deteksi gen virus epstein

26
DETEKSI GEN VIRUS EPSTEIN-BARR Oleh : Nama : Laila Andini NIM : B1J012053 Kelompok : 3 Rombongan : IV Asisten : Chairunnisa Fadhilah LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI

Upload: laila-andini

Post on 30-Sep-2015

33 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

laporan EBV

TRANSCRIPT

DETEKSI GEN VIRUS EPSTEIN-BARR

Oleh:Nama: Laila AndiniNIM: B1J012053Kelompok: 3Rombongan: IVAsisten: Chairunnisa Fadhilah

LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO2015I. PENDAHULUANA. Latar BelakangKarsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan pada epitel nasofaring yang sulit dideteksi secara dini karena letak keganasan awalnya yang tersembunyi. Hal ini menjadi masalah besar karena prognosis penderita KNF sangat bergantung pada stadium klinis saat dilakukan diagnosis, dimana lebih dari 80% keberhasilan terapi terjadi pada stadium awal (stadium III) dan bila penderita didiagnosis pada stadium lanjut (stadium IIIIV), angka keberhasilan kurang dari 40% (Chan et al, 2005).Karsinoma nasofaring adalah tumor leher di Cina Selatan dan Asia Selatan dimana prevalensi puncak mencapai 50 / 100.000 , tetapi di Westernworld mencapai 1 / 100.000 . Infeksi virus Epstein - Barr ( EBV ) telah diidentifikasi di berbagai jaringan NPC di Cina Selatan dan Asia Selatan, EBV mengekspresikan fase laten antigen pada sel tumor , termasuk EBV antigen nuklir dan protein membran laten ( LMP1 , LMP2A dan LMP2B ) dari protein ini , LMP1 diperkirakan menjadi modulator kunci dalam patogenesis karsinoma nasofaring dari anggota superfamili tumor necrosis factor reseptor , LMP1 dapat mengaktifkan beberapa jalur sinyal onkogenik , termasuk jalur JNK , 8ERK9 dan p3810 . JNK mengaktivasi LMP1 dan diinduksi untuk mengatur p53 fosforilasi , merepresi inhibitor jaringan metaloproteinase- 3 ( - 3 TIMP ) , mengaktifkan DNA methylation dan mengatur proliferasi dan diferensiasi di karsinogenesis dari NPC (Zheng et al, 2012).KNF memiliki prevalensi yang unik, keganasan ini jarang terjadi di beberapa daerah tertentu, sebagai contoh di Eropa atau Amerika Utara, prevalensi KNF hanya 1 per 100.000 penduduk. Namun, di beberapa negara lain KNF memiliki perbedaan prevalensi yang cukup mencolok. Sebagai contoh di propinsi Guang Dong, China Selatan ditemukan kasus KNF tertinggi yaitu 2.500 kasus baru per tahun atau dengan prevalensi 39,84/100.000 penduduk. Di Indonesia sendiri angka kejadiannya sekitar 4,7 kasus baru/100.000 penduduk per tahun. Keunikan prevalensi inilah yang melatarbelakangi pemikiran adanya keterkaitan KNF dengan faktor risiko tertentu. Dewasa ini etiologi dan faktor risiko KNF masih terus diteliti. Penelitian dewasa ini menunjukan bahwa KNF berhubungan erat Epstein-Barr virus (EBV) salah satu jenis herpes virus yang menyebabkan infeksi asimptomatis pada > 90% populasi dunia (Servi et al, 2005).Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel nasofaring. Lesi awal keganasannya terletak pada fossa Rosenmuller. Tumor juga dapat dijumpai pada dinding lateral di depan tuba Eusthakhius, di atap nasofaring dan di daerah tuba Eusthakhius sendiri.World Health Organization (WHO) membagi KNF atas tiga tipe. Tipe 1 WHO yaitu karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 WHO yaitu KNF tanpa keratinisasi dan tipe 3 WHO yaitu KNF tanpa diferensiasi. KNF merupakan penyakit multifaktorial. Penelitian yang baru-baru ini dilakukan menunjukan KNF tipe 3 WHO 100 % berhubungan dengan infeksi EBV (Wan-lun et al, 2011).B. TujuanTujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui langkah-langkah mendeteksi gen virus Epstein-Barr dari sampel darah.

II. MATERI DAN METODEA. MateriAlat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah microsentrifuge tube, vortex, viral spin column, collection tube, wash tube, labu erlenmeyer, microwaveBahan-bahan yang digunakan adalah 20 L proteinase K, 200 L sampel darah, 200 L lysis buffer, 250 L etanol 96%, wash buffer sebanyak 1000 L, 50 L RNAse free water, agarosa sebanyak 0,6 gram, 30 mL TBE buffer, 0,5 L EtBr

B. MetodeMetode yang dilakukan pada praktikum deteksi gen virus Epstein-Barr yaitu :a. Isolasi DNA virus1. Alat dan bahan disiapkan2. Sebanyak 20 L proteinase K, 200 L sampel darah dan 200 L lysis buffer dimasukkan ke dalam microsentrifuge tube kemudian diinkubasi selama 15 menit pada suhu 56oC3. Setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan rendah selama 1 menit4. Lysate ditambahkan 250 L etanol 96%, kemudian divortex selama 15 detik agar campuran homogen5. Setelah homogen, diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang (RT) dan disentrifugasi dengan kecepatan rendah selama 1 menit6. Blood lysate diambil sebanyak 675 L, lalu dipindahkan ke dalam viral spin column bersama collection tube7. Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 6800 x g selama 1 menit pada suhu ruang (RT)8. Collection tube dilepas, kemudian viral spin column dipasangkan pada wash tube baru9. Wash buffer dimasukkan sebanyak 500 L untuk pencucian pertama dan disentrifugasi dengan kecepatan 6800 x g selama 1 menit pada suhu ruang (RT)10. Wash tube dilepas untuk membuang larutan, lalu wash tube dipasang kembali dan ditambahkan wash buffer sebanyak 500 L untuk pencucian kedua11. Disentrifugasi dengan kecepatan 6800 x g selama 1 menit pada suhu ruang (RT)12. Wash tube dilepas untuk membuang larutan, lalu wash tube dipasang kembali dan disentrifugasi dengan kecepatan 13000 x g selama 1 menit pada suhu ruang (RT)13. Setelah itu, ditambahkan 50 L RNAse free water14. Diinkubasi selama 1 menit pada suhu ruang (RT)15. Disentrifugasi dengan kecepatan 13000 x g selama 1 menit pada suhu ruang (RT)16. Disimpan pada suhu -80oCb. Amplifikasi gen BRLF1 menggunakan teknik PCR1. Sebanyak 7,5 L Dream taq PCR master mix dimasukkan ke dalam microsentrifuge tube2. Sebanyak 4,5 L ddH2O dimasukkan ke dalam microsentrifuge tube3. Sebanyak 1 L 10 M forward primer, 1 L 10 M reverse primer dan 1 L DNA komplek dimasukkan ke dalam microsentrifuge tube4. Microsentrifuge tube dimasukkan ke mesin PCRc. Visualisasi hasil deteksi gen BRLF1 menggunakan elektroforesis gel agaraosa1. Sebanyak 0,6 gram agarosa dan 30 mL TBE buffer dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan dipanaskan di microwave selama 1 menit2. Didinginkan sampai suhu 50-60oC lalu ditambahkan EtBr sebanyak 0,5 L 3. Kemudian dituang ke baki yang sudah dipasang comb dan selotip4. Ditunggu selama 25-45 menit atau sampai memadat5. Gel dimasukkan ke dalam tangki elektroforesis6. Sampel dan DNA marka dimasukkan ke dalam tangki elektroforesis7. Setelah itu dirunning selama 75 menit, 70 V dan 500 mA8. Hasil divisualisasikan di Gel-Doc 1000 (157 bp)

III. HASIL DAN PEMBAHASANA. Hasil

Gambar 1. (a) Hasil isolasi rombongan I. (b) Hasil isolasi rombongan II. (c) Hasil isolasi rombongan III. (d) Hasil isolasi rombongan IV.dcba

II

Gambar 2. Hasil PCR tahap I

I

Gambar 3. Visualisasi hasil elektroforesisline 1: DNA marka,line2:hasil PCR tahap 1 sampel no 5, line3:hasil PCR tahap 2 sampel no 5, line4:hasil PCR tahap 1 sampel no 17, line5:hasil PCR tahap 2 sampel no 17, line6:hasil PCR tahap 2 sampel no 10, line 7: hasil PCR tahap 2 sampel no 11, line 8: hasil PCR tahap 1 sampel no 11, line 9: hasil PCR tahap 1 sampel no 10

a

B. Pembahasan

Epstein-Barr Virus (EBV) adalah spesies Human herpesvirus 4 (HHV4) dari genus Lymphocryptovirus dan termasuk dalam familia Herpesviridae. Virus Epstein-Barr (EBV) termasuk Virus herpes simpleks dan Cytomegalovirus yang merupakan salah satu virus-virus paling umum di dalam manusia. Banyak orang yang terkena infeksi EBV, yang sering asymptomatic tetapi biasanya penyakit akibat radang yang cepat menyebar. EBV dinamai menurut Mikhael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama-sama dengan Bert Achong, memukan virus tahun 1964 (Yenita ,2012).Karsinoma Nasofaring merupakan berasal dari Carcinoma yaitu adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis. Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi di Cina bagian selatan. Terdapat tiga faktor etiologi utama yang berhubungan dengan KNF yaitu infeksi EBV, kerentanan genetik dan faktor lingkungan. Di daerah endemik, infeksi EBV terutama berkaitan dengan KNF subtipe WHO-2 dan WHO-3, sedangkan untuk subtipe WHO-1 masih menjadi perdebatan (Farhat, 2009).Mekanisme Molekuler Terjadinya Karsinoma Nasofaring yaitu Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal (Yenita, 2012).Terdapat dua fase infeksi EBV yaitu litik dan laten. EBV menginfeksi sel epitel di orofaring dan rest sel limfosit B. Infeksi yang terjadi di sel epitel dalam fase litik menghasilkan replikasi virus dan pelepasan virion dari sel. Sebaliknya infeksi primer sel B biasanya menghasilkan infeksi laten dengan ekspresi protein tanpa produksi virion. Latensi dari sel B terinfeksi ini dinamakan sel limfoblastoid yang bertransformasi atau immortal dan bereplikasi tanpa batas (Tselis , 2006).Infeksi Laten yaitu infeksi primer sel B biasanya menghasilkan infeksi laten dengan ekspresi protein tanpa produksi virion. Pada infeksi laten, hanya sedikit dari hampir 100 gen EBV yang diekspresikan. Gen-gen laten tersebut yakni 6 EBNA, 2 LMP, 2 Eber, dan transkrip dari BamHI A region dari genom. Hanya EBNA-1 dan LMP1 yang juga terekspresi pada fase litik. Penelitian selanjutnya menunjukan bahwa 5 dari gen-gen di atas penting untuk transformasi sel B (Tselis , 2006).Infeksi Litik yaitu EBV mengkodekan sekitar 90 protein yang diekspresikan selama replikasi pada fase litik. Infeksi yang terjadi di sel epitel dalam fase litik menghasilkan replikasi virus dan pelepasan virion dari sel Seperti virus herpes lain protein ini diklasifikasikan menjadiimmediate-early, early, dan late proteins. Immediate-early protein, yang ditranskripsikan segera paska infeksi dengan adanya penghambat sintesis protein. Early protein diekspresikan dengan adanya penghambat sintesis DNA virus, sedangkan late protein tidak ditranskripsikan. Secara umum gen Immediate-early penting untuk mengatur ekspresi gen dalam virus, Early protein mengkodekan enzim yang penting untuk replikasi DNA virus, dan late protein mengkodekan protein struktural dari virion (Tselis , 2006).Ekspresi gen BRLF1 dpat ditemukan pada jaringan penderita tumor seperi karsinoma nasofaring dan dapat dijadikan pendeteksi awal terjadinya penyebaran kanker ke organ lain seperti kelenjar getah bening, hati, saraf, paru-paru hingga otak (Wahyono at al., 2010). Gen BRLF1 merupakan merupakan factor transkripsi yang kooperatif mengaktifkan ekspreksi gen litik virus Esptein Barr. Gen BRLF1 merupakan gen transaktivator dari gen BZLF1 dimana gen BZLF1 adalah gen induksi replikasi virus pada tahap infeksi litik. Metilasi genom pada virus pada tahap litik mempengaruhi kemampuan BRLF1 untuk mengikt atau mengaktifkan promotor virus litik (Wille at al., 2013).Tahapan isolasi DNA EBV dimulai dengan mencampurkan larutan 20 l proteinase K, 200 l sampel darah, dan 200 l lysis buffer ke dalam tube, kemudian diinkubasi 15 menit dengan suhu 56 C menggunakan water bath. Larutan disentrifugasi dan ditambahkan 250 l ethanol 96% ke dalam tube lysate (campuran dari proteinase). Vortex selama 15 detik dan inkubasi selama 5 menit dalam suhu ruang, selanjurnya disentrifugasi. Blood lysate diindahkan sebanyak 675 l ke dalam viral spin column bersama collection tube, kemudiandisentrifugasi dengan kecepatan 6800 kali gravitasi selama 1 menit. Collection tubeyang terpasang dilepas, kemudian viral spin column dipasangkan pada wash tube baru. Wash bufferditambahkan 50 lsebagai pencucian ke-1 dan disentrifugasi dengan kecepatan 6800 x gdalam suhu ruang selama 1 menit. Larutan dalam wash tube dibuang, kemudian sentrifugasi kembali dengan kecepatan 13000 x g selama 1 menit dengan suhu ruang. Wash bufferditambahkan 50 l sebagai pencucian ke-2, disentrifugasi dengan kecepatan 6800 x g selama 1 menit dengan suhu ruang. Larutan pada wash tube dibuang dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 13000 x g selama 1 menit dengan suhu ruang dan ditambahkan 50 l RNAse freewater, lalu inkubasi selama 1 menit dengan suhu ruang. Sentrifugasi larutan dengan kecepatan 13000 x g selama 1 menit dengan suhu ruang dan simpan larutan pada suhu -80C. Pada tahapan isolasi DNA bahan dan alat yang digunakan mempunyai fungsi masing-masing. Proteinase K mempunyai fungsi untuk melisiskan protein pada selubung virus. Lysisi buffer berfungsi untuk melisiskan kapsid virus. Ethanol 96% berfungsi untuk mengikat dan mengendapkan DNA virus. RNAse freewater berfungsi untuk melarutkan DNA. Wash buffer berfungsi untuk mencuci larutan. Water bath berfungsi untuk aktivasi protein K. Vortex berfungsi untuk menghomogenkan larutan. Viral spin columt dan collection tube berfungsi untuk menyaring larutan.Tahapan amplifikasi gen RRLF1 menggunakan teknik PCR yaitu dengan memasukkan 7,5 l dream taq PCR master mix (2x), 1 l 10 m forward primer, 1 l 10 m reverse primer, 4,5 l ddH2O, dan 1 l DNA template ke dalam tube. Kemudian masukkan tube ke dalam mesin PCR. Atur suhu dan waktu untuk predenaturation 95C selama 5 menit, denaturation 95C selama 30 detik, annealing 63C selama 30 detik, dan extention 72C selama 30 detik pada mesin PCR. Pada tahap ini dilakukan dua kali tahapan dengan tujuan untuk mempertebal pita DNA.Tahapan amplifikasi dapat disebut juga dengan tahapan PCR. Umunya PCR mempunyai tiga tahapan, yaitu denaturasi templat, penempelan primer, dan polimerisasi primer, yang masing-masing berlangsung pada suhu sekitar 95C, 50C, dan 70C. Pada tahap denaturasi, pasangan untai DNA templat dipisahkan satu sama lain sehingga menjadi untai tunggal. Tahap selanjutnya, masing-masing untai tunggal akan ditempeli oleh primer sehingga ada dua buah primer yang masing-masing menempel pada untai tunggal DNA templat. Kedua primer tersebut dinamakan primer maju (forward primer) dan primer mundur (reverse primer). Setelah menempel pada untai DNA templat, primer mengalami polimerisasi mulai dari tempat penempelannya hingga ujung 5 DNA templat. Sehingga, pada akhir putaran reaksi pertama akan diperoleh dua pasang untai DNA jika DNA templat awalnya berupa sepasang untai DNA. Tahapan visualisasi hasil deteksi gen BRLF1 menggunakan elektroforesis gel agarosa yaitu dengan memasukkan 0,6 gr agarosa dan 30mL TBE buffer ke dalam tabung erlenmeyer dan dipanaskan pada microwave. Setelah itu dinginkan sampai suhu larutan berkisar 50-60 C, lalu tambahkan 0,5 L EtBr. Larutan yang sudah dibuat dituangkan ke baki yang sudah dipasang sisiran dan selotip lalu tunggu selama 25-45 menit sampai memadat. Kemudian gel dimasukkan ke tangki elektroforesis, lalu masukkan sampel dan DNA marka. Running dengan tegangan 70 V dan kuat arus 500 mA selama 75 menit. Lihat hasil visualisasi di Gel.doc 1000 (157 bp).Hasil visualisasi DNA yang didapatkan dari praktikum yaitu tidak terlihat pita-pita DNA-nya. Hasil visualisasi bagian yang terlihat hanya primer yang digunakan, sedangkan yang lainnya mengalami smear. Menurut Malina et al. (2012), hasil dari visualisasi yang baik itu akan memperlihatkan pita-pita DNA dan DNA marka yang digunakan. Keberhasilan dari pengujian ini diperngaruhi oleh beberapa faktor seperti, kondisi larutan buffer dan EtBr yang digunakan, kontaminasi silang, umur reagen atau enzim yang dipakai, serta jumlah enzim yang dipakai.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A.KesimpulanKesimpulan dari praktikum ini adalah untuk mendeteksi gen virus Epstein-Barr dari sampel darah dapat dilakukan dengan cara melakukan isolasi DNA dari sampel darah yang akan diuji, kemudian dilakukan amplifikasi gen BRLF1, dan dilakukan visualisasi deteksi gen BRLFI dengan elektroforesis.

B.SaranPelaksanaan praktikum khusus acara ini lebih di kondisikan supaya pembagian materi lebih merata dan praktikan lebih paham.

DAFTAR REFERENSIAlex Tselis and Hal B. Jenson. 2006. Epstein-Barr Virus. Taylor & Francis Group . New York.

Chan JKC, Bray F, McCarron P. 2005. Nashopharyngeal carcinoma dalam: Leon Barnes, ed. Patology & genetics head and neck tumour, WHO classification of tumours. Lyon . IARCPress . 85-7.2. Farhat. 2009. Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 42 No. 1: 59-65. Jian Zheng1*, Bin Liu2*, Liyuan Zhang3*, Lan Jiang1, Binfang Huang2, Yonghe You1, Qingping Jiang2, Shuxu Zhang2,Jiachun Lu2and Yifeng ZhouJian Zheng1*, Bin Liu2*, Liyuan Zhang3*, Lan Jiang1, Binfang Huang2, Yonghe You1, Qingping Jiang2, Shuxu Zhang2,Jiachun Lu2and Yifeng ZhouJian Zheng , Bin Liu , Liyuan Zhang , Lan Jiang , Binfang Huang , Yonghe You , Qingping Jiang , Jiachun Lu and Yifeng Zhou , Shuxu Zhang . 2012 . The Protective Role of Polymorphism MKK4-1304 T>Gin Nasopharyngeal Carcinoma is Modulated by EpsteinBarr Virus Infection Status . Journal International of cancer . 130 . 19811990.Malina, C.A., hidayani A.A., dan Andi P. 2012. Isolasi dan Karakterisasi Gen Penyandi Protein Permukaan VPZ8 White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Udang Windu (Panaeus monodon Fabricus, 1798). Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Unhas, Makasar. Servi J. C. Stevens,Sandra A. W. M. Verkuijlen1, Bambang Hariwiyanto, Harijadi, Jajah Fachiroh, Dewi K. Paramita, I. Bing Tan, Sophia M. Haryana, Jaap M. Middeldorp. 2005. Diagnostic Value of Measuring Epstein-Barr Virus (EBV) DNA Load and Carcinoma-Specific Viral mRNA in Relation to Anti-EBV Immunoglobulin A (IgA) and IgG Antibody Levels in Blood of Nasopharyngeal Carcinoma Patients from Indonesia. Journal of Clinic Microbiology. 43(7): 30663073.Wahyono, D. J, Bambang H, Purnomo S. 2010. Ekspresi gen litik virus Epstein-Barr:Manfaatnya untuk Penegakan Diagnosis Karsinoma Nasofaring. Disertasi. 40 (2).

Wan-Lun Hsu,Kelly J. Yu,Yin-Chu Chien,Chun-Ju Chiang,Yu-Juen Cheng,Jen-Yang Chen . 2011. Familial Tendency and Risk of Nasopharyngeal Carcinoma in Taiwan: Effects of Covariates on Risk. Am J Epidemiol. 173(3):292-9.

Wille, Coral K, Dhananjay M. N, Armanda R Panfil, Michelle M Ko, Stacy R. H, Shanon C.K. 2013. Viral Genome Methylation Differentially Affects the Ability of BZLF1 versus BRLF1 To Activate Epstein-Barr Virus Lytic Gene Expression and Viral Replication. Journal Virology. 87(2).Yenita, Aswiyanti Asri. 2012. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1 Virus Epstein-Barr dengan P53 pada Karsinoma Nasofaring (Penelitian Lanjutan). Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(1).