dinamika interaksi mahasiswa afirmasi dalam menghadapi...
TRANSCRIPT
Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi Dalam
Menghadapi Culture Shock di Untirta
Skripsi
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S1) pada Konsentrasi
Public Relation Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh :
GALIN MARIO BIMANTARA PURBA
NIM. 6662131972
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG, 2018
ABSTRAK
Galin Mario Bimantara Purba. NIM 6662131972. Skripsi. Dinamika Interaksi
Mahasiswa Afirmasi dalam Menghadapi Culture Shock di Untirta. Program
Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa, Serang 2018. Dosen Pembimbing I: Dr. Rangga Galura
Gumelar, M.Si. Dosen Pembimbing II: Ronny Septa Priana, M.Si
Interaksi adalah hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antar
individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok lain. Tanpa
adanya interaksi sosial maka tidak akan mungkin kehidupan bersama, dalam
penelitian ini, peneliti mengambil pembahasan dengan melibatkan mahasiswa
Afirmasi yang kuliah di Untirta, yang dimana mahasiswa Afirmasi adalah mahasiswa
yang memiliki latar belakang/identitas kepapuaannya, jika dibandingkan dengan
kebudayaan/kebiasaan yang berlaku di Untirta, hal inilah yang menyembabkan
mahasiswa mengalami culture shock. Oleh sebab itu tujuan penelitian ini adalah
untuk mengambarkan bagaimana dinamika interaksi mahasiswa Afirmasi dalam
menghadapi culture shok di Untirta dengan menggunanakan 5 proses interaksi dari
Gillin dan Gillin, yaitu Imitasi, Identifikasi, Sugesti, Empati dan Simpati. Peneliti
menggunakan metode kualitatif. Peneliti melihat adanya interaksi yang dilakukan
mahasiswa Afirmasi dengan lingkungan Untirta yang meliputi; lingkungan
masyarakat, lingkungan kuliah dan lingkungan organisasi pasti begitu juga
sebaliknya. Hal ini lah yang dicoba digambarkan oleh peneliti dengan tujuan untuk
meminimalisir efek culture shock. Peneliti melihat dalam proses dinamika
interaksinya mahasiswa Afirmasi tidak melakukan 5 faktor yang disebutkan oleh
Gillin, seperti Imitasi, mahasiswa afirmasi tidak menerapkan ini agar dapat diterima
dengan lingkungan Untirta. Dari 5 faktor tersebut mahasiswa Afirmasi banyak
menerapkan 2 dari 5 faktor tersebut, yaitu identifikasi, dan sugesti. Unsur lain seperti
simpati dan empati banyak diterapkan lingkungan untuk lebih mengerti keadaan
mahasiswa Afirmasi tersebut. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa mahasiswa
Afirmasi masih cenderung bertahan dan menjadikan kebiasaan dan kebudayaan
Papua yang melekat pada dirinya sebagai tolak ukur penilaian akan benar, salah, baik
dan salahnya kebIisaan yang berlaku dilingkungan Untirta. Untuk mengatasi
permasalahan ini, seharusnya mahasiswa Afirmasi juga harus bisa menerima norma
dan kebudayaan yang berlaku di Untira, hal ini bertujuan untuk lebiih bisa mengenal
lebih dalam dan tidak cenderung menutup diri akan kebiasaan yang berlaku
dilingkungan di Untirta.
Kata kunci : Dinamika Interaksi, Mahasiswa Afirmasi Untirta, Culture Shock
ABSTRACT
Galin Mario Bimantara. NIM 6662131972. Thesis.Student Interaction Dynamics
of affirmation in the face of Culture Shock in Untirta. Communication studies
courses, Faculty of social and political sciences, University of Sultan Ageng
Tirtayasa, Serang 2018. Supervising Professor: Dr. Rangga Galura Gumelar, M.
Si Supervisor II: Ronny Septa Priana, M.Si
The interaction is social relations concerning relations between individuals,
groups, individuals and groups with other groups.In the absence of social
interaction, then there will be probably a life together, in this study, the researchers
took the discussion involving the Affirmation students lectures in Untirta, which is
where student Affirmations are students who have a background back to identity, if
compared to culture/habits prevailing in Untirta, it menyembabkan students
experience culture shock. Therefore the purpose of this study is to describe how
the dynamics of interaction students of affirmation in the face of culture shock in
Untirta with use 5 process interaction from Gillin and Gillin, namely Imitation,
identification, Suggestion, Empathy and sympathy.Researchers using qualitative
methods. Researchers see the interactions done student Affirmations with
environmental Untirta that include; environment of the community, the
Organization and the environment lecture environment certainly vice versa.This
was the one who tried was described by researchers with the aim to minimize the
effects of culture shock. Researchers see in process Dynamics interactions student
Affirmations are not doing 5 factors mentioned by Gillin, such as Imitation,
students do not implement these affirmations in order to be accepted by the
environment Untirta.The factor of 5 student Affirmations many apply 2 of 5 of
these factors, namely identification and suggestion. Other elements such as
sympathy and empathy many applied the environment to better understand the
circumstances of the student such Affirmations. In this study also found that
students still tend to persist and Affirmations made the habits and culture of Papua
that is inherent in itself as a benchmark assessment will be right, wrong, good, and
harm habit applicable surroundings Untirta. To resolve this issue, should the
student Affirmations should also be able to receive the applicable norms and
culture in Untirta, this aims to get to know more deeply and does not tend to shut
down will be the prevailing habit Untirta in the surroundings.
Keywords: Dynamics of interaction, Student Untirta Affirmations, Culture
Shock
MOTTO:
“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka
kamu akan mendapatkan; ketoklah, maka pintu akan
dibukakan bagimu”
-Matius 7:7-
Kupersembahkan Skripsi yang penuh dengan perjuangan ini
untuk kedua Orang Tuaku, Kakakku, Abangku yang sudah
memberikan kasih sayang, dukungan serta doa dan tak
luput juga kepada mahasiswa Afirmasi ADik Untirta yang
sudah terlibat dalam penelitian ini.
vi
KATA PENGANTAR
Salam sejahtera untuk kita semua, Puji syukur dan terimakasih kepada
Tuhan Yang Maha Esa, peneliti panjatkan, karena atas berkat-Nya peneliti dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi
Dalam Menghadapi Culture Shock di Untirta”. Peneliti menyadari masih terdapat
banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini dikarenakan keterbatasan
kemampuan peneliti. Oleh karena itu kritik dan saran membangun sangat
diperlukan sebagai motivasi peneliti agar lebih baik lagi kedepannya.
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir sebagai
salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana starta satu (S1) pada konsentrasi
Hubungan Masyarakat (HUMAS), Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa – Banten.
Penyusunan skripsi ini tentunya terlaksana berkat bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak. Untuk itu peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini, diantaranya :
1. Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M.Pd., selaku Rektor Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa-Banten.
vii
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si., sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa-
Banten.
3. Ibu Drs. Rahmi Winangsih, M.Si., selaku Ketua Program Studi
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa-Banten.
4. Bapak Dipl.Ing (FH). Rangga Galura Gumelar,M.Si, selaku dosen
pembimbing I yang telah memberikan banyak masukan dalam
penyusunan skripsi ini, terima kasih juga atas bimbingannya dan
kesabarannya dalam membantu penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Ronny Yudhi Septa Priana, M.Si selaku dosen pembimbing
II yang telah banyak meluangkan waktunya, ilmu, masukan, serta
kesabaran dalam membimbing peneliti selama kuliah di Program
Studi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta dan juga dalam menyusun
skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Untirta yang telah
memberikan ilmunya kepada peneliti dari semester awal hingga
semester akhir.
viii
7. Seluruh Staff Dosen dan Tata Usaha Jurusan Ilmu Komunikasi,
terika kasih atas pengetahuan yang telah diberikan kepada peneliti
dan membantu kelancaran administrasi bagi peneliti.
8. Teman – teman seperjuangan mahasiswa Program Studi Ilmu
Komunikasi angkatan 2013, atas segala kebersamaan selama
menempuh pendidikan di bangku perkuliahan.
9. Serta semua pihak yang telah membantu peneliti selama
melakukan penulisan skripsi yang tidak bias penulis sebutkan satu
persatu. Terima Kasih untuk semua dukungan dan bantuannya
kepada peneliti.
Semoga Tuhan melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak
yang telah membantu dan memberikan dukungan dala menyelesaikan skripsi ini.
Mohon maaf jika masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini baik dari
segi kelengkapan materi, teknik penyusunan, metode yang digunakan, atau dari
segi lainnya. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan siapa saja yang
membacanya.
Serang, Juli 2018
Peneliti
9
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................................
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................................
KATA PENGANTAR ................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 11
1.3 Identifikasi Masalah .................................................................................. 11
1.4 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 12
1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 13
1.5.1 Manfaat Teoritis ............................................................................. 13
1.5.2 Manfaat Praktis .............................................................................. 13
ix
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi ............................................................................ 15
2.1.1 Tujuan Komunikasi ..................................................... 17
2.2 Interaksi Sosial ........................................................................ 18
2.2.1 Ciri Interaksi Sosial ..................................................... 19
2.2.2 Faktor Interaksi Sosial ................................................. 20
2.3 Culture Shock .......................................................................... 23
2.4 Cara Beradaptasi ..................................................................... 26
2.5 Dinamika Komunikasi ............................................................. 28
2.6 Skripsi Terdahulu ................................................................... 28
2.7 Kerangka Berpikir ................................................................... 35
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian ................................................................... 37
3.2 Paradigma Penelitian ............................................................... 40
3.3 Informan Penelitian ................................................................. 41
3.4 Sumber Data ........................................................................... 49
3.5 Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 49
3.5.1 Wawancara .................................................................. 50
3.5.2 Observasi ..................................................................... 51
3.5.3 Dokumentasi ................................................................ 51
3.5.4 Teknik Analisis Data ................................................... 52
3.6 Keabsahan Data ...................................................................... 54
x
3.7 Lokasi dan Jadwal Penelitian ................................................... 55
3.8 Jadwal Penelitian ..................................................................... 55
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian ......................................................... 57
4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ............................................. 59
4.2 Deskripsi Data ............................................................................ 61
4.2.1 ADIk Afirmasi ................................................................ 61
4.2.1.1 TUJUAN Program ADik Afirmasi ..................... 64
4.2.1.2 ADik Afirmasi Di Untirta .................................... 64
4.2.1.3 Monika Kabkabangho ......................................... 68
4.3 Deskripsi Data ............................................................................ 69
4.3.1 Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi di lingkungan
Untirta ............................................................................ 69
4.3.1.1 Hambatan Monika dalam Berinteraksi dengan
lingkungan Untirta .............................................. 69
4.3.1.2 Proses Monika dalam Berinteraksi dengan
lingkungan Untirta .............................................. 73
4.3.2 Dinamika Interaksi Monika dalam Berbahasa ketika
berinteraksi dengan lingkungan Untirta ........................... 74
4.3.2.1 Hambatan Monika dalam Berbahasa ketika
berinteraksi dengan lingkungan Untirta ............... 76
xi
4.3.2.2 Proses Monika dalam Berbahasa ketika berinteraksi
dengan lingkungan Untirta .................................. 77
4.3.3 Dinamika Interaksi dalam Budaya, Kebiasaan dan Makanan
Mahasiswa Mahasiswa Afirmasi dengan lingkungan
Untirta ............................................................................ 78
4.3.3.1 Hambatan Interaksi dalam Kebiasaan, Budaya, dan
Makanan Mahasiswa Mahasiswa Afirmasi dengan
lingkungan Untirta .............................................. 80
4.3.3.2 Proses Interaksi dalam Kebiasaan, Budaya, dan
Makanan Mahasiswa Mahasiswa Afirmasi dengan
lingkungan Untirta .............................................. 81
4.4 Analisis Data .............................................................................. 83
4.4.1 Dinamika Interaksi Sosial Mahasiswa Afirmasi di
dilingkungan Untirta ....................................................... 83
4.4.1.1 Dinamika Berinteraksi Mahasiswa Papua dalam
menghadapi Culture Shock di lingkungan Untirta
............................................................................ 83
4.4.1.2 Dinamika Interaksi Monika dalam Berbahasa ketika
berinteraksi dengan lingkungan Untirta ............... 96
4.4.1.3 Dinamika Interaksi Mahasiswa Papua dalam
Berbahasa ketika berinteraksi dengan lingkungan
Untirta ............................................................... 106
xii
4.4.1.4 Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi Dalam
Menghadapi Perbedaan Budaya Berpakaian ..... 110
4.4.1.5 Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi Dalam
Menghadapi Perbedaan Sopan Santun Ketika
Berkomunikasi .................................................. 112
4.5 Pembahasan .......................................................................... 115
4.5.1 Interaksi Sosial ( Gillin dan Gillin ) ............................. 118
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan .............................................................................. 126
5.2 Saran ........................................................................................ 128
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................
LAMPIRAN .................................................................................................................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu .......................................................................... 34
Tabel 3.1 Informan Penelitian ............................................................................ 43
Tabel 3.2 Informan Penelitian ............................................................................ 43
Tabel 3.3 Informan Penelitian ............................................................................ 45
Tabel 3.4 Informan Penelitian ............................................................................ 46
Tabel 3.5 Jadwal Penelitian ................................................................................ 53
Tabel 4.1 Afirmasi 2016 Untirta ........................................................................ 62
Tabel 4.2 Afirmasi 2016 Untirta ........................................................................ 63
Tabel 4.3 Hambatan Berinteraksi ..................................................................... 69
Tabel 4.4 Proses Berinteraksi ............................................................................ 71
Tabel 4.5 Hambatan Berbahasa ......................................................................... 74
Tabel 4.6 Proses Berbahasa ............................................................................... 76
Tabel 4.7 Hambatan Kebiasaan, Budaya dan Makanan ...................................... 78
Tabel 4.8 Proses Kebiasaan, Budaya dan Makanan ........................................... 80
Tabel 4.9 Klasifikasi Dinamika Interaksi Gillin dan Gillin ............................. 118
Tabel 4.10 Klasifikasi Dinamika Interaksi Gillin dan Gillin ............................ 119
Tabel 4.11 Klasifikasi Dinamika Interaksi Gillin dan Gillin ............................ 121
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Berpfikir ........................................................................ 34
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang
dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu
yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok
lainnya, maupun antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat
simbol, dimana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya
diberikan kepada mereka yang menggunakannya, maka dapat dikatakan bahwa
interaksi sosial adalah dasar proses sosial yang dinamis.
Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia
bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi
manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara
seseorang dengan sesamanya dan terakhir adalah, makna tidak bersifat tetap
namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses
penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut
disebut juga dengan interpretative process (Elly,2008:26).
Interaksi adalah hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan
antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok lain.
Tanpa adanya interaksi sosial maka tidak akan mungkin kehidupan bersama.
Homans mendefenisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas
yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran, atau
2
hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi
pasangannya (Liliweri, 2009:37). Konsep yang dikemukan oleh Homans tersebut,
yang mengandung pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang
dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan
individu lain yang menjadi pasangan dalam berinteraksi dengan lingkungan
tersebut.
Menurut Shaw, Interaksi sosial adalah suatu pertukaran antarpribadi yang
masing-masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran
mereka, dan masing-masing prilaku mempengaruhi satu sama lain. Dari beberapa
defenisi yang dijelaskan oleh para tokoh diatas, dapat diartikan bahwa interaksi
adalah hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, dan masing-masing
orang yang terlibat didalamnya dan saling memainkan peran secara aktif. Dalam
interaksi juga lebih dari sekedar terjadi hubungan antar pihak. Pihak yang terlibat
tersebut yang harus saling mempengaruhi satu sama lain (Littlejohn.9: 284).
Interaksi dan komunikasi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
karena salah satu cara agar kita dapat melakukan interaksi yang efektif dengan
lingkungan adalah dengan cara berkomunikasi, menurut Gillin dalam Soekanto
(2002:71-104), menjelaskan bahwa ada dua golongan proses sosial sebagai akibat
dan interaksi sosial dalam berkomunikasi, yaitu proses sosial asosiatif dan proses
disosiatif, yang dimana asosiatif adalah sebuah proses yang terjadi saling
pengertian dan kerja sama timbal balik antara orang perorang atau kelompok satu
dengan lainnya, di mana proses ini mampu menghasilkan pencapaian tujuan-
tujuan bersama (Burhan Bungin, 2006:62).
3
Aspek Interaksi sosial bukan hanya meliputi lingkungan masyarakat saja,
tetapi juga meliputi lingkungan pendidikan, kali ini peneliti mengkaitkan
bagaimana interaksi sosial di lingkungan kampus Untirta. Untirta merupakan
salah satu kampus yang berada di kota Serang, Banten. Berkaitan dengan letak
geografis Untirta yang berada di Provinsi Banten, maka baik bahasa, budaya,
norma, kebiasaan mengikuti adat istiadat Banten itu sendiri, seperti;
kesehariannya bahasa yang kerap sekali kita dengar dilingkungan kota Serang
yaitu dengan menggunakan 3 bahasa yaitu, bahasa Sunda, bahasa Jawa Serang,
dan bahasa Indonesia yang sudah menerima serapan kultur budaya luar atau
termodifikasi. Hal ini dapat dibuktikan melalui sejarahnya yaitu Sebelum
kedatangan Syarif Hidayatullah di Banten bahasa penduduk yang pusat kekuasaan
politiknya di Banten Girang, adalah bahasa Sunda. Sedangkan bahasa Jawa,
dibawa oleh Syarif Hidayatullah, kemudian oleh puteranya, Hasanuddin,
berbarengan dengan penyebaran agama Islam.
Dalam kontak budaya yang terjadi, bahasa Sunda dan bahasa Jawa itu
saling mempengaruhi yang pada gilirannya membentuk bahasa Jawa dengan
dialek tersendiri dan bahasa Sunda juga dengan dialeknya sendiri. Artinya, bahasa
Jawa lepas dari induknya (Demak, Solo, dan Yogya) dan bahasa Sunda juga
terputus dengan pengembangannya di Priangan sehingga membentuk bahasa
sunda dengan dialeknya sendiri pula; kita lihat misalnya di daerah-daerah
Tangerang, Carenang, Cikande, dan lain-lain, selain di Banten bagian Selatan.
Bahasa Jawa yang pada permulaan abad ke-17 mulai tumbuh dan berkembang di
Banten, bahkan menjadi bahasa resmi keraton termasuk pada pusat-pusat
4
pemerintahan di daerah-daerah. Sesungguhnya pengaruh keraton itulah yang telah
menyebabkan bahasa Jawa dapat berkembang dengan pesat di daerah Banten
Utara. Dengan demikian lambat laun pengaruh keraton telah membentuk
masyarakat berbahasa Jawa. Pada akhirnya, bahasa Jawa Banten tetap
berkembang meskipun keraton tiada lagi. Bahasa Jawa dimaksud dalam
pengungakapannya menggunakan tulisan Arab (Pegon) seperti kita temukan pada
manuskript, babad, dan dokumen-dokumen tertentu.
Untuk bahasa Indonesia yang termodifikasi atau disebut bahasa “slang”
yang kerap dijadikan sebagai bahasa sehari-hari di lingkungan kampus Untirta,
salah satu contoh bahasa slang tersebut adalah penggunaan gaya bahasa “gue-lu”,
“keles” dll, bahasa slank adalah bentuk dari bahasa Indonesia yang tidak baku,
dan yang biasa menggunakan bahasa slank ini adalah para remaja pada saat
berinterkasi dengan teman sesamanya, bahasa slank bisa saja berasal dari bahasa
serapan yang diambil dari bahasa asing atau bahasa daerah. Hal ini juga tampak
dilingkungan kampus, tak jarang kita mendengar bahasa baru, karena mayoritas
kampus di huni oleh kaula muda, sudah pasti penggunaan bahasa slank akan
semakin cepat tersebar dan di dengar. Hasil prapenelitian yang sudah dilakukan
memang benar dalam kesehariannya dilingkungan kampus Untirta baik
masyarakat, mahasiswa, sering sekali menggunakan 3 bahasa tersebut.
Begitu juga dengan budaya, setiap aturan-aturan yang berlaku berpusat
kepada budaya (Liliweri, 2009:20), kutipan tersebut dikaitkan peneliti dalam
mendeskripsikan bagaimana gambaran dengan etika-etika kesopanan, karena
etika, norma dan aturan-aturan yang berlaku adalah bagian dari kebudayaan. Salah
5
satu contoh kebiasaan yang lazim dan masih berlaku di masyarakat kota Serang
adalah dengan tidak menatap kedua mata lawan berbicara kita saat berinteraksi,
karna akan memiliki kesan tidak sopan atau terkesan menantang mereka.
Kebiasaan ini belum tentu sama jika kita bandingkan dengan wilayah lain, karena
ada beberapa wilayah yang mewajibkan pada saat berinteraksi dengan orang lain
diwajibkan melakukan kontak mata sesering mungkin.
Untirta adalah salah satu kampus negeri yang berada di Provinsi Banten,
yang masuk dalam 370 PTN yang wajib menerima mahasiswa dari jalur tes
penerimaan yaitu: Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN),
Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), Ujian Masuk
Bersama Perguruan Tinggi (UMBPT), data dari tahun 2016 hingga 2017 Untirta
menerima mahasiswa yang di dominasi berasal dari daerah Banten, seperti di
tahun 2016 Untirta menerima 4.011 secara keseluruhan 56% dominasi oleh
mahasiswa yang berasal dari Provinsi Banten, dan begitu juga di tahun 2017
Untirta menerima 3.781 mahasiswa 63% dan didominasi berasal dari daerah
Banten, selebihnya mahasiswa Untirta banyak menerima mahasiswa dari kota-
kota diluar provinsi Banten, seperti Jawa Barat, Jakarta, Depok, Bekasi, Sumatera,
dan pada tahun 2016 Untirta menerima mahasiswa melalui jalur Program
Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK) bagi calon mahasiswa yang berasal dari
daerah Papua (hasil prapenelitian BAKP bidang kemahasiswaan Untirta,
29/11/2017).
Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK) adalah program yang
memberikan kesempatan bagi putra/putri asli Papua lulusan SMA/SMK untuk
6
melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di luar Papua. Program ini
dimulai sejak tahun 2012 dengan mengirimkan 770 siswa SMA/SMK dengan
mengirimkan 770 siswa lulusan SMA/SMK ke 32 PTN. Melalui koordinasi,
sinkronisasi dan fasilitas UP4B dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kemendikbud, dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri (MRPTNI) serta
Pemerintah Provinsi Papua, Papua Barat dan Kabupaten/Kota, pada 2013
disepakati untuk disediakan kuota dan beasiswa bagi OAP yang mencapai 600
mahasiswa untuk menempuh pendidikan tinggi di 39 PTN di luar Papua dan
Papua Barat. Setelah melalui tahapan seleksi hingga pengumuman kelulusan, para
calon mahasiswa ADIK akan diberangkatkan ke 39 PTN yang ada di 29 kota yang
tersebar mulai dari Banda Aceh hingga Maluku, sejak 2012 hingga 2017 ini ,
sudah ada 3721 mahasiswa yang mengikuti program ADIK tersebut berdasarkan
data yang sudah dikumpulkan di setiap tahunnya.
Mahasiswa ADIK di Untirta sebanyak 6 orang untuk angkatan I, dan
dilanjut dengan angkatan II di tahun 2017 sejumlah 9 Orang. Jadi total Untirta
sudah memiliki 15 mahasiswa yang tersebar di 3 fakultas yaitu fakultas Teknik,
FKIP, dan FEB dengan berbagai jurusan didalamnya, diantaranya: Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Teknik Mesin, Teknik Sipil, Pendidikan
Kewarganegaraan, Ekonomi Pembangunan, Manajemen, Akutansi, dan di
Pendididkan Sosiologi (Pra penelitian dengan BAKP bagian Kemahasiswaan
Untirta 29/11/2017).
Berdasarkan hasil observasi dengan beberap teman-teman Afirmasi 2017,
Proses Afirmasi ini tidak serta merta berjalan lancar sebagaimana mestinya. Salah
7
satu hambatan yang dialami mahasiswa Afirmasi adalah adanya masalah
hambatan dalam berinteraksi sosial di lingkungan kampus Untirta, yang dimana
kondisi budaya yang melatar belakangi mahasiswa Afirmasi adalah budaya Papua
itu sendiri, dan lingkungan Untirta menyajikan budaya kebantenanya. Dinamika
interaksi lain dapat berupa, Hambatan-hambatan dilihat melalui cara
berkomunikasi, prilaku, nilai dan norma kesopanan, makanan, persepsi, intonasi
dll.
Karena dalam prosesnya, mahasiswa Afirmasi yang kuliah di Untirta harus
meninggalkan rumah, keluarga, teman dan akan menemui masyarakat yang
memiliki latar belakang budaya yang berbeda jauh dari mereka dan itu bukanlah
suatu hal yang mudah. Selama ini mereka hidup dalam lingkungan yang familiar,
tempat dimana mereka tumbuh dan berkembang. Orang-orang yang ditemui
dalam lingkungan pada saat sekolah ataupun bermain cenderung memiliki
kesamaan dalam hal latar belakang etnik, kepercayaan atau agama, nilai bahasa
atau setidaknya memiliki dialek yang sama. Memasuki dunia baru dengan segala
sesuatu yang terasa asing, maka berbagai kecemasan dan ketidak nyamanan pun
akan terjadi.
Sangat wajar ketika individu masuk dalam lingkungan budaya baru
mengalami kesulitan bahkan tekanan mental karena tidak terbiasa dengan hal-hal
yang ada disekelilingnya. Ketika individu masuk dan mengalami kontak budaya
lain, maka mereka akan merasakan ketidak nyamanan psikis dan fisik karena
kontak tersebut, maka keadaan ini disebut sebagai gegar budaya atau culture
shock. Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang
8
muncul dari kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang familiar dalam
hubungan sosial. Tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk itu meliputi seribu satu cara
yang kita lakukan dalam mengendalikan diri kita sendiri dalam menghadapi
situasi sehari-hari (Mulyana dan Rakmat, 2003:174).
Perbedaan yang sangat tampak berbeda adalah budaya Papua yang
menjadi latar belakang mahasiswa Afirmasi adalah, dialek, intonasi dan budaya.
Jika sedang melakukan interaksi orang Papua biasa menggunakan intonasi nada
suara yang kencang dan pengucapan dengan tempo cukup cepat, selain itu orang
Papua menjunjung tinggi semua hal yang berhubungan dengan adat, seperti;
setiap benda yang melekat di badan mereka baik itu berupa kalung, anting, rambut
ikal, gelang yang diberikan orang tua mereka sejak kecil tidak boleh dilepas mau
bagaimanapun alasanya. Karena mereka menganggap setiap benda pemberian
orang tua itu adalah hasil pemberian yang sangat berharga, dan tidak boleh dilepas
begitu saja, sampai mereka berpulang nanti benda itu harus melekat di tubuh
mereka. Karena akan ada sangsi adat yang akan mereka terima apabila benda itu
dilepas atau hilang (hasil prapenelitian dengan salah satu mahasiswa Papua,
minggu 3/12/2017).
Selain itu terdapat perbedaan dari penggunaan bahasa yang digunakan, di
Papua mereka biasa menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan benar, jika
kita sandingkan dengan kondisi di lingkungan Untirta, yang didominasi
pengunaan 3 bahasa yang sudah disebutkan diatas yaitu, bahasa Sunda, bahasa
Jawa Serang dan jika dilingkungan kampus kerap kali ditemukan penggunaan
bahasa Slang. Hal ini dapat menjadi hambatan bagi mahasiswa Afirmasi. Begitu
9
juga dengan kebiasaan, jika di Papua setiap mereka berpapasan atau bertemu
dengan orang baru yang mereka tidak kenal latar belakangnya, mereka tidak
sungkan untuk menyapa dan memanggilnya dengan sebutan “kaka”, begitu juga
ketika mereka bertemu dengan teman yang berbeda umur yang lebih muda dari
mereka, dengan sebutan “adik”. Karena kebiasaan ini sudah menjadi kebiasaan
bagi mereka di Papua apabila bertemu atau berpapasan dengan orang baru mereka
akan bertegur-sapa.
Tidak hanya dalam bertegur sapa, mahasiswa Afirmasi yang sejak lahirnya
berasal dari daerah Indonesia Timur, tidak terbiasa menggunakan bahasa gaul,
seperti bahasa sehari-hari yang digunakan dilingkungan Untirta, mahasiswa
Afirmasi yang berasal dari Papua terbiasa menggunakan bahasa daerah mereka
sebagai bahasa sehari-hari dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
kedua dalam keseharian mereka. Selain penggunaan bahasa sehari-hari adanya
tetanan pengucapan kalimat yang unik jika dibandingkan dengan tatanan
pengucapan kalimat yang biasa di gunakan dilingkungan Untira, seperti contoh,
“Efek dari su tra pegang uang jadi” yang dimana jika diarikan dalam bahasa
sehari-hari di Untirta yang memiliki arti “Efek sudah tidak punya duit”.
Selain itu juga dengan Makanan, kebiasaan pembeda mahasiswa Afirmasi
dengan lingkungan Untirta dapat dibedakan dari makanan pokok yang mereka
konsumsi. Jika lingkungan Untirta terbiasa menggunakan nasi sebagai makanan
pokok, hal ini berbeda dengan beberapa mahasiswa Afirmasi yang menggunakan
Sagu, Ubi, dan Jagung sebagai makanan pokoknya.
10
Aspek pembeda tersebut tidak hanya berasal dari bahasa, budaya dan
makanan saja. berdasarkan hasil pra penelitian ditemukan bahwa ada penilaian
negatif atau steriotype yang diberikan lingkungan Untita kepada mahasiswa
Afirmasi terkhususnya dilingkungan kampus, yang merasa kalau mahasiswa
Afirmasi itu “seram-seram” hal ini ditunjukan ketika sedang menatap atau melihat
mahasiswa Afirmasi.
Adanya benturan dua budaya yang berbeda antara budaya di lingkungan
Untirta dan yang satu lagi masih membawa budaya Asalnya (Papua), inilah yang
menghasilkan satu irisan baru yaitu komunikasi antar budaya. Sebab kedua hal ini
pasti akan melakukan proses interaksi sosial, bisa diumpakan pada saat
melakukan proses interaksi sosial akan ada komunikan dan komunitor, baik
komunikan dan komunikator akan membawa budaya, kepribadian dan persepsi
masing-masing sesuai dengan latar belakang budaya mereka. Di tahapan interaksi
sosial terdapat 5 faktor yang menjadi syarat agar terjadinya proses interaksi yang
baik yaitu, imitasi, sugesti, simpati, identifikasi dan empati.
Ketika komunikan dan komunikator yang berbeda budaya tersebut
berinteraksi hal ini diartikan sebagai komunikasi antarbudaya karena kedua pihak
“menerima” perbedaan antara mereka sehingga bermanfaat untuk menurunkan
tingkat ketidakpastian dan kecemasan dalam relasi antarpribadi.
Menurunya tingkat ketidakpastian dan kecemasan dalam relasi dapat
menjadi motivasi strategi komunikasiyang bersifat akomodatif. Strategi tersebut
juga dihasilkan oleh karena terbentuknya budaya baru, yang secara psikologis
menyenangkan kedua hati orang itu. Hasilnya adalah komunikasi yang bersifat
11
adatif yakni komunikan dan komunikator saling menyesuaikan diri dan akibatnya
menghasilkan komunikasi antarpribadi-antarbudaya yang efektif (Liliweri.
2009:33).
Oleh sebab itu Peneliti mengangkat fokus bagaimana dinamika interaksi
sosial mahasiswa Papua yang ada di kampus Untirta, interaksi sosial yang
dimaksud oleh peneliti bukan hanya sekedar interaksi sosial yang dilakukan oleh
sesama mahasiswa saja, tetapi juga bagaimana interaksi sosial yang dilakukan
mahasiswa dengan dosen dan juga bagaimana interaksi mahasiswa dengaan
masyarakat di sekitaran kampus Untirta, yang dimana sudah pasti kebudayaan,
norma-norma, etika kesopanan, cara berinteraksi, berkomunikasi dan makanan
akan di dominasi oleh kebudayaan daerah itu sendiri yaitu budaya kebantenan,
dengan tujuan untuk memperkecil efek culture shock yang wajib dirasakan oleh
mahasiswa Papua yang berkuliah di Untirta
Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan, maka peneliti
mengangkat judul sebagai berikut “Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi
Dalam Menghadapi Culture Shock di Untirta”.
12
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
fokus masalah dalam penelitian adalah, “Dinamika Interaksi Mahasiswa
Afirmasi Dalam Menghadapi Culture Shock di Untirta”.
1.3 Identifikasi Masalah
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka dapat diidefinisikan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana Proses Imitasi yang dilakukan Mahasiswa Afirmasi agar dapat
memperkecil dampak Culture Shock di lingkungan Untirta ?
2. Bagaimana Proses Identifikasi yang dilakukan Mahasiswa Afirmasi agar
dapat memperkecil dampak Culture Shock di lingkungan Untirta ?
3. Bagaimana Proses Empati yang dilakukan Mahasiswa Afirmasi agar dapat
memperkecil dampak Culture Shock di lingkungan Untirta ?
4. Bagaimana Proses Sugesti yang dilakukan Mahasiswa Untirta untuk
membantu mahasiswa Afirmasi Papua dalam memperkecil dampak
Culture Shock?
5. Bagaimana Proses Simpati yang dilakukan Masyarakat di lingkungan
kampus untuk membantu mahasiswa Afirmasi Papua dalam memperkecil
dampak Culture Shock?
13
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian yang ingin disampaikan adalah :
1. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses Imitasi yang
dilakukan Mahasiswa Afirmasi agar dapat memperkecil dampak Culture
Shock di lingkungan Untirta.
2. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses Identifikasi yang
dilakukan Mahasiswa Afirmasi agar dapat memperkecil dampak Culture
Shock di lingkungan Untirta.
3. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses Empati yang
dilakukan Mahasiswa Afirmasi agar dapat memperkecil dampak Culture
Shock di lingkungan Untirta.
4. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan Sugesti yang dilakukan
Mahasiswa Untirta untuk membantu mahasiswa Afirmasi Papua dalam
memperkecil dampak Culture Shock.
5 Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses Simpati yang
dilakukan Masyarakat di lingkungan kampus untuk membantu mahasiswa
Afirmasi Papua dalam memperkecil dampak Culture Shock.
14
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut
1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya
penelitian tentang komunikasi Lintas Budaya, khususnya mengenai culture
shock.
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bersama
dalam memahami konteks Lintas Budaya yang terjadi di sekitar kita dan
menjadi masukan dan pembelajaran bagi mahasiswa yang mengalami
culture shock sebagai reaksi memasuki budaya baru.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi
Komunikasi merupakan suatu cara awal yang dilakukan oleh individu agar
dapat mengenal dan beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, kerena itu
komunikasi menjadi aspek dasar dalam menjalankan hidup, sebab didalam
berkomunikasi ada proses menyaji dan merespon pesan-pesan dengan cara yang
baik agar dapat diterima dan direspon oleh individu-individu yang saling
berinteraksi.
Komunikasi berhubungan dengan prilaku manusia dan kepuasan
terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Hampir
setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang disekitarnya dan
oleh sebab itu kebutuhan ini harus dipenuhi melalui pertukaran pesan yang
berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa
berkomunikasi akan merasa terisolasi, Porter & Samovar dalam (Mulyana dan
Rahmat, 2006:12).
Pesan-pesan itu akan muncul lewat prilaku manusia, karena perilaku
merupakan pesan, pesan-pesan itu digunakan untuk berkomunikasi sesuatu
kepada seseorang, oleh karena alasan itu komunikasi disebutkan sebagai
komunikasi yang bersifat dinamik karena komunikasi bentuk aktivitas yang
berlangsung secara terus menerus dan berubah. Komunikasi juga merupakan suatu
proses dinamika transaksional yang mempengaruhi prilaku sumber dan
penerimaanya dengan sengaja menjadi (to code) prilaku mereka untuk
16
menghasilkan pesan yang mereka salurkan lewat suatu saluran (channel) guna
merangsang atau memperoleh sikap atau prilaku tertentu. Komunikasi akan
lengkap hanya bila penerima pesan yang dimaksud mempersepsikan atau
menyerap prilaku yang disandi, memberi makna kepada penerima dan
berpengaruh kepada si penerima pesan atau lawan berkomunikasi tersebut (Dedy
Mulyana & Jalaludin Rakhmat, 2006:16). Komunikasi adalah suatu proses
penyampaian informasi dari satu pihak kepihak yang lain dalam rangka mencapai
tujuan bersama. Ada lima unsur pokok dalam komunikasi yaitu :
1. Komunikator yaitu orang yang menyampaikan informasi atau pesan
atau perasaan atau pemikiran pada pihak lain.
2. Komunikan yaitu orang atau sekelompok orang yang dikirimi pesan,
pikiran, informasi.
3. Pesan yaitu sesuatu yang disampaikan oleh komunikator kepada
komunikan.
4. Media yaitu alat untuk menyampaiakn pesan
5. Efek/feed back yaitu tanggapan atau perubahan yang diharapkan terjadi
pada komunikan setelah mendapat pesan dari komunikator.
Ada tiga tahapan penting dalam komunikasi:
1. Encoding
Pada tahap ini gagssaan atau program yang akan dikomunikasikan
diwujudkan dalam kalimat atau gambar. dalam tahap ini komunikator harus
memilih kata atau istilah, kalimat dan gambar yang mudah dipahami oleh
17
komunikan. Komunikator harus menghindari penggunaan kode-kode yang
membingungkan komunikan.
2. Penyampaian
Pada tahap ini istilah atau gagasan yang telah diwujudkan dalam bentuk
kalimat dan gambar disampaiakan . Penyampaian dapat berupa lisan dan dapat
berupa tulisan atau gabungan dari duanya.
3. Decoding
Pada tahap ini dilakukan proses mencerna dan memahami kalimat serta
gambar yang diterima menuruy pengalaman yang dimiliki.
Menurut Le Vine (1973) dalam konteks komunikasi luas menyebutkan
bahwa budaya sebagai panduan pola-pola yang mereflesikan respon-respon
komunikatif terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan. Pola-pola budaya
ini pada gilirannya merefleksikan elemen-elemen yang sama dalam prilaku
komunikasi individual yang dilakukan lalu lahir dan diasuh dalam budaya itu. Le
Vine juga menambahkan budaya sebagai seperangkat aturan terorganisasi
mengenai cara-cara yang dilakukan individu-individu dalam masyarakat agar
mampu berkomunikasi satu sama lain dan cara mereka berpikir tentang diri
mereka dan lingkungan mereka.
2.1.1 Tujuan Komunikasi
Berkomunikasi pastinya memiliki tujuan, yaitu untuk menyampaikan
informasi, mencari informasi dan saling bertukar informasi itu sendiri, agar apa
yang ingin mereka sampaikan dan apa yang mereka butuhkan dapat di terpenuhi
18
sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Menurut Burhan Bungin, pada
umumnya komunikasi mempunyaii beberapa tujuan, yaitu:
1. Perubahan Sosial, memberikan berbagai informasi kepada masyarakat
dengan tujuan akhirnya supaya masyarakat mau mendukung dan ikut serta
terhadap tujuan informasi itu disampaikan.
2. Perubahan Sikap, kegiatan memberikan berbagai informasi pada
masyarakat dengan tujuan supaya masyarakat mau mengubah pendapat
dan persepsinya terhadap tujuan informasi itu disampaikan.
3. Perubahan Pendapat, memberikan berbagai informasi kepada masyarakat
dengan tujuan akhirnya supaya masyarakat mau mengubah pendapat dan
persepsinya terhadap tujuan informasi itu disampaikan.
4. Perubahan Prilaku, kegiatan yang bertujuan memberikan berbagai
informasi pada masyarakat dengan tujuan supaya masyarakat akan
berubah prilakunya (Burhan Bungin, 2008:35).
2.2 Interaksi Sosial
Interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan individu
yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya,
jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat
antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok
dengan kelompok. Di dalam interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat
menyesuaikan dengan yang lain, atau sebaliknya. Pengertian penyesuaian di sini
dalam arti yang luas, yaitu bahwa individu dapat meleburkan diri dengan keadaan
19
di sekitarnya, atau sebaliknya individu dapat mengubah lingkungan sesuai dengan
keadaan dalam diri individu, sesuai dengan apa yang diinginkan oleh individu
yang bersangkutan.
Bentuk utama proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat
dinamakan proses sosial) karena interaksi sosial merupakan syarat utama
terjadinya aktivitas-aktivitas sosial (Soekanto 2010:55). Giliin mendefenisiskan
manfaat dari inetraksi sosial sebagai bentuk lain proses sosial hanya merupakan
hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyagkut hubungan antara
kelompok-kelompok manusia, maupun anatara orang perorangan dengan
kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok
manusia.
2.2.1 Ciri Interaksi Sosial
Interaksi sosial menekankan juga pada tujuan mengubah tingkah laku
orang lain yang meliputi perubahan pengetahuan, sikap dan tindakan dari
penerima.
Karakteristik Interaksi Sosial
1. Ada pelaku dengan jumlah lebih dari satu orang.
2. Interaksi sosial selalu menyangkut komunikasi diantara dua pihak yaitu
pengirim (sender) dan penerima (receiver).
3. Interaksi sosial merupakan suatu usaha untuk menciptakan pengertian diantara
pengirim dan penerima.
20
2.2.2 Faktor Interaksi Sosial
Faktor terjadi interaksi sosial terdiri atas kontak sosial dan komunikasi
sosial. Kontak sosial tidak hanya dengan bersentuhan fisik, dengan perkembangan
teknologi manusia dapat berhubungan tanpa bersentuhan, misalnya melalui
telepon, telegrap dan lain-lain. Komunikasi dapat diartikan jika seseorang dapat
memberi arti pada prilaku orang lain atau perasaan-perasaan yang ingin
disampaikan oleh orang tersebut. Proses interaksi sosial yang dapat terjadi dalam
masyarakat bersumber dari faktor imitasi, sugesti, simpati, identifikasi dan empati
(Soekanto, 2010:57):
1. Imitasi
Merupakan suatu tindakan sosial sesorang untuk meniru sikap, tindakan,
atau tingkah laku. Sebagai contoh Merupakan suatu tindakan sosial
sesorang untuk meniru sikap, tindakan, atau tingkah laku. Imitasi
memiliki peran yang penting dalam proses interaksi. Salah satu dari segi
positif dari imitasi adalah dapat mendorong seseorang untuk mematuhi
kaidah dan nilai-nilai yang berlaku.
2. Sugesti
Merupakan rangsangan, pengaruh, atau stimulus yang diberikan seseorang
kepada orang lain, sehingga ia melaksanakan apa yang disugestikan tanpa
berpikir rasional. Hal ini terjadi apabila individu memberikan sesuatu
pandangan atau sikap yang erasal dari dirinya yang kemudian diterima
pihak lain. berlangsungnya sugesti bisa terjadi pada pihak penerima yang
sedang dalam keadaan labil emosinya sehingga menghambat daya pikirnya
21
secara rasional. Biasanya orang yang memberi sugesti orang yang
berwibawa atau mungkin yang sifatnya otoriter.
3. Simpati
Merupakan suatu sikap seseorang yang merasa tertarik kepada orang lain
karena penampilan, kebijakan atau pola pikirnya sesuai dengan nilai-nilai
yang dianut oleh seseorang yang menaruh simpati. Yang dimana
merupakan suatu sikap seseorang yang merasa tertarik kepada orang lain
karena penampilan, Melalui proses simpati orang merasa dirinya seolah-
olah dirinya berasa dalam keadaan orang lain. kebijakan atau pola pikirnya
sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh seseorang yang menaruh
simpati.
4. Identifiksi
Merupakan keinginan sama atau identik bahkan serupa dengan orang lain
yang ditiru (idolanya). Sifatnya lebih mendalam karena kepribadian
individu dapat terbentu atas dasar proses identifikasi. Proses ini dapat
berlangsung dengan sendirinya ataupun sengaja sebab individu
memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya.
5. Empati
Merupakan suatu proses ikut serta merasakan sesuatu yang dialami oleh
orang lain. Proses empati biasanya ikut serta merasakan penderitaan orang
lain.
22
Dari 5 faktor utama penentu Interkasi Sosial ini apakah mahasiswa Papua
mampu menjalin hubungan timbal balik yang dilakukan oleh individu dengan
individu, antara indivu dengan kelompok, antara kelompok dengan individu,
antara kelompok dengan dengan kelompok dalam kehidupan sosial dilingkungan
kampus Untirta.
Jika proses interaksi sosial tidak terjadi secara maksimal akan
menyebabkan terjadinya kehidupan yang terasing. Faktor yang menyebabkan
kehidupan terasing misalnya sengaja dikucilkan dari lingkungannya, mengalami
cacat dalam pergaulan karena memiliki perbedaan ras dan perbedaan budaya.
Adanya bentuk-bentuk interaksi sosial adalah sebagai berikut: Asosiatif dan
Disasosiatif (Soerjono Soekanto, 2010:64).
a. Asosiatif
Asosiatif terdiri dari kerjasama (cooperation), akomodasi
(accomodation). Kerjasama disini dimaksudkan sebagai suatu usaha
bersama antara orang perorang atau kelompok manusia untuk mencapai
satu atau beberapa tujuan bersama, akomodasi merupakan suatu cara
untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan
atau interaksi sehingga lawan beromunikasi atau interaksi kita tidak
kehilangan kepribadiannya.
b. Disosiatif
Disosiatif terdiri dari persaingan (competition) dan kontraversi
(contravention) dan pertentangan (conflict). Persaingan diartikan
sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok-kelompok
23
manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang
kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian
umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara
menarik perhatian publik atau dengan cara menarik perhatian publik
atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa
mempergunakan ancaman atau kekerasan.
2.3 Culture Shock
Individu yang memasuki budaya baru akan mengalami proses enkulturasi
yang kedua disebut dengan istilah akulturasi. Akulturasi merupakan suatu proses
menyesuaikan diri dengan budaya baru, dimana suatu nilai masuk ke dalam diri
indvidu tanpa meninggalkan identitas budaya yang lama (Mulyana & Rakhmat,
2005:139). Akulturasi mengacu pada proses dimana budaya seseorang
dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan budaya lain. Seperti
mahasiswa Papua yang datang ke kota Serang untuk berkuliah, maka budaya para
mahasiswa Papua tersebut akan dipengaruhi oleh budaya tuan rumah yaitu budaya
Serang. Lambat laun, nilai-nilai, cara berperilaku serta kepercayaan dari budaya
baru tersebut akan menjadi bagian dari budaya mahasiswa yang berasal dari Papua
tersebut.
Secara psikologis, efek samping dari akulturasi adalah stress pada
individu-individu yang berinteraksi dalam pertemuan budaya yang berbeda
tersebut. Fenomena ini biasanya diistilahkan dengan gegar budaya (culture
24
shock). Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak antarpersona yang
dilakukan secara langsung kerapkali menimbulkan frustasi, istilah culture shock.
Ketika memasuki suatu lingkungan baru, seseorang tidak akan langsung
mengalami culture shock. Fenomena itu dapat digambarkan dalam beberapa
tahap, menurut Peter S. Adler (Mulyana, 2007:249) mengemukakan, terdapat lima
tahap dalam pengalaman trasnsisional yaitu: kontak, disintegrasi, reintegrasi,
otonomi, dan independensi.
Tahap kontak biasanya ditandai dengan kesenangan, keheranan, dan rasa
kaget, karena seseorang melihat hal-hal yang eksotik, unik, dan luar biasa. Setelah
tahap ini, individu mulai memasuki tahap kedua yang ditandai dengan
kebingungan dan disorientasi. Perbedaan menjadi lebih nyata ketika perilaku,
nilai, dan sikap yang berbeda menggangu realitas perseptual individu. Individu
semakin jengkel, cemas, dan frustasi dalam menghadapi perbedaan budaya itu,
lalu ia pun merasa terasingkan dan tidak mampu mengatasi situasi yang baru, dan
mulai kebingungan, merasa terasing dan depresi lalu menimbulkan disintegrasi
kepribadian dari diri individu tersebut ketika merasa kebingungan mengenai
identitasnya dalam skema budaya yang baru itu yang semakin lama akan semakin
meningkat lalu memunculkan rasa reintegrasi.
Reintegrasi adalah tahap dimana ditandai dengan adanya penolakan akan
budaya kedua atau budaya baru. Individu tersebut akan menolak kemiripan dan
perbedaan budaya melalui penstereotipan, generalisasi, evaluasi, perilaku dan
sikap yang serba menilai. Pada tahap transisi ini, individu tersebut akan mencari
hubungan dengan orang-orang yang berasal dari budaya yang sama dalam kasus
25
ini adalah mahaiswa yang berasal dari Papua tersebut akan lebih nyaman dengan
bergaul dengan sesama mereka. Munculnya perasaan negatif ini merupakan tanda
akan tumbuhnya kesadaran budaya yang baru, tetapi jika gagal, maka mahasiswa
yang berasal dari Papua tersebut akan lebih memilih untuk menutup diri dengan
budaya baru dan akan tetap bergaul dengan sesama mahasiswa Papua saja.
Dinamika yang dialami individu pada saat memasuki lingkungan baru,
dan memiliki budaya yang berbeda akan mengalami rasa canggung dan terkesan
kaget dengan apa yang harus dilakukan agar dapat beradaptasi dengan lingkungan
baru tersebut, seperti contoh yang disebutkan (Mulyana, 2006:24) bahwa bila
individu memasuki budaya asing, ia bagaikan ‘ikan yang keluar dari air’.
Individu tersebut aka kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan
kecemasan. Pertama-tama mereka akan menolak lingkungan baru yang
menyebabkan ketidaknyamanan dan mengancam lingkungan itu dan menganggap
kampung halamannya lebih baik dan terasa sangat penting. Orang cenderung
mencari perlindungan dengan berkumpul bersama teman-teman setanah air, satu
daerah asal yang sering menjadi sumber tuduhan-tuduhan emosional yang disebut
stereotip dengan cara negatif.
Defenisi yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa culture
shock merupakan suatu permasalahan yang melibatkan persamaan, cara berpikir
dan berperilaku pada diri individu saat menghadapi perbedaan pengalaman
maupun budaya ketika berada di daerah/negara lain dengan daerah/negara asal.
26
2.4 Cara Beradaptasi
Teori Akomodasi Komunikasi mendasari pada sebuah interaksi, individu
memiliki pilihan untuk menemukan perbedaan diri mereka dan memutuskan
untuk beradaptasi dengan lingkungan baru tersebut. Pilihan-pilihan ini diberi
label konvergensi, divergensi, dan akomodasi berlebihan yang dimana ketiga
cara Beradaptasi ini memiliki perbedaan cara saja, seperti:
1. Konvergensi: Melebur Pandangan
Jesse Delia, Nikolas Coupland, dan Justin Coupland dalam West dan
Lynn Turner (2007:222) mendefinisikan konvergensi sebagai ”strategi
dimana individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama
lain”. Orang akan beradaptasi terhadap kecepatan bicara, jeda, senyuman,
tatapan mata, perilaku verbal dan nonverbal lainnya. Ketika orang
melakukan konvergensi, mereka bergantung pada persepsi mereka
mengenai tuturan atau perilaku orang lainnya. Selain persepsi mengenai
komunikasi orang lain, konvergensi juga didasarkan pada ketertarikan.
Biasanya, ketika para komunikator saling tertarik, mereka akan melakukan
konvergensi dalam percakapan (West Richard dan Tunner Liynn H,
2007:217).
2. Divergensi: Hiduplah Perbedaan
Strategi yang digunakan untuk menonjolkan perbedaan verbal dan
nonverbal di antara para komunikator. Divergensi terjadi ketika tidak
terdapat usaha untuk menunjukkan persamaan antara para pembicara.
Terdapat beberapa alasan mengapa orang melakukan divergensi, pertama
27
untuk mempertahankan identitas sosial. Contoh, individu mungkin tidak
ingin melakukan konvergensi dalam rangka mempertahankan warisan
budaya mereka. Contoh, ketika kita sedang bepergian ke Paris, kita tidak
mungkin mengharapkan orang Prancis agar melakukan konvergensi
terhadap bahasa kita. Alasan kedua mengapa orang lain melakukan
divergensi adalah berkaitan dengan kekuasaan dan perbedaan peranan
dalam percakapan.
Divergensi seringkali terjadi dalam percakapan ketika terdapat
perbedaan peranan yang jelas dalam percakapan (dokter-pasien, orangtua-
anak, pewawancara-terwawancara, dan seterusnya. Terakhir, divergensi
cenderung terjadi karena lawan bicara dalam percakapan dipandang
sebagai anggota dari kelompok yang tidak diinginkan, dianggap memiliki
sikap-sikap yang tidak menyenangkan, atau menunjukkan penampilan
yang jelek (West Richard dan Tunner Liynn H, 2007:217).
3. Akomodasi Berlebihan: Miskomunikasi dengan Tujuan
Miskomunikasi dengan tujuan. Jane Zuengler (1991) dan West dan
Lynn Turner (2007: 227) mengamati bahwa akomodasi berlebihan adalah
”label yang diberikan kepada pembicara yang dianggap pendengar terlalu
berlebihan.” istilah ini diberikan kepada orang yang walaupun bertindak
berdasarkan pada niat baik, malah dianggap merendahkan (West Richard
dan Tunner Liynn H, 2007:217).
28
2.5 Dinamika Komunikasi
Dalam bukunya Efendy yang berjudul “Dinamika Komunikasi“
menjelaskan bahwa, dinamika komunikasi adalah apa, seperti apa, dan bagaimana
komunikasi yang terjadi antara dua orang atau lebih terjadi. Detail-detail penting
baik verbal maupun non-verbal, situasi, emosi, dan hal-hal lain yang memberikan
pengaruh dalam terjadinya sebuah interaksi. Dinamika tersebut diartikan berupa
hambatan yang terjadi pada saat melakukan interaksi komunikasi atau malah
mendukung kualitas dari sebuah komunikasi tersebut.
2.6 Skripsi Terdahulu
Penelitian yang serupa dengan penelitian yang akan penulis lakukan ialah
penelitian dengan judul “Dinamika Komunikasi” dalam menghadapi Culture
Shock pada adaptasi Mahasiswa Perantauan di Unpad dengan penulis Muhammad
Hyqal Kevinzky. Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif Interpretatif .
penelitian ini untuk mengetahui bagaimana Proses dan dinamika yang dialami
mahasiswa perantau di Unpad, penelitian ini menggunakan teori Akomodasi
komunikasi. Hasil dari penelitian ini ialah ditemukan bahwa terdapat sejumlah
kecendrungan seseorang dalam beradaptasi dengan budaya baru di dekitarnya lalu
kemudian yang menentukan pemilihan tipe adaptasi agar bisa bertahan di
perantau.
Selanjutnya adalah penelitian “Proses Adaptasi” Komunikasi Sosial
Mahasiswa Perantau Asal Papua dalam Menghadapi Culture Shock di Universitas
Trisakti dengan penulis Adrianis Januar. Penelitian ini menggunakan metode
29
kualitatif Post-positivisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
Bagaimana proses adaptasi komunikasi sosial mahasiswa perantau dalam
menghadapi Culture Shock. Hasil dari penelittian ini diketahui Dalam penelitian
ini, ditemukan bahwasemua mahasiswa perantau yang berasal dari Papua yang
berkuliah di Trisakti mengalami Culture Shock dan memerlukan waktu yang
terbilang cukup lama dalam proses komunikasi sosial di lingkungan Trisakti
tersebut.
Penelitian terakhir adalah mengenai “Culture Shock dalam interaksi
Komunikasi Antarbudaya Pada Mahasiswa Malaysia” dengan penulis Emma
Violita Pinem. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriftif dan teori
Interaksionalisme Simbolik dan dimana hasil dalam penelitian ini Hasil penelitian
menunjukan bahwa mahasiswa asal Malaysia memiliki kecenderungan culture
shock tergolong sedang. Hal ini yang mengartikan bahwa mereka sudah bisa
menyesuaikan diri, namun untuk beberapa informan masih mengalami beberapa
masalah adaptasi seperti merasa diperlakukan berbeda dalam berinteraksi dengan
penduduk lokal, penguasaan bahasa indonesia yang kurang baik.
Perbedaan dengan penelitian yang sedang penulis lakukan adalah
penelitian lebih kepada “Dinamika Interaksi” untuk memperkecil dampak Culture
Shock berdasarkan pengalaman mahasiswa Afirmasi tahun 2017 di Untirta.
Persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama memebahas pengalaman
interaksi mahassiwa Perantau dalama memperkecil dampak Culture Shock.
30
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Item Muhammad
Hyqal Kevinzky
Adrianis Januar Emma Violita
Pinem
1 Judul Proses dan
Dinamika
Komunikasi Dalam
Menghadapi
Culture Shock Pada
Adaptasi
Mahasiswa
Perantau (Kasus
Adaptasi
Mahasiswa
Perantau di
UNPAD Bandung)
Proses Adaptasi
Komunikasi Sosial
Mahasiswa
Perantau Asal
Papua dalam
Menghadapi
Culture Shock di
Universitas
Trisakti.
Culture Shock dalam
interaksi
Komunikasi
Antarbudaya Pada
Mahasiswa
Malaysia di Medan
(Studi Kasus, Pada
Mahasiswa
Malaysia di
Universitas
Sumatera Utara)
2
Tahun
2011
2014
2011
3 Tujuan
Penelitian
Untuk melihat
bagaimana proses
dan dinamika
komunikasi
mahasiswa
perantau di Unpad
Bagaimana proses
adaptasi
komunikasi sosial
mahasiswa
perantau dalam
menghadapi
Untuk mengetahui
culture shock dalam
interaksi komunikasi
antarbudaya pada
mahasiswa Malaysia
di USU, dalam hal
31
Bandung dalam
beradaptasi ketika
menghadapi
culture shock
Culture Shock. ini juga mengenai
reaksi dan upaya
mengatasi culture
shock tersebut.
4 Teori Teori Akomodasi
Komunikasi
Teori Akomodasi
Komunikasi
Teori
Interaksionalisme
Simbolik
5 Metode/
Paradigma
Kualitatif/
Interpretifisme
Kualitatif/ Post-
Positivisme
Kuantitatif /
Deskriptif
6 Hasil
Penelitian/
Kesimpula
n
Dalam Penelitian
ini, ditemukan
bahwa terdapat
sejumlah
kecendrungan
seseorang dalam
beradaptasi dengan
budaya baru di
dekitarnya lalu
kemudian yang
menentukan
pemilihan tipe
adaptasi agar bisa
bertahan di
Dalam penelitian
ini, ditemukan
bahwasemua
mahasiswa
perantau yang
berasal dari Papua
yang berkuliah di
Trisakti mengalami
Culture Shock dan
memerlukan waktu
yang terbilang
cukup lama dalam
proses komunikasi
sosial di
Hasil penelitian
menunjukan bahwa
mahasiswa asal
Malaysia memiliki
kecenderungan
culture shock
tergolong sedang.
Hal ini yang
mengartikan bahwa
mereka sudah bisa
menyesuaikan diri,
namun untuk
beberapa informan
masih mengalami
32
perantau lingkungan Trisakti
tersebut.
beberapa masalah
adaptasi seperti
merasa diperlakukan
berbeda dalam
berinteraksi dengan
penduduk lokal,
penguasaan bahasa
indonesia yang
kurang baik.
7 Persamaan Metode
penelitian
sama-sama
menggunak
an metode
kualitatif
Menjadikan
mahasiswa
sebagi
objek
penelitian
Paradigma
yang
digunakan
Melibatkan
Mahasiswa
Papua
sebagai
Objek
penelitian
Metode
penelitian
sama
menggunak
an metode
kualitatif.
Meneliti
kasus
Culture
Shock
Objek
penelitian
adalah
mahasiswa
33
8 Perbedaan Mahasiswa
yang di
jadikan
objek
penelitian
adalah
mahasiswa
perantau
general
tidak
berfokus
pada satu
daerah asal
saja
Paradigma
yang
digunakan
penelitian
ini
menggunak
an
paradigma
post-
positivisme
Teori yang
digunakan
Metode
penelitian
Paradigma
yang
digunakan
9 Kritik Skripsi ini terlalu
berfokus pada
ekspektasi peneliti
akan dinamika
Culture Shock yang
di di alami oleh
para mahasiswa
perantau, kurang
berfokus pada
Skripsi ini terlalu
berfokus kepada
bagaimana
mahasiswa Papua
beradaptasi dengan
cara berkomunikasi
sosial saja, kurang
memperdalam
tekanan dan
Budaya penduduk
medan dan Melaysia
adalah sama-sama
berlatarbelakang
Melayu, jika di
dalam proses
interaksi dengan
penduduk sekitar
kampus, mahasiswa
34
kenyataan sesuai
yang dialami oleh
mahasiswa
perantau tersebut.
permasalahan
perbedaan kultur
apa saja yang
dialami oleh
mahasiswa Papua
tersebut.
Malaysia seharusnya
cukup merasa
nyaman. Karena
budaya penduduk
yang hampir sama
dengan mahasiswa
Malaysia tersebut.
10 Sumber http://diglib.ui.ac.id Perpustakaan Fisip
Untirta.
http://repository.usu.
ac.id
35
2.7 Kerangka Berpikir
Dinamika interaksi mahasiswa Afirmasi ketika sedang berkuliah di
Untirta, yang melibatkan lingkungan yang berada disekitar Untirta yaitu,
Lingkungan kampus, Lingkungan Organisasi dan lingkungan masyarakat.
Perbedaan tersebut terlihat dengan dari adanya kebiasaan, norma-norma, dan gaya
bahasa/logat. Perbedaan yang mendasari ini membuat mahasiswa Afirmasi
merasakan efek culture shock, yang disebabkan karena adanya ketidaksesuaian
unsur-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu pola yang tidak
berfungsi secara serasi bagi masyarakat atau lingkungan.
Untuk mengatasi perasaan culture shock tersebut, mahasiswa Afirmasi
yang terbiasa dengan kebudayaan yang melekat pada dirinya akan sulit menerima
kebudayaan baru yang berlaku dilingkungan Untirta, hal ini mengharuskan
mahasiswa Afirmasi perlu melakukan interaksi sosial dengan lingkungan Untirta,
yang meliputi lingkungan masyarakat, lingkungan organisasi dan lingkungan
perkuliahan yang dilatarbelakangi dengan budaya Ke Bantenan. Mahasiswa
Afirmasi dan elemen lingkungan yang berada di Untirta saling melakukan tahapan
interkasi sosial yang meliputi identifikasi, imitasi, sugesti, simpati dan empati. Hal
ini bertujuan untuk saling menerima satu sama lain baik seperti kebiasaan,
kebudayaan, dan gaya bahasa. Dengan melakukan interaksi sosial mahasiswa
Afirmasi dapat mengenal dan menerima kebudayaan, kebiasaan dan gaya bahasa
yang berlaku di lingkungan Untirta.
36
Gambar 2.1 Kerangka Berpfikir
Sumber: Peneliti, 2017
Imitasi Sugesti Simpati
Interaksi Sosial (Gillin dan Gillin)
Indikator
Rasa
kagum
dengan
figure
lain.
Kebiasa
an
Indikator
Keadaan
pikiran
yang
terpecah-
belah
(disosiasi
)
Mayorita
s
Masyarakat di
lingkungan kampus
Mahasiswa
AFIRMASI Mahasiswa
UNTIRTA
Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi di Untirta
Indikator
Merasa
kan
perasaa
n yang
sama
dengan
orangla
in
Meminimalisir dampak Culture
Shock
Identifikasi Empati
Indikator
Adanya
figure yang
dijadikan
idola dan
ingin
menyamaka
n diri
dengan
figure
tersebut .
Indikator
Daya
tarik
dengan
oranglain
sehingga
memotiv
asi untuk
bertindak
Lingkungan
Organisasi
37
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kualitatif
deskriptif, metode kualitarif deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran
tentang suatu fenomena secara terpisah-pisah. Penelitian deskriptif mempelajari
masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam
masyarakat.
Penelitian Kualitatif pada umumya hanya melakukan pemaparan situasi atau
kondisi dan tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis tau
membuat predksi. Metode penelitian kualitatif ini sering disebut metode penelitian
naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural
setting) (Deddy Mulyana. 2002:201).
Metode pendekatan kualitatif menurut Creswell yaitu suatu proses penelitian
dan pemahaman yang berdasarkan pada metodelogi yang menyelediki suatu
fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat
suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dan pandangan
responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami. Bogdan dan Taylor
mengemukakan bahwa metodelogi kualitatif merupakan prosedur yang mdapat
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-
orang dan prilaku yang diamati. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah
instrumen kunci. Oleh karena itu, penelliti harus memiliki bekal teori dan
38
wawasan yang luas jadi bisa bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi masalah
yang objek menjadi lebih jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan
terkait nilai. Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk
mengetahui makna yang tersembunyi untuk memahami dinamika interaksi sosial,
untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti
sejarah perkembangannya (Burhan Bungin, 2006:34).
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok
manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang. Penelitian yang bersifat deskriptif
mempunyai tujuan mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan
gejala-gejala yang ada, mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan
praktek-praktek yang telah dibuka, membuat perbandingan atau evaluasi, dan
menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama
dan belajar dari pengalaman untuk menetapkan rencana dan keputusan pada
waktu yang akan datang (Jalaludin Rakhmat, 2000:15).
Metode deskriptif juga diselidiki kedudukan (status) fenomena atau faktor
dan melihat antara satu faktor dengan faktor lain (Jalaludin Rakhmat 2005:24)
Terdapat beberapa tujuan penelitian deskriptif menurut Jalaludin Rakhmat
adalah :
1. Mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek
yang berlaku.
2. Membuat perbandingan atau evaluasi.
39
3. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang mengambarkan gejala
yang ada.
4. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah
yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana
dan mengambil keputusan pada waktu yang akan datang.
Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud untuk memahami bagaimana
pengalaman informan dalam menghadapi dinamika-dinamika dalam berinteraksi
sosial dengan lingkungan perantauan yang pada akhirnya memutuskan prilaku
mereka untuk dapat beradaptasi. Hal ini sejalan dengan tujuan dari penelitian
kualittaif, dimana penelitian kualitatif bermaksud untuk memhami fenomena
tentang apa yang terjadi dan yang dialam oleh objek penelitian, misalnya prilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Secara holisyik dan dengan deskriptif
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Lexy J. Moleong. 2002:6).
Kesamaan tujuan ini menunjukan bahwa pendekatan terbaik yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan
interprestasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam
masyarakat, serta cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-stuasi tertentu,
termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-
pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu
fenomena.
40
3.2 Paradigma Penelitian
Defenisi Paradigma (Moleong Lexy, 2002:9) mengandung pandangan
tentang dunia, cara pandang untuk menyederhanakan kompleksitas dunia nyata
dan karenanya, dalam konteks pelaksanaan penelitian, memberi gambaran pada
kita mengenai apa yang penting, apa yang dianggap mungkin dan sah untuk
dilakukan, apa yang dapat diterima akal sehat. Paradigma juga bisa diartikan
sebagai kumpulan asumsi yang sevara logis mengarahkan cara berpikir dan cara
penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma Interpretatif, berdasarkan pendapat
di atas maka peneliti menggunakan pendekatan interpretatif. Disamping itu
pertimbangan peneliti menggunakan pendekatan interpretataif karena kajian yang
diteliti menyangkut dimensi kemanusiaan atau lebih sisi subyektifitasnya sehingga
paradigma yang tepat adalah paradigma interpretatif. Paradigma interpretatif
berpandangan bahwa realitas sosial secara sadar dan secara aktif dibangun dendiri
oleh individu, setiap individu mempunyai potensi dalam memberi makna tentang
apa yang dilakukan.
Dinamika itu ada dalam bentuk bermacam-macam konstruksimental,
berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta tergantung pada
orang yang melakukanya. Oleh karena itu, sutau realitas yang diamati oleh
seseorang tidak bisa digenerealisasikan seperti halnya pada paradigma
positivisme, menurut Gertz (Muhadjir, 2009:19) tidak ada social fact yang
menunggu observasi kita. Yang ada adalah kesiapaan peneliti untuk memberi
makna atas observasinya.
41
Menurut Burel dan Morgan ( 1979: 28 ), inti dari paradigma interpretif
adalah memahami bentuk fundamental dari dunia sosial pada tingkat pengamatan
sosial dan tingkat pengalaman subyektif seseorang yang bersifat nominalis,
antipositivis, volunterisme dan ideografis, paradigma ini adalah produk langsung
dari tradisi pemikir sosial aliran idealis Jerman. Ahli teori dalam paradigma ini
adalah Weber, Huserl dan Schrultz yang berlandaskan teori Kant. Metode
penelitin dalam paradigma interpretif adalah: Etnografi, Etnometodologi,
Fenomenologi, Hermeneutik dan Interaksi Simbolik (G.Burrel dan G.Morgan
Sociological Paradigma and Organizational Analysis ).
3.3 Informan Penelitian
Sample pada penelitian kualitatif disebut sebagai informan atau subjek
penelitian, yaitu orang-orang yang dipilih diwawancarai dan diobservasi sesuai
tujuan penelitian. Namun dalam penelitian kali ini peneliti menyebutkannya
sebagai informan. Informan adalah seseorang yang diasumsikan mempunyai
informasi penting tentang objek.
Dalam penelitian kualitatif (Sugiono, 2008:215) tidak menggunakan
istilah populasi, tetapi oleh Spalley dinamakan “Social Situattion” atau sosial
yang terdiri atas tiga elemlen, yaitu: tempat (Place), pelaku (actors), dan aktifitas
(activity) yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial tersebut, dapat
dinyatakan sebagai objek penelitian yang ingin diketahu “apa yang terjadi”
didalamnya. Pada situasi sosial atau objek penelitian ini, penulis dapat mengamati
secara mendalam proses adaptasi komunikasi sosial mahasiswa perantau asal
42
Papua dalam menghadapi culture shock di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Informan yang dipilih dilakukan dengan cara purposive (purposive sampling)
Pada penelitian kualitatif disebut sebagai informan atau subjek penelitian,
yaitu orang-orang yang dipilih diwawancarai dan diobservasi sesuai tujuan
penelitian. Namun dalam penelitian kali ini peneliti menyebutnya sebagai
informan. Informan adalah seseorang yang diasumsikan mempunyai informasi
penting tentang objek. Menurut Moleong, Miles yang dikutip dari buku Elvinaro
Ardianto memaparkan ada dua macam informan penelitian, yaitu (Ardianto,
Elvinaro, 2010:62).
1. Informan kunci (key informan) yaitu informan yang dianggap tahu banyak
dalam memberi jawaban yang dibutuhkan atas pertanyaan atau masalah
penelitian dan mendukung penelitian.
2. Informan pendukung, yaitu informan yang dianggap tahu atau memberi
bantuan dan dapat memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
penelitian tetapi tidak lebih dari informan kunci.
Beberapa mahasiswa yang layak dijadikan informan kunci (key informan),
penetuan mengenai siapa yang harus menjadi informan kunci harus melalui
beberapa pertimbangan; (1) orang yang diteliti tersebut harus mahasiswa perantau
yang berasal dari Papua dan masuk ke Universitas Sultan Ageng Tirtayasa melalui
jalaur tes Afirmasi,(2) orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi
sesuai dengan permasalahan yang diteliti yaitu culture shock,(3) orang yang
bersangkutan bersifat netral, tidak mempunyai kepentingan pribadi untuk
menjelekan orang lain,(4) orang yang bersangkutan memiliki harus memiliki
43
pengetahuan mengenai permasalahan yang diteliti, dan lain-lain, (5) orang yang
bersangkutan harus sehat jasmani dan rohani (Bungin, Burhan, 2001:10).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik Purposive Sampling dan
snow ball samplingI. Teknik purposive sampling mencakup orang-orang yang
diseleksi atas dasar kriteria-kriteria tertentu yang dibuat peneliti berdasarkan
tujuan penelitian. Individu-individu dalam populasi yang tidak sesuai dengan
kriteria tersebut tidak dijadikan sampel. Teknik ini diambil karena peneliti
mempunyai kriteria untuk memilih subjek penelitian, yaitu mahasiswa Adik
Afirmasi angakatan 2017 yang sudah hampir setahun tinggal dan berkuliah di
Untirta.
Alasan peneliti memilih angkatan 2017 karena mereka belum sampai 1 tahun
tinggal dan masih memiliki pengalaman kaget dengan budaya, kultur, lingkungan
dan bahasa yang ada dilingkungan Untirta. Lamanya seseorang tinggal dan
menempati suatu daerah akan berpengaruh pada bentuk culture shock apa saja
yang merka alami dan sudah sejauh mana dampak culture shock tersebut mampu
di atasi. Lalu peneliti akan bertanya dan menyeleksi mahasiswa Afirmasi yang
mengalami culture shock tersebut. Dengan teknik snow ball sampling ini, jumlah
informan yang akan menjadi subjek penelitian akan terus menjurus dan bertambah
sesuai dengan kebutuhan dan lengkapnya informasi (Kriyantono, 2012:158).
Adapun informan dalam penelitian ini terdapat dua macam informan yaitu:
a. Key informan yaitu mahasiswa Papua yang benar-benar mengalami
dinamika culture shock. Dalam temuan dilapangan 9 orang mahasiswa
Afirmasi di Untirta, hanya 1 dari antara mereka yang merasakan efek
44
culture shock selama hampir satu semester (6 bulan), yaitu Monika,
dibandingkan dengan teman-teman yang lain yang mengikuti program
Afirmasi sejak SMA berbeda dengan Monika yang baru mengikuti
Afirmasi pada saat jenjang kuliah saja. hal ini dilatar belakangi karena
Monika sering mengulang atau tinggal kelas, hal ini dibuktikan dari tahun
lahir Monika yaitu tahun 1995, sementara teman-teman yang lain rata-rata
tahun lahirnya adalah 1998 atau 1999, hal ini menjadi kenadala bagi
Monika untuk mengikuti program Afirmasi yang ada di jenjang SMA.
b. Informan pendukung, yaitu penduduk satu tempat tinggal dimana biasanya
mereka melakukan interaksi yang cukup intens dilakukan, teman satu kelas
mahasiswa Papua tersebut, peneliti memilih 2 orang subjek yang menjadi
narasumber pendukung dengan kriteria selama 2 semester proses
perkuliahan ini mereka sering berada di dalam kelas yang bersamaan dan
sering berinteraksi satu sama lain, dan pihak yang mendukung terkait
penelitian dipilihlah lingkungan organisasi, peneliti memilih 2 orang yang
layak menjadi narasumber berdasarkan kriteria kedekatan dalam proses
berkomunikasi pada saat berdiskusi yang kerap dilakukan di organisasi
tersebut. Setiap subjek yang menajdi narasumber pendukung, peneliti
memilih sedikitnya 1 orang yang mewakili hal tersebut.
Berdasarkan kriteria yang disebutkan diatas, peneliti menemukan sampel yang
layak dijadikan sebagai narasumber dalam penelitian ini, yaitu
45
Tabel 3.1 Informan Penelitian
Key Informan
Nama Jurusan Kabupaten Kriteria
Monika
Kankabangho
Pendidikan
Kewarganegaraan
Kab. Sarui Mengalami Culture
shock selama hampir
1 semester.
ingin pulang,
Berasal dari Papua
dan mahasiswa
Afirmasi
Sulit beradaptasi
Cenderung menutup
diri
Pendiam
Tabel 3.2 Informan Penelitian
Informan Pendukung
Lingkungan Perkuliahaan
Nama Jurusan Suku Kriteria
Siti Rani Nuraeni Pendidikan
Kewarganegaraan
Jawa Selama satu tahun
(2 semester) selalu
mengontrak
46
matakuliah yang
sama dan di kelas
yang sama
Pernah berinteraksi
dengan mahasiswa
Afirmasi (Monika)
Beberapa kali
sering berada
dikelompok yang
sama pada saat
pengerjaan tugas
dari dosen
Heri Fransisco Pendidikan
Kewarganegaraan
Batak Selama satu tahun (
2 semester ) selalu
mengontrak
matakuliah yang
sama dan di kelas
yang sama
Pernah berinteraksi
dengan mahasiswa
Afirmasi (Monika)
Beberapa kali
sering berada
47
dikelompok yang
sama pada saat
pengerjaan tugas
dari dosen
Tabel 3.3 Informan Penelitian
Lingkungan Organisasi
Nama Jurusan Suku Kriteria
Janeiro
Subiyanto
Ilmu
Pemerintahan
Ambon Sebagai sekum di
Organisasi Gerakan
Mahasiswa Kristen
Indonesia (GMKI)
Sering berinteraksi
dengan Mahasiswa
Afirmasi (Monika)
karena Monika
adalah kader dari
GMKI
Sering mengadakan
diskusi dan bedah
Alkitab bersama
dengan Monika
Ratu Lamlam Administrasi Batak Sama-sama sebagai
48
Setiany Purba Publik Anggota dan kader
di GMKI
Sering berinteraksi
baik dalam diskusi,
dan diluar organisasi
Sering mengadakan
diskusi dan bedah
Alkitab bersama
dengan Monika
Tabel 3.4 Informan Penelitian
Lingkungan Tempat tinggal
Nama Pekerjaan Suku Kriteria
Bpk. Anton
Suartono (Pak
De)
Wirausaha
(Warung
Makan)
Jawa Setiap Hari
mahasiswa Afirmasi
(Monika) sering
memesan lauk atau
makan di warung
Pak De.
Sering berinteraksi
dengan Mahasiswa
Afimasi (Monika)
Rumahnya hanya
49
berjarak 2 meter
dari kos-kosan
mahasiswa Afirmasi
(Monika).
3.4 Sumber Data
Robert K Yin menjelaskan mengenai bukti atau data yang diperlukan,
bahwa bukti atau data untuk keperluan penelitian bisa berasal dari lima sumber,
yaitu rekaman arsip, wawancara, observasi dan perangkat-perangkat fisik, data
yang akan peneliti ambil ada dua jenis, yaitu seumber data primer dan sumber
data sekunder, berikut penjelasannya:
1. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber asli di
lapangan (tanpa melalui perantara) yang secara khusus dikumpulkan oleh
peneliti untuk menjawab permasalahan dalam penelitian. Adapun data
primer dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan wawancara dan
observasi dengan para informan dalam penelitian ini.
2. Data sekunder
Data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dengan mengutip
atau mengumpulkan keterangan dari sumber informan lain dengan tujuan
melengkapi data-data primer. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh
50
dari wawancara dan observasi terkait bagaimana cara mahasiswa asal
Papua dalam menghadapi culture shock tersebut.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data akan mempengaruhi kualitas dari data hasil
penelitian. Kualitas pengumpulan data berkenaan dengan ketepatan cara-cara yang
digunakan peneliti untuk mengumpulkan data. Pengumpulan data dapat dilakukan
dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara (Sugiyono. 2012:137)
untuk mendapatkan informasi atau data yang peneliti inginkan, maka dalam
teknik pengumpulan data ini penelitian menggunakan teknik yang dilakukan,
yakni sebagai berikut:
3.5.1 Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu (Maleong.2013:
135). Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
wawancara, sedangkan alat bantu yang akan digunakan adalah alat perekam
berupa voice recorder, perekam gambar (handycam). Wawancara adalah
percakapan dengan maksud dan tujuan tertentu dimana percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak pewawancara (interviewer) yang
mengajukan perrtanyaan dan pihak yang di wawancarai (interviewer) yang
memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan.
Pada proses wawancara ini pertanyaan yang diberikan tidak berstruktur,
dan dalam suasana bebas yang santai maksudnya adalah menghilangkan
kesan formal dengan menyesuaikan keadaan yang lebih kekeluargaan.
51
Maksud mengadakan wawancara adalah untuk mengetahui mengenai
pengalaman seseorang, kejadian, kegiatan, perasaan, motivasi, tuntutan,
kepedulian dan sebagainya.
Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara kepada Mahasiswa
yang Papua yang mengalami culture shock dan teman-teman lingkungan
tempat tinggal atau kelas mahasiswa Papua.
3.5.2 Observasi
Karl Weick mendefinisikan observasi sebagai pemilihan, pengubahan,
pencatatan dan pengodean serangkaian perilaku dan yang berkenaan dengan
organisme sesuai dengan tujuan empiris (Rakhmat, Jalaludin, 1995:83).
Observasi adalah salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti
untuk mendapatkan data.
Pada Penelitian kali ini peneliti mengumpulkan data dengan melakukan
pengamatan secara langsung terhadap objek yang diteliti. Peneliti
menggunakan teknik observasi partisipan. Metode ini memungkinkan peneliti
terjun langsung dan menjadi bagian yang diteliti ditengah individu atau
kelompok yang diobservasi dalam jangka waktu tertentu.
3.5.3 Dokumentasi
Dokumentasi sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data
yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan
(Rakhmat, Jalaludin. 1995:217). Dokumentasi menjadi salah satu teknik
pengumpulan data yang penting. Disini peneliti melakukan dokumentasi saat
studi lapangan
52
3.5.4 Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, menisintesiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang diceritakan kepada orang lain (Moleong.
2013:248).
Menurut Huberman dan Miles, metode analisis interaktif menggambarkan
dalam analisa kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus-
menerus. Masalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara beruntun
sebagai rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul, dimana dua
hal lainnya itu senantiasa merupakan bagian dari lapangan (Fuad, Anis dan
Nugroho, Kandung S. 2013:92).
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan beberapa tahap analisis data.
Peneliti menggunakan teknik analisis data dilapangan Model Miles and
Huberman, analisis data ini dilakukan secara interaktif melalui proses data
dimana terdapat tiga hal utama dalam analisis interaktif yaitu, Reduction
(reduksi data), Data Display (penyajian data), dan Verification (penarikan
kesimpulan) sebagai sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama
dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun
wawasan umum yang disebut “analisis”, kegiatan analisis data dapat
dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Sugiyono. 2005:92-99).
53
1. Reduksi Data (data reduction)
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan transformasi data kasar
yang muncul dari catatan-catatan tulisan di lapangan (field note) dimana
reduksi data berlangsung secara terus-menerus selama penelitian yang
berorientasi kualitatif berlangsung. Data yang diperoleh dari lapangan
jumlahya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan
rinci. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan
gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan
pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
2. Penyajian Data (data display)
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah
mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa
dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori,
matrik dan sejenisnya. Dengan mendisplaykan data, maka akan
memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja
selanjutnya berdasarkan apa yang telah difahami tersebut.
3. Verifikasi (verification)
Langkah ke tiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles and
Huberman adalah penerikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal
yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak
ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang
54
dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan
konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat
menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin
juga tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan
masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan
berkembang setelah peneliti berada di lapangan.
3.6 Keabsahan Data
Teknik pemeriksaan keabsahan data yang digunakan adalah triangulasi.
Triangulasi merupakan cara yang paling umum digunakan bagi peningkatan
validitas dalam penelitian kualitatif, dalam kaitannya dengan penelitian yang
dilakukan dengan menggunakan berbagai ragam sumber data yang tersedia.
Dalam penelitian ini triangulasi yang digunakan oleh peneliti adalah triangulasi
data.
Triangulasi data merupakan cara meningkatkan penelitian dengan mencari
data dari sumber yang beragam yang masih terkait satu sama lain (Satori, Djam’an,
Komariah Aan. 2010: 170). Hasil wawancara yang peniliti dapat dari informan
mengenai dinamika dan upaya seperti apa yang telah dilakukan mahasiswa Papua
agar dapat menghadapi culture shock , lalu kemudian dikroscek kembali dengan
menggunakan metode hasilwawancara dengan teman-teman mahasiswa yang
berasal dari Papua tersebut. Apabila hasil dari teknik pengumpulan data tersebut
55
berbeda karena sudut pandang setiap sumber berbeda maka peneliti
mendiskusikannya lagi kepada mahasiswa yang berasal dari Papua tersebut
tujuannya untuk mencari tahu mana yang dianggap benar atau memang semuanya
benar.
3.7 Lokasi dan Jadwal Penelitian
Untuk memperoleh data yang menunjang penelitian yang berjudul “Dinamika
Culture Shock Mahasiswa Afirmasi di Untirta (Studi Kasus Mahasiswa Asal
Papua di Untirta)”, peneliti melakukan penelitian yang bertempatkan di
lingkungan sekitaran kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang
.Banten.
3.8 Jadwal Penelitian
Tabel 3.5 Jadwal Penelitian
No Kegiatan
Penelitia
n
Feb-
Mar
Apl-
Mei
Jun-
Jul
Agts-
Sept
Okt-
Nov
Des-
Jan
Feb-
Mar
Apr-
Mei
Jun-
Jul
Agst-
Sep
1 Pengajua
n Judul
2 Bimbing
an Bab I,
Bab II,
Bab III
56
3 Penyusu
nan
Proposal
Skripsi
4 Sidang
Proposal
5 Pengump
ulan data
6 Peyusun
an Bab
IV dan
Bab V
7 Sidang
Skripsi
57
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini berfokus kepada mahasiswa dan
mahasiswi Afirmasi dalam berinteraksi dengan lingkungan Untirta untuk
memperkecil dampak Culture Shock. Mahasiswa dan mahasiswi yang berasal dari
Papua (Afirmasi) sebelumnya memiliki faktor-faktor tertentu yang mendorong
mereka melakukan perantauan, di antaranya adalah untuk melanjutkan studi ke
jenjang yang lebih tinggi, untuk meraih cita-cita juga untuk memiliki masa depan
yang lebih cerah.
Melakukan perantauan bukanlah suatu hal yang mudah dikarenakan
mahasiswa asal Papua diharuskan hidup mandiri tanpa adanya keluarga yang
mendampingi, apalagi perantauan dilakukan ke luar pulau yang jaraknya cukup
jauh. Ketika datang ke kota perantauan, mahasiswa rantau mengalami kekagetan
dengan lingkungan baru yang ditemuinya. Reaksi ini biasanya disebut dengan
culture shock atau gegar budaya.
Gegar budaya merupakan salah satu reaksi yang pada umumnya dimana
perantauan merasa kaget atas perbedaan yang terjadi mulai dari budaya, bahasa,
makanan, kehidupan sosial, lingkungan cuaca dan sebagainya, mau tak mau hal
ini menyebabkan mahasiswa asal Papua dituntut untuk melakukan penyesuaian
terhadap hal-hal baru yang berlaku di lingkungan sekitar mereka. Contohnya
ketika mahasiswa asal Papua harus melakukan komunikasi dengan masyarakat
58
sekitar ataupun mahasiswa non Papua, mereka tidak bsa menggunakan bahasa
daerah asalnya tetapi mereka harus menyesuaikan diri dengan logat dan bahasa di
kota Serang dan Cilegon yang notabene menggunakan bahasa Sunda, Jawa Serang
dan juga bahasa Slang. Walaupun tinggal di satu negara yang sama, dialek
ataupun makna suatu kata akan meiliki arti yang berbeda di setiap daerahnya,
begitu juga dengan mahasiswa asal Papua, yang penataan dalam berbahasa yang
khas, yang dimana contohnya. Jika kalau penataan kalimat dalam bahasa dan
pengucapan seperti, “kamu sudah makan?”, maka berbeda pengucapan yang akan
disebutkan oleh Mahasiswa yang berasal dari Papua menjadi, “Ko su makan?”
dan juga Intonasi pengucapan kalimat memiliki intonasi yang cukup tinggi bagi
masyarakat Serang dan Cilegon.
Kendala lainnya bagi mahasiswa Asal Papua adala cuaca di Serang dan
Cilegon yang lebi terik dan berdebu berbeda dengan Pulau Papua yang dimana
cuaca disana tidak sepanas dengan cuaca di Kota Serang dan juga Cilegon hal ini
disebakan karena kampus A Untirta berada tepat di pinggi Jalan besar dan juga
terminal yang dimana debu dan asap kendaraan menjadi hal biasa bagi lingkungan
di kampus A Untirta, begitu juga dengan kampus B Untirta yang berada di
Cilegon, jarak kampus yang cukup dekat dengan pabrik menyebabkan ketidak
nyamanan yang di timbulkan dari limbah-limbah kimia dari pabrik tersebut.
Ketika seseorang mengalami gegar budaya, hal ini dapat menjadi suatu hal
baik ataupun burung tergantung individu memperlakukannya dan menyikapinya.
Karena reaksi terhadap gegar budaya pada masing-masing individu berbeda. Hal
baik akan terjadi jika mahasiswa rantau tersebut bisa dengan cepat dalam
59
beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berlaku dan
membaur, namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka gegar budaya bisa
mempengaruhi kekadaan fisik maupun psikis individu tersebut. Maka dari itu
beberapa mahasiswa asal Papua memilih untuk mengikuti kegiatan didalam
maupun di luar kampus seperti organiasi maupun komunitas untuk mengisi waktu
luang serta melaukan proses pengenalan dan adaptasi dengan lingkungan baru.
Fenomena gegar budaya semakin banyak terjadi saat ini karena sudah
banyaknya masyarakat yang menempuh studi di luar daerahnya masing-masing,
sehingga memacu penulis melakukan penelitian ini yang merupakan bagian dari
komunikasi antarbudaya. Selain itu, ilmu komunikasi juga mempunyai peranan
penting berkaitan dengan penelitian ini. Objek penelitian berkaitan erat dengan
komunikasi antarbudaya. Berdasarkan yang telah dijelaskan sebelumnya di BAB
II, Interaksi Sosial pasti terjadi dan didalam Interaksi Sosial tersebut komunikasi
sangat memiliki peran yang sangat penting untuk dapat mengenal dan beradaptasi
dengan satu sama lain, baik individu dengan lingkungan. Hal inila yang menjadi
latar belakang dalam penelitian ini.
4.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) adalah salah satu kampus
negeri yang terletak di Kota Serang, Banten. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
adalah salah satu kampus Negeri yang berada di Kota Serang. Untrta dimulai
dengan berdirinya Yayasan Pendidikan Tirtayasa pada tahun 1980. Langkah awal
Yayasan Pendidikan Tirtayasa mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH)
pada tahun 1981, disusul dengan pendirian Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
60
Penddikan (STIKIP) pada tahun 1982, berbarengan dengan STIKIP, Yayasan
Krakatau Steel Cilegon mendirikan Sekolah Tinggi Teknik (STT) yang
selanjutnya STT bergabung dengan Yayasan Pendidikan Tirtayasa untuk
persiapan berdirinya Universitas Serang Banten.
Universitas Tirtayasa Serang Banten merupakan penggabungan dari STIH,
STT dan STKIP berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud RI Nomor,
0596/0/1984, tanggal 28 November 1984, maka berubahlah status, masing-masing
sekolah tinggi menjadi Fakultas Hukum, Fakultas Teknik, dan Fakultas Ilmu
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Seiring dengan harapan masyarakat
Banten, dan tahun ke tahun Universitas Tirtayasa mengembangkan pendirian
fakultas dan program studi baru ditandai dengan berdirinya Fakultas Pertanian
berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud RI Nomor: 0123/0/1989, tanggal 8
Maret 1989, dan Fakultas ekonomi dengan Surat Keputusan Mendikbud Nomor:
0331/0/1989, tanggal 30 Mei 1989.
Perubahan Sosial Politik yang terjadi di Indonesia telah ikut
mempengaruhi perubahan yang terjadi pada Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Didasari oleh perkembangan Untirta sebagai Perguruan Tinggi Swasta yang
kurang signifikan dan spirit era reformasi telah mendorong piimpinan Universitas
dan para Pimpinan Fakultas di lingkungan Universitas tirtayasa serta dukungan
pengurus Yayasan Pendidikan Tirtayasa kepada pemerintah pusat mulai
Departemen Pendidkan Nasional Selanjutnya pada tanggal 13 Oktober 1999
keluarlah Keppres RI Nomor: 130/1999 tentang persiapan Perguruan Tinggi
Negeri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Atas kerja keras dan kesungguhan
61
dari pimpinan Untirta dan pengurus Yayasan maka pada tahun 2001 berdasarkan
Keputusan Presiden RI Nomor: 32 tanggal 19 Maret 2001 Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa secara resm ditetapkan menjadi Perguruan Tinggi Negeri
definitif.
Seiring berjalannya waktu Untirta terus melakukan perubahan-perubahan
dan perbakan-perbaikan, baik dibdang kelembagaan, akademik, maupun dibidang
kemahasiswaan dan kerjasama, perubahan mendasar dibidang organisasi dan tata
kerja adalah dengan ditetapkannya keputusan Mendiknas Nomor
023/J43/SK/2003 dan statuta Universitas Sultan Ageng Tirtayasa bedasarkan
keputusan Mendiknas Nomor 10 tahun 2007, demikian pula perubahan fakultas
dan jurusan-jurusan baru, pembangunan sarana dan prasarana pendidikan,
pengembangan dan peningkatan kualitas dosen dan tenaga pendidikan lainnya,
pengemabangan ICT untuk menunjang pendidikan dan pelayanan akademik
prima, pengembangan dan peningkatan sarana perpustakaan menuju e-library dan
e-jurnal penguatan atmosfer akademik di kampus serta peningkatan kualitas
pendidikan melalui sistem penjamin mutu dan evaluasi diri (Quality Assurance
and Self Evaluation).
4.2 Deskripsi Data
4.2.1 ADIk Afirmasi
Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIk) adalah program
keberpihakan pemerintah kepada putra-putri asal daerah 3T dan orang asli Papua
(OAP) untuk memeroleh pendidikan tinggi di PTN dan 22 Politeknik yang ada di
62
seluruh Indonesia, latar belakang yang menjadi alasan dibentuknya ADik
Afirmasi kerena Lemahnya latar belakang pendidikan pada salah satu bagian
wilayah, menyebabkan lemahnya kekuatan rantai persatuan sebagai bangsa.
Upaya untuk mengatasi dan memperkuat rantai kesatuan berbangsa tersebut,
salah satunya melalui peningkatan akses dan penuntasan pendidikan tinggi bagi
daerah dengan kondisi khusus tersebut.
Provinsi Papua dan Papua Barat adalah bagian wilayah negara kesatuan
Republik Indonesia, yang hingga saat ini belum memperoleh akses pendidikan
yang baik, terutama pendidikan tinggi. Oleh karenanya ketertinggalan diberbagai
aspek kehidupan, dan tingkat kesejahteraan yang rendah dan seringkali
menyisakan masalah besar. Kondisi infra struktur pendidikan yang serba terbatas
di pedalaman menyebabkan pendidikan semakin tidak merata dan semakin hari
melahirkan kebodohan dan kemiskinan yang menyebabkan anak-anak orang asli
Papua tersingkir dari kancah persaingan dunia yang berkembang pesat . Tidak
sulit menemukan gedung sekolah yang reyot, hanya beberapa orang guru, buku
pelajaran yang sudah usang, sejumlah kecil murid yang bersepatu, seragam yang
serba kumal dan lusuh, murid yang memiliki masalah kesehatan dan kurang gizi.
Penyelenggaran pendidikan harus membantu anak-anak orang asli Papua
untuk membuka akses mereka terhadap pengetahuan. Hal ini akan membantu
mereka untuk secara alamiah bertumbuh dan berkembang menyejahterakan
dirinya diberbagai aspek kehidupan. Pendidikan akan mengangkat derajat mereka
dan membantu untuk lebih mengenal dan menyerap nilai-niali universal dan
menghindari berfikir sempit dan fragmatis.
63
Sudah cukup banyak upaya yang telah dilakukan untuk membuka
kesempatan akses seluas-luasnya bagi seluruh putra-putri Asli Papua. Namun
harus diakui bahwa di beberapa wilayah masih perlu berbagai upaya keberpihakan
dan percepatan agar kesenjangan pendidikan diseluruh tanah air dapat semakin
dipersempit. Khusus untuk akses pada pendidikan tinggi telah dilakukan upaya
oleh perguruan tinggi negeri. Upaya tersebut selama ini, belum dirasakan sebagai
suatu program yang terintegrasi secara nasional.
Untuk itu, upaya percepatan dan pemerataan dibidang pendidikan di
Provinsi Papua dan Papua Barat, khususnya pendidikan tinggi dirancang dalam
suatu program khusus berupa program keberpihakan atau Afirmasi Pendidikan
Tinggi (ADik) bagi Putra-Putri Asli Papua. Program ADik Papua secara nasional
dirancang dalam beberapa tahapan, dimulai dari tahapan pendataan dan
pendaftaran, seleksi/ujian, pembekalan, mobilisasi, registrasi, pembiayaan,
pembinaan dan pembimbingan belajar agar mahasiswa dapat menyelesaikan
pendidikan tingginya dengan tuntas dan hasil yang baik. yang dimana sistermatis
seleksi dilakukan sejak tahap SMA, siswa putra-putri asli daerah 3T atau anak
OAP yang disusulkan oleh Kepala Sekolah dan mendapat rekomendasi dari
Pemda Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan kebutuhan sumberdaya
manusia daerahnya. ADIK Afirmasi terbagi atas 3 jenis, yaitu: ADik Papua, ADik
ADEM dan ADik 3T, yang dimana pada taun 2017 sebanyak 1.500 siswa SMA
yang berhasil lulus secara keseluruhan.
64
4.2.1.1 Tujuan Program ADik Afirmasi
Berdasarkan latar belakang diatas, maka tujuan Program ADik Papua adalah
sebabagi berikut;
1. Memberikan kesempatan kepada putra-putri Asli Papua lulusan SMA
sederajat yang berprestasi akademik baik, untuk memperoleh pendidikan tinggi di
PTN terbaik;
2. Mendapatkan calon mahasiswa baru putra-putri Asli Papua melalui seleksi
nasional dan seleksi khusus bagi siswa berprestasi akademik di SMA sederajat;
3. Menyiapkan sumber daya manusia putra-putri asli Papua yang berkualitas
untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional,
4.2.1.2 ADik Afirmasi Di Untirta
Program ADIk Afirmasi ini diselengarakan di 49 kampus PTN yang di
seluruh Indonesia salah satunya adalah Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
(UNTIRTA). Untirta pertama kali menerima mahasiswa Afirmasi pada tahun
2016, yang dimana pada tahun pertama tersebut Untirta menerima 6 mahasiswa
Afirmasi yaitu:
Tabel 4.1 Afirmasi 2016 Untirta
No Nama Jenjang Fakultas Jurusan
1 Suharmin A. Paokoma S1 FKIP Pendidikan
Bahasa dan
Sastra
Indonesia
65
2 Jemmar Wantik S1 FKIP Teknik Mesin
3 Joni Kambu S1 TEKNIK Teknik Sipil
4 Juventus Temongmere S1 TEKNIK Teknik Sipil
5 Kristian Yare S1 TEKNIK Teknik Sipil
6 Kristina Takimai S1 TEKNIK Teknik Sipil
Lalu ditahun 2017 Untirta menerima 9 mahasiswa ADik Afirmasi yaitu:
Tabel 4.2 Afirmasi 2016 Untirta
No Nama Jenjang Fakultas Jurusan
1 Hanok Simes S1 FKIP Pendidikan
Kewarganegaraan
2 Monika Kabkabangho S1 FKIP Penidikan
Kewarganegaraan
3 Stanley Reynaldi Frits
Sirwai Waita
S1 TEKNIK Teknik Sipil
4 Alpius Wenda S1 FEB Ilmu Ekonomi
Pembangunan
5 Apriliani Aleda
Rumayon
S1 FEB Manajemen
6 Yosefine Tineka Bame S1 FEB Akutansi
7 Oskar Klouw S1 FEB Manajemen
8 Jagareka Siep S1 FKIP Pendidikan
Sosiologi
66
9 Judith flora Irene
Awom
S1 FEB Manajemen
Dari 9 jumlah mahasiswa Afirmasi angkatan 2017 yang ada di Untirta, peneliti
menggunakan cara purposive sampling, yang dimana peneliti menanyakan dan
mewawancarai satu persatu mahasiswa Afirmasi yang ada di Untirta, pertama
peneliti mewawancarai Hanox, Hanox merasa nyaman-nyaman saja dengan
lingkungan yang ada di Untirta, karena sebelum mengikuti Afirmasi Universitas,
Hanox sebelumnya sudah mengikuti Afirmasi dijenjang Sekolah Menegah Atas
(SMA) yang dimana Hanox bersekolah di Malang, hal ini membuat Hanox yang
sudah mulai terbiasa dengan lingkungan baru seperti Serang, Hanox
mengeneralkan bahwa kondisi lingkungan, budaya dan masyarakat itu sama.
Hal ini ditunjukan pada saat proses wawancara berlangsung, Hanox mulai
terbiasa dan terkadang menggunakan gaya bahasa “Gue-lu”, Hanox juga sudah
terbiasa dengan gaya bahasa “slang” dilingkungan kampus, karena sejak SMA
Hanox terbiasa dengan gaya bahasa yang kerap digunakan dilingkungan Untirta,
begitu juga dengan Judith dan April, yang dimana April juga mengikuti Afirmasi
dari SMA sama halnya dengan Judith, ditemukan beberapa aspek yang sempat
membuat mereka mengalami culture shock, tetapi tidak lama. Mereka mengalami
culture shock karena kondisi iklim lingkungan saja, karena sebelum mengikuti
Afirmasi Universitas, mereka mengkuti Afirmasi SMA, Judith bersekolah di
Bogor dan April di Jogjakarta. Mereka merasa kondisi cuaca yang cukup berbeda
yang membuat mereka merasa tidak nyaman.
67
Pada saat wawancara berlangsung Judith merekomendasikan teman
Afimasinya yaitu Monika, Judith mengarahkan peneliti untuk mewawancarai
Monika terlebih dahulu, alasanya Judith dan April sering mendapati Monika
pernah mengeluh tidak betah di Serang, gelisah, sakit, menangis, dan diawal
perkuliahan Monika menelpon Orangtua untuk mengadu karena tidak bisa
terbiasa dengan lingkungan Untirta, Monika juga sulit untuk berbicara dengan
bahasa Indonesia dengan lancar, terkadang Monika juga sering keceplosan
berbicara menggunakan bahasa Papua, Peneliti langsung mewawancarai Monika
untuk melihat langsung apakah Monika benar-benar layak menjadi narasumber
utama dalam penelitian ini. dan hasil temuan dilapangan
Peneliti menemukan benar, Monika membenarkan bahwa ia mengalami
culture shock selama 1 semester, Monika juga merasa sulit untuk beradaptasi
dengan lingkungan Untirta, Peneliti lebih tertarik menjadikan Monika sebagai
Narasumber Utama, karena hal ini berkaitan dengan teori Kalvero Oberg, pada
tahun 1960 dimana
“culture shock adalah tanggapan kejutan yang menimbulkan rasa gelisah sebagai
akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam
hubungan sosial. Tanda dan petunjuk ini terdiri dari atas ribuan cara dimana kita
mengorientasikan diri kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari”.
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan Monika memang layak dijadikan sebagai
subjek penelitian, karena pengalaman ini dialami oleh Monika karena Monika
merasa kaget dan tidak nyaman dengan lingkungan Untirta, yang dimana Untirta
adalah lingkungan Asing bagi Monika, sehingga menyebabkan dirinya mengalami
68
rasa kaget, gelisah karena hilangnya semua tanda, budaya kebiasaan Papua yang
menjadi Identitas diri Monika.
4.2.1.3 Monika Kabkabangho
Monika adalah salah satu mahasiswa Afirmasi yang ada di Unrirta,
Monika lahir di Getentiri yang terletak di Jayapura, Monika lahir di Papua pada
tanggal 9 April 1995, sebelumnya Monika tidak pernah berkunjung diluar Papua
itu sendiri, Monika adalah anak ke 3 dari 5 orang bersaudara. Sebelum mengenal
Untirta Monika merasa senang karena diterima disalah satu perguruan tinggi
negeri yang ada di Indoenesia. Tetapi setelah datang ke Untira ia merasa tidak
nyaman dengan kondisi lingkungan baik perkuliahan, cuaca dan budaya atau
kebiasaan yang berlaku di Unrita. Monika merasa bahwa lingkungan Untirta ini
terlalu panas dan terlalu banyak debu berbeda dengan Papua.
Selain itu juga ia merasa gaya bahasa yang digunakan di lingkungan
kampus terasa asing dan sulit baginya untuk menerima hal tersebut, belum lagi
dengan kebiasaan. Monika terbiasa dengan memakan Papeda sebagai makanan
pokok penganti nasi, tetapi diawal perkuliahan ia merasa tidak nyaman dan sulit
untuk menerima nasi sebagai makanan pokok, selain itu juga Monika juga
memiliki sifat pribadi yang sedikit tertutup jika dibandingkan dengan teman-
taman Afirmasi lainnya. Bahkan di lingkungan sesama mahasiswa Afirmasi
sendiri ia cenderung diam dan jarang terlihat membaur dengan teman-teman
Papua lainnya.
Salama satu semester bahkan sampai sekarang ia masih merasakan culture
shock, culture shock yang dialami Monika berbagai macam, seperti menangis
69
karena merasa rindu dengan Papua dan keluarga yang berada dikampung halaman,
selain itu ia juga sempat sakit diawal-awal proses perkuliahan disemester satu
selama 3 hari karena merasa sulit untuk menerima lingkungan baru ini.
4.3 Deskripsi Data
Melalui deskripsi data, peneliti apat mengetahui garis besar yang ada
dalalm penelitian ini, pertama, tabel dinamika apa saja yang dialami mahasiswa
ADik Afirmasi ketika berkuliah di Untirta, baik itu hambatan-hambatan ketika
berinteraksi dengan teman di perkuliahan, di lingkungan kampus dan di
lingkungan masyarakat. Kedua tabel Interaksi Sosial yang dilakukan mahasiswa
ADik Afirmasi kepada mahasiswa non-Papua, yang dilakukan mahasiswa ADik
Afirmasi dengan Masyarakat dan begitu juga sebaliknya, ketiga tabel bagaimana
upaya mahasiswa ADik Afirmasi untuk memperkecil efek culture shock yang
dialami selama berkuliah di Untirta dan bagaimana lingkungan Untirta membantu
mahasiswa ADik Afirmasi dalam proses efek tersebut.
4.3.1 Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi di lingkungan Untirta
4.3.1.1 Hambatan Monika dalam Berinteraksi dengan lingkungan Untirta
Mahasiswa Afirmasi yang memiliki identitas diri dengan kebudayaan
Papua yang sangat melekat bagi dirinya, akan merasa kaget dengan perbedaan
drastis ketika ia berada dilingkungan baru, yang dimana dalam penelitian ini
lingkungan baru tersebut adalah lingkungan Untirta, yang meliputi Organisasi,
masyarakat dan perkuliahan. adanya perbedaan kebiasaan dan perbedaan budaya
yang menjadi latar belakang mengapa mahasiswa Afirmasi yang datang ke Untirta
70
perlu melakukan interaksi dan pengenalan terhadap kebudayaan yang berlaku
dilingkungan yang ia anggap baru tersebut. Ketika mahasiswa Afirmasi datang ke
lingkungan Untirta, ia akan merasa berbeda dengan orang-orang disekitar tempat
tinggalnya yang baru, efek lainnya adalah ia akan merasakan culture shock yang
disebabkan oleh adanya kebiasaan yang hilang, kebiasaan tersebut yang disebut
identitas diri yang melekat bagi mahasiswa Afirmasi tersebut.
Perbedaan latar belakang yang terbentuk dari masing-masing budaya yang
dibawa sejak kecil menjadikan proses berinteraksi yang seharusnya sama tetapi
berbeda dalam penilaian akan cara berinteraksi tersebut, kesalahpahaman hampir
tidak dapat dihindari. Hal ini menjadikan informan (mahasiswa Afirmasi)
mempunyai catatan yang berbeda-beda mengenai perjelanan dalam mengikuti
cara berinteraksi pada hambatan berinteraksi pada kehidupan baru di lingkungan
Untirta.
Adanya perbedaan kebiasaan berinteraksi dengan kebiasaan yang dimiliki
Monika membuat dirinya merasa kesulitan pada saat sednag berinteraksi dengan
lingkungan Untirta, yang meliputi lingkungan Organisasi, lingkungan Masyarakat
dan lingkungan perkuliahan. berdasarkan hasil wawancara dengan Monika,
adanya perbedaan ini menyebabkan narasumber Monika merasakan tekanan ,
penilaian lingkungan akan dirinya seperti dianggap tidak berkompeten, dianggap
seram disertai dengan tatapan aneh dan tekanan psikis seperti muncul rasa minder.
Alih-alih mendefenisikan, peneliti merasa hal ini dapat menjadi penyebab
perasaan culture shock yang dialami oleh narasumber Monika semakin mendalam.
71
Tabel 4.3 Hambatan Berinteraksi
No Hambatan Monika
1 Minder Karena saya malu kakak,
saya pengen bertanya begitu
kakak, tapi saya merasa
malu, takut salah juga
kakak. Saya pernah
bertanya kakak, terus saya
salah ngomong dan
keceplosan pakai bahasa
Papua, terus saya di
ketawain kakak.
Waktu saya menjawab
pertanyaan teman, tapi saya
menjawabnya salah kakak,
terus saya diketawain
dengan teman dikelas saya.
Padahal enggak harus
diketawain, begitu kakak.
Jadi itu yang buat saya
minder.
2 Teman dikelas terlalu sering “Saya sering dapat tugas yang
72
menganggap mahasiswa Papua kurang
berkompeten
gampang-gampang kak, tidak
seperti teman-teman yang
lain biasanya mereka mencari
datanya di internet, tapi saya selalu
dapat tugas yang gampang, seperti
bikin PPT nya saja, dan saya juga
pernah Cuma disuruh merapikan
penulisan biar rapih saja kak”.
“ Waktu saya presentasi. Waktu
saya menjawab pertanyaan teman,
tapi saya menjawabnya salah
kakak, terus saya diketawain
dengan teman dikelas saya. Padahal
enggak harus diketawain, begitu
kakak”.
3 Penilaian “Seram” dan Menatap
dengan tatapan “aneh”
“Saya sering diliatin kakak, seperti
merasa aneh dengan saya. Padahal
enggak ada yang salah dengan saya
kakak”.
73
4.3.1.2 Proses Monika dalam Berinteraksi dengan lingkungan Untirta
Tabel 4.4 Proses Berinteraksi
No Proses Monika
1 Minder “Minder juga sampai sekarang saya
sering merasa minder kak, biasanya
saya diam-diam saja kak, dan kalau
mau ngilangin rasa minder saya di
depan kelas, saya biasanya ngobrol
dengan Rani atau Heri yang selalu
duduk disebelah saya untuk
ngilangin rasa minder saya kak.
2 Teman dikelas terlalu sering
menganggap mahasiswa Papua kurang
berkompeten
Saya menawarkan diri saya untuk
mengerjakan tugas kelompok
tersebut kak,tapi saya mengerjakan
tugas tersebut tidak sendiri, pasti
saya ditemenin sama salah satu
anggota kelompok saya kak. biar
tugasnya selesai dengan cepat.
“ saya memberanikan diri saja kak,
karena wajar kalau kita salah toh
ketika sedang presentasi didepan
kelas.
74
3 Penilaian “Seram” dan Menatap
dengan tatapan “aneh”
Saya menanyakan ke mereka,
kenapa dia menatap saya terus,
apakah ada yang salah dengan saya
atau ada yang aneh dengan saya,
setelah itu saya akan meberitahukan
ia kalau orang Papua itu memang
seperti ini, jadi tidak perlu kaget
sampai menatap seperti itu.
4.3.2 Dinamika Interaksi Monika dalam Berbahasa ketika berinteraksi
dengan lingkungan Untirta
Mahasiswa Afirmasi yang memiliki identitas diri dengan kebudayaan
Papua yang sangat melekat bagi dirinya, akan merasa kaget dengan perbedaan
drastis ketika ia berada dilingkungan baru, yang dimana dalam penelitian ini
lingkungan baru tersebut adalah lingkungan Untirta, yang meliputi Organisasi,
masyarakat dan perkuliahan. adanya perbedaan kebiasaan dan perbedaan budaya
yang menjadi latar belakang mengapa mahasiswa Afirmasi yang datang ke Untirta
perlu melakukan interaksi dan pengenalan terhadap kebudayaan yang berlaku
dilingkungan yang ia anggap baru tersebut. Ketika mahasiswa Afirmasi datang ke
lingkungan Untirta, ia akan merasa berbeda dengan orang-orang disekitar tempat
tinggalnya yang baru, efek lainnya adalah ia akan merasakan culture shock yang
disebabkan oleh adanya kebiasaan yang hilang, kebiasaan tersebut yang disebut
identitas diri yang melekat bagi mahasiswa Afirmasi tersebut.
75
Perbedaan latar belakang yang terbentuk dari masing-masing budaya yang
dibawa sejak kecil menjadikan proses berkomunikasi yang seharusnya sama tetapi
berbeda dalam penilaian akan cara berinteraksi tersebut, kesalahpahaman hampir
tidak dapat dihindari. Hal ini menjadikan informan(mahasiswa Afirmasi)
mempunyai catatan yang berbeda-beda mengenai perjelanan dalam mengikuti
cara berinteraksi pada hambatan berinteraksi pada kehidupan baru di lingkungan
Untirta.
Adanya perbedaan gaya bahasa dengan kebiasaan yang dimiliki Monika
membuat dirinya merasa kesulitan pada saat sedang berinteraksi dengan
lingkungan Untirta, yang meliputi lingkungan Organisasi, lingkungan Masyarakat
dan lingkungan perkuliahan. berdasarkan hasil wawancara dengan Monika,
adanya perbedaan ini menyebabkan narasumber Monika menilai, bahwa gaya
bahasa yang digunakan dilingkungan Untirta terkesan sombong, selain itu karena
latarbelakang Monika adalah Papua, kecil dan besar di Papua tidak menutup
kemungkinan narasumber Monika sering terbawa logat bahasa Papua ketika
sedang berinteraksi atau sekedar berkomunikasi dengan lingkungan Untirta, dan
karena adanya penolakan akan gaya bahasa dilingkungan Untirta yang dianggap
sombong, sehingga membuat narasumber merasa enggan menggunakan bahasa
gaul. Alih-alih mendefenisikan, peneliti merasa hal ini dapat menjadi penyebab
perasaan culture shock yang dialami oleh narasumber Monika semakin mendalam.
76
4.3.2.1 Hambatan Monika dalam Berbahasa ketika berinteraksi dengan
lingkungan Untirta
Tabel 4.5 Hambatan Berbahasa
No Hambatan Monika Kabkabangho
1 Gaya bahasa yang digunakan ketika
berinteraksi terkesan sombong.
“Karena menurut saya gaya bahasa
“Lo-Gue” itu terkesan sombong
kak, belum lagi dengan cara
bercanda teman-teman dikelas
kalau lagi mengobrol, kalau saya
dengar itu bercandaanya terkesan
kasar kak, padahal meurut mereka
itu bercandaan saja, tapi di Papua
itu kasar kak dan tidak boleh”.
2 Sering kebawa Logat Papua “Saya pernah bertanya kakak, terus
saya salah ngomong dan
keceplosan pakai bahasa Papua,
terus saya di ketawain kakak”.
“Saya juga pernah keceplosan
menggunakan bahasa Papua waktu
lagi ngobrol, saya pernah ditanya
kak sama teman, “kalau saya
kekampus naik apa“ saya jawab
kalau saya naik “taksi” terus
77
mereka tanya begitu, diserang
enggak ada taksi, saya langsung
bilang kalau di Papua itu anggkot
sebutannya itu “taksi”.
3 Enggan untuk menggunakan Bahasa
Gaul
“Sering saya tidak mengerti dengan
bahasa gaul tersebut, maka dari itu
saya tidak menggunakannya dalam
berinteraksi.
4.3.2.2 Proses Monika dalam Berbahasa ketika berinteraksi dengan
lingkungan Untirta
Tabel 4.6 Proses Berbahasa
No Proses Monika Kabkabangho
1 Gaya bahasa yang digunakan ketika
berinteraksi terkesan sombong.
“Saya menyesuaikan untuk
mengerti saja kakak, karena kalau
saya ngobrol gitu dengan teman-
teman yang lain saya menggunakan
Bahasa Indonesia yang baku kakak.
2 Terbawa Logat Papua “ Setiap kali saya keceplosan ketika
sedang mengobrol dengan teman-
78
teman dilingkungan Untirta, saya
biasanya menejelaskan ke mereka
langsung apa arti dari kalimat
tersebut. Sehingga meraka dapat
mengerti apa maksud dari pesan
yang sampaikan itu.
3 Enggan untuk menggunakan Bahasa
Gaul
“Karena tidak mengerti jadi saya
lebih baik untuk tidak
menggunakan tetapi saya mencoba
untuk mengerti saja kak”.
4.3.3 Dinamika Interaksi dalam Budaya, Kebiasaan dan Makanan
Mahasiswa Mahasiswa Afirmasi dengan lingkungan Untirta
Mahasiswa Afirmasi yang memiliki identitas diri dengan kebudayaan
Papua yang sangat melekat bagi dirinya, akan merasa kaget dengan perbedaan
drastis ketika ia berada dilingkungan baru, yang dimana dalam penelitian ini
lingkungan baru tersebut adalah lingkungan Untirta, yang meliputi Organisasi,
masyarakat dan perkuliahan. adanya perbedaan kebiasaan dan perbedaan budaya
yang menjadi latar belakang mengapa mahasiswa Afirmasi yang datang ke Untirta
perlu melakukan interaksi dan pengenalan terhadap kebudayaan yang berlaku
dilingkungan yang ia anggap baru tersebut. Ketika mahasiswa Afirmasi datang ke
79
lingkungan Untirta, ia akan merasa berbeda dengan orang-orang disekitar tempat
tinggalnya yang baru, efek lainnya adalah ia akan merasakan culture shock yang
disebabkan oleh adanya kebiasaan yang hilang, kebiasaan tersebut yang disebut
identitas diri yang melekat bagi mahasiswa Afirmasi tersebut.
Perbedaan latar belakang yang terbentuk dari masing-masing budaya yang
dibawa sejak kecil menjadikan proses berinteraksi yang seharusnya sama tetapi
berbeda dalam penilaian akan cara berinteraksi tersebut, kesalahpahaman hampir
tidak dapat dihindari. Hal ini menjadikan informan(mahasiswa Afirmasi)
mempunyai catatan yang berbeda-beda mengenai perjalanan dalam mengikuti
cara berinteraksi pada hambatan berinteraksi pada kehidupan baru di lingkungan
Untirta.
Perbedaan yang mendasari budaya, kebiasaan dan makanan, seperti
adanya penilaian yang terbentuk dari dalam diri narasumber Monika yang
beranggapan bahwa teman-teman dilingkungan kelas kurang berattitude dan
bernorma, selain itu dalam kebiasaan berpakaian, diawal perkuliahan Monika
sempat tidak merasa nyaman dengan keharusan untuk berkuliah menggunakan
atribut rok dan kemeja dinas seperti yang diwajibkan jurusannya kepada setiap
mahasiswa jurusan PKn, dan begitu juga dengan makanan pokok, Monika tidak
terbiasa menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Berdasarkan hasil wawancara
dengan Monika, adanya perbedaan ini menyebabkan narasumber Monika
merasakan tekanan. Alih-alih mendefenisikan, peneliti merasa hal ini dapat
menjadi penyebab perasaan culture shock yang dialami oleh narasumber Monika
semakin mendalam.
80
4.3.3.1 Hambatan Interaksi dalam Kebiasaan, Budaya, dan Makanan
Mahasiswa Mahasiswa Afirmasi dengan lingkungan Untirta
Tabel 4.7 Hambatan Kebiasaan, Budaya dan Makanan
No Hambatan Monika Kabkabangho
1 Makanan Pokok “Makanannya juga beda kakak, kalau
di Papua kan ada makan pokoknya.
Salah satunya sagu kakak, di daerah
saya litu enggak kenal nasi kak,
cuma papeda, ubi dan jagung kakak”.
2 Berpakaian “saya di Papua itu tidak terbiasa
dengan rok atau celana bahan begitu.
Biasanya kita pakai celana pendek
atau jeans saja kakak”.
3 Anggapan Mahasiswa di lingkungan
kelas kurang berattitude dan
bernorma
“Mereka itu sering sekali ribut-ribut
begitu kak. kalau ada kelompok lain
yang sedang presentasi, ada temen
lain yang ribut atau mengobrol kak,
itu saya tidak suka kak, pernah saya
tegur, tapi mereka tetap berisik.
Sama lingkungan kelas yang kotor
kak. karena itu saya merasa sedikit
sulit untuk mentolerir itu kak,
81
makanya saya lebih milih jaga
jarak”.
“ sering juga teman-teman saya
dikelas ribut selama perkuliahan.
saya pernah tegur, tapi mereka tetap
saja berisik kak, tidak menghargai
teman yang sedang presentasi
didepan.”
“Kalau untuk kebersihan kah kak?
kalau untuk kebersihannya kelas
Monik itu tidak bersih kak. banyak
teman-teman saya yang kalau jajan
itu buang sampahnya di dalam kelas
sembarangan kak”.
4.3.3.2 Proses Interaksi dalam Kebiasaan, Budaya, dan Makanan Mahasiswa
Mahasiswa Afirmasi dengan lingkungan Untirta
Tabel 4.8 Proses Kebiasaan, Budaya dan Makanan
No Proses Monika Kabkabangho
1 Makanan Pokok “Makanya selama 6 bulan itu kadang
saya lebih sering makan lauk saja
kakak, tapi untuk sekarang saya
82
sudah terbiasa untuk makan nasi kak.
karena mau gak mau harus
dipaksakan kak.
2 Berpakaian “karena itu keharusan untuk jurusan
saya pakai rok, jadi saya mau tidak
mau harus mengikuti dan saya makin
terbiasa dengan itu kak sekarang”.
3 Attitude dan Norma “Paling saya menegur saja, karena
saya sudah pernah menegur mereka.
Jadi untuk sekarang saya sudah biasa
saja kak, enggak memperdulikan itu.
Saya fokus saja dengan kuliah. Tapi
kalau berisik ketika sedang
presentasi pasti saya menegur
mereka
“seperti tadi kak, saya menegur
mereka. Kalau tidak saya bilang ke
Rani atau Heri untuk bilangkan ke
mereka untuk diam”.
“Paling saya nasehati saja kak, kalau
enggak didengar juga paling saya
biarkan saja kak, sudah terbiasa juga
83
saya enggak didengar kalau lagi
nasehatin teman saya tersebut.
4.4 Analisis Data
Dalam penelitian penulis akan menjabarkan penelitian dari hasil
wawancara dan observasi dengan informan sesuai dengan identifikasi masalah
penelitian, berdasarkan pengamatan di lapangan, ditemukan data bahwa proses
Dinamika Interaksi yang dialami mahasiswa Afirmasi dalam memperkecil efek
Culture shock di Untirta.
4.4.1 Dinamika Interaksi Sosial Mahasiswa Afirmasi di dilingkungan
Untirta
Perbedaan latar belakang yang terbentuk dari masing-masing budaya yang
dibawa sejak kecil oleh mahasiswa Afirmasi sangan sulit untuk dilepaskan agar
mampu beradaptasi dengan lingkungan Untirta, sehingga dengan adanya
perbedaan-perbedaan tersebut terbentuklah Dinamika pada saat dua orang indiviu
saling berinteraksi dan menjalin komunikasi yang baik dengan tujuan untuk
diterima dengan lingkungan baru tersebut.
4.4.1.1 Dinamika Berinteraksi Mahasiswa Papua dalam menghadapi Culture
Shock di lingkungan Untirta
Perbedaan latar belakang yang membentuk dari masing-masing budaya
yang berbeda yang menjadi identitas diri menjadikan rangsangan komunikasi
dalam menilai satu sama lain. dalam sosiologi dikenal komunikasi memberi
84
dampak untuk memaknai apa yang dilakukan seseorang berdasarkan tahapan
informasi, sikap, prilaku orang lain yang berbentuk ilmu pengetahuan,
pembicaraan, gerak-gerik ataupun sikap, prilaku tersebut berdasarkan pada
pengalaman yang pernah dialami (Bungin, 2006:57). Hal ini mendasari peneiliti
memebagikan sub bab ini untuk menjelaskan hasil penelitian tentang dinamika
interaksi sosial mahasiwa Afirmasi dalam mghadapi culture shock di Untirta.
1. Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi Dalam Menghadapi Rasa
Minder Di Untirta
Rasa Minder yang dialami Mahasiswa Afirmasi muncul karena adanya
perbedaan latarbelakang budaya, pendidikan, budaya, warna kulit atau ras dan
banyak hal lainnya, sehingga membuat mahasiswa Afirmasi yang berkuliah di
Untirta merasakan itimidasi karena merasa berbeda dengan yang teman-teman
yang lainnya. Hal ini menjadi salah satuj penyebab munculnya culture shock,
informan Monika merasa adanya perbedaan yang mendasari dirinya dengan
lingkungan barunya, yang disebut sebagai Reintegrasi yang dimana hal ini
muncul karena adanya penolakan akan datangnya budaya baru dalam dari
lingkungan yang lebih dominan. Dalam hal ini informan Monika mempunyai rasa
minder yang muncul dari pengalaman ketika pernah menjawab pertanyaan teman
keyika sedang presentasi didepan kelas “Waktu saya menjawab pertanyaan
teman, tapi saya menjawabnya salah kakak, terus saya diketawain dengan teman
dikelas saya. Padahal enggak harus diketawain, begitu kakak. Jadi itu yang buat
saya minder”.
85
Selain karena itu Monika merasa minder karena pernah keceplosan
menggunakan bahasa Papua ketika sedang bertanya,
“Karena saya malu kakak, saya pengen bertanya begitu kakak, tapi saya merasa
malu, takut salah juga kakak. Saya pernah bertanya kakak, terus saya salah
ngomong dan keceplosan pakai bahasa Papua, terus saya di ketawain kakak.
Diawal perkuliahan Monika sempat merasa malu karena kejadian tersebut,
sehingga membuat dirinya merasa minder ketika ingin bertanya didalam kelas.
Walaupun awalnya Monika merasa minder semakin kesini Monika merasa
mampu mengatasi rasa minder tersebut. Karena Monika memiliki 2 orang teman
yang selalu membantu Monika,
“Minder juga sampai sekarang saya sering merasa minder kak, biasanya saya
diam-diam saja kak, dan kalau mau ngilangin rasa minder saya didepan kelas,
saya biasanya ngobrol dengan Rani atau Heri yang selalu duduk disebelah saya
untuk ngilangin rasa minder saya kak”
Berbeda dengan narasumber lainnya yang sama-sama berlatar belakang
sebagai mahasiswa Afirmasi diangkatan 2017, yaitu informan Judith. Informan
Judith tidak merasa minder dengan adanya perbedaan budaya dan kebiasaan yang
ada dilingkungan Untirta, Judith melakukan pendekatan dengan cara tidak
menunjukan rasa minder dan cenderung membaur dengan teman-teman yang ada
dilingkungan Untirta.
Berbeda dengan informan April, yang tidak lain juga mahasiswa Afirmasi
angkatan 2017. Ia mengatakan rasa “minder juga sempat muncul diawal-awal
proses perkuliahan”, tapi ia tidak berlarut-larut untuk menutup diri. Informan
86
April menerima masukan dan saran dari teman-teman yang ada dilingkungan
kelasnya. Dengan proses keterbukaan tersebut informan April mampu mengatasi
ras minder yang muncul karena ia merasa dirinya beda dengan lingkungan
Untirta.
Kesulitan yang dialami narasumber Monika untuk mengatasi rasa minder
tersebut dibenarkan oleh teman-teman dilingkungan perkuliahannya, yaitu Heri
yang membenarkan kejadian tersebut,
“Monika itu lebih sering diam bang, kalau tidak kita yang memulai Monika bakal
lebih sering diam saja”. Begitu juga dengan teman dilingkungan organisasi
Monika, yang bernama Lam-lam, yang membenarkan bahwa “Monika lebih
sering diam karena merasa malu”, bahkan ketika ditanyapun pada saat berdiskusi
Monika lebih sering diam dan menunduk tak jarang Monika juga sambil senyum-
senyum sendiri ketika ditanya pada saat berdiskusi. Berbeda dengan lingkungan
Berto salah satu senior di Organisasi GMKI yang diikuti Monika, ia sering
menasehati Monika untuk tidak minder ketika dalam proses perkuliahan,
Jika dikaitkan dalam teori Komunikasi, pada prilaku ini Monika
menggunakan komunikasi Ekspresif, yang dimana Komunikasi ini berfungsi
untuk menyampaikan perasaan-perasaan yang kita rasakan, perasaan tersebut
terutama dikomunikasikan secara nonverbal, seperti: perasaan sayang, peduli,
rindu, simpati, gembira, sedih, takut, perhatian, marah, dan benci yang bisa
disampaikan secara lebih ekspresif. Jika di aplikasikan dalam teori interaksi
sosial, Monika tidak menggunakan teori interaksi sosial, tetapi lebih
menggunakan fungsi komunikasi untuk mendeskripsikan apa yang sedang ia
87
rasakan. Dalam hal ini Monika merasa dengan diam adalah salah cara yang ampuh
dilakukanya untuk memperkecil rasa minder yang dialaminya.
Dalam beradaptasinya, Monika menggunakan tahapan disvergensi yang
dimana sengaja tetap mempertahankan kebiasaan minder tersebut dengan cara
yang berbeda yaitu lebih memilih untuk diam saja, dan hal ini dianggap berhasil
oleh informan Monika, berbeda jika dilihat dalam tahapan interaksi Sosial,
Monika tidak melakukan 5 faktor yang dikemukakan oleh Gillin dan Gillin, yang
dimana terdiri atas: identifikasi, sugesti, imitasi, simpati dan empati. Tetapi pada
tahapan proses Monika mencoba melakukan disasosiatif yang dimana rasa
percaya diri ini muncul akibat ketidak sesuaian yang terjadi atas penilaian
individu terhadap dirinya, tanpa mencederai interaksi sosial yang seharusnya
dilakukan Monika pada lingkungan kuliah, ataupun dilingkungan Organisasi.
2. Dinamika Interkasi Orang Papua tidak berkompeten (Sugesti dan
Asosiatif)
Latar belakang individu menjadi aspek yang berpengaruh dalam menilai
kelayakan individu tersebut, dalam temuan dilapangan beberapa teman Monika
menjaga jarak dengan Monika karena merasa Monika kurang berkompeten
sehingga memunculkan “gap” antara mereka dengan Monika, hal ini dirasakan
Monika pada saat pembagian tugas kelompok dalam mata kuliah tertentu, Monika
merasa bahwa dirinya selalu mendapat bagian pengerjaan tugas yang gampang-
gampang saja, padahal Monika merasa kalau dirinya juga bisa mengerjakan tugas
lain,
88
“Saya sering dapat tugas yang gampang-gampang kak, tidak seperti teman-teman
yang lain biasanya mereka mencari datanya di internet, tapi saya selalu dapat
tugas yang gampang, seperti bikin PPT nya saja, dan saya juga pernah cuma
disuruh merapikan penulisan biar rapih saja kak”
Monika merasa dirinya terlalu disepelekan dalam pembagian tugas, hal ini
yang membuat Monika merasa dirinya di streotipekan oleh lingkungan kelasnya.
Berbeda dengan narasumber Yudith yang sejak diawal perkuliahan tidak merasa
disepelekan, hal yang dilakukan oleh narasumber Judith dengan cara menonjolkan
diri didalam kelas, narasumber Judith merasa hal ini sangat berpengaruhh untuk
membentuk penilaian bahwa tidak semua orang Papua itu tertinggal dari segi
pendidikan, begitu juga dengan narasumber April, yang sempat merasa
disepelekan oelh lingkungan perkuliahan, narasumber April tidak ambil pusing
dengan penilaian terhadap dirinya itu, narasumber April merasa wajar jika ada
penilaian tersebut akan dirinya, tetapi ia berupaya untuk menunjukan diri dengan
cara sering bertanya selama proses perkuliahan berlanjut. Hal ini ditunjukan
dengan nilai IPK yang ia dapat selama perkuliahan berjalan yaitu, diatas 3.
Berdasarkan informan pendukung yaitu Heri teman satu kelas Monika
yang merasa benar latarbelakang pendidikan Monika menjadi faktor kenapa
Monika selalu mendapatkan bagian tugas yang mudah ketika sedang mengerjakan
tugas kelompok,
“kadang Monika juga bertanya-tanya apa maksud yang diucapkan oleh dosen
tersebut, karena kan bang menurut gua, Monik itu sebenernya masih belum siap
bang di jenjang perkuliahan, karena kan pendidikan dia Papua sendiri masih
89
relatif rendah, mungkin sebenernya mereka belum siap, kerena Monik sendiri
mengeja saja masih belum lancar, dia sering dibilang dosen mesti banyak baca
buku, karena marasa Monik itu udah mahasiswa tapi masih sulit dan belum
lancar mengeja, itu dia alasan kenapa gua bilang Monika itu belum siap masuk
kedunia perkuliahan bang”
Berbeda dengan lingkungan Organisasi yang selalu memberi nasihat
kepada Monika untuk lebih menunjukan bahwa dirinya itu tidak seperti apa yang
dinilai oleh lingkunagan kuliahnya, salah satu narasumber pendukung yaitu Berto,
ia sering menasehati Monika untuk lebih berani menunjukan bahwa dirinya tidak
seperti penilaian beberapa temannya. Selain karena adanya sugesti dari
lingkungan organisasi tersebut, Monika memiliki motivasi lain kenapa dirinya
harus menunjukan diri bahwa dirinya tidak seperti penilaian beberapa temanya
dikelas, Monika juga mendapatkan sugesti dari Orangtua bahwa ia harus bisa
menjadi lebih baik daripada Orangtuanya yang ada dikampung,
“Bapaku sering nasehatin saya bahwa saya itu bisa bersaing dengan teman-
teman yang lain, dan karena saya berkuliah di pulau jawa toh, jadi Papa saya
selalu memotivasi saya untuk jadi lebih baik daripada dia”
Jika dikaitkan dalam teori interaksi sosial lingkungan Monika memberikan
sugesti kepada Monika yang dimana sugesti tersebut berupa dorongan bagi
dirinya untuk jadi lebih baik dan menunjukan kepada teman-temannya bahwa
dirinya sama seperti teman-teman yang lainnya. Oleh sebab itu Monika
mengupayakan dirinya untuk menawarkan dirinya ketika sedang berkumpul
bersama teman kelompoknya,
90
“Saya menawarkan diri saya untuk mengerjakan tugas kelompok tersebut kak,tapi
saya mengerjakan tugas tersbeut tidak sendiri, pasti saya ditemenin sama salah
satu anggota kelompok saya kak. biar tugasnya selesai dengan cepat”.
Jika dikaitkan dalam tujuan komunikasi, interaksi sosial yang dilakukan
lingkungan Organisasi, lingkungan kuliah dalam bentuk sugesti kepada Monika
mampu menghasilkan suatu perubahan sosial dan perubahan sikap. Yang dimana
pada tahapan ini Monika yang dianggap sebagai orang yang kurang berkompeten
mulai berani untuk merubah penilaian oranglain yang menilai dirinya sebagai
individu yang kurang berkompeten. Perubahan sosial dan sikap tersbeut
didapatkan dari sugesti yang diberikan tersebut.dari perubahan sosial dan
perubahan sikap tersebut menghasilkan adanya perubahan pendapat yang tidak
lagi menilai Monika sebagai salah satu mahasiswa Afirmasi yang kurang
berkopeten lagi, dalam tahapan ini selain cara adaptasi yang digunakan informan
Monika adalah dengan cara konvergensi, dimana Monika meleburkan penilaian
bahwa dirinya dianggap tidak berkompeten jika dibandingkan dengan teman-
teman yang lainnya.
3. Dinamika Interkasi Penilaian Mahasiswa Papua dengan Pandangan
“Aneh” dan “Seram”.
Menurut Trancy Novinger, tahap ini merupakan proses internal yang mana
kita memilih, mengevaluasi, dan mengorganisasikan stimuli dari luar (Novinger,
2001:27). Atau singkatnya disebut perpsepsi, yang adalah proses bagaimana kita
menilai sesuatu dari sudut pandang kita yang dimana dalam penelitian ini persepsi
mahasiswa Afirmasi terhadap lingkungan Untirta, baik perkuliahan, di Organisasi
91
dan di lingkungan masyarakat yang ada di Untirta ataupun sebaliknya. Karena
adanya perbedaan tersebut tidak dapat dihindari akan terjadinya kesalahpahaman
antara mahasiswa Afirmasi terhadap lingkungan Untirta atau sebaliknya.
Hal ini sangat berkaitan dengan persepsi yang dimana bahwa teman-teman
dari Papua itu terkesan beda dengan mayoritas mahasiswa Untirta pada umunya,
dengan tampilan fisik yang berbeda, cara berbicara, dan latar belakang lainnya.
Apalagi Untirta baru 2 tahun menerima mahasiswa melalui jalur Afirmasi, dengan
itu memunculkan rasa kaget dari mahasiswa Mayoritas yang berkuliah di Untira,
hal ini ditemukan pada saat observasi dilapangan ketika awal perkuliahan bahkan
sampai beberapa bulan ketika proses kuliah berjalan,
“Saya sering diliatin kakak, seperti merasa aneh dengan saya. Padahal enggak
ada yang salah dengan saya kakak”.
Padahal Monika merasa dirinya tidak melakukan hal yang salah atau bahkan
dengan cara berpakaianpun juga tidak ada yang salah, dengan adanya perlakuan
seperti itu membuat Monika merasa semakin risi dan canggung untuk beraktivitas
dilingkungan perkuliahannya.
Selain respon tatapan aneh, Monika juga merasa bahwa ada penilaian
bahwa dirinya terlihat seram, hal dibenerakan oleh salah satu lingkungan kuliah
Monika, Diawal perkuliahan mereka sempat takut bahkan segan untuk menegur
Monika, canggung bagi mereka untuk berinisiatif untuk sekedar memulai
pembicaraan karena prilaku yang ditunjukan Monika, begitu juga Monika yang
lebih memilih diam karena merasa tidak nyaman dengan prilaku yang ditunjukan
oleh lingkungan perkuliahan. Rani yang menjadi salah satu narasumber
92
pendukung juga mengalami hal yang sama, sempat merasa sungkan dan takut
ketika pertama kali bertemu dengan Monika,
“Saya itu sedikit takut kak. tapi saya coba ngilangin rasa takut itu aja kak.
biasanya saya pura-pura enjoy aja si kak. walaupun diawal-awal takut karena
serem kak”.
Diawal perkuliahan narasumber Judith sempat merasa dirinya sempat
ditatap dengan tatapan “aneh” tidak ada penilai seram akan dirinya ditunjukan
lingkungan Untirta terhadapnya. Begitu juga dengan narasumber April yang
merasa diawal perkuliahan hanya sering mendapatkan tatapan “aneh” terhadap
dirinya, penilaian seram tidak mereka alami karena narasumber Judith dan April
mengikuti turunan ibunya. Hal ini sudah menjadi kebiasaan bagi setiap anak
Papua terkhususnya bagi kaum hawa. Dimana mereka berhak memilih untuk
mengikuti kebiasaan dari Ayah atau Ibu. Narasumber Judith dan April sejak
awalnya sudah memilih untuk mengikuti kebiasaan ibunya, dan hal ini dibuktikan
dengan gaya rambut mereka yang diurai panjang. Berbeda dengan narasumber
Monika yang sejak awal sudah memilih untuk mengikuti kebiasaan Bapanya,
yaitu memiliki gaya rambut yang pendek dan di kepang. Hal ini menjadi alasan
mengapa narasumber Monika sering merasa ditatap dengan tatapan aneh dan
dipandang aneh.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan lingkungan untirta yang
teridir dari; lingkungan Masyarakat (tempat tinggal), perkuliahan (kampus
Ciwaru), dan dilingkungan Organisasi (GMKI). Adanya kendala persepsi yang
mengatakan bahwa anak Papua itu seram-seram, hal ini diperkuat dengan
93
terlibatnya teman-teman dilingkugan Untirta yang dijadikan sebagai narasumber
pendukung, Rani, sebagai salah satu narasumber dilingkungan perkuliah, diawal
perkuliahan sempat merasa takut dan seram melihat Monika,
Lamlam salah satu teman Monika dilingkungan Organisasi diawal
pertemuan dengan Monika sempat merasa tidak nyaman dengan kehadiran
Monika, Lamlam melihat dari cara berprilaku, yang dimana Monika sering diam,
dan sering sekali senyum malu-malu ketika sedang berdiskusi.
“dia enggak tau jawaban nih bang, dia langsung miring ke kita gitu bang
badannya, terus sambil senyum-senyum. Atau enggak dia noel-noel temen
sebelahnya bang biar dia buat minta bantuan jawaban bang. kadang juga
senyum-senyum bang biasanya, selain itu juga gaya rambutnya bang juga sedikit
berbeda dari cewek pada umumnya, jadi muncul kesan rada serem dan aneh
waktu awal melihatnya”.
Tidak hanya tatapan aneh, diawal pertemuan dengan Organisasi GMKI
Monika sempat dianggap seram oleh lingkungan kuliah dan Organisinya, salah
satunya adalah Berto yang sempat merasa serem kalau melihat Monika,
“ diawal-awal memang gak bisa dipungkiri ya bang, kalau untuk Monika memang
bener-bener serem bang. soalnya diawal dia dateng itu, rambutnya pendek banget
bang hampir botak, terus bang maaf-maaf ini ya bang bang kalau orang Papua
itu punya aroma khas gitu bang, ya ya awalnya striotipe nya serem dan galak”.
Karena adanya rasa tidak nyaman tersebut, diawal perkuliahan Monika
sering menjelaskan kepada teman-teman dikelasnya bahwa tidak ada yang aneh
dari dirinya, jadi anggap ia biasa saja sama seperti yang lainnya. Pernah sekali ada
94
salah satu Mahasiswa ciwaru yang kebetulan berada satu anggkot dengan Monika,
yang selalu melihat Monika dengan tatapan seperti “kaget bercampur aneh”,
Monika menanyakan kepada orang tersebut “kenapa menatap saya seperti itu?,
apakah ada yang salah dengan saya?” Pada tahapan menghadapi culture shock,
Monika melakukan fase readjusment atau fase pengambilan keputusan atau
persepsi yang muncul dikalangan mahasiswa Untirta bahwa persepsi tersebut
tidak benar, dan harusnya menganggap dirinya sebagai mahasiswa lainnya saja,
tidak perlu kaget akan kehadiran mahasiswa Afirmasi di lingkungan Untirta.
Setelah menanyakan itu dengan nada yang pelan, akhirnya orang tersebut
tidak menatap dan malah bertanya kembali ke Monika dan menanyakan daerah
asalnya dari mana, hal ini sengaja dilakukan Monika untuk membantu dirinya
agar betah dengan lingkungan baru tersebut, dengan mengklarifikasikan hal
tersebut sehingga membuat lingkungan Untirta akan menganggap dirinya sebagai
mahasiswa Untirta lainnya. Dalam tahapan ini Monika melakukan tahapan
Asosiatif yang dimana bertujuan untuk membangun penilaian yang sama akan
dirinya dengan mahasiswa Untirta lainnya.
Proses interaksi yang dilakukan Monika, sebagaimana yang dijelaskan,
dimaksudkan untuk menghapus persepsi bahwa mahasiswa Papua itu tidak seperti
apa yang selama ini dipersepsikan kalau mereka itu seram. Pada tahapan ini
Monika melakukan proses Asosiatif yang dimana didalam proses Asosiatif
tersebut terdapat unsur Akomodasi, yang dimana Akomodasi tersebut bertujuan
untuk menyelesaikan pertentangan yang muncul dari kedua belah pihak.
95
Mahasiswa Papua dan lingkungan Untirta saling mengubah persepsi, seperti
Lamlam yang mulai terbiasa dan merubah persepsinya bahwa Monika itu seram
“makin kenal mereka itu ternyata baik bang, mereka lebih lembut bang kalau ke
kita bang”.
begitu juga dengan Rani salah satu teman kelas Monika yang menjadi narasumber
pendukung yang mengubah persepsinya awal yang takut kepada Monika,
“Mereka cenderung lembut kak ternyata, ngomongnya enggak perna teriak,
selalu pakai “aku-kamu” jadi lebih lembut aja kak”.
Dalam mengahadapi permasalahan ini Monika menggunakan tahapan
identifikasi yang dimana dorongan ini muncul dari dalam dirinya sendiri, hal ini
bertujuan untuk mengubah penilaian bahwa dirinya itu tidak seram dan tidak perlu
menganggpa dirinya aneh. Pada tahapan menghadapi culture shock Monika
melakukan fase readjusment atau fase pengabilan keputusan atas persepsi yang
muncul di lingkungan Untirta, dengan berusaha menunjukan bahwa dirinya tidak
seram dan tidak perlu marasa kaget dengan bentuk respon tatapan aneh ketika
bertemu dengan Monika.
Jika dikaitkan ke dalam tujuan dari komunikasi, yang dimana proses
interaksi sosial yang dilakukan Monika terhadap lingungan ataupun sebaliknya
berhasil merubah sikap, pendapat dan prilaku. Adanya perubahan sikap seperti,
Penilaian yang menganggap bahwa Monika itu seram tidak lagi berlaku untuk
dilingkungan perkuliahan Monika, karena adanya proses interaksi yang dilakukan
Monika. Begitu juga dengan perubahan sikap, perubahan sikap ini dirasakan
Monika dari lingkungan kuliah, yang awalnya Monika merasa dirinya sering
96
ditatap dengan pandangan yang aneh dan juga dinilai serem oleh lingkungan
menjadi berubah, dan tidak lagi menganggap penilaian itu bener sepenuhnya.
Selain itu cara adaptasi yang digunakan informan Monika untuk beradaptasi
adalah dengan cara konvergensi yang dimana sengaja meleburkan penilaian
bahwa dirinya yang berlatar belakang Papua identik dengan seram dan tidak perlu
merasa kaget karena kehadiran mahasiswa Papua di lingkungan untirta dengan
cara meleburkan penilaian ini lingkungan Untirta menjadi menganggap bahwa
informan Monika itu seperti mahasiswa Untirta pada umunya.
4.4.1.2 Dinamika Interaksi Monika dalam Berbahasa ketika berinteraksi
dengan lingkungan Untirta
Bahasa menjadi salah satu dinamika dalam interaksi mahasiswa Afirmasi
di Untirta, karena apabila pengirim pesan dan penerima pesan menggunakan
bahasa yang berbeda atau pengamatan yang berbeda akan untuk memaknai kata-
kata tersebut, akan sulit untuk dimengerti oleh penerima pesan untuk merespon
balik pesan tersebut.
Perbedaan bahasa yang dibentuk dari masing-masing latar belakang
budaya yang berbeda tersebut menjadi tantangan bagi mahasiswa Afirmasi agar
dapat menjalin komunikasi yang baik dan selain itu juga komunikasi memiliki
dampak yang sangat besar ketika ingin membangun interaksi yang baik dengan
lingkungan baru. permasalaha yang sering dialami oleh mahasiswa Afirmasi
adalah kesapahaman dalam menilai gaya bahasa yang berlaku dilingkungan
Untirta sehingga menghasilkan penolakan pada dirinya sehingga semakin
menutup diri dengan keadaan dan kebiasaan yang berlkau dilingkungan Untirta ini
97
Bagian pembahasan ini akan menjelaskan bagaimana dinamika interaksi
yang dilalkukan mahasiswa Afirmasi Untirta dalam menghadapi hambatan bahasa
langsung (verbal) yaitu masih adanya penilaian bahwa bahasa sehari-hari yang
digunakan dilingkungan Untirta terkesan sombong, logat Papaua yang masih
terbawa ketika sednag berinterkasi dengan teman-teman di Untirta dan juga
penerimaan akan bahasa gaul yang dianggap baru bagi mahasiswa Afirmasi di
Untirta.
1. Dinamika Interkasi Gaya Bahasa yang digunakan Mahasiswa Untirta
terkesan sombong (Akomodasi, Sugesti dan Asosiatif)
Dalam berinteraksi bahasa adalah salah satu hal yang sering digunakan
ketika sedang mengobrol dengan oranglain, fungsi bahasa yang mendasar adalah
untuk menamai atau menjuluki orang, objek dan peristiwa. Setiap orang punya
nama untuk identifikasi sosial, kita baru sadar bahasa itu penting ketika kita
menemui jalan buntu dalam menggunakan bahasa, misalnya ketika kita kita
berupaya berkomunikasi dengan orang-orang yang sama sekali tidak memahami
bahasa kita yang membuat kita frustasi, karena kita sulit untuk menerjemahkan
suatu kata, frase atau kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain
(Mulyana,2007:266).
Hal ini menjadi salah satuj penyebab munculnya culture shock, informan
Monika merasa adanya perbedaan yang mendasari dirinya dengan lingkungan
barunya, yang disebut sebagai Reintegrasi yang dimanahal ini muncul karena
adanya penolakan akan datangnya budaya baru dalam dari lingkungan yang lebih
98
dominan, bentuk penolakan yang dialami informan Monika yang menilai bahwa
gaya bahasa yang digunakan terkesan sombong.
Dalam berbahasa memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menerima dan
merespon pesan apa yang disampaikan, adanya tiga apsek encoding, penyampaian
dan decoding, yang melibatkan komunikan dan komunikator, komunikasi akan
berjalan baik apabila tujuan pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik
dan menghasilkan respon yang sesuai dengan tujuan dari pesan tersebut. Dalam
aspek ini bahasa memilik peran yang snagat penting.
Apabila komunikator menggunakan bahasa inggris, sementara
komunikannya tidak mengerti bahasa inggris tersebut, maka tujuan pesan yang
ingin disampaikan oleh komunikator tersbut tidak berjalan dengan baik, begitu
juga yang dialami oleh Monika ketika berada dilingkungan Untirta, Monika yang
terbiasa menggunakan dialek, bahasa Papua (bahasa Indonesia baku) akan sulit
berkomunikasi dengan mayoritas orang yang berada dilingkungan Untirta,
contohnya gaya bahasa yang digunakan dilingkungan Untirta menggunakan gaya
bahasa “gue-lu” berbanding terbalik dengan di Papua yang biasanya
menggunakan “aku-kamu” atau “sa-ko”. Begitu juga dengan dialeknya yang
dimana dialek yang digunakan di lingkungan Untirta sudah mengalami beberapa
modifikasi dari unsur-unsur luar seperti logat daerah Serang, logat daerah Bekasi,
Tangerang dan Jakarta.
Hal ini yang membuat Monika merasa frustasi sehingga memunculkan
efek culture shock, pada saat melakukan pendaftaran Ulang sebagai mahasiswa
baru, Monika sering melakukan interaksi dengan senior-seniornya untuk lebih
99
mengetahui apa-apa saja kegiatan yang akan mereka ikuti selama menjadi
mahasiswa baru, selama proses itu Monika sering diajak ngobrol dengan
menggunakan gaya bahasa “slang” yang membuat Monika sulit untuk mengerti
apa yang disampaikan oleh senior tersebut. Hal ini dilatar belakangi oleh penilaian
Monika, yang menilai bahwa gaya bahasa yang digunakan dilingkungan Untirta
terkesan sombong sehingga ia enggan untuk menggunakan gaya bahasa tersebut
dan lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia baku
“Karena menurut saya gaya bahasa “Lo-Gue” itu terkesan sombong kak, belum
lagi dengan cara bercanda teman-teman dikelas kalau lagi mengobrol, kalau
saya dengar itu bercandaanya terkesan kasar kak, padahal meurut mereka itu
bercandaan saja, tapi di Papua itu kasar kak dan tidak boleh”.
Berbeda dengan narasumber Judith dan April yang sebelumnya sudah
mengikuti Program Afirmasi sejak SMA, informan Juidth dan April yang
sebelumnya bersekolah di Kediri dan di Jogjakarta merasa penggunaan gaya
bahasa “Gue-lu” itu biasa saja, mereka banyak menemui teman-teman mereka
selama bersekolah disana menggunakan gaya bahasa tersebut. Jadi tidak merasa
kaget akan kebiasaan tersebut dan pada saat proses wawancara berlangsung
beberapa kali kedua narasumber ini menggunakan gaya bahasa “Gue-lu” ketika
sedang diwawancarai, hal ini menunjukan bahwa tidak ada penilaian bahwa gaya
bahasa yang biasa digunakan di Untirta terkesan sombong, karena kedua
narasumber ini acap kali menggunakan gaya bahasa tersebut. Berbeda dengan
Monika yang sebelumnya tidak mengikuti Afirmasi SMA, Monika yang terbiasa
100
dengan kebudayaan Papua tersebut akan cenderung enggan menggunakan gaya
bahasa tersebut.
Hal ini dibenarkan oleh salah satu teman kuliah Monika yaitu Rani, yang
beranggapan bahwa,
“Monika sangat enggan bahkan sulit untuk menggunakan atau mengartikan gaya
bahasa yang kita gunakan, oleh sebab itu saya menjelaskan ke Monika bahwa
sebenarnya gaya bahasa tersebut tidak kasar dan juga tidak sombong”.
Tidak hanya Rani yang melakukan hal tersebut. Heri yang menjadi
narasumber pendukung juga melakukan hal yang sama dalam membantu Monika
untuk lebih terbuka dengan gaya bahasa “slang” tersebut,
“mereka biasanya pakai “aku-kamu”, jadi gua nyoba untuk ngikutin mereka
bang, ke Monik juga gua make “aku-kamu”. Gua dan temen-temen gua dikelas
enggak pernah ngobrol ke mereka pake “gua-lu” bang karna kita udah nyoba
jelasin ke mereka, tapi mereka tetap enggak mau gunain “gua-lu” bang karena
katanya itu kalimatnya sombong”.
Selain itu Organisasi juga melakukan hal yang sama, berdasarkan hasil
wawancara dengan salah satu teman Organisasi GMKI Monika yang bernama
Berto,
“mereka masih mempertahankan penilaian bahwa bahasa gaul itu tekesan
sombong bang, tapi gua tetap ngejelasin ke mereka kalau sebenernya gaya
bahasa tersebut tidak sombong. Jadi mereka tidak perlu membentengi diri karena
adanya penilaian bahwa gaya bahasa tersebut terkesan sombong”.
101
Dengan adanya penjelasan yang dilakukan oleh lingkungan sekitar
tersebut Monika menjadi lebih membuka diri dan tidak menganggap bahwa gaya
bahasa yang biasa digunakan di lingkungan Untirta itu adalah gaya bahasa yang
sombong, Monika tetap menerima hal tersebut walaupun Monika tidak pernah
menggunakan gaya bahasa tersebut. Hal ini dikaitkan dengan teori Interaksi sosial
yang dimana salah satu faktornya adalah sugesti, adanya sugesti yang diberikan
teman-teman lingkungan Untirta terhadap Monika bahwa gaya bahasa tersebut
tidak bermakna sombong, sehingga Monika tidak perlu membentengi diri akan
gaya bahasa tersebut.
Lingkungan Untirta menurunkan egonya untuk menggunakan gaya bahasa
Indonesia baku ketika mengobrol dengan Monika, hal ini jika dikaitkan dengan
proses Asosiatif, yang dimana bertujuan untuk bekerja sama untuk memahamkan
pemikiran ketika sedang berinteraksi sosial agar tercapai tujuan yang diinginkan
oleh satu sama lain. Selain tahap Asosiatif dalam interaksi sosial kedua belah
pihak yaitu Monika dan teman lingkungan kuliah, Organisasi dan tempat tinggal
juga menggunakan acomodation yang dimana semua pihak yang berasal dari
latarbelakang yang sama menyepakati untuk menggunakan bahasa Indonesia baku
ketika sedang berinteraksi satu sama lain, dengan menggunakan proses Asosiatif.
dan dengan cara beradaptasi, narasumber Judith dan April menggunakan cara
beradaptasi konvergensi untuk tidak menilai dan mempersepsikan bahwa gaya
bahasa sehari-hari yang digunakan dilingkungan Untirta itu tidak sombong.
Jika dikaitkan dalam komunikasi, hal ini berhasil dalam merubah pendapat
Monika, bahwa bahasa sehari-hari yang biasa digunakan dilingkungan Untirta
102
identik dengan makna sombong tersebuut tidak berlangsung lama. Faktor sugesti
yang dilakukan lingkungan perkuliahan dan organisasi terhadap Monika dapat
membuat Monika untuk lebih terbuka terhadap gaya bahasa tersebut, walaupun
Monika enggan untuk menggunakan gaya bahasa ini hal ini dikarenakan adanya
faktor Asosiatif yang dimana kedua belah pihak yaitu pihak Monika dan
lingkungan Untirta sama-sama menyepakati untuk menggunakan gaya bahasa
baku ketika sedang berinteraksi dengan Monika.
2. Proses Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi Yang Sering Terbawa
Logat Papua (Asosiatif)
Tedi Sutardi dalam bukunya Antropologi, mengungkapkan Keberagaman
Budaya menjelaskan bahwa dalam pandangan sosioliguistik, dialek atau logat
terbagi atas 2 landasan bentuk yaitu dialek sosial dan dialek geografis. Dialek
sosial ditentukan oleh landasan status/kelas sosial sementara dialek geografis
ditentukan oleh letak wilayah atau pemukiman para penuturnya (Sutardi.
2007:34).
Dalam penelitian ini, dialek yang dimaksud adalah aksen pengucapan
bahasa yang diigunakan oleh mahasiswa Afirmasi dalam melakukan interaksi
dengan oranglain, khususnya pada lingkungan di Untirta yang meliputi:
Organisasi, Perkuliahan dan Masyarakat. Adanya perbedaan bahasa berupa masih
sering terbawa logat Papua diawal-awal perkuliahan Monika, yang dimana
membuat Monika sedikit sulit dan minder ketika ingin berkomunikasi dengan
lingkungan Untirta ini. Hal ini semakin rumit ketika mendapati bahwa lingkungan
103
sering meledek informan jika sedang berkomunikasi dengan cara menirukan gaya
berbicara Monika.
Ketika sedang berkomunikasi, sering didapati narasumber Monika
menggunakan logat Papuanya, seperti penekan pada saat berbicara, kecepatan
ketika berbicara dan juga penempatan S-P-O-K pada kalimat yang diucapkan juga
masih sering terbawa kebiasaan di papua tersebut. Hal ini salah satu hambatan
bagi Monika ketika ingin berinteraksi denga lingkungan Untirta, karena Monika
merasa tidak nyaman ketika sedang berkomunikasi dengan teman di lingkungan
Untirta sering didapati mereka menggunakan logat Papua juga, seperti hasil
wawancara dengan salah satu Informan yang melingkupi lingkungan kuliah yaitu
Heri, yang sering menggunkan logat Papua ketika sedang berkomunikasi dengan
Monika “Gua biasanya juga ngikutin gaya bahasa mereka bang, biar mereka
ngerasa nyaman aja bang”. Hal ini justru berbanding terbalik dengan Monika
yang menganggap lingkungan Untirta tidak perlu melakukan hal itu, menjadi diri
sendiri saja tidak perlu menggunakan logat yang sama dengan nya, “Saya merasa
tidak nyaman kak, kalau ada teman yang menirukan logat Papua. Saya merasa
tidak cocok saja kalau mendengar mereka menggunakan logat tersebut”. Hal ini
yang dirasakan Monika ketika melihat lingkungan yang mencoba menirukan logat
tersebut.
Dalam hal ini Monika menggunakan Disasosiatif yang dimana bentuk
interaksi ini berupa penolakan untuk membangun suatu interaksi yang disepakati
yaitu menggunakan bahasa Indonesia saja, tanpa perlu mencampuradukan bahasa
Indonesia dengan logat Papuanya.
104
Hal ini menjadi salah satu penyebab munculnya culture shock, informan
Monika merasa adanya perbedaan yang mendasari dirinya dengan lingkungan
barunya, yang disebut sebagai Reintegrasi yang dimanahal ini muncul karena
adanya penolakan akan datangnya budaya baru dalam dari lingkungan yang lebih
dominan. Dalam hal ini cara adaptasi yang dilakukan informan Monika adalah
dengan cara Disvergensi, informan Monika memiliki perbedaan dari segi
berkomunikasi dengan lingkungan di Untirta.
3. Proses Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi dalam Menghadapi
Penggunaan bahasa Gaul di Untirta
Awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu digunakan untuk
merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu, tetapi karena sering juga
digunakan di luar komunitasnya, lama-lama istilah tersebut menjadi bahasa
sehari-hari, kampus Untirta adalah salah satu kampus negeri yang ada di Kota
Serang yang dimana hampir rata-rata mahasiswa berasal dari daerah Serang,
Jakarta, Tangerang dan dari luar daerah itu sendiri. Sehingga membentuk satu
kebiasaan yaitu menggunakan gaya bahasa gaul tersebut, hal ini yang tidak
dipaahami oleh mahasiswa Afirmasi yang berkuliah di Untirta, mereka cukup sulit
menerima dan menggunakan bahasa gaul dalam sehari-hari mereka.
Informan Monika cenderung menggunakan bahasa Indonesia yang baku
dalam kesehariannya, Monika yang tidak mengerti bahasa gaul cenderung melihat
dan lebih memilih untuk memahaminya terdahulu, dengan memahami bahasa gaul
tersebut Monika setidaknya lebih mengerti walupun enggan menggunakan bahsa
105
gaul tersebut ketika sedang berinteraksi dengan teman-teman yang berada
dilingkungan Untirta atau lingkungan tempat tinggalnya,
“Karena tidak mengerti jadi saya lebih baik untuk tidak menggunakan tetapi saya
mencoba untuk mengerti saja kak”.
hal ini didukung oleh lingkungan Organisasi bahkan lingkungan kuliah Monika,
Rani salah satu teman kuliah Monika merasa,
“Monika sulit menggunakan bahkan tidak pernah menggunakan bahasa gaul,
tetapi ia sering bertanya apa arti dari kalimat atau kata gaul yang diucapkan
tersebut”.
Begitu juga dengan teman-teman organisasi Monika yang melihatnya
ketika sedang berdiskusi, menurut Lam-lam,
“Monika itu sulit untuk menggunakan bahasa gaul ketika berinteraksi, Monika
lebih sering menanyakan arti dari kalimat tersebut”.
Dalam proses interaksi yang dilakukan informan Monika terhadap
penggunaan bahasa gaul yang sering digunakan dilingkungan barunya, Monika
hanya mencoba untuk mengerti apa arti dari kalimat gaul tersebut. Hal ini biasa
dilakukan Monika ketika sedang barada dalam kelas yang dimana ketika Informan
Monika sednag berkomunikasi dengan salah satu temannya, pasti ada saja kalimat
baru yang diucapkan oleh salah satu temannya ketika saling berinteraksi, pada
saat Monika mendengar kalimat tersebut Monika akan langsung menanyakan
kepada Orang tersebut apa maksud dari kalimat barusan, kalau tidak biasanya
lingkungan yang menanyakan kepada Monika, seperti yang dilakukan Heri,
106
“Monik, kamu mengerti enggak sama apa yang aku bilang tadi?”. Biasanya
Monika akan bertanya apa maksud dari kalimat tersebut.
Dengan seringnya informan Monika menanyakan apa arti dan maksud dari
kalimat gaul tersebut, informan Monika menjadi sedikit banyak paham akan arti
dari beberapa kalimat gaul tersebut. Peneliti merasa bahwa Monika berhasil
beradaptasi dan tetapi tidak sepenuhnya menggunakan bahasa gaul ketika sedang
berinteraksi dengan teman-teman disekitarnya. Pada tahapan ini informan Monika
mengindentifikasikan agar menjadi lebih paham akan gaya bahasa gaul tersebut.
Dalam hal ini cara adaptasi yang dilakukan informan Monika adalah dengan cara
Disvergensi, informan Monika memiliki perbedaan dari segi berkomunikasi untuk
tidak menggunakan bahasa gaul ketika berinteraksi dengan lingkungan Untirta.
Adanya perubahan prilaku yang dimana hal ini bertujuan untuk
memberikan berbagi informasi kepada Monika supaya Monika merubah diri agar
lebih mengenal bahasa gaul dan semkin membiasakan diri akan penggunaan
bahasa gaul ketika sedang berkomunikas dengan lingkungan Untirta yang
meliputi masyarakat, kuliah dan organisasi.
4.4.1.3 Dinamika Interaksi Mahasiswa Papua dalam Budaya ketika
berinteraksi dengan lingkungan Untirta
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup, manusia belajar berprilaku,
merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya.
Budaya yang berbeda membuat perbedaan yang dialami informan Monika
semakin merasakan dampak culture shock ketika datang ke lingkungan yang
dianggapnya baru. banyak hal yang membuat hal ini masuk dalam dinamika
107
interaksi informan,, karena adanya simbol-simbol, tanda-tanda dan kebiasaan
yang dengan lingkungan asalnya, membuat Monika memiliki standart penilaian
bahwa kebiasaan yang ering dilakukan dilingkungan asalnya menjadi hal yang
benar dan sulit untuk menerima kebiasaan dan kebuadayaan baru yang berlaku
dilingkungan Untirta.
1. Dinamika Interaksi Mahasiswa Papua dalam Menghadapi Culture Shock
makanan di lingkungan Untirta
Culture Shock yang dialami Monika ketika dilingkungan Untirta juga dari
aspek makanan, karena kebiasaan makanan pokok yang ada di Monika adalah
Papeda, yaitu makanan yang terbuat dari Sagu, berbeda dengan makanan pokok
yang ada di Serang, yang dimana makanan pokok tersbeut adalah nasi. Adanya
penolakan rasa tidak nyaman tersebut membuat monika semakin akut merasakan
efek culture shock terhadap lingkungan baru yaitu lingkungan Untirta, Monika
yang terbiasa menggunakan sagu sebagai makanan pokok penganti nasi harus
dipaksa merubah kebiasaan tersebut. Diawal perkuliahan Monika merasa
Reintergrasi Hal ini menjadi salah satu penyebab munculnya culture shock,
informan Monika merasa adanya perbedaan yang mendasari dirinya dengan
lingkungan barunya, yang disebut sebagai Reintegrasi yang dimana hal ini
muncul karena adanya penolakan akan datangnya budaya baru dalam dari
lingkungan yang lebih dominan,
“Makanannya juga berbeda kakak, kalau di Papua kan ada makanan pokoknya,
salah satunya jagung”.
108
Berbeda dengan narasumber Judith dan April yang sebelumnya pernah
mengikuti program afirmasi sejak SMA, narasunber Judith dan April yang
sebelumnya pernah bersekolah dan berada pulau jawa, sudah terbiasa untuk
menjadikan nasi sebagai makanan pokok untuk sehari-hari, walaupun kedua
narasumber sejak awal datang ke pulau jawa pada saat SMA sempat merasakan
kaget akan kebiasaan menggunakan nasi sebagai makanan pokoknya. Tetapi
berebda pengalaman dengan Monika yang sampai merasakan penolakan ketika
mengkonsumsi nasi seabagai makanan pokoknya.
Hal ini menunjukan bahwa informan Monika mengalami hambatan dalam
penyesuaian makanan, lingkungan Untirta yang lebih mnengutamakan nasi
sebagai makanan pokok justru berbeda dengan informan Monika yang menjadi
sagu sebagai makanan pokok. Hal ini dibenarkan oleh salah satu teman informan
Monika yaitu Rani, “Diawal-awal itu Monika sulit untuk makan nasi kak. bahkan
waktu dikegiatan Himpunan, waktu Latihan Kepemimpinan tingkat 1 Monika
sempat dimarahi sama salah satu senior karena enggak mau makan nasinya”.
Hal ini menjadi kendala bagi informan Monika, perlu waktu yang cukup
lama bagi Informan Monika agar terbiasa menjadikank nasi sebagai penganti
Papeda sebagai makanan pokoknya, “6 bulan itu saya sulit makan nasi kak, saya
kalau makan nasi diawal-awal itu pasti langsung saya muntahkan, bahkan saya
pernah makan mie instant terus itupun saya paksa walaupun saya mual-mual
karena tidak terbiasa juga makan mie instant”.
Setelah hampir satu sementer informan Monika sudah mulai terbiasa dan
menjadikan nasi sebagai makanan pokok penganti Papeda, hal ini bukan Cuma
109
karena ada faktor adaptasi akibat kebiasaan saja. tetapi juga ada faktor motivasi
dan dorongan dari lingkungan Untirta kepada Monika, seperti dorongan dari
Informan yang mewakili lingkungan masyarakat, “karena saya disini juga bikin
usaha warung makan yang dekat dengan rumah Monika, jadi saya sering
negajakin Monika makan gratis disini. Karena saya dapat cerita dari temennya
kalau Monika itu enggak terbiasa makan nasi. Jadi dengan saya gratiskan bisa
membuat Monika jadi lebih membiasakan diri saja unutk konsumsi nasi, bukan
cuma itu, saya juga sering bilang ke Monika kalau nasi itu jau lebih baik
daripada Papeda, jadi harus biasakan konsumsi nasi”. Tidak hanya lingkungan
masyarakat saja, salah satu teman Monika yaitu informan Rani yang juga sering
memeberi semangat kepada Monika untuk lebih membiasakan diri makan nasi, “
Saya sering ajakin Monika makan breng kak. sambil bilang kalau makan nasi itu
perlu, soalnya Monika itu awalnya enggan bahkan sulit untuk diajakin makan
nasi kak”.
Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa adanya faktor lain
yang muncul untuk membuat Monika terbiasa menjadikan nasi sebagai makanan
pokoknya, faktor ini jika dikaitkan dengan teori interaksi dapat dikaitkan dalam
faktor sugesti yang dimana lingkungan memberikan sugesti kepada Monika untuk
lebih membiasakan diri mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokoknya, selain
sugesti adalagi faktor simpati yang dimana faktor simpati ini dilakukan oleh
informan Pak’de yang memberikan makanan gratis kepada informan Monika
sebagai pertimbangan alasan bahwa Monika dan memiliki pengalaman yaitu
sama-sama perantau, yang dimana perantau harus berupaya untuk menghemat
110
pengeluaran, “sisi lain saya bersimpati ke Monika, karena yang saya denger dari
teman kosannya Monika itu sering muntah kalau habis makan, kan itu buang-
buang uang”.
Dalam tahapan ini narasumber menggunakan proses adaptasi konvergensi,
dengan cara mulai membaiasakan diri mengkomsumsi nasi sebagai makanan
pokoknya.
4.4.1.4 Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi Dalam Menghadapi
Perbedaan Budaya Berpakaian
Hal ini berkaitan dengan kebiasaan, diawal perkuliahan Informan Monika
merasa tidak nyaman dengan kebiasaan yang di jurusan kuliahnya, Informan
Monika mengambil jurusan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang dimana
jurusan ini bernaung dibawah fakultas pendidikan. Berdasarkan hasil observasi
rasa tidak nyaman yang dialami Monika adalah masalah berpakaian. Monika
sempat merasa tidak nyaman menggunakan baju bahan dan celana rok, ditambah
lagi dengan kondisi lingkungan Untirta yang cukup panas jika dibandingkan
dengan tempat tinggalnya dulu.
Didaerah asalnya Monika memiliki kebiasaan menggunkan pakaian santai
seperti celana pendek dan baju kaos dan kalaupun pergi kuliah biasanya
menggunakan celana jeans dan kaos atau kemeja saja. berbeda dengan jurusan
kebiasaan yang berlaku dengan atribut yang diwajibkan di jurusan informan
Monika yang mengharuskan setiap mahasiswa menggunakan rok panjang dan
kemeja seragam aatau kemeja biasa.
111
Berbeda dengan informan Judith dan April yang sebelumnya sudah
mengikuti program afirmasi sejak SMA, kedua narasumber tesebut tidak
merasakan hal yang sama dengan Monika, hal itu karena kedua narasumber ini
berada di jurusan dan fakultas yang berbeda dengan informan Monika, “kalau
untuk di Fakultas kita, enggak ada keharusan untuk menggunakan pakaian dinas
seperti jurusan Monika. Kita jadi bebas menggunakan celana jeans dan kaos
saja”.
Rasa tidak nyaman ini berlangsung tidak lama, tapi cukup menjadi
dampak bagi Monika sehingga mengalami culture shock yang semakin rumit.
Berdasarkan pengalaman ini peneliti menganggap bahwa informan Monika
mengalami Reintegrasi yang dimana hal ini muncul karena adanya penolakan
akan datangnya budaya baru dalam dari lingkungan yang lebih dominan. Oleh
sebab itu Informan Monika merasa dirinya semakin merasa terasing dengan
lingkungan barunya ini.
Perlu beberapa waktu bagi Informan Monika untuk beradaptasi dengan
kebiasaan tersebut, hal ini di benarkan oleh salah satu Informan pendukung yang
berada satu kelas dengan Monika, “ia, Monik pernah cerita kalau dia enggak
nyaman pake pakaian ini”. tetapi hal ini hanya berlangsung tidak lama, hanya
diawal perkuliahan saja, Monika merasa terpaksa awalnya untuk menggunkan
atribut tersebut, tetapi berbeda dengan lteman lingkungan kuliah Monika yaitu
Rani yang memberi sugesti kepada Monika untuk membiasakan diri dan apa
maksud dan tujuan kenapa mereka harus sering menggunakan atribut tersebut,
“saya pernah bilang ke Monika kalau sebenernya pakaian dinas ini tujuan biar
112
kita terbiasa dengan pakaian formal dan dinilai rapih karena kita kan calon guru,
jadi harus ditiru”.
Dengan adanya sugesti asosiatif seperti ini, yang bertujuan untuk
membangun kerjasama dalam berinterkasi dan membiasakan diri dengan budaya
yang berbeda dari salah satu teman dekat Monika sehingga semakin membuat
Monika merasa harus terbiasa dengan pakaian tersebut.
4.4.1.5 Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi Dalam Menghadapi
Perbedaan Sopan Santun Ketika Berkomunikasi
Komunikasi berhubungan dengan prilaku manusia, hal ini berkaitan akan
kepuasan akan berinteraksi dengan Manusia-manusia lainnya, hampir setiap
orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang lainnya, dan kebutuhan
ini terpenuhi melalui proses pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jemabatan
untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan merasa
terisolasi (Mulyana dan Jalaludin, 2005:12). Adanya perbedaan latar belakang
atau identitas antara mahasiswa Afirmasi dengan lingkungan Untirta membuat
adanya kesulitan dalam berprilaku ketika sedang berinteraksi atau bahkan sedang
tidak berinteraksi sekalipun.
Dalam temuan dilapangan Monika sering merasa tidak nyaman dan
cenderung menilai prilaku teman-teman yang berada dilingkungan kampus
terkesan kasar ketika sedang berinteraksi dengan sesama teman, Monika sering
melihat sesam temannya sering mengucapkan kata “Anjir”, “bangsat” ketika
sedanng mengobrol dengan teman lainnya. Yang menurut penailaian Monika
bahwa kebiasaan ini cenderung kasar dan tidak sopan. Berbeda dengan
113
lingkunganya di Papua, dimana Monika merasa bahwa lingkungan di Papua tidak
pernah seperti itu, disana jauh lebih santun menurut berbeda dengan kebiasaan
yang dilakukan oleh teman-teman dilingkungan perkuliahan atau dilingkunagan
Organisasinya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh informan Judith dan April yang merasa
kalau budaya yang berlaku dilingkungan perkuliahan mereka terkesan tidak
sopan, berbeda hal dengan budaya yang mereka lihat pada saat sedang melakukan
program Afirmasi SMA, yang dimana budaya yang ditunjukan didepan mereka
cenderung budaya jawa yang kental dengan tata-krama, tutur kata yang halus. Hal
ini sulit diterima oleh kedua informan ini. hal ini menjadi penyebab rasa tidak
nyaman bagi informan Judith dan April ketika diawal perkuliahan.
Monika merasa kalau lingkungan barunya ini memiliki kebiasaan yang
sangat berbeda dengan tempat asalnya yang menyebabkan Monika merasa
Reintegrasi yang dimana hal ini muncul karena adanya penolakan akan datangnya
budaya baru dalam dari lingkungan yang lebih dominan. Monika merasa tidak
nyaman dan semakin merasakan dampak culture shock yang semakin berasa. Hal
ini dibenarkan oleh salah satu teman Monika yaitu Informan Heri yang menilai
“bahwa gaya becadaan teman-teman dikelas itu memnag cenderung kasar, tapi
kita tau kalau itu hanya sebatas becandaan saja”.
Dengan adanya prilaku seperti itu yang diliat langsung oleh Informan
Monika yang semakin merasa tidak nyaman denga lingkungan barunya ini.
tahapan reintegrasi ini yang menjadi penyebab kenapa informan Monika menajadi
lebih pendiam dan lebihi memilih untuk berinteraksi dengan teman yang itu-itu
114
saja. penilaian ini hampir berlangsung selama 1 bulan lebih, hal yang membuat
Monika merasa terbiasa dengan busay tersebut karena adanya sugesti yang
dilakukan oleh teman-teman Monika, Heri salah satunya yang menjelaskan
kepada Monika,
“itu wajar Monik, memang begitu cara bercandaanya ketika ngobrol dengan
orang yang sudah akrab”.
Monika yang sudah mulai menerima kebaisaan tersebut buka berarti
informan Monika menggunakan gaya interaksi seperti itu kepada teman-teman
lainnya, begitu juga sebaliknya, Monika tetap berinteraksi seperti biasanya dengan
teman-temannya dengan menggunakan gaya bahasa baku ketika sedang
mengobrol dengan teman-teman dikelasnya begitu juga dengan teman-teman
kelasnya yang menghargai kebuadayaan Monika tersebut. Dalam hal ini peneliti
merasa bahwa informan Heri memberikan Sugesti kepada Monika untuk lebih
menerima kebiasaan tersbeut tanpa harus menilai hal itu kasar atau tidak, selain
sugesti kedua belah pihak yaitu lingkungan perkuliaahan dan informan Monika
sama-sama menyepakati untuk saling menjaga kebiasaan satu sama lain. Peneliti
menidentifikasi bahwa informan Monika menggunkan adaptasi konvergensi
dalam penilaian bahwa lingkungan kelas tersebut tidak sopan santun. Dengan
melakukan cara adaptasi seperti ini informan Monika sudah membiasakan diri
dengan adanya gaya interaksi sepreti itu.
115
4.5 Pembahasan
Untuk dapat menerima perbedaan yang berlaku dilingkungan baru, perlu
melakukan beberapa adaptasi pada lingkungan sekitar, seperti yang dilakukan
selaku mahasiswa Afirmasi ketika berada dilingkungan Untirta, dalam hal ini
diperlukakan beberapa aspek yang wajib di jalani oleh Mahasiswa Afirmasi yaitu
interaksi sosial yang dimana dalam interaksi sosial memerlukan 5 faktor yang
harus diaplikasikan agar dapat diterima oleh lingkungan baru tersebut, seperti
sugesti, imitasi, identifikasi, simpati dan empati. Yang dimana 5 faktor ini tidak
melibatkan setiap elemen tang terkadung didalam lingkungan tersebut yaitu
lingkungan kuliah, lingkungan organisasi dan lingkungan masyarakat.
Faktor pertama adalah imitasi, suatu tindakan sosial sesorang untuk
meniru sikap, tindakan, atau tingkah laku. Sebagai contoh Merupakan suatu
tindakan sosial sesorang untuk meniru sikap, tindakan, atau tingkah laku. Dalam
hal ini Monika melakukan beberapa tindakan dengan tujuan untuk membiasakan
diri dengan lingkungan di Untirta. Informan Monika tidak melakukan tahapan
imitasi untuk dapat meniru dan diterima oleh lingkungan barunya tersebut,
Monika lebih memilih untuk menjadi dirinya sendiri dengan mempertahankan
sebagaian identitas Papua yang melekat pada dirinya.
Faktor kedua adalah identifikasi, yang merupakan kecenderungan-
kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi
sama dengan pihak lain (Soekanto, 1990:57). Monika tidak melakukan hal ini
agar dapat diterima dengan lingkungan Untirta, dalam kesehariannya Monika
tetap mempertahankan identitas Papua yang melekat pada dirinya, seperti
116
intonasi, gaya bahasa. Informan Monika lebi memilih untuk menindentidikasi
berdasarkan penilaian yang ada pada dirinya dalam hal ini Monika memilih
menidentifikasi bagaimana cara menagatasi rasa minder yang ada padi dirinya
karena memiliki perbedaan dengan lingkungan barunya dan juga
menidetifikasikan penilaian seram dan tatapan aneh yang ditujukan pada driinya
dengan cara menunjukan secara langsung kapada lingkungan bahwa dirinya tidak
seperti apa yang mereka nilai.
Faktor yang ketiga adalah faktor Empati selain itu alasan lain berasal dari
Berto yang dimana memiliki alasan lain mengapa bersimpati dengan Monika,
karena Berto memilik darah Ambon, dan memiliki warna kulit yang sama dengan
mahasiswa Papua, dengan perbedaan warna kulit tersbeut Berto sering menjadi
bahan becandaan teman-teman dikelasnya, sering dikatain item atau black,
sehingga rasa empati itu muncul. Berbeda dengan lingkungan tempat tinggal yang
dimana rasa empati muncul karena kesamaan pengalaman yaitu sama-sama
perantau. Yang dimana Pak’de memiliki pengalaman yang sama dengan Monika
yang berbeda adalah jika Monika merantau demi pendidikan berbeda dengan
Pak’de yang dimana beliau merantau karena mencari pekerjaan.
Faktor ke empat adalah Sugesti yang dimana faktor ini berlansung apabila
seseorang memberi suatu pandangan atau suaru sikap yang berasal dari dirinya
yang kemudian diterima oleh pihak lain dan juga sebaliknya (Soekanto, 1990:57).
Seperti yang ditemukan dilapangan ditemukan bahwa Monika mengsugetikan
dirinya pribadi agar lebih terbuka dengan lingkungan di Untirta, menerima dalam
artian mulai bisa mengerti, mengenal, dan terbiasa dengan kebiasaan dan budaya
117
yang berlaku di lingkungan di Untirta, karena dengan melakukan ini Monika
mampu dampak dari culture shock. Selain sugesti dari diri sendiri, adanya sugesti
dari lingkungan kuliah dan masyarakat kepada Monika agar lebih mengenal
lingkungan, kebudayaan yang berbeda dengan daerah asal Monika. Faktor sugesti
tersebut banyak diaplikasikan informan Monika agar lebih terbuka dengan
kebiasaan yang berlaku di lingkungan Untirta.
Faktor kelima adalah Simpati yang dimana faktor ini adalah sutau proses
dimana seorang merasa tertarik pada pihak lain, di dalam proses ini perasaan
memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati
adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya.
Proses simpati ini tidak diaplikasikan oleh lingkungan Untirta kepada informan
Monika, yang meliputi dari lingkungan kelas, lingkungan organisasi dan
lingkungan tempat tinggal. seperti yang dijelaskan oleh Rani dan Heri yang
dimana mereka merasa mereka perlu memahami Monika dengan alasan Monika
berbeda dengan teman-teman yang lain.
Dalam interaksi sosial, terdapat dua proses yang berpengaruh dalam
membantu proses interaksi sosial, yaitu asosiatif dan disosiatif. Yang
dimanaproses Asosiatif ini adalah sebuah proses yang terjadi saling pengertian
dan kerja sama timbal balik antara orang per orang atau kelompok satu dengan
orang atau kelompok lain, dimana proses ini menghasillkan pencapaian tujuan-
tujuan bersama, dalam penelitian ini ditemukan bahwa mahasiswa Afirmamsi
banyak menggunakan Asosiatif dalam hal dinamika berinteraksi, seperti penilaian
bahwa mahasiswa Afirmasi tidak berkompeten, penilaian mahasiswa Afirmasi
118
seram dan tatapan aneh adalah bentuk kesepakatan yang dibentuk oleh semua
pihak yang menjadi elemen dalam interaksi tersebut, begitu juga dengan dinamika
bahasa, seperti gaya bahasa sombong, dinamika bahasa gaul yang dimana dalam
dinamika ini ditemukan adanya kesepakatan bersama untuk saling mengerti satu
sama lain. begitu juga dengan dinamika Budaya yang dimana dinamika
berpakaian, dan penilaian rasa sopan santun melakukan taapan Asosiatif yang
sama.
Ada beberapa hal yang dimana proses berlangsung adalah proses
disosiatif, yang dimana proses disosiatif dilakukan individu berlandaskan proses
perlawanan (oposisi) dalam hal ini oposisis\ yang dimaksud peneliti adalah dalam
cara pengantisipasian masalah seperti hasil penelitian dimana informan
menggunakan proses disosiatif dalam menyelesaikan masalahnya yaitu Minder,
terbawa logat Papua, pengunaan bahasa gaul yang menurut informan Monika hal
ini lebih efektif.
4.5.1 Interaksi Sosial ( Gillin dan Gillin )
1. Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi terhadap lingkungan Untirta
4.9 Tabel Klasifikasi Dinamika Interaksi Gillin dan Gillin
Dinamika
Interaksi
Proses Asosiatif Monika Kabangho
Sugesti Imit
asi
Indentifikasi Simp
ati
Empati
Minder - - - - -
Tidak
Berkompet
1. Saya menawarkan diri saya
untuk mengerjakan tugas
119
en kelompok tersebut kak,tapi
saya mengerjakan tugas
tersebut tidak sendiri, pasti
saya ditemenin sama salah satu
anggota kelompok saya kak.
biar tugasnya selesai dengan
cepat.
2. saya memberanikan diri saja
kak, karena wajar kalau kita
salah toh ketika sedang
presentasi didepan kelas.
Penilaian
Seram dan
tatapan
Aneh
- - Saya menanyakan ke
mereka, kenapa dia
menatap saya terus,
apakah ada yang salah
dengan saya atau ada
yang aneh dengan
saya, setelah itu saya
akan meberitahukan ia
kalau orang Papua itu
memang seperti ini,
jadi tidak perlu kaget
sampai menatap
- -
120
seperti itu.
2. Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi terhadap lingkungan Untirta
4.10 Tabel Klasifikasi Dinamika Interaksi Gillin dan Gillin
Dinamika
Bahasa
Proses Asosiatif Monika Kabangho
Sugesti Imita
si
Indenti
fikasi
Simp
ati
Empati
Gaya bahasa
sombong
“Saya menyesuaikan untuk
mengerti saja kakak, karena
kalau saya ngobrol gitu dengan
teman-teman yang lain saya
menggunakan Bahasa
Indonesia yang baku kakak.
- - - -
Terbawa
logat Papua
- - - - “ Setiap kali saya
keceplosan ketika
sedang mengobrol
dengan teman-
teman
dilingkungan
Untirta, saya
biasanya
menejelaskan ke
mereka langsung
121
apa arti dari
kalimat tersebut.
Sehingga meraka
dapat mengerti
apa maksud dari
pesan yang
sampaikan itu
Bahasa Gaul “Karena tidak mengerti jadi
saya lebih baik untuk tidak
menggunakan tetapi saya
mencoba untuk mengerti saja
kak”.
- - -
3. Dinamika Interaksi Mahasiswa Afirmasi terhadap lingkungan Untirta
4.11 Tabel Klasifikasi Dinamika Interaksi Gillin dan Gillin
Dinamika
Budaya
Proses Asosiatif Monika Kabangho
Sugesti Imita
si
Indenti
fikasi
Simp
ati
Empati
Makanan “Makanya selama 6 bulan
itu kadang saya lebih sering
makan lauk saja kakak, tapi
untuk sekarang saya sudah
- - - -
122
terbiasa untuk makan nasi
kak. karena mau gak mau
harus dipaksakan kak.
Berpakaian “karena itu keharusan untuk
jurusan saya pakai rok, jadi
saya mau tidak mau harus
mengikuti dan saya makin
terbiasa dengan itu kak
sekarang”.
- - -
Penilaian
lingkungan
kurang sopan
“Paling saya menegur saja,
karena saya sudah pernah
menegur mereka. Jadi
untuk sekarang saya sudah
biasa saja kak, enggak
memperdulikan itu. Saya
fokus saja dengan kuliah.
Tapi kalau berisik ketika
sedang presentasi pasti saya
menegur mereka
- - -
123
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa dalam proses dinamika interaksi,
Mahasiswa Afirmasi banyak menggunakan Faktor Asosiatif dalam Interaksi untuk
memperkecil dampak culture shock yang dialami selama berada dilingkungan
Untirta, selain interaksi sosial informan Monika juga menggunakan cara adaptasi
Selain membangun interaksi sosial informan Monika melakukan 2 dari antara 3
adaptasi akomodasi yaitu, konvergensi dan disvergensi. Yang dimana konvergensi
atau melebur pandangan merupakan strategi dimana individu mampu beradaptasi
terhadap prilaku komunikatif satu sama lain (Turner dan Richard West,
2008:222).
Begitu juga yang dilakukan Monika dalam proses konvergensi dengan
cara meleburkan pandangannya terhadap hambatan yang muncul karena adanya
perbedaan budaya tersebut seperti penilaian bahwa mahasiswa Afirmasi tidak
berkompeten, penilaian seram dan aneh, gaya bahasa yang sombong, perbedaan
makanan pokok, kebiasaan dalalm berpakaian dan penilaian lingkungan
perkuliahan yang kurang sopan santun dapat diatasi informan Monika dnegan cara
konvergensi. Proses konvergensi ini tidak berlangsung secara tiba-tiba tetapi ada
unsur lain didalamnya yang dimana dalam penelitian kali ini unsur sugesti dan
identifikasi.
Cara adaptasi kedua adalah disvergensi. Yang menunjukkan tidak adanya
usaha untuk menujukkan persamaan para pembicara, hanya saja disvergensi
bukan berarti tidak ada kesepakatan yang isepakati oleh kedua belah pihak, seperti
pada temuan permasalahan informan Monika, dalam menangani rasa minder
informan Monika lebih memilh untuk diam berbeda dengan cara yang biasa orang
124
lain lakukan untuk menghilangkan rasa mindernya, hal ini efektif menurut
informan Monika, terbawa logat Papua yang dimana informan Monika tidak
masalah baginya untuk mempertahankan logat Papua tersebut. Begitu juga dengan
bahasa gaul yang dimana Monika menerima bahasa teresebut tapi tidak
menggunakannya hal ini bertentangan tapi hal ini berhasil disepakati oleh semua
pihak seperti Organisasi, lingkungan kuliah dan lingkungan masyarakat.
Apa yang dilakukan oleh mahasiswa Afirmasi telah sesuai dengan tujuan
komunikasi sebagai mana mestinya yaitu untuk menyampaikan informasi dan cara
infirmasi dari manusia ke manusia lainya, dari individu ke kelompok untuk tujuan
agar apa yang ingin mereka sampaikan dan apa yang mereka butuhkan dapat
terpenuhi sesuai dengan apa yang diharapkan. Menurut Burhan Bungin yang
dimana komunikasi memiliki tujuan, yaitu:
5. Perubahan Sosial, memberikan berbagai informasi kepada masyarakat
dengan tujuan akhirnya supaya masyarakat mau mendukung dan ikut serta
terhadap tujuan informasi itu disampaikan.
6. Perubahan Sikap, kegiatan memberikan berbagai informasi pada
masyarakat dengan tujuan supaya masyarakat mau mengubah pendapat
dan persepsinya terhadap tujuan informasi itu disampaikan.
7. Perubahan Pendapat, memberikan berbagai informasi kepada masyarakat
dengan tujuan akhirnya supaya masyarakat mau mengubah pendapat dan
persepsinya terhadap tujuan informasi itu disampaikan.
125
8. Perubahan Prilaku, kegiatan yang bertujuan memberikan berbagai
informasi pada masyarakat dengan tujuan supaya masyarakat akan
berubah prilakunya (Burhan Bungin, 2008: 35).
Dan dalam hal ini informan Monika merasa berhasil mengatasi perbedaan
interaksi yang berasal dari lingkungan baru yang tidak diketahui sebelumnya.
Efek divergensi yang dialami Monika karena adanya pertentangan akan
kebudayaa dan kebiasaan yang melekat di Untirta mampu diatasi informan
Monika dengan memadukan antara interkasi sosial dan 2 tahapan akomodasi
komunikasi yaitu konvergensi dan divergensi.
126
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasildan pembahasan mengenai “Dinamika Interaksi
Mahasiswa Afirmasi Dalam Menghadapi Culture Shock di Untirta”, maka penulis
dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses Imitasi yang menjadi salah satu faktor dalam interaksi sosial yang
seperti yang diungkapkan oleh Gillin dan Gillin tidak diterapkan oleh
Mahasiswa Afirmasi yang kuliah ke Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.hal ini didasarkan Informan masih mempertahankan identitas
Papuanya dan masih menganggap bahwa kaidah-kaidah dan nilai-nilai
yang berlaku itu masih berdasarkan kaidah-kaidah yang dianggap
informan Monika baik dan tidak masalah jika diterapkan dilingkungan
Untirta, oleh sebab itu menyimpulkan bahwa informan Monika tidak
menerapkan Proses imitasi agar dapat berinteraksi dan diterima oleh
lingkungan baru yaitu lingkungan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Proses Identifikasi yang adalah salah satu faktor interaksi sosial dengan
tujuan menjalin interaksi sosial yang baik dan diterima dengan lingkungan
yang baru, dan dari keseluruhan pengelompokan dinamika interaksi yang
dialami Monika. Peneliti menemukan salah satu proses identifikasi yang
dilakukan Monika untuk dapat mengembalikan penilaian bahwa Informan
Monika tidak seperti penilaian atau persepsi yang ada dibenak mahasiswa
127
lainya yang identik mendefenisikan bahwa mahasiswa Papua itu serem
dan tidak perlu kaget ketika melihat mahasiswa Papua dilingkungan
kampus. Monika melakukan identifikasi tersebut berdasarkan kebiasaan
dan latarbelakang yang melekat pada dirinya. Dan ketikat Monika berhasil
menunjukan bahwa persepsi akan dirinya itu salah, Informan Monika
secara tidak langsung sudah melakukan adaptasi dengan proses
Konvergensi yang dimana Monika mengkonvergensikan penilaian yang
ada pada dirinya.
3. Proses Empati ini berasal dari lingkungan yang dominan yang dimana
adanya toleransi akan kondisi pendatang dilingkungan tersebut, dan dari
penelitian ini lingkungan Organisasi, lingkungan Masyarakat, dan
Lingkungan Kelas mengempati kebiasan Monika ketika sedang
berinteraksi dengan menggunakan logat Papua, hal ini dilatar belakangi
oleh tolerenasi akan sulitnya melepas kebaisaan yang melekat pada diri
mahasiswa Afirmasi tersebut.
4. Proses Sugesti yang adalah salah satu faktor interaksi sosial denagn tujuan
untuk menjalin interaksi sosial yang baik dan mampu diterima dengan
lingkungan yang lebih dominan, faktor sugesti yang dirasakan informan
Monika berasal dari dua arah yaitu dari dalam dirinya sendiri dan dari luar.
Hal in dibuktikan dengan proses pengadaptasian Monika akan penilaian
bahawa mahasiswa Papua tidak berkompeten, Gaya bahasa yang sombong,
Bahasa gaul, Makanan, cara berpakaian dan penilaian yang diberikakn
informan Monika kepada lingkungan kuliah yang mengatakan kurang
128
sopan santun. Sugesti ini dilakukan dan diberikan informan Monika untuk
dapat membiasakan diri dengan konsidi yang ada dilingkungan Untirta.
Hal ini sangat berkaitan apabila Informan sulit mengsugertikan dirinya dan
cenderung tertutup akan sugesti dari luar informan Monika akan
mengalami Efek culture shock yang lam dan cenderung mendapatkan
penolakan dengan lingkungan barunya.
5. Proses Simpati yang adalah salah satu faktor interaksi sosial dengan
tujuan untuk menjalin interaksi sosial yang baik dan mampu diterima
dengan lingkungan yang lebih dominan, dalam interaksi yang dilakukan
Informan Monika dilingkungan Untirta ataupun sebaliknya tidak
ditemukan adanya diberlakukan faktor tersebut. Informan Monika merasa
dirinya tidak tertarik akan pihak lain, hal ini disebabkan Monika masih
mempertahankan kebudayaan yang sudah menjadi identitas dirinya, hal ini
yang menjadi penyebab sulit masuknya proses simpati ini untuk proses
interaksi informan Monika.
5.2 Saran
Peneliti mengemukakan beberapa saran yang berkaitan dengan dinamika
interaksi mahasiswa afirmasi dalam menghadapi culture shock di Untirta adalah
sebagai berikut:
1. Saran Teoritis
Bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian yang memiliki
karakteristik yang sama, penulis menyarankan untuk melakukan observasi secara
129
mendalam sekaligus kajian literatur yang berfolus pada penelitian sebelumnya
mengingat buku teks yang khusus membawahi dinamika interaksi dalam ranah
komunikasi sangat jarang ditemukan.
2. Saran Praktisi
Mahasiswa Afirmasi ataupun perantau untuk lebih berani membuka diri
dengan kebiasaan dan budaya yang berlaku dilingkungan barunya selain
itu para perantau jangan karena berada didaerah baru kita merasa rendah
diri tanpa mencoba untuk mengenal kebudayaa, kebiasaan yang berlaku
didaerah tersebut.
Mahasiswa perantau asal Papua diharapkan tidak terlalu memiliki
pandangan yang negatif akan kebiasaan yang berbeda dengan identitas
dirinya, hal ini bertujuan untuk mempermudah mereka dalam beradaptasi.
Bisa dijadikan referensi untuk semua mahasiswa perantau dalam tahap
membangun interaksi sosial yang baik dengan lingkungan yang baru
Mahasiswa yang berjumlah lebih dominan haryus menerima perbedaan
loagt, kebiasaan, yang ada pada identitas mahasiswa Afirmasi
dilingkungan Untirta, karena penilaian yang ada dibenak kita ketika kita
melihat mahasiswa Afirmasi itu seram, aneh, belum tentu benar.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad, 2004. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik.
Bandung:
Bumi Aksara
Bungin, Burhan, 2006. Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Elly M. Setiadi, dkk. 2006 . Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana
Fuad, Anis dan Nugroho, Kandung S, 2013. Panduan Praktis Penelitian
Kualitatif.
Yogyakarta : Graha Ilmu
Gerungan, W.A, 1996. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco
Koentjaranigrat, 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. PT. Rineka Cipta, Jakarta
Liliweri, Alo, 2009 Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Littlejohn, Stephen W. Dan Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi, edisi 9.
Jakarta:
Penerbit Salemba. H
Moleong, Lexy J, 2006. Ilmu Komunikasi teori & praktik. Yogyakarta: Graha
Ilmu
Mulyana, Deddy & Rakhmat, Jalaludin, 2003. Komunikasi Antar budaya.
Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya
Mulyana, Deddy, 2008. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung. PT.Remaja
Rosdakarya
Noeng Muhadjir, 2002. Metode Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Reka
Sarasin
Rakhmat, Jalaludin, 2005. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT: Remaja
Rosdakarya
Satori, Djam’an, Komariah Aan, 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung:
Alfabeta
Soekanto, Soerjono, 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
Sugiyono, 2005. Memahami Penelitan Kualitatif. Bandung: Alfabet
West, Richard dan Turner, Lynn H, 2008. PengantarTeori Komunikasi: Analisis
dan Aplikasi. Jakarta: PT. Salemba Humanika
Sumber dari Internet
(www.kompasiana.com/dwisriutami/penggunaan-bahasa-slang-di-kalangan-
remaja_56811919d99373a82a7e9dae), pada tanggal 28 November, pukul 11.45
WIB
(http://bantenologi.0rg/index.php/artikel/83-potret-budaya-banten-dulu-kini-dan-
nanti), pada tanggal 25 desember, pukul 21.27 WIB
(http://www.jurnas.com/news/116711/Affirmative-Action-Jalan-Pintas-
Pendidikan-Papua-2017/1/Sosial-Budaya/Pendidikan), pada tanggal 8 Agustus,
pukul 14.35 WIB
LAMPIRAN
TRANSKRIP WAWANCARA
MONIKA KABKABANGHO
Nama Lengkap : Monika Kabkabangho
TTL : Getentiri, 09 April 1995
Asal Daerah : Getentiri
Suku : Jair
Agama : Katolik
Usia : 22 Tahun
No. Telpon : 085244359894
1. Apakah anda lahir dan besar di Papua ?
Ya
2. Apakah anda pernah tinggal di daerah lain, selain di Papua sebelumnya?
Tidak
3. Apakah anda pernah berkunjung ke kota Serang sebelumnya?
Tidak
4. Apa yang mendorong anda melakukan perantauan ke kota Serang-Banten dan
berkuliah di Untirta?
Pendidikan kak, Afirmasi ini kak yang menentukan kita berkuliah dimana kak.
karena waktu diawal tes tulis, aku milihnya di Papua kak, bukan diluar Papua. Tapi
setelah pengumuman aku lulusnya di Untirta kak.
5. Apakah ada alasan karena bosan dengan Papua ?
Tidak kakak.
6. Dimana anda tinggal saat ini?
Di Bumi Mutiara Serang (BMS) block O.64 kakak.
7. Bagaimana perbedaan budaya yang ada dilingkungan asal anda (Papua) dengan
budaya yang ada di Serang?
Kan kalau di serang ini, bahasanya beda dengan bahasa yang biasa digunakan di
tempat saya kakak, dan kalau saya sendiri mau sesuaikan itu sulit kakak sampai
sekarang ini,
8. Terus apalagi yang berbeda ?
Makanannya juga beda kakak, kalau di Papua kan ada makan pokoknya. Salah
satunya sagu kakak, di daerah saya litu enggak kenal nasi kak, Cuma papeda, ubi dan
jagung kakak.
9. Berarti selama di serang ini, Monik masih merasa sulit untuk menerima makanan
pokok (nasi) disini?
Iya kakak, sampai 6 bulan itu saya sulit makan nasi kakak. Saya kalau makan nasi
diawal-awal itu langsung saya muntah kakak, kalau saya makan mie instant juga saya
langsung mual-mual kakak. Makanya selama 6 bulan itu kadang saya lebih sering
makan lauk saja kakak, kadang saya beli singkong kakak, nitip sama Pak’de kakak.
10. Dalam proses Monik menerima nasi sebagai makanan pokok, dan merubah diri untuk
terbiasa dengan makan nasi bagaimana?
Itu pertama, waktu Latihan Kepemimpinan (LK) itu kak, ada komdis yang suruh saya
untuk sarapan pagi, karena itu saya coba makan saya mual kakak, terus saya bilang
kalau saya enggak bisa makan nasi. Karena itu panitia LK itu bilang, yaudah kita beli
singkong aja ke bapak penjaga villa.
11 Bagaimana dengan bahasa? Waktu Monik datang kesini bagaimana cara Monik
menerima perbedaan bahasa itu dan bagaimana Monik beradaptasi dengan budaya
itu?
Saya menyesuaikan untuk mengerti saja kakak, karena kalau saya ngobrol gitu dengan
teman-teman yang lain saya menggunakan Bahasa Indonesia yang baku kakak.
Karena menurut saya gaya bahasa “Lo-Gue” itu terkesan sombong kak, belum lagi
dengan cara bercanda tema-teman dikelas kalau lagi mengobrol, kalau saya dengar itu
bercandaanya terkesan kasar kak, padahal meurut mereka itu bercandaan saja, tapi di
Papua itu kasar kak dan tidak boleh.
12. Bagaimana dengan kondisi lingkungan perkuliahan Monik ?
Kalau untuk kebersihan kah kak? kalau untuk kebersihannya kelas Monik itu tidak
bersih kak. banyak teman-teman saya yang kalau jajan itu buang sampahnya di dalam
kelas sembarangan kak, sering juga teman-teman saya dikelas ribut selama
perkuliahan. saya pernah tegur, tapi mereka tetap saja berisik kak, tidak menghargai
teman yang sedang presentasi didepan.
13. Apakah waktu diawal Monik sampai ke Serang Monik sudah mengerti bahasa slang ?
Tidak kakak, sama sekali saya enggak mengerti. Tapi kalau di tivi-tivi itu saya cuma
mengerti saja kakak. Kalau untuk dikelas juga kakak, saya kurang mengerti apa arti
beberapa kata yang mereka ucapkan, tapi kalau dengan dosen saya mengerti kakak.
14. Apa yang membuat Monik merasa sulit untuk mengerti ucapan dari teman-teman
Monik?
Kalau menurut saya mereka ngomongnya terlalu cepat begitu kakak, jadi saya sedikit
sulit untuk mengerti dan mencerna. Makanya sering saya mengulang kembali apa
yang mereka ucapkan.
15. Bagaimana perasaan anda pada saat berkuliah di Untirta?
Diawal itu saya merasa senang, karena lulus di Universitas negeri begitu. Tapi waktu
saya datang kesini, selama seminggu saya merasa kesal kakak. Karena letak
kampusnya yang sempit, terus matahari panas, banyak debu bis kakak. Jadi saya
merasa kecewa kakak. Terus gedung kuliah saya dipindahkan ke Ciwaru kakak, saya
merasa terlalu banyak pengeluaran saya kakak.
16. Barapa lama anda mulia terbiasa dengan kondisi kampus di Untirta ini?
Ada hampir 2 minggu saya merasa malas kakak untuk kuliah.
17. Apakah ada hal-hal yang membuat anda merasa tidak cocok untuk tinggal di kota
Serang ?
Pertama kesini saya merasa enggak cocok karena kepanasan, debu, belum lagi bahasa
saya sulit mengerti, karena kalau di Papua walaupun panas tapi tidak sepanas di
Untirta ini kakak, belum lagi udaranya masih asri kak bersih, beda dengan di Untirta
ini kakak. Makanan juga beda, terus cara-cara orang disini beda-beda. Itu yang
membuat saya tidak cocok. Sama ini kakak, saya sering diliatin kakak, seperti merasa
aneh dengan saya. Padahal enggak ada yang salah dengan saya kakak.
18. Bagaimana upaya anda untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan di Untirta ?
Itu, apaya kak. mungkin saya masuk ke GMKI ini salah satu cara untuk saya
beradaptasi kak.
19. Adalagi upaya lain untuk beradaptasi ?
Saya juga sering ikut kumpul dengan teman-teman di PKn kakak untuk diskusi dan
ngumpul-ngumpul dengan mereka kak diwaktu kosong kak.
20. Apakah Monik cenderung diam ketika mengobrol dengan teman di kelas atau di
organisasi ?
Iya, kakak
21. Kenapa itu alasannya Monik ?
Karena saya malu kakak, saya pengen bertanya begitu kakak, tapi saya merasa malu,
takut salah juga kakak. Saya pernah bertanya kakak, terus saya salah ngomong dan
keceplosan pakai bahasa Papua, terus saya di ketawain kakak.
22. Bagaimana dengan lingkungan tempat tinggal? Apakah anda bergaul dengan
mahasiswa atau masyarakat yang tinggal disekitar kosan anda?
Tidak kak, hanya dengan Pak De atau enggak Bu de saja kak.
23. Apakah Monik pernah di ketawain dengan teman-teman kelas ketika bertanya atau
menjawab pertanyaan dosen ?
Pernah kakak, waktu saya presentasi. Waktu saya menjawab pertanyaan teman, tapi
saya menjawabnya salah kakak, terus saya diketawain dengan teman dikelas saya.
Padahal enggak harus diketawain, begitu kakak. Jadi itu yang buat saya minder.
24. Bagaiamana dengan pembagian tugas kelompok dengan teman-teman?
Saya sering dapat tugas yang gampang-gampang kak, tidak seperti teman-teman yang
lain biasanya mereka mencari datanya di internet, tapi saya selalu dapat tugas yang
gampang, seperti bikin PPT nya saja, dan saya juga pernah Cuma disuruh merapikan
penulisan biar rapih saja kak.
25. Monik kenapa menawarkan diri untuk ikut dalam kegiatan Voli FKIP? Apakah ini
salah satu cara Monik untuk beradaptasi dan lebiih mengenal teman-teman di Untirta?
Tidak kakak, itu Cuma cara saya untuk lebih tau cara bermain Voli saja kakak, karena
saya pernah main voli dulu di Papua kak waktu SD dan SMP, tapi sekedar main saja
kak, enggak sampai mengerti cara bermainnya yang benar.
26. Bagaimana upaya anda untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan di Untirta, karena
adanya perbedaan gaya bahasa dengan gaya bahasa yang biasa anda gunakan di
daerah Papua ?
Di Papua itu menggunakan Bahasa Indonesia baku kak selain bahasa daerah kita
masing-masing, karena setiap desa atau kampung itu kak, bahasanya berbeda. Jadi
kalau disini cara saya beradaptasi itu kak pakai bahasa Indonesia kak, kadang saya
juga sulit buat berinteraksi dengan teman-teman atau lingkungan kak. upaya yang
saya lakukan itu kak, saya sering nanya-nanya kak dengan teman saya, namanya
Panca Nanda kak. Cuma itu yang saya lakukan untuk berinteraksi dengan lingkungan
Untirta kak. pernah Nanda bilang ke saya “Monik jalannya Buru”, saya tidak mengerti
itu kakak, jadi saya tanya ke Nanda, itu artinya apa Nanda, terus saya baru tau kalau
“Buru” itu artinya jalan cepat-cepat.
27. Siapa itu Panca Nanda?
Panca Nanda, dia kakak tingkat saya, yang diawal selalu temanin saya untuk lebih
mengenal kampus dan dia juga bagus mengenalkan budaya dan kebiasaan di Untirta
agar saya lebih terbisa.
28. Apa saja yang tidak anda suka di kehidupan tidak suka dengan kebiasaan di kampus
dan di tempat tinggal saat ini?
Kalau untuk kampus, saya enggak suka karena Panas, debu, saya sering di tatap-tatap
kakak. Kalau untuk tempat tinggal, saya biasa saja kakak. Karena memang saya cuma
sering beriteraksi dengan teman-teman Papua atau tidak dengan Pak’de saja kakak.
29. Berapa lama Monik untuk mengerti dan terbiasa dengan Bahasa gaul yang ada di
Untirta ?
Satu bulan kakak.
30. Saya sudah pernah wawancara teman kelas Monik, ada Hari dan Rani. Mereka bilang
mungkin ada alasan karena Monik berasal dari Papua jadi sedikit diragukan tingkat
pendidikanya,bagaimana menurut Monik benar atau tidak? Dan monik merasa
nyaman tidak?
Iya benar kak, saya merasa tidak nyaman. Karena saya pernah mengalamai itu kak.
waktu presentasi itu kak, saya diketawain dan saya pernah di dengar kalau saya itu
harus diberi pertanyaan yang gampang-gampang begitu kak.
31. Apakah anda pernah berpikir untuk pulang kembali ke Papua pada saat proses
perkuliahan berlangsung karena merasa tidak nyaman tinggal di kota Serang?
Iya Pernah,
32. Kapan itu Monik mengalami itu?
Waktu di semester 1 kakak, sering saya telpon orang tua saya di Papua untuk pulang.
Tapi orangtua saya bilang “jangan dulu pulang, selesai kuliah dulu”
33. Sekarang Monik sudah semester 2, apakah sampai sekarang Monik masih mengalami
itu?
Kadang-kadang kakak, kalau saya lagi rindu atau kalau saya merasa sedih karena
capek atau bosan dengan lingkungan kampus kakak.
34. Berapa lama waktu monik untuk melewati perasaan pengen pulang tersebut diwaktu
awal semester 1?
Sampai 3 bulan kakak, seminggu setelah saya berkuliah itu, hampir 3 kali dalam
sebulan telpon orang rumah saya untuk minta pulang atau saya sedih kakak karena
lingkungan di Untirta ini.
35. Apa yang Monik pikirkan untuk mengurangi rasa ingin pulang ke Papua tersebut?
Saya bersabar saja kakak, orangtua saya juga menyakinkan saya. Dan saya juga
terikat sama Afirmasi toh, jadi saya harus bisa betah kak dengan lingkungan ini.
36. Ada alasan lain yang membuat Monik ingin pulang waktu itu?
Karena saya kangen makan Papeda kakak.
37. Kenapa tidak di bawa ke Serang?
Tidak bisa kakak, karena kalau kirim Papeda itu kak Cuma bisa tahan sampai 3
minggu kakak, belum lagi itu kampung saya jauh sekali dari tempat pengiriman
barang, jadi percuma saja kakak.
38. Bagaimana respon masyarakat di lingkungan Untirta dengan keberadaan anda
dilingkungan Untirta?
Pertama-tama mereka kaget pasti kak, tapi selnag beberapa hari mereka sudah terbiasa
dan menerima saya atau kita kak.
39. Apakah Monik pernah merasa oranglain takut dengan adanya Monik diawal
perkuliahan?
Tidak ada, tapi sepertinya mereka kaget saja kak.
40. Apa saja yang anda lakukan untuk mengatasi hal-hal yang anda tidak sukai, seperti
bahasa sehari-hari, attitude, atau cara berinteraksi ?
Mungkin dengan berinteraksi dengan teman-teman kelas itu dengan cara bertanya
kak, ini artinya apa, ini artinya apa. Karena awalnya saya merasa gaya berinteraksi itu
terkesan sombong, jadi saya tidak suka. Tapi dengan cara saya menanyakan artinya
saya jadi mulai terbiasa dan sedikit-sedikit mulai menerima itu kak. mungkin sama
juga dengan bahasa, attitude nya kak, saya sering bertanya saja dengan teman saya,
jadi saya bisa memaklumi dan mengenal juga dengan kebiasaan itu.
41. Apa yang anda lakukan ketika berinteraksi dengan mahasiswa non-Papua pada awal
anda datang ke Untirta?
Saya bertanya saja kak, walaupun saya lebih sering diam-diam saja. dan mereka juga
sama kak, diawal perkuliahan juga mereka sering bertanya di Papua itu apa saja,
bagaimana budaya di Papua dan banyak lagi kak. dan saya sering ikut-ikut mereka
saja kak kalau lagi ada matakuliah kosong. Kalau mengobrol dengan mereka saya
menggunakan bahasa indonesia yang baku kak kalau ngobrol dengan mereka.
42. kalau untuk attitude di kelas Monik, apa yang monik tidak suka ?
Ini kak, mereka itu sering sekali ribut-ribut begitu kak. kalau ada kelompok lain yang
sedang presentasi, ada temen lain yang ribut atau mengobrol kak, itu saya tidak suka
kak, pernah saya tegur, tapi mereka tetap berisik. Sama lingkungan kelas yang kotor
kak.
43. Apakah sampai sekarang anda mempertahankan ke Papua-an anda ?
Iya kak, masih.
44. Kesulitan apa saja yang anda alami ketika berinteraksi dengan mahasiswa non-Papua?
Seperti, saya diawal itu sulit mengerti bahasanya. Setelah saya mengerti saya sulit
untuk bertanya atau mengobrol sengan oranglain karena saya “takut salah” bang,
karena pengalaman saya itu yang dikelas dan saya diketawain itu saya jadi malu untuk
ngobrol dengan oranglain kak lebih sering diam saja saya kak. Gaya bahasa juga saya
tidak menegerti kak, belum lagi menurut saya teman-teman non Papua ini terlalu
cepat ngomongnya kak jadi itu kesulitan saya untuk berinteraksi juga dengan teman-
teman yang lain.
45. Apakah pernah ada kesalahpahaman atau miskomunikasi ketika berinteraksi dengan
mahasiswa non-Papua? Jika iya, contohnya seperti apa?
Pernah, dan sering sekali kak. Yang tadi kak, saya salah paham dengan kata “Buru”,
saya juga pernah bilang “saya sering-sering makan nasi” terus teman kira kalau
“sering-sering” itu artinya terbisa, padahal di Papua itu “sering-sering” itu artinya
“jarang” kalau “terus-terus” itu baru artinya “sudah sering”.
46. Berapa lama anda sering mengalami miskomunikasi dengan teman-teman perkuliahan
anda?
Sering sekali kak, sampai sekarang.
47. Bagaiamana respon anda ketika anda melihat dan mendengar teman anda meniru gaya
mengobrol, logat anda?
Saya merasa tidak suka kak, karena seperti tidak cocok saja kak. saya pernah bilang
“kenapa, kamu meniru saya”.
48. Bagaimana respon dan sikap mahasiswa non-Papua ketika pertama kali berinteraksi
denagn anda?
Tetap kaget si kak pengalaman mereka di awal ketika melihat saya. Mereka sering
bertanya dengan saya mengenai Papua. Udah itu saja kak, paling mereka juga sering
nanya, apakah saya mengerti mengenai materi yang sampaikan dosen didepan. Begitu
kak.
49. Perasaan apa yang muncul ketika anda mengetahui bahwa anda cukup berbeda
dengan mahasiswa yang lain?
Saya minder kak, makanya saya sering diam-diam saja.
50. Apakah ada komunitas atau perkumpulan mahasiswa Papua? Jika iya, apakah anda
turut bergabung di dalamnya?
Kalau komunitas tidak ada, tapi kalau anak-anak Afirmasi itu ada kak, dan saya sering
ikut kak.
51. Bagaimana perubahan yang anda alami hingga saat ini setelah anda tinggal di kota
Serang?
Pertama dari makanan kak, saya sudah mulai terbiasa dengan makan nasi, walaupun
kadang sering mual. Saya juga sudah mulai tidak berprasangka kalau bahasa gaul
yang biasa digunakan di kampus itu tidak terkesan sombong seperti di awal saya
datang, saya juga pernah keceplosan menggunakan bahasa Papua waktu lagi ngobrol,
saya pernah ditanya kak sama teman, “kalau saya kekampus naik apa“ saya jawab
kalau saya naik “taksi” terus mereka tanya begitu, diserang enggak ada taksi, saya
langsung bilang kalau di Papua itu anggkot sebutannya itu “taksi”. Sama ini kak, saya
di Papua itu tidak terbiasa dengan rok atau celana bahan begitu, tapi karena itu
keharusan untuk jurusan saya pakai rok, jadi saya mau tidak mau harus mengikuti dan
saya makin terbiasa dengan itu kak sekarang. Biasanya kita pakai celana pendek atau
jeans saja kakak
52. Bagaimana cara anda menyesuaikan diri dengan lingkungan Untirta ?
Saya lebih sering ikut-ikut saja si kak, kalau tidak diajak ya paling saya diam-diam
saja. kalau tidak ada yang ngajak saya ngobrol, ya saya juga diam-diam saja kak. dan
saya mulai membiasakan diri dengan kebiasaan disini kak tapi saya tidak
meninggalkan ke Papuan saya kak.
53. Monik kalau di kelas sering bertanya ke dosen atau keteaman yang ada disebelah
Monik ?
Lebih sering ke teman kak, kalau ke dosen saya takut salah kak, dan saya juga minder
kak.
54. Apakah selama perkuliahan Monika dapat mengerti materi tersebut langsung dosen
atau lebih sering mengertinya dari temen?
Lebih sering dari teman kak.
55. Bagaimana cara anda untuk menekan perasaan culture shock hingga saat ini?
Saya sabar-sabar saja kak, kadang saya juga sering ngumpul sama anak-anak Papua
yang ada dikosan kak.
56. Culture shock seperti apa yang anda alami?
Di 2 minggu pertama itu saya sering nangis kak, sakit demam, pengen pulang begitu
kak, saya juga sering-sering nelpon bapak di Papua ka
57. Berapa lama waktu yang anda perlukan untuk menyesuaikan diri ketika anda pertama
kali merantau ke kota Serang ?
Hampir satu semester kak,
58. Kegiatan apa saja yang anda lakukan selama tinggal di Serang/berkuliah di Untrirta?
Apakah anda ikut bergabung ke dalam organisasi internal ataupun eksterna? Jika iya,
memgapa alasannya ?
Organisasi saya ikut GMKI, dan juga Voli kak. alasannya kenapa GMKI karena saya
katolik dan saya pengen punya teman yang seagama saja kak, kalau untuk voli karena
saya mau lebih mengenal teknik dan cara bermain Voli aja kak.
59. Apakah bergabung dalam organisasi tertentu berdampak pada cara anda untuk
mengenal atau mampu untuk berinteraksi dengan mahasiswa non-Papua sehingga
mampu menekan perasaan culture shock yang anda alami?
Ya, berpengaruh kak.
60. Bagaimana sikap dan kepribadian anda setelah melakukan perantauan? Apakah anda
semakin tertutup atau semakin terbuka dengan lingkungan Untirta/kota Serang?
Saya semakin mengenal budaya diluar Papua kak, dan saya tidak mengartikan setiap
logat atau bahasa yang digunakan oleh mahasiswa itu terkesan sombong lagi. Kalau
untuk pribadi saya, saya semakin tertutup kak, karena saya punya pengelaman itu kak,
diketwain waktu saya bertanya dan menjawab pertanyaan teman.
61. Selama anda berkuliah hingga saat ini sudah berapa kali anda pulang ke Papua ?
Baru satu kali kak.
62. Berapa lama waktu libur yang anda habiskan selama pulnag ke Papua?
Hampir 3 bulan kak, karena saya betah di Papua kan, selain itu juga karena terkendala
di penerbangan juga kak, karena waktu itu lagi angin kencang jadi penerbangan
ditunda kak selama seminggu.
63. Apakah ada dorongan dari diri anda sendiri untuk memulai interaksi dengan oranglain
selain ke mahasiswa Papua lainnya?
Ada kak, pernah sebelum saya di ketwain itu kak saya mulai sedikit minder jadi malu
untuk ngobrol dengan teman-teman yang lain. Kecuali dengan teman yang sudah
dekat seperti Heri dan Rani.
64. Apakah ada ada dorongan oranglain atau figure yang memotivasi anda untuk
berinteraksi dengan teman-teman yang lain?
Kalau di jurusan ada kak, kakak tingkat saya namanya kak Tina angkatan 2016.
65. Bagaimana bisa kenal orang tersebut ?
Awal saya datang ke Untirta itu kak, saya dipanggil sama kak Tina jadi kita sering
mengobrol, kak Tina juga sering kenalkan saya dengan Untirta dan kebiasaanya,
sering juga ajak saya kekosannya.
66. Jumlah mahasiswa Afirmasi di Untirta hanya 17 orang dari 2 angkatan, apakah karena
jumlah yang minoritas tersbut berdampak kepada anda sehingga anda semakin minder
dengan lingkungan diri di Untirta? Dan anda semakin menutup diri dengan
kebudayaan di Untirta atau lingkungan kelas?
Iya kak, benar itu berdampak sekali untuk saya.
TRANSKRIP WAWANCARA
LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL
Nama Lengkap : Anton Suhartono
TTL : Surabaya, 23 Juni 1958
Asal Daerah : Surabaya
Suku : Jawa
Agama : Islam
Usia : 60 Tahun
No. Telpon : 082113324780
1. Apakah anda mengetahui di lngkungan anda terdapat beberapa mahasiswa yang
berasal dari Papua?
Ada,
2. Waktu pertama kali berinteraksi dengan beberapa mahasiswa Afirmasi yang berasal
dari Papua, pasti ada beberapa perbedaan yang tampak seperti bahasa, logat,
kebiasaan. Bagaimana cara anda menerima perbedaan tersebut?
Ya, pertama sekali saya beradaptasi sama mereka. Pertamakan dia dateng ke sini.
Otomatis bahasanya berbeda dengan bahasa yang biasa digunakan dilingkungan ini
(Serang). Nah, karena saya orang jawa, dan mereka orang Papua sudah pasti ada
perbedaanya, otomatis pertama sekali waktu tau mereka datang ke sini (serang), saya
yang mengikuti gaya bahasa mereka. Selain itu saya juga sering bercanda-canda
dengan mereka. Biasanya cara bercanda saya dengan mereka itu, ya saya mengikuti
gaya berbicara mereka, dan biasanya mereka juga ketawa melihat saya mengikuti
gaya bahasa mereka waktu bicara. Kadang juga mereka sering nanya ke saya
bagaimana gaya bahasa dan arti suatu kata, misalnya seperti arti kata “sire”. Karena
saya orang jawa, dan sedikit mengerti beberapa bahasa serang, jadi saya jelaskan ke
mereka apa arti kalimat-kalimat tersebut ke mereka.
3. Bagaimana cara beradaptasi yang anda lakukan pada saat mengetahui di lingkungan
anda terdapat beberapa mahasiswa yang berasal dari Papua?
Ya saya saling menghargai mereka, bagaimana saya sebagai orangtua. Jadi saya
merangkul mereka dan menganggap mereka seperti anak saya. Pertama-tama saya
melakukan pendekatan seperti itu dengan mereka, saya membimbing mereka,
menasehati mereka dan kadang mereka sering curhat ke saya. Itu kan berarti diawal
saya sudah berhasil beradaptasi dengan mereka. Contohnya saya nasehati mereka
“kamu jauh-jauh datang kemari untuk sekolah dan kamu jauh dari orangtua, jadi
jalankan itu dengan baik-baik, jangan sampe bikin kecewa orangtua”. Selain itu juga
hampir setiap sabtu dan minggu, saya dan istri saya mengajak anak-anak Untita untuk
makan gratis di rumah saya tidak setiap sabtu atau minggu ya, tapi pernah. Saya juga
sering di bantu mereka kalau lagi beberes atau bersih-bersih halaman rumah. Mereka
sering nawarin diri ke saya untuk bantu pekerjaan saya. Mungkin ini salah satu bentuk
adaptasi yang saya lakukan atau mereka lakukan untuk diterima di lingkungan ini. Oh
iya, kemaren pernah sala satu anak Papua namanya April, dia dibentak sama
securityyang ada di kosan PI, si April nelpon-nelpon ke nomer Budhe (istri saya)
karena April nelpon budhe sambil nanggis-nanggis jadi saya samperin langsung
tempatnya, terus saya bentak-bentak securitynya karena securitynya itu curigain anak-
anak papua itu yang macem-macem padahal mereka disana Cuma mau kerja
kelompok dengan temennya.
4. Bagaimana dengan mahasiswa Afirmasi tersebut, apakah mereka menerima dan
mengikuti kebiasaan yang berlaku disini?
Wah, mereka senang sekali mengenal dan mengetahui budaya yang berlaku di kota
serang itu sendiri. Karena yang saya lakukan ke mereka itu positif, mungkin itu yang
membuat mereka merasa senang (menerima) dan mengikuti.
5. Sudah hampir satu tahun mereka berada di lingkungan yang berdekatan dengan anda,
contoh seperti apa yang anda lakukan agar menerima perbedaan tersebut?
Seperti yang saya sebutkan tadi, saya lebih sering ngobrol dengan mereka. Karena
saya juga punya warung makan yang berdekatan dengan mereka. Jadi hampir setiap
hari kita ngumpul disini dan ngobrol. Seperti nya itu salah satu bukti konkrit yang
saya lakukan untuk menerima perbedaan tersebut. Saya juga sering mengingatkan
mereka untuk beribadah, kebetulan anak papua yang tinggal didekat rumah saya ini
agamanya Kristen dan Katolik, jadi saya sering mengingatkan mereka untuk
beribadah.
6. Apakah anda mengenyampingkan stereotype yang kerap kali muncul dikepala kita
bahwa orang-orang Papua identik dengan seram dan pemarah?
Ya, mungkin kalau dari luar kita akan menganggap kalau orang papua itu seram dan
galak. Tapi saya tau kalau itu hanya face nya saja. Kalau untuk sifat, tingkah laku,
etika, karakter mereka itu baik-baik sekali. Selama satu setengah taun mereka disini
dan saya mengenal dia. Mereka itu baik-baik. Contohnya seperti teriak-teriak. Hampir
tidak pernah saya mendengar mereka teriak-teriak. Padahal yang kita tahu orang-
orang papua itu intonasi suaranya keras-keras, tapi mereka tidak. Menyakiti atau
menyinggung perasaan orang disini juga tidak pernah.
7. Ada beberapa mahasiswa Afirmasi yang mengalami gegar budaya pada saat mereka
berada di lingkungan Untirta, upaya apa yang coba anda ciptakan untuk memperkecil
efek dari gegar budaya tersebut?
Pertama, saya menjalin komunikasi langsung dengan mereka, biasanya kita ngobrol
diwarung saya ini, memperkenalkan kebiasaan orang-orang disini.
8. Apakah mahasiswa mengikuti logat, gaya berpakaian yang sedang tren di lingkungan
Untirta?
Kalau untuk berpakaian contohnya, itu kan bersifat umum ya. Tidak di daerah asalnya
mereka dan juga disini mereka berpakaian sopan. Tidak pernah berpergian
menggunakan celana pendek atau sejenisnya. Mereka terkesan sopan. Kalau untuk
logat mereka tetap mempertahankan logat kepapuan mereka. Walaupun mereka
mempertahankan logat kepapuannya bukan berarti mereka tidak menerima gaya
bahasa yang berlaku di lingkungan untirta ini. Contohnya mereka sering nanya ke
saya bahasa jawa serangnya “ini” apa atau bahasa serangnya “itu” atau ini artinya apa
kalau diartikan ke bahasa Indonesia.
9. Apakah semua yang anda lakukan ke mahasiswa Papua itu berlandaskan simpati,
karena mereka mereka minoritas di lingkungan Untirta ini?
Ya, saya sama siapapun bersimpati. Tanpa harus dengan mahasiswa Papua ini saja,
bahkan setiap anak rantau yang ada dilingkungan Untirta ini saya pasti bersimpati
dengan mereka. Saya menganggap mereka seperti anak-anak saya, dan mereka juga
baik terhadap saya. Jadi wajar kalau saya bersimpati dengan mereka.
10. Bagaimana cara beradaptasi anda itu, untuk mengenal basic budaya mereka?
Diawalnya, karena mereka sibuk kuliah. Suatu kali saya mengajak mereka jalan-jalan
keliling kota serang. Waktu itu kita naik motor. Tujuannya selain untuk mengenalkan
ke mereka mengenai kota serang dan mereka mengetaui tempat-tempat di kota serang
itu sendiri. Dan selain itu biar saya bisa mengenal mereka juga, jadi saya tidak hanya
mengenalkan kota serang ke mereka. Tapi saya juga mengenal bagaimana budaya
dan kebiasaan mereka di papua.
TRANSKRIP WAWANCARA
LINGKUNGAN KULIAH
Nama Lengkap : Siti Rani Nuraeni
TTL : Serang, 23 Januari 1999
Asal Daerah : Serang.
Suku : Jawa
Agama : Islam
Usia : 19
No. Telpon : 0895330354516
Jurusan : PPKN
1. Sudah Berapa lama Kenal dengan Monica, salah satu mahasiswa Afirmasi?
Dari Semester satu kak, kenalnya. Karena kita kebetulan satu kelas kak.
2. Apakah dari semester satu kalian kontrak mata kuliah yang sama? Dan berapa jumlah
mata kuliah yang kalian kontrak ?
Keseluruhan kak, kalau di semester satu kita kontrak mata kuliah 11 mata kuliah kak,
kalau untuk semester ini kita kontrak 10 mata kuliah kak, dan kita selalu sekelas kak.
3. Bagaimana cara berinteraksi yang dilakukan Monica mahasiswa Afirmasi didalam
kelas ketika mengobrol dalam proses perkuliahan berjalan ?
Ya, mengenai interaksi itu sendiri yang saya rasakan dan saya liat langsung karena
kita sekelas juga, awalnya kita belum secara dekat dengan mereka kak dengan
Monica, bukan Cuma Monica saja kak, karena dikelas kita ada 2 orang mahasiswa
Papua, yang saya liat diawal-awal mereka cenderung menutup diri kak. Sampai di 2
bulan perkuliahan berjalan baru Monica mulai berani untuk berinteraksi dengan kita
atau dengan dosen. Walaupun arus kita (mahasiswa atau dosen) yang duluan memulai
Interaksi tersebut kak.
4. Bagaimana cara kalian memulai interaksi yang dimaksud?
Biasanya kita yang duluan menanyakan kak ke Monica, contohnya. Kalau lagi
dengarin dosen menjelaskan di depan. Biasanya saya menanyakan ke Monica,
“gimana Monic, kamu mengerti gak apa yang dijelaskan?” saya menanyakan ini
hanya untuk memastikan aja kak. Dia beneran paam atau enggak kak. Karena pernah
waktu itu Monic mencatat apa yang ada di slide dosen didepan, tapi ketika di tanya
dosen mengenai apa yang di jelaskan dia bingung menjawabnya kak. Padahal itu ada
di catatan nya kak. Kalau dosen biasanya si, paling dosen menanyakan ke Monic
langsung, apakah dia paham atau tidak, dan menanyakan apakah perlu menjelaskan
lagi agar Monic paham. Karena kak, Monic sedikit sulit untuk membaca dan paham
padanan kalimat yang dijelaskan dosen kak. Intinya kak, kita sering memulai bertanya
ke Monic kak.
5. Ketika kalian memulai untuk berinteraksi dengan Monica, bagaimana respon nya?
Kalau kita nanya ke Monic kak, misalnya seperti ini. Kita ingin tau bagaimana
kondisi di Papua, Monic cuma jawab singkat kak. Tidak menjelaskan secara detail
atau lengkap kak. Ya paling kalau udah jawab, paling kita yang nanya lagi jawaban
Monic tadi kak, biar lebih dijelaskan lagi kak.
6. Bagaimana Antusiasme Monika dengan dosen bagaimana?
Kalau untuk Monic ya kak, dia itu cenderung diam saja kak. Kalau dibandingkan
dengan Hanok. Anok itu kak, dia cukup aktif kak, sering bertanya ke dosen atau
ketemennya juga sering nanya apa maksud dari penjelasn dosen tersebut. Tetapi kalau
Monic cenderung diam dan menerima saja kak. Sampai sekarang juga kak, Monic itu
hampir enggak pernah bertanya ke dosen langsung kak,
7. Kalau untuk proses perkuliahan bagaimana, apakah Monica menerima atau sulit untuk
mengikuti proses perkuliahan tersebut?
Mungkin, terkhusus untuk Monic sepertinya kesulitan kak.
8. Apakah Monika cenderung menutup diri dan cenderung menjadi pendiam ketika di
dalam kelas?
Iya kak, sampai sekarang kak. Kalau enggak kita yang memulai duluan mungkin
Monic lebih sering diam kak.
9. Apakah tidak ada perubahan, yang dari awal Monika lebih sering diam, terus selama
proses perkuliahan berlangsung selam beberapa bulan Monika tetap pendiam dan
menutup diri?
Kalau yang Rani liat secara langsung dan subjektivitas Rani ya kak, dia cenderung
masih menutup diri, sehingga kita yang harus sering memberikan stimulus dulu kak.
Biasanya kita yang nanya ke Monic duluan kak. Biar dia cerita ke kita kak. Kalau
untuk interaksi, sudah mulai ada perkembangan kak. Monik udah mulai sedikit mau
bertanya kak. Seperti, itu maksudnya apa, itu bacaanya apa ketika dosen sedang
menjelaskan di depan kak.
10. Selain duluan bertanya ke Monika, apakah ada stimulus lain yang kalian lakukan ke
Monika agar dia tidak menjadi pendiam atau menutup diri?
Paling kita sering ajakin Monik untuk kekosan kak. Misalnya kita ada 2 mata kuliah,
kuliah pertama di jam 8 pagi sampai jam 10, terus mata kuliah selanjutnya jam 1,
biasanya kita ajakin Monik untuk ikut kita kak kekosan kak. Karena kan Monik
kosannya di Pakupatan ya kak, sementara kuliahnya aktif di Ciwaru, karena kalau
enggak kita ajakin seperti itu kak, bisa aja Monik pulang atau diam dan nunggu di
depan kelas sampai jam mata kuliah selanjutnya kak.
11. Selama kalian ajakin Monika ke kosan, apakah Monika masih cenderung diam?
Iya kak, paling Monik cuma jawab sekedar aja kak kalau kita nanya ke dia.
12. Pasti kalian pernah berada dikelompok yang sama di satu matakuliah tertentu,
bagaimana keatifan Monika selama kalian mengerjakan tugas tersebut?
Sama si kak, harus kita yang meminta ke Monik duluan kak. Biasanya kita enggak
pernah ngasi tugas yang berat-berat kak ke Monic. Paling kita minta Monik untuk
membuat Power Point nya kak, dan paling kita minta Monik untuk memahami materi
tersebut kak. Karena Monik sedikit kesulitan untuk memahami materi kak.
13. Pasti ada beberapa perbedaan yang membedakan anda dengan Monika, seperti gaya
bahasa dan logat. Bagaimana cara kalaian menerima hal tersebut?
Kalau untuk saya sendiri, kita yang menyesuaikan dengan Monik kak. Monik kan
biasanya kalau nanya ke kita menggunakan bahasa halus kak. Seperti aku-kamu, dan
suaranya pelan kak. Walaupun kadang Monik sering keceplosan pakai bahasa
Papuanya, dan saya enggak paham dengan kata tersebut. Paling saya mencoba
mengerti kak. Untuk logat tidak ada masalah kak, karena Monik itu kak kalau lagi
ngomong atau ngobrol suaranya pelan kak. Enggak pernah teriak atau intonasinya
keras begitu enggak pernah kak.
14. Bagaimana upaya anda untuk lebih mengenal gaya bahasa Monika ?
Kami selalu berusaha biar bisa mengenal gaya bahasa dan logatnya Monik kak,
biasanya Rani tuh, suka ngajakin Monik ke Perpus misalnya, terus kita diskusi lah
disitu tapi selama diskusi itu dia cenderung lebih harus kita terlebih dahulu yan
memulai dan merangsang Monik, kalau enggak begitu ya Monik bakalan diem terus
kak. Gitu juga untuk mengenal bahasa Monik kak, Rani lebih sering mengikuti
logatnya saja kalau lagi ngobrol dengan Monik kak, tujuannya biar bisa beradaptasi
juga dengan Moniknya kak.
15. Bagaimana cara anda mengenalkan ke mahasiswa Afirmasi mengenai kebudayaan ,
lingkungan, dan bahasa agar mereka lebih mengenal dan mampu beradaptasi dengan
lingkungan Untirta?
Rani Jawab satu-satu ya kak, Kalau untuk kebudayaan Rani biasanya dengan cara
mengobrol biasa. Pertama Rani nanya dulu ke Monik di Papua itu ada kebudayaan
apa-apa saja? nanti setelah Monik menjawab, biasanya Monik juga nanya sebaliknya
“kalau di Serang, Budayanya apa saja? kadang juga kalau saya lagi memperkenalkan
budaya di Serang walaupun Monik enggak bertanya panjang lebar, saya yang
berinisiatif untuk memberi tahukan ke Monik kak. Kalau untuk lingkungan Rani
paling jelaskan yang umum-umum aja kak, kayak di Serang ini lingkungannya
biasanya Orang Sunda dan Jawa Serang bagaimana kebiasaan saya pernah kenalkan
ke Monik kak, kalau dengan bahasa Monik pernah nanya “geh itu artinya apa” terus
“mereka ngomong pakai bahasa apa”, nah Rani yang jelaskan ke Monik kak. kalau
untuk merepakan ke Monika, sulit kak. karena saya udah pernah nyoba tapi dari
Monikanya yang kurang tertarik kak.
16. Bagaimana dengan gaya bahasa yang digunakan mahasiswa Afirmasi tersebut ketika
didalam kelas?
Mereka cenderung menggunakan bahasa halus kak, kadang juga KBBI banget
bahasanya kak.
17. Kalau untuk Gue-Lo?
Mereka enggak pernah gunain bahasa itu kak, didalam kelas, diluar kelas setau saya
Monik enggak pernah pake bahasa itu kak.
18. Kalau untuk dilingkungan kampus, biasanya kalau kita mau lewat di depan orang,
bilang “Hampura” bagaimana dengan Mahasiswa Afirmasi?
Kalau Monik biasanya ngomongnya “Permisi Kaka” dengan siapapun itu untuk
mahasiswa ya kak .
19. Bagaimana dengan proses adaptasi Anda dengan mahasiswa Afirmasi dengan
lingkungan kelas ?
Cenderung lama kak, proses adaptasi saya itu dengan Monik itu lama kak. karena
sampai sekarang juga saya belum terlalu kenal dengan Monik kak. karena apa ya,
Monik itu tertutup banget ornagnya kak.
20. Bagaimana dengan adaptasi mahasiswa Afirmasi dengan lingkungan kelas?
Diawal perkuliahan semester 1 sampai udah hampir hampir 2 bulan mereka baru
mulai berani memulai untuk berinteraksi duluan kak. biasanya diam-diam saja kak,
kalau enggak kita yang harus memulai diluan.
21. Apakah ada upaya dari Anda untuk mencoba mengerti budaya, kebiasaan mahasiswa
Afirmasi tersebut? Kalau ada seperti apa?
Ada si kak upayanya, upaya nya itu kita selain ekstra memahami bahwa mereka
berbeda budaya, bahasa, warna kulit berbeda dengan kita. Maka disini kita melakukan
adaptasi dengan mereka tetapi secara umum saja kak, seperti apa yang kita mengerti
mengenai budaya mereka. Kalau untuk lebih spesifiknya tidak pernah kak. karena
Moniknya cenderung tertutup.
22. Monika kan rambutnya enggak pernah panjang seperti prempuan pada umumnya, dan
itu juga biasanya rambutnya di bentuk seperti model rambut yang di kepang pendek.
Itu salah satu kebiasaan di Papua. Bagaimana dengan anda, apakah anda pernah
memeberi masukan untuk coba memanjangkan rambutnya?
Enggak pernah si kak, memang diwalnya saya mikirnya kok ini “Aneh” dan semakin
terkesan “serem” nya kak. tapi lama-kelamaan saya memaklumi dan menerima.
karena mungkin karena Serang ini panas ya. Makanya mereka enggak pernah
memanjangkan rambut mereka. Dan kita juga nyaman-nyaman aja kak dengan gaya
dan model rambut tersebut kak.
23. Bagaimana dengan keaktifan mahasiswa Afirmasi tersebut didalam kelas pada saat
prose perkuliahaan berjalan?
Kalau lagi dikelas Monika ini cenderung diem, dia enggak mau nanya dan sekedar
menambahkkan juga enggak pernah kak. selama hampir 2 semester ini berjalan, saya
belum pernah melihat atau mendengar Monika bertanya atau menajwab pertanyaan
kak, beda dengan Hanok, salah satu mahasiswa Afirmasi juga, dia jaub lebih aktif
dibandingkan dengan Monika kak.
24. Bagaimana dengan Dosen, apakah pernah melibatkan Monika dan menstimulus
Monika agar lebih aktif lagi didalam kelas?
Ada, waktu itu kak ada kayak hasil test gitu kak. dan dosennya ngumumin gitu kak
hasil test setiap mahasiswa nya, nah waktu pembagian hasil itu dosennya bilang
begini kak, sebenernya Monika ini bagus dalam menganalisis kasus yang diberikan
dalam soal tersebut tetapi pada berinteraksi atau menjelaskan apa yang dituliskan di
lembar terst tersebut susah, jadi dosennya bilang “Monika, kamu harus lebih aktif lagi
ya, kalau misalnya ada apa-apa tanyakan aja kedosennya jangan malu”. Begitu kak
25. Upaya apa saja yang tampak atau pernah dilakukan mahasiswa Afirmasi tersebut
untuk dapat berbaur atau beradaptasi dengan anda?
Dia sering minta ikut diskusi si, atau enggak nanya “mau kemana, boleh ikut gak?”
biasanya Monik ngelakuin ini kalau kita lagi istirahat untuk ngelanjut di MK
selanjutnya. Kadang juga pernah kaya diajakin nginep gitu. Terus dari responnya dia,
ehhmmm kadang dia nolak tapi setelah kita jelasin ke Monik akhirnya di ikut nginep
bareng kita kak.
26. Apakah anda mengenyampingkan stereotype yang kerap kali muncul dikepala kita
bahwa orang-ornag Papua identik dengan seram dan pemarah waktu pertama kali
ketemu dengan mahasiswa Afirmasi tersbeut?
Iya kak, kalau perasangka enggak pernah kak. karena saya menghormati mereka aja
kak. karena pada saat beriterkasi di kelas juga mereka enggak sanggar seperti
prasangka tersebut kak.
27. Tapi kalau rasa takut pernah muncul gak waktu bareng dengan anak-anak Papua?
Nah, kalau ini pernah kak. diawal-awal kerja kelompok. Saya itu sedikit takut kak.
tapi saya coba ngilangin rasa takut itu aja kak. biasanya saya pura-pura enjoy aja si
kak. walaupun diawal-awal takut karena serem kak.
28. Apakah mahasiswa Afirmasi tersebut pernah atau kerap di bully didalam kelas atau
dilingkungan kampus?
Kalau di kelas sendiri enggak pernah, justru kita itu lebih kepada gimana dia ini lebih
aktif gitu kak. kalau untuk lingkungan kampus enggak si kak kayanya. Paling mereka
sering natap mereka dengan dengan tatapan yang kaya kaget gitu kak. mungkin baru
pertama kali ketemu orang Papua kali kak.
29. Kalau Monika nya yang curhat kalau dia pernah merasa di bully, pernah gak?
Enggak pernah si kak, paling kalau di tatap aja kak.
30. Apakah pernah mahasiswa Afirmasi tersebut dikucilkan dikelas karena berbeda
dengan lingkungan anda ?
Enggak pernah si kak.
31. Kalau mahasiswa Afirmasi tersebut yang mengucilkan diri pernah?
Kalau ini mungkin iya kak, Monika nya yang cenderung menutup diri dan merasa
kalau di Minoritas (sebagai mahasiswa Papua di Untirta), jadi dia cenderung diam
selama proses perkuliahaan berlangsung kak.
32. di kelas kalian ada 2 orang mahasiswa Afirmasi salah satunya Hanok, apakah Monika
cenderung lebih dekat dengan Hanok daripada dengan kalian?
Enggak si kak, paling mereka sering ngobrol saja. dan pulang bareng kak naik angkot.
Karena kan mereka kosannya sama-sama dipakupatan kak.
TRANSKRIP WAWANCARA
LINGKUNGAN KULIAH
Nama Lengkap : Heri Fransisco
TTL : Jakarta, 29 Mei 1999
Asal Daerah : Jakarta
Suku : Batak
Agama : Kristen Protestan
Usia : 19
No. Telpon : 087787231504
Jurusan : PPKN
1. Sudah Berapa lama Kenal dengan Monica, salah satu mahasiswa Afirmasi?
Dari Semester satu kak, kenalnya. Karena kita kebetulan satu kelas kak.
2. Apakah dari semester satu kalian kontrak mata kuliah yang sama? Dan berapa jumlah
mata kuliah yang kalian kontrak ?
Keseluruhan kak, kalau di semester satu kita kontrak mata kuliah 11 mata kuliah kak,
kalau untuk semester ini kita kontrak 10 mata kuliah kak, dan kita selalu sekelas kak.
3. Bagaimana cara berinteraksi yang dilakukan mahasiswa Afirmasi didalam kelas atau
ketika mengobrol atau proses perkuliahan berjalan?
Interaksinya kayak mereka bertanya-tanya apasih ini maksud yang dijelaskan oleh
dosen dideoan kelas, kadang mereka juga bertanya-tanya apa arti kalimat yang
barusan diucapkan dosen tersebut. Karena kan ada aja bang dosen yang sering keselip
kata-katanya pake kata yang mereka belum mengerti. Mungkin ini salah satu
penyebab kenapa Monik cenderung diam-diam saja dikelas bang, karena dia sendiri
juga kurang paham dengan apa yang dijelaskan dosen didepan bang. Kadang juga
bang Monika itu bang sering banget nyatat walaupun kadang kalau saya tanya ini
maksudnya apa dan mengerti atau enggak mengenai semua materi yang dia catat
jawaban Monik “hanya sedikit”. Itu dia bang mungkin alasan kenapa dia lebih sering
diam.
4. Menurut anda, apa yang membuat mereka sulit untuk memahami hal tersebut?
Menurut Gua, Monik itu sebenernya masih belum siap bang di jenjang perkuliahan,
karena kan pendidikan di Papua sendiri masih relatif rendah, mungkin sebenernya
mereka belum siap, karena Monik sendiri mengeja saja masih belum lancar, dia
sering dibilang dosen mesti banyak baca buku, karena merasa Monik itu udah
mahasiswa tapi masih sulit dan belum lancar untuk mengeja. Itu dia alasan gua
kenapa gua bilang Monik itu belum siap masuk ke jenjang perkuliahan.
5. Kalau untuk bahasa menurut anda berpengaruh gak? Karena beda tatanan kalimat
yang diucapkan oleh mereka. Kalau kita biasanya SPOK, biasamya mereka tatanan
kalimat nya jadi PSOK atau dsbnya.
Kalau menurut Gua si Enggak ya bang, karena temen kelas saya ada juga yang berasal
dari daerah Ambon. Tapi dia Pasih dengan tatanan kalimat yang berlaku disini. Saya
merasanya masih sama bang, kayanya karena kesiapan untuk masuk ke jenjang
kuliahnya untuk Monik itu masih belum bang. Alasannya bang, Monika itu bisa di
pengucapan tapi dia sedikit kesulitan dalam penulisannya bang, seperti
“menggunakan” Monika nulisnya jadi “Meggunakan” tanpa “n” di dalamnya bang,
karena saya sering ngecek catatan Monika dan Hanok untuk memastikan mereka itu
mengerti, ketinggalan materi atau enggak bang, dan Gua sering menemukan beberapa
huruf yang hilang didalam perkata-kata tersenut dicatatan Monik bang.
6. Apakah mahasiswa Afirmasi tersebut menutup diri dan cenderung menjadi pendiam
ketika didalam kelas?
Iya bang, kadang sering Gua tanya misalnya, “Monik, kamu kenapa?” terus dia jawab
“Enggak”, terus Gua tanya lagi “Monik kamu ngerti ini?” terus dia jawab “Iya, bisa”,
Cuma pas saya tes Moniknya enggak bisa. Jadi Monik itu kayak apa ya, mungkin ada
rasa takut karena belum terlalu deket, jadi Monik itu seeperti menutup diri. Kadang
juga pas saya tanya, “Monik, kamu mau kemana?”, dia jawab “Ini mau kesini.”
Padahal gak lama gak lama setelah Gua selesai nanya dia malah naik angkot yang
tujuannya ke Pakupatan. Kadang juga lagi kan gua kekampus motoran ya bang,
“kadang dia pengen numpang terus pulang bareng”, tapi dia enggak mau nawarin diri
untuk pulang bareng, musti gua tawarin dulu bang. baru dia bilang “Iya, aku numpang
ya” gitu bang. kesannya dia itu menutup diri banget bang.
7. Kalian dari semester 1 kan sekelas bareng, apakah Monika itu cenderung pendiam
dari awal perkuliahan sampai sekarang semester 2 ini?
Kalau menurut gua si iya bang, karena memang dari awal dia punya sifat yang
pendiam dari awal, gua juga nenya ke Hanok salah satu anak Afirmasi juga di kelas
gua, kata Hanok, Monik itu punya sifat yang pendiam, bahkan ke sesama anak-anak
Papua lainnya Monik itu cenderung pendiam, gak terlalu banyak bicaraa atau
interaksi. Jadi susah juga si gua ngeliatnya kalau dia enggak memahami bahasa dan
lingkungan disini padahal dari dirinya pribadi memang tertutup, dikosan juga bang,
gua punya kontak temen satu kosannya Monik, namanya Diana. Katanya juga seperti
itu bang. karena kalau gua nanya dimana Monik, biasanya saya nanya nya ke Diana
bang, karena kan hampir 2 bulan diawal perkuliahan Monik itu enggak punya android
bang. kalau sms gua nya yang gak punya pulsa biasa makai WA bang.
8. Pasti ada beberapa perbedaan yang membedakan anda dengan mahasiswa Afirmasi
tersebut, seperti gaya bahasa dan logat, bagaimana cara kalian menerima hal tersebut?
Mungkin kalau kita ngeliat gimik nya ya bang memang mereka itu kaya lagi marah
gitu bang ekspresinya bang jadi kita sulit negbedain ini lagi marah atau enggak. Tapi
gua biasanya cara menerimanya ya gua nyoba untuk mengerti maksud dari ucapan
mereka dan kadang gua sering bebrbicara dengan logat mereka, tapi enggak dengan
intonasi mereka ya bang. sulit kalau intonasi nya soalnya.
9. Upaya lain selain itu apalagi ?
Contohnya nih bang, gua kan dari jakarta bang. dan mereka biasanya pakai “aku-
kamu”, jadi gua nyoba untuk ngikutin mereka bang, ke Monik juga gua make “aku-
kamu”. Gua dan temen-temen gua dikelas enggak pernah ngobrol ke mereka pake
“gua-lu” bang karna kita udah nyoba jelasin ke mereka, tapi mereka tetap enggak mau
gunain “gua-lu” bang karena katanya itu kalimatnya kasar dan mereka enggak pernah
gunain kalimat itu bang.
10. Bagaimana cara anda mengenalkan ke mahasiswa Afirmasi mengenai kebudayaan,
lingkungan, bahasa agar lebih mengenal dan mampu beradaptasi dengan lingkungan
Untirta?
Kalau gua si biasanya dengan hal kecil ya bang, misalnya gua kan sering nih di
matakuliah agama. Nah gua dan Monika biasanya yang paling cepat datengnya dan
sering dong gua berdua dengan Monik nungguin di depan kelas, nah sambil nunggu
gitu biasanya gua ngobrol dengan Monik bang, kayak gua mengenalkan seperti
“Monik, di Serang itu orang sering makai ‘geh-sih-tah’ itu artinya kayak tambahan
gitu Monik, terus biasanya gua jelasin ke Monik juga kebiasaan-kebiasaan mahasiswa
dan masyarakat pada umumnya di Serang ini bang. gua juga jelasin ke Monik apa
yang di anggap wajar dan yang enggak wajar di Serang ini bang, jadi biar Moniknya
itu lebih santun aja bang gitu. Kalau untuk lingkungan perkuliahan, biasanya gua
sering ajakin Monika ngobrol aja si bang, gua juga ngenalin ke Monika beberapa
bahasa gaul di sekitaran kampus bang. biar mereka lebih paham dan terbiasa aja bang.
11. Apakah ada upaya dari Anda untuk mencoba mengerti budaya, kebiasaan mahasiswa
Afirmasi tersebut? Kalau ada seperti apa?
Ada si bang, kaya gua sering nanya-nanyain misalnya dari segi makanan disana apa
aja selain Papeda yang enak, terus misalnya nanya-nanya gimana caranya dan adat-
adat yang berlaku disana. Sampe gua baru tau gua kira di Papua awalnya Cuma satu
suku aja ternyata disana ada banyak suku bang, jadi tiap desa itu punya sukunya
masing-masing bang. jadi dari nenek moyangnya mereka berbeda jadi kepercayaan
dan kekentalan mereka terhadap budaya itu juga berbeda-beda bang, selain itu juga
tiap desa itu bang gaya berbahasanya beda-beda bang, gua dijelasin tuh bang sama
Hanok, dan gua bandingkan dengan Monik ternyata memang ada sedikit perbedaan
mereka bang. kalau untuk kebiasaan, paling ini bang aroma khas badan bang, jadi
bang anak Papua ini aroma badannya alami bang, ini kan salah satu budaya dan
menjadi kebiasaan bang. jadi diawalnya gua juga kaget bang, terus lama kelamaan
gua menerima dan menganggap itu sebagai ini udah budaya mereka bang, kadang gua
juga jelasin ke anak-anak kelas yang sering ngomong kalau Monik dan Hanok bau
badan, jadi gua jelasin ke temen-temen kelas kalau mereka itu terlambat jadi enggak
sempat untuk siap-siap dulu sebelum ke kekampus, biar mereka enggak dijauhi aja
bang. cara lain juga gua bilang ke Hanok atau enggak Monik sebelum masuk kelas ke
kamar mandi dulu, terus gau kasiin parfum gua bang ke mereka biar mereka enggak
dijauhin bang. karena pernah Monik dan Hanok dijauhin bang gara-gara itu bang
dikelas gua.
12. Bagaimana dengan keaktifan mahasiswa Afirmasi tersebut didalam kelas pada saat
proses perkuliahan berjalan?
Keaktifannya mungkin Monik lebih pemalu bang, kadang dia gak ngerti dan enggak
langsung nanya ke dosen. Jadi dia sering nanya ke Gua bang ini maksudnya apa, ini
maksdunya apa. Kadang gua kan belum tentu ngerti tentang materi yang dijelaskna
dosen, jadi gua bilang ke Monik kalau gua juga kurang paham, coba Monik nanya ke
dosennya, dan Monik biasanya langsung diam bang, dia lebih milih nulis lagi bang
semua materinya bang. kalau dengan Hanok, biasanya dia itu lebih berani bang
daripada Monik bang, dia juga sering nanya, sering ikut diskusi dan ngumpul bareng
sama kita bang.
13. Kalau untuk keaktifan yang lain bagaimana ?
Monik itu dia baru-baru ini nawarkan diri bang untuk jadi atlit voli di fakultas bang,
jadi kemaren itu ada sayembara dan pengumuman perwakilan voli dari tiap jurusan di
FKIP, terus Monik langsung angkat tangan bang, dia langsung daftar. Terus gua
nanya, Monik seriusan mau ikut voli, dia jawab “iya, aku biasa main voli di papua”
gitu bang.
14. Upaya apa saja yang tampak atau pernah dilakukan mahasiswa Afirmasi tersebut
untuk dapat berbaur atau beradaptasi dengan anda?
Mereka si, kaya lebih sering diajakin aja si bang nimrung-nimbrung gitu. Walaupun
mereka lebih sering diam dan kalau di tanya jawabnya singkat banget, senggaknya dia
udah berani untuk memulai ngumpul bareng sama kita bang. diawal perkuliahan
Monik enggak pernah ikut bang, tapi makin kesini Monik mulai ikut bang kalau
diajakin sama kita yang laki-lakinya untuk ngumpul tapi lebih sering ikut kalau
diajakin anak-anak ceweknya ngumpul.
15. Selain mereka ikut nimrung apalagi yang Monik lakukan untuk bisa beradaptasi
dengan kalian?
Kalau yang lain si belum ada bang ya, Cuma itu aja biasanya bang.
16. Apakah anda mengenyampingkan stereotype yang kerap kali muncul dikepala kita
bahwa orang-orang Papua identik dengan seram dan pemarah?
Gua sih enggak pernah ngeliat gitu ya bang, gua tau memang di jakarta apalagi kalau
di pasar biasanya ada aja orang timur yang malak dan sebagainya, tapi gua enggak
nerapin itu ya bang ke mereka. Karena yang mereka tampilkan selama gua kenal
dengan mereka itu bang enggak seperti itu, mereka lembut-lembut kok. Ngomongnya
juga halus, enggak neggas kaya preman-preman apalagi teriak-teriak enggak pernah
bang, tapi kalau kita ngeliat gimik mukanya ya emang begitu bang, mungkin udah
bawaan kali yang bang
17. Apakah Monika pernah mengikuti gaya bahasa gaul dilingkungan perkuliahan kalian?
Enggak pernah bang kalau di kita langsung, tapi paling dia nulis status pakai bahasa
gaul gitu di sosmed bang, make gua-lu itu biasanya di sosmed dia bang.
18. Di sosmed mana biasanya dia menggunakan bahasa gaul tersebut?
Paling di status wa aja si bang, karena gua juga enggak berteman di facebook karna
udah lama juga enggak gua pake bang.
19. Berarti mahasiswa Papua itu mengerti bahasa slang tersebut tetapi merek enggan
menggunakan itu, menuru anda itu kenapa?
Mungkin karena enggak terbiasa kali bang ya, udah dari kecil mungkin bang mereka
menggunakan bahasa baku, jadi sulit bang untuk mereka buat merubah kebiasaan itu
bang, apalagi Monik bang.
20. Apakah mahasiswa Afirmasi tersebut pernah atau kerap di bully didalam kelas atau
dilingkungan kampus?
Kalau di bully mah enggak pernah ya bang, tapi kalau di jauhi karena bau badan tadi
itu bang pernah, selebihnya enggak pernah si bang. paling ini bang jadikan gua dan
anak-anak kelas punya group line ya bang, jadi sering tuh Monik nanya, hari ini ada
dosennya masuk atau enggak, enggak ada yang respon bang. padahal di group itu lagi
rame ngebahas sesuatu gitu bang, sampe akhirnya Monik dan Hanok ngechat gua
nanyain sekalian curhat juga ke Gua, kenapa teman-teman yang lain enggak ada yang
menjawab pertanyaan mereka, mereka sakit hati, merasa dianggap enggak ada,
padahal situasinya group itu lagi rame bang. jadi karena itu mereka lebih sering
personal chat ke gua bang, daripada di group kelas gua bang.
21. Bagaimana contoh yang pernah dilakukan teman kelas anda untuk menjauhi aroma
khas mahasiswa Afirmasi tersebut?
Mereka biasanya jaga jarak gitu bang, atau enggak sambil ngipas-ngipasin buku ke
muka mereka bang. padahal gua udah jelasin jangan gitu kemereka, gua sering bela
mahasiswa Afirmasi bang, gua bilang ke temen-temen kalau mereka bau badan karena
mungkin lagi enggak ada duit untuk beli deodoran, karena kan uang beasiswa mereka
6 bulan sekali ya bang, jadi mereka lebih mementingkan makan daripada penampilan
atau kebersihan vbang. Terus gua juga lumayan sering ajakin Hanok atau Monik
makan bareng, karena mereka juga kadang uangnya kurang jadi kalau gua punya
sedikit uang gua bayarin atau gua tambahin uang mereka bang.
22. Bagaimana bentuk nyata kalian membantu mahasiswa Afirmasi ?
Anak-anak kelas kadang suka patungan bang, untuk Monik atau anok bang, karena
kita tau mereka uangnya enggak banyak. Jadi kita coba patungan untuk bantuin
mereka.
23. Apakah Monik pernah cerita ke anda, kalau mereka sering di tatap aneh begitu?
Paling kalau ditatap-tatap begitu gua bilang ke mereka. Biasrkin aja, karena mereka
baru tau kalau ada mahasiswa Afirmasi Papua bang. paling ini bang, Monik juga
pernah cerita ke gua kalau dia pernah dikerjain gitu banmg sama temen kelas, jadi
Monik nanya di group kelas, dosen ini masuk atau enggak. Terus ada yang bilang
kalau dosennya masuk, padahal dosennya enggak masuk. Jadi Monik datenlah itu ke
kampus bang terus nungguin bang sampe sore, memang MK itu siang si bang, tapi
kasian aja bang. gitu. Dia chat gua bang, sedikit ngerasa kesel bang, terus di nge PC-
in gua kan bang, dia bilang ada dosen atau enggak, terus gua jawab enggak ada
Monik, terus dia kesel gitu bang dan bilang kenapa dia di giniin sama temen-temen
yang lain, sampe akhirnya gua yang jemput dia bang dari Ciwaru biar dia enggak
ngeluarin ongkos lagi bang untuk baliknya bang.
TRANSKRIP WAWANCARA
LINGKUNGAN ORGANISASI
Nama Lengkap : Janeiro Subiyanto
TTL : Jakarta, 3 Januari 1998
Asal Daerah : Tangerang
Suku : Ambon
Agama : Kristen Protestan
Usia : 20 Tahun
No. Telpon : 085697480935
Organisasi : Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
1. Bagaimana cara berinteraksi yang dilakukan Monica di dalam lingkungan organisasi
kalian (GMKI) ketika mengobrol atau terlibat di kegiatan organisasi?
Monica cenderung tertutup, terus. Pertama sih pembawaan mereka tuh sangat santun
ya, sedikit-sedikit mereka selalu bilang permisi-permisi. Dan pembawaan mereka
diawal itu masih membawa kepapuannya kesini. Terus waktu udah makin kesini-
sininya sih sudaah biasa saja.
2. Apakah semakin lama, semakin kesini mereka masih memepertahankan
kebudayaannya?
Sampai sekarang Monica masih tetap mempertahankan budaya kepapuannya. Cuma
mereka ada sedikit sulit membaur dengan budaya yang ada disini. Contohnya seperti
ini, misalnya disinia kan salam nya seperti “Punten” atau “Hampura” nah mereka
sulit untuk menyebutkan ini.
3. Apakah Monica itu terus menutup diri dan cenderung pendiam ketika didalam
organisasi waktu berinteraksi atau diskusi?
Ada beberapa anak Papua yang sudah terbuka diawalnya, tetapi terkhusus untuk
Monica, Dia lebih cenderung masih tertutup dan kalaupun ingin mengobrol atau
diskusi paling kita yang arus memulai terlebih dahulu.
4. Bagaimana dengan keterlibatanya didalam Organisasi?
Kalau untuk keterlibatan diawal dia masih sering hadir dan terlibat, tetapi makin
kesini Monica sudah jarang ikut berdiskusi dengan kami.
5. Pasti ada perbedaan yang tampak sehingga menjadi pembeda kalian (Organisiasi
GMKI) dengan Monica, seperti gaya bahasa, dan logat. Bagaimana cara kalian
menerima hal tersebut?
Mungkin ada perbedaanya, mungkin diawalnya Monica membangun “Gap” antara
pribadinya dengan lingkungan diluarnya. Nah, monica berkumpul hanya dengan
mahasiswa Papua nya saja diawal kita berkumpul tuh. Kalau untuk bahasa, kita
mencoba mengerti dia sebenernya, karena mereka minoritas disini, jadi kita selaku
kakak tingkat dan kakak senior di organisasi kita lebih mengerti mereka, dan
menerima gaya bahasa dan logat mereka. Walaupun mereka nada suaranya lebih
tegas, dan gaya bahasanya kadang bahasa Indonesia digabung dengan kata atau
kalimat Papuanya, kita mencoba untuk menerima hal tersebut.
6. Apakah ada kesan negatif waktu kalian melihat anak Papua (Monica) terlibat didalam
diskusi kalian ?
Kalau untuk kesan negatif tidak ada ya, karena kita tau mereka mahasiswa dan sudah
pasti kaum terpelajar.
7 Apakah anda mengeyampingkan streotype yang kerap kali muncul dikepala kita
bahwa orang-orang Papua identik dengan seram dan pemarah?
Diawal-awalnya memang gak bisa dipungkiri yang bang, kalau untuk Monica
memang bener bang serem, soalnya diawal dia dateng itu bang rambutnya botak bang,
terus bang maaf-maaf ini yang bang kalau orang Papua itu punya aroma khas gitu
bang, mereka nyaman dengan itu tetapi kita merasa kalau itu lumayan menggangu
bang. Yang awalnya streotype nya serem dan galak, ditambah lagi bang kalau mereka
itu sedikit bau bang. Diawal-awal diskusi dan pertemuan saya masih ngerasa takut
bang, walupun saya sukunya Ambon bang tapi tetap aja bang takut bang. Tapi
semakin kesini enggak takut lagi bang, udah biasanya aja bang. Mungkin saya sudah
menerima itu kali ya bang.
8. Berapa waktu kalian untuk menerima perbedaan tersebut, baik gaya bahasa, logat,
fisiknya dan sebagainya agar kalian bisa membaur dengan mereka?
Untuk saya pribadi bang, di pertemuan ke 4 dan ke 5 bang, nah didalam pertemuan
organisasi kami bang dalam seminggu kadang sekali berkumpul, kadang jugaa
seminggu 2 kali bang. Bisa dibilang sebulan lah bang bagi saya untuk nerima
perbedaan dan mulai berani dekat dengan dia dan anak Papua lainnya bang.
9. Bagaimana cara anda memperkenalkan ke Monica atau mahasiswa Papua mengenai
budaya, lingkungan, agar lebih mengenal lingkungan di Untirta?
Cara memperkenalkannya budayanya dulu yang bang, karena kan lingkungan kampus
kita perkenalkan mereka gaya bahasa seperti “geh”, permisi dan sebagainya bang.
Kalau untuk di Organisasi bang, kita memperkenalkan mereka budaya masing-masing
di organisasi GMKI ini bang. Karena kita di dominasi sama suku batak, kita juga
perkenalkan ke mereka juga, seperti panggilan “laek”, “tulang”. Selain itu juga kita
jelaskan ke mereka kalau di becandaain sama temen kelas, jangan di bawa ke
perasaan. Di bawa santai aja, karena mungkin itu bentuk becandaan. Begitu bang,
karena kan mereka minoritas ya bang, mereka juga fisik nya berbeda sama kita, jadi
kita coba memperkenalkan itu ke mereka bang.
10. Bagaimana dengan respon mereka, waktu anda memperkenalkan budaya, yang
berlaku dilingkungan Untirta?
Mereka sangat mengapresiasi bang, kalau untuk Monica juga menerima dan
menerapkan hal tersebut. Mereka juga senang dengan budaya bacakan bang, ya
walupun diawaal merka bingung-bingung ya bang apa itu bacakan dan kenapa harus
duduknya deket-deketan waktu makan, tetapi mereka senang bang dan sampai kesini
mereka malah selalu ngajakin kita untuk bacakan-bacakan terus bang waktu kita
selesai ngobrol atau diskusi bang.
11. Bagaimana dengan memperkenalkan mereka dengan gaya bahasa yang berlaku di
lingkungan Untirta?
Kalau untuk bahasa, mereka masih mempertahankan gaya bahasa mereka bang, paling
mereka menggunakan bahasa baku bang, seperti aku-kamu ya walaupun kadang
mereka sering keceplosan bang pakai beberapa kata papua nya. Kalau untuk bahasa
mereka jauh lebih sulit bang untuk menerapkan ini. Apalagi dengan Monica, dia
cenderung tertutup bang, kadang responnya hanya senyum aja bang waktu kita
mencoba mengenalkan hal tersebut ke dia bang.
12. Apakah ada upaya dari anda untuk lebih mengenal budaya, kebiasaan mereka
mahasiswa Papua tersebut?
Kita ada upaya kok bang, untuk mengenal budaya dan kebiasaan mereka bang. Setiap
kali kita diskusi atau ngumpul bang, kita selalu ada sesi untuk saling memperkenalkan
kebudayaan masing-masing bang. Karena kita ini kebanyakan orang batak bang dan
Papua itu sedikit dan kita terbiasa dengan budaya batak, jadi kita lebih sering meminta
mereka memperkenalkan kebudayaan mereka bang, adatnya, kondisi masyarakatnya
begitu bang. Kalau untuk Monica sendiri sangat sulit bang, dia terlalu menutup diri
bang selain itu dia juga kalau kita minta untuk memperkenalkan budaya nya sendiri,
malah kita yang bingung bang. Karena harus kita yang duluan bertanya bang dan
respon jawabanya sederhana dan singkat bang. Tetapi ada satu bang kebiasaan mereka
yang unik bang dan mereka yang memperkenalkan ke kami. Seperti bersalaman bang,
kalau kita bersalaman ya hanya sekedar mengenggam tangan orang tersebut, tetapi
kalau ini berbeda bang, setelah kita mengenggam tangan lawan bersalaman kita, kita
harus saling menjepit jari telunjuknya lalu kita tarik bang, nah ini katanya kebiasaan
mereka kalau bertemu atau berpapasan bang.
13. Bagaimana dengan keaktifan Monica di Organisasi GMKI?
Kalau untuk diawal mereka rajin bang berdiskusi dan berkumpul, begitu juga Monica
bang. Makin kesini juga dia sudah makin jarang untuk ikut ngumpul bang.
14. Upaya apa yang Monica lakukan untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan
Organisasi kalian ?
Mungkin dengan dia ikut gabung ke GMKI ini mungkin salah satu cara dia agar bisa
beradaptasi bang, kalau untuk organisasi ya tadi bang, karena kita kebanyakan orang
batak bang, jadi mereka mulai pengen tau tentang budaya orang batak bang.
15. Apakah mahasiswa Afirmasi tersebut pernah di bully di organisasi kalian ?
Kalau untuk diorganisasi tidak perna ya bang, tapi kalau untuk dilingkungan
perkuliahan diawal-awal perkuliahan mereka sering cerita kalau mereka pernah di
katain “ah item lu” mungkin itu bercadaan untuk dia, tetapi bagi mahasiswa Papua
mereka meresa sakit hati bang dengan perkataan itu bang, yang paling sering itu
Monica si bang yang ngalamain. Seperti di liatin dengan tatapan yang seperti merasa
aneh karna ada anak Papua, monica sering ngalamin ini bang.
16. Terus bagaimana Upaya kalian untuk menjelaskan ke mahasiswa Papua, bahwa
sebenernya yang kata mereka “bully” itu sebenernya belum tentu konteks dan
maksudnya tujuannya itu belum tentu membully mereka, bisa saja itu becandaan.
Ya, kita menjelaskan bang. Belum tentu itu membully mereka, dan wajar mereka
merasa asing dengan cara mereka menatap kalian. Kalian enggak perlu bawa ke
perasaan, diamkan saja. Terus kita juga emnjelaskan anggap saja itu sebagai
becandaan saja. Tidak perlu di bawa ke perasaan seperti itu si bang.
17. dan bagaimana respon mereka dengan upaya yang kalian lakukan tersebt apakah
mereka menerima masukan dan saran kalian selaku kaka senior di Organisasi?
Ada yang menerima bang, tetapi ada juga yang kembali merasa sakit hati bang,
mereka bilang “sa sakit hati kaka, tidak boleh seperti itu. Sa sedih”. Tetapi
sebenernya saya tau bang kenapa dia bilang seperti ini bang. Karena mereka minoritas
bang, jadi sangat gampang tersinggung bang. Kembali kita jelaskan ke mereka untuk
sabar saja enggak perlu dimasukan ke dalam hati, biarkan aja masuk telinga kanan
keluar telinga kiri.
TRANSKRIP WAWANCARA
LINGKUNGAN ORGANISASI
Nama Lengkap : Ratu Lamlam Setiany Purba
TTL : Jakarta, 21 September 1998
Asal Daerah : Jakarta
Suku : Batak
Agama : Kristen Protestan
Usia : 20 Tahun
No. Telpon : 0852 1982 5750
Organisasi : Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
1. Bagaimana cara berinteraksi yang dilakukan mahasiswa Afirmasi dalam organisasi
ketika mengobrol atau berdiskusi ?
Kalau ngobrol sama dia itu harus di pancing atau ditanya duluan baru ngobrol, kalau
enggak ya di cuma jawab sekedarnya aja bang. kalau enggak di tanya ya dia cuma
diem aja bang, enggak bakal nanya, kecuali kalau dia lagi pengen nanya aja.
2. Bagaimana contohnya dari pancingan yang anda lakukan waktu kalian berdiskusi itu ?
Kaya misalnya, dia lagi diem nih. Aku ngajakin ngobrol “Monika, tadi belajar apa
dikelas?” terus dia jawabnya rada lama terus dia jawab “tadi MK ini aja” udah gitu
aja bang, padahal kita pengennya dijawab detail gitu bang. kalau enggak aku tanya
emang gak ada mk lain? Nah baru dia jawab itu bang. “dia jawab ada lagi Mk Bahasa
Indonesia dan sebagainya. Intinya kalau enggak kita perpanjang pertanyaanya ya dia
enggak bakal jawab sesuai yang kita mau tau si bang.
3. Kalau untuk diskusi bagaimana interaksi yang dia lakukan?
Ya, dia hanya sebatas diem aja bang. kalaupun ditanya sama pemateri diskusinya
bang. ya dia cuma jawab aja bang. kadang juga kalau dia enggak ngerti, ya paling dia
senyum-senyum gitu bang sambil noel-noel temennya mungkin biar dapat jawaban
bang. selebihnya dia lebih sering diam
4. Bagaimana dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya ketika diskusi di GMKI ?
Ya dia diem-diem aja bang, kalau di diskusi juga dia jarang ikut si bang.
5. Apakah mahasiswa Afirmasi(Monika) cenderung lebih menutup diri ketika didalam
organisasi?
Kalau menutup diri, kaya yang tadi aku bilang. Dia itu enggak menutup diri kalau
kita enggak memulai untuk bertanya ke dia duluan bang. kalau ditanyanya secara rinci
dia pasti jawab, tapi kalau misalnya enggak ditanya balik lagi dia diem.
6. Bahasa tubuh seperti apa yang dia contohkan untuk mengartikan sesuatu?
Kalau misalnya dia enggak tau jawaban nih bang, dia langsung miring ke kita gitu
bang badannya, terus sambil senyum-senyum. Atau enggak dia noel-noel temen
sebelahnya bang biar dia buat minta bantuan jawaban bang. kadang juga senyum-
senyum bang biasanya dia kaya gini kalau dia lagi disuruh menjawab si bang.
7. Pasti ada perbedaan yang membedakan anda dengan mahasiswa Afirmasi, seperti
gaya bahasa dan logat. Bagaimana cara anda menerima hal tersebut?
Kalau cara si enggak ada cara khusus bang, paling kaya gimana ya, saya sering
ngobrol-ngobrol dengan dia. Awalnya si emang kaya “apaan si ini orang”, Cuma
kalau kita udah sering ngobrol dengan dia, nanya-nanya dengan dia ya lama kelamaan
kita juga bakal nerima kok gimana dia. Karena kan diawal ketemu pasti kaya beda
gitu kan bang,
8. Bagaimana cara anda menerima logat dan gaya bahasa dan kebiasaan dia, bagaimana
cara anda menerima hal tersebut?
Awalnya si mikir, kaya “aduh, gua gak cocok nih dengan dia, karena dia itu pendiem”
karena kan biasanya kalau orang kaya kita kan biasanya kalau diwal ketemu biasanya
enggak kenalpun kita ngobrol aja biar bisa membaur, nah saya merasa gak cocoknya
karena dia ini deim terus bang. makin sering ngumpul dan diskusi saya jadi mulai
terbiasa bang. saya mulai ngikutin logat dan bahasa yang dia gunakan, walaupun
Monik pernah ngomong kalau saya itu gak cocok menggunakan logat dan bahasa
mereka, ya yang penting saya melakukan itu untuk bisa dekat dan lebih mengerti
dengan Monika bang.
9. Apakah anda mengikuti mereka menggunakan sebutan “aku-kamu” diawal bahkan
samapi sekarang ketika mengobrol dengan mereka? Atau anda tetap menggunakan “
Gue-Lo “ ? ketika mengobrol dengan mereka?
Ngikuti bahasa dia lah bang, karena takutnya mereka kurang mengerti bang dengan
bahasa “slang” itu bang. jadi gua ngalah aja bang. saya lebih mengikuti mereka tetap
menggunakan “aku-kamu” bang.
10. Ada enggak upaya dari anda untuk mengenalkan atau mengajarkan mereka
menggunakan bahasa slang tersebut ke mahasiswa Afirmasi?
Saya enggak ngenalin secara langsung si bang. paling kalau saya lagi jalan bertiga nih
dengan Monik dan sengan temen saya yang satu lagi, saya menggunakan aku-kamu
dengan Monik, tapi kalau dengan temen saya yang satu lagi, saya gunakan “Gue-Lo”
si bang. saya menempatkan diri aja gitu bang.. kalau secara langsung dan intens
paling kalau dia nanya, kata ini artinya apa, baru saya jelasin bang ke Moniknya.
11. Bagaimana cara anda mengenalkan budaya, lingkungan yang berlaku di Untirta
dengan mahasiswa Afirmasi ?
Kalau upaya itu di enggak ada ya bang, Cuma kalau kebiasaan-kebiasaan atau
sejenisnya aku suka ngasih tau gitu ke Monika, kalau misalnya orang-orang Banten
kita liatin dia dengan tatapan biasa aja, tanpa senyum. Itu enggak baik, sebiasa
mungkin nyapa dengan mereka. Biar kamu enggak di anggap sombong. Karena
Monik itu bang, dia lebih sering nyelonong-nyelonong aja gitu bang kalau jalan.
Selama yang saya liat ya bang ya. Disisi lain juga ada manfaatnya juga kan bang,
karena kan biasanya orang-orang kaya kita ngeliat orang Papua pasti serem lah atau
apa gitu bang, nah tujuan saya jelasin itu biar dia enggak dianggap kaya gitu bang.
12. Menurut anda dia itu malu atau memang ngerasa tertutup karena mereka minoritas
disini?
Dua-duanya si bang, karena mereka Malu dan mereka Minoritas bang.
13. Apakah ada upaya dari anda untuk coba mengerti budaya dan kebaisaan yang melekat
dengan mereka mahasiswa Afirmasi?
Ada si bang, contohnya bang. waktu saya dan Monik lagi sama-sama Makrab GMKI
gitu bang, dia enggak suka bang tidur di tengah-tengah bang, karena kata dia di Papua
itu enggak boleh tidur di tengah atau tidur dibarisan luar yang biasa dilewatin orang
bang. karena katanya itu gak sopan bang. kalau untuk kebiasaan bang, di awal makrab
bang, dia kan ditawarin Nasi buat makan dan sarapan, dia itu enggak bisa bang,
karena dia enggak biasa makan Nasi bang, dia biasanya makanan pokoknya Sagu
bang, dibikn papeda gitu bang. pernah dia makan nasi bang, dia Muntah bang.
terakhirnya kita ke paksa nyari singkong bang. karena kan singkong itu kan makanan
pokok mereka juga bang disana, itu si bang kebiasaanya yang saya tau bang.
14. Bagaimana respon Monika, ketika anda coba menirukan gaya bahasa dia?
Dia bilang “kamu kenapa mengikuti gaya bahasa aku, kenapa kamu gak seperti biasa
aja”, sambil dia ketawa bang. sayanya bodo amat bang, karena itu cara saya untuk
bisa beradaptasi dan ngerasa dekat dengan dia.
15. Bagaimana dengan kegiatan di Organisasi selain diskusi dan bedah Alkitab, apakah
dia Aktif atau enggak?
Enggak si bang, makin kesini juga dia makin jarang ikut ngumpul bang. kaya
kemaren, kita lagi ada kegiatan sumbang buku bang, selama saya datang ke stand nya
dia enggak dateng atau nyetor muka pun enggak bang kata anak-anak GMKI bang.
16. Usaha apa yang tampak, atau yang pernah dilakukan mahasiswa Afirmasi untuk bisa
membaur dengan anda atau organisasi anda ?
Kalau dari merekanya si, menurut saya ya bang enggak ada upaya nya bang.
terkhusus untuk monika ya bang. lebih banykan harus kita yang berinisiatif untuk
mengenalkan ke mereka bang, biar mereka lebih kenal dengan kita dan budaya kita
bang. gitu juga kalau kita ngajakin gabung bang, biasanya kita yang mecah-mecah
mereka bang, karena mereka biasanya bang ngumpul dengan sesama mereka bang,
enggak gabung dengan kita bang, nah harus kita yang bagi-bagi mereka bang. biar
mereka bisa membaur dengan kita dan GMKI nya bang.
17. Bagaimana upaya mereka untuk beradaptasi dengan organisasi GMKI ?
Yang ngajakin adaptasi juga kita bang, mereka lebih sering diem aja si bang.
18. Apakah anda mengenyampingkan streotype, ketika anda pertama kali melihat
mahasiswa Afirmasi tersebut?
Kalau pertama kali, iya bang saya ngeliat mereka itu bang “serem” banget bang.
makin kenal mereka itu ternyata baik bang, mereka lebih lembut bang kalau ke kita
bang. beda kalau dengan sesama mereka mahasiswa Papua bang. makin kesini
kayanya streotype saya terhadap nereka makin hilang deh bang.
19. Apakah mereka pernah cerita kalau mereka pernah di bully atau di ejekin dengan
mahasiswa lain dilingkungan Untirta?
Enggak pernah si bang, mereka enggak mau cerita itu bang ke saya. Tapi pernah
Monika cerita bang, kalau dia pernah dibilang orang gila sama orang gila itu sendiri
bang, itu aja sih bang yang pernah diceritain sama Monika bang ke saya.
Lampiran Dokumentasi Wawancara Narasumber
Monika Kabkabangho
Lingkungan Masyarakat
Lingkungan Organisasi
Lingkungan Perkuliahan
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Galin Mario Bimantara Purba
Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 14 Juli 1994
Agama : Protestan
Alamat : Komp. Vetpur ABRI III B, No. 53
Nomor Telpon : 082274118484
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
1999 - 2000 : TK. Swt. Methodist-7 Medan
2000 - 2006 : SD. Swt. Methodist-7 Medan
2006 - 2009 : SMP. Negeri 35 Medan
2009 - 2012 : SMA Negeri 18 Medan
2013 - 2018 : FISIP – Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Public
Relation (PR), Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
PENGALAMAN ORGANISASI
2013 - 2014 : Anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi
(HIMAKOM)
2013 - 2014 : Anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Orange
FISIP UNTIRTA
2014 - 2015 : Koordinator Kaderisasi Himpunan Ilmu
Komunikasi (HIMAKOM)
2014 - 2015 : PemRed Berita Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Orange FISIP UNTIRTA
PRESTASI PENDIDIKAN
2016 - 2017 : Pertukaran Mahasiswa Tanah Air Nusantara
(PERMATA)