lapsus dermatitis kontak iritan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis kontak didefinisikan sebagai gangguan pada kulit yang timbul
akibat bersentuhan dengan substansi eksogenus dan dapat menimbulkan reaksi
alergi atau iritasi1. Dermatitis kontak dibagi menjadi dua jenis berdasarkan
keterlibatan dari sistem imun, yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis
kontak alergi (DKA)2. Hampir 80% kasus dermatitis kontak adalah iritan yang
pada umumnya berhubungan dengan pekerjaan3.
Air, makanan, kosmetik, detergen, cairan bercampur logam, dan bahan
topikal lainnya merupakan bahan yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-
hari yang dapat menimbulkan efek iritan3. Kulit yang terpapar substansi tersebut
akan teriritasi dan mengalami reaksi peradangan. Kelainan kulit yang terjadi
tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor baik faktor dari bahan iritan itu sendiri
maupun faktor dari individu yang terpapar. Dermatitis kontak iritan merupakan
masalah yang sering ditemukan di dermatologi . Di sebagian besar negara,
mayoritas dari semua penyakit kulit ini adalah akibat kerja. Hal ini dikarenakan
berhubungan dengan paparan berulang bahan-bahan kimia di area kerja seperti,
bahan pembersih dan pelarut. Penggunaan zat-zat tertentu pada daerah kulit yang
sensitif juga dapat menimbulkan gejala klinis dari penyakit ini4,5.
Semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis kelamin dapat
mengalami dermatitis kontak iritan. Jumlah kasus DKI diperkirakan cukup
banyak namun belum terdapat angka pasti dikarenakan penderita dengan gejala
yang ringan tidak mengeluh ataupun mencari pengobatan6. Jika dibandingkan,
sebagian besar artikel mengenai dermatitis kontak lebih membahas DKA
dibandingkan dengan DKI7. Meskipun sebagian besar kasus DKI berhubungan
dengan pekerjaan, DKI juga dapat dialami oleh anak-anak. Iritasi kulit yang
paling umum pada anak-anak misalnya, yang fisiologis (seperti kotoran dan urin
terkait dengan dermatitis popok dan air liur), penggunaan sabun yang keras
mengandung deterjen, paparan berulang terhadap air, dan adanya gesekan atau
trauma juga memiliki peran dalam proses iritasi. Seperti yang terlihat pada
1
populasi orang dewasa, eksposur seperti alkali, alkohol, insektisida, tanaman
tertentu, dan debu juga dapat dilihat pada populasi anak-anak8.
Tidak jarang DKI kronik pada telapak tangan dan telapak kaki sulit
dibedakan dengan DKA. Dalam penatalaksanaan DKI, penting bagi penderita dan
dokter untuk mengetahui substansi yang menyebabkan penyakitnya tersebut
sehingga dapat diberikan terapi yang lebih efisien dan efektif. Laporan kasus ini
membahas penderita DKI pada kulit kakinya dengan riwayat memakai obat
tradisional (boreh).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan non
imunologik pada kulit yang disebabkan oleh karena paparan bahan iritan seperti
bahan kimia, fisik, maupun biologik3. Tangan merupakan daerah yang paling
penting pada DKI karena sering terkena penyakit ini7 dan pada individu atopik
menderita gejala yang lebih berat. Secara definisi bahan iritan kulit adalah bahan
yang menyebabkan kerusakan secara langsung pada kulit tanpa proses
sensitisasi9,10. Gambaran presentasi setelah kontak dengan bahan iritan bervariasi
bergantung pada sifat iritan serta beberapa faktor yang dimiliki oleh individu.
Dermatitis kontak iritan yang terjadi setelah pemaparan pertama kali
disebut dermatitis kontak iritan akut, dan biasanya disebabkan oleh iritan kuat
seperti asam kuat. Sedangkan, dermatitis kontak iritan yang terjadi setelah
pemaparan berulang disebut dermatitis kontak iritan kronis dan biasanya
disebabkan oleh iritan lemah11.
2.2 Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai
golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Data epidemiologi penderita dermatitis
kontak iritan sulit didapat. Jumlah penderita dermatitis kontak iritan diperkirakan
cukup banyak, namun sulit untuk diketahui jumlahnya. Hal ini disebabkan antara
lain oleh banyak penderita yang tidak datang berobat dengan kelainan ringan6,12.
Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic menunjukkan
bahwa 249.000 kasus penyakit okupasional non fatal pada tahun 2004 untuk
kedua jenis kelamin 15,6% (38.900 kasus) adalah penyakit kulit yang merupakan
penyebab kedua terbesar untuk semua penyakit okupasional. Juga berdasarkan
survei tahunan dari institusi yang sama, bahwa incident rate untuk penyakit
okupasional pada populasi pekerja di Amerika, menunjukkan 90-95% dari
3
penyakit okupasional adalah dermatitis kontak, dan 80% dari penyakit didalamnya
adalah dermatitis kontak iritan3.
Prevalensi dermatitis pada tangan yang berhubungan dengan kerja
ditemukan 55,6% di dua unit perawatan intensif dan sebanyak 69,7% pada pekerja
paling sering terpapar. Frekuensi mencuci tangan lebih dari 35 kali per shift
dikaitkan kuat dengan dermatitis pada tangan yang berhubungan dengan kerja.
Tingkat insiden dermatitis kontak iritan di Jerman lebih tinggi yaitu 4,5 per
10.000 pekerja, dibandingkan dengan 4,1 per 10.000 pekerja pada dermatitis
kontak alergi. Kasus DKI tertinggi ditemukan di penata rambut (46,9 kasus per
10.000 pekerja per tahun), tukang roti (23,5 kasus per 10.000 pekerja per tahun),
dan koki pastry (16,9 kasus per 10.000 pekerja per tahun)7.
2.3 Etiologi
Contoh bahan-bahan yang dapat menyebabkan terjadinya DKI seperti,
asam, alkali, deterjen, sabun, dan bahan pelarut. Dermatitis kontak iritan adalah
penyakit multifaktor dimana faktor eksogen (iritan dan lingkungan) dan faktor
endogen sangat berperan. Faktor-faktor yang dimaksudkan termasuk : (1) Sifat
kimia bahan iritan: pH, kondisi fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah,
polarisasi, ionisasi, bahan dasar, kelarutan; (2) Sifat dari pajanan: jumlah,
konsentrasi, lamanya pajanan dan jenis kontak, pajanan serentak dengan bahan
iritan lain dan jaraknya setelah pajanan sebelumnya; (3) Faktor lingkungan:
lokalisasi tubuh yang terpajan dan suhu, dan faktor mekanik seperti tekanan,
gesekan atau goresan. Kelembaban lingkungan yang rendah dan suhu dingin
menurunkan kadar air pada stratum korneum yang menyebabkan kulit lebih rentan
pada bahan iritan3,11,12. Sedangkan faktor endogen yang dimaksud adalah3:
a. Faktor genetik
Ada hipotesa yang mengungkapkan bahwa kemampuan individu untuk
mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah level enzim antioksidan, dan
kemampuan untuk membentuk perlindungan heat shock protein semuanya
dibawah kontrol genetik. Faktor tersebut juga menentukan keberagaman respon
tubuh terhadap bahan-bahan iritan. Selain itu, predisposisi genetik terhadap
kerentanan bahan iritan berbeda untuk setiap bahan iritan.
4
b. Jenis Kelamin
Gambaran klinik dermatitis kontak iritan paling banyak pada tangan, dan
wanita dilaporkan paling banyak dari semua pasien. Dari hubungan antara jenis
kelamin dengan dengan kerentanan kulit, wanita lebih banyak terpajan oleh bahan
iritan, kerja basah dan lebih suka perawatan daripada laki-laki. Tidak ada
pembedaan jenis kelamin untuk dermatitis kontak iritan yang ditetapkan
berdasarkan penelitian.
c. Umur
Anak-anak dibawah delapan tahun lebih muda menyerap reaksi-reaksi
bahan-bahan kimia dan bahan iritan lewat kulit. Banyak studi yang menunjukkan
bahwa tidak ada kecurigaan pada peningkatan pertahanan kulit dengan
meningkatnya umur. Data pengaruh umur pada percobaan iritasi kulit sangat
berlawanan. Iritasi kulit yang kelihatan (eritema) menurun pada orang tua
sementara iritasi kulit yang tidak kelihatan (kerusakan pertahanan) meningkat
pada orang muda.
d. Suku
Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis kulit mempengaruhi
berkembangnya dermatitis kontak iritan secara signifikan. Karena eritema sulit
diamati pada kulit gelap, penelitian terbaru menggunakan eritema sebagai satu-
satunya parameter untuk mengukur iritasi yang mungkin sudah sampai pada
kesalahan interpretasi bahwa kulit gelap lebih resisten terhadap iritasi
dibandingkan dengan kulit terang.
e. Lokasi Kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan,
sehingga kulit wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih rentan
terhadap dermatitis kontak iritan. Telapak tangan dan kaki jika dibandingkan lebih
resisten. Pada anak-anak DKI juga dapat berkembang pada kulit kaki. Paparan
penyebab, seperti kelembaban dari sepatu dan gesekan mekanis8.
f. Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor predisposisi pada dermatitis
iritan pada tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya berhubungan dengan
peningkatan kerentanan terhadap dermatitis iritan karena rendahnya ambang
5
iritasi kulit, lemahnya fungsi pertahanan, danlambatnya proses penyembuhan.
Pada pasien dengan dermatitis atopi misalnya, menunjukkan peningkatan
reaktivitas ketika terpajan oleh bahan iritan.
2.4 Patogenesis
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan non
imunologik pada kulit yang disebabkan oleh karena paparan bahan iritan dan
menimbulkan kerusakan sel. Terdapat empat mekanisme yang dihubungkan
dengan perkembangan DKI, yaitu3,12,13:
a. Hilangnya lapisan lemak di permukaan dan substansi daya pengikat air
b. Jejas pada membrane sel
c. Denaturasi keratin epidermis
d. Efek sitotoksik langsung
Dalam respon iritasi, terdapat proses yang menyerupai dengan proses
imunologi, yang ditandai dengan adanya pelepasan mediator proinflamasi yaitu
partikel sitokin, yang dihasilkan oleh sel kutan non-imun yaitu keratinosit akibat
respon dari stimuli kimia. Proses ini tidak didahului oleh proses sensitisasi.
Kerusakan dari barier kulit memacu pelepasan sitokin, yaitu interleukin 1 (IL1 ),
IL 1 dan tumor nekrosis faktor- (TNF- ). Pada dermatitis kontak iritan dapat
ditemukan peningkatan TNF- dan IL-6 sepuluh kali lipat, serta peningkatan
macrophage colony-stimulating factor dan IL-2 tiga kali lipat. TNF- adalah
kunci utama dari dermatitis kontak, yang memacu peningkatan ekspresi dari MHC
class-II (major histocompatibility complex class II) dan ICAM-1 (intracellular
adhesion molecule 1) dari keratinosit3.
2.5 Tipe dan Gejala Klinis
Dermatitis kontak iritan memiliki berbagai macam gejala klinis tergantung
dari sifat iritan dan pola pemaparannya. Berdasarkan penyebab dan pengaruh
faktor yang sudah disebutkan tadi, DKI diklasifikasikan menjadi sepuluh macam,
yaitu3,12:
a. Reaksi Iritan
Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat berupa
skuama, eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanya terlokalisasi di dorsum
6
dari tangan dan jari, biasanya hal ini terjadi pada orang yang terpajan dengan
pekerjaan basah, reaksi iritasi dapat sembuh, menimbulkan penebalan kulit atau
dapat menjadi DKI kumulatif.
b. DKI Akut
Pada umumnya merupakan akibat dari paparan tunggal pada kulit yang
disebabkan oleh iritan atau bahan kimia yang kuat seperti alkali dan asam. Sensasi
terbakar, gatal, atau pedih dapat terjadi segera setelah terpapar bahan iritan. Lesi
pada DKI akut pada umumnya dapat dalam bentuk eritema, edema, vesikel
dengan eksudat, bula, dan nekrosis jaringan pada kasus yang berat. Proses
penyembuhan pada DKI akut terjadi sebagai fenomena dekresendo, dimana reaksi
iritan secara cepat memuncak dan kemudian dengan segera membaik saat bahan
iritan dihilangkan.
7
Gambar 1. DKI Akut akibat penggunaan pelarut industri
c. DKI Akut Lambat
Pada dermatitis kontak iritan akut lambat, gejala obyektif tidak muncul
hingga 8-24 jam atau lebih setelah pajanan. Gambaran klinisnya mirip dengan
dermatitis kontak iritan akut.
d. DKI Kumulatif Kronik
Disebabkan oleh iritan lemah (seperti air, sabun, sampo, detergen, dll) dengan
pajanan yang berulang-ulang, biasanya lebih sering terkena pada tangan. Kelainan
kulit baru muncul setelah beberapa hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Gejala
berupa kulit kering, eritema, skuama, dan lambat laun akan menjadi hiperkeratosis
dan dapat terbentuk fisura jika kontak terus berlangsung.
8
Gambar 2. DKI Kronis akibat efek korosif dari semen
e. Subjektif (Simptomatik, Sensori)
Pasien mengeluh adanya rasa gatal, geli, pedih, terbakar dalam beberapa
menit setelah terpapar bahan iritan, namun tidak tampak kelainan kulit. Iritasi
subjektif biasanya dirasakan di daerah wajah, kepala, dan leher. Kosmetik, tabir
surya, atau asam laktat biasanya menjadi iritan penyebab.
f. Noneritematosa
Juga disebut reaksi suberitematous, pada tingkat awal dari iritasi kulit,
kerusakan kulit terjadi tanpa adanya inflamasi, namun perubahan kulit terlihat
secara histologi. Gejala yang paling sering adalah rasa terbakar, gatal, ataupun
pedih. Iritasi sub-eritematosa biasanya dihubungkan dengan penggunaan produk
yang secara signifikan mengandung surfaktan.
g. DKI Gesekan
Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau gesekan
yang berulang. DKI gesekan berkembang dari respon pada gesekan yang lemah,
dimana secara klinis dapat berupa eritema, skuama, fisura, dan gatal pada daerah
yang terkena gesekan. Tipe dari kontak iritasi biasanya mengakibatkan kuring
menjadi kering, hiperkeratotik dan mengelupas, sehingga menyebabkan lebih
rentan terhadap
efek iritasi.
9
Gambar 3. DKI Gesekan
h. Reaksi Traumatik
Reaksi traumatik dapat berkembang setelah ada trauma akut pada kulit
(terbakar atau laserasi) yang biasanya terjadi di tangan dan berlangsung selama
enam minggu atau lebih. Proses penyembuhannya pada tipe dermatitis ini cukup
panjang, dan muncul eritema, skuama, papul, atau vesikel. Tanda klinisnya
menyerupai dermatitis nummular.
i. Reaksi Pustular atau Akneiform
Reaksi pustular atau akneiform biasanya muncul setelah pajanan okupasional
seperti, minyak, oli, logam, dan halogen. Namun juga bisa disebabkan setelah
penggunaan kosmetik. Lesi pustular bersifat steril dan sementara yang mungkin
berkembang beberapa hari setelah pajanan.
j.
Dermatitis
Asteatotik
10
Gambar 4. DKI Akneiform
Biasanya terjadi pada pasien tua yang sering mandi tanpa menggunakan
pelembab pada kulitnya. Gatal yang hebat, kulit kering, dan skuama ichtyosiform
merupakan gambaran klinis pada reaksi ini.
2.6 Diagnosis
Diagnosis dermatitis kontak iritan didasarkan atas anamnesis yang cermat
dan pengamatan gambaran klinis yang akurat, DKI akut lebih mudah diketahui
karena munculnya lebih cepat sehingga penderita lebih mudah mengingat
penyebab terjadinya, DKI kronis timbul lambat serta mempunyai gambaran klinis
yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA, selain anamnesis, juga
perlu dilakukan beberapa pemeriksaan untuk lebih memastikan diagnosis DKI12.
a. Anamnesis
Anamnesis yang terarah dan sistematis merupakan hal yan esensial dalam
menegakan sebuah diagnosis. Terdapat beberapa hal yang harus ditanyakan saat
anamnesis dan penting diketahui untuk membedakan tipe dermatitis kontak iritan,
yaitu 3,4:
- Onset keluhan yang dialami dalam beberapa menit hingga jam setelah
pajanan
- Adanya rasa nyeri, terbakar, pedih, atau pun tidak nyaman
- Onset dermatitis dalam dua minggu dari paparan
- Riwayat keluarga atau orang sekitar yang mengalami hal yang sama
11
Gambar 5. DKI Asteatotik
- Riwayat alergi dan atopik
b. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis penting dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan
diagnosis lain. Dalam pemeriksaan klinis dilakukan dengan menentukan lokasi
dan eflorensensi yang jelas. Daerah predileksi sendiri biasanya terdapat di tangan
dan lengan, namun pada anak juga dapat terjadi di kaki Pemeriksaan klinis sangat
dianjurkan dilakukan di seluruh tubuh. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan
kriteria mayor dan minor pada DKI, yaitu3:
1. Kriteria Mayor
- Ditemukan lesi macula eritema, hiperatotik, atau pembentukan fisura yang
lebih dominan dari vesikel
- Epidermis yang terlihat mengkilap, kering, atau melepuh
- Proses penyembuhan yang dimulai tepat pada saat paparan penyebab
dihilangkan
- Hasil patch test negatif
2. Kriteria Minor
- Dermatitis berbatas tegas
- Terdapat bukti pengaruh gravitasi, seperti efek menetes
- Tidak terdapat kecenderungan menyebar
- Perubahan morfologik menunjukkan perbedaan konsentrasi yang kecil dan
waktu kontak menghasilkan kerusakan kulit yang besar
c. Pemeriksaan Penunjang
Patch test merupakan pemeriksaan gold standard dan digunakan untuk
menentukan substansi yang menyebabkan kontak dermatitis dan digunakan untuk
mendiagnosis DKA. Patch test dilepas setelah 48 jam, hasilnya dilihat dan reaksi
positif dicatat. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, dan kembali dilakukan
pemeriksaan pada 48 jam berikutnya. Jika hasilnya didapatkan ruam kulit yang
membaik (negatif), maka dapat didiagnosis sebagai DKI12.
2.7 Diagnosis Banding
12
Dermatitis kontak iritan (DKI) sering kali didiagnosis dengan cara
menghilangkan penyebab dermatitis yang termasuk ke dalam dermatitis kontak
alergi (DKA). Pertanyaan yang detail, termasuk pekerjaan, kegemaran, dan
riwayat penyakit terdahulu, serta pemeriksaan yang teliti menjadi sangat penting
dalam menegakkan diagnosis. Diagnosis banding dari dermatitis kontak iritan
adalah dermatitis kontak alergi dan dermatitis atopik3.
No. DKI DKA
1. Cenderung Akut Cenderung Kronik
2. Semua orang bisa terkena Orang yang memiliki riwayat alergi
3. Lesi awal berupa makula, eritema,
vesikel, bula, dan erosi
Lesi awal berupa makula, eritema,
papula, melebar dari tempat awal
4. Penyebab: iritan primer Penyebab: alergen
5. Tergantung konsentrasi bahan iritan
dan status sawar kulit. Terjadi jika
bahan iritan melewati ambang batas
Tidak tergantung dengan
konsentrasi. Konsentrasi rendah
sekalipun sudah dapat memicu
DKA. Bergantung pada tingkat
sensitisasi
6. Onset pada saat kontak pertama Onset pada saat kontak berulang
a. DKA
Dermatitis kontak alergi disebabkan terpaparnya kulit dengan bahan yang
bersifat alergen. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,
likenifikasi dan mungkin juga fisura, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit
dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis karena mungkin penyebabnya
juga campuran. Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah
penderita dermatitis kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang
yang kulitnya sangat peka (hipersensitif).
b. Dermatitis Atopik
Pada gambaran klinis terdapat vesikel-vesikel dan papul-papul serta
eritem, untuk membedakan dengan dermatitis kontak iritan, pada dermatitis atopik
13
Tabel 1. Perbandingan DKI dan DKA4
mempunyai tiga tanda khas yaitu :
Pruritus
Morfologi dan distribusi khas pada wajah (khusus pada anak) dan
daerah lipatan kulit (fosa kubiti, fosa poplitea, leher, dan pergelangan
tangan).
Cenderung menjadi kronis kambuh.
2.8 Penatalaksanaan
a. Non-medikamentosa:
Identifikasi dan penghentian pajanan, perlindungan bagian tubuh yang
sering terpapar, dan penggantian bahan iritan dengan yang bersifat tidak
iritan merupakan terapi definitif untuk DKI3,4,7. Sekali dermatitis
berkembang, penggunaan terapi topikal dapat membantu.
b. Medikamentosa:
- Peranan kortikosteroid topikal masih kontroversi, namun efek anti-
inflamasi yang terkandung di dalamnya dianggap dapt membantu.
Penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama dapat
menyebabkan adanya kerentanan terhadap bahan iritan3.
- Terapi medikamentosa untuk dermatitis kontak iritan mempunyai
beberapa prinsip, seperti, emollient, menghindari iritasi, dan krim yang
mengandung dimethicone adalah terapi yang digunakan sebagai agen-
agen terapeutik yang mengandung propilen glikol dan urea dapat
mengakibatkan inflamasi sehingga harus dihindari sebagai terapi.
Pengobatan sistemik dapat diberikan antihistamin sebagai efek anti
pruritus4,7.
- Emollient dapat meningkatkan perbaikan kulit yang kering. Petrolatum-
based emollient merupakan obat yang mudah didapat, murah, dan efektif
sebagai emollient yang mengandung skin-related lipid. Sedangkan
calcineurine inhibitor topikal dapat digunakan sebagai alternatif untuk
topikal yang memiliki potensi kortikosteroid yang rendah dalam terapi
DKI kronik. Untuk kasus yang berat, pengobatan yang efektif dapat
14
menggunakan fototerapi (psoralen dengan UVA dan UVB) atau
pengobatan sistemik, seperti azathioprine dan cyclosporine3.
c. KIE3,7:
- Mengingatkan pada pasien agar menghindari bahan yang menyebabkan
iritasi termasuk yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Karena
akan dapat memperburuk atau terjadi dermatitis yang berulang jika
mereka terus terpapar bahan iritan.
- Menggunakan alat pelindung diri, terutama pada pekerjaan yang
memiliki risiko tinggi.
- Menggunakan sarung tangan pelindung saat mengerjakan pekerjaan
yang basah. Namun, pasien tetap harus dihindari menggunakan sarung
tangan tahan air dalam waktu yang lama untuk membantu menurunkan
produksi keringat.
- Menambahkan zat yang tidak terlalu mengiritasi seperti emollient dan
sabun dibandingkan sabun saja saat mencuci
- Perawatan membutuhkan waktu berbulan-bulan setelah dermatitis
sembuh.
- Mengingatkan pasien kemungkinan adanya dermatitis kontak alergi
sekunder dan komplikasi.
2.9 Prognosis
Dermatitis kontak iritan yang bersifat akut memiliki prognosis yang baik
apabila bahan iritan penyebab dapat diidentifikasi dan dihindari. Sedangkan
prognosis untuk DKI tipe kumulatif atau kronis kemungkinan lebih buruk dari
DKA. Riwayat atopik, pengetahuan yang kurang mengenai penyakit, dan/atau
diagnosis dan penanganan yang lambat menyebabkan prognosis yang lebih
buruk3.
15
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Penderita
Nama : Ahmad Hahamalaka
Umur : 9 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku : Bali
Alamat :Br. Margasengkala – Bedulu – Blahbatuh - Gianyar
Agama : Islam
Status perkawinan : Belum menikah
Pekerjaan : -
Pendidikan : -
Tanggal Pemeriksaan : Senin, 7 Maret 2016
3.2 Anamnesis (Heteroanamnesis dari Ibu Pasien)
Keluhan Utama
Muncul kemerahan pada kulit kaki.
Perjalanan penyakit
Pasien datang diantar oleh kedua orang tuanya ke Poli Kulit dan
Kelamin RSUD Sanjiwani Gianyar mengeluhkan muncul kemerahan pada
kulit kaki kiri. Pasien dikatakan mengalami pilek sejak hari kamis, dan untuk
mengobatinya nenek pasien menggosokan dan menempelkan campuran
bawang putih dan minyak kayu putih di kedua punggung kaki pasien yang
kemudian ditutup dengan kaos kaki. Semenjak diberi campuran tersebut,
pasien terus menangis sambil menunjuk ke arah kakinya. Dikatakan
campuran tersebut secara tidak sengaja sempat mengenai kaki kiri pasien,
karena pasien tidak bisa diam saat diobati. Setelah beberapa saat, campuran
yang menempel di kaki kanan pasien tanpa disengaja terlepas. Pada jumat
pagi campuran pada punggung kaki kirinya dibuka, dan terdapat kemerahan
pada kulitnya. Biasanya untuk mengobati pilek tersebut, nenek pasien
16
menggunakan bawang merah dan tidak terjadi reaksi apapun pada kulit
pasien. Kulit yang mengalami kemerahan terssebut kemarin sempat kembung
dan berair.
Riwayat pengobatan
Saat kemerahan mulai muncul ibu pasien mencoba mengobati anaknya
dengan baby oil dengan bertujuan mengurangi kemerahan dan perih pada
kaki pasien.
Riwayat alergi
Alergi obat dan makanan disangkal oleh ibu pasien.
Riwayat penyakit terdahulu
Pasien dikatakan belum pernah mengalami penyakit seperti ini
sebelumnya. Namun dikatakan pasien pernah menderita dermatitis atopik
sebelumnya.
Riwayat penyakit dalam keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama.
Riwayat sosial
Pasien diketahui tinggal bersama kedua orang tuanya dan neneknya.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum : Baik
Tekanan darah : tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : tidak dilakukan pemeriksaan
Respirasi : tidak dilakukan pemeriksaan
Temperatur aksila : tidak dilakukan pemeriksaan
BB : tidak dilakukan pemeriksaan
Status General
17
Kepala : normocephali
Mata : anemia -/-, ikterus -/-
Thorax : Cor : tidak dilakukan pemeriksaan
Pulmo : tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : dalam batas normal
Status Dermatologis
Lokasi : Regio dorsum pedis sinistra
Effloresensi : Bula, multipel, berbatas tegas, berbentuk bulat, ukuran
diameter bervariasi 2 cm – 3 cm, dinding kendor, distribusi
terbatas di kulit dorsum pedis menutupi makula yang
eritema hingga hiperpigmentasi.
18
Gambar 6. Manifestasi klinis penyakit pada pasien di dorsum pedis sinistra
Lokasi : Regio cruris sinistra
Effloresensi : Bula, soliter, berbatas tegas, berbentuk bulat, ukuran
diameter 0,8cm, dinding kendor di atas kulit yang
hiperpigmentasi.
3.4 Diagnosis Banding
1. Dermatitis kontak iritan et causa boreh
2. Dermatitis kontak alergi
3. Dermatitis atopik
3.5 Usulan Pemeriksaan
Patch test
3.6 Diagnosis Kerja
Dermatitis kontak iritan et causa boreh
3.7 Penatalaksanaan
- Cetrizine sirup
- Kompres terbuka dengan NaCl 0,9%, setiap 12 jam pada lesi bula
- Hidrokortison dan gentamycin krim, setiap 12 jam pada lesi yang
kering
19
Gambar 7. Manifestasi klinis penyakit pada pasien di cruris sinistra
- KIE
1. Memberikan penjelasan tentang DKI dan menghentikan
penggunaan bahan iritan (boreh) dan substansi lainnya pada daerah
yang sensitif
2. Rawat luka atau kompres dengan hati-hati agar bulanya tidak
pecah
3. Jaga kebersihan agar tidak terjadi infeksi sekunder
3.8 Prognosis
Prognosis pada penyakit dermatitis kontak iritan umumnya baik jika faktor
penyebab dapat diketahui dan dihindari.
20
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis DKI pada pasien ini ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pada anamnesis pasien mengeluh muncul kemerahan pada kulit
kakinya. Pasien dikatakan mengalami pilek sejak hari kamis, dan untuk
mengobatinya nenek pasien menggosokan dan menempelkan campuran bawang
putih dan minyak kayu putih di kedua punggung kaki pasien yang kemudian
ditutup dengan kaos kaki. Semenjak diberi campuran tersebut, pasien terus
menangis sambil menunjuk ke arah kakinya. Dikatakan campuran tersebut secara
tidak sengaja sempat mengenai kaki kiri pasien, karena pasien tidak bisa diam saat
diobati. Setelah beberapa saat, campuran yang menempel di kaki kanan pasien
tanpa disengaja terlepas. Pada jumat pagi campuran pada punggung kaki kirinya
dibuka, dan terdapat kemerahan pada kulitnya. Biasanya untuk mengobati pilek
tersebut, nenek pasien menggunakan bawang merah dan tidak terjadi reaksi
apapun pada kulit pasien. Sesuai dengan teori yang ada, definisi DKI merupakan
reaksi peradangan non imunologik pada kulit yang disebabkan oleh karena
paparan bahan iritan seperti bahan kimia, fisik, maupun biologik. Pada umumnya
predileksi dari DKI ada di tangan, namun terdapat literatur yang menyatakan
bahwa DKI pada anak-anak juga dapat terjadi di kaki dan dikatakan pada anak-
anak dibawah delapan tahun lebih mudah menyerap reaksi-reaksi bahan-bahan
kimia dan bahan iritan lewat kulit. Riwayat alergi disangkal, namun pasien
dikatakan memiliki riwayat dermatitis atopik sebelumnya. Dimana, dari
pernyataan ini menguatkan dugaan pasien menderita DKI.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya lesi di dua tempat yang berbeda.
Di regio dorsum pedis sinistra terdapat bula, multipel, berbatas tegas, berbentuk
bulat, ukuran diameter bervariasi 2 cm – 3 cm, dinding kendor, distribusi terbatas
di kulit dorsum pedis menutupi makula yang eritema hingga hiperpigmentasi. Dan
di regio cruris sinistra terdapat bula, soliter, berbatas tegas, berbentuk bulat,
ukuran diameter 0,8cm, dinding kendor di atas kulit yang hiperpigmentasi.
Berdasarkan teori yang ada, lesi ini sesuai dengan lesi yang mungkin muncul pada
21
DKI akut yaitu dapat berupa eritema edema, bula, dan mungkin juga nekrosis
yang memiliki batas tegas dan asimetris.
Dermatitis kontak alergi dan dermatitis atopik juga memiliki gambaran
effloresensi yang hampir sama dengan DKI. Lesi awal pada DKA dapat berupa
makula, eritema, papula, melebar dari tempat awal. Dilihat dari onset, DKI terjadi
pada kontak pertama, sedangkan DKA pada kontak berulang. Sedangkan pada
dermatitis atopik, dapat dilihat tiga tanda khas, yaitu pruritus, morfologi dan
distribusi khas pada wajah (khusus pada anak), cenderung menjadi kronis
kambuh.
Pada pasien ini diberikan terapi nonmedikamentosa dan medikamentosa.
Untuk nonmedikamentosa pasien diberikan tentang penjelasan penyakitnya dan
menghindari pajanan terhadap bahan iritan. Untuk medikamentosa dibagi menjadi
dua macam yaitu sistemik dan topikal. Obat sistemik yaitu cetirizine
(antihistamine), sedangkan untuk topikal diberikan hidrokortison (kortikosteroid),
gentamycin, dan kompres NaCl 0,9%. Hal ini sesuai dengan teori pengobatan DKI
yang paling penting adalah menghindari pajanan bahan iritan. Untuk pengobatan
medikamentosa bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan keluhan dan
gejala yang muncul, menekan peradangan, serta mencegah timbulnya infeksi
sekunder.
22
BAB V
KESIMPULAN
Dermatitis kontak iritan adalah penyakit yang disebabkan oleh paparan
bahan iritan seperti bahan kimia, fisik, maupun biologik. Daerah yang biasanya
menglami DKI adalah tangan. Dermatitis kontak iritan adalah penyakit
multifaktor dimana faktor eksogen (iritan dan lingkungan) dan faktor endogen
sangat berperan. Penyakit ini biasanya susah dibedakan dengan dermatitis kontak
alergi dan dermatitis atopik. Patch test merupakan gold standard dalam
pemeriksaan DKI untuk mengeksklusi diagnosis banding. Terapi untuk DKI
biasanya dibagi menjadi dua terapi, yaitu medikamentosa dan nonmedikamentosa.
Dimana medikamentosa dibagi menjadi sistemik dan topikal. Sedangkan untuk
nonmedikamentosa yang paling penting adalah menghindari pajanan bahan iritan
yang menjadi penyebab munculnya DKI.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Fonacier, L., Bernstein, D.I., Pacheco, K., Holness, D.L., Moore, J.B., Khan,
D., dkk. 2015. Contact Dermatitis: A Practice Parameter - Update 2015.
American Academy of Allergy, Asthma & Immunology, 3:S1-S39
2. Sulistyaningrum, S.K., Widaty, S., Triestianawati, W., Daili, E.S.S. 2011.
Dermatitis Kontak Iritan dan Alergik pada Geriatri. MDVI, 38/1:29-40
3. Amado, A., Taylor, J.S., Sood, A. 2008. Irritant Contact Dermatitis. In: Wolff,
K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J.,
editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th. Ed. USA:
McGraw-Hill Companies. p. 395-401
4. Reza, I.B. 2014. Lapsus: Dermatitis Kontak Iritan. Tersedia di:
https://idabagusreza.wordpress.com/2014/10/15/lapsus-dermatitis-kontak-
iritan/
5. Chomiczewska, D., Kieć-Swierczyńska, M., Krecisz, B. 2008. Irritant
Contact Dermatitis. Part I. Epidemiology, Etiopathogenesis and Clinical
Manifestation. Medycyna Pracy, 59(5):409-19
6. Djuanda, S. dan Sularsito, S.A. 2011. Dermatitis. In: Djuanda, A., Hamzah,
M., Aisah, S., editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th. Ed. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI. p. 130-133
7. Hogan, D.J. 2014. Irritant Contact Dermatitis. eMedicine. Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/1049353-overview#a3
8. Crawford, G.H. dan Jacob, S.E. 2013. Question 24: What are the Types and
Appearances of Contact Dermatitis?. In: Curbside Consultation in Pediatric
Dermatology. Thorofare: Slack Incorporated. p. 131-136
9. Sucipta, C. 2008. Dermatitis Kontak Iritan. Tersedia di:
http://citrajourney.blogspot.com/2008/08/laporan-kasus-dermatitis-kontak-
iritan.html
10. Trihapsoro, I. 2003. Dermatitis Kontak Alergik Pada Pasien Rawat Jalan di
RSUP Haji Adam Malik Medan. USU. p. 1-36
11. Ferdian, R. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Dermatitis Kontak pada Pekerja Pembuat Tahu di Wilayah Kecamatan
24
Ciputat dan Ciputat Timur Tahun 2012. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Tersedia di:
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25962/1/RISKA
%20FERDIAN-fkik.pdf
12. Hanapi, A.N. 2012. Dermatitis Kontak Iritan. Unhas. Tersedia di:
https://www.academia.edu/6955556/DERMATITIS_KONTAK_IRITAN
13. Afifah, A. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya
Dermatitis Kontak Iritan pada Karyawan Binatu. Undip. Tersedia di:
https://core.ac.uk/download/files/379/11735625.pdf
25