DEWAN PERWAKILAN RAKJAT

RISALAH SEMENTARA (Belum dikoreksi)

Sidang I.

R A P A T 15.

Hari Selasa, 4 Pebruari 1958

(Djam panggilan: 09.00).

Rantjangan Undang-Undang tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No.19 tahun 1954 tentang Mengubah Nama Propinsi Sunda Ketjil mendjadi Nusa Tenggara sebagai Undang-undang (P.262) – Rantjangan Undang-Undang tentang Tugas dan Wewenang Agraria (P.304). Ketua: Hadji Zainal Abidin Ahmad. Sekertaris: R. Akoep Goelangge. Jang hadir 196 Anggota: Ismail Napu, F.C. Palaunsoeka, Anwar Harjono, Hadji Moh. Amin Iskandar, B.J. Rambitan, Hadji Zainal Abidin Ahmad, Rh. Koesnan, Hadji Siradjuddin Abbas, Dr.Hadji Ali Akbar, T.S. Mardjohan, Wijono Soerjokoesoemo, Ismangoen Poedjowidagdho, Sjahboeddin Latif, A. Chamid Widjaja, Peris Pardede, Siauw Giok Tjhan, Njonja Moedigdio, Manai Sophiaan, Prof. Mr. Hadji Muhd Yamin, Anwar Kadir, S. Martosoewito, Dr. Hadji Sukiman Wirjosandjojo, Ajip Muchamad Dzukhri, Asmadi Tirtooetomo, I.B.P. Manuaba, Njoto, Tjoey Hay Djoen, Njonja Lastari Soetrasno, Ir. Thaher Thajeb, M.H. Loekman, Soepeno Hadisiswojo, Njonja Suharti Suwarto, Kiaji Hadji Moh. Dachlan, F. Runturambi, R. Abulhajat, Kiaji Hadji Moehd Djoenaidi Abdoel Aziz, Eddie Abdurrahman Martalogawa, Sudjarwo Haryowisastro, O. Suriapranata, Mr. Djody Gondokusumo, Kiaji Hadji Faqih Oesman, Soedjono, Mr. Sudjono Hardjosudiro, B.P.H. Poeroebojo, Anwar Tjokroaminoto, K. Werdojo, Sudisman, Soedarsono, Imam Soetardjo, Muhamad Nur El Ibrahimy, Hadji Munir Abisudjak, Njonja Mahmudah Mawardi, Njonja Oemi Sardjono, Asraruddin, Drs. D.S. Matakupan, Hutomo Supardan, Hartojo Prawirosudarmo, Soetomo alias Bung Tomo, Soetojo Martodimoeljo, Moersid Idris, M. Caley, S.D. Bili, Suhardjo, Mr. Soeprapto, Kiaji Hadji Muhamad Wahib, Moenadir, Murtadji Bisri, Brodjotruno Maniudin, Abdul Aziz Dijar, Tjoo Tik Tjoen, Sudjito, Soejoso Abdul Wachid, Kiaji Hadji Misbach, Hadji Moedawari, Achmad Sjaichu, Sudojo, Semanhadi Sastrowidjojo, Rd. Soeprapto, Soepardi, Dr. R. Soeatmadji, Soewono, Harsono Tjokroaminoto, Zainal Arifin Tanamas, R.T.A. Moh. Ali Pratamingkoesoemo,. Dr. Ambio, Imam Soeparni Handokowidjojo, R. Poeger, Kiaji Achmad Ghozali, R. Kiaji Hadji Moesta’in, Moh. Noor Abdulgani, Njonja Hadinijah Hadi, R. Soehardjo alias Bedjo, Hadji Andi Sewang Daeng Muntu, Abdul Rasjid Faqih, Hussein Saleh Assegaff, Hadji Muhammad Saifuddin, H. Senduk, Hadji Moehamad Akib, Mohamad Soleman, M. Sondakh, W.L. Tambing, Selamat Ginting, Jusuf Adjitorop, M. Siregar, Sahar gelar Sutan Besar, Nja’ Diwan, Kaiji Hadji Masjhur Azhari, Mr. Gele Harun, Nung Tjik A.R., Ma’rifat Mardjani, Dr. Sjech Hadji Djalaluddin, V.B. Saka, I Made Sugitha, Drs. J. Piry, I Gusti Gede Subamia, Kiagus Alwi, Anuarbek, Abdulmutalib Daeng Talu, Mohammad Thajib Abdullah, Chr. J. Mooy, Djumhur Hakim, R. Darsono, Rd. E. Wiratma Astapradja, Osa Maliki, M. Ardiwinangun, Muhammad ahmad, Asmuni, Uwes Abubakar, Doedi Soemawidjaja, E.Z. Muttaqien, Djadja Wiriasumita, Muhamad Fadil Dasuki, Sastra, Njonja Djunah Pardjaman, R.T. Djaja Rachmat, A. Nunung Kusnadi, Njaju Hadji Mariam Kanta Sumpena, S.M. Thaher Soelaeman Widjojosoebroto, Raden Mohamad Basah, Hadji A.A. Achsien, Mr. Raden Memet Tanumidjaja, Amung Amran, E. Moh. Mansjur, R.P.R. Situmeang, Pandoe Kartawigoena, Katamsi Soetisna Sendjaja, Njonja S. Marijamah Djoenaidi, Ibnu Parna, Soelardi, Siswojo, Njonja Sundari Abdulrachman, S. Sudjojono, Hadji S. Moeslich, Njonja Sutijah Surya Hadi, Atmodarminto, Njonja Soemari, R. Ng. Hariadi Jadipranoto, Pamudji, Sutjipto, Soekamsi Djojoadiprodjo, Hadji Sahlan Ridwan, Kiaji Hadji Muslich, Soetoko Djojosoebroto, Rs. Wirjosepoetro, R.G. Doeriat, Partoadiwidjojo, R. Soesilo Prawirosoesanto, Notosukardjo, R. Noerjahman, Tjugito, Daeng Mohamad Ardiwinata, Rd. Lucas Kustarjo, Soebadio Sastrosatomo, Z. Imban, Basjid, Jahja Siregar, Ahem Erningpradja, R.A.A. Soemitro Kolopaking, Njono, Mr. Imron Rosjadi, Mohamad Isnaeni, Soemardi Jatmosoemarto, D.N. Aidit, Njonja Suzanna Hamdani, Silas Papare, A.B. Karubuy, Tan Kiem Liong, Oei Tjeng Hien, Hadji J.C. Princen, R. Ch. M. Du Puy, E.F. Wens, D. Hage, Drs. J.L.W.R. Rhemrev, J.R. Koot, Lie Po Joe, Ang Tjiang Liat.

Wakil Pemerintah: 1. Mr. Hardi, Wakil Perdana Menteri I; 2. G.A. Maengkom, Menteri Kehakiman; 3. Prof. Dr. Prijono, Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan 4. Mr. Soenarjo, Menteri Agraria

Ketua : Saudara-saudara, Rapat saja buka. Anggota jang hadir ada 180 orang. Atjara kita sekarang ialah:

1. Rantjangan Undang-Undang tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 19 tahun 1954 tentang Mengubah Nama Propinsi Sunda Ketjil menjadi Nusa Tenggara sebagai Undang-undang (P.262).

2. Rantjangan Undang-Undang tentang Tugas dan Wewenang Agraria (P.304). 3. Rantjangan Undang-Undang Penetapan Undang-Undang Darurat No.1 tahun 1958 tentang Perubahan

Undang-Undang No.6 tahun 1950 tentang Hukum Atjara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan sebagai Undang-undang (P.305).

Surat-surat masuk tidak ada. Maka sekarang kita melandjutkan kepada Atjara Pertama mengenai

Rantjangan Undang-Undang tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No.19 tahun 1954 tentang Mengubah Nama Propinsi Sunda Ketjil mendjadi Nusa Tenggara sebagai undang-undang. Terlebih dahulu saja akan gambarkan sedjarah Rantjangan Undang-Undang ini kepada Saudara-saudara sebagai berikut: Rantjangan Undang-Undang ini disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat dengan Amanat Presiden tanggal 5 Desember 1957 No. 4277/H.K./57. Oleh karena isinja sangat sederhana sekali jaitu perubahan nama belaka, maka oleh Panitia Permusjawaratan telah ditetapkan untuk langsung membitjarakan Rantjangan Undang-Undang ini kedalam Pleno seperti sekarang. Maka sebagaimana biasanja, setiap Rantjangan Undang-Undang jang langsung dibitjarakan, maka hak jang pertama harus diberikan lebih dahulu kesempatan kepada Pemerintah untuk memberikan pendjelasannja terhadap Rantjangan Undang-Undang ini, kemudian terserah kepada Saudara-saudara bagaimana selandjutnja. Saja persilahkan Saudara Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan untuk memberikan pendjelasan.

Prof. Dr. Prijono, Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan : Saudara Ketua, Sidang jang terhormat, Sebagaimana kita sama-sama telah maklumi, maka semendjak tertjapainja kembali kemerdekaan kita,

banjaklah nama-nama geografis kita ubah, kita ganti. Adapun jang kita ubah itu bukan hanja nama-nama djalan-djalan sadja, akan tetapi nama-nama tempat, nama-nama daerah, bahkan nama-nama pulau kadang-kadang kita ubah djuga.

Alasan jang terpenting dari pada perubahan itu ialah karena kita tidak suka diingatkan kepada zaman pendjadjahan, kepada peristiwa-peristiwa jang melukai hati atau merendahkan perasaan kita. Sebagai pengganti nama jang kurang menjenangkan kita, kita ambil nama-nama asli jang berasal dari sedjarah kita sebelum zaman pendjadjahan. Nama-nama jang mengingatkan kita kepada zaman gilang gemilang atau kita mengambil nama-nama jang mengingatkan kita kepada perdjuangan kita, kepada keperwiraan dan pengorbanan pahlawan-pahlawan kita. Pendeknja nama-nama jang sesuai dengan perasaan kita sebagai bangsa jang telah merebut kemerdekaannja kembali dan tetap akan mempertahankan kemerdekaannja. Oleh karena itulah maka di Djakarta ini “Koningsplein” kita ganti dengan “Lapangan Gambir” dan kemudian kita ganti lagi dengan “Lapangan Merdeka”, “Molenvliet” kita ganti dengan jalan “Gadjah Mada”, “Van Heutz Boudevard” kita ganti dengan “Djalan Teuku Umar”, “Nasau Boullevard” kita ganti dengan “Djalan Imam Bondjol”, “Oranje Boullevard” kita ganti dengan “Djalan Diponegoro”. Selandjutnja “Batavia” sendiri kita ganti dengan nama asli “Djakarta”, “Buitenzorg” kita ganti dengan “Bogor”. “Borneo” kita ganti dengan “Kalimantan”. Ketjuali itu Saudara Ketua, dalam suatu negara sebagai masjarakat Indonesia dimana pada umumnja nama adalah keadaan, nama adalah alamat, nama adalah peristiwa, nama adalah perumusan singkat dari harapan atau tjita-tjita, maka sudah sewadjarnjalah bahwa nama jang dapat mengandung arti kurang baik itu diganti pula. Nama “Sunda Ketjil” yang sudah kita pergunakan sampai tanggal 12 Djuni 1954 setelah tanggal diundangkannja Undang-Undang Darurat No. 9 tahun 1954, jang ditetapkan pada tanggal 28 Mei tahun itu dan jang mengandung perkataan “Ketjil” itu mungkin kurang enak didengar oleh penghuni-penghuni kepulauan itu

dan psychologis dapat menimbulkan perasaan jang bukan-bukan. Bukti jang njata bahwa nama “Sunda Ketjil” itu kurang disukai oleh penghuni-penghuni pada chususnja, bangsa Indonesia pada umumnja, ialah bahwa nama “Nusa Tenggara” lekas sekali diterima oleh masjarakat ramai dengan rasa gembira. Selandjutnja, Saudara Ketua, nama “Sunda Ketjil” itu terdjemahan belaka dari ”De Kleine Sunda Eilanden”, itu nama jang dipergunakan oleh orang-orang Eropah jang pernah datang kemari atau pernah mendjadjah kita sebagai lawan dari pada “De Grote Sunda Eilanden” atau “Sunda Besar”. Djika kita ingin mempertahankan nama “Sunda Ketjil” untuk menjebut pulau-pulau Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa, Flores dan Timor, maka pulau Sumatera dan pulau Djawa, sepatutnja kita sebut “Sunda Besar” sebagaimana kedua pulau itu disebut oleh orang-orang Eropah. Akan tetapi djika kita sekarang tidak lagi atau tidak pernah menjebut pulau Sumatera dan pulan Djawa itu “Sunda Besar”, apakah gerangan alasannja untuk menjebut kepulauan jang terdiri atas Bali ke Timur sampai kepulau Timor itu “Sunda Ketjil”?. Saudara Ketua, nama “Nusa Tenggara” adalah nama jang psychologis baik, lebih baik dari pada nama “Sunda Ketjil” dan sekurang-kurangnja sesuai dengan letak geografis dari kepulauan jang bersangkutan, djika tempat kepulauan itu kita lihat dari titik pusat geografis dari pada kepulauan Republik kita, titik pusat jang terletak disebelah Timur pulau Laut didekat Kalimantan Tenggara. Dilihat dari tempat itu maka nama “Nusa Tenggara” memang tepat sekali untuk menjebut kepulauan jang dahulu dinamai “Sunda Ketjil”, oleh karena letaknja memang ada disebelah Tenggara dari tempat itu. Berdasarkan atas semua jang disebut diatas tadi itu, Saudara Ketua, maka Pemerintah mengharap dari sidang jang terhormat ini supaja Rantjangan Undang-Undang Perubahan Nama “Sunda Ketjil” mendjadi “Nusa Tenggara” diterima hendaknja. Sekian, terima kasih.

Ketua : Sekianlah pendjelasan Pemerintah tentang Rantjangan Undang-Undang jang amat sederhana ini.

Maka sekarang apakah Saudara-saudara ada jang ingin memberikan Pemandangan Umum dalam hal ini? Saja persilakan Saudara Taeng Talu.

A.D. Talu : Saudara Ketua jang terhormat, dalam kita membitjarakan perubahan nama “Sunda Ketjil” mendjadi

“Nusa Tenggara” jang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Darurat No.9 tahun 1954 dan sekarang mau didjadikan undang-undang, biasa sebelum saja mengeluarkan kata persetudjuan, perlu kiranja saja mengeluarkan pendapat mengenai perubahan nama itu.

Memang dalam mengubah dari nama “Sunda Ketjil” jang mengandung rasa dan kesan ketjil memang sudah pada tempatnja. Akan tetapi dalam kenjataannja penduduk wilajah apa jang dinamakan dulu “Sunda Ketjil” itu tetap merasa dan berkesan bahwa ia adalah bangsa Indonesia jang besar. Kalau pulau-pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor jang penduduknja lebih kurang 6 djuta itu umpamanja disamakan dengan satu daratan, maka tergolong pulalah ia sama dengan “De 4 Grote Sunda Eilanden”. Djadi pada keadaan sebenarnja dapatlah disebutkan “De 5 Grote Sunda Eilanden”.

Djadi kalau dibandingkan dengan djumlah penduduknja maka ia adalah sama dengan Sulawesi. Dibanding dari segi djumlah penduduknja “Sunda Ketjil” lebih besar dari “Kalimantan”, tetapi pulau Kalimantan lebih besar dari pulau-pulau Sunda Ketjil.

Saudara Ketua jang terhormat, Pemerintah mendasarkan perubahan nama Sunda Ketjil mendjadi Nusa Tenggara atas dasar Pasal 131 ajat (1) Undang-Undang Dasar Sementara. Memang sampai pada saat ini wilajah Nusa Tenggara masih bersifat administratif.

Saja dapat menjetudjui nama Nusa Tenggara atas dasar administratif belaka sama dengan nama pulau-pulau djawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Barat.

Berhubung pendjelasan Undang-undang ini ada menjebut-njebut Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, saja bertanja-tanja kepada diri saja sendiri apakah Undang-undang ini ada mengandung siasat dalam pembagian daerah-daerah otonom?. Sampai pada saat ini 6 daerah otonom jang berada dalama wilajah Nusa Tenggara, jaitu Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor masih mendasarkan otonominja atas dasar pembentukannja sen-

diri …………….

diri, mendasarkan daerah statusnja masing-masing, diteguhkan pula oleh Undang-undang Negara Indonesia timur No.44 tahun 1950 dan diakui lagi oleh Undang-undang No. 1 tahun 1957 Pasal 73 ajat (4). Saja bertanja pula kepada diri saja sendiri apakah soal dan sebabnja kepada 6 daerah otonom jang ada dalam wilajah Nusa Tenggara sekarang mau dibentuk lagi, diubah atau dihapuskan?. Tidakkah lebih baik kepada masing-masing 6 daerah jang telah otonom itu ditambah tugas dan kewadjibannja jang telah ada sekarang dengan hak-hak jang lebih luas lagi menurut Undang-undang No. 1 tahun 1957, djuga menurut Pasal 131 ajat (2) Undang-Undang Dasar Sementara?. Kesimpulannja : Saja dapat menjetudjui Undang-undang Pengubahan Nama Sunda Ketjil mendjadi Nusa Tenggara, dengan pengertian bahwa “Nusa Tenggara” sama dengan pulau-pulau Djawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Barat. Kalimat Propinsi dihapuskan, sebab Undang-undang No. 1 tahun 1957 tidak mengenal propinsi. Sekian dan terima kasih. V.B. Saka :

Saudara Ketua jang terhormat, Hari ini Parlemen membitjarakan Rantjangan Undang-Undang tentang Penetapan Undang-Undang

Darurat No. 9 tahun 1954 tentang Pengubahan Nama Propinsi Sunda Ketjil mendjadi Propinsi Nusa Tenggara sebagai undang-undang. Izinkanlah kami mempergunakan kesempatan ini untuk menjampaikan satu dua pendapat. Dalam menghadapi pembitjaraan mengenai Rantjangan Undang-Undang jang kita hadapi sekarang, saja merasa tertarik kepada tiga buah pokok sebagaimana diuraikan dibawah ini : I. Perubahan Nama Propinsi Sunda Ketjil mendjadi Propinsi Nusa Tenggara. Dalam memberikan pendjelasan tentang alasan/maksud mengganti nama Sunda Ketjil menjadi Nusa Tenggara itu Pemerintah antara lain berkata “Maksud penggantian nama Sunda Ketjil mendjadi Nusa Tenggara ialah untuk :

a. Menghilangkan rasa dan kesan “ketjil” dari segala sesuatu jang berkenaan dengan daerah itu , baik jang mengenai wilajahnja, maupun penduduknja.

Kata “ketjil” menimbulkan kesan seolah-olah apa jang terdapat, terdjadi dan diperbuat orang disana itu dianggap serba ketjil dan remeh sadja, suatu hal jang dapat membangkitkan rasa tidak mampu, tidak sanggup dan rasa dianak tirikan dikalangan penduduk. b. Perubahan nama itu dapat mempertebal rasa persatuan dengan bagian-bagian lain dari wilajah Republik Indonesia. Kata Nusa Tenggara dapat menginsjafkan penduduknja bahwa mereka adalah warga Negara Kesatuan

Republik Indonesia, jang bertempat tinggal dibagian sebelah Tenggara dari wilajah Indonesia. Saudara Ketua jang terhormat,

Alasan-alasan jang dimadjukan diatas ini membutuhkan sedikit komentar, terutama ditindjau dari sudut ilmu djiwa. Dengan kata-kata jang diadjukan sebagai alasan tersebut diatas hendak dikatakan bahwa akibat kata “Ketjil” itu rakjat dari wilajah Nusa Tenggara mempunjai minderwaardigheids complex, rasa dan kesan “ketjil” terhadap penduduk dan daerah itu mungkin datangnja dari orang lain diluar wilajah itu sendiri. Dan rakjat wilajah itu, Saudara Ketua, pun insjaf sedalam-dalamnja bahwa mereka itu adalah warga Negara Republik Indonesia. Dan keinsjafan itu sekali-kali bukan akibat dari pemberian nama Nusa Tenggara kepadanja. Mungkin anggapan bahwa penduduk wilajah Nusa Tenggara itu tidak tergolong dalam wilajah Republik Indonesia, datangnja dari orang lain diluar wilajah jang bersangkutan. Alasan-alasan psychologis, jang menurut hemat saja tidak berdasarkan kenjataan dan kebenaran, untuk mengubah nama Sunda Ketjil mendjadi Nusa Tenggara seperti diterangkan diatas, agak kurang simpatiek. Oleh karena itu alangkah baiknja bila alasan-alasan psychologis itu sudah tidak dikemukakan dalam Memori Pendjelasan Pemerintah. Sebaliknja kami berpendapat bahwa alasan-alasan historisch, juridisch dan geografisch seperti jang diterangkan oleh Pemerintah, mengandung unsur jang tjukup kuat dan tjukup redelijk untuk memberikan nama lain kepada Sunda Ketjil. Alasan-alasan tersebut belakangan ini jang mendapat persetudjuan kami rasanja berlebihan untuk diberikan komentar terhadapnja. II. Pembagian wilajah Nusa Tenggara atas daerah-daerah otonom.

Dalam Pendjelasannja Pemerintah mengatakan sebagai berikut :

“Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Pasal 131 ajat (1) mengatakan, bahwa pembahagian Indonesia atas daerah besar dan ketjil jang berhak mengurus rumah tangganja sendiri, ditetapkan dengan undang-undang. Dengan pembahagian Daerah ini dengan sendirinja harus ditentukan nama-namanja dari daerah itu”. Saudara Ketua jang terhormat,

Gembira kami membatja Keterangan / Pendjelasan Pemerintah itu. Kegembiraan kami itu didasarkan atas isi dari Pendjelasan ini jakni pemberian nama itu adalah proses/rangkaian dari pada pembahagian Indonesia atas daerah-daerah otonom jang mengurus rumah-tangganja sendiri. Pembahagian propinsi administratif Nusa Tenggara atas lebih dari pada satu wilajah otonom tingkat I, adalah mendjadi idam-idaman rakjat Nusa Tenggara jang saja wakili. Rakjat Nusa Tenggara menunggu-nunggu/mengharap-harapkan saat datangnja otonomi itu. Kerinduan itu ditambah lagi waktu melihat bahwa daerah-daerah lain di Indonesia sudah dibagi didalam daerah otonom (Djawa, Sumatera, Kalimantan dan Maluku). Berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 diwilajah-wilajah jang disebut belakangan ini sudah dibentuk daerah-daerah otonom jang baru. Sajang, bahwa Undang-undang No.1 tahun 1957 hingga kini tidak/belum didjalankan untuk dan wilajah jang luas dibahagian Timur Indonesia; Sulawesi dan Nusa Tenggara. Rakjat didaerah-daerah Sulawesi dan Nusa Tenggara menanti-nantikan pembentukan daerah otonomnja jang baru, jang setingkat dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Dengan adanja penetapan Undang-undang Perubahan Nama Sunda Ketjil mendjadi Nusa Tenggara ini, chususnja rakjat Nusa Tenggara mau pertjaja, bahwa Pemerintah tidak akan mempertangguh-tangguhkan lagi pembentukan daerah-daerah otonom baru diwilajah tersebut. Belum lama berselang oleh Radio Republik Indonesia sudah disiarkan bahwa Kabinet telah memutuskan untuk membagi Propinsi Administratif Nusa Tenggara mendjadi 2 daerah Swatantra Tingkat I. Sebagai tjatatan tambahan, dapat dikemukakan disini, bahwa dalam rangka pembentukan wilajah otonom baru di Nusa Tenggara, wilajah itu sudah dikundjungi baik oleh Misi Nasrun maupun oleh Jang Mulia Saudara Menteri Dalam Negeri sendiri. Rakjat menunggu dengan sabar hasil kundjungan-kundjungan jang bersedjarah itu. Dan rakjat wilajah Nusa Tenggara jang saja wakili itu menanjakan : “sampai berapa lama lagikah akan kami bersabar dan menunggu?”. Dengan kesempatan ini, Saudara Ketua, izinkanlah saja dari mimbar ini menjampaikan desakan rakjat jang saja wakili kepada Pemerintah dalam bentuk pertanjaan:

“Kapankah Pemerintah akan berela hati untuk memenuhi keinginan rakjat Nusa Tenggara, dengan membagi wilajahnja dalam Daerah-daerah Otonom Tingkat I dan II?. III. Nusa Tenggara dalam rangka Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan. Saudara Ketua jang terhormat, naar aanleiding van akan turut ditanda tangani Undang-undang ini oleh jang Mulia Saudara Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan terkenanglah saja akan Nusa Tenggara pada masa 4 tahun jang silam, bila wilajah itu dikundjungi oleh Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan pada waktu itu Saudara Prof. Mr. Hadji Mohamad Yamin (suatu nama jang tidak asing lagi chusus buat rakjat djelata Nusa Tenggara), jakni dari tanggal 24 sampai datang 31 Djanuari 1954. Sebagai kenang-kenangan jang bersedjarah oleh Beliau ditinggalkan sonneta masjhur buat kepulauan Indonesia disebelah tenggara itu. Dua baris jang merupakan bait terachir dari sonneta itu, mengandung isi sesuatu harapan, “Nusa Tenggara saja harapkan, sekiranja dewi pengadjaran meninggalkan kajangan “. Harapan kami tentulah sedjalan dengan harapan bekas Menteri Yamin: Dengan turut ditanda tangani Undang-undang ini kelak oleh Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, kami doakan semoga Tuhan melimpahkan rachmat NYA, atas usaha-usaha Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan wilajah Nusa Tenggara, agar usaha-usaha itu berkembanglah dengan subur. Sekian Saudara Ketua, terima kasih. Ketua : Saja persilakan Saudara Chamid Widjaja.

A. Chamid Widjaja : Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saudara Ketua jang terhormat, Mengenai Rantjangan Undang-Undang jang kita bitjarakan sekarang ini, jaitu Rantjangan Undang-Undang tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 9 tahun 1954 tentang Pengubahan Nama Propinsi Sunda Ketjil mendjadi Propinsi Nusa Tenggara sebagai Undang-undang, Fraksi kami, Fraksi Nahdlatul Ulama dapat menjetudjui sepenuhnja, oleh karena apa jang diatur dalam Rantjangan Undang-Undang ini adalah sangat sederhana sekali, jakni sekedar mengadakan perubahan nama dari suatu daerah propinsi jang pada hakekatnja sudah terlaksana dan berdjalan meluas, baik dalam hubungan-hubungan resmi maupun dalam pertjakapan-pertjakapan umum dengan tidak menemui kesulitan apapun djuga. Memang benar, Saudara Ketua, perkataan “Nusa Tenggara”, seperti dinjatakan oleh Pemerintah dalam Pendjelasan Undang-undang ini, lebih tepat dan lebih tjotjok, bahkan lebih sedap dirasakan dan didengar dari pada perkataan “Sunda Ketjil” jang mengandung kemungkinan-kemungkinan pengertian jang kurang baik, antara lain kemungkinan timbulnja rasa dianak-tirikan oleh Pemerintah Pusat. Djusteru dengan Undang-undang ini, kemungkinan-kemungkinan seperti ini dapat ditjegah. Dalam hubungan ini, Saudara Ketua, saja ingin menjatakan disini, bahwa perubahan nama ini bagi Saudara-saudara kita didaerah Nusa Tenggara sebenarnja sudah tidak merupakan suatu persoalan lagi. Sambutan kegembiraan terhadap adanja perubahan jang dapat dimengerti dan dirasakan artinja ini sudah lampau. Masjarakat di Nusa Tenggara hanjalah tinggal ingin mendengar apabilakah perubahan nama itu setjara resmi disahkan oleh Parlemen. Maka dapatlah dibajangkan,

Saudara Ketua, bahwa dengan pengesahan terhadap Rantjangan Undang-Undang ini jang akan dilakukan oleh

Parlemen nanti, sambutan rakjat di Nusa Tenggara tidaklah akan semeriah seperti halnja ketika mereka menjambut keluarnja Undang-Undang Darurat No. 9 tahun 1954 jang lalu. Hal ini, Saudara Ketua, tidaklah berarti, bahwa mereka tidak mempunjai rasa kegembiraan dan rasa hormat terhadap pengesahan jang akan diberikan oleh Parlemen nanti, akan tetapi perkembangan keadaan selama 4 tahun jang lalu, telah banjak membawa perubahan, terutama sedjak dikeluarkannja Undang-undang No.1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, sehingga perhatian masjarakat disana tidak lagi tertudju kepada nama baru jang diberikan kepada daerahnja jang sebenarnja kini telah mendjadi hal jang biasa, melainkan kepada soal-soal lain jang djauh lebih penting lagi dari pada nama ini, chususnja dalam rangka pelaksanaan dari Undang-undang No. 1 tahun 1957 itu. Dalam rangka pelaksanaan ini Saudara Ketua, sesuai dengan politik program Pemerintah untuk setjara integral membentuk daerah-daerah otonom baru, maka untuk daerah Nusa Tenggara ternjata usaha Pemerintah mengalami kematjetan dan penundaan. Dari kematjetan ini serta lambatnja realisasi pembagian daerah-daerah otonom didaerah Nusa Tenggara saja dapat mengambil kesan adanja keragu-raguan pada pihak Pemerintah untuk mengambil ketegasan mengenai soal pembagian daerah-daerah otonom baru di Nusa Tenggara, terutama mengenai Daerah Tingkat I berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957. Keragu-raguan demikian ini, djika benar kesan jang dapat saja tangkap itu, adalah bertentangan sekali dengan sembojan “Gerak Tjepat” jang selama ini mendjadi pedoman bertindak bagi Pemerintah. Saudara Ketua,

Djikalau saja tidak salah, mengenai pembagian daerah otonom baru, chususnja Daerah Tingkat I, di daerah Nusa Tenggara ini ada beberapa pendapat dan keinginan dikemukakan oleh masjarakat jang bersangkutan :

a. ada jang menghendaki supaja tiap-tiap kepulauan di Nusa Tenggara mendjadi daerah otonom tingkat satu;

b. ada jang menghendaki dibentuknja 2 daerah otonom tingkat I dengan pembagian-pembagian : 1. Nusa Tenggara Barat, terdiri dari pulau-pulau Bali dan Lombok; 2. Nusa Tenggara Timur, terdiri dari pulau-pulau Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor;

c. ada jang menghendaki dibentuknja 3 daerah otonom tingkat I dengan pembagian-pembagian: 1. Nusa Tenggara Barat, terdiri dari Pulau Bali sadja; 2. Nusa Tenggara Tengah, terdiri dari Pulau-pulau Lombok dan Sumbawa; 3. Nusa Tenggara Timur, terdiri dari Pulau-pulau Sumba, Flores dan Timor;

d. ada jang menghendaki tetap sebagaimana keadaannja sekarang, artinja seluruh daerah Nusa Tenggara mendjadi satu daerah otonom tingkat I;

e. mungkin masih ada lagi, Saudara Ketua, keinginan-keinginan lain, jang tidak sampai pada saja.

Keinginan-keinginan ini, Saudara Ketua, masing-masing didasarkan atas alasan- alasan , jang djika diperhatikan dari berbagai sudut, dapat dimaklumi, meskipun dari segi lain alasan-alasan itu sudah diterima. Dan lebih susah lagi, Saudara Ketua, ada keinginan jang dikemukakan dengan diikuti sanksi, bahwa djika keinginannja tidak dapat dipenuhi, maka golongan itu tidak akan ikut serta dalam Pemilihan Umum untuk pembentukan Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Tingkat I jang akan datang. Sungguhpun saja jakin, bahwa bagaimanapun djuga kerasnja keinginan dari berbagai golongan jang djuga disertai dengan sanksi,

apabila Pemerintah berhasil menemukan “djalan tengah” jang tjukup kompromis, maka segala sesuatunja akan mendjadi lantjar dengan sendirinja. Akan tetapi rupanja oleh karena beraneka ragamnja keinginan-keinginan jang sukar dikompromikan seperti saja gambarkan tadi, maka “gerak tjepat” Pemerintah jang sering kita saksikan diberbagai persoalan, dalam persoalan pembagian daerah-daerah otonom baru di Nusa Tenggara ini mendjadi tertahan, dan sepandjang jang saja ketahui, sampai sekarang Pemerintah belum lagi dapat menembus dan mengatasi perbedaan-perbedaan keinginan itu. Saja dapat memahami, Saudara Ketua, kesulitan Pemerintah untuk mempraktekan “gerak tjepat”-nja dalam persoalan ini, akan tetapi saja pun tidak bisa melupakan kesulitan-kesulitan lainnja jang akan timbul karena belum adanja ketegasan dan penjelesaian. Dalam hubungan ini, patut kiranja saja kemukakan, bahwa Saudara Menteri Dalam Negeri pada tahun jang lalu telah mengundjungi Bali dan Lombok. Kiranja sudah bisa dipastikaan, bahwa kunjungan Beliau itu tidak akan terlepas dari rangka usaha untuk realisasi, pembentukan daerah-daerah otonom baru di Nusa Tenggara. Dari hati ke hati tentunja Saudara Menteri sudah mendengar sendiri pokok-pokok pikiran dan alasan-alasan dari keinginan-keinginan jang dikemukakan itu, dan terhadap pokok-pokok pikiran ini nistjaja Saudara Menteri sudah memberikan penilaiannja, sampai pada suatu kesimpulan dan perumusan jang konkrit. Maka pada kesempatan ini, inginlah saja mengetahui, betapakah kesan-kesan Saudara Menteri Dalam Negeri dalam perkundjungannja itu?. Dan bilakah agaknja realisasi pembagian daerah-daerah otonom baru diseluruh Nusa Tenggara dapat dilakukan?. Saudara Ketua, pada saat sedang ramainja keinginan-keinginan tadi mendjadi pembahasan masjarakat, pembahasan jang rupanja belum djuga bisa menelorkan suatu kesimpulan, pada suatu ketika sajup-sajup terdengar pemberitaan melalui Radio Republik Indonesia tentang Keputusan Kabinet untuk membagi daerah Nusa Tenggara mendjadi 2 daerah otonom Tingkat I. Sajup-sajup saja katakan, Saudara Ketua, oleh karena saja sendiri tidak dapat mendengar pemberitaan itu selengkapnja, akan tetapi pendengaran itu saja lengkapi dengan uraian Sdr. Drs. Matakupan dalam Pemandangan Umumnja mengenai Rantjangan Undang-Undang tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 9 tahun 1957 tentang Perpandjangan Djangka Waktu Masa Kerdja Dewan Perwakilan Rakjat Daerah dan Dewan Perwakilan Rakjat Peralihan sebagai Undang-undang, pada tanggal 17 Djanuari 1958 jang baru lalu digedung ini. Djika apa jang tersimpul dalam pemberitaan itu ternjata benar, Saudara Ketua, saja berpikir tentunja Pemerintah telah menemukan djalan pemetjahan mengenai persoalan ini, jaitu membagi Nusa Tenggara mendjadi 2 daerah otonom tingkat I. Maka agar lebih djelas, saja harap Pemerintah berkenaan memberikan keterangannja mengenai apa jang tersimpul dalam pemberitaan itu, dan sampai dimana keputusan Kabinet itu telah dilaksanakan. Saudara Ketua,

Keterangan Pemerintah mengenai persoalan pembagian daerah Nusa Tenggara dalam daerah-daerah otonom baru berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 sungguh sangat saja harapkan, meskipun keterangan itu sama sekali tidak akan mempengaruhi sikap Fraksi kami untuk menjetudjui Rantjangan Undang-Undang jang sedang mendjadi pembitjaraan sekarang ini. Dan pula, penilaian terhadap Keterangan Pemerintah itu tentunja bukanlah waktunja dikemukakan dewasa ini. Achirnja, seperti telah sering saja kemukakan, hendaknja Pemerintah senantiasa memperhatikan kepada susunan dan sistimatik perundang-undangan jang berlaku selama ini, dan perhatian ini hendaknja diwujudkan dalam Rantjangan Undang-Undang jang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat. Dalam hubungan ini, mengenai Rantjangan Undang-Undang ini sendiri, saja ingin menjampaikan beberapa usul perbaikan sebagai berikut :

1. Semua perkataan “Lembaran Negara No.66 tahun 1954” sesuai dengan kelaziman hendaknja diubah mendjadi “Lembaran Negara tahun 1954 No.66”;

2. Semua perkataan”Lembaran Negara tahun 1954 No.66” jang dalam Rantjangan Undang-Undang ini diletakkan dibelakang “Nomor” dan “Tahun”, Undang-undang harus diletakkan dibelakang “nama” dari undang-undang, sehingga untuk Rantjangan Undang-Undang ini berbunji: …………. Tentang penetapan Undang-Undang Darurat No. 9 tahun 1954 tentang Perubahan Nama Propinsi Sunda Ketjil mendjadi Propinsi Nusa Tenggara (Lembaran Negara tahun 1954 No. 66) ……

3. Dalam Konsiderans pada bagian “Menimbang angka 1 dan 2”, hendaknja diubah mendjadi huruf “a” dan “b”. Seterusnja pada bagian “a” kata-kata “Pemerintah Republik Indonesia” hendaknja diubah mendjadi “Pemerintah”, perkataan “jang” pada perkataan “Pasal 96” hendaknja ditambah “ajat (1)”, dan perkataan “Republik Indonesia “ pada Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia “dibuang”.

4. Kemudian pada bagian “b” perkataan “ketentuan-ketentuan dalam” harus diubah mendjadi “peraturan jang termaktub dalam”, sedangkan perkataan “diatas” dihapuskan.

5. Jang terachir, Saudara Ketua, perkataan “Ditetapkan” hendaknja diubah dengan jang sudah lazim dipergunakan “Disahkan”.

Demikianlah usul-usul perbaikan jang saja kemukakan berpedoman pada Rantjangan Undang-Undang

tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 6 tahun 1957 tentang Perubahan Undang-undang tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 1956 sebagai Undang-undang jang baru sadja kita sahkan pada tanggal 17 Djanuari 1958 jang baru lalu.

Sekianlah, Saudara Ketua, terima kasih.

Ketua : Saja persilakan Saudara S.D. Bili.

S.D. BILI : Saudara Ketua jang terhormat, Kepada Parlemen jang terhormat, Dikehendaki supaja membitjarakan Rantjangan Undang-Undang tentang Penetapan Undang-Undang

Darurat No.19 tahun 1954 tentang Mengubah Nama Propinsi Sunda Ketjil sebagai undang-undang. Saudara Ketua,

Sebelum saja menjampaikan keinginan dan pendirian Fraksi Partai Nasional Indonesia tentang maksud pngubahan nama Propinsi Sunda Ketjil dengan nama Nusa Tenggara, ataukah dengan nama lain dan tidaknja, maka sebagai wakil dari wilajah propinsi jang bersangkutan, inginlah saja membentangkan beberapa pandangan disekitar persoalan dengan harapan-harapan tertentu jang mendjadi idam-idaman dan tudjuan pokok dari propinsi jang mau ditetapkan namanja dengan suatu nama jang benar-benar lebih/tepat, sesuai dengan djiwa dan keadaan jang sebenarnja dari daerah-daerah pulau jang merupakan wilajah Propinsi Nusa Tenggara itu sebagai berikut : Saudara Ketua jang terhormat,

Untuk menjampaikan perasaan kami, bahwa tidak pernah penduduk mempunjai perasaan ketjil diantara saudaranja bangsa Indonesia Nusa Tenggara ini, maka saja ingin menjampaikan satu kesusteraan dari pada penduduk jang sampai sekarang ini masih hidup ditengah-tengah masjarakat jang berbunji sebagai berikut : “Ana kateri tana zumba, Ana kadipu tana mbali”, jang artinja “Putera seluruh tanah Sumba adalah sebagian dari tanah seberang”. Mereka merasa dirinja mempunjai pengertian dalam rasa kesatuan didalam Negara Republik Indonesia dan dalam bahasa kesusasteraan mengatakan :

“Ana Nusatara nda patara” (Putera Nusantara jang tak dapat dilawan). “Ana Andonuza nda palawa” (Puteri Indonesia jang tak dapat dilawan). Dengan ini, Saudara Ketua jang terhormat,

Maka rakjat mulai dari Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Timor dan Sumba dengan pulau-pulau lainnja tetap menganggap dirinja sebagai warga negara Indonesia jang benar-benar. Saudara Ketua,

Melihat tjiptaan alam dari Pulau Bali dan seterusnja, betul-betul disitu akan njata gugusan pulau-pulau itu merupakan suatu rentetan jang tidak terpisah dari pada tubuh Nusantara jang kita tjintai ini. Dengan ini djelaslah, Saudara Ketua jang terhormat,

Maka pada setiap waktu kami sebagai wakil dari Nusa Tenggara tetap mengusulkan dengan hormat kepada Pemerintah kita, agar supaja wilajahnja Propinsi Nusa Tenggara ini djuga tetap mendapat lajanan jang wadjar, sehingga dengan ini dirasa seluruh tubuh Ibu Pertiwi sama-sama mendapat lajanan jang baik, sesuai dengan utjapan saja pada waktu membitjarakan Anggaran Belandja pada tahun 1957. Saudara Ketua jang terhormat,

Perlu saja njatakan, agak aneh rasanja, karena belum beranak sudah ditimang. Tudjuan pokok jang utama dari kami ialah agara supaja Propinsi Nusa Tenggara didjadikan Daerah Tingkat I jang berotonom, apakah tetap mendjadi satu atau lebih dari satu. Inilah jang mendjadi tudjuan pokok jang utama, jang mendjadi keinginan dari kami. Akan tetapi, Saudara Ketua, sampai saat ini jang diinginkan belum terbentuk tetapi namanja sudah dikeluarkan terlebih dahulu. Itulah sebabnja, mengapa saja katakan; sebelum beranak sudah ditimang. Meskipun demikian Saudara Ketua, itupun tidak keluar dari pada kelaziman ditengah-tengah bangsa Indonesia. Seorang ibu jang mengandung telah menjediakan nama apa jang akan dipakai, kalau anaknja perempuan atau lelaki. Ini adalah kelaziman ditengah-tengah bangsa Indonesia. Perlu saja njatakan disini, lebih tepatlah setelah sudah njata, apakah anaknja itu lelaki atau perempuan, maka waku itu diberikan nama, sesuai dengan keadaan jang njata, karena kita mengetahui, nama itu mengatakan sifatnja seseorang jang diberi nama itu.

Saudara Ketua, Besar harapan saja, kendatipun keinginan kami dari wilajah Propinsi Nusa Tenggara belum tertjapai,

tetapi kiranja Pemerintah dalam waktu singkat ini, setelah nama ini ditetapkan, apa jang diinginkan diatas ini segera akan terlaksana. Melihat letaknja pulau-pulau jang disebutkan tadi, Saudara Ketua jang terhormat, adalah lebih tepat, karena memang pulau-pulau itu terletak dibagian tenggara dari wilajah Republik Indonesia ini. Sebab itu, Saudara Ketua jang terhormat, dengan ini saja njatakan atas nama Fraksi Partai Nasional Indonesia kami dapat menjetudjui agar nama Propinsi Sunda Ketjil jang dahulu itu diganti dan ditetapkan dengan nama Propinsi Nusa Tenggara. Dan achirnja saja mengharap kepada Pemerintah akan segera memperhatikan supaja pembentukan wilajah Propinsi Nusa Tenggara mendjadi Daerah Tingkat I jang berotonom itu akan lekas dilaksanakan, sehingga dengan demikian puaslah hati kita seluruhnja. Sekianlah dan terima kasih. Ketua : Saja persilakan Saudara Abulhajat. Abulhajat :

Saudara Ketua, pada ketika ini, kita disini memperbintjangkan suatu Rantjangan Undang-Undang tentang Penetapan Suatu Undang-undang Darurat jang sudah berdjalan kira-kira lebih dari 2 atau 3 tahun. Satu Undang-undang jang sederhana sekali, Saudara Ketua, jang djuga sudah dikirimkan langsung kedalam Pleno ini, oleh karena kesederhanaannja. Djadi Saudara Ketua,

Sebenarnja Undang-Undang Darurat ini dapat dikirim langsung sebagai Rantjangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakjat ini untuk disahkan dengan selekas-lekasnja. Inilah suatu tjontoh pula, Saudara Ketua,bagaimana orang sebenarnja sudah mempergunakan haknja untuk mengadakan Undang-Undang Darurat, padahal sebenarnja tidak begitu perlu mengadakan hal ini, oleh karena hal ini dapat dengan lekas diselesaikan oleh Dewan Perwakilan Rakjat , apalagi oleh karena pembitjaraan pokok jang ada didalam Undang-Undang Darurat ini adalah suatu pokok jang dapat disetudjui begitu sadja oleh kebanjakan dari pada Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat ini. Maka dengan ini sudah terang sekali, Saudara Ketua, bahwa peraturan jang memberi kekuasaan kepada Pemerintah untuk mengadakan Undang-Undang Darurat itu memang sebenarnja tidak tepat lagi. Dan walaupun pada tahun jang lalu dan tahun ini djuga, sudah mulai kita kehudjanan Undang-Undang Darurat, tetapi saja minta perhatian dari pada Pemerintah dan kepada Saudara djuga, supaja kita hati-hati djangan terburu-buru mengadakan Undang-Undang Darurat, kalau benar-benar keadaan Negara ini tidak memaksakan. Saudara Ketua,

Maksud dari pada Undang-Undang Darurat jang sudah berdjalan bertahun-tahun ini, jaitu mengubah nama jang diberikan oleh Pemerintah Kolonial dulu kepada satu bagian dari Indonesia ini, sebagai Sunda Ketjil. Dan karena perkataan “Ketjil” ini kata Pemerintah, maka orang-orang penduduk dari nusa-nusa itu merasa tidak dipersamakan oleh jang memerintah dulu dengan penduduk-penduduk jang lain, oleh karena ada perasaan minderwaardigheids complex pada mereka itu. Dan oleh karena itu, Pemerintah menimbang perlu mengadakan perubahan nama itu dari “Sunda Ketjil” mendjadi “Nusa Tenggara” itu. Sehingga dengan demikian djuga diharapkan bahwa penduduk itu akan menjumbangkan tenaganja dengan besar-besaran dengan djiwa besar terhadap kesatuan Indonesia ini. Akan tetapi apa jang digambarkan Pemerintah bahwa perasaan dianak tirikan jang ada pada sebagian penduduk Nusa Tenggara itu belum dapat dihilangkan, oleh karena dengan nama sadja, Saudara Ketua, perasaan itu tidak hilang, karena Nusa Tenggara sampai pada waktu ini tidak mendapat apa jang harus didapatnja, jaitu daerah otonom tingkat I. Itulah perasaan jang harus dihilangkan oleh Pemerintah dengan menjelenggarakan daerah otonom tingkat I didaerah Nusa Tenggara itu, baik sebelum dipisahkan mendjadi dua maupun sesudahnja. Tetapi bagaimanapun djuga, Saudara Ketua, seperti jang sudah digambarkan tadi oleh Saudara dari Partai Nasional Indonesia jaitu Saudara Bili, bahwa perasaan kesatuan bangsa adalah tidak hanja ditempat-tempat jang ramai, seperti Djakarta atau barangkali djuga di Palembang, Padang dan sebagainja, akan tetapi djuga didaerah-daerah jang disebelah Timur dan Tenggara itu bergelora djuga semangat kenasionalan. Maka semangat itu harus dipupuk , supaja jangan dipetjah-petjah, oleh karena mereka sudah merasa mendjadi satu dalam lingkungan jang sama baik historis maupun kulturil dan sebagainja, akan tetapi terpisah-pisahkan lagi hanja untuk memberi kesempatan kepada beberapa orang jang ingin menempatkan beberapa tempat jang tinggi.

Saudara Ketua, Perubahan nama ini, dikatakan oleh Saudara Menteri tadi dapatlah menimbulkan perubahan djuga

pada djiwa, dan oleh karena itu nama djalan “Van Heutz” sekarang diganti mendjadi “Diponegoro” dengan harapan agar opini dari pada “Van Heutz” untuk mendjadjah tidak melekat pada kita, tetapi “Diponegoro” lah jang akan mendjadi kenang-kenangan kita, mendjadi pahlawan bangsa untuk mengusir segala anasir-anasir jang akan memetjah-belah rakjat Indonesia seluruhnja. Maka dengan demikian, Nusa Tenggara akan mendjadi symbol dari pada kebangsaan jang baru. Tetapi Saudara Ketua, saja bertanja kepada Pemerintah, apakah nama “Nusa Tenggara” ini sudah tepat, apakah ini tidak mengingatkan kita kepada satu nama pulau sadja, umpamanja “Nusa Barung, Nusa Penida, Nusa Laut”, padahal ini adalah satu kepulauan atau nusa-nusa Tenggara. Apakah tidak akan lebih tepat djika Pemerintah memakai nama “Indonesia Tenggara”, sebab kalau nama “Nusa Tenggara” itu seolah-olah ada diluar Indonesia dan nanti kita membikin lagi nama “Indonesia Timur” dan sebagainja. Ini hanja pertanjaan, Saudara Ketua, tjuma buat mentest sadja, apakah sudah tepat nama “Nusa Tenggara” itu. Lagi pula Saudara Ketua, ada andjuran dari Saudara Menteri tadi supaja nama-nama jang mengingatkan kepada djaman kolonial itu diubah sadja. Dan apakah ini disarankan kepada nama perseorangan dan titel-titel dari perseorangan, seperti nama Dr. Prijono djangan disebut Doctor Prijono lagi, tetapi sardjana Pridjono, sebab ini mengingatkan djuga kepada zaman kolonial bahwa umumnja tidak semua orang dapat kesempatan untuk mendjadi doctor, hanja 1, 2 orang sadja jang mendapat kesempatan itu. Maka hal ini saja kira djuga mengingatkan kepada djaman kolonial, tetapi hal ini tentunja mengenai perseorangan, dan tidak disugestikan, apalagi karena mengenai dirinja sendiri. Fraksi kami, Fraksi Pembangunan dapat menjetudjui perubahan nama ini dan mengharap sekali lagi, Saudara Ketua, - bukan perubahan nama “Prijono”, akan tetapi perubahan nama “Sunda Ketjil” diganti dengan nama “Nusa Tenggara”. Maka dengan demikian saja harap djuga supaja betul-betul perubahan nama ini mendjadi perubahan djiwa dari orang-orang jang belum berubah djiwanja. Ketua : Saja persilakan Saudara Drs. J. Piry. Drs. J. Piry :

Saudara Ketua, Fraksi kami, Fraksi Partai Komunis Indonesia dapat menerima kehendak dan maksud Pemerintah untuk menetapkan Undang-Undang Darurat No. 9 tahun 1954 (Lembaran Negara No. 66 tahun 1954) tentang Pengubahan Nama Propinsi Sunda Ketjil mendjadi Propinsi Nusa Tenggara sebagai undang-undang. Mengenai alasannja kami dapat menerima pendjelasan jang sudah diberikan oleh Prof. Dr. Prijono tadi jang mengemukakan bahwa perubahan nama itu diberikan dengan alasan menghapuskan warisan sedjarah pendjadjahan. Djuga alasan geografisch dan alasan nama jang merupakan suatu perumusan singkat tentang keadaan dan tjita-tjita jang diharapkan. Usaha untuk menggantikan nama Sunda Ketjil itu sendiri sudah tidak tepat lagi, kalau disebut Sunda Ketjil, tentu ada Sunda Besarnja. Sunda Besarnja sebagai kategori sedjarah memang pernah ada, tetapi dalam perkembangan selandjutnja, ternjata nama ini sudah tidak dipakai lagi. Kalau jang besarpun sudah tidak ada lagi, jang ketjilpun tidak dapat dikatakan terus. Djadi Saudara Ketua, memang tidak ada manfaatnja untuk mempertahankan nama Sunda Ketjil itu, karena istilah besar selaku kata banding dari pada istilah ketjil memang tidak dipakai lagi dan istilah Sunda jang sisa itu untuk Propinsi dibagian Timur akan menjesatkan pengertian sadja. Maka itu kami dapat menerima penggantian nama dengan Nusa Tenggara. Jang saja sesalkan, Saudara Ketua, ialah bahwa pendjelasan jang diberikan oleh Pemerintah mengenai alasan untuk mengganti nama Sunda Ketjil itu mendjadi Nusa Tenggara tidak sepenuhnja tepat. Sesudah pendjelasan itu dipeladjari setjara serieus maka kesan jang ditimbulkan oleh Pemerintah setjara sadar atau tidak ialah bahwa Pemerintah disamping telah menggunakan alasan jang tidak tepat, djuga telah menggunakan alasan jang berlebih-lebihan. Jang dapat digolongkan dalam alasan jang tidak tepat ialah alasan Pemerintah dalam Memori Pendjelasannja jang mengatakan bahwa kata “ketjil” itu menimbulkan kesan seolah-olah apa jang terdapat, terdjadi dan diperbuat orang disana dianggap serba ketjil dan remeh sadja, suatu hal jang dapat membangkitkan rasa tidak mampu, tidak sanggup dan rasa dianak-tirikan dikalangan penduduk. Saudara Ketua, saja tidak akan menuduh bahwa Pemerintah ketika membuat Pendjelasan itu, telah dipengaruhi oleh istilah “ketjil”, sehingga setjara otomatis istilah “ketjil” itu dinilai setjara dilebih-lebihkan, ja. Bahkan lebih dari itu ia meramalkan bahwa istilah ketjil itu dapat membangkitkan rasa tidak mampu, tidak sanggup dan sebagainja. Saudara Ketua, apa jang terdjadi di Selat Sape dan apa jang diperbuat oleh arusnja, dengan nama Sunda Ketjil maupun Nusa Tenggara, arus itu akan tetap membahajakan. Begitu pula usaha pengeluaran kopra setjara gelap dari Flores, dengan melambangkan nama Sunda Ketjil ataupun nama Nusa Tenggara, saja kira adalah sama djahatnja dan merusaknja seperti jang dilakukan didaerah-daerah lain dan sebagainja.

Alasan lain jang dipergunakan oleh Pemerintah ialah bahwa istilah Nusa Tenggara itu, “dapat mempertebal rasa persatuan, dapat menginsjafkan penduduknja bahwa mereka adalah warga Negara kesatuan Republik dan sebagainja”. Saudara Ketua, alasan ini saja anggap berlebih-lebihan sekali. Sebagai salah seorang putera jang datang dari Nusa Tenggara, bersama-sama teman lainnja, kami merasa bahwa sesuatu maksud jang baik bisa berbalik mendjadi tidak baik, kalau alasan jang diberikan terlalu ditjari-tjari dan dibuat-buat. Kami pun mengenal sedjarah nenek mojang kita Bangsa Indonesia jang semula berasal dari satu rumpun bangsa jang dalam perkembangan sedjarahnja dan keadaan geografi Indonesia untuk sementara waktu telah bertumbuh mendjadi satu bangsa jang terdiri dari banjak suku bangsa, banjak bahasa dan tingkat kebudajaan jang berbeda-beda. Djadi Saudara Ketua,

Sebelum nama Nusa Tenggara ditjiptakan oleh Undang-Undang Darurat ini, memang suku-suku bangsa Indonesia dikepulauan sana di Nusa Tenggara merasa bersatu dengan suku-suku bangsa Indonesia dibagian jang lain. Lebih-lebih sesudah Republik Indonesia diproklamirkan, perasaan persatuan karena asal usul itu berkembang dan tumbuh mendjadi warga Negara dari Negara Kesatuan, ja, Negara Kesatuan memberikan dasar hidup jang baik sekali. Saudara Ketua, saja tidak akan membantah bahwa disinipun dan didaerah Indonesia jang lain, ada golongan-golongan jang tidak suka bersatu dengan alasan agama, suku maupun aliran, tetapi djanganlah hal itu ditimpakan pada nama Sunda Ketjil, atau kalau ada golongan jang suka bersatu dan merasa mendjadi warga Negara dari Negara Kesatuan, djanganlah itu pula dipandang sebagai akibat proses penggantiannja nama mendjadi Nusa Tenggara. Selain dari pada alasan-alasan jang kurang tepat dan alasan jang berlebih-lebihan ini, kami minta perhatian Pemerintah terhadap kalimat jang berbunji, “Bahwsanja pembagian wilajah Negara Indonesia atas seluruh sepuluh daerah-daerah propinsi serta penetapan nama-namanja telah diatur dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Serikat Nr 21 tahun 1950 (Lembaran Negara tahun 1950 Nr 59) ialah oleh karena pada waktu terbentuknja Negara Kesatuan belum terdapat Undang-undang mengurus pembagian otonomi dari propinsi atau daerah lainnja dengan Pemerintah Pusat”. Jang perlu diperhatikan ialah kalimat, “belum terdapat undang-undang mengurus pembagian otonomi dari propinsi atau daerah lainnja dengan Pemerintah Pusat”. Disamping redaksinja tidak berketentuan, kalimat inipun menundjukkan bahwa persoalan otonomi dan wilajah Negara dalam hubungan propinsi dan daerah, rupanja ditjampur adukkan sadja. Saudara Ketua,

Harap Pemerintah dapat mempertimbangkan sekali lagi persoalan-persoalan jang kami kemukakan mengenai pendjelasan jang diberikannja dalam Memori Pendjelasan. Kami mengerti usaha baik Pemerintah untuk mengganti nama Sunda Ketjil dengan Nusa Tenggara, tetapi djanganlah berlebih-lebihan dalam mentjari alasan itu, sehingga merusak maksud jang baik itu. Karena itu, ini Memori Pendjelasan hendaknja dibatasi kepada alasan sedjarah seperti jang saja kemukakan diatas. Saudara Ketua, kami pergunakan kesempatan ini untuk bertanja kepada Pemerintah, dengan memakai variant pribahasa jang diutjapkan oleh Sdr. S.D. Bili sudah ditimang tetapi belum beranak Tetapi saja katakan lain, jaitu belum ditimang sudah beranak. Sampai dimanakah persiapan Pemerintah dalam membentuk Daerah Otonom Tingkat I Nusa Tenggara Timur itu dan siapakah pedjabat jang akan diserahi tugas untuk itu dengan berkedudukan di Kupang dan persiapan apa sadja jang dipandang urgent oleh Pemerintah dalam menjongsong pembentukan Daerah Otonom Tingkat I Nusa Tenggara Timur. Kami sangat menghargai sikap jang tegas ini Saudara Ketua, seperti jang tertjantum dalam Memori Djawaban Pemerintah atas Laporan Gabungan Seksi G halaman 15, tetapi meminta agar supaja pembentukan Daerah Otonom Tingkat I Nusa Tenggara Barat mendapat pula perlakuan jang sama untuk daerah-daerah jang mendjadi tjalon Propinsi Nusa Tenggara Barat. Apakah sadja jang mendjadi penghalang dalam pembentukan kedua Propinsi Otonom di Nusa Tenggara itu? Sebagai penutup, Saudara Ketua, perlu kami tanjakan kepada Pemerintah, apa gerangan contra-Signe Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan atas Rantjangan Undang-Undang ini ada hubungannja dengan pendjelasan jang baru sadja diberikan oleh Sdr. Prijono?. Kalau demikian apakah tidak lebih baik untuk menerima pendjelasan jang tadi itu sadja sebagai Memori Pendjelasan dari pada Undang-undang jang kita hadapi bersama ini?. Sekian, Saudara Ketua, dan terima kasih. Ketua : Saja persilakan pembitjara terachir Saudara Thajib Abdullah

Moh. Thajib Abdullah : Saudara Ketua jang terhormat,

Pada mulanja kami menjangka dan mengharapkan bahwa jang lebih dahulu diadjukan oleh Pemerintah, ialah Rantjangan Undang-Undang tentang Pembentukan Propinsi Otonom Nusa Tenggara, adalah soal jang paling penting dan urgent bagi rakjat Nusa Tenggara. Tetapi dalam Sidang Pertama Parlemen tahun 1958 ini, maka dalam persoalan Nusa Tenggara, djusteru jang diadjukan lebih dahulu oleh Pemerintah ialah Rantjangan Undang-Undang tentang Penggantian nama Sunda Ketjil mendjadi Nusa Tenggara. Sebenarnja soal penggantian nama Sunda Ketjil mendjadi Nusa Tenggara ini tidaklah mendjadi persoalan bagi rakjat dan masjarakat Nusa Tenggara, tetapi jang lebih penting ialah tentang pembentukan daerah otonom tingkat I dan II di Nusa Tenggara. Berhubung dengan itu sebagai djuga sudah disinggung oleh pembitjara-pembitjara jang lain terutama oleh Saudara Bili, saja ikut menguatkan supaja Pemerintah dapat segera memadjukan Rantjangan Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom di Nusa Tenggara itu dalam Masa Sidang ini djuga. Saudara Ketua jang terhormat,

Kembali pada Rantjangan Undang-Undang jang kita bitjarakan sekarang ini, saja melihat bahwa diantara alasan-alasan jang dipergunakan oleh Pemerintah untuk mengubah nama Sunda Ketjil mendjadi Nusa Tenggara itu, karena nama ketjil itu menundjukkan bahwa penduduknja dan djuga orang-orangnja jang berdiam disana itu berdjiwa ketjil dan ada djuga menjebabkan kurangnja perhatian Pemerintah Pusat terhadap daerah-daerah Sunda Ketjil jang sekarang dikatakan Nusa Tenggara dan achirnja mendjadi daerah-daerah jang dianak-tirikan. Begitulah diantara Pendjelasan Pemerintah mengenai Rantjangan Undang-Undang ini. Saudara Ketua,

Alasan-alasan sebagai jang dikatakan itu sukar untuk kita dapat menjetudjui, apalagi dimana dinjatakan bahwa pada nama ketjil itu menunjukkan bahwa orang-orang jang disana berdjiwa ketjil; ini tidak dapat kami terima. Selama (kalau) kepada rakjat kami disana (Nusa Tenggara) Pemerintah dapat memperlakukan dan memberikan kesempatan untuk madju dan berlomba-lomba sebagai dan bersama-sama dengan Saudara-saudara dari daerah-daerah lain di Indonesia ini, sebagaimana jang dimaksud oleh djiwa Rantjangan Undang-Undang ini jang dapat kami menjetudjui dan menghargainja, maka disana tidak ada orang jang merasa ketinggalan dan dalam prakteknja banjak putera-putera jang berasal dari Sunda Ketjil memegang pekerdjaan-pekerdjaan jang besar. Dalam salah satu partai besar jang ada disini djuga, ada seorang dari Sunda ketjil jang memegang djabatan Sekertaris Djenderal umpamanja Saudara Manuaba, Sekertaris Djenderal dari partai besar jaitu Partai Nasional Indonesia. Apakah Pemerintah mau menganggap bahwa Partai Nasional Indonesia itu satu partai jang berdjiwa ketjil karena memilih Saudara Manuaba dari Sunda Ketjil jang dikatakan berdjiwa ketjil mendjadi Sekertaris Djenderal Partai Nasional Indonesia?. Saudara Drs. J. Piry pembitjara jang baru lalu tadi djuga salah seorang penting dari Fraksi Partai Komunis Indonesia. Apakah djuga mau dikatakan bahwa Saudara J. Piry atau Partai Komunis Indonesia itu berdjiwa ketjil karena memilih Saudara J. Piry mendjadi seorang penting dalam Fraksinja?. Saudara Ketua, keterangan jang menjimpulkan bahwa perkataan “ketjil” itu menunjukkan kurang baik, itu sukar diterima. Umpamanja Saudara Prof. Mr. Muhd. Yamin, djuga beliau masuk dalam salah satu Fraksi jang ketjil, tentunja Saudara Prof. Muhd. Yamin tidak akan mau dikatakan bahwa beliau memasuki salah satu Fraksi jang kurang baik (hanja karena Fraksi itu ketjil). Djadi tidak bolehlah perkataan “ketjil” itu dianggap kurang baik, karena hanja untuk menunjukkan bahwa orang itu ada ditempat ketjil. Djadi pada pokoknja alasan jang dipergunakan itu tidak dapat diterima dan saja kira alasan ini akan mendapat protes keras dari seluruh rakjat Sunda Ketjil atau Nusa Tenggara. Kami minta supaja alasan jang menunjukkan bahwa rakjat disana berdjiwa ketjil, supaja dihapuskan. Saudara Ketua,

Selain dari pada itu ada pula alasan jang menjatakan bahwa karena djiwa ketjil itu djuga pembangunan didaerah-daerah Sunda Ketjil dianak-tirikan, djuga mengenai kebutuhan-kebutuhan didaerah. Inipun dapat kita lihat kenyataan tentang dianak-tirikannja pembangunan sedjak dahulu, bahkan sesudah keluarnja Undang-Undang Darurat untuk mengubah nama Sunda Ketjil mendjadi Nusa Tenggara, tetap sadja belum ada perhatian dari Pemerintah Pusat, malah bertambah banjak bangunan-bangunan jang dahulunja baik sekarang sudah rusak dan belum pernah diperhatikan. Lihat sadja umpamanja di Pulau Sumba tidak ada satu djembatanpun jang sudah diperbaiki sedjak tahun 1950, sedjak daerah itu masih bernama Sunda Ketjil dan sekarang sudah memakai nama Nusa Tenggara. Malah djembatan jang dulunja baik, umpamanja djembatan antara lapangan terbang Manhan dengan Kota Waingapu sekarang sudah rusak dan belum dapat diperbaiki.

Djadi rupanja maksud dari Rantjangan Undang-Undang ini, ialah untuk menunjukkan bahwa perhatian Pemerintah Pusat adalah besar terhadap Sunda Ketjil, ini belum lagi tertjapai, meskipun sudah diubah nama Sunda Ketjil mendjadi Nusa Tenggara sedjak tahun 1954. Oleh karena itu Saudara Ketua, kami bertanja dengan segala keragu-raguan kepada Pemerintah, apakah benar bahwa dengan pergantian nama Sunda Ketjil mendjadi Nusa Tenggara itu lantas perlakuan menganak-tirikan Nusa Tenggara itu akan berachir dan achirnja djiwa dari Rantjangan Undang-Undang ini djuga dapat dilaksanakan?. Saudara Ketua jang terhormat,

Alasan jang lain jaitu karena Belanda dulu jang memberikan nama jang diambilnja mungkin dari Portugis, nama Sunda Ketjil masih bisa kita terima.

Tetapi dikatakan oleh Pemerintah, selain nama Sunda Ketjil ada pula nama Sunda Besar. Apakah sebabnja hanja Sunda Ketjil jang diubah, sedangkan Sunda Besar belum?. Dan bilakah nama Sunda Besar itu akan diubah oleh Pemerintah dengan undang-undang?.

Lain dari pada itu masih banjak nama-nama lain jang berasal dari djaman pendjadjahan jang masih terus digunakan dengan resmi disekolah-sekolah mendjadi kitab peladjaran Ilmu Bumi.

Satu tjontoh sadja umpamanja jang berasal dari zaman pendjadjahan dan sampai sekarang masih dipergunakan dikatakan, bahwa pulau Sumbawa itu pokok makanannja ialah djagung. Kita tidak merendahkan makanan djagung, tetapi ini adalah tidak benar, karena bertentangan dengan kenjataan.Pulau Sumbawa itu menghasilkan banjak beras dan pokok makanannja bukan djagung, tetapi nasi.

Kami minta supaja Pemerintah djuga memperhatikan nama-nama istilah jang masih resmi digunakan mendjadi peladjaran jang salah bagi anak-anak kita. Djuga mengenai ini supaja mendapat perhatian Pemerintah.

Dalam hubungan ini Saudara Ketua, Kami ingin minta perhatian lebih djauh kepada Pemerintah, supaja dibentuk satu Panitia Tetap untuk

menjelidiki nama-nama jang berasal dari zaman pendjadjahan jang perlu diubah. Sebagai tadi sudah diumumkan oleh Pemerintah sendiri dalam Memori Pendjelasannja, umpamanja

“Molenvliet” dan lain-lainnja sudah diganti dengan nama-nama baru, maka hendaknja semua nama-nama yang dirasakan perlu diubah, itu sebaiknja diatur oleh satu Panitia sehingga perubahan tidaklah diatur setjara insidentil sadja. Kemudian perubahan-perubahan nama jang akan diubah dan jang sudah diubah supaja dapat diumumkan kepada Dewan Perwakilan Rakjat dan seluruh masjarakat. Djadi pada pokoknja alasan-alasan histories, juridis dan geografis itu sadja dari Rantjangan Undang-Undang ini jang digunakan, sedangkan alasan psychologis, jang berdjiwa ketjil itu, kami minta supaja dihapuskan. Sekian dan terima kasih. Ketua : Sekianlah Pemandangan Umum para Anggota terhadap Rantjangan Undang-Undang ini jang telah disambut oleh 7 orang Anggota. Sekarang ingin saja bertanja kepada Pemerintah, apakah Pemerintah dapat sekarang djuga memberi djawabannja? Saja persilakan Saudara Wakil Pemerintah. Prof. Dr. Prijono, Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan : Saudara Ketua, Walaupun pada umumnja Saudara-saudara pembitjara jang terhormat tadi dapat menjetudjui pokok-pokok dari pada Rantjangan Undang-Undang ini, namun ada berbagai-bagai keberatan dan berbagai-bagai pertanjaan jang barangkali lebih baik kita mintakan waktu supaja kita dapat mendjawab dengan lebih tepat. Dapat saja terangkan disini, bahwa bidan jang dapat meramalkan apakah ibu jang mengandung itu akan melahirkan anak tunggal, kembar dua, tiga atau enam ialah Saudara Menteri Dalam Negeri. Tentang keberatan nama “Nusa Tenggara seakan-akan Nusa itu adalah singularis itu kalau saja tidak salah, nama benda Indonesia itu anumuris, artinja dalam bentuknja tidak menundjukkan djumlah atau angka”.

“Banjak orang”, sudah cukup, tidak usah “banjak orang-orang”, sehingga orang dapat menunjukkan curaris, dapat menunjukkan singularis.

Tentang apa jang diadjukan oleh Sdr. Drs. J. Piry, bahwa Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan tidak usah memberikan contraseign, itu saja setudju 100 persen.

Saudara Ketua jang terhormat, Saja ulangi lagi permintaan saja supaja kami diberi waktu sekedar untuk memberi djawaban jang lebih

tepat dan lebih baik dari pada kalau djawaban itu diberikan sekarang djuga.

Ketua : Saja bertanja kepada Saudara Menteri, sampai kapan waktunja?. Nanti malam masih ada disediakan. Besok pagi dan malam djuga masih ada. Bagaimana, apakah besok pagi?.

Prof. Dr. Prijono, Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan : Saja menjerah sadja Saudara Ketua, Ketua : Kalau buat para Anggota itu terserah kepada Pemerintah, sebab Pemerintah jang akan memberikan djawaban.

Prof. Dr. Prijono, Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan : Besok pagi sadja, Saudara Ketua. Ketua : Saudara-saudara, saja bisa mengatakan bahwa sebetulnja penjelesaian Rantjangan Undang-Undang ini bisa diselesaikan dalam waktu 5 menit. Tetapi oleh karena Pemerintah mau memberikan djawaban jang agak mendalam terhadap beberapa saran dan pertanjaan-pertanjaan Saudara-saudara, maka Pemerintah akan memberikan djawabannja besok. Saja rasa Saudara-saudara dapat menjetudjui kalau kita undur sadja pembitjaraan ini sampai besok pagi?. ( Rapat : Setudju) Sekarang kita masuk pada atjara kedua, jaitu mengenai Rantjangan Undang-Undang tentang Tugas Wewenang Agraria. Rantjangan Undang-Undang ini kita terima dari Pemerintah dengan Amanat Presiden tanggal 27 Djanuari 1958 No. 146/HK/58 dengan permintaan agar pembitjaraan dalam Dewan Perwakilan Rakjat ini mendapat prioriteit. Oleh karena permintaan Pemerintah itu dan djuga karena isi Rantjangan Undang-Undang ini tidak begitu berat, maka Panitia Permusjawaratan telah menetapkan bahwa Rantjangan Undang-Undang ini langsung dibitjarakan didalam Rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakjat pada tanggal 4 Pebruari, hari ini. Oleh karena putusan itu telah disetudjui oleh Rapat Pleno kemarin, maka sekarang datanglah saatnja kita mulai membitjarakan tentang Rantjangan Undang-Undang ini. Sebagaimana tadi sudah saja terangkan, kebiasaan jang kita pakai terhadap suatu Rantjangan Undang-Undang jang langsung dibitjarakan dalam Parlemen, maka kesempatan jang pertama akan dipakai lebih dahulu oleh Pemerintah untuk memberikan pendjelasan. Untuk demikian itu saja persilakan Pemerintah untuk memberikan pendjelasannja. Saja persilakan Saudara Menteri Agraria. Mr. Soenarjo, Menteri Agraria :

Saudara Ketua jang terhormat, Sebetulnja Rantjangan Undang-Undang ini telah disertai dengan pendjelasannja tetapi sekedar untuk memberikan pendjelasan jang singkat saja berikan keterangan sebagai berikut : Saudara Ketua, dalam tahun 1953 dibentuk djabatan Menteri Agraria, kemudian tahun 1955 diadakan Kementerian Agraria. Wewenang jang ada dipusat itu sudah beralih dari Kementerian Dalam Negeri kepada Kementerian Agraria, tetapi wewenang jang ada didaerah-daerah masih djuga didjalankan oleh alat-alat dari pada Kementerian Dalam Negeri. Karena itu maka sekarang sesudahnja Kementerian Agraria itu membentuk kantor-kantornja didaerah-daerah, maka ada sewadjarnja bahwa kekuasaan dan wewenang jang mengenai Agraria didaerah itu didjalankan didaerah oleh alat-alat dari pada Agraria itu.

Selandjutnja Saudara Ketua, Ada beberapa soal mengenai agraria itu jang sekarang ini mendjadi perebutan diantara swapradja dan

daerah-daerah otonom jang sudah dibentuk sebagai daerah otonom; seperti terdapat umpamanja pada pembentukan dari pada Kabupaten Ketapang jang terdiri dari swapradja Matang, Sukadana, Tampang dan kemudian daerah swapradja Berau, Gunung Tabur dan Sambaliung. Disitu ada perebutan antara kekuasaan wewenang agraria antara swapradja dan Dewan Perwakilan Daerah. Untuk menghilangkan keragu-raguan dalam hal ini maka disini akan diadakan peraturan, bahwa semua wewenang itu akan pulih kepada Pusat dahulu kemudian itu akan diserahkan kepada daerah-daerah oleh Menteri Agraria dan Menteri Dalam Negeri. Maka kiranja nanti tidak akan ada keragu-raguan lagi mengenai wewenang jang ada pada swapradja dan jang ada pada Dewan Perwakilan Daerah.

Inilah Saudara Ketua, setjara singkat tudjuan maksud dari pada Rantjangan Undang-Undang Agraria ini. Ketua : Sekianlah pendjelasan dari Pemerintah mengenai Rantjangan Undang-Undang ini. Maka sekarang tibalah saatnja untuk Saudara-saudara Anggota Parlemen memberikan Pemandangannja. Kita mulai dengan Pemandangan Umum dan Anggota-anggota jang akan berbitjara ialah Saudara-saudara: Partoadiwidjojo, Pratamingkoesoemo, Notosukardjo, Dr. Sahar Gelar Sutan Besar dan Saudara Abulhajat. Sekarang saja persilakan Saudara Partoadiwidjojo.

Partoadiwidjojo : Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saudara Ketua jang terhormat dan sidang jang mulia, Dengan diadjukannja Rantjangan Undang-Undang Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria dalam Sidang Dewan Perwakilan Rakjat ini, kami sambut dengan gembira. Mengapakah gembira itu?. Karena telah mulai Pemerintah memikirkan adanja peraturan-peraturan jang mengatur hak tanah. Saudara Ketua, Bukanlah soal agraria itu sesuatu hal jang mengandung dasar pokok produksi jang penting bagi Negara jang menguasai hadjat rakjat seluruhnja. Undang-undang Agraria jang mengatur hak tanah oleh Pemerintah bagi Negara dan rakjat harus disesuaikan jang tjotjok dengan bunji Undang-Undang Dasar Sementara Pasal 38 ajat (3), jang berbunji: “Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung didalamnja dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakjat”. Sungguh benar perkataan itu, oleh karena sesuatu Negara jang kaja dan makmur tidak boleh lepas dari hasil bumi dan alamnja jang njata diusahakan bagi hidup bersama. Indonesia adalah Negara jang bumi dan kekajaan alamnja kaja raja. Akan tetapi rakjatnja sebagian besar melarat; lebih dari 350 tahun didjadjah, dan oleh kaum pendjadjah diperas keringat tenaganja untuk mendatangkan keuntungan hasil baginja. Lain dari pada itu tentang hak tanah bagi milik rakjat terbatas. Ahli hitung dalam tahun 1925 mengatakan bahwa didalam tanah Djawa sadja apabila djumlah tanah pertanian dibagi rata dengan adanja djumlah penduduk, seorang penduduk kira-kira hanja mendapat 1/8 bau kurang. Dengan itu tidak mustahil rakjat hidup melarat, malah kaum pendjadjah masih bilang tjukup, karena katanja seorang rakjat tjukup dengan hidup satu benggol. Saudara Ketua, Sekarang djumlah penduduk telah berlipat ganda, jang mengharuskan memperluas tanah pertanian dan melipat-gandakan hasil buminja untuk mendatangkan kemakmuran. Harga bahan makanan terutama beras membumbung tinggi harganja, jang dapat membuktikan kurang luasnja tanah pertanian jang mengharuskan Pemerintah memperluas transmigrasi dan pembukaan tanah pertanian. Keadaan jang sedemikian itu tidak boleh dilupakan, tiga belas tahun berjalan Negara kita merdeka, peraturan-peraturan jang mengatur hak agraria belumlah disesuaikan dengan Undang-Undang Nasional. Masih banjak Undang-Undang Kolonial berlaku, seperti apa jang termaksud didalam Indische Staatsregeling, Koninklijk Besluit, Ordonansi-ordonansi, Besluit Gubernur Djenderal dan sebagainja. Hal jang sedemikian itu tidak dapat tinggal berlarut-larut, haruslah peraturan atau undang-undang jang mengenai hak-hak atas tanah berangsur-angsur dibaharui jang sempurna, jang sesuai dengan dasar kenasionalan kita sendiri. Dimana jang dinjatakan tanah Negara dan dimana jang dinjatakan hak milik rakjat (erfelijk individueel bezitsrecht). Dimana jang dinjatakan hak desa atas marga, dan dimana jang dinjatakan hak bersama (communaal bezitsrecht) (pakulen) (pantjen) atau googol, tanah eigendom, opstal, erfacht dan sebagainja. Saudara Ketua, Fraksi kami Partai Sjarikat Islam Indonesia dapat menerima Rantjangan Undang-Undang Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria, jang dahulu ditangan Gubernur Djenderal dan sebagainja, beralih kepada kekuasaan Menteri Agraria. Tegasnja Rantjangan Undang-Undang tersebut kami setudjui seluruhnja. Saudara Ketua, Perkenankanlah kami memadjukan usul kepada Pemerintah agar hendaknja peraturan jang mengatur tanah desa jang meliputi tanah-tanah communaal bezitsrecht (pakulen), dan tanah-tanah erfelijk individueel bezitrecht (hak milik perseorangan), jang dialam Pemerintah pendjadjahan termasuk didalam peraturan Landrente dan jang sekarang termasuk dalam Kementerian Keuangan, dialihkan kelak dalam kekuasaan Kementerian Agraria. Dahulu Landrete itu jang melakukan urusan hak tanah desa dan tanah milik rakjat dengan pembukuannja ditiap-tiap desa. Tiap 8 tahun sekali diadakan klasir untuk mengetahui adjeg dan ubahnja tanah

persil dan klas-klas tanah. Adapun besar ketjilnja belasting dengan ukuran hasil sawah jang diubin ditiap-tiap tahun panen. Saudara Menteri Agraria mungkin sependapat dengan kami, bahwasanja sesuatu peraturan jang bersangkut paut dan hubungan erat dengan hak tanah, sebagaimana urusan Landrete jang mengatur hal hak tanah desa dan tanah milik rakjat, sejogjanja masuk dalam kekuasaan Kementerian Agraria. Kami rasa agak djanggal peraturan Landrete ada dimasukkan kedalam kekuasaan Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan tinggal kebagian menerima setoran uang belasting tanah jang dibajar oleh rakjat, dan jang disetorkan oleh Kepala Desa (lurah) ke kas Negeri setempat dalam tiap-tiap daerah. Demikianlah sekedar sambutan dan pandangan serta usul kami. Sekian dan terima kasih. Ketua :

Saja persilakan Saudara Pratamingkoesoemo. R.T.A. Moh. Pratamingkoesoemo : Assalamu’alaikum Wr. Wb. Saudara Ketua jang terhormat, Memperhatikan keadaan didaerah tentang soal-soal agraria, terutama tentang soal pendaftaran tanah-tanah milik, memang benar belum didapat kelantjarannja, sehingga timbul perasaan, seolah-olah hanja ada pentjatatan tanah sadja, tidak ada perasaan djaminan hak milik tanah. Dengan tidak adanja perasaan djaminan hak milik tanah itu, timbullah kelemahan semangat, terutama kepada bapak Tani, untuk mengolah dan mengerjakan tanah pertaniannja dengan kesungguhan hati, sehingga tidak didapatkan hasil jang diharapkan; benar hal ini merupakan salah satu faktor disamping faktor-faktor jang lain, akan tetapi faktor ini telah didapat pada kaum tani. Saja menjampaikan penghargaan jang setinggi-tingginja pada Pemerintah tentang keterangan jang diuraikan didalam Memori Pendjelasannja tersebut di bab 2 jaitu: “Pengalaman selama 3 tahun jang lalu ini memberi kejakinan, bahwa kelantjaran pekerdjaan tidak dapat tertjapai apabila tugas dan wewenang itu tidak diberikan langsung kepada pedjabat-pedjabat dari Kementeriaan Agraria. Dalam pada itu penjusunan Organisasi Kementerian Agraria didaerah-daerah, jaitu Kantor-kantor Inspeksi Agraria di Propinsi, Kantor-kantor Pengawas Agraria di Keresidenan dan Kantor-kantor Agraria Daerah di Kabupaten dan Kotapradja kini sudah sampai pada taraf jang sedemikian hingga tugas dan wewenang agraria seluruhnja sudah dapat dilaksanakan sendiri oleh Kementerian Agraria”. Demikianlah Keterangan Pemerintah. Mudah-mudahan segala sesuatunja jang dirasakan matjet itu dapat berdjalan dengan lantjar setelah Undang-Undang tentang Peralihan Wewenang Agraria ini dapat pengesahan dari Parlemen dan didjalankan oleh Pemerintah dengan penuh semangat. Saja katakan dengan penuh semangat, lantaran pada waktu sekarang ini kebanjakan dari rakjat petani hanja dapat menundjukkan tanahnja sadja, tapi tidak dapat menunjukkan surat keterangan hak miliknja kepada tanahnja itu. Sebagai telah mendjadi kebiasaan kaum tani jang mempunjai tanah pertanian, tidak kesemuanja dapat mengerdjakan tanah pertaniannja itu sendiri, sehingga sebahagian dipekerdjakan atau diparonkan kepada orang lain. Jang dikuatirkan oleh saja, ialah orang jang mengerdjakan paron itu dapat mengaku mempunjai hak pada tanah paronnja itu, djika mengetahui, bahwa si pemilik tanah itu tidak dapat membuktikan haknja dengan surat keterangan, sebab hal ini tidak mustahil terdjadi didaerah-daerah, oleh karena orang jang memegang paron itu telah bertahun-tahun mengerdjakan tanahnja sipemilik tanah jang tak punja surat keterangan itu. Mudah-mudahan sadja kekuatiran saja ini dapat dilenjapkan oleh Pemerintah didalam melaksanakan tugas jang diberikan oleh Undang-undang ini. Memang telah sewadjarnja Pemerintah memikirkan tentang adanja tugas dan wewenang agraria ini untuk dialihkan kepada Kementerian Agraria, berhubung dengan pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1957 dimana kedudukan Pamong Pradja tidak didapat statusnja. Dari sebab itu Fraksi Partai Nahdlatul Ulama dapat menerima adanja Undang-undang ini, dengan pengharapan hendaknja Pemerintah dengan penuh ketelitian dapat melaksanakannja tugas jang diberikan oleh Undang-undang ini. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Ketua : Saja persilakan Saudara Sudjarwo Haryowisastro. Sudjarwo Haryowisastro :

Saudara Ketua jang terhormat,

Dibentuknja Kementerian Agraria adalah dimaksudkan untuk melantjarkan djalannja pekerdjaan-pekerdjaan agraria. Ini sangat penting artinja, mengingat bahwa masalah agraria merupakan masalah pokok bagi kehidupan kaum tani jang merupakan bagian tersebesar dari rakjat Indonesia. Makin sempurnanja dan makin lantjarnja pekerdjaan-pekerdjaan agraria memberi harapan baik bagi kaum tani. Karena dengan demikian, maka harapan untuk segera adanja penjelesaian tentang persoalan tanah jang kini masih banjak jang terkatung-katung akan dapat terpenuhi sebagaimana mestinja. Saja sependapat dengan Pemerintah, sebagaimana tertjantum dalam Memori Pendjelasan Rantjangan Undang-Undang tentang Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria ini, bahwa kelantjaran pekerdjaan agraria tidak akan mendjadi sempurna djika tugas dan wewenang agraria tidak diberikan langsung kepada pedjabat-pedjabat Kementerian Agraria. Pendapat ini adalah benar dan bersifat madju karena disadari atau tidak disadari, bahwa selama tugas dan wewenang masih berada ditangan pedjabat-pedjabat jang lain sebagaimana jang masih berlaku sekarang ini, sifat-sifat dan tjara-tjara jang birokratis dari pekerdjaan-pekerdjaan agararia masih akan berdjalan, hal mana sudah terang sangat menghambat kelantjaran djalannja pekerdjaan-pekerdjaan agraria. Dalam Memori Pendjelasan Rantjangan Undang-Undang ini lebih landjut dikatakan bahwa penjusunan Organisasi Kementerian Agraria didaerah –daerah, dewasa ini telah sampai pada taraf jang sedemikian hingga tugas dan wewenang agraria seluruhnja sudah dapat dilaksanakan sendiri oleh Kementerian Agraria. Terhadap kegiatan-kegiatan Pemerintah ini Fraksi saja menjampaikan penghargaan dan mengharapkan hendaknja kegiatan-kegiatan selandjutnja dapat ditudjukan kepada penjelesaian pekerdjaan-pekerdjaan Pemerintah jang lain, demi untuk mentjapai kemadjuan-kemadjuan jang lebih memuaskan. Atas dasar keterangan-keterangan saja tersebut, Saudara Ketua, maka Fraksi saja, Fraksi Partai Komunis Indonesia dapat menjetudjui dan menerima seluruhnja Rantjangan Undang-Undang tentang Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria ini. Saudara Ketua, kemudian untuk selandjutnja saja mengharapkan bahwa Pemerintah akan dengan kesungguhan melaksanakan undang-undang tersebut dengan tudjuan jang pokok ialah melantjarkan djalannja pekerdjaan-pekerdjaan agraria. Untuk itu harapan saja, saja tekankan kepada; bahwa dengan adanja Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria ini Pemerintah akan benar-benar dapat menghilangkan sifat-sifatnja dan tjara-tjara jang birokratis dalam pekerdjaan-pekerdjaan agraria. Menurut pendapat saja bahwa harapan saja tersebut dapat diwudjudkan, djika Pemerintah segera menjelesaikan apa jang tertjantum dalam Rantjangan Undang-Undang ini Pasal 1 ajat (2) sub b, ialah tentang Penjerahan Tugas dan Wewenang Agraria kepada pedjabat-pedjabat Kementerian Agraria didaerah-daerah. Dalam hubungan penjerahan tersebut, sesuai dengan perkembangan pendemokrasian pemerintahan daerah, saja djuga mengharapkan hendaknja Peme rinta segera mengambil ketentuan-ketentuan untuk menjerahkan beberapa tugas dan wewenang agraria ini kepada kekuasaan daerah otonomi menurut tingkatannja masing-masing. Dengan demikian bukan sadja kelantjaran pekerdjaan agraria jang akan tertjapai, tetapi djuga akan menambah makin njatanja kesungguhan Pemerintah dalam melaksanakan prinsip-prinsip otonomi daerah. Saudara Ketua,

Dalam hubungan dengan persoalan agraria ini, perlulah kiranja saja kemukakan pula, bahwa hanja dengan Peralihan Tugas dan Wewenang sadja belum dapat dirasakan kemanfaatannja setjara langsung dan njata oleh kaum tani. Karena tugas dan wewenang agraria tersebut masih mendasarkan Undang-undang Agraria jang lama warisan pemerintah kolonial Hindia-Belanda, jang pokoknja bersumber dari Pasal 5 Indische Staats Regeling. Kiranja telah sama-sama kita maklumi betapa tidak adilnja Undang-undang Agraria jang dibuat oleh pemerintah kolonial, karena memang ketentuan-ketentuan mana sengadja untuk untuk menindas dan memeras kaum tani guna keuntungannja sendiri. Dengan demikian kita dapat menggambarkan betapa beratnja kaum tani menghadapi pelaksanaan Undang-undang Agraria tersebut jang sampai sekarang masih berlaku. Saja berpendapat bahwa kaum tani baru benar-benar dapat merasakan kemanfaatannja djika usaha-usaha Pemerintah ditudjukan langsung untuk mengganti Undang-undang Agraria jang lama dengan Undang-undang Agraria jang bersifat nasional, jang bisa memberikan sjarat-sjarat perbaikan penghidupan kaum tani. Sepandjang pendengaran saja, Panitia Agraria jang telah dibentuk oleh Pemerintah, sekarang ini telah siap dengan konsepsinja ialah Rantjangan Undang-Undang Pokok Tanah, konsepsi mana telah diserahkan kepada Pemerintah. Oleh sebab itu Saudara Ketua, dalam kesempatan ini saja ingin mendapat keterangan dari Pemerintah, sekarang djuga, tentang soal-soal jang saja adjukan sebagai pertanjaan sebagai berikut :

1. Sampai dimanakah Pemerintah dalam menindjau hasil-hasil Panitia Agraria jang telah disampaikan kepada Pemerintah sebagaimana saja kemukakan tadi?

2. Sudah adakah rentjana Pemerintah untuk segera menjelesaikan Rantjangan Undang-Undang Pokok Agraria jang baru untuk mengganti Undang-undang Agraria jang lama jang hingga sekarang ini masih berlaku?

3. Mendjadi wewenang dan tugas siapakah pendaftaran tanah milik kaum tani? Tidakkah pendaftaran tanah milik kaum tani chususnja termasuk dalam tugas dan wewenang Kementerian Agraria.

Sekian Saudara Ketua dan terima kasih.

Ketua : Saja persilakan Saudara Notosukardjo.

Notosukardjo : Saudara Ketua jang terhormat,

Berbitjara tentang Rantjangan Undang-Undang tentang Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria, jang bermaksud mengalihkan tugas dan wewenang agraria jang hingga kini masih ada pada dan didjalankan oleh pedjabat-pedjabat Pamong Pradja kepada pedjabat-pedjabat dari Kementerian Agraria dan memberi dasar hukum bagi tindakan-tindakan Menteri Agraria dalam mendjalankan tugas dan wewenang agraria. Fraksi kami Partai Nasional Indonesia berpendapat bahwa hal tersebut diatas adalah sudah pada tempatnja.Dengan begitu maka sempurnalah Kementerian Agraria baik juridisch maupun administratif.

Berhubung dengan itu besar harapan kami bahwa Pemerintah pada waktu-waktu jang akan datang akan dapat bertindak lebih lantjar, bidjaksana, tegas dan tepat dalam menjelesaikan masalah pertikaian tanah jang banjak sekali kita dapati dan merupakan masalah jang acuut pada waktu ini. Kekurangan para petani akan tanah untuk berladang dan / atau pesawahan hendaknja mendapat perhatian dan pemetjahan setjara serieus sehingga fungsi petani sebagai penghasil bahan makan dapat dipenuhi sebaik-baiknja. Langkah ini akan merupakan salah satu usaha untuk memperbaiki taraf kehidupan para petani dan merupakan salah satu tjara untuk mengatasi adanja kekurangan bahan makanan jang sangat terasa pada waktu achir-achir ini. Demikianlah Saudara Ketua, Pada pokoknja Fraksi kami Partai Nasional Indonesia dapat menerima Rantjangan Undang-Undang Peralihan Tugas dan Wewenang Agraria ini untuk disjahkan mendjadi undang-undang. Sekian Saudara Ketua dan terima kasih. Ketua :

Saja persilakan Saudara Dr. Sahar. Dr. Sahar Gelar Sutan Besar :

Saudara Ketua jang terhormat, Assalamu’alaikum Wr. Wb. Dalam membitjarakan Rantjangan Undang-Undang tentang Peralihan dan Wewenang Agraria ini, jang

terdiri dari hanja empat pasal ini, dilihat sepintas lalu amat sederhana sekali, tetapi oleh karena mengenai materi jang amat penting sekali jaitu soal tanah, dan wewenang jang bersangkutan erat dengan tempat hidup dan sumber penghidupan dan kesedjahteraan rakjat, maka soal ini tidaklah dapat kita lihat seperti semula jang mungkin kita sangka-sangka, apalagi kalau kelak berhadapan dengan pelaksanaannja dan realitet dewasa ini, menghadapi tindjauan dari rakjat mengenai soal tanah dinegeri kita.

Sebagaimana kita telah sama mengetahui semendjak berabad-abad, kita telah kehilangan suatu pusaka jang turun temurun jang ditinggalkan oleh nenek mojang kita, jaitu tanah air, tanah sumpah darah kita dan dengan perdjuangan bangsa kita jang berpuluh-puluh tahun, malahan semendjak abad terachir ini untuk kemerdekaan, maka pulihkan apa jang hilang itu ketangan kita kembali. Bangsa kita adalah pembangkit batang terendam, pemupus malu dikening dimata bangsa-bangsa didunia, jang ditebus dengan korban jang berupa harta benda dan djiwa raga. Dengan pulihnja apa jang hilang dahulu ketangan bangsa kita, dan tambah terasanja perasaan kebangsaan, maka kian terasa pulalah soal mengenai arti dan faham jang harus diberikan terhadap milik tanah jang bagi seseorang bukan sadja untuk memberi penghasilan kepadanja selama ia masih hidup, tetapi untuk seterusnja memberikan djaminan hidup bagi keturunannja kelak dikemudian hari. Apa jang dirasakan dibeberapa daerah misalnja di Minangkabau mengenai tanah ulajat jang merupakan tanah pusaka dari pendiri-pendiri negeri, tidaklah hanja milik dari mereka jang hidup dimasa ini, tetapi djuga dari keturunan-keturunan dimasa datang, adalah sama halnja bagi seluruh bangsa kita. Disini njata sekali hubungan jang erat antara tanah dengan rakjat jang memilikinja dan bentuk masjarakat dengan hukum tanah jang berdjalin berkelindan satu dengan lainnja. Pertumbuhan dalam kalangan rakjat dan djiwa rakjat, baik dalam tjorak lama atau tjorak baru semendjak revolusi.

Kita tentu akan membawa pandangan baru terhadap hukum tanah. Sebaliknja perobahan hukum tanah akan mempengaruhi perkembangan djiwa rakjat dan masjarakatnja. Tanah sebagai pusaka dan sebagai sumber kekuatan bangsa dan djaminan hidup bangsa sudah seharusnja memperoleh perlindungan jang sebaik-baiknja dari rakjat dan Pemerintah. Tiap-tiap Negara oleh karena itu mempunjai tanggung djawab terhadap tanah dan berhak akan mengadakan tindakan-tindakan untuk menghemat sumber-sumber kekajaan alamnja dengan pembatasan produksi dan pemakaian hasilnja; selandjutnja melindunginja memperkembang dan mendjaga sumber-sumber kekajaan alam tadi. Wewenang terhadap hal-hal itu pada azasnja adalah didapat dalam peraturan-peraturan jang dilahirkan oleh masjarakat kita berupa hukum adat terhadap tanah, sebelum mereka mengenal hukum tanah barat, apalagi sebelum mengenal agrarische wet jang dilahirkan oleh pemerintah kolonial. Pendiri-pendiri negeri-negeri di Indonesia jang hidup dalam kekeluargaan erat dan merasakan nikmatnja hidup setjara kolektif dan demokratis, telah melahirkan peraturan-peraturan jang berintikan azas-azas pokok penting dari agraria jang harus dipikul pengawasannja oleh pemerintahnja, baik bagaimanapun tjoraknja, diberbagai-bagai daerah dan sipemegang hak itupun memiliki kewadjiban agar meneliti dengan baik apakah anak buahnja, rakjatnja benar-benar telah memperoleh bagian tanah buat hidup dan apakah mereka benar-benar mematuhi peraturan-peraturan badan-badan pengawas itu. Instansi-instansi itu baik jang berupa ninik-mamak, maupun jang berupa radja-radja atau lainnja pada azasnja semula mempunjai sama hak kekuasaan, jaitu tempat pemusatan dan pengesahan dan lain-lainnja itu kepada mereka sebagai Pemerintah jang seharusnja adil dan bidjaksana. Penjelewengan dari hak-hak ini adalah tindakan-tindakan jang tidak diwariskan oleh rakjat kepada mereka dan adalah ketjerobohan dan ketamakan mereka, dari Pemerintah sendiri, akan harta, pusaka dan sebagainja. Akan melemahkan pribadi dari jang memerintah, tetapi bukanlah peraturan-peraturan dari rakjat itu jang tidak baik. Rakjat hanja oleh karena tak berdaja dan takut terhadap Pemerintahnja dikala itu tinggal diam, tetapi dalam hati mereka tetap rasa tak adil, tak puas itu tetap membakar sebagai api dalam sekam, sehingga terbuka pintu keluar dalam satu revolusi, pemberontakan dan sebagainja. (Abulhajat :

Negara baru, bung!) Tunggu dulu Saudara Abulhajat. Kita melihat sendiri hal-hal itu ditiap-tiap Negara, Pemerintah dan Radja jang adil tetap disajang, ditjintai rakjatnja, tetapi sebaliknja akan ditumbangkan dengan segala tjorak malapetaka dan kepahitan bagi pokok-pokok jang terlanda dan melanda jang menghalang keadilan itu. Radja adil Radja disembah, Radja tak adil Radja disanggah. Dalam hal ini karena Pemerintah Negara jang memegang tampuk pemerintahan haruslah benar-benar dengan sebaik-baiknja memegang amanah rakjat dalam hal persoalan tanah ini, terutama sebagai pelindung, pengawas hak-hak rakjat jang akan dituangkan berupa undang-undang dan peraturan, agar rakjat dapat merasakan keadilan dan nikmatnja sekarang dan bagi keturunannja kelak. Oleh karena itulah Saudara Ketua, lebih-lebih diharapkan dari Pemerintah dalam mengambil wewenang itu atau kelak akan menjerahkannja kepada instansi lain atau bawahannja diharapkan kewaspadaan, ketelitian jang sungguh-sungguh agar rakjat djangan mendapat kesan seolah-olah tidak ada atau sedikit sekali perubahan dari masa kolonial kemasa merdeka, apalagi selagi sebagian besar peraturan-peraturan dan undang-undang itu masih bertjorak dan berbau kolonial, karena Undang-undang Agraria kita jang nasional belum ada. Djanganlah hendaknja berganti beruk dengan tjigak, berganti tebu dengan tibarau atau gelagah dalam bahasa Djawanja.Hendaknja gurindam adat jang tadinja ada di Indonesia ini kita pergunakan; “Adat biasa dipakai, Lembaga biasa dituang, Nan elok baik ditelangkai, Nan buruk sama kita buang”. Saja kemukakan hal ini Saudara Ketua, ialah karena dalam menafsirkan soal tanah sebagai pusaka dewasa ini belum terdapat kesatuan pikiran. Pengertian jang ada dewasa ini sewadjarnja sementara ditudjukan kepada apa jang tertjantum dalam Undang-Undang Dasar Sementara Pasal 33 ajat (3) jang berbunji : “Bumi dan air dan kekajaan jang ada didalamnja dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat”. Pernah ada tafsiran mengenai hal ini sedemikian rupa seakan-akan semua tanah dimiliki Negara dan bukannja mustahil pula para tjerdik pandai jang mentjiptakan Undang-Undang Dasar pada waktu proklamasi memang berpikir sedemikian pula.

Tetapi ada rakjat jang mempunjai pikiran lain ialah sesudah revolusi nasional kita programnja menjatakan dengan tegas bahwa kepada rakjat harus didjamin hak milik atas tanah jang tjukup memberikan hidup jang lajak. Djusteru hal inilah, Saudara Ketua, penjerahan wewenang itu harus mendapat perhatian Pemerintah. Dimana djaminan-djaminan itu telah ada jang merupakan hukum adat dan sebagainja, sebaiknja Pemerintah menjelami sebaik-baiknja agar peralihan wewenang ini tidak menjinggung apalagi mengurangi hak pusaka rakjat jang telah merupakan hukum adat tanah dan malahan memberi teladan jang baik dan menjempurnakannja agar kepertjajaan rakjat kepada Pemerintahnja mendjadi bertambah dan kasih sajang bersama-sama menegakkan hukum dapat kita peroleh. Bagaimanakah halnja sekarang dengan kita? Agrarisch Besluit masih ada, dan djiwanja adalah hukum tanah kolonial dan tjara mendjalankannja dengan alat-alatnja adalah dahulu setjara kolonial dan alat-alat pemerintah kolonial, dan tampuk-tampuknja dipegang mereka berupa Gouverneur, Assistant Residenten, Hoofden van Plaatselijke Bestuur jang harus melindungi terutama kepentingan mereka, dan disamping itu kepentingan rakjatnja katanja. Disini dalam Agrarische Besluit itu dinjatakanlah bahwa satu-satunja pemilik tanah diseluruh kepulauan Indonesia adalah pemerintah Belanda, sehingga hak milik sebenarnja dari milik rakjat itu sendiri sebetulnja tidak tentu tempat gantungannja. Oleh karena itu Saudara Ketua, didalam menindjau Undang-undang ini walaupun hanja rantjangan , terdiri dari 4 pasal sadja, sederhana kelihatannja, tetapi wewenang jang ada terletak didalamnja itu sebenarnja jang sekarang akan dialihkan terutama kepada Menteri Agraria dan kemudian kepada alat-alatnja, nanti menemukan segi-segi jang adalah masih kelandjutan dari pada hukum agraria jang kolonial dulu. Dalam hal ini saja ingin mengadjukan pertanjaan kepada Pemerintah, terutama sekali Saudara Ketua, didalam alam demokrasi seperti sekarang ini, dengan terbentuknja Pemerintahan Daerah jang sudah mempunjai otonomi jang dipilih oleh rakjat sendiri jang duduk disitu dan turut serta bertanggung djawab didalam pemerintahan daerah-daerah, apakah Pemerintah sependapat dengan saja, sebaiknja terutama didalam hal perbedaan-perbedaan jang demikian ini, adalah tempat jang sewadjarnja bagi alat-alat jang akan mengurus peraturan-peraturan dan Undang-undang Agraria ini. Dengan demikian saja bertanja kepada Pemerintah, sebagaimana Pemerintah sendiri telah menjatakan,”pada waktu sekarang ini alat-alat dari Kementerian Agraria telah begitu sempurna, sampai kebawahpun telah ada”. Apakah Pemerintah bersedia pada waktu sekarang ini, dimana alat-alat dari rakjat sendiripun telah tersedia. Memberikan alat-alat dari pada Kementerian Agraria jang bersifat Propinsi maupun Kabupaten kepada Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten?. Hal ini memang penting sekali, Saudara Ketua. Oleh karena didalam penjelesaian sekarang sebagian besar masih terletak ditangannja para Gubernur, Bupati dan Residen jang dianggap sebagai gantinja Gubernur-gubernur jang lama maupun Residen-residen dan Hoofd Plaatselijk Bestuur jang lama. Dalam hal ini rakjat telah merasakan sendiri, bahwa pentjerminan wakil-wakil dari Pemerintah Pusat jang berupa Gubernur, Asisstent Resident dan Hoofd Plaatselijk Bestuur tidak dapat disetudjui sepenuhnja oleh rakjat, akan tetapi didalam bentuk pemerintahan sekarang jang demokratis, dimana rakjat turut serta bersuara dan turut bertanggung-djawab, sudah selajaknja peralihan tempat itu segera dilakukan oleh Pemerintah dari tangan Gubernur dan jang lainnja ketangan Dewan Pemerintah Daerah jang ada. Oleh karena itu saja minta perhatian Pemerintah dan menanjakan apakah soal ini sesudah dialihkan akan segera dilaksanakan ataukah bertingkat-tingkat dan dipikirkan daerah demi daerah dan lain sebagainja?. Selain dari pada itu Saudara Ketua, saja ingin menekankan sama sadja dengan Saudara-saudara pembitjara jang terdahulu, ialah soal pokok dalam hal ini, masih hidupnja dan berlandjutnja Undang-undang Agraria jang lama. Sekarang inilah seharusnja Pemerintah melahirkan terlebih dahulu Undang-undang Agraria jang baru, sehingga dengan demikian tidak lagi kita menghadapi persoalan seperti persoalan Nusa Tenggara tadi, belum beranak sudah ditimang. Sekarang persoalannja, Badan Penjelenggara sudah kita pikirkan lebih dahulu, tetapi apakah jang akan diisikan kedalam BadanPenjelenggara ini, sehingga djangan nanti Pemerintah menemui sendiri didalam pelaksanaannja, kalau tugas ini benar-benar akan dialihkan kepada aparatur Kementerian Agraria sendiri. Saudara Ketua, sudah dapat membajangkan, misalnja sadja dipropinsi, satu inspeksi dari pada agraria akan berhadapan dengan Dewan Perwakilan Propinsi dan rakjat seluruhnja jang ada disitu. Apakah jang demikian itu nanti akan dapat menjelesaikan persoalan-persoalan dengan sebaik-baiknja!. Dengan itulah saja minta dengan sangat kepada Pemerintah, hendaknja dapat dinjatakan, kapan se betulnja Undang-undang Agraria jang baru ini akan dilahirkan, dengan harapan penuh memperhatikan sebaik-baiknja apa jang telah saja kemukakan terdahulu tadi. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Ketua :

Saja persilakan pembitjara jang terachir Saudara Abulhajat.

R. Abulhajat : Saudara Ketua jang terhormat, Rantjangan Undang-Undang jang kita perbintjangkan pada hari ini sebenarnja hanja memberikan

dasar hukum kepada instelling baru, jaitu Kementerian Agraria jang sudah ada ini, jang menurut tugasnja melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan perundang-undangan agraria pada umumnja, serta memberi pimpinan dan petundjuk-petundjuk tentang pelaksanaan itu pada chususnja. Djadi apa jang ditentukan didalam Rantjangan Undang-Undang ini hanjalah peralihan sadja dari pada kekuasaan-kekuasaan jang dahulu umpamanja dipegang oleh Gubernur Djenderal, Directeur Binnenlands Bestuur dan Menteri Dalam Negeri jang diberikan dan djuga jang ada pada Hoofden van het Gewestelijk Bestuur dan sebagainja, jaitu sekarang dialihkan kepada Menteri Agraria. Sebagai kewadjiban jang terutama ialah mengawasi perundang-undangan. Inilah jang ditekankan oleh beberapa pembitjara jang terlebih dahulu, bahwa jang pokok betul dari pada tugas Kementerian Agraria ini jaitu tentang persoalan agraria sendiri.

Sebagaimana kita ketahui semuanja Saudara Ketua, Negara kita ini adalah Negara agraria, jang seharusnja mulia, oleh karena keadaan agraria kita ini teratur dengan sebaik-baiknja. Akan tetapi sekarang Negara agraria ini kekurangan makanan, kekurangan beras, banjak orang jang sakit hongerodeem dan sebagainja, jang terdapat banjak ditempat, didaerah Saudara Muslich, dimana beliau sering mengadakan interview. Maka saja kira oleh karena peraturan kolonial terlampau hebat menekan kepada pak tani, malahan pada djaman jang merdeka ini pak tani mendapat tekanan dengan kewadjiban mendjual padi dibawah harga pasar. Ini satu hal jang mendjadikan keadaan Negara ini kekurangan makanan. Djadi jang perlu benar, diadakan perubahan-perubahan didalam ketentuan-ketentuan tentang agraria. Segala peraturan kolonial jang disebutkan dalam lampiran Rantjangan Undang-Undang ini jang djumlahnja ada 35 dan beraneka warna, itu seharusnja dapatlah kita hapuskan, kita bakar sama sekali dan kita ganti dengan satu Undang-undang Nasional jang sebagaimana djuga dikatakan disini, telah selesai dikerdjakan oleh Panitianja dan telah dikirimkan kepada Pemerintah. Mudah-mudahan Undang-undang Nasional itu dapat memberi djalan jang agak terang didalam memperlipat-gandakan hasil bumi. Jang perlu benar Saudara Ketua, ditentukan bahwa untuk pak tani itu diadakan persediaan tanah jang setjukupnja.

Tetapi apakah ini mungkin, umpamanja dipulau Djawa ini jang sudah padat penduduknja?. Saja kira walaupun kita bagi-bagikan tanah bagaimanapun djuga, jang banjak tanahnja kita bagikan sadja kepada jang tidak mempunjai tanah, toh akan ternjata bahwa tanah ini terlampau banjak orangnja. Djadi dalam hal ini mendjadi kewadjiban dari Menteri Agraria ini buat memindahkan penduduk dari pulau jang padat ini kepulau jang lain. Dan djikalau memang benar-benar mau memberikan tanah kepada Pak Tani, maka didaerah-daerah jang kosong atau setengah kosong itu dapat diadakan transmigrasi besar-besaran menurut kekuatan Negara kita, akan tetapi tanah jang dapat dikerdjakan setjara mechanis dengan pertolongan mesin-mesin seperti traktor dan sebagainja bersama-sama dengan penduduk asli disitu, artinja asli asal dari daerah itu. Maka oleh karena itu Saudara Ketua, djikalau disana diadakan pertanian jang kolektif, pertanian jang mechanis; artinja kolektif, Saudara Ketua, bekerdja bersama-sama, bergotong rojong dengan memakai mesin-mesin jang modern, tentulah dengan sekedjap waktu sadja kita dapat mengusahakan tanah jang lebar sekali untuk menerima orang-orang dari daerah-daerah jang padat itu. Dengan demikian maka kemakmuran di Indonesia ini dengan lekas, dengan tjepat dapat kita pelihara. Lagi pula kepadatan suatu daerah itu dapat kita kurangi, sehingga orang-orang jang masih tinggal tetap didaerah jang padat itu akan lebih mendapat tanah untuk pertanian dan barangkali djuga dapat mengusahakan penanaman tanam-tanaman jang lain jang dapat didjual keluar negeri. Djadi pengharapan saja, Saudara Ketua, agar mendapat perhatian dari Pemerintah, supaja diselenggarakan satu Undang-undang Nasional tentang Agraria jang memberikan djaminan untuk Pak Tani tanah jang tjukup lebarnja untuk keperluan hidupnja dan hal itu djuga untuk kemakmuran kita bersama. Selain dari pada itu Saudara Ketua, didalam Rantjangan Undang-Undang ini ada disebutkan didalam Pasal 1 ajat (2) jang bunjinja demikian: “(2) Peralihan tugas dan wewenang agraria termaksud dalam ajat (1) diatas, sepandjang jang mengenai:

a. pedjabat-pedjabat tersebut dalam huruf a, berlaku sedjak tanggal 1 Agustus 1953; b. pedjabat-pedjabat tersebut dalam huruf b, berlaku sedjak tanggal jang akan ditentukan bersama oleh

Menteri DalamNegeri dan Menteri Agraria.” Disini teranglah bahwa maksudnja supaja peralihan dari sub a itu dapat diberikan

dasar hukum dimulai tanggal 1 Agustus 1953. Tetapi dalam Pasal 4 Saudara Ketua, disebutkan: “Undang-undang ini mulai berlaku sedjak tanggal diundangkan dan sepandjang jang mengenai peralihan tugas dan wewenang termaksud dalam Pasal 1 ajat (2) huruf a mempunjai daja surut hingga tanggal 1 Agustus 1953”.

Djadi menurut Pasal 4 ini, Saudara Ketua, segala-galanja, ketjuali sub b itu sudah berlaku. Djadi ini ada kontradiksi diantara ajat (2) Pasal 1 dengan Pasal 4.

Saja kira sebaiknja kalau Pasal 1 ajat (2) ini dipindahkan sadja mendjadi isi dari pada Pasal 4, jaitu tentang waktu kapan dimulainja Undang-undang ini berlaku, umpamanja Undang-undang ini mulai berlaku jang mengenai a, pedjabat tersebut dalam huruf a Pasal 1 berlaku surut mulai tanggal 1 Agustus 1953. Dan jang mengenai b pedjabat-pedjabat dalam huruf b, berlaku sedjak tanggal jang akan ditentukan bersama oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agraria. Djadi tidak mulai berlakunja Undang-undang ini. Dengan Pemandangan Umum saja tadi, Saudara Ketua, dan saran-saran jang baru ini saja kemukakan, maka Fraksi Pembangunan menjatakan bahwa kami dapat menjetudjui seluruhnja, ketjuali apa jang saja sarankan tadi mengenai Rantjangan Undang-Undang ini. Sekian. Ketua :

Demikianlah Saudara-saudara Pemandangan Umum dari 6 Anggota terhadap kepada Rantjangan Undang-Undang ini. Sekarang ingin saja bertanja kepada Pemerintah, apakah djawaban terhadap Pemandangan Umum ini dapat diberikan sekarang djuga?. Saja persilakan Wakil Pemerintah. Mr. Soenarjo, Menteri Agraria :

Saudara Ketua jang terhormat, Dengan gembira dan dengan mengutjapkan banjak-banjak terima kasih, Pemerintah menjatakan disini

bahwa Rantjangan Undang-Undang jang kita bitjarakan sekarang ini pada umumnja dapat diterima oleh para pembitjara. Dalam hal ini ada 6 pembitjara jang akan saja djawab satu persatu.

Atas sambutan dari pada Saudara Partoadwidjojo, Pemerintah mengutjapkan banjak-banjak terima kasih. Adapun mengenai soal Djawatan Pendaftaran Hak Milik jang sekarang masih ada ditangan Kementerian Keuangan, hal ini memang dapat disetudjui bahwa Djawatan Pendaftaran Hak Milik itu seharusnja termasuk didalam lingkungan Kementerian Agraria. Karena itu maka kami akan membitjarakan hal ini dengan Menteri Keuangan, sehingga Djawatan Pendaftaran Hak Milik itu dimasukkan didalam lingkungan Kementerian Agraria.

Apa jang dikemukakan oleh Saudara Partoadwidjojo jang terhormat itu ialah memang betul sekali. Sekarang ini hak milik tidak merupakan hak jang terdaftar. Pendaftaran jang dilakukan oleh Djawatan Pendaftaran Hak Milik itu bukan merupakan kadasterale register, tetapi merupakan fiscale register karena itu tidak merupakan suatu pendaftaran jang pasti. Dan oleh sebab itu apabila kaum tani ingin menggunakan hak miliknja, itu tidak merupakan tanggungan sebagai hypotheek jang terdapat didalam Djawatan Kadaster; karenanja saja menginginkan supaja mengenai Djawatan Pendaftaran Hak Milik itu dengan segera dapat diselesaikan dengan Menteri Keuangan.

Begitu pula djawaban kami terhadap jang terhormat Saudara Pratamingkoesoemo, jaitu bahwa apabila Djawatan Pendaftaran Hak Milik sudah masuk didalam lingkungan Kementerian Agraria, maka hak milik akan didaftar dan mempunjai kepastian hukum sebagai kadasterale regeling jang sekarang ini berlaku sebagai hukum jang tunduk kepada hukum barat.

Saudara Ketua, mengenai saran-saran dari pada Saudara Haryowisastro, dapat diterangkan bahwa Undang-Undang Pokok jang dihasilkan oleh Panitia, itu sudah hampir selesai dan Insja Allah dalam kwartal pertama ini kiranja sudah dapat dimasukkan dalam Dewan Perwakilan Rakjat ini untuk dibahas seterusnja.

Adapun harapan-harapan dari pada Saudara Haryowisastro, maka apabila wewenang-wewenang itu sudah ada didalam tangan alat-alat Kementerian Agraria, sudah barang tentu pekerdjaan mengenai agraria itu akan lebih lantjar dari pada jang sekarang ini dan saja kira harapan dari pada Saudara Haryowisastro jang terhormat itu dapat kami penuhi.

Kemudian Saudara Ketua, mengenai uraian dari pada Saudara Notosukardjo, jang mengharapkan supaja undang-undang jang baru segera dapat diselesaikan, djawaban saja ialah mudah-mudahan dalam kwartal pertama ini rantjangan undang-undang jang baru itu sudah dapat masuk didalam Dewan Perwakilan Rakjat ini.

Adapun jang diuraikan oleh Saudara Dr. Sahar, Saudara Abulhajat dan sebagainja, itu saja kira lebih baik dipersoalkan apabila kita nanti membahas tentang Rantjangan Undang-Undang Pokok Agraria dan disitu pada tempatnja untuk membahas hak ulajat dan sebagainja.

Pertanjaan mengenai apakah Pemerintah bersedia untuk menjerahkan alat-alat Kementerian Agraria kepada daerah-daerah otonom, disini saja terangkan bahwa pada waktunja alat-alat dari pada Kementerian Agraria itu akan diserahkan kepada daerah-daerah otonom. Mengenai tugas-tugas jang nantinja akan diserahkan kepada daerah-daerah otonom, ada sebagian jang masih dipegang oleh pusat dan ada sebagian jang diserahkan in otononomie atau in medebewind kepada daerah-daerah otonom itu.

Demikianlah djawaban kami mengenai Undang-Undang Pokok Agraria sebagai djawaban saja atas pertanjaan dari pada Saudara Notosukardjo dan saudara Haryowisastro.

Selandjutnja Saudara Ketua, mengenai saran-saran dari pada jang terhormat Saudara Abulhajat, jaitu mengenai Pasal 4 dari pada Rantjangan Undang-Undang ini, dapat diterangkan bahwa Pasal 4 ini adalah mengenai berlakunja seluruh undang-undang. Djadi lazimnja adalah sebagaimana tertjantum dalam Pasal 4 ini jaitu :

“Undang-undang ini mulai berlaku sedjak tanggal diundangkan dan sepandjang jang mengenai peralihan tugas dan wewenang termasuk dalam Pasal 1 ajat (2) huruf a mempunjai daja surut hingga tanggal 1 Agustus 1953”.

Pasal 1 ajat (2) huruf a itu ialah mengenai peralihan dari pada wewenang, bukan mengenai berlakunja Undang-undang ini.

Ini memang kelihatannja agak dobbel, tjuma Pasal 2 itu chusus mengatur soal wewenang dan kemudian Pasal 4 ini mengenai undang-undang itu seluruhnja.

Maka itu saja kira saran ini –sekalipun baik- tetapi lazimnja bunjinja undang-undang itu sebegitu, sehingga saja kira tidak perlu saja kupas lebih pandjang.

Sekian djawaban Pemerintah terhadap Pemandangan Umum Babak Pertama dari para Anggota mengenai Rantjangan Undang-Undang ini.

Ketua : Saudara-saudara, djawaban Pemerintah terhadap Pemandangan Umum telah selesai dan

agaknja satu demi satu dari Pemandangan Umum Saudara-saudara pembitjara tadi sudah didjawab oleh Pemerintah. Saja rasa barangkali kita tidak memerlukan Pemandangan Umum Babak Kedua. Djadi apakah tjukup satu babak sadja?

(Rapat: Tjukup)

Sekarang kita akan memasuki pembitjaraan pasal demi pasal. Sebelum kita memasuki pasal demi pasal ada sedikit kesulitan jang saja hendak peringatkan baik kepada Saudara-saudara Anggota maupun kepada Pemerintah ialah peringatan jang diberikan oleh Saudara Abulhajat tadi. Saja tidak menjinggung akan isi Pasal 1 jang dibitjarakan oleh Saudara Abulhajat jang oleh Pemerintah sudah didjawab, tetapi persoalannja ialah mengenai Pasal 4. Dalam Pasal 4 itu menurut kelaziman jang kita pakai disini, jaitu berlakunja sesuatu undang-undang tidak mempunjai dua tanggal jang dobbel seperti sekarang ini, tetapi hanja satu. Pertama, berlaku pada hari diundangkan dan jang kedua berlaku surut kepada tanggal jang ditentukan. Tetapi sekarang ini didalam Pasal 4 berlakunja Undang-undang ini ada dua. Pertama berlaku pada hari diundangkan dan kemudian ada tambahannja; “dan sepandjang jang mengenai peralihan ……dan seterusnja, mempunjai daja surut hingga tanggal 1 Agustus 1953”. Oleh karena ini adalah satu persoalan jang belum kita hadapi dalam Parlemen kita ini Saudara-saudara, maka tadi saja minta supaja Sekertariat mempeladjari persoalan ini dengan menengok segala perundang-undangan kita jang lampau. Kalau sudah ada satu tjontoh jang berlaku mengenai hal ini, akan kita laksanakan seperti ini. Tetapi kalau tidak, ini berarti kita berbuat satu tjontoh baru. Saja rasa bukanlah perkara mudah Saudara-saudara untuk membuat satu tjontoh jang baru ini. Maka oleh sebab itu, kalau Saudara-saudara setudjui, marilah kita beri kesempatan kepada Sekertariat untuk menjelidikinja besok pagi dan saja kira dalam 5 menit sadja kita sudah bisa menjelesaikannja, dan sesudah ada penjelidikan tentang tradisi mengenai hal ini barulah kita mengetok palu untuk mengesahkan Undang-undang ini. Pertama saja minta Saudara Menteri supaja sabar sampai besok pagi mengenai hal ini, supaja kalau umpamanja sudah ada tjontoh, kita tidak membuat hal-hal jang baru hendaknja dengan setjermat-tjermatnja. Djadi kita undur sampai besok pagi, dapat disetudjui Saudara-saudara?

( Rapat : Setudju ) Sekarang kita masuki Atjara ke-3, Atjara ke-3 ialah mengenai Rantjangan Undang-Undang tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No.1 tahun 1958 tentang Perubahan Undang-Undang No. 6 atahun 1950 tentang Hukum Atjara Pidana Pengadilan Ketentaraan, sebagai undang-undang. Dengan Amanat Presiden tanggal 22 Nopember 1957 No. 4008/HK/57 oleh Pemerintah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat sebuah rantjangan undang-undang, jaitu Rantjangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang No.6 tahun 1950 tentang Hukum Atjara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan. Atas permintaan Pemerintah supaja Rantjangan Undang-Undang tersebut dapat segera diselesaikan oleh Dewan Perwakilan Rakjat, maka dalam bulan Nopember 1957 itu djuga (sebelum Dewan Perwakilan Rakjat mengadakan Reses terachir dalam tahun 1957) mengenai Rantjangan Undang-Undang tersebut diadakan persiapan-persiapan didalam bahagian-bahagian Dewan Perwakilan Rakjat dan kemudian Laporan Gabungan mengenai pemeriksaan persiapan itu disampaikan kepada Pemerintah.

Akan tetapi oleh karena waktu banjak kita pergunakan untuk menjelesaikan Rantjangan Undang-Undang tentang Anggaran Belandja, maka tidaklah dapat kita bitjarakan didalam rapat-rapat jang bersangkutan. Kemudian terdjadilah Reses, diwaktu Reses itu Pemerintah mendjandjikan Rantjangan Undang-Undang tadi mendjadi Undang-Undang Darurat dan Undang-Undang Darurat itu menjadi Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1958. Dengan djadinja Rantjangan Undang-Undang ini mendjadi Undang-Undang Darurat, maka Pemerintah menarik rantjangan undang-undang jang telah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat pada bulan Nopember 1957 itu. Sesudah dengan Amanat Presiden tanggal 18 Djanuari 1958 No. 147/HK/58, Pemerintah menjampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat supaja rantjangan undang-undang untuk menetapkan Undang-Undang Darurat No. 1/1958 itu dapat disahkan sebagai undang-undang jaitu rantjangan undang-undang jang sekarang menjadi pokok pembitjaraan kita. Mengingat bahwa Rantjangan Undang-Undang ini memuat materi jang sama dengan Rantjangan Undang-Undang tentang Perubahan Un dang-Undang No. 6/1950, jang diterima oleh Dewan Perwakilan Rakjat dan dibitjarakan oleh Bahagian-bahagian Dewan Perwakilan Rakjat sebelum Reses terachir tahun 1957 itu, maka Panitia Permusjawaratan menetapkan bahwa Rantjangan Undang-Undang ini langsung dibitjarakan dalam Rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakjat pada tanggal 4 Pebruari sekarang ini, dengan ketentuan bahwa lebih dahulu Pemerintah hendaknja menjampaikan Memori Djawaban atas Laporan Gabungan mengenai rantjangan undang-undang jang sudah ditarik kembali itu, agar dapat digunakan sebagai bahan dalam pembitjaraan rantjangan undang-undang jang baru didalam Rapat Pleno. Pada tanggal 31 Djanuari jang lalu Pemerintah telah memberikan Memori Djawaban itu dan Memori Djawaban itu telah pula disampaikan kepada para Anggota. Maka dengan demikian Saudara, kita telah melalui tjara-tjara jang baik. Djadi undang-undang ini sebetulnja materinja adalah rantjangan undang-undang jang disampaikan Pemerintah tahun 1957 dahulu. Tetapi formil sudah berubah mendjadi Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1958. Oleh rantjangan undang-undang itu diubah mendjadi Undang-Undang Darurat dan sekarang meminta pengesahannja Rapat Pleno, maka tjara membitjarakan Undang-Undang Darurat ini berubah pula jaitu Pemerintah harus lebih dahulu memberikan Pendjelasan terhadap Rantjangan Undang-Undang ini. Kemudian barulah diberikan kepada para Anggota kesempatan untuk menjampaikan Pemandangan Umumnja. Maka untuk ini, Saudara-saudara, saja persilakan Pemerintah untuk memberikan pendjelasannja. G.A. Maengkom, Menteri Kehakiman :

Saudara Ketua jang terhormat, Sebelum kita memulai dengan Pemandangan Umum mengenai Rantjangan Undang-Undang tentang

Penetapan Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1958 (Lembaran Negara 1958 No. 1) tentang Perubahan Undang-Undang No. 6 tahun 1950 mengenai Hukum Atjara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan. Pemerintah menganggap perlu memberikan sekedar pendjelasan jang singkat.

Sedjak beberapa lama Pemerintah bermaksud untuk mengubah sistim jang termuat dalam Undang-Undang No. 6 tahun 1950 tentang Hukum Atjara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan, karena dianggap kurang memuaskan lagi dan antara lain pula guna menjesuaikan dengan ketentuan jang termuat dalam Pasal 35 ajat (1) Undang-Undang Pertahanan Negara (Undang-undang No. 29 tahun 1954, Lembaran Negara 1954 No. 84) jang berbunji sebagai berikut : “Angkatan Perang mempunjai peradilan tersendiri dan Komandan-komandan mempunjai hak penjerahan perkara”.

Berhubung dengan keadaan jang mendesak, Pemerintah semula berkehendak mengeluarkan Undang-Undang Darurat untuk mengatur perubahan jang termaksud tadi. Akan tetapi setelah diadakan pembitjaraan oleh Pemerintah dengan Panitia Permusjawaratan Dewan Perwakilan Rakjat pada tanggal 11 Nopember 1957, maksud tersebut tidak djadi dilaksanakan karena dalam pembitjaraan tadi telah diputuskan, bahwa Pemerintah akan menjampaikan rantjangan undang-undang biasa mengenai materi tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakjat, jang telah memberikan kesanggupan untuk menjelesaikan rantjangan undang-undang itu sebelum Reses Dewan Perwakilan Rakjat, jaitu sebelum tanggal 22 Desember 1957. Dalam pada itu ketika Dewan Perwakilan Rakjat memulai dengan Resesnja tersebut ternjata rantjangan undang-undang jang bersangkutan belum dapat diselesaikan. Berhubung dengan keadaan jang mendesak dan sesuai dengan pokok pembitjaraan antara Pemerintah dengan Panitia Permusjawaratan Dewan Perwakilan Rakjat pada tanggal 11 Nopember 1957, maka Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1958 untuk mengubah Undang-undang No. 6 tahun 1950 tentang Hukum Atjara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan. Dengan menarik kembali rantjangan undang-undang jang semula, maka Pemerintah telah dengan segera menjampaikan pula kepada Dewan Perwakilan Rakjat jang terhormat, Rantjangan Undang-Undang tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1958 (Lembaran Negara tahun 1958 No. 1) tentang Perubahan Undang-Undang No. 6 tahun 1950 (Lembaran Negara tahun 1950 No. 53) tentang Hukum Atjara

Pidana pada Pengadilan Ketentaraan sebagai undang-undang (vide Amanat Presiden No. 147 /HK/58 tanggal 18 Djanuari 1958). Saudara Ketua jang terhormat, Dalam pada itu bahagian-bahagian Dewan Perwakilan Rakjat telah mengadakan penindjauan seperlunja mengenai rantjangan undang-undang jang semula, jaitu jang telah ditarik kembali oleh Pemerintah karena materinja telah ditetapkan sebagai Undang-Undang Darurat no. 1 tahun 1958 tersebut tadi Laporan Gabungan Bahagian-bahagian Dewan Perwakilan Rakjat itu telah disampaikan kepada Pemerintah pada tanggal tanggal 30 Djanuari 1958 dengan surat Menteri Pertahanan No. Rah/MP/431/58. Pemerintah telah memberikan Memori Djawabannja pada tanggal 30 Djanuari 1958. Saudara Ketua jang terhormat, Apa jang termuat dalam Memori Djawaban Pemerintah itu, pada pokoknja berlaku pula bagi rantjangan undang-undang jang sekarang kita hadapi bersama, jaitu Rantjangan Undang-Undang tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 1 tahn 1958 tentang Perubahan Undang-Undang No. 6 tahun 1950 mengenai Hukum Atjara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan sebagai undang-undang. Hanja perlu diminta perhatian, Saudara Ketua jang terhormat, pada Pasal IV Rantjangan Undang-Undang tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1958 sebagai undang-undang, karena ada perbedaan sedikit dengan teks Pasal IV rantjangan undang-undang jang semula diadjukan oleh Pemerintah. Dalam teks Pasal IV jang sekarang ada tambahan anak kalimat jang berbunji sebagai berikut : “demikian pula dalam hal tersangka/terdakwanja bukan seorang militer (djuga dalam arti, “bukan militer pada waktu melakukan tindak pidana”). Sudah selajaknja bahwa terhadap tersangka tersebut jang tidak mempunjai “atasan jang berhak menghukum” dan tidak mempunjai “komandan”, tidak mungkin diperlakukan peraturan jang dimuat dalam rantjangan jang kita hadapi sekarang ini. Maka terhadap tersangka termaksud diperlakukan ketentuan-ketentuan jang berlaku sebelum peraturan jang baru ini mulai berlaku. Saudara Ketua jang terhormat, sekian dan terima kasih. Ketua :

Demikianlah Saudara-saudara pendjelasan dari Pemerintah mengenai Rantjangan Undang-Undang tentang Penetapan Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1958 untuk didjadikan undang-undang.

Saudara-saudara, sekarang datanglah saatnja bagi kita untuk mengadakan Pemandangan Umum. Pemandangan Umum itu menurut rentjana bisa kita lakukan pada hari ini, nanti sore, besok dan malamnja, kemudian disambung pada hari Djum’at.

Sesudah saja tanjakan kepada Sekertariat, maka Pendjelasan Pemerintah jang baru diutjapkan tadi, barulah nanti malam akan disampaikan kepada Saudara-saudara.

( Beberapa suara : Besok pagi sadja )

Baiklah kalau dapat disetudjui, maka kita landjutkan Pemandangan Umum mengenai Rantjangan Undang-Undang ini besok pagi. Maka dengan demikian selesailah atjara kita buat pagi hari ini, walaupun atjaranja ketjil-ketjil, tetapi pasti kita telah mengadakan 3 rupa atjara, jaitu : 1. Rantjangan Undang-Undang tentang Mengubah Nama Propinsi Sunda Ketjil mendjadi Nusa Tenggara, 2. Rantjangan Undang-Undang tentang Tugas dan Wewenang Agraria, 3. Rantjangan Undang-Undang jang sekarang kita hadapi. Dengan demikian maka saja beritahukan, bahwa nanti malam tidak ada rapat dan saja minta supaja waktu itu dipergunakan dengan sebaiknja dengan menjusun pidato Saudara pada Pemandangan Umum Babak Kedua nanti. Dengan ini Rapat saja tutup. Rapat ditutup pada djam 12.45.