dermatitis kontak
DESCRIPTION
sungganTRANSCRIPT
Dermatitis kontak merupakan pola respons inflamasi pada kulit akibat kontak dengan
faktor eksternal. Dermatitis kontak merupakan salah satu penyebab kelainan kulit dan pruritus
pada populasi geriatri.13 Penelitian tentang kejadian dermatitis kontak pada populasi geriatri
sangat terbatas. Fitzpatrick pada tahun 1989 mendapatkan prevalensi dermatitis kontak pada
populasi geriatri sebesar 11%, baik tipe iritan maupun alergik. Berbagai penelitian yang
dilakukan pada tahun 1999-2003, menemukan kekerapan kejadian DKA berkisar antara 34%
sampai dengan 64%.10,15,16 Sementaraitu, di Divisi Geriatri Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin FKUI-RSCM terdapat 148 (8,4%) kasus dermatitis kontak dari total 1760 pasien
selama kurun periode September 2008 – Oktober 2009. Dermatitis kontak diidentifikasi dalam
dua varian utama, yaitu iritan dan alergik berdasarkan keterlibatan sistem imun spesifik.
Sebagian besar kepustakaan yang tersedia, baik kepustakaan khusus mengenai dermatitis kontak,
kepustakaan dermatologi secara umum, maupun kepustakaan geriatriyang membahas mengenai
dermatitis kontak, tidak menyebutkan adanya perbedaan patofisiologi dermatitis kontak pada
populasi anak, dewasa, dan geriatri. Namun, perubahan struktur dan fisiologi kulit dan
imunosenescence akibat proses menua dapat berpengaruh terhadap kekerapan dan manifestasi
klinis dermatitis kontak.
PATOFISIOLOGI
Patogenesis dermatitis kontak melibatkan pajanan terhadap alergen dan iritan, faktor
endogen dan lingkungan yang berinteraksi secara dinamis. Secara patofisiologi dermatitis kontak
dibedakan menjadi dermatitis kontak alergik (DKA) yang merupakan respons kontak terhadap
alergen pada individu yang telah tersensitisasi dan dermatitis kontak iritan (DKI) yang
diakibatkan pajanan terhadap iritan.
DERMATITIS KONTAK IRITAN
Pada DKI, pajanan pertama terhadap iritan telah mampu menyebabkan respons iritasi
pada kulit. Sel T memori tidak berperan dalam timbulnya DKI. Terdapat empat mekanisme
utama yang saling berinteraksi dalam epidermis, kerusakan membran sel, denaturasi keratin pada
epidermis, dan efek sitotoksik langsung. Telah dibuktikan bahwa sistem imun nonspesifik
berperan dalam patogenesis DKI. Pajanan terhadap iritan menyebabkan reaksi inflamasi berupa
vasodilatasi dan infiltrasi sel pada dermis dan epidermis akibat pelepasan sitokin proinflamatorik
IL-1 sebelum terjadi kerusakan kulit. Sel-sel yang berperan dalam proses ini adalah keratin,
makrofag, netrofil, eosinofil, dan sel T naïve. Gambaran histologist respons inflamasi DKI
berupa spongiosis dan pembentukan mikrovesikel.
DERMATITIS KONTAK ALERGIK
Kelainan alergi kulit pada usia lanjut dapat timbul akibat kontak dengan alergen tertentu.
Dermatitis kontak alergik (DKA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering ditemui
pada usia lanjut. Walaupun individu usia lanjut mengalami fenomena immunosenescence
sehingga lebih sulit tersensitisasi pada kondisi eksperimental, namun individu tersebut telah
mendapatkan pajanan alergen selama bertahun-tahun secara kumulatif. Keadaan sensitisasi
akibat pajanan alergen potensial ini dapat bertahan seumur hidup. Respons alergik yang adekuat
pada pajanan berikutnya dapat berkembang menjadi dermatitis kontak. Hal tersebut
menerangkan beberapa penelitian yang mendapatkan angka kejadian meningkat pada populasi
geriatri.
Secara umum patofisologi DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV (delayed type)
yang diperantarai komponen selular (sel T). Proses tersebut dapat diamati dalam 3 fase, yaitu
fase aferen, fase eferen, dan fase resolusi. Pada fase aferen atau fase sensitisasi, hapten
melakukan penetrasi ke kulit dan membentuk kompleks
dengan protein karier epidermis, membentuk alergen. Molekul MHC II atau HLA-DR pada
permukan antigenpresenting Langerhans cells (LCs) berperan sebagai tempat melekat alergen
tersebut.Sel Langerhans kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening (KGB) untuk
mensensitisasi sel T naïve. Sel T tersensitisasi ini, meliputi sel Th1(CD4) dan sel Tc1(CD8),
kemudian bermigrasi ke kulit.
Fase eferen atau fase elisitasi terjadi pada pajanan ulang alergen kontak pada kulit.
Alergen ini kemudian dipresentasikan oleh sel Langerhans dan dikenali sel T tersensitisasi yang
akan menginduksi reaksi. Reaksi inflamasi ini diperantarai komponen selular sistem imun
spesifik. Respons inflamasi yang terjadi melibatkan migrasi berbagai sel inflamatorik dan
pelepasan sitokin oleh keratinosit apoptotik. Gambaran histologis yang ditemui pada DKA dapat
berupa spongiosis dan infiltrate pada dermis.
Fase resolusi ditandai peningkatan IFN γ dan prostaglandin (PGE) yang menghambat
produksi IL-2 dan menghambat aktivitas natural killer cell (sel NK). Reaksi diakhiri dengan
mekanisme down-regulasi sel T. Adanya deskuamasi lapisan kulit yang mengandung alergen
kontak, degradasi enzimatik terhadap alergen, dan mekanisme regulasi imun lainnya yang belum
sepenuhnya diketahui turut berperan dalam fase ini.
DIAGNOSIS
Dermatitis kontak dapat disebabkan karena alergi atau iritan. Diagnosis biasanya tidak
jelas diperoleh dari riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisis saja. Anamnesis dan pemeriksaan
penunjang, yaitu uji tempel, memberikan kontribusi bermakna dalam menegakkan diagnosis.
Meskipun mendapatkan informasi yang relevan mudah pada sebagian pasien, faktanya diagnosis
secara tepat membutuhkan rangkaian pertanyaan yang panjang dan teliti untuk mendapatkan
petunjuk yang diperlukan. Anamnesis teliti dan terarah harus dilakukan untuk mengidentifikasi
intensitas, frekuensi, dan lama pajanan pada area yang terpajan. Suatu iritan pada saat yang
bersamaan dapat pula bersifat sebagai alergen. Hal menarik lainnya adalah adanya DKI dapat
meningkatkan kejadian DKA. Hal tersebut terjadi akibat adanya gangguan fungsi sawar kulit
yang terjadi sebelumnya akan meningkatkan penetrasi alergen. Fenomena ini menyebabkan
diagnosis dermatitis kontak menjadi masalah yang menarik dan kompleks. Pembahasan
manifestasi dermatitis kontak pada geriatri umumnya mengacu pada gambaran dermatitis kontak
secara umum.
Gambaran klinis DKI maupun DKA pada orang tua secara klinis bervariasi, dapat berupa
bercak eritematosa berskuama tanpa disertai vesikel rasa gatal maupun sensasi terbakar.
Perubahan sistem imun pada populasi geriatri menyebabkan berkurangnya eritema sebagai tanda
iritasi kulit yang dapat diobservasi. Sebagian besar dermatitis kontak bermanifestasi klinis
subakut dan kronik. Namun apabila terdapat pajanan dengan iritan kuat, misalnya: asam kuat
atau basa kuat, dapat bermanifestasi akut berupa vesikel dan area eritematosa yang sesuai pola
distribusi pajanan. Gatal merupakan gejala utama dermatitis kontak alergik. Rasa gatal yang
dihubungkan dengan alergi kulit harus dibedakan dari penyebab gatal lainnya pada individu usia
lanjut, misalnya: rasa gatal akibat xerosis dan penyakit sistemik. Identifikasi etiologi dermatitis
kontak kerap memerlukan usaha keras dan menjadi tantangan tersendiri. Petunjuk klinis yang
paling dapat dipercaya adalah distribusi geografisnya. Lokasi dan distribusi dermatitis dapat
menjadi petunjuk penting diagnosis dermatitis kontak pada populasi usia lanjut. Dermatitis
kontak awalnya terdapat pada area kulit yang terpajan. Namun dalam perkembangannya, dapat
menyebar ke tempat lain yang lebih jauh baik dengan kontak yang tidak disengaja, atau dalam
kondisi tertentu, misalnya autosensitisasi. Lebih jauh lagi, kulit kepala, telapak tangan, dan
telapak kaki yang relatif resisten terhadap dermatitis kontak, dapat menunjukkan karakteristik
patologis akibat pajanan agen berulang disertai faktor mekanis misalnya pemijatan. Kheilitis dan
stomatitis pada orang tua mungkin berkaitan dengan dermatitis kontak terhadap perasa pada
pasta gigi, tabir surya, atau bahan gigi palsu. Pada DKI, kontak pertama dengan iritan telah dapat
menimbulkan kelainan kulit. Diagnosis DKI mudah ditegakkan pada kontak dengan iritan kuat,
misalnya: pajanan asam kuat, yang menimbulkan reaksi DKI akut dalam beberapa menit. Namun
pajanan iritan lemah kronik yang kerap dialami populasi geriatri menampilkan manifestasi klinis
subakut maupun kronik, menjadi lebih sulit didiagnosis. Berbeda dengan DKI, kejadian DKA
memerlukan fase sensitisasi, namun kapan fase sensitisasi pada populasi geriatri lebih sulit
ditentukan, karena dapat terjadi di sepanjang usia kehidupannya. Fenomena kontak alergik pada
uji temple dengan alergen yang relevan dan pola distribusi yang khas dapat membantu
menegakkan diagnosis DKA.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji tempel merupakan alat yang sangat berguna untuk menegakkan diagnosis dermatitis
kontak pada orang tua. Tanpa uji tempel, adalah mustahil menggambarkan penyebab DKA
secara obyektif. Oleh karena itu, meskipun 105 tahun telah berlalu sejak Jadassohn pertama kali
menjelaskan kegunaan uji tempel, pemeriksaan penunjang ini tetap penting untuk diagnosis
dermatitis kontak secara tepat. Sebagai langkah pencegahan uji tempel juga dapat dilakukan
sebelum pemberian rejimen topikal pada populasi geriatri, terutama pada pasien yang berisiko
tinggi terkena dermatitis kontak, misalnya: pasien dengan dermatitis kronik ekstremitas bawah
yang berkaitan dengan stasis vena. Secara teknis, uji tempel pada orang tua tidak selalu berbeda
dari pasien yang lebih muda. Preparat uji temple dilepaskan pada jam ke-48. Evaluasi hasil uji
temple dilakukan pada jam ke-48 dan jam ke-72. Pembacaan pertama dapat dilakukan 15-30
menit setelah preparat dilepaskan. Penelitian yang dilakukan oleh Mangelsdorf dkk. pada pasien
berusia lebih dari 65 tahun, mendapatkan lebih banyak hasil uji tempel yang positif pada
pembacaan jam ke-72. Sekitar 60% baru menunjukkan hasil uji yang positif pada pembacaan
kedua. Umumnya kasus positif ditandai eritema dan infiltrat ringan. Edema, pembentukan
vesikel sampai bula hampir tidak pernah dijumpai.29 Penelitian oleh Gupta dkk. pada 860 pasien
berusia lebih dari 65 tahun, menganjurkan pembacaan uji tempel dilakukan pada hari ke-3 dan
hari ke-5.16 Penelitan yang dilakukan Wantke dkk. terhadap 1729 subjek menemukan bahwa
reaksi uji tempel secara umum pada populasi geriatri menurun jika dibandingkan pada anak dan
dewasa muda.15 Pengobatan topikal merupakan salah satu penyebab tersering dermatitis kontak
alergi pada orang tua, termasuk neomisin dan kortikosteroid. Namun, reaksi positif uji tempel
terhadap rejimen pengobatan topikal umumnya lebih lambat. Hal tersebut menunjukkan
pentingnya pembacaan lambat, yaitu sekitar 7-10 hari pada pasien yang menggunakan bahan ini
pada uji tempel. Alergi kortikosteroid, khususnya, dapat tidak terdeteksi jika pembacaan lambat
tidak dilakukan. Biopsi kulit umumnya tidak memberikan banyak manfaat dalam membedakan
DKI dan DKA pada populasi orang tua.
TATALAKSANA
Identifikasi dan penghindaran bahan iritan maupun alergen yang dicurigai merupakan
tahapan utama dalam terapi dermatitis kontak. Pasien harus mendapatkan informasi lengkap
mengenai bahan yang harus dihindari. Bagi sebagian besar individu, penghindaran alergen
menyebabkan resolusi dermatitis. Perlu dijelaskan pada
pasien DKA geriatri, bahwa diperlukan waktu sekitar 3 bulan penghindaran alergen untuk
melihat perbaikan tanpa adanya pengobatan tambahan Erupsi likenifikasi kronik paling baik
diobati dengan pelembab. Pelembab telah menjadi satu bagian penting dalam tatalaksana
dermatitis kontak. Penggunaan pelembab dapat membantu pemulihan sawar kulit dengan cara
meningkatkan hidrasi kulit, mempengaruhi struktur lipid epidermis, dan mencegah absorbsi
senyawa eksogen. Pelembab yang mengandung lipid menjadi pilihan utama. Beberapa pasien
tetap membutuhkan terapi simptomatik meskipun telah menghindari alergen penyebab. Untuk
pasien yang tidak mampu menghindari alergen yang telah diketahui, terapi imunosupresan
(misalnya: kortikosteroid topikal, takrolimus topikal, siklosporin, dan fototerapi) atau perbaikan
sawar dapat memberi manfaat. Pruritus dapat dikontrol dengan antipruritik atau antihistamin
oral. Antihistamin maupun zat anestesi topical sebaiknya dihindari karena berisiko menginduksi
alergi sekunder pada kulit yang telah mengalami dermatitis. Pemilihan obat topikal untuk pasien
geriatri dengan risiko tinggi dermatitis kontak, memerlukan pengetahuan yang cukup tentang
berbagai zat yang umumnya dapat
menyebabkan sensitisasi. Secara umum, bentuk sediaan salap lebih baik dari pada krim dalam
pengobatan dermatitis kontak. Hal ini disebabkan sediaan salap umumnya memiliki potensi
sensitisasi lebih rendah dibandingkan sediaan krim. Penggunaan kortikosteroid sendiri dapat
menyebabkan sensitisasi pada populasi geriatri. Tixocortol dan hidrokortison merupakan agen
yang sering menimbulkan sensitisasi. Namun perlu diingat bahwa dapat terjadi reaksi silang
antar kortikosteroid. Pada keadaan riwayat alergi terhadap kortikosteroid topikal, uji tempel
dapat dilakukan untuk mengidentifikasi jenis kortikosteroid yang dapat ditoleransi pasien.
Meskipun kortikosteroid topikal efektif untuk sebagian besar pasien dermatitis kontak, individu
dengan keterlibatan lebih dari 25% area permukaan tubuh atau mereka yang terpajan dengan
alergen tertentu (sebagai contoh: Toxicodendron oleoresin, yang bertahan secara lokal dalam
kulit selama berminggu-minggu setelah pajanan), mungkin membutuhkan kortikosteroid
sistemik. Kortikosteroid topikal tidak boleh digunakan terus menerus karena dapat menyebabkan
takifilaksis dan beberapa efek samping merugikan, misalnya: atrofi dan striae. Kortikosteroid
topikal, saat diaplikasikan di wajah, dapat menyebabkan steroid rosasea. Katarak atau glaukoma
dapat timbul selama aplikasi kortikosteroid topikal pada area periorbital. Kortikosteroid sistemik
berkontribusi terhadap osteoporosis dan peningkatan berat badan, dan dapat memperparah ulkus
peptikum, hipertensi, serta diabetes melitus. Apabila pasien tidak dapat mentoleransi
kortikosteroid atau apabila pengobatan tidak efektif, agen imunosupresif nonsteroid topikal baru,
misalnya: takrolimus, fototerapi, atau obat-obat imunosupresif sistemik misalnya siklosporin
mungkin diperlukan. Terdapat pula berbagai modalitas terapeutik potensial yang dikembangkan
belakangan ini, meliputi obat imunosupresan (FK 506 topikal dan ascomycin), inhibitor aktivitas
metabolik selular, inhibitor molekul adesi, aplikasi kulit target dengan sitokin regulator, dan
netralisasi sitokin proinflamasi dengan oligonukleotida antisense, antibodi antisitokin atau
reseptor sitokin terlarut.
Sumber :
Triesnaswati W, Soedarmi S. Emmy, Sulistyaningrum SK, dkk. 2011. Dermatitis Kontak
Iritan dan Alergi pada Geriatri. Departemen Ilmu Kesehatan dan Kelamin FK Universitas
Indonesia.