dermatitis kontak iritan
DESCRIPTION
Makalah 1 KPMS-1TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis kontak adalah inflamasi pada kulit yang terjadi karena kulit telah terpapar
oleh bahan yang mengiritasi kulit atau menyebabkan reaksi alergi. Dermatitis kontak akan
menyebabkan ruam yang besar, gatal dan rasa terbakar dan hal ini akan bertahan sampai
berminggu-minggu. Gejala dermatitis kontak akan menghilang bila kulit sudah tidak terpapar
oleh bahan yang mengiritasi kulit tersebut.
Dermatitis kontak alergi adalah reaksi kekebalan tubuh yang terjadi pada seseorang
yang terlalu sensitif terhadap bahan kimia tertentu. Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun
DKI makin bertambah seiring bertambahnya jumlah produk mengandung bahan kimia yang
dipakai oleh masyarakat. Data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa
dermatitis kontak akibat kerja karena alergi berkisar antara 50-60%. Pada DKA, peradangan
mungkin belum terjadi sampai 24 – 36 jam jam setelah kontak dengan bahan kimia tersebut.
Bentuk alergi berbeda dari satu orang ke orang lain. Alergen (bahan yang menyebabkan
alergi) yang biasa menjadi penyebab DKA adalah bahan kimia yang mengandung nikel yang
banyak terdapat di jam tangan, perhiasan logam, resleting dan objek logam lainnya; neomisin
pada antibiotik salep kulit; potassium dikromat, bahan kimia yang sering terdapat pada sepatu
kulit dan baju; latex pada sarung tangan dan pakaian karet. Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
disebabkan oleh kontak kulit dengan alergen tertentu. Reaksi alergi menyebabkan peradangan
pada kulit berupa eritema, edema, dan vesikel. Dermatitis kontak alergi merupakan jenis
dermatitis kontak terbesar kedua setelah dermatitis kontak iritan.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang remaja umur 17 tahun datang berobat ke klinik RS Trisakti mengeluh merah
gatal di ketiak kiri dan kanan sejak 8 minggu yang lalu.
OS sejak beberapa tahun ini merasa bau badannya tidak sedap, oleh karena itu dia
memakai bedak BB, yang di pakainya setiap hari sejak ± 4 bulan yang lalu.
OS mengaku tidak pernah alergi. Sejak 3 minggu yang lalu, OS merasa ketiaknya
gatal dan merah. OS mengobatinya dengan bedak kocok, tapi makin parah.
Ibu OS menderita gatal-gatal yang kronis dan tebal terutama pada punggung, kaki dan lutut.
Adik OS bila minum obat paracetamol, bibir dan kelopak mata bengkak dan gatal seluruh
badan.
Status Generalis : Tidak ada kelainan
Status Dermatologikus : Regio Axilla dextra – sinistra terdapat
Plak erithema, circumskripta, ukuran plakat diatasnya terdapat papul-papul, vesikel,
erosi, excoriasi, exudasi. Krista kuning jernih dan di beberapa tempat terdapat pustule
ukuran miliere.
Pemeriksaan Penunjang :
KOH 20% Tidak ditemukan hypa maupun spora
Tes tempel : Cresendo
2
BAB III
PEMBAHASAN
A. Identifikasi Masalah
Masalah yang terdapat pada kasus ini adalah merah gatal di ketiak kiri dan
kanan sejak 8 minggu yang lalu. Merah pada pasien ini dapat disebabkan oleh
vasodilatasi pembuluh darah dan perubahan permeabilitas kapiler. Sedangkan gatal
kemungkinan disebabkan oleh pengeluaran zat prostaglandin oleh sel mast.
B. Hipotesis
Dari keluhan utama didapatkan bahwa merah dan gatal yang merupakan hasil
dari reaksi inflamasi. Tempat lesi pada kasus ini ada di daerah ketiak (regio axilla
detra dan sinistra). Hipotesis yang dapat ditegakkan berdasarkan keluhan tersebut bisa
berupa alergi (dermatitis atopi dan dermatitis kontak alergi), iritan kuat (dermatitis
kontak iritan), infeksi (jamur dan bakteri). Penyakit infeksi jamur contohnya
kandidosis dan tinea kruris, sedangkan infeksi bakteri contohnya eritrasma. Penyakit
lain yang belum diketahui etiologinya namun tempat predileksinya ada di ketiak
adalah psoriasis inversa.
C. Anamnesis
Dalam kasus ini diperlukan anamnesis tambahan untuk membantu
menegakkan diagnosa. Diantaranya :
a. Apakah pernah mengalami keluhan merah dan gatal seperti ini sebelumnya?
b. Bila pernah, keluhan saat ini sudah serangan ke berapa?
c. Apakah sering memakai deodorant atau zat tertentu di sekitar ketiak?
d. Apakah keluhan tersebut timbul setelah meminum obat atau makanan tertentu?
(bila ditemukan tanda-tanda seperti ini di tempat lain atau kemungkinan sistemik)
e. Apakah disertai demam? (terkait infeksi)
f. Adakah di dalam keluarga yang menderita rinitis alergi atau asma bronkiale?
(terkait penyakit atopi atau dermatitis atopi)
3
D. Hasil Anamnesis dan Interpretasi
1. Identitas Diri
Umur : 17 tahun
2. Keluhan Utama
Merah gatal di ketiak kiri dan kanan sejak 8 minggu yang lalu.
3. Informasi Tambahan
a. Pasien sejak beberapa tahun merasa bau badannya tidak sedap sehingga
memakai bedak BB setiap hari sejak ± 4 bulan yang lalu.
Keterangan : Bedak BB dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya merah dan
gatal di ketiak. Bedak BB dapat mengandung anti-prespirant dimana berfungsi
untuk mengurangi sekresi keringat oleh kelenjar apokrin dengan mengecilkan
pori-pori tempat keluarnya keringat. Pada beberapa orang dengan pajanan
berulang, bedak BB dapat menjadi alergen karena sifatnya yang sama seperti
hapten.
b. Pasien mengaku tidak pernah alergi. Sejak 3 minggu yang lalu merasa
ketiaknya gatal dan merah. Pasien mengobatinya dengan bedak kocok tapi
makin parah.
Keterangan : Bedak kocok yang digunakan sebagai obat tidak membuat gatal dan
merah berkurang. Ini menandakan bahwa pasien alergi terhadap jenis bedak yang
diberikan di daerah sekitar aksilla.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Ibu pasien menderita gatal-gatal yang kronis dan tebal terutama pada
punggung, kaki dan lutut.
b. Adik pasien bila minum obat paracetamol, bibir dan kelopak mata bengkak
dan gatal seluruh badan.
Keterangan : Dari riwayat keluarga di atas didapatkan bahwa pasien ini memiliki
manifestasi klinis untuk menderita dermatitis atopi karena sifat dermatitis atopi
adalah genetik.
E. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Interpretasi
a. Status Generalis : Tidak ada kelainan.
Keterangan : Hal ini berarti bahwa pasien tidak mengalami gangguan sistemik. Jadi
masalah yang dihadapi hanya terbatas di daerah aksilla (lokal).
4
b. Status Dermatologikus : Regio Axilla dextra – sinistra terdapat
Plak erithema, circumskripta, ukuran plakat diatasnya terdapat papul-papul,
vesikel, erosi, excoriasi, exudasi. Krista kuning jernih dan di beberapa tempat
terdapat pustule ukuran miliere.
Keterangan : Lesi terdapat pada daerah lipatan regio axilla dextra dan sinistra
(artinya lesi bilateral). Terdapat plak erithema (peninggian di atas permukaan kulit
diameternya 2 cm atau lebih yang permukaannya rata dan berisi zat padat disertai
kemerahan akibat pelebaran pembuluh darah kapiler yang reversibel),
circumskripta (berbatas tegas), ukuran plakat diatasnya terdapat papul-papul
(ukuran lebih besar dari uang logam 100 rupiah dan terdapat penonjolan di atas
permukaan kulit, sirkumskrip dan berukuran diameter lebih kecil dari ½ cm),
vesikel (gelembung berisi cairan serum, beratap, berukuran kurang dari ½ cm garis
tengah dan mempunyai dasar), erosi (kehilangan jaringan yang tidak melampaui
stratum basal), excoriasi (bila garukan lebih dalam lagi sehingga tergores sampai
ujung papil maka akan terlihat darah yang keluar serum atau hilangnya jaringan
sampai dengan stratum papilare), exudasi. Krusta kuning jernih (cairan badan yang
mengering dan berasal dari serum) dan di beberapa tempat terdapat pustule ukuran
miliere (vesikel yang berisi nanah dan berukuran sebesar kepala jarum pentul).
F. Hasil Pemeriksaan Penunjang dan Interpretasi
1. KOH 20% Tidak ditemukan hypha maupun spora
Pada pemeriksaan dengan menggunakan KOH 20% didapatkan hasil
bahwa tidak ada infeksi jamur pada pasien ini karena tidak ditemukan adanya
hypha maupun spora. Dinding sel jamur berlapis-lapis dan komposisi yang
terbanyak adalah polisakarida dan khitin, fungsinya adalah melindungi sel dari
perubahan tekanan osmotik dan memberi bentuk pada sel. Kegunaan KOH
20% dalam pemeriksaan ini adalah untuk melisiskan epitel kulit manusia,
sehingga khitin pada dinding sel jamur tampak karena khitin tidak larut
dengan KOH 20%. Namun pada pasien ini hasil pemeriksaan dengan KOH
20% negatif.
5
2. Tes Tempel + Cresendo
Tes tempel biasanya dilakukan di punggung. Untuk melakukan uji
tempel diperlukan antigen biasanya antigen standar buatan pabrik misalnya
Finn Chamber System Kit dan antigen bukan standar yang dapat berupa
bahan kimia murni atau bahan campuran yang berasal dari rumah dan
lingkungan kerja. (1)
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan
pemeriksaan uji tempel ini :
a. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh) karena bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi “angry back” atau
“excited skin”, reaksi positif palsu, dan memperburuk penyakit
yang sedang dideritanya.
b. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dihentikan dan penghentian penggunaan
kortikosteroid topikal di punggung karena dapat menghasilkan
reaksi negatif palsu. Luka bakar sinar matahari (sun burn) yang
terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat memberi hasil
negatif palsu.
c. Uji tempel dibuka setelah dua hari kemudian dibaca. Pembacaan
kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
d. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji
tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik) karena
dapat memberikan hasil negatif palsu. Penderita dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam dan juga diminta menjaga agar
punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai
pembacaan terakhir selesai.
e. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap
penderita yang memiliki riwayat tipe urtikaria dadakan karena
dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi
anafilaksis. Pada penderita semacam ini dilakukan tes dengan
prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas.
Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas agar efek tekanan
6
bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti
berikut :
1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa (?)
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=not tested)
Interpretasi hasil: Pada pasien ini didapatkan hasil yaitu +Cresendo yang
berarti bahwa ia mengalami respon positif terhadap alergi yang menjadi lebih jelas
antara pembacaan pertama dan kedua. Hal ini menandakan bahwa pasien menderita
dermatitis kontak alergika. Dari hasil ini dapat membedakan dengan dermatitis kontak
iritan dimana hasilnya adalah tipe decresendo.
G. Diagnosa Kerja
Pada awalnya, kami memiliki beberapa hipotesa berdasarkan keluhan utam
pasien yaitu dermatitis kontak iritan, dermatitis atopik, penyakit infeksi jamur
(kandidosis & tinea kruris), penyakit infeksi bakteri (ertitrasma) dan prosiaris infersa.
Dermartitis kontak iritan kami singkirkan karena pada hasil pemeriksaan penunjang
yaitu test tempel didapatkan hasil +cresendo, seharusnya jika dermatitis kontak iritan
maka hasil test tempelnya yaitu +decresendo. Dermatitis atopik disingkirkan karena
berdasarakan kriteria mayor minor untuk mendiagnosa deratitis atopik pasien ini tidak
memunuhi kriteria tersebut. Hasil pemeriksaan KOH 20% menunjukkan bahwa pasien
ini tidak terinfeksi oleh jamur, sehingga hipotesis tinea kruris dan kandidosis dapat
disingkirkan. Keluhan utama pada kasus ini adalah gatal dan kemerahan, tetapi gejala
pada Eritrasma dan Psoriasis infersa tidak ditemukan gejala gatal. Maka diagnosis
kerja yang kami dapatkan adalah Dermatitis kontak alergika kronik ekserbasi akut.
Diagnosa ini didasarkan pada hasil anamnesa dimana pasien mengeluh merah
gatal di ketiak kiri dan kanan sejak 8 minggu yang lalu dan penggunaan bedak BB
yang menimbulkan keluhan setelah penggunaan yang terlalu sering juga bedak kocok
yang memperburuk merah dan gatalnya. Diduga pasien memiliki alergi terhadap
7
bedak tersebut. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda dermatitis kontak
alergika yang sudah akut yaitu berupa krusta kuning jernih dan papul-papul namun
dapat juga ditemukan tanda-tanda yang akut berupa plak erithema yang berbatas jelas,
vesikel, erosi, excoriasi dan exudasi (basah). Dari pemeriksaan penunjang yaitu tes
tempel didapatkan hasil +Cresendo yang semakin memperkuat diagnosa.
H. Penatalaksanaan
a. Non medika mentosa
Hal utama yang harus dilakukan adalah edukasi kepada pasien untuk menghindari
kontak dengan alergen dimana dalam kasus ini bedak BB sebagai alergennya.
Juga ingatkan pasien untuk selalu menjaga kebersihan tubuh. Selain itu dapat di
kompres dengan larutan garam faal atau larutan air salisil (1:1000) bila masih akut
dan jenis lesinya masih basah.
b. Medika mentosa
Pada kasus ini dapat diberikan antiperadangan topikal misalnya kortikosteroid.
I. Prognosis
Ad vitam : ad bonam, karena berdasarkan epidemiologinya
penyakit ini tidak menyebabkan kematian dan pasien masih dapat hidup.
Ad functionam : ad bonam, karena fungsi organ tubuh tidak mengalami
gangguan dan masih dapat bekerja dengan baik.
Ad sanationam : dubia ad bonam, karena hal ini sangat tergantung
kepada upaya pasien dalam melakukan pencegahan terhadap pajanan atau
kontak dengan alergen.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Kulit
Kulit adalah organ
tubuh yang terletak paling
8
luar dan membatasinya dari lungkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5
m2 dengan berat rata-rata 15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan
vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks,
elastis, dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga
bergantung pada lokasi tubuh.
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu :
1. Lapisan epidermis
2. Lapisan dermis
3. Lapisan subkutis
Epidermis adalah bagian terluar kulit. Bagian ini tersusun dari jaringan epitel
skuamosa bertingkat yang mengalami keratinisasi; jaringan ini tidak memiliki
pembuluh darah; dan sel-selnya sangat rapat. Bagian epidermis yang paling tebal dapat
ditemukan pada telapak tangan dan telapak kaki yang mengalami statifikasi menjadi
lima lapisan berikut :
a. Startum basalis (germinativum) adalah lapisan tunggal sel-sel yang melekat pada
jaringan ikat dari lapisan kulit di bawahnya, dermis. Pembelahan sel yang cepat
berlangsung pada lapisan ini an sel ini baru didorong masuk ke lapisan berikutnya.
Disalam sel ini juga terdapat melanosit yang fungsinya untuk memproduksi
melanin untuk pigementasi.
b. Stratum spinosum adalah lapisan sel spina atau tanduk, disebut semikian karena
sel-sel tersebut disatukan oleh tonjolan yang menyerupai spina. Spina adalah
bagian penghubung intraselular yang disebut desmosom
c. Stratum granulosum terdiri dari tiga atau lima lapisan barusan sel dengan
granula-granula keratohialin yang merupakan prekursor pembentukan keratin.
Keratin adalah protein keras dan resilien, anti air serta melindungi permukaan kulit
yang terbuka.
d. Stratum lusidium adalah lapisan jernih dan tembus cahaya dari sel-sel gepeng
tidak bernukleus yang mati atau hampir mati dengan ketebalan empat sampai tujuh
lapisan sel
9
e. Stratum korneum adalah lapisan epidermis terats, terdiri dari 25 sampai 30
lapisan sisik tidak hidup yang sangat terkeratinisasi dan semakin gepeng saat
mendekati permukaan kulit.
Dermis dipisahkan dari lapisan epidermis dengan adanya membran dasar atau lamina.
Membran ini tersusun dari dua lapisan jaringan ikat.
a. Pars papilare adalah jaringan ikat aeolar renggang dengan fibroblas, sel mast, dan
makrofag. Lapisan ini mengandung banyak pembuluh darah, yang memberi nutrisi
pada epidermis di atasnya.
1) Papila dermal serupa jari, yang mengandung reseptor sensorik taktil dan
pembuluh darah, menonjol ke dalam lapisan epidermis.
2) Pada telapaka tangan dan telapak kaki, papila uang ada sangat banyak dan
tinggi.
3) Pada tonjolan dn guratan pada telapak tangan dan telapak kaki pada setiap
orang sangat unik dan mencerminkan pengaturan papila dermal. Kegunaan
guratan tangan adalah untuk mempermudah penggenggaman melalui
pengingkatan friksi.
b. Pars retikulare terletak lebih dalam dari lapisan papilar. Lapisan ini tersususn dari
jaringa ikat irreguler yang rapay, kolagen dan serat elastik. Sejalan dengan
penambahan usia, deteriorasi normal pada simpul kolagen dan serat elastik
mengakibatkan pengeriputan kulit
Subkutan atau hipodermis mengikat kulit secara longgar dengan organ-organ yang
terdapat dibawahnya. Lapisan ini megandung jumlah sel lemak yang beragam,
bergantung pada area tubuh dan nutrisi individu, serta berisi banyak pembuuh darah
dan ujung saraf.(2)
B. Dermatitis Kontak Alergika
Dermatitis kontak alergika (DKA) Sering dijumpai dan terjadi pada daerah
tertentu tempat alergen mengadakan kontak dengan kulit.1 Penyebab DKA adalah
bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (<1000 dalton),
merupakan alergen yang belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat
10
reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis di
bawahnya (sel hidup). Banyak faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA misalnya
potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama
pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum dan pH. Juga faktor
individu misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum,
ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan
sinar matahari).
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respons
imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi
hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat).(3) Reaksi ini terjadi melalui dua fase yaitu fase
sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi dapat
menderita DKA.
Patogenesis
Fase sensitisasi
Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan
ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi
oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi
antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan istirahat dan hanya
berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi,
setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan
melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu
menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel Langerhans dan
meningkatkan sekresi sitokin tertentu (misalnya IL-1) serta ekspresi molekul
permukaan sel termasuk MHC kelas I dan II, ICAM-1, LFA-3 dan B7. Sitokin
proinflamasi lain yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNF-, yang dapat
mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adesi
sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II.
TNF- menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada
epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel
Langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat
melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel Langerhans mempresentasikan
11
kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T penolong spesifik, yaitu yang
mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel Langerhans dan
kompleks reseptor sel T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses. Ada atau
tidak adanya sel T spesifik ini ditentukan secara genetik.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel T untuk mensekresi
IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi
proliferasi sel T spesifik sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel T
memori (sel T teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke
seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata
berlangsung selama 2-3 minggu.
Fase elisitasi
Fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan ulang
alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel
Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR
kemudian diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR-antigen
akan dipresentasikan kepada sel T yang telah tersensitisasi (sel T memori) baik di
kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi. Di kulit proses
aktivasi lebih kompleks dengan hadirnya sel-sel lain. Sel Langerhans mensekresi IL-1
yang menstimulasi sel T untuk memproduksi IL-2 dan mengekspresikan IL-2R, yang
akan menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel T di kulit. Sel T teraktivasi
juga mengeluarkan IFN- yang akan mengaktifkan keratinosit mengekspresi ICAM-1
dan HLA-DR. Adanya ICAM-1 memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi dengan
sel T dan leukosit yang lain yang mengekspresi molekul LFA-1. Sedangkan HLA-DR
memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi langsung dengan sel T CD4+ dan juga
memungkinkan presentasi antigen kepada sel tersebut. HLA-DR juga dapat
merupakan target sel sitotoksik pada keratinosit. Keratinosit menghasilkan juga
sejumlah sitokin antara lain IL-1, IL-6 dan TNF- untuk mengaktivasi sel T. IL-1
dapat menstimulasi keratinosit menghasilkan eikosanoid. Sitokin dan eikosanoid akan
mengaktifkan sel mast dan makrofag. Sel mast yang berada di dekat pembuluh darah
dermis akan melepaskan antara lain histamin, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2
dan PGD2 dan leukotrien B4 (LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mast
12
(prostaglandin) maupun keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi vaskular. Fase
elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam.(1)
Gejala Klinis
Keluhan umum penderita ialah gatal. Pada fase akut, DKA dimulai bercak
eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau
bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA
akut di tempat tertentu, seperti kelopak mata, penis, dan skrotum, terdapat eritema dan
edema lebih dominan daripada vesikel.
Sedangkan pada DKA kronis, terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan
mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas.
DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara autosensitisasi.
Skalp, telapak tangan dan kaki relatif resisten terhadap DKA.
Berbagai lokasi terjadinya DKA, antara lain tangan, lengan, wajah, telinga, leher,
badan, genitalia, paha dan tungkai bawah.
Pengobatan
Prinsip pengobatan dermatitis kontak meliputi upaya pencegahan terulangnya
kontak dengan alergen penyebab serta menekan kelainan kuit yang timbul.
Untuk menekan kelainan kulit yang timbul, dapat diberikan terapi medikamentosa
secara sistemik maupun topikal.
Secara sistemik, dapat diberikan kortikosteroid dalam jangka pendek untuk mengatasi
peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula,
serta eksudatif, misalnnya prednison 30 mg/ hari. Umumnya kelainan kulit akan
mereda setelah beberapa hari.
Pada kasus ini, diketahui bahwa gatal dan kemerahan terdapat pada regio axillaris
dextra dan sinistra (tidak meliputi seluruh badan), maka kami tidak menganjurkan
penggunaan kortikosteroid sistemik, mengingat kortikosteroid bersifat imunosupresan
sehingga dapat memperparah reaksi alergi yang timbul di kemudian hari.(4)
Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah mendapat
pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid atau
makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus) secara topikal. Namun, kami pun tidak
13
menyarankan penggunaan makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus) secara topikal
lebih dari 2 minggu, karena dapat menimbulkan kanker.
Mengingat kelainan kulit tersebut bersifat basah, maka penanganannya
dikompres dengan larutan garam faal alau larutan air salisil (1:1000). Selain itu, untuk
mengurangi rasa gatalnya, dapat diberikan krim antigatal.
Sedangkan terapi nonmedikamentosa dapat diberikan berupa edukasi pada
pasien untuk menghindari kontak dengan alergen penyebab dermatitis yang
dideritanya. Hal ini sangat penting terkait prinsip pengobatan menghindari alergen
penyebab dermatitis, seperti yang telah disebutkan di atas.
Prognosis
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan.
Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis
oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau
terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari, misalnya berhubungan dengan
pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita.
Komplikasi
Adanya mikrolesi pada DKA yang digaruk memungkinkan terkadinya infeksi
sekunder oleh bakteri atau jamur, serta dapat menimbulkan neurodermatitis.(5)
C. Penyakit Kulit Lainnya
1. Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai
golongan, ras, an jenis kelamin. Jumlah dki cukup banyak terutama berhubungan
dengan pekerjaan.
Penyebab minculnya dermatitis ini akibat bahan yang bersifat iritan. Misalnya
bahanpelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali dll. Kelainan kulit yang terjadi
selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi juga dipengaruhi oleh
faktor lain. faktor lain tersebut antara lain lama kontak, kekerapan, adanya oklusi, dan
trauma fisis. Suhu dan lingkungan juga ikut berperan. Faktor individu juga
14
berpengaruh pada DKI. Misalnya perbedaan ketebalankuli diberbagai tempat, usia,
ras, dan jenis kelamin.wanita lebih sering terkena.
Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakn sel yag disebabkan oleh bahan iritan.
Bahan iritan merusak lapisan tanduk. Selainitu bahan iritan juga banyak merusak
membran lemak keratinosit tetapi sebagian besar dapat menenmbus membran sel dan
merusak lisosom, mitikondria. Kerusakan membran tersebutmengaktifkan fosfolipase
dan melepas asam arakidonat, diasilgliserida, platelet activating dan insotida. AA
diubah menjadi prostaglandin (pg) dan Leukotrien (LT) . PG dan LT menginduksi
vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga mempermudah
transduksi komplemen dan kinin. Pg dan Lt juga bertindak sebagai kemoatraktankuat
untuk limfosit dan neutrofil serta mengaktivasi sel mas melepaskan histamin,
sehingga memperkuat perubahan vaskular.
Rentatan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klsaik ditempat
terjadinya kontak dikulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan
iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak dimulai
dengan kerusakan stratum korneum olrh karena delipidasi yang menyebabkan
desikasi dan kehilangan fungsi senyawa.
Gejala klinis
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam tergantung pada sifat iritan.iritan
kuat membuat gejala akut, sedangkan iritanlemahmembri gejala kronis. Berdasarkan
penyebab dan pengaruh faktor ada yang mengklasifikasi dki menjadi DKI menjadi
DKI akut , lambat, dan kumulatif.
DKI akut
Penyebab DKI akut adalah iritan kuat misalnya larutamn asamsulfat dan asam
hidroklorid atau basa kuat. Biasanya terjadi karena kecelakaan dan reaksi akan segera
timbul. Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan lamanyadengan kontak
15
iritan, terbatas pada tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan
yang terlihat berupa edema, bula, mungkinjuga nekrosis.pinggir kulit berbatas tegas.
DKI akut lambat
Gambaran klinis dan gejala klinis sama dengan DKI akut tetapi baru muncul setelah 8
jam sampai 24 jam atau lebih setelah kontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan
DKI akut lambat misalnya podofilin, antralin,tretinonoin.
DKI kumulatif
Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi. Nama lainya adalah DKI kronis.
Penyebabnya kontak berulang ulang dengan iritan lemah. DKI kumulatif mungkin
terjadi karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak
cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi baru mampu bergabung dengan
faktor lain. kelainanya baru nyata setelah bermingu-mingu, bulan bahkan taun. Gejala
klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kuli tebal dan difus.
Pengobatan
Pengobatan DKI yang terpenting ialah hindaripajanan bahan iritan serta
menyingkirkan faktor yang memprtberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan baik
tidak akan terjadi komplikasi. Dan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan
topikal. Namun apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan
kortikosteroid topikal misalnya hidrokortison,untuk kelainan kuli yang kronis dapat
dipakai kortikosteroid yang kuat.
Prognosis
Bila penyebab dermatitis iriyan bisa disingkirkan maka prpgnosisnya akan
baik, tetapi apabial tidak bisa disingkirkan prognosisnya akan buruk, keadaan ini
sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multifaktor.
2. Dermatitis Atopik
Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai
gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak berhubungan
dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat alergik pada keluarga.
Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan
16
likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksural). Berbagai faktor ikut berinteraksi
dalam pathogenesis DA misalnya faktor genetik, lingkungan, sawar kulit,
farmakologik, dan imunologik. Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi
imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang.
Patogenesis
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya
diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Tanpa pruritus diagnosis DA tidak dapat
ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memilki reseptor di taut
dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal
sensorik yang selanjutnya diteruskan ke thalamus kontralateral dan korteks untuk
diartikan. Rangsangan yang ringan, superficial dengan intensitas rendah menyebabkan
rasa gatal sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri.
Sebagian pathogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik.(6)
a. Imunologik
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya
seperti asma bronkial, rhinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak
dengan DA, terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinophil di dalam darah. Anak
dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berkelanjut dengan asama dan/
rhinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan
dugaan bahwa dasar DA adalah satu penyakit atopik.
DA berkaitan erat dengan reaksi hipersetivitas tipe I. Pada saat allergen masuk
maka akan ditangkap oleh reseptor sel B dan sel B berubah peran sebagai APC.
Peptida allergen akan dipersentasikan melalui MHC kelas II ke TH2, lalu TH2
teraktivasi. TH2 akan mensekresikan sitokin IL 4 dan IL 5 dan sitokin-sitokin tersebut
akan mengaktifkan sel B. Sel B akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
plasma kemudian sel plasma akan berdiferensiasi menjadi IgE.
IgE yang dihasilkan akan menempel pada sel mast, dimana sel mast tersebut
mempunyai reseptor spesifik terhadap IgE. Setelah itu sel mast akan tersensitisasi.
Dalam fase ini belum terjadi manisfestasi klinik, jika pajanan berulang dengan
allergen yang sama maka akan terjadi cross linking sehingga sel mast akan
degranulasi dan mengaktivasi mediator amin. Mediator amin tersebut contohnya
17
histamine akan menimbulkan manifestasi klinik gatal-gatal dan bronkokonstriksi.
Selain itu mediator amin juga dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah.
b. Non Imunologik
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA anatara lain
adanya faktir genetic, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kekeringan kuit
diperberat oleh udara yang lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan deteren
yang berasal dari sabun. Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal
menurur, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan
mekani, dan termal akan mengakitkan rasa gatal.
Gambaran klinis
Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup kadar lipid di epidermis
berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jadi tangan teraba dingin.
Pendrita DA cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering
merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan.
Gejala utama DA ialah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi
umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk
sehingga timbul bermacam-macam eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.
DA dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: DA infantile (terjadi usia 2 bulan
sampai 2 tahun); DA anak ( 2 sampai 10 tahun ); dan DA pada remaja dan dewasa.(1)
a. DA infantile (usia 2 bulan sampai 2 tahun) atau fase akut
DA paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya setelah usia
2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-vesikel yang halus,
karena gatal digosok, pecah, eksudatif, dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudia
meluas ke tempat lain yaitu ke scalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai.
Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk
setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak
gelisah, susah tidur dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infaltil eksudatif,
banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat meluas
generalisata bahkan, walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Lambat laub lesi
menjadi kronis dan residif. Sekitar 18 buan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian
besar penderita sembuh setelag usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya, sebagian lagi
18
berkanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami
eksaserbasi bila makan makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuh
penyakitnya.
Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi masih
ada silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan secara dramatis membaik
setela makanan tersebut dihentikan, sebaliknya ada pula yang mendapatkan tidak ada
perbedaan.
b. DA pada anak ( usia 2 sampai 10 tahun ) atau fase sub akut
Dapat merupakan kelanjtan bentuk infantile, atau tumbul sendiri ( de novo ).
Lesi lebih kerin tidak begitu eksudatif, lebih banyak paul, likenifikasi, dan sedikit
skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian
fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muka. Rasa gatal menyebabkan penderita
sering menggaruk; dapat terjadi erosi, likenifikasi, mungkin juga mengalami infeksi
sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan
gatal, sehingga terjadi lingkaran setan “siklus gatal-garuk”. Rangsangan menggaruk
sering di luar kendali. Penderita sensitive terhadap, wol, buu kucing, dan anjing, juga
bulu ayam, burung dan sejenisnya. DA berat yang meebihi 50% permukaan tubuh
dapat memperlambat pertumbuhan.
c. DA pada remaja dan dewasa atau fase kronik
Lesi kulit DA pada bentuk ini dapat berupa plak popular-eritematosa dan
berskuama, atau plak likenifikasi yang gatal. Pada DA remaja likalisasi lesi di lipat
siku, lipat lutut, dan samping leher, dahi, dan sekitar mata. Pada DA dewasa,
distribusi lesi kurang karakteristil, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan,
dapat pula ditemukan setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva,
puting susu, atau scalp. Kadang erupsi meluas, dan paling parah di lipatan, emngalami
likenifikasi dengan sedikit skuama, dan serig terjadi eksoriasi dan eksudasi karena
garukan. Lambat laun terjadi hiperpigmentasi.
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang
dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stress. Mungkin
karena stress dapat menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita topic memang sulit
mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal timbul bias mengadapakan latihan fisik.
Pada umumnya DA remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudia cenderung
menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia
19
pertengahan; hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit penderita DA
yang telag sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila terpajan bahan iritan
eksogen.
Penderita atopic beresiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira-kira 70%
suatu saat daoat mengalaminya. DA pada tangan dapat mengenai punggung maupun
telapak tangan, sulit dibedakan dengan dermatitis kontak. DA di tangan biasa timbul
pada wanita muda setelah melahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan
air sebagai pemicunya.
Untuk menegakkan diagnosis DA dunakan kriteria Hanifin dan Radja sebagai
berikut :
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Riwayat flexural dermatitis Kulit kering
Onset di bawah usia 2 tahun Ichthyosis
Adanya rasa gatal/pruris Palmar hyperlinearity
Riwayat asma Keratosis piliaris
Riwayat kulit kering Type I allergy and increased serum IgE
Adanya flexural dermatitis yang tampak Hand and foot dermatitis
Cheilitis
Nipple eczema
Presence of S. aureus and Herpes simplex
Perifolicular keratosis
Pityarisis alba
Early age of onset
Recurrent conjunctivitis
Dennie-Morgan intraorbital fold
20
Keratoconus
Cataract
Orbital darkening
Facial pallor/erythema
Anterior neck folds
Itch when sweating
Omtolerance to wool and lipid solvents
Perifolicular accentuation
Food intolerance
Course influended by environmental and
emotional factors
White dermographism or delayed blanch
Untuk mendiagnosis DA, pasien harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga
kriteria minor.
Penatalaksanaan DA
Secara umum, kulit penderita DA cenderung lebih rentan terhadap bahan
iritan. Oleh karena itu mengidentifikasi allergen kemudian menyingkirkan faktor yang
memperberat dan memicu siklus “gatal-garuk”.
Pengobatan secara topical bisa dengan Hidrasi Kulit, dengan memberikan
pelembab seperti misalnya krim hidrofilik urea 10%, dan dapat pula ditambahkan
hidrokortison 1% didalamnya. Setelah mandi, kulit di lap bersih dan kering, kemudian
memakai emolieb agar kulit tetap lembab. Emolien dipakai beberapa kali sehari,
karna lama kerjanya maksimum 6 jam. Atau bisa juga diberikan kortikosteroid
topical. Pengobatan DA dengan kortikosteroid topical adalah yang paling sering
21
digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namu tetap harus waspada terhadap efek
samping yang tidak diinginkan.
Untuk pengobatan sistemik ada bebeapa obat yang bisa digunakan, antara
lain: Kortiko steroid, kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan
eksaserbasi akut, dalam jangka pendek dan dalam dosis yang rendah. Dibeikan secara
selang-seling dan dosisnya harus diturunkan bertahap yang kemudian segera diganti
dengan kortikosteroid topical; Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi
rasa gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena
itu antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedative seperti hidroksisin
atau defenhidramin; Anti-infeksi, pada DA ditemukan peningkatan koloni S.Aureus.
untuk yang belum resisten dapat diberikan eitromisin, asitromisin atau klaritromisin.
Sedangkan untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin atau generasi
pertama sefalosporin; Siklosporin, DA yang sulit diatasi dengan pengobatan
konvensional dapat diberikan pengobatan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis
yang dianjurkan per oral: 5mg/kgBB. Siklosporin adalah obat imunosupresif kuat
yang terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan cyclophilin (suatu protein
intraselular) menjadi satu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga
transkripsi sitokin ditekan. Efek samping dari siklosporin yang mungkin timbul ialah
penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.
Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada DA ialah Asma Bronkial atau Hay Fever.
Penderita atopi juga mempunyai resiko menderita dermatitis kontak iritan akibat kerja
ditangan.
Prognosis
Prognosis pada DA tergantung dari setiap ondividunya dan faktor-faktor yang
melingkupinya. Prognosis [asien DA akan lebih buruk apabila kedua orang tuanya
menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak dan sering ada
yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia diatas 30 tahun.
22
Faktor-faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA, yaitu: DA luas
pada anak, menderita rhinitis alergi dan asma bronchial, riwayat DA pada orang tua
dan saudara kandung, anak tunggal dan kadar IgE serum yang sangat tinggi.
3. Eritrasma
Eritrasma adalah peyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang
disebabkan oleh Coynebacterium minitussismum, penyakit ini ditandai dengan
adanya lesi berupa eritema dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat
paha. Lesi kulit dapat berukuran sebesar miliar sampai plakat. Lesi
eritroskuamosa, berskuama halus kadang-kadang dapat terlihat merah kecoklatan.
Tempat predileksi di daerah ketiak dan lipat paha. Terkadang berlokasi di daerah
intertriginosa lain pada daerah pada penderita gemuk. Perluasan lesi terlihat pada
pinggir yang eritematosa dan serpiginosa. Lesi tidak menimbulkan dan tidak
terlihat vesikulasi. Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada perabaan
terasa berlemak.
Pemeriksaan pembantu pada eritrasma terdiri atas pemeriksaan dengan lampu
Wood dan sediaan langsung. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, lesi akan
terlihat berflouresensi coral-red. Bahan untuk sediaan langsung dengan cara
mengerok. Bahan kerokan kulit kemudian ditambahkan dengan satu tetes eter,
dibiarkan menguap. Bahan tersebut yang lemaknya sudah dilarutkan dan kering
ditambah biru metilen, ditutup dengan gelas penutup, dan dilihat dibawah
mikroskop. Organisme terlihat sebagai batang halus, bercabang, berdiameter
kurang dari 1 u, yang mudah putus sebagai bentuk basil kecil. Diagnosis banding
eritrasma antara lain pitiriasis versikolor. Diagnosis didapat ditentukan dengan
melakukan pemeriksaan dengan lampu Wood dan sediaan langsung KOH.
Sedangkan pada tinea kruris, dermatitis seberoik, dan dermatitis kontak tanda
radang terlihat lebih nyata dan timbul vesikel . (1)
Eritromisin merupakan obat pilihan. Satu gram sehari (4x250 mg) untuk 2-3
minggu. Obat topikal, misalnya salap tetrasiklin 3% juga bermanfaat. Pengobatan
topikal memerlukan lebih ketekunan dan kepatuhan penderita. Prognosis pada
penyakit kulit eritrasma cukup baik apabila semua les diobati dengan tekun dan
menyeluruh.
4. Kandidiosis
23
Kandidosis adalah penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut disebabkan
oleh spesies Candida, biasanya oleh spesies Candida albicans dan dapat mengenai
mulut, vagina, kulit, kuku, bronki, atau paru-paru, kadang-kadang dapat menyebabkan
septicemia endokarditis, atau meningitis. Penyebab endokarditis kandidosis ialah
C.parapsilosis dan penyebab kandidosis septikemia adalah C. tropicalis.
Infeksi kandida dapat terjadi bila ada faktor yang menyuburkan pertumbuhan
kandida atau ada yang memudahkan terjadinya invasi jaringan, karena daya tahan
yang lemah. Faktor-faktor ini ada yang merupakan faktor endogen maupun eksogen.
Faktor endogen terdiri dari perubahan fisiologik, umur dan imunologik. Perubahan
fisiologik diantaranya kehamilan atau yang menyerupai kehamilan (karena perubahan pH
dalam vagina), kegemukan (karena banyak keringat), debilitas, obat, alat atau tindakan untuk
menolong pasien (seperti antibiotik, kortikosteroid, sitostatik, gigi tiruan
penuh (denture), kateter, infus, realimentasi intravena, operasi, dan radiasi), endokrinopati
(misalnya hipotiroid, timoma, hipogamaglobinemia), diabetes mellitus, penyakit kronik
(tuberkulosis, lupus eritematosus dengan keadaan umum yang buruk, leukemia, atau
keganasan lain). Faktor umur adalah orang tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi karena
status imunologiknya tidak sempurna, bayi baru lahir, terutama yang prematur. Faktor
imunologik berhubungan dengan penyakit genetik. Faktor eksogen yaitu Iklim, panas, dan
kelembaban menyebabkan perspirasi meningkat, kebersihan kulit, kebiasaan berendam kaki
dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur,
kontak dengan penderita, misalnya pada trush dan balanopostitis.
Patofisiologinya adalah penurunan kekebalan selular dan sistem fagositosis,
faktor yang berperan dalam perubahan komensal menjadi patogen ( faktor risiko ),
dan invasi lokal oleh ragi dan pseudohifa.(1)
Gejala klinik pada kandidosis selaput lendir adalah thrush, perleche,
vulvovaginitis, balanitis atau balanopostitis, kandidosis mukokutan kronik. Pada
kandidosis kutis terdiri dari :
a. Kandidosis interniginosa Lesi di daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha,
intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki, glans penis, dan umbilikus,
berupa bercak vang berbatas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi tersebut
dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula yang
24
bila pecah meninggalkan daerah yang erosif, dengan pinggir yang kasar dan
berkembang seperti lesi primer.
b. Kandidosis perianal Lesi berupa maserasi seperti infeksi dermatofit tipe basah.
Penyakit ini menimbulkan pruritus ani. Terdapat dermatitis perianal berupa eritema
dan maserasi yang sangat gatal dan terbakar.
c. Kandidosis kutis generalisata Lesi terdapat pada glabrous skin, biasanya juga di
lipat payudara, intergluteal, dan umbilikus. Sering disertai glositis, stomatitis, dan
paronikia.
d. Paronikia dan onikomikosis Lesi berupa kemerahan, pembengkakan yang tidak
bernanah, kuku menjadi tebal, mengeras dan berlekuk-lekuk, kadang-kadang
berwarna kecoklatan, tidak rapuh, tetap berkilat dan tidak terdapat sisajaringan di
bawah kuku seperti pada tinea unguium. Merupakan inflamasi kronik pada lipatan
kuku yang menghasilkan pus, erosi pada pinggir lateral kuku, penebalan dan warna
kecoktatan pada lempeng kuku.
e. Diaper-rash Terdapat makula dan vesikel-vesikel dengan maserasi pada daerah
yang tertutup popok menyebabkan rasa gatal seperti terbakar dan tidak nyaman.
Diagnosis ditegakkan dengan adanya lesi satelit yang eritematosa.
f. Kandidosis granulomatosa Penyakit ini sering menyerang anak-anak, lesi berupa
papul kemerahan tertutup krusta tebal berwarna kuning kecoklatan dan melekat erat
pada dasarnya. Krusta ini dapat menimbul seperti tanduk sepanjang 2 cm,
lokalisasinya sering terdapat di muka, kepala, kuku, badan, tungkai, dan faring.
Manifestasi klinis pada kandidosis sistemik dapat berupa seringnya timbul demam
yang tidak diketahui penyebabnya, infiltrasi pulmonal, perdarahan gastrointestinal,
endokarditis, gagal ginjal, meningitis, osteomielitis, endoftalmitis, peritonitis atau eksantema
papulodiseminata. Pada kulit ditemukan makula, eritema dengan papul pustul dan vesikel
hemoragik yang berkembang menjadi nekrosis dan lesi ulserasi.
Pemeriksaan penunjang
25
1. Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan laruttan KOH 10% atau
dengan pewarnaan gram, terlihat sel ragi, blastospora, atau hifa semu
2. Pemeriksaan biakan :
Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dekstrosa glukosa Sabouraud, dapat
pula agar ini dibubuhi antibiotic (kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan
bakteri. Perbenihan disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37 ˚C, koloni
tumbuh setelah 24 jam -48 jam, berupa yeast like colony. Identifikasi Candida
albicans dilakukan dengan membiakkan tumbuhan tersebut pada corn meal agar.
Penatalaksanaan
-Menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi
-Medikamentosa :
1. Topical:
• Larutan ungu gentian ½-1 % untuk selaput lendir,1-2% untuk kulit, dioleskan sehari
2 kali selama 3 hari
• Nistatin : berupa krim, salep, emulsi
• Amfoterisin B
• Grup azol antara lain :
o Mikonazol 2% berupa krim atau bedak
o Klotrimazol 1% berupa bedak, larutan dan krim
o Tiokonazol, butonazol, isokonazol
o Siklopiroksolamin 1% larutan, krim
o Antimikotik yang lain yang berspektrum luas
2. Sistemik :
• Tablet nistatin untuk menghilangkan infeksi fokal dalam saluran cerna, obat ini tidak
diserap oleh usus
• Amfoterisin B diberikan intravena untuk kandidosis sistemik
• Untuk kandidosis vaginalis dapat diberikan kotrimazol 500 mg per vaginam dosis
tunggal, sistemik dapat diberikan ketokonazol 2x200 mg selama 5 hari atau dengan
itrakonazol 2x200 mg dosis tunggal atau dengan flukonazol 150 mg dosis tunggal.
26
Prognosis
Umumnya baik, bergantung pada berat ringannya faktor predisposisi
5. Psoriasis Inversa
Psoriasis Inversa ditemukan pada ketiak, pangkal paha, dibawah payudara, dan
di lipatan-lipatan kulit di sekitar kemaluan dan panggul Tipe psoriasis ini pertama
kali tampak sebagai bercak (lesions) yang sangat merah. Bercak itu bisa tampak
licin dan bersinar. Psoriasis Inversa sangat menganggu karena iritasi yang
disebabkan gosokan/garukan dan keringat karena lokasinya di lipatan-lipatan kulit
dan daerah sensitif, terutama sangat mengganggu bagi penderita yang gemuk dan
yang mempunyai lipatan kulit yang dalam. Pengobatan bisa sukar, karena kulit
peka pada daerah lipatan-lipatan Krem steroid dan salep diyakini sangat efektif,
tetapi tidak boleh di tutup dengan plastic. Penggunaan berlebihan atau kesalahan
pemakaian steroid, terutama pada lipatan-lipatan kulit, dapat menimbul efek
samping, terutama penipisan pada kulit dan meninggalkan tanda. Karena pada
daerah ini cenderung timbul infeksi disebabkan yeast dan jamur, dokter akan
menguji untuk infeksi dan mungkin akan menggunakan krem cair oles steroid di
gabungkan dengan obat-obatan lain, seperti, 1% atau 2% hydrocortisone dengan
anti-yeast atau anti-jamur.Krem/salep lain, seperti Dovonex(daivonex), coal tar
atau anthralin, bisa juga efektif untuk pengobatan psoriasis pada lipatan kulit,
tetapi bisa menyebabkan iritasi. Obat berbentuk cairan dapat dioleskan pada
bercak kulit dan dapat membantu mengeringkan bercak-bercak psoriasis pada
lipatan kulit, seperti penggunaan macam-macam bedak kulit. Sebagian orang akan
menggunakan krem pada malam hari dan bedak pada pagi hari, Zeasorb dan
Zeasorb AF adalah bedak yang efekfif untuk digunakan untuk psoriasis inverse.
Pengobatan dengan penyuntikan pertama kali dipelajari dan diakui untuk
penderita psoriasis plak, obat tersebut efektif juga dipergunakan untuk mengobati
psoriasis inverse.
D. Patofisologi Bau BadanKelenjar keringat, yang terdapat di sebagian besar permukaan tubuh,
mengeluarkan larutan garam encer melalui lubang-lubang kecil, pori-pori keringat ke
permukaan tubuh. Penguapan keringat ini mendinginkan kulit dan penting dalam
pengaturan suhu. Jumlah keringat yang diproduksi dapat diatur dan bergantung pada
27
suhu lingkungan, jumlah panas yang dibentuk oleh aktivitas otot, dan berbagai factor
emosi (mislanya, orang sering berkeringat bila cemas). Suatu jenis kelenjar keringat
khusus yang terletak didaerah aksila dan pubis menghasilkan keringat kaya protein
yang menunjang pertumbuhan bakteri permukaan, yang menyebabkan timbulnya bau
badan khas. Sebaliknya, sebgain besar keringat serta sekresi dari kelenjar sebasea
mengandung zat –zat kimia yang secara umum sangat toksis bagi bakteri.(7)
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada
pasien ini maka didapatkan diagnosis kerja yaitu Dermatitis kontak alergik kronis eksaserbasi
akut. Dermatitis kontak alergik adalah dermatitis yang terjadi akibat pajanan berulang dengan
bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama atau mempunyai struktur
28
kimia serupa, pada kulit seseorang yang sebelumnya telah tersensitisasi. Reaksi alergik yang
terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat atau tipe IV. Pada kasus ini pasien
menderita gatal dan kemerahan selama 8 minggu, pasien mengaku memakai bedak BB, bedak
BB disnilah yang menjadi allergen yang memacu timbulnya hipersensitivitas tipe IV.
Diagnosis ini juga diperkuat dengan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan gejala dari DKA
dan pada pemeriksaan penunjang didapatkan crescendo+ menunjukan bahwa pasien DKA
bukan DKI. Perlu penanganan farmakologi yang tepat dan edukasi kepada pasien untuk
menghindari dan mencegah terjadinya pemaparan yang dapat menyebabkan dermatitis
kontak. Pemberian terapi yang tepat adalah dengan berupaya menggali informasi mengenai
kemungkinan penyebab dari timbulnya dermatitis tersebut. Untuk penatalaksanaan
medikamentosanya pada pasien ini diberikan obat topical karena ini merupakan pengobatan
pertama kali ke dokter umum, sebelumnya ia mencoba mengobati sendiri. Penanganan yang
tepat pada pasien ini dapat memperbaiki keadaan pasien sehingga prognosisnya baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda S, Sularsito SA. Dermatitis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2010.p.106-9,129-46,334-5
29
2. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula: Sistem Integumen. Jakarta: EGC;
2004.p.85-6
3. Price A. Sylvia, Wilsom L. Gangguan Sistem Dematologi: Eksema dan gangguan vaskular.In:
Hartanto H, Wulansari T, editors. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit. Vol. 2.
6th ed. Jakarta : EGC; 2006.p.1433
4. Vorvick LJ. Contact Dermatitis. [updated 2009 November 1] Available from:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000869.htm. Accessed on 2011
November 10.
5. Dermatitis Kontak. Available at : http://www.mayoclinic.com/health/contact-
dermatitis. Accesed on 2011 November 2011
6. Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N. Dermatitis Atopik. Buku Ajar Alrgi – Imunologi
Anak. 2nd ed. Jakarta: IDAI; 2010.p.235
7. Sherwood L. Pertahanan Tubuh. In : Santoso B I, editor. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2001.p.403.
30
31