dermatitis atopik

26
Mengenal Gejala dan Pemberian Obat yang Tepat pada Dermatitis Atopik Manda Setyo Wulandari 102013008 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 Email: [email protected] Pendahuluan Kulit merupakan interface kita dengan lingkungan, memberi perlindungan terhadap serangan dari luar dan mempertahankan keutuhan jaringan di dalam tubuh. Dimana kulit dibagi menjadi dua lapisan yaitu dermis dan epidermis. Di kulit dapat terjadi kelainan,yang disebut dermatitis. Dermatitis itu sendiri merupakan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen yang menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, dan likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis. Anamnesis Salah satu dari empat keluhan utama ini biasanya mendorong pasien untuk mencari pengobatan: nyeri, disfungsi kulit, lesi asimptomatik, atau perubahan dari keadaan normal. Di samping

Upload: manda-setyo-wulandari

Post on 11-Nov-2015

218 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

v

TRANSCRIPT

Mengenal Gejala dan Pemberian Obat yang Tepat pada Dermatitis Atopik Manda Setyo Wulandari102013008Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731Email: [email protected]

PendahuluanKulit merupakan interface kita dengan lingkungan, memberi perlindungan terhadap serangan dari luar dan mempertahankan keutuhan jaringan di dalam tubuh. Dimana kulit dibagi menjadi dua lapisan yaitu dermis dan epidermis. Di kulit dapat terjadi kelainan,yang disebut dermatitis. Dermatitis itu sendiri merupakan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen yang menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, dan likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.AnamnesisSalah satu dari empat keluhan utama ini biasanya mendorong pasien untuk mencari pengobatan: nyeri, disfungsi kulit, lesi asimptomatik, atau perubahan dari keadaan normal. Di samping menggali keluhan-keluhan ini, anamnesis harus menyelidiki tujuh ciri lesi kulit yang membantu dalam membuat diagnosis.11. NyeriApakah lesi tersebut nyeri atau gatal? Inflamasi dan edema pada kulit menyebabkan nyeri. Rasa gatal atau pruritus adalah suatu bentuk rasa nyeri yang hanya dirasa oleh kulit.1. Disfungsi Disfungsi apa yang terlihat dengan jelas ? Apakah ada skuama, kelainan pada rambut, pustula, berair, dan lain-lain?1. Lesi asimtometik dan perubahan dari keadaan normalBagaimana pasien menemukan lesi tersebut ? 1. Tujuh riwayat khas untuk membantu diagnosisDimana lesi pertama kali terlihat?Apakah ada gejala-gejala lain yang timbul bersama-sama dengan lesi kulit?Bagaimana perubahan lesi kulit setelah terlihat?Kapan lesi itu terlihat untuk pertama kalinya?Bagaimana perubahan lesi kulit tersebut sejak timbul untuk pertama kalinya?Apakah pasien tersebut makan obat atau terpapar dengan faktor-faktor yang tak lazim?Apa yang terjadi jika ruam tersebut terpapar sinar matahari? 1. Riwayat penyakit keluargaAdakah riwayat penyakit kulit atau atopi dalam keluarga? Adakah orang lain di keluarga yang mengalami serupa?Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik organ kulit, meliputi :2Warna kulit,erupsi/efloresensi,lesi sekunder,perubahan local,pertumbuhan rambut,udem,turgor kulit,produksi keringat,emphysema subkutis, berkumpulnya udara secara patologis dalam jaringan atau organ.Pada dermatitis atopik dapat dilakukan bebrapa pemeriksaan penunjang, diantaranya : Pemeriksaan darah, pada darah perifer ditemukan peningkatan eosinofil dan kadar IgE. Dermatografisme putih. Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon berturut-turut, yaitu terlihat garis merah di tempat penggoresan selama 15 detik, warna merah di sekitarnya selama beberapa detik, udem timbul sesudah beberapa menit. Penggoresan pada pasien atopik akan bereaksi berlainan. Garis merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit, sedangkan udem tidak timbul. Keadaan dermatografisme putih. Percobaan asetilkolin. Suntikan secara intrakutan solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan hyperemia pada orang normal. Pada orang dermatitis atopik akan timbul vasokonstriksi, terlihat kepucatan selama 1 jam. Percobaan histamine. Jika histamine fosfat disuntikkan pada lesi, eritema akan berkurang dibandingkan dengan orang lain sebagai control. Kalau obat tersebut disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit yang normal.Dermatitis atopik (D.A) ialah keadaaan peradangan kulit kronis dan residif , disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar lgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (D.A, rinitis alergik dan atau asma brunkial). Kelainan kulit berupa papul gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenfikasi, distribusinya di lipatan (fleksural).Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923) yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya. Misalnya: asma bronchial, rinitis alergik, dermatitis atopic dan konjungtivitas alergik.Sinonim. Banyak istilah lain dipakai sebagai sinonim D.A ialah ekzema atopik, ekzema konstitusional, ekzema fleksural, neurodermitis diseminata, prurigo Besnier. Tetapi yang paling sering digunakan ialah dermatitis atopic. EpidemiologiBerbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi D.A. makin meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia, dan negara industri lain, prevalensi D.A. pada anak mencapai 10-20%, sedangkan pada dewasa kira-kira 1-3%. Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur, Asia tengah, prevalensi D.A. jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita D.A. daripada pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap prevalensi D.A., misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunaan antibiotik, berpotensi menaikkan jumlah penderita D.A. Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan melindungi kemungkinan timbulnya D.A. pada kemudian hari.3D.A. cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi akan mengalami D.A. pada masa kehidupan 3 bulan pertama. Bila salah satu orang menderita atopi, lebih separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopi. Risiko mewarisi D.A. lebih tinggi bila ibu yang menderita D.A. dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila D.A. yang dialami berlanjut hingga masa dewasa, maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.3EtiologiPenyakit ini dipengaruhi multifaktorial, seperti faktor genetik, imunologik, lingkungan, sawar kulit dan farmakologik. Konsep dasar terjadinya DA adalah melalui reaksi imunologik, yang diperantarai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang.Kadar IgE dalam serum penderita DA dan jumlah eosinofil dalam darah perifer umumnya meningkat. Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara DA dan alergi saluran napas, karena 80% anak dengan DA mengalami asma bronkial atau rinitis alergik. Dari percobaan pada tikus yang disensitisasi secara epikutan dengan antigen, akan terjadi dermatitis alergik, IgE dalam serum meningkat, eosinofilia saluran napas, dan respons berlebihan terhadap metakolin, hal tersebut menguatkan dugaan bahwa pajanan allergen pada DA akan mempermudah timbulnya asma bronkial. Beberapa peneliti menyebutkan alergen yang umum antara lain, sebagai berikut:Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah (house dust mite), serbuk sari buah (polen), bulu binatang (animal dander), jamur (molds) dan kecoa.3Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandumMikroorganisme : bakteri seperti staphylococcus aureus, streptococcus species, dan ragi (yeast) seperti pityrosporum ovale, candida albicans dan trichophyton species.Bahan iritan atau alergen : wool, desinfektans, nikel,balsam dan sebagainya.Penyebab dermatitis atopic belum diketahui secara pasti. Gambaran klinis yang muncul disebabkan oleh faktor konstitusional (bawaan) dan faktor pencetus.

Faktor turunanPada 70% penderita ditemukan riwayat srigmata atopi (herediter) pada pasien atau anggota keluarga seperti asma bronchial, rhinitis alergik, konjungtivitis alergik, hay fever, dan dermatitis atopik. Diduga dermatitis atopik diturunkan secara dominan autosomal, resesif autosomal, dan multifaktorial.Faktor imunologiGangguan imunologi yang menonjol pada dermatitis atopik adalah peningkatan IgE karena aktivitas limfosit T yang meningkat. Aktivitas limfosit meningkat karena pengaruh dari IL-4. Sementara itu produksi IL-4 dipengaruhi oleh aktivitas sel T Helper. Sel TH2 akan merangsang sel B untuk memproduksi IgE. Sitokin dihasilkan IL-2 dan IL-4. Jadi, pada dermatitis atopik, TH2 mempunyai peran yang menonjol pada proses pathogenesis. Imunopatologi dermatitis atopik sangat kompleks. IgE meningkat pada 80% penderita dermatitis atopik. Perlu diketahui, selain melalui reaksi hipersensitivitas tipe 1, IgE juga dapat bertindak sebagai penangkap antigen pada reaksi IgE-Mediated delayed type hypersensitivity. Namun demikian, kenaikan kadar IgE bukan merupakan dasar penyebab dermatitis atopik, karena pada penderita asma dengan kadar IgE tinggi sering tidak disertai dermatitis atopik. Demikian pula, ada dermatitis atopik tanpa disertai kenaikan kadar IgE.Sel Langerhans (APC) menyerahkan antigen ke sel T dan menyebabkan sel T menjadi aktif. Hasilnya adalah produksi limfokin. Antigen dapat berupa tungau debu rumah, berikatan dengan IgE yang menempel pada permukaan membran sel Langerhans. Menempelnya molekul immunoglobulin pada sel Langerhans melalui suatu reseptor Fc_iR. Keberadaan Fc_iR pada dinding membran sel Langerhans epidermal ini mempunyai kaitan denga peranan sel Langerhans sebagai penyaji antigen. Pada penderita dermatitis, sel TH2 aktif memproduksi IL-5 yang mempengaruhi migrasi eosinofil. Karena efek in vivo IL-5 menyerupai efek ECFA, eosinofil pada penderita dermatitis atopik menjadi lebih prominen jumlah dan efektivitasnya. Dengan demikian, IL-5 selain merangsang sel B juga merangsang sel eosinofil untuk bergerak ke daerah yang sedang mendapat paparan antigen inhalan.3PatogenesisEtiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya sangat kompleks serta melibatkan banyak faktor, sehingga menggambarkan suatu penyakit yang multifaktorial. Salah satu teori yang banyak dipakai untuk menjelaskan pathogenesis DA adalah teori imunologik. Konsep imunopatologi ini berdasarkan bahwa pada pengamatan 75% penderita DA mempunyai riwayat penyakit atopi lain pada keluarga atau pada dirinya. Selain itu beberapa parameter imunologi dapat diketemukan pada DA, seperti peningkatan kadar IgE dalam serum pada 60-80% kasus, adanya IgE spesifik terhadap bermacam aerolergen dan eosinofilia darah serta diketemukannya molekul IgE pada permukaan sel Langerhans epidermal. Pada DA didapatkan pula abnormalitas imunitas seluler, dengan manifestasi klinisnya antara lain penderita lebih rentan terhadap infeksi virus seperti herpes simpleks virus, vaccinia, coxsackie A16 dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi kronis dermatofita serta menurunnya kepekaan pada alergen kontak yang spesifik.4Peranan reaksi alergi pada etiologi DA masih kontroversi dan menjadi bahan perdebatan di antara para ahli. Istilah alergi dipakai untuk merujuk pada setiap bentuk reaksi hipersensitivitas yang melibatkan IgE sebagai antibodi yang terjadi akibat paparan alergen. Imunopatogenesis DA dimulai dengan paparan imunogen atau alergen dari luar yang mencapai kulit, dapat melalui sirkulasi setelah inhalasi atau secara langsung melalui kontak dengan kulit. Pada pemaparan pertama terjadi sensitisasi, dimana alergen akan ditangkap oleh sel penyaji antigen (antigen presenting cell = APC) untuk kemudian diproses dan disajikan kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC klas II. Hal ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenali alergen tersebut melalui reseptor (T cell receptor = TCR). Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2 karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE (yang spesifik terhadap alergen). Begitu ada di dalam sirkulasi IgE segera berikatan dengan sel mast (=MC) dan basofil. Pada paparan alergen berikutnya, IgE telah tersedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara alergen dengan IgE. Ikatan Ini akan menyebabkan degranulasi MC. Degranulasi MC akan mengeluarkan mediator baik yang telah tersedia (preformed mediators) seperti histamin yang akan menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator yang baru dibentuk (newly synthesiized mediators) seperti leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2) dan lain sebagainya. Sel Langerhans epidermal (LC) berperan penting pula di dalam patogenesis DA oleh karena mengekpresikan reseptor pada permukaan membrannya yang dapat mengikat molekul IgE serta menseksresi berbagai sitokin. Apabila ada alergen masuk akan diikat dan disajikan pada sel T dengan bantuan molekul MHC klas II dan sel T akan mensekresi limfokin dengan profil Th2 yaitu IL-4. IL-5, IL-6 dan IL-10. IL-5 secara fungsional bekerja mirip ECF-A sehingga sel eosinofil ditarik dan berkumpul di tempat lesi, menjadi aktif dan akan mengeluarkan granula protein yang akan membuat kerusakan jaringan. Terjadinya lesi DA pada keadaan ini didasari oleh mekanisme reaksi fase lambat atau late phase reaction (=LPR). Respon imun pada DA terjadi mirip respon tipe lambat atau reaksi tipe IV karena melibatkan sel limfosit T dan oleh karena diperantarai oleh IgE maka dikenal sebagai IgE-mediated delayed type hypersensitivity.Gejala klinisKulit penderita D.A. umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin.Penderita D.A. cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustrasi, agresif, atau merasa tertekan.Gejala utama D.A. ialah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta. D.A. dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: D.A. infantil (terjadi pada usia 2 bulan sampai 2 tahun), D.A. anak (2 sampai 10 tahun) dan D.A. pada remaja dan dewasa.3D.A. infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)D.A. paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, clan akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat lain yaitu ke skalp, leher, pergelangan tangan, lengan clan tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi D.A. infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi clapat meluas generalisata bahkan, walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis clan residif. Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikas:, Pada sebagian besar penderita sembuh setelausia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya, sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami eksaserbasi bila makan makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuh penyakitnya. Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi masih ada silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelaina secara dramatis membaik setelah makanat ersebut dihentikan, sebaliknya ada pula yang mendapatkan tidak ada perbedaan.3D.A. pada anak (usia 2 sampai 10 tahun) Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil atau timbul sendiri (de novo). Lesi lebih kering tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi, dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher, jarang di muka rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk dapat terjadi erosi, likenifikas mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan perubahan lainnya yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi lingkaran setan "siklus gatal-garuk". Rangsangan menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap, wol, bulu kucing dan anjing juga bulu ayam, burung dan sejenisnya. D.A. berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat memperlambat pertumbuhan.3D.A. pada remaja dan dewasaLesi kulit D.A. pada bentuk ini dapat berupa plak papular-eritematosa dan berskuama atau plak likenifikasi yang gatal. Pada D.A. remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut, dan sampai leher, dahi, dan sekitar mata. Pada D.A. dewasa distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau scalp. Kadang erupsi meluas, dan paling parah dilipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan cenderungbergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama dan sering tejadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi hiperpigmentasi. Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stres. Mungkin karena stres dapat menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik. Pada umumnya D.A. remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian kecil terus berlangsung sampai tua. Kulit penderita D.A. yang telah sembuh mudah gatal dan cepat meradang bila terpajan oleh bahan iritan eksogen.Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira-kira 70% suatu saat dapat mengalaminya. D.A. pada tangan dapat mengenai punggung maupun telapak tangan, sulit dibedakan dengan dermatitis kontak. D.A. di tangan biasa timbul pada wanita muda setelah rnelahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan air sebagai pemicunya.Berbagai kelainan dapat menyertai DA, misalnya: hiperlinearis palmaris, xerosis kutis, ictiosis, pomfoliks, pitidasis alba, keratosis pilada, lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian luar (lands Hertoghe), keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah geografik, liken spinulosus, dan keratokonus (bentuk komea yang abnormal). Selain itu penderita D.A. cenderung mudah mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap obat, gigitan atau sengatan serangga.Kriteria DiagnostikBerbagai kriteria diagnosis DA disusun oleh berbagai ahli ; Hanifin dan Rajka telah menyusun kriteria dan kemudian diperbaharui oleh kelompok kerja Inggris di koordinasi oleh William (1994). 3Kriteria mayorTerdapat 3 atau lebih gejala berikut : Pruritus Morfologi dan distribusi yang khas: likenifikasi fleksural pada orang dewasa, gambaran dermatitis di pipi dan ekstensor pada bayi. Dermatitis kronis atau residif. Riwayat penyakit atopik pada penderita atau keluarganya (asma, rhinitis alergika, dermatitis atopik).Kriteria minorTerdapat 3 atau lebih gejala berikut : Xerosis Peningkatan IgE serum Awitan pada usia dini Iktiosis/hiperlinier Palmaris/keratosis piliaris Kecenderungan untuk infeksi kulit (terutama Staphylococcus aureus dan virus herpes simplex) Kecenderungan untuk terjadinya dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki Tes kulit alergi tipe cepat positif Eczema di papilla mammae Keilitis Konjungtivitis berulang Lipatan infraorbital Dennie-Morgan Keratokonus Katarak subkapsular anterior Warna orbita menjadi gelap Muka pucat atau eritem Pitiriasis alba Gatal bila berkeringat Intoleransi pada wol dan pelrut lemak Aksentuasi perifolikular Hipersensitif terhadap makanan Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau faktor emosi Dermografisme putihPada diagnosis bayi :Kriteria mayor : Riwayat atopi pada keluarga Dermatitis tipikal pada muka dan ekstensor PruritusKriteria minor : Xerosis/iktiosis/hiperlinearis Palmaris Aksentuasi perifolikular Fisura belakang telinga Skuama kronis di kulit kepalaKriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan pengalaman klinis. Criteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi karena criteria minor umumnya ditemukan pula pada kelompok control, disamping juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh karena itu kelompok kerja inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh William memperbaiki dan menyederhanakan criteria Hanifin dan Rajka menjadi satu set kriteriauntuk pedoman diagnosis D.A yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter Puskesmas membuat diagnosis.3Pedoman diagnosis D.A yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok. Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di bawah 10 tahun). Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak dibawah 4 tahun). Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan ( atau dermatitis pada pipi/dahi dan anggota bagian luar anak di bawah 4 tahun). Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4 tahun).Different DiagnosisPsoriasisPsoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai femomena tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner. Psoriasis ini disebut juga psoriasis vulgaris berarti psoriasis yang biasa, karena ada psoriasis lain, misalnya psoriasis pustulosa. Insidensnya lebih tinggi pada orang kulit putih daripada kulit yang berwarna dan pada pria lebih banyak daripada wanita. Terdapat faktor-faktor pencetus pada psoriasis, yaitu stres psikis, infeksi fokal (oleh Streptococcus), trauma (fenomena Kobner), endokrin, gangguan metabolik, obat, alkohol, dan merokok. Gejalanya, keadaan umum tidak dipengaruhi kecuali pada psoriasis yang menjadi eritroderma. Sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi pada skalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor terutama pada siku, lutut dan lumbosakral. Kelainan kulitnya berupa bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan sering eritema yang di tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih serta transparan. Psoriasis ini dapat menyebabkan kelainan pada kuku, yaitu pitting nail atau nail pit berupa lekukan-lekukan milar. 5IktiosisSebagian salah satu dari banyak kelainan yang mengganggu maturasi iktiosis sebenarmya merupakan kumpulan kelainan klinis yang bersifat herediter (autosomal-dominan, -resesif atau terkait kromosom X), kelainan ini ditemukan pada saat lahir atau di sekitar kelahiran dengan gejala hiperkeratosis yang mencolok dan secara makroskopis menyerupai sisik ikan (karena itu diberi nama iktiosis). Varian akuisita juga ada dan mungkin berkaitan dengan berbagai keganasan. Kelainan ini secara klinis dikelompokkan menurut cara pewarisan dan gambaran klinis serta histologiknya. Cacat primer pada sebagian besar bentuk iktiosis terletak pada badan dan bagian ekstensor dari ekstremitas mengakibatkan kelainan deskuamasi dan pembentukan skuama (sisik). Secara mikroskopik, iktiosis ditandai dengan kumpulan stratum korneum yang kompak dengan inflamsi minimal dan perubahan yang tidak begitu nyata pada seluruh tebal lapisan epidermis dan stratum granulosum.6Dermatitis kontakDermatitis kontak adalah dermatitis yang terjadi akibat paparan sesuatu bahan pada kulit. Kelainan kulit yang terjadi bergantung pada paparannya, bila terpapar allergen akan timbul dermatitis kontak alergi sedangkan iritan akan menimbulkan dermatitis kontak iritan. Dermatitis kontak allergen adalah dermatitis yang terjadi akibat kontak dengan bahan dari luar pada kulit yang terlah tersensitisasi. Sedangkan dermatitis kontak iritan adalah dermatitis yang terjadi akibat paparan suatu bahan yang menimbulkan kerusakan pada kulit tanpa melalui proses imunologi. Pada umunya dermatitis kontak iritan lebih banyak ditemukan dari pada dermatitis kontak allergen. 3PenatalaksanaanPengobatan TopikalHidrasi kulit. Kulit penderita dermatitis atopik kering dan fungsi sawarnya berkurang, mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian memerlukan pelembab, misalnya krim hidrofolik urea 10%, dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% didalamnya. Bila memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksium 6 jam.5 Kortikosteroid. Pengobatan dermatitis atopik dengan kortikosteroid topikal adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun demikian harus waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan. Pada bayi digunakan salep steroid berpotensi rendah, misalnya hidrokortison 1-2,5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka, genitalia dan intertriginosa digunakan steroid berpotensi rendah (fluorinated glicocorticoid). Bila aktivitas penyakitnya telah terkontrol, dipakai secara interemiten, umumnya dua kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh, sebaiknya dengan kortikosteroid yang potensinya paling rendah. Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid, misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus 1:5000.5Imunomodulator TopikalTakrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurine, dapat diberikan dalam bentuk salep 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun, untuk dewasa 0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambta aktivasi sel yang terlibat dalam dermatitis atopik, yaitu sel Langerhans, sel T, sel mast, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka panjang dengan salep takrolimus, koloni S.aureus menurun. Tidak ditemukan efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid, dapat digunakan di muka dan kelopak mata.5 Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin yaitu imunodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces hygroscopius var. Ascomycetius. Cara kerjanya sangan mirip dengan siklosporin dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis. Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi 1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17-propiat 0,05% (steroid superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4 minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif (muka dan lipatan). Cara pemakaian dioleskan dua kali sehari. Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada ank usia kurang dari 2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati untuk memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat berpotensi menimbulkan kanker kulit.5 Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek samping antipruritus dan anti-inflamasi pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk salep hidrofilik, misalnya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai 10% atau crude coal tar 1% sampai 5%.Pengobatan Sistemik Kortikosteroid. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasiakut, dalam jangka pendek dan dosis rendah, diberikan berselang-seling (altermate) atau diturunkan bertahap (tapering) kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topical. Pemakaian jangka panjang menimbulkan berbagai effek samping dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat akan muncul kembali.Anthistamin. Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Sehingga antihistamin yang dipakai, adalah yang memiliki efek sedative misalnya hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yag lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade reseptor histamine H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam hari pada orang dewasa.5Anti-infeksi. Pada D.A ditemukan peningkatan koloni S.aureus. untuk yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau klaritromisin, sedang untuk yang sudah resisten diberikan diklosasilin, oksasilin atau generasi pertama sefalosporin.Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari selama 10 hari atau 200 mg 4 kali per hari selama 10 hari.5Interferon. IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sl TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan perbaikan klinis karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.Siklosporin. D.A yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangkan pendek. Dosis jangka pendek yang dianjuran per oral: 5 mg/kg BB. Siklosporin adalah obat imunosupresif kuat yang terutama berkerja pada sel T akan terikat dengan cyclophilin (suatu protein intraseluler) menjadi satu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan segera kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbul yaitu peningkatan kreatinin dalam serum atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.5Terapi SinarUntuk dermatitis atopik yang berat dan luas dapat digunakan PUVA (photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif dengan cara memblokade fungsi sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit.5PencegahanKulit penderita dermatitis atopik cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang memperberat dan memicu siklus gatal-garuk, misalnya sabun dan deterjen, kontak dengan bahan kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid atau bahan kimia tambahan. Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik, sebab sisa deterjen dapat bersifat iritan. Kalau selesai berenang harus segera mandi untuk membilas klorin yang biasanya digunakan pada kolam renang. Stres psikis juga dapat menyebabkan eksaserbasi dermatitis atopik.5Seringkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari luar, misalnya terlalu sering dimandikan, menggosok terlalu kuat, pakaian terlalu tebal, ketat atau kotor, kebersihan kurang terutama di daerah popok, infeksi lokal, iritasi oleh kencing atau feses, bahkan juga medicated baby oil. Pada bayi penting diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genitalia, popok segera diganti bila basah dan kotor. Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap garukan agar tidak memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian yang bersifat iritan (misalnya wol, atau sintetik), bahan katun lebih baik. kulit anak/bayi dijaga tetap tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau trauma garukan.5Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab, hindari pembersih antibakterial karena beresiko menginduksi resistensi. PrognosisSulit meramalkan prognosis dermatitis atopik pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita dermatitis atopik. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan dermatitis atopik yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 20-60%, terutama kalau penyakit ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa 84% dermatitis atopik anak berlangsung hingga masa remaja. Ada pula laporan, dermatitis atopik pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65% berkurang gejalanya. Lebih dari separo dermatitis atopik remaja yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa. 5Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik dermatitis atopik, yaitu: Dermatitis atopik luas pada anak Menderita rinitis alergik dan asma bronkial Riwayat dermatitis atopik pada orang tua atau saudara kandung Awitan (onset) dermatitis atopik pada usia muda Anak tunggal Kadar IgE serum sangat tinggiDiperkirakan 30-50 % dermatitis atopik infantil akan berkembang menjadi asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai resiko menderita dermatitis kontak irtan akibat kerja di tangan.

KesimpulanDermatitis Atopik merupakan penyakit yang disebabkan multifactor bisa terjadi akibat imunnologi, keturunan, ataupun alergi serta dapat menyerang berbagai usia. Daftar pustaka1. Burnside, JW. Diagnosis fisik. Ed ke-17. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2004.h. 87-90.2. Soegondo S. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005.h.35-7.3. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6th. Jakarta: FKUI; 2010.4. Kariosentono H. Dermatitis Atopik (Eksema). Surakarta: UNS Press; 2006. 5. Adhi D. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2010.h.138-96.6. Mitchell, Kumar, Abbas, Fausto. Buku saku dasar patologis penyakit. Ed ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2006.h. 708.