di balik manisnya media sosial.docx

6
KopraL Bambang/POPTROPE #3/Di Balik Manisnya Social Network PRELUDE YVETTE VICKERS (83), mantan model PLAYBOY tahun 1959, ditemukan tewas oleh tetangganya pada 27 April 2011. Kotak surat yang penuh dan terbungkus jaring laba-laba, dengan tiap lembar amplop nampak menguning, membuat Susan Savage curiga. Ia memaksa masuk lewat jendela demi membuka pintu yang terkunci, melewati tumpukan kertas dan gundukan pakaian kotor, lalu naik ke lantai dua. Di sana, jasad Vickers yang bagaikan mumi, ditemukan. Di dekatnya masih menyala mesin pemanas dan layar komputer yang cahayanya menerangi sebagian sudut gelap ruangan. Tim forensik tidak mampu memastikan waktu kematian, kecuali dugaan serangan jantung yang merenggut nyawa Vickers, setahun sebelum ditemukan. Dalam dua pekan, kisah Vickers yang mati ‘kesepian’, menyebar dalam 16.057 postingan Facebook dan 881 kicauan Twitter. Bintang film spesialis tema horor tersebut dipastikan lebih banyak mendapat perhatian di momen kematiannya daripada apa yang dia lakukan di tahun terakhir hidupnya. Vickers mati tanpa seorang anak, tanpa keanggotaan grup religi, dan apapun yang bisa disebut sebagai komunitas. Ia menghabiskan masanya sebagai wanita tua yang mencari kesana kemari sebuah arti pertemanan. Savage masih berharap temannya yang malang memiliki orang lain yang peduli padanya. Tagihan telpon ditelusuri untuk mendapatkan petunjuk ‘kehidupan’ terakhir Vickers sebelum kematian. Hasilnya, bukan seorang teman, juga bukan anggota keluarga yang pernah diteleponnya. Melainkan seorang penggemar yang menemukan Vickers melalui jaringan antar fan dan situs internet. “Jaringan koneksi Vickers memang tumbuh meluas, sekaligus juga mendangkal. Seperti terjadi pada kebanyakan dari kita. Kita hidup dalam keterasingan yang bahkan tidak pernah dibayangkan oleh nenek moyang, padahal kita belum pernah lebih mudah terakses daripada sekarang. Kita hidup dalam percepatan kontradiksi: makin terhubungnya kita daripada sebelumnya, makin kesepian pulalah kita.” --Stephen Marce, “Is Facebook Making Us Lonely”-- INTRO “Media sosial dan jejaring sosial sudah tidak lagi dalam masa invansi. Sejak kehadiran pertama jejaring sosial media pada dua dekade lalu, media sosial terus berubah dan menawarkan pada pengguna di seluruh dunia tentang “jalan baru” penuh makna untuk sibuk berurusan dengan manusia, peristiwa, dan hal baru lainnya. Beberapa tahun terakhir, media sosial masih berkembang dengan cepat dan menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita.” --Delrdre Bannon, “Social Media is Coming of Age”--

Upload: kopral-bambang

Post on 10-Dec-2015

216 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Positif-negatif dari keberadaan media sosial

TRANSCRIPT

Page 1: Di Balik Manisnya Media Sosial.docx

KopraL Bambang/POPTROPE #3/Di Balik Manisnya Social Network

PRELUDE

YVETTE VICKERS (83), mantan model PLAYBOY tahun 1959, ditemukan tewas oleh tetangganya pada 27 April 2011. Kotak surat yang penuh dan terbungkus jaring laba-laba, dengan tiap lembar amplop nampak menguning, membuat Susan Savage curiga. Ia memaksa masuk lewat jendela demi membuka pintu yang terkunci, melewati tumpukan kertas dan gundukan pakaian kotor, lalu naik ke lantai dua.Di sana, jasad Vickers yang bagaikan mumi, ditemukan. Di dekatnya masih menyala mesin pemanas dan layar komputer yang cahayanya menerangi sebagian sudut gelap ruangan. Tim forensik tidak mampu memastikan waktu kematian, kecuali dugaan serangan jantung yang merenggut nyawa Vickers, setahun sebelum ditemukan.

Dalam dua pekan, kisah Vickers yang mati ‘kesepian’, menyebar dalam 16.057 postingan Facebook dan 881 kicauan Twitter.Bintang film spesialis tema horor tersebut dipastikan lebih banyak mendapat perhatian di momen kematiannya daripada apa yang dia lakukan di tahun terakhir hidupnya. Vickers mati tanpa seorang anak, tanpa keanggotaan grup religi, dan apapun yang bisa disebut sebagai komunitas. Ia menghabiskan masanya sebagai wanita tua yang mencari kesana kemari sebuah arti pertemanan.

Savage masih berharap temannya yang malang memiliki orang lain yang peduli padanya. Tagihan telpon ditelusuri untuk mendapatkan petunjuk ‘kehidupan’ terakhir Vickers sebelum kematian. Hasilnya, bukan seorang teman, juga bukan anggota keluarga yang pernah diteleponnya. Melainkan seorang penggemar yang menemukan Vickers melalui jaringan antar fan dan situs internet.

“Jaringan koneksi Vickers memang tumbuh meluas, sekaligus juga mendangkal. Seperti terjadi pada kebanyakan dari kita. Kita hidup dalam keterasingan yang bahkan tidak pernah dibayangkan oleh nenek moyang, padahal kita belum pernah lebih mudah terakses daripada sekarang. Kita hidup dalam percepatan kontradiksi: makin terhubungnya kita daripada sebelumnya, makin kesepian pulalah kita.”--Stephen Marce, “Is Facebook Making Us Lonely”--

INTRO

“Media sosial dan jejaring sosial sudah tidak lagi dalam masa invansi. Sejak kehadiran pertama jejaring sosial media pada dua dekade lalu, media sosial terus berubah dan menawarkan pada pengguna di seluruh dunia tentang “jalan baru” penuh makna untuk sibuk berurusan dengan manusia, peristiwa, dan hal baru lainnya. Beberapa tahun terakhir, media sosial masih berkembang dengan cepat dan menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita.”--Delrdre Bannon, “Social Media is Coming of Age”--

“Social media is group of Internet-based applications that build on the ideological and technological foundations of Web 2.0, and that allow the creation and exchange of user-generated content."--Andreas Kaplan and Michael Haenlein, “Users of The World, Unite! The Challenges and Opportunities of Social Media”--

Web 2.0, adalah sebuah istilah yang dicetuskan pertama kali oleh O'Reilly Media pada tahun 2003, dan dipopulerkan pada konferensi web 2.0 pertama pada tahun 2004, merujuk pada generasi yang dirasakan sebagai generasi kedua layanan berbasis web—seperti situs jaringan sosial, wiki, perangkat komunikasi, dan folksonomi—yang menekankan pada kolaborasi online dan berbagi antar pengguna.--Wikipedia—

Page 2: Di Balik Manisnya Media Sosial.docx

INTERLUDE

Adam memiliki masa lalu yang ‘datar’. TK sampai SMP dilalui sebagai ‘anak rumahan’. Saat SMA, menjadi obyek bully teman-teman yang sudah duluan menguasai pergaulan antar remaja. Lepas dari dunia sekolah, Adam benar-benar ingin tampil sebagai sosok baru. Toh, Adam mendapat kesempatan untuk kuliah di luar tanah kelahirannya. Tidak ada yang akan benar-benar mengenal dirinya sebelum Adam mengubah citranya sejauh 70-100%. Minimal Adam harus membuat citra barunya di dunia maya, zona baru interaksi manusia modern. Sisanya, cukup mengganti kacamata dengan softlens. Menjauhi celana dari kain, berganti jeans. Hingga tampil kasual dengan rambut mohawk sejak berangkat kuliah sampai pulangnya.

Setelah internet tersambung, Adam mendaftarkan dirinya di jejaring sosial yang meraup pendapatan 3,7 milyar dolar pada tahun 2011: Facebook. Bisa saja Adam menggunakan akun lama yang telah di-create sejak kelas 1 SMA. Namun, itu berarti dia harus menghapus jejak dari teman-teman masa sekolahnya, memblok beberapa ‘pengganggu’ yang menjadi saksi ke-culun-an dirinya, dan menghapus atau mempertahankan status friend dengan seorang gadis yang sampai detik ini tak pernah tahu bahwa Adam menyukainya.

Adam meng-input nama asli dengan mode hidden. Mencantumkan nickname yang sesuai sifat pendiam dirinya: Adam Cool. Dan memilih avatar di profil yang merupakan pose terbaik setelah beberapa kali pengambilan dengan kamera ponsel. Pose yang kelak bisa berganti setiap 3 bulan, atau manakala Adam ingin sisi lain dirinya ditonjolkan. Misal, dalam 4 bulan ke depan, Adam telah mahir bermain klasik. Ia juga membentuk band bersama teman-teman yang didapatkan dari tempat kursus. Maka, agar teman-teman Facebook-nya memandang “Adam Cool anak band”, dipasanglah avatar dirinya sedang memetik gitar. Lebih jauh, sebagai pelaku pencitraan kelas expert, Adam bisa saja memilih berteman dengan orang-orang yang berada di luar lingkar hobi dan mengancam “zona nyamannya”.

Sembari mengumpulkan 2000 lebih ‘teman’ Facebook, Adam turut merambah dunia perkicauan di Twitter. Di mainan barunya yang lebih mobile, Adam tidak butuh friend, melainkan follower. Untuk gengsi, Adam Cool tidak ingin jumlah pengikutnya lebih banyak ketimbang jumlah akun yang dia follow. “Selebritis hanya mengikuti sedikit orang, dengan banyak pengikut. Oh, iya, beda follower dengan stalker memang agak samar di sini. Follower tidak harus seorang ‘teman’. Hater yang ingin menjahili tiap status musuhnya, boleh saja menjadi pengikut setia.

Setelah Facebook dan Twitter, berbekal smartphone Samsung Galaxy S4, tinggal menunggu waktu saja keberadaan “Adam Cool” hadir di Google+, Path, Foursquare, Line, Kakao Talk, We Chat. Blackberry Massanger? Masih dipertahankan Adam meski mulai jarang menerima “ping!”.

Setuju atau tidak. Diakui atau mengelak. Saat someone memutuskan untuk terjun dalam gegap gempita social media, dia diharuskan menciptakan ‘dirinya yang lain’, yang tidak mungkin 100% ada bagi pengguna social media lainnya yang terhubung dengan account kita.Kita berpikir, dengan hadir di sudut manapun di dunia maya, memiliki koneksi diberbagai kota, dan bisa terhubung kapan saja, maka kita sudah ada dimana-mana. Kita yakin tetap nyata, be 100% di dunia maya, meski faktanya semua yang kita terima dari Facebook, Twitter, Path, Kakao Talk, hanyalah fitur maksimal yang bisa disediakan oleh developer.Maksudnya, kita seolah sudah bisa memenuhi syarat “sedang berkomunikasi” dengan Anu dan Ani pada hari ini, di jam ini. Padahal, “komunikasi” yang kita lakukan hanya sebatas bermain kata via text. Ani yang menjadi teman chatting kita untuk urusan jual-beli tanah, tidak perlu tahu kalau kita ‘ngobrol’ dengannya sembari bertelanjang dada dan mengenakan kolor. Dan Facebook memang tidak menyediakan fitur chat disertai webcam. Atau dengan Twitter, misalnya. Tokoh politik dari NU berpikir telah menghabisi lawan debatnya (tokoh politik dari Muhammadiyah), setelah dua jam berbalas reply soal perlunya syariat Islam dijadikan dasar negara, dengan tweet penutup darinya yang tidak pernah dibalas beberapa jam setelahnya. Dua jam, dengan 114 karakter per-tweet, dan mereka berdua menggunakannya untuk berdebat soal syariat, undang-undang, dan negara. Bayangkan betapa tidak sadarnya users bahwa Twitter merupakan jejaring microblogging yang membatasi penggunaannya untuk sebatas “berkicau”.

Page 3: Di Balik Manisnya Media Sosial.docx

Memangnya, seriuh dan sepanjang apa kicauan seekor burung? Twitter tidak akan pernah mengijinkan user untuk mengetik uneg-unegnya lebih dari 114 karakter.

Bagaimana dengan hubungan “pertemanan” di Facebook? Benarkah 3021, 1598, dan 756 itu merupakan susunan angka yang mewakili banyak-sedikit teman anda? Saya meragukannya. Anda pun begitu. Bahkan, Google+ yang paling tegas meragukan status “friend” yang konsisten dipertahankan Mark Zuckerberg. How?Begini, saat kita bergabung dengan Google+ dan mulai mengatur “lingkaran pertemanan”, program ini menghendaki—dengan pesannya—kita untuk “hanya” memasukkan “Your real friends, the ones you feels comfortable sharing private with”. Pesan yang aneh, sekaligus membuka kegelisahan kita akan keberadaan social media (Facebook) yang mengganggu hubungan kita dengan teman yang sebenarnya, memberi jarak kita dengan lainnya, membuat kita “kesepian”, dan mengisolasi diri dari dunia luar secara tidak sadar seperti halnya Yvette Vickers.

Media sosial juga bisa mengakibatkan penggunanya mendapat julukan “nerd”, “geek”, dan semacamnya, ketika tiba-tiba si pengguna bertingkah di luar kewajaran dirinya, menjadi “lebay” dan “4L4y”.Adakah adegan suatu film yang bisa mengalahkan ke-epic-an “The Social Network”, dalam scene ketika Mark Zuckerberg sending out a friend request kepada mantan pacarnya? Selagi menunggu request-nya diterima, Mark mengklik halaman lain, mengecek kembali request, mengklik lainnya. Bukankah itu gambaran jelas: betapa kesepiannya saya/anda/dia/kita?

POSTLUDE

Kita akan kembali merindukan adegan dimana kesatria berkuda putih menyatakan perasaannya secara langsung di hadapan sang putri. Melepaskan topeng besinya. Menundukkan tubuhnya. Menatap kedua mata pujaannya. Kita menjadi tertawa geli akan kisah masa lalu, ketika aktivitas “surat-suratan” menjadi sangat mesranya. Ditulis dengan tangan di atas kertas polos atau bergaris. Dengan huruf-huruf sedikit berantakan. Kertas yang sedikit “lecek”. Serta noda tinta yang tersapu kulit tangan. Dengan seksama kita memilih amplop yang berbeda dengan angpau. Mengantarkannya dengan bersepeda atau lari kecil ke kantor pos. Menyerahkan dengan ceria ke loket. Lalu menunggu balasan sambil berdebar-debar hingga beberapa pekan kemudian. Sambil menunggu, bayangkanlah wajah pak pos yang mengantarkan dengan ceria.Ini klasik. Tapi sangat romantik!

Ada nilai-nilai keseriusan yang hilang ketika short message service menggantikan sebuah ucapan langsung. Tidak ada suara di sana. Tanpa intonasi yang menggambarkan ketenangan atau kegugupan. Tanpa mimik wajah yang nyaris tidak bisa berdusta.

Keintiman yang dulu entah kemana. Ketika undangan pernikahan untuk sahabat semestinya diantarkan langsung, baik dengan ucapan basa-basi penuh senyum di rumahnya, atau dengan wujud kertas tercetak yang diletakkan di teras rumah. Bukan dengan mengumumkan massal lewat fitur “mengundang”, dimana yang ditandai cukup menekan pilihan: hadir; mungkin; tidak.

Jika kita masih bersikeras bahwa “dunia maya” selamanya akan tetap “maya”. Menolak coding yang menjadikan gambar berwujud gambar di layar monitor. Menganggap nyata Graphical User Interface, bukan bahasa pemrograman di baliknya. Terlalu yakin aktivitas real di dunia nyata bisa diwakili hanya dengan mengetukkan jari. Maka siap-siaplah menjadi “orang kesepian”. Menjadi target advertisers meraih dolar. Menjadi 4L4y-ers yang sampai bermusuhan di dunia nyata karena berkonflik di dunia maya.

“We know intuitively that loneliness and being alone are not the same thing. Solitude can be lovely. Crowded parties can be agony. We also know, thanks to a growing body of research on the topic, that loneliness is not a matter of external conditions; it is a psychological state.”-- Stephen Marce--

Page 4: Di Balik Manisnya Media Sosial.docx

FACTS & QUOTES

By applying a set of theories in the field of media research (social presence, media richness) and social processes (self-presentation, self-disclosure) Kaplan and Haenlein created a classification scheme in their Business Horizons (2010) article, with six different types of social media: collaborative projects (for example, Wikipedia), blogs and microblogs (for example, Twitter), content communities (for example, YouTube and DailyMotion), social networking sites (for example, Facebook), virtual game worlds (e.g., World of Warcraft), and virtual social worlds (e.g. Second Life). [Wikipedia, Social Media]

What’s driving the continued growth of social media?

MOBILE, More people are using smartphones and tablets to access social media. Forty-six percent of social media users say they use their smartphone to access social media; 16 percent say they connect to social media using a tablet. With more connectivity, consumers have more freedom to use social media wherever and whenever they want.PROLIFERATION, New social media sites continue to emerge and catch on.How is consumer usage of social media evolving?THE GLOBAL LIVING ROOM, Social TV is on the rise. The skyrocketing adoption and use of social media among consumers is transforming TV-watching into a more immediate and shared experience. As of June 2012, more than 33 percent of Twitter users had actively tweeted about TV-related content.SOCIAL CARE, Social Care is transforming customer service. Social media has emerged as an important channel for customer service, with nearly half of U.S. consumers reaching out directly to brands and service providers to voice their satisfaction or complaints, or simply to ask questions. [Nielsen - State of The Media: The Social Media Report, 2012]

What is “Earned” Media?The concept of earned media is not a new one; it’s been part of public relations for years. Historically, we looked at the number of times a brand or press release was mentioned on the nightly news, the front page of a newspaper or even in a movie or TV program. The key is that the brand did not pay for the placement and that the brand message was interesting, entertaining or newsworthy enough that the media outlet used it as part of its product voluntarily. Now that the era of social media is upon us, we’ve extended the concept of earned media beyond the traditional PR sense. Today a media outlet broadcasting a brand is not the only form of “earned” distribution. The consumer is now invited to broadcast, and hopefully endorse, the brand to their online friends. As a result, brands are turning to the tools and advertising opportunities provided by social media outlets, such as the organic impressions used by Facebook. [Nielsen - Advertising Effectiveness: Understanding the Value ofa Social Media Impression, April 2010]

“Technology proposes itself as the architect of our intimacies. These days, it suggests substitutionsthat put the real on the run. The advertising for Second Life, a virtual world whereyou get to build an avatar, a house, a family, and a social life, basically says, “Finally, a placeto love your body, love your friends, and love your life.”1 On Second Life, a lot of people, asrepresented by their avatars, are richer than they are in first life and a lot younger, thinner,and better dressed. And we are smitten with the idea of sociable robots, which most peoplefirst meet in the guise of artificial pets.” [Sherry Turkle - Alone Together]

“In the digital world's never-ending stream of unfiltered, user-generated content, things are indeed often not what they seem. Without editors, fact-checkers, administrators, or regulators to monitor what is being posted, we have no one to vouch for the reliability or credibility of the content we read and see on sites like Xanga, Six Apart, Veoh, Yelp, Odeo, and countless others. There areno gatekeepers to filter truth from fiction, genuine content from advertising, legitimate information from errors or outright deceit. Who is to point out the lies on the blogosphere that attempt to rewrite our history and spread rumor as fact? When we are all authors, and some of us are writing fiction, whom can we trust?” [Andrew Keen - The Cult of The Amateur, How Today’s Internet is Killing Our Culture]

Page 5: Di Balik Manisnya Media Sosial.docx