digital 20309085 s42563 gambaran tingkat

83
UNIVERSITAS INDONESIA GAMBARAN TINGKAT RISIKO MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) PADA PERAWAT SAAT MELAKUKAN AKTIVITAS KERJA DI RUANG ICU PJT RSCM BERDASARKAN METODE RAPID ENTIRE BODY ASSESMENT (REBA) PENELITIAN Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan YUDI ELYAS (1006823620) FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2012 Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Upload: adi-adriansyah

Post on 28-Nov-2015

40 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

gambaran

TRANSCRIPT

Page 1: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

UNIVERSITAS INDONESIA

GAMBARAN TINGKAT RISIKO MUSCULOSKELETAL DISORDERS (MSDs) PADA PERAWAT SAAT MELAKUKAN

AKTIVITAS KERJA DI RUANG ICU PJT RSCM BERDASARKAN METODE RAPID ENTIRE BODY ASSESMENT

(REBA)

PENELITIAN

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana keperawatan

YUDI ELYAS (1006823620)

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK 2012

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Perpustakaan
Note
Silakan klik bookmarks untuk melihat atau link ke hlm
Page 2: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 3: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 4: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Gambaran

Tingkat Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) Pada Perawat di Ruang ICU

Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM Berdasarkan Metode REBA“. Penyusunan

penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Keperawatan pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Penulis

menyadari bahwa selesainya penyusunan penelitian ini karena bantuan dan bimbingan

dari berbagai pihak, dari perkuliahan, penyusunan proposal sampai dengan selesai. Oleh

karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dewi Irawaty, MA.Phd, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas

Indonesia

2. Ibu Tuti Herawati, SKP.,MN. sebagai pembimbing yang telah memberikan

bimbingan serta pengarahan selama proses penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Kuntarti, SKp., M Biomed. selaku ketua program studi sarjana keperawatan

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia atas ijin pelaksanaan penelitian

dan ujian sidang skripsi.

4. Management RSUPN Cipto Mangunkusumo khususnya Unit PJT atas ijin yang

diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.

5. Teman-teman satu angkatan di FIK UI yang selalu bersama-sama dan berdiskusi

dalam proses penyusunan skripsi ini khususnya kepada Pak Amir, Monik &

Hendrikus Medhon, serta teman-teman lainnya yang selalu bersama sampai malam

hari di kampus.

6. Teman-teman PJT khususnya di ruang ICU yang selalu memberi support dan telah

bersedia menjadi bagian dari penelitian ini.

7. Keluarga tercinta yang selalu mendukung penulis selama proses pendidikan serta

proses penyusunan skripsi sampai dengan selesai.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu

proses penyusunan skripsi ini sampai selesai.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 5: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

v

Dalam penyusunan penelitian ini, penulis menyadari bahwa penulisan ini jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat

diharapkan guna kesempurnaan penelitian ini.

Depok, 11 Juli 2012

Penulis

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 6: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 7: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

vii

ABSTRAK

Musculoskeletal disorders (MSDs) merupakan gangguan pada sistem muskuloskeletal yang

disebabkan oleh postur tubuh yang salah selama melakukan aktivitas kerja. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat risiko MSDs terhadap 4 aktivitas kerja perawat di

ruang ICU dengan menggunakan metode REBA. Aktivitas kerja yang diteliti yaitu aktivitas;

pemantauan pengeluaran urin, pendokumentasian hasil pemantauan hemodinamik, cuci tangan dan

ETT suctioning. Penelitian ini menggunakan deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional

terhadap 28 perawat ICU. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas pemantauan urin dan

aktivitas pendokumentasian sebagian besar memiliki nilai risiko “sedang” terjadinya MSDs,

sedangkan aktivitas cuci tangan dan ETT suctioning sebagian besar memiliki risiko “rendah”.

Perlu adanya upaya perbaikan untuk mencegah terjadinya gangguan muskuloskeletal yaitu berupa

pemberian informasi kepada perawat mengenai postur tubuh kerja yang ergonomis serta mengubah

lingkungan kerja agar sesuai dengan ergonomi tubuh.

Kata kunci : Aktivitas kerja, Metode REBA, Perawat ICU, Postur kerja.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 8: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

viii

Abstract

Musculoskeletal disorders (MSDs) are disease of the musculoskeletal system often complained by

the ICU nurses, especially in the waist and neck. This study was conducted to determine ICU

nurses for the risk level of MSDs when doing four work activities in ICU. These activities were

monitoring of urine output, recording the results of hemodynamic monitoring, hand washing and

ETT suctioning. This study used descriptive analitik design with cross sectional approach to 28

ICU PJT nurses. Results showed that among four work activities performed by ICU nurses, two

activities had moderate risk and two activities in low-risk. The urine output monitoring and

recording the results of hemodynamic monitoring activities in moderate risk for occurrence of

MSDs. Hand washing and ETT suctioning activities in low risk for occurrence of MSDs.

Researcher suggests a prevention and repair of works body ergonomics by giving information to

ICU nurses about work body activities ergonomic and also with environmental modifications that

can prevent the occurrence of MSDs.

Key words: Work activities, ICU nurses, working posture, REBA Method.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 9: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

HALAMAN ORISINALITAS ............................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............................. vi

ABSTRAK ............................................................................................................ vii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv

BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 5

1.3 Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 6

1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 6

1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 7

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................. 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 9

2.1 Ergonomi ....................................................................................................... 9

2.1.1 Definisi Ergonomi ................................................................................ 9

2.1.2 Ruang Lingkup ................................................................................... 10

2.1.3 Tujuan dan Manfaat ............................................................................ 10

2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Ergonomik .................................. 10

2.2 Anatomi Sistem Muskuloskeletal .................................................................. 11

2.2.1 Ruas-ruas tulang belakang ................................................................. 11

2.2.2 Otot ...................................................................................................... 12

2.3 Musculoskeletal Disorders (MSDs) ............................................................... 14

2.3.1 Definisi ............................................................................................... 15

2.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Keluhan MSDs ...................... 16

2.4 Aplikasi pelaksanaan ergonomi kerja ............................................................. 18

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 10: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

x

2.5 Penanggulangan permasalahan ergonomik ..................................................... 21

2.6 Metode Penilaian Postur Kerja ..................................................................... 22

2.6.1 Rapid Entire Body Assesment (REBA) .............................................. 22

2.6.2 Definisi REBA ................................................................................... 23

2.6.3 Tujuan Metode REBA ....................................................................... 23

2.6.4 Penilaian REBA ................................................................................. 23

2.6.5 Langkah-langkah Penilaian Metode REBA ....................................... 24

2.6.6 Keuntungan Metode REBA ............................................................... 27

2.6.7 Kekurangan Metode REBA ............................................................... 27

2.7 Gambaran umum Ruang Intensif Care (ICU) PJT ......................................... 27

BAB 3. KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ............... 34

3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 34

3.2 Definisi Operasional ...................................................................................... 35

BAB 4. METODE PENELITIAN ..................................................................... 42 4.1 Jenis dan Disain penelitian .............................................................................. 42

4.2 Waktu dan tempat penelitian........................................................................... 42

4.3 Populasi dan sampel penelitian ...................................................................... 42

4.4 Pengumpulan Data .......................................................................................... 44

4.5 Prosedur pengumpulan data ............................................................................ 45

4.6 Instrumen penelitian ........................................................................................ 46

4.7 Manajemen data .............................................................................................. 46

4.8 Analisis data .................................................................................................... 47

BAB 5. HASIL PENELITIAN ............................................................................ 49 5.1 Gambaran kondisi lapangan ............................................................................ 49

5.2 Hasil Penelitian ............................................................................................... 50

BAB 6. PEMBAHASAN ...................................................................................... 56 6.1 Pembahasan hasil penelitian

6.1.1 Aktivitas pemantauan urin (Urine output monitoring) .......................... 56

6.1.2 Aktivitas pendokumetasian hasil pemantauan hemodinamik ................ 58

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 11: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

xi

6.1.3 Aktivitas Cuci Tangan (Hand Washing) ................................................ 59

6.1.4 Aktivitas ETT suctioniong ..................................................................... 61

6.2 Keterbatasan penelitian ................................................................................... 62

BAB7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 63

7.2 Saran ............................................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 12: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

DAFTAR GAMBAR

Gbr. 2.2.1 Tulang Belakang Manusia….………….……………………… Hal 12

Gbr. 2.2.2 Otot-Otot Manusia……………………………………………...Hal 13

Gbr. 2.2.3 Pergerakan otot Bisep dan Trisep……………………………….Hal 14

Gbr. 2.6.5 Lembar Penilaian REBA………………………………………..Hal 26

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 13: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

DAFTAR TABEL

Tabel 2.2.2.2 Jenis – Jenis Pergerakan Otot……………………………...…Hal 14

Tabel.2.6.5 Penilaian Kelompok Tubuh…………………….………………Hal 25

Tabel 2.7. Clinical Pathway CABG……………………………………………...Hal 29

Tabel.2.7.2 Daftar Aktivitas Perawat ICU…………………………………..Hal 33

Tabel 3.2 Definisi Operasional……………………………………………... Hal 35

Tabel 4.8 Uji Variable Analisis Univariat…………………………………..Hal 47

Tabel 5.2. Penilaian REBA untuk 4 aktivitas kerja di ICU…………………Hal 51

Tabel 5.2.1 Penilaian REBA untuk aktivitas pemantauan pengeluaran urin (urine

output monitoring)…………………………………………………………………. Hal 51

Tabel 5.2.2 Penilaian REBA untuk aktivitas pencatatan hasil Haemodinamik

Monitoring……………………………………….……………………………….….Hal 52

Tabel 5.2.3 Penilaian REBA untuk aktivitas ETT suctioning………….…..…Hal 53

Tabel 5.2.4 Penilaian REBA untuk aktivitas cuci tangan (Hand washing)….Hal 54

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 14: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rumah Sakit saat ini sudah menjadi tempat jasa pelayanan kesehatan yang

diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang komprehensif dan

bermutu. Pelayanan di rumah sakit terdiri dari berbagai jenis pelayanan kesehatan

yang terintegrasi dalam satu sistem. Proses keperawatan merupakan salah satu bagian

dari sistem pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh rumah sakit. Pelayanan

keperawatan merupakan pelayanan yang berkesinambungan dan terus menerus serta

tidak memandang pasien berdasarkan status, agama, golongan, ras, jenis kelamin,

atau ringat-beratnya penyakit pasien. Seiring dengan semakin tingginya tuntutan

masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu, maka pelayanan

keperawatan juga dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang baik dan

profesional.

Perawat merupakan profesi kesehatan yang terbanyak di rumah sakit. Dalam

melaksanakan aktivitasnya, perawat seringkali tidak memperhatikan hal-hal penting

yang menjadi faktor risiko terjadinya penyakit akibat kerja. Penyakit akibat kerja

merupakan penyakit yang terjadi saat melakukan aktivitas kerja di lingkungan

pekerjaan. Occupational Safety and Health Administration (OSHA) 2004

menjelaskan bahwa penyakit akibat kerja merupakan penyakit atau cedera yang

terjadi di tempat kerja sebagai akibat dari terkena bahan atau kondisi kerja saat

melakukan pekerjaan.

Penyakit akibat kerja dapat terjadi saat melakukan aktivitas kerja. Dari sekian banyak

penyakit akibat kerja, keluhan muskuloskeletal merupakan keluhan yang paling

sering dilaporkan. Data statistik The Health and Safety Executive (HSE) 2009/10

menjelaskan bahwa hasil survei yang dilakukan terhadap tiga ratus orang dokter

praktek umum pada periode tahun 2007-2009 menunjukkan bahwa gangguan

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 15: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

2

Universitas Indonesia

muskuloskeletal merupakan penyakit yang paling banyak dilaporkan yaitu sebanyak

53% dan mengakibatkan kehilangan hari kerja sebesar 37 %.

Data mengenai kasus penyakit akibat kerja khususnya keluhan muskuloskeletal yang

dipublikasikan di Indonesia masih terbatas. Penelitian mengenai postur kerja dan

keluhan muskuloskeletal yang telah dipublikasikan sebagian besar dilakukan di

lingkungan pabrik dan perkebunan, sedangkan di lingkungan pelayanan kesehatan

sendiri masih kurang. Namun apabila diperhatikan postur kerja yang dibahas dan

diteliti dalam penelitian di lingkungan pabrik maupun perkebunan sebenarnya

mempunyai karakteristik postur kerja yang hampir sama dengan postur kerja petugas

kesehatan khususnya perawat di rumah sakit. Karakteristik postur kerja yang

dimaksud adalah berdiri yang lama, membungkuk, jongkok, mengangkat berat,

mendorong, menarik dll. Hasil penelitian yang dilakukan di sebuah kawasan industri

periode Agustus-September 2006 oleh Riyadina, Suharyanto dan Tana (2008),

didapatkan data bahwa hampir semua pekerja mengalami masalah gangguan

muskuloskeletal, 22% dari responden mengalami nyeri pada daerah kaki, 17% nyeri

pada daerah pinggang, 9.5% nyeri pada bahu dan sisanya bagian otot serta sendi

dalam jumlah yang kecil.

Gangguan muskuloskeletal dapat terjadi kapanpun selama pekerja melakukan

aktivitas pekerjaannya. Gangguan muskuloskeletal terjadi sebagai akibat dari

penggunaan tenaga yang berlebihan, pengulangan aktivitas yang berlebihan dengan

posisi tubuh yang salah seperti posisi statis yang lama, gerakan membungkuk atau

berputar. Data statistik di Australia periode 2005-2006, menunjukkan bahwa

penyakit/keluhan yang paling banyak ditemukan adalah keluhan akibat peregangan

otot atau keseleo. Keluhan tersebut disebabkan oleh aktivitas mengangkat,

mendorong atau menarik benda.

Keluhan nyeri otot yang dirasakan saat melakukan pekerjaan sering disebut dengan

istilah Muskuloskeletal Disorders (MSDs). Musculoskeletal Disorders (MSDs)

merupakan keluhan yang dirasakan sebagai akibat dari kumpulan benturan kecil

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 16: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

3

Universitas Indonesia

maupun besar yang terakumulasi secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama

sehingga menimbulkan rasa nyeri dan rasa tidak nyaman pada otot, tulang serta sendi.

Keluhan tersebut sering terjadi pada daerah tangan, pergelangan tangan, siku, bahu,

leher, pinggang dan kaki. Laporan statistik tahun 2006 yang dilakukan di Swedia

menyatakan bahwa bagian tubuh ekstremitas atas adalah bagian tubuh yang paling

sering dirasakan tidak nyaman seperti nyeri pada bahu, lengan atas, pergelangan dan

jari-jari sebanyak 56%, nyeri leher 18%, nyeri punggung 15%, lalu pergelangan kaki

11% (Swedish Statistic, 2006).

Penyakit akibat kerja khususnya gangguan muskuloskeletal dapat terjadi akibat

kurangnya pemahaman pekerja tentang prinsip-prinsip ergonomi. Menurut Pusat

Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan 2010, ergonomi adalah ilmu yang

mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan. Ergonomi dapat

dikatakan sebagai ergonomik yaitu penyesuaian tugas pekerjaan dengan kondisi

tubuh untuk menurunkan stres yang akan dihadapi. Upayanya antara lain berupa

menyesuaikan ukuran tempat kerja dengan dimensi tubuh agar tidak melelahkan dan

sesuai dengan kebutuhan tubuh manusia.

Ilmu ergonomi digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kerja sehingga

pekerja dapat melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar fisiologis tubuh.

Apabila penerapan ilmu ergonomik tidak dilakukan dengan baik, maka akan timbul

risiko ergonomik akibat kerja berupa Musculoskeletal Disorders (MSDs) yang

sebagian besar disebabkan oleh posisi dan postur yang salah selama melakukan

aktivitas pekerjaan.

Petugas kesehatan di rumah sakit yang sering mengalami gangguan muskuloskeletal

adalah perawat. Data mengenai keluhan muskuloskeletal perawat memang belum

dilaporkan secara resmi, namun keluhan tersebut sering diungkapkan oleh perawat-

perawat di rumah sakit. Keluhan muskuloskeletal yang sering dirasakan adalah sakit

atau rasa tidak nyaman pada daerah pinggang, kaki serta tangan. Badan statistik di

Swedia tahun 2006 melaporkan bahwa pada perawat masalah muskuloskeletal yang

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 17: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

4

Universitas Indonesia

sering muncul adalah nyeri pada pinggang (56%), bahu, lengan dan jari (24%), leher

(6%) dan kaki (14%). Keluhan tersebut akan lebih banyak dirasakan lagi oleh perawat

di ICU karena ruang ICU memiliki tingkat mobilitas dengan tingkat ketergantungan

pasien yang tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yun et all Tahun 2010

di Korea, disimpulkan bahwa angka kejadian sakit pinggang bawah (Low Back Pain)

lebih tinggi terjadi pada perawat di ruang ICU daripada ruangan lain yang ada di

rumah sakit. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa 90,3% dari perawat

memiliki sakit punggung setidaknya sekali dalam sebulan (21,9% selalu, 40,7%

sekali dalam seminggu dan 27,7% sebulan sekali) dan sebanyak 18,3% telah

menerima perawatan medis akibat sakit punggung.

Ruang perawatan intensif (ICU) adalah unit perawatan khusus bagian dari rumah

sakit yang mandiri dengan staf dan perlengkapan yang khusus. Ruang ICU ditujukan

untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera

atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Aktivitas kerja yang dilakukan oleh perawat di ruang ICU dapat berupa tindakan

keperawatan mandiri maupun tindakan kolaboratif. Tindakan keperawatan mandiri

merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan oleh perawat ICU berdasarkan ilmu

keperawatan yang dimiliki, sedangkan tindakan kolaboratif merupakan tindakan yang

dilakukan oleh perawat sebagai hasil dari kerjasama (kolaborasi) antara perawat

dengan tenaga kesehatan lainnya seperti dokter dan ahli gizi. Beberapa aktivitas yang

dilakukan oleh perawat dilakukan secara rutin sesuai dengan kebijakan atau standar

prosedur masing-masing rumah sakit.

Ruang ICU PJT RSCM merupakan ruang intensif klasifikasi tertier dengan

kekhususan masalah Kardiovaskuler. Ruang ICU PJT memiliki tingkat aktivitas

kerja yang tinggi termasuk melakukan aktivitas kerja rutin yang dilakukan dalam

setiap jam. Aktivitas kerja rutin yang dilakukan di ICU PJT berdasarkan clinical

pathway sesuai dengan jenis diagnosa penyakit pasien. Aktivitas rutin yang dilakukan

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 18: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

5

Universitas Indonesia

di ruang ICU PJT diantaranya ; melakukan haemodinamik monitoring, monitoring

intake dan output setiap jam, suctioning, positioning patient (Mika/Miki),

memandikan pasien, mengangkat pasien, resusitasi, hand washing dan lainnya.

Aktivitas-aktivitas rutin tersebut akan mempengaruhi postur tubuh sehingga dapat

menyebabkan risiko terjadinya masalah muskuloskeletal pada perawat ICU.

Peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai risiko terjadinya

Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada perawat di ruang ICU karena gangguan

muskuloskeletal merupakan masalah serius yang dapat mempengaruhi kemampuan,

efektifitas dan kualitas kerja seorang perawat. Dalam penelitian ini, peneliti akan

mengambil dan menganalisis postur tubuh perawat saat melakukan empat aktivitas

kerja yang rutin dilakukan serta memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap timbulnya

gangguan muskuloskeletal yaitu saat melakukan pendokumentasian hasil pemantauan

hemodinamik pada lembar observasi ICU, pemantuan pengeluaran urin (urine output

monitoring), ETT suctioning dan cuci tangan (hand washing).

Analisis dilakukan dengan menggunakan metode yang sudah digunakan secara

internasional, yaitu dengan menggunakan metode Rapid Entire Body Assesment yang

disingkat dengan REBA. REBA merupakan suatu metode untuk melakukan analisis

postur tubuh saat melakukan aktivitas kerja seperti postur leher, postur punggung,

postur lengan, postur pergelangan tangan dan postur kaki, lalu melakukan evaluasi

dengan memberikan nilai (score) yang menunjukkan tingkatan atau level risiko yang

dihadapi oleh perawat dalam melakukan aktivitas kerjanya. Setelah scoring REBA

ditetapkan dan hasil analisis data disimpulkan, peneliti juga akan menyajikan data

bagian tubuh mana yang paling berperan terhadap timbulnya gangguan

muskuloskeletal saat melakukan empat aktivitas kerja rutin di ICU.

1.2 Rumusan Masalah

Perawat di ruang ICU memiliki tingkat aktivitas kerja yang tinggi dimana aktivitas

kerjanya banyak melakukan gerakan yang sering dilakukan, berulang, posisi berdiri,

mengangkat, mendorong dengan postur tubuh yang tidak tepat seperti jongkok dan

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 19: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

6

Universitas Indonesia

menunduk. Hal tersebut merupakan kondisi yang dapat mengakibatkan timbulnya

gangguan muskuloskeletal. Berdasarkan keluhan yang sering diungkapkan oleh

perawat di ICU PJT RSCM didapatkan informasi bahwa sebagian besar perawat

mengeluh nyeri pinggang dan kaki. Keluhan tersebut terjadi diantaranya karena

perawat di ICU belum melaksanakan aktivitas dengan sikap dan posisi tubuh yang

benar sesuai ergonomis tubuh

Selama Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) berdiri belum ada yang melakukan

penilaian / analisis risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs), sehingga diperlukan

penelitian agar dapat menjadi landasan awal dalam merumuskan kebijakan atau

standar prosedur untuk mengurangi risiko terjadinya gangguan pada sistem

muskuloskeletal. Penelitian dilakukan dengan menilai / menganalisis postur tubuh

saat melakukan empat aktivitas rutin yang sering dilakukan oleh perawat yaitu postur

tubuh saat melakukan pendokumentasian hasil pemantauan hemodinamik, postur

tubuh saat melakukan pemantauan urine output, postur tubuh saat ETT suctioning

dan postur tubuh saat cuci tangan (hand washing). Peneliti ingin mengetahui tingkat

risiko terhadap empat aktivitas yang telah ditentukan dan juga akan menyajikan data

bagian tubuh mana saja yang paling berperan terhadap timbulnya gangguan

muskuloskeletal saat melakukan empat aktivitas tersebut.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Bagaimana tingkat risiko terjadinya Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada perawat

saat melakukan empat aktivitas kerja di ruang ICU Pelayanan Jantung Terpadu (PJT)

RSCM

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui gambaran umum mengenai tingkat risiko terjadinya Musculoskeletal

Disorders (MSDs) pada perawat saat melakukan empat aktivitas kerja berdasarkan

metode REBA di ruang ICU Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 20: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

7

Universitas Indonesia

1.4.2 Tujuan Khusus

1.4.2.1 Menilai postur tubuh perawat saat melakukan aktivitas pendokumentasian

hasil pemantauan hemodinamik (haemodinamik monitoring)

1.4.2.2 Menilai postur tubuh perawat saat melakukan aktivitas pemantauan

pengeluaran urin (urine output monitoring)

1.4.2.3 Menilai postur tubuh perawat saat melakukan aktivitas ETT suctioning

1.4.2.4 Menilai postur tubuh perawat saat melakukan aktivitas cuci tangan

(hand washing)

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bidang manajemen Rumah Sakit

1.5.1.1 Sebagai masukan untuk rumah sakit akan pentingnya pemahaman serta

penerapan ilmu ergonomik di unit PJT RSCM

1.5.1.2 Sebagai masukan dan landasan bagi unit PJT RSCM dalam menyusun dan

menerapkan Standar Operating Prosedur (SOP) mengenai prinsip ergonomi

di rumah sakit

1.5.2 Bidang Pendidikan / Diklat PJT

Menjadi dasar pertimbangan perlunya materi mengenai ergonomi dalam program

pendidikan perawat baru (Kardiologi Dasar) di PJT RSCM

1.5.3 Bidang pengembangan penelitian

Sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut dalam skala yang lebih besar

1.5.4 Bidang Mutu

1.5.4.1 Menjadi pendukung pelaksanaan sistem mutu sertifikasi ISO dan JCI

mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di unit PJT RSCM.

1.5.4.2 Diharapkan dapat memberi masukan dalam peningkatan pengembangan ilmu

pengetahuan dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja di bidang

ergonomi di Rumah Sakit

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 21: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

8

Universitas Indonesia

1.6 Ruang Lingkup

Lingkup penelitian ini akan dilakukan di ruang ICU Pelayanan Jantung Terpadu

(PJT) RSCM

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 22: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

9 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ergonomi

2.1.1 Definisi Ergonomi

Istilah ergonomi berasal dari bahasa latin yaitu Egon (kerja) dan Nomos (hukum

alam) yang didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam

lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi,

engineering, manajemen dan desain/perancangan. Ergonomi berkenaan pula

dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan manusia di

tempat kerja, rumah dan tempat rekreasi (Nurmianto, 1996).

Ergonomi dapat juga dikatakan sebagai suatu aturan atau norma dalam system

kerja. Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan

atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam

beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik

fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih

baik (Tarwaka, Bakri, Sudiajeng, 2004).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2010, mendefinisikan ergonomi

sebagai ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan

pekerjaan dan dapat dikatakan sebagai ergonomik yaitu penyesuaian tugas

pekerjaan dengan kondisi tubuh untuk menurunkan stress yang akan dihadapi.

Upayanya antara lain berupa menyesuaikan ukuran tempat kerja dengan dimensi

tubuh agar tidak melelahkan dan sesuai dengan kebutuhan tubuh manusia.

Ergonomi merupakan praktek dalam mendesain peralatan dan rincian pekerjaan

sesuai dengan kemampuan pekerja yang bertujuan untuk mencegah cidera pada

pekerja ( OSHA, 2003).

Ergonomi dapat disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana manusia

berhubungan dengan lingkungan kerja sehingga manusia tersebut dapat merasa

nyaman saat bekerja.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 23: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

10

Universitas Indonesia

2.1.2 Ruang Lingkup

Ergonomi mempunyai ruang lingkup yang memberi batasan area sehingga dalam

penerapannya ergonomi dapat disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai,

seperti:

1) ergonomi fisik yang berkaitan dengan anatomi tubuh manusia, 2) ergonomi

kognitif yang berkaitan dengan proses mental manusia, 3) ergonomi organisasi

yang berkaitan dengan kebijakan, 4)struktur organisasi dan proses organisasi,

5)ergonomi lingkungan yang berkaitan dengan pencahayaan, temperatur,

kebisingan dan getaran.

2.1.3 Tujuan dan Manfaat

Ilmu ergonomi belum banyak dipahami dan diterapkan oleh para pekerja. Hal

tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan dan informasi yang diberikan oleh

para pengelola tempat kerja. Secara umum tujuan dan manfaat dari penerapan

ergonomi adalah suatu upaya dalam rangkan melakukan pencegahan cedera dan

penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan

promosi dan kepuasan kerja sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup

yang tinggi.

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi ergonomik

Penampilan kerja yang optimal membutuhkan keseimbangan yang dinamis antara

tuntutan tugas dengan kemampuan yang dimiliki sehingga tercapai kondisi

lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan produktif. Apabila tuntutan tugas lebih

besar daripada kemampuan atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi

ketidaknyamanan, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan tidak

produktif. Bila tuntutan tugas lebih rendah daripada kemampuan kerja seseorang

maka akan terjadi kebosanan, kejenuhan,sakit dan tidak produktif

2.1.4.1 Kapasitas atau Kemampuan kerja

Kemampuan seorang pekerja sangat mempengaruhi hubungannya dengan

lingkungan kerja. Kemampuan kerja ditentukan oleh ; (1) karakteristik pribadi

seperti faktor usia, jenis kelamin, antropometri, pendidikan pengalaman, status

social, agama dan kepercayaan, status kesehatan, kesegaran tubuh, (2)

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 24: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

11

Universitas Indonesia

kemampuan fisiologis seperti kemampuan daya tahan kardiovaskuler, syaraf otot,

panca indera, (3) kemampuan psikologis seperti kemampuan mental, kemampuan

adaptasi, stabilitas emosi, (4) kemampuan bio-mekanik yang berkaitan dengan

kemampuan dan daya tahan sendi dan persendian, tendon dan jalinan tulang.

Kapasitas kerja juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan kerja fisik. Kemampuan

kerja fisik merupakan suatu kemampuan seseorang untuk mampu melakukan

suatu pekerjaan dengan menggunakan aktivitas otot pada periode waktu tertentu.

Kemampuan kerja fisik seseorang ditentukan oleh kekuatan otot dan ketahanan

otot.

Kekuatan otot adalah tenaga yang digunakan oleh otot selama melakukan aktivitas

kerja. Menurut Suharno (1993) dan Nala (2001), kekuatan otot merupakan

kemapuan otot-otot skeletal atau otot rangka untuk melakukan kontraksi atau

pegangan maksimal dalam menerima beban, menahan atau memindahkan beban

pada saat melakukan aktivitas kerja. Ketahanan otot adalah kemampuan spesifik

otot untuk terus dapat melakukan pekerjaan sampai seseorang tidak sanggup lagi

untuk mempertahankan pekerjaanya.

2.1.4.2 Tuntutan Tugas

Pekerja melakukan pekerjaannya untuk memenuhi tuntutan tugas yang diberikan.

Tuntutan tugas pekerjaan tergantung pada; 1) Task and material Characteristics

(karakteristik tugas dan material) yang ditentukan oleh karakteristik peralatan dan

mesin, tipe, kecepatan dan irama kerja, 2) Organization Characteristics, yang

berhubungan dengan jam kerja dan jam istirahat, kerja malam dan bergilir, cuti

dan libur, manajemen, 3) Environment Characteristics, yang berkaitan dengan

manusia teman setugas, suhu dan kelembaban, bising dan getaran,

penerangan,sosio budaya, norma, adat dan kebiasaan, bahan-bahan pencemar.

2.2 Anatomi sistem Muskuloskeletal

Kerangka manusia memiliki dua bagian yaitu kerangka aksial yang membentuk

sumbu tubuh dan kerangka apendikular sebagai pendukung / pelengkap anggota

badan. Kerangka aksial terdiri dari tulang tengkorak, kolom tulang belakang dan

tulang rusuk. Tulang-tulang pada lengan dan kaki dan bahu dan panggul

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 25: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

12

Universitas Indonesia

membentuk kerangka apendikular. Tulang-tulang saling terhubung dengan yang

lainnya di seluruh tubuh karena adanya ligamen atau otot. Otot merupakan

jaringan ikat fibrosa seperti tali yang kuat yang diperlukan untuk menjaga tulang

dalam posisi yang tepat untuk membuat kita tegak atau untuk menanggung berat

badan.

2.2.1 Ruas – ruas tulang belakang

Bagian-bagian dari ruas tuang belakang adalah :

a. Tulag leher (Vertebra Cervicalis) sebanyak 7 ruas

b. Tulang punggung (Vertebra Thoracic) sebanyak 12 ruas dan bersatu dengan

tulang rusuk yang berfungsi melindungi organ tubuh seperti jantng dan paru-

paru

c. Tulang Pinggang ( Vertebra Lumbalis) sebanyak 5 ruas yang membentuk

pinggang

d. Tulang ekor, sebanyak 4 ruas

Gbr. 2.2.1 Tulang Belakang Manusia

(From : Essentials of Anatomy and Physiology,Scanlon & Sanders,2007)

2.2.2 Otot

Otot tubuh dapat melakukan kontraksi. Ketika teradi kontraksi sel, otot-otot akan

memendek dan menarik tulang untuk menghasilkan suatu gerakan. Otot biasanya

memiliki setidaknya dua tendon dimana masing-masing melekat pada tulang yang

berbeda.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 26: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

13

Universitas Indonesia

Gbr. 2.2.2 Otot-Otot Manusia

(From : Essentials of Anatomy and Physiology,Scanlon & Sanders,2007)

2.2.2.1 Pengaturan otot

Otot-otot yang digerakkan akan menimbulkan berbagai gerakan pada tubuh.

Berdasarkan jenis pengaturannya, otot dibagi menjadi 2 jenis yaitu jenis antagonis

dan sinergis.

a. Otot Antagonis, yaitu otot yang berlawanan, contohnya adalah biseps. Biseps

merupakan otot di bagian depan lengan atas yang melekat pada tulang belikat

dan mempunyai 2 tendon. Ketika otot bisep kontraksi maka lengan bawah

akan fleksi yaitu dengan menekuk siku. Ketika otot berkontraksi akan

membuat otot tersebut lebih pendek dan melakukan tarikan. Otot tidak

dapat mendorong, karena saat dalam kondisi relaks otot-otot tidak

menggunakan kekuatan. Oleh karena itu, otot bisep tidak dapat meluruskan

kembali siku yang telah ditekuk namun harus dibantu dengan otot lain yatu

otot Trisep. Trisep terletak di bagian belakang lengan atas. Ketika otot trisep

kontraksi maka lengan bawah akan tertarik sehingga siku dapat lurus

kembali.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 27: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

14

Universitas Indonesia

Gbr. 2.2.3 Pergerakan otot Bisep dan Trisep

b. Otot sinergis adalah otot yang mempunyai fungsi dan gerakan yang sama

(sinergis) tidak berlawanan seperti pada jenis otot yang bersifat antagonis.

2.2.2.2 Jenis – Jenis Pergerakan Otot

Gerakan Otot Definisi

Flexi

Ekstensi

Adduksi

Abduksi

Pronasi

Supinasi

Dorsifleksi

Plantarfleksi

Rotasi

Pengurangan sudut dari sendi

Penambahan sudut sendi

Bergerak mendekati garis tubuh

Bergerak menjauh dari garis

tubuh

Menurunkan telapak tangan

Menaikkan telapak tangan

Menaikkan telapak kaki

Menurunkan telapak kaki

Pergerakan tulang pada axis

longitudinal

2.3 Musculoskeletal Disorders (MSDs)

Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan penyakit yang paling sering

dilaporkan diantara sekian banyak penyakit akibatt kerja, Data statistik The Health

and Safety Executive (HSE) 2009/10, menunjukkan bahwa MSDs merupakan

penyakit yang paling banyak dilaporkan yaitu sebanyak 53% dan mengakibatkan

kehilangan hari kerja sebesar 37 %.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 28: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

15

Universitas Indonesia

Gambar 2.3 Diagram jumlah kasus Musculoskeletal Disorders

( Sumber : The Health and Safety Statistic 2009/2010 UK )

2.3.1 Definisi

Keluhan muskuloskeletatal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang

dirasakan mulai dari keluhan sangat ringan sampai berat. Apabila otot menerima

beban secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan

keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligament dan tendon. Secara garis besar

keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu ; 1) Keluhan sementara

(reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis

dan dapat segera hilang apabila pembebanan dihentikan, 2) Keluhan menetap

(Irreversible), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap. Sakit pada otot masih

dirasakan walaupun pembebanan kerja telaah dihentikan.

Studi tentang MSDs telah banyak dilakukan dan hasil studi tersebut menunjukkan

bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot skeletal seperti otot leher,

bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot bagian bawah.

Diantara keluhan otot skeletal tersebut, yang banyak dialami oleh pekerja adalah

otot bagian pinggang (Low back pain = LBP).

Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan

akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang

panjang. Sebaliknya keluhan otot tidak aan terjadi apabila kontrkasi otot hanya

berkisar 15%-20% dari kekuatan otot maksimum. Namun apabila kontarkasi otot

melebihi 20%, maka peredaran darah ke otot berkurang menrut tingkat kontraksi

yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 29: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

16

Universitas Indonesia

menurun, proses metabolism karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi

penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Suma’mur,

1982; Grandjean, 1993. Dikutip dari buku Tarwaka, Bakri, Sudiajeng, 2004).

2.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Keluhan MSDs

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal antara

lain:

a. Peregangan otot yang berlebihan

Peregangan otot yang berlebihan terjadi pada saat pekerja melakukan aktivitasnya

dengan pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong,

menarik menahan beban yang berat. Peregangan otot ini terjadi karena pengerahan

tenaga yang diperlukan melampaui kegiatan optimum otot. Apabila aktivitas

tersebut sering dilakukan maka akan mempunyai risiko besar terjadinya cedera

otot skeletal

b. Aktivitas berulang

Aktivitas berulang adalah aktivitas yang dilakukan secara terus menrus. Keluhan

otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus

tanpa memperoleh kesempatan relaksasi

c. Sikap kerja tidak alamiah

Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-

bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan

mengangkat, punggung terlalu membungkuk kepala terangkat. Semakin jauh

posisi begian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko

terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah terjadi karea

karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan

kemampuan dan keterbatasan pekerja.

d. Faktor penyebab sekunder

Faktor- faktor penyebab sekunder yang dapat mengakibatkan keluhan

musculoskeletal disorders (MSDs) seperti ; 1) tekanan langsung pada jaringan

otot yang lunak, 2) getaran dengan frekuensi tinggi yang akan meyebabkan

kontraksi otot bertambah sehingga menyebabkan peredaan darah tidak lancar,

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 30: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

17

Universitas Indonesia

penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot

(Suma’mur, 1982), 3) mikroklimat, paparan suhu dingin yang berlebihan dapat

menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pakerja

menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot

(Astrand & Rodhl, 1997; Pulat, 1992;Wilson&Corlett, 1992; Tarwaka, Bakri,

Sudiajeng, 2004.

e. Penyebab kombinasi

Risiko terjadinya keluhan otot skeletal akan meningkat apabila dalam meakukan

tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa faktor risiko dalam waktu

bersamaan. Beberapa ahli menjelaskan bahwa ada faktor-faktor lain yang

mempengaruhi terjadinya keluhan otot skeletal seperti umur, jenis kelamin,

kebiasaan merokok, aktvitas fisik, kekuatan fisik dan ukuran tubuh.

Usia merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya keluhan MSDs. Chaffin

(1979) dan Guo et all(1995) menyatakan bahwa pada umumnya keluhan otot

skeletal mulai dirasakan pada usia kerja 25-26 tahun. Keluhan pertama biasanya

dirasakan pada umur 25 tahun dan akan meningkat seiring umur bertambah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat

umur antara 20-29 tahun. Selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan

bertambahnya umur. Pada saat mencapi 60 tahun kekuata otot menurun sampai

20% dan risiko keluan otot akan meningkat.

Kekuatan otot akan berbeda sesuai dengan usia dan jenis kelamin dimana secara

fisiologis kemampuan otot wanita lebih rendah daripada pria yaitu sekitar 2/3 dari

kekuatan pria, sehingga secara umum daya tahan otot pria lebih tinggi

dibandingkkan dengan wanita. Kebiasaan merokok akan menyebabkan penurunan

kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan mengkonsumsi oksigen menurun yang

menyebabkan tingkat kesegaran tubuh menurun. Orang yang merokok akan

merasakan cepat lelah saat melakukan aktivitas karena kandungan oksigen

didalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi penumpukkan

asam laktat dan akhirnya timbul rasa nyei otot.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 31: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

18

Universitas Indonesia

Tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan memepertinggi risiko terjadinya

keluhan otot. Keluhan otot akan meningkat sejalan dengan bertambahnya aktivitas

fisik. Setiap orang memiliki kemampuan dan kekuatan fisik yang berbeda, apabila

aktivitas kerja melebihi kapasitas kemampuan kekuatan fisik maka akan

menyebabakan gangguan pada otot skeletal.

Ukuran tubuh seperti berat badan, tinggi badan dan masa tubuh merupakan faktor

yang dapat menyebabkan teradinya keluhan otot skeletal. Dari beberapa penelitian

terungkap bahwa pada orang yang lebih gemuk akan mempunyai risiko 2.5 kali

lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurus, khususnya untuk laki-laki. Pada

tubuh yang tinggi umumnya sering menderita sakit punggung tetapi tubuh tinggi

tidak mempengaruhi terhadap keluhan pada leher, bahu dan pergelangan tanagan.

Tubuh yang tinggi pada umumnya memiliki bentuk tulang yang langsing sehingga

secara biomekanik rentan terhadap beban tekan dan rentang terhadap tekukan,

sehingga mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya keluhan otot

skeletal.

2.4 Aplikasi pelaksanaan ergonomi kerja

Ergonomi kerja harus dilaksanakan agar gangguan muskuloskeletal tidak terjadi.

Internasional Labour Organisation (ILO) mengeluarkan panduan bagi pekerja

dalam melakukan aktivitas kerjanya. Panduan tersebut ditujukan untuk pekerja

dengan posisi duduk dan berdiri. Berikut adalah panduan ergonomis untuk bekerja

dalam posisi duduk menurut Internasional Labour Organisation (ILO) :

a. Pekerja dapat menjangkau seluruh area kerja tanpa adanya peregangan atau

tidak memutar

b. Posisi duduk yang baik adalah dengan duduk lurus dan dekat dengan

pekerjaan.

c. Meja dan kursi harus dirancang sehingga permukaan tempat kerja kira-kira

pada tingkat yang sama dengan siku.

d. Bagian belakang harus lurus dan bahu rileks.

e. Jika memungkinkan, harus ada beberapa bentuk topangan yang sesuai untuk

lengan bawah siku atau tangan.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 32: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

19

Universitas Indonesia

Sedangkan panduan ergonomis dalam posisi berdiri menutut Internasional Labour

Organisation (ILO) adalah sebagai berikut :

a. Menurut tinggi kepala

- Sediakan tempat yang memadai untuk pekerja yang paling tinggi

- Posisi kepala pada atau di bawah level mata karena orang secara alami

melihat sedikit ke bawah.

b. Tinggi bahu

- Pusat control harus ditempatkan antara bahu dan setinggi pinggang.

- Hindari menempatkan benda di atas ketinggian bahu, tempatkan sesuatu

yang sering digunakan dan dapat dijangkau oleh lengan

- Posisi alat atau fasilitas sesuai dengan kondisi pekerja sehingga pekerja

yang paling tinggi tidak perlu membungkuk.

c. Tinggi siku

Sesuaikan tinggi permukaan pekerjaan sesuai dengan tinggi siku atau di

bawah tinggi siku untuk tugas-tugas pekerjaan yang paling sering dilakukan.

d. Panjang kaki

- Sesuaikan tinggi kursi sesuai dengan panjang kaki dan tinggi permukaan

kerja.

- Sediakan tempat sehingga kaki bisa terentang, dengan cukup ruang untuk

kaki panjang.

- Memberikan pijakan kaki disesuaikan sehingga kaki tidak menggantung

dan untuk membantu posisi pekerja perubahan tubuh.

- Tangan ukuran genggaman tangan harus sesuai dengan tangan.

- Biarkan cukup ruang untuk bekerja tangan terbesar. ukuran tubuh

- Biarkan cukup ruang pada workstation untuk pekerja terbesar.

Pekerja dapat melaksanakan pekerjaannya dalam posisi duduk maupun posisi

dengan persyaratan pekerja merasa nyaman selama melaksanakan pekerjaannya.,

tidak menimbulkan gangguan psikologis serta dapat melakukan pekerjaannya

dengan baik dan memuaskan.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 33: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

20

Universitas Indonesia

a. Posisi bekerja dengan berdiri

Pada posisi berdiri dengan pekerjaan ringan, tinggi optimum area kerja adalah

5-10 cm dibawah siku. Agar tinggi optimum ini dapat diterapkan, maka perlu

diukur tinggi siku yaitu jarak vertikal dari lantai ke siku dengan keadaan lengan

bawah mendatar dan lengan atas vertikal. Tinggi siku pada laki-laki misalnya

100 cm dan pada wanita misalnya 95 cm, maka tinggi meja kerja bagi laki-laki

adalah antara 90-95 cm dan bagi wanita adalah antara 85-90 cm. Berdiri dengan

posisi yang benar, dengan tulang punggung yang lurus dan bobot badan terbagi

rata pada kedua kaki.

b. Proses bekerja

Ukuran yang benar akan memudahkan seseorang dalam melakukan pekerjaannya,

tetapi sangat disayangkan akibat posturtubuh yang berbeda, perlu pemecahan

masalah terutama di negara-negara berkembang yang menggunakan peralatan

import sehingga perlu disesuaikan kembali, misalnya tempat kerja yang harus

dilakukan dengan berdiri sebaiknya ditambahkan bangku panjang setinggi 10-25

cm agar orang dapat bekerja sesuai dengan tinggi meja dan tidak melelahkan.

c. Penampilan tempat kerja

Mungkin akan menjadi baik dan lengkap bila disertai petunjuk-petunjuk berupa

gambar-gambar yang mudah diingat, mudah dilihat setiap saat.

d. Mengangkat beban

Terutama di negara berkembang mengangkat beban adalah pekerjaan yang lazim

dan sering dilakukan tanpa dipikirkan efek negatifnya, antara lain : kerusakan

tulang punggung, kelainan bentuk otot karena pekerjaan tertentu.

Pekerjaan dengan posisi membungkuk, berlutut atau jongkok mempunyai risiko

cedera terhadap system muskuloskeletal. Lutut terdiri dari otot-otot yang

menggerakkan sendi, tendon dan ligamen yang memberikan stabilitas dan kantung

cairan di bawah tempurung lutut yang melumasi lutut sehingga bergerak

mudah. Persendian tersebut akan rentan terhadap cedera karena keausan yang

berlebihan. Aktivitas yang dapat menekan lutut diantaranya :

a. Berlutut atau jongkok untuk jangka waktu yang lama

b. Berlutut atau jongkok berulang

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 34: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

21

Universitas Indonesia

c. Stres kontak (trauma)

Berlutut dan jongkok menyebabkan Overstretches ligamen lutut. Berlutut atau

jongkok dapat menyebabkan iritasi, peradangan dan rasa sakit. Kelelahan seperti

tendonitis atau radang tendon sering terjadi akibat dari penggunaan yang

berlebihan atau kelelahan dari lutut. Overexerting otot-otot sekitar lutut dapat

menyebabkan robek dan rasa sakit. Menggunakan lutut ketika berlutut pada lantai

yang keras merupakan contoh dari stress kontak. Berlutut yang berlebihan dapat

menyebabkan iritasi, nyeri, peradangan, dan terbatas rentang gerak. (OSHA

2010)

2.5 Penanggulangan Permasalahan Ergonomi

Aplikasi ergonomi dapat dilaksanakan dengan prinsip pemecahan masalah,

dimana tahap awal adalah identifikasi masalah yang sedang dihadapi. Hal ini

dapat dilakukan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Langkah

selanjutnya adalah menentukan prioritas masalah; masalah yang paling mencolok

harus ditangani lebih dahulu. Setelah analisis dikerjakan, maka satu atau dua

alternatif intervensi harus diusulkan. Pada pengenalan/rekognisi telah dinyatakan

adanya 3 hal yang harus diperhatikan, ketiganya berinteraksi dalam penerapan

ergonomi dan fokus utama adalah pada sumber daya manusia (human centered

design) :

a. Kesehatan mental dan fisik harus diperhatikan untuk diperbaiki sehinggga

didapatkan tenaga kerja yang sehat fisik, rohani dan sosial yang

memungkinkan mereka hidup produktif baik secara sosial maupun ekonomi.

b. Kemampuan jasmani dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan

antropometri, lingkup gerak sendi dan kekuatan otot.

c. Lingkungan tempat kerja

Harus memberikan ruang gerak secukupnya bagi tubuh dan anggota badan

sehingga dapat bergerak secara leluasa, efisien, timbul rasa aman dan tidak

menimbulkan stres lingkungan.

d. Sikap tubuh dalam bekerja

Sikap tubuh dalam bekerja berhubungan dengan tempat duduk, meja kerja

dan luas pandangan. Untuk merencanakan tempat kerja dan perlengkapannya

diperlukan ukuran-ukuran tubuh yang menjamin sikap tubuh paling alamiah

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 35: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

22

Universitas Indonesia

dan memungkinkan dkilakukannya gerakan-gerakan yang dibutuhkan.

Pada posisi berdiri dengan pekerjaan ringan, tinggi optimum area kerja adalah

5-10 cm dibawah siku. Agar tinggi optimum ini dapat diterapkan, maka perlu

diukur tinggi siku yaitu jarak vertikal dari lantai ke siku dengan keadaan

lengan bawah mendatar dan lengan atas vertikal. Tinggi siku pada laki-laki

misalnya 100 cm dan pada wanita misalnya 95 cm, maka tinggi meja kerja

bagi laki-laki adalah antara 90-95 cm dan bagi wanita adalah antara 85-90

cm.

2.6 Metode Penilaian Postur Kerja

Penilaian postur aktivitas kerja perlu dilakukan bila ingin mengetahui postur kerja

apa saja yang memiliki risiko terjadinya masalah muskuloskeletal. Hasil dari

penilaian tersebut akan diproses, dianalisa dan selanjutnya ditarik kesimpulan

berupa tingkat rekomendasi dari penanganan masalah.

5 Penilaian postur kerja dilakukan dengan menggunakan metode penilaian postur

kerja yang sudah banyak digunakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Penilaian postur kerja yang sudah banyak digunakan diantaranya dengan

menggunakan metode Rapid Upper Limb Assesment (RULA), Metode Ovako

Working Postures Analysis System (OWAS) dan Metode Rapid Entire Body

Assesment (REBA).

Metoda RULA merupakan metode penilaian postur kerja yang berfokus pada

tubuh bagian atas dimana pekerja melakukan aktivitas kerjanya dalam posisi

duduk atau berdiri tanpa berpindah tempat. Metode OWAS merupakan metode

untuk melakukan analisa potur kerja yang berdasarkan klasifikasi sederhana yang

digunakan untuk menilai postur punggung, lengan dan kaki, sedangkan REBA

dapat digunakan untuk menilai postur aktivitas kerja yang lebih komprehensif

dalam menilai postur kerja pada seluruh bagian tubuh yaitu leher, punggung,

kaki, lengan atas, lengan bawah serta pergelangan tangan.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 36: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

23

Universitas Indonesia

2.6.1 Rapid Entire Body Assesment (REBA)

Metode REBA dirancang oleh Lynn Mc Atamney & Sue Hignett (2000) sebagai

pengembangan metode dari RULA (McAtamney & Corlett,1993) dan OWAS

(Karhu et al,1997). Metode REBA dikembangkan untuk melakukan penilaian

secara komprehensif terhadap postur kerja dan dikembangkan khususnya untuk

digunakan pada industri pelayanan kesehatan. Metode ini telah banyak digunakan

secara luas di tingkat internasional, bahkan sudah menjadi standar penilaian

ergonomi di USA (OSHA,2000). Di Indonesia sendiri metode REBA telah

digunakan di beberapa penelitian mengenai analis faktor risiko ergonomi di

tingkat universitas (FKM UI).

2.6.2 Definisi REBA

REBA merupakan sebuah metode penilaian postur kerja utuk menilai faktor risiko

masalah muskuloskeletal secara keseluruhan. Data yang dikumpulkan adalah

data mengenai fostur tubuh, kekuatan yang digunakan, jenis pergerakan atau aksi,

pengulangan dan pegangan. Nilai akhir yang dihasilkan menggambarkan tingkat

risiko dan tingkat keutamaan tindakan yang harus diambil. Faktor tubuh yang

dinilai dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu kelompok A yang terdiri atas

postur tubuh kanan dan kiri dari batang tubuh (trunk) dan kelompok B yang terdiri

atas postur kanan dan kiri dari lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower arm)

dan pergelangan tangan (wrist). Pada masing-masing kelompok diberi skala

postur tubuh dan pernyataan tambahan, lalu diberikan juga beban/kekuatan dan

pegangan.

2.6.3 Tujuan Metode REBA

Pengembangan REBA bertujuan untuk mengembangkan sistem analisa postural

sensitif terhadap risiko muskuloskeletal dalam berbagai tugas, membagi tubuh ke

dalam berbagai segmen yang harus dikodekan dengan mengacu pada gerakan,

menyediakan sistem penilaian untuk aktivitas otot yang disebabkan oleh statis,

dinamis, berubah atau tidak stabil, postur merefleksikan proses coupling dalam

penanganan beban , memberikan hasil tingkat tindakan dengan indikasi yang

mendesak.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 37: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

24

Universitas Indonesia

2.6.4 Penilaian REBA

Metode REBA didesain untuk mengevaluasi pekerjaan atau aktivitas, dimana

pekerjaan tersebut memiliki kecenderungan menimbulkan ketidaknyamanan

seperti kelelahan pada leher, tulang punggung, lengan, dan sebagainya. Metode

ini mengevaluasi pekerjaan dengan memberikan nilai (score) pada 5 kategori

postur tubuh yang berbeda. Hasil nilai tersebut akan menunjukkan tingkatan atau

level resiko yang dihadapi oleh pekerja dalam melakukan pekerjaannya dan

terhadap beban kerja yang ditanggungnya lalu melakukan perbaikan sesegera

mungkin sesuai dengan hasil analisa scoring REBA

Nilai untuk masing-masing postur tubuh dapat diperoleh dari table penilaian yang

telah ada. Total nilai pada kategori A merupakan nilai yang diperoleh dari

penjumlahan nilai postur tubuh yang terdapat pada table A dengan nilai beban

atau tenaga. Sedangkan total nilai pada kategori B merupakan nilai yang diperoleh

dari penjumlahan nilai postur tubuh yang terdapat pada table B dengan nilai

kopling untuk kedua tangan. Nilai REBA diperoleh dengan melihat nilai dari

kategori A dan B pada table C untuk memperoleh nilai C yang kemudian

dijumlahkan dengan nilai aktivitas. Sedangkan tingkatan resiko dari pekerjaan

diperoleh dari table keputusan REBA yaitu sebuah tindakan yang harus diambil.

2.6.5 Langkah-langkah penilaian metode REBA

Langkah-langkah yang diperlukan dalam menerapkan metode REBA ini

antara lain:

a. Melakukan pengamatan aktivitas kerja dan me ngambil data gambar posisi

tubuh ketika bekerja dengan menggunakan kamera

b. Menentukan postur kerja yang akan diamati, antara lain batang

tubuh, pergelangan tangan, leher, kaki, lengan atas, dan lengan bawah.

Kriteria postur kerja yang dipilih untuk dilakukan penilaian seperti ; postur

kerja yang sering dilakukan dalam jangka waktu lama, postur kerja yang

sering kali diulang, postur kerja yang membutuhkan tenaga yang besar, postur

kerja yang ekstrem dan janggal yang menimbulkan rasa tidak nyaman pada

pekerja

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 38: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

25

Universitas Indonesia

c. Menentukan nilai untuk masing-masing postur tubuh serta penentuan skor

aktivitas. Secara garis besar penilaian dilakukan untuk menilai dua kelompok

besar yaitu kelompok A untuk punggung, leher dan kaki, serta kelompok B

untuk penilaian lengan bagian atas, lengan bagian bawah dan pergelangan

tangan.

Tabel.2.6.5 Penilaian KelompokTubuh

Kelompok A

Kelompok B

Setelah didapatkan nilai A dan nilai B, kedua nilai tersebut digabungkan

pada tabel C dengan menggunakan tabel :

(Sumber: Sue Hignett ,Lynn McAtamney, Technical note REBA,2000)

d. Menjumlahkan nilai dari masing-masing kategori kelompok untuk

memperoleh nilai REBA.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 39: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

26

Universitas Indonesia

Nilai tabel C kemudian ditambahkan dengan nilai aktifitas untuk

mendapatkan hasil akhir nilai REBA. Penilaian aktifitas akan diberikan nilai

+1 apabila bagian tubuh bekerja lebih dari 1 menit, ada pengulangan lebih

dari 4 kali dan adanya perubahan postur secara extreme pada tubuh.

Gbr. 2.6.5 d. Lembar Penilaian REBA

(Sumber: Sue Hignett ,Lynn McAtamney, Technical note REBA,2000)

e. Menentukan skor / nilai REBA

Setelah menjumlahkan semua nilai dari masing-masing kelompok maka

selanjutnya adalah menentukan skor / nilai dari hasil total nilai yang didapat.

Skor 1 : Masih dapat diterima, tidak membutuhkan tindakan / perbaikan

Skor 2-3 : Mempunyai tingkat risiko rendah, mungkin diperlukan

tindakan / perbaikan

Skor 4-7 : Mempunyai tingkat risiko sedang, dibutuhkan tindakan /

perbaikan

Skor 8-10 : Mempunyai tingkat risiko tinggi , harus dilakukan tindakan /

perbaikan segera

Skor 11-15 : Tingkat risiko sangat tinggi, harus dilakukan tindakan /

perbaikan secepatnya (saat itu juga)

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 40: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

27

Universitas Indonesia

f. Menentukan tingkat tindakan dan pengambilan keputusan untuk perbaikan.

2.6.6 Keuntungan Metode REBA

Keuntungan dari metode REBA diantaranya dapat menganalisa pekerjaan

berdasarkan posisi tubuh dengan cepat, menganalisa faktor-faktor resiko yang ada

dalam melakukan pekerjaan, menganalisa pekerjaan dan beban kerja berdasarkan

posisi tubuh ketika bekerja, teknik penilaian membagi tubuh kedalam bagian-

bagian tertentu yang kemudian diberi kode-kode secara individual berdasarkan

bidang-bidang geraknya lalu kemudian diberikan nilai, menggunakan form

penilaian yang sudah ada sehingga mmperkecil adanya data bias dari penilaian.

2.6.7 Kekurangan Metode REBA

Metode penilaian mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing,

adapun kekurangan dari metode REBA adalah metode ini hanya fokus kepada

faktor fisik pekerja saja, tidak mempertimbangkan beberapa interaksi faktor risiko

seperti faktor fisik dan psikososial

2.7 Gambaran umum Ruang Intensif Care (ICU)

Ruang Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang

mandiri dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan

untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit,

cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam

nyawa dengan menyediakan kemampuan, sarana dan prasarana serta peralatan

khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan keterampilan

staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan

keadaan tersebut (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2010).

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 41: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

28

Universitas Indonesia

Ruang ICU dibagi dalam tiga klasifikasi pelayanan yaitu pelayanan ICU Primer

(Pada Rumah sakit kelas C), pelayanan ICU Sekunder (Pada Rumah sakit kelas

B), pelayanan ICU Tersier (Pada rumah sakit kelas A). Klasifikasi tersebut

ditentukan oleh ketenagaan, sarana dan prasarana, peralatan serta kemampuan

pelayanan. Pelayanan keperawatan intensif disediakan dan diberikan kepada

pasien dalam keadaan kegawatan dan kedaruratan yang perlu ditanggulangi dan

diawasi secara ketat, terus menerus serta memerlukan tindakan segera.

Pelayanan keperawatan intensif diberikan melalui pendekatan multidisiplin secara

komprehensif dengan tujuan untuk menyelamatkan kehidupan, mencegah

terjadinya kondisi memburuk dan komplikasi, meningkatkan kualitas hidup pasien

dan mempertahankan kehidupan, mengoptimalkan kemampuan fungsi organ

tubuh pasien, mengurangi angka kematian dan kecacatan pasien kritis serta

mempercepat proses penyembuhan pasien. Pelayanan keperawatan di ICU

diberikan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan dilakukan oleh perawat yang

memiliki kompetensi klinis ICU yang sudah ditetapkan oleh Depkes. Kompetensi

yang dimaksud adalah kompetensi dasar minimal dan kompetensi khusus atau

tingkat lanjut.

ICU PJT RSCM merupakan ruang ICU dengan klasifikasi ruang ICU tersier di

bidang kardiovaskuler. Pasien-pasien yang dirawat di ICU PJT adalah pasien bayi,

anak maupun dewasa dengan masalah kardiovaskuler baik untuk observasi,

paska operasi maupun paska tindakan catheterisasi. Penanganan atau tatalaksana

pasien yang masuk ke ICU disesuaikan dengan jenis kasus atau masalah yang

ada dengan menggunakan Clinical Pathway. Clinical pathway merupakan

rentetan tindakan multidisiplin ilmu yang diberikan kepada pasien saat pasien

masuk ke ICU sampai dengan pasien keluar dari ICU. Clinical Pathway didesain

untuk membantu proses perawatan dan pengobatan dengan menyediakan

kerangka kerja yang diharapkan, bukan untuk menggantikan penilaian tim

perawat, dokter atau disiplin ilmu lainnya.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 42: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

29

Universitas Indonesia

Tabel 2.7. Contoh Clinical Pathway di Ruang ICU PJT

CLINICAL PATHWAY CABG

Nama

: ..............................................

Diagnosis

: .............................................. NRM : .............................................. Tindakan : .............................................. Umur : .............................................. Expected LOS : 2 hari

Post operasi (ICU) Observasi pasien dengan ketat Pertahankan akses arteri dan vena sampai diindikasikan untuk dicabut oleh staf medis Pasien dengan ventilator sampai memenuhi kriteria untuk diekstubasi Pertahankan drain dada, NGT dan keteter urin sampai diindikasikan untuk dicabut Observasi perdarahan dan adanya aritmia Pastikan foto thorax, AGD dan DPL dilaksanakan Penuhi doctor request Jelaskan kepada keluarga tentang kondisi pasien setelah dioperasi

Clinical pathway ini dikembangkan dengan input dari staf dokter kardiologi, dokter bedah, perawat, serta tim kesehatan lainnya yang terlibat dalam perawatan pasien. Setiap saran dan kritik bisa disampaikan kepada tim Peningkatan Mutu dan Diklat PJT RSCM

PERHATIAN Semua instruksi dokter didokumentasikan di form catatan medis. Semua informasi tambahan/ informasi lainnya didokumentasikan di lembar observasi pasien. Catat tanggal di atas setiap kolom, dan waktu di tulis sesuai dengan pelaksanaan tindakan Setiap shift perawat harus melengkapi semua kolom (kolom implementasi) dan menandatangani di tempat yang disediakan Beri tanda Ceklis (√) =untuk setiap tindakan yang dilaksanakan atau Beri tanda turus (I) = untuk setiap tindakan yang dilakukan rutin beberapa kali Beri tanda “n/a” (not applicable) = untuk setiap tindakan yang tidak bisa

dilaksanakan pada pasien atau Beri tanda VAR = untuk setiap tindakan atau kondisi pasien yang merupakan

varian dari pathway, ditulis di lembar pencatatan varian Clinical pathway ini didesain untuk membantu proses perawatan dan pengobatan dengan menyediakan kerangka kerja yang diharapkan, bukan untuk menggantikan penilaian tim perawat/ dokter. Jika pasien tidak sesuai dengan kerangka umum clinical pathway, maka dikeluarkan dari clinical pathway.

Hari Operasi (ICU – paska Operasi)

Tanggal:

Implementasi Waktu

P S M

Tindakan

o Memindahkan pasien ke tempat idur o Memasang alat monitoring hemodinamik o Menghubungkan pasien dengan ventilator o Melakukan setting ventilator: Pressure control o Auskultasi suara nafas pasien o Menghubungkan drain dada dengan continous suction/ low

suction unit o Memasang semua syringe pump dan cairan ke tiang infus o NGT free flow o Head up 15-30o o Melakukan levelling dan zeroing o Mengambil dan mengirim sample darah untuk pemeriksaan

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 43: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

30

Universitas Indonesia

AGD, DPL dan GDS o Mencatat dan menghitung dosis obat-obatan drip yang

terpasang o Melakukan operan dengan perawat OK meliputi masalah dan

kejadian penting selama operasi serta peralatan yang terpasang (Monitoring line, ETT, NGT, kateter urine, drain dada, drain perikard, pacing wire)

o Pengisian Doctor Requests: o target hemodinamik: HR, BP, CVP, SpO2 o ventilasi: 6 hours ventilation o kebutuhan cairan: 1500 s.d. 2000 ml/24 jam o produksi urin ≥ 1 cc/kg/jam

o Pastikan semua peralatan terpasang dan berfungsi dengan baik dan benar (ETT, IV line, arteri line, CVP, EKG, SpO2, kateter urin, drain dada,)

o Hubungi radiografer untuk foto roentgen thorax o Observasi hemodinamik

o setiap 15 menit pada 1 jam pertama di ICU o setiap 30 menit pada jam kedua o selanjutnya setiap jam

o Observasi temperatur dan intake output setiap jam o Observasi Kesadaran dan diameter pupil setiap 4 jam atau

sampai pasien sadar o Observasi perdarahan dan milking drain dada setiap jam o Rewarm dengan blanket roll o Transfusi PRC bila Hb < 12 g/dL o Berikan Kalium drip bila nilai Kalium < 4 o Berikan Ca glukonas bila nilai Ca++ < 1 o Suction bila diperlukan o Weaning ventilator sesuai doctor requests dimulai dari

Control, SIMV, PS, CPAP, T Piece o Extubasi sesuai doctor requests o Mengambil dan mengirim sample darah untuk pemeriksaan

AGD 30 menit setelah ekstubasi o Aff NGT setelah 2 – 3 jam Extubasi o Th/O2: Non Rebreathing Mask (setelah ekstubasi) o Mengambil dan mengirim sample darah untuk pemeriksaan

AGD setelah 1 jam NRM, elektrolit o Ganti NRM dengan binasal o Mengambil dan mengirim sample darah untuk pemeriksaan

AGD 30 menit setelah ekstubasi o Aff NGT setelah 2 – 3 jam Extubasi o Th/O2: Non Rebreathing Mask (setelah ekstubasi) o Mandikan pasien bila suhu pasien sudah normal dan

hemodinamik stabil

Pemeriksaan Penunjang

o Roentgen thorax o DPL o Periksa AGD dan elektrolit setiap 4 jam atau satu jam

setelah ada perubahan setting ventilator/status ventilasi

Aktivitas o Terapi fisik dada

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 44: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

31

Universitas Indonesia

Nutrisi o Puasa sampai 3 jam setelah ekstubasi

Obat-

obatan

IV DRIP o Inotropik o Vasodilator o KCL drip o Analgetik o IVFD BOLUS o Antibiotik o Diuretik o Antiulcer/antacid o Sedative o Ca Gluconas INHALASI/4jam

Dosis

: Dopamin............... ............................. : NTG...................... ............................. : ............................. ............................. : Morfin................... ............................. : RL......................... ............................. : Ceftriaxone........... ............................. : Furosemide.......... ............................. : Ranitidine............. ............................. : Fentanyl............... ............................. : ............................. ............................. : ........................... .............................

Pendidikan

o Jelaskan kepada keluarga dan pasien (jika memungkinkan) tentang hasil operasi dan kondisi pasien setelah operasi (oleh dokter bedah)

o Jelaskan hasil yang diharapkan dalam perawatan setelah operasi (oleh dokter bedah)

o Jelaskan tentang peraturan di ruang ICU kepada keluarga dan pasien (jika memungkinkan)

OUTCOME o Tidak ada perdarahan dan aritmia o Hemodinamik stabil/ optimal o Status oksigenasi baik o Kesadaran compos mentis

Perawat Pagi: Sore: Malam:

Dokter Jaga Pagi: Sore: Malam:

POD I (ICU)

Tanggal:

Implementasi Waktu

P S M

Tindakan o Observasi Hemodinamik dan intake output/ jam o Mengambil dan mengirim sample darah untuk pemeriksaan

AGD, elektrolit DPL dan GDS o Visite dokter bedah, anestesi dan kardiologi (catat di lembar

catatan medis) o Berikan analgetik 15 – 30 menit sebelum aff drain dan stop

setelah aff drain o Latihan napas dalam sebelum aff drain o Aff drain dada o Auskultasi suara nafas pasien setelah aff drain, bandingkan

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 45: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

32

Universitas Indonesia

suara paru kiri dan kanan o Evaluasi hasil foto roentgen thorax oleh dokter bedah dan

anestesi o Pertahankan CVP line o Aff IV line perifer dan arteri line o Bladder training sebelum aff kateter urine pada pasien usia >

40 thn o Aff Kateter Urine o Th/O2 binasal o Pasien Pindah Ke ruang rawat

Pemeriksaan Penunjang

o Roentgen thorax setelah cabut drain dada o DPL o AGD dan Elektrolit o EKG

Aktivitas o Latihan ROM aktif dengan bantuan o Terapi fisik dada o Duduk di kursi o Latihan spirometri

Nutrisi o Makanan: Lunak

Obat-obatan

o Antibiotik dilanjutkan o Stop Inotropik, vasodilator o Analgetik ganti oral: Paracetamol o Start obat – obatan oral

o Diuretik: Furosemide o KSR/ spironolactone o Antikoagulan: Aspirin

Outcome o Pasien pindah ke IW dengan hemodinamik stabil

Perawat Pagi: Sore: Malam:

Dokter Jaga Pagi: Sore: Malam:

Di dalam Clinical Pathway tersebut terdapat beberapa aktivitas kerja yang

dilakukan secara rutin yang dilakukan dalam setiap jam dan bahkan frekuensinya

dapat lebih sering lagi dilakukan apabila dibutuhkan, contohnya saat melakukan

observasi haemodinamik setiap 15 menit atau 30 menit untuk pasien dengan

hemodinamik tidak stabil. Diantara sekian banyak aktivitas perawat di ICU,

terdapat beberapa aktivitas yang memiliki risiko lebih tinggi terhadap terjadinya

gangguan muskukoskeletal seperti pendokumentasian hasil pemantauan

hemodinamik (haemodinamik monitoring), pemantauan pengeluaran urin (urine

output monitoring), ETT suctioning, pemasangan sirkuit ventilator, resusitasi

(CPR), memandikan pasien, mengangkat /memindahkan pasien, Cuci tangan

( hand washing),dll.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 46: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

33

Universitas Indonesia

Di bawah ini beberapa contoh dari aktivitas kerja perawat ICU yang mempunyai

risiko terjadinya gangguan muskuloskeletal yang dihubungkan dengan postur

tubuh.

Tabel.2.7.2

Contoh Daftar Aktivitas Perawat ICU No Nama

Aktifitas Frekuensi

Pelaksanaan Aktivitas berulang

Postur kerja statis

Postur janggal

Keterangan

1 Pencatatan hasil pemantauan Hemodinamik

1. Setiap satu jam sekali untuk hemodinamik stabil

2. Setiap 15 mnt - 30 mnt untuk hemodinamik tidak stabil

( √ ) ( √ ) ( √ ) Postur tubuh saat melakukan monitoring haemodinamik banyak dilakukan dengan cara berdiri dengan sedikit membungkuk ke depan (Menulis menggunakan meja observasi)

2 Monitoring Urine output

Setiap satu jam sekali

( √ ) ( √ ) ( √ ) Posisi perawat saat monitoring urine output lebih banyak membungkuk

3 Suctioning

1. Sesuai kebutuhan

2. Frekuensi tindakan dapat bertambah sesuai kondisi pasien cth. Hypersekresi

( √ ) ( √ ) ( √ ) Posisi perawat saat suctioning dengan cara berdiri dengan sedikit membungkuk ke depan khususnya saat melakukan suctioning pada pasien anak-anak

4 Hand Washing (Cuci tangan)

Frekuensi cuci tangan sangat tinggi karena perawat melakukan cuci tangan di wastafel saat akan dan setelah melakukan tindakan ke pasien , terkena cairan dari pasien serta setelah dari lingkungan pasien

( √ ) ( √ ) ( √ ) Posisi perawat saat mencuci tangan banyak dilakukan dengan posisi sedikit membungkuk ke depan

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 47: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

34 Universitas Indonesia

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Prinsip ergonomi merupakan hal penting yang harus dipahami oleh

pekerja selama melakukan aktivitas pekerjaannya. Pemahaman pekerja

mengenai ergonomi fisik diharapkan dapat mengurangi risiko terjadinya masalah

pada muskuloskeletal seperti leher, punggung, lengan, kaki dan pergelangan

tangan. Masalah pada muskuloskeletal terjadi sebagai akibat dari peregangan otot

yang berlebihan, aktivitas yang dilakukan berulang-ulang serta akibat dari sikap

kerja yang tidak alamiah pada bagian leher, punggung, kaki, lengan atas, lengan

bawah, dan pergelangan tangan. Postur aktivitas kerja diidentifikasi lalu dianalisa

dan diberi skor/nilai dengan menggunakan metode REBA sehingga dapat

ditentukan tingkat risiko terjadinya Musculoskeletal Disorders (MSDs). Secara

singkat bisa digambarkan dalam suatu skema seperti dibawah ini.

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Tingkat risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs), dengan penilaian metode REBA : 1. Postur tubuh :

- Postur leher - Postur punggung - Postur kaki - Postur lengan atas - Postur lengan bawah - Postur pergelangan

tangan 2. Beban / Berat Objek 3. Frekuensi 4. Durasi 5. Coupling (Pegangan)

Faktor risiko terjadinya Musculoskeletal Disorders (MSDs) : 1. Peregangan otot yang berlebihan 2. Aktivitas berulang 3. Sikap / postur kerja tidak alamiah

Keterangan :

Kotak dengan garis penuh merupakan variabel yang akan diteliti

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 48: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

35

Universitas Indonesia

3.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran Hasil Ukur Skala

1 Postur Kerja /

Sikap kerja

Postur / Sikap kerja yang

mempunyai risiko saat melakukan

pekerjaan yang menyebabkan

posisi bagian-bagian tubuh

bergerak menjauhi posisi alamiah

Form /

Lembar isian

REBA,

Kamera, busur

penggaris

1. Observasi

2. Pemotretan

3. Pengukuran sudut

tubuh dengan

busur penggaris

pada aktivitas kerja

yang diteliti

1. Level 0 (Tidak berarti ) :

Tidak dibutuhkan tindakan segera

2. Level 1 (Risiko rendah) :

Mungkin dibutuhkan tindakan segera

3. Kategori 2 (Risiko sedang) :

Dibutuhkan tindakan

4. Kategori 3 (Risiko tinggi) :

Dibutuhkan tindakan perbaikan

segera

5. Kategori 4 (Risiko sangat tinggi) :

Dibutuhkan tindakan perbaikan

mendesak untuk dilaksanakan

secepatnya

Ordinal

a. Postur Leher

Postur / Posisi leher ketika

melakukan aktivitas kerja

Form / Lembar

isian REBA,

Kamera, busur

penggaris

1. Observasi

2. Pemotretan

3. Pengukuran sudut

tubuh dengan

busur penggaris

pada aktivitas kerja

yang diteliti

Penilaian :

Flexion 00-200 = 1

Flexion > 200 =2

Extension > 200 = 2

Tambahkan :

+1 jika twisted

+1 jika tilted side

Nominal

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 49: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

36

Universitas Indonesia

b. Postur Punggung

Postur / Posisi punggung ketika

melakukan aktivitas kerja seperti

tegak lurus, ekstensi dan

membungkuk

Form / Lembar

isian REBA,

Kamera, busur

penggaris

1. Observasi

2. Pemotretan

3. Pengukuran sudut

tubuh dengan

busur penggaris

pada aktivitas kerja

yang diteliti

Penilaian :

Tegak lurus 00 =1

Flexion 00-200 =2

Extension 00-200 =2

Flexion 200-600 =3

Extension >200=3

Flexion > 600 = 4

Tambahkan :

+1 jika twisted

+1 jika tilted side

Nominal

c. Postur kaki

Postur / Posisi kaki ketika

melakukan aktivitas kerja

Form / Lembar

isian REBA,

Kamera, busur

penggaris

1. Observasi

2. Pemotretan

3. Pengukuran sudut

tubuh dengan

busur penggaris

pada aktivitas

kerja yang diteliti

Penilaian :

Tegak lurus 00 derajat =1

Berdiri dengan dua kaki, lutut ditekuk

= 2

Berdiri dengan satu kaki, lutut ditekuk

300-60 0 = +1

Berdiri dengan satu kaki, lutut ditekuk >

600 = +1

Nominal

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 50: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

37

Universitas Indonesia

d. Postur Lengan

Atas

Postur / Posisi lengan atas ketika

melakukan aktivitas kerja

Form / Lembar

isian REBA,

Kamera, busur

penggaris

1. Observasi

2. Pemotretan

3. Pengukuran sudut

tubuh dengan

busur penggaris

pada aktivitas kerja

yang diteliti

Penilaian :

1. Lengan 200 ke depan dan ke

belakang = +1

2. Lengan >200 ke belakang= +2

3. Lengan 200-450 ke depan = +2

4. Lengan 450- 90 0ke depan = +3

5. Lengan ke depan dan ke atas >

900 = +4

Nominal

e. Postur Lengan

bawah

Postur / Posisi lengan bawah

ketika melakukan aktivitas kerja

Form / Lembar

isian REBA,

Kamera, busur

penggaris

1. Observasi

2. Pemotretan

3. Pengukuran sudut

tubuh dengan

busur penggaris

pada aktivitas kerja

yang diteliti

Penilaian :

1. Lengan bawah bergerak dari derajat

60 s/d derajat ke 100 = 1

2. Lengan bawah bergerak dari 0

derajat s/d 100 derajat = 2

Nominal

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 51: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

38

Universitas Indonesia

f. Postur

pergelangan

tangan

Postur / Posisi pergelangan tangan

ketika melakukan aktivitas kerja :

Form / Lembar

isian REBA,

Kamera, busur

penggaris

1. Observasi

2. Pemotretan

3. Pengukuran sudut

tubuh dengan

busur penggaris

pada aktivitas kerja

yang diteliti

1. Pergelangan tangan bergerak 150

derajat ke atas dan ke bawah = +1

2. Pergelangan tangan bergerak > 150

derajat ke atas dan kebawah = +2

Nominal

g. Beban Berat benda atau pasien pada saat

manual handling

Form / Lembar

isian REBA,

Kamera, busur

penggaris

1. Observasi

2. Pemotretan

Penilaian :

Berat < 5 Kg = 0

Berat 5 Kg-10 Kg = + 1

Berat > 10 Kg = + 2

Nominal

h. Durasi Lamanya posisi / postur tubuh

dalam kondisi statis saat

melakukan aktivitas

Stopwatch Observasi dan

menghitung

Jika salah satu atau > 1 anggota tubuh

dalam kondisi statis > 1 menit = +1

Nominal

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 52: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

39

Universitas Indonesia

i. Frekuensi Jumlah pengulangan postur Kamera, Form

REBA

Observasi dengan

menghitung

Jika melakukan gerakan berulang > 4

x/menit = +1

Nominal

j. Coupling /

Genggaman

tangan

Cara tangan menggenggam

objek

Kamera, Form

REBA

Observasi Good (Jika genggaman baik) = 0

Fair (Jika genggaman cukup) = +1

Poor (Jika genggaman buruk) = +2

Unacceptable (Jika tidak ada

genggaman) = +3

Nominal

2 Pendokumentasian

hasil pemantauan

haemodinamik

Postur tubuh saat melakukan

pencatatan hasil pemantauan

haemodinamik pada lembar

observasi ICU

Form / Lembar

isian REBA,

Kamera, busur

penggaris

1. Observasi

2. Pemotretan

3. Pengukuran sudut

tubuh dengan

busur penggaris

pada aktivitas

kerja yang diteliti

1. Level 0 (Tidak berarti ) :

Tidak dibutuhkan tindakan segera

2. Level 1 (Risiko rendah) :

Mungkin dibutuhkan tindakan segera

3. Kategori 2 (Risiko sedang) :

Dibutuhkan tindakan

4. Kategori 3 (Risiko tinggi) :

Dibutuhkan tindakan perbaikan

segera

5. Kategori 4 (Risiko sangat tinggi) :

Dibutuhkan tindakan perbaikan

mendesak untuk dilaksanakan

secepatnya

Nominal

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 53: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

40

Universitas Indonesia

3 Pemantauan

Urine Output

Postur tubuh saat melakukan

pemantauan Urine Output yang

dilakukan setiap jam

Form / Lembar

isian REBA,

Kamera, busur

penggaris

1. Observasi

2. Pemotretan

3. Pengukuran sudut

tubuh dengan

busur penggaris

pada aktivitas

kerja yang diteliti

1. Level 0 (Tidak berarti ) :

Tidak dibutuhkan tindakan segera

2. Level 1 (Risiko rendah) :

Mungkin dibutuhkan tindakan segera

3. Kategori 2 (Risiko sedang) :

Dibutuhkan tindakan

4. Kategori 3 (Risiko tinggi) :

Dibutuhkan tindakan perbaikan

segera

5. Kategori 4 (Risiko sangat tinggi) :

Dibutuhkan tindakan perbaikan

mendesak untuk dilaksanakan

secepatnya

Nominal

4 Suctioning Postur tubuh saat melakukan

suctioning

Form / Lembar

isian REBA,

Kamera, busur

penggaris

1. Observasi

2. Pemotretan

3. Pengukuran sudut

tubuh dengan

busur penggaris

pada aktivitas

kerja yang diteliti

1. Level 0 (Tidak berarti ) :

Tidak dibutuhkan tindakan segera

2. Level 1 (Risiko rendah) :

Mungkin dibutuhkan tindakan segera

3. Kategori 2 (Risiko sedang) :

Dibutuhkan tindakan

4. Kategori 3 (Risiko tinggi) :

Dibutuhkan tindakan perbaikan

segera

Nominal

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 54: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

41

Universitas Indonesia

5. Kategori 4 (Risiko sangat tinggi) :

Dibutuhkan tindakan perbaikan

mendesak untuk dilaksanakan

secepatnya

5 Hand Washing

(Mencuci tangan )

Postur tubuh saat melakukan hand

washing (Mencuci tangan)

Form / Lembar

isian REBA,

Kamera, busur

penggaris

1. Observasi

2. Pemotretan

3. Pengukuran sudut

tubuh dengan

busur penggaris

pada aktivitas kerja

yang diteliti

1. Level 0 (Tidak berarti ) :

Tidak dibutuhkan tindakan segera

2. Level 1 (Risiko rendah) :

Mungkin dibutuhkan tindakan segera

3. Kategori 2 (Risiko sedang) :

Dibutuhkan tindakan

4. Kategori 3 (Risiko tinggi) :

Dibutuhkan tindakan perbaikan

segera

5. Kategori 4 (Risiko sangat tinggi) :

Dibutuhkan tindakan perbaikan

mendesak untuk dilaksanakan

secepatnya

Nominal

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 55: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

42 Universitas Indonesia

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

Setelah merumuskan tujuan, hipotesis penelitian, teori yang terkait dan kerangka

konsep penelitian, maka selanjutnya adalah membuat rancangan pelaksanaan

penelitian dengan menguraikan metodologi penelitian yang meliputi ; Desain

penelitian, populasi dan sampel penelitian, waktu dan tempat penelitian,

pengumpulan data, instrumen penelitian, pengolahan data dan analisis data.

4.1 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional karena mengkaji masalah

atau keadaan pada saat penelitian berlangsung menurut keadaan objek yang aktual

pada saat observasi. Menurut jenisnya maka penelitian ini adalah penelitian deskriptif

analitik. Data dikumpulkan kemudian di analisa lebih dalam secara analitik. Proses

pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara kuantitatif yaitu dengan

mengolah data yang berbentuk angka sebagai hasil dari observasi

4.2 Waktu dan Tempat pelaksanaan

Tempat pelaksanaan penelitian ini dilakukan di ruang ICU PJT RSCM Jakarta pada

bulan Mei 2011

4.3 Populasi dan Sample

4.3.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan elemen penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo,2002). Populasi dari penelitian ini adalah perawat di ruang ICU PJT

RSCM. Jumlah total perawat ICU PJT RSCM adalah 32 orang, namun dikarenakan

peneliti bagian dari populasi maka peneliti tidak menjadi elemen di dalam populasi

penelitian ini. Di dalam populasi penelitian juga terdapat 3 perawat yang sedang

hamil tua sehingga peneliti memutuskan perawat tersebut tidak diikutsertakan dalam

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 56: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

43

Universitas Indonesia

penelitian ini agar tidak menggangu interpretasi data. (Sastroasmoro,2002). Oleh

karena itu pada penelitian ini peneliti membuat kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

a. Kriteria inklusi :

Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili dalam

sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Notoatmodjo, 2002)

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

1) Perawat ICU PJT yang telah bersedia menjadi responden

2) Perawat ICU PJT yang hadir pada saat penelitian

3) Perawat sedang melakukan empat aktivitas kerja yang telah ditentukan

sebelumnya

b. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat

digunakan sebagai penelitian (Notoatmodjo,2002).

Kriteria eksklusi penelitian ini adalah :

1) Perawat ICU PJT yang sedang hamil

2) Perawat ICU PJT yang telah memiliki riwayat gangguan musculoskeletal

disorders sebelumnya

3) Perawat dengan sengaja mengatur postur tubuhnya dengan postur yang benar

karena mengetahui akan dilakukan pemotretan

Berdasarkan pertimbangan diatas, populasi perawat ICU PJT yang telah diteliti

adalah sebanyak 28 orang.

4.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo,2002). Besar sampel yang diambil

ditentukan dengan menggunakan rumus sederhana untuk populasi kecil atau kurang

dari 10.000 (Sloven), yaitu :

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 57: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

44

Universitas Indonesia

n = N

= 28

1 + 28 (0.052) 1 + N (d2)

=

28

1 + 28 (0.0025)

Dimana :

n = Jumlah sampel

N = Besar sampel

d = Tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan 0.001

Berdasarkan perhitungan rumus diatas maka jumlah sampel adalah sebesar 26.16 atau

dibulatkan menjadi 26 responden. Peneliti menambahkan sample sebesar 10 % untuk

drop out sample, sehingga sampel penelitian menjadi 28 sampel. Jumlah tersebut

sama dengan jumlah sampel pada populasi.

4.4 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan selama 1 minggu. Sumber data yang diambil adalah

dengan menggunakan data primer dimana data diambil dengan cara melakukan

observasi pada perawat ICU PJT yang sedang melakukan empat aktivitas kerja yang

telah ditentukan oleh peneliti yaitu aktivitas pencatatan hasil pemantauan

hemodinamik monitoring, pemantauan pengeluaran urin (urine output monitoring),

ETT suctioning dan cuci tangan (hand washing).

Observasi dilakukan dengan menggunakan metode REBA untuk menganalisis postur

kerja, frekuensi aktivitas dan beban kerja. Untuk observasi dengan metode REBA

dilakukan dengan mengambil gambar / foto aktivitas postur kerja yang tidak alamiah

atau postur janggal. Adapun pengumpulan data sesuai dengan data-data yang ada di

dalam formulir metode REBA, yaitu dengan cara :

a Observasi langsung di lapangan, dimana peneliti melihat, mengamati dan

mendokumentasikan 4 aktivitas kerja perawat. Observasi ini dilakukan selama 1

minggu.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 58: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

45

Universitas Indonesia

b Melakukan penilaian berdasarkan empat aktivitas kerja yang telah ditentukan

c Menentukan tingkat risiko dengan menggunakan tabel REBA Decision

berdasarkan skor akhir REBA

d Menentukan tindakan yang diambil menurut metode REBA dengan melihat

action level berdasarkan tingkat risiko yang ada

4.5 Prosedur pengumpulan data

Pengumpulan data adalah suatu upaya mencari informasi dari subjek penelitian atau

responden dengan alat pengumpulan adata yang telah dipersiapkan terlebih dahulu

guna mencapai tujuan (Budiharto,2006). Proses pengumpulan data yang dilakukan

oleh peneliti adalah sebagai berikut :

a. Meminta persetujuan melaksanakan penelitian dari pihak FIK UI

b. Meminta persetujuan melaksanakan penelitian dari pihak FIK UI

c. Menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian

d. Memberikan informed concent sebagai bukti persetujuan dari responden

e. Melakukan penelitian dengan mengambil gambar / foto perawat ICU PJT sedang

melakukan empat aktivitas yang telah ditentukan.

f. Mengumpulkan gambar / foto yang telah diambil saat proses penelitian

g. Memberikan garis-garis untuk mendapatkan sudut postur janggal sesuai dengan

ketentuan metode penilaian REBA.

h. Melakukan penilaian terhadap empat aktivitas kerja sesuai dengan metode

penilaian REBA

i. Menentukan tingkat risiko dengan menggunakan tabel REBA Decision

berdasarkan skor akhir REBA

j. Menentukan rekomendasi tindakan yang diambil menurut metode REBA dengan

melihat action level berdasarkan tingkat risiko yang ada

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 59: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

46

Universitas Indonesia

4.6 Instrumen Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan instrument sebagai berikut :

4.6.1 Kamera digital, digunakan untuk mengambil gambar / foto aktivitas perawat

yang akan dinilai

4.6.2 Format penilaian REBA, digunakan untuk menilai risiko postur janggal dan

besarnya tingkat risiko yang terjadi

4.6.3 Busur penggaris, digunakan untuk mengukur besarnya derajat postur janggal

sesuai dengan penilaian format REBA, sehingga dapat ditentukan nilai dari

masing-masing postur janggal tersebut

4.7 Manajemen data

4.7.1 Mengkode Data

Pengkodean data merupakan langkah awal dari pengolahan data. Pengkodean

data merupakan proses pemberian kode pada lembar kerja yang digunakan.

4.7.2 Menyunting Data

Merupakan proses pemeriksaan kembali apakah gambar yang didapat sudah

baik dan siap digunakan untuk proses berikutnya. Proses ini dilakukan di

tempat penelitian agar dapat langsung dilakukan pengambilan gambar ulang.

4.7.3 Memasukkan Data

Pada proses ini peneliti memasukkan data pada file data

4.7.4 Membersihkan Data

Pada proses ini peneliti melakukan pembersihan data untuk menghindari

kesalahan yang mungkin terjadi

4.7.5 Pengolahan Data

Proses pengolahan data dengan menggunakan perhitungan yang disesuaikan

dengan kebutuhan penelitian

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 60: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

47

Universitas Indonesia

4.8 Analisis Data

Analisis data merupakan proses lanjutan setelah pengolahan data. Jenis analisis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat. Tingkat analisis univariat

dilakukan terhadap tiap variable dari hasil penelitian. Analisis ini menghasilkan

distribusi dan persentase dari tiap variabel. Variabel yang akan dianalisis pada

penelitian ini adalah variabel postur aktivitas tubuh seperti postur leher, punggung,

kaki, tangan, lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan.

Setelah data diolah, diberi nilai dan dimasukkan ke dalam file, selanjutnya data

tersebut di analisis dengan menggunakan lembar penilain REBA dan perangkat lunak

statistik untuk menghitung hasil pengukuran.

Tabel 4.8 Uji Variable Analisis Univariat

No Variable Jenis Data Analisis

1 Aktivitas pendokumentasian hasil pemantauan hemodinamik

Postur Leher Numerik Score REBA Postur Punggung Numerik Score REBA

Postur Kaki Numerik Score REBA

Postur Tangan Numerik Score REBA

Postur Lengan Atas Numerik Score REBA

Postur Lengan Bawah Numerik Score REBA

Postur Pergelangan Tangan Numerik Score REBA

2 Aktivitas Pemantauan Urine output

Postur Leher Numerik Score REBA

Postur Punggung Numerik Score REBA

Postur Kaki Numerik Score REBA

Postur Tangan Numerik Score REBA

Postur Lengan Atas Numerik Score REBA

Postur Lengan Bawah Numerik Score REBA

Postur Pergelangan Tangan Numerik Score REBA

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 61: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

48

Universitas Indonesia

3 Aktivitas Suctioning

Postur Leher Numerik Score REBA

Postur Punggung Numerik Score REBA

Postur Kaki Numerik Score REBA

Postur Tangan Numerik Score REBA

Postur Lengan Atas Numerik Score REBA

Postur Lengan Bawah Numerik Score REBA

Postur Pergelangan Tangan Numerik Score REBA

4 Aktivitas Hand washing

Postur Leher Numerik Score REBA

Postur Punggung Numerik Score REBA

Postur Kaki Numerik Score REBA

Postur Tangan Numerik Score REBA

Postur Lengan Atas Numerik Score REBA

Postur Lengan Bawah Numerik Score REBA

Postur Pergelangan Tangan Numerik Score REBA

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 62: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

49 Universitas Indonesia

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Mei sampai bulan Juni 2012. Penelitian

ini melibatkan subjek penelitian sebanyak 28 orang perawat (total sampling) di ruang

ICU PJT RSCM. Selama periode pelaksanaan penelitian terdapat beberapa hal yang

menjadi catatan peneliti, seperti kondisi lapangan (tempat penelitian) dan subjek

penelitian itu sendiri.

5.1 Gambaran Kondisi Lapangan

Penelitian ini dilakukan di ruang ICU PJT RSCM pada bulan Mei 2012, yaitu dengan

melakukan observasi langsung terhadap perawat yang sedang melakukan 4 aktivitas

kerja seperti pendokumentasian hasil pemantauan hemodinamik (haemodinamik

monitoring), pemantauan pengeluaran urin (urine output monitoring), ETT suctioning

dan cuci tangan (hand washing).

Saat melakukan proses penelitian didapatkan beberapa kondisi terkait subjek

penelitian, yaitu :

a. Kapasitas tempat tidur yang digunakan di ruang ICU PJT adalah sebanyak

7 tempat tidur dan mempunyai meja observasi serta tempat duduk pada setiap

tempat tidurnya. Saat itu terdapat 2 meja observasi yang rusak dan dalam proses

perbaikan.

b. Saat penelitian berlangsung terdapat 5 tempat tidur menggunakan meja

observasi dan 2 tempat tidur menggunakan meja observasi pengganti

sementara.

c. Meja observasi ICU memiliki permukaan area kerja dengan kemiringan 45° dan

ketinggiannya tidak sejajar dengan siku. Panduan yang dikeluarkan oleh OSHA

mengatakan untuk bekerja dalam posisi berdiri, tinggi permukaan area kerja

harus sejajar dengan siku.

d. Meja observasi pengganti sementara menggunakan meja tindakan.

Area permukaan meja tersebut datar dan dapat diatur ketinggiannya (dinaikkan

atau diturunkan) sesuai dengan kebutuhan, akan tetapi hal tersebut tidak

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 63: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

50

Universitas Indonesia

dilakukan dikarenakan perawat belum mengetahui akan postur ergonomis saat

bekerja.

e. Saat penelitian berlangsung, perawat tidak menggunakan secara optimal kursi

yang telah disediakan. Perawat banyak melakukan aktivitas pendokumentasian

dengan berdiri dan membungkuk, baik dengan meja observasi ICU maupun

dengan meja observasi pengganti.

f. Aktivitas kerja perawat yang dilakukan di ICU bersifat berkelanjutan dan

sebagian besar dilakukan dalam setiap jam seperti observasi haemodinamik dan

observasi urine output, sedangkan aktivitas ETT suctioning bergantung kepada

kondisi pasien.

g. Pemantauan pengeluaran urin (urine output) dilakukan dengan menggunakan

urine meter yang berada di bawah samping tempat tidur

h. Aktivitas pemantauan urine output dilakukan setiap jam dengan cara

menurunkan urin yang ada di selang ke dalam urine meter lalu melihat jumlah

urin yang ada di dalam urine meter sesuai dengan takaran yang sudah ada

i. Cuci tangan dilakukan oleh perawat saat akan dan setelah melakukan tindakan,

terkena cairan pasien, akan dan setelah dari area lingkungan pasien.

j. Belum adanya panduan atau prosedur tetap tentang pengaturan lingkungan

kerja terkait dengan ergonomi tubuh.

k. Perawat ICU belum mengenal dan mengetahui postur tubuh yang ergonomis

saat bekerja

5.2 Hasil Penelitian

Penilaian dilakukan dengan metode REBA untuk meneliti setiap postur tubuh

perawat saat melakukan 4 aktivitas kerja, lalu melakukan analisis untuk menilai risiko

terjadinya gangguan muskuloskeletal.

Hasil penilaian terhadap 4 aktivitas kerja dengan menggunakan metode REBA adalah

sebagai berikut :

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 64: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

51

Universitas Indonesia

Tabel 5.2. Penilaian REBA untuk 4 aktivitas kerja di ICU

No Aktivitas Tingkat (level) Risiko

Rendah Sedang

1 Pemantauan pengeluaran urin

(urine output)

28.57% (8/28) 71.43% (20/28)

2 Pencatatan hasil pemantauan

hemodinamik

46.43 % (13/28) 53.57 % (15/28)

2 ETT suctioning 57.14 % (16/28) 42.86 % (12/28)

4 Cuci Tangan ( Hand Washing) 82.14% (23/28) 17.86% (5/28)

Dari tabel diatas maka jelas bahwa diantara ke-4 aktivitas kerja yang diteliti ternyata

aktivitas pemantauan pengeluaran urin dan aktivitas pencatatan hasil pemantauan

hemodinamik memiliki risiko “sedang”, sedangkan cuci tangan (hand washing) dan

ETT suctioning memiliki risiko rendah terhadap terjadinya Musculoskeletal Disorders

(MSDs).

5.2.1 Penilaian postur kerja pada aktivitas pemantauan pengeluaran urin (urine

output monitoring).

Dari 28 perawat ICU yang melakukan aktifitas kerja pemantauan pengeluaran urin

(urine output monitoring, sebagian besar dilakukan dengan cara jongkok dan

membungkuk. Hasil penilaian REBA untuk aktivitas pemantauan pengeluaran urin

(urine output monitoring) berada pada tingkat risiko sedang dan tinggi, seperti data

pada tabel berikut :

Tabel 5.2.1 Penilaian REBA untuk aktivitas pemantauan pengeluaran urin

(urine output monitoring).

Score REBA Jumlah Perawat Prosentase

1 (Sangat Rendah) 0 0

2-3 (Rendah) 8 28.57% (8/28)

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 65: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

52

Universitas Indonesia

4-7 (Sedang) 20 71.43% ((20/28)

8-10 (Tinggi) 0 0

11-15 (sangat tinggi) 0 0

Total 28 100%

Tabel 5.2.1 menunjukkan bahwa saat melakukan aktivitas pemantauan urin sebanyak

71.43% perawat mempunyai risiko sedang dan 28.57% perawat mempunyai risiko

rendah terjadinya musculoskeletal disorders (MSDs). Tindakan yang

direkomendasikan menurut metode REBA dalam usaha mencegah terjadinya

gangguan muskuloskeletal pada aktivitas ini adalah “dibutuhkan” tindakan perbaikan.

Hasil dari penilaian REBA tersebut didapatkan dari penggabungan penilaian dari

beberapa postur bagian tubuh yaitu batang tubuh (trunk), leher, kaki (legs), lengan

atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Pada aktivitas pemantauan urine output

bagian tubuh yang mendapatkan nilai risiko tertinggi adalah bagian kaki (legs) dan

batang tubuh (trunk).

5.2.2 Penilaian postur kerja aktivitas pendokumentasian hasil pemantauan

hemodinamik (Haemodinamik monitoring)

Perawat ICU yang melakukan aktifitas kerja pendokumentasian hasil pemantauan

hemodinamik sebagian besar dilakukan dengan cara berdiri dan membungkuk. Hasil

penilaian REBA untuk perawat saat melakukan aktivitas pencatatan pemantauan

hemodinamik adalah sebagai berikut ;

Tabel 5.2.2 Penilaian REBA untuk aktivitas pencatatan hasil

Haemodinamik Monitoring.

Score REBA Jumlah Perawat Prosentase

1 (Sangat Rendah) 0 0

2-3 (Rendah) 13 46.43 % (13/28)

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 66: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

53

Universitas Indonesia

4-7 (Sedang) 15 53.57 % (15/28)

8-10 (Tinggi) 0 0

11-15 (sangat tinggi) 0 0

Total 28 100%

Tabel di atas menunjukkan bahwa 53.57 % perawat mempunyai risiko “sedang” dan

46.43% perawat mempunyai risiko “rendah” terjadinya musculoskeletal disorders

(MSDs) saat melakukan pendokumentasian hasil pemantauan hemodinamik.

Tindakan yang direkomendasikan menurut penilaian REBA dalam usaha mencegah

terjadinya MSDs adalah “dibutuhkan” tindakan perbaikan.

5.2.3 Penilaian postur kerja pada aktivitas ETT suctioning

Pada proses aktifitas kerja ETT suctioning sebagian besar dilakukan dengan cara

berdiri dan membungkuk. Hasil penilaian REBA terhadap postur kerja aktivitas ETT

suctioning adalah sebagai berikut :

Tabel 5.2.3 Penilaian REBA untuk aktivitas ETT suctioning

Score REBA Jumlah Perawat Prosentase

1 (Sangat Rendah) 0 0

2-3 (Rendah) 16 57.14 % (16/28)

4-7 (Sedang) 12 42.86 % (12/28)

8-10 (Tinggi) 0 0

11-15 (sangat tinggi) 0 0

Total 28 100%

Tabel diatas menunjukkan bahwa saat perawat melakukan aktivitas ETT suctioning

sebanyak 42.86% mempunyai risiko sedang dan sebanyak 57.14% perawat

mempunyai risiko rendah terjadinya musculoskeletal disorders (MSDs). Tindakan

perbaikan yang direkomendasikan dalam usaha mencegah terjadinya gangguan

muskuloskeletal menurut penilaian REBA adalah “mungkin dibutuhkan tindakan”.

Namun apabila dilihat dari prosentase yang ada, jumlah perawat dengan risiko rendah

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 67: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

54

Universitas Indonesia

tidak terlalu jauh nilainya dengan perawat yang mempunyai risiko sedang, artinya

aktivitas ETT suctioning pada perawat ICU dapat dikatakan mempunyai risiko sedang

terjadinya gangguan muskuloskeletal.

Pada aktivitas ETT suctioning, bagian tubuh yang mendapatkan nilai risiko tertinggi

terjadinya MSDs sesuai dengan penilaian REBA adalah bagian batang tubuh (trunk).

5.2.4 Penilaian postur kerja pada aktivitas cuci tangan (Hand washing).

Dari 28 perawat ICU yang melakukan aktifitas cuci tangan (hand washing) sebagian

besar dilakukan dengan cara berdiri dan membungkuk. Hasil penilaian REBA

terhadap perawat saat melakukan aktivitas pencatatan cuci tangan (handwashing)

adalah sebagai berikut :

Tabel 5.2.4 Penilaian REBA untuk aktivitas cuci tangan (Hand washing).

Score REBA Jumlah Perawat Prosentase

1 (Sangat Rendah) 0 0

2-3 (Rendah) 23 82.14% (23/28)

4-7 (Sedang) 5 17.86% (5/28)

8-10 (Tinggi) 0 0

11-15 (sangat tinggi) 0 0

Total 28 100%

Tabel diatas menjelaskan bahwa, 82.14% perawat mempunyai risiko rendah dan

17.86% perawat ICU mempunyai risiko sedang terjadinya musculoskeletal disorders

(MSDs) saat melakukan aktivitas cuci tangan (Hand washing). Tindakan perbaikan

yang direkomendasikan metode REBA dalam usaha mencegah terjadinya gangguan

muskuloskeletal adalah “mungkin dibutuhkan tindakan”.

Postur tubuh yang mendapatkan nilai risiko tertinggi terjadinya gangguan

muskuloskeletal saat melakukan aktivitas cuci tangan adalah bagian batang tubuh

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 68: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

55

Universitas Indonesia

(trunk). Hal tersebut menjelaskan bahwa postur tubuh perawat saat melakukan

aktivitas cuci tangan adalah dengan membungkuk.

Dari penjabaran diatas maka secara keseluruhan hasil penilaian postur tubuh perawat

saat melakukan 4 aktifitas kerja dengan menggunakan metode REBA adalah

2 aktivitas berada pada level ‘Sedang” dan 2 aktivitas berada pada level “Rendah”.

Secara umum, pada 4 aktivitas kerja di ICU yang diteliti bagian batang tubuh (Trunk)

merupakan bagian tubuh yang mempunyai risiko tinggi terjadinya gangguan

musculoskeletal disorders (MSDs).

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 69: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

56 Universitas Indonesia

BAB 6

PEMBAHASAN

Sikap kerja tidak alamiah merupakan sikap kerja yang menyebabkan posisi

bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan

tangan mengangkat, punggung terlalu membungkuk kepala terangkat. Semakin

jauh posisi begian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula

risiko terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah terjadi karena

karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan area kerja tidak sesuai dengan

kemampuan dan keterbatasan pekerja.

6.1 Pembahasan hasil penelitian

Penelitian ini membahas mengenai gambaran tingkat risiko terjadinya gangguan

musculoskeletal disorders (MSDs) pada perawat ICU saat melakukan empat

aktivitas kerja di ruang ICU seperti pendokumentasian hasil pemantauan

hemodinamik, pemantauan pengeluaran urin (urine output), ETT suctioning,

cuci tangan (handwashing) dengan menggunakan metode REBA.

6.1.1 Penilaian risiko MSDs pada aktivitas pemantauan pengeluaran urin

(urine output) berdasarkan metode REBA.

Hasil penilaian REBA pada aktivitas pemantauan pengeluaran urin didapatkan

nilai risiko “sedang” sebanyak 71.43% (20/28) dan risiko “rendah” sebanyak

28.57% (8/28). Hasil penilaian tersebut terjadi karena perawat melakukan

aktivitas pemantauan pengeluaran urin (urine output) dengan cara jongkok

sehingga menjadi faktor risiko terjadinya gangguan muskuloskeletal terutama

pada daerah ekstremitas bawah (lutut).

Aktivitas pemantauan pengeluaran urin (urine output) dilakukan oleh perawat

setiap satu jam sekali dengan cara jongkok atau membungkuk dikarenakan posisi

urine bag berada di bawah samping tempat tidur. Aktivitas ini dilakukan berulang

sehingga menyebabkan otot-otot kaki khususnya otot lutut akan mengalami

kontraksi dan pembebanan yang sangat berat dari berat tubuh saat perawat berdiri

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 70: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

57

Universitas Indonesia

dari jongkok, hal ini dapat menyebabkan rasa yang tidak nyaman pada daerah

lutut.

Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan

akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang

panjang. Kontraksi otot yang berlebihan mengakibatkan peredaran darah ke otot

berkurang sehingga suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolism

karbohidrat terhambat dan akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang

menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993.

Dikutip dari buku Tarwaka, Bakri, Sudiajeng, 2004).

OSHA, 2010, menjelaskan bahwa pekerjaan dengan posisi membungkuk, berlutut

atau jongkok mempunyai risiko cedera terhadap sistem muskuloskeletal. Berlutut

dan jongkok menyebabkan Overstretches ligamen lutut dan dapat menyebabkan

iritasi, peradangan, dan rasa sakit. Kelelahan seperti tendonitis atau radang tendon

sering terjadi akibat dari penggunaan yang berlebihan, kelelahan dari lutut serta

dapat menyebabkan robekan dan rasa sakit.

Tindakan yang direkomendasikan menurut metode REBA dalam usaha mencegah

terjadinya gangguan muskuloskeletal pada aktivitas ini adalah “dibutuhkan”

tindakan perbaikan. Tindakan yang dapat dilakukan salah satunya adalah

memberikan informasi dan pengetahuan kepada perawat mengenai postur

ergonomis tubuh saat melakukan pemantauan pengeluaran urin. Saat melakukan

aktivitas ini perawat sebaiknya melakukan pemantauan dengan cara berdiri karena

jumlah urin yang ada di dalam urine meter dapat terlihat dengan jelas dalam

jarak 1 meter. Namun apabila perawat tetap melakukannya dalam posisi jongkok

maka disarankan berjongkok tidak dengan kedua lutut ditekuk mendekati dada

atau kedua telapak kaki pada lantai, tapi bertekuk dengan satu kaki dan kaki yang

lainnya jingjit yang berfungsi sebagai pendorong saat berdiri agar beban pada

lutut tidak terlalu berat.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 71: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

58

Universitas Indonesia

6.1.2 Penilaian risiko MSDs pada aktivitas Pendokumentasian hasil pemantauan

hemodinamik berdasarkan metode REBA.

Hasil penilaian REBA pada aktivitas Pencatatan hasil pemantauan hemodinamik

didapatkan nilai risiko “sedang” sebanyak 53.57% (15/28) dan risiko “rendah”

sebanyak 46.43% (13/28). Hasil penelitian tentang monitoring hemodinamik

menunjukkan bahwa sebagian besar aktivitas yang dilakukan oleh perawat saat

melakukan aktivitas ini yaitu dengan posisi tubuh berdiri dan membungkuk baik

dengan satu maupun dengan dua kaki. Ukuran tubuh seperti berat badan, tinggi

badan dan masa tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan teradinya

keluhan otot skeletal. Pada tubuh yang tinggi umumnya sering menderita sakit

punggung dan umumnya memiliki bentuk tulang yang langsing sehingga secara

biomekanik rentan terhadap beban tekan dan rentan terhadap tekukan, sehingga

mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya keluhan otot skeletal.

Postur tubuh perawat saat melakukan aktivitas pendokumentasian monitoring

haemodinamik tidak dilakukan dengan postur yang ergonomis. bagian tubuh yang

mendapatkan nilai risiko tertinggi adalah bagian batang tubuh (trunk). Kondisi ini

terjadi dikarenakan oleh faktor meja observasi yang tinggi dan chart observasi

yang lebar sehingga mengharuskan perawat berdiri dan membungkuk ketika

mencatat hasil pemantauan hemodinamik. Tindakan yang dibutuhkan dalam usaha

pencegahan MSDs adalah dengan melakukan perubahan lingkungan kerja dalam

hal ini meja observasi serta melakukan pendidikan atau pelatihan mengenai postur

ergonomis saat bekerja.

Aktivitas postur tubuh perawat saat melakukan aktivitas pendokumentasian hasil

pemantauan hemodinamik tidak dalam postur tubuh yang ergonomis. Akitivitas

yang dilakukan perawat memiliki risiko “sedang” terjadinya MSDs karena kondisi

meja observasi yang sangat tinggi jika dilakukan dengan posisi duduk. Postur

meja yang tinggi menyebabkan perawat ICU lebih memilih untuk melakukan

aktivitas tersebut dengan posisi berdiri daripada posisi duduk.

Hasil penelitian diatas sesuai dengan pedoman Internasional Labour Organization

(ILO) yang menyebutkan bahwa posisi kerja dengan duduk mempunyai

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 72: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

59

Universitas Indonesia

persyaratan yang harus dipenuhi untuk mencegah ketidaknyamanan saat bekerja.

Menurut ILO,2010, pekerjaan yang tidak memerlukan banyak kekuatan fisik

dapat dilakukan di dalam ruang terbatas dan pekerjaan tersebut dapat dilakukan

dalam posisi duduk. Meja dan kursi harus dirancang sesuai dengan kebutuhan

sehingga permukaan meja berada pada posisi sejajar dengan siku. Artikel cermin

dunia kedoteran (CDK,2002) menjelaskan bahwa pada posisi berdiri dengan

pekerjaan ringan, tinggi optimum area kerja adalah 5-10 cm dibawah siku.

Tindakan yang direkomendasikan menurut penilaian REBA dalam usaha

mencegah terjadinya MSDs adalah “dibutuhkan” tindakan perbaikan. Tindakan

yang dibutuhkan dalam usaha pencegahan MSDs adalah dengan melakukan

perubahan lingkungan kerja dalam hal ini meja observasi serta melakukan

pendidikan atau pelatihan mengenai postur ergonomis saat bekerja khususnya

bekerja dengan posisi berdiri.

OSHA,2010 menjelaskan bahwa area kerja untuk posisi berdiri harus memiliki

tinggi optimum 5-10 cm dibawah siku. Agar tinggi optimum ini dapat diterapkan,

maka perlu diukur tinggi rata-rata siku perawat yang ada di ruang ICU.

Tinggi siku pada laki-laki misalnya 100 cm dan pada wanita misalnya 95 cm,

maka tinggi meja kerja bagi laki-laki adalah antara 90-95 cm dan bagi wanita

adalah antara 85-90 cm. Selain itu saat bekerja dengan posisi berdiri tulang

punggung harus lurus dan beban berat badan terbagi rata pada kedua kaki (tidak

berdiri dengan satu kaki).

6.1.3 Penilaian risiko MSDs pada aktivitas Cuci Tangan (Hand Washing)

berdasarkan metode REBA.

Hasil penilaian REBA pada aktivitas cuci tangan (Hand Washing) risiko “sedang”

sebanyak 17.86% (5/28) dan risiko “rendah” sebanyak 82.14% (23/28). Hasil

penelitian tentang aktivitas cuci tangan (hand washing) menunjukkan bahwa

sebagian besar aktivitas yang dilakukan oleh perawat saat melakukan aktivitas ini

dengan posisi tubuh berdiri dan membungkuk baik pada batang tubuh maupun

dengan leher yang menekuk (fleksi). Tindakan perbaikan yang direkomendasikan

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 73: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

60

Universitas Indonesia

metode REBA dalam usaha mencegah terjadinya gangguan muskuloskeletal

adalah “mungkin dibutuhkan tindakan”.

Akitivitas cuci tangan (hand washing) yang dilakukan perawat memiliki risiko

“rendah” karena postur tubuh perawat saat melakukan aktivitas ini banyak

dilakukan dengan posisi tubuh yang ergonomis yaitu dengan berdiri tegak dengan

menggunakan 2 kaki. Terdapat sedikit perubahan ergonomis pada postur leher

dimana saat melakukan aktivitas cuci tangan postur leher perawat ICU sedikit

membungkuk atau fleksi. Posisi atau letak wastafel di ruangan ICU berada pada

ketinggian 1 meter di atas permukaan lantai, dimana ketinggian ini merupakan

ketinggian rata-rata yang dapat diterima oleh sebagian besar petugas kesehatan

di ICU khususnya perawat.

Aktivitas cuci tangan biasanya dilakukan dalam posisi berdiri. Ketinggian

wastafel disesuaikan dengan rata-rata tinggi orang di Indonesia dan sudah

ditetapkan oleh Depkes yaitu ketinggian wastafel berkisar 80 cm – 100 cm dari

lantai. Risiko terjadinya gangguan muskuloskeletal saat melakukan aktivitas cuci

tangan dapat terjadi apabila postur tubuh membungkuk, wastafel terlalu rendah

atau terlalu tinggi. Hal yang paling mudah untuk menciptakan postur tubuh yang

ergonomis adalah dengan memberikan informasi dan edukasi kepada perawat

tentang cara berdiri yang benar saat melakukan aktivitas cuci tangan

(hand washing). Sedangkan untuk melakukan perubahan lingkungan kerja agak

sulit dilakukan karena wastafel sudah dipasangkan permanen pada dinding.

Internasional Labour Organization (ILO,2010) mempunyai pedoman yang

menyebutkan bahwa posisi kerja dengan posisi berdiri mempunyai persyaratan

yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan muskuloskeletal diantaranya

menyediakan tempat atau memfasilitasi pekerja yang paling tinggi sehingga

pekerja tersebut tidak perlu membungkuk, hindari menempatkan benda di atas

ketinggian bahu, tempatkan sesuatu yang sering digunakan yang dapat dijangkau

oleh lengan. Tinggi permukaan kerja disesesuaikan dengan tinggi siku untuk

tugas-tugas pekerjaan yang paling sering dilakukan.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 74: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

61

Universitas Indonesia

6.1.4 Penilaian risiko MSDs pada aktivitas ETT suctioning berdasarkan metode

REBA.

Hasil penilaian REBA pada aktivitas ETT suctioning risiko “sedang” sebanyak

42.86% (12/28) dan risiko “rendah” sebanyak 57.14% (16/28). Hasil penilaian

REBA mengenai aktivitas ETT suctioning menunjukkan bahwa sebagian besar

aktivitas yang dilakukan oleh perawat saat melakukan aktivitas ini dilakukan

dengan posisi tubuh berdiri dengan satu atau dua kaki, membungkuk dan dengan

leher yang menekuk (leher fleksi).

Akitivitas ETT suctioning yang dilakukan perawat memiliki risiko “rendah”

karena postur tubuh perawat saat melakukan aktivitas ini banyak dilakukan

dengan posisi tubuh dengan berdiri tegak dengan menggunakan 2 kaki. Namun

jumlah yang didapatkan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil dengan

risiko rendah tidak berbeda jauh dengan hasil risiko sedang.

Tindakan perbaikan yang direkomendasikan dalam usaha mencegah terjadinya

gangguan muskuloskeletal menurut metode REBA adalah “mungkin dibutuhkan

tindakan”. Artinya tindakan perbaikan / pencegahan tidak menjadi keharusan

untuk dilakukan. Namun apabila dilihat dari prosentase yang ada, jumlah perawat

dengan risiko rendah tidak terlalu jauh nilainya dengan perawat yang mempunyai

risiko sedang, artinya aktivitas ETT suctioning pada perawat ICU dapat dikatakan

mempunyai risiko sedang terjadinya gangguan muskuloskeletal.

Pada aktivitas ETT suctioning, bagian tubuh yang mendapatkan nilai risiko

tertinggi terjadinya MSDs sesuai dengan penilaian REBA adalah bagian batang

tubuh (trunk). Aktivitas ETT suctioning biasanya dilakukan dalam posisi berdiri.

Posisi tidak ergonomis pada aktivitas ini adalah posisi tubuh yang membungkuk

dan leher tertekuk. Hal tersebut dapat terjadi karena ketinggian tempat tidur tidak

datur sesuai dengan tinggi perawat yang sedang bertugas dan juga diakibatkan

oleh posisi pasien yang berada di tengah tempat tidur khususnya pada pasien bayi

dan anak sehingga postur tubuh membungkuk tidak dapat dihindari.

Saat ini belum ada ketentuan khusus yang menerangkan berapa ketinggian dari

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 75: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

62

Universitas Indonesia

tempat tidur yang harus diatur agar perawat dapat melakukan aktivitas ini secara

nyaman.

International labour organization (ILO,2010), menyebutkan bahwa saat bekerja

dengan posisi berdiri harus mempertahankan posisi tegak lurus. Oleh karena itu

tindakan yang dapat dilakukan oleh perawat dalam hal ini adalah dengan

melakukan pengaturan tinggi tempat tidur sehingga posisi siku sejajar dengan area

permukaan tempat kerja dalam hal ini ujung ETT.

6.2 Keterbatasan penelitian

Pada penelitian ini peneliti memiliki keterbatasan-keterbatasan seperti :

a. Aktivitas kerja yang diteliti merupakan aktivitas yang sering dilakukan oleh

perawat ICU dalam setiap shiftnya, namun hal tersebut belum cukup

menggambarkan kondisi aktivitas ICU yang sebenarnya.

b. Aktivitas perawat yang dinilai untuk mengetahui tingkat risiko MSDs hanya

menggunakan satu foto/gambar dan diambil dalam satu waktu, sehingga ada

kemungkinan aktivitas yang dinilai bukan merupakan gambaran postur tubuh

perawat sehari-hari

c. Penelitan ini tidak menilai faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil

penilaian REBA seperti faktor usia, jenis kelamin dan lama bekerja sehingga

diperlukan modifikasi penilaian agar lebih komprehensif.

d. Terbatasnya sumber informasi / literature mengenai postur ergonomis tubuh

perawat terutama saat melakukan aktivitas kerja di ICU

6.3 Implikasi Keperawatan

Penelitian ini dapat memberikan implikasi bagi dunia keperawatan khususnya di

bidang ergonomi tubuh yang dapat digunakan untuk keperluan penelitian

selanjutnya. Implikasi dari penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan

acuan bagi rumah sakit dalam penyusunan prosedur tetap (SOP) mengenai postur

ergonomi tubuh perawat saat bekerja serta digunakan sebagai bahan acuan

pendidikan bagi perawat khususnya perawat di ruang ICU.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 76: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

64 Universitas Indonesia

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penelitian yang dilakukan di ruang ICU PJT RSCM menggunakan desain

penelitian deskriptif observasional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui gambaran tingkat risiko terjadinya gangguan muskuloskeletal pada

perawat ICU saat melakukan 4 aktivitas kerja dengan menggunakan metode

REBA. Hasil penelitian adalah 2 aktivitas mempunyai risiko sedang yaitu

aktivitas kerja pemantauan pengeluaran urin dan aktivitas kerja pendokumentasian

hasil pemantauan monitoring hemodinamik. Dua aktivitas lainnya mempunyai

risiko rendah yaitu aktivitas kerja ETT suctioning dan aktivitas kerja cuci tangan

(handwashing) . Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis univariat

dengan hasil sebagai berikut :

1. Aktivitas kerja pemantauan pengeluaran urin (urine output monitoring) yang

dilakukan oleh perawat ICU berdasarkan penilaian REBA mempunyai tingkat

risiko sedang terjadinya musculoskeletal disorders (MSDs) yaitu sebesar

71.43%. Tindakan perbaikan yang dibutuhkan dalam usaha mencegah

terjadinya gangguan muskuloskeletal adalah “dibutuhkan tindakan”.

2. Aktivitas kerja pendokumentasian hasil pemantauan monitoring

hemodinamik yang dilakukan oleh perawat ICU berdasarkan penilaian REBA

mempunyai tingkat risiko “sedang” yaitu sebesar 53.57% dari populasi

penelitian. Tindakan perbaikan yang direkomendasikan adalah “Dibutuhkan”

dalam usaha mencegah terjadinya gangguan muskuloskeletal.

3. Aktivitas kerja ETT suctioning yang dilakukan oleh perawat ICU berdasarkan

penilaian REBA mempunyai tingkat risiko rendah yaitu sebanyak 57.14%.

Tindakan perbaikan yang dibutuhkan dalam usaha mencegah terjadinya

musculoskeletal disorders (MSDs) adalah “mungkin dibutuhkan tindakan”.

4. Aktivitas kerja cuci tangan (handwashing) yang dilakukan oleh perawat ICU

berdasarkan penilaian REBA mempunyai tingkat risiko rendah terjadinya

musculoskeletal disorders (MSDs) yaitu sebesar 17.86%.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 77: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

63

Universitas Indonesia

Implikasi keperawatan yang dapat dikembangkan agar risiko terjadinya MSDs

dapat dihindari adalah sebagi berikut :

6.3.1 Implikasi bagi pelayanan keperawatan

a. Standar prosedur operasional (SPO) mengenai postur tubuh ergonomis sangat

diperlukan dalam rangka mencegah terjadinya MSDs

b. Lingkungan kerja harus disesuaikan dengan karakteristik aktivitas kerja dan

postur tubuh perawat di ICU.

6.3.2 Implikasi bagi pendidikan

Informasi dan ilmu pengetahuan mengenai ergonomi tubuh saat bekerja sangat

dibutuhkan dalam rangka mencegah risiko terjadinya MSDs. Informasi dan

pengetahuan yang diberikan kepada perawat mempunyai tujuan :

a Perawat memahami pentingnya postur tubuh yang ergonomis saat bekerja

b Perawat dapat menjaga postur tubuh yang ergonomis saat bekerja

c Perawat dapat mengatur lingkungan atau area kerja agar dapat mendukung

postur kerja yang ergonomis, contohnya dengan menaikkan dan menurunkan

tempat tidur dan meja observasi sesuai dengan tinggi tubuh.

6.3.2 Implikasi bagi penelitian

Penelitian dengan menggunakan metode REBA perlu diperluas lagi mengenai

jenis dan populasi penelitian, serta lebih dikembangkan lagi agar aspek-aspek lain

seperti usia, jenis kelamin dan lama bekerja dapat menjadi bagian yang diteliti.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 78: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

65

Universitas Indonesia

Tindakan perbaikan yang dibutuhkan dalam usaha mencegah terjadinya

gangguan muskuloskeletal adalah “mungkin dibutuhkan tindakan”.

B. Saran

Berdasarkan dari hasil penelitian, keterbatasan penelitian dan implikasi

keperawatan, maka saran yang dapat peneliti berikan yaitu :

1. Penyusuan standar prosedur operasional (SPO) mengenai ergonomi tubuh

untuk setiap ruangan khususnya ruang ICU

2. Pendidikan yang diberikan kepada perawat mengenai postur ergonomis dapat

dilakukan dengan mengadakan pelatihan-pelatihan, workshop atau

mengikutsertakan perawat ICU dalam acara-acara seminar mengenai

muskuloskeletal.

3. Menambah jenis aktivitas kerja perawat yang diteliti sehingga dapat

menggambarkan kondisi kerja perawat di ruang ICU secara umum. Jika

memungkinkan seluruh aktivitas perawat di ruang ICU dinilai atau dianalisa

terhadap risiko terjadinya MSDs.

4. Memperluas atau memperbesar sampel dan area penelitian sehingga hasil yang

diperoleh lebih akurat dan menggambarkan kondisi ICU yang sebenarnya

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 79: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

DAFTAR PUSTAKA

Artikel Cermin Dunia Kedokteran.(2002),Jakarta.

Australian Bureau Statistics.(2007). Article : Work Related Injuries. Australia.

Hignett, S.(2009/10). The Health and Safety Executive (HSE) Statistic. Department

of Human Sciences Loughborough University. Leicestershire.

Hignett, S & McAtamney, L. (2000). Technical Note Rapid Entire Body Assesment

(REBA). Elsevier Journal, 201-205. Nottingham, UK.

National Statistic Publication. The Health and Safety Statistic (2009/2010). United

Kingdom

Notoatmojo, Soekidjo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka

Cipta.

Nurmianto, Eko. (1996). Ergonomi: Konsep dasar dan Aplikasinya. Jakarta:

Candimas Metropole.

Occupational Safety and Health Administration (OSHA).(2004. Work Realated

Injuries and Illnesses. U.S.Department Of Labour.

Pusat Kesehatan Kerja Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2010). Ergonomi.

Jakarta.

Riyadina, Suharyanto & Tana (2008). Keluhan Nyeri Muskuloskeletal pada Pekerja

Industri. Jakarta: Artikel Penelitian Majalah Kedokteran Indonesia,

Vol: 58, Nomor 1.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 80: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

Sabri, Luknis & Hastono, S.P.(2006). Statistik Kesehatan. Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada.

Sastroasmoro, Sudigdo & Ismael.(2002). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.

Jakarta : CV Sagung Seto.

Scanlon, Valerie & Saunders, Tina. (2007). Essentials of Anatomy and Physiology,

Fifth Edition. Philadelphia : W.B. Saunders Company.

Swedish Statistic, (2006). Musculoskeletal Ergonomic Statistic. Swedish.

Tarwaka, Bakri, Sudiajeng (2004). Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja

dan Produktivitas. Jakarta : CV Sagung Seto.

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 81: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

xiv

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

Judul Penelitian : “Gambaran tingkat risiko terjadinya Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada

perawat saat melakukan aktivitas kerja di ruang ICU Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM berdasarkan metode Rapid Entire Body Assesment (REBA)”

Peneliti : Yudi Elyas

NPM : 1006823620

Kepada Yth,

Calon Responden

Di Tempat

Dengan hormat, saya yang bertanda-tangan dibawah ini :

Nama : Yudi Elyas

NPM : 1006823620

Alamat : Jl. Kawunggading RT 02 RW 02 Cintawargi Kec. Tegal Waru Karawang.

Telephone : 081316006831

Pekerjaan : Perawat

Status : Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI)

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 82: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

xv

Mengajukan dengan hormat kepada Bapak/Ibu/Saudara/i, untuk bersedia menjadi

responden pada penelitian yang akan saya lakukan dengan judul ; “Gambaran tingkat

risiko terjadinya Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada perawat saat melakukan

aktivitas kerja di ruang ICU Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM berdasarkan

metode Rapid Entire Body Assesment (REBA)”. Penelitian ini merupakan

persyaratan kelulusan saya untuk program pendidikan sarjana Keperawatan di

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI).

Penelitian ini akan melibatkan perawat di ruang ICU PJT RSCM, dimana tujuan dari

penelitian ini adalah untuk menganalisa tingkat risiko terjadinya masalah gangguan

muskuloskeletal pada perawat saat melakukan aktivitas kerja rutin. Peneliti akan

melakukan analisis terhadap postur tubuh perawat saat melakukan empat aktivitas

kerja yang sudah ditentukan sebelumnya, yaitu postur tubuh saat melakukan

pendokumentasian hasil haemodinamik monitoring, postur tubuh saat melakukan

pemantauan urine output, postur tubuh saat suctioning dan postur tubuh saat

melakukan hand washing.

Penelitian ini tidak akan menimbulkan akibat yang dapat merugikan bagi

Bapak/Ibu/Saudara/i sebagai responden. Penelitian dilakukan dengan cara melakukan

observasi dan melakukan pendokumentasian (pemotretan) dengan menggunakan

kamera digital saat Bapak/Ibu/Saudara/I melakukan empat aktivitas kerja yang telah

ditentukan. Hasil dari pemotretan tersebut akan saya simpan dan jaga kerahasiaannya

serta hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Peneliti juga akan meminta izin

terlebih dahulu kepada Bapak/Ibu/Saudara/I apabila akan memasukkan salah satu

gambar dari Bapak/Ibu/Saudara/I sebagai contoh gambar di dalam artikel penelitian

saya.

Apabila ada pertanyaan lebih lanjut mengenai penelitian ini, Bapak/Ibu/Saudara/i

dapat menghubungi peneliti. Apabila Bapak/Ibu/Saudara/I menyetujui, saya mohon

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012

Page 83: Digital 20309085 S42563 Gambaran Tingkat

xvi

kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/I untuk menandatangani lembar persetujuan bersedia

menjadi responden penelitian.

Atas perhatiaan dan kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/I, Saya ucapkan banyak

terimakasih.

Jakarta, Juni 2012 Responden Saksi Peneliti

( ) ( ) ( Yudi Elyas )

Gambaran tingkat..., Yudi Elyas, FIKUI, 2012