devinta juliaptini fst

90
ANALISIS SIFAT MEKANIK DAN METALOGRAFI BAJA KARBON RENDAH UNTUK APLIKASI TABUNG GAS 3 KG SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Oleh : DEVINTA JULIAPTINI NIM : 106097003255 PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010

Upload: sandal-masjid

Post on 15-Nov-2015

250 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

ujijhgfjh

TRANSCRIPT

  • ANALISIS SIFAT MEKANIK DAN METALOGRAFI BAJA KARBON RENDAH UNTUK APLIKASI TABUNG GAS 3 KG

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Fakultas Sains dan Teknologi

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Oleh :

    DEVINTA JULIAPTINI NIM : 106097003255

    PROGRAM STUDI FISIKA

    FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA 2010

  • ANALISIS SIFAT MEKANIK DAN METALOGRAFI BAJA KARBON RENDAH UNTUK APLIKASI TABUNG GAS 3 KG

    Skripsi Diajukan kepada Fakultas Sains dan Teknologi

    untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S.Si.)

    Oleh DEVINTA JULIAPTINI

    NIM: 106097003255

    Pembimbing I, PembimbingII,

    Arif Tjahjono, M.Si Edi Sanjaya, M.Si NIP : 19751107 200701 1 015 NIP : 150 321 586

    Mengetahui,

    Ketua Prodi Fisika

    Drs. Sutrisno M.Si NIP : 19590202 198203 1 005

  • PENGESAHAN UJIAN

    Skripsi berjudul ANALISIS SIFAT MEKANIK DAN METALOGRAFI BAJA KARBON RENDAH UNTUK APLIKASI TABUNG GAS 3 KG telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains ( S.Si ) pada Program Studi Fisika.

    Jakarta, 29 Juni 2010

    Sidang Munaqasyah

    Penguji I, Penguji II,

    Siti Ahmiatri Saptari, M.Si Drs. Sutrisno, M.Si NIP : 160477 200501 2008 NIP : 19590202 198203 1 005

    Mengetahui,

    Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Ketua Program Studi Fisika,

    DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis Drs. Sutrisno, M.Si NIP : 19680117 200112 1 001 NIP : 19590202 198203 1 005

  • LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa :

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

    persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan

    ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan

    hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Jakarta, Juni 2010

    DEVINTA JULIAPTINI

  • i

    Abstrak

    Telah dilakukan penelitian terhadap kualitas bahan baku tabung gas 3 kg terutama untuk mengetahui komposisi unsur pemadunya, kekuatan tarik, kelenturan, kekerasan, kekuatan terhadap benturan dan analisis metalografi. Adapun karakteristik untuk mutu material dari bahan baku tabung gas 3 kg tersebut harus berdasarkan SNI 1452:2007 atau JIS G3116 SG295 (standar of japan). Dalam JIS standar ini berisi tentang kualitas bahan baku yang digunakan sebagai aplikasi tabung gas, seperti komposisi kimia dan kekuatan tarik. Dari hasil pengujian tersebut diketahui bahwa bahan baku tabung gas 3 kg ini adalah jenis baja karbon rendah, dengan nilai kekuatan tarik (483Mpa), nilai kekerasan (140 HB), keuletan (50.57 N/mm2), nilai kekuatan bentur (23 J) sedangkan untuk analisis struktur mikronya bahwa bahan baku tabung gas 3 kg ini memiliki struktur mikro yang kasar atau kurang halus.

    Kata Kunci : metalografi, mikrostruktur, baja karbon rendah

  • ii

    Abstract

    Have done a experiment to quality of raw material for gas tube 3 kg, especially for chemical composition, tensile test, banding test, hardeness test, impact test and analisys metalografy. Characteristic which qualify for material of gas tube have been arranged in SNI 1452:2007 or JIS G3116 SG295 (standard of Japan). In JIS standard, it is arranged quality of raw material to be used in gas tube application steel like chemical composition and tensile test. From the results of experiment know that type of this steel is low carbon steel, with value of tensile test (483 Mpa), hardness test (140 HB), banding test ( 50.57 N/mm2), impact test (23 J) and for analysis of mikro structure that this surface of raw material is harder than literature.

    Keywords: metalografy, micro structure, low carbon steel.

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat

    dan hidayah-Nya serta bantuan lahir dan batin sehingga penulis dapat menyusun

    dan menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan judul ANALISIS SIFAT

    MEKANIK DAN METALOGRAFI BAJA KARBON RENDAH UNTUK

    APLIKASI TABUNG GAS 3 KG.

    Dalam mewujudkan Tugas Akhir ini dengan segala kerendahan hati

    penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

    1. Allah SWT yang selalu melimpahkan segala nikmat dan anugerah-Nya,

    sehingga saya bisa menyelasaikan Tugas Akhir ini.

    2. Kedua orang tua yang senantiasa selalu mengasihi dan menyayangi anaknya,

    atas motivasi serta doa yang tak henti-hentinya mengalir dalam tiap

    langkahku.

    3. Bapak DR.Syopiansyah Jaya Putra , M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan

    Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    4. Bapak Drs. Sutrisno, MSi selaku Ketua Prodi Fisika Universitas Islam Negeri

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    5. Bapak Arif Tjahjono, ST, M. Si. selaku Dosen Pembimbing I yang telah

    dengan sabar membimbing saya dan banyak memberikan masukan serta kritik

    yang berguna bagi saya.

  • iv

    6. Bapak Edi Sanjaya, M. Si. selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah dengan sabar membimbing saya memberikan masukan serta kritik yang

    berguna bagi saya dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

    7. Teman-teman Fisika 06 UIN Jakarta (Geophysics-Team : Iiz, Iif, Cindi,

    bahtiar, Agung, Aji, Kia dan Ida), (Instrument Physics-Team : Iik, Putri, Shila, Dewi, Agus, Iwe, Dono, Karima), (Material Physics-Team : Rinan,

    Rusman, Ana, Absory) . Makasih ya wat kebersamaanya selama ini.

    8. Special Thanks to teman-teman senasib dan seperjuangan Iiz faizah, Iif Latifa, Adjie Chico, Agung Satrio, Dewi Lestari, Rinan Ridwan Suhan Donoaji, Desi Solikhati (SI06), Cindika Pandaini, Irwansyah. (Yang Telah Kalian Buat

    Sungguhlah Indah Buat Diriku Susah Lupa ). Tak lupa pula adik-adik ku

    tercinta (Dini, Aida, Arin) yang senan tiasa memberikan senyuman dan canda

    tawanya sebagai semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Ahmad Fauzi

    yang telah menemani saya dalam melakukan penelitian ini, terimakasih yah.

    Penulis menyadari bahwa ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangannya, sekalipun penulis telah berusaha dengan segala kemampuan yang

    ada sehingga karya ilmiah ini dapat tersusun. Untuk menyempurnakannya, penulis

    dengan senang hati menerima segala kritik dan saran dari semua pihak yang

    sifatnya membangun demi kesempurnaan karya ilmiah ini.

    Akhir kata penulis berharap semoga Karya Ilmiah ini bermanfaat bagi

    penulis pada khususnya dan Pembaca pada umumnya.

    Ciputat, Juni 2010

    Penulis

  • v

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK ....................................................................................................... i

    KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii

    DAFTAR ISI .................................................................................................... v

    DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii

    DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ ix

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1

    1.2. Perumusan Masalah ................................................................. 3

    1.3. Tujuan Penelitian .................................................................... 3

    1.4. Batasan Masalah ...................................................................... 3

    1.5. Sistematika Penulisan .............................................................. 4

    BAB II DASAR TEORI

    2.1. Baja Dan Klasifikasinya ........................................................... 6

    2.2. Diagram Fasa Baja karbon (Fe C) ......................................... 8

    2.3 Proses Pembuatan Baja ............................................................ 10

    2.4 Pengerjaan Mekanis Pada Baja ................................................ 12

    2.5. Proses Pembuatan Bahan ......................................................... 13

    2.6. Pengujian Radiografi ............................................................... 15

    2.7. Pengujian Metalografi .............................................................. 18

    2.7.1. Cutting (Pemotongan) .................................................. 18

    2.7.2 Mounting ...................................................................... 19

  • vi

    2.7.3 Grinding (Pengamplasan) ............................................ 20

    2.7.4 Polishing (Pemolesan).................................................. 21

    2.7.5 Etching (Etsa) .............................................................. 22

    2.8. Pengujian Kekerasan ................................................................ 23

    2.9. Kekuatan Tarik Bahan ............................................................. 27

    2.10. Pengujian Kelenturan .............................................................. 36

    2.11 Pengujian Impak ..................................................................... 37

    BAB III METODE PENELITIAN

    3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................. 43

    3.2. Bahan dan Peralatan ................................................................. 43

    3.2.1. Bahan .......................................................................... 43

    3.2.2. Peralatan Pembuatan Bahan.......................................... 44

    3.2.3. Peralatan Pengujian ...................................................... 45

    3.3. Penyiapan Bahan ..................................................................... 45

    3.4. Tahapan Penelitian ................................................................... 48

    3.5. Pengujian Bahan ...................................................................... 48

    3.5.1. Pengujian Komposisi ................................................... 49

    3.5.2. Pengujian Metalografi .................................................. 50

    3.5.3. Pengujian Mekanik ....................................................... 55

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Hasil Pengujian Komposisi Kimia ............................................ 61

    4.2 Hasil Pengujian Kekuatan Tarik ............................................... 64

    4.3 Hasil Pengujian Bandability ..................................................... 66

    4.4 Hasil Pengujian Kekerasan ....................................................... 68

  • vii

    4.5 Hasil Pengujian Impact ............................................................ 69

    4.6 Hasil Pengamatan Metalografi (Struktur Mikro) ..................... 71

    BAB V PENUTUP

    5.1 Kesimpulan .............................................................................. 74

    5.2 Saran ....................................................................................... 75

    REFERENSI ................................................................................................ 76

  • viii

    DAFTAR TABEL

    Tabel 2.1 Klasifikasi baja karbon berdasar kandungan karbon ....................... 7

    Tabel 2.2 Komposisi kimia lembaran pelat baja karbon rendah

    sebagai spesimen penelitian. .......................................................... 7

    Tabel 2.3. Skala pada Metode Uji Kekerasan Rockwel ................................... 27

    Tabel 4.1. Perbandingan Komposisi Kimia antara Produk Bahan Baku

    dan Specifikasi Standar ................................................................. 61

    Tabel 4.2 Data Hasil Pengujian Kekuatan Tarik ............................................ 65

    Tabel 4.3. Perbandingan Kekuatan Tarik Antara Sampel Dengan JIS ............. 65

    Tabel 4.4 Data Hasil Pengujian Keuletan ...................................................... 67

    Tabel 4.5 Data Perbandingan Sampel Dengan Literatur. ................................ 67

    Tabel 4.6 Data Hasil Pengujian Brinell .......................................................... 68

    Tabel 4.7 Data Hasil Pengujian Kekuatan Benturan ....................................... 69

  • ix

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1 Diagrm Fasa Fe-C ....................................................................... 9

    Gambar 2.2. Penekanan oleh hardened steel ball ............................................. 25

    Gambar 2.3. Hasil identasi brinell berupa jejak bentuk dengan ukuran

    diameter dalam skala mm ........................................................... 25

    Gambar 2.4. Skematis prinsip indentasi dengan metode Vickers ..................... 26

    Gambar 2.5 Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat

    baja ulet ...................................................................................... 28

    Gambar 2.6 Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat

    dari bahan getas. ......................................................................... 30

    Gambar 2.7 Grafik tegangan-regangan beberapa baja yang

    memperlihatkan kesamaan modulus kekakuan ............................ 33

    Gambar2.8 Perbandingan antara kurva tegangan-regangan rekayasa

    dari baja karbon rendah. .............................................................. 34

    Gambar 2.9 Ilustrasi penampang samping bentuk perpatahan benda

    uji tarik sesuai tingkat keuletan/kegetasan ................................... 35

    Gambar 2.10 Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik ............ 35

    Gambar 2.11. Ilustrasi skematis pengujian kekuatan benturan dengan

    Charpy ........................................................................................ 37

    Gambar 2.12. Ilustrasi skematik pembebanan impak pada benda uji Charpy

    dan Izod ...................................................................................... 38

    Gambar 2.13. Efek temperatur terhadap kekuatan benturan beberapa

    material ...................................................................................... 41

  • x

    Gambar 2.14. Bentuk dan dimensi benda uji berdasarkan ASTM E23-56T ....... 42 Gambar 3.1 Skema produksi SSP ................................................................... 44

    Gambar 3.2 Diagram Alir penelitian .............................................................. 48

    Gambar 3.3 Penggrindaan pada specimen uji ................................................. 49 Gambar 3.4 Specimen ditempelkan pada pembangkit sinar x ......................... 49

    Gambar 3.5 Survey meter pada uji radiografi ................................................. 49 Gambar 3.6 Alat untuk melakukan pemotongan benda uji .............................. 50 Gambar 3.7 Sampel hasil pemotongan ........................................................... 50

    Gambar 3.8 Mencetak sample cara dingin ...................................................... 51

    Gambar 3.9 Peralatan untuk melakukan proses grinding ................................ 52

    Gambar 3.10 Proses grinding ........................................................................... 52

    Gambar 3.11 Peralatan untuk melakukan proses polishing ............................... 54

    Gambar 3.12 Peralatan mikroskopik untuk pengambilan

    photo struktur mikro ................................................................. 55

    Gambar 3.13 Sampel uji tarik........................................................................... 56 Gambar 3.14 Tensile test mechine ................................................................... 56

    Grafik 3.15 Ekstenso meter ........................................................................... 57

    Gambar 3.16 Kurva Pengujian Tarik ............................................................... 57 Gambar 3.17 Benda setelah uji tarik ................................................................. 58 Gambar 3.18 Pengujian kelenturan................................................................... 58 Gambar 3.19 Alat mengukur bekas penekanan ................................................. 59

    Gambar 3.20 Pengujian metode brinell ............................................................ 59 Gambar 3.21 Impact test machine .................................................................... 60

    Gambar 4.1 Struktur mikro baja karbon rendah pada sampel. ......................... 72 Gambar 4.2 Struktur mikro baja karbon rendah pada literature. ...................... 72

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Energi merupakan salah satu kebutuhan penting bagi masyarakat.

    Keberadaan energi ini sangat berpengaruh bagi ketercapaian kesejahteraan bagi

    masyarakat khususnya Indonesia. Indonesia memiliki sumber energi yang

    melimpah dan beragam, baik yang bersumber dari sumber energi fosil maupun

    sumber energi terbaharukan lainnya. Namun, sampai saat ini Indonesia masih

    belum dapat memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya sendiri.

    Pada tahun 1994 produksi minyak bumi Indonesia mencapai puncak

    tertingginya lalu setelah itu terus menurun sampai sekarang sehingga jika tidak

    adanya cadangan minyak baru, maka dalam dua belas tahun lagi minyak bumi di

    Indonesia akan habis. Menurunnya produksi minyak dikarenakan eksploitasi

    berlebihan terhadap sumber energi fosil, sementara sumber energi terbaharukan

    tidak mendapat perhatian. Saat ini negara Indonesia merupakan salah satu negara

    yang sangat tergantung dari negara lain untuk mencukupi kebutuhan energinya.

    Hal ini berdampak pada besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk memenuhi

    kebutuhan energi tersebut.

    Besarnya anggaran yang harus dikeluarkan pemerintah tersebut membuat

    pemerintah harus melakukan upaya penghematan subsidi energi khususnya di

    sektor minyak tanah untuk rumah tangga yang diprediksikan akan membengkak

    sebagai akibat dari lonjakan harga minyak dunia yang terus meningkat. Salah satu

  • 2

    upaya penghematan tersebut adalah membuat program konversi energi dari

    minyak tanah ke gas LPG.

    Program konversi energi dari minyak tanah ke gas LPG ini banyak menuai

    kontroversi di masyarakat Indonesia. Penyebabnya adalah mayoritas masyarakat

    Indonesia terutama dalam sektor rumah tanggga masih sangat bergantung dengan

    minyak tanah, selain itu juga penggunaan LPG sangat beresiko. Terbukti dalam satu bulan ini (April 2010) telah terjadi empat kali kebakaran yang disebabkan oleh meledaknya tabung gas LPG 3kg, pemicu kebakaran ini bisa di sebabkan

    karna kulitas tabung gas yang rendah atau kesalahan manusia sendiri. Disini akan

    di bahas dari segi kualitas bahan yang digunakan pada pembuatan tabung gas LPG

    3kg.

    Bahan yang digunakan untuk tabung gas LPG 3kg merupakan jenis baja karbon rendah dengan komposisi karbon %C< 0,3 % dan unsur penyusun

    utamanya terdiri dari besi (Fe) dan karbon (C), serta unsur-unsur lain seperti : Mn,

    Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang tersusun dalam persentase yang sangat

    kecil. Unsur-unsur tersebut sangat menunjang sebuah bahan memiliki kekuatan dan kekerasan yang baik jika digunakan sesuai standar.1

    Salah satu penyebab utama sering terjadinya kerusakan (failure) seperti bocor (leak) dan meledak (burst) dalam penggunaannya diakibatkan masih

    kurangnya pengontrolan terhadap kulitas bahan baku tabung gas tersebut oleh

    karenanya akan dilakukan pengkajian terhadap karakteristik bahan baku (raw material) tabungn gas 3kg yang diproduksi oleh salah satu perusahaan baja di Indonesia.

    Adapun spesifikasi yang dipersyaratkan dalam aplikasinya sebagai bahan

    baku untuk tabung gas 3 kg adalah harus memenuhi JIS G3116 SG295 dan SNI

    1 Davis, Joseph R. 1998. Metal Handbook desk edition ASM International

  • 3

    1452:2007. Untuk itu perlu dilakukan pengujian untuk memenuhi kedua persyaratan spesifikasi tersebut baik secara mekanik maupun struktur mikronya.

    1.2. Perumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah di jelaskan, bahwa setiap produk yang dihasilkan oleh setiap industri harus memenuhi standar yang telah

    ditetapkan, oleh karena itu diperlukan adanya pengujian kualitas dari produk yang telah dihasilkan, khususnya dalam aplikasi sebagai tabung gas 3kg. Adapun

    perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Bagaimanakah komposisi kimia, kekuatan tarik, kekerasan, keuletan dan

    kekuatan benturan produk bahan baku tabung gas LPG 3kg?

    2. Bagaimanakah hasil pengamatan struktur mikro bahan baku hasil peleburan

    tersebut?

    1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang akan dicapai dalam penulisan tugas akhir ini adalah : 1. Mengetahui komposisi kimia baja karbon rendah yang terkandung di

    dalam produk bahan baku tabung gas 3 kg.

    2. Menentukan nilai kekuatan tarik, kelenturan, kekerasan dan ketahanan

    terhadap benturan produk bahan baku hasil peleburan.

    3. Menganalisis struktur mikro produk bahan baku hasil peleburan.

    1.4. Batasan Masalah

    Penelitian ini difokuskan pada penentuan kualitas produk baja karbon rendah yang di uji secara mekanik dan struktur mikro untuk aplikasi tabung gas 3kg. Pengujian mekaniknya meliputi pengujian tarik (tensile testing), keuletan,

  • 4

    kekerasan, dan pengujian impact. Sedangkan pengujian struktur mikronya menggunakan pengujian metalografi dan untuk pengujian komposisi kimianya menggunakan radiografi. Hasil dari pengujian-pengujian tersebut akan dibandingkan dengan literatur pada spesifikasi JIS G3116 SG295. Sampel yang

    digunakan dalam penelitian ini merupakan bahan mentah atau belum melalui

    proses pembentukan menjadi tabung gas 3 kg.

    1.5. Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi dalam beberapa bab.

    Penulis membaginya menjadi lima bab, secara singkat akan diuraikan sebagai berikut :

    BAB I : PENDAHULUAN

    Pada bab ini akan membahas tentang latar belakang permasalahan,

    perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian dan sistematika penulisan.

    BAB II : DASAR TEORI

    Pada bab ini akan dibahas tentang dasar dasar teori yang didasarkan

    dari hasil studi literatur dan jurnal, seperti klasifikasi baja, pengujian komposisi kimia, pengujian tarik, pengujian kekerasan, pengujian kelenturan dan pengamatan metalografi.

    BAB III : METODE PENELITIAN

    Pada bab ini berisi tentang data yang diperlukan dalam penelitian, alat

    dan bahan yang dipergunakan, tahapan-tahapan dalam mengolah data

    tersebut.

  • 5

    BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

    Pada bab ini berisi tentang hasil yang didapat dari pengujian dan

    perhitungan, serta pembahasan tentang bagaimana perbandingan

    kualitas produk yang dilihat dari nilai kekuatan tarik, keuletan,

    kekerasan, kekuatan benturan dan metalografi dengan literatur pada

    JIS SG295.

    BAB V : PENUTUP

    Pada bab ini berisi kesimpulan dari hasil interpretasi dan pembahasan

    yang telah didapat pada bab sebelumnya.

  • 6

    BAB II

    DASAR TEORI

    2.1. Baja Dan Klasifikasinya

    Baja merupakan paduan yang terdiri dari unsur besi (Fe), karbon (C), dan

    unsur lainnya. Baja dapat dibentuk melalui pengecoran, pencanaian, atau

    penemperan. Karbon merupakan salah satu unsur terpenting karena dapat

    meningkatkan kekerasan dan kekuatan baja. Baja merupakan logam yang paling

    banyak digunakan di bidang teknik dalam bentuk pelat, pipa, batang, profil dan

    sebagainya. Secara garis besar baja dapat dikelompokan menjadi dua yaitu baja

    karbon dan baja paduan. Baja karbon terbagi menjadi tiga macam yaitu : baja

    karbon rendah (0.25%C), baja karbon sedang (0,25 - 0,55%), baja karbon tinggi

    (0,55). Sedangkan baja paduan terdiri dari baja paduan rendah dan baja paduan

    tinggi.2

    Penggunaan dari masing-masing baja berbeda-beda berdasarkan

    kandungan karbon pada baja tersebut. Baja karbon rendah digunakan salah

    satunya untuk tabung gas LPG 3kg, kawat, baja profil, sekrup, ulir dan baut. Baja

    karbon sedang digunakan untuk rel kereta api, poros roda gigi, dan suku cadang

    yang berkekuatan tinggi, atau dengan kekerasan sedang sampai tinggi. Baja

    karbon tinggi digunakan untuk perkakas potong seperti pisau, milling cutter.

    Bila dilihat dari komposisi kimianya baja karbon terbagi menjadi tiga

    macam yaitu : baja karbon rendah (0.25%C), baja karbon sedang (0,25 - 0,55%),

    baja karbon tinggi (0,55). Sedangkan baja paduan terdiri dari baja paduan rendah

    2 Davis, Joseph R. 1998. Metal Handbook desk edition ASM International

  • 7

    dan baja paduan tinggi.3 yang terkandung dalam baja karbon rendah dalam bentuk

    pelat, dimana hasil komposisinya bisa dilihat pada Tabel 2.1. Baja karbon rendah

    adalah salah satu jenis baja karbon, dimana persentase unsur karbonnya di bawah

    0,25%, untuk lebih jelas ditunjukkan pada Tabel 2.1, sedangkan unsur pembentuk

    lainnya seperti Mn tidak lebih dari 0,8%, Si tidak lebih dari 0,5%, demikian pula

    unsur Cu tidak lebih dari 0,6%.

    Tabel 2.1 Klasifikasi baja karbon berdasar kandungan karbon Jenis baja karbon Prosentase unsur karbon (%C)

    1 Baja karbon rendah 0,25 2 Baja karbon medium 0,25 - 0,55 3 Baja karbon tinggi 0,55

    Tabel 2.2 Komposisi kimia lembaran pelat baja karbon rendah sebagai spesimen penelitian.

    Unsur Prosentase (%) Unsur Prosentase (%) C 0,16 Ni 0,018 Si 0,17 Mo 0,0018

    Mn 0,76 Cu 0,054 P 0,020 Al 0,012 S 0,0001 Fe 98,83 Cr 0,0064

    Di samping jenis baja karbon berdasarkan kandungan karbonnya, juga

    dikelompokkan berdasarkan komposisi prosentasi unsur pemandu karbonnya

    seperti yang perlihatkan pada diagram fasa Fe C Gambar 2.1, baja hypoeutektoid

    kurang dari 0,8% C, baja eutektoid 0,8% C, sedangkan baja hypereutektoid lebih

    besar dari 0,8% C.4

    3 Davis, Joseph R. !998. Metal Handbook desk edition ASM International

    4 http://www.audioenglish.net/dictionary/hypo-eutectoidsteel.htm

  • 8

    Dengan memperhatikan diagram fasa maka baja karbon rendah adalah

    jenis baja hypoeutektoid karena prosentase unsur pemandu karbonnya tidak

    melebihi 0,8% dan hanya mengandung 0,112% C. Pada kadar karbon 0,8 % akan

    terbentuk fasa perlit, yaitu fasa yang terbentuk lamel-lamel yang merupakan

    paduan antara ferrit sebagai matriksnya dan cementit sebagai lamel-lamelnya.

    Fasa cementit merupakan fasa yang terbentuk dengan kadar karbon maksimum

    6,67 %. Sementara ferrit pada kadar karbon maksimum 0,02 %.

    2.2. Diagram Fasa Baja karbon (Fe C)

    Baja murni yang dipanaskan akan mengalami dua perubahan struktur

    mikro sebelum baja tersebut meleleh. Pada suhu ruang bentuknya stabil disebut

    ferrit atau baja yang mempunyai susunan butir BCC.

    Ferrit mengalami perubahan poli morfi dari BCC menjadi FCC austenit

    atau baja pada suhu 9120C (16740F). Austenit ini bertahan hingga suhu 13940C

    (25410F) pada suhu FCC austeit kembali pada BCC yang dikenal sebagai ferrit

    yang akhirnya mendidih pada 15380C (28000F). semua perubahan itu terlihat jelas

    sepanjang garis vertikal pada diagram fasa berikut.5

    5 Clark, Donal S. & Varney, Willbur R. Physical metallurgy for engineering

  • 9

    Karbon adalah sebuah komponen dalam baja membentuk larutan padat dengan yang lain setiap dan ferrit dan juga dengan austenite sebagaimna ditunjukan pada fasa tunggal , , dan pada diagram fasa diatas dalam BCC ferrit hingga sedikit konsentrasi karbon yang larut. Makismum daya larut adalah

    0,02% pada suhu 7270C (13410F). Batas daya larut ditunjukan dengan bentuk dan ukuran BCC position yang membuat baja sulit menampung atom karbon, walaupun keberadaan karbon reletif kecil, karbon sangat besar mempengaruhi

    sifat mekanis baja karbon.6 Austenite atau fasa dari baja, jika dipadukan dengan sedikit karbon maka

    akan tidak setabil dibawah suhu 7270C (13410F) sebagaimana ditunjukan dalam diagram fasa diatas. Maksimum daya larut karbon dalam austenite adalah 2,11% .

    Daya larut maksimum ini mendekati 100 kali lebih besar dari daya larut

    maksimum BCC ferit.

    6 Clark, Donal S. & Varney, Willbur R. Physical metallurgy for engineering

    Gambar 2.1 Diagrm Fasa Fe-C

  • 10

    Perubahan fasa yang terjadi dari fasa ke dalam fasa + Fe3C adalah relative kompleks. Untuk kemudahan dalam memahami perubahan fasa, sebagai

    contoh adalah sebuah baja karbon dengan kandungan karbon 0,77% yang didinginkan dari temperature fasa sekitar 8000C. pada temperature ini perubahan

    struktur mikro berubah menjadi fasa yang mempunyai kandungan karbon lebih rendah yaitu 0,022% seperti FeC. Perubahan fasa ini mempengaruhi penyebara

    karbo karena ketiga fasa mempunyai komposisi yang berbeda.7

    2.3 Proses Pembuatan Baja Proses pembuatan baja diawali dengan proses peleburan bahan baku baja

    yang berupa besi kasar (pig iron) atau berupa besi spons (sponge iron).

    Disamping itu bahan baku lain yang biasanya digunakan dalam proses pembuatan

    baja adalah skrap baja (baja bekas) dan bahan-bahan penambah seperti ingot

    ferosilikon, feromangan dan batu kapur. Proses peleburan dapat dilakukan pada

    tungku BOF (Basic Oxygen Furnace) atau pada tungku busur listrik (Electric Arc

    Furnace/EAF), namun selain dua metode tersebut juga terdapat banyak metode

    lain yang digunakan untuk proses pembuatan baja. Tanpa memperhatikan tungku

    atau proses yang diterapkan, proses peleburan baja pada umumnya mempunyai

    tiga tujuan utama, yaitu :

    1. Mengurangi sebanyak mungkin bahan-bahan yang bersifat impuritas.

    2. Mengatur kadar karbon agar sesuai dengan tingkat grade/spesifikasi baja yang

    diinginkan.

    3. Menambah elemen-lemen pemadu yang diinginkan.

    7 Clark, Donal S. & Varney, Willbur R. Physical metallurgy for engineering

  • 11

    Bahan yang dijadikan sempel pada penelitian ini dibuat dengna

    menggunakan proses peleburan baja dengan teknik EAF (electric Arc Furnace).

    Proses peleburan dalam EAF ini menggunakan energi listrik. Panas dihasilkan

    dari busur listrik yang terjadi pada ujung bawah dari elektroda. Energi panas yang

    terjadi sangat tergantung pada jarak antara elektroda dengan muatan logam

    didalam tungku. Bahan elektroda biasanya dibuat dari karbon atau grafit.

    Kapasitas tungku EAF ini dapat berkisar antara 2-200 ton dengan waktu

    peleburannya berkisar antara 3-6 jam.8

    Bahan baku yang dilebur biasanya berupa besi spons (sponge iron) yang

    dicampur dengan skrap baja. Penggunaan besi sponge dimaksudkan untuk

    menghasilkan kualitas baja yang lebih baik. Tetapi dalam banyak hal (terutama

    untuk pertimbangan biaya) bahan baku yang dilebur seluruhnya berupa skrap baja,

    karena skrap baja lebih murah debandingkan dengan besi spons.

    Disamping bahan baku diatas, bahan-bahan lainnya yang ditambahkan

    pada EAF adalah batu kapur, ferosilikon, feromangan, dan lain-lain dengan

    maksud memisahkan dari kotoran yang menempel agar terbentuk baja murani

    tanpa impuritas. Peleburan baja dengan EAF ini dapat menghasilkan kualitas baja

    yang lebih baik karena tidak terjadi kontaminasi oleh bahan bakar atau gas yang

    digunakan untuk proses pemanasannya.

    8 T. Hansen and P. Jonsson: 2001 Electric Furnace Conference Proceedings, Warrendale.

  • 12

    2.4 Pengerjaan Mekanis Pada Baja

    Pengerjaan mekanis baja dilakukan untuk meningkatkan sifat-sifat

    mekanis pada baja agar lebih baik lagi, pengerjaan mekanis dapat dilakukan

    dengan dua cara yaitu pengerjaan panas dan pengerjaan dingin.

    a. Pengerjaan Panas

    Pengerjaan panas atau perlakuan panas adalah proses memanaskan

    baja sampai temperature tertentu dan kemudian didinginkan dengan metode

    tertentu. Tujuan pengerjaan panas adalah untuk memberikan sifat yang lebih

    sempurna pada baja. Proses ini dapat mengubah sifat baja dengan cara

    mengubah ukuran butirnya, juga mengubah unsur pelarutnya terutama karbon

    dalam jumlah yang lebih kecil.

    Proses perlakuan panas secara luas dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu proses perlakuan panas yang menghasilkan kondisi seimbang dan proses perlakuan panas yang menghasilkan kondisi tidak seimbang. Dalam

    kondisi seimbang suatu material mempunyai nilai kekerasan yang kurang,

    tetapi memiliki nilai kekenyalan lebih tinggi dari kondisi yang tidak seimbang.

    b. Pengerjaan Dingin (Annealing) Proses Annealing dapat didefinisikan sebagai pemanasan pada

    temperature yang sesuai, diikuti dengan pendinginan pada kecepatan yang

    sesuai pula.9 Hal ini bertujuan untuk melunakan, memperbaiki sifat-sifat pengerjaan dingin dan membebaskan tegangan pada baja sehingga diperoleh struktur yang dikhendaki.

    Sifat-sifat baja yang disebutkan pada definisi di atas dapat diartikan bahwa baja harus dipanaskan sampai temperature pengkristalan kembali untuk

    9 Dieter, G. 1976. Mechanical Metallurgy of Engineering Materials. Mc-Graw Hill.

  • 13

    membebaskan tegangan-tegangan yang ada dalam baja. Kemudian mempertahankan pemanasannya pada temperature tinggi untuk membuat

    sedikit pertumbuhan butir pada struktur austenit. Selanjutnya didinginkan secara perlahan-perlahan untuk membuat struktur lapisan perlit, sehingga sifat

    baja yang dihasilkan menjadi lebih lunak dan ulet.

    2.5. Proses Pembuatan Bahan

    Pealatan utama yang digunakan pabrik baja lembaran panas memiliki fungsi dan cara kerja masing-masing sebaimana tersebut dibawah ini: a. Reheating Furnace

    Merupakan peralatan berbentuk dapur untuk memanaskan slab agar

    dicapai temperatur mampu tempa sehingga mamudahkan proses pengerolan

    dan mencegah perubahan fisik slab. Pemanasan ini dilakukan dalam 3 zona

    yaitu, preheating mencapai 6000C, heating mencapai 9000C dan soaking

    mencapai temperatur 1250-12800C.

    b. Sizing Press

    Peralatan ini mempunyai fungsi utama untuk mereduksi lebar dari slab,

    sehingga dapat meringankan kerja vertical edger yang beraada di roughing.

    Temperature slab pada proses ini adalah sekitar 12000C

    c. Roughing Mill

    Pada peralatan ini berfungsi untuk mereduksi tebal slab sekaligus untuk

    mengurangi beban pengerolan pada finishing mill. Tipe roghing mill yang

    digunakan adalah four high mill disebut demikian karena mesin ini terdiri dari

    4 buah roll yang disusun secara vertikal yaitu dua buah work roll dan dua buah

    back up roll. Digunakan untuk mereduksi tebal slab, sedangkan untuk

  • 14

    mereduksi lebar slab didunakan l vertical edger. Hasil slab dari roging mill

    disebut dengan transfer bar atau forband (jerman).

    d. Thermopanel

    Merupakan suatu peralatan berupa coper isolasi panas penutup roler table

    antara loging mill dan finishing mill yang berfungsi mengurangi kehilangan

    panas slab ke lingkungan sekitar dengan demikian temperatur sepanjang slab

    relative konstan sebesar 1100 oC sebelum memasuki finishing mill. Alat ini

    seperti housing atau penutup berbentuk U yang digerakkan oleh sistem

    hidrolik. Terdapat 12 stand thermopanel, dimana masing-masing stand

    panjangnya 5-7 meter.

    e. Corp Shear

    Merupakan peralatan yang digunakan untuk memotong ujung depan

    (kepala) dan ekor pada transfer bar. Proses pemotongan ini bertujuan untuk

    menghasilkan ujung depan dan belakang yang rata untuk proses finishing. Crop

    shear ini terpasang didepan finishing stand F1.

    f. Finishing Mill

    Merupakan peralatan yang berfungsi untuk mengerol slab sehingga

    diakhir finising mill didapatkan tebal strip yang diinginkan. Stand finishing

    mill berjumlah 6 buah (disebut F1 s/d F6). Selama proses pengerolan

    difinishing stand transfer bar akan mengalami reduksi ketebalan yang berbeda

    disetiap stand karena pengaturan gap antara kedua work roll yang berbeda di

    setiap stand.

  • 15

    g. Laminar Cooling

    Setelah proses melalui finishing mill maka tahapan untuk pengerolan

    dipastikan selesai dan hasil dari strip tersebut kemudian didinginkan

    menggunakan laminar colling. Pendinginan ini berfungsi untuk mendapatkan

    temperatur yang sesuai dengan temperatur penggulungan strip pada down

    coiller. Tujuan utama dari pendinginan ini adalah untuk mencapai temperatur

    kristalisasi yang sesuai untuk membentuk struktur mikro yang diinginkan

    sesuai dengan standar mutu (steel grade) yang diinginkan. Pendinginan

    dilakukan dengan menyemprotkan air diatas dan dibawah slab dengan tekanan

    air 1 s/d 2 bar.

    h. Down Coiler

    Setelah mengalami proses pengerolan, maka proses berikutnya adalah

    penggulungan strip, menjadi coil di down coiler. Jadi, fungsi dari coiler adalah

    menggulung strip menjadi coil.

    i. Shearing Line

    Ini berfungsi untuk membuat plat dan merevisi coil-coil yang kurang baik

    dari hasil pengerolan.

    2.6. Pengujian Radiografi

    Pengujian radiografi merupakan salah satu percobaan Non Destructive

    Testing (NDT) yang secara garis besar dikelompokan dalam dua metoda, yaitu

    metoda radiasi dan non radiasi. Pengujian radiografi ini termasuk kedalam metoda

    radiasi yaitu metoda pemeriksaan dengan memanfaatkan sinar radiasi yang

    dipancarkan oleh isotop tertentu dan mesin pembangkit sinar x.

  • 16

    Metoda pemeriksaan tersebut diaplikasikan sebagai Quality Control

    dalam produk metalurgi, proses metalurgi. Dari gambaran tersebut maka metoda

    NDT mempunyai peranan penting dalam inspeksi dan kontrol sehubungan dengan

    produksi industri, kontruksi, instalasi dan operasi dari fasilitas industri.

    1. Sumber Radiasi Untuk Radiografi

    Sumber radiasi yang digunakan sebagai pendukung pengujian radiografi

    untuk menentukan komposisi kimia ini adalah radiasi sinar x, sebagaiman

    dijelaskan dibawah ini.

    a. Pembangkit Sinar X

    Prinsip kerja sinar x yaitu dua buah kutub listrik katoda yang cukup tinggi dan berada di ruang hampa. Pada katoda (yang berupa filamen) akan dipancarkan

    electron, karena dalam tabung hampa maka electron-elektron dari katoda akan

    bergerak sangat cepat kearah anoda. Terjadi tumbukan dan electron akan kehilangan energi yang berubah menjadi panas (sebagian besar) dan pancaran sinar x (sebagian kecil).

    Panas yang timbul di anoda harus didinginkan agar target tidak meleleh

    atau rusak. Banyaknya elektron yang dilepas oleh katoda (filament) sebanding

    dengan arus yang diberikan kepada filament, sedangkan tegangan-tegangan

    positip yang diberikan kepada anoda adalah berhubungan erat dengan kecepatan

    electron yang menumbuk anoda (target) dan mempunyai hubungan dengan energi

    sinar yang dipancarkan.

    Penetrasi sinar x ditentukan oleh besar tegangan (kV) yang dihasilkan oleh

    pemancar sinar x. Hubungan antara panjang gelombang dengan kV adalah

    kVA0

    4.121= kV

  • 17

    makin kecil daya tembus sinar x semakin besar, sedangkan kuantitas sinar x

    dapat diatur melalui arus (mA) pada filamen. Dua hal yang dapat diatur dalam

    control box dari pesawat sinar x adalah arus dan tegangan.

    b. Interaksi sinar x, dengan materi (benda uji)

    Bila suatu materi dengan ketebalan tertentu diradiasi maka intensitas

    radiasi semula diperlemah setelah melewati material, karena terjadi proses

    atenuasi.

    I = I0 e- x

    I = Intensitas sinar x, setelah menembus material

    I0 = Intensitas mula-mula

    = koefisien pelemahan linear

    x = tebal material

    Perbedaan intesitas inilah yang dipakai sebagai dasar atau dimanfaatkan

    dalam teknik radiografi. Jika dipakai detector, maka perbedaan intensitas I1 dan I2

    akan menghasilkan tingkat kehitaman yang berbeda pada film radiografi. Proses

    pelemahan sinar x atau akibat interaksi dengan materi dapat dibedakan atas tiga

    pristiwa, yaitu :

    - Efek photolistrik

    - Pair production

    - Hamburan Compton

  • 18

    2.7 Pengujian Metalografi

    Pengujian metalografi ini dilakukan untuk menganalisa struktur mikro

    pada sampel. Adapun prinsip dasar langkah-langkah untuk melakukan pengujian

    ini adalah sebadagai berikut :

    2.7.1. Cutting (Pemotongan)

    Pemilihan sampel yang tepat dari suatu benda uji studi mikroskopik

    merupakan hal yang sangat penting. Pemilihan sampel tersebut didasarkan pada

    tujuan pengamatan yang hendak dilakukan. Pada umumnya bahan komersil tidak

    homogen, sehingga satu sampel yang diambil dari suatu volume besar tidak dapat

    dianggap representatif. Pengambilan sampel harus direncanakan sedemikian

    sehingga menghasilkan sampel yang sesuai dengan kondisi rata-rata bahan atau

    kondisi di tempat-tempat tertentu (kritis), dengan memperhatikan kemudahan

    pemotongan pula. Secara garis besar, pengambilan sampel dilakukan pada daerah

    yang akan diamati mikrostruktur maupun makrostrukturnya. Sebagai contoh,

    untuk pengamatan mikrostruktur material yang mengalami kegagalan, maka

    sampel diambil sedekat mungkin pada daerah kegagalan (pada daerah kritis

    dengan kondisi terparah), untuk kemudian dibandingkan dengan sampel yang

    diambil dari daerah yang jauh dari daerah gagal. Perlu diperhatikan juga bahwa

    dalam proses memotong, harus dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang

    berlebihan. Oleh karena itu, setiap proses pemotongan harus diberi pendinginan

    yang memadai.

    Ada beberapa sistem pemotongan sampel berdasarkan media pemotong

    yang digunakan, yaitu meliputi proses pematahan, pengguntingan, penggergajian,

    pemotongan abrasi (abrasive cutter), gergaji kawat, dan EDM (Electric Discharge

  • 19

    Machining). Berdasarkan tingkat deformasi yang dihasilkan, teknik pemotongan

    terbagi menjadi dua, yaitu :

    a) Teknik pemotongan dengan deformasi yang besar, menggunakan gerinda

    b) Teknik pemotongan dengan deformasi kecil, menggunakan low speed

    diamond saw.

    2.7.2 Mounting

    Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak beraturan

    akan sulit untuk ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan

    pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen

    lembaran metal tipis, potongan yang tipis, dll. Untuk memudahkan

    penanganannya, maka spesimen-spesimen tersebut harus ditempatkan pada suatu

    media (media mounting). Secara umum syarat-syarat yang harus dimiliki bahan

    mounting adalah :

    1. Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa)

    2. Sifat eksoterimis rendah

    3. Viskositas rendah

    4. Penyusutan linier rendah

    5. Sifat adhesi baik

    6. Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel

    7. Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah dan bentuk ketidakteraturan

    yang terdapat pada sampel

    8. Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan mounting harus

    kondusif

  • 20

    Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan jenis

    reagen etsa yang akan digunakan. Pada umumnya mounting menggunakan

    material plastik sintetik. Materialnya dapat berupa resin (castable resin) yang

    dicampur dengan hardener, atau bakelit. Penggunaan castable resin lebih mudah

    dan alat yang digunakan lebih sederhana dibandingkan bakelit, karena tidak

    diperlukan aplikasi panas dan tekanan. Namun bahan castable resin ini tidak

    memiliki sifat mekanis yang baik (lunak) sehingga kurang cocok untuk material-

    material yang keras. Teknik mounting yang paling baik adalah menggunakan

    thermosetting resin dengan menggunakan material bakelit. Material ini berupa

    bubuk yang tersedia dengan warna yang beragam. Thermosetting mounting

    membutuhkan alat khusus, karena dibutuhkan aplikasi tekanan (4200 lb/in2) dan

    panas (1490C) pada mold saat mounting.

    2.7.3 Grinding (Pengamplasan)

    Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi

    memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar

    pengamatan struktur mudah untuk dilakukan. Pengamplasan dilakukan dengan

    menggunakan kertas amplas silicon karbit (SiC) dengan berbagai tingkat

    kekasaran yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan dengan mesh, yaitu kombinasi

    dari 220, 330, 500, 600, 800, dan 1000. Ukuran grit pertama yang dipakai

    tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang

    ditimbulkan oleh pemotongan. Seperti perubahan struktur akibat panas yang

    timbul pada saat proses pemotongan dan perubahan bentuk sample akibat beban

    alat potong.

  • 21

    Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian

    air. Air berfungsi sebagai pemidah geram, memperkecil kerusakan akibat panas

    yang timbul yang dapat merubah struktur mikro sampel dan memperpanjang masa

    pemakaian kertas amplas. Hal lain yang harus diperhatikan adalah ketika

    melakukan perubahan arah pengamplasan, maka arah yang baru adalah 450 atau

    900 terhadap arah sebelumnya.

    2.7.4 Polishing (Pemolesan)

    Setelah diamplas sampai halus, sampel harus dilakukan pemolesan.

    Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus bebas

    goresan dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan ketidakteraturan

    sampel hingga orde 0.01 m. Permukaan sampel yang akan diamati di bawah

    mikroskop harus benar-benar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau

    bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan sulit untuk dilakukan

    karena cahaya yang datang dari mikroskop dipantulkan secara acak oleh

    permukaan sampel.

    Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu

    kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus. Ada 3 metode pemolesan antara

    lain yaitu sebagai berikut :

    a. Pemolesan Elektrolit Kimia

    Hubungan rapat arus & tegangan bervariasi untuk larutan elektrolit dan

    material yang berbeda dimana untuk tegangan, terbentuk lapisan tipis pada

    permukaan, dan hampir tidak ada arus yang lewat, maka terjadi proses etsa.

    Sedangkan pada tegangan tinggi terjadi proses pemolesan.

  • 22

    b. Pemolesan Kimia Mekanis

    Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang

    dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif dicampur

    dengan larutan pengetsa yang umum digunakan.

    c. Pemolesan Elektro Mekanis (Metode Reinacher)

    Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan mekanis pada

    piring pemoles. Metode ini sangat baik untuk logam mulia, tembaga,

    kuningan, dan perunggu.

    2.7.5 Etching (Etsa)

    Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara

    selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik

    menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel sehingga detil struktur

    yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam. Untuk beberapa material,

    mikrostruktur baru muncul jika diberikan zat etsa. Sehingga perlu pengetahuan

    yang tepat untuk memilih zat etsa yang tepat.

    a. Etsa Kimia

    Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia

    dimana zat etsa yang digunakan ini memiliki karakteristik tersendiri sehingga

    pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati. Contohnya

    antara lain: nitrid acid / nital (asam nitrit + alkohol 95%), picral (asam picric +

    alkohol), ferric chloride, hydroflouric acid, dll. Perlu diingat bahwa waktu etsa

    jangan terlalu lam (umumnya sekitar 4 30 detik), dan setelah dietsa, segera

    dicuci dengan air mengalir lalu dengan alkohol kemudian dikeringkan dengan

    alat pengering.

  • 23

    b. Elektro Etsa (Etsa Elektrolitik)

    Merupakan proses etsa dengan menggunakan reaksi elektoetsa. Cara

    ini dilakukan dengan pengaturan tegangan dan kuat arus listrik serta waktu

    pengetsaan. Etsa jenis ini biasanya khusus untuk stainless steel karena dengan

    etsa kimia susah untuk medapatkan detil strukturnya.

    2.8. Pengujian Kekerasan

    Kekerasan suatu material dapat didefinisikan sebagai ketahanan material

    tersebut terhadap gaya penekanan dari material lain yang lebih keras. Penekanan

    tersebut dapat berupa mekanisme penggoresan (scratching), pantulan ataupun

    indentasi dari material keras terhadap suatu permukaan benda uji. Berdasarkan

    mekanisme penekanan tersebut, dikenal 3 metode uji kekerasan:

    a. Metode gores

    Metode ini tidak banyak lagi digunakan dalam dunia metalurgi dan

    material lanjut, tetapi masih sering dipakai dalam dunia mineralogi. Metode ini

    dikenalkan oleh Friedrich Mohs yang membagi kekerasan material di dunia ini

    berdasarkan skala (yang kemudian dikenal sebagai skala Mohs). Skala ini

    bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah hingga skala 10 sebagai

    nilai kekerasan tertinggi, sebagaimana dimiliki oleh intan.

    b. Metode elastik/pantul (rebound)

    Dengan metode ini, kekerasan suatu material ditentukan oleh alat

    Scleroscope yang mengukur tinggi pantulan suatu pemukul (hammer) dengan

    berat tertentu yang dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap permukaan benda

    uji. Tinggi pantulan (rebound) yang dihasilkan mewakili kekerasan benda uji.

  • 24

    Semakin tinggi pantulan tersebut, yang ditunjukkan oleh dial pada alat pengukur,

    maka kekerasan benda uji dinilai semakin tinggi.

    c. Metode indentasi

    Pengujian dengan metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji

    dengan indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan.

    Kekerasan suatu material ditentukan oleh dalam ataupun luas area indentasi yang

    dihasilkan (tergantung jenis indentor dan jenis pengujian). Berdasarkan prinsip

    bekerjanya metode uji kekerasan dengan cara indentasi dapat diklasifikasikan

    sebagai berikut:

    1) Pengujian Brinell

    Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh J.A. Brinell pada tahun 1900.

    Pengujian kekerasan dilakukan dengan memakai bola baja yang diperkeras

    (hardened steel ball) dengan beban dan waktu indentasi tertentu, sebagaimana

    ditunjukkan oleh Gambar 2.2. Hasil penekanan adalah jejak berbentuk lingkaran

    bulat, yang harus dihitung diameternya di bawah mikroskop khusus pengukur

    jejak. Contoh pengukuran hasil penjejakan diberikan oleh Gambar 2.3.

    Pengukuran nilai kekerasan suatu material diberikan oleh rumus:

    dimana P adalah beban (kg), D diameter indentor (mm) dan d diameter jejak

    (mm).

  • 25

    Gambar 2.2. Penekanan oleh hardened steel ball

    Prosedur standar pengujian mensyaratkan bola baja dengan diameter 10

    mm dan beban 3000 kg untuk pengujian logam-logam ferrous, atau 500 kg untuk

    logam-logam non-ferrous. Untuk logam-logam ferrous, waktu indentasi biasanya

    sekitar 10 detik sementara untuk logamlogam non-ferrous sekitar 30 detik.

    Walaupun demikian pengaturan beban dan waktu indentasi untuk setiap material

    dapat pula ditentukan oleh karakteristik alat penguji. Nilai kekerasan suatu

    material yang dinotasikan dengan HB tanpa tambahan angka di belakangnya

    menyatakan kondisi pengujian standar dengan indentor bola baja 10 mm, beban

    3000 kg selama waktu 115 detik. Untuk kondisi yang lain, nilai kekerasan HB

    diikuti angka-angka yang menyatakan kondisi pengujian. Contoh: 75 HB

    10/500/30 menyatakan nilai kekerasan Brinell sebesar 75 dihasilkan oleh suatu

    pengujian dengan indentor 10 mm, pembebanan 500 kg selama 30 detik.

    Gambar 2.3. Hasil identasi brinell berupa jejak bentuk dengan ukuran diameter dalam skala mm

  • 26

    2) Pengujian Vickers

    Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan

    sudut 136o, seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.4. Prinsip pengujian adalah sama

    dengan metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan berbentuk bujur sangkar

    berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop pengujur

    jejak. Nilai kekerasan suatu material diberikan oleh:

    2dP1.854VHN =

    dimana d adalah panjang diagonal rata-rata dari jejak berbentuk bujur sangkar.

    Gambar 2.4. Skematis prinsip indentasi dengan metode Vickers

    3) Pengujian Rockwell

    Berbeda dengan metode Brinell dan Vickers dimana kekerasan suatu

    bahan dinilai dari diameter/diagonal jejak yang dihasilkan maka metode Rockwell

    merupakan uji kekerasan dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode

    ini banyak dipakai dalam industry karena pertimbangan praktis. Variasi dalam

    beban dan indetor yang digunakan membuat metode ini memiliki banyak

    macamnya. Metode yang paling umum dipakai adalah Rockwell B (dengan

  • 27

    indentor bola baja berdiameter 1/6 inci dan beban 100 kg) dan Rockwell C

    (dengan indentor intan dengan beban 150 kg). Walaupun demikian metode

    Rockwell lainnya juga biasa dipakai. Oleh karenanya skala kekerasan Rockwell

    suatu material harus dispesifikasikan dengan jelas. Contohnya 82 HRB, yang

    menyatakan material diukur dengan skala B: indentor 1/6 inci dan beban 100 kg.

    Berikut ini diberikan Tabel 2.3 yang memperlihatkan perbedaan skala dan range

    uji dalam skala Rockwell:

    Tabel 2.3. Skala pada Metode Uji Kekerasan Rockwel

    2.9. Kekuatan Tarik Bahan

    Uji tarik rekayasa sering dipergunakan untuk melengkapi informasi

    rancangan dasar kekuatan suatu bahan dan sebagai data pendukung bagi

    spesifikasi bahan. Pada uji tarik, benda uji tarik diberi beban gaya tarik sesumbu

    yang bertambah besar secara kontinyu. Sampel atau benda uji dengan ukuran dan

    bentuk tertentu ditarik dengan beban kontinyu sambil diukur pertambahan

    panjangnya. Data yang didapat berupa perubahan panjang dan perubahan beban

  • 28

    yang selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik tegangan-regangan. Data-data

    penting yang diharapkan didapat dari pengujian tarik ini adalah perilaku mekanik

    material dan karakteristik perpatahan.

    Pengujian tarik yang dilakukan pada suatu material padatan (logam dan

    nonlogam) dapat memberikan keterangan yang relatif lengkap mengenai perilaku

    material tersebut terhadap pembebanan mekanis. Informasi penting yang bisa

    didapat adalah:

    a. Batas proporsionalitas (proportionality limit)

    Merupakan daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai

    hubungan proporsionalitas satu dengan lainnya. Setiap penambahan tegangan

    akan diikuti dengan penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan

    linier = E (bandingkan dengan hubungan y = mx; dimana y mewakili tegangan;

    x mewakili regangan dan m mewakili slope kemiringan dari modulus kekakuan).

    Titik P pada Gambar 2.5 di bawah ini menunjukkan batas proporsionalitas dari

    kurva tegangan-regangan.

    Gambar 2.5 Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat baja ulet

  • 29

    b. Batas elastis (elastic limit)

    Daerah elastis adalah daerah dimana bahan akan kembali kepada panjang

    semula bila tegangan luar dihilangkan. Daerah proporsionalitas merupakan

    bahagian dari batas elastik ini. Selanjutnya bila bahan terus diberikan tegangan

    (deformasi dari luar) maka batas elastis akan terlampaui pada akhirnya sehingga

    bahan tidak akan kembali kepada ukuran semula. Dengan kata lain dapat

    didefinisikan bahwa batas elastis merupakan suatu titik dimana tegangan yang

    diberikan akan menyebabkan terjadinya deformasi permanen (plastis) pertama

    kalinya. Kebanyakan material teknik memiliki batas elastis yang hampir

    berimpitan dengan batas proporsionalitasnya.

    c. Titik luluh (yield point) dan kekuatan luluh (yield strength)

    Titik ini merupakan suatu batas dimana material akan terus mengalami

    deformasi tanpa adanya penambahan beban. Tegangan (stress) yang

    mengakibatkan bahan menunjukkan mekanisme luluh ini disebut tegangan luluh

    (yield stress). Titik luluh ditunjukkan oleh titik Y pada Gambar 2.5 di atas. Gejala

    luluh umumnya hanya ditunjukkan oleh logam-logam ulet dengan struktur Kristal

    BCC dan FCC yang membentuk interstitial solid solution dari atom-atom carbon,

    boron, hidrogen dan oksigen. Interaksi antara dislokasi dan atom-atom tersebut

    menyebabkan baja ulet seperti mild steel menunjukkan titik luluh bawah (lower

    yield point) dan titik luluh atas(upper yield point). Untuk menentukan kekuatan

    luluh material seperti ini maka digunakan suatu metode yang dikenal sebagai

    Metode Offset.

    Dengan metode ini kekuatan luluh (yield strength) ditentukan sebagai

    tegangan dimana bahan memperlihatkan batas penyimpangan/deviasi tertentu dari

  • 30

    proporsionalitas tegangan dan regangan. Pada Gambar 2.6 di bawah ini garis

    offset OX ditarik paralel dengan OP, sehingga perpotongan XW dan kurva

    tegangan-regangan memberikan titik Y sebagai kekuatan luluh. Umumnya garis

    offset OX diambil 0.1 0.2% dari regangan total dimulai dari titik O.

    Gambar 2.6 Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat dari bahan getas.

    Kekuatan luluh atau titik luluh merupakan suatu gambaran kemampuan

    bahan menahan deformasi permanen bila digunakan dalam penggunaan struktural

    yang melibatkan pembebanan mekanik seperti tarik, tekan bending atau puntiran.

    Di sisi lain, batas luluh ini harus dicapai ataupun dilewati bila bahan (logam)

    dipakai dalam proses manufaktur produk-produk logam seperti proses rolling,

    drawing, stretching dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa titik luluh adalah

    suatu tingkat tegangan yang:

    Tidak boleh dilewati dalam penggunaan struktural (in service)

    Harus dilewati dalam proses manufaktur logam (forming process)

    Kekuatan tarik maksimum (ultimate tensile strength)

    Merupakan tegangan maksiumum yang dapat ditanggung oleh material

    sebelum terjadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum uts

    ditentukan dari beban maksimum Fmaks dibagi luas penampang awal Ao.

  • 31

    AFUTS maks=

    Pada bahan ulet tegangan maksimum ini ditunjukkan oleh titik M (Gambar

    2.6) dan selanjutnya bahan akan terus berdeformasi hingga titik B. Bahan yang

    bersifat getas memberikan perilaku yang berbeda dimana tegangan maksimum

    sekaligus tegangan perpatahan (titik B pada Gambar 2.6). Dalam kaitannya

    dengan penggunaan structural maupun dalam proses forming bahan, kekuatan

    maksimum adalah batas tegangan yang sama sekali tidak boleh dilewati.

    d. Kekuatan Putus (breaking strength)

    Kekuatan putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji

    putus (Fbreaking) dengan luas penampang awal Ao. Untuk bahan yang bersifat

    ulet pada saat beban maksimum M terlampaui dan bahan terus terdeformasi

    hingga titik putus B maka terjadi mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat

    adanya suatu deformasi yang terlokalisasi. Pada bahan ulet kekuatan putus adalah

    lebih kecil daripada kekuatan maksimum sementara pada bahan getas kekuatan

    putus adalah sama dengan kekuatan maksimumnya.

    e. Keuletan (ductility)

    Keuletan merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan logam

    menahan deformasi hingga terjadinya perpatahan. Sifat ini , dalam beberapa

    tingkatan, harus dimiliki oleh bahan bila ingin dibentuk (forming) melalui proses

    rolling, bending, stretching, drawing, hammering, cutting dan sebagainya.

    Pengujian tarik memberikan dua metode pengukuran keuletan bahan yaitu:

    Persentase perpanjangan (elongation)

    Diukur sebagai penambahan panjang ukur setelah perpatahan terhadap

    panjang awalnya.

  • 32

    Elongasi, (%) = [(Lf-Lo)/Lo] x 100%

    dimana Lf adalah panjang akhir dan Lo panjang awal dari benda uji.

    Persentase pengurangan/reduksi penampang (Area Reduction)

    Diukur sebagai pengurangan luas penampang (cross-section) setelah

    perpatahan terhadap luas penampang awalnya.

    Reduksi penampang, R (%) = [(Ao-Af)/Ao] x 100%

    dimana Af adalah luas penampang akhir dan Ao luas penampang awal.

    f. Modulus elastisitas (E)

    Modulus elastisitas atau modulus Young merupakan ukuran kekakuan

    suatu material. Semakin besar harga modulus ini maka semakin kecil regangan

    elastis yang terjadi pada suatu tingkat pembebanan tertentu, atau dapat dikatakan

    material tersebut semakin kaku (stiff). Pada grafik tegangan-regangan (Gambar 2

    dan 3), modulus kekakuan tersebut dapat dihitung dari slope kemiringan garis

    elastis yang linier, diberikan oleh:

    E = / atau E = tan

    dimana adalah sudut yang dibentuk oleh daerah elastis kurva tegangan-

    regangan. Modulus elastisitas suatu material ditentukan oleh energi ikat antar

    atom-atom, sehingga besarnya nilai modulus ini tidak dapat dirubah oleh suatu

    proses tanpa merubah struktur bahan. Sebagai contoh diberikan oleh Gambar 2.7

    di bawah ini yang menunjukkan grafik tegangan-regangan beberapa jenis baja:

  • 33

    Gambar 2.7 Grafik tegangan-regangan beberapa baja yang memperlihatkan kesamaan modulus kekakuan

    g. Modulus kelentingan (modulus of resilience)

    Mewakili kemampuan material untuk menyerap energi dari luar tanpa

    terjadinya kerusakan. Nilai modulus dapat diperoleh dari luas segitiga yang

    dibentuk oleh area elastik diagram tegangan-regangan pada Gambar 2.2.

    h. Modulus ketangguhan (modulus of toughness)

    Merupakan kemampuan material dalam menyerap energi hingga terjadinya

    perpatahan. Secara kuantitatif dapat ditentukan dari luas area keseluruhan di

    bawah kurva tegangan-regangan hasil pengujian tarik seperti Gambar 2.2.

    Pertimbangan disain yang mengikut sertakan modulus ketangguhan menjadi

    sangat penting untuk komponen-komponen yang mungkin mengalami

    pembebanan berlebih secara tidak disengaja. Material dengan modulus

    ketangguhan yang tinggi akan mengalami distorsi yang besar karena pembebanan

  • 34

    berlebih, tetapi hal ini tetap disukai dibandingkan material dengan modulus yang

    rendah dimana perpatahan akan terjadi tanpa suatu peringatan terlebih dahulu.

    i. Kurva tegangan-regangan rekayasa dan sesungguhnya

    Kurva tegangan-regangan rekayasa didasarkan atas dimensi awal (luas

    area dan panjang) dari benda uji, sementara untuk mendapatkan kurva tegangan-

    regangan sesungguhnya diperlukan luas area dan panjang aktual pada saat

    pembebanan setiap saat terukur. Perbedaan kedua kurva tidaklah terlampau besar

    pada regangan yang kecil, tetapi menjadi signifikan pada rentang terjadinya

    pengerasan regangan (strain hardening), yaitu setelah titik luluh terlampaui.

    Secara khusus perbedaan menjadi demikian besar di dalam daerah necking. Pada

    kurva tegangan-regangan rekayasa, dapat diketahui bahwa benda uji secara aktual

    mampu menahan turunnya beban karena luas area awal Ao bernilai konstan pada

    saat penghitungan tegangan = P/Ao. Sementara pada kurva tegangan-regangan

    sesungguhnya luas area actual adalah selalu turun hingga terjadinya perpatahan

    dan benda uji mampu menahan peningkatan tegangan karena = P/A. Gambar2.5

    di bawah ini memperlihatkan contoh kedua kurva tegangan-regangan tersebut

    pada baja karbon rendah (mild steel).

    Gambar2.8 Perbandingan antara kurva tegangan-regangan rekayasa dari baja karbon rendah.

  • 35

    j. Model perpatahan material

    Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan

    perpatahan seperti diilustrasikan oleh Gambar 2.6 di bawah ini:

    Perpatahan ulet memberikan karakteristk berserabut (fibrous) dan gelap

    (dull), sementara perpatahan getas ditandai dengan permukaan patahan yang

    berbutir (granular) dan terang. Perpatahan ulet umumnya lebih disukai karena

    bahan ulet umumnya lebih tangguh dan memberikan peringatan lebih dahulu

    sebelum terjadinya kerusakan Pengamatan kedua tampilan perpatahan itu dapat

    dilakukan baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan stereoscan

    macroscope.

    a. Perpatahan ulet

    Gambar 2.10 di bawah ini memberikan ilustrasi skematis terjadinya

    perpatahan ulet pada suatu spesimen yang diberikan pembebanan tarik:

    Gambar 2.10 Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik

    Gambar 2.9 Ilustrasi penampang samping bentuk perpatahan benda uji tarik sesuai tingkat keuletan/kegetasan.

  • 36

    (a) Penyempitan awal

    (b) Pembentukan rongga-rongga kecil (cavity)

    (c) Penyatuan rongga-rongga membentuk suatu Retakan

    (d) Perambatan retak

    (e) Perpatahangeser akhir pada sudut 45.

    b. Perpatahan Getas

    Perpatahan getas memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

    1. Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada material

    2. Retak/perpatahan merambat sepanjang bidang-bidang kristalin membelah

    atom-atom material (transgranular).

    3. Pada material lunak dengan butir kasar (coarse-grain) maka dapat dilihat

    pola-pola yang dinamakan chevrons or fan-like pattern yang berkembang

    keluar dari daerah awal kegagalan.

    4. Material keras dengan butir halus (fine-grain) tidak memiliki pola-pola

    yang mudah dibedakan.

    5. Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan yang

    bercahaya dan mulus.

    2.10. Pengujian Keuletan

    Bahan uji diberikan gaya tekan. Rumus tegangan dan regangan sama

    dengan yang dipakai pada uji tarik, hanya tanda beban negative (tekan). Hasil uji

    akan memberikan harga negatif. Tegangan geser di rumuskan :

    = 0A

    F F = gaya yang diberikan

    Ao = luas bidang permukaan

  • 37

    2.11 Pengujian Kekuatan Benturan

    Dasar pengujian kekuatan benturan ini adalah penyerapan energi potensial

    dari pendulum beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk

    benda uji sehingga benda uji mengalami deformasi. Gambar 2.11 di bawah ini

    memberikan ilustrasi suatu pengujian kekuatan benturan dengan metode Charpy:

    Gambar 2.11. Ilustrasi skematis pengujian kekuatan benturan dengan Charpy

    Pada pengujian kekuatan benturan ini banyaknya energi yang diserap oleh

    bahan untuk terjadinya perpatahan merupakan ukuran ketahanan benturan atau

    ketangguhan bahan tersebut. Pada Gambar 2.11 di atas dapat dilihat bahwa setelah

    benda uji patah akibat deformasi, bandul pendulum melanjutkan ayunannya

    hingga posisi h. Bila bahan tersebut tangguh yaitu makin mampu menyerap

    energi lebih besar maka makin rendah posisi h. Suatu material dikatakan tangguh

    bila memiliki kemampuan menyerap beban kejut yang besar tanpa terjadinya retak

    atau terdeformasi dengan mudah. Pada pengujian kekuatan benturan, energi yang

    diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan dalam satuan Joule dan dibaca

    langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi yang terdapat pada

  • 38

    mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan yang diuji dengan metode Charpy

    diberikan oleh :

    Dimana E adalah energi yang diserap dalam satuan Joule dan A luas

    penampang di bawah takik dalam satuan mm2. Secara umum benda uji impak

    dikelompokkan ke dalam dua golongan sampel standar yaitu : batang uji Charpy

    sebagaimana telah ditunjukkan pada Gambar 2.8, banyak digunakan di Amerika

    Serikat dan batang uji Izod yang lazim digunakan di Inggris dan Eropa. Benda uji

    Charpy memiliki luas penampang lintang bujur sangkar (10 x 10 mm) dan

    memiliki takik (notch) berbentuk V dengan sudut 45o, dengan jari-jari dasar 0,25

    mm dan kedalaman 2 mm. Benda uji diletakkan pada tumpuan dalam posisi

    mendatar dan bagian yang bertakik diberi beban impak dari ayunan bandul,

    sebagaimana telah ditunjukkan oleh Gambar 2.11. Benda uji Izod mempunyai

    penampang lintang bujur sangkar atau lingkaran dengan takik V di dekat ujung

    yang dijepit. Perbedaan cara pembebanan antara metode Charpy dan Izod

    ditunjukkan oleh Gambar 2.12 di bawah ini:

    Gambar 2.12. Ilustrasi skematik pembebanan impak pada benda uji Charpy dan Izod

  • 39

    Serangkaian uji Charpy pada satu material umumnya dilakukan pada

    berbagai temperature sebagai upaya untuk mengetahui temperatur transisi (akan

    diterangkan pada paragraph paragraf selanjutnya). Sementara uji impak dengan

    metode Izod umumnya dilakukan hanya pada temperatur ruang dan ditujukan

    untuk material-material yang didisain untuk berfungsi sebagai cantilever. Takik

    (notch) dalam benda uji standar ditujukan sebagai suatu konsentrasi tegangan

    sehingga perpatahan diharapkan akan terjadi di bagian tersebut. Selain berbentuk

    V dengan sudut 45o, takik dapat pula dibuat dengan bentuk lubang kunci (key

    hole). Pengukuran lain yang biasa dilakukan dalam pengujian impak Charpy

    adalah penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan

    (fracografi) yang terjadi. Secara umum sebagaimana analisis perpatahan pada

    benda hasil uji tarik maka perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:

    1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme

    pergeseran bidang bidang kristal di dalam bahan (logam) yang ulet (ductile).

    Ditandai dengan permukaan patahan berserat yang berbentuk dimpel yang

    menyerap cahaya dan berpenampilan buram.

    2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan

    (cleavage) pada butir-butir dari bahan (logam) yang rapuh (brittle). Ditandai

    dengan permukaan patahan yang datar yang mampu memberikan daya pantul

    cahaya yang tinggi (mengkilat).

    3. Perpatahan campuran (berserat dan granular). Merupakan kombinasi dua jenis

    perpatahan di atas.

    Selain dengan harga impak yang ditunjukkan oleh alat uji, pengukuran

    ketangguhan suatu bahan dapat dilakukan dengan memperkirakan berapa persen

  • 40

    patahan berserat dan patahan kristalin yang dihasilkan oleh benda uji yang diuji

    pada temperatur tertentu. Semakin banyak persentase patahan berserat maka dapat

    dinilai semakin tangguh bahan tersebut. Cara ini dapat dilakukan dengan

    mengamati permukaan patahan benda uji di bawah miskroskop stereoscan.

    Informasi lain yang dapat dihasilkan dari pengujian impak adalah temperatur

    transisi bahan.

    Temperatur transisi adalah temperatur yang menunjukkan transisi

    perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji pada temperatur yang berbeda-

    beda. Pada pengujian dengan temperatur yang berbeda-beda maka akan terlihat

    bahwa pada temperatur tinggi material akan bersifat ulet (ductile) sedangkan pada

    temperatur rendah material akan bersifat rapuh atau getas (brittle). Fenomena ini

    berkaitan dengan vibrasi atom-atom bahan pada temperatur yang berbeda dimana

    pada temperatur kamar vibrasi itu berada dalam kondisi kesetimbangan dan

    selanjutnya akan menjadi tinggi bila temperatur dinaikkan (ingatlah bahwa energi

    panas merupakan suatu driving force terhadap pergerakan partikel atom bahan).

    Vibrasi atom inilah yang berperan sebagai suatu penghalang (obstacle) terhadap

    pergerakan dislokasi pada saat terjadi deformasi kejut/impak dari luar. Dengan

    semakin tinggi vibrasi itu maka pergerakan dislokasi mejadi relatif sulit sehingga

    dibutuhkan energi yang lebih besar untuk mematahkan benda uji. Sebaliknya pada

    temperatur di bawah nol derajat Celcius, vibrasi atom relatif sedikit sehingga pada

    saat bahan dideformasi pergerakan dislokasi menjadi lebih mudah dan benda uji

    menjadi lebih mudah dipatahkan dengan energi yang relatif lebih rendah.

    Informasi mengenai temperatur transisi menjadi demikian penting bila

    suatu material akan didisain untuk aplikasi yang melibatkan rentang temperatur

  • 41

    yang besar, misalnya dari temperatur di bawah nol derajat Celcius hingga

    temperatur tinggi di atas 100 derajat Celcius, contoh sistem penukar panas (heat

    exchanger). Hampir semua logam berkekuatan rendah dengan struktur kristal

    FCC seperti tembaga dan aluminium bersifat ulet pada semua temperatur

    sementara bahan dengan kekuatan luluh yang tinggi bersifat rapuh. Bahan

    keramik, polimer dan logam-logam BCC dengan kekuatan luluh rendah dan

    sedang memiliki transisi rapuh-ulet bila temperatur dinaikkan. Hampir semua baja

    karbon yang dipakai pada jembatan, kapal, jaringan pipa dan sebagainya bersifat

    rapuh pada temperatur rendah. Gambar 2.13 memberikan ilustrasi efek temperatur

    terhadap kekuatan benturan beberapa bahan, sedangkan Gambar 2.14 menyajikan

    bentuk benda uji berdasarkan ASTM E-23-56T.

    Gambar 2.13. Efek temperatur terhadap kekuatan benturan beberapa material

  • 42

    Gambar 2.14. Bentuk dan dimensi benda uji berdasarkan ASTM E23-56T

  • 43

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

    Penelitian tugas akhir ini di lakkukan selama 6 bulan dari September 2009

    sampai Maret 2010. Pengujian tarik, pengujian kelenturan dan pengujian impack

    di lakukan di laboratorium mekanik, sedangkan pengujian kekerasan dilakukan di

    laboratorium metalografi Balai Pengkajian Penelitian Teknologi (BPPT)

    Tangerang.

    3.2. Bahan dan Peralatan

    Adapun alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai

    berikut dibawah ini.

    3.2.1. Bahan

    Bahan baku untuk sempel uji ini terbuat dari slab yang diproduksi oleh

    pabrik baja Slab (Slab Steel Plant/ SSP). Bahan baku lembar baja atau slab ini

    adalah besi sepons dan scrap ditanbah dengan batu kapur, serta dicampur dengan

    unsur-unsur lain seperti C, Fe, dan Si. Pabrik ini memproduksi baja slab dengan

    ukuran : tebal 200 mm, lebar 600-2080 mm, dan panjang maksimum 12.000 mm,

    dengan berat maksimum 30 ton. Baja yang digunakan sebagi sampel ini memiliki

    tebal 200 mm dan lebar 950 mm dan panjang 12. 000 mm dan berat 30 ton. Baja

    yang dihasilkan dari SSP ini merupakan baja ultra low carbon dengan kandungan

    gas terlarut (hydrogen dan nitrogen) relatif rendah. Hasil produksi SSP ini

    kemudian dikirim ke Pabrik Baja Lembar Panas (Hot Strip Mill/HSM).

  • 44

    Di HSM slab mengalami reduksi ketebalan sehingga berbentuk sheet

    dengan pemanasan suhu 1250 0C dan kemudian dilakukan pengerolan panas

    (milling). Pengendalian proses dilakukan secara otomatis dengan control set up

    computer sehingga terbentuklah baja berupa lembaran, kemudian dari lembaran

    tersebut di potong sesuai ukuran bahan pengujian.

    Gambar 3.1 skema produksi SSP

    3.2.2. Peralatan Pembuatan Bahan

    Pealatan utama yang digunakan pabrik baja lembaran panas adalah :

    a. Reheating Furnace

    b. Sizing Press

    c. Roughing Mill

    d. Thermopanel

    e. Corp Shear

    f. Finishing Mill

    g. Laminar Cooling

    h. Down Coiler

    i. Shearing Line

  • 45

    3.2.3 Peralatan Pengujian Peralatan yang digunakan dalam pengujian sample ini adalah sebagai beerikut. a. Sinar Radiasi (sinar x)

    b. Film Radiografi

    c. Survey meter

    d. Tensil Test Machine

    e. Impact Test Machine

    f. Extenso

    g. Brinell Test Machine

    h. Alat pemotong

    j. Grinding k. Polishing

    3.3 Penyiapan Bahan

    Tahapan proses pembuatan bahan secara garis besar terdapat 7 tahap yang

    masing-masing tahapan dijelaskan sebagaimana berikut: Tahap I

    Proses produksi dimulai dari pembersihan slab terlebih dahulu dari scale

    yang terbentuk, menggunakan cold descaling device. Kemudian slab ditransferkan

    melalui cold roll table. Selanjutnya slab masuk kedalam reheting furnace untuk dipanaskan sampai dengan suhu 1250oC selanjutnya slab dikeluarkan oleh extraktor dari furnace untuk diletakkan di hot roll table.

    Tahap II

    Setelah slab mencapai panas yang diinginkan, slab keluar dari hot roler

    table menuju mesin sizing press sebelum memasuki sizing press, slab membara

  • 46

    tersebut dibersihkan di water discaller dari scale dan terak yang terbentuk karena

    reaksi kimia yang terjadi didalam furnace. Air disemprotkan dengan tekanan 200

    bar untuk membersihkan primeris scale dan terak. Pada sizing press ini lebar slab

    direduksi, alat yang dibeli dari jepang ini juga berfungsi meringankan kerja

    vertikal edger dalam mempertahankan lebar slab. Suhu pengerjaan pada tahap ini

    adalah sekitar 1180-12000C

    Tahap III

    Selanjutnya slab yang telah direduksi lebarnya meluncur diatas roler table

    menuju mesin beruikutnya. Pada bagian ini terintegrasi tiga alat sekaligus yaitu

    water discaler untuk membersihkan scon dari skill yang masih tersisa, kemudaian

    masuk vertikal edgerol untuk menjaga lebarnya kemudian lansung masuk dalam

    roughing untuk dibentuk menjadi vorband (jerman) atau transferbar (baja

    lembaran yang lebih tinggi dan panjang). Pada roughing slab dirol 5-9 kali sampai

    didapat ketebalan yang diinginkan. Slab dibersihkan dari scale dan terak pada

    pengerolan maju yang pertama dan terakhir

    Tahap IV

    Produk dari pengerjaan pada tahap III diatas disebut vorban atau

    transferbar. Diantara roughing dan finishing mill digunakan thermopanel, dimana

    fungsinya adalah mengurangi kalor yang terbuang sebelum vorband masuk

    croupshear, karena ketidak sesuaian suhu akan menyebabkan pengerjaan kurang

    sempurna.

    Croupshear adalah alat yang digunakan untuk memotong kepala dan ekor

    vorband agar mudah masuk kedalam finishing stands. Kepala dan ekor vorband

    strip biasanya melengkung keatas atau kebawah atau juga bengkok ke kiri atau ke

  • 47

    kanan. Jika tidak dipotong, ini akan menyulitkan saat memasuki finishing stands.

    Akibat lebih parah adalah kerusakan roll.

    Tahap V

    Setrip memasuki finishing stands yang merupakan 6 roll kontinu dimana

    fungsinya adalah untuk menipiskan dan menghaluskan permukaan strip.

    Pengalusan ini juga dengan pengerolan. Tetapi juga dengan beban yang

    diringankan sehingga reduksi tebalnya sangat kecil. Pada akhir pengerolan disini,

    strip melewati electric recorder yang berfungsi merekam segala kondisi dari strip

    meliputi dimensi, tebal dan lebar, suhu, dan kondisi permukaan yang selanjutnya

    tercatat dalam sistem komputer sebagai status produk dari awal sampai dengan

    proses ini.

    Tahap VI

    Selanjutnya strip ini meluncurkan plan melewati laminar cooling

    didinginkan suhunya sehingga mencapai 6000C. Proses pendinginan ini

    menggunakan media air yang disemprotkan dari atas dan dari bawah dengan

    tekanan tertentu. Selanjutnya strip sampai di down coiler untuk digulung menjadi

    coil. Ada dua mesin down coiler yang tersedia dan bekerja bergantian. Setelah

    selesai kemudian hot roller coil (HRC) tersebut mengalami inspeksi dimensi dan

    visual inspection. Sampai disini proses utama selesai.

    Tahap VII

    Selanjutnya HRC dipindahkan ke gudang dengan transforter untuk

    didinginkan. Setelah dingin, baru kemudian coil ini mengalami penanganan hasil

    produksi (PHP). Coil yang telah dingin Masuk shearing line 1 untuk dibuat plate

    dari bentuk plate ini dipotong untuk kemudian dijadikan sampel pengujian.

  • 48

    3.4 Tahapan Penelitian

    Tahapan penelitian ini melilputi :

    Gambar 3.2 Diagram Alir penelitian

    3.5 Pengujian Bahan

    Untuk mengetahui apakah bahan baku tabung gas 3kg produksi PT. X dapat

    digunakan sebagai bahan baku tabung gas 3 kg, maka bahan baku baja tersebut

    dikenakan beberapa pengujian, yaitu uji meknik (uji tarik, uji kekerasan, uji tekan

    dan uji impak), uji komposisi dan pengamatan metalografi.

    Uraian tentang prosedur penelitian secara garis besar dimulai dengan

    pengambilan contoh bahan uji untuk bahan baku di PT. X melelui pemotongan sampel bahan baku setelah proses akhir pembuatan bahan baku tersebut. Setelah

    pengambilan contoh baha uji, maka prosedur pengujian dilakukan sesuai dengan prosedur pengujian masing-masing sebagaiman auraian berikut. :

    Preparasi Sampel

    Non Destructive Test

    Pengujian Komposisi

    Destructive Test

    Metalografi

    Banding Test

    Brinell Test

    Impact Test Analisis

    Kesimpulan

    Tensile Test

    Hasil

  • 49

    3.5.1. Pengujian Komposisi Pengujian ini menggunakan metoda radiografi yaitu salah satu non destructive testing yang menggunakan radiasi sinar x. Dimana prinsip kerja dari pesawat atau pembangkit sinar x ini adalah memiliki dua buah kutub listrik katoda

    dan anoda diberi perbedaan tegangan listrik yang cukup tinggi dan berada diruang

    hampa. Sebelum specimen ditembakan dengan sinar x terlebih dahulu digrinda

    seperti terlihat pada gambar 3.3. Specimen di grinda sampai mengkilat untuk

    menghilangkan kotoran yang menempel dan lebih mudah untuk mendeteksi

    komposisi yang terkandung dalam suatu material.

    Gambar 3.3 penggrindaan pada specimen uji

    Setelah penggrindaan specimen diletakan pada pembangkit sinar x untuk

    mendeteksi komposisi hasil dari pendeteksian tersebut ditampilkan pada survey

    meter berupa persentase jumlah komposisi dari benda uji.

    Gambar 3.4 specimen ditempelkan pada pembangkit sinar x

    Gambar 3.5 survey meter pada uji radiografi

  • 50

    3.5.2 Pengujian Metalografi

    Metalografi dilakukan dengan menggunakan peralatan mikroskop atau

    Normal-Mikroskop dengan perbesaran lebih dari 20 : 1 (20x). Pada uji

    metalografi, kerataan dan kehalusan permukaan bahan uji adalah suatu keharusan

    untuk mendapatkan hasil uji yang akurat.

    Adapun tahapan pengujian adalah sebagai berikut :

    1. Memilih dan mengambil sample

    2. Pemotongan Sampel

    Mengambil sampel dari material dasar atau komponen aslinnya

    dilakukan dengan cara memotong mekanis, sampel dipotong arah memenajang

    Selama proses pemotongan sampel yang perlu dihindari adalah perubahan bentuk

    sampel akibat beban alat potong.

    Arah potongan memanjang akan memberikan informasi perubahan bentuk struktur mikro akibat pertumbuhan butir-butir kristal (dalam

    rekristalisasi, atau akibat pengerjaan panas lainnya.

    Gambar 3.6 Alat untuk melakukan pemotongan benda uji

    Gambar 3.7 sampel hasil pemotongan

  • 51

    3. Membentuk atau mencetak sampel

    Membentuk atau mencetak sampel dilakuka didalam suatu cetakan

    plastik atau karet yang kemudian dicorkan suatu cairan tertentu. Tujuan mencetak sampel adalah untuk menjamin permukaan sampel rata, disamping mudah pegang selama proses preparasi (grinding dan polishing). Sampel

    dicetak dengan menggunakan dengan cara dingin, bagian dalam cetakan

    dioleskan bahan pasta khusus atau disemprotkan silicon spray. Pekerjaan ini bertujuan agar memudahkan mengeluarkan sampel dari cetakan. Seperti terlihat pada gambar

    Gambar 3.7 Mencetak sampel cara dingin

    Gambar 3.8 mencetak sample cara dingin Sebagai medium cetak digunakan bubuk technovit atau acryfix yang

    dicampur dengan cairan pengeras dengan perbandingan 1:2, dimana campuran

    cairan tersebut menjadi keras didiamkan 1 jam. 4. Memberi Tanda

    Pekerjaan ini dilakukan sebelum sampel mengalami preparasi, tujuannya : a. Untuk membedakan antara contoh yang satu dengan yang lain.

    b. Untuk memudahkan dalam dokumentasi

    Memberi tanda pada umumnya dikerjakan dengan grafik elektrik pada bagian belakang sampel, sebelum dicetak atau sesudah dicetak.

    5. Grinding

    Pada tingkat pekerjaan ini dipakai mesin grinding putar atau grinding manual. Sebagai medium grinding dipakai kertas amplas silicon karbit (SIC)

  • 52

    dengan berbagai itingkat kekerasan, yaitu kombinasi 80, 220, 330,500, 600,

    800, 1000, 1200, ketika sampel mengalami grinding diatas kertas amplas,

    harus dialiri air bersih secara continue. Tujuan yang untuk menghindari timbulnya panas di pemakaian sampel yang kontak langsung dengan kertas

    amplas.

    Dalam proses grinding, pertama-tama sampel dikerjakan pada kertas amplas yang paling kasar yaitu 80, hasil preparsi tahap ini diperoleh

    permukaan permukaan goresan yang searah dan homogeny, tidak hanya. pada

    permukaan permukaan, tetapi juga pada medium cetaknya. Untuk itu sampel dipegang yang kuat agar tidak bergerak dan diberi sedikit tekanan agar tidak

    bergeser. Pengerjaan ketingkat kekasaran selanjutnya (missal 220), sampel diputar 900 sehingga diperoleh goresan baru yang tegak lurus dan relatif lebih

    halus dari goresan sebelumnya. Demikian seterusnya posisi sampel selalu

    diubah 900 pada tingkat kekasaran berikutnya. Hasil akhir dari proses grinding

    diperoleh permukaan sampel dengan goresan yang searah, halus, dan homogen

    (akibat kekkasaran amplas gradasi 1000 dan 1200). Untuk mengetahui arah

    goresan smple digunakan mikroskop dengan pembesaran rendah. Sebelumnya

    sampel perlu dicuci dengan air dan alkohol lalu dikeringkan dengan alat

    pengering (drayer).