keputusan dewan perwakilan daerah republik … · terhadap rancangan undang-undang tentang...

16
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/DPD RI/I/2013-2014 TENTANG PANDANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN JAKARTA 2013

Upload: vuongduong

Post on 02-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 9/DPD RI/I/2013-2014

TENTANG PANDANGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

TERHADAPRANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANGPERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN

2006 TENTANG

ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

JAKARTA2013

663

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 9/DPD RI/I/2013-2014

TENTANG PANDANGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

TERHADAPRANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANGPERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006

TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESADEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang ditujukan untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi serta status hukum atas setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam pelaksanaannya masih terdapat permasalahan sehingga perlu untuk dilakukan perubahan;

c. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah ikut membahas bersama DPR dan Pemerintah rancangan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya salah satunya adalah permasalahan kependudukan;

d. bahwa kewenangan sebagaimana dimaksud pada huruf c di atas dilakukan dengan terlebih dahulu mempersiapkan Pandangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap rancangan undang-undang;

e. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d di atas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah menyusun Pandangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Pandangan Dewan

664

Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;

Mengingat : 1. Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 01/DPD RI/I/2009-2010 sebagaimana diubah dengan Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 5/DPD RI/IV/2009-2010 Tentang Tata Tertib;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-5Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang I Tahun Sidang 2013-2014Tanggal 1 Oktober 2013

MEMUTUSKAN:Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

TENTANG PANDANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN.

PERTAMA : Pandangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bahan pembahasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah.

KEDUA : Isi dan rincian Pandangan sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 1 Okotober 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

PIMPINAN,

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.

Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

Dr. LAODE IDA

665

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

LAMPIRANKEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

NOMOR 9/DPD RI/I/2013-2014TENTANG

PANDANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANGTENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

BAB IPENDAHULUAN

Pada dasarnya Administrasi Kependudukan (baca selanjutnya Adminduk) sebagai suatu sistem bagi Penduduk diharapkan dapat memberikan pemenuhan atas hak-hak administratif penduduk dalam pelayanan publik serta memberikan perlindungan yang berkenaan dengan penerbitan Dokumen Kependudukan tanpa ada perlakuan yang diskriminatif. Secara normatif masalah Adminduk diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Seiring dengan adanya program pemerintah pusat untuk menetapkan identitas tunggal (single identity) melalui program KTP elektronik (selanjutnya disebut KTP el.) maka berakibat pada perubahan sistem yang berdampak terhadap hal yang sifatnya substantif/kebijakan maupun teknis.

Program KTP el. merupakan sebuah ikhtiar untuk memperbaiki sistem kependudukan yang selama ini masih karut marut. Sehingga KTP el berbasis single identity diarahkan untuk mendukung terbangunnya akurasi database kependudukan di Kabupaten/Kota, Provinsi maupun database kependudukan secara nasional.

Ada perubahan-perubahan mendasar diberlakukannya KTP el. Yaitu: Pertama, sisi penerapan teknologi digital dengan menerapkan sistem chip. Kedua, pemberlakuan KTP yang pada mulanya berlaku 5 (lima) tahun pada Pasal 64 ayat (4) UU Adminduk, diubah menjadi seumur hidup, sepanjang tidak adanya perubahan atas elemen data Penduduk dan berubahnya domisili Penduduk. Alasan utama dari kebijakan ini agar dapat mempermudah dan memperlancar pelayanan publik di pelbagai sektor baik oleh pemerintah maupun swasta, selain juga untuk menghemat keuangan Negara.

Perubahan sistem KTP el. juga membawa konsekuensi bagi pengaturan hak akses atas pemanfaatan data kependudukan baik petugas pada Penyelenggara, Instansi Pelaksana, dan Pengguna. Selain itu, substansi sanksi administrasi juga diusulkan ada perubahan.

Atas usulan perubahan tersebut di atas maka, sebagaimana tertuang dalam Surat Presiden Republik Indonesia No. R-16/Pres/05/2013 perihal RUU Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, maka sesuai dengan kewenangan yang ditegaskan dalam Pasal 223 dan Pasal 224 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yakni dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR RI, ikut membahas RUU tertentu dan dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu. Oleh karena itu, DPD RI dengan ini menyusun Pandangan terhadap RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administasi Kependudukan.

666

BAB IIDASAR PEMIKIRAN

Dasar pemikiran penyusunan Pandangan DPD RI terhadap RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (RUU Adminduk) berlandaskan pada landasan yuridis dan landasan filosofis. A. Landasan Filosofis

a. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan atas status pribadi dan status hukum terhadap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami Penduduk.

b. Dokumen kependudukan tidak boleh berlaku diskriminatif, bersifat akuratif, tunggal, dan berlaku secara nasional.

c. Dokumen Kependudukan berguna untuk tertib administrasi untuk mengoptimalkan pelayanan publik, perencanaan pembangunan, alokasi anggaran, pembangunan demokrasi, dan penegakan hukum, serta pencegahan tindak kriminal.

B. Landasan Yuridis a. Konstitusi

Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Hal-hal mengenai warga Negara dan penduduk diatur dengan undang-undang”. Semenjak Indonesia merdeka (Tahun 1945 s.d. 2006) masalah administrasi kependudukan belum pernah diatur dalam bentuk undang-undang dan baru pada tanggal 29 Desember 2006 disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi KependudukanPada pokoknya, peraturan mengenai Administrasi Kependudukan harus bersifat menyeluruh dan menjamin layanan administrasi kependudukan yang tertib dan tidak diskriminatif sehingga dapat menjadi pegangan bagi semua penyelenggara negara yang berhubungan dengan kependudukan. Oleh karena itu, untuk menjamin tertib administrasi kependudukan maka dibutuhkan adanya identitas kependudukan secara tunggal.

BAB IIIPANDANGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP

RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

A. PANDANGAN UMUM DPD RI Ada beberapa pokok masalah yang menjadi perhatian dalam Pandangan DPD RI

terhadap RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan antara lain:1. Pembiayaan Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan:

Dalam Naskah Akademik RUU Adminduk tidak secara tegas dan jelas mengatur mengenai pembagian porsi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.

Program administasi kependudukan merupakan program strategis nasional yang sangat berguna untuk membenahi sistem administrasi kependudukan yang bersifat tunggal, menyeluruh, dan tidak diskriminatif. Secara filosofis karena program ini merupakan program nasional yang dikelola oleh Pemerintah Pusat (dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri) maka DPD RI berpandangan bahwa beban pembiayaan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan seharusnya dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Namun demikian, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), menyatakan bahwa salah satu urusan wajib pemerintah daerah diantaranya adalah pelayanan kependudukan, dan catatan sipil (Pasal 13 ayat (1) huruf l, Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 152 ayat (2)). Oleh karena itu, mengingat program KTP el merupakan program Pemerintah Pusat dan undang-undang mendistribusikan permasalahan kependudukan dan catatan sipil merupakan kewenangan Pemerintah Daerah, DPD RI berpandangan harus ada pembagian porsi kewenangan dan tanggung jawab pembiayaan antara pemerintah pusat dan daerah.

Berangkat dari alasan tersebut sehingga perlu sisipan 1 (BAB), yakni BAB IXA, Pasal 87A yang berbunyi: “Pendanaan penyelenggaraan Administrasi Kependudukan wajib dianggarakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”.

667

2. Orang AsingNaskah Akademik RUU Adminduk tidak menjelaskan secara mendalam

kedudukan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Orang Asing dalam mendapatkan Data Kependudukan. Yang terlihat dari naskah akademis ini hanya secara selintas adanya kebutuhan investasi dan pembangunan yang didalamnya membutuhkan partisipasi Orang Asing dan oleh karenanya dibutuhkan perlakuan tidak diskriminatif.

Pada dasarnya dokumen kependudukan mendata seluruh penduduk baik WNI maupun Orang Asing yang tinggal di Indonesia. Ketentuan pengaturan mengenai Orang Asing di Indonesia pada prinsipnya tidak boleh terlalu longgar walaupun tidak boleh berlaku diskriminatif. Hal ini ditujukan untuk memproteksi tumbuhnya pelaku industri dalam negeri walaupun tidak boleh menghambat investasi dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, ketentuan pengaturan Orang Asing harus juga mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Berkaitan dengan hal tersebut maka, DPD RI berpandangan tetap perlu adanya penerapan sanksi administrasi kependudukan yang membedakan antara WNI dan Orang Asing. Dalam hal ini, DPD RI berpendapat bahwa Pasal 89 ayat (2) RUU Adminduk yang berbunyi: “Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Penduduk Warga Negara Indonesia paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan Penduduk Orang Asing paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah),” masih tetap relevan

3. Elemen Kependudukan tentang AgamaElemen kependudukan mengenai agama pada prinsipnya harus mampu

mengakomodasi berbagai keragaman praktik beragama di Indonesia di luar yang sudah diakui secara resmi oleh Negara (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha) sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan atau bagi penduduk yang menganut penghayat kepercayaan. Oleh karena itu, tidak boleh ada perlakuan diskriminatif terhadap penganut kepercayaan bagi seluruh penganut kepercayaan.

Meskipun dalam ketentuan pasal mengenai elemen kependudukan (Pasal 64 RUU Adminduk) dinyatakan bahwa bagi penghayat kepercayaan tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan, namun bagi penduduk yang menganut agama di luar yang diakui secara resmi tidak diisi dalam KTP-nya. Hal ini secara teknis dari temuan DPD RI di lapangan cukup menyulitkan para penduduk yang dimaksud.

B. PANDANGAN DPD RI TERHADAP PASAL PER PASAL1. Pokok-Pokok dalam Ketentuan Umum

Usulan perubahan dalam Ketentuan Umum Pasa 1 antara lain: angka 7, angka 14, dan angka 24.Pasal 1, angka 7: “Instansi Pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan”Usulan perubahan “Instansi pelaksana adalah perangkat Pemerintah di Provinsi dan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan administrasi kependudukan”Pandangan DPD RISepakat dengan usulan perubahan sebagaimana dimaksudPasal 1, angka 14: “Kartu Tanda Penduduk, selanjutnya disingkat KTP, adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”Usulan Perubahan“Kartu Tanda Penduduk Elektronik, selanjutnya disingkat KTP-el, adalah Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana kabupaten/kota”Pandangan DPD RI Sepakat dengan usulan sebagaimana dimaksudPasal 1, angka 24: “Unit Pelaksana Teknis Dinas Instansi Pelaksana, selanjutnya disingkat UPTD Instansi Pelaksana, adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang melaksanakan pelayanan Pencatatan Sipil dengan kewenangan menerbitkan akta.”Usulan Perubahan“Unit Pelaksana Teknis Instansi Pelaksana, selanjutnya disebut UPT Instansi Pelaksana, adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang bertanggung jawab kepada Instansi Pelaksana kabupaten/kota.”Pandangan DPD RI Sepakat dengan usulan sebagaimana dimaksud

2. Kewenangan Penyelenggara dan Instansi PelaksanaKetentuan Kewenangan Penyelenggara dan Instansi pelaksana diatur dalam

668

Pasal 5 s.d. Pasal 12. Sedangkan usulan perubahan adalah Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 (disisipkan pasal 7A), dan Pasal 8 dihapus.

Secara prinsip karena adanya pola penyelenggaraan Administrasi Kependudukan yang dilakukan secara nasional, maka ada perubahan kewenangan terutama terkait dengan KTP-el. Selain itu, pada prinsipnya tidak yang berubah mengenai pengelolaan Data Kependudukan lainnya.

Pasal 6 usulan perubahan lebih memperjelas kewenangan Gubernur, serta instansi pelaksana serta tanggung jawab pelaksanaan Administrasi Kependudukan serta pemanfaatan Data Kependudukan di tingkat Provinsi demikian juga dengan Pasal 7 yang mengatur untuk level Kabupaten/Kota.

Pengaturan mengenai Instansi pelaksana (Pasal 7A) yang diatur kemudian dengan Peraturan Presiden perlu ada pengasan batasan waktu penerbitan aturan pelaksana tersebut.

3. Pencatatan SipilPengaturan Pencatatan Sipil dalam UU Adminduk diatur dalam Pasal 27 s.d. Pasal

57. Perubahan pasal-pasal dalam pencatatan sipil lebih didasarkan pada perubahan kewenangan pemerintah, pemerintah daerah termasuk instansi pelaksana.

Ketentuan Pasal 64 ayat (1a, 1b, dan 1c) terkait dengan maksud penggunaan NIK, DPD RI berpendapat seharusnya lebih luas daripada hanya untuk semua urusan publik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (4). Oleh karena itu, rumusan usulan DPD RI adalah sebagai berikut:(1a) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi nomor identitas tungggal untuk

semua urusan sebagaimana dimaksud pada Pasal 58 ayat (4)(1b) Pemerintah menyelenggarakan semua urusan sesuai Pasal 58 ayat (4) berdasarkan

NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1a)(1c) untuk menyelenggarakan semua urusan sesuai pada Pasal 58 ayat (4) sebagaimana

dimaksud pada ayat (1c), Pemerintah melakukan integrasi nomor identitas yang telah ada dan digunakan untuk pelayanan publik paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini disahkan.

Pasal 64 ayat (2) usulan DPD RI berbunyi: “Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan atau bagi penghayat kepercayaan ditulis “Beragama”, dan tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Ketentuan Pasal 86 ayat (1a) tidak jelas mengatur subjek hukumnya, apakah orang perorangan ataukah badan hukum dalam hal ini Instansi Pelaksana. Oleh karena itu, perlu ditegaskan langsung mengacu pada subjek Instansi Pelaksana dengan menghilangkan kata ‘petugas’. Sehingga DPD RI mengusulkan klausul Pasal 79 tersebut berbunyi: (2) Menteri sebagai penanggung jawab memberikan hak akses Data Kependudukan

kepada Instansi Pelaksana Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Pengguna.(2a) Instansi Pelaksana dan Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang

menyebarluaskan Data Kependudukan yang tidak sesuai dengan kewenangannya. Demikian juga dengan pasal 86 ayat (1) usulan DPD RI berbunyi:

(1) Menteri sebagai penanggung jawab memberikan hak akses Data Pribadi kepada Instansi Pelaksana Provinsi dan Kabupaten/Kota.

(1a) Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menyebarluaskan Data Pribadi yang tidak sesuai dengan kewenangannya.

Ketentuan Pasal 84 ayat (2) “ketentuan lebih lanjut mengenai beberapa isi catatan Peristiwa Penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Padahal ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf g berbunyi mengatur data lainnya yang merupakan aib seseorang, bukan peristiwa penting sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum (peristiwa penting adalah kejadian yang dialami seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan).

4. Instansi VertikalSecara prinsip yang disebut sebagai Instansi Pelaksana terkait dengan Data

Kependudukan yang sekarang ini terkonsentrasi menjadi domain pemerintah pusat, maka perlu adanya kemudahan koordinasi. Oleh karenanya, instansi vertikal dalam pandangan DPD RI harus dilakukan langsung oleh Pemerintah Pusat. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah secara yudiris bahwa masalah kependudukan dan catatan sipil menjadi salah satu urusan wajib pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah.

5. Pendanaan Secara filosofis karena Data Kependudukan merupakan program nasional

yang dikelola oleh Pemerintah Pusat (dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri) maka

669

DPD RI berpandangan bahwa beban pembiayaan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Namun demikian, UU Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa salah satu urusan wajib Pemerintahan Daerah diantaranya adalah pelayanan kependudukan dan catatan sipil (Pasal 13 ayat (1) huruf l, Pasal 22 ayat (1), dan Pasal 152 ayat (2)).

DPD RI berpandangan harus ada pembagian porsi kewenangan dan tanggung jawab pembiayaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sehingga sisipan 1 (BAB), yakni BAB IXA, Pasal 87A yang berbunyi: “Pendanaan penyelenggaraan Administrasi Kependudukan wajib dianggarakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”.

6. Ketentuan SanksiKetentuan sanksi dalam Pasal 95 A ditambahkan kata atau “badan hukum” bukan

hanya setiap orang saja. Sedangkan ketentuan sanksi administratif dalam Pasal 89 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2006 yang berbunyi: “Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Penduduk Warga Negara Indonesia paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan Penduduk Orang Asing paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah),” masih tetap relevan.

7. Ketentuan PenutupPengertian baru dan/atau penegasan mengenai apa yang dimaksud Instansi

Pelaksana dalam pandangan DPD RI dimasukkan dalam pengertian umum, bukan pada Ketentuan Penutup.

BAB IVKESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN Administrasi Kependudukan pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan penataan

dan penertiban dokumen dan data kependudukan. Hal ini didasarkan pada kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami penduduk.

Seiring dengan adanya tuntutan akurasi data kependudukan dan optimalisasi pelayanan publik maka diberlakukan penertiban dokumen kependudukan khususnya KTP melalui pelaksanaan KTP el. melalui Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).

DPD RI mengapresiasi adanya program KTP el. yang akan memberikan jaminan identitas tunggal untuk meningkatkan pelayanan publik dalam tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien. Selain itu, pemberlakuan KTP el. seumur hidup juga akan dapat mengurangi beban biaya, waktu serta birokrasi pelayanan yang semakin mudah dan ringan.

Namun demikian ada beberapa catatan mengenai usulan RUU Adminduk ini terutama pengaturan mengenai Orang Asing, Pembiayaan Data Kependudukan serta Elemen Data Kependudukan tentang Agama.

B. SARANBerkaitan dengan Pandangan DPD RI terhadap RUU Adminduk sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya, maka DPD RI memberikan Saran sebagaimana di bawah ini:1. Terkait dengan pengaturan kepegawaian/petugas Instansi Pelaksana harus mengacu

pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian. Selain itu, guna memudahkan koordinasi terkait Data Kependudukan maka Instansi Pelaksana dapat dikoordinasikan langsung oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri.

2. Mengenai pengaturan pembiayaan data kependudukan sebagaimana mengacu pada ketentuan UU Pemerintahan Daerah bahwa salah satu urusan wajib Pemerintah Daerah adalah masalah Kependudukan dan Catatan Sipil. Oleh karena itu, pembiayaan Data Kependudukan perlu diatur porsinya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara berimbang dan berkeadilan;

3. Guna memberikan pelayanan kependudukan dan pelayanan publik secara tidak diskriminatif, maka dalam KTP el. terkait dengan penganut agama di luar agama yang resmi diakui Negara, dan para penganut kepercayaan harus diisi dengan identitas “beragama”.

4. Ketentuan mengenai Orang Asing harus memberikan perlindungan dan rasa keadilan bagi WNI bukan hanya untuk mendorong iklim investasi semata. Oleh karena itu, ketentuan Data Kependudukan Orang Asing perlu diperketat, baik dari sisi administrasi maupun ketentuan sanksi.

670

BAB VPENUTUP

Demikian Pandangan DPD RI terhadap RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. DPD RI berharap dapat dilibatkan dalam pembahasan lanjutan guna memperjelas pandangan DPD RI yang telah disampaikan. Atas segala perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di JakartaPada tanggal 1 Oktober 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN

Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

LA ODE IDA

671

Lampiran

PERATURAN PELAKSANA UU NO. 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

No.AMANAT PASAL

PERATURAN PELAKSANAKETERANGAN NAMA

PERATURAN PELAKSANANYA

BELUM ADA

ADA

PERATURAN PEMERINTAH1 Pasal 8 Ayat

(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai UPTD Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan prioritas pembentukannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2 Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

3 Pasal 13 ayat (4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan ruang lingkup penerbitan dokumen identitas lainnya, serta pencantuman NIK diatur dengan Peraturan Pemerintah.

4 Penduduk Pelintas Batas

Pasal 24 ayat (3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran bagi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

5 Pasal 76 Ketentuan mengenal penerbitan Dokumen Kependudukan bagi petugas rahasia khusus yang melakukan tugas keamanan negara diatur dalam Peraturan Pemerintah.

6 Perlindungan Data dan

Dokumen kependudukan

Pasal 79 ayat 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, ruang lingkup, dan tata cara mengenai pemberian hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

7 SIAKPasal 82 ayat (3)

Ketentuan lebih lanjut mengenal Sistem informasi Administrasi Kependudukan dan pengelolaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur

PP No. 37 Tahun 2007 Tentang P e l a k s a n a a n UU No.23 Tahun 2006

672

No.AMANAT PASAL

PERATURAN PELAKSANAKETERANGAN NAMA

PERATURAN PELAKSANANYA

BELUM ADA

ADA

dengan Peraturan Pemerintah. T e n t a n g A d m i n i s t r a s i Kependudukan

8 Pasal 86 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, ruang lingkup, dan tata cara mengenal pemberian hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

9 Pasal 87 ayat (2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh dan menggunakan Data Pribadi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

10 Pasal 85 ayat 2

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan dan perlindungan terhadap Data Pribadi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

PERATURAN PRESIDEN1 Pasal 23 Ketentuan lebih lanjut mengenai

persyaratan dan tata cara pendaftaran Peristiwa Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 diatur dalam Peraturan Presiden

Perpres No. 25/2008 Tentang P e r s y a r a t a n & Tata Cara P e n d a f t a r a n Penduduk & Pencatatan Sipil

Perpres No. 67 Tahun 2011 tentang P e r u b a h a n Kedua Perpres No. 26 Tahun 2009 tentang P e n e r a p a n KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan Nasional

673

No.AMANAT PASAL

PERATURAN PELAKSANAKETERANGAN NAMA

PERATURAN PELAKSANANYA

BELUM ADA

ADA

2 Pasal 25 ayat (4)

Ketentuan lebih lanjut mengenal persyaratan dan tata cara pendataan Penduduk rentan diatur dalam Peraturan Presiden.

3 Pasal 26 ayat 2)

Pelaporan Penduduk yang Tidak Mampu Mendaftarkan Sendiri Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

4 Pasal 31 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dalam Peraturan Presiden

5 P e n c a t a t a n Kelahiran yang M e l a m p a u i Batas Waktu

Pasal 32 ayat 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.

6 Pencatatan Lahir Mati

Pasal 33 ayat 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan lahir mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.

7 Pasal 38 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 diatur dalam Peraturan Presiden.

8 P e n c a t a t a n P e m b a t a l a n Perkawinan

Pasal 39 ayat (3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pembatalan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.

674

No.AMANAT PASAL

PERATURAN PELAKSANAKETERANGAN NAMA

PERATURAN PELAKSANANYA

BELUM ADA

ADA

9 Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 diatur dalam Peraturan Presiden.

10 P e n c a t a t a n P e m b a t a l a n Perceraian

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenal persyaratan dan tata cara pencatatan pembatalan perceraian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

11 Pasal 46 Ketentuan Iebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dan Pasal 45 diatur dalam Peraturan Presiden.

12 Pasal 51 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pengangkatan anak, pengakuan anak, dan pengesahan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 diatur dalam Peraturan Presiden.

13 Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenal persyaratan dan tata cara pencatatan perubahan nama dan status kewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal 53, dan Pasal 54 diatur dalam Peraturan Presiden.

14 Pencatatan Peristiwa Pen-ting Lainnya

Pasal 56 ayat 3

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan Peristiwa Penting lainnya diatur dalam Peraturan Presiden.

15 P e l a p o r a n P e n d u d u k yang Tidak M a m p u M e l a p o r k a n Sendiri

Pasal 57 ayat 2

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pelaporan Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

675

No.AMANAT PASAL

PERATURAN PELAKSANAKETERANGAN NAMA

PERATURAN PELAKSANANYA

BELUM ADA

ADA

16 Pasal 74 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pembetulan dan pembatalan Akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 diatur dalam Peraturan Presiden.

17 Pasal 89 Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.

PERATURAN MENTERI1 Pasal 11 ayat

(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pengangkatan dan pemberhentian serta tugas pokok Pejabat Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

2 Pasal 12 ayat (3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pengangkatan dan pemberhentian serta tugas pokok Petugas Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

3 Pasal 14 ayat (2)

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penerbitan perubahan dokumen Pendaftaran Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

4 Pasal 75 Ketentuan mengenai spesifikasi dan formulasi kalimat dalam Biodata Penduduk, blangko KK, KTP, Surat Keterangan Kependudukan, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil diatur dalam Peraturan Menteri.

5 Pasal 78 Ketentuan mengenai pedoman pendokumentasian hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil diatur dalam Peraturan Menteri.

676

No.AMANAT PASAL

PERATURAN PELAKSANAKETERANGAN NAMA

PERATURAN PELAKSANANYA

BELUM ADA

ADA

6 Pasal 81 Ketentuan lebih lanjut mengenal persyaratan dan tata cara penerbitan Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas dan Surat Keterangan Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

7 PERLINDUN-GAN DATA PRIBADI PEN-DUDUK

Pasal 81 ayat 4

Ketentuan lebih lanjut mengenal persyaratan dan tata cara penerbitan Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas dan Surat Keterangan Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

8 Pasal 82 ayat (5)

Pedoman pengkajian dan pengembangan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.

9 Pasal 83 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

CATATAN

Pasal 103Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 105Dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Undang-Undang ini, Pemerintah wajib menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang penetapan persyaratan dan tata cara perkawinan bagi para penghayat kepercayaan sebagai dasar diperolehnya kutipan akta perkawinan dan pelayanan pencatatan Peristiwa Penting.