desentralisasi public service dalam era otonomi daerah

11
36 DESENTRALISASI PUBLIC SERVICE DALAM ERA OTONOMI DAERAH Oleh : Sri Susilih Staf Pengajar Jurusan Ilmu Administrasi, Program Studi Administrasi Negara, Universitas Indonesia. Ada dua tema yang menjadi perhatian jika membahas tentang pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah, yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi. Dekonsentrasi (sebagai penghalusan dari sentralisasi) diselenggarakan untuk mewakili kepentingan nasional. Desentralisasi diselenggarakan untuk mewakili kepentingan nasional. Desentralisasi diselenggarakan untuk mewakili kepentingan masyarakat setempat (lokal) di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat masyarakat tiap masyarakat lokal memiliki keunikan masing-masing, dengan demikian hanya cocok jika instrumen desentralisasi diterapkan. Dekonsentrasi diberikan pengertian sebagai pelimpahan wewenang (delegation of authority), desentralisasi sebagai penyerahan wewenang (transfer of authority) . Dalam dekonsentrasi delegation of authority hanya menyangkut policy executing yakni melaksanakan kebijakan yang sudah ditentukan dari pemerintah pusat. Sedangkan dalam desentralisasi transfer of authority termasuk didalamnya policy making dan policy executing, yakni berwenang membuat kebijakan sendiri dan sekaligus melaksanakannya. Jika dikatikan dengan pembagian wilayah negara Republik Indonesia, maka dekonsentrasi akan melahirkan wilayah administrasi atau B.C. Smith disebut Field Administration. Yaitu propinsi kabupaten/kota, kota administratif (sudah tidak dikenal berdasarkan UU No 22/1999), kecamatan. Pejabat-pejabat pusat didaerah yang menerima pelimpahan wewenang dalam yurisdikasi wilayah administrasi disebut Field Administrator. Ada dua tipe pejabat, yaitu pejabat pejabat yang disebut Kepala Wilayah : Gubernur, Bupati, Walikotamadya (Walokota Administratif), Camat. Pejabat-pejabat ini menjalankan pemerintahan umum (administrator generalist) seperti ketertiban umum, koordinasi. Disamping itu ada pejabat Kepala Instansi Vertikal yang berasal dari departemen teknis. Pejabat-pejabat ini menjalankan pemerintahan umum (administrator specialist) yakni memberikan public service kepada masyarakat sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawab departemen masing-masing. Aabila diacu pendapat A.F. Leemans tentang penentuan batas-batas wilayah administrasi, maka dalam penyelenggaraan dekonsentrasi di Indonesia menganut sistem integrated field administration (B. Hossien ;2000) atau apabila dikaitkan dengan tipologi pemerintahan daerah menurut Robert C. Fried, maka Indonesia menganut integrated prefectoral system (B. Hossein; 1978) Pada sisi lain, jika dikaitkan dengan pembagian wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan asas desentralisasi,

Upload: enchink-qw

Post on 28-Nov-2014

573 views

Category:

Education


2 download

DESCRIPTION

buku ini menjelaskan tentang bagaimana gambaran pelayanan publik secara desentralisasi pada era otonomi daerah

TRANSCRIPT

Page 1: desentralisasi public service dalam era otonomi daerah

36

DESENTRALISASI PUBLIC SERVICE DALAM ERA OTONOMI DAERAH

Oleh : Sri Susilih

Staf Pengajar Jurusan Ilmu Administrasi, Program Studi Administrasi Negara,

Universitas Indonesia.

Ada dua tema yang menjadi perhatian jika membahas tentang pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah, yaitu dekonsentrasi dan desentralisasi. Dekonsentrasi (sebagai penghalusan dari sentralisasi) diselenggarakan untuk mewakili kepentingan nasional. Desentralisasi diselenggarakan untuk mewakili kepentingan nasional. Desentralisasi diselenggarakan untuk mewakili kepentingan masyarakat setempat (lokal) di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat masyarakat tiap masyarakat lokal memiliki keunikan masing-masing, dengan demikian hanya cocok jika instrumen desentralisasi diterapkan.

Dekonsentrasi diberikan pengertian sebagai pelimpahan wewenang (delegation of authority), desentralisasi sebagai penyerahan wewenang (transfer of authority) . Dalam dekonsentrasi delegation of authority hanya menyangkut policy executing yakni melaksanakan kebijakan yang sudah ditentukan dari pemerintah pusat. Sedangkan dalam desentralisasi transfer of authority termasuk didalamnya policy making dan policy executing, yakni berwenang membuat kebijakan sendiri dan sekaligus melaksanakannya.

Jika dikatikan dengan pembagian wilayah negara Republik Indonesia, maka dekonsentrasi akan melahirkan wilayah

administrasi atau B.C. Smith disebut Field Administration. Yaitu propinsi kabupaten/kota, kota administratif (sudah tidak dikenal berdasarkan UU No 22/1999), kecamatan. Pejabat-pejabat pusat didaerah yang menerima pelimpahan wewenang dalam yurisdikasi wilayah administrasi disebut Field Administrator. Ada dua tipe pejabat, yaitu pejabat pejabat yang disebut Kepala Wilayah : Gubernur, Bupati, Walikotamadya (Walokota Administratif), Camat. Pejabat-pejabat ini menjalankan pemerintahan umum (administrator generalist) seperti ketertiban umum, koordinasi. Disamping itu ada pejabat Kepala Instansi Vertikal yang berasal dari departemen teknis. Pejabat-pejabat ini menjalankan pemerintahan umum (administrator specialist) yakni memberikan public service kepada masyarakat sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawab departemen masing-masing. Aabila diacu pendapat A.F. Leemans tentang penentuan batas-batas wilayah administrasi, maka dalam penyelenggaraan dekonsentrasi di Indonesia menganut sistem integrated field administration (B. Hossien ;2000) atau apabila dikaitkan dengan tipologi pemerintahan daerah menurut Robert C. Fried, maka Indonesia menganut integrated prefectoral system (B. Hossein; 1978)

Pada sisi lain, jika dikaitkan dengan pembagian wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan asas desentralisasi,

Page 2: desentralisasi public service dalam era otonomi daerah

Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret 2002 37

maka akan melahirkan Daerah Otonom yaitu kesatuan masyarakat yang mempunyai wewenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No 22/1999). Di Indonesia berdasarkan UU No 5/1974 dikenal dua tingkatan daerah otonom, yaitu Daerah Tingkat I (Dati I) dan daerah Tingkat II (Dati II). Namun menurut UU No 22/1999 tidak dikenal sebutan/nomenklatur daerah Tingkat I dan DAERAH Tingkat II lagi mengingat Indonesia menganut integrated prefectoral system, maka batas-batas wilayah administrasi berhimpit dengan wilayah dari daerah otonomi (Fused Model menurut A.F. Leemans). Demikian juga elemen jabatan diintegrasikan di tangan pejabat dari orang yang sama. Seorang Kepalan Wilayah juga merangkap sebagai Kepala Daerah, dalam hal ini seorang kepala Wilayah lebih mengutamakan kepentingan pemerintahan pusat dari pada kepentingan masyarakat daerah.

Dari uraian tersebut, jika dekonsentrasi dan desentralisasi diperbandingkan maka terlihat masih kuatnya dominasi dekonsentrasi dari pada desentralisasi. Struktur hirarkhi wilayah administrasi yang lebih banyak dibandingkan dengan susunan daerah otonom. Akan menimbulkan birokratisasi yang melemahkan sendi-sendi demokrasi (B Hoessein;2000) yang hendak dikembangkan dalam penyelenggaraan desentralisasi.

Pemberian otonomi daerah sebagai perwujudan dari desentralisasi pada hakekatnya memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (UU No 22/1999). Dengan otonomi sesungguhnya daerah

diberikan kebebasan untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang terbaik bagi masyarakatnya. Dengan otonomi diharpkan akan tercipta masyarakat yang tumbuh atas dasar inisiatif/prakarsa sendiri, sehingga akan melahirkan masyarakat yang kreatif –inovatif tanpa ada kekangan dari pemerintah pusat.

Desentralisai merupakan keharusan dan kebutuhan setiap masyarakat apapun bentuk dan ideologi negaranya. Praktek penyelenggaraan sentralisasi yang berlebihan terbukti menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan warga masyarakat terhadap pemerintahannya. Desentralisasi sangat didambakan/disukai, dan karenanya memiliki nilai (value) baik sedangkan sentralisasi bernilai buruk sehingga cenderung ditolak. Desentralisasi menurut berbagai pakar memiliki segi positif, diantaranya : secara ekonomi, meningkatkan efisiensi dalam penyediaan jasa dan barang publik yang dibutuhkan masyarakat setempat, megurangi biaya, meningkatkan output dan lebih efektif dalam penggunaan sumber daya manusia. Secara politis, desentralisasi dianggap memprkuat akuntabilitas, political skills dan integrasi nasional. Desentralisasi lebih mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya, memberikan/menyediakan layanan lebih baik, mengembangkan kebebasan, persamaan dan kesejahteraan (B.C. Smith : 1985)

Desentralisasi/otonomi adalah persoalan yang menyangkut hak asasi manusia, oleh karena dalam desentralisasi/otonomi individu diberikan kebebasan untuk berpikir dan bertindak atas dasar aspirasi masing-masing, tiap individu dipenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara dan kualitas yang terbaik, berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi dan

Page 3: desentralisasi public service dalam era otonomi daerah

Sri Susilih – Desentralisasi Public Service 38

politik, dengan tidak ada kontrol langsung dari pemerintah pusat.

Dalam era otonomi daerah, dituntu peranan pemerintah daerah untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat daerahnya dengan penyediaan public services yang sangat dibutuhkan. Pergeseran paradigma dari good government menuju good governance (local governance), akan melibatkan hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya dalam kegiatan/urusan urusan pemerintahan. Dalam good governance harus ada keseimbangan antara publik, privat dan sosial/ masyarakat. Dengan demikian desentralisasi/otonomi tidak hanya berupa penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, tetapi juga penyerahan wewenang kepada masyarakat (J.B. Kristiadi :1994). Berkiatan dengan ini, bagaimana posisi pemerintah daerah dalam penyediaan public services yang melibatkan partisipasi privat dan masyarakat.

Desentralisasi melahirkan local government. Konsep local government dapat mengandung tiga arti : (B. Hoessien : makalah). Pertama, penggunaan istilah local government sering kali saling dipertukarkan dengan istilah local authority. Namun kedua istilah tersebut mengacu pada council (DPRD) dan major (KDH) yang rekruitment pejabatnya atas dasar pemilihan.

Kedua, local government berarti pemerintahan lokal yang dilakukan oleh pemerintahan lokal (mengacu pada fungsi).

Ketiga, local government berarti daerah otonom.

Local government memiliki otonomi (lokal), dalam arti self governmet.

Di Indonesia istilah local government berarti pemrintah daerah yang memiliki otonomi daerah. Pemerintah daerah diselenggarakan oleh Kepala Daerah (KDH) selaku penyelenggara pemerintahan tertinggi. Bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) KDH melaksanakan fungsi policy making dan sekaligus melakukan fungsi policy execuring dengan menggunakan instrumen perangkat birokrasi lokal (local burcaucracy). Dalam hal yang menyangkut public services dilaksanakan oleh dinas-dinas daerah, BUMD (Badan Usaha Milik Daerah)

Public services (pelayanan publik) memiliki karakteristik sebagaimana dikemukakan oleh Olive Holtham (Leslie Willcocks dan Jenny Harraw : 1992).

1. Generally cannot choose customer

2. Roles limited by legislation

3. Politics institutionalizes conflict

4. complex accountability

5. very open to security

6. action must be justified

7. Objectives-outputs difficult to state /measure

Dengan karakteristik tersebut, pelayanan publik memerlukan organisasi yang berbeda dengan organisasi yang dapat memilih konsumennya secara selektif. Setiap terjadi kenaikan harga atas suatu public services harus dibicarakan atau harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pihak legislatif (Achmad Nurmadi :1999).

Terdapat jenis public service seperti penyediaan air bersih, listrik, infrastruktur dan sebagainya tidak sepenuhnya dapat

Page 4: desentralisasi public service dalam era otonomi daerah

Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret 2002 39

diserahkan berdasarkan mekanisme pasar pasar. Ada kelompok masyarakat yang tidak dapat menikmati public service tertentu (ini berkaitan dengan aspek pemerataan), jika ditangani oleh sistem pasar/privat. Gejala ini disebut kegagalan pasar (market failure). Salah satu bentuk intervensi pemerintah adalah dengan penyediaan barang-barang publik (public goods). Public goods dicirikan oleh dua karakteristik yaitu (1) “non-exludability” dan (2) non-rivalry consumption”. Karakteristik non-excludability barang publik diartikan bahwa orang-orang yang membayar agar dapat mengkonsumsi barang itu tidak dapat dipisahkan dari orang-orang yang tidak membayar tetapi dapat mengkonsumsinya juga. Sedangkan karakteristik non rivalry consumption diartikan bahwa bila seseorang mengkonsumsi barang itu, orang lainpun mempunyai kesempatan mengkonsumsinya pula.

Oleh karena pihak swasta tidak bersedia menghasilkan barang publik (murni), maka pemerintahanlah yang harus menyediakannya agar kesejahteraan seluruh masyarakat dapat ditingkatkan (Nurdjaman Arsjad, dkk :1992). Intervensi pemerintah akan lebih menonjol dilakukan oleh pemerintah daerah yang bercirikan pedesaan (rural). Ini disebabkan tuntutan masyarakat di perkotaan lebih mendesak daripada di pedesaan. Kenyataan yang tidak dihindari adalah terjadinya pergeseran barang/jasa privat berubah menjadi barang/jasa publik (dan sebaliknya), misal pemadam kebakaran. Di pedesaan pemadam kebakaran bersifat barang/jasa privat sehingga tidak diperlukan Dinas Pemadam Kebakaran, tetapi di Perkotaan berubah menjadi barang /jasa publik. Konsekuensinya adalah bila semakin banyak barang/jasa privat yang tidak dapat dihindari berubah sifat menjadi barang /jasa publik, maka beban pemrintah akan semakin tinggi. Hal ini sering dikatakan sebagai

fenomena government growth (Sudarsono H:1997). Pertumbuhan beban pemerintah ini akan semakin berkebihan bukan hanya karena berubahnya barang privat menjadi barang publik saja, tetapi terurtama juga jika pemerintah tidak secara selektif menentukan batas-batas pekerjaannya. Adakalanya barang/jasa yang sebenarnya bercirikan barang/jasa privat masih di produksi atau subsidi oleh pemerintah kecenderungan munculnya beban tambahan pemerintah yang tidak dapat dihindari, maka efisiensi, efektifitas dan akuntubulitas penyelenggaraan pemerintahan dengan sendirinya semakin menjadi kebutuhan. Itulah sebabnya di banyak negara dikembangkan paradigma reinventing government. (Sudarsoono H : 1997)

Dalam penyediaan public services oleh pemerintah, tidak tertutup kemungkinan terjadinya government failure. Dalam hal ini intervensi sektor privat dapat dimungkinkan. Beberapa alasan keterlibatan sektor privat/swasta dalam pelayanan publik : (Hendropronoto Susilo dan John L Taylor : 1995).

1. meningkatkanya penduduk di perkotaan sementara sumber keuangan pemerintah terbatas.

2. pelayanan yang diberikan sektor privat/swasta dianggap lebih efisien.

3. banyak bidang pelayanan (antara lain penyehatan lingkungan dan persampahan) idak ditangani pemerintah sehingga sektor privat/swasta dapat memenuhi kebutuhan yang belum tertangani tanpa mengambil alih tanggung jawab pemerintah.

4. akan terjadi persaingan dan mendorong pendekatan yang bersifat kewiraswastaan dalam pembangunan nasional.

Page 5: desentralisasi public service dalam era otonomi daerah

Sri Susilih – Desentralisasi Public Service 40

Prinsip-prinsip yang tertuang dalam reinventing government, terutama prinsip catalytic government : steering rather than rowing (Osborne dan Gaebler :1992), mengisyaratkan perlunya dikembangkan privatisasi (debirokrasasi) atau public-private partnership.

Istilah privatisasi pertama kali muncul dalam kamus 1983 dan didefinisikan secara sempit sebagai “menjadikan privat”, mengalihkan kontrol dan kepemilikan dari publik ke privat. Namun istilah ini telah mendapatkan pengertian yang lebih laus ; istilah privatisasi melambangkan suatu cara baru dalam memperhatikan kebutuhan masyarakat dan pemikiran kembali mengenai peranan pemerintah dalam : memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini berarti memberikan kewenangan yang lebih besar pada institusi masyarakat dan mengurangi kewenangan pemerintah dalam merumuskan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian privatisasi merupakan tindakan mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peran sektor privat dalam aktivitas atau kepemilikan asset publik. (E.S. Savas : 1986).

E.S. Savas mengajukan beberapa bentuk/model penyediaan barang dan jasa

yang menghubungkan antara konsumen, produsen dengan pengatur. Dengan demikian dalam penyediaan /pelayanan barang dan jasa terdapat 3 partisipasi/pihak/aktor utama yang terlibat yaitu :

1. konsumen (service consumer)

2. produsen (service producer)

3. pengatur (service arranger or service provider).

Konsumen : secara langsung memperoleh atau menerima pelayanan.

Producer : adalah agen dapat berupa instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah atau lembaga swasta yang secara nyata dan langsung menghasilkan atau memberikan pelayanan kepada konsumen.

Pengantar : adalah agen/lembaga yang mengatur mekanisme antara produsen dan konsumen. Lembaga ini dapat berasal dari lembaga pemerintah ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Hubungan ketiga elemen /pihak yang terlibat dalam pelayanan publik dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Arranger

Page 6: desentralisasi public service dalam era otonomi daerah

Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret 2002 41

Consumer Producer

Keterangan :

= Garis kewenangan

= Garis pelayanan

= Garis pembayaran

Bentuk-bentuk /model-model pelayanan barang dan jasa adalah sebagai berikut (E.S. Savas :1986, Achmad Nurmadi : 1999)

1. Government Service Model pelayanan ini umum dilakukan di semua negara, dimana pemerintah memberikan semua jenis pelayanan publik kepada pemerintah memberikan semua jenis pelayanan publik kepada masyarakat. Pemerintah menjalankan fungsi sebagai pengatur pelayanan (service arranger) dan produsen pelayanan (service procuder). Perangkapan tugas produksi dan pengatur (provisi)ini berkaitan dengan kebijakan ekonomi makro yang diatur suatu negara.

2. Intergovernmental Agreement Di tingkat yang lebih tinggi, pemerintah pusat dapat pula mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan. Dalam model ini konsumen membayar secara langsung biaya pelayanan kepada pemerintah daerah atau yang menjalankan fungsi provisi.

Sedangkan fungsi produksinya tetap dijalankan oleh pemerintah pusat.

3. Government vending Dalam model ini seorang individu dapat membeli pelayanan dari pemerintah sesuai dengan kebutuhannya. Dalam hal ini, konsumen (individu organisasi) bertindak sebagai pengatur (service arranger)dan membayar kepada pemerintah atas sejumlah pelayanan publik. Misalnya : seorang individu dapat menggunakan tenaga polisi untuk mengontrol (mengawasi) penonton dalam pertandingan olah raga yang dimiliki secara pribadi

4. Contract Dalam model ini pemerintah dapat mengontrak atau memberikan mandat jkepada perusahaan negara (atau daerah kalau di daerah) untuk memberikan pelayanan. Pihak yang dikontrak adalah perusahaan swasta, misalnya pemerintah mengontrak perusahaan swasta untuk penyapuan jalan, pemeliharaan lampu jalan, pemeliharaan traffic light, penyedotan tinja, pengumpulan

Page 7: desentralisasi public service dalam era otonomi daerah

Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret 2002 37

sampah dan lain-lain. Dalam model ini, produksi dan provisi pelayanan dilakukan oleh pihak yang memperoleh hak kontrak, dalam hal ini pihak swasta. Sedangkam komsumen membayar secara langsung atas biaya pelayanan yang diterima kepada produsen.

5. Grant Dalam model Grant, pemerintah memberikan subsidi kepada produsen, dengan tujuan menurunkan harga barang dan jasa pelayanan. Secara umum, pemerintah memberikan penurunan nilai pajak yang harus dibayar oleh produsen pada berbagai bidang pelayanan publik. Produsen adalah pihak swasta, sedangkan pemerintah dan masyarakat (konsumen) bertindak sebagai co-arranger. Artinya, pemerintah menyeleksi perusahaan swasta tertentu dari sejumlah perusahaan swasta yang berminat, sedangkan masyarakatpun melakukan pilihan pada pelayanan yang diberikan perusahaan manakah yang layak sesuai dengan mekanisme pasar.

6. Voucher Dalam model voucher ini, konsumsi barang-barang tertentu diarahkan secara khusus kepada konsumen tertentu. Perusahaan swasta yang memberikan pelayanan dibayar secara langsung oleh pemerintah. Namun dalam kasus ini, konsumen secara bebas memilih barang dan jasa yang dikehendakinya.

7. Franchise Dalam model ini pemerintah memberikan hak monopoli kepada suatu perusahaan swasa untuk memberikan pelayanan dalam suatu batas geografis tertentu, dan pemerintah menentukn tarif yang

harus dibayar oleh konsumren. Pemerintah dalam kasus ini melakukan fungsi sebagai pengatur dan perusahaan swasta untuk pelayanan yang diberikan, sedangkan konsumen membayar secara langsung kepada perusahaan swasta tersebut.

8. Market Dalam sistem pasar, konsumen memilih secara produsen barang dan jasa yang dikehendaki sesuai dengan kualitasnya tanpa campur tangan pem,erintah dalam mekanisme ini. Dalam mekanisme pasar pemerintah tidak berperan, baik sebagai penyedia jasa maupun sebagai pengatur pelayanan jasa (srvice arranger). Semuanya tergantung kepada produsen dan konsumen. Mekanisme pasar seperti ini memang mempunyai keuntungan, terutama dalam mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dan kualitas pelayanan yang diberikan.

9. Voluntary Service Dalam sistem ini lembaga/organisasi swadaya secara sukarela memberikan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat. Lembaga /organisasi tersebut bertindak sebagai pengatur (service arranger) dan penyedia /produsen pelayanan (service producer).

10. Self Service Bagian terbesar dari penyediaan pelayanan jenis/model pelayanan yang disediakan /dilakukan sendiri oleh individu/masyarakat (self service atau self-help). Misalnya : - pemeliharaan kesehatan - perlindungan dari bahaya

kebakaran/pencurian - kesejahteraan, dsb.

Page 8: desentralisasi public service dalam era otonomi daerah

Sri Susilih – Desentralisasi Public Service 38

Jenis atau model pelayanan ini umumnya dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, baik yang tinggal di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan.

Misalnya :

- Pelayanan pengumpulan sampah

- Kebersihan desa/lingkungan

- Pembuatan Jalan/Gang, dsb.

Model-model pelayanan publik yang telah diuraikan merupakan ilustrasi aktivitas penyediaan pelayanan publik di Amerika Serikat. Sedangkan di Indonesia beberapa bentuk pelayanan publik yang melibatkan sektor swasta antara lain : BOT (Build, operate and transfer), BOO (build, operate and own), BOOT (build, operate, own, and transfer) dan sebagainya.

Perkembangan pemikiran berikutnya mengenai perlunya perubahan peran pemerintah daerah dalam penyediaan public services, adalah apa yang dikemukakan oleh S. Leach tentang “enabling authority” (Steve Leach, et.al, 1994). Dalam hal ini pemerintah daerah tidak lagi menyediakan public services secara sendiri tetapi melibatkan juga kewenangan sektor privat/swasta dan masyarakat dengan voluntary organisationnya sebagai alternatif terdapat tiga dimensi public services :

1. dimensi ekonomi (the economic dimension) dalam produksi dan distribusi local goods and services apakah menekankan pada peranan pasar peranan pasar (market emphasis) atau pada peranan sektor publik (public sector agencies).

2. dimensi pemerintah (the governmental dimension) dimensi ini membedakan antara weak role for local government dan strong role for local government (peranan pemerintah lemah) ditandai sempitnya fungsi tanggung jawab, bertindak reaktif, otonomi/diskresi rendah dan derajat kontrol eksternal (pemerintah pusat) yang tinggi. Strong role for local government (peranan pemerintah kuat)ditandai oleh luasnya fungsi tanggung jawab, bertindak positif, tingkat otonomi/diskresi tinggi dan tingkat kontrol eksternal terbatas.

3. dimensi bentuk demokrasi (the form of democracy) ada dua bentuk demokrasi lokal, yaitu representative democracy dan participatory democracy. Dalam representative democracy (demokrasi perwakilan). Preferensi masyarakat diekspresikan melalui sistem pemilihan lokal. Sedangkan dalam participatory democracy (demokrasi partisipasi), partisipasi masyarakat lokal dan forum demokrasi dipandang sebagai unsur utama dalam pengambilan keputusan lokal, dengan suatu kerangka kebijakan yang dilegitimasikan melalui pemilihan yang sukses.

Berdasarkan ketiga dimensi tersebut dikembangkan emapt model kewenangan dalam public services, yaitu :

The traditional bureaucratic authority

Page 9: desentralisasi public service dalam era otonomi daerah

Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret 2002 39

Model ini mengkombinasikan secara relatif :

- sektor publik yang kuat,

- peranan local governance yang kuat, dan

- penekanan pada representative democracy.

Dalam model traditional bureaucratic authority, pemerintah menyediakan public services secara langsung, pemerintah adalah aktor utama yang dapat menyediakan seluruh public services yang sekiranya dibutuhkan masyarakat, pemerintah bersifat monopolistik. Akibatnya beban pemerintah sangt berat, masyarakat tidak dapat menolak public services yang disediakan (walaupun tidak dibutuhkan) karena pemerintah cenderung menyeragamkan penyediaan public services.

Di masa depan, peran monopoli pemerintah dalam model traditional bureaucratic authority ini perlu dirubah ke arah tig model berikutnya yang mencerminkan partisipasi dari aktor privat dan masyarakat .

Dengan kata lain terjadi proses privatisasi.

The residual enabling authority

Model yang terbentuk dengan mengkombinasikan :

- peranan pasar yang kuat

- local governance lemah, dan

- tidak memihak pada salah satu bentuk demokrasi.

Menurut model ini, pemerintah menyediakan public services yang tidak diadakan oleh sektor privat karena adanya kegagalan pasar. Jadi peranan pemerintah terbatas pada jenis public dan services tertentu yang pengadaannya harus mengutamakan pemerataan/keadilan untuk menghindari terjadinya kesenjangan sosial (social gap).

The market-oriented authority

Mengkombinasikan dimensi-dimensi :

- menekankan pada peranan pasar yang kuat

- peranan local governance yang kuat, dan

- representative democracy.

Public services disediakan melalui mekanisme pasar sehingga masyarakat dapat memilih Public services yang sesuai dengan kebutuhannya, dapat menikmati Public services yang berkualitas. Pemerintah dalam model ini mempunyai peranan kuat dalam mengatur dan mengontrol mutu Public services yang diadakan sektor privat/swasta.

The community-oriented enabler

Model yang mengkombinasikan dimensi-dimensi :

- partisipasi masyarakat

Page 10: desentralisasi public service dalam era otonomi daerah

Sri Susilih – Desentralisasi Public Service 40

- posisinya berada di antara dimensi local governance dan sektor publik/privat.

Dalam model ini, masyarakat melalui voluntary organization berhak menolak Public services yang tidak dikehendaki, dapat mengusahakan Public services yang dibutuhkan. Model ini dapat menumbuhkan inovasi-inovasi dalam masyarakat.

Demikianlah yang dikemukakan oleh Savas dan Steve Leach memperlihatkan kecenderungan untuk menempatkan masyarakat (diluar pemerintah) sebagai subyek dalam aktivitas pemenuhan

kebutuhan hidupnya baik fisik maupun mental. Apabila masyarakat diberikan kesempatan berpartisipasi, kebebasan berkreasi tanpa terlalu dikontrol pemerintah, akan tumbuh kreativitas sehingga muncul inovasi-inovasi dalam masyarakat. Posisi pemerintah hanyalah sebagai perantara, fasilitator atau katalisator. Kata govern yang berasal dari kata Yunani artinya “mengarahkan”. Tanggung jawab pemerintah adalah untuk mengarahkan /mengemudikan (steering) masyarakat. Dalam kaitan ini pemerintah menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai pedoman berprilaku masyarakat.

Referensi :

Buku

Arsyad, Nurdjaman. et.al. Keuangan Negara. Jakarta : Intermedia, 1992

D.W. Nana Rukmana. et.al.Manajemen Pembangunan Prasarana Perkotaan. Ed. Jakarta : LP3ES, 1995

Leach, Steve. et.al. The Changing Organization and Management of Local government. London : Macmillan Press Ltd, 1994.

Nurmadi, Achmad, Manajemen Perkotaan Yogyakarta : Lingkaran Bangsa, 1999.

Page 11: desentralisasi public service dalam era otonomi daerah

Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret 2002 41

Osborne, David dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi : Menstransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor Publik, terj. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo, 1996.

Savas, E.S. Privatisation : The Key To Better Government. New Jersey, 1987.

Smith, B.C. Decentralization : The Territorial Dimension of the State, 1985.

Willock, Leslie et.al.Rediscovering Public Services Managemet. Ed. London : McGraw-Hill, 1992.

Makalah

H Sudarsono “Pelayanan Prima Sektor Swasta Dalam Mendukung Daya Saing : Model Alternatif Bagi Sektor Publik 1997.

Hoessein, B. makalah

----------, makalah

majalah dan Jurnal

Analisa, tahun VII No 8, Agustus, 1978

Bisnis & Birokrasi, Vol. II/Nomor 3/September, 1994

Bisnis & Birokrasi, Vol. VII/Nomor 3/ Oktober, 2000