diktat ekklesiologi kontemporer 2013

83
EKKLESIOLOGI KONTEMPORER I. Gereja dilihat dari Terminologi Gereja dapat dipahami lewat arti berbagai kata atau istilah yang biasa digunakan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang dipahami sebagai akar kata dan dasar dari pengertian gereja, yaitu: Perjanjian Lama Ada dua kata atau istilah yang digunakan dalam Perjanjian Lama yang menunjuk kepada pengertian Gereja, yaitu: Qahal Jahwe Kata Qahal, secara harafiah berarti ‘perhimpunan, perkumpulan, pertemuan’. Kata ini berasal dari kata Qal, yang berarti ‘memanggil’. Dari pengertian ini maka Qahal menunjukkan bahwa ‘adanya pertemuan , perhimpunan atau perkumpulan ini dimungkinkan karena adanya panggilan, atau tindakan untuk berkumpulan itu karena didorong oleh karena adanya panggilan’. Pertemuan ini senantiasa bersifat actual. Kata Qahal Yahwe dalam Perjanjian Lama diartikan sebagai : Jemaah TUHAN atau umat Allah, tetapi secara gramatika sering dipakai sebagai kata sifat untuk menunjukan kepada bangsa Israel sebagai Jemaah TUHAN atau ada yang mengusulkan sebaiknya diterjemahkan sebagai ` keumat- Allahan` Israel. Jadi Israel sebagai Jemaah TUHAN yang pada 1

Upload: daido-tri-sampurna-lumbanraja

Post on 14-Apr-2016

350 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

Eklesiologi

TRANSCRIPT

EKKLESIOLOGI KONTEMPORER

I. Gereja dilihat dari Terminologi

Gereja dapat dipahami lewat arti berbagai kata atau istilah yang biasa digunakan

dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang dipahami sebagai akar kata dan

dasar dari pengertian gereja, yaitu:

Perjanjian Lama

Ada dua kata atau istilah yang digunakan dalam Perjanjian Lama yang menunjuk

kepada pengertian Gereja, yaitu:

Qahal Jahwe

Kata Qahal, secara harafiah berarti ‘perhimpunan, perkumpulan, pertemuan’. Kata ini

berasal dari kata Qal, yang berarti ‘memanggil’. Dari pengertian ini maka Qahal

menunjukkan bahwa ‘adanya pertemuan , perhimpunan atau perkumpulan ini

dimungkinkan karena adanya panggilan, atau tindakan untuk berkumpulan itu karena

didorong oleh karena adanya panggilan’. Pertemuan ini senantiasa bersifat actual. Kata

Qahal Yahwe dalam Perjanjian Lama diartikan sebagai : Jemaah TUHAN atau umat

Allah, tetapi secara gramatika sering dipakai sebagai kata sifat untuk menunjukan

kepada bangsa Israel sebagai Jemaah TUHAN atau ada yang mengusulkan sebaiknya

diterjemahkan sebagai ` keumat-Allahan` Israel. Jadi Israel sebagai Jemaah TUHAN

yang pada sifatnya adalah juga umat Allah. Dengan demikian kata umat Allah, `keumat-

Allahan` sudah melekat dalam diri Israel, menjadi identitas kebangsaan dan kepribadian

secara personal. ‘Keumat-Allahan’ tersebut adalah semata-mata karya dan inisiatif

Allah yang telah memanggil Israel sebagai umatNya. Keumat-Allahan bangsa Israel

berakar pada pemilihan Allah atas Abraham (Kej.12:1-3), yang menjadi akar pemilihan

Israel sebagai keturunan Abraham. Israel sebagai umat Allah diteguhkan dalam

Perjanjian Allah di gunung Sinai (Ul.9:10, 10:4) dan kemudian perjanjian tsb berulang

kali diperbaharui (Ul.29:1, Yos.8:35, Neh.5:13).

1

Clowney menegaskan bahwa :” God’s choosing of Israel to be his people flowed from

his call of Abraham. It Expressed the free love of God in Calling Israel to sonship

(Dt.7:7), and also God’s purpose that in Abraham all nations would be blessed

(Gen.12:1-3).

Qahal Jahwe adalah produk pengalaman dan relasi Israel dengan Allah, khususnya

sejak masa pendudukan tanah Kanaan sampai masa perjanjian yang diwujudnyatakan

oleh Allah bagi mereka. Artinya,` keumat-Allahan` Israel ditemukan, dihayati, dan

dialami sepanjang sejarah Israel, sebagai bangsa pengembara, yang pada

akhirnya ,karena kemurahan dan kuasa Allah, memperoleh pemberian tanah Kanaan,

sebagai kelengkapan identitas kebangsaan Israel sebagai umat Allah.

Penggunaan kata Qahal, dalam pengertian umum, sebenarnya bukanlah merupakan

suatu persekutuan yang bersifat kultus, melainkan hanya menunjukkan suatu

perhimpunan yang biasa dan bersifat umum. Itulah sebabnya kata itu sering

dipergunakan untuk macam-macam pengertian dan tujuan. Hal itu, selalu berkaitan

dengan kasus atau peristiwa, Misalnya: perkumpulan yang merencanakan kejahatan

(Kej.49:9), pertemuan masyarakat (Ayub 30:6), atau peperangan (hakim-hakim 20:2),

juga untuk kumpulan umat Allah dengan tujuan untuk mendengar perintah ( Ul 5:22),

larangan (Ul 23:3) dari Allah. Jadi dari tradisi pemakaian kata tersebut , dapat

dipastikan bahwa qahal adalah kata profane, yang biasa dipakai dalam kehidupan

sehari-hari, tetapi kemudian diadopsi menjadi kata peribadatan, sehingga mempunyai

makna sacral, yaitu bangsa Israel disebut sebagai jemaah Allah (bd. Maz.22:23,26,;

Kel.16:3). Hal itu lebih jelas tendensi ketika pada akhirnya kata `am Yahwe – bangsa

Allah (lawan kata `am`arets – non Israel, bangsa kafir) dipahami sebagai ungkapan

religious.

Kata Qahal Jahwe menjadi sangat popular di kalangan Israel sendiri, karena ada tiga

peristiwa yang membuat kata Qahal Jahwe sebagai ungkapan teknikus teologis, yaitu

pengalaman mereka bersama Allah pada masa perjalanan di gurun, masa pembuangan

Babel dan paska pembuangan Babel. Tradisi padang gurun ditandai dengan tiga

peristiwa: pertama, karya pembebasan Allah bagi mereka dari perbudakan di Mesir,

2

kedua, pemberian hukum Allah bagi mereka di Sinai dan pemberian tanah Kanaan

sebagai perwujudan janji Allah kepada nenek moyang mereka, Abraham, Yakub dan

Ishak. Peristiwa-peristiwa tersebut menjadikan Qahal Jahwe menjadi bahasa resmi dan

teologis untuk menunjukan dan memastikan Israel sebagai bangsa Allah.

Ada beberapa ciri khas yang ditekankan pada pemahaman Qahal Jahwe- umat Allah:

a. Israel sebagai Qahal Jahwe adalah prakarsa dan inisiatif Allah

b. Dalam kehidupan Israel sebagai Qahal Jahwe realitas kehidupan social dan

spiritual (iman) menyatu secara utuh.

c. Qahal Jahwe menjadi basis keumatan Israel secara individu maupun secara

kolektif.

d. Keumat-Allahan mereka adalah senantiasa bersifat actual.

Karena itu, Israel sebagai Qahal Jahwe tidak membeda-bedakan kehidupan

social,politik, dan keagamaan, karena semua bidang kehidupan dipahami menyatu

dalam dirinya sebagai umat Allah. Keumat-Allahan mereka dalam segala aspek

kehidupan tersebut harus direfleksikan dan diaktualisasikan setiap saat.

Edhah

Kata Edhah berasal dari kata Yaadh , yang berarti ‘Menetapkan, suatu pertemuan atau

perhimpunan yang ditetapkan. Ia juga berarti berkumpul atau berhimpun atau datang

berkumpul bersama-sama di tempat yang telah ditunjukkan atau ditetapkan’. Kata ini

ketika digunakan untuk bangsa Israel maka hal itu menunjukkan bahwa bangsa Israel

adalah suatu bangsa yang telah ditentukan oleh Allah untuk menjadi bangsa pilihan

Allah atau umat Allah. Mereka dipanggil dan dipilih Allah untuk maksud tertentu yaitu

untuk memuliakan Allah (bd. Kel.19:5; Ul.4:20, 1 Petr.2:9). Bilamana kata Qahal

digabung dengan kata Edhah maka hal ini menunjukkan kepada ‘bangsa Israel yang

sedang berhimpun, bersekutu untuk maksud tertentu’.

Secara umum, Qahal dan Edhah hampir mempunyai arti yang sama, sehingga sering

dipergunakan secara bersama (bd. Amsl.5:14), di dalam kasus yang sama ( Bil.16:3),

hampir tanpa ada perbedaan. Walaupun demikian, kedua kata tersebut di dalam

3

Perjanjian Lama mempunyai pengertian yang berbeda (bd. Ul.23:1-3). Perbedaan

pengertian antara Qahal dan Edhah adalah bahwa Qahal adalah suatu perwakilan

hukum dari suatu perkumpulan, Edhah.

Colin Brown dalam DNTT menyatakan perbedaannya sbb:” Edah is the unambiguous

and permanent term for the convenant community as a whole. On the other hand,

Qahal is the ceremonial expression for the assembly that result from the convenant, for

the Sinai community and, in the deuteronomistic sense, for the community in its present

form… there is always something indefinable about the Qahal; for it embraces only

those who have heard the call and are following it. Edah, on the other hand, is the

permanent community into which one was born and in which one possessed, if one was

man, certain rights and duties in an exactly determined and defined measure”.

Dengan demikian, Qahal senantiasa berkaitan dengan perkumpulan yang bersifat actual sedangkan Edhah berkaitan dengan perhimpunan yang tetap atau permanent; atau Qahal berkaitan dengan kondisi atau sifat pertemuannya sedangkan Edhah berkaitan dengan masyarakat atau bangsa secara keseluruhan.

Jadi bila Qahal dihubungkan dengan bangsa Israel maka hal itu berbicara tentang

pertemuan bangsa Israel secara actual, secara khusus bertemu untuk beribadah dan

memuliakan Allah.

Bangsa Israel sering disebut sebagai Qahal Yahwe, hal ini menunjukkan bahwa

sebagai umat Allah maka bangsa Israel dalam segala aspek kehidupannya harus

senantiasa mengaktualisasikan dirinya sebagai bangsa yang beribadah dan

memuliakan Allah.

Perjanjian Baru

Dalam Perjanjian Baru ada beberapa kata yang digunakan dalam kaitan dengan

pengertian Gereja, yaitu:

4

Ekklesia

Pada dasarnya kata ekklesia adalah kata yang bersifat profane dan bukan bersifat

kultus dan religious. Plato menyebutkan sidang rakyat sebagai ekklesia, warga kota

disebut ekkletoi. Pemahaman dan pemakaian kata ekklesia secara teknis religious,

dalam Perjanjian Baru, dapat dilihat dalam surat-surat Paulus terutama dalam surat

Kolose dan Efesus. Pauluslah yang menggandengkan kata ekklesia dengan Allah atau

dengan Kristus, sehingga menjadi ekklesia tou Theou atau ekklesia tou Kristou.

Paulus, yang dikenal sebagai penulis Kolose dan Efesus sudah mengembangkan kata

ekklesia dalam konteks pemahaman teologis. Ekklesia tou Theou-bentuk genitive, milik

Allah disebut sebagai tubuh Kristus – soma tou Kristou (Kol 1:24; 1 Tes 1;1; 2:14; Gal

1:22.13:1,1 Kor 10:32; 15:9), di mana Kristus sendiri sebagai kefale, kepala dari tubuh

(Kol1:18). Itulah sebabnya hubungan Kristus dengan gereja di gambarkan sangat erat

dan tidak terpisahkan satu sama lain (Ef 3:21; dan 5:32).

Sebutan ekklesia tou Theou dan ekklesia tou Xristou bukan hanya sekedar pergantian

sebutan saja, karena sebutan baru itu di maknai juga sebagai kuriakon – milik Kristus,

kepunyaan Allah. Dalam Perjanjian Baru kata inilah yang menggantikan Qahal Jahwe,

di mana orang-orang percaya kepada Yesus Kristus dipahami sebagai umat Allah,

sebagai Israel baru.

Didalam surat-suratnya, Paulus memakai kata ekklesia dalam berbagi bentuk. Hal itu

diperbuat untuk menunjukkan sifat, perbuatan dan pelayanan serta lokasi atau tempat

berkumpulnya orang-orang percaya.

1. Istilah “Ekklesia” sering menunjukkan kepada jemaat Allah yang terdapat di

suatu tempat tertentu atau sidang jemaat setempat. Misalnya: Jemaat di

Tesalonika, jemaat di Korintus (bd. 1 Tels.1:1; 1 Kort.1:2).

2. Selain itu dalam beberapa bagian Firman Tuhan yang lain, istilah ini dipakai

dalam bentuk tunggal untuk beberapa jemaat. Misalnya: Jemaat di seluruh

Yudea, Galatia, dan di Samaria. Jemaat Allah yang pernah mendapat

penganiayaan oleh Paulus saat ia belum bertobat (bd. Kis. Rasul 9:31).

5

3. Istilah ini juga dipakai dalam bentuk jamak untuk jemaat yang terdapat di satu

daerah. Misalnya: Jemaat-jemaat di Galatia, jemaat-jemaat di Makedonia,

jemaat-jemaat di Yudea (Gal.1:22; 1 Kort.16:1,19) .

4. Jemaat yang ada di rumah apakah itu hanya terdiri dari dua atau tiga orang yang

berkumpul bersama-sama, disebut “Ekklesia” ( Roma 16:5).

Melalui beberapa contoh tersebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa pemakaian

istilah “Ekklesia” di dalam Perjanjian Baru mempunyai arti yang bermacam-macam. Ia

tidak hanya mencakup arti jemaat lokal atau jemaat Allah yang terdapat di suatu daerah

tertentu, tetapi juga mencakup jemaat sebagai suatu keseluruhan, yang bersifat

universal, dan jemaat yang berkumpul di salah satu rumah dari setiap anggotanya. Ia

adalah jemaat atau umat Allah yang berkumpul dalam nama Tuhan Yesus Kristus.

Inilah yang diartikan dengan istilah “Ekklesia” dalam Perjanjian Baru.

Dengan demikian arti dan makna ekklesia tidak hanya terletak pada realitas adanya

perkumpulan orang percaya, melainkan pada cara dan pola hidup, perbuatan dan

tindakannya dalam kehidupan sehari-hari, yang dapat dilihat dalam diri orang percaya

secara pribadi, atau pada jemaat local secara kolektif, atau secara universal dalam

seluruh umat, orang pecaya kepada Kristus Yesus, bangsa Allah.

Koinonia

Arti kata koinonia dalam kehidupan social adalah to share something with some one.

‘Perhimpunan atau persekutuan untuk saling memberi’. Arti pokoknya adalah ‘adanya

partisipasi sesama orang yang bersekutu’. Dengan kata lain, persekutuan yang di

dalamnya ada milik bersama, tujuan bersama dan hidup untuk masa depan bersama.

Makna koinonia itu sangat jelas kelihatan di dalam makna perjamuan kudus,

sebagaimana ditemukan dalam perjamuan kudus yang dilakukan gereja perdana.

Setiap orang yang akan mengikuti perjamuan kudus selalu membawa sesuatu untuk

diberikan kepada orang lain. Itulah sebabnya perjamuan itu disebut jamuan kasih,

sebagaimana Kristus memberikan tubuhnya untuk keselamatan manusia.

Berdasarkan kebiasaan itulah Agustinus menyebut persekutuan orang Kristen adalah

persekutuan Sakramen – communia sacramentorum, persekutuan yang saling

6

membagi berdasarkan kasih Kristus. Oleh karena orang-orang percaya itu bersekutu

didalam persekutuan sakramen, yang memperoleh tubuh dan darah Kristus, maka

persekutuan itu dengan sendirinya menjadi communion santorum-persekutuan orang-

orang kudus. Dari pemahaman inilah lahir ungkapan koinonia ton hagion sebagaimana

kemudian dirumuskan dalam pengakuan iman rasuli.

Persekutuan

Kata koinonia diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan kata ‘persekutuan’,

yang secara etimologis tidak mempunyai hubungan dengan ekklesiologi. Kata

persekutuan berasal dari kata ‘kutu’, hama yang biasanya ada di rambut. Konon, ibu-

ibu dari masyarakat tradisional, hampir seluruh suku di Indonesia, mempunyai

kebiasaan mencari kutu , karena rasa gatal di rambut sangat mengganggu. Sehingga

muncul ungkapan” Ambilkan kutuku, nanti kuambi kutumu”. Hal ini menjadi cara

mereka mengatasi masalah kutu itu. Dari kebiasaan itu muncullah pemahaman

bersama,” kutuku adalah kutumu, kutumu adalah kutuku. Oleh karena itu kita adalah

sekutu.” Artinya, ‘mempunyai masalah kutu bersama, yang harus dibasmi secara

bersama-sama’. Dari pemahaman sekutu inilah lahir kata per-sekutu-an.

Jadi arti kata persekutuan adalah kumpulan orang – orang yang mempunyai masalah

yang sama, untuk diatas bersama, dan dengan cara yang sama saling berupaya

mengatasi persoalan yang ada didalam anggota pekumpulan atau persekutuan yang

lain. Oleh karena itu, bila kata persekutuan dikenakan kepada perkumpulan orang-orang percaya, seperti koinonia tou theou atau communion sancatorum, maka di dalamnya harus terwujud makna persekutuan sesuai dengan arti etimologinya, yaitu untuk hidup bersama dan bersama-sama berusaha menanggulangi masalah bersama demi kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Komentar (Formulasi Pribadi) -1-

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

7

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

II. Pemahaman Ekklesiologi Pada Zaman Gereja mula-mula

Pemahaman Ekklesologi pada zaman gereja mula-mula nampak dalam surat-surat

Paulus. Secara khusus Paulus di dalam mengungkapkan arti atau hakekat gereja,

menjelaskannya melalui beberapa metafora atau kiasan. Metafora tersebut adalah

sebagai berikut :

1. Gereja sebagai tubuh Kristus

Di dalam surat Efesus dan Kolose, Paulus menyebut gereja sebagai

tubuh Kristus. Hal ini mempunyai dua pengertian, yaitu :

1) Hubungan gereja dengan Kristus sebagai Kepala Gereja

Dalam Kol. 1:17-18 Paulus menyebut Kristus sebagai Kepala tubuh, yaitu

jemaat. Demikian juga dalam beberapa ayat Firman Tuhan yang lain disebutkan

bahwa Kristus telah diberikan oleh Allah kepada jemaat sebagai Kepala dari

segala yang ada. Selanjutnya, Paulus menyebut Kristus sebagai Kepala semua

pemerintahan dan penguasa. Pengertian Kepala disini, menurut Harun

Hadiwijono, adalah menyatakan tentang ‘kekuasaan, wewenang, pemerintahan,

yang berhak memegang kekuasaan dan pengaturan atas segala sesuatu’. Oleh

sebab itu apabila Paulus menyebut Kristus sebagai Kepala dari tubuh yaitu

jemaatNya, hal itu berarti: Kristuslah yang memiliki kekuasaan dan wewenang

atas jemaatNya. Dialah yang berhak dan bertanggung jawab untuk mengatur

dan memerintah atas gereja. Tidak ada kekuasaan lain atau penguasa

pemerintahan siapapun yang berhak mengatur serta memerintah atas gereja,

selain Kristus sendiri. Karena adanya gereja di dunia ini bukan hasil usaha

manusia, melainkan oleh karya penebusan Kristus. Sebaliknya, karena Kristus

yang memiliki kekuasaan dan wewenang atas gereja, maka gereja hidup hanya

8

untuk Kristus dan kemuliaanNya. Gereja dalam hidupnya senantiasa

melaksanakan segala sesuatu menurut perintah dan kehendak Kristus saja.

Dalam Kol. 2:10 dan Ef. 1:23 Paulus menyebutkan bahwa Kristus yang

memenuhi segala sesuatu, juga memenuhi jemaat sebagai tubuhNya. Kristus

yang sudah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, yang telah bangkit dan

yang sudah menerima segala kuasa di surga dan di bumi dari Allah, memenuhi

jemaatNya. Maksudnya, sebagai tubuh Kristus, gereja dipenuhi oleh segala

kesempurnaan Kristus, kesempurnaan dalam penderitaanNya dan sekaligus

dalam kuasa kebangkitan dan kemuliaanNya.

Hal itu menunjukkan bahwa antara Kristus dengan jemaat terjalin suatu

persekutuan atau kesatuan yang erat: persekutuan antara Kristus sebagai

Kepala dan jemaat sebagai tubuhNya. Oleh sebab itu apa yang terjadi terhadap

jemaat, juga terjadi bagi Kristus. Penganiayaan terhadap jemaat, juga

merupakan penganiayaan terhadap Kristus (bd. Kis.9:3-5).

Sebagai tubuh Kristus, gereja yang dipenuhi oleh kesempurnaan Kristus, di

dalam persekutuannya dengan Kristus sebagai Kepala, “ia hadir di segala

tempat. Ia tidak terikat pada ruang dan waktu. Ia melingkupi seluruh alam”. Oleh

sebab itu sebagai tubuh Kristus, “gereja tidak dapat diartikan menurut pemikiran

manusia, gereja mempunyai unsur-unsur ilahi, ia adalah suatu persekutuan

yang besar dari orang-orang yang sudah ditebus oleh Kristus, yang didalamnya

Ia berdiam, kepadanya dan melaluinya Allah dinyatakan.”

2). Hubungan antar anggota tubuh Kristus

Dalam 1 Kor 12:12-27 rasul Paulus dengan bijaksana berusaha menjelaskan

tentang sikap yang harus dimiliki dari setiap anggota jemaat dalam hubungannya

dengan sesama anggota, khususnya dalam hal karunia-karunia Roh. Sikap

kurang benar terhadap karunia-karunia Roh dapat mendatangkan pertikaian dan

perpecahan di dalam jemaat. Paulus menjelaskan bahwa karunia-karunia Roh

asalnya dari satu Roh. Seluruh karunia, pelayanan dan perbuatan ajaib berasal

dari “satu Roh, satu Tuhan dan satu Allah”. Hal tersebut diberikan kepada tiap-

tiap anggota jemaat seperti dikehendakiNya, untuk kepentingan bersama dalam

mendewasakan jemaat, serta untuk membangun dan meneguhkan jemaat

9

sebagai tubuh Kristus. Untuk lebih jelas lagi Paulus membandingkannya dengan

tubuh manusia. Sebagaimana tubuh manusia terdiri dari banyak anggota yang

berbeda tetapi bekerja sama untuk kebaikan segenap tubuh, demikian juga

keadaan yang harus dimiliki oleh jemaat. Perbedaan antar anggota tubuh bukan

terjadi perpecahan, tetapi untuk saling menunjang dan saling memperhatikan

satu dengan yang lain.

Hal tersebut juga ditegaskan oleh rasul Paulus dalam Ef 4:3-7, bahwa

jemaat harus tetap memelihara kesatuan Roh di antara anggota-anggota jemaat

dan mengetahui tempat mereka masing-masing di dalam jemaat Kristus.

Maksudnya, Paulus ingin menyadarkan jemaat bahwa segala perbedaan dan

keanekaragaman di dalam jemaat tidak hanya dimungkinkan, melainkan juga

dibutuhkan. Karena melalui keanekaragaman tersebut justru menyadarkan

setiap anggota jemaat, bahwa mereka saling membutuhkan satu dengan yang

lain. Karena mereka dipanggil bukan untuk hidup bagi diri sendiri, melainkan

mereka dipanggil dan diperlengkapi untuk membangun diri bersama di dalam

kasih, dan untuk bertumbuh bersama-sama di dalam segala hal ke arah Kristus.

Gagasan yang demikian, terdapat juga di dalam surat rasul Paulus kepada

jemaat di Roma. Segala nasehat Paulus itu adalah untuk menghindari terjadinya

persekutuan yang individualistis di dalam jemaat. Sebagai tubuh Kristus, jemaat

dipanggil untuk hidup di dalam kesatuan, yaitu kesatuan jemaat yang konkrit.

Karena di dalam satu Roh jemaat telah dibaptis sebagai satu tubuh. Dalam Roh

Kudus tubuh Kristus mendapat wujudnya yang konkrit, yaitu persekutuan orang-

orang percaya. Wujud persekutuan ini sama seperti persekutuan anggota-

anggota tubuh manusia, yang tidak mungkin dapat dipisah-pisahkan satu dengan

yang lain dan sekaligus tidak dapat berdiri sendiri. Kesatuan ini tidak lagi

merupakan suatu pengharapan, melainkan telah dianugerahkan terlebih dahulu

kepada jemaat oleh Kristus melalui Roh Kudus. Oleh sebab itu, Paulus

senantiasa menasehati dan mendorong jemaat untuk mewujudkan kesatuan

tersebut secara nyata di dalam kehidupan dan pergaulan mereka berjemaat.

Dengan demikian ungkapan rasul Paulus tentang jemaat sebagai tubuh Kristus

adalah menunjukkan kepada “Kesatuan gereja, baik secara lokal maupun universal,

10

dan khususnya kenyataan bahwa kesatuan ini bersifat organis dan bahwa organism

gereja mempunyai hubungan hidup dengan Yesus Kristus sebagai Kepalanya yang

mulia.”

2 . Gereja sebagai tiang penopang dan dasar kebenaran

Kesaksian Paulus tentang gereja sebagai tiang penopang dan dasar kebenaran

hanya terdapat dalam I Tim 3:15. Walaupun demikian hal itu mempunyai arti yang

sangat hakiki bagi pertumbuhan dan perkembangan gereja. Timotius sebagai

seorang pelayan muda di Efesus, menghadapi suatu aliran sinkretis yang sifat dan

tujuannya berlawanan serta tidak sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan. Aliran ini

merupakan bahaya besar untuk pertumbuhan gereja di Efesus. Oleh sebab itu

Paulus memberi tugas kepada Timotius untuk membimbing jemaat, agar jemaat

mengetahui bagaimana mereka harus hidup sebagai keluarga Allah, yaitu jemaat dari

Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran. Paulus ingin agar jemaat,

melalui Timotius, menyadari akan status mereka yaitu sebagai suatu lembaga,

mereka adalah tiang dan dasar kebenaran. Dan karena mereka adalah tiang dan

dasar kebenaran, maka mereka harus hidup dalam kebenaran. Kebenaran ini

mereka miliki bukan karena diri mereka benar, tetapi karena karya penebusan

Kristus. Kristus telah menyerahkan diriNya bagi gereja untuk menguduskan dan

membenarkannya di hadapan Allah. Maka sebagai tubuh Kristus, gereja telah

dipenuhi oleh kebenaran Kristus. Di dalam Kristus, gereja adalah tiang dan dasar

kebenaran. Memang tidak dapat dibantah dan ditentang bahwa di satu pihak gereja

tidak berbeda dengan dunia ini, karena setiap anggota jemaatnya adalah orang-

orang berdosa, yang masih sering berbuat dosa. Tetapi karena Tuhannya benar dan

telah membenarkannya, maka gereja menjadi benar dan dapat menjadi tiang dan

dasar kebenaran. Jadi gereja berbeda dengan dunia bukan karena gereja itu sendiri,

melainkan karena Tuhan yang ia sembah yang berbeda. Oleh “karena Tuhannya

berbeda, maka ia juga berbeda. Keperbedaannya ialah, bahwa ia berada ‘di dalam

Tuhan’-nya, bahwa ia dibenarkan dan dikuduskan, bahwa ia dipakai sebagai alat

karya-penyelamatan Allah di dalam dunia. Itulah yang membedakannya dengan

dunia.” Itulah rahasia kebenaran gereja, bahwa gereja yang penuh dengan segala

ketidakbenaran, kesalahan dan dosa, yang anggota-anggotanya masih sering jatuh

11

dalam dosa, adalah sungguh-sungguh bangsa yang kudus, ia adalah sungguh-

sungguh tiang penopang dan dasar kebenaran. Dan sebagai tiang penopang dan

dasar kebenaran, “gereja adalah penjaga kebenaran, benteng kebenaran dan

pembela kebenaran terhadap semua musuh Kerajaan Allah.”

3. Gereja sebagai Bait Allah

Sebagaimana telah disebutkan bahwa gereja penuh dengan kesalahan dan

dosa, tetapi karena Kristus telah menyerahkan diriNya bagi gereja untuk

menguduskan dan membenarkannya, maka di hadapan Allah gereja menjadi kudus,

benar dan tidak bercela. Gereja menjadi tiang penopang dan dasar kebenaran yang

terletak pada dasar yang teguh dan benar yaitu Kristus sendiri. Sebagai tiang dan

dasar kebenaran, gereja harus hidup di dalam kebenaran dan kekudusanNya. Gereja

harus mencari dan memikirkan perkara-perkara yang di atas, di mana Kristus ada.

Gereja tidak boleh hidup menurut pemikiran dunia ini walaupun ia ada di dunia ini,

sebab ia bukan berasal dari dunia ini. Semua hal tersebut mempunyai hubungan erat

dengan apa yang dikatakan Paulus kepada jemaat di Korintus, bahwa mereka adalah

Bait Allah. Maksudnya, sebagai Bait Allah gereja adalah tempat kediaman Allah.

Allah hadir di dalam gereja melalui RohNya yaitu Roh Kudus. Dan karena Kristus

adalah Anak Allah, maka Kristus sendiri juga hadir di dalam gerejaNya, yaitu dalam

setiap anggota gereja. Dengan kata lain, di dalam gereja, Allah Tritunggal berdiam di

dalamnya.

Sebagai Bait Allah, gereja telah dipisahkan dari dunia dan dikhususkan menjadi

keluarga Allah, menjadi milik Allah, menjadi anak-anak pilihanNya. Sebutan itu

menekankan kenyataan bahwa gereja adalah kudus dan tidak dapat dinajiskan.

Karena itu, gereja di dalam seluruh kegiatannya harus menyatakan kekudusannya.

Kekudusan yang telah ia terima dari Allah dalam Yesus Kristus, harus dipeliharanya

dengan bersandar kepada Roh Kudus. Oleh sebab itu, gereja tidak boleh terbuka

dan dinodai oleh ajaran-ajaran filsafat dan hikmat dunia. gereja harus berdasarkan

pada Kristus, bertumbuh dalam kesempurnaan Kristus. Selain itu, sebagai Bait Allah

gereja atau setiap orang percaya harus menyatakan kehadiran dan kesucian Allah di

dalam dunia. Ia harus menyaksikan serta menyampaikan panggilanNya bagi seluruh

umat dunia, agar mereka dapat menghampiri kekudusanNya dan sekaligus

12

memasuki persekutuan dengan AnakNya, Yesus Kristus. Ia harus menjadi rumah

Allah yang rohani, yang dibangunkan dari batu-batu yang hidup, yaitu seluruh orang

yang percaya, sehingga dengan demikian ia menjadi pusat ibadah dan

penyembahan kepada Allah dengan segala persembahan rohani. Persembahan ini

menurut Paulus disebut ibadah yang sejati. Ibadah jemaat yang sejati ini tidak hanya

terbatas pada apa yang diberlakukan oleh jemaat dalam gedung gereja, melainkan

juga melingkupi segala sesuatu yang diberlakukan oleh tiap-tiap anggota jemaat

dalam kehidupannya di tengah-tengah masyarakat atau dunia ini. Melalui ibadah ini,

mereka dapat membawa setiap orang yang berdosa dari segala suku bangsa, segala

tempat segala waktu dan keadaan kepada persekutuan dengan Kristus oleh Roh

Kudus dan di bawah Allah Bapa.

4. Gereja sebagai bangunan Allah

Selain sebagai Bait Allah, gereja juga disebut sebagai bangunan Allah yang

dibangun oleh Allah di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus sebagai

batu penjuru. Paulus menyebut jemaat sebagai bangunan Allah adalah untuk

menunjukkan kepada jemaat Korintus, yang saat itu mengalami satu krisis

perpecahan, bahwa mereka bukan milik manusia tetapi milik Allah. Apollos dan

Paulus hanya sebagai pelayan-pelayan Allah yang dipercayakan untuk membangun

bangunan Allah. Mereka hanya kawan sekerja dari bangunan Allah. Mereka berdua

bukan pemilik Gereja, mereka hanya hamba-hamba Kristus yang dipanggil untuk

membangun dan melayani gereja. Gereja hanya dimungkinkan sebagai bangunan

Allah, apabila ia dibangun pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus.

Bangunan tersebut ditentukan oleh karya penebusan Kristus. Kristus adalah batu

penjuru bangunan itu, batu yang menentukan berdirinya bangunan itu. Tanpa

Kristus menjadi batu penjuru, tanpa Allah Bapa mempercayakan pembangunan

bangunan tersebut pada Paulus dan Apollos, dan tanpa penyertaan Allah di dalam

pembangunan, maka gereja tidak dapat berdiri sebagai bangunan Allah. Gereja

adalah milik Allah dan dibangun untuk Allah. Sebagaimana satu bangunan

membutuhkan proses penyelesaian, demikian juga gereja. Dengan lain kata,

sebagai bangunan Allah, gereja harus senantiasa bertumbuh dan berkembang serta

13

bertambah-tambah menjadi Bait Allah. Oleh sebab itu, “menjadi bagian bangunan itu

berarti menjadi tenaga yang hidup dan bertumbuh berkembang.”

Sebagai bangunan Allah yang diletakkan pada batu penjuru yaitu Yesus

Kristus, gereja harus membangun dirinya di dalam KasihNya, dalam pengajaranNya,

dalam hikmatNya dan pengetahuanNya, menuju kepada kepenuhan hidup dalam

Kristus. Supaya di dalam Kristus, segala pertentangan ada pemisahan yang

menghalangi pertumbuhan dan pembangunannya dapat ditiadakan. Di dalam

Kristus gereja memiliki bentuk dan kesatuannya. Kesatuan antara orang-orang

percaya yang dikumpulkan, dibentuk dan sedang dibangun oleh Roh Kudus menjadi

bangunan Allah. Dengan perkataan “kamu adalah bangunan Allah”, Paulus

bermaksud bahwa gereja bukan hasil buah tangan manusia atau bukan persekutuan

kemauan manusia, tetapi “Gereja merupakan persekutuan murni orang-orang yang

terikat kepada Kristus, Kepala mereka, dan yang terikat satu sama lain di dalam Roh

Kudus, sehingga itu menjadi persekutuan Roh.” Gereja adalah karya Allah di dalam

AnakNya Yesus Kristus oleh Roh Kudus.

5. Gereja sebagai Tanaman Allah

Rasul Paulus di dalam I Kor 3:6-9 menyebut gereja sebagai tanaman Allah.

Kemudian dalam ayat 9 Paulus menyebut gereja sebagai ladang Allah. Demikian

juga di beberapa bagian Firman Tuhan yang lain ia menyebut gereja sebagai

berakar di dalam Kristus. Semua ungkapan Paulus ini tidaklah bertolak belakang,

tetapi mempunyai arti yang sama, yaitu bahwa gereja adalah milik Allah dan juga

milik Kristus sendiri. Adanya gereja adalah hasil perbuatan Allah sendiri. Dialah

yang memungkinkan gereja untuk bertumbuh. Yang menanam dan menyiram tidak

memegang peranan penting, melainkan Tuhan, yang memungkinkan tanaman

tersebut hidup dan bertumbuh. Tuhan Yesus adalah sumber kehidupan gereja, dari

padaNyalah gereja menerima segala pertumbuhannya. Di luar Kristus, gereja tidak

dapat hidup dan bertumbuh. Dengan lain kata, gereja hanya dapat hidup dan

berkembang sejauh mana ia tetap di dalam Kristus, gereja akan hilang identitasnya

sebagai gereja yang benar, bilamana ia lepas dari sumber hidupnya, yaitu Kristus.

Jadi, bilamana Paulus menyebut gereja sebagai tanaman, berarti gereja bukan

barang yang mati, melainkan sesuatu yang hidup.

14

Gereja adalah suatu organisme. Ia dipanggil bukan saja supaya bertumbuh, tetapi

juga untuk berbuah. Dengan lain kata, gereja terpanggil bukan hanya untuk

mengaku dirinya sebagai milik Allah, tetapi juga dipanggil untuk bersaksi, untuk

memasyhurkan Injil Kristus, karena Allah menghendaki supaya semua orang

beroleh selamat. Untuk dapat melaksanakan tugas dan panggilan ini, maka gereja

harus senantiasa dibangun; tiap-tiap anggotanya perlu saling membangun dirinya di

atas kebenaran Firman Tuhan. Mereka harus bertambah-tambah dalam imannya

akan Yesus Kristus, agar dengan demikian Injil makin dimasyhurkan. Itulah

sebabnya Paulus dalam Kol 2:6-7 mengharapkan agar jemaat Kolose di dalam

hidupnya tetap dan berakar di dalam Kristus. Supaya melalui hal itu, mereka makin

bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah, mengetahui kehendak

Tuhan dengan sempurna, sehingga hidupnya layak di hadapanNya serta berkenan

kepadaNya dalam segala hal. Sebagai tanaman Allah, gereja harus selalu berada

dalam kemajuan, ia tidak boleh berhenti menjadi badan yang statis. Ia adalah

persekutuan yang diutus untuk mengaku dan bersaksi bagi kemuliaan Allah.

6. Gereja sebagai pengantin Kristus

Peranan gereja yang paling utama dalam hubungannya dengan Kristus

diungkapkan oleh Paulus sebagai Pengantin Kristus yang berhias dan berdandan

untuk Kristus sebagai suaminya. Hal ini juga dikatakan oleh Kristus sendiri dalam

Mat 9:15; 25:1,5,6. Pemikiran ini berlatar belakang dari Perjanjian Lama, dimana

dikatakan bahwa kegirangan Allah atas bangsaNya, dilukiskan seperti kegirangan

seorang mempelai melihat pengantin perempuan. Apabila Paulus menyebut gereja

sebagai Pengantin Kristus, hal itu menunjukkan betapa eratnya hubungan antara

gereja dengan Kristus, yaitu hubungan yang ditandai dengan kasih mesra, kasih

yang melebihi segala sesuatu. Sebagai pengantin Kristus, gereja adalah kudus dan

dinamis. Ia sedang berjalan menuju kepada persekutuan yang kekal bersama

Kristus dalam perjamuan kawin Anak Domba.

Maka sebagai Pengantin Kristus, gereja adalah persekutuan orang-orang kudus

yang dipanggil dan disucikan Allah, untuk hidup dan mengabdikan dirinya bagi

kemasyhuran, kehormatan dan kemuliaan Tuhan Yesus Kristus. Sebagaimana

pengantin perempuan mempunyai satu kerinduan yaitu supaya ia berkenan kepada

15

suaminya, demikian juga gereja harus memperkenakan hidupnya kepada Kristus. Ia

harus menjaga serta memelihara kekudusannya, menjaga dirinya daripada

kecemaran dan kenajisan dosa. Sebagai pengantin Kristus, gereja harus

mengikutiNya dengan sepenuh hatinya. Ia harus menaklukkan dirinya di bawah

kasih Kristus, karena Kristus adalah tujuan hidup gereja. Dialah kekasih dan hidup

gereja.

Namun demikian, hal itu tidak berarti gereja harus menutup dirinya terhadap

dunia, justru ia dipilih dan dipanggil untuk menyatakan kedudukanNya kepada

dunia. ia harus membawa ke dalam dunia pengaruh kehidupannya dalam Kristus.

Gereja di dalam persekutuannya harus terbuka dan mengundang seluruh umat

manusia untuk dapat merasakan dan menghayati persekutuannya dengan Kristus,

agar dengan demikian mereka dapat menerima keselamatan yang ada di dalam

Kristus. Hal ini tidak saja disaksikannya dengan perkataan, tetapi juga dengan

perbuatan. Oleh sebab itu, sebagai Pengantin Kristus, gereja tidak dipanggil untuk

menjadi persekutuan yang hidup bagi dirinya sendiri dan tertutup bagi dunia, karena

sikap yang demikian dapat membawa akibat buruk bagi perkembangan gereja itu

sendiri. “Gereja yang hanya memandang dirinya secara ke dalam tidak mempunyai

masa depan”. Ia tidak akan berkembang, tetapi menjadi beku dan mati. Karena itu,

sebagai Pengantin Kristus, gereja dipanggil untuk senantiasa memperhadapkan

serta menampakkan persekutuannya dengan Allah dalam Kristus kepada dunia. ia

dipanggil untuk menyatakan rahasia persekutuannya dengan Kristus, persekutuan

yang mempunyai keinginan rohani, supaya melaluinya dunia mengetahui bahwa

kerajaan Allah telah datang ke dunia di dalam Kristus.

Dengan demikian, apabila Paulus menyebut gereja sebagai Pengantin Kristus,

hal itu berarti, bahwa gereja adalah persekutuan-murni orang-orang yang terikat

kepada Kristus oleh Roh Kudus. Gereja adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik

gereja. Kedua-duanya tidak dapat dipisah-pisahkan, sebab antara gereja dan

Kristus terdapat suatu kesatuan yang erat sekali. Begitu erat sehingga tidak dapat

dimengerti oleh manusia. Itulah rahasia gereja sebagai Pengantin Kristus.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan:

16

1. Di dalam dunia ini, gereja hidup sebagai suatu persekutuan.

Persekutuan orang-orang kudus yang dipanggil dari antara segala bangsa,

zaman dan tempat, keluar dari hidup yang lama, terpisah dari kegelapan dunia,

dan dipanggil kepada Allah sendiri menjadi umat yang baru, umat pilihan Allah,

keluarga Allah, warga kerajaan Allah. Dengan kata lain, gereja adalah

persekutuan orang-orang beriman dari segala bangsa, zaman dan tempat, yang

sudah ditebus, diampuni, dimerdekakan dan dibenarkan oleh Kristus melalui

darahNya, dan dipanggil ke dalam persekutuan dengan Bapa dan AnakNya,

Yesus Kristus di dalam Roh Kudus.

2. Sebagai umat pilihan Allah, gereja adalah kudus dan benar. Kekudusan dan

kebenaran gereja bukan berasal dari dirinya sendiri melainkan karena karya

Kristus yang telah menguduskan dan membenarnya. Karena itu, setiap anggota-

anggotanya harus hidup di dalam kekudusan dan kebenaranNya. Mereka

dipanggil untuk hidup di dalam kesempurnaan Kristus. Untuk itu setiap

anggotanya harus saling membangun dirinya bersama di dalam pengajaran

FirmanNya. Mereka harus bertumbuh di atas dasar yang teguh, yaitu Kristus.

Hidup mereka harus tetap di dalamNya dan tidak boleh terbuka dan dinodai oleh

ajaran-ajaran filsafat dan hikmat dunia.

3. Dalam persekutuan mereka dengan Kristus, segala perbedaan dan pertentangan

di antara manusia telah berakhir. Mereka diikat oleh iman bersama, dalam kasih

bersama dan ibadah bersama kepada Kristus, Kepala dan Hidup mereka. Di

dalam Kristus, gereja ada satu, satu di dalam keperbedaan dan

keanekaragaman.

4. Memasuki persekutuan dengan Bapa dan AnakNya, Yesus Kristus berarti masuk

dan melibatkan diri dalam karya penyelamatan Allah bagi dunia ini. Oleh sebab

itu, sebagai milik Allah, gereja bukan persekutuan yang tertutup dan hidup bagi

dirinya sendiri, tetapi ia dipanggil untuk menjadi alat di tangan Tuhan untuk

memberitakan kabar keselamatan yang ada di dalam Kristus kepada dunia.

Gereja dipanggil untuk melibatkan dirinya dalam misi Kristus untuk keselamatan

dunia ini.

17

W.E. Best mengemukakan mengenai asal usul gereja dari komunitas para murid

yag dipanggl dan dilatih, serta diutus, dan meneruskan pekerjaan Kristus dalam

konteks Gereja. Pada permulaan buku keepat dari Institutionya Calvin, khususnya

pasal 1 dan 2, Calvin mengemukakan mengenai dua jenis gereja, gereja yang palsu

dan gereja yang benar. Gereja yang benar dipahami dalam konteks komunitas umat

pilihan yang bersifat catholic atau universal. Komunitas orang piihan dimengerti

sebagai invisible church, yaitu orang percaya yang sejati. Komuitas orang pilihan ini

ditandai oleh adanya pemberitaan Firman dan pelaksanaan sakramen yang benar.

Berkhof menerangkan arti gereja dari beberapa pengertian, sebagai tubuh

Kristus, tempat kediaman RK, Yerusalem dari atas, tiang dan dasar kebenaran. E.P.

Clowney, mantan rector Westminster Theological Seminary mengartikan gereja

sebagai umat Allah, komunitas mesianis, tubuh Kristus dan persekutuan Roh Kudus.

Dari pengertian Calvin, Berkhof dan Clowney ini, maka gereja dipahami sebagai

umat Allah yang percaya kepada Kristus, yaitu umat pilihan Bapa, umat pilihan

yang ditebus Yesus Kristus, dan umat pilihan yang dimeterai oleh Roh Kudus,

dengan tujuan untuk beribadah dan memuliakan Allah di tengah dunia ini. Mereka

dipilih untuk terlibat dalam Missio Dei dan Missio Christi. Itulah misi Gereja, Missio

Ecclesiae.

Dengan demikian, dari pengertian biblical dan pemikiran beberapa theolog tsb di

atas, maka disimpulkan bahwa gereja adalah umat pilihan Allah. Umat pilihan Allah

ini identik dengan kepunyaan Allah, tebusan Kristus, umat persekutuan dengan

Allah. Pemahaman tentang gereja sebagai umat pilihan Allah, berimplikasi pada

pemahaman bahwa gereja sebagai satu-satunya instrument misi penebusan Allah di

dunia ini.

Semua manusia adalah ciptaan menurut gambar Allah. Karena itu, semua

manusia diberi mandate kebudayaan, yaitu mandate untuk menguasai semua

ciptaan Allah yang lain, sele\ain sesame manusia (kej.1:28), karena itu, semua

manusia adalah agen Allah untuk misi pemeliharaan semua ciptaan. Namun, tidak

semua manusia adalah agen Allah untuk misi penebusan. Hal ini bergantung pada

18

jawaban atas siapa yang mengutus dan diutus. Berkenan dengan hal itu, Voetius

memberikan jawaban bahwa pengutus adalah Allah dan Gereja adalah alat yang

berkenan dipakai dan diutus Allah.

Lahirnya Jabatan Gerejawi

Jabatan gerejawi pada awalnya adalah jabatan apostolat-kerasulan. Hal itu dapat

dilihat pada keempat Injil dan kisah para rassul 1:5. Para rasul itu, pada mulanya,

mempunyai tugas fungsional rasul, nabi dan evangelis secara bersamaan dalam

satu rangkaian. Para Rasul yang bertanggung jawab dalam mengambil suatu

keputusan dan menyelesaikan beberapa kemelut yang dihadapi jemaat (Kis 11:28;

13:1; 15:32). Akan tetapi sesuai dengan perkembangan jemaat, para rasul tidak

cukup waktu untuk sekaligus mengemban pelayanan, pengajaran, memimpin

ibadah dan menjalankan disiplin, terlebih melayani meja untuk kaum janda dan

kaum miskin yang dikenal sebagai diaken.(Kis 6:1-6).

Pelayanan gereja terus bertumbuh seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan

gereja yang terus berlanjut. Ada dua jabatan gereja yang di pakai untuk

melaksanakan tugas pelayanan dalam gereja perdana itu, yaitu prebuteros dan

episkopos. Jabatan prebuteros diambil dari kebiasaan sinagoge Yahudi. Setiap

sinagoge selalu mempunyai badan atau majelis penatua, penatua, yang sebenarnya

terdiri dari para pemimpin, ahli-ahli taurat, imam-imam besar (Kis 4:5; 8:23). Dewan

penatua itu bertugas sebagai badan peradilan agama dan pemimpin pemerintahan.

Istilah penatua dalam bentuk jamak pertama sekali digunakan pada lingkungan

Kristen adalah pada jemaat Yerusalem (Kis 11:30). Tugasnya menerima bantuan

dari jemaat Antiokia dan menyalurkannya kepada yang membutuhkannya. Beberapa

tahun kemudian dilaporkan bahwa para penatua ikut dalam sidah di Yerusalem

bersama-sama dengan para rasul (Kis 15:6 dst). Lambat laun istilah penatua dipakai

juga dijemaat non Yahudi, seperti djemaat di Efesus (Kis 20:17 dst).

Sedangkan epikopos diambil dari lingkungan Yunani, yang ditemukan dalam

lembaga-lembaga kemasyarakat. Tugasnya mengawasi, mengontrol dan

19

mengamati untuk kelancaran tugas fungsionalnya. Episkopos memimpin jemaat

suatu jemaat, sebagai gembala sidang.

Pada perkembangan selanjutnya lahirlah jabatan uskup yang diambil dari

kepemimpinan kemasyrakatan duniawi. Dalam kelembagaan di masyarakat Yunani,

tugas seorang uskup mengurusi masalah keuangan dan kepemimpinan. Tugas itu

diadopsi ke dalam kehidupan gereja dengan memberlakukan jabatan gerejawi,

sehingga seorang uskup bertanggung-jawab untuk mengurusi masalah sosial,

pemanfaatan dana, mengawasi dan mengkoordinasi pelayanan social didalam

kehidupan beberapa jemaat. Dikemudian hari, tugas seorang uskup dikenal sebagai

memimpin beberapa jemaat.

Disiplin Gereja

Salah satu sifat gereja adalah kudus. Disamping keuniversalannya, gereja juga

memilki kekhususanya yaitu kekudusan, kesucian. Sekalipun kekudusan gereja itu

tidak pernah sempurna, namun gereja terus berusaha memelihara kekudusannya,

melalui disiplin,siasat atau hukum gereja, sampai kedatangan Kristus yang kedua

kalinya. Gereja purba memiliki aturan, yang disebut disiplin gereja untuk menjaga

kekudusan, keuniversalan dan kekhususan gereja. Disiplin diperlukan untuk

membentuk perilaku, karakter dan hidup spiritual warga jemaat. Tujuan akhir dari

disiplin gereja adalah untuk membimbing dan mengarahkan warga jemaat sampai

akhir tujuan hidup. Disiplin gereja sudah dirasakan perlu sejak awal kehadirannya.

Hal itu disebabkan realitas yang dihadapi gereja, dimana warga berada ditengah-

tengah bangsa kafir, penguasa dunia yang cenderung melakukan perpecahan

didalam tubuh gereja. Ada warga jemaat yang terpengaruh sehingga melakukan hal-

hal yang tidak sesuai denga firman Tuhan, bahkan akhirnya murtad meninggalkan

Tuhan. Supaya warga jemaat tidak terpengaruh, maka perlu disiplin sebagai

pedoman kehidupan. Didalam disiplin itu ada nasehat atau peringatan yang harus

ditaati warga jemaat. Berbagai nasehat dan larangan untuk membentuk karakter

dan perilaku yang benar dapat ditemukan di dalam surat-surat Paulus dalam kita

Wahyu.

20

Sidang Gereja

Gereja purba sudah mengadakan sidang pertama, sekali dilakukan di Yerusalem

(Kis 15). Peserta sidang bukan hanya rasul dan penatua tetapi ikut juga warga

jemaat. Dengan demikian jemaat turut mengambil keputusan untuk kepentingan

gereja. Salah satu yang terpenting dalam sidang gereja itu adalah keputusan yang

diambil adalah pernyataan sidang itu, “sebab keputusan Roh Kudus dan keputusan

kami” (Kis 15:28). Sidang gereja ternyata dan seharusnya dihadiri Roh Kudus

sehingga keputusannyapun menjadi keputusan semua peserta sidang , termasuk

keputusan Roh Kudus. Kekeliruan yang sering terjadi adalah ketika pelayan gereja

memahami rapat, sidang, konsili, sinode adalah bagian kegiatan organisasi atau

kelembagaan gereja dan bukan sebagi ibadah. Beribadah itu dapat dilakukan

dengan memuji Tuhan, mendengar firmanNya, berdoa dan bertukar pikiran, seperti

yang kita lakukan didalam sidang, atau rapat-rapat gereja.

Komentar (Formulasi Pribadi) -2-

............................................................................................................................................

............................................................................................................................................

............................................................................................................................................

.........................................................................................................................................

III. Gereja, Kerajaan Allah Dan Misi

1. Relasi Gereja dan Kerajaan Allah.

Menurut Ladd, “Kerajaan Allah pertama-tama adalah ketentuan penebusan

Allah yang diwujudkan dalam Kristus; dan kedua ialah dunia mengenai perluasan

berkat-berkat pemerintahan Allah yang pasti dialami”. Dengan demikian, Kerajaan

Allah adalah dunia yang bersifat spiritual dan redemptive, dan itu dihubungkan

dengan orang yang telah mengalami karya penebusan di dalam dan melalui

Kristus. Mereka ini disebut sebagai orang-orang percaya atau gereja. Dengan

21

demikian, gereja diciptakan oleh Kerajaan Allah, Gereja tidak sama dengan

kerajaan Allah. Kerajaan Allah adalah lebih dari pada gereja, dan gereja

merupakan kesaksian Kerajaan Allah. Untuk itu, gereja yang adalah saksi

Kerajaan Allah, dipanggil untuk mendemonstrasikan totalitas Kerajaan Allah.

Gereja adalah bagian dari Kerajaan Allah bahkan instrument dari Kerajaan Allah

dalam konteks misi Allah untuk dunia ini. Gereja, dalam relasi dengan Kerajaan

Allah adalah persekutuan orang percaya yang mewakili Kerajaan Allah dalam

dunia. Persekutuan orang percaya ini tidak dipahami sebagai suatu komunitas

suatu organisasi manusia, melainkan suatu komunitas yang hidup dari Kerajaan

Allah yang didalamnya Allah memerintah sebagai Raja, dan olehnya, Allah

memerintah dunia ini sebagai Pencipta dan Raja yang menopang segala

ciptaanNya. Gereja adalah warga Kerajaan Allah dan bukan sebagai Kerajaan

Allah. Ia adalah hasil karya keselamatan dan milik Yesus Kristus, Raja Kerajaan

Allah. Dalam relasi dengan Kristus, yang adalah Raja Kerajaan Allah, maka gereja

yang adalah persekutuan orang percaya selain kepunyaan Kerajaan Allah juga

Kerajaan ini adalah kepunyaan mereka, tetapi sekali lagi mereka bukan Kerajaan

Allah itu sendiri. Kerajaan Allah adalah pemerintahan Allah, sedangkan gereja

adalah komunitas orang percaya, warga Kerajaan Allah. Sebagai warga

Kerajaan Allah, ia representative Kerajaan Allah. Ia mewakili Kerajaan Allah di

dunia ini untuk mengembangkan misi Allah. Sebab itu, sebagai milik Raja Kerajaan

Allah, ia memikul tanggung jawab untuk menyaksikan kedatangan Kerajaan Allah

di dunia ini melalui pemberitaan Injil yang mentransformasikan manusia berdosa

menjadi anak Kerajaan Allah, sekaligus memberikan pengaruh bagi kemanusiaan

melalui perubahan social yang diusahakan dapat menghapus dehumanisasi yang

bersifat kekal, yaitu keselamatan manusia dari kematian yang kekal.

2. Gereja sebagai agen pembaharuan Kerajaan Allah dalam Pelayanan Misi

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa Gereja bukanlah Kerajaan

Allah. Ia adalah merupakan hasil dari kedatangan Kerajaan Allah ke dalam dunia

melalui misi Yesus Kristus. Karena itu, Gereja tidak dapat membangun Kerajaan

Allah, kecuali memberitakan dan mengalami berkat-berkat Kerajaan itu. Gereja

22

adalah agen atau alat pembaharuan dari Kerajaan Allah. Allah memakai Gereja

untuk mewujudkan rencana penebusanNya yang sudah Ia kerjakan dengan

sempurna oleh Kristus, dapat diwujudkan melalui pertolongan Roh Kudus. Gereja

yang didirikan oleh Kristus, dipanggil untuk menjadi representatifNya dalam dunia.

Berkaitan dengan hal ini, Snyder berkata:” ..the church an instrument of God’s

kingdom today”. Visi Kerajaan Allah akan menjadi nyata melalui gereja. Melalui

gereja, Injil Kerajaan Allah akan diberitakan ke seluruh dunia (Mat.24:14). Gereja

beraktifitas sebagai alat untuk mengerjakan amanat Kerajaan Allah, yaitu

memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada semua umat manusia di muka bumi ini.

Gereja adalah satu-satunya alat Kerajaan Allah dalam pelayanan misi untuk

memberitakan Kerajaan Allah. Melaluinya Allah Tritunggal bekerja mewujudkan

rencanaNya yang Agung bagi keselamatan dunia ini. Bahkan Yesus sendiri

menyatakan bahwa Ia tidak akan datang kembali sebelum Amanat AgungNya

dilaksanakan oleh gereja secara bertanggung jawab. Relasi antara ringkasan dari

sepuluh Hukum Allah (Mat.22) dan Amanat Agung (Mat.28) telah menghasilkan

pelayanan Kristiani yang holistic, karena pelayanan yang holistic adalah sifat dari

Kerajaan Allah. Sebenarnya yang menjadi pusat perhatian gereja adalah kehadiran

Kerajaan Allah. Gereja adalah agen pembaharuan dari Kerajaan Allah yang

ditempatkan di dunia untuk membaharui dunia ini. Dengan demikian, masa depan

dunia juga ditentukan oleh gereja. Tanggung jawab gereja dalam pelayanan misi

menjadi sedemikian besar dan harus dilaksanakan dalam kurun waktu yang

ditetapkan oleh Allah sendiri. Peranan Roh Kudus dan peran serta dari semua umat

Allah dalam melaksanakan pembaharuan dunia ini merupakan kata kunci dari

Kerajaan Allah. Kerajaan Allah adalah damai sejahtera. Di dalam Kerajaan ini, Allah

memerintah dengan kuasa, kebenaran, kekudusan dan keadilan. Allah akan

mewujudkan kerajaanNya melalui Yesus Kristus AnakNya. Dasar pemerintahan

Allah adalah anugerah karena iman (Ef.2:8,9). Dari Perjanjian Lama sampai

Perjanjian Baru, melalui para hambaNya, Allah memberitakan kedatangan tahun

rahmat yang didalamnya terkandung berita anugerah, kebenaran, kekudusan dan

keadilan. Allah tidak akan berkolusi dengan kejahatan dan juga tidak akan

kompromi dengan dosa. Kerajaan Allah adalah kudus, barangsiapa masuk ke

23

dalamnya harus melalui proses pengudusan. Allah selalu akan menepati janjiNya

bahwa Ia akan memerintah dengan adil dan benar. Ia juga akan membebaskan

orang-orang tawanan, mencelikkan orang buta dan membebaskan orang yang

tertindas (Yes.61:1-2). Keselamatan Allah bukan hanya untuk Israel atau gereja,

tetapi untuk seluruh umat ciptaanNya. Dengan demikian masa depan dunia ini

tergantung sepenuhnya kepada Allah, Sang Pencipta dunia ini. Namun demikian,

harus dimengerti bahwa Kerajaan Allah bukan suatu Negara yang mempunyai

wilayah atau perencanaan yang dapat dicapai dengan manajemen manusia.

Kerajaan Allah atau pemerintahan Allah adalah hasil karya dinamika kuasa Allah

yang mendorong, menantang memberikan kedamaian, memberikan hidup baru,

inspirasi harapan baru kepada setiap orang untuk mengabdikan dan melayani,

dimana Allah sendiri yang memberikan kemungkinan kepada umatNya atau Gereja

untuk mencapai sasaran seperti yang ditetapkan oleh Allah sendiri. Yesus sebagai

Kepala Gereja akan memimpin umatNya menjadi agen pembaharuan dari Allah,

alat Allah dalam menjalankan misiNya untuk memberitakan tahun anugerah dan

memproklamasikan Injil Keselamatan.

Bertitik tolak dari dari pemahaman ini, gereja dalam pelayanan misi berfungsi

untuk menyelamatkan dunia dari kuasa dosa, berperan aktif dalam menciptakan

keadilan-sosial, turut bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa,

mempersiapkan dunia menjadi Kerajaan Allah.

3. Tri Tugas Panggilan Gereja

Dari sekian tugas dan panggilan Gereja, semuanya dapat dikelompokkan

dalam tiga kategori yang bersifat integrative. Pertama, Koinonia, yaitu memelihara

persekutuan umat Tuhan dengan tujuan peningkatan iman dan pengabdian kepada

Tuhan Yesus Kristus, sebagai Kepala Gereja. Tugas pertama ini memberikan

kemungkinan dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga jemaatnya

untuk berperan aktif sesuai dengan karunia dan talenta yang milikinya. Tugas

gereja adalah menggali dan mengembangkan karunia setiap anggota jemaat agar

24

dapat didayagunakan untuk pelayanan misi dan pembangunan tubuh Kristus.

Gereja sedapat mungkin memperjuangkan persekutuan dan persatuan umat

Kristen, baik secara denominasional maupun interdenominasional untuk menjadi

kesaksian bagi dunia dan dengan demikian menarik sebanyak mungkin orang

untuk bertemu dengan Kristus sebagai Juruselamatnya. Tugas kedua, Marturia,

yaitu panggilan Gereja untuk melakukan tugas kesaksian dan pemberitaan Injil

Kerajaan Allah kepada semua manusia, karena Injil adalah satu-satunya kuasa

Allah yang dapat menyelamatkan manusia dari kuasa dosa, kuasa maut dan kuasa

iblis. Kesaksian Injil dalam konteks pelayanan secara holistic dan terpadu akan

mampu menyentuh semua aspek kehidupan manusia: tubuh, jiwa dan roh. Tugas

ketiga, Diakonia, yaitu mewujudkan kasih Allah kepada manusia pada umumnya,

baik di dalam maupun di luar gereja. Tugas dan panggilan ini harus dilaksanakan

bersama dalam konsep “tubuh Kristus”, secara local (jemaat), sinodal, maupun

interdenominasional. Gereja tidak hanya dipanggil untuk penatalayanan ke dalam-

warga jemaat sendiri, tetapi juga dipanggil keluar gereja kepada sesama manusia.

Komentar (Formulasi Pribadi) -3-

…………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………

………………………

ereri………………………………………………………………………..

IV. Gereja sebagai Persekutuan Eskatologis

Konsep teologis ekklesiologis gereja purba yang mengambil istilah komunitas social,

seperti koinonia atau persekutuan, yang kemudian menjadi istilah teologis

menunjukan perkembangan pemahaman dari pengertian profane telah menjadi

pemahaman sakral dan sorgawi. Pemahaman itu juga kita temukan dari

25

perkembangan makna persekutuan penerima sakramen menjadi persekutuan

orang-orang kudus. Itu berarti ekklesia, dalam pengertiani ek-kaleo, sebagai

persekutuan orang-orang percaya yang dipanggil dari dunia dan diutus kedunia

secara lambat laun tetapi pasti menjadi suatu persekutuan eskatologis, persekutuan

yang bergerak menuju masa depan.

Ada tiga elemen teologis di dalam kehidupan gereja yang menjadikannya sebagai

persekutuan eskatolgis:

1. Ekklesia Kristologis

Paulus menjelaskan konsepsi koinonia, persekutuan, dengan dua jalur:

pertama, koinonia sebagai en Kristo, persekutuan didalam dan oleh Yesus

Kristus. Pemahaman itu dapat dijelaskan melalui makna sakramen, dimana

orang-orang percaya bersekutu dengan Kristus melalui kematian dan

kebangkitan-Nya (Rom 6:3-4; I Kor 10:23:26). Kedua, koinonia sebagai soma

tou Xristou-tubuh Kristus (Rom 12:4; I Kor 12:27). Gagasan teologis Paulus

yang menekankan gereja sebagai tubuh Kristus dan Kristus sebagai kepala

tubuh menunjukan bahwa gereja tidak mungkin berada diluar konteks

pemahaman tentang Kristus. Gereja selalu berhubungan langsung, dan

bahkan adalah wujud dari kehadiran Kristus sendiri. Oleh karena itu,

pemahaman ekklesiologi tidak mungkin ada tanpa pemahaman Kristologi.

Dalam sejarahnya, gereja Roma Katholik pernah membuat keputusan yang

sifatnya infalibitas-tidak mungkin salah, karena keputusan tersebut diambil

secara ex-cathederal, yaitu: Ubi papae, ibi ecclesiae et ubi ecclesiae ibi

Christus- dimana ada Paus disitu ada gereja, dan dimana ada gereja disitu

ada Kristus. Pemahaman itu dilawan Marthin Luther dengan mengatakan: Ubi

Christus ibi ecclesiae- di mana ada Kristus, itulah gereja. Itulah pemahaman

yang sangat Kristologis.

2. Ekklesia Pneumatologis

Realitas dari keberadaan persekutuan-gereja, baik sebagai wujud

persekutuan di dalam dan oleh Kristus maupun sebagai wujud tubuh Kristus

26

mensifatkan dua hal: persekutuan dengan sesama orang percaya dan

persekutuan vertical dengan Kristus. Kedua sifat persekutuan ibarat dua mata

koin, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Persekutuan secara

horizontal tidak mungkin terjadi tanpa persekutuan vertical, demikian

sebaliknya. Kedua sisi persekutuan tersebut, horizontal dan vertical, hanya

dapat terjadi melalui peranan dan Kuasa Roh Kudus. Kasus yang terjadi di

jemaat Korintus adalah ketika pemahaman persekutuan horizontal dipahami

terpisah dari persekutuan vertical (band I Kor 12,13,14). Itu berarti bahwa

ekklesia Kristologis juga bermakna ekklesia Pneumatologis.

Gereja adalah karya Roh Kudus, karena lahir, bertumbuh,berkembang dan

dibimbing didalam dan oleh Roh Kudus menuju kesempurnaan Kristus (bd.

Ef.4:13; Roma 8:29, Kol.3:10). Pemahaman ekklesia pneumatologis ini

mendorong gereja berpengharapan ke masa depan. Dasar pemahaman

inilah yang menjadi titik tolak gereja memahami dirinya sebagai persekutuan

yang dibentuk masa depan, yang ditentukan oleh zaman akhir yang

eskatologis itu. Gereja bergerak tidak didorong oleh masa lalunya, atau oleh

keberadaan masa kininya, tetapi ditarik oleh pengharapan masa depannya.

Oleh karena itu, gereja sebagai persekutuan eskatologis bergerak menuju

masa depan, yang tidak harus menyesuaikan diri dengan masa kini, tetapi

harus turut membentuk arah perjalanan zaman ini menuju masa depan yang

eskatologis itu lewat kuasa Roh kudus .

3. Ekklesia soteriologis

Pemahaman klasik tentang gereja mengatakan: salus extra ekklesiam non

est (Cyprianus) – diluar gereja tidak ada keselamatan. Ungkapan Cyprianus

ini sebenarnya adalah dalam konteks gereja Kristologis yang direalisasikan

dalam ritus communion sacramentorum. Artinya, keselamatan itu hanya ada

didalam dan oleh Kristus, yang secara ritus dan liturgis diterima melalui

perjamuan kudus. Sementara pemahaman tentang Kristus itu dan

pelaksanaan tentang sakramen itu hanya ada didalam gereja, tidak ada diluar

gereja, sehingga diluar gereja tidak ada keselamatan. Calvin juga

27

mengungkap hal yang sama dalam penekanan bahwa di luar Gereja, yang

mengajarkan pengajaran para Rasul, maka tidak aka nada keselamatan. Jadi

hanya dalam Gereja, yang mengajarkan kebenaran Firman Tuhan, manusia

dapat menerima keselamatan Kristus.

Gereja sebagai persekutuan di dalam dan oleh Kristus yang bergerak

sebagai persekutuan eskatologis adalah dalam rangka keselamatan. Gereja

sebagai persekutuan soteriologis harus menjadi kathos Xristos-sama seperti

Kristus (I Yoh 2:6) atau mengikuti jejak Kristus (I Pet. 2:21). Gereja harus

meniru keteladanan Kristus supaya sama seperti Kristus. Pemahaman inilah

yang berkembang dengan pemahaman bahwa gereja adalah prolongatus

Christi dan imitation Christi-perpanjangan Kristus dan meniru Kristus. Atas

dasar pemahaman tersebut, para reformator merumuskan dan mengatakan

gereja sebagai prolongatus Christi dan imatatio Christi adalah gereja yang

bersaksi, yang mengaku iman dan berbuat, sebagaimana Kristus. Kesaksian

iman menjadi bukti gereja dan orang percaya sebagai oknum yang meniru

dan sama seperti Kristus. Pengakuan iman gereja ini menjadi tolak ukur

penilaian terhadap gereja itu sendiri apakah ia berjalan sesuai dengan

hakekatnya sebagai milik Kristus. Jatuh bangunnya gereja selalu ditentukan

kesaksiannya, verbal atau action, sebagai wujud dari tindakan dan perbuatan

dalam mengikuti Kristus untuk menyelamatkan manusia dari akibat

keberdosaannya.

4. Ekklesia eschatologis

Apa yang membuat gereja terus bertahan dan berkesinambungan dari masa

lalu, masa kini sampai masa depan? Kesinambungan gereja sebagai

persekutuan eskatologis terletak pada pengharapan eskatologis yang

didasarkan pada peristiwa kebangkitan Yesus Kristus dari kematian.

Penderitaan, kematian dan kebangkitan merupakan rangkaian

kesinambungan gereja yang eskatologis itu. Paulus mengatakan: “ andaikan

Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah

kepercayaan kamu”. (I Kor 15:14).

28

Kebangkitan itu memberi makna teologis terhadap pemberitaan dan

kepercayaan kita kepada Kristus. Namun harus dipahami pula bahwa

kebangkitan itu tidak mungkin terjadi andaikan kematian tidak terjadi.

Penderitaan dan kematian Kristus baru mempunyai makna ketika

kebangkitan itu terjadi dan menjadi kenyataan. Oleh karena itu kebangkitan

menjadikan penderitaan dan kematian mempunyai makna pengharapan, dan

dimana ada pengharapan disana ada masa depan. Itulah makna

pengharapan yang eskatologis yang selalu melekat dalam kehidupan gereja

dan orang-orang percaya. Pengharapan eskatologis itulah yang menjadi

persekutuan gereja terus berkesinambungan, dari masa lalu ke masa kini dan

dari masa kini ke masa yang akan datang, masa terealisasinya pengharapan

yang eskatologis, walaupun harus melewati segala tantangan dan

penderitaan, yang juga merupakan bagian dari pada hakekatnya (Bd.

Fil.1:29).

Dalam pemahaman pengharapan eskatologis ini pemahaman sakramen

memegang peranan penting (bd. Luk.22:18). Kebangkitan eskatologis telah

terlaksana melalui pemahaman makna sakramen. Sakramen

menghubungkan orang percaya kepada kematian dan kebangkitan Kristus

sekaligus kepada kebangkitan yang akan datang, yang eskatologis, sebagai

pintu gerbang menerima keselamatan yang kekal.

Komentar (Formulasi Pribadi) - 4 –

……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

29

V. Gereja Katolikisme: Perkembangan Otoritas Hierarchis Struktural Monolitik

Lahirnya gereja, yang dipanggil untuk bersekutu oleh Yesus Kristus, didalam dan

oleh Yesus Kristus, pada awalnya “tidak dipersiapkan” untuk hidup dengan

kelembagaan dan secara organisatoris yang memiliki struktur dan hierarchis dan

memiliki system mekanisme pelayanan dan pengambilan keputusan,maka hal

tersebut adalah konsekuensi dari berbagai realitas yang ditemukan dalam

kehidupan gereja sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan gereja itu sendiri.

Proses terjadinya struktur hierarchis dan system mekanisme pelayanan dan

pengambilan keputusan adalah sbb:

1. Keterlambatan parousia Kristus

Keterlambatan parousia Kristus menjadi titik tolak ukur pemahaman baru

tentang ekklesiologi, tadinya, menantikan kedatangan Kristus yang kedua

kalinya akan dialami dalam waktu dekat, sehingga tugas yang sangat

mendesak adalah memberitakan injil. Akan tetapi kesadaran akan

keterlambatan parousia akhirnya memberi perhatian terhadap

perkembangan otoritas struktural dan ordinansi dalam tubuh gereja, sekaligus

merupakan suatu konsekuensi logis dari masa kosolidasi gereja sebagai

persekutuan orang percaya.

2. Pelayan Kharismatik dan non-kharismatik

Perkembangan selanjutnya adalah dengan munculnya pelayan tahbisan

kharismatis dan non-kharimatis. Pelayanan kharismatis adalah seperti

nabi,rasul,evangelis yang tidak diangkat melalui pemilihan, tetapi oleh

penunjukan langsung dari Kristus atau Roh Kudus. Sedangkan pelayan non-

kharismatis menindak-lanjuti dan meneruskan pelayanan itu sendiri.

3. Patriarchat dan Primus – interpares

Sampai konsili nicea 325 sudah ditemukan adanya perubahan

kepemimpinan dan hierarchi gereja. Pada masa itu sudah ada beberapa

uskup, atau ada 5 keuskupan besar, yaitu: uskup Roma, Yerusalem,

30

Alexandria, Anthiokia dan Konstantinopel. Kelima keuskupan ini dipahami

sebagai patriarchat – keuskupan yang setara. Semua uskup yang lima itu

sebenarnya sama posisinya. Akan tetapi dari kelima uskup yang setara itu

muncullah primus interpares- yang diutamakan atau yang dituakan dari yang

setara. Dalam sejarahnya seorang uskup yang merupakan primus interpares

menjadi pusat keuskupan gereja Katholik pada masa itu, dimana uskupnya

dikemudian disebut sebagai Paus.Dalam sejarah Gereja, Uskup di Roma

kemudian diberikan kedudukan yang dituakan. Artinya, bila uskup Roma

yang dituakan, sebagai primus interpares, maka dialah yang menjadi Paus.

Hal ini disebabkan, antara lain, karena: Pertama, Uskup di Roma adalah

sebagai pengganti Rasul Petrus. Kedua, Uskup tsb yang dipercayakan untuk

menjaga kubur kedua rasul terkenal, yaitu Petrus dan Paulus. Ketiga, Ia

menjadi mitra kerja dan bicara dengan pemerintahan Romawi. Keempat, ia

mampu menyelesaikan masalah Kristologi tentang kemanusiaan dan

keilahian Kristus.

4. Konsili dan Sinode

Sinode pertama dipahami sebagaimana dilaporkan dalam Kis 15. Sinode

adalah pertemuan mengambil keputusan tentang mekanisme pelayanan

yang diadakan disetiap propinsi sesuai dengan kewilayahan kekaisaran

Roma, sedangkan konsili adalah menyelesaikan masalah-masalah teologis

atas kepentingan gereja, tetapi sebenarnya lebih sering atas kepentingan

kekaisaran Roma, sehingga ada beberapa kali konsili diadakan atas

undangan kaisar, baik kaisar yang beragama kristen atau kafir. Dalam

catatan sejarah, konsili diadakan sampai konsili ke-7, konsili tidak pernah

diadakan lagi.

5. Papalisme atau Kepausan

Istilah Paus pertama kali dikenakan pada uskup Roma (440-461), yaitu

uskup Leo I disebut Paus, Papa atau Pope. Pada masa selanjutnya, setiap

uskup Roma disebut sebagai Paus. Jadi tidak lagi berdasarkan primus

interpares tadi. Sejak abad 5, setiap Uskup di Roma disebut sebagai Paus,

31

bapa, dan menganggap diri sebagai orang yang terpanggil oleh Tuhan

Yesus menjadi kepala gereja.

Posisi Paus lambat laun semakin bertambah. Paus Innocentius III (1198-

1218) terkenal sebagai Paus yang termulia. Hal ini kelihatan dari

ucapannya, “Paus itu kurang besar dari Allah tetapi lebih besar dari

manusia” dalam konsili Lateran (1215), Paus ditetapkan selaku satu-satunya

penguasa gereja. Dialah pemimpin dan hakim tertinggi, yang berhak

menetapkan segala perundang-undangan. Ia berhak mengutuk-

ekskomunika- dan menghukum dengan interdik-menetapkan suatu

penduduk suatu daerah tidak berhak menerima sakramen . kuasa Paus

akirnya semakin bertambah, seperti menetapkan uskup untuk memimpin

gereja di provinsi, menyatakan yang salah dan benar, sesat dan tidak sesat

sampai akhirnya kepada keputusan bahwa seorang Paus tidak mungkin

salah – infallibity.

6. Hierarchi struktural monolitik

Hierarchi struktural monolitik (monos= satu, litos= batu, jadi strukur

monolitik= kepemimpinan yang menjulang tinggi) dalam kehidupan gereja

tidak terjadi pada awal kehidupan gereja, tetapi merupakan produk

perkembangan dikemudian hari. Seorang rasul, seperti Paulus atau Petrus,

tidak pernah berpretensi sebagai pemimpin tunggal, melainkan sebagai

pelayan yang menerapkan sinergitas – kerjasama sebagai kawan sekerja

Allah (1 Kor 3:9).

Hierarchi struktural monolitik lahir pada saat pelayan gereja, seperti uskup,

menjadi pemimpin gereja lokal. Lalu sesuai dengan perkembangannya,

dibutuhkan koordinasi pelayanan gereja local yang dipimpin oleh seorang

uskup untuk memimpin gereja yang berada disuatu wilayah atau provinsi.

Dengan adanya system keuskupan perwilayah, maka pada tahap

berikutnya terjadilah paham primus interpares diantara uskup, dikemudian

hari disebut sebagai Paus, tidak dipilih tetapi dengan sendirinya dihormati

sebagai uskup yang lebih utama. Pada saat itulah terjadi kepemimpinan

yang struktural hierarchis monolitis. Sistem kepemimpinan tersebut semakin

32

menkristal ketika seorang uskup yang setara dengan Paus yang kita kenal

sekarang merupakan hasil penseleksian dan pemilihan melalui konsili atau

melalui sistem pemilihan seperti dilakukan oleh gereja Roma Katholik

modern sekarang ini.

Komentar (Formulasi Pribadi ) – 5 –

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

VI. Model Kepemimpinan Gereja Sebagai Struktural Hierarchis

Disamping sistem Papalisme yang dianut gereja Roma Katholik, ada empat sistem

kepemimpinan gereja yang lazim ditemukan pada gereja setelah reformasi Martin

Luther sampai keberadaan gereja modern sekarang ini.

a. Sistem Presbyterian

Pengambilan keputusan tertinggi pada sidang senat atau dewan presbuteroi-

para penatua. Sistem presbyterial merupakan kritik langsung kepada sistem

papalisme yang dianut gereja Roma Katholik, dimana kekuasaan tertinggi

berada ditangan seorang Paus. Kuasa yang ada pada tangan seorang Paus

dianggap cenderung menyimpang, sebab pada kenyataannya yang melayani

gereja itu terdiri dari beberapa unsur. Menurut Yohanes Calvin,

kepemimpinanan dan kepelayanan harus didasarkan pada empat hal: Gembala

(Pastur atau Pendeta), Pengajar (Doktor atau Guru), Penatua (orang yang

dituakan dalam pelayanan) dan Diaken atau Syamas (yang menjalankan

pelayanan kasih). Semua jenis presbuteros itulah yang bersidang selaku senat

atau dewan dalam struktur pengambilan keputusan gereja yang bersifat

presbyterial.

33

Catatan; dalam konteks pemahaman PB semua pelayan tersebut dapat disebut

sebagai presbuteros, Penatua, yang dapat dibagi dalam dua jenis: memimpin

jemaat tanpa pelayanan firman Tuhan dan memimpin jemaat serta melayankan

firman Tuhan (Institutio IV,iv, 1; IV,xi,10). Pemahaman ini didasarkan pada I Tim

5:17: “ Penatua-Penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat,

terutama yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar”.

Makna atau arti presbuteros – Penatua dalam PB tidak lagi sama dengan

makna atau arti Penatua dalam gereja modern sekarang ini.

b. Sistem Episkopal

Pemerintahan gereja dan keputusan tertinggi berada ditangan sidang para

uskup. Seorang uskup, sebagai penilik, koordinator pelayanan antar jemaat

lokal, memimpin beberapa gereja lokal disuatu wilayah. Pada awalnya sistem

episkopal ini terwujud dengan adanya dewan para uskup. Namun dalam

berbagai gereja modern sekarang ini, gereja dapat dipimpin seorang uskup

atau bishop, atau beberapa uskup atau bishop. Diantara para bishop itu,

diangkatlah seorang pemimpin untuk membawahi semua keuskupan yang ada,

yang lazim disebut Archbishop.

c. Sistem Congregational

Keputusan tertinggi berada pada keputusan jemaat. Dasar teologinya: jemaat

adalah tubuh Kristus. Kepemimpinan berada ditangan Kristus, yang dijalankan

melalui rapat-rapat jemaat setempat atau sidang para orang percaya. Otoritas

jemaat itu diperoleh dari Kristus, karena gereja yang sebenarnya adalah jemaat

yang berkumpul, dan menjadi tubuh Kristus. dengan demikian dipahami bahwa

Kristuslah yang memberikan wewenang kepada jemaat-jemaat lokal untuk

mengatur dirinya sendiri. sementara itu para pejabat gereja, seperti Pendeta

34

dan Penatua, dipahami bukan sebagai pemimpin melainkan sebagai pelayan,

yakni pelayan firman Tuhan.

d. Sistem Sinodal

Keputusan tertinggi berada pada keputusan sinode, segala aturan, kebijakan,

dan kegiatan-kegiatan yang telah dijalankan dalam gereja ditetapkan

berdasarkan keputusan sinode. Untuk menjalankan kepemimpinan sehari-hari

diserahkan kepada seorang pelayan yang dipilih oleh sinode itu sendiri, akan

tetapi tidak semua yang mempunyai sinode memiliki sistem kepimimpinan

sinodal. Dalam gereja yang bersifat congregational ada juga memiliki sinode,

yang pesertanya terdiri dari utusan-utusan jemaat setempat. Tujuannya untuk

mengambil musyawarah tentang kegiatan pelayanan yang akan dikerjakan

secara bersama-sama. Namun keputusan sinode tersebut tidak mengikat

jemaat lokal. Sedangkan gereja yang memakai sistem kepemimpinan sinodal,

keputusan-keputusan yang diambil didalam sinodenya mengikat dan harus

dijalankan jemaat lokal. Dalam gereja yang bersifat presbyterial ada juga

mengenal adanya sinode, namun sifat sinode tersebut hanya merupakan

sidang majelis penatua yang diperluas. Pokok-pokok yang dibahas di sinode

dengan sistem presbyterial tersebut menyangkut hal-hal yang umum.

Sedangkan hal-hal yang khusus biasanya dibahas dan diputuskan didalam

rapat majelis jemaat setempat.

Perlu dicatat bahwa keempat sistem kepemimpinan yang disebut diatas

adalah produk pergumulan gereja di barat/Eropah. Oleh karena itu gereja-

gereja muda di Indonesia tidak memiliki keharusan untuk memilih salah satu

diantaranya. Bahkan ada beberapa gereja yang mencampur dua atau tiga

bahkan ke-empat sistem tersebut didalam struktural hierarchi gereja misalnya

pengambilan keputusan. Artinya dalam mengatur mekanisme pelayan dan

pengambil keputusan keempat sistem tersebut ditemukan sesuai dengan

jenjang pengambilan keputusan, misalnya dalam tingkat jemaat berlaku sistem

congregational. Dalam tingkat resort berlaku sistem presbyterial. Dalam tingkat

distrik/ klasis berlaku sistem episkopal dan tingkat umum berlaku sistem

35

sinodal. Gereja-gereja di Indonesia tentunya dapat merumuskan ulang sistem

kepemimpinan yang dianutnya dengan tetap mempedomani sistem

kepimimpinan yang ada didalam Alkitab dan menyesuaikannya dengan konteks

pertumbuhan dan perkembangan gereja itu sendiri di Indonesia ini.

Komentar (Formulasi Pribadi) – 6 –

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

VII. The Third Reformation?

Benang Merah Reformasi: Roma Katholik,

Martin Luther, Pietisme dan Pentakosta/ Kharismatik

Carter Linderg, seorang staff World Councel of Churches, Theological studies

Departement, diserahi tugas meneliti benang merah teologi dari gerakan reformasi

gereja yang dimotori Marthin Luther, gerakan Pietisme dan gerakan

Pentakosta/Kharismatik. Hasil penelitiannya kemudian dibukukan dengan judul: The

Third Reformation? Dalam penelitiannya, Carter menemukan bahwa gerakan

reformasi gereja yang dikenal selama ini hanyalah reformasi Luther. Akan tetapi

dapat dilihat dari isi dan tujuan gerakannya, gerakan pietisme, dapat dikategorikan

sebagai gerakan reformasi. Sementara gerakan Pentakosta- Pentacostal

Movement, yang kemudian berkembang dalam gerakan Kharismatik – Charismatic

Movement – terkandung dan mencakup gerakan reformasi Luther dan Pietisme,

sehingga tidak merupakan sesuatu yang baru. Jadi bukan termasuk gerakan

reformasi. Dengan demikian, sebenarnya hanya ada dua gerakan reformasi,

Reformasi Martin Luther dan Pietisme, sedangkan gerakan Pentakosta/Kharismatik

masih dipertanyakan sebagai suatu gerakan reformasi.

36

1. Gereja Roma Katholik

Sudah diketahui bahwa sistem papalisme yang berlaku dalam gereja katholik

Roma akhirnya menyeret gereja dan pimpinan ke dalam berbagai

penyimpangan dan penyalahgunaan otoritas yang dimilikinya. Otoritas Paus

misalnya, sudah melebihi otoritas dogma gereja. Dogma gereja berada

dibawah otoritas yang dimilikinya. Bahkan otoritas Paus ditempatkan berada

diatas otoritas Alkitab. Berdasarkan tafsiran terhadap Mat 16:18-19, Paus yang

dipahami sebagai penerima suksesi rasuli Petrus, yang kemudian dipahami

dan diposisikan sebagai pemiliki otoritas yang menentukan seseorang

memperoleh keselamatan atau menerima penghukuman. Secara garis besar

penyimpangan dogma tersebut dapat dituturkan sbb:

a. Keselamatan berdasarkan iman dengan mempertimbangkan perbuatan dan

pengharapan.

b. Keselamatan dapat juga diperoleh melalui anugerah Allah, akan tetapi

anugerah Allah itu dapat dibedakan dalam dua hal: gratia increata dan

gratia creata. Jadi, ada anugerah yang semata-mata karena pemberian

Allah – gratia increata. Tetapi ada juga anugerah Allah diberikan Allah

dengan mempertimbangkan perbuatan manusia- gratia creata.

c. Otoritas Alkitab tidak cukup, harus ditambahkan dengan otoritas tradisi

gereja. Berdasarkan tradisi gereja dipeliharalah ajaran indulgensia,

purgatory, untuk melepaskan seorang dari api penyiksaan dan

penghakiman dibutuhkan otoritas Paus dengan surat penghapusan dosa

yang dikeluarkan.

d. Dengan adanya paham terhadap otoritas tradisi gereja, maka keputusan

konsili, keputusan Paus, seperti surat Paus- bulla Paus.

e. Keputusan Paus yang tidak mungkin salah - infallibility.

37

2. Reformasi Luther

Reaksi Martin Luther terhadap berbagai penyimpangan ajaran gereja adalah

dengan menempelkan 95 dalil di pintu gereja Wittenberg, 31 Oktober 1517. Isi

pokok dari dalil tersebut adalah Back to the Bible, yang dapat dirinci sbb:

Sola Fide

Sola Scriptura

Sola Gratia

Reformasi Luther tersebut adalah meluruskan ajaran yang menyimpang dan

kembali kepada ajaran Alkitab. Reformasi Luther tersebut merupakan reformasi

– pembaharuan dogma gereja. Berbeda dengan Luther, Yohanes Calvin

melihat bahwa reformasi dogma tidak cukup untuk mengembalikan gereja

kepada ajaran yang sebenarnya. Hal-hal praktis dalam kehidupan gereja,

khususnya dalam peribadatan, disiplin dan struktur gereja harus direformasi

sesuai dengan kesaksian Alkitab. Dari semua butir-butir pembaharuan teologi

yang dicanangkan Martin Luther dapat disimpulkan dalam tiga pokok, yaitu:

a. Kembali kepada Alkitab – back to the Bible

Menurut Luther, gereja dan hidup kekristenan harus dikembalikan kepada

dasarnya. Alkitab yang adalah firman Allah, yang menyatu dengan hukum,

janji dan anugerah Allah adalah dasar kehidupan moral, etis dan

pandangan hidup gereja. Pemahaman ini menuntut agar Alkitab dimiliki

semua umat, dapat dibaca dan dimengerti oleh setiap orang percaya.

Alkitab bukan hanya milik para imam yang yang pada waktu itu

menganggap diri sebagai pemilik wewenang membaca dan

menafsirkannya. Untuk merealisasikan gagasan ini, diterbitkan traktat-

traktat teologis, diterjemahkan Alkitab kedalam bahasa Jerman. Akibatnya

terjadi perubahan drastis, jemaat mengetahui isi Alkitab dengan

membacanya sendiri. ulasan-ulasan teologis yang diterbitkan akhirnya

membuka mata jemaat untuk mengetahui seluk - beluk kehidupan gereja

38

dan kehidupan setiap orang percaya yang seharusnya terjadi dan yang

sesuai dengan firman Tuhan.

b. Pembenaran Oleh Iman

Pembenaran oleh iman adalah ajaran Alkitab yang sangat mendasar.

Hanya dengan pembenaran oleh iman manusia berdosa dpat diselamatkan

(Rom 1:17).sebenarnya ajaran ini bukan penemuan Luther, karena hal itu

sudah ada dalam Alkitab. Luther hanya menemukan kembali suara Firman

Tuhan itu, yang selama itu tidak pernah didengarkan atau diajarkan.

Pandangan Luther ini merupakan kritik dan penolakan terhadap gerakan

penghapusan dosa yang dilakukan Paus dengan penjualan surat aflaat

(afflatoris: menghapus, menguap,meniupkan).

c. Imamat orang percaya

Konsekuensi teologis dari Luther adalah mengukuhkan kembali keimaman

orang-orang percaya (1 Pet 2:9). Setiap orang percaya adalah bagi orang

lain ada imam bagi dirinya sendiri. setiap orang dapat berhubungan

langsung dengan Allah didalam diri Kristus Yesus, Imam Agung. Dialah

mediator, satu-satunya yang menghubungkan dan merekonsiliasikan,

memperdamaikan, manusia berdosa dengan Allah (2 Kor 5:18-19).

d. Kebebasan orang Kristen

Doktrin imamat orang-orang percaya melahirkan pemahaman baru tentang

kebebasan seorang kristen. Dalam tulisannya, The Freedom of a Christian

(1520), Luther mengatakan: “ seorang Kristen adalah seorang tuan yang

bebas secara sempurna atas semua orang, dan tidak terikat kepada

apapun dan siapapun. Akan tetapi seorang Kristen adalah seorang hamba

yang sempurna, yang terikat kepada semua orang ”. dasar Luther

menyatakan hali ini adalah 1 Kor 9:19: “Aku bebas terhadap semua orang ”

dan Rom 13:8, “ jangan berhutang kepada siapapun, tetapi hendaklan

kamu saling mengasihi”.

39

2. Reformasi Pietisme

Tokoh – tokoh Pietisme adalah: John Arndt (1555-1621), Philip Jakob Spener

(1635-1705), Agust Herman Franke (1633-1727), Nikolaus Ludwig von

Zinzendorf (1700-1760). Gerakan Pietisme berupaya agar pemahaman teologi

bukan hanya sekedar konsumsi berpikir, tetapi terlebih untuk dihayati dan

dialami dalam kehidupan sehari – hari – theologiae experientalis – mencakup

hidup dalam kesalehan, kekudusan dan hidup bersekutu dengan Tuhan

secara kongkrit. Pengalaman hidup bersama dengan Tuhan itu dapat dilatih,

dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pietisme sebenarnya merupakan tindak-lanjut dari gerakan reformasi Luther,

atau setidaknya menghidupkan kembali semangat reformasi Luther. Dalam

kehidupan sehari – hari. Spener misalnya, dalam gagasan Pia Desideria

(1675) mengatakan bahwa Pietisme adalah untuk membangunkan gereja dari

keadaan yang tertidur, menjadi gereja yang hidup dalam persekutuan dengan

Tuhan. Gagasan-gagasan pietisme antara lain: ecclesiola in ecclesia, latihan

spiritual, pembacaan Alkitab sehari-hari, kehidupan kudus/kesalehan hidup.

Pietisme adalah suatu gerakan pembaharuan yang mengupayakan agar

kehidupan rohani hidup kembali. Gerakan ini mensinyalir terjadinya

kegersangan hidup spiritualitas gereja sekalipun telah menerima dan

mengalami reformasi Luther. Gereja dan warga jemaat juga alpa dalam

melaksanakan tugas panggilannya, khususnya dalam pemberitaan Injil ke

seluruh dunia. Hasilnya, gerakan pekabaran Injil yang terjadi pada akhir abad

17 dan awal abad 18, yang dilakukan gereja, terutama oleh badan-badan misi,

adalah buah dari gerakan pietisme ini.

Disamping itu, gerakan pietisme mempromosikan bahwa pemahaman teologi

bukan hanya konsumsi intelektual, tetapi juga konsumsi kehidupan spritual

sehingga perlu dihayati dalam kehidupan sehari – hari. Gerakan pietisme

berusaha agar setiap orang Kristen secara pribadi selalu hidup kudus. Agus

Herman Franke, misalnya, mengatakan bahwa untuk mengubah dunia ini ke

arah yang lebih baik dan berkenan kepada Allah maka harus dimulai dari

40

pembaharuan, kesalehan dan kekudusan individual. Apabila kesalehan

pribadi, individual, telah terwujud, maka kesalehan dunia juga akan menjadi

realitas kehidupan, dalam mewujudkan gagasan tersebut, maka gereja harus

menjadi tempat terjadinya karya keselamatan yang diperbuat Allah, yang

nyata dan dialami jemaat dalam kehidupan sehari-hari secara konkrit. Untuk

itu Spener mengajukan gagasan pembaruan gereja, antara lain:

a. Setiap nas khotbah harus dibaca dan didiskusikan seusai mendengar

khotbah, oleh semua pihak, baik pengkhotbah maupun warga jemaat

yang mendengar khotbah.

b. Membentuk kelompok PA, yang secara rutin dan terjadwal.

c. Melakukan pembacaan Alkitab setiap hari, secara rutin dan terjadwal.

Untuk itu gereja mempersiapkan nas bacaan harian, untuk pagi dan

malam.

d. Membentuk kelompok atau persekutuan sebagai tempat mempraktekkan

hidup kudus.

Dengan demikian ada tiga ciri khas gerakan pietisme: pertama,melakukan

praktek ibadah dan kehidupan spiritual sebagai sarana dan kesempatan

latihan kesalehan individual. Kedua, setiap pribadi intensif dan partisipatif

dalam praktek dan tugas kerohanian sebagai wujud kesalehan pribadi

tersebut. Ketiga, setiap pribadi berusaha membangun hubungan pribadi

dengan Tuhan – personal spiritual growth. Hidup dengan Tuhan hanya dapat

dialami dalam pengalaman pribadi dengan Tuhan. Pengalaman pribadi

bersama Tuhan akan sendirinya melahirkan hidup baru. Hidup baru itulah

yang mengikat persaudaraan sesama orang percaya didalam persekutuan

dengan Tuhan di gerejanya.

3. Gerakan Pentakosta/ Kharismatik: Reformasi?

Gerakan Pentakosta – Pentacostal Movement lahir di Inggris. Ada yang

menghubungkannya dengan gerakan Quackers (tahun 1600-an) yang ditandai

dengan lahirnya The Society of Friends pimpinan George Fox (1624-1690).

41

Lahirnya gerakan ini merupakan pengaruh langsung dari gerakan Pietisme

German, misalnya terhadap Charles G. Finney, yang kemudian dikenal

sebagai salah seorang pendiri dan pelopor gerakan Pentakosta. Bila gerakan

pietisme memperkenalkan kesucian pribadi yang diperoleh melalui latihan-

latihan spiritual , gerakan Pentakosta memperkenalkan kekudusan, hidup

baru dan kesempurnaan hidup diperoleh melalui pencurahan atau penerimaan

Roh Kudus. Artinya, kesalehan dan kekudusan hidup diperoleh bukan karena

usaha manusia melainkan karena karya Roh Kudus yang turun atas diri

seseorang.

Kemudian gerakan Pentakosta ini menyebar ke Amerika Serikat dengan nama

baru, kadang-kadang disebut Neopentacostal Movement, kemudian disebut

juga Fundamentalism Movement dan akhirnya disebut, dan inilah yang lebih

umum, Charismatic Movement. Oleh karena itu gerakan Kharismatik di

Amerika merupakan lanjutan dari gerakan Pentakosta di Inggris. Namun

demikian ada juga yang menolak pendapat ini dengan mengatakan bahwa

gereja Kharismatik berbeda dengan gerakan Pentakosta, baik sejarah

kelahirannya maupun muatan teologinya. Tentu dalam beberapa hal ada

kesamaan teologinya. Persamaan dan perbedaan itu antara lain:

a. Gerakan Pentakosta menekankan pokok ajarannya, misalnya tentang

kepercayaan terhadap Yesus Kristus dan Roh Kudus, secara dogmatik

fungsional. Sementara gerakan Kharismatik menekankan

pengimplementasian pokok ajaran itu didalam pengalaman kehidupan

spiritual secara pribadi.

b. Gerakan Pentakosta sejak awal telah memperkenalkan diri sebagai gereja,

bahkan salah satu denominasi baru diantara denominasi yang sudah ada.

Dengan demikian Pentakosta berbeda dengan Lutheran, Calvinist,

Presbyterian dan lain-lain. Sedangkan gerakan Kharismatik sejak awal

memperkenalkan diri sebagai suatu gerakan ditengah-tengah gereja, jadi

bukan sebagai gereja. Gerakan kharismatik tidak merupakan denominasi,

42

bahkan memasuki denominasi yang ada, sehingga ada Kharimatik

Lutheran, Calvinis, Presbyterian, bahkan ada Kharimatik Katholik. Jadi

sekalipun seorang aktif dalam gerakan Kharismatik tetapi dia tidak

melepaskan diri dari keanggotaan gerejanya. Akan tetapi dikemudian hari

gerakan Kharismatik ini akhirnya menyatakan diri atau membentuk dirinya

sebagai salah satu gereja, sebagaimana gereja lainnya, dengan

memperkenalkan diri sebagai gereja interdenominasional atau

transdenominasional.

Komentar (Formulasi Pribadi) – 7 –

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

VIII. Ekklesiologi Kontemporer:

Belajar dari Avery Dulles: Model-Model Gereja

Adalah suatu realitas bahwa gereja memiliki kepelbagaian dan keanekaragaman,

baik hierarchi structural, maupun dogma dan tradisinya. Salah satu yang membuat

perbedaan itu adalah adanya perbedaan hermeneutics atas Alkitab dan

pengimplementasian suatu dogma didalam suatu konteks dimana gereja itu lahir,

bertumbuh dan berkembang. Perbedaan secara dogmatis tersebut melahirkan 3

jenis:

1. Bidat: suatu kelompok tanpa anggota atau pemimpin formal, yang memiliki

ajaran yang berbeda, yang dikategorikan menyimpang dari ajaran yang lazim

dan yang dipahami secara umum, sehingga disebut ajaran sesat.

2. Sekte: suatu persekutuan yang teroganisir, dengan adanya anggota dan

pemimpin formal, yang memiliki ajaran yang berbeda dan menyimpang

sehingga dikategorikan sebagai ajaran sesat.

43

3. Denominasi: suatu gereja yang memiliki ajaran atau penekanan pokok ajaran

tertentu sebagai ciri khasnya, sehingga disebut sebagai mazhab atau aliran,

yang tidak menyalahi dan tidak merupakan penyimpangan terhadap ajaran

kekristenan secara umum.

Keanekaragaman denominasi gereja pada satu sisi dapat dipahami sebagai

kekayaan sudut pandang terhadap tradisi, dogma dan isi Alkitab, tetapi dapat pula

sebagai suatu ancaman terhadap keberadaan dan hakekat gereja yang esa itu.

Namum demikian, setiap perbedaan itu harus dikenal, dipelajari dan dipahami

satupersatu, sehingga dapat dimengerti dan dapat dipakai sebagai masukan

didalam meningkatkan kualitas kehidupan bergereja yang actual dan kontekstual.

Kepelbagian denomonasi juga melahirkan kepelbagian orientasi dan misi bergereja.

Kepelbagian itu dapat dilihat dari keadaan realitas gereja yang memiliki misi, struktur

hierarchis, system pelayanan dan pengambilan keputusan yang berbeda-beda pula.

Avery Dulles memperkenalkan adanya 5(lima) model gereja yang lahir sebagai

konsekuensi logis dari adanya perbedaan dogma dan warisan tradisi yang ada

didalam gereja-gereja di Indonesia. Kelima model gereja tersebut adalah:

1. Model Gereja Institusi

Model ini memfokuskan kehadirannya sesuai dengan tuntutan struktur

institusionalnya, program pelayanan yang dilaksanakan selalu mengacu kepada

keputusan dan mekanisme pelayanan sebagaimana pelayanan yang sudah

diatur sesuai dengan struktur institusionalnya. Sisi negative dari model ini:

pelayanan dilaksanakan dalam rangka melayani institusi, memperbesar institusi

secara structural.

2. Model Gereja Pemberita

Model ini memfokuskan kehadirannya dalam bentuk pemberitaan firman Tuhan,

baik melalui khotbah maupun melalui traktat- traktat, buku-buku dan bentuk

media lainnya. Sisi negative dari model ini: kurang mempersoalkan keanggotaan

formal, sasaran pelayanan terlalu umum dan mengambang karena tidak

teregistrasi secara administrative.

44

3. Model Gereja Bersekutu – Sakramen

Model ini mengutamakan kehadirannya dalam bentuk persekutuan, misalnya

dalam pelayanan ibadah bersama, dan pelayanan penerimaan sakramen.

Pelayanan yang lain, seperti pelayanan dan kesaksian atau P.I kurang mendapat

perhatian.

4. Model gereja Melayani

Model ini memusatkan diri dalam pelayanan, khususnya dalam bidang social,

seperti tindakan social, belas kasihan, baik terhadap perseorangan maupun

terhadap komunitas masyarakat tertentu. Model ini kurang memperhatikan

pelayanan rohani dan pekabaran Injil dalam bentuk verbal. Injil menjadi injil

social.

5. Model Gereja Misi

Model ini mengorientasikan diri dalam upaya pekabaran Injil, menjangkau

masyarakat luas, sebagai pemenuhan atas tugas dan panggilan Kristus (Mat

28:19-20). Model ini sewaktu-waktu kurang memperhatikan pelayanan ke dalam

atau pelayanan pastoral.

Melaksanakan kelima model ini secara terpisah-pisah akan menimbulkan

ketimpangan didalam kehidupan bergereja. Oleh karena itu sebaiknya

melaksanakan semua model tersebut dengan melihat keseimbanagn yang

mendukung keharmonisan bergereja.

Komentar (Formulasi Pribadi) – 8 –

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

45

IX. Tantangan Yang Dihadapi Gereja Masa Kini

(Beberapa Isu Ekklesiologi )

1. Vatikan IIKonsili adalah pertemuan para uskup dengan seluruh gereja Roma Katholik

dibawah dan bersama Paus sebagai suatu dewan, mengajar dan mengeluarkan

keputusan gereja. Keputusan yang diambil berkaitan dengan dogma, iman dan

kesusilaan yang dipahami diwahyukan Tuhan kepada gereja sehingga tidak

dapat salah.

Rencana pengadaan konsili vatikan II dicetuskan Paus Yohanes XXIII pada akhir

1958, tetapi baru dapat terlaksana beberapa tahun kemudian. Konsili Vatikan II

diadakan 4 sesi, yang dimulai 9 oktober 1962 dan berakhir 8 Desember 1965.

Ada tiga pokok isi Vatikan II:

a. Pembaharuan rohani dalam cahaya Injil

b. Penyesuaian diri (Geraja Roma Katholik) terhadap masa sekarang –

aggiornamento, supaya dapat menjawab pertanyaan dan memberikan

kebutuhan zaman modern

c. Promosi atau gagasan kesatuan seluruh umat Kristen

Ada 16 dokumen yang dihasilkan. Setiap dokumen tidak sama otoritas dalam

mengatur dan acuan teologis dan hidup praktis gereja:

Pertama, ada 4 tentang konstitusi – constitution, berfungsi sebagai pedoman

dogmatic yaitu:

Sacrasantum Concilium – Tentang Liturgy;

Lumen Gentium – Dogma Gereja;

Dei Verbum – tentang Firman Tuhan

46

Gaudium et Spes - Sikap Pastoral Gereja terhadap Dunia

Kedua, Sembilan Dekrit tentang upaya komunikasi social gereja:

Komunikasi social – inter mirifica;

Gereja –gereja Katholik timur – Orientalium Ecclesiarum;

Ekumenisme – Unitas Redintegratio;

Tugas pastoral Uskup dan Gereja – Christus Dominus;

Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religious – Perfectae Caritatis;

Pembinaan Iman – Optatam Totius;

Kerasulan Awam – Apostolicam Actuositatem;

Kegiatan Misi – Ad Gentes

Dan tentang pelayanan dan kehidupan Iman – Presbyterorum Ordanis.

Yang terakhir adalah 3 Pernyataan:

Pendidikan Kristen – Gravissimum Educationis;

Hubungan gereja dengan agama – agama bukan Kristen – Nostra Aetate.

Kebebasan beragama – dignitatis Humanae.

Strategi yang dilakukan adalah membuka jendela harta warisan iman –

Depositum Fidei – untuk kemudian mendengar berbagai masukan guna

merumuskan kembali isi iman dan kebenaran yang terkandung didalam ajaran

gereja. Semangat pembaharuan – ecclesia simper reformanda – merupakan

motif teologis ekklesiologis dalam konsili.

Gereja

Mungkin hasil Konsili yang paling terkenal dan paling berpengaruh dalam sejarah

Gereja Katolik adalah Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium.

47

Pada bab pertama berjudul "Misteri Gereja", terdapat sebuah pernyataan

terkenal:

"Itulah satu-satunya Gereja Kristus yang dalam Syahadat Iman kita akui sebagai

gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik. Sesudah kebangkitanNya,

Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan, dan ia

bersama para rasul lainnya dipercayakan untuk memperluas dan membimbing

Gereja dengan otoritas, dan Gereja itu didirikan untuk selama-lamanya sebagai

"tiang penopang dan dasar kebenaran". Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan

diatur sebagai sebuah perhimpunan hidup dalam Gereja Katolik, yang dipimpin

oleh pengganti Santo Petrus dan oleh para Uskup yang berada dalam satu

persekutuan dengan dia, walaupun, di luar persekutuan itu pun terdapat banyak

unsur-unsur yang kudus dan kebenaran, yang sesungguhnya merupakan

karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan

katolik".

Pada bab kedua berjudul "Umat Allah", Konsili mengajarkan bahwa kehendak

Allah untuk menyelamatkan bukan sekedar individu (atau satu demi satu) tetapi

juga dalam suatu kesatuan jemaat. Dalam hal ini, Allah telah memilih bangsa

Israel sebagai umatNya, mengadakan perjanjian dengan bangsa ini, sebagai

persiapan dan gambaran akan suatu perjanjian dalam Kristus yang akan

membentuk suatu Umat Allah yang baru, yang satu, bukan dalam daging, tetapi

dalam Roh, yang disebut sebagai Gereja Kristus (Lumen Gentium, 9). Semua

orang dipanggil sebagai milik Gereja. Tidak semua orang sepenuhnya tergabung

dalam Gereja, tetapi "Gereja mengerti bahwa ia terhubung dalam berbagai cara

dengan semua orang yang dibaptiskan, semua yang diterima di dalam nama

Kristus, namun demikian tidak menyatakan iman Katolik dalam keseluruhannya

atau tidak berada dalam satu kesatuan atau persekutuan di bawah penerus

Santo Petrus" (Lumen Gentium, 15). Dan bahkan hubungan dengan "semua

yang belum menerima Injil" di antara kaum Yahudi dan Muslim juga disebutkan

secara eksplisit (Lumen Gentium, 16). Gagasan membuka diri kepada kaum

48

Protestan telah menyebabkan kontroversi besar sekali di antara kelompok

Tradisionalis Katolik.

Secara implicit ungkapan ini hendak mengakui bahwa gereja Kristus ada juga di

dalam gereja lainnya. Konsili juga melakukan perubahan sikap teologis yang

sangat besar dimana dibukanya partisipasi dan penyesuaian diri terhadap

budaya setempat didalam berteologi. Peranan budaya setempat terbuka untuk

ikut serta dalam penyusunan liturgy, ibadah dan perumusan teologi. Dampak dari

konsili Vatikan II : gereja Roma Katholik berusaha secara simultan dan terus

menerus melakukan pembaharuan atas dirinya sendiri, mengenai sikap

teologisnya dan berusaha mereformulasi rumusan teologis yang dimilikinya.

Judul bab ketiga "Susunan Hirarkis Gereja" secara tegas menggambarkan isinya

yang menguraikan peranan para uskup dan Paus di Roma.

Pada bab-bab berikutnya mengenai kaum awam: ajakan akan hidup kudus,

religius, peziarahan iman, dan Bunda Gereja. Bab mengenai ajakan akan hidup

kudus merupakan bab yang signifikan karena mengindikasikan bahwa

kekudusan bukanlah hanya menjadi bagian dari para imam tetapi bahwa semua

orang Kristen dipanggil untuk hidup kudus. Tentu saja masalah ini selalu menjadi

topik ajaran Gereja, tetapi banyak dari para Bapa Konsili merasa bahwa hal ini

telah semakin hilang di kalangan jemaat.

Liturgi

Salah satu isu pertama yang dipertimbangkan dalam konsili dan masalah yang

segera memiliki efek terhadap kehidupan individu Katholik adalah revisi atas

liturgi/tata cara ibadah. Gagasan umumnya adalah (dari Konstitusi mengenai

Liturgi Suci):

"Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang percaya dibimbing ke

arah keikutsertaan yang sepenuhnya dalam perayaan-perayaan Liturgi.

Keikutsertaan seperti ini sesungguhnya dituntut oleh liturgi sendiri. Kaum

49

Kristiani yang telah dibaptiskan adalah bangsa yang terpilih, imamat yang rajawi,

bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri (1 Pet 2:9; 2:4-5); dan oleh

karenanya keikutsertaan aktif dalam liturgi adalah menjadi hak dan kewajiban

mereka."

"Keikutsertaan aktif" yang diinginkan Vatikan II ini melebihi apa yang pernah

diijinkan ataupun direkomendasikan para Paus sebelumnya. Para Bapa Konsili

menetapkan pedoman untuk mengarahkan jalannya revisi terhadap liturgi

tersebut, termasuk mengijinkan dengan sangat terbatas penggunaan bahasa

lokal/daerah/pribumi ketimbang bahasa Latin. Para uskup kemudian menetapkan

bahwa adat istiadat lokal dapat secara hati-hati dimasukkan sebagai bagian dari

liturgi.

Implementasi dari perintah Konsili mengenai liturgi dilaksanakan melalui sebuah

Komisi Kepausan Khusus di bawah otoritas Paus Paulus VI (yang kemudian

menjadi satu dalam Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Ketertiban Sakramen) dan

oleh konferensi nasional masing-masing keuskupan, yang diharapkan untuk

berkolaborasi membentuk sebuah penerjemahan bersama.

Injil dan Wahyu Ilahi

Konsili menghendaki pemulihan kembali peranan sentral Injil dalam kehidupan

keagamaan dan devosi dari Gereja, yang dibangun atas dasar hasil karya para

Paus sebelumnya dalam usaha membentuk suatu pendekatan modern atas

analisis dan interpretasi Injil. Sebuah pendekatan baru untuk interpretasi Injil

disetujui oleh para Uskup. Gereja secara berkelanjutan harus menyediakan

terjemahan Kitab Suci dalam bahasa ibu para kaum percaya. Lebih jauh, kaum

imam dan awam harus menjadikan studi Kitab Suci sebagai gaya hidup mereka.

Hal ini menegaskan kembali pentingnya Kitab Suci seperti diperlihatkan dalam

Providentissimus Deus oleh Paus Leo XIII dan tulisan-tulisan para Santo,

Pujangga Gereja, dan para Paus selama sejarah Gereja; sekaligus menyetujui

50

interpretasi Injil yang dipelajari secara historis sebagaimana ensiklik Paus Pius

XII pada 1943, Divino Afflante Spiritu.

Para Uskup

Peranan para Uskup di Gereja juga diperbaharui maknanya, khususnya sebagai

kumpulan Dewan, yang meneruskan pengajaran oleh para Rasul dan memimpin

Gereja. Eksistensi Dewan ini hanyalah jika berada di bawah penerus Santo

Petrus. Dengan demikian, konsili memberikan kepada gereja, dua sifat

kepemimpinan yang terpisah, yaitu Dewan Para Uskup dan Paus. Hal ini

diperjelas dalam Catatan Penjelasan Pendahuluan yang ditambahkan kepada

Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium) dan dicetak pada akhir

naskah tersebut. Catatan ini menerangkan: "Tentang Dewan ("Collegium"), yang

tidak dapat tanpa kepala, ... dan di dalam Dewan itu Kepalanya tetap

menjalankan tugas seutuhnya selaku Wakil Kristus dan Gembala Gereja

Semesta. Dengan kata lain cara pandang atas pembedaan bukanlah antara

Paus (di satu pihak) dengan Dewan Para Uskup (di lain pihak), melainkan antara

Paus (sebagai dirinya sendiri) dengan Paus bersama-sama para Uskup."

Di berbagai negara, para Uskup telah memiliki konferensi regular untuk

mendiskusikan masalah-masalah bersama. Konsili mewajibkan penetapan

konferensi episkopal seperti itu dan mempercayakan kepada mereka tanggung

jawab untuk melaksanakan adaptasi yang diperlukan terhadap norma-norma

umum kondisi setempat (lihat juga Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup

dalam Gereja Christus Dominus, 18). Keputusan-keputusan konferensi tersebut

akan mengikat bagi para Uskup dan Keuskupan mereka hanya jika diterima oleh

dua pertiga suara dan diperkuat oleh Tahta Suci.

Kritikan akan Konsili dari dalam tubuh Gereja Katolik

Banyak dari kaum Katholik yang sangat konservatif (atau sering disebut Katolik

Tradisionalis) berpendapat bahwa Konsili Vatikan II atau interpretasi apapun

51

akan dokumen-dokumen konsili tersebut, menjauhkan Gereja dari prinsip-prinsip

penting dari iman Khatolik historis; termasuk:

kepercayaan bahwa Gereja Katolik adalah satu-satunya gereja Kristiani yang

dibangun oleh Yesus sendiri;

kepercayaan bahwa gagasan modern akan kebebasan beragama adalah

kesalahan;

tekanan yang pantas untuk "Empat Hal Terakhir" (Kematian, Pengadilan,

Surga, dan Neraka);

kepercayaan bahwa setiap kitab dari Kitab Suci adalah sempurna;

ketaatan kepada skolastisisme.

Dalam kontradiksi terhadap pendapat kebanyakan orang Katolik bahwa Vatikan

II adalah sebuah "musim semi yang baru" bagi Gereja, para pengritik

memandang bahwa Konsili adalah penyebab utama berkurangnya iman

kepercayaan Katolik dan hilangnya pengaruh Gereja di dunia barat. Mereka berpendapat lebih lanjut bahwa Vatikan II mengubah fokus gereja dari menyebarkan kabar keselamatan jiwa menjadi memperbaiki situasi keduniawian umat manusia (lihat Teologi Kebebasan).

Salah satu respon yang berasal dari para Katolik konservatif arus utama

terhadap kritikan tersebut adalah bahwa pengajaran sesungguhnya dari Konsili

dan interpretasi resmi dari dokumen-dokumennya harus dipisahkan dari

perubahan yang lebih radikal yang telah dilakukan atau diajukan oleh para

anggota gereja yang liberal selama 40 tahun dalam "semangat Vatikan II".

Mereka menyetujui bahwa perubahan-perubahan tersebut adalah bertentangan

dengan hukum kanon dan tradisi Gereja. Sebagai contoh, seorang Katolik

konservatif arus utama kemungkinan setuju bahwa para imam liberal yang

memperkenalkan elemen-elemen baru non-Katolik pantas dikutuk, tetapi mereka

juga akan sekaligus memberi catatan bahwa penyalahgunaan ini adalah

pelanggaran terhadap Dekrit tentang Liturgi Suci dan dokumen resmi Gereja

akan perayaan Misa.

52

Pada 22 Desember 2005, Paus Benediktus XVI dalam kotbahnya di hadapan

Kuria Romawi menentang mereka yang menginterpretasikan dokumen-dokumen

Konsili sebagai "tidak berkelanjutan dan rapuh". Interpretasi yang benar,

menurutnya, adalah bahwa sebagaimana dinyatakan pada awal dan akhir Konsili

oleh Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI. Pada awal konsili, Paus Yohanes

XXIII menyatakan bahwa Konsili dimaksudkan untuk "menyebarkan doktrin-

doktrin secara murni dan menyeluruh, tanpa pengurangan maupun

penyimpangan", dan ia juga menambahkan "Adalah tugas kita untuk tidak hanya

menjaga harta yang berharga ini, seakan-akan ini adalah barang kuno, tetapi

juga kita harus setia, siap sedia, dan tanpa takut berkarya sesuai dengan

kebutuhan zaman kita. Doktrin yang pastinya tidak perlu diubah ini, yang harus

dihormati dengan setia, harus dipelajari secara mendalam dan dihadirkan dalam

bentuk yang cocok dengan zaman kita. Kebenaran doktrin yang mulia adalah

satu hal, dan bagaimana caranya doktrin itu dilaksanakan supaya tetap utuh dan

sama-adalah hal lainnya." Setelah mengutip pendahulunya ini, Paus Benediktus

kemudian menyatakan: "Di manapun interpretasi ini telah menjadi pedoman yang

disambut oleh Konsili, hidup baru telah bertumbuh dan buah-buah telah menjadi

matang. ... Hari ini kita melihat bahwa benih yang baik, walaupun tumbuh

perlahan-lahan, tetaplah bertumbuh, dan biarlah syukur kita yang amat besar

bagi karya kerja Konsili juga tetap bertumbuh demikian."

Komentar (Formulasi Pribadi) – 9 –

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

2. Isu-isu Ekklesiologisa. Ekklesiosentris

Ekklesiosentris maksudnya berpusat kepada gereja secara institusional.

Semua program pelayanan didasarkan pada keputusan dan disesuaikan

dengan posisi yang melayani secara institusional, artinya disesuaikan dengan

53

tata gereja, liturgy, hukum gereja dan atribut-atribut institusi gereja. Jadi

pelayanan yang dilakukan adalah dalam rangka memenuhi tuntutan gereja

secara institusional. Dari sikap ekklesiosentris ini lahirlah upaya untuk

menggerakkan orang, dan bukan untuk mengkristenkannya. Pelayanan

terkesan kuat hanya untuk memperbesar gereja secara institusi dan bukan

untuk memberitakan Injil Kristus.

b. The Marketing Church

Dunia dimana hidup gereja sekarang ini sangat dipengaruhi kehidupan

ekonomi, sehingga sangat mempengaruhi kehidupan gereja, termasuk

system dan pelaksanaan pelayanannya. Sesuai dengan system ekonomi

dipasar, suatu produksi harus selalu mempertimbangkan pangsa pasar.

Sebab produksi yang diminati pasar adalah yang sesuai dengan kebutuhan

pasar. Advesting system juga turut mempengaruhi pangsa pasar. Suatu

produksi yang dibutuhkan bukan hanya sekedar yang berkualitas, tetapi

adalah yang dibutuhkan, dikemas dan dipublikasikan sehingga dikenal

banyak orang. Hal yang sama juga berlaku pada pelayanan gereja. Gereja

yang diminati public adalah yang memberikan pelayanan yang dibutuhkan

jemaat. Memperkenalkan pelayanan kepada jemaat, maksud dan tujuannya,

makna dan kegunaannya sangat dibutuhkan sehingga diminati banyak

orang. Pelayanan yang baik, adalah pelayanan yang dibutuhkan dan

dikemas sedemikian rupa sehingga benar – benar indah, tepat guna dan

actual dalam kehidupan jemaat. System seperti itu disebut the marketing

church, gereja harus berperan menguasai kecenderungan market – pasar –

pelayanannya.

c. Worship and Entertainment

Akhir – akhir ini banyak gereja yang melakukan program pelayanan dengan

memadukan worship and entertainment. Nyanyian dan pujian, khotbah, dan

pelayan-pelayan ibadah yang ramah semua dilaksanakan agar jemaat yang

mengikuti ibadah itu dapat terhibur. Dengan demikian ibadah berlangsung

54

dengan santai, rileks, terhibur dan memperoleh kesegaran spiritual. Akan

tetapi harus diwaspadai agar ibadah tidak berubah menjadi forum atau

media hiburan. Harus diawasi agar gereja sebagai bait Allah tidak berubah

fungsi menjadi hall atau gedung hiburan.

d. The Churchless Christianity

Salah satu penyebab terjadinya gaya hidup Churchless Christianity adalah

karena menjadi anggota salah satu gereja dianggap menjadi beban,

membatasi kebebasan hidup keluarga atau individu, kurang efisien karena

dapat menghalangi aktifitas dalam kehidupan sehari – hari. Sementara tanpa

menjadi satu anggota suatu gereja dianggap tidak menjadi penghalang

untuk menjadi orang Kristen yang benar. Semua pelayanan gereja dapat

diterima dan diperoleh. Hal ini disebabkan juga karena sudah semakin

bermunculan pelayan tahbisan yang independent, yang bersedia melayani

kebutuhan liturgis jemaat yang bersikap Churchless Christianity.

Perkembangan ini harus segera diwaspadai supaya tidak menjadi

permasalahan yang serius di kehidupan gereja dan kekristenan.

e. Mencari Allah Alternatif – dues ex Machina

Beberapa abad yang lalu paham yang paling ditakuti gereja adalah atheism.

Akan tetapi pada abad ini, paham yang perlu diwaspadai adalah

pemahaman dues ex machine – Allah berada diluar mesin. Jadi dia percaya

tentang adanya Allah, bahkan sebagai pencipta segala sesuatu. Akan tetapi

dipahaminya Allah tersebut tidak lagi ada hubungannya dengan kelanjutan

kehidupan ciptaanNya. Allah sudah berada diluar kehidupan ciptaan-Nya.

Sebagai sikap lanjutan dari dues ex machine ini, maka muncullah sikap

mencari Allah Alternatif. Banyak orang beragama, termasuk orang Kristen,

dalam mengatasi persoalan hidupnya memahami bahwa Allah tidak cukup

kuat mengatasi personal hidup ini. Your God is too small di tengah arena

perjuangan hidup ini, sehingga timbullah minat mencari Allah Alternatif, yang

55

diharapkan lebih tangguh, lebih perkasa. Sikap kepercayaan seperti itu

masih terus mewabah di kalangan jemaat kita.

f. Kekristenan Tradisional

Seorang Kristen tradisioanl adalah seorang yang menjadi Kristen karena

kelahirannya. Imannya adalah karena “telah kudengar dari ayahku” iman

kekristenannya tidak dipergumulkan, tidak dihayati, tetapi yang dilakukan

sesuai dengan tradisi. Semua aktifitas yang dilakukannya, seperti berdoa,

beribadah hanya merupakan tradisi. Penghayatan iman seperti ini tidak akan

pernah menjadi seorang Kristen yang benar.

g. Kekristenan Formalitas

Hampir sama dengan kekristenan tradisional, ada juga kekristenan

formalitas artinya semua aktifitas kekristenannya hanyalah formalitas belaka,

tidak yang sesungguhnya. Atribut dan symbol kekristenan yang dimiliki

hanya sebagai assesori kehidupan, sehingga tidak berdampak kepada

kehidupan spritualitasnya.

h. Kekristenan Misioner

Gereja yang benar adalah gereja yang missioner, yang terdiri dari keluarga

yang missioner, dan yang anggota jemaatnya missioner. Seorang yang

missioner adalah jemaat yang dewasa dalam iman, yang tahu tanggung

jawabnya dan tugas panggilannya sebagai pengikut Kristus. Seorang Kristen

yang missioner bukanlah seorang Kristen susu, melainkan seorang yang

mampu memakan makanan keras, yang tahu membedakan baik dan yang

jahat, mampu melakukan yang baik dan menolak yang jahat. (Ibr 5:13-14).

Komentar (Formulasi Pribadi) – 10 –

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

56

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

X. Penutup

Pertumbuhan, perkembangan dan perubahan gereja nampaknya masih terus akan

terjadi untuk itu gereja harus berusaha menyajikan pelayanannya agar selalu

relevan dan actual dalam menjawab berbagai pergumulan hidup. Dengan upaya

seperti itu, setiap tantangan dan ancaman yang lahir dari pertumbuhan, perubahan

dan perkembangan yang terjadi didalam kehidupan gereja dapat diatasi secara

kontekstual sesuai dengan firman Tuhan.

Dalam rangka upaya itulah diperlukan pencarian Ekklesiologi Kontemporer dengan

maksud menemukan pemahaman bergereja yang benar, relevan dan actual. Dalam

upaya menemukan ekklesiologi kontemporer tersebut tetap dalam koridor teologis

dan dogmatis sesuai dengan firman Tuhan. Cara beribadah dapat berubah, cara

memuji dan memuliakanTuhan dapat berkembang sesuai dengan sarana dan

fasilitas yang ada, system dan metode kepemimpinan juga dapat beraneka ragam.

Namun semuanya itu harus tetap merupakan ungkapan kesaksian dan ibadah pada

Tuhan, yaitu: ucapan syukur, memuliakan Tuhan, menyaksikan kuasa dan

kemuliaanNya, sarana bersekutu dengan sesama orang percaya dan dengan

Tuhan untuk mentaati kehendakNya sekaligus permohonan untuk memperoleh

berkatNya.

57