dewi sartika
DESCRIPTION
biografi dewi sartikaTRANSCRIPT
dewi sartika biografi
Biografi Raden Dewi Sartika adalah Pahlawan pendidikan kaum wanita
Indonesia, pahlawan nasional, sekaligus tokoh panutan di kalangan
masyarakat Sunda.
Ia bersama Kartini adalah tokoh perempuan terkemuka Indonesia.
Totalitasnya dalam memperjuangkan pendidikan terutama bagi kaum
perempuan di akui dan diberikan apresiasi pemerintah dengan memberinya
gelar pahlawan nasional sejak tahun 1966. Dewi Sartika adalah putri
pasangan Raden Somanegara dan Raden Ayu Permas. Ayahnya seorang
patih di Bandung. Kedua Orang tuanya adalah pejuang kemerdekaan yang
pernah diasingkan di Ternate (maluku). Setelah kedua orang tuanya di
asingkan, Dewi Sartika kemudian di asuh pamannya (Patih Aria) yang tinggal
di Cicalengka.
Biodata Dewi Sartika
Nama Raden Dewi Sartikatanggal lahir dewi sartika Cinean, 11 September 1947Wafat Tasikmalaya, 11 September 1947Penghargaan Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI no 152/1966
Riwayat hidup Raden Dewi Sartika
Semasa hidupnya, Dewi Sartika amat gigih memperjuangkan nasib dan
harkat kaum perempuan. Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis
pendidikan bagi kaum perempuan. Di rumahnya, Dewi Sartika mengajar
anggota keluarga dan kaum perempuan disekitarnya mengenai berbagai
keterampilan seperti membaca, menulis, memasak, dan menjahit.
Pada tanggal 16 Juli 1904 beliau mendirikan Sakola Istri atau sekolah
perempuan di Kota Bandung. Sekolah ini menjadi lembaga pendidikan bagi
perempuan yang pertama kali di dirikan di Hindia Belanda.
Tahun 1913 Sakola Istri kemudian diganti namanya menjadi Sakola
Kautamaan Istri. Tahun 1913 mendirikan organisasi Kautamaan Istri di
tasikmalaya yang menaungi sekolah-sekolah yang didirikan Dewi
Sartika.Tahun 1929 Sakola Kautamaan Istri Berganti nama lagi menjadi
Sekolah Raden Dewi dan oleh pemerintah Hindia Belanda dibangunkan
gedung baru yang besar dan lengkap.
Sejak kecil Dewi Sartika memang telah memiliki jiwa pendidik. Beliau sering
mengajarkan baca tulis dan berlatih berbahasa Belanda kepada anak-anak
para pembantu di Kepatihan. Pola pembelajaran yang dilakukan dengan cara
sambil bermain sehingga ia amat disenangi anak-anak didiknya.
Langkah yang dilakukan Dewi Sartika sejak kecil ini berdampak luas
sehingga nama Dewi Sartika di kenal luas oleh masyarakat sebagai seorang
pendidik, terutama di kalangan perempuan.
Dewi Sartika menikah tahun 1906, dengan Raden Kanduruan Agah
Suriawinata yang juga berprofesi sebagai pendidik sehingga keduanya
memiliki kesamaan visi dalam meajukan pendidikan di lingkungan
masyarakatnya.
Setelah terjadi Agresi militer Belanda tahun 1947, Dewi Sartika ikut
mengungsi bersama-sama para pejuang yang terus melakukan perlawanan
untuk mempertahankan kemerdekaan. Saat mengungsi inilah, Dewi Sartika
sudah lanjut usia dan Wafat tanggal 11 September 1947 di Cinean Jawa
Barat. Makam Beliau kemudian di pindahkan ke Bandung.
Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11
September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum
perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Awal mula
2 Bakat pendidik
3 Beranjak remaja
4 Menikah
5 Mendirikan sekolah
6 Meninggal
7 Lihat pula
8 Rujukan
9 Pranala luar
[sunting]Awal mula
Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan
Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya
bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat,
Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka.
Oleh pamannya itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda,
sementara wawasan kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten
Residen berkebangsaan Belanda.
[sunting]Bakat pendidik
Sedari kecil , Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk
meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering
memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada
anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan
genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka
digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa
Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu
itu belum ada anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu,
dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
[sunting]Beranjak remaja
Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang
telah dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong
pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang
sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya
serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada
waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun karena
kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan
pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
[sunting]Menikah
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, beliau
memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang
Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Terjemahan: Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah
Suriawinata, beliau mempunyai visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru
di sekolah Karang Pamjulang, yang waktu itu merupakan sekolah Latihan Guru.
[sunting]Mendirikan sekolah
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah
ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di
hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit,
membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi
Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda.
Tenaga pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny.
Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang,
menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke
Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan
pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar
pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki
kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan
hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememenuhi syarat
kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa
Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki
cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan
Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-
Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti
menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota
kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal
tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri
didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola
Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang
berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya
yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden
Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh
pemerintah Hindia-Belanda.
[sunting]Meninggal
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan
suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa
Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks
Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Biografi Dewi Sartika
Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 –
meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis
pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah
Indonesia tahun 1966. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan.
Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga
meninggal dunia di sana. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda , Nyi Raden
Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh
menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan
sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai
kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang
nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat
pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan,
beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda,
kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan
genting dijadikannya alat bantu belajar.
Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Seko lah Dasar di Cicalengka, sejak kecil
memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian karena sejak
anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana
layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan
dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan
sebagai guru. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka
digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda
yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum
banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan
oleh seorang anak perempuan.
Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu
pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, ia
sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara,
kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada
tahun 1904 dia berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”. Sekolah
tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah.
Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung.
Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung,
membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.
Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid- murid
bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak
cukup lagi menampung murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri pun kemudian
dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan,
pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan Isteri.
Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata
pelajaran juga bertambah.
Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang
baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan
dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional
sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi
beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah
satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden
Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan
perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola
Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang
sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota
kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh,
tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan
Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan
Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan
Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.
Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya
pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929,
Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang
kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi
Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang
yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu
itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di
Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman
Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di
kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Jangan tanya apa yang telah diberikan negara kepadamu, tapi apa yang telah kamu berikan
pada negaramu. Kata bijak tersebut sangat tepat menjadi panduan semua bangsa yang hendak
menobatkan seseorang sebagai penerima gelar kehormatan ‘pahlawan’ di negaranya.
Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat sesuatu
yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan Raden Dewi
Sartika. Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui perang frontal
seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan, yakni dengan
mendirikan sekolah. Berbagai tantangan, khususnya di bidang pendanaan operasional sekolah
yang didirikannya sering dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk
membangun masyarakat negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan
kaum wanita bisa berdiri terus, bahkan menjadi panutan di daerah lainnya.
Raden Dewi Sartika adalah salah satu pahlawan wanita dalam bidang pendidikan.
Namanya memang tidak sebesar RA Kartini dan tanggal kelahirannya tidak
diperingati sebagaimana hari kelahiran Kartini. Tetapi peranannya dalam
memajukan pendidikan kaum wanita pribumi tidak kecil. Karena itu pada tahun
1966 pemerintah mengangkat Dewi Sartika sebagai pahlawan nasional.
Dewi Sartika lahir di Bandung pada 4 Desember 1884. Beliau adalah putri kedua
dari lima bersaudara dari kalangan bangsawan Sunda. Ayahnya bernama Raden
Rangga Somanagara, Patih Bandung. Sedangkan Ibunya adalah Raden Ayu
Rajapermas, putri Bupati Bandung Raden Adipati Wiranatakusumah IV (1846-1876).
Saat Dewi Sartika berusia sembilan tahun dan bersekolah di kelas III ELS
(Europesche Lagere School), ayahnya dituduh terlibat dalam percobaan
pembunuhan terhadap Bupati Bandung R.A.A. Martanagara dan para pejabat
Belanda di Kota Bandung pada 1893. Tuduhan itu membuat ayahnya dibuang ke
Ternate, disamping itu teman dan kerabatnya menjauhi keluarganya karena takut
dituduh terlibat dalam peristiwa itu. Dewi pun berhenti sekolah dan dibawa pindah
oleh uwaknya yang menjabat sebagai Patih Cicalengka. Di sana ia mendapat
pendidikan keterampilan wanita bersama anak-anak lainnya.
Sejak kecil Dewi sudah menunjukkan bakat sebagai pendidik. Di waktu
senggangnya, ia sering bermain "sekolah-sekolahan" dengan anak-anak pegawai
kepatihan sementara ia sendiri menjadi gurunya. Ia mengajar baca-tulis dan bahasa
Belanda dengan menggunakan papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan
genting yang dijadikannya alat bantu belajar. Dan ia pun kemudian bercita-cita
mendirikan sekolah untuk memajukan anak-anak gadis, baik anak menak maupun
anak somah.
Keinginannya mendirikan sekolah diwijudkannya ketika ia sudah kembali ke
Bandung. Atas bantuan Bupati Bandung R.A.A. Martanagara dan didukung C. den
Hamer, inspektur sekolah, ia membuka Sakola Isteri pada 16 Januari 1904. Pada
1910 kemudian diganti menjadi Sakola Kautamaan Isteri sedangkan pada 1914
diganti menjadi Sakola Raden Dewi. Di sekolah khusus wanita ini, murid-muridnya
mendapat pelajaran keterampilan wanita selain pelajaran umum. Disini juga
diajarkan pelajaran agama Islam, yang tidak diajarkan di sekolah-sekolah bergaya
Barat.
Sekolah ini makin berkembang dengan jumlah murid yang semakin banyak. Dibuka
pula cabang-cabangnya di berbagai kota di Jawa Barat seperti Bogor, Serang,
Ciamis, bahkan di Sumatra Barat. Maka pemerintah Hindia Belanda memberi tanda
penghargaan bintang mas (gouden ster) sebagai penghargaan atas jasa-jasanya.
Raden Dewi Sartika menikah pada 1906 dengan Raden Kanduruan Agah
Suriawinata, seorang guru di Sekolah Karang Pamulang Bandung dalam usia 22
tahun. Pada zaman itu, perempuan lain di usia tersebut biasanya sudah memiliki
beberapa anak.
Pada masa pendudukan Jepang, Raden Dewi dicurigai sebagai NICA hingga ia harus
menyingkir ke Garut dan akhirnya ke Cineam. Di Cineam, Tasikmalaya, Dewi Sartika
wafat pada 11 September 1947 dengan meninggalkan enam orang anak.