan (1) dan lag variabel X mempengaruhi variabel Y pada persamaan (2). Apabila hasil ini yang diperoleh, maka kesimpulan yang dapat dihasilkan adalah terdapat hubungan dua arah antara X dan Y. Sedangkan apabila kedua variabel tidak saling signifikan mempengaruhi, maka kesimpulan yang dapat dihasilkan adalah kedua variabel tersebut merupakan variabel yang independent. Ketiga variabel tersebut diestimasi dengan metode Granger Causality dengan lag 1 sampai dengan 12. Hasil estimasi Granger Causality menunjukkan bahwa ROA granger cause NIM dan BOPO, sedangkan NIM granger cause BOPO. Oleh karena itu, dalam estimasinya, BOPO akan menjadi variabel dependen. Sedangkan sebagai variabel independen adalah NIM, ROA, jumlah bank, loan to deposit ratio, total kredit, dan concentration ratio dari bank BUKU 4. Model dasar diestimasi dengan dengan menggunakan metode Autoregressive Distributed Lag.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 58
4 diikuti dengan kenaikan nilai NIM dan BOPO. Apabila kenaikan
penguasaan pasar oleh bank BUKU 4 diikuti dengan kenaikan nilai NIM
dan BOPO, maka dapat disimpulkan bahwa efisiensi perbankan
Indonesia dipengaruhi oleh Bank BUKU 4, yang merupakan bank besar
di Indonesia. Ukuran penguasaan pasar yang digunakan dalam analisis
ini adalah pangsa kredit bank pada BUKU 4 terhadap total kredit, dan
pangsa dana pihak ketiga terhadap total dana pihak ketiga. Ukuran
tersebut disebut dengan consentration ratio (CR)33 seperti ditunjukan
pada Table 4.7
. Tabel 4.7 Perkembangan Efisiensi Perbankan dan Concentration Ratio
CR-4 Kredit (%) CR-4 DPK (%) NIM BOPO (%)
Dec-01 47.10 59.59
Dec-02 48.58 58.37
Dec-03 48.56 56.75
Dec-04 49.12 54.68
Dec-05 46.21 51.05
Dec-06 45.55 50.46 5.80 86.45
Dec-07 45.08 51.86 5.70 78.83
Dec-08 45.87 51.34 5.66 84.10
Dec-09 46.80 52.29 5.56 81.57
Dec-10 45.38 50.48 5.73 79.96
Dec-11 45.12 49.13 5.91 85.34
Dec-12 45.66 48.74 5.49 74.15
Jan-13 45.47 47.66 5.53 79.58
Feb-13 45.63 46.88 5.34 78.52
Mar-13 45.65 46.36 5.41 75.46 Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,BI, 2013
Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum efisiensi perbankan di
Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai
BOPO dan nilai NIM yang semakin menurun. Sedangkan nilai CR-4 untuk
Kredit maupun DPK menunjukkan nilai yang relatif stabil semenjak tahun
2002, tanpa adanya peningkatan rasio yang sangat signifikan. Hal ini
menunjukkan dugaan tidak adanya hubungan yang jelas antara
consentration ratio dengan efisiensi perbankan.
33 Semula terdapat tiga variabel efisiensi yang digunakan, yaitu NIM, BOPO, dan return on asset (ROA). Untuk memilih variabel yang tepat untuk digunakan metode Granger Causality. Apabila terdapat dua buah variabel X dan Y, kita tidak memliki informasi apakah variabel X mempengaruhi variabel Y ataukah variabel Y mempengaruhi variabel X. Untuk dapat mengetahui mengenai arah hubungan antar variabel, maka diperlukan sebuah uji statistik. Salah satu uji yang digunakan secara luas adalah Granger Causality Test. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 59
4.1.3.2 Pengukuran Efisiensi dengan Menggunakan HHI34
Concentration ratio yang diperoleh dianalisis lebih jauh dengan
menggunakan Herfindahl-Hirschman Index (HHI). Indeks ini merupakan
indeks yang secara umum diterima sebagai ukuran konsentrasi pasar.
Nilai HHI diukur sebagi jumlah dari kuadrat pangsa pasar perusahaan
yang berkompetisi. Apabila dianggap bahwa pada sektor perbankan,
keempat kelompok BUKU bank sebagai kelompok yang berkompetisi
dalam sektor perbankan di Indonesia, maka HHI sektor perbankan di
Indonesia dapat diestimasi.
Institusi yang menggunakan nilai HHI sebagai ukuran dalam
pengambilan keputusan adalah US Departemen of Justice (USDOJ)
dalam hal keputusan untuk pemberian ijin merger. USDOJ menganggap
nilai indeks kurang dari 1500 menunjukkan pasar yang kompetitif,
indeks 1500-2500 merupakan pasar yang terkonsentrasi secara moderat,
dan nilai indeks lebih dari 2500 merupakan pangsa pasar yang sangat
terkonsentrasi. Merger perusahaan yang meningkatkan nilai HHI lebih
dari 200 nilai indeks dinilai akan menunjukkan adanya kemungkinkan
monopoli pasar. Hasil estimasi HHI bank dengan ukuran konsentrasi
kredit dan DPK dapat dilihat pada Tabel 4.8 dan Tabel 4.9.
Hasil estimasi HHI untuk Indonesia menunjukkan bahwa HHI Indonesia,
baik dengan menggunakan kredit maupun menggunakan dana pihak
ketiga, menunjukkan angka di atas 3000. Nilai HHI untuk Kredit
menunjukkan nilai yang stabil, sedangkan untuk DPK menunjukkan
angka HHI yang cenderung menurun. Walaupun demikian, apabila
digunakan nilai USDOJ sebagai ukuran konsentrasi pasar, maka industri
perbankan Indonesia merupakan pasar yang sangat terkonsentrasi.
Dengan kebijakan multilisence yang telah dilaksanakan, maka pangsa
pasar yang telah ada saat ini memiliki indikasi tidak akan mengalami
perubahan. Sehingga sektor perbankan Indonesia merupakan sektor
yang terkonsentrasi.
34 HHI adalah Herfindahl-Hirschman Index. HHI merupakan index yang digunakan sebagai ukuran konsentrasi pasar. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 60
Tabel 4.8 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia - Kredit
Periode Share terhadap Total Kredit
BUKU 4 BUKU 3 BUKU 2 BUKU 1 HHI
Dec-01 47.10% 29.77% 17.72% 5.42% 3448
Dec-02 48.58% 30.10% 15.99% 5.33% 3550
Dec-03 48.56% 29.44% 16.65% 5.35% 3531
Dec-04 49.12% 30.03% 15.77% 5.08% 3589
Dec-05 46.21% 32.00% 16.81% 4.98% 3467
Dec-06 45.55% 32.54% 16.80% 5.11% 3442
Dec-07 45.08% 32.32% 17.51% 5.10% 3409
Dec-08 45.87% 31.51% 17.86% 4.76% 3438
Dec-09 46.80% 31.39% 16.96% 4.85% 3487
Dec-10 45.38% 32.97% 16.82% 4.84% 3452
Dec-11 45.12% 32.99% 16.95% 4.94% 3436
Dec-12 45.66% 32.23% 17.09% 5.02% 3441
Jan-13 45.47% 32.29% 17.20% 5.05% 3431
Feb-13 45.63% 32.07% 17.24% 5.06% 3433
Mar-13 45.65% 31.95% 17.32% 5.07% 3431
Tabel 4.9 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia - Kredit
Periode
Share terhadap Total Dana Pihak Ketiga
BUKU 4 BUKU 3 BUKU 2 BUKU 1 HHI
Dec-01 59.59% 25.75% 11.18% 3.49% 4351
Dec-02 58.37% 25.76% 11.90% 3.97% 4228
Dec-03 56.75% 26.01% 12.94% 4.30% 4083
Dec-04 54.68% 26.77% 14.03% 4.52% 3923
Dec-05 51.05% 27.91% 16.15% 4.89% 3670
Dec-06 50.46% 26.51% 17.48% 5.55% 3585
Dec-07 51.86% 25.91% 17.04% 5.19% 3678
Dec-08 51.34% 27.59% 16.86% 4.20% 3699
Dec-09 52.29% 27.23% 16.17% 4.31% 3756
Dec-10 50.48% 29.20% 15.82% 4.50% 3671
Dec-11 49.13% 29.82% 16.15% 4.91% 3587
Dec-12 48.74% 30.12% 16.11% 5.03% 3568
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 61
Jan-13 47.66% 30.74% 16.30% 5.31% 3510
Feb-13 46.88% 30.85% 16.84% 5.43% 3462
Mar-13 46.36% 30.89% 17.18% 5.57% 3430
Analisis efisiensi perbankan dalam hubungannya dengan consentration ratio juga
dilakukan dengan menggunakan model ekonometrika. Dalam hal ini ukuran efisiensi
perbankan diregresi terhadap sekelompok variabel yang diasumsikan memperngaruhi
efisiensi tersebut, dimana salah satunya adalah concentration ratio (CR) yang
merupakan variabel sebagai proxy dari kebijakan multilisence.
Terdapat tiga variabel efisiensi yang digunakan, yaitu NIM, BOPO, dan return on asset
(ROA). Untuk memilih variabel yang tepat digunakan metode Granger Causality. Hasil
estimasi Granger Causality menunjukkan bahwa ROA granger cause NIM dan BOPO,
sedangkan NIM granger cause BOPO. Oleh karena itu, dalam estimasinya, BOPO akan
menjadi variabel dependen. Sedangkan sebagai variabel independen adalah NIM, ROA,
jumlah bank, loan to deposit ratio, total kredit, dan concentration ratio dari bank BUKU
4.
4.1.4 Analisis penerapan branchless banking dalam meningkatkan jumlah
Rekening
4.1.4.1 Probabilitas Peningkatan Kepemilikan Rekening Tabungan
Untuk menghitung probabilitas kepemilikan rekening tabungan
berdasarkan beberapa variabel digunakan model regresi logistik. Model
ini menggunakan enam variabel prediktor sebagai indikator kepemilikan
rekening. Hasil perhitungan dengan model regresi logistik ditunjukkan
dalam Tabel 4.10 berikut ini.
Tabel 4.10 Hasil Perhitungan Model Regresi Logistik
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia, BI, 2013
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 62
Semua prediktor yang dipergunakan, berpengaruh secara signifikan,
ditunjukkan oleh nilai P>z yang kurang dari 5%. Peluang responden di
desa untuk memiliki rekening bank lebih kecil dari pada responden yang
berada di kota, ditunjukkan dengan tanda negatif pada koefisien
regresinya (-.6327368). Bagi responden yang merasa mudah
menjangkau lokasi bank, peluang untuk memiliki rekening bank lebih
kecil dari pada responden yang merasa sangat mudah menjangkau
bank. Bagi responden yang merasa sulit menjangkau lokasi bank,
peluang untuk memiliki rekening bank lebih kecil dari pada responden
yang merasa sangat mudah menjangkau bank. Peluang responden yang
tidak memiliki usaha untuk memiliki rekening bank lebih kecil
dibandingkan dengan responden yang memiliki usaha. Peluang
responden yang berada di Jawa untuk memiliki rekening bank lebih
besar dibandingkan dengan responden yang berada di luar Jawa.
Peluang responden untuk memiliki rekening bank akan meningkat jika
pengeluarannya semakin besar.
4.1.4.2 Probabilitas Estimasi Peningkatan Rekening Tabungan
Model regresi linear digunakan untuk melakukan estimasi peningkatan
rekening tabungan jika ada penambahan layanan jasa keuangan. Dasar
perhitungan dengan menggunakan model regresi linier dari setiap zona
kejenuhan bank.
Tabel 4.11 Hasil Analisis Model Regresi Linier
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia, BI, 2013
Zona kejenuhan bank yang didasarkan pada studi Bank Indonesia
sebelumnya, yang mengklasifikasi provinsi dalam wilayah underbanked,
low equilibrium banked, medium equilibrium banked dan over banked35.
35 Underbanked: Lampung, Jambi, Papua Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, NTB, Maluku Utara, NTT, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, Maluku, Sumatera Barat. Low Eq. Bank: NAD, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kepulauan Bangka-Belitung, Bengkulu Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 63
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model regresi
liner, ditunjukkan dalam Tabel 4.11.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, pengaruh penambahan jumlah
jaringan layanan bank (traditional office dan agent banking) terhadap
peningkatan jumlah rekening bank dihitung berdasarkan tingkat
kejenuhan bank di setiap provinsi. Hasil estimasi penambahan rekening
jika ada pertambahan jaringan layanan ditunjukkan dalam Tabel 4.12
Tabel 4.12 Estimasi Pertambahan Rekening Berdasarkan Zona Provinsi
Sumber: diolah dari data Bank Indonesia Bank, BI, 2013
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan model regresi linier
menunjukkan bahwa penambahan jumlah rekening tabungan yang
terbanyak akan terjadi di zona medium equilibrium bank, sedangkan
yang terendah berada di zona low equilibrium bank. Hal ini juga
mengindikasikan bahwa dari sisi economic of scale pertambahan jumlah
jaringan bank selama ini sudah cukup rasional. Sebaliknya, jika ditinjau
dari sisi peranan bank sebagai agent of development menunjukkan
peranan bank dalam pengembangan jaringan layanan perlu lebih
dioptimalkan.
Medium Eq. Bank: Kalimantan Selatan, Kalumantan Tengah, Riau, Sumatera Utara, Papua Overbanked: seluruh Provinsi di Jawa, Bali, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 64
BAB 5 KONSEPSI KEBIJAKAN UNTUK MENDUKUNG EFEKTIFITAS KEBIJAKAN MULTILICENSE DAN BRANCHLESS BANKING
Sebelum dilakukan analisa kebijakan untuk mendukung kebijakan multilicense dan branchless
banking tersebut dan dengan didukung analisa perumusan masalah secara mendalam seperti
yang telah disampaikan dalam Bab 4, dalam penulisan penelitian di Bab 5 ini akan dilakukan
analisa SWOT (Strength, Weakness, Oppurtunity and Thread) tersebut dengan menggunakan
hasil analisa yang diperoleh di Bab 4 tersebut dan terlebih dahulu menghubungkannya dengan
perkembangan terakhir dari industri perbankan nasional dan regional yang dapat diperoleh
datanya.
Dengan melakukan analisa SWOT tersebut, penulisan makalah ini akan mencoba mengajukan
beberapa alteranatif kebijakan yang dapat digunakan untuk menjawab perumusan masalah di
Bab 1 Pendahuluan; yang selanjutnya dapat dipertimbangkan guna menjawab pertanyaan
dalam penulisan makalah ini yaitu apakah kebijakan multilicense dan branchless banking akan
memberikan dampak positive benefit (keuntungan) atau menimbulkan resiko (ancaman)
terhadap industri perbankan nasional dan perekonomian Indonesia khsususnya.
5.1 Kapasitas Bank di Indonesia dibandingkan Bank di Negara ASEAN
5.1.1 Perbandingan Asset dan Modal Inti Perbankan Nasional dengan Regional
Dari sisi asset, 5 bank terbesar di Indonesia (Mandiri, BRI, BCA, BNI, CIMB-Niaga) masih
unggul dibandingkan Filipina dan Vietnam, tetapi jauh lebih rendah jika dibandingkan
dengan bank-bank terbesar dari Singapura, Malaysia dan Thailand. Hal ini mengandung
konsekuensi yang sangat mendalam terhadap peta kompetisi industri perbankan
nasional terutama dengan rencana dibentuknya Masyarakat Ekonomi Asia (MEA)36;
dimana dengan MEA ini akan mengandung konsekuensi adanya QAB (Qualified Asean
Bank). Sampai dengan saat ini, apabila dikomparasi maka daya saing perbankan
nasional masih rendah; hal ini dapat dipandang sebagai ancaman (threat) bagi
perbankan nasional. Bank-bank di Indonesia berada di “borderline” dibandingkan
36 Pilar utama dan paling penting dari MEA ini adalah integrasi sektor perbankan. Untuk itu, pada tahun 2020 para
petinggi otoritas perbankan di ASEAN bersepakat bahwa semua negara ASEAN minimal memiliki 1 (satu) bank yang
berkualitas pada tingkat ASEAN (Qualified ASEAN Banks-QAB). Dalam penetapan QAB tersebut, beberapa negara
ASEAN mengusulkan bahwa pendekatan multilateral hanya dapat dilakukan dalam rangka penetapan kriteria QAB,
sedangkan penetapan bank yang menjadi QAB dilakukan dengan pendekatan bilateral.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 65
dengan bank-bank di Singapura, Malaysia dan Thailand baik dilihat dari sisi modal, aset
dan efisiensi (Gambar 5.1 dan Gambar 5.2).
Oleh karena itu, kesiapan perbankan Indonesia khususnya dari sisi permodalan, efisiensi
dan daya saing perlu diupayakan dengan sungguh-sungguh, di tengah kewajibannya
untuk mematuhi aturan internasional dan tetap mempertahankan eksistensinya di pasar
domestik. Persiapan sungguh-sungguh dari industri perbankan nasional dan BI sebagai
otoritas pengawas dan pengaturan perbankan nasional37 adalah mutlak untuk
dilaksanakan guna memperkuat daya saing dan kemampuan perbankan nasional dalam
memanfaatkan “new market” sebagai akibat terbentuknya MEA sebagai suatu
Oppurtunity (kesempatan).
Gambar 5.1 Perbandingan Asset 5 Bank Terbesar di Beberapa Negara ASEAN
Sumber: diolah dari beberapa data, BI, 2013. 5.1.2 Modal Inti
Gambar 5.2 Modal Inti Bank Besar di ASEAN
Sumber: Bankscope, Bank Indonesia diolah (Desember 2011)
37 Kewenangan sebagai otoritas pengawas dan peraturan perbankan nasional akan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan di awal tahun 2014. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 66
Dibandingkan bank-bank dari negara ASEAN yang lain, modal inti 4 bank - tier 4
di Indonesia relatif kecil. Lebih dari separuh dari 12 Bank terbesar di ASEAN
mempunyai modal inti di atas Rp 50 Trilyun, bahkan 3 bank dari Singapura
mempunyai modal inti lebih dari Rp 150 trilyun. Sedangkan 4 bank terbesar di
Indonesia modal intinya kurang dari Rp 50 Trilyun. Keterbatasan (weakness)
kapasitas modal (Gambar 5.1 dan Gambar 5.2) yang dimiliki bank di Indonesia
tentunya akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi usaha dan efisiensi
operasional; sehingga pada akhirnya akan mengurangi kemampuan bersaing
industri perbankan nasional dengan QAB dari Negara-negara lain. Kelemahan
(weakness) ini harus diatasi dan strategi kebijakan untuk meningkatkan
kemampuan bersaing perbankan nasional melalui peningkatan modal inti dan
melalui strategi peningkatan perluasan jaringan kantor; seperti di antaranya
melalui kebijakan branchless dan multilicense tersebut.
5.1.3 Capital Adequacy Ratio (CAR)
Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio untuk mengukur kemampuan
permodalan yang dimiliki oleh bank untuk untuk mengatasi kemungkinan
terjadinya kerugian dalam kegiatan operasional (perkreditan dan perdagangan
surat- surat berharga).38 Semakin tinggi nilai CAR, di atas nilai minimum, maka
semakin besar kemampuan bank untuk mengatasi kemungkinan terjadinya
kerugian..
Dari Gambar 5.3 menunjukkan bahwa rata-rata CAR di tujuh negara tersebut
berada di atas batas minimal ketentuan dalam BASEL II yakni 8%. Dari ketujuh
negara tersebut dapat dilihat bahwa perbankan di India mempunyai CAR yang
relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Sementara itu CAR
perbankan Indonesia masih berada di atas nilai minimum dan lebih tinggi dari
Malaysia, Singapura, dan Hongkong. CAR dan modal inti industri perbankan
nasional sendiri menunjukan trend yang meningkat sampai dengan kuartal 1-
2013 (Gambar 5.4).
Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya terdapat aspek kekuatan (strength) bagi
perbankan nasional untuk menyalurkan kredit yang lebih besar dari pada tingkat
kredit yang disalurkan saat ini, khususnya untuk melakukan penyaluran kredit
UMKM yang relative total nilai kredit per individu peminjamnya lebih kecil dan
38 SE BI No 30/11/KEP/DIR, 30 April 1997 Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 67
dapat mempunyai outreach (jangkauan) yang lebih luas terhadap kelompok
masyarakat yang bergerak dalam sektor informal (UMK).
Untuk mempunyai kekuatan dengan jangkauan yang lebih luas tersebut adalah
masih “sangat mungkin” dipertimbangkan guna diimplementasikan mengingat
CAR yang masih tinggi dan ini sejalan dengan target dari bank sebagai
economic agent yang tentunya berusaha mendapatkan profit dan ROA yang
lebih besar melalui penyaluran kredit kepada masyarakat khususnya UMKM
(NIM dan ROA perbankan nasional tampak masih sangat tinggi seperti terlihat
pada Gambar 5.5). Kondisi ini dapat dipertimbangkan sebagai opportunity
(kesempatan) bagi perbankan nasional.
Gambar 5.3 CAR Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013.
Gambar 5.4 Perkembangan CAR, ATMR dan Modal Industri Perbankan Nasional
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 68
Gambar 5.5 Perkembangan ROA dan NIM Industri Perbankan Nasional
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013
5.2 Tingkat Efisiensi Bank di Indonesia
5.2.1. Biaya Operasional Pendapatan Operasional Bank
Rasio Biaya Operasional – Pendapatan Operasional (BOPO) merupakan rasio
sederhana untuk melihat tingkat efisiensi operasional perbankan. Rasio ini
membandingkan jumlah biaya operasional yang dikeluarkan oleh bank dengan
pendapatan operasional yang diterima oleh bank atau dengan kata lain melihat
alokasi biaya terhadap pendapatan yang diterima. Semakin besar nilai rasio ini,
maka bank tersebut dapat dikatakan semakin tidak efisien.
Gambar 5.6 BOPO Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 69
Dari Gambar 5.6 dan Gambar 5.7 menunjukkan perbankan Indonesia memiliki rasio
BOPO yang relatif paling tinggi dibandingkan dengan beberapa negara yang lain. Hal ini
menunjukkan kelemahan (weakness) industri perbankan nasional; kelemahan ini
dikarenakan kurang efisiennya bank dalam pengelolaan biaya operasionalnya. Jika
melihat pada Gambar 5.7 di atas maka, perbankan di Singapura, Malaysia, dan
Hongkong memiliki nilai BOPO yang relatif lebih rendah dikawasan.
Gambar 5.7 Perkembangan BOPO Industri Perbankan Nasional
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013
5.2.2 Net Interest Margin (NIM)
NIM merupakan rasio untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam
mengelola asset produktif untuk menghasilkan pendapatan bunga bunga
bersih. Semakin besar nilai rasio ini menunjukkan bahwa produktivitas asset
untuk menghasilkan pendapatan bunga semakin tinggi sehingga kemungkinan
kondisi bermasalah bank tersebut semakin kecil.39
Gambar 5.8 NIM Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011
*NIM untuk Singapura adalah NIM per Kuartal II Tahun 2011 Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013
39 SE BI No 6/23/DPNP Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 70
Pada Gambar 5.8 di atas, tampak bahwa nilai NIM Indonesia paling besar
dibandingkan dengan beberapa negara lain. NIM yang tinggi ini dipicu oleh
tingkat bunga pinjaman yang relatif tinggi dan spread antara pendapatan bunga
dengan biaya bunga yang dibayarkan besar. Di satu sisi, hal ini menunjukan
adanya Strength (kekuatan) bagi industri perbankan nasional; namun di sisi yang
lain, hal ini juga menunjukan bahwa perbankan nasional menikamati profit yang
lebih tinggi dan kurang memperhatikan bagaimana memberikan pelayanan
keuangan kepada masyarakat yang lebih luas sebagaimana dijelaskan dalam Bab
1 pada penelitian ini.
Persepsi yang mengedepankan profit dengan kurang memperhatikan jumlah
nasabah kecil tersebut dapat dipandang sebagai threat (ancaman) terhadap
kelangsungan NIM tinggi itu sendiri karena ke depan dengan karaketristik
perbankan yang cenderung memiliki DPK dengan jangka waku yang pendek
(short term liquidity) sehingga ke depan dapat diprediksikan untuk
mempertahankan NIM tinggi tersebut perbankan harunya lebih menjangkau
pembiayaan kepada UMKM.
Dengan mengambil hasil analisa untuk menjawab perumusan masalah keempat
dalam Bab 4, yang menunjukan terdapatnya probabilitas peningkatan yang
signifikan dalam penambahan jumlah rekening dan penambahan DPK yang
dapat dihimpun oleh industri perbankan nasional serta kesempatan yang besar
dalam penyaluran kredit kepada sektor UMKM (hasil analisa masalah untuk
perumusan masalah ketiga di Bab 4 Analisa) maka ke depan perbankan nasional
dapat disarankan untuk mengunakan kebijakan branchless banking sebagai
alternatif kegiatan perluasan kantor kepada sektor UMKM dan hal ini didukung
pula dengan kebijakan multilicense yang memperbolehkan perluasan jaringan
kantor dangan tidak memperhitungkan pendirian agent (branchless banking)
tersebut dalam komponen kecukupan modal intinya. Hal ini merupakan
opportunity (kesempatan) bagi industry perbankan nasional.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 71
5.2.3 Loan to Deposit Ratio
Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan rasio untuk menilai tingkat likuiditas
suatu bank, dengan membandingkan jumlah kredit yang disalurkan terhadap
DPK yang dihimpun40.
Gambar 5.9 LDR Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013
Berdasarkan Gambar 5.9 di atas, mayoritas negara memiliki rasio LDR yang
seimbang berada pada kisaran 70% - 90%. LDR Thailand memiliki nilai yang
terbesar dibandingkan dengan enam negara yang lain. Hal ini menunjukkan
bahwa porsi penyaluran dana masyarakat dengan menggunakan dana pihak
ketiga yang dihimpun masih besar41.
Bank Indonesia berusaha mendorong pencapaian LDR ini dengan mengeluarkan
peraturan GWM (Giro Wajib Minimum) – LDR42 pada awal 2012. Hal ini diikuti
pula dengan penerapan penyampaian informasi tentang seluruh komponen
pembentukan biaya dalam suku bunga dasar kredit (SBDK) sehingga diharapkan
dapat memberikan tingkat suku bunga kredit yang lebih rendah kepada
masyrakat. Hal ini menunjukan perkembangan yang menggembirakan dimana
SBDK dan Suku Bunga DPK Rupiah menunjukan perkembangan yang menurun
sampai dengan kuartal 1-2013 (Gambar 5.10). Selanjutnya dengan
mengkombinasikannya dengan kebijakan branchless banking, perbankan
40 Semakin tinggi nilai LDR menunjukkan porsi penyaluran dana dari penghimpunan dana pihak ketiga adalah semakin besar. 41 Nilai penyaluran dana melebihi nilai dana pihak ketiga yang dihimpun, sehingga kemungkinan bank menggunakan modal sendiri ataupun pinjaman untuk memberikan pinjaman semakin besar. 42 Peraturan GWM-LDR ini mempersyaratkan perbankan nasional untuk menyediakan GWM yang dipelihara di BI lebih besar apabila individu bank tersebut tidak dapat mencapai tingkat LDR yang dipersyaratkan. Di sisi yang lain, individu bank untuk meningkatkan CAR nya melalui peningkatan modal inti apabila LDR yang dicapai telah melebihi batas yang LDR yag dipersyaratkan. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 72
nasional diharapkan dapat memanfaatkan kebijakan tersebut dengan
mempunyai jaringan yang lebih luas dalam menawarkan produk keuangan
dengan harga yang lebih terjangkau kepada masyarakat (opportunity).
Gambar 5.10 Rata-Rata Suku Bunga Kredit dan DPK Rupiah
Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013
5.3 Analisis SWOT dan Konsepsi Kebijakan dalam Melaksanakan Kebijakan Branchless
Banking setelah Penerapan Multilicense Policy
Dalam melakan analisa SWOT di Bab 5.3 ini, SWOT diolah dengan penekan dari hasil analisa kualitatif dan kuantitatif yang telah dijelaskan di Bab 4 dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan secara jelas di Bab 1. Selanjutnya analisa, SWOT dapat disampaikan sebagai berikut:
Strength Opportunity • Nilai-nilai lokal yang dipahami oleh bank-bank
lokal dapat menjadi keuntungan dalam pengembangan kegiatan Branchless Banking.
• Kemampuan mengembangkan produk keuangan yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat di setiap daerah.
• Kemampuan membuat standar pelayanan nasabah yang disesuaikan dengan karakteristik kegiatan harian yang dilakukan masyarakat.
• Kemampuan melakukan mitigasi risiko kredit dan risiko operasional dengan memanfaatkan kelembagaan lokal yang ada di masyarakat.
• Kemampuan untuk bekerjasama dengan unit ekonomi lokal lebih tinggi.
• Telah mempunyai debitur UMKM • Kebijakan BB ini akan mampu mengenalkan
produk perbankan dengan relatif biaya yang rendah sebagai akibat adanya kebijakan SBDK.
• Masih banyak pangsa pasar tersedia baik di nasional maupun regional (ASEAN).
• Kesempatan untuk memperluas pasar di tingkat ASEAN seiring dengan adanya ASEAN banking integration.
• Memperluas jaringan “keagenan” di seluruh pelosok tanah air.
• Kesempatan memperoleh sumber dana retail.
• Memperluas kredit UMKM khususnya kredit mikro.
• Memanfaatkan debitur UMKM yang ada menjadi calon agen.
• Menurunkan risiko likuiditas • Diversifikasi kredit dan menurunkan risiko
kredit • Kesempatan menurunkan suku bunga kredit
dengan peningkatan kompetisi. • Saluran program bantuan pemerintah yang
aman dan efisien
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 73
• Persaingan yang lebih sempurna. • Kerjasama dengan LKM dan unit usaha lokal.
Weakness Threat • Tingkat efisiensi usaha yang masih rendah
menjadi hambatan dalam pengembangan usaha bagi perbankan nasional (comfort zone)
• Masih tingginya biaya operasional • Tingginya net interest margin (NIM) • Tingginya suku bunga pinjaman khususnya
kredit UMKM • Masih kalahnya profesionalitas SDM
perbankan nasional • Kurangnya inovasi produk dan jasa • Tidak adanya produk yang cocok untuk
masyarakat kecil. • Terlalu fokus pada nasabah besar • Pelayanan yang rigid dan formalitas • Kurangnya persaingan, pasar tidak sempurna
khusunya sektor UMKM • Kemampuan pengelolaan risiko dibidang
mass market masih terbatas.
• ASEAN banking integration memudahkan bank-bank asing (ASEAN) untuk masuk dan beroperasi di Indonesia
• Berkembangnya shadow banking activity menawarkan kredit yang cocok
• Masuknya pemain asing non bank • Salah strategy akan menjadi backfire karena
keterbatasan kemampuan SDM dan salah penggunaan sistem informasi.
• Meningkatnya risiko operasional • Meningkatnya risiko reputasi.
5.3.1 Penguatan Strategi SWOT dan Konsepsi Kebijakan
Dengan membahas penguatan strategi SWOT di atas, dalam Sub Bab 5.3.1 ini,
disampaikan pula penguatan strategi dalam sinergi kebijakan branchless
banking dan multilicense guna meningkatkan tingkat akses masyarakat
terhadap layanan keuangan yang dapat diusulkan untuk masing-masing Aspek
SWOT sebagai berikut:
1. Aspek Strength: yang harus dilakukan oleh perbankan nasional adalah
melakukan standarisasi pelayanan yang didasarkan pada nilai-nilai lokal dari
setiap kantor layanan (“agen”) sebagai “extended arms” (kepanjangan
tangan) dari Bank. Strategi ini dapat meningkatkan daya saing sekaligus
memitigasi risiko yang mungkin timbul baik dari technology risk maupun
operational risk. Hal ini dapat dilakukan oleh Bank Indonesia selaku regulator
dengan mempersyaratkan peraturan atau kebijakan Branchless Banking yang
mengedepankan peraturan yang detail dalam Standard Operating Procedure
(SOP) untuk pengawasan dan pengaturan kegiatan agen.
2. Aspek Weaknesses: yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan
efisiensi operasional seperti memanfaatkan dukungan teknologi. Hal ini
harus didukung dengan bisnis model yang tepat pula; serta ditunjang pula
dengan peningkatan kemampuan risk management dibidang mass market.
Dengan menyadari bahwa saat ini kegiatan Branchless Banking ini masih Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 74
dalam proses uji coba (pilot project), hal ini harus dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh BI melalaui kebijakan dengan memberikan bentuk
business model yang paling cocok untuk kegiatan BB guna mendorong
peningkatan akses keuangan masyarkat khususnya di pedesaan lebih cepat.
3. Aspek Opportunity: yang perlu dilakukan adalah melakukan penetrasi pasar
domestik yang masih sangat luas dengan meningkatkan kemampuan
teknologi dan SDM serta memanfaatkan unit unit usaha lokal sebagai agen.
Proses Pilot Project BB yang sedang dilakukan oleh BI dengan melibatkan 5
(lima) bank yang telah disebutkan di atas harus dapat dilakukan secara
mendalam dan lebih detail dalam waktu yang lebih cepat, mengingat pada
awal 2014 Otoritas Jasa Keuangan lah yang akan melanjutkan pengaturan
dan pengawasan perbankan, walaupun BI akan tetap berperan sebagai
pengatur dan pengawasan kegiatan Sistem Pembayaran. Peraturan BB
selanjutnya harus segera dikeluarkan mengingat MEA yang akan segera
dilaksanaka di 2015.
4. Aspek Threat: yang harus dilakukan pertama kali adalah menjadi yang
pertama, terjun terlebih dahulu mengembangkan branchless banking
sehingga mampu menjadi teknikal barrier bagi bank-bank asing dari ASEAN
(adanya MEA di 2015). Hal ini terutama harus didukung dengan kebijakan
dan kegiatan peningkatan edukasi keuangan, pedlindungan nasabah
(consumer protection) dan marketing campaign yang cocok degan
melibatkan seluruh stakeholder (perbankan, masyarakat, regulator dan
kementerian terkait).
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 75
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari uraian dari bab-bab diatas terkait permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I, dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Kebijakan multilicense dan pembukaan jaringan kantor dapat menjawab permasalahan
disparitas layanan keuangan perbankan. Kebijakan multilicense; dan pengaturan
pembukaan kantor cabang akan memberikan insentif bagi bank untuk membuka layanan
didaerah yang masih minim layanan perbankan. Hal ini tampak jelas dan didukung dengan
hasil analisa kuantitatif di Bab 4 untuk menjawab rumusan permasalahan pertama.
Sehingga dapat disimpukan bahwa kebijakan multi license dan branchless banking adalah
merupakan keuntungan bagi perbankan dan perekonomian nasional.
2. Kebijakan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people
dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Berdasarkan hasil
analisis dengan menggunakan model regresi linier menunjukkan bahwa penambahan
jumlah rekening tabungan yang terbanyak akan terjadi di zona medium equilibrium bank,
sedangkan yang terendah berada di zona low equilibrium bank. Kesimpulan ini dapat
dipandang sebagai kesimpulan yang sangat strategic dan hal ini didukung dengan hasil
penelitian kuantitatif untuk menjawab rumusan permasalahan kedua dan ketiga di Bab 4
serta analisa kualitatif di Bab 5 sebelumnya.
3. Kebijakan multilicense dan branchless banking akan mampu bersinergi untuk mendorong
efisiensi operasional bank memperluas jangkauan akses layanan perbankan bagi masyarakat
dan meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM yang mempunyai
potensi yang masih sangat luas (analisa untuk menjawab rumusan permalahan ketiga di
Bab 4). Melalui kebijakan multilicense bank mendapatkan insentif untuk masuk ke daerah-
daerah yang tingkat persaingannya masih rendah. Sedangkan dari sisi kebijakan branchless,
bank-bank akan dapat mendapatkan alternatif perluasan jaringan dan produk layanan
(peningkatan jumlah rekening tabungan43) melalui pemanfaatan teknologi mobile atau
keagenan dengan biaya yang lebih efisien.
4. Dalam jangka panjang, akan terjadi percepatan atau meningkatnya Bank yang mengalami
kesulitan dalam menjalankan operasinya sebagai akibat dari penerapan branchless banking
yang mendorong meningkatnya tingkat persaingan di Bank kelompok 1; dan juga BPR serta
43 Hal ini didukung dengan analisa kuantitaif untuk menjawab rumusan permasalahan keempat yang telah disampaikan di Bab 4 sebelumnya. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 76
lembaga keuangan mikro. Hal ini akan mendorong terjadinya proses konsolidasi atau akusisi
dari bank kelompok besar (4,3 dan 2) terhadap bank kelompok 1. Hal ini perlu disikapi
secara khusus dan hati-hati melalui kebijakan khusus terkait konsolidasi; hal ini akan
disampaikan dalam Saran di Sub Bab 2.
5. Kebijakan multilicense yang mewajibkan bahwa bank wajib menyalurkan 20% dari total
kreditnya untuk UMKM dan branchless banking yang akan meningkatkan outreach
perbankan kepada masyarakat underbanked dan unbanked diharapkan akan dapat
meningkatkan pembiayaan ke sektor UMKM. Namun akan muncul pula downside effect
(ancaman) dalam bentuk potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan di
segmen UMKM. Dengan asumsi bahwa nilai potensi pembiayaan UMKM konstan, dapat
disimpulkan bahwa sebelum threshold terlampaui (analisa kuantitatif pemetaan dan potensi
pembiayaan umkm di Bab 4 serta analisa kualitatif di Bab 5 sebelumnya) maka semua
lembaga keuangan akan berusaha memanfaatkan potensi kredit UMKM yang tersedia.
Dalam periode ini, maka kekhawatiran mengenai berkurangnya pangsa pasar bank BUKU 1,
BPR, dan LKM tidak terjadi. Namun setelah threshold terlampaui, maka kompetisi tajam
antar lembaga keuangan yang menawarkan kredit akan terjadi. Pada periode inilah
kekhawatiran terjadinya persaingan yang akan membahayakan bagi bank BUKU 1, BPR dan
LKM dapat terjadi.
6. Penurunan resiko kredit karena diversifikasi kredit melalui kredit UMKM. Hal ini dikarenakan
ada learning curve yang harus dilalui oleh bank-bank yang baru pertama kali masuk
melayani segmen UMKM. Pada tahap awal ini juga besar kemungkinan terjadinya praktek
kredit tambal sulam pada UMKM dengan semakin banyaknya bank yang menawarkan
kredit UMKM. Bank-bank yang baru melayani UMKM akan cenderung mengambil alih
nasabah UMKM yang selama ini telah dilayani bank lain dibandingkan harus mencari
nasabah UMKM yang benar-benar baru. Hal ini didukung dengan analisa kuantitatif
tentang analisa potensi pembiayaan kredit UMKM di Bab 4).
7. Bank memperoleh sumber dana retail baru dan peningkatan pendapatan dengan based
nasabah dan debitur yang lebih luas. Kegiatan Branchless Banking dan Multilicense policy
ini dapat dipandang sebagai “break through policy” dalam memanfaatkan kesempatan ini
(analisa kuantitatif untuk rumusan permasalahan kedua dan ketiga di Bab 4 serta analisa
kualitatif di Bab 5).
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 77
1.2 Saran
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, dapat disarankan untuk menerbitkan:
1. Peraturan-peraturan terkait dengan kebijakan multi license dan branchless banking sebagai
berikut:
i. Untuk menjawab kesimpulan 4 dan Rumusan Permasalahan dan hasil analisa 1 dan 4 di
atas, perlu dibuat peraturan yang dapat “memitigasi atau mencegah resiko” dari
“runtuhnya” lembaga-lembaga keuangan mikro (BPR, Koperasi, Lembaga Kredit
Pedesaan dan lainnya serta BUKU 1) sebagai akibat kegiatan branchless banking
(Bersifat: Mendesak dan harus diterbitkan dalam jangka pendek atau kurang dari 6
Bulan). Dalam hal ini, Kegiatan Branchless Banking hanya diperbolehkan
melakukan kegiatan dari sisi pengumpulan dana dan bukan dari sisi penyaluran kredit
terlebih dahulu dalam jangka waktu 1 tahun pertama;
Dalam kurun waktu 1 tahun tersebut, adalah suatu keharusan untuk regulator dan
otoritas pengawas (BI s.d. akhir 2013 dan OJK mulai awal 2014) untuk memfasilitasi
pembentukan APEC Bank (Bank Umum dengan BPR dan lembaga keuangan mikro),
Linkakge Program dan mendorong lembaga keuangan mikro sebagai agent bank.
Kurun waktu 1 tahun ini dapat dipertimbangkan mengingat potensi optimal
pembiayaan UMKM dengan skenario optimis di tahun 2016. Sehingga ada periode
waktu 2 tahun untuk mempersiapkan lembaga keuangan mikro.
ii. Dalam menjawab permasalahan dan hasil analisa 1,2 dan 4 serta meresponse
kesimpulan 1, 2, 3, 6 dan 7 Untuk mendukung pencapaian penyaluran kredit kepada
sektor Mikro khususnya, maka dapat diusulkan untuk mengeluarkan peraturan
pemberian “short term dan uncollaterised” loan (kredit harian, mingguan dan bulanan)
setelah kurun waktu 1 tahun tersebut di atas dalam kegiatan branchless banking. Hal ini
sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan usaha mikro. (Bersifat: Moderat dan
dapat diterbitkan dlm jangka waktu menengah: 1 s.d 3 thn).
iii. Sementara untuk menanggapi rumusan permasalahan dan hasil analisa ke 3 dan
kesimpulan ke 6, perlu segera diterbitan pengaturan tentang keharusan kepada Bank
untuk selalu melengkapi pemberian kredit UMKM dengan asuransi; khususnya mikro
asuransi untuk pemberian kredit mikro. (Bersifat: Moderat dan dapat diterbitkan dlm
jangka waktu menengah: 1 sd 3 thn).
iv. Sebagai saran untuk hasil perumusan dan analisa ke 4 serta hasil kesimpulan ke 5, maka
perlu dipertimbangkan untuk segera melaksanakan pilot project Financial Identity
Number (FIN) dalam rangka mengurangi assymetric information dan meningkatkan
eligibilitas dari unbanked people kepada institusi perbankan. (Bersifat: Mendesak dan
harus diterbitkan dalam jangka pendek atau kurang dari 6 Bulan).Perlu dipertimbangkan
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 78
kebijakan yang mempermudah proses merger dan akusisi oleh bank kelompok besar
terhadap bank lain dalam kelompok yang lebih kecil sebagai konsekuensi kemungkinan
. Dalam hal ini perlu juga dilakukan proses monitoring yang lebih dalam mengenai
dampak branchless banking terhadap bank-bank kecil.
v. Perlu diatur secara detail, mengenai edukasi dan perlindungan konsumen untuk
terjaganya hak konsumen dalam melakukan kegiatan transaksi keuangan terbatas yang
terkait dengan hak-hak konsumen dan kemungkinan terjadinya misconduct sebagai
akibat teknologi yang digunakan oleh bank yang bersangkutan tidak atau kurang
memenuhi persyaratan khususnya untuk masyarakat yang berada di sector “informal
dan pedesaan”.
2. Diusulkan untuk melakukan standarisasi yang mendasarkan pada nilai-nilai local dari setiap
kantor layanan (agen) untuk kegiatan branchless banking (mendesak, jangkap pendek).
3. Diusulkan untuk melakukan sinergi antara Bank dengan BPR serta lembaga keuangan mikro
lainnya misal menjadi agen dari Bank dalam kegiatan “Linkage” antara Bank, BPR dan
lembaga keuangan mikro. (Moderate, Jangka Menengah, 1 s.d 3 tahun).
4. Disarankan untuk melakukan kegiatan Kegiatan branchless secara bertahap, dimulai dengan
menabung untuk kemudian dilanjutkan dengan pemberian kredit. (Jangka Panjang, 1 s.d 5
tahun).
5. Untuk meningkatkan efisiensi operasional dari proses pelayanan branchless banking
khususnya untuk pelayanan simpanan maupun kredit perlu didukung dengan pemanfaatan
teknologi sepenuhnya (Jangka Menengah, 1 s.d 3 tahun).
6. Peningkatan edukasi dan perlindungan konsumen untuk terjaganya hak konsumen
masyarakat kecil (Jangka Panjang, ongoing, sustained and komprehensif).
7. Perlu diterbitkan kebijakan yang mempermudah proses merger dan akusisi oleh bank
kelompok besar terhadap bank lain dalam kelompok yang lebih kecil (Pendek, saat ini s.d. 1
tahun).
Dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa branchless banking dan multilicense terbukti
akan memberikan dampak positive atau keuntungan dari pada dipandang sebagai ancaman
(down side effect) terhadap perbankan nasional dan perekonomian Indonesia. Selanjutnya,
untuk mendukung dampak positif dari sinergi kebijakan branchless banking dengan
multilicense (perijinan berjenjang), masih sangat perlu dilakukan penelitian lanjutan yang
melihat lebih jauh kemampuan Bank Kelompok 1 (BUKU 1), BPR, Koperasi dan Lembaga
Keuangan Mikro lainnya dalam “berkompetisi” memberikan layanan keuangan sebagai akibat
meningkatnya outreach Bank yang berada di kelompok besar (BUKU 2 s.d 4) dalam kegiatan
branchless banking tersebut.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 79
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Branchless Banking and Consumer Protection in Brazil. Washington: CGAP
Aydin, B. 2008. Banking Structure and Credit Growth in Central and Eastern European Countries. IMF Working Papers, No.08/215.
Bank Indonesia.2013. Presentasi Financial Inclusion. Jakarta.
Bank Indonesia,Statistik Perbankan. berbagai tahun
Bank of Pakistan. 2008. Branchless Banking Regulations: for Financial Institutions Desirous to undertake Branchless Banking. Islamabad, Pakistan: Bank of Pakistan.
Bankable Frontier Associates. 2009. The Mzansi Bank Account Initiative in South Africa. Final Report. Bankable Frontier Associates.
Bankable Frontier Associates. 2010. Consumer Experiences in Branchless Banking. Final Report. Bankable Frontier Associates.
Basel Committee on Banking Supervision. 2005. Outsourcing in Financial Services. The Joint Forum. Switzerland: Bank for international Settlement.
Bikker, JA., dan Haixia Hu. 2001. Cyclical patterns in profits provisioning and lending of banks and procyclicality of the new basel capital requirements. Research Series Supervision (discontinued), No.39. Netherlands Central Bank, Directorate Supervision.
Boyd, C., Jacob, K. 2007. Mobile Financial Services and the Underbanked: Opportunies and challenges for M-Banking and M-Payment. Chicago: The Center of Financial Services Innovation.
Chatain, PL., Harnandes-Coss, R., Borowlk, K., Zerzan, A., 2008. Integrity in Mobile phone Financial Services : Measure for Mitigating Risk from Money Laundering and Terorist Financing. Washington: The World Bank.
Cohen, M., Hopkins, D., & Lee, J. 2008. Financial Education: A Bridge between Branchless Banking and Low-Income Clients. Working Paper No. 4. Washington: Microfinance Opportunities
Consultative Group To Assist The Poor. 2008. Notes on Regulation Of Branchless Banking in South Africa. Washington, D.C.: CGAP.
Consultative Group to Assist The Poor. 2008. Notes On Regulation Of Branchless Banking In India. Washington, D.C.: CGAP.
Consultative Group to Assist The Poor. 2008. Notes on Regulation Of Branchless Banking In Brazil. Washington, D.C.: CGAP.
Consultative Group to Assist The Poor. 2008. Technology program: Philippina. Country Note. Washington, D.C.: CGAP
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 80
Consultative Group to Assist The Poor. 2009. Notes on Regulation Of Branchless Banking in Brazil. Washington, D.C.: CGAP.
Consultative Group to Assist The Poor. 2010. Technology program: Mexico. Country Note. Washington, D.C.: CGAP.
Consultative Group to Assist The Poor. 2010. Technology program: Brazil. Country Note. Washington, D.C.: CGAP.
Consultative Group To Assist The Poor. 2010. Update On Regulation Of Branchless Banking In South Africa. Washington, D.C.: CGAP.
Consultative Group to Assist The Poor. 2010. Financial Access 2010: The State of Financial Inclusion Through the Crisis. Washington, D.C.: CGAP.
Consultative Group to Assist The Poor. 2010. Financial Access 2010: The State of Financial
Inclusion Through the Crisis. Powerpoint Presentation. Washington, D.C.: CGAP.
Dass, R., Pal, Sujoy. 2011. Adoption of Mobile Financial Services among Rural Under-Banked. India: India Institute of Management.
Dias, D. & McKee, K. 2010. Protecting Branchless Banking Consumers: Policy Objectives and Regulatory Options. Washington: CGAP
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan. 2011. Penerapan Branchless Banking di Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.
Dittus, P and Michael, K. 2011. On Harnessing the Potential of Financial Inclusion. BIS Working Paper No:347. Switzerland: Bank for international Settlement.
Ehrhardt C., dan Brigham F. 2005. Financial Management Theory and Practice, 11ed. USA: Thomson corporation.
Faz, X., & Moser, T. 2013. Advancing Financial Inclusion through Use of Market Archetypes. Washington: CGAP
Flaming, M., Prochaska, K., & Staschen, S. 2009. Diagnostic Report on the Legal and Regulatory Environment for Branchless Banking in Indonesia. Washington: CGAP
Gitman, L J. 2009. Principles of Managerial Finance, 12ed. The Addison Wesley Publishing.
Grigorian, DA., dan Vlad M. 2005. A Cross-Country Non-Parametric Analysis of Bahrain's Banking Sector. IMF Working Papers, No.05/117. Washington: IMF.
Hagerty, J. 2009. Fannie and Freddie to Aid Mortgages Banks. The Wall Stresst Journal, 8 Oktober 2009.
Hamilton, JD. 1989. A New Approach to the Economic Analysis of Nonstationary Time Series and the Business Cycle. Econometrica 57: 357-384.
Hamilton, JD. 1994. Time Series Analysis. New Jersey: Princeton University Press.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 81
Hannig. A. 2009. Financial Inclusion Policies: An Overview of the Issues presented on seminar Alliance or Financial Inclusion. Tokyo. 31 March 2009
Hannig. A. 2009. The Financial Crisis-Opportunity for Financial Inclusion presents on Bank Indonesia 7th Annual International Seminar. Alliance for financial inclusion. 14 June 2009. Nusa Dua – Bali. Indonesia
Honohan. P. 2004. Measuring Microfinance Access: Building on Existing Cross-Country Data.
IFC. 2010. Mobile Banking in Indonesia: Assessing the Market Potential for Mobile Technology to Extend Banking to the Unbanked and Underbanked. Jakarta: IFC.
Ivatory, G dan Mas, I. 2008. The Early Experience with Branchless Banking. Focus Note 46. Washington: CGAP.
Kantor Wakil Presiden Indonesia, 2012. Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Jakarta.
Kartasasmita, G. 1996. Teori Pembangunan. Jakarta
Kendall, J, Mylenko, N, and Ponce A. 2010. Measuring Financial Access around the World. Policy Research Working Paper No: 5253. Washington: World Bank.
Klein,, M and Colin M. 2011. Mobile Banking and Financial Inclusion: The Regulatory Lessons. Germany: Frankfrut School of Finance and Management.
Konch, TW., dan Donald, SSM. 2000. Bank Management, edisi ke-empat. Orlando: The Dryden Press.
Lauer, K., Dias, D., and Tarazi, M. 2011. Bank Agents: Risk Management, Mitigation, and Supervision. Washington: CGAP
Levine, R. 1997. Napoleon, Bourses, and Growth in Latin America. Amerika : Research Department Publications.
Lozano, DMA., Mandrile, M.2009. A New Agent Model for Branchless Banking in Colombia. Roma: IDLO.
Lyman, TR., Ivatury, G., Staschen, S. 2006. Use of Agents in Branchless Banking for the Poor: Rewards, Risks, and Regulation. Washington : CGAP.
Lyman, TR., Pickens, M., Porteus, D. 2008. Regulating Transformational Brancheless Banking: Mobile Phones and Other Technology to Increase Access to Finance. Washington: CGAP.
Makin, P. 2009. Regulatory Issues around Mobile Banking. Consult Hyperion. OECD.
Mas, I. 2009. The Economic of Branchless Banking. Majalah Innovations Volume 4 Issue 2.
Mas, I., and Siedek, H. 2008. Banking through Networks of Retail Agents. Washington: CGAP
McKinnon, R. 1973. Money and Capital in Economic Development. Washington: Brookings Institution
MicroSave. 2011. Optimising Performance And Efficiency Series. E/M Banking Vol.III. Mahanagar,India. Microsave.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 82
Mohanty, Madhusudan dan Philip Turner. 2010. Banks and financial intermediation in emerging Asia: reforms and new risks. BIS Working Papers, No.313
Samy, BN dan Kandil, M. 2009. The impact of capital requirements on banks' cost of intermediation and performance: The case of Egypt. Journal of Economics and Business, vol.61(1), hal 70-89. Washington: Elsevier.
Pramono, B, Yanuarti T, Purusitawati,PD , Tyas, Y, Emmy D.K.2006. Dampak Pembayaran Non Tunai Terhadap Perekonomian dan Kebijakan Moneter. Jakarta: Bank Indonesia
Santoso, B. 2008. Apakah Krisis Rupiah Dapat Diprediksi? Aplikasi Model Markov Switching. Dalam Abimanyu, Anggito dan M.H Imansyah (Ed.). Sistem Pendeteksian Dini Krisis Keuangan di Indonesia: Penerapan Berbagai Model Ekonomi. Yogyakarta: BPFE.
Saunders, A dan Garnett, MM. 2008. Financial Institutions Management : A Risk Management Approach,edisi ke-enam. Mc Graw-Hill International Edition. New York: Mc Graw-Hill.
Saxena, Amitabh. 2009. Accelerating Financial Inclusion through Innovative Channels-10 Obstacles for MFIs Launching Alternative Channels and What Can Be Done About Them. Boston: ACCION International
SEKDA, Bank Indonesia, dan Badan Pusat Statistik (BPS). 2011
Subramanian, L, Dennis S, and Ashlesh S. 2009. Secure Branchless Banking. Montana: NSDR.
Surat Edaran (SE) BI No 30/11/KEP/DIR
Surat Edaran (SE) BI No 6/23/DPNP
Triandari, SS dan Santoso, ATB. 2000. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta :Salemba Empat
Tarazi, M., Breloff, P. 2009. Scenarios for Branchless Banking in 2020. Washington: CGAP.
Tarazi, M., Breloff, P. 2010. Nonbank E-Money Issuers: Regulatory Approaches to Protecting Customer Funds. Washington: CGAP.
Tarazi, Michael and Paul Breloff. 2011. Regulating Banking Agents. Focus Note 68. Washington, D.C.: CGAP.
Undang-undang (UU) No.10 Tahun 1998
Undang-undang (UU) No.12 Tahun 2011
Undang-undang (UU) No.20 Tahun 2008
Undang-undang (UU) No.23 Tahun 1999
Undang-undang (UU) No.7 Tahun 1992
Wezel, T. 2010. Bank Efficiency Amid Foreign Entry: Evidence from the Central American Region. IMF Working Papers,No.10/95. Washington: IMF.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 83
Wanggai, VV. 2012. Meneguhkan Arah Pembangunan yang Berkeadilan. Jakarta: Kabinet Republik Indonesia.
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 84
LAMPIRAN 1
Pembukaan Jaringan Kantor berdasarkan Kebijakan Multilicense
Terkait dengan pembukaan jaringan kantor bank dalam kebijakan multilicense (perijinan
berjenjang), terdapat beberapa prinsip yang dijadikan dasar kebijakan perijinan kantor, yaitu:
Mendukung peningkatan ketahanan bank; Meningkatkan daya saing dan efisiensi;
Meningkatkan fungsi intermediasi; dan Mendukung penerapan tata kelola yang baik
Kebijakan multilicense menentukan kriteria dalam pembukaan jaringan kantor bank. Kriteria yang
ditetapkan harus tetap merujuk pada keempat prinsip di atas. Empat aspek kriteria pembukaan
jaringan kantor bank yaitu:
1. Tingkat Kesehatan Bank (TKS)
TKS bank didasarkan pada penilaian Bank Indonesia (BI) dalam tiga periode terakhir. Dalam hal
ini, hanya bank dengan peringkat komposit (PK) minimal 3 yang dapat mengajukan permohonan
pembukaan jaringan kantor bank.
2. Alokasi modal inti berdasarkan theoretical capital
Alokasi modal inti dihitung dari alokasi modal inti dasar (base theoretical capital) dan koefisien
zona jaringan kantor bank. Dalam hal ini, terdapat dua ketentuan pengalokasian berdasarkan
jenis bank, yaitu:
a. Bank yang tergolong pada Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 1 dan 2
Alokasi modal inti dasar yang ditetapkan adalah Rp8 miliar (kantor cabang), Rp4 miliar (kantor
cabang pembantu), Rp2,5 miliar (KCP mini), dan Rp1 miliar (kantor kas).
b. Bank yang tergolong pada BUKU 3 dan 4
Alokasi modal inti dasar yang ditetapkan adalah Rp10 miliar (kantor cabang), Rp5 miliar (kantor
cabang pembantu), Rp3,5 miliar (KCP mini), dan Rp2 miliar (kantor kas).
3. Pangsa kredit UMKM
Pangsa kredit UMKM dijadikan sebagai variabel insentif dalam membuka jaringan kantor.
Sebagai acuan, BI menetapkan threshold pangsa kredit UMKM sebesar 20 persen. Dalam hal ini,
terdapat dua alternatif pembukaan kantor cabang berdasarkan threshold tersebut, yaitu:
85
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
a. Jika pangsa kredit UMKM mencapai 20 persen dan eligibel untuk dapat membuka kantor baru,
maka bank akan diberikan insentif berupa penambahan jumlah kantor yang bisa dibuka sebesar
20 persen dari jumlah yang semula disetujui, maksimum sebesar rencana pembukaan kantor
dalam Rencana Bisnis Bank (RBB).
b. Jika pangsa kredit UMKM mencapai 20 persen, namun tidak eligibil untuk membuka kantor baru,
maka bank diharuskan mengalokasikan sebagian atau seluruh laba bersihnya sebagai eligibilitas
khusus untuk pembukaan jaringan kantor baru44.
4. Pendekatan pengawasan (supervisory approach/SA)
Dalam hal ini, BI menggunakan indikator efisiensi dan pemanfaatan laba bersih yang didasarkan
hasil evaluasi RBB bank. Indikator efisiensi digunakan untuk menentukan jumlah kantor cabang
yang dapat dibuka berdasarkan yang telah diajukan pada RBB. Dalam hal ini, BI akan
menggunakan rasio kinerja Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan Net
Interest Margin (NIM). Semakin rendah rasio BOPO dan NIM, maka bank akan diberikan insentif
dalam pembukaan kantor cabang. Sebaliknya, semakin tinggi rasio BOPO dan NIM, maka jumlah
kantor cabang yang dapat dibuka bank akan dibatasi. Setiap BUKU memiliki nilai threshold BOPO
yang berbeda-beda. Walaupun demikian, ketentuan yang diberlakukan tetap mengikuti pola
yang sama. Grafik 1.1 menjelaskan pola tersebut.
Grafik 1.1
Proporsi Pembukaan Jaringan Kantor berdasarkan NIM dan BOPO
Dilarang Membuka Jaringan Kantor
Area 2(50%)
Area 1(100%)
6%
5%
TB1 TB2
NIM
BOPO
Area 2(50%)
Area 3(25%)
44Dalam hal bank menggunakan eligibilitas khusus untuk membuka jaringan kantor baru, alokasi modal inti dasar yang digunakan adalah 120% dari alokasi modal inti dasar yang ditetapkan untuk eligibilitas positif.
86
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
Pada Grafik 1.1, threshold NIM untuk setiap BUKU ditetapkan sama untuk setiap BUKU, yaitu 5
person dan 6 person. Keempat threshold yang ada kemudian membentuk 4 jenis area yang
mengindikasikan jumlah jaringan kantor yang dimungkinkan untuk dibuka. Area dengan nilai
persentase, merupakan area dimana bank dapat membuka kantor cabang sebanyak persentase
tersebut terhadap RBB. Persentase tertinggi adalah 100 persen (Area 1), dimana bank dapat
membuka kantor cabang sebanyak yang telah diajukan dalam RBB. Adapun threshold BOPO
untuk masing-masing BUKU dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1
Threshold BOPO untuk Setiap BUKU
Threshold BUKU
1
BUKU
2
BUKU
3
BUKU
4
TB1 80% 77,5% 75% 70%
TB2 85% 82,5% 80% 75%
Pembagian Provinsi berdasarkan Kepadatan Bank
Hasil analisis tingkat kepadatan bank dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun zona bank
di daerah. Hasil analisis tingkat kepadatan bank yang telah dilakukan menempatkan setiap
provinsi pada 6 kategori zona dengan derajat yang berbeda berdasarkan tingkat kepadatan
setiap provinsi. Scoring atas kepadatan setiap provinsi bisa dijadikan dalam dalam menetapkan
koefisien (Q).
Jumlah modal dan tingkat efisiensi yang memadai bagi bank yang berekspansi jaringan akan
mendorong perekonomian nasional. Wilayah ekspansi perbankan dibagi dalam enam zona. Zona
1-3 untuk menandakan wilayah padat, artinya kepadatan bank sudah cukup tinggi. Zona 4-6
untuk wilayah yang longgar, artinya bank yang ada di wilayah tersebut belum cukup banyak.
Setiap zona menghasilkan koefisien dan diperhitungkan dalam estimasi untuk eligibilitas
ekspansi. Variabel yang digunakan dalam penentuan koefisien zona ini antara lain pertumbuhan
ekonomi, jumlah bank, intermediasi perbankan, dan dana bank yang beredar di zona tersebut.
Semakin padat suatu zona, maka koefisiennya akan semakin besar. Tabel 1.2 dan Grafik 1.2
menunjukkan seluruh zona untuk perbankan Indonesia berikut dengan koefisien untuk masing-
masing zona
87
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
Tabel 1.2
Zona Bank dan Koefisien
Zona Koefisi
en
Zona Koefisi
en
Zona Koefisi
en
Zona Koefisi
en
ZONA 1 ZONA 3 ZONA 5 ZONA 6
Jakarta 5
Kalti
m
3
Aceh
1
Papua
Barat
0,5
ZONA 2 Kepri Sultra Sulbar
Bali
4
Sumu
t
Kalbar NTB
Yogyakar
ta
ZONA 4 Babel Malut
Jateng Papua
2
Bengku
lu
NTT
Banten Sulut Lampu
ng
Goronta
lo
Jabar Riau Jambi Sulteng
Jatim Kalte
ng
Sumbar Maluku
Kalsel
Sulsel
Sums
el
88
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
Grafik 1.2
Peta Persaingan Usaha Perbankan Indonesia
Estimasi Theoretical Capital untuk Penambahan Kantor Cabang
Perhitungan Theoretical Capital (TC) digunakan untuk melakukan analisis eligibilitas pembukaan
kantor cabang di daerah. Dalam pendekatan TC, setiap kegiatan usaha dan produk dikaitkan
dengan kapasitas modal. Berdasarkan perhitungan TC, maka bank yang ingin memperluas
jaringan kantor harus mempertimbangkan modal inti yang dimiliki. Semakin besar modal inti
yang dimiliki oleh suatu bank, maka kemampuan untuk memperluas jaringan kantor juga
semakin besar. Kenaikan yang didasarkan atas pendekatan ini diharapkan akan mendorong
efisiensi perbankan yang pada akhirnya akan mendorong daya saing dan tata struktur perbankan
yang semakin besar dan kegiatan dan produk bank semakin banyak dan luas. Selain itu, modal
bank juga digunakan untuk absorbsi resiko.
Pada saat bank membuka jaringan kantor, maka bank wajib menyediakan alokasi modal yang
jumlahnya ditetapkan menurut lokasi jaringan kantor. Penetapan alokasi modal untuk suatu
jaringan kantor ditentukan berdasarkan tingkat persaingan usaha wilayah (zona) menurut analisis
Bank Indonesia. Besarnya TC merupakan perkalian antara rata-rata nasional biaya pembukaan
jaringan kantor dengan koefisien zona tertentu, atau dapat diformulasikan sebagai berikut:
pp QBTC ×=89
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
Dimana: TCp : Theoretical Capital di suatu provinsi B : rata-rata biaya pembukaan kantor cabang secara nasional Qp : Koefisien di suatu provinsi Hasil indikatif rata-rata biaya pembukaan jaringan kantor di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Bali dan NTB, Sulawesi, Maluku, dan Papua dapat dilihat pada Tabel 1.3.
Tabel 1.3
Indikatif Rata-rata Nasional Biaya Pembukaan Kantor Bank
Jenis Kantor Bank Rata-rata Biaya Pembukaan
(Rp Miliar)
Kantor Cabang 21,81
Kantor Cabang Pembantu 10,21
Kantor Kas 3,31
Berdasarkan rata-rata biaya indikatif pembukaan kantor cabang, maka modal yang diperlukan
untuk membuka kantor akan dapat diketahui, dengan memperhitungkan koefisien (q) sebagai
faktor pengali. Simulasi atas perhitungan Theoritical Capital pada beberapa wilayah dapat dilihat
pada Tabel 1.4.
Tabel 1.4
Simulasi Perhitungan Theoretical Capital Pembukaan Kantor Cabang
Zona Provinsi Rata-rata Nasional Biaya Pembukaan Kantor (Rp Miliar)
Koefisien Theoretical Capital (Rp Miliar)
(B) (Q) (TC)
1 DKI Jakarta 21,8 5 109
2 Jawa Tengah 21,8 4 87.2
3 Kepulauan Riau 21,8 3 65.4
4 Kalimantan Tengah 21,8 2 43.6
5 Aceh 21,8 1 21.8
6 Nusa Tenggara Barat
21,8 0,5 10.9
Contoh analisis eligibilitas pembukaan kantor cabang adalah sebagai berikut:
Modal inti Bank A (BUKU 1) Rp800 miliar, dengan PK TKS 2 90
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
Bank A saat ini memiliki:
a. 13 kantor cabang (KC), yaitu 8 di DKI Jakarta dan 5 di Jawa Tengah
b. 10 kantor cabang pembantu (KCP), yaitu 5 di DKI Jakarta dan 5 di Jawa Tengah
c. 10 kantor kas (KK), yaitu 4 di DKI Jakarta dan 6 di Jawa Tengah
Apabila Bank A berencana membuka 1 KC lagi di Jawa Tengah, maka eligibilitasnya adalah:
Jenis Kantor Zona Provinsi
Rata-rata Biaya Koefisien
Kantor Eksisting
Total TC
KC 1 DKI Jakarta 8 5 8 320
2 Jawa Tengah 8 4 5 160
KCP 1 DKI Jakarta 4 5 5 100
2 Jawa Tengah 4 4 5 80
KK 1 DKI Jakarta 1 5 4 20
2 Jawa Tengah 1 4 6 24
Total Alokasi Modal Inti untuk jaringan kantor eksisting 704
Alokasi modal yg dibutuhkan untuk buka 1 KC di Jateng = 1x8x4 = 32m
Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulan bahwa modal inti Bank A mencukupi untuk
alokasi modal kantor-kantor eksisting (modal inti (Rp800 miliar > modal inti untuk jaringan
kantor eksisting (704 miliar)). Bank A masih memiliki sisa modal inti sebesar Rp96 miliar.
Secara kuantitatif, Bank A dapat membuka kantor baru.
Untuk membuka 1 KC di Jawa Tengah, Bank A memerlukan alokasi modal inti sebesar Rp32
miliar. Secara kuantitatif, Bank A dapat membuka kantor baru di Jawa Tengah (Rp32 miliar
< Rp96 miliar). Bank A masih akan memiliki sisa alokasi modal inti sebesar Rp64 miliar.
Berdasarkan analisis TC tersebut, maka alokasi modal untuk pembukaan jaringan kantor tidak
boleh menyebabkan modal inti bank menjadi di bawah ketentuan yang berlaku. Apabila setelah
dikurangi dengan alokasi modal untuk pendirian jaringan kantor bank, modal inti bank
berkurang dari ketentuan yang berlaku, permohonan tidak akan diproses kecuali bank
menambah modal sehingga modal inti bank memenuhi ketentuan yg berlaku.
Selain itu, untuk menghindari pembukaan kantor bank hanya di daerah overbanked, maka perlu
dirancang sebuah aturan untuk dapat memeratakan kantor bank di seluruh wilayah. Sebagai 91
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853
contoh, pembukaan 1 kantor cabang pada BUKU 3 dan BUKU 4 di zona tinggi (overbanked) wajib
diikuti dengan pembukaan 2 kantor cabang di zona rendah (underbanked). Kebijakan ini disebut
juga dengan pola public service obligation (PSO). Pola PSO sangat sesuai untuk diterapkan karena
pola ini terkait dengan fungsi bank sebagai agent of development.
Berdasarkan berbagai kriteria tersebut, maka kondisi bank yang dapat melakukan perluasan
jaringan kantor adalah bank yang dapat memenuhi keempat kriteria seperti ditunjukkan dalam
Tabel 1.5.
Tabel 1.5.
Indikator untuk Bank yang Akan Melakukan Perluasan Kantor Cabang
TKS TC Efisiensi Laba Bersih UMKM Kesimpulan
Min PK 3 Memiliki kelebihan modal untuk buka jarkan (+)
SA SA ≥ 20% 1. Bank dapat membuka jarkan. 2. Mendapat insentif membuka
jarkan sebesar 20% karena bank menyalurkan UMKM
3. Maksimal jumlah kantor sebesar rencana buka jarkan dalam RBB yg disetujui BI
Min PK 3 Memiliki kelebihan modal untuk buka jarkan (+)
SA SA < 20% Bank dapat membuka jarkan namun tidak mendapat insentif perluasan jarkan
Min PK 3 Tidak memiliki kelebihan modal untuk buka jarkan (-)
SA SA ≥ 20% 1. Bank dapat membuka jarkan apabila bersedia mengalokasikan sebagian laba bersih sebagai TC kantor baru dan sebagian lainnya untuk menutup TC negatif
2. TC dihitung sebesar 120% dari TC normal (penalty 20%)
Min PK 3 Tidak memiliki kelebihan modal untuk buka jarkan (-)
SA SA < 20% Bank tidak dapat membuka jarkan, kecuali menambah modal intinya
92
Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853