dewan perwakilan daerah republik indonesia - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 bab i...

84
1 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan Pemerintahan Negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa dalam rangka penyelenggaraan hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang hubungan keuangan yang dapat menjamin terlaksananya pemerintahan yang adil, efektif, dan efisien; c. bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan

Upload: lekiet

Post on 20-Aug-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

1

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

TENTANG

HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

menyelenggarakan Pemerintahan Negara dan

pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat

adil, makmur, dan merata berdasar Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia

Tahun 1945;

b. bahwa dalam rangka penyelenggaraan hubungan

keuangan antara Pusat dan Daerah perlu didukung

oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang

hubungan keuangan yang dapat menjamin

terlaksananya pemerintahan yang adil, efektif, dan

efisien;

c. bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah,

penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan

Page 2: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

2

pemerintahan kepada daerah secara nyata dan

bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan,

pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional

secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara

pemerintah dan pemerintahan daerah;

c. bahwa Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah sudah tidak sesuai dengan

perkembangan hukum, ketatanegaraan serta tuntutan

penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu

diganti dengan undang-undang yang baru;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf

b, huruf dan huruf c, perlu membentuk Undang-

Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pusat

dan Daerah;

Mengingat: Pasal 18A ayat (2), Pasal 20, Pasal 22D ayat (1) dan ayat

(2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN

PUSAT DAN DAERAH.

Page 3: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

3

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah adalah sebuah

kegiatan pemerintahan yang merupakan konsekuensi dari

adanya urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau

ditugaskan kepada Pemerintahan Daerah.

2. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang

memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik

Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut

dengan Pusat.

3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan

rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan

dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut daerah.

4. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin

pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

daerah otonom.

5. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas

wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan

Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut

Page 4: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

4

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

6. Kepala Daerah adalah Gubernur bagi daerah provinsi atau

Bupati daerah Kabupaten atau Walikota, bagi daerah.

7. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat

DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang

berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan

Daerah.

8. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara

yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik

berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan

milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan

kewajiban tersebut.

9. Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh

Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas

Otonomi.

10. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat

kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada

instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada

Gubernur dan Bupati/Walikota sebagai penanggung jawab

urusan pemerintahan umum.

11. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat

kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat

atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah

Kabupaten/Kota untuk melaksanakan sebagian Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.

12. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.

Page 5: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

5

13. Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.

14. Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah

pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan

Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

15. Belanja daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui

sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun

anggaran yang bersangkutan.

16. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar

kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali,

baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada

tahun-tahun anggaran berikutnya.

17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya

disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah

Pusat yang ditetapkan dengan undang-undang.

18. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya

disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah

yang ditetapkan dengan Perda.

19. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui

sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun

anggaran yang bersangkutan.

20. Dana Daerah adalah dana yang bersumber dari pendapatan

APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai

kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

21. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah

kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan

Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara

Page 6: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

6

langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

22. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah

pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau

pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau

diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang

pribadi atau Badan.

23. Penerimaan Daerah Bukan Pajak adalah seluruh Penerimaan

Bukan Pajak Pemerintah Daerah yang tidak berasal dari

penerimaan Pajak Daerah.

24. Dana Transfer adalah dana yang bersumber dari pendapatan

APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai

kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

25. Pendapatan Bagi Hasil, yang selanjutnya disingkat PBH,

adalah dana yang bersumber dari pendapatan tertentu APBN

yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka

persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam

rangka pelaksanaan Desentralisasi.

26. Dana Desa adalah yang bersumber dari pendapatan tertentu

APBN yang dialokasikan kepada desa berdasarkan persentase

tertentu untuk mendanai kebutuhan desa.

27. PBH Pajak adalah pendapatan bagi hasil yang bersumber dari

pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan

Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

dan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pajak Pertambahan Nilai dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah

28. Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya disingkat PBB,

adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan

yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan untuk kegiatan

Page 7: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

7

usaha Perhutanan dan Pertambangan, berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Bumi dan

Bangunan.

29. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang

Pribadi Dalam Negeri adalah Pajak Penghasilan terutang oleh

Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, kecuali pajak atas

penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8)

Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan

30. Pajak Penghasilan Pasal 21, yang selanjutnya disebut PPh

Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,

honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan

dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang

dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi berdasarkan

ketentuan Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan

31. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN,

adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang kena

pajak, impor barang kena pajak, jasa kena pajak di dalam

daerah pabean sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN

dan PpnBM.

32. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat

PpnBM adalah pajak yang dikenakan atas penjualan barang

yang tergolong mewah berdasarkan Undang-Undang PPN dan

PpnBM.

33. Cukai Hasil Tembakau, yang selanjutnya disingkat CHT,

adalah pungutan Negara yang dikenakan terhadap hasil

tembakau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan di bidang cukai.

Page 8: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

8

34. Cukai minuman mengandung alkohol adalah pungutan Negara

yang dikenakan terhadap peredaran minuman beralkohol

berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai.

35. PBH Sumber Daya Alam adalah pembagian bagi hasil yang

bersumber dari penerimaan sumber daya alam kehutanan,

perikanan, pertambangan mineral dan batubara,

pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi,

pertambangan mineral dan batubara, serta pertambangan

panas bumi.

36. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan, yang selanjutnya

disingkat IIUPH, adalah pungutan yang dikenakan kepada

pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan

hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut

diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan di bidang kehutanan.

37. Provisi Sumber Daya Hutan, yang selanjutnya disingkat PSDH,

adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai

intrinsik dari hasil hutan negara berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.

38. Pungutan Pengusahaan Perikanan adalah pungutan yang

dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia atas

penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP), Alokasi Penangkapan

Ikan Penanaman Modal (APIPM), dan Surat Izin Kapal

Pengangkut Ikan (SIKPI) yang diperoleh dari Pemerintah

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di

bidang perikanan.

39. Pungutan Perikanan adalah pungutan yang dikenakan kepada

setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber

daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan

Page 9: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

9

Negara Republik Indonesia dan di luar wilayah pengelolaan

perikanan Negara Republik Indonesia sesuai dengan Surat Izin

Penangkapan Ikan (SIPI) yang diperoleh dari Pemerintah

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di

bidang perikanan.

40. Iuran Tetap adalah iuran yang diterima negara sebagai imbalan

atas kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi atau

eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan

mineral dan batubara dan pertambangan panas bumi.

41. Iuran Produksi adalah iuran yang dibayarkan kepada negara

atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan mineral

dan batubara dan pertambangan panas bumi berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang

pertambangan mineral dan batubara dan pertambangan panas

bumi.

42. Setoran Bagian Pemerintah adalah penerimaan negara dari

pengusaha panas bumi atas dasar kontrak pengusahaan panas

bumi, setelah dikurangi dengan kewajiban perpajakan dan

pungutan-pungutan lainnya sesuai dengan peraturan

perundangan-undangan.

43. Bagian Penerimaan Negara Pertambangan Minyak Bumi adalah

penerimaan bagian negara yang diperoleh dari pertambangan

minyak bumi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan di bidang minyak bumi dan gas bumi.

44. Daerah zona tambang adalah kabupaten dan atau kota pada

provinsi lain yang masuk dalam wilayah penghasil tambang,

tetapi tidak menjadi tempat dilakukannya proses produksi.

Page 10: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

10

45. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana

yang bersumber dari pendapatan tertentu APBN yang

dialokasikan kepada Daerah penghasil berdasarkan angka

persentase tertentu dengan tujuan mengurangi ketimpangan

kemampuan keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah.

46. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah

dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan

dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-

Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka

pelaksanaan Desentralisasi.

47. Insentif Fiskal adalah perbandingan antara PAD dengan

belanja daerah dalam APBD.

48. Celah Fiskal adalah selisih antara kebutuhan fiskal daerah dan

kapasitas fiskal daerah.

49. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, yang selanjutnya

disingkat DPOD adalah suatu dewan yang bertugas

memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden

mengenai kebijakan otonomi daerah sesuai perundangan-

undangan.

50. Dana Alokasi Khusus, yang selanjutnya disingkat DAK, adalah

dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan

kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus

dalam rangka pemenuhan standar pelayanan minimum,

prioritas nasional, dan/atau kebijakan tertentu.

51. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan

Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang

bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut

dibebani kewajiban untuk membayar kembali.

Page 11: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

11

52. Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan

kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal

domestik.

53. Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN

untuk mendanai urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh

gubernur sebagai wakil Pemerintah, tidak termasuk dana yang

dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di Daerah.

54. Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN

untuk mendanai urusan Pemerintah yang ditugaskan kepada

kabupaten/kota.

55. Hibah kepada Daerah yang selanjutnya disebut Hibah adalah

uang, barang dan/atau jasa yang diberikan kepada Daerah

berdasarkan perjanjian antara Pemerintah dan Pemerintah

Daerah dan tidak perlu dibayar kembali.

56. Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang

dialokasikan kepada Daerah yang mengalami bencana alam

nasional peristiwa luar biasa, dan/atau krisis solvabilitas.

57. Rencana Kerja Pemerintah Daerah, yang selanjutnya disingkat

RKPD, adalah dokumen perencanaan daerah provinsi,

kabupaten/kota untuk periode 1 (satu) tahun.

58. Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang

selanjutnya disingkat Renja SKPD, adalah dokumen

perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1

(satu) tahun.

59. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah,

yang selanjutnya disingkat RKA SKPD, adalah dokumen

perencanaan dan penganggaran yang berisi program, kegiatan

dan anggaran SKPD yang merupakan penjabaran dari RKPD

Page 12: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

12

dan rencana strategis SKPD yang bersangkutan dalam 1 (satu)

tahun anggaran.

60. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan

penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga/ SKPD.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Penyelenggaraan hubungan keuangan antara Pusat danDaerah dilaksankaan berdasarkan asas : a. transparansi;

b. akuntabilitas;

c. subsidiaritas;

d. keadilan;

e. otonomi;

f. desentralisasi;

g. dekonsentrasi; dan

h. tugas Pembantuan.

Pasal 3

Penyelenggaraan hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah bertujuan untuk:

a. mengurangi ketimpangan sumber pendanaan Pemerintah Pusat

dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan

pemerintah antar daerah.

b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

pelayanan, pemberdayaan, peran serta masyarakat serta

peningkatan daya saing daerah.

c. memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Page 13: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

13

BAB III

RUANG LINGKUP

Pasal 4

(1) Hubungan keuangan pusat dan daerah mencakup pengaturan

keuangan Pusat dan Daerah sebagai konsekuensi dari adanya

urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau dilimpahkan

kepada pemerintah daerah.

(2) Hubungan keuangan pusat dan daerah terdiri atas Pendapatan

Asli Daerah, Pendapatan Transfer, lain-lain pendapatan daerah

yang sah dan mekanisme pelaksanaannya.

(3) Hubungan keuangan pusat dan daerah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) menghasilkan :

a. Prinsip hubungan keuangan;

b. Sumber penerimaan daerah;

c. Pendapatan Asli Daerah;

d. Pendapatan transfer;

e. Pinjaman daerah kepada pusat;

f. Hibah;

g. Dana darurat;

h. Dana dekonsentrasi;

i. Dana tugas pembantuan, dan

j. Insentif fiskal daerah.

BAB IV

PRINSIP HUBUNGAN KEUANGAN

Pasal 5

(1) Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah merupakan

konsekuensi dari hubungan kewenangan antara Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah serta merupakan perwujudan

Page 14: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

14

pengelolaan keuangan yang dituangkan dalam APBN dan

APBD.

(2) Hubungan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disertai dengan sumber pendanaan sesuai dengan urusan yang

di desentralisasikan maupun pelimpahan urusan pemerintah

kepada Gubernur sesuai dengan asas/penyelenggaraan

desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

(3) Sumber-sumber pendanaan kepada Pemerintahan Daerah

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memperhatikan

stabilitas fiskal, keseimbangan fiskal, efisiensi, dan efektifitas.

(4) Sumber-sumber pendanaan Pemerintahan Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari Pendapatan

Daerah dan Pembiayaan.

BAB V

SUMBER PENERIMAAN DAERAH

Pasal 6

(1) Penyelenggara urusan pemerintahan daerah dalam rangka

pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD yang bersumber

dari:

a. Pajak Daerah; dan

b. Penerimaan Daerah Bukan Pajak.

(2) Penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilaksanakan oleh

daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai

APBD, dan yang bersumber dari:

a. Retribusi Daerah;

b. Penerimaan Daerah Bukan Pajak selain Retribusi Daerah;

dan

c. Dana Daerah.

Page 15: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

15

(3) Penyelenggaraan urusan Pemerintah Pusat yang dilaksanakan

oleh Daerah dan Desa dalam rangka tugas perbantuan didanai

APBN.

(4) Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan

Dekonsentrasi dan/atau dalam rangka pelaksanaan tugas

perbantuan harus diserta dengan pemberian dana.

Pasal 7

(1) Penerimaan daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri

atas pendapatan daerah dan pembiayaan.

(2) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

bersumber dari:

a. Pendapatan Asli Daerah;

b. Pendapatan Transfer; dan

c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

(3) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf

b meliputi:

a. Transfer Pemerintah Pusat; dan

b. Transfer antar daerah

(4) Transfer Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud ayat (3)

huruf (a), terdiri atas :

a. Dana Perimbangan;

b. Dana otonomi khusus;

c. Dana keistimewaan; dan

d. Dana desa.

(5) Dana perimbangan sebagimana dimaksud Ayat (4) huruf a,

terdiri atas:

a. Dana Bagi Hasil (DBH);

b. Dana Alokasi Umum (DAU); dan

c. Dana Alokasi Khusus (DAK).

Page 16: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

16

(6) Transfer antar daerah sebagaimana dimaksud Ayat (3) Huruf b

terdiri atas:

a. Pendapatan bagi hasil; dan

b. Bantuan keuangan.

(7) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber

dari :

a. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah;

b. Pinjaman daerah;

c. Dana cadangan daerah; dan

d. Hasil penjualan daerah yang dipisahkan.

BAB VI

PENDAPATAN ASLI DAERAH

Pasal 8

(1) Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

ayat (2) huruf a meliputi:

a. Pajak daerah; dan

b. Penerimaan bukan pajak.

(2) Penerimaaan bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf b meliputi:

a. Retribusi daerah;

b. Hasil pengelolaan keungan daerah yang dipisahkan;

c. Jasa giro;

d. Pendapatan bunga;

e. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang

asing;dan

f. Komisi, potongan, potongan bentuk lebih sebagai akibat

dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/jasa oleh

daerah.

Page 17: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

17

Pasal 9

(1) Dalam upaya meningkatkan PAD, daerah dilarang :

a. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang

menyebabkan ekonomi biaya tinggi; dan

b. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang

menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan

jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor.

(2) Dalam hal Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a dan huruf b menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan

menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa

antar daerah, dan kegiatan impor/ekspor maka Paeraturan

Daerah tersebut dibatalkan oleh Menteri atau Gubernur sesuai

dengan kewenangannya.

Pasal 10

Ketentuan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah diatur lebih

lanjut dengan undang-undang.

BAB VII

PENDAPATAN TRANSFER

Pasal 11

(1) Dana Transfer terdiri atas:

a. Transfer Pemerintah Pusat; dan

b. Transfer antar daerah.

(2) Transfer Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud ayat (1)

Huruf a terdiri atas:

a. Dana perimbangan;

b. Dana otonomi khusus;

c. Dana keistimewaan; dan

d. Dana desa.

Page 18: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

18

(3) Transfer antar daerah sebagaimana dimaksud ayat (1) Huruf b

terdiri atas:

a. Pendapatan bagi hasil; dan

b. Bantuan keuangan.

Pasal 12

(1) Pendapatan Bagi Hasil (PBH) sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 11 Ayat (3) huruf a terdiri atas:

a. pajak;

b. cukai;

c. sumber daya alam; dan

d. Penerimaan lalulintas orang ke luar negeri dan melalui

bandara.

(2) PBH Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,

terdiri atas:

a. PBB obyek Pertambangan dan Kehutanan;

b. PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi

Dalam Negeri dan PPh Pasal 21; dan

c. PPN dan PpnBM.

(3) PBH Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

berasal dari cukai hasil tembakau dan cukai minuman

beralkohol.

(4) PBH Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf c, terdiri dari:

a. kehutanan;

b. perikanan;

c. pertambangan mineral dan batubara;

d. pertambangan minyak bumi;

e. pertambangan gas bumi; dan

f. pengusahaan panas bumi.

Page 19: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

19

(5) PBH lalu lintas orang ke dalam dan luar negeri dan melalui

bandara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri

dari :

a. Surat keterangan keimigrasian;

b. Visa; dan

c. Pajak bandara.

Pasal 13

(1) PBH Pajak yang bersumber dari PBB Obyek Pertambangan dan

Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2)

huruf a, yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang

bersangkutan ditetapkan sebesar 100% (seratus perseratus)

dengan rincian:

a. 20% (dua puluh perseratus) untuk daerah provinsi yang

bersangkutan;

b. 80% (delapan puluh perseratus) untuk daerah

kabupaten/kota yang bersangkutan.

(2) PBH PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

bersumber dari PBB sektor pertambangan yang diperoleh dari

wilayah laut kewenangan kabupaten/kota, dibagi dengan

rincian:

a. 20% (dua puluh perseratus) untuk daerah provinsi yang

bersangkutan;

b. 80% (delapan puluh perseratus) untuk kabupaten/kota

yang bersangkutan.

(3) PBH PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

bersumber dari PBB sektor pertambangan yang diperoleh dari

wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi dibagi dengan

rincian:

a. 20% (dua puluh perseratus) untuk daerah provinsi yang

bersangkutan;

Page 20: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

20

b. 80% (delapan puluh perseratus) untuk seluruh

kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan dengan

porsi yang sama besar.

(4) Penerimaan PBB yang bersumber dari PBB sektor

pertambangan yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi

kewenangan Pemerintah tidak dibagihasilkan kepada Daerah.

Pasal 14

(1) PBH Pajak yang bersumber dari PPh Pasal 25 dan Pasal 29

Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b,

ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dengan

rincian:

a. 5% (lima perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan;

b. 20% (dua puluh perseratus) untuk kabupaten/kota yang

bersangkutan.

(2) Pembagian kepada provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada tempat tinggal wajib

pajak, tempat kegiatan usaha dan/atau tempat bekerja.

Pasal 15

(1) PBH Pajak yang bersumber dari PPN dan PpnBM sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c, ditetapkan sebesar

15% (lima belas perseratus) dari total penerimaan PPN dan

PpnBM secara nasional.

(2) Alokasi Pembagian Bagi Hasil PPN dan PpnBM sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), yang dihasilkan daerah yang

bersangkutan didasarkan pada proporsi PDRB daerah yang

bersangkutan terhadap PDB.

Page 21: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

21

(3) Pembagian penerimaan Dana Bagi Hasil PPN dan PpnBM

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dihasilkan dari

wilayah daerah yang bersangkutan ditetapkan dengan rincian:

a. 20% (dua puluh perseratus) untuk provinsi yang

bersangkutan;

b. 80% (delapan puluh perseratus) untuk kabupaten dan kota

dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.

c. Pembagian untuk masing-masing kabupaten/kota

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b didasarkan

atas proporsi PDRB masing-masing kabupaten/kota yang

bersangkutan terhadap total PDRB provinsi yang

bersangkutan.

Pasal 16

(1) PBH Cukai yang bersumber dari CHT dan cukai minuman

beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3)

ditetapkan sebesar 5% (lima perseratus) dengan rincian:

a. 1% (satu perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan;

b. 2% (dua perseratus) untuk kabupaten dan kota penghasil;

dan

c. 2% (dua perseratus) untuk seluruh kabupaten dan kota

lainnya dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi

yang sama besar.

(2) Pembagian untuk provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, didasarkan pada

kontribusi Daerah yang bersangkutan terhadap penerimaan

CHT dan/atau produksi tembakau.

Pasal 17

(1) PBH surat keterangan keimigrasian, visa dan pajak bandara yang

menjadi bagian daerah sebesar 25% dibagi dengan rincian :

Page 22: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

22

a. 15% (lima belas perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan;

b. 5% (lima perseratus) untuk Kabupaten/Kota penghasil;

c. 5% (lima perseratus) untuk seluruh kabupaten dan kota lainnya

dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama

besar.

Pasal 18

(1) PBH Sumber Daya Alam Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 12 ayat (4) huruf a berasal dari:

a. IIUPH;

b. PSDH; dan

c. Dana Reboisasi.

(2) PBH Sumber Daya Alam Kehutanan yang berasal dari IIUPH

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yang dihasilkan dari

wilayah Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 85%

(delapan puluh lima perseratus) untuk kabupaten dan kota

penghasil.

(3) PBH Sumber Daya Alam Kehutanan yang berasal dari PSDH

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yang dihasilkan dari

Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 85% (delapan puluh

lima perseratus) dengan rincian:

a. 17% (tujuh belas perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan;

b. 34% (tiga puluh empat perseratus) untuk kabupaten dan kota

penghasil; dan

c. 34% (tiga puluh empat perseratus) dibagikan kepada seluruh

kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan

dengan porsi yang sama besar.

(4) PBH Sumber Daya Alam Kehutanan yang berasal dari Dana

Reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, yang

dihasilkan Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 50%

(lima puluh perseratus) dengan rincian :

Page 23: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

23

a. 10% (sepuluh perseratus) untuk provinsi;

b. 40% (empat puluh perseratus) untuk kabupaten/kota

penghasil.

(5) PBH Sumber Daya Alam Kehutanan yang bersumber dari Dana

Reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk

kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Pasal 19

(1) PBH Sumber Daya Alam Perikanan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 12 ayat (4) huruf b, berasal dari:

a. penerimaan pungutan pengusahaan perikanan; dan

b. penerimaan pungutan hasil perikanan.

(2) PBH Sumber Daya Alam yang berasal dari Perikanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 95% (Sembilan puluh

lima perseratus) yang dibagi kepada daerah dengan rincian:

a. 10% (sepuluh perseratus) untuk provinsi;

b. 85% (delapan puluh lima perseratus) untuk kabupaten/kota

lainnya dalam provinsi dengan porsi yang sama besar.

Pasal 20

(1) PBH Sumber Daya Alam pertambangan mineral dan batubara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf c, berasal

dari:

a. Penerimaan Iuran Tetap; dan

b. Penerimaan Iuran Produksi.

(2) PBH Sumber Daya Alam pertambangan mineral dan batubara yang

bersumber dari Iuran Tetap, yang dihasilkan daerah yang

bersangkutan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,

ditetapkan sebesar 85% (delapan puluh lima perseratus) dengan

rincian :

a. 18% (delapan belas perseratus) untuk provinsi;

Page 24: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

24

b. 67% (enam puluh tujuh perseratus) untuk kabupaten/kota

penghasil.

(3) PBH Sumber Daya Alam pertambangan mineral dan batubara yang

bersumber dari Iuran Tetap sebesar 85% (delapan puluh lima

perseratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang diperoleh

dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi, seluruhnya

dialokasikan untuk provinsi yang bersangkutan.

(4) PBH Sumber Daya Alam pertambangan mineral dan batubara yang

bersumber dari Iuran Produksi yang dihasilkan daerah yang

bersangkutan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

ditetapkan sebesar 85% (delapan puluh lima perseratus) dengan

rincian:

a. 18% (delapan belas perseratus) untuk provinsi yang

bersangkutan;

b. 33,5% (tiga puluh tiga koma lima perseratus) untuk kabupaten

dan kota penghasil; dan

c. 33,5% (tiga puluh tiga koma lima perseratus) untuk kabupaten

dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan dengan

porsi yang sama besar.

(5) PBH Sumber Daya Alam pertambangan mineral dan batubara yang

bersumber dari Iuran Produksi sebesar 85% (delapan puluh lima

perseratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang diperoleh

dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi dibagi dengan

rincian:

a. 18% (delapan belas perseratus) untuk provinsi yang

bersangkutan;

b. 67% (enam puluh tujuh perseratus) untuk kabupaten dan kota

dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama

besar.

Page 25: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

25

Pasal 21

(1) PBH Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf d, berasal dari penerimaan

Negara dari sumber daya pertambangan gas bumi dari wilayah

daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan

pungutan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(2) PBH Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang

bersangkutan, ditetapkan sebesar 40% (empat puluh perseratus)

dengan rincian :

a. 7,5% (tujuh setengah perseratus) dibagikan untuk provinsi yang

bersangkutan;

b. 15% (lima belas perseratus) untuk kabupaten dan kota

penghasil; dan

c. 15% (lima belas perseratus) untuk seluruh kabupaten dan kota

lainnya dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang

sama besar.

d. 2,5% (dua setengah perseratus) untuk kebupaten dan kota yang

masuk dalam daerah zona tambang.

(3) PBH Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi sebesar 40%

(empat puluh perseratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi

dibagi dengan rincian:

a. 7,5% (tujuh setengah perseratus) untuk provinsi yang

bersangkutan; dan

b. 30% (tiga puluh perseratus) untuk seluruh kabupaten dan kota

dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang sama

besar.

c. 2,5% (dua setengah perseratus) untuk kabupaten dan kota yang

termasuk dalam daerah zona tambang.

Page 26: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

26

Pasal 22

(1) PBH Sumber Daya Alam pertambangan gas bumi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf e, berasal dari bagian

penerimaan negara pertambangan yang diperoleh dari pengusahaan

pertambangan gas bumi setelah dikurangi komponen pajak dan

pungutan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(2) PBH Sumber Daya Alam pertambangan gas bumi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang

bersangkutan, ditetapkan sebesar 40% (empat puluh perseratus)

dengan rincian:

a. 8% (delapan perseratus) dibagikan untuk provinsi yang

bersangkutan;

b. 15% (enam belas perseratus) untuk kabupaten dan kota

penghasil; dan

c. 15% (enam belas perseratus) untuk seluruh kabupaten dan kota

lainnya dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang

sama besar.

d. 2% (dua perseratus) untuk kabupaten dan kota yang termasuk

dalam daerah zona tambang.

(3) PBH Sumber Daya Alam pertambangan gas bumi sebesar 40%

(empat puluh perseratus) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

yang diperoleh dari wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi

dibagi dengan rincian:

a. 12% (dua belas perseratus) dibagikan untuk provinsi yang

bersangkutan.

b. 26% (dua puluh delapan perseratus) untuk seluruh kabupaten

dan kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan porsi yang

sama besar.

Page 27: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

27

c. 2% (dua perseratus) untuk kabupaten dan kota yang termasuk

dalam daerah zona tambang.

Pasal 23

(1) PBH Sumber Daya Alam pengusahaan panas bumi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) huruf f, berasal dari:

a. setoran bagian pemerintah;

b. iuran tetap; dan

c. iuran produksi.

(2) PBH Sumber Daya Alam yang berasal dari pengusahaan panas

bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dihasilkan dari

wilayah Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 85%

(delapan puluh lima perseratus) dengan rincian:

a. 13% (tiga belas perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan;

b. 36% (tiga puluh enam perseratus) untuk kabupaten dan kota

penghasil; dan

c. 36% (tiga puluh enam perseratus) untuk seluruh kabupaten

dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan dengan

porsi yang sama besar.

Pasal 24

(1) Besarnya Dana Desa yakni paling sedikit 10% (sepuluh perseratus)

dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD

setelah dikurangi DAK.

(2) 90% dari Dana Desa tersebut dibagi secara merata untuk setiap

desa.

(3) 10% dialokasikan kepada desa berdasarkan jumlah penduduk desa,

angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, dan tingkat kesulitan

geografis desa.

Page 28: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

28

Pasal 25

(1) Menteri Keuangan menetapkan alokasi sementara PBH Pajak dan

PBH CHT dan minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3) paling lambat 60 (enam puluh) hari

sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.

(2) Khusus untuk PBH CHT dan minuman beralkohol sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu paling lambat 90

(sembilan puluh) hari sebelum berakhirnya tahun anggaran

berjalan, Menteri Keuangan menetapkan prognosa realisasi PBH

CHT dan minuman beralkohol.

Pasal 26

(1) Menteri teknis menetapkan daerah penghasil dan penghitungan

PBH sumber daya alam paling lambat 60 (enam puluh) hari

sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan setelah

melakukan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.

(2) Daerah penghasil dan dasar penghitung sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan.

(3) Menteri Keuangan menetapkan alokasi sementara PBH Sumber

Daya Alam untuk masing-masing daerah paling lambat 30 (tiga

puluh) hari setelah diterimanya ketetapan dari Menteri teknis.

Pasal 27

Menteri Keuangan menetapkan prognosa realisasi PBH Sumber Daya

Alam untuk masing-masing Daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari

sebelum berakhirnya tahun anggaran berjalan.

Pasal 28

Penyaluran PBH dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari

Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.

Page 29: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

29

Pasal 29

(1) PBH Pajak disalurkan per triwulan.

(2) Penyaluran untuk 3 (tiga) triwulan pertama masing-masing

sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari alokasi sementara

PBH Pajak yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(3) Penyaluran untuk triwulan keempat dilakukan berdasarkan

prognosa realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dengan

memperhitungkan penyaluran sebelumnya.

(4) PBH PBB disalurkan per triwulan.

(5) PBH PPh Pasal 25/29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 disalurkan

setiap bulan.

(6) PPN dan PpnBM disalurkan per triwulan.

Pasal 30

(1) PBH CHT disalurkan per triwulan.

(2) Penyaluran untuk 3 (tiga) triwulan pertama dilakukan masing-

masing sebesar 25% (dua puluh lima perseratus) dari alokasi

sementara PBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat

(1).

(3) Penyaluran untuk triwulan keempat dilakukan berdasarkan

prognosa realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)

dengan memperhitungkan penyaluran 3 (tiga) triwulan

sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 31

(1) PBH Sumber Daya Alam disalurkan per triwulan.

(2) Penyaluran untuk 3 (tiga) triwulan pertama masing-masing sebesar

25% (dua puluh lima perseratus) dari alokasi sementara PBH

Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3).

(3) Penyaluran untuk triwulan keempat dilakukan berdasarkan

penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dengan

Page 30: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

30

memperhitungkan penyaluran 3 (tiga) triwulan sebelumnya

sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 32

Dalam hal terjadi kelebihan penyaluran PBH CHT sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 30 dan PBH Sumber Daya Alam sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 31 dalam tahun anggaran berjalan, kelebihan

penyaluran tersebut diperhitungkan dengan penyaluran tahun anggaran

berikutnya atau Dana Transfer yang lain pada tahun anggaran berjalan

atau tahun anggaran berikutnya.

Pasal 33

(1) DAU ditetapkan paling sedikit 28% (dua puluh delapan perseratus)

dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN.

(2) Pendapatan Dalam Negeri Netto sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan

pajak setelah dikurangi dengan DBH.

(3) DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk:

a. Provinsi sebesar 10% (sepuluh perseratus); dan

b. Kabupaten dan kota sebesar 90% (sembilan puluh perseratus).

(4) DAU untuk provinsi dan kabupaten dan kota sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) dapat diubah sesuai dengan perubahan

urusan antara provinsi dan kabupaten dan kota, berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 34

(1) DAU suatu daerah dialokasikan atas dasar Celah Fiskal.

(2) Celah Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai

selisih antara kebutuhan fiskal Daerah dengan kapasitas fiskal

Daerah.

Page 31: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

31

(3) Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan

Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum.

(4) Kebutuhan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

dihitung berdasarkan kebutuhan pelayanan dasar pendidikan,

kesehatan, infrastruktur jalan dan transportasi, pertanian,

perkebunan dan kehutanan dan belanja umum daerah lainnya.

(5) Kebutuhan pelayanan dasar pendidikan sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) diukur berdasarkan proyeksi penduduk usia sekolah

dan biaya per unit dalam rangka penyediaan pelayanan dasar

pendidikan.

(6) Kebutuhan pelayanan dasar kesehatan sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) diukur berdasarkan proyeksi jumlah penduduk,

tingkat kepadatan penduduk dan luas wilayah serta biaya per unit

dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kesehatan.

(7) Kebutuhan pelayanan dasar infrastruktur jalan dan transportasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diukur berdasarkan

konektivitas daerah, luas wilayah dan biaya per unit dalam rangka

penyediaan pelayanan infrastruktur yang dimaksud.

(8) Kebutuhan pelayanan pertanian, perkebunan dan kehutanan

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diukur berdasarkan luas area

pertanian, perkebunan dan kehutanan dan biaya biaya per unit

dalam rangka menyediakan pelayanan yang dimaksud.

(9) Kebutuhan belanja umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

diukur berdasarkan proyeksi jumlah penduduk, luas wilayah dan

biaya per unit dalam rangka penyediaan pelayanan umum daerah.

(10) Dalam pengukuran kebutuhan fiskal daerah provinsi

dikelompokkan menjadi dua, yaitu provinsi besar dan provinsi

kecil, yang diukur berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah.

(11) Dalam pengukuran kebutuhan fiskal daerah kabupaten/kota

dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kabupaten besar dan kota

metropolitan, kabupaten sedang dan kota besar, dan kabupaten

Page 32: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

32

kecil dan kota kecil, yang diukur berdasarkan jumlah penduduk

dan luas wilayah.

(12) Kapasitas fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

merupakan penjumlahan dari potensi PAD, PBH dan DAK.

Pasal 35

(1) DAU atas dasar celah fiskal suatu provinsi dihitung berdasarkan

perkalian bobot provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU

seluruh provinsi.

(2) Bobot provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung

dengan membagi Celah Fiskal provinsi yang bersangkutan dengan

total Celah Fiskal seluruh provinsi.

Pasal 36

(1) DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu kabupaten/kota dihitung

berdasarkan perkalian bobot kabupaten/ kota yang bersangkutan

dengan jumlah DAU seluruh kabupaten dan kota.

(2) Bobot kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dihitung dengan membagi Celah Fiskal kabupaten/kota yang

bersangkutan

(3) dengan total Celah Fiskal seluruh kabupaten dan kota.

Pasal 37

DAU untuk Daerah Otonom Baru, mulai dialokasikan pada tahun

kelima sejak undang-undang pembentukannya diundangkan.

Pasal 38

(1) Menteri Keuangan mengusulkan kebijakan DAU, dalam nota

keuangan dan RAPBN tahun anggaran berikutnya, yang

disampaikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Daerah.

Page 33: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

33

(2) Kebijakan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan

oleh Menteri Keuangan kepada Dewan Pertimbangan Otonomi

Daerah.

(3) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyampaikan hasil

pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk

ditetapkan oleh Presiden dalam penyampaian Nota Keuangan dan

RAPBN kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

Daerah.

Pasal 39

(1) Berdasarkan hasil pembahasan antara Pemerintah dengan DPR dan

DPD tentang alokasi DAU dalam APBN, Menteri Keuangan

menetapkan alokasi DAU untuk masing-masing provinsi,

kabupaten dan kota paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun

anggaran bersangkutan dilaksanakan.

(2) Ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup

informasi alokasi masing-masing Daerah, dasar penghitungan

alokasi DAU dan sumber data yang digunakan.

Pasal 40

(1) DAU disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas

Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.

(2) Penyaluran DAU untuk masing-masing Daerah sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan setiap bulan masing-masing

sebesar 1/12 (satu perdua belas) dari DAU Daerah yang

bersangkutan.

(3) Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilaksanakan sebelum bulan bersangkutan.

(4) Penyaluran DAU tahap pertama dilakukan pada awal bulan April.

Page 34: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

34

Pasal 41

Ketentuan lebih lanjut mengenai DAU sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39,

dan Pasal 40 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 42

(1) DAK dialokasikan kepada daerah berdasarkan usulan daerah

mengacu pada RKPD dan musyawarah perencanaan dan

pembangungan Nasional/Daerah dalam mendorong percepatan

pencapaian Standar Pelayanan Minimum, Prioritas nasional

dan/atau kebijakan tertentu.

(2) DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai

kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah, dan mendanai

kegiatan pada provinsi berciri kepulauan.

(3) Kegiatan khusus dan kegiatan pada daerah berciri kepulauan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah :

a. kegiatan dalam rangka mendorong pemenuhan Standar

Pelayanan Minimum pelayanan dasar pendidikan, kesehatan,

infrastruktur jalan, jembatan, sanitasi, irigasi, dan air minum;

dan

b. kegiatan dalam rangka pencapaian prioritas nasional.

(4) Kegiatan dalam rangka pencapaian prioritas nasional sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) huruf b yang terkait dengan pelayanan

dasar di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan,

jembatan, sanitasi, irigasi, dan air minum.

Pasal 43

(1) DAK diprioritaskan untuk mendanai kegiatan dalam rangka

mendorong percepatan pencapaian Standar Pelayanan Minimum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf a.

Page 35: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

35

(2) Alokasi DAK untuk masing-masing bidang disesuaikan dengan

rencana pembangunan jangka menengah nasional.

(3) DAK untuk masing-masing bidang diusulkan oleh masing-masing

kementerian teknis terkait, kepada menteri Perencanaan

Pembangunan Nasional dan menteri Keuangan.

(4) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri

Keuangan mengusulkan kebijakan DAK dalam nota keuangan dan

RAPBN tahun anggaran berikutnya, yang disampaikan Pemerintah

ke Dewan Perwakilan Rakyat.

(5) Kebijakan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan

oleh Menteri Keuangan kepada Dewan Pertimbangan Otonomi

Daerah.

(6) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyampaikan hasil

pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk

ditetapkan oleh Presiden dalam penyampaian Nota Keuangan dan

RAPBN ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 44

(1) Pemerintah menetapkan DAK berdasarkan kriteria umum dan

Kriteria Khusus.

(2) Kriteria Umum, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan

pada kemampuan keuangan daerah dan pemenuhan Standar

Pelayanan Minimum.

(3) Kriteria Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan

dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta

kondisi geografis dan demografis daerah.

(4) Pelayanan Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi

pelayanan dasar pendidikan, kesehatan, infrastruktur jalan,

jembatan, sanitasi, irigasi, dan air minum.

(5) Penentuan Daerah yang belum mencapai Standar Pelayanan

Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan oleh

Page 36: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

36

menteri teknis yang membidangi pendidikan, kesehatan, dan

infrastruktur jalan, jembatan, sanitasi, irigasi, dan air minum.

Pasal 45

(1) Kemampuan keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal

44 ayat (2), dihitung dari penerimaan umum APBD setelah

dikurangi belanja gaji PNSD.

(2) Penerimaan umum APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

adalah jumlah dari PAD, DAU dan DBH.

(3) Kemampuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan dalam bentuk indeks.

(4) Indeks Kemampuan Keuangan suatu Daerah (IKKD) sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan Desil ketiga yang

paling rendah dari keseluruhan daerah secara nasional dan

ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Pasal 46

(1) Tingkat pencapaian Standar Pelayanan Minimum sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) ditetapkan dalam RKPD berupa

indikator pencapaian.

(2) Tingkat pencapaian SPM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dihitung dengan membandingkan antara target dan capaian

pelayanan.

(3) Hasil perhitungan tingkat capaian pelayanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam bentuk indeks.

Pasal 47

Daerah yang mendapat DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44

ayat (5), adalah Daerah dengan IKKD di bawah Desil ketiga secara

nasional dan indeks pencapaian Standar Pelayanan Minimum di bawah

Standar Pelayanan Minimum yang ditetapkan.

Page 37: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

37

Pasal 48

(1) Alokasi DAK suatu Daerah dihitung sebagai perkalian bobot daerah

yang bersangkutan dengan pagu alokasi DAK nasional per bidang.

(2) Bobot Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung

dengan membagi jumlah IKKD dan indeks pencapaian Standar

Pelayanan Publik Daerah yang bersangkutan dengan total IKKD

dan total indeks pencapaian Standar Pelayanan Publik.

Pasal 49

(1) Besaran alokasi DAK ditetapkan berdasarkan biaya per unit

kegiatan.

(2) Kegiatan yang didanai DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilarang didanai oleh sumber pendanaan lainnya.

(3) Kegiatan yang didanai oleh DAK yang juga didanai oleh sumber

pendaannya lainnya dapat dikenakan sanksi.

(4) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yakni berupa

pemotongan dana transfer pusat.

Pasal 50

(1) DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dapat

digunakan untuk mendanai kegiatan yang bersifat fisik dan non

fisik.

(2) Daerah penerima DAK tidak diwajibkan menyediakan Dana

Pendamping.

Pasal 51

Ketentuan lebih lanjut mengenai DAK sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48,

Pasal 49, dan Pasal 50 diatur dengan Peratuan Pemerintah.

Page 38: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

38

Pasal 52

(1) Berdasarkan hasil pembahasan antara Pemerintah dengan Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah tentang alokasi

DAK dalam APBN, Menteri Keuangan menetapkan alokasi DAK

untuk masing-masing provinsi, kabupaten dan kota paling lambat 2

(dua) bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan.

(2) Ketetapan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mencakup informasi alokasi masing-masing Daerah, dasar

penghitungan alokasi DAK dan sumber data yang digunakan.

Pasal 53

(1) Menteri/pimpinan lembaga teknis menetapkan pedoman umum

penggunaan DAK untuk pencapaian Standar Pelayanan Minimum

dan prioritas nasional.

(2) Pedoman umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini

ditetapkan.

(3) Pedoman umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

disesuaikan setiap 2 (dua) tahun sekali.

Pasal 54

(1) DAK disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas

Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.

(2) DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disalurkan per triwulan

dengan porsi yang sama besar.

Pasal 55

Tata cara penyaluran Dana Transfer diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Menteri Keuangan.

Page 39: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

39

Pasal 56

(1) Kepala Daerah menyampaikan laporan triwulan DAK yang memuat:

a. laporan pelaksanaan keuangan kepada Menteri Keuangan; dan

b. laporan pelaksanaan teknis DAK kepada Menteri teknis.

(2) Penyampaian laporan triwulan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a dan b dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari

setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.

(3) Menteri teknis menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan DAK

setiap akhir tahun anggaran kepada Menteri Keuangan, Menteri

Perencanaan dan Pembangunan Nasional, dan Menteri Dalam

Negeri.

(4) Laporan triwulan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 57

(1) Menteri Teknis melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap

pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari

DAK.

(2) Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi

pengelolaan keuangan DAK.

(3) Berdasarkan laporan kepala daerah sebagamana dimaksud dalam

Pasal 50 dan hasil pemantauan dan evaluasi, menteri teknis dan

menteri keuangan menyampaikan laporan kepada DPOD, dengan

menyampaikan tembusan kepada menteri dalam negeri dan Menteri

Perencanaan Pembangunan Nasional.

Pasal 58

(1) Penyaluran DAK dapat ditunda apabila Daerah tidak

menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50;

(2) Dalam hal daerah tidak menyampaikan laporan, Kementerian

teknis dapat mempertimbangkan penggunaan laporan tahun

Page 40: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

40

sebelumnya sebagai dasar pengalokasian untuk tahun anggaran

berikutnya.

Pasal 59

Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan DAK perencanaan, yang

berkaitan dengan penetapan bidang, pengalokasian, pelaporan dan

sanksi serta pemantauan dan evaluasi diatur dalam Peraturan

Pemerintah.

BAB VIII

PINJAMAN DAERAH DARI PUSAT

Bagian Pertama

Pinjaman

Pasal 60

(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman untuk membiayai

sebagian anggarannya.

(2) Pemerintah Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung

kepada pihak luar negeri.

(3) Pinjaman kepada pihak luar negeri sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dilakukan melalui Pemerintah.

(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2), dikenakan sanksi.

(5) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah pengurangan

Dana Transfer Pemerintah kepada daerah yang melakukan

pelanggaran.

Pasal 61

(1) Pinjaman Daerah bersumber dari Pemerintah Pusat.

Page 41: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

41

(2) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah Pusat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan melalui

Menteri Keuangan.

Pasal 62

(1) Jenis Pinjaman terdiri atas:

a. Pinjaman Jangka Pendek; dan

b. Pinjaman Jangka Panjang.

(2) Pinjaman Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a, merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu kurang

atau sama dengan satu tahun anggaran.

(3) Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Pendek

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang meliputi pokok

pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lainnya seluruhnya harus

dilunasi dalam tahun anggaran yang berkenaan.

(4) Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf b, merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih

dari 1 (satu) tahun anggaran.

Pasal 63

(1) Pinjaman jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62

ayat (1) huruf a, dipergunakan hanya untuk menutup kekurangan

arus kas.

(2) Pinjaman jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62

ayat (1) huruf b dipergunakan untuk membiayai penyediaan

infrastruktur dalam rangka pelayanan publik yang menjadi urusan

Daerah.

(3) Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diteruskan

dalam bentuk penyertaan modal daerah yang diatur melalui

Peraturan Daerah.

Page 42: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

42

Pasal 64

(1) Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan

pinjaman jangka pendek.

(2) Pinjaman jangka pendek hanya dapat dilakukan kepada bank yang

ditunjuk sebagai pengelola Rekening Kas Umum Daerah.

(3) Pinjaman jangka pendek dilaporkan dalam laporan keuangan.

Pasal 65

(1) Kepala Daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang.

(2) Dalam melakukan pinjaman jangka panjang, sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) Kepala Daerah harus memenuhi

persyaratan:

a. mampu mengembalikan pinjaman dan beban bunga;

b. tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang

berasal dari Pemerintah; dan

c. mendapatkan persetujuan DPRD.

Pasal 66

(1) Barang milik Daerah tidak boleh dijadikan jaminan Pinjaman

Daerah, kecuali yang tidak atau belum digunakan dalam rangka

pelayanan publik.

(2) Kegiatan yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik

Daerah yang melekat dalam kegiatan tersebut dapat dijadikan

jaminan Obligasi Daerah.

Pasal 67

(1) Pinjaman Pemerintah Daerah yang dananya berasal dari luar negeri

dilakukan melalui perjanjian penerusan pinjaman kepada

Pemerintah Daerah.

(2) Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilakukan antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah.

Page 43: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

43

(3) Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dapat dinyatakan dalam mata uang Rupiah.

Pasal 68

Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya berasal selain dari

penerusan pinjaman luar negeri dilakukan melalui perjanjian pinjaman

yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan Kepala Daerah.

Bagian Kedua

Obligasi Daerah

Pasal 69

(1) Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dalam mata uang

Rupiah di pasar modal domestik.

(2) Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai

nominal Obligasi Daerah pada saat diterbitkan.

(3) Penerbitan Obligasi Daerah wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal

65 dan Pasal 66 serta mengikuti peraturan perundang-undangan di

bidang pasar modal.

(4) Hasil penjualan Obligasi Daerah digunakan untuk membiayai

investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan/atau

memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat.

(5) Penerimaan dari investasi sektor publik sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) digunakan untuk membiayai kewajiban bunga dan

pokok Obligasi Daerah terkait dan sisanya disetorkan ke kas

Daerah.

Pasal 70

(1) Pemerintah Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dengan

syarat:

Page 44: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

44

a. mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian atau wajar

dengan pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan atas

laporan keuangan Pemerintah Daerah; dan

b. mendapatkan persetujuan dari DPRD dan Menteri Keuangan.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

diberikan atas nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang akan

diterbitkan.

(3) Penerbitan Obligasi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 71

(1) Obligasi Daerah dijamin oleh Pemerintah Daerah.

(2) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mampu menjamin obligasi

daerah makan penjaminan obligasi dilakukan oleh Pemerintah.

Pasal 72

Setiap Obligasi Daerah sekurang-kurangnya mencantumkan:

a. nilai nominal;

b. tanggal jatuh tempo;

c. tanggal pembayaran bunga;

d. tingkat bunga (kupon);

e. frekuensi pembayaran bunga;

f. cara perhitungan pembayaran bunga;

g. ketentuan tentang hak untuk membeli kembali Obligasi Daerah

sebelum jatuh tempo; dan

h. ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.

Pasal 73

Persetujuan DPRD mengenai penerbitan Obligasi Daerah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) meliputi pembayaran semua

kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan

Obligasi Daerah dimaksud.

Page 45: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

45

Pasal 74

(1) Pemerintah Daerah membayar bunga dan pokok Obligasi Daerah

pada saat jatuh tempo.

(2) Dana untuk membayar bunga dan pokok sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) disediakan dalam APBD setiap tahun sampai dengan

berakhirnya kewajiban tersebut.

(3) Dalam hal dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

mencukupi untuk pembayaran bunga sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), Kepala Daerah melakukan pembayaran dan

menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada DPRD dalam

pembahasan Perubahan APBD.

Pasal 75

(1) Pengelolaan Obligasi Daerah diselenggarakan oleh Kepala Daerah.

(2) Kepala Daerah menunjuk satuan kerja yang bertanggung jawab

untuk mengelola Obligasi Daerah.

(3) Pengelolaan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

sekurang-kurangnya meliputi:

a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah

termasuk kebijakan pengendalian resiko;

b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio Pinjaman

Daerah;

c. penerbitan Obligasi Daerah;

d. penjualan Obligasi Daerah melalui lelang;

e. pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo;

f. pelunasan pada saat jatuh tempo; dan

g. pertanggungjawaban.

Page 46: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

46

Bagian Ketiga

Pelaporan Pinjaman dan Sanksi

Pasal 76

(1) Pemerintah Daerah wajib menyampaikan laporan posisi kumulatif

pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Menteri Keuangan setiap

semester dalam tahun anggaran berjalan.

(2) Dalam hal Daerah tidak menyampaikan laporan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat mengenakan

sanksi berupa penundaan penyaluran Dana Transfer.

Pasal 77

(1) Seluruh kewajiban Pinjaman Daerah yang jatuh tempo wajib

dianggarkan dalam APBD tahun anggaran yang bersangkutan.

(2) Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban membayar

pinjamannya kepada Pemerintah, kewajiban membayar pinjaman

tersebut diperhitungkan dengan DAU dan/atau DBH yang menjadi

hak Daerah tersebut.

Pasal 78

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian pinjaman daerah,

penerbitan Obligasi Daerah, pelaporan Pinjaman Daerah serta

pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

BAB IX

HIBAH

Pasal 79

(1) Hibah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa

termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang berasal dari Pemerintah,

daerah lain, masyarakat dan badan usaha dalam negeri atau luar

Page 47: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

47

negeri yang bertujuan menunjang peningkatan penyelenggaraan

Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

(2) Hibah diberikan kepada Daerah dalam rangka:

a. penerusan pinjaman luar negeri dan/atau hibah luar negeri;

dan/atau

b. penyelenggaraan kegiatan yang berskala nasional dan

internasional;

c. kegiatan tertentu untuk daerah berdasarkan usulan

Kementrian/Lembaga.

(2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui

perjanjian hibah antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah.

Pasal 80

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hibah diatur dengan

Peraturan Menteri Keuangan.

BAB X

DANA DARURAT

Pasal 81

(1) Dana Darurat dapat dialokasikan kepada Daerah dalam APBN

untuk mendanai keperluan mendesak yang diakibatkan oleh

bencana alam yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan

menggunakan sumber APBD.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Darurat diatur lebih lanjut

dalam undang-undang.

Page 48: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

48

BAB XI

DANA DEKONSENTRASI

Pasal 82

(1) Dana Dekonsentrasi dialokasikan untuk mendanai urusan yang

merupakan kewenangan Pemerintah yang pelaksanaannya

dilimpahkan kepada gubernur.

(2) Pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejalan dengan

peran gubernur sebagai wakil Pemerintah.

(3) Urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

didanai dari Dana Dekonsentrasi meliputi kegiatan atau program

yang lebih tepat dan efisien dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi.

(4) Kegiatan atau program yang didanai dari Dana Dekonsentrasi

dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh Gubernur.

Pasal 83

(1) Dana Dekonsentrasi merupakan bagian anggaran kementerian

negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan

anggaran kementerian negara/lembaga.

(2) Besaran Dana Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disesuaikan dengan program atau kegiatan yang akan dilimpahkan.

(3) Rencana lokasi dan anggaran untuk program dan kegiatan yang

akan didekonsentrasikan disusun dengan memperhatikan

kemampuan keuangan negara, keseimbangan pendanaan dan

tingkat kesejahteraan di Daerah, dan kebutuhan pembangunan

Daerah.

Pasal 84

(1) Penyaluran Dana Dekonsentrasi dilakukan oleh Bendahara Umum

Negara atau kuasanya melalui Rekening Kas Umum Negara.

Page 49: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

49

(2) Dalam hal pelaksanaan Dekonsentrasi terdapat saldo kas pada

akhir tahun anggaran, saldo tersebut harus disetor ke Rekening

Kas Umum Negara.

(3) Dalam hal pelaksanaan Dekonsentrasi menghasilkan penerimaan,

penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN yang harus

disetor ke Rekening Kas Umum Negara sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 85

(1) Penatausahaan keuangan dan barang dalam pelaksanaan

Dekonsentrasi dilakukan secara terpisah dari penatausahaan

keuangan dan barang dalam pelaksanaan Desentralisasi.

(2) SKPD menyelenggarakan penatausahaan keuangan dan barang

dalam rangka Dekonsentrasi secara tertib sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

(3) SKPD menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi

kepada gubernur.

(4) Gubernur menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh

pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi kepada menteri/ pimpinan

lembaga yang memberikan pelimpahan urusan.

(5) Menteri negara/pimpinan lembaga menyampaikan laporan

pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi secara

nasional kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 86

(1) Semua barang yang diperoleh dari Dana Dekonsentrasi menjadi

barang milik Negara.

(2) Barang milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dihibahkan Kepada Daerah.

Page 50: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

50

(3) Barang milik Negara yang dihibahkan kepada Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) wajib dikelola dan ditatausahakan oleh

Daerah.

Pasal 87

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran, penyaluran,

pelaporan, pertanggungjawaban, dan penghibahan barang milik Negara

yang diperoleh atas pelaksanaan Dana Dekonsentrasi diatur dalam

Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 88

(1) Pengawasan Dana Dekonsentrasi dilaksanakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

(2) Pemeriksaan Dana Dekonsentrasi dilaksanakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan di bidang pemeriksaan pengelolaan

dan tanggung jawab keuangan negara.

BAB XII

DANA TUGAS PEMBANTUAN

Pasal 89

(1) Dana Tugas Pembantuan dialokasikan untuk mendanai urusan

yang merupakan kewenangan Pemerintah yang pelaksanaannya

ditugaskan kepada daerah dan desa.

(2) Urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

didanai dari Dana Tugas Pembantuan meliputi kegiatan atau

program yang lebih tepat dan efisien dilaksanakan oleh

pemerintahan daerah.

(3) Kegiatan atau program yang didanai dari Dana Tugas Pembantuan

dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh gubernur,

bupati/walikota.

Page 51: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

51

Pasal 90

(1) Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian anggaran kementerian

negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan

anggaran kementerian negara/lembaga.

(2) Besaran Dana Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) disesuaikan dengan kegiatan atau program yang akan

ditugaskan.

(3) Rencana lokasi dan anggaran untuk program dan kegiatan yang

akan ditugaskan disusun dengan memperhatikan kemampuan

keuangan negara, keseimbangan pendanaan dan tingkat

kesejahteraan di Daerah, dan kebutuhan pembangunan Daerah.

Pasal 91

(1) Penyaluran Dana Tugas Pembantuan dilakukan oleh Bendahara

Umum Negara atau kuasanya melalui Rekening Kas Umum Negara.

(2) Dalam hal pelaksanaan Tugas Pembantuan terdapat saldo kas pada

akhir tahun anggaran, saldo tersebut harus disetor ke Rekening

Kas Umum Negara.

(3) Dalam hal pelaksanaan Tugas Pembantuan menghasilkan

penerimaan, penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN

yang harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Pasal 92

(1) Penatausahaan keuangan dan barang dalam pelaksanaan Tugas

Pembantuan dilakukan secara terpisah dari penatausahaan

keuangan dan barang dalam pelaksanaan Desentralisasi.

(2) SKPD menyelenggarakan penatausahaan keuangan dan barang

dalam rangka Tugas Pembantuan secara tertib sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Page 52: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

52

(3) SKPD menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Tugas

Pembantuan kepada Bupati atau Walikota.

(4) Gubernur, Bupati dan Walikota menyampaikan laporan

pertanggungjawaban seluruh pelaksanaan kegiatan Tugas

Pembantuan kepada menteri negara/pimpinan lembaga yang

menugaskan.

Pasal 93

(1) Semua barang yang diperoleh dari Dana Tugas Pembantuan

menjadi barang milik negara.

(2) Barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dihibahkan kepada Daerah bersamaan dengan berakhirnya

pelaksanaan kegiatan atau program.

(3) Barang milik negara yang dihibahkan kepada Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) wajib dikelola dan ditatausahakan oleh

Daerah.

(4) Barang milik Negara yang tidak dihibahkan kepada Daerah wajib

dikelola dan ditatausahakan oleh kementerian negara/lembaga

yang memberikan penugasan.

Pasal 94

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran, penyaluran,

pelaporan, pertanggungjawaban, dan penghibahan barang milik Negara

yang diperoleh atas pelaksanaan Tugas Pembantuan diatur dengan

Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 95

(1) Pengawasan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Page 53: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

53

(2) Pemeriksaan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan di bidang pemeriksaan pengelolaan

dan tanggung jawab keuangan negara.

BAB XIII

INSENTIF FISKAL DAERAH

Pasal 96

(1) Insentif fiskal diberikan kepada daerah yang memiliki prestasi

dalam pencapaian prioritas nasional, pengelolaan lingkungan

hidup, penyelenggaraan pelayanan dasar dan PAD.

(2) Prioritas nasional didasarkan pada dokumen RPJMN berlaku.

(3) Pengelolaan lingkungan hidup sebagaiman dimaksud dalam Ayat (1)

didasarkan pada kemampuan daerah dalam melestarikan

lingkungan hidup.

(4) Penyelenggaraan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam

Ayat (1) didasarkan pada dokumen RKPD.

(5) Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1)

didasarkan pada perbandingan antara realisasi dan potensi PAD.

Pasal 97

Besaran insentif fiskal diberikan kepada daerah sebesar 5 % (lima

perseratus) dari APBD tahun sebelumnya.

Pasal 98

Penentuan prestasi daerah ditetapkan secara bersama oleh Kementerian

Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Bappenas dan kementerian

teknis terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Page 54: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

54

BAB XIV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 99

Ketentuan mengenai DBH PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10

dilaksanakan mulai tahun anggaran 2017.

BAB XV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 100

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka :

a. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor

4438) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan

Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312)

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3569) sepanjang yang terkait dengan peraturan

pelaksanaan mengenai obyek perkebunan;

c. Ketentuan Pasal 66A, Pasal 66B, Pasal 66C, dan Pasal 66D dalam

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1997 tentang Cukai;

d. Ketentuan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh yang terkait dengan pasal 181 ayat (1) huruf a,

b, dan c, dan pasal 183 ayat (2); dan

Page 55: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

55

e. Ketentuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua yang terkait dengan pasal 34 ayat (3)

huruf c. angka 4), angka 5), dan angka 6),

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 101

Undang-Undang ini mulai berlaku sejak diundangkan.

Agar setiap Orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal

....................................

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal …….

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ….. NOMOR….

Page 56: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

1

PENJELASAN

ATAS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG

HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH

I. Umum

Dalam rangka mewujudkan cita cita Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yaitu untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, dan

merata berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945, Pemerintah perlu menyelenggarakan pemerintahan negara dan

pembangunan nasional secara profesional, terbuka, dan bertanggung

jawab.

Untuk mencapai cita-cita tersebut, Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri

atas daerah-daerah kabupaten/kota, serta desa. Tiap tiap daerah

tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahannya secara efisien dan efektif dalam upaya

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Sesuai Pasal 18A ayat (2) Undang-UndangDasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar hubungan keuangan,

pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber

daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan

dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.

Dengan demikian, Pasal ini merupakan landasan filosofis dan landasan

konstitusional pembentukan Undang-Undang tentang Hubungan

Keuangan antara Pusat dan Daerah. Berdasarkan pemikiran ini sekaligus

menjelaskan bahwa istilah perimbangan keuangan berdasarkan Undang-

Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemeritah Pusat dan Pemerintahan Daerah, disesuaikan menjadi

Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.

Dengan semakin luas dan kompleksnya pengaturan pengelolaan

keuangan Negara yang bersifat mendasar dan menyeluruh dalam sistem

keuangan Negara, sehingga Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah perlu diperbaharui menjadi Undang-Undang

Page 57: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

2

Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang ini

juga diselaraskan dengan perubahan Undang-Undang No. 32 tahun 2004

menjadi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang

Cukai dan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.

Hakikat perubahan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

menjadi Undang-undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

didasarkan pertimbangan semakin besarnya cakupan pengaturan

pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,

perlunya upaya secara terus-menerus untuk meningkatkan kewenangan

pemungutan pajak (taxing power) daerah dengan menyerahkan

pemungutan pajak pusat kepada daerah dengan tetap

mempertimbangkan prinsip-prinsip pajak daerah yang baik dan

kesinambungan fiskal nasional, dan perlunya pengaturan mengenai

prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah sehingga Undang-Undang

ini lebih tepat disebut Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan

Daerah, sejalan dengan pengaturan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945.

Sejalan dengan itu, pembentukan Undang-Undang tentang

Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah dimaksudkan terutama untuk

mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada Pemerintahan

Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function,

yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi

pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-

masing tingkat pemerintahan.

Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan,

pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara

nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan,

pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk

sumber-sumber keuangan negara yang harus dibagi antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan

pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-

prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.

Hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah

mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah

Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan

Page 58: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

3

memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah. Secara

keseluruhan sumber-sumber pendanaan di daerah mencakup dana

desentralisasi, dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan, dana

pinjaman, dana darurat serta hibah daerah, dan pinjaman daerah.

Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara

efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak

tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur

pendanaan penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan

pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dibiayai dari APBD,

sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi

tanggung jawab Pemerintah dibiayai dari APBN, baik kewenangan Pusat

yang didekonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada

Pemerintah Daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka

Tugas Pembantuan.

Sumber-sumber Dana Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Asli

Daerah, Dana Transfer, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Pendapatan.

Pendapatan Asli Daerah merupakan Pendapatan Daerah yang bersumber

dari hasil Pajak Daerah, Penerimaan Daerah Bukan Pajak khususnya

hasil Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang

dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah, yang bertujuan untuk

memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan

dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas

Desentralisasi.

Dana Perimbangan diubah menjadi Dana Transfer disesuaikan

dengan istilah umum yang dipergunakan di berbagai Negara di dunia (best

practices) dan merupakan pendanaan untuk Daerah yang bersumber dari

APBN selain dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam mendanai

kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber

pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk

mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah.

Perubahan ini menemptakan dana perimbangan sebagai bagian dari dana

transfer tersebut.

Dana Transfer terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi

Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Desa, termasuk

Dana Otonomi Khusus dan Dana Alokasi Istimewa. Komponen Dana

Transfer ini merupakan satu kesatuan yang utuh mengingat tujuan jenis-

jenis sumber dana tersebut saling mengisi dan melengkapi. Dalam rangka

Page 59: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

4

mengatasi ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah tersebut, maka

untuk penguatan kemampuan keuangan daerah, dalam Undang-Undang

ini dilakukakan beberapa penyempurnaan melalui penambahan jenis

pajak daerah dan besaran perseratus dari transfer (DBH, DAU, DAK,

Dana Desa) dengan tetap menjaga stabilitas fiskal secara nasional.

DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang

dibagihasilkan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu.

Tujuan DBH untuk mengurangi ketimpangan vertikal antara pusat dan

daerah dan untuk memberikan akses yang lebih besar kepada daerah

terhadap sumber-sumber penerimaan yang cukup besar. Pendapatan yang

berasal dari sumber PAD dari Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota

(sebagai perseratus dari keseluruhan sumber daya) dalam kurun waktu

2006 sampai 2012, hanya berada di kisaran 15% dan 40% dari masing-

masing APBD Kab/Kota dan Provinsi. Ketergantungan yang tinggi pada

dana perimbangan di Indonesia terus berlanjut dalam beberapa tahun

terakhir dan diperkirakan akan berlanjut pada tingkat yang hampir sama

pada dekade mendatang.

Untuk mengoreksi ketimpangan vertikal antara pusat dan daerah,

dalam undang-undang ini diupayakan peningkatan porsi DBH-Pajak dan

DBH-SDA serta memperkenalkan DBH-Pajak yang baru, dengan tetap

memperhatikan keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability), dan ruang fiskal

(fiscal space)yang aman. Penguatan kemampuan fiskal pemerintah daerah

tersebut terutama dititikberatkan pada tingkat pemerintahan

kabupaten/kota, dan keberlanjutan pembangunan wilayah pedesaan.

Peningkatan porsi DBH-Pajak, DBH-SDA dan penambahan DBH-Pajak

yang baru adalah sebagai berikut :

(1) DBH-OP PPh Pasal 25, Pasal 29 dan Pasal 21 ditingkatkan dari 20%

menjadi 25%, serta pembagian antara provinsi dengan

kabupaten/kota bergeser dari 40% dan 60% menjadi 50% dan 50%.

(2) Bagi hasil penerimaan perikanan dengan imbangan 20% untuk

pemerintah pusat dan 80% untuk seluruh daerah kabupaten/kota,

diubah menjadi 5% untuk pemerintah dan 95% kepada daerah

penghasil. Adapun distribusinya adalah 10% untuk provinsi dan

85% untuk kabupaten/kota.

(3) DBH-Minyak Bumi dengan imbangan 15.5% untuk daerah dan

84.5% untuk pusat, dengan distribusi sebesar 15% bagian daerah

dibagi dengan rincian 3% untuk propinsi yang bersangkutan, 6%

Page 60: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

5

untuk kabupaten/kota penghasil dan 6% untuk kabupaten/kota

lainnya dalam propinsi yang bersangkutan. Selanjutnya sebesar

0.5% lainnya dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan

dasar. Dengan rincian 0.1% untuk propinsi yang bersangkutan,

0.2% untuk kabupaten/kota penghasil dan 0.2% untuk kabupaten

kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Proporsi tersebut

berubah menjadi 60% untuk pemerintah, 7,5% untuk provinsi, 15%

untuk kabupaten/kota penghasil, dan 15% untuk kabupaten/kota

di dalam provinsi dengan porsi yang sama besar, serta 2,5% untuk

daerah yang termasuk dalam zona tambang.

(4) DBH-Gas Bumi selama ini dengan imbangan 30.5% untuk daerah

dan 69.5% untuk pusat, dengan distribusi sebesar 6% untuk

provinsi yang bersangkutan, 12% untuk kabupaten/kota penghasil

dan 12% untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang

bersangkutan. Selanjutnya sebesar 0.5% lainnya dialokasikan

untuk menambah anggaran pendidikan dasar. Dengan rincian 0.1%

untuk propinsi yang bersangkutan, 0.2% untuk kabupaten/kota

penghasil dan 0.2% untuk kabupaten kota lainnya dalam provinsi

yang bersangkutan. Proporsi tersebut berubah menjadi 60% untuk

pemerintah, 8% untuk provinsi, 15% untuk kabupaten kota

penghasil, dan 15% untuk kabupaten/kota di dalam provinsi

dengan porsi yang sama besar, serta 2% untuk daerah yang

termasuk dalam zona tambang.

Pengaturan penggunaan DBH-Pajak dan DBH-SDA seluruhnya

diserahkan kepada daerah (block grant) karena sifatnya yang immobile

yaitu melekat pada daerah yang memiliki dan dapat diatur sesuai dengan

batasan wilayah masing-masing. Obyek PBB perkebunan berdasarkan

Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah tidak termasuk sebagai pajak daerah. Dalam Undang-

Undang ini obyek PBB perkebunan tersebut dinyatakan sebagai bagian

dari obyek pajak daerah, dengan pertimbangan obyek tersebut merupakan

obyek yang immobile yaitu melekat pada daerah yang memiliki.

DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-

daerah, memperkuat keuangan daerah, serta dimaksudkan untuk

mengkoreksi ketimpangan kemampuan keuangan antar-Daerah melalui

penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi

Daerah. Kemudian untuk memperkuat keuangan daerah sekaligus

Page 61: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

6

mengkoreksi ketimpangan antar daerah, maka formula dari DAU diubah

dengan tujuan efisiensi dan peningkatan sumber-sumber pendapatan

keuangan daerah, dengan menggunakan pendekatan baru melalui

pemberian insentif bagi daerah untuk meningkatkan PAD masing-masing.

Perubahan ini memiliki hubungan dua arah dimana peningkatan sumber-

sumber keuangan daerah itu diukur melalui peningkatan PAD, atau

dengan rumusan rasio antara PAD terhadap belanja daerah sehingga

daerah yang berhasil menigkatkan PAD diberikan insentif, apabila tidak

mampu meningkatkan PAD, maka daerah dengan sendirinya harus

mengurangi belanjanya, hal ini dimaksudkan agar tercapai efisiensi dan

memaksimalkan penggunaan dana belanja daerah serta peningkatan PAD.

Dalam Undang-Undang ini ditegaskan kembali mengenai formula

celah fiskal. Proporsi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri Netto (PDN)

dalam undang-undang ini ditingkatkan dari sekurang-kurangnya sebesar

26% dari PDN, menjadi 28% dari PDN yang ditetapkan dalam APBN.

Definisi PDN Netto adalah Pendapatan Dalam Negeri dikurangi dengan

Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA. DAU suatu Daerah ditentukan atas

dasar insentif fiskal dan besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap), yang

merupakan selisih antara kebutuhan Daerah (fiscal need) dan potensi

Daerah (fiscal capacity). Dalam undang-undang ini, yang dimaksud

dengan insentif fiskal adalah rasio antara PAD dibagi dengan Belanja

Daerah, sedangkan fiscal gap merupakan pengukuran Proyeksi

Perhitungan Pelayanan Dasar berdasarkan standar analisa biaya (biaya

per unit pelaksanaan pendidikan dasar terhadap jumlah anak usia

sekolah, biaya pelaksanaan kesehatan per-unit terhadap jumlah

penduduk dan cakupan luas wilayah, infrastruktur jalan dan transportasi

berdasarkan biaya per-unit terhadap panjang jalan yang diurus,

pelayanan dasar pertanian, perkebunan dan kehutanan, dihitung

berdasarkan biaya per unit terhadap luas area pertanian, perkebunan dan

kehutanan yang diurus dan belanja umum (general spending) lainnya,

dihitung berdasarkan biaya per-unit (unit cost) terhadap jumlah penduduk

dan luas wilayahsecara konkrit. Alokasi DAU bagi Daerah yang potensi

fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi

DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun

kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar.

Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor

pemerataan kapasitas fiskal.

Page 62: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

7

Dalam penentuan alokasi DAU untuk masing-masing provinsi,

kabupaten/kota, dalam undang-undang ini dibedakan menjadi masing-

masing dua kelompok untuk provinsi dan tiga kelompok untuk

kabupaten/kota. Pengelompokkan (clustering) kabupaten/kota tersebut,

terdiri dari Kabupaten Besar dan Kota Metro, Kabupaten Sedang dan Kota

Besar dan Kabupaten Kecil dan Kota Kecil, yang ketiganya memiliki bobot

yang berbeda dalam perhitungan DAU, yang diatur lebih lanjut dalam

suatu peraturan pemerintah.

DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan

khusus di Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai

dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan

sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai

standar pelayanan minimum atau untuk mendorong percepatan

pembangunan Daerah.

Dalam kerangka untuk pemenuhan prioritas nasional ini,

pengalaman di beberapa Negara menunjukkan bahwa alokasi DAK

dipergunakan untuk mendorong tercapainya Standar Pelayanan Publik di

bidang pendidikan dasar, kesehatan dan infrastruktur. Selain pemenuhan

prioritas nasional, DAK juga dialokasikan sebagai kompensasi terhadap

pembiayaan program maupun kegiatan pemerintah daerah yang memiliki

dampak eksternalitas yang signifikan kepada daerah sekitarnya (to

compensate for spillovers). Pengalokasian DAK yaitu kepada daerah yang

belum dapat memenuhi Standar Pelayanan Publik (SPP) dikarenakan

dana yang tersedia yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil tidak

mencukupi. DAK juga diperluas jangkauannya dalam mendorong

pengembangan provinsi kepulauan sebagaimana yang diamanatkan oleh

UU Nomor 23 Tahun 2014.

Agar keberadaan DAK ini lebih mudah diakses untuk memenuhi

kebutuhan khusus daerah, maka kriterianya juga lebih disederhanakan.

Kriteria tersebut mencakup kriteria umum, dan kriteria khusus. Sedang

untuk kriteria teknis ditiadakan, karena dalam banyak pengelaman justru

kriteria teknis ini sering menjadi penghambat terhadap aspek subtansial

pembiayaan yang bersumber dari DAK, dengan kata lain kriteria ini sering

menjadi complecated.

Selain itu mengingat kemampuan keuangan daerah sangat

bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya, di dalam Undang-

Undang ini alokasi DAK tidak lagi mempersyaratkan kepada daerah

Page 63: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

8

penerima DAK untuk menyediakan Dana Pendamping sekurang-

kurangnya 10% dari alokasi DAK.

Sejalan dengan pentingnya penanganan pembangunan pada

provinsi kepulauan, maka DAK juga mencakup pembiayaan khusus

untuk provinsi kepulauan terkait dengan pelayanan dasar sebagaimana

dikemukakan di atas.

Dalam rangka memperkuat kapasitas fiskal daerah, besaran DAK

dalam undang-undang ini tidak dibatasi. Ini dimaksudkan agar besaran

tersebut secara nasional setiap tahunnya lebih ditentukan oleh seberapa

besar prioritas nasional yang mesti diselesaikan, SPP yang mesti dibiayai,

dan hal khusus lainnya yang terkait karakteristik demografi dan geografis

daerah yang butuh dukungan pembiayaan, serta tentunya

mempertimbangkan kapasitas fiskal nasional dan prioritas nasional

lainnya.

Dana Transfer kepada Daerah yang memiliki Otonomi Khusus

terutama dimaksudkan untuk menjamin keberlangsungan dan

kesinambungan pembangunan, sekaligus untuk mengakhiri potensi

konflik politik, maka dana Otonomi Khusus untuk Provinsi di Papua,

Papua Barat dan Provinsi Aceh diberikan Dana Otonomi Khusus yang

berlaku seterusnya dari yang semula dibatasi jangka waktu. Di samping

alokasi Dana Otonomi Khusus, Undang-Undang ini juga mengalokasikan

Dana Alokasi Istimewa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 13

Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Undang-Undang ini juga mengatur hibah yang berasal dari

pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga

internasional, Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau

perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah, maupun dalam bentuk

barang dan/atau jasa termasuk tenaga ahli, dan pelatihan yang tidak

perlu dibayar kembali.

Dalam lain-lain pendapatan selain hibah, Undang-Undang ini juga

mengatur pemberian Dana Darurat kepada Daerah karena bencana

nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi

dengan dana APBD. Untuk mempercepat proses pembangunan di daerah

serta meningkatkan pelayanan publik, Pemerintah membuka kesempatan

kepada pemda melakukan pinjaman sebagai salah satu sumber

Pembiayaan pembangunan yang bertujuan untuk mempercepat

pertumbuhan ekonomi Daerah dan meningkatkan kesejahteraan

Page 64: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

9

masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola

secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi Keuangan

Daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh

karena itu, Pinjaman Daerah perlu mengikuti kriteria, persyaratan,

mekanisme, dan sanksi Pinjaman Daerah yang diatur dalam Undang-

Undang ini.

Dalam Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa Daerah dilarang

melakukan pinjaman langsung ke luar negeri. Pinjaman yang bersumber

dari luar negeri hanya dapat dilakukan melalui Pemerintah dengan

mekanisme penerusan pinjaman. Pengaturan ini dimaksudkan agar

terdapat prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal dalam kebijakan

fiskal dan moneter oleh Pemerintah. Di lain pihak, Pinjaman Daerah tidak

hanya dibatasi untuk membiayai prasarana dan sarana yang

menghasilkan penerimaan, tetapi juga dapat untuk membiayai proyek

pembangunan prasarana dasar masyarakat walaupun tidak menghasilkan

penerimaan. Selain itu, dilakukan pembatasan pinjaman dalam rangka

pengendalian defisit APBD dan batas kumulatif pinjaman Pemerintah

Daerah.

Daerah juga dimungkinkan untuk menerbitkan Obligasi Daerah

dengan persyaratan tertentu, serta mengikuti peraturan perundang-

undangan di bidang pasar modal dan memenuhi ketentuan nilai bersih

maksimal Obligasi Daerah yang mendapatkan persetujuan Pemerintah.

Segala bentuk akibat atau risiko yang timbul dari penerbitan Obligasi

Daerah menjadi tanggung jawab Daerah sepenuhnya.

Pengelolaan keuangan dilakukan secara tertib, taat pada peraturan

perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan dapat

dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan yang sudah

menjadi tuntutan masyarakat. Semua penerimaan dan pengeluaran yang

menjadi hak dan kewajiban Daerah dalam tahun anggaran yang

bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD. Dalam

pengadministrasian Keuangan Daerah, APBD, Perubahan APBD, dan

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan

Peraturan Daerah.

Surplus APBD digunakan untuk membiayai Pengeluaran Daerah

tahun anggaran berikutnya, membentuk Dana Cadangan, dan penyertaan

modal dalam Perusahaan Daerah. Dalam hal anggaran diperkirakan

defisit, ditetapkan sumber-sumber Pembiayaan untuk menutup defisit

Page 65: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

10

tersebut.

Pengaturan Dana Dekonsentrasi bertujuan untuk menjamin

tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang

dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah. Dana Tugas

Pembantuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan

kewenangan Pemerintah yang ditugaskan kepada Daerah.

Dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa pengadministrasian

Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dilakukan melalui

mekanisme APBN, sedangkan pengadministrasian Dana Desentralisasi

mengikuti mekanisme APBD. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan

pembangunan dan Pemerintahan Daerah dapat dilakukan secara efektif,

efisien, transparan, dan akuntabel.

Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan Desentralisasi

berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, diperlukan adanya

dukungan Sistem Informasi Keuangan Daerah. Sistem tersebut antara

lain dimaksudkan untuk perumusan kebijakan dan pengendalian fiskal

nasional.

Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, maka

pokok-pokok muatan perubahan dalam Undang-Undang ini adalah

sebagai berikut:

a. Penegasan prinsip-prinsip dasar Hubungan Keuangan antara

Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sesuai asas Desentralisasi,

Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan;

b. Penguatan kemampuan keuangan daerah melalui koreksi ketimpangan

fiskal vertikal (vertical fiscal imbalance), koreksi ketimpangan fiskal

antar daerah (horizontal fiscal imbalance), dengan penyempurnaan

besaran perseratustase Dana Transfer, meliputi penguatan Dana Bagi

Hasil minyak bumi, kehutanan, perikanan, pengalihan DBH-PBB

Perkebunan menjadi pajak daerah, dan perubahan perseratus Dana

Bagi Hasil PPH Orang Pribadi. Di samping itu, dalam Undang-Undang

ini jumlah keseluruhan DAU di tingkatkan dari paling sedikit 26% (dua

puluh enam perseratus) menjadi paling sedikit 27% (dua puluh tujuh

perseratus) dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam

APBN.

c. Penyempurnaan perumusan formula Dana Alokasi Umum dengan

tujuan efisiensi dan peningkatan sumber-sumber pendapatan

keuangan daerah, dengan menggunakan pendekatan baru melalui

Page 66: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

11

pemberian insentif bagi daerah untuk meningkatkan PAD masing-

masing Daerah dan upaya efisiensi belanja daerah. Rumusan formula

DAU baru didasarkan atas Insentif (IF) yang diukur berdasarkan rasio

PAD dan belanja daerah, dan Fiscal Gap (FG) yaitu selisih antara

kebutuhan fiskal (Kbf) dan kapasitas fiskal (Kf). Kebutuhan fiskal

diukur terutama melalui pengukuran belanja untuk pelayanan dasar

pendidikan, kesehatan, infrasturktur dan belanja umum daerah yang

masing masing variabel dicerminkan berdasarkan biaya per-unit (unit

cost) pelayanan terhadap cakupan pelayanan;

d. Memposisikan Dana Desa sebagai bagian dari Dana Perimbangan yang

dimaksudkan untuk memberi jaminan kesinambungan

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan wilayah pedesaan,

untuk mengakselerasi kemajuan nasional secara merata.

e. Penyesuaian kembali prinsip-prinsip dasar pengalokasian DAK sebagai

salah satu unsur Dana Perimbangan yang mengakomodasikan

kepentingan nasional (national interest) dan tugas pelayanan umum

pemerintah yang telah didesentralisasikan kepada daerah. Secara

empiris di berbagai negara, pelayanan dasar di bidang pendidikan,

kesehatan, dan infrastruktur selalu menjadi prioritas pemerintah pusat

agar pemerintah daerah mampu memberikan pelayanan yang memadai

kepada masyarakat. Mengingat keterbatasan dana pemerintah dalam

pemenuhan pelayanan dasar tersebut, maka DAK harus difokuskan

pada tiga sektor tersebut ditambah beberapa sektor yang menjadi

prioritas pembangunan jangka menengah pemerintah. Selain itu,

besaran DAK perlu ditingkatkan untuk menjamin pemenuhan

kebutuhan dasar pelayanan tersebut.

f. Penerimaan khusus dalam rangka Otonomi Khusus Papua, Papua

Barat dan dana tambahan infrastruktur serta Otonomi Khusus Aceh

yang berlaku selama periode tertentu sesuai ketentuan undang-undang

otonomi khusus Papua dan otonomi khusus Aceh, dalam Undang-

Undang ini diatur berlaku seterusnya dengan pertimbangan untuk

mengakhiri potensi konflik yang bernuansa politik dan mengganggu

keutuhan NKRI. Perlakuan di bidang keuangan pada provinsi Papua

dan Aceh dimasukkan untuk memperkuat kesatuan nasional,

peningkatan kesejahteraan masyarakat, penghargaan terhadap budaya

setempat, dan peningkatan pelayanan dasar masyarakat, namun harus

diupayakan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah yang baik

Page 67: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

12

yaitu memenuhi prinsip-prinsip tranparansi, akuntabilitas,

profesionalitas, efisiensi, dan penerapan kaidah-kaidah yang baik

dalam pengelolaan keuangan daerah (best practices);

g. Undang-Undang ini juga mengalokasikan Dana Alokasi Istimewa sesuai

dengan ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang

Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

h. Penyempurnaan pengaturan Hibah dan Dana Darurat, disesuaikan

dengan ketentuan perundangan yang berlaku;

i. Penyempurnaan persyaratan dan mekanisme Pinjaman Daerah,

termasuk Obligasi Daerah;

j. Peningkataan kualitas pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan

daerah khususnya pengaturan surplus dan defisit APBD;

k. Dalam rangka efisiensi belanja, porsi belanja modal ditetapkan

sekurang kurangnya 20 % dari total belanja dalam APBD. Bagi daerah

yang porsi belanja modalnya masih dibawah20% (dua puluh

perseratus) dilarang untuk menambah pegawai, termasuk mengganti

PNSD yang memasuki masa pensiun. Pelanggaran terhadap ketentuan

ini harus dikenakan sangksi berupa, pengurangan Dana Transfer, atau

tidak disetujuinya usulan pengangkatan CPNSD.

l. Perubahan sistem tahun anggaran yang digunakan oleh Pemerintah

Pusat dan Pemerintahan Daerah dibedakan. Tahun anggaran

pemerintah pusat berlaku sejak 1 Januari s/d 31 Desember sedangkan

pemerintahan daerah diberlakukan sejak 1 April s/d 31 Maret, dengan

pertimbangan untuk memberikan waktu bagi daerah dalam menyusun

perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan anggaran yang lebih

akurat;

m. Prinsip akuntabilitas dan responsibilitas dalam Undang-Undang ini

dipertegas dengan pemberian sanksi.

n. Pengaturan insentif fiskal yang dialokasikan atas dasar pencapaian

prestasi daerah dalam prioritas nasional, pengelolaan lingkungan

hidup, penyelenggaraan pelayanan dasar dan PAD.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Page 68: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

13

Cukup Jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Cukup Jelas

Ayat (4)

Cukup Jelas

Ayat (5)

Cukup Jelas

Ayat (6)

Cukup Jelas

Ayat (7)

Cukup Jelas

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan Peraturan Daerah tentang pendapatan

yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi adalah Peraturan

Daerah yang mengatur pengenaan Pajak dan Retribusi oleh

Page 69: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

14

Daerah terhadap obyek-obyek yang telah dikenakan pajak oleh

Pusat dan Provinsi, sehingga menyebabkan menurunnya daya

saing Daerah.

Huruf b

Contoh pungutan yang dapat menghambat kelancaran mobilitas

penduduk, lalulintas barang dan jasa antar-Daerah, dan

kegiatan impor/ekspor antara lain adalah Retribusi izin masuk

kota dan Pajak/Retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang

dari suatu daerah ke daerah lain.

Ayat (2)

Sebagai bentuk pelaksanaan azas dekonsentrasi dan tugas

pembantuan.

Ayat (3)

Sebagai bentuk pelaksanaan tugas pembantuan.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Cukup Jelas

Ayat (4)

Cukup Jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)

Selama ini biaya pemungutan diperlukan untuk pemungutan PBB

Perdesaan dan Perkotaan. Mengingat PBB Perdesaan dan

Page 70: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

15

Perkotaan telah diserahkan menjadi pajak daerah sesuai UU

Nomor 28 Tahun 2009, maka biaya pemungutan untuk

perkebunan, perhutanan dan pertambangan tidak diperlukan lagi.

Ayat (2)

Wilayah laut yang menjadi kewenangan kabupaten/kota

didasarkan atas peraturan perundang-undangan.

Ayat (3)

Wilayah laut yang menjadi kewenangan provinsi didasarkan atas

peraturan perundang-undangan.

Ayat (4)

Wilayah laut yang menjadi kewenangan pemerintah didasarkan

atas peraturan perundang-undangan.

Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

didasarkan atas kontribusi daerah provinsi dan kabupaten/kota

dilihat dari penerimaan PPN dan Ppn-Bm atas konsumsi yang

dicerminkan PDRB provinsi dan kabupaten/kota yang

bersangkutan terhadap PDB.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud kabupaten/kota penghasil dalam ketentuan ini

adalah kabupaten/kota tempat pengusahaan tembakau dan

peredaran minuman beralkohol.

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas

Page 71: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

16

Ayat (2)

Cukup Jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud kabupaten/kota penghasil dalam ketentuan ini

adalah kabupaten/kota tempat pengusahaan hutan pada provinsi

yang bersangkutan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Bagian daerah di lingkungan masing-masing provinsi dari DBH

Sumber Daya Alam yang berasal dari Perikanan dibagi hasilkan

10% (dua puluh perseratus) untuk provinsi yang bersangkutan

dan 85% (delapan puluh perseratus) untuk kabupaten/kota di

wilayah provinsi yang bersangkutan secara proporsional. Contoh:

Provinsi A yang terdiri dari lima kabupaten/kota memperoleh DBH

Sumber Daya Alam yang berasal dari Perikanan sebesar

Rp.50.000.000.000,- (lima puluh milyar), maka alokasi DBH

Sumber Daya Alam yang berasal dari perikanan adalah:

1. Provinsi A, memperoleh 10% (dua puluh perseratus) dari

Rp.50.000.000.000,- (lima puluh milyar) sama dengan Rp.

5.000.000.000,- (Lima milyar).

2. Lima kabupaten/kota di wilayah provinsi A, masing-masing

memperoleh 85% (delapan puluh lima perseratus) dikalikan

Rp.50.000.000.000,- (lima puluh milyar) dibagi lima sama

dengan Rp. 8.500.000.000,- (delapan milyar lima ratus

jutarupiah).

Page 72: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

17

Pasal 20

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf (a)

Cukup jelas

Huruf (b)

Yang dimaksud dengan kabupaten/kota penghasil dalam

ketentuan ini adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat

pengusahaan pertambangan minyak bumi.

Huruf (c)

Daerah zona tambang adalah kabupaten dan atau kota yang

menjadi satu kesatuan wilayah dengan daerah tambang

yang berproduksi, namun kegiatan produksinya berada pada

kabupaten atau kota yang lain pada provinsi yang berbeda.

Penetapan daerah zona tambang dilakukan oleh kementrian

terkait dalam bentuk surat keputusan yang dilengkapi

dengan peta atas zona tambang dimaksud.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan Wilayah laut yang menjadi kewenangan

provinsi dalam ketentuan ini didasarkan atas peraturan

perundang-undangan.

Huruf (a)

Cukup jelas

Huruf (b)

Cukup jelas

Page 73: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

18

Huruf (c)

Daerah zona tambang adalah kabupaten dan atau

kota yang menjadi satu kesatuan wilayah dengan

daerah tambang yang berproduksi, namun kegiatan

produksinya berada pada kabupaten atau kota yang

lain pada provinsi yang berbeda.

Penetapan daerah zona tambang dilakukan oleh

kementrian terkait dalam bentuk surat keputusan

yang dilengkapi dengan peta atas zona tambang

dimaksud.

Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kabupaten/kota penghasil dalam

ketentuan ini:

a. untuk wilayah daratan (on shore) adalah wilayah daratan

kabupaten/kota yang menjadi tempat kepala sumur (wellhead)

produksi gas bumi; dan

b. untuk wilayah lepas pantai (off shore) adalah wilayah laut

kabupaten/kota yang menjadi tempat anjungan (platform) gas

bumi.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan Wilayah laut yang menjadi kewenangan

provinsi dalam ketentuan ini didasarkan atas peraturan

perundang-undangan.

Pasal 23

Ayat (1)

Setoran Bagian Pemerintah dalam ketentuan ini berlaku bagi

kontrak pengusahaan panas bumi sebelum berlakunya Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2003. Iuran Tetap dan Iuran Produksi

dalam ketentuan ini berlaku bagi kontrak pengusahaan panas

bumi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Cukup jelas

Page 74: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

19

Ayat (2)

Dengan perhitungan ini setiap desa akan memperoleh jumlah

yang sama. Perbedaan kemudian terjadi karena pertimbangan

keadaan khusus desa tertentu.

Ayat (3)

Data jumlah desa, jumlah penduduk desa, angka kemiskinan

desa, luas wilayah desa, dan tingkat kesulitan geografis

bersumber dari kementerian yang berwenang dan/atau lembaga

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

statistik.

Pasal 25

Ayat (1)

Menteri Keuangan dalam menetapkan prognosa DBH

mempertimbangkan data realisasi penerimaan pajak, CHT, dan

SDA tiga triwulan sebelumnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Cukup Jelas

Ayat (3)

Cukup Jelas

Pasal 27

Cukup Jelas

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Page 75: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

20

Pasal 33

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Daerah kabupaten/kota yang ada di wilayah Provinsi DKI Jakarta

tidak menerima DAU karena otonomi Provinsi DKI Jakarta

diletakkan pada lingkup provinsi sesuai dengan perundang-

undangan yang berlaku.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 34

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (9)

Penyediaan pelayanan umum tersebut harus terlihat di dalam

dokumen perencanaan daerah untuk 5 tahun di dalam RPJMD,

dan untuk tahunan di dalam RKPD.

Ayat (10)

Kriteria ini sekaligus dapat digunakan menghitung tingkat

kepadatan penduduk suatu daerah provinsi.

Ayat (11)

Page 76: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

21

Kriteria ini sekaligus dapat digunakan menghitung tingkat

kepadatan penduduk suatu daerah kabupaten/kota.

Ayat (12)

Potensi PAD dimaksud dapat diukur dengan menggunakan data

penerimaan rata-rata dalam 3 (tiga) tahun terakhir.

Pasal 35

Ayat (1)

DAU Provinsii = Bobot Provinsii x DAU Seluruh Provinsi

Ayat (2)

𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑃𝑟𝑜𝑣𝑖 =𝐶𝐹 𝑃𝑟𝑜𝑣𝑖

∑𝐶𝐹 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑃𝑟𝑜𝑣

dimana,

CF Provinsii = celah fiskal untuk provinsii

CF Provinsi = total celah fiskal seluruh provinsi

Pasal 36

Ayat (1)

DAU Kabupaten/Kotai = Bobot Kabupaten/Kotai x DAU Seluruh

Kabupaten/Kota

Ayat (2)

𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐾𝑎𝑏/𝐾𝑜𝑡𝑎𝑖 =𝐶𝐹 𝐾𝑎𝑏/𝐾𝑜𝑡𝑎𝑖

∑𝐶𝐹 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝐾𝑎𝑏/𝐾𝑜𝑡𝑎

dimana,

CF Kabupaten/Kotai = celah fiskal untuk Kabupaten/Kotai.

CF Kabupaten/Kota = total celah fiskal seluruh Kabupaten/Kota.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup Jelas

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Ayat (1)

Dimaksudkan untuk memperkuat integrasi perencanaan daerah

dan nasional, serta pelaksanaannya di tingkat daerah.

Page 77: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

22

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam penyusunan RPJMD, sejak awal Pemerintah Daerah harus

memperhatikan RPJMN untuk memadukan antara kebutuhan

pembangunan daerah dengan kebijakan nasional yang ditetapkan

di dalam RPJMN.

Ayat (3)

Usulan kementrian teknis didasarkan pada usulan dari

Pemerintah Daerah.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 44

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Kondisi geografis dan demografis dimaksud sebagai kekhususan

masalah atau potensi yang membutuhkan dukungan pembiayaan.

Contoh untuk kekhususan geografis adalah wilayah perbatasan

negara, daerah terpencil, wilayah kepulauan, dan lain-lain. Sedang

contoh untuk kekhususan demografis adalah daerah yang rentan

kemiskinan, rawan pangan, penyakit menular tertentu, buta

aksara, dan lain-lain.

Page 78: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

23

Ayat (4)

Target dan capaian pelayanan minimum, harus dituangkan dalam

RKPD.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Ayat (1)

Dalam penyusunan RKPD, Pemerintah Daerah harus

mencantumkan capaian Standar Pelayanan Minimum pada tahun

sebelumnya dan target capaian pada tahun berikutnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Indeks tersebut untuk masing-masing jenis pelayanan.

Pasal 47

Berdasarkan kriteria IKKD yang dihitung berdasarkan Desil keempat

yang paling rendah dari keseluruhan daerah secara nasional dan

ditetapkan oleh Menteri Keuangan tersebut, maka hanya ada 40%

(empat puluh perseratus) daerah yang akan menerima DAK berdasarkan

kriteria ini. Kriteria ini dimaksudkan untuk membatasi daerah yang

layak untuk menerima DAK dan di lain pihak dimaksudkan untuk

mempercepat pencapaian Standar Pelayanan Publik pada daerah yang

benar-benar membutuhkan bantuan Pemerintah.

Pasal 48

Ayat (1)

DAKi = Bobot Daerahi x pagu alokasi DAK Nasional per bidang

Ayat (2)

DAK SPM diperuntukkan bagi daerah yang KKD-nya rendah dan

SPM-nya belum mencapai kriteria tertentu, maka indeks IKKD dan

indeks SPM perlu di-invers.

𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ𝑖 =𝐼𝐾𝐾𝐷−1

𝑖 + 𝐼𝑃𝑆𝑃𝑀−1𝑖

𝛴(𝐼𝐾𝐾𝐷−1 + 𝐼𝑃𝑆𝑃𝑀−1)

dimana,

𝐼𝐾𝐾𝐷−1𝑖 = invers Indeks kemampuankeuangan daerah untuk

Daerah i

Page 79: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

24

𝐼𝑃𝑆𝑃𝑀−1𝑖 = invers Indeks pencapaian Standar Pelayanan Publik

untuk Daerah i

∑(𝐼𝐾𝐾𝐷−1 + 𝐼𝑃𝑆𝑃𝑀−1)= Total invers indeks kemampuankeuangan

daerah dan indeks pencapaian Standar Pelayanan

Publik

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Ayat (1)

Pinjaman jangka pendek hanya dapat dilaksanakan untuk

mendanai kegiatan yang sudah tercantum dalam APBD. Dalam

Page 80: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

25

ketentuan ini yang dimaksud dengan kekurangan arus kas

antara lain untuk menutup kekurangan pembayaran gaji

pegawai.

Ayat (2)

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pelayanan publik”

adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk

atas barang dan jasa yang disediakan oleh penyelenggara

pelayanan publik.

Ayat (3)

Dalam ketentuan ini yang dimaksud diteruskan kepada Badan

Usaha Milik Daerah dapat berupa pinjaman, hibah, dan/atau

penyertaan modal.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan

pinjaman menunjukan rasio kemampuan membayar kembali

pinjaman yang dikenal dengan istilah Debt Service Coverage

Ratio (DSCR) dihitung dengan formula sebagai berikut:

𝐷𝑆𝐶𝑅 ={𝑃𝐴𝐷 + 𝐷𝐴𝑈 + (𝐷𝐵𝐻 − 𝐷𝐵𝐻𝐷𝑅)} − 𝐵𝑃

𝑃𝑜𝑘𝑜𝑘 𝑝𝑖𝑛𝑗𝑎𝑚𝑎𝑛 + 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 + 𝐵𝐿≥ 5

DSCR= Rasio Kemampuan Membayar Kembali Pinjaman

Daerah yang bersangkutan;

PAD= Pendapatan Asli Daerah;

DAU= Dana Alokasi Umum;

DBH = Dana Bagi Hasil;

DBHDR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi;

BP = Belanja Pegawai;

Pokok Pinjaman = Angsuran Pokok Pinjaman;

Bunga = Beban Bunga Pinjaman;

Page 81: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

26

BL= Biaya Lain.

Yang termasuk biaya lain misalnya biaya administrasi,

komitmen, provisi, asuransi, dan denda yang terkait dengan

Pinjaman Daerah.Besaran PAD, DAU, DBH, DBHDR, dan

BW dihitung dari rata-rata realisasi per tahun selama 3 (tiga)

tahun terakhir.Pokok Pinjaman, Bunga, dan Biaya Lain

merupakan Kewajiban Pinjaman. PAD untuk provinsi

dihitung setelah PAD tersebut dikurangi dengan dana bagi

hasil kepada kabupaten/kota. PAD untuk kabupaten/kota

dihitung setelah PAD tersebut ditambah dengan dana bagi

hasil dari provinsi.

Huruf c.

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan persetujuan

DPRD merupakan izin prinsip Pemerintah Daerah untuk

melakukan pinjaman jangka panjang dan sebagai dasar

pelaksanaan kegiatan yang didanai dari pinjaman.

Persetujuan tersebut DPRD diberikan dalam bentuk

keputusan DPRD.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Persetujuan DPRD atas semua Obligasi Daerah yang

diterbitkan secara otomatis merupakan persetujuan atas

pembayaran dan pelunasan segala kewajiban keuangan

di masa mendatang yang timbul dari penerbitan Obligasi

Daerah. Setelah Pemerintah Daerah mendapatkan

persetujuan dari DPRD, Pemerintah Daerah meneruskan

permohonan penerbitan Obligasi Daerah kepada

Page 82: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

27

pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri untuk

mendapatkan persetujuan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan nilai bersih adalah tambahan atas nilai

nominal Obligasi Daerah yang beredar. Tambahan nilai nominal

ini merupakan selisih antara nilai nominal Obligasi Daerah

yang diterbitkan dengan nilai nominal obligasi yang ditarik

kembali dan dilunasi sebelum jatuh tempo dan obligasi yang

dilunasi pada saat jatuh tempo selama satu tahun anggaran.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 71

Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73

Cukup jelas.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77

Cukup jelas.

Pasal 78

Cukup jelas.

Pasal 79

Ayat (1)

Huruf a.

Dengan ketentuan ini, Pemerintah Daerah tidak dapat

menerima hibah secara langsung dari pihak luar negeri.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b.

Cukup jelas

Page 83: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

28

Huruf c.

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Pada dasarnya dana penanggulangan pasca bencana berasal dari APBD,

tetapi apabila APBD tidak mencukupi untuk menanggulangi bencana

tersebut Pemerintah Pusat dapat mengalokasikan Dana Darurat dalam

APBN.

Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84

Cukup jelas.

Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas

Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal 88

Cukup jelas.

Pasal 89

Cukup Jelas.

Pasal 90

Cukup jelas

Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92

Cukup jelas.

Pasal 93

Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas.

Page 84: DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA - dpd.go.iddpd.go.id/upload/lampiran/hkpd.pdf · 3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Hubungan

29

Pasal 95

Cukup jelas.

Pasal 96

Ayat (1)

Pemberian insentif fiskal harus berdasar pada prestasi daerah

pada salah satu atau beberapa bidang secara bersamaan, yakni

pencapaian prioritas nasional, pengelolaan lingkungan hidup,

pelayanan dasar mencakup pendidikan, kesehatan, dan

penyediaan infrastruktur, dan dalam peningkatan PAD.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Penilaian tersebut didasarkan pada realisasi PAD tahun

sebelumnya.

Pasal 97

Cukup Jelas.

Pasal 98

Penilaian tersebut harus dilakukan secara bersama melalui satu tim

terpadu setiap tahunnya. Untuk kementrian teknis disesuaikan dengan

aspek prestasi daerah yang akan dinilai.

Pasal 99

Cukup jelas.

Pasal 100

Cukup jelas.

Pasal 101

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …