diktat antropologi pariwisata - unud

62
ANTR ID PRO DIKTAT ROPOLOGI PARIWIS DA BAGUS GDE PUJAASTAW OGRAM STUDI ANTROPOL FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA 2017 1 SATA WA LOGI A

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

28 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

1

DIKTATANTROPOLOGI PARIWISATA

IDA BAGUS GDE PUJAASTAWA

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGIFAKULTAS ILMU BUDAYAUNIVERSITAS UDAYANA

2017

1

DIKTATANTROPOLOGI PARIWISATA

IDA BAGUS GDE PUJAASTAWA

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGIFAKULTAS ILMU BUDAYAUNIVERSITAS UDAYANA

2017

1

DIKTATANTROPOLOGI PARIWISATA

IDA BAGUS GDE PUJAASTAWA

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGIFAKULTAS ILMU BUDAYAUNIVERSITAS UDAYANA

2017

Page 2: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

1

KATA PENGANTAR

Diktat ini disusun untuk melengkapi bahan ajar dalam

mata kuliah Antropologi Pariwisata, yakni spesialisasi dari Ilmu

Antropologi yang memfokuskan perhatiannya pada masalah-

masalah sosial-budaya yang berkaitan dengan perkembangan

sektor kepariwisataan.

Pariwisata pada dasarnya merupakan fenomena multi

dimensi yang mencakup dimensi ekonomi, politik, lingkungan,

sosial-budaya dan lainnya. Meskipun di satu sisi perkembangan

industri pariwisata lebih dipandang sebagai fenonena ekonomi

atau bisnis, namun di sisi lain pariwisata juga merupakan

fenomena perjumpaan kebudayaan yang memiliki implikasi

sosial-budaya yang cukup kompleks. Kenyataan inilah antara lain

yang mendorong Ilmu Antropologi untuk mengembangkan

kajiannya guna memahami berbagai fenomena sosial-budaya

yang terkait dengan perkembangan sektor kepariwisataan.

Meski usianya masih relatif muda, namun keberadaan

Antropologi Pariwisata diharapkan dapat memberi manfaat, baik

manfaat akademos yang berkaitan pengembangan keilmuan,

khususnya Ilmu Antropologi, maupun manfaat praktis yang

berkaitan dengan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan

pembangunan di bidang kepariwisataan.

Denpasar, 6 Juli 2017

Penulis

i

Page 3: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iDAFTAR ISI ii

BAB I DEFINISI, PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI DANKELAHIRAN ANTROPOLOGI PARIWISATA

1

1.1 Definisi 21.2 Perkembangan Antropologi dan Sejarah Kelahiran

Antropologi Pariwisata2

BAB II PENDEKATAN ANTROPOLOGI PARIWISATA 52.1 Pendekatan Diakronik 52.2 Pendekatan Sinkronik 8

BAB III KONSEP PARIWISATA DAN TIPOLOGI WISATAWAN 103.1 Konsep Legal Formal 103.2 Definisi Pariwisata dari Berbagai Dimensi 113.3 Tipologi Wisatawan 16

BAB IV TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN PARIWISATA DANKONSEP PERJUMPAAN KEBUDAYAAN

20

4.1 Taha-tahap Perkembangan Pariwisata 204.2 Beberapa Konsep Perjumpaan Kebudayaan 214.3 Akulturasi sebagai Strategi Antisipasi Perjumpaan

Kebudayaan23

4.4 Bentuk-bentuk Pengaruh Pariwisata terhadapMasyarakat Lokal

25

BAB V PARIWISATA BUDAYA SEBAGAI KONSEP DASARPEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI BALI

26

BAB VI DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF PARIWISATA 31

BAB VII OTONOMI DAERAH DAN PARIWISATA 36

BAB VIII PARIWISATA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT 39

BAB IX PARIWISATA SEBAGAI FENOMENA GLOBALISASI DANLOKALISASI

42

BAB X BEBERAPA MASALAH KEPARIWISATAAN BALI 4510.1 Ketimpangan 4510.2 Kependudukan 4710.3 Eksistensi Subak 49

Bab XI BEBERAPA PENDEKATAN SEBAGAI SOLUSI 53

DAFTAR PUSTAKA 57ii

Page 4: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

1

BAB IDEFINISI, PERKEMBANGAN ILMU ANTROPOLOGI

DAN SEJARAH KELAHIRAN ANTROPOLOGI PARIWISATA

1.1 Definisi

Pariwisata pada dasarnya merupakan fenomena multi

dimensi atau yang mencakup : dimensi ekonomi, politik,

lingkungan, sosial-budaya, dan lainnya. Oleh karenanya untuk

memahami fenomena kepariwisataan secara menyeluruh dan

mendalam diperlukan pendekatan yang bersifat multi disiplin

seperti disiplin ilmu ekonomi, politik, lingkungan, antropologi,

dan lainnya.

Peran disiplin ilmu antropologi dalam pariwisata adalah

untuk memahami fenomena-fenomena sosial-budaya yang

berkaitan dengan bidang pariwisata. Dalam rangka itu lahirlah

Antropologi Pariwisata yang didefinisikan sebagai ilmu bagian

atau spesialisasi dari ilmu antropologi yang secara khusus

memfokuskan perhatiannya pada masala-masalah sosial-budaya

yang terkait dengan kepariwisataan.

Perkembangan Antropologi Pariwisata dirintis oleh N.H.

Graburn, melalui karyanya : The Anthropology of Tourism

(1975). Sejak itu, Antropologi merupakan spesialisasi ilmu

Antropologi yang memfokuskan perhatian pada masalah-

masalah sosial-budaya yang terkait dengan bidang

kepariwisataan. Peran Ilmu Antropologi menjadi semakin penting

mengingat perkembangan pariwisata sebagai industri perjalanan

telah menimbulkan implikasi sosial-budaya yang kompleks.

Dimensi sosial-budaya yang menjadi fokus kajian

Antropologi Pariwisata mencakup sistem sosial dan sistem

budaya yang berkembang dalam rangka pariwisata. Sistem

sosial yang dimaksud di sini adalah suatu sistem yang terwujud

Page 5: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

2

sebagai tindakan berpola berkaitan dengan kedudukan dan

peranan individu-individu dalam konteks pariwisata. Sedangkan

sistem budaya merupakan seperangkat ide yang terdiri dari

unsur-unsur nilai, norma, hukum, dan aturan yang menjadi

pedoman bagi setiap tindakan dalam rangka pariwisata.

1.2 Perkembangan Ilmu Antropologi dan SejarahKelahiran Antropologi Pariwisata.

Antropologi, ilmu yang mempelajari manusia dan

kebudayaannya diperkirakan muncul pada pertengahan abad

XIX. Ilmu antropologi dibangun dari data etnografi masyarakat

non-Ero-Amerika (Asia, Afrika, oceania) dan merupakan bahan

mentah ilmu Antropologi. Bila dibandingkan dengan

perkembangan kebudayaan Ero-Amerika pada waktu itu,

kebudayaan masyarakat non Ero-Amerika dipandang sebagai

kebudayaan yang masih berada pada tingkat perkembangan

yang rendah (sederhana). Erat kaitannya dengan pandangan

tersebut, teori yang paling populer mendasari ilmu ini adalah

teori evolusi kebudayaan, yang menjelaskan bahwa masyarakat

dan kebudayaan berkembang dari tingkat rendah ke tingkat

yang lebih tinggi (kompleks) yang didorong oleh kekuatan dari

dalam (internal). Sedangkan ilmu Antropologi yang pada waktu

itu dapat dikatakan sebagai ilmu orang-orang Eropa dan Amerika

untuk mengakaji masyarakat dan kebudayaan non-Ero-Amerika

yang relatif masih sederhana. Oleh karenanya, ilmu Anthripologi

yang mendominasi tahap-tahap awal perkembangan Antropologi

dapat dikategorikan sebagai Anthropology of Archaic Society

atau Anthropoloy of Traditional Society

Kemudian, sekitar awal abad XX terjadi perubahan yang

cukup mendasar dalam rangka perkembangan masyarakat dan

kebudaqyaan manusia, yaitu adanya gejala makin meluasnya

Page 6: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

3

pengaruh peradaban modern (Barat) terhadap masyarakat dan

kebudayaan non-Ero-Amerika. Bersamaan dengan kian

meluasnya pengaruh peradaban Barat, makin berkurang pula

masyarakat non-Ero-Amerika yang tidak tersentuh oleh

pengaruh kebudayaan Barat. Atau dengan kata lain masyarakat

dan kebudayaan tradisional kian banyak berubah akibat

menyebarnya pengaruh peradaban Barat. Hal tersebut

membawa implikasi terhadap fokus kajian ilmu Antropologi,

yakni mengkaji masyarakat dan kebudayaan tradisional yang

sedang mengalami perubahan. Sehubungan dengan itu

Antropologi disebut Anthropology of Changing Native.

Sejak sekitar awal tahun 1930 maka berkembang pula

beberapa gejala baru yang dihadapi oleh ilmu Antropologi.

Gejala-gejala yang dimaksud adalah :

(1) Hilangnya masyarakat dan kebudayaan asli yang sama

sekali bebas dari pengaruh peradaban barat;

(2) Makin berkembangnya masyarakat dan kebudayaan

dengan ciri-ciri kompleks (modern);

(3) Makin bertambahnya Antropolog yang berasal dari

masyarakat non-Ero-Amerika.

Gejala-gejala tersbut merupakan perspektif bvru bagi

perkembangan ilmu Antropologi baik dilihat dari subyek dan

obyek ilmu tersebut. Begitu pula dalam hal memberikan tekanan

kepada arti ilmu Antropologi yang makin mengarah kepada ilmu

yang berfungsi ganda, baik sebagai ilmu teoritis (akademis)

maupun sebagai ilmu terapan (praktis). Maka sejak fase ini

berkembang suatu ilmu Antropologi yang dikategorikan sebagai

Anthropology of Complex Society.

Salah satu sisi kehidupan masyarakat kompleks adalah

kian berkembangnya pranata untuk memenuhi dorongan

keinginan manusia akan hiburan. Kehidupan masyarakat modern

Page 7: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

4

yang bersifat kompleks ditandai dengan penggunaan energi,

waktu, dan pikiran yang intensif. Hal tersebut menyebabkan

terakumulasinya kelelahan fisik dan pikiran yang menuntut

adanya penyegaran kembali (refreshing) dengan menikmati

berbagai jenis hiburan. Pada masyarakat modern pemenuhan

tuntutan akan hiburan atau memanfaatkan waktu luang

merupakan kebutuhan yang sangat penting, meskipun untuk itu

orang harus menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Dalam perkembangan selanjutnya, upaya-upaya

pemenuhan akan hiburan tersebut dikelola secara lebih intensif

sehingga melahirkan bentuk industri pariwisata seperti yang

dikenal sekarang ini, di mana keberadaannya menimbulkan

berbagai fenomena yang berpengaruh signifikan terhadap

kehidupan masyarakat. Fenomena yang dimaksud di antaranya

adalah berkembangnya fenomena sosial-budaya berkaitan

dengan perkembangan industri pariwisata. Atau dengan kata lain

keberadaan pariwisata disadari sebagai salah satu faktor yang

mempengaruhi dinamika sosial-budaya masyarakat.

Kenyataan tersebut mendorong ilmu Antropologi untuk

mengembangkan kajiannya pada masalah-masalah sosial-

budaya yang berkaitan dengan bidang pariwisata. Berdasarkan

hal tersebut lahirlah ilmu Antropologi Pariwisata yang

merupakan spesialisasi ilmu Antropologi yang memfokuskan

kajiannya pada masalah-masalah sosial-budaya yang berkaitan

dengan bidang pariwisata. Kehadiran Antropologi Pariwisata

diharapkan dapat berperan bagi perkembangan dan

pengembangan pariwisata yang lebih memberikan manfaat

positif bagi kehidupan sosial-budaya masyarakat seperti

revitalisasi dan konservasi budaya.

Page 8: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

5

BAB II

PENDEKATAN ANTROPOLOGI PARIWISATA

2.1 Pendekatan Diakronik

Pendekatan ini berpijak pada gejala perubahan atau

perkembangan sosial-budaya sebagai doktrin pokok. Dalam hal

ini pariwisata diasumsikan sebagai variabel bebas atau faktor

yang mempengaruhi terjadinya perubahan sosial-budaya.

Perubahan atau perkembangan sebagai doktrin pokok diakronis

dapat terwujud dalam empat model berdasarkan indikator-

indikator sebagai berikut.

(a)Indikator Waktu

Pemahaman terhadap fenomena perubahan dapat

dilakukan dengan menggunakan indikator waktu, yakni melalui

komparasi atau perbandingan antara kondisi sosial-budaya

sebelum adanya faktor yang mempengaruhi terjadinya

perubahan dan kondisi sosial-budaya setelah adanya faktor yang

mempengaruhi terjadinya perubahan.

Pendekatan ini dapat digunakan untuk memahami

pengaruh atau dampak pariwisata terhadap aspek-aspek sosial-

budaya pada masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan

mengadakan studi komparasi atau perbandingan mengenai

kondisi sosial-budaya pada waktu sebelum dan sesudah

berkembangnya sektor pariwisata pada masyarakat tertentu.

Misalnya, seorang peneliti ingin memahami bagaimana

pengaruh pariwisata terhadap eksisitensi sistem subak di suatu

tempat di Bali. Masalah tersebut dapat difahami dengan

melakukan studi komparasi atau perbandingan mengenai

keberadaan berbagai komponen sistem subak (seperti luas

lahan, sistem organisasi, infrastruktur, dan lain sebagainya)

Page 9: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

6

pada waktu sebelum dan sesudah berkembangnya pariwisata.

Apabila hasil perbandingan tersebut menunjukkan adanya

perbedaan-perbedaan, seperti makin penyempitan luas lahan

pertanian akibat alih fungsi lahan, berkurangnya organisasi

subak, terganggunya infrastruktur subak, dan lain sebagainya,

maka hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan

pariwisata telah menyebabkan terjadinya perubahan terhadap

keberadaan sistem subak.

Skema Perubahan Berdasarkan dimensi waktu

(b) Indikator Ruang

Konsekwensi logis dari pariwisata sebagai fenomena

perjumpaan atau kontak budaya adalah terjadinya proses

perubahan atau perkembangan sosial-budaya yang disebabkan

oleh persebaran unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ke

tempat yang lain (proses difusi).

Seperti diketahui bahwa pariwisata pada dasarnya

merupakan fenomena kontak atau perjumpaan

antarkebudayaan, di mana masyarakat tuan rumah dihadapkan

dengan budaya pariwisata dan budaya wisatawan. Untuk itu

6

pada waktu sebelum dan sesudah berkembangnya pariwisata.

Apabila hasil perbandingan tersebut menunjukkan adanya

perbedaan-perbedaan, seperti makin penyempitan luas lahan

pertanian akibat alih fungsi lahan, berkurangnya organisasi

subak, terganggunya infrastruktur subak, dan lain sebagainya,

maka hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan

pariwisata telah menyebabkan terjadinya perubahan terhadap

keberadaan sistem subak.

Skema Perubahan Berdasarkan dimensi waktu

(b) Indikator Ruang

Konsekwensi logis dari pariwisata sebagai fenomena

perjumpaan atau kontak budaya adalah terjadinya proses

perubahan atau perkembangan sosial-budaya yang disebabkan

oleh persebaran unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ke

tempat yang lain (proses difusi).

Seperti diketahui bahwa pariwisata pada dasarnya

merupakan fenomena kontak atau perjumpaan

antarkebudayaan, di mana masyarakat tuan rumah dihadapkan

dengan budaya pariwisata dan budaya wisatawan. Untuk itu

6

pada waktu sebelum dan sesudah berkembangnya pariwisata.

Apabila hasil perbandingan tersebut menunjukkan adanya

perbedaan-perbedaan, seperti makin penyempitan luas lahan

pertanian akibat alih fungsi lahan, berkurangnya organisasi

subak, terganggunya infrastruktur subak, dan lain sebagainya,

maka hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan

pariwisata telah menyebabkan terjadinya perubahan terhadap

keberadaan sistem subak.

Skema Perubahan Berdasarkan dimensi waktu

(b) Indikator Ruang

Konsekwensi logis dari pariwisata sebagai fenomena

perjumpaan atau kontak budaya adalah terjadinya proses

perubahan atau perkembangan sosial-budaya yang disebabkan

oleh persebaran unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ke

tempat yang lain (proses difusi).

Seperti diketahui bahwa pariwisata pada dasarnya

merupakan fenomena kontak atau perjumpaan

antarkebudayaan, di mana masyarakat tuan rumah dihadapkan

dengan budaya pariwisata dan budaya wisatawan. Untuk itu

Page 10: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

7

tuan rumah dituntut untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian

seperti menggunakan bahasa, norma-norma, fasilitas-fasilitas,

dan unsur-unsur budaya asing lainnya. Disadari atau tidak,

keberadaan unsur-unsur budaya luar tersebut lambat laun akan

diserap ke dalam kebudayaan tuan rumah. Hal tersebut dapat

mengakibatkan terjadi perubahan-perubahan sosial-budaya pada

masyarakat tuan rumah.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka studi

mengenai proses difusi kebudayaan dalam konteks pariwisata

adalah :

(1) Difusi atau persebaran kebudayaan tidak terjadi secara

utuh atau totalitas, melainkan bersifat parsial, yakni

unsur-unsur tertentu saja.

(2) Unsur-unsur kebudayaan yang didifusikan mengalami

penyesuaian-penyesuaian dalam hal bentuk, struktur,

fungsi, dan makna di lingkungan kebudayaan

penerima.

(c) Indikator Tingkat

Pariwisata juga dapat menimbulkan proses perubahan

atau perkembangan aspek sosial-budaya dari tingkat rendah

atau sederhana menuju tingkat yang lebih tinggi atau kompleks.

Misalnya, dalam bidang pertanian dapat terjadi perubahan pola-

pola teknologi pertanian dari pertanian subsisten (untuk

memenuhi konsumsi keluarga) menjadi pertanian industri untuk

memenuhi tuntutan bisnis pariwisata. Hal tersebut dapat

difahami sebagai suatu bentuk perkembangan dari sistem

pertanian tradisional menuju sistem pertanian yang lebih

modern.

Page 11: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

8

(c) Indikator Ruang, Waktu, dan Tingkat

Perubahan atau perkembangan sosial-budaya dapat

berawal dari suatu tempat kemudian berdifusi atau menyebar ke

tempat lain dan di tempat yang baru unsure tersebut mengalami

perkembangan pada tingkat-tingkat tertentu dalam kurun waktu

tertentu.

Skema PerubahanBerdasarkan Dimensi Ruang, Waktu, dan Tingkat

Misalnya, unsur-unsur bahasa Inggris menyebar dari

tempat asalnya ke berbagai tempat di dunia. Lambat laun, di

tempat-tempat yang baru tersebut keberadaan unsur-unsur

bahasa Inggris kian mengalami perkembangan sehingga

akhirnya bahasa Inggris menjadi bahasa untuk komunikasi

internasional dengan logat atau dialek yang beragam.

2.2 Pendekatan Sinkronik

Pendekatan sinkronik digunakan untuk memahami pola

atau prinsip-prinsip dasar dari fenomena sosial-budaya.

Termasuk dalam pendekatan sinkronik adalah pendekatan

fungsional-struktural yang digunakan untuk memahami fungsi

dan struktur dari setiap gejala atau fenomena sosial-budaya.

Fenomena sosial-budaya yang dimaksud mencakup berbagai

gejala yang berada dalam tataran sistem budaya (idea),

perilaku (action), dan fisik (material).

8

(c) Indikator Ruang, Waktu, dan Tingkat

Perubahan atau perkembangan sosial-budaya dapat

berawal dari suatu tempat kemudian berdifusi atau menyebar ke

tempat lain dan di tempat yang baru unsure tersebut mengalami

perkembangan pada tingkat-tingkat tertentu dalam kurun waktu

tertentu.

Skema PerubahanBerdasarkan Dimensi Ruang, Waktu, dan Tingkat

Misalnya, unsur-unsur bahasa Inggris menyebar dari

tempat asalnya ke berbagai tempat di dunia. Lambat laun, di

tempat-tempat yang baru tersebut keberadaan unsur-unsur

bahasa Inggris kian mengalami perkembangan sehingga

akhirnya bahasa Inggris menjadi bahasa untuk komunikasi

internasional dengan logat atau dialek yang beragam.

2.2 Pendekatan Sinkronik

Pendekatan sinkronik digunakan untuk memahami pola

atau prinsip-prinsip dasar dari fenomena sosial-budaya.

Termasuk dalam pendekatan sinkronik adalah pendekatan

fungsional-struktural yang digunakan untuk memahami fungsi

dan struktur dari setiap gejala atau fenomena sosial-budaya.

Fenomena sosial-budaya yang dimaksud mencakup berbagai

gejala yang berada dalam tataran sistem budaya (idea),

perilaku (action), dan fisik (material).

8

(c) Indikator Ruang, Waktu, dan Tingkat

Perubahan atau perkembangan sosial-budaya dapat

berawal dari suatu tempat kemudian berdifusi atau menyebar ke

tempat lain dan di tempat yang baru unsure tersebut mengalami

perkembangan pada tingkat-tingkat tertentu dalam kurun waktu

tertentu.

Skema PerubahanBerdasarkan Dimensi Ruang, Waktu, dan Tingkat

Misalnya, unsur-unsur bahasa Inggris menyebar dari

tempat asalnya ke berbagai tempat di dunia. Lambat laun, di

tempat-tempat yang baru tersebut keberadaan unsur-unsur

bahasa Inggris kian mengalami perkembangan sehingga

akhirnya bahasa Inggris menjadi bahasa untuk komunikasi

internasional dengan logat atau dialek yang beragam.

2.2 Pendekatan Sinkronik

Pendekatan sinkronik digunakan untuk memahami pola

atau prinsip-prinsip dasar dari fenomena sosial-budaya.

Termasuk dalam pendekatan sinkronik adalah pendekatan

fungsional-struktural yang digunakan untuk memahami fungsi

dan struktur dari setiap gejala atau fenomena sosial-budaya.

Fenomena sosial-budaya yang dimaksud mencakup berbagai

gejala yang berada dalam tataran sistem budaya (idea),

perilaku (action), dan fisik (material).

Page 12: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

9

Pemahaman terhadap fungsi dari suatu fenomena sosial-

budaya lebih mengacu kepada manfaat dari fenomena sosial-

budaya yang bersangkutan. Dalam kajian antropologi Pariwisata,

pendekatan fungsional dapat digunakan untuk memahami

manfaat dari fenomena-fenomena sosial-budaya yang berkaitan

dengan bidang kepariwisataan. Misalnya, fungsi subak bagi

pariwisata.

Sementara pemahaman terhadap struktur dari suatu

fenomena sosial-budaya lebih mengacu kepada prinsip-prinsip

yang mengatur hubungan antar aspek dalam suatu kesatuan

gejala yang bersifat integral. Ibarat memahami struktur pada

sebuah mesin, pendekatan struktural lebih memfokuskan

perhatian pada jenis-jenis komponen serta prinsip-prinsip

mekanika yang mengatur hubungan antar komponen dalam

mesin itu. Demikian pula dalam mengkaji struktur masyarakat.

Kajian struktural lebih memfokuskan perhatian pada kedudukan

dan peranan individu dalam masyarakat serta prinsip-prinsip

yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat

sehingga tercipta suatu bentuk integrasi sosial.

Page 13: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

10

BAB III

KONSEP PARIWISATA DAN TIPOLOGI WISATAWAN

3.1 Konsep Legal Formal

Di Indonesia secara legal formal konsep pariwisata

tertuang dalam Undang-undang Kepariwisataan Republik

Indonesia Nomor 10 Tahun 209 tentang Kepariwisataan.

Rumusan konsep pariwisata mengacu pada konsep wisata yang

didefinisikan sebagai berikut.

Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan olehseseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungitempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembanganpribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yangdikunjungi dalam jangka waktu sementara.

Berdasarkan konsep wisata seperti didefinisikan di atas,

maka dapat dirumuskan sejumlah konsep lainnya yang berkaitan

dengan wisata, seperti konsep wisatawan, pariwisata,

kepariwisataan, daya tarik wisata, daerah tujuan wisata, dan

lainnya. Berikut adalah beberapa rumusan yang dimaksud.

(1) Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata;

(2) Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisatadan didukung berbagai fasilitas serta layanan yangdisediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah,dan pemerintah daerah;

(3) Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yangterkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensiserta multidisiplin yang muncul sebagai wujudkebutuhan setiap orang dan negara serta interaksiantara wisatawan dan masyarakat setempat, sesamawisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, danpengusaha;

(4) Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yangmemiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupakeanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil

Page 14: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

11

buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuankunjungan wisatawan;

(5) Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebutDestinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yangberada dalam satu atau lebih wilayah administratifyang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitasumum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, sertamasyarakat yang saling terkait dan melengkapiterwujudnya kepariwisataan.

3.2 Definisi Pariwisata dari Berbagai Dimensi

Selain definisi di atas, definisi tentang pariwisata yang

berkembang di dunia sesungguhnya sangat beragam dan

memiliki penekanan pada dimensi yang berbeda-beda. Hal

tersebut disebabkan karena pariwisata pada dasarnya

merupakan fenomena multi dimensi yang dapat didekati dari

berbagai perspektif. Uraian berikut adalah kategorisasi definisi

pariwisata dari berbagai dimensi seperti dikemukakan oleh

Adriani dalam http://jejakwisata.com (diakses 3 Maret 2017).

3.2.1 Dimensi Spasial

Dari berbagai definisi tentang pariwisata, definisi yang

berkembang lebih awal adalah definisi yang lebih menekankan

pada dimensi spasial atau ruang (Gartner, 1996: 4). Definisi ini

menekankan pada perjalanan seseorang atau sekelompok orang

ke suatu tempat yang jauh dari lingkungan tempat tinggalnya

dan atau tempat kerjanya dalam jangka waktu sementara. Salah

satu contoh definisi yang dimaksud adalah definisi yang diajukan

Airey (dalam Smith and French, 1994) sebagai berikut.

“Tourism is the temporary short-term movement of peopleto destinations outside the places where they normally liveand work, and their activities during their stay at thesedestinations” .

Page 15: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

12

Selain pergerakan ke tempat yang jauh dari lingkungan

tempat tinggal dan tempat kerja, Airey juga menambahkan

kegiatan atau aktivitas wisatawan selama berada di destinasi

pariwisata sebagai bagian dari pariwisata.

Definisi pariwisata yang diajukan World Tourism

Organization (WTO) pun memfokuskan pada sisi demand

(permintaan) dan dimensi spasial, dengan menetapkan dimensi

waktu untuk perjalanan yang dilakukan wisatawan, yaitu tidak

lebih dari satu tahun berturut-turut.

“Tourism comprises the activities of persons travelling toand staying in places outside their usual environment fornot more than one consecutive year for leisure, businessand other purposes not related to the exercise of anactivity remunerated from within the place visited”

Definisi yang diajukan WTO di atas juga menekankan pada

tujuan perjalanan yang dilakukan, yaitu untuk leisure (mengisi

waktu luang), bisnis, dan tujuan lain yang tidak terkait dengan

kegiatan mencari nafkah di tempat yang dikunjunginya.

Beberapa definisi lain juga menetapkan nilai-nilai tertentu

untuk jarak tempuh dan lama perjalanan yang biasanya

dikembangkan untuk memudahkan perhitungan statistik

pariwisata, seperti :

Committee of Statistical Experts of the League Nations

(1937) menetapkan waktu paling sedikit 24 jam bagi

perjalanan yang dikategorikan sebagai perjalanan wisata.

The United States National Tourism Resources Review

Commission (1973) menetapkan jarak paling sedikit 50 mil

untuk perjalanan wisata.

United States Census Bureau (1989) menetapkan jarak100

mil untuk perjalanan yang dikategorikan sebagai

perjalanan wisata.

Page 16: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

13

Kanada mensyaratkan jarak 25 mil untuk kategori

perjalanan wisata.

Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia menetapkan angka

lama perjalanan tidak lebih dari 6 bulan dan jarak tempuh

paling sedikit 100 km untuk perjalanan wisata.

Definisi pariwisata dari dimensi spasial ini di Indonesia

didefinisikan sebagai kegiatan wisata, seperti yang tercantum

dalam UU Kepariwisataan No. 10 tahun 2009 pasal 1, yaitu

kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk

tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari

keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu

sementara.

3.2.2 Dimensi Industri (Bisnis)

Definisi pariwisata yang dipandang dari dimensi industri

atau bisnis memfokuskan pada keterkaitan antara barang dan

jasa untuk memfasilitasi perjalanan wisata. Smith, 1988 (dalam

Seaton and Bennett 19964) mendefinisikan pariwisata sebagai

kumpulan usaha yang menyediakan barang dan jasa untuk

memfasilitasi kegiatan bisnis, bersenang-senang, dan

memanfaatkan waktu luang yang dilakukan jauh dari lingkungan

tempat tinggalnya.

“..the aggregate of all businesses that directly providegoods or services to facilitate business, pleasure, andleisure activities away from the home environment”.

Craig-Smith and French (1994: 2), mendefinisikan

pariwisata sebagai keterkaitan antara barang dan jasa yang

dikombinasikan untuk menghasilkan pengalaman berwisata.

“..... a series of interrelated goods and services whichcombined make up the travel experience”.

Page 17: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

14

Definisi pariwisata sebagai industri/bisnis inilah yang di

dalam UU Kepariwisataan RI No. 10 tahun 2009 didefinisikan

sebagai pariwisata, yaitu berbagai macam kegiatan wisata dan

didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh

masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.

3.2.3 Dimensi Sosial-Budaya

Pariwisata juga dapat dipandang sebagai bagian dari

fenomena sosial-budaya. Definisi pariwisata dari dimensi sosial-

budaya menitikberatkan perhatian pada hal-hal yang terkait

dengan perjalanan wisata, kegiatan yang dilakukan selama

berada di destinasi wisata, dan fasilitas-fasilitas yang dibangun

untuk memenuhi kebutuhan wisatawan.

“Tourism is the temporary movement of people todestinations outside their normal places of work andresidence, the activities undertaken during their stay inthose destinations, and the facilities created to cater totheir needs” (Mathieson and Wall dalam Gunn, 2002: 9).

Definisi lainnya dikemukakan oleh Chadwick (994) yang

menitikberatkan pada tiga aspek utama, yakni pergerakan

manusia, aspek ekonomi atau industri, sistem interaksi

antarmanusia, serta kebutuhan dan layanan untuk merespon

kebutuhan tersebut.

“…identified three main concepts: the movement ofpeople; a sector of the economy or industry; and a broadsystem of interacting relationship of people, their needs,and services that respond to these needs”.

Ada pula definisi yang menekankan pada interaksi antara

elemen lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial budaya, sebagai

berikut.

Page 18: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

15

“an open system of five elements interacting with broaderenvironments; the human element; tourists; threegeographical elements: generating region, transit route,and destination region; and an economic element, thetourist industry. The five are arranged in functional andspatial connection, interacting with physical, technological,social, cultural, economic, and political factors. Thedynamic element comprises persons undertaking travelwhich is to some extent, leisure-based and which involvesa temporary stay away from home of at least one night”(Leiper dalam Gartner, 1996: 6) :

Definisi lainnya yang lebih sederhana diajukan oleh

Hunziker, 1951 (dalam French, Craig-Smith, Collier, 1995: 3),

yang mendefinisikan pariwisata, sebagai berikut.

“..... the sum of the phenomena and relationship arisingfrom the travel and stay of non-residents, in so far as thedo not lead to permanent residence and are not connectedwith any earning activity”

Definisi yang menekankan dimensi sosial-budaya,

khususnya aspek sejarah dan budaya adalah seperti yang

diajukan oleh MacCannell, 1992 (dalam Herbert, 1995 : 1),

sebagai berikut.

“Tourism is not just an aggregate of merely commercialactivities; it is also an ideological framing of history, natureand tradition; a framing that has the power to reshapeculture and nature to its own needs”.

Definisi di atas memandang Pariwisata bukanlah hanya

kegiatan bisnis atau komersial semata, melainkan juga

merupakan wahana bagi upaya untuk merevitalisasi sejarah,

alam, dan kebudayaan. Dengan demikian pembangunan

pariwisata berbwawasan budaya di samping bertujuan untuk

memperoleh manfaat bagi kesejahteraan ekonomi, juga

memberi manfaat bagi pelestarian budaya dan lingkungan

setempat.

Page 19: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

16

3.2.4 Dimensi Akademis

Dari dimensi akademis, pariwisata tidak hanya dilihat dari

sisi supply atau demand saja, tetapi melihat keduanya sebagai

dua aspek yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain.

“Tourism is a study of man away from his usual habitat, ofthe industry which responds to his needs and of theimpacts that both he and the industry have on the hostsosiocultural, economic and physical environment”.

Pariwisata dari dimensi ini didefinisikan sebagai studi yang

mempelajari perjalanan manusia ke luar dari lingkungannya,

industri yang merespon kebutuhan manusia yang melakukan

perjalanan, dan dampak yang ditimbulkan oleh pelaku

perjalanan maupun industri terhadap lingkungan sosial-budaya,

ekonomi, maupun lingkungan fisik setempat (Jafar Jafari, 1977

dalam Gartner, 1996: 7).

Definisi Jafar Jafari di atas mereduksi dimensi spasial

sebagai faktor pembatas perjalanan wisata. Definisi tersebut

mengisyaratkan bahwa faktor jarak tidaklah bersifat ketat,

melainkan relatif. Dengan demikian, seseorang dapat

melakukan kegiatan wisata asalkan kegiatan tersebut dilakukan

dengan melakukan perjalanan meninggalkan lingkungannya

(tempat tinggal atau tempat kerjanya) tanpa memperhatikan

jarak secara ketat.

3.3 Tipologi Wisatawan

Ada berbagai macam tipologi wisatawan, tergantung dari

jenis kriteria yang digunakan untuk merumuskan tipologi itu.

Atas dasar kriteria kenegaraan, misalnya, kita mengenal

wisatawan asing dan domistik, atau yang di Indonesia disebut

dengan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara.

Tipologi lainnya juga dapat diajukan berdasarkan kriteria tujuan

Page 20: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

17

wisata, ciri-ciri fisik, usia, fasilitas akomodasi yang digunakan,

dan lain-lain.

Salah satu tipologi wisatawan yang dibuat berdasarkan

kriteria peranan dan kelembagaannya diajukan oleh Cohen

(1972) sebagai berikut :

(a) The Organized Mass Tourist

Wisatawan tipe ini membeli package tour yang telah

diorganisasikan oleh agen perjalanan wisata. Acara-

acara mereka sepenuhnya diatur oleh agen perjalanan

dan hampir tidak ada keputusan sendiri yang diambil

oleh tipe wisatawan ini.

(b) The Individual Mass Tourist

Wisatawan tipe ini mirip dengan tipe pertama, di mana

acara perjalanannya mayoritas dikelola oleh agen

perjalanan, namun bobot pengambilan keputusan

sendiiri oleh wisatawan lebih besar.

(c) The Explorer

Wisatawan tipe ini lebih bersifat individualis dan

mengelola sendiri acara perjalanan mereka. Mereka

berusaha mengadakan hubungan dengan masyarakat

lokal, namun tidak sepenuhnya meninggalkan cara-

cara hidup menurut lingkungan mereka sendiri.

(d) The Drifter

Wisatawan tipe ini sepenuhnya mengelola sendiri

perjalanan mereka dan dapat menggunakan berbagai

fasilitas umum yang digunakan oleh masyarakat lokal.

Meraka berinteraksi intensif dan berbaur dalam

kehidupan masyarakat lokal dan mengkonsumsi jenis-

jenis makanan yang ada pada masyarakat lokal.

Page 21: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

18

Dua tipe wisatawan yang pertama disebut institutionalized

tourist dan dua tipe yang terakhir disebut non institutionalized

tourist. Elemen dasar yang menjadi ciri penting bagi tipe

institutionalized tourist adalah standarisasi dan produksi massa.

Berdasarkan ciri-ciri fisiknya, wisatawan dapat

digolongkan atas wisatawan hippies dan non-hippies. Pada

mulanya istilah hippies ditujukan kepada kelompok pemakai

hard drugs (narkoba) seperti madat (opium), morfine, heroin,

cocain yang terdapat pada bunga madat (poppy flower). Hard

drugs tersebut umumnya dikonsumsi dengan menggunakan

pipa penghisap dengan posisi badan sedemikian rupa (hip).

Selanjutnya istilah hippies juga ditujukan kepada semua orang

pengguna narkotika & obat-obatan berbahaya yang bersifat

synthetic chemicals (narkoba).

Pada tahun 1965 – 1968 istilah hippies diperluas oleh

media massa, yaitu termasuk pula kelompok pemuda yang

menolak nilai-nilai atau way of life yang telah berlaku turun-

temurun dalam masyarakat. Mereka mencoba menciptakan

kebiasaan yang baru yang disebut youth culture.

Ciri-ciri hippies yang mula-mula ditentukan oleh faktor fisik

kemudian meluas pula pada ciri-ciri non-fisik sebagai berikut.

(a) Pekerjaan

Kaum hippies umumnya tidak memiliki pekerjaan

tetap & lebih menyukai pekerjaan berjangka waktu

pendek;

(b) Agama

Kaum hippies umumnya kurang mentaati kaidah-

kaidah agama yang berlaku secara umum &

cenderung menciptakan semacam agama baru yang

bersifat sinkretik yang merupakan kombinasi dari

unsur-unsur dari berbagai sumber.

Page 22: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

19

(b) Mode

Kaum hippies cenderung memilih mode (misalnya

pakaian & rambut) dengan gaya yang aneh dan luar

biasa.

(c) Kesadaran

Kaum hippies pada umumnya mengembangkan

kesadaran yang lain dari biasanya.

Page 23: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

20

BAB IV

TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN PARIWISATADAN KONSEP PERJUMPAAN KEBUDAYAAN

4.1 Tahap-Tahap Perkembangan Pariwisata

Foster dan Greenwood mengemukakan bahwa

perkembangan pariwisata berlangsung melalui 3 tahap, yaitu :

(a) Tahap Penemuan (Discovery)

Tahap penemuan ditandai oleh penemuan suatu obyek

wisata yang biasanya terjadi secara kebetulan oleh

orang-orang yang memiliki watak petualang seperti

penjelajah atau pecinta alam. Kedatangan mereka ke

tempat itu lebih banyak untuk melakukan kegiatan

yang bersifat santai seperti berburu, atau sekadar

menyalurkan hasrat kecintaan mereka terhadap

pesona keindahan alam.

(b) Tahap munculnya Tanggapan & Inisiatif Lokal (local

response)

Tahap munculnya tanggapan atau inisiatif lokal adalah

kelanjutan dari tahap penemuan. Pada tahap ini suatu

obyek wisata mulai dikenal berkat promosi yang

dilakukan oleh penemunya, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Sejalan dengan itu para

wisatawan (baik domistik maupun asing) mulai datang

mengunjungi tempat tersebut. Kedatangan para

wisatawan ini memberikan rangsangan bagi penduduk

setempat untuk memberikan respon dalam rangka

memperoleh manfaat daripadanya. Mereka kemudian

mendirikan beraneka fasilitas kepariwisataan. Namun

keberadaan fasilitas tersebut umumnya kurang

Page 24: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

21

memadai baik secara kualitas maupun kuantitas

karena kemunculannya bersifat spontan dan swadaya.

(c) Tahap Instistusionalisasi (Institusionalized)

Tahap instistusionalisasi merupakan kelanjutan dari

tahap munculnya tanggapan dan inisiatif lokal. Pada

tahap ini jumlah kunjungan wisatawan semakin

meningkat sehingga keberadaan fasilitas

kepariwisataan juga makin ditingkatkan baik kualitas,

kuantitas, dan keanekaragamannya sehingga

mencapai tingkat kemapanan. Jadi pada tahap ini

perkembangan suatu obyek wisata betul-betul

mencapai perkembangan yang optimal.

4.2 Beberapa Konsep Berkaitan dengan PariwisataSebagai Fenomena Perjumpaan Kebudayaan

Pariwisata merupakan fenomena perjumpaan kebudayaan

di mana kebudayaan yang satu dengan yang lain saling

mempengaruhi. Dalam hal ini kebudayaan lokal (penerima)

cenderung berkedudukan sebagai variabel yang dipengaruhi

(dependent variabel) & kebudayaan asing sebagai variabel yang

mempengaruhi (independent variabel).

Skema Interaksi antara Kebudayaan Asing dan Kebudayaan Lokaldalam Konteks Pariwisata

Dalam konteks pariwisata, interaksi antara kebudayaan

wisatawan dengan kebudayaan tuan rumah cenderung

21

memadai baik secara kualitas maupun kuantitas

karena kemunculannya bersifat spontan dan swadaya.

(c) Tahap Instistusionalisasi (Institusionalized)

Tahap instistusionalisasi merupakan kelanjutan dari

tahap munculnya tanggapan dan inisiatif lokal. Pada

tahap ini jumlah kunjungan wisatawan semakin

meningkat sehingga keberadaan fasilitas

kepariwisataan juga makin ditingkatkan baik kualitas,

kuantitas, dan keanekaragamannya sehingga

mencapai tingkat kemapanan. Jadi pada tahap ini

perkembangan suatu obyek wisata betul-betul

mencapai perkembangan yang optimal.

4.2 Beberapa Konsep Berkaitan dengan PariwisataSebagai Fenomena Perjumpaan Kebudayaan

Pariwisata merupakan fenomena perjumpaan kebudayaan

di mana kebudayaan yang satu dengan yang lain saling

mempengaruhi. Dalam hal ini kebudayaan lokal (penerima)

cenderung berkedudukan sebagai variabel yang dipengaruhi

(dependent variabel) & kebudayaan asing sebagai variabel yang

mempengaruhi (independent variabel).

Skema Interaksi antara Kebudayaan Asing dan Kebudayaan Lokaldalam Konteks Pariwisata

Dalam konteks pariwisata, interaksi antara kebudayaan

wisatawan dengan kebudayaan tuan rumah cenderung

21

memadai baik secara kualitas maupun kuantitas

karena kemunculannya bersifat spontan dan swadaya.

(c) Tahap Instistusionalisasi (Institusionalized)

Tahap instistusionalisasi merupakan kelanjutan dari

tahap munculnya tanggapan dan inisiatif lokal. Pada

tahap ini jumlah kunjungan wisatawan semakin

meningkat sehingga keberadaan fasilitas

kepariwisataan juga makin ditingkatkan baik kualitas,

kuantitas, dan keanekaragamannya sehingga

mencapai tingkat kemapanan. Jadi pada tahap ini

perkembangan suatu obyek wisata betul-betul

mencapai perkembangan yang optimal.

4.2 Beberapa Konsep Berkaitan dengan PariwisataSebagai Fenomena Perjumpaan Kebudayaan

Pariwisata merupakan fenomena perjumpaan kebudayaan

di mana kebudayaan yang satu dengan yang lain saling

mempengaruhi. Dalam hal ini kebudayaan lokal (penerima)

cenderung berkedudukan sebagai variabel yang dipengaruhi

(dependent variabel) & kebudayaan asing sebagai variabel yang

mempengaruhi (independent variabel).

Skema Interaksi antara Kebudayaan Asing dan Kebudayaan Lokaldalam Konteks Pariwisata

Dalam konteks pariwisata, interaksi antara kebudayaan

wisatawan dengan kebudayaan tuan rumah cenderung

Page 25: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

22

menimbulkan perubahan-perubahan pada kebudayaan tuan

rumah.

Proses perjumpaan kebudayaan menimbulkan

konsekwensi-konsekwensi sebagai berikut :

(a) Substitusi :

Fungsi unsur-unsur kebudayaan lokal diambil alih oleh

unsur-unsur kebudayaan asing dengan perubahan

struktural yang minimum;

(b) Sinkretisme :

Terbentuknya sistem baru dari percampuran unsur-

unsur kebudayaan lokal dengan unsur-unsur

kebudayaan asing dengan kemungkinan terjadinya

perubahan kebudayaan yang cukup berarti;

(c) Adisi :

Penambahan unsur-unsur kebudayaan asing ke dalam

kebudayaan lokal;

(d) Dekulturasi :

Hilangnya bagian-bagian substansial dari kebudayaan

lokal;

(e) Orijinalisasi :

Munculnya unsur-unsur kebudayaan yang baru untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru sebagai akibat

dari kondisi yang berubah;

(f) Revitalisasi :

Bangkitnya atau menguatnya daya tahan kebudayaan

lokal dari pengaruh-pengaruh budaya asing.

(g) Penolakan :

Perubahan kebudayaan yang terjadi akibat pengaruh

asing tidak dapat diterima oleh sebagian besar

masyarakat sehingga dapat menyebabkan

pemberontakan atau gerakan kebangkitan.

Page 26: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

23

4.3 Akulturasi sebagai Konsep Strategi AntisipasiPerjumpaan Kebudayaan

Pariwisata dapat dipandang sebagai fenomena perjumpaan

kebudayaan antara kebudayaan wisatawan dengan kebudayaan

penerima. Konsekwensi logis dari proses perjumpaan

kebudayaan tersebut pada gilirannya menimbulkan perubahan-

perubahan pada kebudayaan penerima. Contoh kongkrit

mengenai hal tersebut, misalnya, dalam bidang bahasa,

masyarakat lokal mulai menyerap unsur-unsur bahasa asing

sehingga menggeser peran unsur-unsur bahasa lokal. dalam

bidang kesenian, berbagai jenis kesenian asing seperti musik,

film, dan mode Barat kian digemari dan dengan mudah diserap

oleh masyarakat lokal sehingga menggeser atau paling tidak

menyaingi peran kesenian lokal. Demikian pula dengan gaya

hidup, disadari atau tidak, tidak sedikit warga masyarakat

lokal telah meniru gaya hidup wisatawan yang cenderung bebas

dan individual. Akumulasi dari persoalan-persoalan tersebut

tentunya dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada

kebudayaan lokal. Di samping itu, pariwisata juga dapat

merangsang munculnya pergeseran fungsi kebudayaan lokal

seperti sekularisasi dan komersialisasi kesenian sakral dan lain

sebagainya.

Kasus Hawaii nampaknya dapat dijadikan pelajaran

berharga bagi setiap masyarakat yang menitikberatkan

pariwisata saebagai sektor penghasil devisa handalan.

Perkembangan industri pariwisata hawaii yang begitu pesat tidak

saja membawa manfaat ekonomi yang besar, tetapi juga

menimbulkan kerugian sosial-budaya yang cukup parah.

Kebudayaan pendatang pencari kerja dan wisatawan yang begitu

dominan akhirnya menenggelamkan kebudayaan tuan rumah

Page 27: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

24

dan penduduk asli Hawaii akhirnya menjadi kaum minoritas dan

merasa terasing dan terpinggirkan di negrinya sendiri.

Bercermin dari kasus Hawaii tersebut, kiranya konsep

akulturasi dapat diacu sebagai strategi untuk mengantisipasi

konsekwensi-konsekwensi negatif yang muncul dari proses

perjumpaan kebudayaan.

Akulturasi adalah suatu proses kebudayaan yang timbulbila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaantertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaanasing yang berbeda sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dandiolah ke dalam kebudayaan penerima tanpamenghilangkan kepribadian kebudayaan penerima.

Implikasi dari pernyataan di atas adalah bahwa dalam

proses akulturasi kebudayaan, khususnya dari perspektif

kebudayaan penerima terdapat sekurang-kurangnya tiga gejala :

(a) Adanya kreativitas dari pendukung kebudayaan

penerima untuk mengolah unsur-unsur kebudayaan

asing;

(b) Adanya usaha yang bersifat adaptif dalam membentuk

suatu integrasi dan penyesuaian terhadap kebudayaan

asing;

(c) Adanya upaya untuk melestarikan dan merevitalisasi

kebudayaan sendiri.

Secara teoritik, berkaitan dengan proses akulturasi,

terdapat sejumlah unsur kebudayaan asing yang mudah diterima

oleh kebudayaan penerima dan di lain pihak juga terdapat

sejumlah unsur kebudayaan asli (kebudayaan penerima) yang

sukar digantikan oleh unsur-unsur kebudayaan asing. Unsur-

unsur kebudayaan asing yang mudah diterima oleh kebudayaan

penerima mencakup :

Page 28: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

25

(1) Unsur-unsur kebudayaan yang bersifat kongkrit

(principle of concretness). Unsur-unsur ini meliputi

unsur-unsur kebudayaan material terutama benda-

benda atau alat-alat yang mudah ditiru pemakaiannya;

(2) Unsur-unsur kebudayaan yang mempunyai kegunaan

yang besar (principle of utility);

(3) Unsur-unsur kebudayaan yang mudah disesuaikan

dengan kondisi masyarakat penerima (principle of

integration).

Sedangkan unsur-unsur kebudayaan asli (kebudayaan

penerima) yang sulit digantikan oleh unsur-unsur kebudayaan

asing mencakup :

(1) Unsur-unsur kebudayaan yang sudah berfungsi secara

meluas (principle of function);

(2) Unsur-unsur kebudayaan yang sudah dipelajari sejak

dini dalam proses sosialisasi individu-individu dalam

masyarakat (principle of early learning);

(3) Unsur-unsur kebudayaan yang berkaitan dengan

agama atau religi (principle of religion)

4.4 Bentuk-Bentuk Pengaruh Perkembangan PariwisataTerhadap Masyarakat Lokal

Perkembangan pariwisata di suatu daerah dapat membawa

sejumlah pengaruh bagi masyarakat lokal (setempat). Bentuk-

bentuk pengaruh perkembangan pariwisata terhadap masyarakat

lokal antara lain sebagai berikut.

Dalam Bidang Ekonomi:

a.Standardisasi fasilitas-fasilitas pariwisata

b.Meningkatnya keperluan akan barang & jasa

Page 29: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

26

c. Meluasnya kesempatan kerja

d.Perubahan pola kerja

e.Diet masyarakat menjadi lebih baik

f. Berkembangnya beraneka ragam kerajinan.

Dalam Bidang Sosial-Budaya :

a. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat akibat

migrasi para pencari kerja.

b. Berkembangnya pola hubungan sosial yang lebih bersifat

impersonal

c. Meningkatnya mobilitas kerja

d. Mundurnya aktivitas gotong-royong dan tolong-menolong

e. Berkembangnya konflik antargenerasi (generasi tua

dengan generasi muda)

f. Mundurnya batas usia kawin rata-rata & mengecilnya

jumlah anggota keluarga

g. Adanya perubahan stratifikasi sosial dan munculnya cara-

cara baru dalam menilai tingkatan status.

h. Berkembangnya kesempatan pendidikan.

i. Masuknya ide-ide baru.

j. Meningkatnya gejala penyimpangan sosial (social

deviance) seperti kejahatan, penggunaan narkoba,

pergaulan bebas, dan PMS.

k. Komersialisasi kebudayaan.

l. Berkembangnya masalah-masalah lingkungan..

Page 30: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

27

BAB VPARIWISATA BUDAYA SEBAGAI

KONSEP DASAR PEMBANGUNAN PARIWISATA BALI

Tonggak sejarah perkembangan kepariwisataan di daerah

Bali dimulai sekitar tahun duapuluhan. Ketika itu, promosi

perusahaan maskapai perdagangan Belanda berhasil menarik

minat orang-orang Eropa untuk mengunjungi Pulau Bali dengan

eksotisme kebudayaan Bali sebagai daya tarik dominan. Setelah

mengalami gejolak pasang-surut, sejak tahun 1969, pariwisata

di daerah Bali kian berkembang ke arah pariwisata massa yang

dibarengi dengan pembangunan berbagai infrastruktur seperti

pengembangan bandara Ngurah Rai dan berbagai fasilitas

akomodasi pariwisata lainnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, dengan tetap

mempertahankan pariwisata budaya sebagai corak dominan,

berkembang pula jenis-jenis pariwisata lainnya sebagai

alternatif penunjang. Adapun jenis-jenis pariwisata daerah Bali

berdasarkan komplementaritas potensi dan motif wisata adalah :

wisata Budaya, wisata konvensi, wisata spiritual, wisata

lingkungan, wisata pertanian, dan lain-lain.

Menyikapi perkembangan kepariwisataan daerah Bali yang

menunjukkan gejala kian meningkat, Pemerintah Daerah Bali

melalui Perda Nomor 3 tahun 1974, menetapkan bahwa jenis

kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bali adalah

pariwisata budaya. Pariwisata budaya adalah salah satu jenis

pariwisata yang dalam pengembangannya ditunjang oleh faktor

kebudayaan . Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan

Bali yang dijiwai oleh agama Hindu. Konsep ini dilandasi oleh

proposisi bahwa kebudayaan berfungsi terhadap pariwisata

menurut pola hubungan yang bersifat linier dan satu arah.

Page 31: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

28

Dalam aplikasinya, konsep ini cenderung dimaknai sebagai

obyektivikasi kebudayaan di mana kebudayaan semata-mata

diposisikan sebagai obyek demi kepentingan pariwisata.

Sejalan dengan gencarnya wacana mengenai konsep

pembangunan berwawasan budaya dan lingkungan, dilakukan

penyempurnaan terhadap Perda Nomor 3 tahun 1974 menjadi

Perda Nomor 3 Tahun 1991, yang menetapkan pariwisata

budaya sebagai jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan

dan pengembangannya menggunakan kebudayaan Bali yang

dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari

kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang paling

dominan, yang di dalamnya tersirat suatu cita-cita akan adanya

hubungan timbal balik antara pariwisata dan kebudayaan

sehingga keduanya berkembang secara serasi, selaras, dan

seimbang. Konsep ini dilandasi oleh proposisi bahwa kebudayaan

dan pariwisata harus berada dalam pola hubungan interaktif

yang bersifat dinamik dan progresif (lihat Geriya, 1996).

Pada tahun 2012 diterbitkan tentang Kepariwisataan

Budaya Bali (Perda Nomor 2 Tahun 2012). Dalam perda tersebut

dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kepariwisataan

budaya Bali adalah :

kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepadaKebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindudan falsafah Tri Hita Karana sebagai potensi utama denganmenggunakan kepariwisataan sebagai wahanaaktualisasinya, sehingga terwujud hubungan timbal-balikyang dinamis antara kepariwisataan dan kebudayaan yangmembuat keduanya berkembang secara sinergis, harmonisdan berkelanjutan untuk dapat memberikan kesejahteraankepada masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan.

Adapun tujuan Kepariwisataan budaya Bali adalah sebagai

berikut.

Page 32: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

29

a. Melestarikan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh nilai-

nilai Agama Hindu;

b. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi;

c. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

d. Menciptakan kesempatan berusaha;

e. Menciptakan lapangan kerja;

f. Melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;

g. Mengangkat citra bangsa;

h. Memperkukuh rasa cinta tanah air dan kesatuan

bangsa; dan

i. Mempererat persahabatan antarbangsa.

Sedangkan arah pembangunan kepariwisataan budaya Bali

diarahkan untuk :

a. Meningkatkan harkat dan martabat, serta

memperkukuh jati diri masyarakat Bali;

b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali secara

merata dan berkelanjutan; dan

c. Melestarikan lingkungan alam Bali sebagai basis

penyangga kehidupan masyarakat dan kebudayaan Bali

secara berkelanjutan.

Pada dasarnya Perda Kepariwisataan Budaya Bali mengacu

pada konsep pembangunan pariwisata berwawasan budaya,

yakni pariwisata yang bertumpu pada kebudayaan sebagai

potensi daya tarik dominan sekaligus menjadikan pariwisata

sebagai wahana untuk memajukan kebudayaan. Konsep ini

dipandang sangat penting dan relevan mengingat pariwisata

sebagai fenomena modern mengandung sejumlah konsekwensi

terhadap kebudayaan masyarakat lokal atau tuan rumah.

Perkembangan pariwisata pada tingkat tertentu di samping

membawa manfaat positif bagi perekonomian, juga kerap

Page 33: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

30

menimbulkan ancaman bagi keberadaan budaya tuan rumah.

Menyadari hal tersebut, maka konsep pengembangan pariwisata

budaya hendaknya tidak dimaknai sebagai upaya untuk menggali

dan mengembangkan potensi kebudayaan sebagai komoditas

pariwisata semata, tetapi juga sebagai upaya pelestarian dan

pemberdayaan kebudayaan lokal.

Page 34: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

31

BAB VIDAMPAK POSITIF DAN NEGATIF PARIWISATA

Dalam kerangka ideal, model kebijakan pembangunan

pariwisata dewasa ini diharapkan lebih berpihak bagi

kesejahteraan ekonomi rakyat serta mampu memberikan

manfaat bagi pelestarian budaya dan lingkungan secara merata

dan berkelanjutan. Namun demikian, dalam kenyataannya

manfaat-manfaat ekonomi yang diperoleh dari sektor pariwisata

masih kerap dibarengi oleh berbagai masalah sosial-budaya

bahkan juga lingkungan. Tidak terlepas dari kenyataan bahwa

pariwisata merupakan suatu komuditas, sehingga dipandang

dari sisi ini pariwisata merupakan suatu gejala ekonomi. Sebagai

komoditas, pariwisata mencakup mata rantai kegiatan yang

sangat panjang dan mampu menggerakkan sektor-sektor

ekonomi lainnya dengan jangkauan yang sangat luas. Sejumlah

besar tenaga kerja terserap ke dalam sektor pariwisata dan

sektor-sektor lainnya yang terkait. Semua itu akan memperluas

kesempatan kerja dan dan sekaligus menyebarkan pemerataan.

Dampak sosial-ekonomi lainnya yang sering terjadi adalah

masalah pertanahan seperti praktik-praktik spekulasi pembelian

tanah dan konsentrasi pemilikan tanah yang biasanya terpusat di

tangan pemilik modal. Akibatnya, para petani yang menjual

tanahnya tidak saja kehilangan lahan-lahan produktif yang

mereka miliki, tetapi juga kehilangan pekerjaan sebagai petani,

sehingga memaksa mereka harus mencari nafkah di luar sektor

pertanian. Di samping itu praktik jual-beli tanah dapat pula

menimbulkan konflik di kalangan masyarakat berkaitan dengan

pembebasan kawasan tertentu untuk suatu proyek pariwisata.

Di samping dapat dipandang sebagai gejala ekonomi,

pariwisata juga dapat dipandang sebagai gejala sosial-budaya,

Page 35: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

32

karena pariwisata merupakan fenomena interaksi lintas budaya,

yakni hubungan timbal-balik antar individu atau kelompok orang

yang memiliki perbedaan-perbedaan identitas budaya,

lingkungan sosial, sikap mental, dan susunan psikologis

(Nettekoven, 1976; Wahab, 1989 : 65). Interaksi yang bersifat

akumulatif dan intensif antara wisatawan dengan masyarakat

setempat dapat menimbulkan dampak atau perubahan sosial-

budaya yang bersifat positif ataupun negatif. Dengan kata lain,

interaksi lintas budaya yang muncul dalam pariwisata dapat

menjadi keberuntungan atau malapetaka, dan hal ini sangat

tergantung pada kebijakan pengembangan pariwisata yang

diterapkan oleh pemerintah setempat. Dampak pariwisata dinilai

bersifat negatif apabila menimbulkan perubahan-perubahan yang

tidak diinginkan atau merugikan eksistensi kebudayaan

masyarakat setempat. Sebaliknya dampak pariwisata dinilai

positif apabila mampu memberikan manfaat bagi kesejahteraan

ekonomi masyarakat, revitalisasi dan konservasi bagi eksistensi

kebudayaan masyarakat setempat, serta pelestarian lingkungan.

Dampak pariwisata terhadap kehidupan sosial-budaya

masyarakat Bali telah lama mendapat sorotan dari berbagai

pihak. Berkenaan dengan ini dijumpai adanya perbedaan

pendapat antara pihak yang berpandangan pesimis dan optimis

terhadap keberadaan Bali pada masa mendatang.

Pihak yang berpandangan pesimis menganggap

kebudayaan Bali telah mengalami komoditisasi dan penurunan

derajat karena banyak unsur kebudayaan yang dialihfungsikan

atau dikomersialisasikan sebagai komuditas dagangan. Selain itu

ada pula yang melihat perkembangan pariwisata Bali telah

membawa daerah ini menjadi Eropa kedua, atau mengarah

kepada Waikikianization (Seda, 1990 : 59; Noronha, 1976 :

177; Stanton, 1978).

Page 36: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

33

Di pihak lain ada pula pandangan optimis bahwa

perkembangan pariwisata di Bali membawa dampak positif

terhadap kebudayaan setempat. Seperti misalnya McKean

(1978), menyatakan bahwa kehadiran wisatawan ke Bali justru

dapat memperkokoh benteng pertahanan kebudayaan setempat.

Hal tersebut tampak pada masyarakat Bali, di mana

perkembangan pariwisata dipandang sebagai fenomena

modernisasi bagi masyarakat dan kebudayaan Bali yang

sesungguhnya berlangsung melalui pelestarian tradisi masa lalu.

Hal tersebut dikemukakan oleh Mc Kean (1973 : 26), sebagai

berikut :

“tourism is very much a part of the modern tradition, but itis built on the foundation laid during the little and greattradition, without wich it would never been started andwithout wich it will not florish in the future”.

Keinginan besar para wisatawan untuk menikmati

kebudayaan Bali melahirkan apa yang disebutnya sebagai

involusi kebudayaan, yaitu elaborasi yang semakin baik dalam

bentuk dan praktik-praktik kebudayaan, seperti apa yang

tercermin dalam berbagai jenis kesenian tradisional yang kian

sering dan meluas dipertunjukkan daripada beberapa tahun

silam. Begitu pula pada masyarakat yang secara langsung

terlibat dalam pariwisata mampu mengembangkan lembaga-

lembaga yang ada sejalan dengan tuntutan dunia pariwisata,

seperti yang dikemukakan oleh Bagus, (1990 : 6), sebagai

berikut :

“.... Dalam hal inilah kita melihat di daerah pariwisata diBali perubahan bentuk dan struktur organisasi banjarserta desa dalam melaksanakan hidup berwarga dan hidupberupacara di daerah pariwisata. Perubahan ini bukansuatu kemunduran melainkan sebaliknya merupakan suatupeningkatan isi lembaga sosial tadi. Dengan kata lain,dapat dikatakan bahwa dalam penyesuaian itu didapat

Page 37: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

34

ketahanan untuk survival serta yang baru itu menjadibagian struktur masyarakat Bali”.

Pariwisata memberikan peluang kepada masyarakat

setempat untuk memperoleh berbagai manfaat dengan cara

menawarkan barang atau jasa yang lazim pula disebut produk

wisata. Produk wisata tersebut terdiri dari tiga jenis, yaitu : (1)

daya tarik daerah tujuan wisata, termasuk pula citra yang

dibayangkan oleh wisatawan; (2) fasilitas di daerah tujuan

wisata yang mencakup akomodasi, usaha pengolahan makanan,

hiburan, dan rekreasi; dan (3) kemudahan-kemudahan

mencapai daerah tujuan wisata. Selain itu, produk wisata tidak

hanya mempunyai segi-segi yang bersifat ekonomis, tetapi juga

segi-segi yang bersifat sosial, psikologis, dan alamiah. Produk

wisata itu dihasilkan oleh berbagai perusahaan, masyarakat, dan

alam. Jasa angkutan, penginapan, dan penyelenggaraan wisata

merupakan jasa-jasa yang disediakan oleh berbagai perusahaan.

Jasa-jasa seperti kondisi jalan, keramahtamahan penduduk,

kemanan, dan kenyamanan, merupakan jasa-jasa yang

disediakan oleh masyarakat. Keindahan pemandangan alam,

pantai, hutan, laut, dan sebagainya merupakan jasa-jasa yang

disediakan oleh alam. Dalam kaitan ini tentu tidak bisa pula

diabaikan beraneka rupa produk wisata yang berbentuk benda

seperti berbagai jenis makanan, minuman, atau cindramata yang

sangat dibutuhkan oleh wisatawan. Keseluruhan barang dan jasa

atau beberapa di antaranya merupakan hal yang bisa

ditawarkan oleh masyarakat setempat kepada wisatawan

(Spillane, 1989 : 88-89).

Pemanfaatan barang dan jasa baik yang disediakan oleh

lingkungan alamiah maupun lingkungan sosial-budaya dapat

menimbulkan dampak biofisik, dan atau sosial-ekonomi, serta

sosial-budaya. Dampak biofisik terutama berkaitan dengan

Page 38: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

35

perubahan yang terjadi pada sistem lingkungan alamiah, baik

karena rekayasa atau sebagai akibat ulah wisatawan. Perubahan

ekosistem karena rekayasa merupakan tindakan yang disengaja

dan secara sadar dimaksudkan untuk menambah daya tarik

obyek wisata, misalnya pembangunan berbagai fasilitas

pariwisata sehingga atau aspek rekreasi yang didapat oleh

wisatawan dinilai melebihi daripada sebelumnya. Namun di sisi

lain mungkin saja terjadi perekayasaan itu menimbulkan

perubahan-perubahan yang tidak diinginkan, karena

menimbulkan gangguan terhadap ekosistem. Sedangkan dampak

yang ditimbulkan oleh ulah wisatawan adalah perubahan atau

gangguan yang terjadi sebagai akibat dari kelakuan wisatawan,

baik disadari atau tidak disadari, disengaja atau tidak disengaja,

sehingga menimbulkan perubahan yang diinginkan atau tidak

diinginkan terhadap ekosistem. Dengan demikian, dapatlah

dikatakan bahwa pengembangan suatu kawasan sebagai obyek

wisata dapat menimbulkan dampak biofisik, sosial-ekonomi,

maupun sosial-budaya, baik yang bersifat positif maupun

negatif. Selanjutnya, apapun bentuk dampak tersebut akan

berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Seperti

misalnya, kerusakan suatu ekosistem sebagai akibat kebijakan

pembangunan pariwisata yang tidak memperhatikan kelestarian

lingkungan maupun karena ulah wisatawan yang bersifat

vandalisme, dapat menurunkan daya tarik ekosistem yang

bersangkutan, yang pada gilirannya dapat menurunkan jumlah

kunjungan wisatawan. Akhirnya manfaat yang diterima oleh

mereka yang mengelola atau bergerak di bidang usaha

pariwisata dengan sendirinya akan berkurang. Begitu pula

sebaliknya, dampak sosial-ekonomi yang memberikan

kesuksesan secara otomatis akan memberikan pengaruh positif

terhadap kesejahteraan yang mereka harapkan.

Page 39: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

36

BAB VII

OTONOMI DAERAH DAN PARIWISATA

UU Nomor 22 Tahun 1999 juga memberikan peluang yang

lebih luas bagi daerah dalam pengelolaan berbagai potensi

sumber daya; kewenangan merumuskan dan menetapkan

berbagai aturan (perda) tanpa harus memohon persetujuan dari

pusat; meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui

peranserta masyarakat baik dalam perencanaan, pelaksanaan,

maupun evaluasi berbagai program pembangunan, dan lain

sebagainya. Di balik peluang yang besar tersebut juga terdapat

sejumlah tantangan yang perlu diatasi secara serius dan bijak.

Di antaranya adalah munculnya egoisme sektoral dan atau

arogansi kabupaten/kota dalam mengelola berbagai potensi

sumber daya yang dimilikinya demi kepentingan rumah

tangganya sendiri. Arogansi sektoral dapat terjadi dalam bentuk

prioritas berlebihan bagi sektor-sektor tertentu yang dianggap

strategis tanpa mempedulikan keberadaan sektor-sektor lainnya.

Sedangkan arogansi kabupaten/kota dapat terjadi dalam bentuk

pengelolaan potensi sumber daya secara sepihak oleh

kabupaten/kota tertentu tanpa mempedulikan kepentingan

kabupaten/kota lainnya akan sumber daya yang sama.

Penekanan otonomi di tingkat kabupaten/kota dapat

merangsang pengembangan pariwisata yang lebih berorientasi

pada pertumbuhan ekonomi (growth oriented development)

sebagai upaya untuk meningkatkan PAD bagi masing-masing

kabupaten/kota. Hal tersebut dikhawatirkan akan dapat

menimbulkan berbagai persoalan dalam bidang ekonomi, sosial-

budaya, lingkungan, dan lain sebagainya. Hal ini di atas dapat

membangkitkan kembali roh pendekatan advocacy menghantui

Page 40: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

37

perkembangan pariwisata di Bali. Pendekatan advocacy memiliki

tujuan utama untuk menggali dan mengembangkan potensi

sumber daya alam dan sosial-budaya sebagai obyek atau daya

tarik wisata yang seringkali mengabaikan hak-hak budaya tuan

rumah (Spillane, 1994 : 28). Pendekatan ini sangat populer pada

tahun enampuluhan di mana hampir semua negara mengakui

bahwa pariwisata mempunyai potensi yang cukup besar dalam

meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berbagai potensi

pariwisata digali dan dimanfaatkan untuk mendukung

bermacam-macam kegiatan ekonomi, menciptakan lapangan

kerja baru, memperoleh devisa asing, dan motif-motif ekonomi

lainnya.

Pengembangan pariwisata yang didominasi oleh motivasi

untuk memperoleh devisa semata justru kerap menjadi

bumerang bagi perekonomian rakyat. Selama ini upaya untuk

meningkatkan penerimaan devisa cenderung dilakukan melalui

pembangunan berbagai fasilitas kepariwisataan berskala besar,

karena cara inilah yang dianggap paling efektif untuk

mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD). Manfaat

pembangunan fasilitas pariwisata berskala besar umumnya

kurang berpihak pada pemberdayaan ekonomi rakyat.

Kebutuhan akan lahan untuk pembangunan berbagai fasilitas

akomodasi berskala besar kerap menjadi ancaman bagi

perekonomian rakyat (petani). Cepat atau lambat, lahan-lahan

pertanian yang merupakan sumber produksi ekonomi rakyat

dikhawatirkan akan terus berpindah ke tangan pemilik modal.

Akibatnya, banyak orang yang harus kehilangan mata

pencahariannya. Sementara itu, terbatasnya kualitas SDM yang

mereka miliki menyebabkan mereka menjadi sulit untuk

berperan di sektor pariwisata.

Page 41: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

38

Kebijakan otonomi daerah di samping merupakan peluang

sekaligus juga merupakan tantangan bagi perlindungan budaya

lokal. Dari sisi peluang, otonomi daerah memberikan

kesempatan yang luas kepada masing-masing kabupaten/kota

untuk menjaga dan mengembangkan kebudayaannya masing-

masing tanpa khawatir akan adanya intervensi pemerintah pusat

atau pihak luar lainnya. Namun sebaliknya, motifasi ekonomi

yang berlebihan dapat menjadi bumerang dan membangkitkan

kembali roh pendekatan advocacy yang kerap mengabaikan

hak-hak budaya tuan rumah dan cenderung memposisikan

budaya sebagai komuditas ekonomi semata. Akibatnya, manfaat

– manfaat ekonomi yang diperoleh dari sektor pariwisata harus

ditebus dengan kerugian-kerugian sosial-budaya.

Dari sisi ekologis, eksploitasi berbagai potensi sumber

daya lingkungan kian ditoleransi dengan mengatasnamakan

kepentingan pariwisata. Kontroversi pembangunan Vila Bukit

Berbunga (Bedugul) yang mencuat belum lama ini kiranya

relevan dijadikan contoh kasus. Hal tersebut merupakan contoh

yang baik tentang arogansi pariwisata terhadap lingkungan,

meskipun lingkungan yang dimaksud merupakan kawasan

konservasi yang sangat vital artinya bagi keseimbangan ekologi

pulau Bali.

Pulau Bali merupakan sebuah ekosistem pulau kecil

dengan berbagai keterbatasan sumber daya alam dan rentan

terhadap usikan lingkungan. Kewenangan otonomi yang luas di

tingkat kabupaten/kota dapat menimbulkan pengelolaan

lingkungan yang bersifat eksplotatif dan parsial. Cepat atau

lambat, hal tersebut dikwatirkan akan menimbulkan berbagai

persoalan lingkungan tidak saja bagi kabupaten/kota yang

bersangkutan, tetapi juga bagi lingkungan kabupaten/kota

lainnya dan lingkungan pulau Bali pada umumnya.

Page 42: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

39

BAB VIII

PARIWISATA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Wacana mengenai pembangunan berwawasan kerakyatan

merupakan reaksi keras terhadap kebijakan pembangunan

konglomerasi yang selama ini lebih berpihak pada pemilik modal

yang pada umumnya bukan berasal dari anggota masyarakat

setempat.

Pembangunan berwawasan kerakyatan lebih

mengedepankan peningkatan ekonomi rakyat dan

pemberdayaan masyarakat. Para pemikir dan praktisi

pembangunan pedesaan telah lama menyadari bahwa

pembangunan konglomerasi kerap merugikan masyarakat

setempat. Masyarakat sebagai pemilik sah atas sumber daya

setempat justru kerap mengalami marginalisasi sehingga

kualitas hidupnya justru menurun dibandingkan sebelum adanya

pembangunan. Atas dasar itu beberapa ahli lain menekankan

pentingnya pembangunan dari bawah, pembangunan sebagai

social learning, dan pembangunan harus mulai dari bawah

(buttom up).

Pembangunan dengan paradigma yang dibalik ini

menuntut adanya partisipasi masyarakat lokal dalam berbagai

tahap pembangunan, sehingga pengelolaan pembangunan

benar-benar dilakukan oleh mereka yang hidup dan

kehidupannya paling dipengaruhi oleh pembangunan tersebut,

atau apa yang dkenal dengan community-based resource

management atau community management (Korten, 1986).

Ada tiga alasan dasar yang diajukan Korten mengenai

mengapa community management sangat penting sebagai

ancangan dasar pembangunan.

Page 43: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

40

Pertama, adanya local variety (varietas lokal) yang tidak

dapat diberikan perlakukan sama. Situasi daerah yang berbeda

menuntrut sistem pengelolaan yang berbeda pula dan

masyarakat lokallah yang paling memahami situasi daerahnya.

Kedua, adanya local resources (sumber daya lokal) yang

secara tradisional telah dikelola oleh masyarakat setempat dari

generasi ke generasi. Pengalaman mengelola sumber daya

setempat yang telah diwariskan secara turun-temurun umumnya

menimbulkan akumulasi pengetahuan tentang pengelolaan.

Pengambilalihan pengelolaan ini akan dapat menimbulkan rasa

ketersinggungan masyarakat, dan masyarakat bersikap antipati

terhadap proyek pembangunan.

Ketiga, local accountability (tanggung jawab lokal) yang

berarti bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat

setempat biasanya lebih bertanggung jawab, karena berbagai

hal yang mereka lakukan terhadap sumber daya akan

berpengaruh langsung terhadap kehidupan mereka. Pengelolaan

oleh pihak luar kerap tidak mengandung kedekatan moral

dengan masyarakat lokal, sehingga tidak merasa mempunyai

tanggung jawab moral yang tinggi.

Belakangan ini kesadaran akan pentingnya pendekatan

pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan terasa kian

meningkat, mengingat dalam kenyataannya selama ini manfaat

pariwisata lebih banyak berpihak pada para pemilik modal yang

umumnya berasal dari luar masyarakat setempat (Westand

Brechin, 1991; Wells dan Brandon, 1992). Pengembangan

industri pariwisata bersekala besar dan padat modal umumnya

sangat kurang melibatkan peran serta masyarakat setempat,

bahkan justru mengakibatkan terjadinya proses marginalisasi

terhadap hak-hak komunitas budaya lokal. Berkaitan dengan hal

ini Cernea, (1991), menyatakan bahwa baik di negara-negara

Page 44: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

41

maju maupun berkembang masyarakatnya sering merasa tak

berdaya untuk mempengaruhi pola-pola pembangunan

pariwisata.

Pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan mengacu

kepada pembangunan pariwisata yang berasal dari rakyat, oleh

rakyat, dan untuk rakyat. Pendekatan ini pada dasarnya juga

merupakan model pemberdayaan masyarakat yang memberikan

lebih banyak peluang kepada masyarakat lokal untuk

berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan-kegiatan

pembangunan. Hal ini berarti memberi wewenang atau

kekuasaan kepada masyarakat lokal untuk memobilisasi

kemampuan mereka sendiri dalam mengelola sumber daya

setempat. Kedudukan mereka adalah sebagai pemeran utama

dalam membuat keputusan dan melakukan kontrol terhadap

kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya (Cernea,

1991). Pendekatan ini melibatkan masyarakat sebagai proses

pengembangan dirinya. Pendekatan ini berbeda dengan

pendekatan pewaris (beneficiary approach) di mana masyarakat

hanya menerima keuntungan tetapi tidak diberi wewenang.

Page 45: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

42

BAB IX

PARIWISATA SEBAGAI FENOMENA GLOBALISASI

DAN LOKALISASI

Seperti disampaikan pada bab terdahulu bahwa Pariwisata

dapat dipandang sebagai fenomena perjumpaan kebudayaan

antara kebudayaan tuan rumah, kebudayaan wisatawan, dan

kebudayaan pendatang pencari kerja. Konsekwensi logis bagi

suatu daerah yang secara sengaja membuka diri untuk

dikunjungi wisatawan, adalah masuknya berbagai pengaruh

kebudayaan asing ke dalam lingkungan kebudayaan tuan rumah.

Pengaruh kebudayaan asing akan terasa kian meningkat ketika

perkembangan pariwisata mengarah pada pariwisata massa.

Pariwisata massa menuntut adanya fasilitas-fasilitas dan layanan

dengan standar internasional. Ini berarti masuknya unsur-unsur

budaya global merupakan hal yang tidak terhindarkan.

Perubahan tidak saja terjadi sebagai konsekwensi logis dari

respon adaptasi budaya tuan rumah terhadap tuntutan dunia

pariwisata itu sendiri, tetapi juga sebagai akibat kontak lintas

budaya antara tuan rumah dengan wisatawan dan kelompok

pendatang pencari kerja.

Lemahnya strategi dalam mengantisipasi perkembangan

pariwisata massa dapat menenggelamkan eksistensi kebudayaan

tuan rumah. Oleh beberapa pihak, perkembangan pariwisata

massa di Bali dikhawatirkan dapat meyeret kebudayaan Bali ke

tengah arus globalisasi dan membawa daerah ini menjadi Eropa

kedua, atau mengarah kepada Waikikinization (lihat Seda,

1990 : 59; Noronha, 1976 : 177; Stanton, 1989). Sebaliknya,

ada pula pandangan yang menyatakan bahwa kehadiran

wisatawan justru dapat memperkokoh benteng pertahanan

kebudayaan tuan rumah. Seperti yang dikemukakan oleh Mc

Page 46: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

43

Kean (1973 : 26), mengenai pariwisata di Bali, bahwa pariwisata

dipandang sebagai fenomena modernisasi masyarakat dan

kebudayaan Bali yang sesungguhnya berlangsung melalui

pelestarian tradisi masa lalu. Kedatangan para wisatawan ke Bali

melahirkan apa yang disebutnya sebagai involusi kebudayaan,

yaitu elaborasi yang semakin baik dalam bentuk dan praktik-

praktik kebudayaan, seperti yang tercermin dalam berbagai jenis

kesenian tradisional yang kian sering dan meluas dipertunjukkan

daripada sebelumnya.

Konsep pariwisata budaya kiranya harus dipandang

sebagai mekanisme pertahanan jati diri bagi komunitas lokal. Hal

ini dipandang penting mengingat pariwisata tidak selalu

membawa anugerah tetapi terkadang juga musibah. Pengaruh

perkembangan industri pariwisata terhadap penduduk asli di

Hawaii kiranya layak dijadikan pelajaran yang sangat berharga.

Perkembangan industri pariwisata Hawaii di bawah format

hegomoni Amerika tidak mampu diadaptasi oleh penduduk

Hawaii. Hal tersebut menyebabkan mereka kian terpinggirkan

dan menjadi komunitas yang terisolasi dan menutup diri.

Menyadari kenyataan tersebut akhirnya konsep pengembangan

pariwisata Hawaii dievaluasi kembali sebagai upaya untuk

menemukan kembali jati diri kebudayaan penduduk asli Hawaii

(lihat Pujaastawa, 1993 : 13 – 14; Trijono, 1996 : 143).

Sebaliknya, seperti yang dikemukakan oleh Jonathan

Friedman dalam Being in the World : Globalization and

Localization, 1990, bahwa terdapat berbagai bentuk respon

budaya lokal terhadap pengaruh globalisasi sebagai strategi

identifikasi diri, definisi diri, dan pemeliharaan diri komunitas

lokal. Suku Ainu di Jepang, misalnya, memelihara identitas

mereka melalui revitalisasi budaya untuk menunjukkan

eksistensi mereka kepada dunia modern. Tujuannya adalah

Page 47: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

44

untuk mendapatkan pengakuan sebagai kelompok etnis

tersendiri. Tidak ada kepentingan otonomi politik, melainkan

untuk diterima secara sama sebagaimana layaknya penduduk

Jepang yang lain. Mereka membangun struktur desa tradisional

Ainu dan memproduksi kerajinan tangan Ainu dengan harapan

turis dan orang kota akan datang melihat gaya tradisional

mereka. Meskipun tinggal dalam masyarakat luas mereka tetap

membangun rumah dengan gaya Ainu yang disebut chise.

Banyak tradisi ritual yang dikembangakan di desa tradisional

mereka. Turis dan orang kota datang ke desa mereka bukan

hanya membeli produk Ainu, tetapi juga belajar bagaimana cara

membuat, bahkan mendengar tentang sejarah, mitologii, ritual,

merasakan masakan, dan tinggal di rumah suku Ainu.

Keseluruhan proyek turisme orang Ainu dapat dilihat sebagai

strategi perwujudan diri melalui bentuk komuditas yang

mencakup proses identitas kultural yang lebih luas (Trijono,

1996 : 136 – 147).

Page 48: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

45

BAB XBEBERAPA MASALAH KEPARIWISATAAN DI BALI

10.1 Ketimpangan

Sejak beberapa dekade terakhir ini banyak negara

berkembang mulai melirik sektor pariwisata sebagai sumber

penghasil devisa sehubungan dengan makin melemahnya daya

saing komoditas andalan mereka. Di samping itu, ancaman krisis

ekonomi global juga semakin mendorong negara-negara di

berbagai belahan dunia untuk memprioritaskan pembangunan

sektor pariwisata sebagai upaya pemulihan ekonomi.

Kenyataan di atas menyebabkan roh pendekatan advocacy

yang lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi kembali

menghantui perkembangan pariwisata di sejumlah negara

berkembang. Pendekatan advocacy memiliki tujuan utama

untuk menggali dan mengembangkan potensi sumber daya alam

dan sosial-budaya sebagai obyek atau daya tarik wisata yang

seringkali mengabaikan hak-hak tuan rumah (Spillane, 1994 :

28). Pendekatan ini sangat populer pada tahun enampuluhan di

mana hampir semua negara mengakui bahwa pariwisata

mempunyai potensi yang cukup besar dalam meningkatkan

pertumbuhan ekonomi. Berbagai potensi pariwisata digali dan

dimanfaatkan untuk mendukung bermacam-macam kegiatan

ekonomi, menciptakan lapangan kerja baru, memperoleh devisa

asing, dan motif-motif ekonomi lainnya.

Demikian pula di Indonesia, sejak munculnya krisis minyak

dunia yang disusul oleh resesi ekonomi dunia yang

mengakibatkan menurunnya penerimaan devisa negara secara

drastis, maka oleh pemerintah Orde Baru dinyatakan secara

tegas bahwa peningkatan devisa melalui ekspor non migas, jasa-

jasa, dan pariwisata harus merupakan perjuangan habis-

Page 49: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

46

habisan1. Disadari atau tidak, hal tersebut ternyata semakin

mendorong pengembangan pariwisata Indonesia ke arah

pendekatan advocacy, di mana berbagai potensi kepariwisataan

lebih dipandang sebagai komuditas ekonomi semata. Terlebih

lagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Otonomi Daerah memberikan peluang sekaligus

tantangan yang lebih besar kepada masing-masing daerah untuk

mengelola potensi kepariwisataannya.

Dalam rangka pengembangan sektor kepariwisataan di

Bali, pada masa Orde Baru, Pemerintah Daerah Bali melalui

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 258

Tahun 1993 Tentang Kawasan Wisata Bali, telah menetapkan 21

(dua puluh satu) kawasan wisata yang ada di sembilan daerah

tingkat II. Belakangan ini kebijakan tersebut banyak mendapat

sorotan karena dianggap menunjukkan ketimpangan-

ketimpangan yang semakin serius. Ketimpangan yang dimaksud

di antaranya adalah pengembangan kawasan wisata yang lebih

berorientasi kepada pengembangan kawasan pantai. Dari dua

puluh satu kawasan wisata yang ditetapkan itu, tujuh belas

kawasan merupakan kawasan pantai. Berdasarkan tingkat

perkembangannya hingga sejauh ini baru empat kawasan yang

termasuk kategori kawasan sudah berkembang, sedangkan

sisanya masih tergolong kawasan sedang berkembang dan

belum berkembang. Keseluruhan kawasan wisata yang termasuk

kategori sudah berkembang adalah kawasan pantai yang

terletak di wilayah Bali Selatan, yakni kawasan wisata Sanur,

Kuta, Tuban, dan Nusa Dua (Diparda Tingkat I Bali, 1997 : 66 –

70).

1 Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto di depan Sidang Dewan PerwakilanRakyat pada tanggal 16 Agustus 1988.

Page 50: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

47

Kenyataan di atas mencerminkan bahwa berbagai kegiatan

dan fasilitas kepariwisataan di Bali lebih banyak terkonsentrasi di

wilayah Bali Selatan. Hal tersebut telah menimbulkan sejumlah

dampak sebagai berikut :

(1) Semakin melebarnya kesenjangan ekonomi antara

penduduk di wilayah Bali Selatan dengan

penduduk di wilayah Bali lainnya;

(2) Semakin meningkatnya kepadatan penduduk di

wilayah Bali Selatan yang disebabkan oleh makin

meningkatnya arus migrasi pencari kerja di sektor

pariwisata dan sektor-sektor lainnya yang terkait;

(3) Semakin meningkatnya ancaman terhadap ketahanan

identitas kebudayaan lokal, khususnya kebudayaan

masyarakat Bali Selatan;

(4) Semakin meningkatnya potensi konflik yang

disebabkan oleh semakin ketatnya persaingan dalam

memperebutkan sumber-sumber rezeki yang sama;

dan

(5) Semakin meningkatnya ancaman terhadap mutu dan

kapasitas daya dukung lingkungan di wilayah Bali

Selatan.

10.2 Kependudukan

Masalah kependudukan merupakan agenda klasik bagi

pembangunan di berbagai negara berkembang di dunia. Di satu

sisi penduduk merupakan potensi atau modal dasar bagi

pembangunan, namun di sisi lain persoalan kependudukan juga

kerap menjadi kendala bagi pembangunan itu sendiri.

Dalam rangka mengatasi masalah kependudukan,

pemerintah Indonesia sejak zaman orde baru telah melancarkan

berbagai kebijakan kependudukan. Di antaranya adalah

Page 51: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

48

pengendalian jumlah penduduk melalui program Keluarga

Berencana (KB) dan pemerataan persebaran penduduk melalui

program transmigrasi.

Provinsi Bali tergolong daerah yang cukup berhasil dalam

pengendalian jumlah penduduk baik melalui penerapan Program

Keluarga Berencana Sistem Banjar maupun transmigrasi. Namun

demikian, keberhasilan tersebut seakan tiada berarti karena

pertumbuhan penduduk Bali justru kian meningkat oleh

gencarnya arus kedatangan kaum migran ke daerah ini.

Romantisme pariwisata yang disertai anggapan tentang

ketahanan industri pariwisata terhadap berbagai krisis kiranya

telah mempengaruhi orang untuk mengambil keputusan

bermigrasi ke Bali. Ibarat peribahasa “ada gula ada semut”,

gemerlapnya dunia kepariwisataan tidak saja menarik minat

para wisatawan untuk datang berkunjung, tetapi juga

merangsang kehadiran kaum migran untuk berebut rezeki di

daerah ini. Di samping itu, fenomena krisis multi dimensi yang

melanda negeri ini secara berkepanjangan kian mendorong

penduduk di berbagai daerah untuk bermigrasi ke Bali.

Sedangkan di pihak lain, penduduk lokal yang tidak memperoleh

manfaat dari sektor pariwisata justru memilih meninggalkan

tanah kelahirannya untuk mencari harapan baru di daerah

transmigrasi. Hal tersebut merupakan suatu fenomena yang

sangat ironis yang dapat dimaknai sebagai kebijakan yang

kurang adil yang pada gilirannya dapat menimbulkan

ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Makin meningkatnya kehadiran penduduk migran ke Bali

merupakan fenomena tersendiri bagi daerah ini. Kehadiran

mereka tidak saja terkonsentrasi di daerah-daerah perkotaan,

tetapi juga di daerah kawasan wisata, bahkan sampai ke

pelosok pedesan. Apabila persoalan tersebut tidak diantisipasi

Page 52: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

49

dan ditanggulangi secara serius dan bijak, maka cepat atau

lambat masalah kependudukan di Bali akan berkembang menjadi

semakin kompleks, seperti :

(1) Meningkatnya persaingan di berbagai sektor lapangan

kerja

(2) Meningkatnya ancaman terhadap ketahanan identitas

budaya lokal

(3) Meningkatnya potensi konflik bernuansa SARA

(4) Menurunnya mutu dan kapasitas daya dukung

lingkungan

(5) Terganggunya citra kepariwisataan di Bali

Beberapa dari persoalan di atas bahkan telah dan tengah terjadi

di sejumlah daerah di Indonesia dan merupakan ancaman yang

serius bagi keutuhan integrasi Bangsa. Persoalan-persoalan yang

dimaksud misalnya konflik bernuansa SARA di Maluku dan Poso,

konflik antara orang Dayak dan orang Madura di Kalimantan

Barat konflik antara golongan pribumi dan nonpribumi dan lain

sebagainya.

10.3 Eksistensi Subak di Tengah PerkembanganPariwisata

Keberadaan Subak di Bali selain menjadi perhatian para

pakar pembangunan sektor pertaniaan dan pedesaan, juga

sangat menarik perhatian para wisatawan dari berbagai belahan

dunia. Secara formal subak diartikan sebagai masyarakat

hukum adat yang bersifat sosio-agraris-religius, yang terdiri dari

para petani yang menggarap sawah pada suatu areal

persawahan yang mendapatkan air dari suatu sumber2. Geertz

(1980), memberikan batasan subak sebagai areal persawahan

2 PERDA Bali No.02/DPRD/1972.

Page 53: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

50

yang mendapatkan air irigasi dari suatu sumber mata air.

Berdasarkan atas serangkaian studi lapangan, Sutawan, dkk.,

(1986), menyatakan definisi subak sebagai organisasi petani

lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari satu sumber mata

air secara bersama, memiliki satu atau lebih pura subak, yaitu

Pura Bedugul (tempat pemujaan Dewi Sri, manifestasi Tuhan

sebagai Dewi Kesuburan), serta mempunyai kebebasan dalam

mengatur rumah tangganya sendiri maupun dalam hubungan

dengan pihak luar.

Dari sejumlah batasan mengenai Subak tersebut , secara

garis besar subak memiliki tiga aspek pokok, yaitu aspek

religius, sosial, dan fisik. Dalam konsep budaya lokal (Bali)

ketiga aspek tersebut merupakan aspek-aspek Tri Hita Karana

yang berarti “Tiga Penyebab Kesejahteraan”, yaitu : (1)

Parhyangan (lingkungan spiritual), (2) Pawongan (lingkungan

sosial), dan (3) Palemahan (lingkungan alamiah). Berkenaan

dengan itu, untuk mencapai kesejahteraan maka manusia

hendaknya senantiasa menjaga hubungan yang seimbang dan

harmonis dengan lingkungan spirtitualnya, lingkungan sosialnya,

dan lingkungan alam sekitarnya. Sebaliknya hubungan yang

tidak seimbang dan tidak harmonis diyakini akan dapat

mengganggu kesejahteraan hidup umat manusia.

Unsur parhyangan memberikan nuansa religius yang

mengekspresikan hubungan manusia dengan lingkungan

spiritual. Setiap Subak dilengkapi dengan tempat suci (pura)

yang disebut Pura Ulun Suwi atau Bedugul yang dibangun tidak

jauh dari sumber mata air, bendungan, atau bagian hulu

kawasan persawahan. Di tempat suci tersebut para petani

menyelenggarakan berbagai jenis ritual keagamaan yang

berkaitan dengan sistem bercocok tanam, seperti : ritual

memohon kesuburan, memohon hujan, menolak bala (hama dan

Page 54: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

51

penyakit tanaman), dan lain sebagainya. Unsur pawongan

mengacu kepada aspek sosial (manusia), yakni para petani yang

terhimpun dalam organisasi subak yang lazim disebut krama

subak. Dalam rangka menjalankan fungsinya, organisasi subak

dilengkapi dengan awig-awig berupa seperangkat aturan

mengenai tata-tertib organisasi serta hak dan kewajiban para

anggotanya. Unsur palemahan merupakan komponen

infrastruktur yang terdiri dari lingkungan fisik alamiah berupa

areal persawahan yang disebut uma atau carik dengan berbagai

macam fasilitas sistem irigasinya.

Dalam konteks dunia kepariwisataan, subak merupakan

daya tarik yang menyajikan perpaduan atraksi alam dan budaya

agraris yang unik. Panorama rice terrace yang mempesona dan

berbagai aktivitas pertanian serta tradisi ritual masyarakat

agraris merupakan pemandangan dunia pedesaan sehari-hari

yang hampir tidak pernah luput dari rekaman lensa kamera

wisatawan. Diakui atau tidak, subak merupakan aset yang

sangat berharga yang telah banyak memberikan kontribusi bagi

dunia kepariwisataan di Bali. Namun demikian, keberadaan

subak kini justru terancam oleh perkembangan sektor pariwisata

sendiri. Alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan

beraneka macam fasilitas akomodasi yang terus berlanjut secara

tidak terkendali, merupakan awal dari sebuah bencana.

Terancamnya eksistensi subak pada umumnya berawal dari

perubahan pada aspek palemahan yang ditandai dengan

berubahnya fungsi lahan-lahan pertanian yang merupakan

infrastruktur utama dari sistem Subak. Selanjutnya perubahan

tersebut mempengaruhi keberadaan aspek pawongan dan

parhyangan.

Fenomena perubahan yang telah menimpa subak-subak di

sejumlah kawasan wisata merupakan dampak dari kebijakan

Page 55: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

52

yang kurang dilandasi konsep Tri Hita Karana. Kawasan-kawasan

persawahan yang sebelumnya berfungsi sebagai daya tarik

wisata, cepat atau lambat beralih fungsi menjadi kawasan hotel,

toko kesenian, restoran, dan berbagai fasilitas akomodasi

lainnya. Meskipun terkadang masih ada lahan yang tersisa di

sekitarnya, namun tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana

mestinya karena infrastruktur penunjangnya telah banyak

berubah atau bahkan lenyap sama sekali. Akibatnya, mata

pencaharian bercocok tanam yang merupakan bagian inti dari

kebudayaan agraris, semakin ditinggalkan dan banyak petani

memilih bekerja di sektor lain. Organisasi subak pun menjadi

semakin kehilangan fungsinya dan terancam bubar dengan

sendirinya sejalan dengan hilangnya ikatan kepentingan bersama

di antara mereka. Begitu pula dengan aspek parhyangan, di

mana pura subak terancam kehilangan nilai religiusnya dan

menjadi monumen yang tidak bermakna karena berbagai macam

ritual yang berkaitan dengan sistem bercocok tanam dipandang

sudah tidak relevan lagi (Pujaastawa, 2000).

Apabila fenomena seperti di atas terus berlanjut dan

konsep pembangunan pariwisata berwawasan budaya,

lingkungan, dan berkelanjutan hanya sekadar retorika belaka,

maka dikhawatirkan suatu saat keindahan alam Pulau Dewata

hanyalah tinggal lukisan dan keunikan budayanya hanyalah

tinggal kenangan.

Page 56: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

53

BAB XI

BEBERAPA PENDEKATAN SEBAGAI SOLUSI

Pada tahun tujuhpuluhan, pendekatan advocacy yang

cenderung mengedepankan motif-motif ekonomi mulai

mendapat kritikan, karena dalam kenyataannya kegiatan

kepariwisataan juga kerap menimbulkan kerugian-kerugian.

Kritik tersebut banyak dilontarkan oleh kalangan ahli

antropologi. Melihat kenyataan tersebut kemudian muncul

pendekatan cautinary yang cenderung menolak pendekatan

advocacy. Pendekatan cautinary lebih menekankan bahwa

pariwisata dapat mengakibatkan banyak kerugian dalam aspek

sosial-budaya, ekonomi, dan ekologi.

Kedua pendekatan di atas saling bertentangan, kemudian

muncul pendekatan baru, yakni pendekatan adaptancy yang

menyadari bahwa pariwisata mempunyai dampak positif dan

negatif. Pendekatan ini berpandangan bahwa pengaruh negatif

pariwisata dapat dikontrol sesuai dengan kondisi-kondisi

setempat. Cara berpikir baru ini dilandasi oleh pandangan bahwa

alam dan budaya dapat digabungkan dalam satu konteks.

Pendekatan ini mengusulkan strategi pembangunan pariwisata

dalam sekala terbatas, pariwisata terkontrol, pariwisata

berkelanjutan, pariwisata budaya, dan pariwisata lingkungan.

Pendekatan adaptancy menyadarkan orang akan bahaya

pariwisata massa. Oleh karenanya pendekatan ini mengusulkan

beraneka ragam bentuk alternatif pengembangan pariwisata dan

menyesuaikan bentuk pariwisata dengan pandangan dan selera

tuan rumah dan wisatawan. Berdasarkan hal tersebut

pendekatan adaptancy mengusulkan beberapa alternatif

pariwisata yang bersifat khusus seperti : pariwisata perkebunan

(agri-turism), pariwisata sesuai dengan situasi dan kondisi

Page 57: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

54

(approriate tourism), pariwisata seimbang (balanced tourism),

pariwisata sekala kecil (cottage tourism) dan jenis-jenis

pariwisata khusus lainnya.

Selain itu, ada pendekatan alternatif yang dikenal sebagai

pendekatan developmental. Pendekatan ini berpandangan bahwa

pariwisata harus dapat disesuaikan dengan keadaaan

masyarakat tuan rumah dan peka terhadap selera masyarakat

tuan rumah. Pendekatan alternatif ini mengurangi jurang

pemisah antara hak dan tanggung jawab dari wisatawan, tuan

rumah, dan perantara atau agen pariwisata.

Masing-masing pendekatan di atas cenderung bersifat

parsial. Untuk memahami pariwisata secara menyeluruh, maka

pariwisata hendaklah disadari sebagai fenomena multi dimensi

yang di dalamnya mencakup dimensi-dimensi ekonomi, sosial-

budaya, ekologi, dan lain sebagainya. Oleh karenanya

pengembangan pariwisata harus dilakukan melalui pendekatan

terpadu yang melibatkan berbagai bidang keilmuan (multi

disiplin). Pendekatan terpadu ini pada dasarnya bersifat

knowledge based dan mengintegrasikan beberapa bidang

pengetahuan sebagai landasannya (Spillane, 1994 : 30). Di

samping cenderung menggunakan teori dan metode dari

berbagai disipilin ilmu yang terkait, pendekatan ini tetap

membuka diri terhadap pendekatan-pendekatan lain dan secara

selektif menggabungkan pendekatan-pendekatan tersebut di

mana masing-masing pendekatan memberikan sumbangannya

sendiri.

Pendekatan-pendekatan yang relevan digunakan dalam

rangka memformulasikan model kebijakan pengembangan

pariwisata di wilayah Bali mencakup pendekatan pembangunan

pariwisata berdimensi kerakyatan, berwawasan budaya, dan

berwawasan lingkungan. Dengan demikian, formulasi model

Page 58: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

55

yang dilahirkan diharapkan akan mampu memberikan manfaat

yang lebih berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat,

pelestarian budaya dan lingkungan setempat secara

berkelanjutan.

Belakangan ini kesadaran akan pentingnya pendekatan

pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan terasa kian

meningkat, mengingat dalam kenyataannya selama ini manfaat

pariwisata lebih banyak berpihak pada para pemilik modal yang

umumnya berasal dari luar masyarakat setempat

Pengembangan industri pariwisata berskala besar dan padat

modal umumnya sangat kurang melibatkan peran serta

masyarakat setempat, bahkan justru mengakibatkan terjadinya

proses marginalisasi terhadap hak-hak komunitas budaya lokal.

Pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan mengacu

kepada pembangunan pariwisata yang berasal dari rakyat, oleh

rakyat, dan untuk rakyat. Pendekatan ini pada dasarnya juga

merupakan model pemberdayaan masyarakat yang memberikan

lebih banyak peluang kepada masyarakat lokal untuk

berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan-kegiatan

pembangunan. Hal ini berarti memberi wewenang atau

kekuasaan kepada masyarakat lokal untuk memobilisasi

kemampuan mereka sendiri dalam mengelola sumber daya

setempat. Kedudukan mereka adalah sebagai pemeran utama

dalam membuat keputusan dan melakukan kontrol terhadap

kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya.

Pendekatanini melibatkan masyarakat sebagai proses

pengembangan dirinya. Pendekatan ini berbeda dengan

pendekatan pewaris (beneficiary approach) di mana masyarakat

hanya menerima keuntungan tetapi tidak diberi wewenang.

Pendekatan pembangunan pariwisata berwawasan budaya

dipandang sangat penting dan relevan mengingat pariwisata

Page 59: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

56

dipandang sebagai fenomena modern telah lama disadari

mengandung sejumlah konsekwensi terhadap kebudayaan

masyarakat lokal atau tuan rumah (hosts). Menurut Smith

(1989, 6 - 17), perkembanagn pariwisata pada tingkat tertentu

di samping membawa manfaat positif bagi perekonomian, juga

kerap menimbulkan ancaman bagi keberadaan budaya tuan

rumah. Menyadari hal tersebut, maka pengembangan pariwisata

di wilayah Bali kiranya sangat perlu mengedepankan potensi

kebudayaan setempat sebagai daya tarik sekaligus sebagai

upaya untuk mempertahankan kelestariannya.

Demikian pula dengan pendekatan pembangunan

pariwisata berwawasan lingkungan menuntut adanya

pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekologi sebagai daya tarik

wisata yang sekaligus merupakan upaya konservasi.

Page 60: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

57

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, I Gusti Ngurah, 1990 : “Dari Obyek ke Subyek : Mengadadan Menjadi dalam Proses Pengembangan Pariwisata”dalam Widya Pustaka, Tahun VII, Nomor 4, Juli 1990.Denpasar : Fakultas sastra Universitas Udayana.

Geertz, Cliffiord. 1980 : “Organization of Balinese Subak”, dalamCoward E.W. Jr. (ed.) : Irrigation and AgriculturalDevelopment in Asia. Cornell University, Ithaca.

Geriya, Wayan. 1996. Pariwisata dan Dinamika KebudayaanLokal, Nasional, Global Bunga Rampai AntropologiPariwisata. Denpasar : Upada Sastra.

Jonathan Friedman, 1990 : Being the World : Globalization andLocalization, Theory, Culture, and Society. London : SagePublications.

Korten, David C. 1986 (ed.). Community Management : AsianExperience and Perspektives. Connncticut : KumarianPress.

MacKinnon, John & Kathy Graham Child dan Jim Thorsell, 1993 :Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Mc. Kean, Philip Erick, 1973 : Cultural Involution Tourist Balineseand The Process of Modernization in An AnthropologicalPerspective. Disertasi Phd. Departemen Antropologi,Brown University, USA.

McNeely, Jeffrey A., 1992 : Ekonomi dan Kenekaragaman Hayati: Mengembangkan dan Memanfaatkan PerangsangEkonomi untuk Melestarikan Sumber Daya Hayati.(Kusdyantinah Sb., penerjemah). Jakarta : Yayasan OborIndonesia.

Nettekoven, Lothar. 1976. “Mechanism of InterculturalInteraction” dalam Emanuel de Kudt (ed.) : TourismPasport to Development. New York : Oxford UniversityPress.

Noronha, Raymond, 1976 : “Paradise Reviewed: Tourism inBali”, dalam Emanuel de Kudt (ed.) : Tourism Pasport toDevelopment?. New York : Oxford University Press.

Perda No. 3 Tahun 1974

Perda No. 3 Tahun 1991

Perda No. 2 Tahun 2012

Page 61: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

58

Pitana, I Gde. 1999. Kepariwisataan Bali dalam Konteks Globaldan Otonomi Daerah. Makalah Semiloka Perencanaan

Pembangunan Bali 2000 – 2004, Pusat PenelitianKebudayaan dan Kepariwisataan UNUD bekerjasama

dengan BAPPEDA Propinsi Bali, Denpasar, Nopember 1999.

Pujaastawa, I.B.G. 1993. “Menyimak Sisi Lain PerkembanganPariwisata Bali”. dalam : Sunari Penjor WahanaKomunikasi dan Informasi Antropologi Tahun I, No.1,Januari 1993, Halaman : 13 – 14. Denpasar : JurusanAntropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Pujaastawa, I.B.G. 2000. “Irrigation and Tourism”, dalam : BaliTravel News Vol. II No.22, Oct. 27 – Nov. 9, Tahun 2000.

Pujaastawa, I.B.G. 2001. Pola Pengembangan PariwisataTerpadu Bertumpu pada Model Pemberdayaan Masyarakatdi Wilayah Bali Tengah. Kerjasama Kementerian Riset danTeknologi RI Lembaga Ilmu Prngetahuan Indonesia danUniversitas Udayana, Denpasar.

Pujaastawa, I.B.G. 2002. Pariwisata Subak : Menjaga IdentitasKultural dan Keseimbangan Ekologi Bali Tengah. MakalahSimposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia III,Denpasar, 16 – 19 Juli 2002.

Seda, Frans,1990 : “Bali Semakin Memprihatinkan”, dalaim:Usahawan Indonesia, XIX, No. 12. Jakarta : lembagaManagement FE – UI, Halaman : 59.

Smith, valene L. (ed.), 1989 : Hosts and Guests TheAnthropology of Tourism Second Edition. Philadelphia :University of Pensylvania.

Soekadijo, R.G. 2000. Anatomi Pariwisata Memahami PariwisataSebagai “System Linkage”. Jakarta : Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama.

Spillane,S.J. James, J., 1994 : Pariwisata Indonesia SiasatEkonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta : PenerbitKanisius.

Stanton, Max E. 1989 : “The Polynesian Cultural Center : AMulti-Ethnic Model of Seven pacific Cultures”, dalamValene L. Smith (ed.) Hosts and Guests The Anthropologyof Tourism Second Edition. Philadelphia : University ofPensylvania.

Sutawan, dkk., 1986 : Studi Mengenai Subak Gede : SuatuWadah Koordinasi Antar Subak di Bali. Kerjasama Sub

Page 62: DIKTAT ANTROPOLOGI PARIWISATA - UNUD

59

Dinas Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Balidengan Universitas Udayana, Denpasar.

Suwantoro, Gamal. 2001. Dasar-Dasar Pariwisata. Yogyakarta :Penerbit Andi

Trijono, Lambang., 1996. “Globalisasi Modernitas dan KrisisNegara Bangsa : Tantangan Integrasi Nasional dalamKonteks Global”, dalam : Nasionalisme dan BerakhirnyaNegara- Bangsa. Analisis CSIS Tahun XXV, No. 2 Maret –April 1996, Halaman : 136 – 148.

Wahab, Salah. 1996. Manajemen Kepariwisataan. (Alih bahasa :Frans Gomang). Jakarta : PT. Pradnya Paramita.

Yoety, Oka A. 1996. Anatomi Pariwisata. Bandung : PenerbitAngkasa.