deteksi geminivirus yang menginfeksi tanaman … · semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi...
TRANSCRIPT
DETEKSI GEMINIVIRUS YANG MENGINFEKSI TANAMAN
TERUNG (Solanum melongena L.) DENGAN TEKNIK
POLYMERASE CHAIN REACTION
TEGA KINTASARI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Deteksi Geminivirus
yang menginfeksi tanaman terung (Solanum melongena L.) dengan teknik
Polymerase Chain Reaction” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Tega Kintasari
NIM A34090045
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
ABSTRAK
TEGA KINTASARI. Deteksi Geminivirus yang menginfeksi terung (Solanum
melongena L.) dengan teknik Polymerase Chain Reaction. Dibimbing oleh SRI
HENDRASTUTI HIDAYAT.
Penyakit yang disebabkan oleh Geminivirus yang ditularkan oleh kutukebul
telah menjadi pembatas dalam budidaya pertanian di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia. Penyakit akibat infeksi Geminivirus yang ditularkan oleh kutukebul
telah dilaporkan menyebabkan kehilangan hasil khususnya cabai dan tomat di
Jawa. Penelitian bertujuan mendeteksi dan mengidentifikasi Geminivirus yang
menginfeksi terung menggunakan polymerase chain reaction (PCR) dan
menganalisis runutan nukleotida. Metode yang digunakan terdiri dari ekstraksi
DNA menggunakan bufer CTAB, amplifikasi DNA dan analisis runutan
nukleotida menggunakan program Bioedit V.7.0.5 dan Clustal W. Tiga pasang
primer universal Geminivirus digunakan dalam amplifikasi DNA yaitu
pAL1v1978/pAR1c715, SPG1/SPG2, dan pAV494/pAC1048. Sampel daun
terung dikoleksi dari Jawa Barat (Bandung) dan Jawa Tengah (Pati, Rembang,
Bantul). Primer universal Geminivirus SPG1/SPG2 berhasil mengamplifikasi
fragmen DNA dengan ukuran ≈912 bp dari semua sampel daun. Analisis runutan
nukleotida menunjukkan bahwa Geminivirus yang menginfeksi terung dari Jawa
Barat dan Jawa Tengah memiliki hubungan kekerabatan genetik yang dekat (98.8
%) dengan Tomato yellow leaf Kanchanaburi virus (TYLCKaV) asal Thailand.
Kata kunci: amplifikasi DNA, analisis nukleotida, primer universal.
ABSTRACT
TEGA KINTASARI. Detection of Geminivirus infecting eggplant (Solanum
melongena L.) using Polymerase Chain Reaction. Supervised by SRI
HENDRASTUTI HIDAYAT.
Diseases caused by whitefly-transmitted Geminiviruses (WTGs) have
become serious constraints for crops throughout the world, including Indonesia.
WTGs has been reported to cause significant yield loss especially in chili pepper
and tomato in Java. This research aims to detect and identify Geminivirus
infecting eggplant using polymerase chain reaction (PCR) and nucleotide
sequencing. The methods involved DNA extraction using CTAB, DNA
amplification and nucleotide sequence analysis by Bioedit V 7.0.5 and ClustalW.
Three pair of universal primers, i.e. pAL1v1978/pAR1c715, SPG1/SPG2,
pAV494/pAC1048, was used for DNA amplification. Infection of Geminivirus
was evidenced from leaves collected from West Java (Bandung) and Central Java
(Pati, Rembang, Bantul). Universal primer SPG1/SPG2 was able to amplify DNA
fragments of ≈912 bp from all leaf samples. Nucleotide analyses showed that
Geminivirus infecting eggplant from West Java and Central Java has a close
relationship (98.8%) with Tomato yellow leaf curl Kanchanaburi virus
(TYLCVKaV) from Thailand.
Key words: DNA amplification, sequence analysis, universal primers.
DETEKSI GEMINIVIRUS YANG MENGINFEKSI TANAMAN
TERUNG (Solanum melongena L.) DENGAN TEKNIK
POLYMERASE CHAIN REACTION
TEGA KINTASARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Usulan : Deteksi Geminivirus yang menginfeksi tanaman terung
(Solanum melongena L.) dengan teknik Polymerase Chain
Reaction.
Nama Mahasiswa : Tega Kintasari
NIM : A34090045
Disetujui oleh
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si
Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Tanggal disetujui :
Judul Usulan
Nama Mahasiswa NIM
Deteksi Geminivirus yang menginfeksi tanaman terung (Solanum melongena L.) dengan teknik Polymerase Chain Reaction. Tega Kintasari A34090045
Disetujui oleh
~C11rk Dr. Jr. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc
Dosen Pembimbing
Tanggal disetujui: '1 9 DE.C 2013
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang selalu
melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dengan judul Deteksi Geminivirus yang menginfeksi terung (Solanum
melongena L.) dengan teknik Polymerase Chain Reaction. Penelitian
dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Juli 2013, di Laboratorium Virologi
Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Sri
Hendrastuti Hidayat, M.Sc selaku pembimbing skripsi atas segala kesabaran,
keikhlasan, bimbingan, arahan, kritik, saran, serta dukungan moril yang sangat
besar dalam penelitian penulis. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada
Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc selaku dosen penguji atas masukan dan saran
selama penyelesaian skripsi, dan kepada Ir. Djoko Prijono, M.Agr.Sc yang telah
memberikan petunjuk dan perbaikan dalam teknik penulisan skripsi selaku
pengajar mata kuliah Teknik Penyajian Ilmiah.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus untuk kedua orang tua,
Subawi, S.Pd dan Suprihatin, S.Pd dan adik Agi Agustian, atas doa, kasih sayang,
semangat, dan nasehat. Disamping itu, ucapan terima kasih dan doa penulis
sampaikan kepada bapak Supeno, Sumarno, Kasminto, Maryono, Asep, dan
Kusnaedi, yang telah membantu selama pengumpulan data. Penulis mengucapkan
terima kasih yang tulus atas dukungan dan semangat yang telah diberikan pada
penulis, untuk teman-teman di laboratorium Virologi, Pondok Surya, Griya Pink,
dan Rigatdezta.
Semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi insan manusia dan
dibidang pendidikan serta pertanian.
Bogor, Desember 2013
Tega Kintasari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
BAHAN DAN METODE 4
Tempat dan Waktu Penelitian 4
Pengambilan Sampel di Lapangan 4
Penghitungan Kejadian Penyakit 4
Deteksi Virus dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) 4
Ektraksi DNA Total 5
Amplifikisi DNA 5
Visualisasi Hasil 6
Perunutan Nukleotida dan Analisis Kekerabatan Genetik 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Gejala Infeksi Virus dan Kejadian Penyakit pada Terung di Lapangan 7
Deteksi Geminivirus pada Terung dengan Teknik PCR 11
Analisis Runutan Nukleotida 14
SIMPULAN DAN SARAN 17
DAFTAR PUSTAKA 18
DAFTAR TABEL
1 Pasangan primer yang digunakan untuk amplifikasi DNA Geminivirus 6 6
2 Variasi gejala infeksi virus pada daun terung di lapangan 9
3 Kondisi pertanaman terung di daerah pengambilan sampel daun 12tanam 10
4 Frekuensi jumlah sampel yang teramplifikasi dengan pasangan primer
SPG1/SPG2 dan gejala pada sampel daun 14
14
5 Tingkat homologi sikuen gen Begomovirus asal terung di JaBar, JaTeng,
dan DIY
16
DAFTAR GAMBAR
1 Gejala infeksi virus pada daun terung di lapangan, A; gejala mosaik
hijau, B; gejala melepuh dan mengecil, C; gejala mengeriting, D; gejala
menguning, E; gejala mosaik menguning
8
2 Amplifikasi DNA Geminivirus pada daun terung dari lapangan dengan
teknik PCR, A; pasangan primer pAV494/pAC1048, B; pasangan primer
SPG1/SPG2, C; pasangan primer pAL1v1978/pAR1c715, M; penanda
DNA, 1; kontrol positif, 2; kontrol negatif, 3; sampel asal Bogor, 4;
sampel asal Bandung, 5; sampel asal Pati, 6; sampel asal Rembang, 7;
sampel asal Bantul
12
DAFTAR LAMPIRAN
1 Organisasi genom monopartit (i) dan bipartit (ii) Begomovirus 22
2 Jenis dan fungsi gen Begomovirus 22
3 Urutan basa nukleotida isolat asal Bogor 23
4 Urutan basa nukleotida isolat asal Bandung 23
5 Urutan basa nukleotida isolat asal Pati 24
6 Urutan basa nukleotida isolat asal Rembang 24
7 Urutan basa nukleotida isolat asal Bantul 25
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Terung, Solanum melongena L. merupakan salah satu tanaman sayur-
sayuran yang dapat ditemukan tumbuh di daerah tropis maupun subtropis.
Walaupun tergolong tanaman tahunan, tanaman terung secara komersial tumbuh
sebagai tanaman setahun. Terung merupakan tanaman yang adaptif dan mudah
ditanam, serta dapat tumbuh sepanjang tahun. Terung hampir tumbuh di semua
wilayah Indonesia baik di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi, walaupun
lebih banyak dibudidayakan di dataran rendah. Tanaman terung dapat tumbuh
baik pada ketinggian 1 – 1200 m di atas permukaan laut (m dpl), pada kondisi
tanah yang subur dan tidak tergenang air dengan pH berkisar 5 - 6. Tanaman
terung juga merupakan tanaman yang toleran terhadap tanah-tanah yang miskin
unsur hara (Nazaruddin 2003).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, terjadi peningkatan
produktivitas dalam budidaya terung di Indonesia sebesar 31.957 ton dari tahun
1997 hingga tahun 2011. Peningkatan produktivitas terung kemungkinan terjadi
karena terung merupakan tanaman sayuran yang adaptif. Tanaman terung juga
tidak terlalu menuntut syarat tumbuh dan teknik budidaya yang rumit, serta bisa
menghasilkan buah dalam waktu yang relatif singkat, yaitu sekitar empat bulan
setelah ditanam (Nazaruddin 2003). Hal tersebut kemungkinan menjadi salah satu
pertimbangan petani dalam menentukan pilihan untuk menanami lahannya dengan
tanaman terung. Kemungkinan lain yang menyebabkan terjadinya peningkatan
produktivitas terung di Indonesia adalah tingginya permintaan terung di pasar,
karena harganya yang relatif murah sehingga mudah dijangkau oleh kalangan
masyarakat menengah kebawah.
Peningkatan produktivitas terung tidak menjamin tanaman ini bebas dari
serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya patogen dari
kelompok virus. Beberapa virus yang dilaporkan menginfeksi terung adalah
Tomatto spotted wilt virus (TSWV) (Dikova 2011), Eggplant blister mosaic virus
(EBMV) (Al-ani 2011), dan Eggplant motteld crinkle virus (EMCV)
(Dombrovsky et al. 2009). Dilaporkan oleh Pratap et al. (2011) dan Green et al.
(2003) bahwa tanaman terung di India dan Thailand terinfeksi oleh berturut-turut
Tomato leaf curl virus (ToLCV) dan Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV).
Kedua virus tersebut termasuk anggota Begomovirus, famili Geminiviridae.
Famili Geminiviridae, atau sering disebut Geminivirus, merupakan
kelompok virus yang telah banyak dilaporkan menyebabkan kerusakan dan
penurunan hasil produk pertanian. Infeksi Geminivirus di Indonesia pada tanaman
cabai dilaporkan terjadi di daerah Jawa Barat pada tahun 1999 (Hidayat et al.
1999). Beberapa tahun kemudian dilaporkan terdapat infeksi Geminivirus pada
cabai rawit di Yogyakarta (Sulandari et al. 2005) dan cabai besar di Sumatera
Barat (Trisno et al. 2008) dengan intensitas serangan berturut-turut 100% dan
67.19%, dan kehilangan hasil mencapai 100 %. Tanaman tomat di Bogor, Jawa
Barat dilaporkan juga terinfeksi oleh Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV),
anggota kelompok Geminivirus. Hasil survei menunjukkan bahwa infeksi
TYLCV pada tanaman tomat di Bogor mencapai 50-70% (Sudiono et al. 2001).
Seperti halnya di Indonesia, infeksi Geminivirus juga dilaporkan terdapat pada
2
tanaman cabai dan tomat di Meksiko dan Amerika Serikat sejak tahun 1990
(Brown and Poulus 1990; Strenger et al. 1990). Geminivirus memiliki kisaran
inang yang sangat luas, mencakup tomat, cabai, terung, singkong, jagung,
mentimun, tembakau, ubi kayu, dan kacang-kacangan. Dilaporkan 13 spesies
gulma yang sering dijumpai tumbuh di sekitar area pertanaman juga merupakan
inang alternatifnya, seperti gulma dari famili Compositae dan Euphorbiaceae
(Sudiono 2001; Meliansyah 2010).
Anggota famili Geminiviridae dikelompokkan ke dalam empat subgrup
berdasarkan organisasi genom, tanamang inang, dan serangga vektor. Subgrup I
(Mastrevirus) terdiri dari virus-virus dengan genom monopartit, yang biasanya
menginfeksi tanaman monokotil dan hanya dapat ditularkan oleh wereng daun.
Maize streak virus (MSV) dan Wheat dwarf virus (WDV) merupakan angggota
dari subgrup I. Subgrup II (Curtovirus) hanya memiliki satu anggota yaitu Beet
curly top virus (BCTV) yang memiliki struktur genom monopartit, hanya mampu
menginfeksi tanaman dikotil dan hanya dapat ditularkan oleh wereng daun.
Subgrup III (Begomovirus) terdiri dari virus-virus yang memiliki struktur genom
monopartit atau bipartit, yang menginfeksi tanaman dikotil dan hanya dapat
ditularkan oleh kutukebul (Bemisia tabaci). Anggota Begomovirus dibagi dalam
dua kelompok berdasarkan komponen genomnya, yaitu genom monopartit dan
genom bipartit. Komponen DNA monopartit dan bipartit mengkode enam open
reading frame (ORF) atau kerangka baca yang menyandikan protein dengan
fungsi yang spesifik (Lampiran 1). Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) dan
Tomato golden mosaic virus (TGMV) merupakan anggota Begomovirus yang
berturut-turut memiliki organisasi genom monopartit dan bipartit. Subgrup IV
(Topucovirus) memiliki organisasi genom yang mirip dengan Curtovirus dan juga
menginfeksi tanaman dikotil, tetapi penularannya di alam hanya dapat dilakukan
oleh wereng pohon. Tomato pseudocurly top virus (ToPCTV) merupakan anggota
subgrup IV (Bisaro 1994; Hull 2002).
Kutukebul (Bemisia tabaci Gennadius) merupakan serangga vektor yang
sangat berperan dalam penyebaran dan penularan Begomovirus di alam.
Begomovirus ditularkan secara persisten sirkulatif oleh kutukebul, artinya setelah
masuk ke dalam tubuh vektor virus akan bertahan dan memperbanyak diri di
dalam tubuh vektornya. Kutukebul diketahui merupakan serangga fitofag dengan
kisaran inang yang sangat luas, meliputi tanaman dari famili Asteraceae,
Malvaceae, Solanaceae, Cruciferaceae, Lamiaceae, Euphorbiaceae, Fabaceae,
Begnoniaceae, Lythraceae, dan Zygophyllaceae (Oliveira et al. 2001; Perring
2001). Banyaknya jenis tanaman inang dari Begomovirus dan kutukebul
menyebabkan virus ini dapat tersebar dengan baik di berbagai belahan dunia.
Terung merupakan salah satu tanaman yang disukai oleh B tabaci, dan
diketahui merupakan salah satu tanaman inang dari Begomovirus (Sudiono 2001;
Hendrival et al. 2011). Baru-baru ini di India telah dilaporkan adanya infeksi
Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) pada tanaman terung oleh Pratap et al.
(2011). Gejala akibat infeksi TYLCV pada terung di India adalah mosaik kuning
dan belang pada daun. Hingga saat ini di Indonesia belum diketahui adanya
laporan mengenai infeksi Begomovirus pada tanaman terung.
Deteksi Begomovirus umumnya dilakukan menggunakan metode molekuler
Polymerase Chain Reaction (PCR). Metode serologi tidak banyak dilakukan
untuk Begomovirus karena ketersediaan antibodi yang terbatas. Metode PCR
3
dengan menggunakan primer universal Begomovirus telah berhasil
mengidentifikasi beberapa jenis virus diantaranya Pepper yellow leaf curl virus
(PepYLCV) dengan primer pAV494/pAC1048 (Sulandari et al. 2005), Sweet
potato leaf curl virus (SPLCV) dengan primer SPG1/SPG2 (Li et al. 2004), dan
Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) dengan primer pAL1v1978/pAR1c715
(Salati et al. 2002).
Pada awal tahun 2013 dilaporkan munculnya gejala mosaik kuning pada
tanaman terung di beberapa wilayah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Daerah
Istimewa Yogyakarta seperti yang diuraikan oleh Pratap et al. (2011). Oleh karena
itu perlu konfirmasi adanya infeksi Geminivirus pada tanaman terung tersebut.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan mendeteksi dan mengidentifikasi Geminivirus yang
menginfeksi tanaman terung di beberapa daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Daerah Istimewa Yogyakarta dengan teknik molekuler yaitu PCR dan sikuensing.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai infeksi
Geminivirus pada tanaman terung dan penyebarannya di berbagai daerah
penanaman terung di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Strategi pengendalian akan dapat disarankan untuk mencegah penyebaran
penyakit yang semakin meluas.
4
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Survei dan koleksi tanaman sakit dilakukan di daerah pertanaman terung di
Jawa Barat, Jawa Tengah, serta Daerah Istimewa Yogyakarta. Deteksi virus
dilaksanakan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai Februari sampai Juli
2013.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Tanaman
Sampel tanaman diambil dari beberapa daerah pertanaman terung di Jawa
Barat (Bandung, dan Bogor), Jawa Tengah (Pati, Rembang, dan Blora), dan
Daerah Istimewa Yogyakarta (Bantul). Sampel yang diambil berupa daun yang
menunjukkan gejala penyakit akibat infeksi virus yaitu mosaik hijau, melepuh
dan mengecil, mengeriting, menguning, dan mosaik kuning.
Deskripsi gejala dan dokumentasi dengan digital camera dilakukan untuk
masing-masing sampel lapangan. Sampel daun kemudian dipotong kecil-kecil dan
dibungkus dalam kertas tisu, setelah itu dimasukkan dalam kantung plastik dan di
dalamnya diberi silica gel. Pemberian silica gel ditujukan untuk mengikat air dari
udara sehingga mengurangi kelembapan dan mengurangi kemungkinan busuknya
daun.
Penghitungan Kejadian Penyakit
Pengamatan tanaman sampel dilakukan secara visual yaitu dengan melihat
ada tidaknya gejala penyakit akibat infeksi virus. Metode pengamatan kejadian
penyakit di lapangan dilakukan secara acak sistematis, yaitu dengan menetapkan
tanaman ke-tujuh dan kelipatannya pada masing-masing baris sebagai tanaman
sampel. Misalnya untuk lahan dengan luas sekitar 1000 m2 dengan 22 bedengan
dan jumlah tanaman per bedengan sekitar 42 tanaman akan diambil sampel
sebanyak 40 tanaman. Penghitungan kejadian penyakit di lapangan mengikuti
rumus sebagai berikut :
KP = x 100 %
dengan KP, kejadian penyakit; n, jumlah tanaman yang menunjukkan
gejala; N, jumlah tanaman yang diamati.
Deteksi Virus dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase Chain Reaction merupakan teknik sintesis dan amplifikasi
DNA secara in vitro. Teknik ini digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA
dengan waktu yang singkat. Metode PCR dilakukan melalui tahapan ekstraksi
DNA, amplifikasi DNA, dan visualisasi hasil PCR dengan gel agarosa.
5
Ekstraksi DNA Total Tanaman. Ekstraksi DNA total dilakukan
menggunakan metode CTAB (Doyle dan Doyle 1990) dengan beberapa
modifikasi. Sebanyak 10 ml bufer ekstraksi (2% CTAB, 100 mM Tris pH 8, 10
mM EDTA, 5 M NaCl), dipanaskan dalam penangas air pada suhu 65 ºC. Sampel
daun sebanyak 0.1 g digerus dalam 500 µl bufer yang telah dicampur dengan 5 µl
merkaptoetanol (1% 2-β-merkaptoetanol), setelah itu dimasukkan dalam tabung
mikro berukuran 1.5 ml. Hasil campuran selanjutnya diinkubasi dalam penangas
air pada suhu 65 ºC selama 60 menit dan setiap 10 menit sekali dibolak-balik
untuk membantu proses lisis. Setelah 60 menit tabung yang berisi campuran
tersebut diambil dari penangas air dan didiamkan selama 2 menit pada suhu ruang,
kemudian ditambahkan 500 µl campuran Chloroform:Isoamilalcohol (CI) dengan
perbandingan 24:1 (v:v). Agar tercampur dengan baik tabung dibolak-balik
selama 5 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 15
menit dan diambil supernatannya. Supernatan yang diperoleh diambil secara hati-
hati dan dipindahkan ke tabung baru, kemudian ditambahkan 0.1 volume sodium
asetat dan 2.5 kali etanol absolut. Setelah diinkubasi pada suhu -20 ºC selama satu
malam, tabung disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 10 menit.
Pelet hasil sentrifugasi dicuci dengan menambahkan etanol 70% sebanyak 500 µl,
kemudian disentrifugasi kembali dengan kecepatan 8000 rpm selama 8 menit, dan
pelet yang dihasilkan dikeringkan. Setelah kering, pelet yang diperoleh dilarutkan
dalam 50 µl bufer TE 1x (10 mM Tris-HCl pH 8.0, 1 mM EDTA).
Amplifikasi DNA. DNA hasil ektraksi kemudian digunakan untuk
amplifikasi pita DNA yang spesifik. Komposisi bahan yang digunakan dalam
reaksi PCR adalah H2O (14.5 – 17.3 µl), bufer 10x yang mengandung Mg2+
(2.5
µl), dNTP 2.5 mM (2 µl), Primer Forward dan Reverse masing-masing sebanyak
1 µl, Dream Taq Polymerase (0.2 – 0.3 µl), dan MgCl 25 mM (0.2 µl). Tiga jenis
primer universal Geminivirus digunakan untuk amplifikasi, yaitu
pAV494/pAC1048, SPG1/SPG2, dan pAL1v1978/pAR1c715 (Tabel 1). Program
amplifikasi untuk masing-masing primer universal mengikuti pedoman dari
sumber rujukan. Program amplifikasi untuk pAV494/pAC1048 terdiri dari tahap
predenaturasi pada suhu 95 ºC selama 1 menit, dilanjutkan denaturasi untuk
memisahkan utas ganda DNA pada suhu 95 ºC selama 20 detik, kemudian
annealing untuk penempelan primer pada sikeun DNA target pada suhu 53 ºC
selama 40 detik, elongasi untuk sintesis sikuen DNA baru pada suhu 72 ºC selama
30 detik, dilanjutkan dengan tahapan pasca extension pada suhu 72 ºC selama 5
menit dan diakhiri dengan 4 ºC untuk suhu penyimpanan (Wyatt dan Brown
1996). Program amplifikasi untuk SPG1/SPG2 adalah predenaturasi 94 ºC selama
5 menit, denaturasi 94 ºC selama 1 menit, annealing 50 ºC selama 1 menit,
elongasi 72 ºC selama 1 menit, extension 72 ºC selama 7 menit, dan penyimpanan
pada suhu 4 ºC (Li et al. 2004). Program amplifikasi untuk
pAL1v1978/pAR1c715 adalah predenaturasi 94 ºC selama 5 menit, denaturasi 94
ºC selama 1 menit, annealing 50 ºC selama 1 menit, elongasi 72 ºC selama 3
menit, extension 72 ºC selama 3 menit, dan penyimpanan pada suhu 4 ºC (Rojas et
al. 1993).
6
Tabel 1 Pasangan primer yang digunakan untuk amplifikasi DNA Geminivirus
Pasangan
primer
Urutan basa (5’ – 3’) Ukuran
target
DNA
Sumber
Rujukan
pAV494
pAC1048
5’-GCCCATGTATAGAAAGCCAAGTACGC-3’
5’GGATTAGAGGCATGTGTACATGGGAATC-3’
≈550 bp (Wyatt
dan
Brown
1996)
SPG 1
SPG 2
5’-CCCCKGTGCGWRAATCCAT-3’
5’-ATCCVAAYWTYCAGGGAGCTAA-3’ ≈912 bp (Li et al.
2004)
pAL1v1978
pAR1c715
5’-GCATCTGCAGGCCCACATYGTCTTYCCNGT-3’
5’- GATTTCTGCAGTTDATRTTYTCRTCCATCCA-3’ ≈1600
bp
(Rojas et
al. 1993)
Visualisai Hasil PCR. Fragmen DNA hasil amplifikasi divisualisasi pada
1% gel agarosa dalam 0.5x bufer TBE (Tris-borate EDTA). Sebanyak 0.3 g
agarosa dilarutkan dalam 30 ml bufer TBE dan dipanaskan dalam microwave
selama 2 menit agar tercampur merata. Larutan agarosa tersebut didiamkan
sampai hangat, kemudian dituang ke dalam cetakan dan didiamkan hingga
memadat kurang lebih selama satu jam. Setelah memadat, gel agarosa dimasukkan
ke dalam tangki (electrophoresis box) yang berisi bufer TBE (0,5x). Sumuran
pada gel agarosa diisi dengan sampel DNA yang terdiri dari campuran DNA
produk amplifikasi dan loading dye dengan perbandingan 5:1 (v:v). Elektoforesis
dilakukan dengan tegangan 50 volt selama 50 menit, dilanjutkan dengan tegangan
100 volt selama 3 menit. Elektroforesis dimaksudkan untuk memisahkan molekul
DNA dengan menggunakan arus listrik yang memanfaatkan prinsip perbedaan
berat atau besar molekul. Migrasi posisi DNA hasil elektroforesis dideteksi
dengan sistem pengecatan (staining) dengan perendaman DNA dalam larutan
ethidium bromide selama 5 menit, dilanjutkan dengan perendaman dalam air
selama 3 menit. DNA kemudian divisualisasi di bawah UV transiluminator.
Perunutan Nukleotida dan Analisis Kekerabatan Genetik
Produk PCR hasil amplifikasi dikirim ke PT Genetika Science Indonesia,
untuk dilakukan perunutan basa nukleotidanya (sequencing). Data hasil perunutan
basa nukleotida kemudian digunakan untuk analisis kekerabatan menggunakan
beberapa program yaitu multiple alignment, Clustal W dengan software Bioedit
V7.0.5 agar dapat dibandingkan dengan sikuen nukleotida dari virus-virus yang
terlebih dahulu sudah dipublikasikan pada GenBank.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gejala Infeksi Virus dan Kejadian Penyakit pada Tanaman Terung di
Lapangan
Infeksi virus dapat mempengaruhi proses metabolisme tanaman, sehingga
menyebabkan perubahan pertumbuhan tanaman. Perubahan pertumbuhan
tanaman tersebut ada yang dapat diamati secara kasat mata (gejala luar), tetapi ada
pula yang tidak dapat diamati secara kasat mata (gejala dalam). Infeksi virus yang
terjadi di dalam sel tanaman akan mempengaruhi sintesis protein dan asam
nukleat dari sel tanaman yang terinfeksi. Infeksi virus juga akan berpengaruh
terhadap jumlah dan bentuk organel sel, seperti mitokondria dan kloroplas, inti
sel, dan dinding sel (Bos 1983; Walkey 1991). Gangguan fisiologis akibat infeksi
virus yang terjadi secara berkelanjutan ditunjukkan dengan gejala luar berupa
perubahan warna, bentuk, dan ukuran baik pada daun, batang, dan buahnya. Jenis
gejala luar yang sering muncul karena infeksi virus adalah bantut (stunting), layu,
mosaik, bercak bercincin (ringspot), daun mengggulung, dan daun menguning.
Gejala dalam yang dapat terjadi akibat infeksi virus adalah berkurangnya ukuran
sel-sel (hipotrofi), berkurangnya jumlah sel-sel (hipoplasia), bertambahnya ukuran
sel-sel (hiperplasia atau proliferasi jika berlebihan), kematian sel (nekrosis), dan
deviasi dalam kandungan sel (degenerasi klorofil dan pembengkakan inti) (Hull
2002). Pengamatan gejala di lapangan relatif mudah dilakukan karena tanaman
sakit menunjukkan pertumbuhan abnormal dibandingkan tanaman sehat yaitu
berupa perubahan bentuk, ukuran, dan warna.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di beberapa daerah pertanaman
terung di Bandung, Bogor, Pati, Rembang, Blora, dan Bantul, terdapat lima
variasi gejala infeksi virus pada tanaman terung. Gejala tersebut tampak pada
daun berupa mosaik hijau, melepuh dan mengecil, mengeriting, menguning, dan
mosaik kuning (Gambar 1). Gejala mosaik yang ditemukan pada tanaman terung
di lapangan, ditunjukkan oleh perbedaan warna daun hijau tua dan hijau muda
yang membentuk pola seperti pulau-pulau pada daun, namun perbedaan warna
tersebut memiliki batasan yang jelas, yaitu terbatas pada tulang daun (ibu dan
anak tulang daun). Gejala mosaik yang ditemukan hanya mengubah warna daun
terung namun tidak mengubah ukuran dan bentuk daun (Gambar 1A). Pada jenis
gejala melepuh dan mengecil daun berubah ukuran, bentuk, serta warnanya. Daun
terlihat lebih kecil dan permukaannya bergelombang, selain itu daerah-daerah
yang bergelombang terlihat seperti dikelilingi warna hijau pucat (Gambar 1B).
Tanaman yang menunjukkan gejala melepuh dan mengecil, pada umumnya
mengalami pengerdilan. Pada jenis gejala mengeriting, permukaan daun menjadi
tidak rata bila diraba, selain itu daun terlihat seperti bersekat-sekat sangat rapat,
tetapi ukuran dan warna daun tidak mengalami perubahan (Gambar 1C). Gejala
menguning ditunjukkan oleh perubahan warna lamina daun dari hijau menjadi
kuning cerah atau kuning pucat, tetapi tidak terjadi perubahan warna pada tulang
daunnya atau tetap berwarna hijau, pada jenis gejala ini tidak terdapat perubahan
ukuran dan bentuk daun (Gambar 1D). Gejala mosaik kuning pada daun berupa
perbedaan warna yang sangat mencolok pada daun, yakni kuning tua dan hijau
tua. Sama hal nya dengan gejala mosaik hijau, warna kuning tua dan hijau tua
8
Gambar 1 Gejala infeksi virus pada tanaman terung di lapangan. (A) gejala
mosaik hijau; (B) gejala melepuh dan mengecil; (C) gejala
mengeriting; (D) gejala menguning keseluruhan; dan (E) gejala
mosaik kuning.
pada gejala mosaik kuning dibatasi oleh ibu dan anak tulang daun (Gambar 1E).
Pada gejala mosaik kuning juga tidak terdapat perubahan ukuran dan bentuk daun,
seperti pada gejala mosaik hijau, dan menguning.
Gejala-gejala seperti diuraikan di atas ditemukan pada daun-daun muda.
Umumnya tanaman yang menunjukkan gejala tidak menghasilkan buah. Beberapa
tanaman yang menunjukkan gejala tetap menghasilkan buah, tetapi buah yang
dihasilkannya memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan buah yang
dihasilkan dari tanaman sehat.
Kelima variasi gejala infeksi virus pada terung ditemukan tersebar secara
acak di masing-masing daerah pengamatan (Tabel 2). Terdapat gejala yang
hampir ditemukan di setiap daerah pengamatan, tetapi ada pula gejala yang hanya
A B
C
E
D
9
Tabel 2 Variasi gejala infeksi virus pada daun terung di lapangan
Variasi gejala Daerah asal sampel daun terung
Bogor Bandung Pati Rembang Blora Bantul
Mosaik hijau + + + + + +
Melepuh,
mengecil + + + + + -
Mengeriting + + + + - -
Menguning - + - - - -
Mosaik
kuning - - - - - +
(+), gejala ditemukan; (-), gejala tidak ditemukan
ditemukan di satu daerah pengamatan saja. Gejala mosaik hijau adalah gejala
yang paling sering muncul dan ditemukan di seluruh daerah pengamatan. Gejala
melepuh dan mengecil hampir ditemukan di semua daerah pengamatan, kecuali di
Bantul (karena sampel dari Bantul merupakan sampel kiriman, dan sampel yang
dikirim adalah sampel dengan gejala mosaik hijau dan mosaik kuning). Gejala
mengeriting hanya ditemukan di daerah Bogor, Bandung, Pati, dan Rembang
sedangkan di Blora dan Bantul tidak ditemukan. Gejala menguning adalah gejala
yang hanya ditemukan di daerah Bandung. Gejala mosaik kuning juga merupakan
gejala yang hanya muncul di satu tempat, yakni di Bantul. Jumlah tanaman
bergejala pada masing-masing daerah pengambilan sampel dan luas lahan
pengamatan menentukan persentase kejadian penyakit di lapangan. Kejadian
penyakit (KP) dari paling tinggi sampai paling rendah berturut-turut adalah
Rembang (23%), Bandung (21%), Pati (9.2%), Bogor (6.3%), dan Blora (5.1%).
Kemunculan gejala yang tidak sama pada masing-masing daerah
pengamatan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti strain virus yang
menginfeksi, kultivar tanaman, umur tanaman saat terserang, dan kondisi
lingkungan pertumbuhan (Polston dan Anderson 1997). Dua strain virus yang
berbeda dapat menyebabkan gejala yang berbeda bila menginfeksi tanaman.
Respon tanaman terhadap infeksi virus digolongkan dalam empat kelompok (Akin
2006). Kelompok pertama adalah tanaman tahan, apabila tanaman hanya
mengalami sedikit infeksi atau infeksi yang terbatas. Kelompok kedua adalah
tanaman toleran, tanaman tidak mengalami penurunan hasil yang nyata meskipun
terjadi infeksi virus dan penyebaran ke bagian lain tanaman. Kelompok ketiga
adalah tanaman yang menunjukkan reaksi hipersensitif, tanaman menunjukkan
gejala bercak lokal nekrosis pada bagian yang terinfeksi, hal ini dimaksudkan agar
virus tidak tersebar ke jaringan tanaman sehat. Kelompok keempat adalah
tanaman rentan, tanaman menunjukkan gejala yang parah dan mengalami
penurunan hasil yang nyata. Umur tanaman juga berpengaruh terhadap gejala
yang muncul pada tanaman. Apabila tanaman terinfeksi pada saat masih muda
(fase vegetatif, belum menghasilkan buah dan bunga) gejala akan lebih banyak
terlihat pada daun tanaman yang masih muda yang aktif tumbuh. Hal tersebut
dikarenakan aliran fotosintat lebih terkonsentrasi pada daun muda ataupun tunas
tanaman. Infeksi yang terjadi saat tanaman masih muda akan menyebabkan
kerusakan yang lebih berat bila dibandingkan dengan infeksi yang terjadi pada
saat tanaman sudah dewasa. Tanaman dewasa lebih tahan terhadap infeksi virus
10
dibandingkan dengan tanaman muda. Proses transportasi asimilat dan
metabolisme yang terjadi pada tanaman dewasa berlangsung lebih lambat
dibandingkan dengan tanaman muda, hal tersebut kemungkinan dapat
mengganggu proses multiplikasi virus yang sepenuhnya bergantung pada tanaman
inangnya (Walkey 1991). Kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman yang
berbeda-beda berpengaruh pada fisiologi dan proses metabolisme yang terjadi di
dalam jaringan tanaman. Hal tersebut mempengaruhi proses multiplikasi dan
replikasi virus di dalam jaringan tanaman yang memanfaatkan perangkat replikasi
inangnya. Kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman
diantaranya adalah penyinaran atau perolehan cahaya matahari, suhu, dan nutrisi.
Intensitas penyinaran oleh cahaya matahari yang tinggi dapat menurunkan tingkat
kerentanan tanaman akibat infeksi virus. Suhu yang tinggi dapat menghambat
proses replikasi virus. Nutrisi yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman juga
dapat mendukung peningkatan kerentanan tanaman inang terhadap infeksi virus
(Walkey 1991).
Kondisi daerah pengambilan sampel memiliki karakteristik yang berbeda
satu sama lain (Tabel 3). Suhu rata-rata berkisar 22 sampai 29 ºC, ketinggian
tempat berkisar 80 sampai 1250 m dpl, luas lahan berkisar 200 sampai 2500 m2,
pola tanam sebagian besar monokultur terung tetapi di Bogor dan Bandung
ditemukan pola tanam tumpangsari terung berturut-turut dengan kacang panjang,
dan tomat serta tembakau.
Tabel 3 Kondisi pertanaman terung di daerah pengambilan sampel daun
Lokasi
(Desa,
Kecamatan,
Kabupaten)
Suhu
rata-rata
(ºC)
Ketinggian
tempat
(m dpl)
Luas
lahan
(m2)
Pola tanam Varietas
Cibereum,
Dramaga,
Bogor
25 200 300 Tumpang
sari (Kacang
panjang)
Kopek
Cikole,
Lembang,
Bandung
22 1250 2500 Tumpang
sari (Tomat
dan
Tembakau)
Kopek
Bapoh,
Wedarijaksa,
Pati
25 500 1000 Monokultur Kopek
Pedak,
Sulang,
Rembang
28 150 200 Monokultur Kopek
Gedang
dowo,
Jepon, Blora
29 350 1000 Monokultur Hibrida
Bantul,
Yogyakarta
28 80 400 Monokultur Kopek
11
Sampel terung asal Bogor, Bandung, Pati, Rembang, dan Bantul berasal dari
varietas yang sama, yaitu varietas “Kopek”. Terung asal Blora secara fisik
berbeda dengan kelima terung yang lainnya, karena terung ini merupakan terung
hibrida asal Jepang. Keenam sampel dari masing-masing daerah berasal dari
tanaman dengan kisaran umur yang berbeda, yaitu 65 hari, 90 hari, 105 hari, 70
hari, 116 hari, 30 hari, berturut-turut dari Bogor, Bandung, Pati, Rembang, Blora,
dan Bantul.
Deteksi Geminivirus pada Terung dengan teknik PCR
Daun tanaman terung yang menunjukkan gejala infeksi virus digunakan
untuk mendeteksi Geminivirus secara molekuler dengan teknik PCR. Gejala
umum infeksi Geminivirus pada tanaman adalah penghambatan pertumbuhan
tanaman, menguning, mosaik dan menggulung (keriting) pada daun serta
pengerdilan tanaman (Santoso 2008). Pratap et al. (2011) melaporkan gejala
infeksi Geminivirus pada tanaman terung di India adalah mosaik menguning dan
belang pada daun.
Pasangan-pasangan primer yang digunakan dalam teknik PCR merupakan
pasangan primer universal Geminivirus yang sudah sering digunakan untuk
keperluan deteksi dan identifikasi virus dari kelompok Geminivirus. Sulandari et
al. (2006) menggunakan pasangan primer pAV494/pAC1048 dan
pAL1v1978/pAR1c715 untuk mendeteksi dan mengidentifikasi Peper yellow leaf
curl virus, anggota Geminivirus yang menginfeksi cabai rawit di beberapa daerah
di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DIY. Sudiono (2001) dan Santoso (2008)
menggunakan pasangan primer pAL1v1978/pAR1c715 untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi Geminivirus yang menginfeksi tanaman tomat di Jawa Timur,
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DIY. Miano (2008) menggunakan pasangan primer
SPG1/SPG2 untuk mendeteksi dan mengidentifikasi Geminivirus yang
menginfeksi ubi jalar di Kenya. Wyatt dan Brown (1996) menggunakan pasangan
primer SPG1/SPG2 untuk mendeteksi dan mengidentifikasi beberapa virus
anggota subgrup III Geminivirus.
Ketiga pasang primer universal dipilih karena ketiganya mengamplifikasi
daerah genom virus yang berbeda-beda, tetapi masing-masing memiliki tingkat
konservasi yang tinggi. Pasangan primer pAV494/pAC1048 dirancang untuk
mendeteksi protein selubung dengan produk amplifikasi berukuran ≈550 bp
(Wyatt dan Brown 1996). Pasangan primer SPG1/SPG2 yang dideskripsikan oleh
Li et al. (2004) mengamplifikasi basa nukleotida ke-1490 hingga 2391 pada
daerah open reading frame (ORF) AC2 dan ORF AC1. ORF AC2 mengkode
transcriptional activator protein (TrAp) dan ORF AC1 mengkode replication-
associated protein (Rep). Produk PCR yang dihasilkan oleh primer ini berukuran
≈912 bp. Pasangan primer pAL1v1978/pAR1c715 dirancang untuk
mengamplifikasi daerah ORF AL1 mulai basa ke-1978 dan ORF AR1 hingga basa
ke-715, sehingga diperoleh produk sebesar ≈1600 bp. ORF AL1 mengkode gen
replikasi, sedangkan ORF AR1 mengkode gen protein selubung (coat protein),
dan dilaporkan bahwa daerah-daerah tersebut merupakan daerah dengan tingkat
konservasi yang tinggi (Rojas et al. 1993). Daerah-daerah dengan tingkat
konservasi yang tinggi menunjukkan bahwa pada daerah tersebut Geminivirus
memiliki tingkat homologi genetik yang tinggi atau memiliki keragaman genetik
yang rendah.
12
Amplifikasi menggunakan masing-masing pasangan primer universal
memberikan hasil yang berbeda untuk masing-masing sampel (Gambar 2).
Pasangan primer pAV494/pAC1048 tidak dapat mengamplifikasi semua sampel
terpilih, walaupun kontrol positif bereaksi dengan baik (Gambar 2A). Pasangan
primer pAL1v1978/pAR1c715 berhasil mengamplifikasi DNA virus dari sampel
asal Bandung, Pati, Rembang, dan Bantul, tetapi tidak dapat mengamplifikasi
sampel asal Bogor (Gambar 2B). Pasangan primer SPG1/SPG2 mampu
mengamplifikasi kelima sampel secara konsisten dibandingkan dengan kedua
pasangan primer lainnya (Gambar 2C). Keberhasilan amplifikasi kelima sampel
tersebut kemungkinan karena kelima sampel memiliki daerah dengan konservasi
yang tinggi pada bagian yang diamplifikasi oleh pasangan primer SPG1/SPG2.
Gambar 2 Amplifikasi DNA Geminivirus pada daun terung dari lapangan dengan
teknik PCR menggunakan pasangan primer pAV494/pAC1048(A),
SPG1/SPG2 (B), pAL1v1978/pAR1c715 (C). Sampel pada masing-
masing gel agarosa terdiri dari M, penanda DNA; 1, Kontrol positif
DNA; 2, Kontrol negatif DNA; 3, Isolat Bogor; 4, Isolat Bandung; 5,
Isolat Pati; 6, Isolat Rembang; dan 7, Isolat Bantul.
M 1 2 3 4 5 6 7
(A)
(C)
(B)
500 bp 550 bp
1000 bp 912bp
1600bp 1500bp
13
Sampel-sampel yang tidak teramplifikasi menggunakan pasangan primer
universal kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah belum
tercapainya optimasi reaksi, tidak terdapatnya kesesuaian antara basa nukleotida
target dengan basa nukleotida penyusun primer, dan virus yang diamplifikasi
bukan merupakan virus target. Masing-masing komponen dalam PCR
membutuhkan perlakuan dan kondisi yang berbeda-beda agar dapat bekerja secara
optimum. Faktor yang perlu diperhatikan ketika akan dilakukan amplifikasi DNA
target adalah ketepatan konsentrasi dan volume masing-masing komponen.
Kelebihan atau kekurangan pada masing-masing komponen akan berakibat pada
hasil PCR. Kondisi yang perlu diperhatikan ketika melakukan amplifikasi adalah
penentuan suhu pada masing-masing tahapan reaksi yang tepat. Suhu pada saat
annealing merupakan suhu yang paling penting, karena pada saat annealing
primer mulai menempel pada sikuen DNA target. Suhu yang dibutuhkan pada saat
predenaturasi, denaturasi, elongasi, dan penyimpanan pada umumnya berkisar
pada angka-angka yang relatif sama untuk beberapa reaksi dari primer yang
berbeda (Jamsari 2007). Trisno et al. (2008) berhasil mengamplifikasi Pepper
yellow leaf curl virus (PepYLCV) menggunakan primer pAV494/pAC1048
dengan komposisi reaksi yang telah dimodifikasi, salah satunya adalah suhu
annealing 55 ºC selama 1 menit untuk 30 siklus. Wyatt dan Brown (1996)
mendeskripsikan penggunaan primer pAV494/pAC1048 untuk mengamplifikasi
beberapa anggota subgrup III Geminivirus dengan komposisi reaksi dan kondisi
yang sudah dioptimasi. Terdiri dari 150 µM dNTPs, 2.5 mM MgCl2, 1.25 unit Taq
polymerase, dan masing-masing 20 pmol primer pAV494/pAC1048. Amplifikasi
DNA terdiri dari 35 siklus yang masing-masing terdiri dari denaturasi pada suhu
92 ºC selama 1 menit, annealing pada suhu 60 ºC selama 20 detik, dan elongasi
pada suhu 72 ºC selama 30 detik. Runutan basa-basa penyusun primer
menentukan kompatibilitas primer dengan virus target. Wyatt dan Brown (1996)
menyatakan bahwa tidak teramplifikasinya sikuen DNA target disebabkan oleh
primer tidak mengenali secara spesifik sikuen nukleotida sasaran.
Infeksi oleh virus non-target tidak akan menghasilkan produk PCR yang
sesuai, meskipun pada kenyataannya virus non-target menginduksi gejala yang
sama dengan virus target. Virus-virus yang dilaporkan menginfeksi terung
diantaranya adalah Tomatto spotted wilt virus (TSWV) (Dikova 2011), Eggplant
blister mosaic virus (EBMV) (Al-ani 2011), dan Eggplant motteld crinkle virus
(EMCV) (Dombrovsky et al. 2009). Gejala yang muncul karena infeksi virus-
virus tersebut mungkin sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu perlu metode
deteksi khusus untuk memastikan infeksi masing-masing virus. Gejala yang
ditemukan di pertanaman terung di Blora adalah mosaik hijau dan melepuh
mengecil. Berdasarkan hasil deteksi dengan PCR tidak terdeteksi adanya infeksi
Geminivirus.
Sampel-sampel yang bereaksi positif dengan menggunakan pasangan primer
SPG 1/ SPG 2 menunjukkan gejala yang sama, yaitu mosaik hijau, tetapi ada pula
sampel dengan gejala mosaik kuning dan menguning yang bereaksi positif (Tabel
4). Hasil deteksi ini menunjukkan bahwa infeksi Geminivirus pada terung
menyebabkan gejala dominan mosaik hijau dan menguning. Pratap et al. (2011) di
India juga melaporkan infeksi Geminivirus pada terung menyebabkan gejala
mosaik kuning dan belang pada daun. Ndunguru et al. (2006) dan Ajlan (2008)
14
Tabel 4 Frekuensi jumlah sampel yang teramplifikasi dengan pasangan primer
SPG1/SPG2 dan gejala pada sampel daun
Asal
Sampel
Frekuensi jumlah sampel
yang teramplifikasi* Gejala pada sampel
Bogor 3/3 Mosaik hijau
Bandung 3/3 Mosaik hijau dan Menguning
Pati 1/4 Mosaik hijau
Rembang 1/5 Mosaik hijau
Bantul 2/6 Mosaik hijau dan Mosaik kuning *Amplifikasi DNA tidak berhasil diperoleh dari 11 sampel asal Blora
melaporkan bahwa gejala akibat infeksi Geminivirus adalah menguning, mosaik,
dan pengerutan daun berturut-turut pada tanaman singkong dan tomat.
Analisis Runutan Nukleotida
Fragmen DNA hasil amplifikasi PCR kemudian digunakan untuk perunutan
basa nukleotidanya dan selanjutnya basa nukleotida yang diperoleh digunakan
untuk analisis genetik menggunakan program BLAST (www.ncbi.nlm.nih.gov).
Hasil BLAST menunjukkan bahwa Geminivirus asal terung memiliki kemiripan
dengan Tomato yellow leaf curl Kanchanaburi virus (TYLCKaV) yang berasal
dari Thailand, Taiwan, dan Vietnam yang menginfeksi tanaman terung dan tomat
(Tabel 5).
Geminivirus asal Bogor, Pati, Rembang, dan Bantul menunjukkan tingkat
homologi atau kemiripan nukleotida yang sangat tinggi satu sama lain yaitu
berkisar 95.3% sampai 99.8%. Ketiga isolat tersebut memiliki tingkat kemiripan
yang sangat tinggi (98.8%) dengan Tomato yellow leaf curl Kanchanaburi virus-
[Tomato:Thailand] (AF511530). Geminivirus asal Bandung memiliki tingkat
kemiripan yang lebih rendah dengan Geminivirus yang lain, yaitu berkisar 95%
sampai 95.3%, walaupun demikian Geminivirus asal Bandung memiliki tingkat
kemiripan yang tinggi pula dengan Tomato yellow leaf curl Kanchanaburi virus-
[Tomato:Thailand] (AF511530), yaitu 94.2%.
Fauquet et al. (2006) menjelaskan bahwa apabila tingkat homologi sikuen
genom A antar isolat Begomovirus mencapai lebih dari 90% maka isolat-isolat
tersebut merupakan satu spesies yang sama dalam genus Begomovirus. Oleh
karena itu, Geminivirus asal Bogor, Bandung, Pati, Rembang, dan Bantul
merupakan satu spesies yang sama dengan Tomato yellow leaf curl Kanchanaburi
virus (TYLCKaV). Kelima Geminivirus tersebut memiliki hubungan kekerabatan
yang tidak terlalu dekat dengan isolat TYLCV yang menginfeksi Ageratum (77%)
(Kon et al. 2007) dan isolat Pepper yellow leaf curl virus (PepYLCV) (39%)
(Jamsari et al. 2009) yang menginfeksi cabai di Indonesia yang telah dilaporkan
terlebih dahulu.
Begomovirus merupakan salah satu anggota genus Geminivirus dengan
jumlah anggota yang banyak dan memiliki keragaman yang tinggi. Dilaporkan
bahwa Begomovirus yang menginfeksi tomat terdiri dari beberapa spesies,
diantaranya, Potato yellow mosaic virus (PYMV), Tomato dwarf leaf curl virus
(TDLCV), Tomato golden mottle virus (TGMoV), Tomato mottle virus (TMoV),
Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV), Tomato yellow vein streak virus
(ToYVSV) (Polston et al. 1993; Faria et al. 1997; Morales et al. 2001; Maxwell et
15
al. 2002). Demikian pula Begomovirus yang menginfeksi timun diantaranya
adalah Cucurbit leaf curl virus (CuLCuV), Melon chlorotic leaf curl virus
(MCLCuV), Squash yellow mild mottle virus (SYMMoV), Tomato severe leaf
curl virus (ToSLCV) ( Guzman et al. 2000; Karkashian et al. 2002; Maxwell et
al. 2002). Begomovirus yang dilaporkan menginfeksi terung diantaranya adalah
Tomato leaf curl New delhi virus (ToLCNDV), Tomato mottle virus (Tmov), dan
Tomato yellow leaf curl Kanchanaburi virus (TYLCKaV) (Polston et al. 1993;
Green et al. 2003; Pratap et al. 2011).
16
Tabel 5 Tingkat homologi sikuen gen Begomovirus asal terung di JaBar, JaTeng, dan DIY
No Isolat Virus No. Aksesi
GenBank
Tanaman
inang
Tingkat homologi (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 Bogor Ns Terung - 95,3 99,6 99,6 99,8 94,2 98,8 94,2 94,2 77,5 41,3
2 Bandung Ns Terung - 95 95 95,2 90,1 94,2 90,1 90,1 74,6 39,7
3 Pati Ns Terung - 99,5 99,5 94,1 98,9 94,1 94,1 77,8 41,1
4 Rembang Ns Terung - 99,5 94,1 98,7 94,1 94,1 77,5 41,3
5 Bantul Ns Terung - 94,1 98,7 94,1 94,1 77,5 39,1
6 TYLCKaV
Thailand
AF511529 Terung - 94,4 100 100 74,4 39,1
7 TYLCKaV
Thailand
AF511530 Tomat - 94,4 94,4 77,8 40,9
8 TYLCKaV
Taiwan
DQ169054 Tomat - 100 77,4 39,1
9 TYLCKaV
Vietnam
DQ641702 Tomat - 77,4 39,1
10 TLCV
Indonesia
AB162141 Ageratum - 36,2
11 PepYLCV
Indonesia
GU382667 Cabai -
NS: belum dipublikasikan
17
SIMPULAN DAN SARAN
Tanaman terung (Solanum melongena L.) varietas “Kopek” asal Bogor,
Bandung, Pati, Rembang, serta Bantul terbukti terinfeksi Geminivirus dengan
menggunakan metode PCR. Pasangan primer universal Geminivirus SPG1/SPG2
berhasil mengamplifikasi fragmen DNA berukuran ≈912 bp. Hasil analisis
perunutan nukleotida menunjukkan bahwa kelima isolat Geminivirus berkerabat
dekat (98.8%) dengan Tomato yellow leaf curl Kanchanaburi virus (TYLCKaV)
asal Thailand yang menginfeksi tomat. Infeksi Geminivirus pada tanaman terung
menunjukkan gejala mosaik hijau, menguning, dan mosaik kuning.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kisaran inang dan infeksi
virus-virus lain yang berasosiasi dengan Geminivirus pada tanaman terung.
18
DAFTAR PUSTAKA
Ajlan AM, Ghanem GAM, Abdulsalam KS. 2006. Tomato yellow leaf curl virus
(TYLCV) in Saudi Arabia: Identification, partial characterization and virus-
vector relationship. Journal of Biotechnology. 10(1):179-192.
Akin HM. 2006. Virologi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Al-Ani RA, Adhab MA, Ismail KAH. 2001. Eggplant blister mottled virus
(EBMV): A possible new potyvirus characterized from Iraq. Journal of
General and Molecular Virology. 3(3):049-052.
Al-Musa A. 1982. Incidence, economic importantce and control of tomato yellow
leaf curl virus in Jordan. Plant Disease. 66:361-363.
[Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. 1991. Peta
rupabumi digital Indonesia daerah Leuwiliang, Lembang, Wedarijaksa,
Pamotan, Badong, dan Bantul.
Bisaro DM. 1994. Recombination in Geminivirus: Mechanisms for maintaining
genome size and generating genome diversity. In Homologous
recombination and gene silencing in plants (ed J. Paszkowski), pp. 39-60.
Kluwer, Dordrecht.
Bos L. 1983. Introduction to Plant Virology. Triharso, penerjemah. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Introduction to Plant
Virology.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi sayuran di Indonesia, 1997-2012.
Brown JK, Poulos BT. 1990. Serrano golden mosaic virus: A new whitefly
transmitted Geminivirus of pepper and tomato in U.S. Plant Disease.
74:720.
Dikova B. 2011. Tomato spotted wilt virus on some medicinal and essential oil-
bearing plants in Bulgaria. Bulgarian Journal of Agriculture Science.
17:306-313.
Dombrovsky A, Pearlsman M, lachman O, Antignus Y.2009.Characterization of a
new strain of Eggplant mottled crinkle virus (EMCV) infecting eggplants in
Israel. Phytoparasitica. 37(5):477-483.
Faria JC, Souza JAC, Slack SA, maxwell DP. 1997. A new Geminivirus
associateed with tomato in the state of Sao Paulo, Brazil. Plant Disease.
81:423.
Faquet CM, Mayo MA, Maniloff J, Desselberger U, Ball LA. 2005. Virus
Taxonomy, VIIIth report of the ICTV. London (UK): Academic Press.
Green SK, Tsai WS, Shih SL. 2003. Molecular characterization of a new
begomovirus associated with tomato yellow leaf curl and eggplant yellow
mosaic diseases in Thailand. Plant Disease. 87 (4):446.
Guzman P, Sudarshana MR, seo YS, Rojas MR, Natwick E, Turini T, Mayberry
K, Gilbertson RL. 2000. A new bipartite Geminivirus causing cucurbit leaf
curl and crumpling symptoms in the Imperial Valley of California. Plant
Diseases. 84:488.
Hendrival, Hidayat P, Nurmansyah A. 2011. Kisaran inang dan dinamika populasi
Bemisisa tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) di pertanaman cabai
merah. J. HPT Tropika. 11(1):47-56.
19
Hidayat SH, Rusli ES, Nooraidawati. 1999. Penggunaan primer universal dalam
polymerase chain reaction untuk mendeteksi virusgemini pada cabe. Di
dalam: Prosiding Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional PFI XV;
Porwokerto, 6-18 Sep 1999. hlm 355-359.
Hull. 2002. Matthews Plant Virology. San Diego: Academic Press.
Jamsari. 2007. Bioteknologi Pemula. Pekanbaru (ID): UNRI Press.
Jamsari J, Trisno J, Hidayat SH, Habazar TM, manti I, Nasrun, Suliansyah I.
2009. Detection and sequence diversity of begomovirus associated with
yellow leaf curl disease of pepper (capsicum annuum) in West Sumatra,
Indonesia. Microbiology Indonesia. 8(2):56-61.
Karkashian JP, Maxwell DP, Ramirez P. 2002. Squash yellow mottle Geminivirus;
a new cucurbit-infecting Geminivirus from Costa rica. Phytopathology.
92:S125.
Kon T, Kuwabara R, Hidayat SH, Ikegami M. 2007. A begomovirus associated
with Ageratum yellow vein disease in Indonesia: evidence for natural
recombination between tomato leaf curl Java virus and Ageratum yellow
vein virus-[Java]. Archieves of Virology. 152 (6):1147-57.
Li R, Salih S, Hurtt S. 2004. Detection of Geminiviruses in sweetpotato by
polymerase chain reaction. Plant Disease. 88:1347-1351.
Maxwell P, Nakhla MK, Maxwell MD, ramirez P, Karkashian JP, Doyle de Roca
MM, Roye M, McLaughlin W, faria JC. 2002. Diversity of begomovirus
and their management in Latin america. Phytopathology. 92:S 127.
Meliansyah R. 2010. Peranan gulma sebagai inang alternatif Geminivirus di
pertanaman cabai di Jawa [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Miano DW. 2008. First report of a begomovirus infecting sweet potato in Kenya.
Plant Disease. 77:1-9
Morales FJ, Anderson PK. 2001. The emergences and dissemination of whitefly-
transmitted Geminivirus in America Latina. Archieves of Virology.
146:2249-2253.
Nazaruddin 2003. Budi Daya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah.
Depok (ID): Panebar Swadaya.
Ndunguru J, Legg JP, Fofana IBF, Aveling TAS, Thompson J, Fauquet CM.
2006. Identification of a defective molecule derived from DNA-A of the
bipartite begomovirus of East african cassava mosaic virus. Plant
Pathology. 55:2-10.
Oliveira MRV, Henneberry TJ, Anderson P. 2001. History, current status, and
collaborative research projects for Bemisia tabaci. Crop Protection 20:709-
723.
Pratap D, Kashikar AR, Mukherjee SK. 2011. Molekuler characterisation and
infectivity of a Tomato leaf curl New Delhi virus variant assosiated with
newly emerging yellow mosaic disease of eggplant in India. Journal of
Virology. 8(1):305.
Perring TM. 2001. The Bemisia tabaci species complex. Crop Protection. 20:725-
737.
Polston JE, Hiebert E, McGovern RJ, Stansly PA, Schuster DJ. 1993. Host range
of tomato mottle virus, a new Geminivirus infecting tomato in Florida. Plant
Disease. 77:1181-1184.
20
Polston JE, anderson PK. 1997. The emergence of whitefly-transmitted
Geminivirus in tomato in the western hemisphere. Plant Disease. 81:1358-
1369.
Rojas MR, Gilbertson RL, Rusel DR, Maxwell DP. 1993. Use of degenerate
primers in the polymerase chain reaction to detect whitefly transmitted
Geminivirus. Plant Disease. 71:340-347.
Salati R, Nahla MK, Rojas MR, Guzman P, Jaquez J, Maxwell DP, Gilbertson
RL. 2002. Tomato yellow leaf curl virus in the Dominican Republic:
Characterization of an infectious clone, virus monitoring in whiteflies, and
identification of reservoir hosts. Journal of Virology. 92(5):487-496.
Santoso TJ. 2008. Identifikasi Begomovirus Indonesia pada tomat dan analisis
diversitas genetik gen AV1 serta pemanfaatannya untuk pengembangan
tanaman tahan virus [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Strenger DC, Duffus JE, Vilalon B. 1990. Biological and genomic properties of
Geminivirus isolated from pepper. Phytopathology. 80:704-709.
Sudiono. 2001. Deteksi dan identifikasi virus gemini pada tanaman tomat [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sulandari S, Suseno R, Hidayat SH, Harjosudarmo J, Sosromarsono S. 2005.
Deteksi dan kajian kisaran inang virus penyebab penyakit daun keriting
kuning cabai. Hayati. 13(1): 1-6.
Trisno J, Hidayat SH, Jamsari, Habzar T, Manti I. 2009. Identifikasi molekuler
Begomovirus penyebab penyakit keriting pada tanaman cabai (Capsicum
annum) di Sumatera Barat. Jurnal Natur indonesia. 13(1):41-46.
Walkey DGA. 1991. Applied plant virology. London (UK): Chapman and Hall.
Wyatt SD, Brown JK. 1996. Detection of subgroup III Geminivirus isolates in leaf
extracts by degenerate primers and Polymerase Chain Reaction. Journal of
Phytopathology. (86):1288-1293.
Zambrano K, Carballo O, Geraud F, Chirinos D, Fernandez C, Marys E. 2007.
First report of Tomato yelllow leaf curl virus in Venezuella. Plant Disease.
97:768.
21
LAMPIRAN
22
Lampiran 1 Organisasi genom monopartit (i) dan bipartit (ii) Begomovirus.
TYLCV, Tomato yellow leaf curl virus; TGMV A, DNA A Tomato
yelow golden mosaic virus; TGMV B, DNA B Tomato yelow
golden mosaic virus.
(i)
(ii)
Lampiran 2 Jenis dan fungsi gen Begomovirus
Monopartit Bipartit Protein yang disandikan
V1 AV1 Protein selubung (coat protein) yang berfungsi dalam
penyebaran dan pergerakan virus di dalam inangnya dan untuk
melindungi partikel virus (Hull 2002)
V2 AV2 Movement protein (MP), berperan dalam pergerakan virus dalam
tanaman terinfeksi (Hull 2002)
C1 AC1 Replication-associated protein (Rep) berperan dalam proses
replikasi virus (Bisaro 1994)
C2 AC2 Transcriptional activator protein (TrAp), protein yang terlibat
dalam pengaktifan transkripsi dari promoter protein selubung
(Bisaro 1994)
C3 AC3 Replication enhancer protein (Ren), meningkatkan akumulasi
DNA virus (Bisaro 1994)
C4 AC4 Berinteraksi dengan C1 dan V2, berperan dalam penentu gejala
(Hull 2002)
BV1 Nuclear shuttle protein (NSP) dan menyandikan virion DNA B
BV2 Movement protein (MP), terlibat dalam pergerakan virus di
dalam tanaman inang bersama AV2 (Hull 2002)
23
Lampiran 3 Urutan basa nukleotida isolat asal Bogor
AATCCATATT
AGCCACAGTC
CTTTGCAATT
AGTGGCTGTT
CCCAATTTTT
CTCCTTAAAA
ATAGTGGGAA
ACTTTGTATT
TTCTTTTAAG
ATGACGTTAT
AAGGTCTAGA
GATCTGGCCC
CAATCACCAT
ATCACATACA
GGAACTTGAT
ATTTAGGTTG
AAAATTCATG
ATTCCTTAAG
TAATTGCCTT
GCCTCTAGCA
CGGAGCTTGA
TCAATTGTAT
TGTGACAATT
TAAGACTCTG
TTATGTTGTA
GGAGGGTGAC
TAATGCCTCA
GAAGAAGATG
TTCCACCTTT
GCTTTGCCAG
TGCTTTAAAT
ACCAAGCATC
ACATTGTTTT
TGTCCACACA
TCCTATGGGT
TTTTTCTCAG
TGAAAGACGA
TGGTACTGCA
GATTGGGGCA
GACTGCAAGA
TGCGTATGCG
GATCTTCCAT
CTCCGTCCTT
TTTAGCTCCC
AATGTTTACG
CGTCTTCTTG
CTTTGACTGG
GAATTCTGCA
TTTTTTGGTT
GACCAGGATT
AATTTGAATT
TCCCTCTGGG
AATGCGGATC
ATTACTGACA
AATAATTATG
GCCGGTTCTA
CTCCACGGCC
CCCAGGAGGC
CAACTCGTAA
AATATCCGGT
GTAATAGTCC
GCCTCCGACT
CAATCTGGAA
TCATTGGCGG
TGAAAAATTC
CTCCAAATAG
TAATAGGAAC
GTATTTTTTT
TCAATTGTAG
TTTTTCAAAG
CGTCCAAAAA
GCAGAGGAAG
GGTTTACCGT
CCCCCATGAA
TACGTCATCA
CTTTTGGGCT
AGGGCCCAAT
GATTCACCTT
GCGCAGCGGC
AAGTTCTTTT
GGATTAACAA
CCAAATTAGC
TTTGGAGCTA
TACTTCCGGT
ATTGTTGTCC
TTCTCCCCAT
GACTTGACGT
GG
Lampiran 4 Urutan basa nukleotida isolat asal Bandung
AATCCATATT AGCCACAGTC TTGTAGAGTG TCAAAGCCCA CAAAACCTTA AAGATAGTGG CGTACTTTGT TCTTTTAAGT TGACGTTATA AAGGTCTAGA AATCACCATT CTCACATACA AAACTTGATT GAATTCATGG ATTAGGTTGT ATTCCTTAAG TTTAATTGCC GCGCCTCTAG CTTCAATTGT ATCGGAGCTT GGATCTGGCC
TGTGACAATT CATATTTATG GCTGTTGGAG ATTTTTTAAT AAAGAAGAAG GAATTCCACC ATTGCTTTGC GCTTTAAATA CCAAGCATCA TGTCCACACA ACATTGTTTT TCCTATGGGT GTTTCTCAGC AAAAGACGAC GTTGGGGCAA GGTACTGCAG TACTGCAAGA CTTGCGTATG AAGATCTTCC GTCTCCGTCC CATTTAGCTC
AATGTTTACG TTGTACTTTG GGTGACGAAT GCCTCATTTT ATGGACCAGG TTTAATTTGA CAGTCCCTCT ATGCGGATCT TTACTGTACA AATAATTATG GCCGGTTCTA CTCCACGGCC CCAGGAGGCA AACTCGTAAG ATATCCGGTC TTCAATCTGG GACATAGTCC CCCTCCGACT AGTCATTGGC TTCTCCAAAT CCTGAAAATT
TAATAGGAAC ACTGGTACAA TCTGCATTTT TTGGTTCGTC ATTGCAGAGG ATTGGTTTAC GGGCATGAAT ACGTCATCAA CTTTTGGGCT AGGGCCCAAT GATTCACCTT GCGCAGCGGC AGTTCTTTTG GTTGGAGCTA CATTAACAAA AAAATTAGCA TACTTCCGCA TGATTGTTGT GATTCTCCCC AGGACTTGAC CGGATAA
Lampiran 5 Urutan basa nukleotida isolat asal Pati
24
AATCCATATT AGCCACAGTC TTTCTTTGCA GTAGAGTGGC AAAGCCCAAT AAAACTCCTT GAAGATAGTG CCGTACTTTG TGAATTCTTT ATCAATGACG GGGCTAAGGT CCAATGATCT ACCTTCAATC GCGGCATCAC CTTTTGGAAC AACAAAAAAT TTAGCATTTA GAGCTAATTC TCCGCAGTTA TGCCCCATTC CTTGACGTCG CTTTGTCCGC
TGTGACAATT TAAGTCTACT ATTTTATGTT TGTTGGAGGG TTTTTAATGC AAAAGAAGAA GGAATTCCAC TATTGCTTTG TAAGTGCTTT TTATACCAAG CTAGATGTCC GGCCCACATT ACAATTCCTA ATACATTTTT TTGATTGAAA TCTTGGACTG GGTTGTGGTA CTTAAGGACT ATTGCCTTTG AACTAGCAGA GATTGTATCT CTGCTTGATT
AATGTTTACG CTGCGTCTTC GTACTTTGAC TGACGAATTC GATGGACCAG CTCATTTTTT CTTTAATTTG CCAGTCCCTC AAATAATGCG CATCATTACT GTTTTGCCGG ACACAAATAA TGGGTCTCCA CTCAGCCCAG GACGACAACT CTGCAGTACA GGGCAAATAT GCAAGAGCCT CGTATGCGTC TCTTCCATCA CCGTCCTTCT TAGCTCCCTG
TTGGTATTTT TAATAGGAAC TGGTACAATT TGCATTTTTC GGTTCGTCCA GATTGCAGAG AATTGGTTTA TGGGCCCCCA GATCTACGTC GTACACTTTT TTATGAGGGC TTCTAGATTC CGGCCGCGCA GAGGCAAGTT CGTAAGGATT CCGGTCCAAA TAGTCCTTTG CCGACTTACT ATTGGCGGAT ATCTGGAATT CCAAATAGGA AAAATTCGGA
Lampiran 6 Urutan basa nukleotida isolat asal Rembang
AATCCATATT
AGCCACAGTC
TTCTTTGCAA
TAGAGTGGCT
AAAGCCCAAT
AAAACTCCTT
GAAGATAGTG
CCGTACTTTG
TGAATTCTTT
ATCAATGACG
GTACACTTTT
TTATGAGGGC
TTCTGGATTC
CGGCCGCGCA
GAGGCAAGTT
CGTAAGGATT
CCGGTCCAAA
TAGTCCTTTG
CCGACTTACT
ATTGGCGGAT
ATCTGGAATT
CCAAATAGGA
AAAATTCGG
TGTGACAATT
TAAGCTACTC
TTTTATGTTG
GTTGGAGGG
TTTTTAATGC
AAAAGAAGAA
GGAATTCCAC
TATTGCTTTG
TAAGTGCTTT
ATCAATGACG
GGGCTAAGGT
CCAATGATCT
ACCTTCAATC
GCGGCATCAC
CTTTTGGAAC
AACAAAAAAT
TTAGCATTTA
GAGCTAATTC
TCCGCAGTTA
TGTTGTCCGC
CTCCCCATTC
CTTGACGTCG
AATGTTTACG
TGCGTCTTCT
TACTTTGACT
TGACGAATTC
CTCATTTTTT
GATGGACCAG
CTTTAATTTG
CCAGTCCCTC
AAATAATGCG
TTATACCAAG
CTAGATGTCC
GGCCCACATT
ACCATTCCTA
ATACATTTTT
TTGATTGAAA
TCTTGGATTG
GGTTGTGGTA
CTTAAGGACT
ATTGCCTTTG
CTCTGGCAGA
AATTGTATCT
GAGCTTGATT
TAATAGGAAC
TGGTATTTTT
GGTACAATTG
TGCATTTTTC
GGTTCGTCCA
GATTGCAGAG
AATTGGTTTA
TGGGCCCCCA
GATCTACGTC
CATCATTACT
ACACAAATAA
GTTTTGCCGG
TGGGTCTCCA
CTCAGCCCAG
GACGACAACT
GGGCAAATAT
CTGCAGTACA
GCAAGAGCCT
CGTATGCGTC
TCTTCCATCA
CCGTCCTTCT
TAGCTCCCTG
Lampiran 7 Urutan basa nukleotida isolat asal Bantul
ATCCATATTT GTGACAATTA ATGTTTACGT AATAGGAACA
25
GCCACAGTCT
TTCTTTGCAA
TAGAGTGGCT
AAGCCCAATT
AAACTCCTTA
AAGATAGTGG
CGTACTTTGT
GAATTCTTTT
TCAATGACGT
GGCTAAGGTC
CAAGATCTGG
CTTCAATCAC
GGCATCACAT
TTTGGAACTT
CAAAAAATTC
TTGTGGTACT
TAAGGACTGC
TGCCTTTGCG
CTAGCGATCT
TGTATCTCCG
CTTGATTTAG
AAGTCTACTC
TTTTATGTTG
GTTGGAGGGT
TTTTAATGCC
AAAGAAGAAG
GAATTCCACC
ATTGCTTTGC
AAGTGCTTTA
TATACCAAGC
TAGATGTCCA
CCCACATTGT
CATTCCTATG
ACATTTTTCT
GATTGAAAGA
ATGTATTGGG
GCAGTACATA
AAGAGCCTCC
TATGCGTCAT
TCCATCAATC
TCCTTCTCCA
CTCC
TGCGTCTTCT
TACTTTGACT
GACGAATTCT
TCATTTTTTG
ATGGACCAGG
TTTAATTTGA
CAGTCCCTCT
AATAATGCGG
ATCATTACTG
CACAAATAAT
TTTGCCGGTT
GGTCTCCACG
CAGCCCAGGA
CGACAACTCG
GCAAATATCC
GTCCTTTGGA
GACTTACTTC
TGGCGGATTG
TGGAATTCTC
AATAGGACTT
TGGTATTTTT
GGTACAATTG
GCATTTTTCA
GTTCGTCCAA
ATTGCAGAGG
ATTGGTTTAC
GGGCCCCCAT
ATCTACGTCA
TACACTTTTG
TATGAGGGCC
CTAGATTCAC
GCCGCGCAGC
GGCAAGTTCT
TAAGGATTAA
GGTCCAAATT
GCTAATTCCT
CGCAGTTAAT
TTGTCCGCCT
CCCATTCAAT
GACGTCGGAG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 25 Mei 1991 dari ayah Subawi
dan ibu Suprihatin. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2009
penulis lulus dari SMA Negeri 1 Rembang dan pada tahun yang sama penulis
lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Biologi
Patogen Tumbuhan pada tahun ajaran 2011/2012, asisten praktikum mata kuliah
Virologi Tumbuhan dan Ilmu Penyakit Tumbuhan Dasar pada tahun ajaran
2012/2013, asisten praktikum Virologi Tumbuhan dan Dasar Perlindungan
Tanaman Program Diploma IPB pada tahun ajaran 2013/2014. Penulis
melaksanakan magang pada Bulan Juni 2011 di Balai Karantina Tumbuhan
Semarang dan pada bulan Februari tahun 2012 di Laboratorium Pengamatan
Hama dan Penyakit Tumbuhan di Bantul, Yogyakarta.
Penulis juga aktif mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang
Penelitian dengan judul “Uji efektifitas nematoda Caenorhabditis elegans sebagai
bio-indikator air tercemar bakteri patogen” pada tahun 2011. Penulis juga aktif di
luar kegiatan akademis, diantaranya penulis pernah menjadi Bendahara umum
pada tahun 2010 dan anggota divisi Humas pada tahun 2011 di Himpunan
Keluarga Rembang di Bogor (HKRB), Bendahara umum POEPA 47 Proteksi
Tanaman, anggota divisi medis Migratoria Departemen Proteksi Tanaman 2010
anggota Koperasi Mahasiswa tahun 2009-2010, anggota Leadership Enterpreneur
School 2009, peserta I-Share 2011 peringatan DIES NATALIS IPB.