demokrasi · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 national security council ... kali memposisikan...

24
DEMOKRASI SEBAGAI ALAT HEGEMONI K. Mustarom

Upload: doduong

Post on 23-May-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

DEMOKRASISEBAGAI ALAT HEGEMONIK. Mustarom

Page 2: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

DEMOKRASI

SEBAGAI ALAT HEGEMONI

LAPORAN KHUSUS

EDISI XI / APRIL 2014

Penulis:

K. Mustarom

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS

merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka

membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini

didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua

elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah

satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk

bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong

kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar

sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan

gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang

lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini

merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:

[email protected].

Seluruh laporan kami bisa didownload di website:

www.syamina.org

Page 3: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

1

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

“Karena mereka tidak tahu yang lebih baik, mereka menyebutnya ‘peradaban’, padahal sejatinya

adalah bagian dari perbudakan mereka.”1

(Gaius Cornelius Tacitus)

“Senjata yang paling kuat dalam peperangan melawan ekstrimisme bukanlah peluru atau bom—

namun adalah daya tarik universal kebebasan... Amerika Serikat berkomitmen akan memajukan

kebebasan dan demokrasi sebagai alternatif yang baik untuk represi dan radikalisme."1

“Kita dibawa, baik oleh peristiwa maupun sense bersama, menuju satu kesimpulan: kelangsungan

kebebasan di tanah kita sangat bergantung pada suksesnya kebebasan di tempat lain. Harapan terbaik

bagi terciptanya perdamaian di dunia ini adalah ekspansi kebebasan di seluruh dunia… Maka, sudah

menjadi kebijakan AS untuk mencari dan mendukung pertumbuhan gerakan dan lembaga demokratis di

setiap negara dan setiap budaya, dengan tujuan akhir adalah berakhirnya tirani di dunia ini.”1

(George W. Bush)

Akhir-akhir ini, promosi demokrasi menjadi

mata uang resmi bagi kebijakan luar negeri AS. AS

dan promosi demokrasi terus berjalan beriringan

meski kini mereka tidak lagi menjadi sebuah

sinonim. 1 Menurut Wittes, demokrasi kini

bersinonim dengan kerusuhan politik dan

ketidakadilan ekonomi.2 Meski demikian, ia terus

menempati posisi kunci dalam setiap kebijakan luar

negeri AS.

Hampir semua peradaban besar--baik Babylonia,

Yunani atau Romawi--berusaha untuk menyebarkan

sistem politik dan ideologi diluar batas-batas

geografis mereka. Mereka meyakini akan

kebenaran universal dari pesan yang mereka bawa.

AS pun demikian, mereka berusaha menyebarkan

1 McFaul, Michael (2004). ‘Democracy Promotion as a World

Value‘, the Washington Quarterly, winter 2004-05 2 Wittes, Tamara Cofman (2008). Freedom’s unsteady

march: America's role in building Arab democracy. The Brookings Institution

pandangannya akan dunia, sebuah ideologi yang

berasal dari kombinasi antara nilai-nilai politik

demokrasi liberal dan prinsip-prinsip ekonomi pasar

bebas. Usaha ini pertama kali dilakukan oleh AS

atas Filipina pada akhir abad ke-19, ketika Presiden

William McKinley menyeru kepada AS untuk

'memajukan, membuat beradab (civilising), dan

mengkristenkan' masyarakat Filipino.3 Pada abad

ke-20, fitur-fitur dasar dalam ideologi AS terus

diasah dan dikembangkan dalam rangka

mempertahankan kepentingan AS di luar negeri.

Salah satu contohnya adalah doa Presiden

Woodrow Wilson agar dunia "harus dibuat aman

bagi demokrasi",4 pada malam masuknya AS dalam

3Dikutip dari Markakis, Dionysius, US Democracy Promotion in

the Middle East: The Pursuit of Hegemony?, Department of International Relationsofthe London School of Economics for the degree of Doctor of Philosophy, London, Oktober2012, hal. 9 4Wilson, W., U.S. Declaration of War with Germany, 2/4/1917,

http://www.firstworldwar.com/source/usawardeclaration.htm

Page 4: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

2

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

Perang Dunia I tahun 1917. Promosi demokrasi

kemudian menjadi pondasi ideologis bagi AS untuk

melawan musuh-musuhnya. Bahkan dalam tingkat

yang lebih jauh, ia kini telah ditetapkan dalam

bentuk sistem internasional. Realitas ini

direfleksikan dalam berbagai 'gelombang'

demokrasi yang terjadi di seluruh dunia pada akhir-

akhir ini. Azar Gat menyoroti kontribusi AS bagi

demokrasi:

“Jika ada faktor yang telah memberikan

keuntungan bagi demokrasi liberal, itu adalah

keberadaan AS dibanding semua keuntungan lain

yang melekat padanya. Bahkan, jika bukan karena

AS, demokrasi liberal mungkin telah kalah dalam

pertempuran besar di abad kedua puluh. Ini adalah

pemikiran sederhana yang sering diabaikan dalam

studi tentang penyebaran demokrasi di abad kedua

puluh.”5

Kebijakan luar negeri AS pun berkembang, dari

penekanan awal 'civilising’ kini telah berganti

menjadi 'demokratisasi'. Menurut Markakis,

berdasarkan alur pemikiran ini, jika negara

berperadaban (civilising countries) diposisikan

sebagai ‘tema utama orang kulit putih’, maka

mendemokrasikan mereka mungkin merupakan

'tema utama orang Barat’.6

Promosi demokrasi telah menjadi fitur utama

dalam kebijakan luar negeri AS sejak awal abad ke-

20, seiring dengan munculnya mereka sebagai aktor

utama di dunia internasional. Berakhirnya Perang

5Gat, A., ‘The Return of Authoritarian Great Powers’, Foreign

Affairs, Vol. 86, No. 4, 2007 6 Markakis, hal. 10

Dingin, yang membuat AS menjadi kekuatan

superpower tunggal mempercepat proses

‘demokratisasi’ dunia.

Promosi demokrasi muncul sebagai strategi

terorganisir AS pada awal tahun 1980. Ia menjadi

ciri utama sikap AS di luar negeri. Demokrasi

menjadi “alat yang paling layak untuk memastikan

stabilitas dan kontrol sosial di Dunia Ketiga.”7

Secara garis besar, terdapat dua tujuan utama

dari strategi promosi demokrasi. Pertama,

memelihara stabilitas di negara-negara yang

bersangkutan, baik bagi negara itu sendiri maupun

masyarakat luas. Stabilitas ini mempengaruhi

berbagai kepentingan politik, ekonomi, militer dan

lainnya yang diidentifikasi oleh Amerika Serikat di

masing-masing negara tersebut. Pentingnya

stabilitas bagi kepentingan AS dibuktikan dari

penekanan yang diberikan oleh pemerintah Bush

pada negara yang gagal (failed states), seperti

Afghanistan, Somalia, dan Sudan. Bush menyatakan

bahwa “Amerika kini tidak begitu terancam oleh

negara yang sedang ditaklukkan dibanding

(ancaman yang diberikan) oleh negara-negara yang

gagal.”8

Stabilitas adalah syarat yang dibutuhkan bagi

keberhasilan ekonomi pasar bebas, yang telah

menjadi perhatian utama AS. Sebagai bagian dari

strategi ini, AS telah berupaya untuk secara

7 Robinson, W., Promoting Polyarchy: Globalization, US

Intervention and Hegemony, Cambridge University Press, 1996, hal. 15. 8

National Security Council (NSC), The National Security Strategy of the United States of America, September 2002, hal. 1

Page 5: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

3

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

bertahap menggantikan pemerintahan otoriter

dengan demokrasi yang berbasis kelompok elit.

Demokrasi berbasis kelompok elit merujuk pada

“sebuah sistem dimana sebuah kelompok kecil

secara aktual menguasai, dan partisipasi massa

dalam pembuatan keputusan terbatas pada

pemilihan kepemimpinan yang secara hati-hati

dikelola oleh kelompok elit yang bersaing.”9

Jika pemerintahan otoriter lebih bergantung

pada pemaksaan untuk menjalankan pemerintahan,

demokrasi berbasis kelompok elit cenderung

menggabungkan sarana yang lebih konsensual

dalam pemerintahan. Dengan pola semacam itu,

demokrasi berbasis elit cenderung menimbulkan

dukungan rakyat, dan akibatnya mampu

memastikan bentuk stabilitas yang lebih lama.

Strategi promosi demokrasi menandai

perkembangan yang lebih halus dalam mengejar

stabilitas di luar negeri.

Kedua, tujuan promosi demokrasi adalah untuk

mencapai hegemoni sebagaimana teori yang

diungkapkan oleh Gramscian. Hegemoni akan

terjadi ketika ideologi dipromosikan—dalam hal ini

norma-norma demokrasi liberal sebagai bagian dari

dorongan politik, ekonomi, sosial dan budaya Barat

diterima sebagai sebuah 'fitrah’ oleh masyarakat

luas. Dengan mengintegrasikan promosi demokrasi

dengan berbagai kebijakan ekonomi, sosial dan

budaya, AS telah berusaha untuk secara strategis

“menembus bukan hanya negara, tetapi juga

9 Robinson, W., Globalization, the World System, and

“Democracy Promotion” in U.S. Foreign Policy, Theory and Society, Vol. 25, No. 5, Oktober 1996, hal. 623-4.

masyarakat sipil ... dan kemudian melakukan

kontrol di dalamnya.” 10 William Robinson

berpendapat bahwa “tujuan promosi demokrasi

bukanlah untuk menekan tapi untuk melakukan

penetrasi dan menaklukkan masyarakat sipil di

negara yang diintervensi, yaitu organisasi-organisasi

“privat” yang kompleks seperti partai politik,

persatuan dagang, media, dan lain-lain, untuk

kemudian mengintegrasikan kelompok-kelompok

kelas bawah dan kelompok nasional dalam sebuah

tatanan sosial yang menghegemoni.”11

Masyarakat sipil terbukti telah menjadi fokus

utama dari program promosi demokrasi AS di

seluruh dunia. Hal ini mencerminkan pergeseran

bertahap dalam penekanan strategis AS, dari

sebelumnya berfokus pada pemerintahan sebuah

negara—sebagai upaya untuk melakukan reformasi

top down—kini AS juga berusaha menggalang

aktor-aktor di masyarakat, untuk mendorong

reformasi dari dalam, bukan hanya dari atas.

Presiden Ronald Reagan adalah yang pertama

kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai

prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

dengan keyakinan bahwa 'kebebasan' bisa

mengalahkan 'kekaisaran jahat' Uni Soviet.12

Pemerintahan Reagan kemudian merumuskan

strategi promosi demokrasi, membangun banyak

‘infrastruktur demokrasi', seperti the National

10

Robinson, Globalization, the World System, and “Democracy Promotion” in U.S. Foreign Policy, hal.643. 11

Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 29 12

Reagan, R., ‘Address to Members of the British Parliament’, 8/6/1982, at http://www.reagan.utexas. edu/archives/speeches/1982/60882a.htm,

Page 6: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

4

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

Endowment for Democracy (NED), dan

melaksanakan inisiatif reformasi di berbagai negara

seperti Filipina, Chili dan Poland.13

Strategi ini didasarkan pada pengakuan bahwa

pemeliharaan status quo, yaitu dukungan kepada

pemerintah otoriter, tidak bisa berkelanjutan dalam

jangka panjang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh

Carl Gershman, presiden NED pada tahun 1986: "Di

dunia dengan komunikasi yang semakin canggih

dan pengetahuan yang meledak, tidak mungkin lagi

hanya mengandalkan kekuatan untuk

mempromosikan stabilitas dan mempertahankan

keamanan nasional. Persuasi menjadi semakin

penting, dan Amerika Serikat harus meningkatkan

kapasitasnya untuk membujuk dengan

mengembangkan teknik untuk menjangkau

masyarakat di berbagai tingkatan.” 14 Gershman

menganjurkan penggunaan promosi demokrasi

untuk “meningkatkan kapasitas AS dalam

melakukan persuasi.”15

Strategi promosi demokrasi dilanjutkan oleh

George H.W. Bush di Nicaragua dan Panama, tetapi

mengingat bahwa masa kepresidenannya terjadi di

masa transisi monumental di tengah-tengah

runtuhnya Uni Soviet, ia mengadopsi sikap yang

lebih pragmatis dibanding sikap ideologis yang

dilakukan oleh Reagan. Namun, template sudah

ditetapkan. Seperti yang disampaikan oleh William

Robinson:

13

idem 14

Gershman, C., Fostering Democracy Abroad: The Role of the National Endowment for Democracy, American Political Science Foundation Convention, 29/8/1986, dikutip dalam Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 2. 15

idem

“Antara tahun 1984 dan 1992, NED dan cabang-

cabang lain dari AS melakukan program "promosi

demokrasi" di 109 negara di seluruh dunia,

termasuk 30 negara di Afrika, 24 negara di Asia, 21

negara di Eropa Tengah dan Timur (termasuk bekas

Uni Soviet), 8 negara di Timur Tengah, dan 26

negara di Amerika Latin dan Caribbean.16

Ketika Presiden Bill Clinton berkuasa, ia

mengartikulasikan visinya untuk sebuah sistem

internasional satu kutub pasca-Perang Dingin

dengan istilah 'pembesaran demokrasi'. 17

Pemerintahan Clinton menciptakan istilah 'pasar

demokrasi', yang menekankan adanya hubungan

intrinsik antara pasar bebas dan pemerintahan yang

demokratis. Clinton menilai bahwa “strategi terbaik

untuk memastikan keamanan kita dan untuk

membangun perdamaian abadi adalah dengan

mendukung kemajuan demokrasi di tempat lain.”18

Di bawah pemerintahan Bush, setelah serangan

11 September 2001, promosi demokrasi menjadi

salah satu fitur yang paling menonjol dari kebijakan

luar negeri AS. Hal ini tercermin dalam besarnya

dana yang dialokasikan untuk program promosi

demokrasi di seluruh dunia, yang meningkat secara

signifikan dari $500 juta/tahun pada tahun 2000

menjadi $1 milyar/tahun pada tahun 2004. Pada

16

Robinson, W., Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervention and Hegemony, Cambridge University Press, 1996. hal. 332. 17

Brinkley, D., Democratic Enlargement: The Clinton Doctrine, Foreign Policy, No. 106, (Spring) 1997 18

http://www.washingtonpost.com/wp-srv/politics/special/states/docs/sou94.htm

Page 7: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

5

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

tahun 2005 meningkat lagi menjadi $2 milyar,

ternasuk biaya invasi ke Afghanistan dan Irak.19

Pemerintahan George W. Bush membawa

program promosi demokrasi ke arah yang belum

pernah terjadi sebelumnya, meletakkannya di satu-

satunya wilayah yang selama ini kebal terhadap

‘gelombang' demokrasi, yaitu Timur Tengah.

Demokrasi Sebagai Alat untuk Menjaga Hegemoni

Menurut Gramsci, hegemoni adalah persetujuan

"spontan" yang diberikan oleh populasi massa atas

arahan umum yang diterapkan pada kehidupan

sosial oleh kelompok dominan. 20 Dia

menghubungkan persetujuan ini dengan 'prestise’

dan kepercayaan yang dinikmati oleh kelompok

dominan karena posisi dan fungsi yang mereka

miliki di dunia yang telah mereka hegemoni. Konsep

hegemoni bertumpu pada asumsi bahwa 'dalam

tatanan sosial yang stabil, harus ada menjadi

perjanjian dasar yang begitu kuat sehingga dapat

menangkal perpecahan dan kekuatan mengganggu

yang timbul dari berbagai konflik kepentingan...

yaitu, pada nilai-nilai, norma-norma, persepsi dan

keyakinan yang mendukung dan menentukan

struktur otoritas pusat.'21 Berbeda dengan konsepsi

realis, yang melihat hegemoni sebagai

kepemimpinan atau dominasi satu negara atas

orang lain, teori Gramscian menawarkan

19

Melia, T., The Democracy Bureaucracy:The Infrastructure of American Democracy Promotion, Princeton Project on National Security, (September) 2005,hal. 13-14 20

Gramsci, A., Selections From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci, Lawrence and Wishart, 1971, hal. 12. 21

Femia,J., Gramsci’s Political Thought: Hegemony, Consciousness, and the Revolutionary Process, Clarendon Press, 1981, hal. 39

interpretasi yang lebih kompleks dan bernuansa.

Hal ini dicapai dengan membedakan antara

mekanisme kontrol sosial yang bersifat koersif dan

konsensual. Mekanisme kontrol koersif didasarkan

pada pemaksaan dalam melakukan kontrol sosial,

sedangkan konsensual didasarkan pada konsesus

untuk menjalankan kontrol sosial masyarakat.

Sistem demokrasi yang berusaha disebarkan oleh

AS lebih didasarkan pada bentuk yang kedua,

dimana ia memberikan sarana untuk mengelola

atau mengatasi konflik, salah satu contohnya

adalah dengan melakukan pemilihan umum secara

periodik. Meski demikian, penting dicatat bahwa

demokrasi juga menggunakan kekuatan paksaan

sebagai kebijakan kedua jika praktik hegemoni

gagal dilakukan. Gramsci menyebutnya sebagai

'hegemoni yang dilindungi oleh baju besi

pemaksaan.’22

Hasil dari sebuah hegemoni sangat bergantung

pada persetujuan aktif dari pihak yang diatur, dan

kemampuan mereka untuk menginternasionalisasi

ideologi yang dipromosikan sebagai sebuah konsep

yang logis atau 'alami'. Sebagaimana yang

dinyatakan oleh Robinson: 'hegemoni Gramscian

melibatkan internalisasi pada pihak kelas bawahan

tentang nilai-nilai moral dan budaya, kode etik

praktis, dan cara pandang dunia dari kelas dominan.

Atau secara garis besar berarti internalisasi logika

sosial dari sistem dominasi itu sendiri.'23 Hegemoni

ini terjadi ketika kelompok elit 'mengartikulasikan

22

Gramsci, Selections From The Prison Notebooks, hal. 263. 23

Robinson, W., Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervention and Hegemony, Cambridge University Press, 1996, hal. 21

Page 8: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

6

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

visi sosialnya dengan klaim untuk melayani

kepentingan semua pihak’, dengan menggunakan

insentif untuk memobilisasi dukungan dari

kelompok-kelompok bawahan, serta menghalangi

setiap oposisi.24 Hal ini dicapai ketika ideologi yang

dipromosikan secara sukarela diasimilasi oleh

masyarakat itu sendiri.25

Esensi dari sebuah hegemoni terletak pada

ideologi yang dipromosikan. Dalam kasus AS, nilai-

nilai politik demokrasi liberal dan prinsip-prinsip

ekonomi pasar bebas, yang berasal dari warisan

politik, ekonomi, sosial dan budaya Barat yang lebih

luas, merupakan unsur-unsur utama dari ideologi

yang dipromosikan. Hal ini menjadi pemahaman

umum mengenai istilah demokrasi di Barat.

Christopher Hobson mengungkapkan bahwa:

“Konotasi asli dari istilah Demokratia

[demokrasi]... telah dikaburkan oleh

kecenderungan untuk menerjemahkannya hanya

sebagai rakyat (demos) yang menjalankan

kekuasaan (kratos). Sementara demos sebenarnya

dibaca sebagai komunitas politik secara

keseluruhan, secara umum ia dipahami dalam arti

yang lebih sempit sebagai satu kelas rakyat saja,

yaitu kaum miskin yang banyak. Penafsiran ini

ditemukan terutama dari penulis seperti Plato dan

Aristoteles, dan juga digunakan untuk menyusun

konsep demokrasi pada abad ke-19. Sementara itu,

Kratos memiliki konotasi yang jauh lebih kuat dan

24

Rupert, M., ‘Marxism and Critical Theory’, in Dunne, T., Kurki, M., Smith, S., (eds.), International Relations Theories: Discipline and Diversity, Oxford University Press, 2007, hal. 157 25

Femia, Gramsci’s Political Thought, hal. 47

memaksa dibanding sekadar ‘untuk memerintah’

atau ‘untuk menjalankan kekuasaan’. Keane

mencatat bahwa kratos mempunyai rasa militer di

dalamnya. Ia bersifat menaklukkan dan memaksa.26

Kratos memiliki dimensi yang penuh dengan

paksaan dan cenderung pada kekerasan. Istilah

kratos mengacu pada “tenaga, kekuatan,

keagungan imperium, ketangguhan, kekuatan

kejayaan, dan kemenangan atas pihak lain,

khususnya melalui penerapan kekuatan”.27

Hobson menyimpulkan bahwa: “Apa yang

dianggap sebagai elemen yang menentukan dari

pengalaman Athena—yaitu penggunaan kekuatan

secara langsung dan penuh dengan pemaksaan oleh

mayoritas yang buruk dalam sebuah pemerintahan

kecil—telah melahirkan keluhan dan kekhawatiran

yang mengutuk demokrasi agar tidak digunakan lagi

dan dipandang tidak relevan selama beberapa

abad.”28 Kekhawatiran atas tirani mayoritas inilah

yang membuat para pendiri AS menolak demokrasi

pada saat kemerdekaan tahun 1776. Mewakili

pandangan dominan saat itu, Thomas Jefferson

berpendapat bahwa: “Demokrasi tidak lain

hanyalah aturan rimba, dimana lima puluh satu

persen orang merampas hak empat puluh

sembilan persen lainnya.”29

26

John Keane, ‘Does Democracy Have a Violent Heart?’, The University of Sydney, Juli 2006, hal. 15. 27

Hobson, C., ‘Beyond the End of History: The Need for a “Radical Historicisation” of Democracy in IR’, Millennium Journal of International Studies, Vol. 37, 2009, hal. 647. 28

Hobson, C., ‘Beyond the End of History: The Need for a “Radical Historicisation” of Democracy, hal. 647. 29

Jefferson, T., dikutip dari http://www.americanhistorycentral.com/entry.php?rec=453&view=quotes

Page 9: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

7

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

Dalam nada yang sama, James Madison

menyatakan bahwa: 'Demokrasi adalah bentuk

pemerintahan paling busuk. Demokrasi pernah

menjadi pusat kekacauan dan pertengkaran; pernah

ditemukan tidak sesuai dengan keamanan pribadi,

atau hak-hak atas harta benda; dan secara umum,

sesingkat kehidupan mereka, mereka juga penuh

dengan kekerasan dalam kematian mereka.'30

Hanya setelah seruan dari Presiden Wilson untuk

dunia yang akan 'dibuat aman bagi demokrasi' pada

tahun 1917 yang membuat demokrasi kembali

muncul di Barat. Meskipun pemikiran ini pada

awalnya tidak disambut oleh kekuatan Sekutu

lainnya, ia mampu berfungsi sebagai pembingkai

dan justifikasi bagi upaya perang yang dilancarkan

pasukan Sekutu. Kemenangan mereka setelah itu

merupakan salah satu katalis utama dari ekspansi

normatif demokrasi di abad-abad selanjutnya.31

Oleh karena itu pemahaman populer akan

istilah 'demokrasi' saat ini secara radikal sangat

berbeda dari konsepsi sejarah yang dominan, yang

menganggapnya sebagai 'bentuk aturan yang

berbahaya dan tidak stabil yang secara pasti akan

menyebabkan anarki atau kesewenang-

wenangan.' 32 Fakta kelam demokrasi ini coba

dikaburkan oleh narasi diskursif yang dilakukan oleh

AS dan Barat, dimana sejarah demokrasi

digambarkan sebagai sebuah kemajuan linear,

dengan demokrasi liberal sebagai kesimpulan akhir

teleologisnya. Menurut interpretasi mereka, 30

Madison, J., dikutip dari http://madison.thefreelibrary.com/ 31

Hobson, ‘Beyond the End of History’, hal. 650. 32

Idem, hal. 632

demokrasi ditemukan di Athena dan kemudian

diteruskan ke Roma, sebagai tempat lahirnya

peradaban Barat, sebelum dicetak menjadi bentuk

kontemporer melalui revolusi Amerika dan Perancis

pada abad kedelapan belas. Abstraksi sederhana

dari konsep demokrasi, dikombinasikan dengan re-

interpretasi secara universal, telah menjadi elemen

kunci dari upaya AS untuk mempromosikan ideologi

secara luas.33

Aspek kunci dari strategi AS dalam usaha

mendemokratisasi dunia adalah dengan berusaha

memposisikan demokrasi sebagai satu-satunya

bentuk pemerintahan yang sah. Francis Fukuyama

dalam 'the End of History’ mencontohkan

pendekatan monokultural AS dalam melakukan

promosi demokrasi. Ia menyebut bahwa

'universalisasi demokrasi liberal Barat merupakan

bentuk final pemerintahan manusia.' Menurut

Fukuyama, demokrasi adalah akhir dari sejarah

umat manusia dan titik akhir dari evolusi ideologi

umat manusia.34

AS berusaha melakukan internalisasi terhadap

komunitas lain atas interpretasi AS terhadap

demokrasi, norma dan nilai-nilai, sebagai sebuah

tatanan alami. Keberhasilan proses ini bisa dilihat

dari fakta bahwa istilah demokrasi itu sendiri saat

ini secara universal diidentifikasikan dengan Barat.

Barat selama ini berusaha untuk menyebarkan

slogan ‘kebebasan, persamaan, dan persaudaraan’

sebagai ekspresi demokrasi yang ideal. Namun

33

Idem, hal. 633 34

Fukuyama, F., ‘The End of History’, The National Interest, Issue 16, (Summer) 1989.

Page 10: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

8

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

dalam praktiknya, persamaan yang menjadi tema

utama demokrasi, sulit terealisasikan. Mengutip

pernyataan Gaetano Mosca:

“Apa yang terjadi pada bentuk pemerintahan

lain—dimana minoritas yang terorganisir

memaksakan kehendaknya terhadap mayoritas

yang tidak terorganisir—juga terjadi secara

sempurna pada sistem representasi, meski

penampakannya nampak tidak seperti itu. Ketika

kita mengatakan bahwa pemilih memilih wakil

mereka, kita telah menggunakan bahasa yang

sangat tidak tepat. Yang terjadi sebenarnya adalah

sang wakil lah yang membuat dirinya dipilih oleh

para pemilih.”35

Pemilu merupakan sumber utama legitimasi

dalam sistem demokrasi berdasarkan norma

pemerintahan Barat saat ini. 36 Meski demikian,

berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh

Ralph Miliband, “Aksi voting adalah bagian dari

proses politik yang jauh lebih besar, yang ditandai…

oleh pengaruh yang tidak seimbang. Berkonsentrasi

pada aksi voting saja justru membantu

menyembunyikan terjadinya ketidakadilan. 37

Ketidakadilan dalam politik demokrasi saat ini

tercermin dalam peran uang dalam proses pemilu.

Sebagai contoh, pada tahun 2000 para calon

presiden AS menghabiskan total $ 500,9 juta, pada

tahun 2004 angka ini meningkat menjadi $ 820,3

juta, sedangkan pada pemilu 2008 total sebesar $

35

Mosca, G., The Ruling Class, McGraw-Hill, 1939, hal. 154 36

Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 49. 37

Miliband, R., The State in Capitalist Society, Basic Books, 1969, hal. 194.

1,7 miliar telah dihabiskan.38 Dalam setiap kasus,

calon yang menang adalah yang memiliki dana yang

lebih besar.39 Fenomena ini sangat relevan dalam

konteks promosi demokrasi, mengingat penekanan

yang dilakukan oleh AS atas peran pemilu di negara-

negara di mana ia beroperasi.

Jika ada yang meyakini bahwa dalam sistem

demokrasi setiap warga negara memiliki hak dan

kesempatan yang sama, maka pada dasarnya

kesimpulan tersebut terbukti salah. 40

Ketidakadilan—baik di bidang politik, ekonomi, atau

sosial—adalah lazim dalam demokrasi liberal.

Demokrasi menempatkan rakyat sebagai

kedaulatan tertinggi. Bagi negara demokrasi

slogan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah

suara Tuhan) menggantikan istilah l’etat e’est

moi (negara adalah saya) sebagi sistem bernegara

yang berlangsung lama di Eropa.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah

bagaimana rakyat bisa memerintah? Thomas R. Dye

dan Harmon Zeigler dalam The Irony of Demcracy;

An Uncommon Introduction to American

Politics memberikan penjelasan bahwa democracy

38

Salan, J., ‘Spending Doubled as Obama Led Billion-Dollar Campaign’, Bloomberg, 27 Des 2008, http://www.bloomberg.com/apps/news?pid=20601087&sid=anLDS9WWPQW8 &refer=home 39

Fenomena ini tidak selalu terjadi. Pada pemili 1992 Clinton mengeluarkan dana lebih sedikit dibanding George H.W. Bush dan tetap bisa menang, meskipun dengan margin 43% vs 38%. Fenomena yang jarang terjadi ini diduga disebabkan oleh kehadiran Ross Perot sebagai calon independen. Lihat ‘1992 Presidential Election’, Roper Center, at http://www.ropercenter.uconn.edu/elections/presidential/presidential_election_ 1992.html. 40

Anderson, P., ‘The Antinomies of Antonio Gramsci’, New Left Review, Vol. 100, 1976, hal. 30.

Page 11: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

9

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

is government “by the people,” but the survival of

democracy rest on the shoulders of elits. Dalam

keniscayaannya demokrasi menjadi ruang bagi

sekumpulan orang dengan tujuan tertentu (the

elits) untuk memimpin rakyat yang semestinya

memiliki kedaulatan. Pemain sejati dalam

demokrasi hanya ada di kalangan atas. Massa hanya

diberi ruang untuk memilih, berteriak, bertepuk

tangan, mencemooh, atau bahkan melempar batu,

tapi mereka tidak pernah dijinkan untuk

berpartisipasi dalam permainan. Para pemimpin

yang terpilih hanya berkewajiban untuk

meyakinkan masyarakat bahwa hanya merekalah

yang bisa melindungi kepentingan rakyat.

Dalam model institusional demokrasi, nilai-nilai

politik demokrasi liberal dan prinsip ekonomi pasar

bebas secara instrinsik sangat berhubungan.

Pemerintah AS dalam setiap periodenya

berpendapat bahwa pasar bebas merupakan

prasyarat bagi demokrasi. Misalnya, pemerintahan

George W. Bush menyatakan dalam Strategi

Keamanan Nasional tahun 2002 bahwa:

“Sebuah ekonomi dunia yang kuat akan

meningkatkan keamanan kita dengan memajukan

kemakmuran dan kebebasan di seluruh dunia.

Pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh

perdagangan bebas dan pasar bebas akan

menciptakan lapangan pekerjaan baru dan

pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini

memungkinkan bagi setiap orang untuk

mengangkat kehidupan mereka keluar dari

kemiskinan, memacu reformasi ekonomi dan

hukum, serta perjuangan melawan korupsi, dan

memperkuat kebiasaan kebebasan.41

Namun Robinson mengemukakan tentang “sifat

kontradiktif pemikiran demokrasi di bawah

kapitalisme. Di mana di satu sisi menekankan

kesucian hak milik pribadi, dan karenanya

melegitimasi kesenjangan sosial dan ekonomi serta

monopoli sumber daya masyarakat oleh minoritas,

sementara di sisi lain mereka menekankan

kedaulatan rakyat dan persamaan hak.42

Demokrasi yang dipromosikan oleh AS

dipresentasikan sebagai sebuah nilai universal yang

netral dimana seluruh manusia di berbagai belahan

dunia menginginkannya, serta bisa diterapkan

dimanapun. Narasi ini diciptakan untuk menutupi

paradoks yang terdapat dalam jantung promosi

demokrasi: di satu sisi mereka berusaha untuk

secara konseptual memisahkan antara sistem

politik dengan tatanan sosio ekonomi, namun di sisi

lain AS memuji prinsip pasar bebas sebagai bagian

intergral dalam perkembangan demokrasi. Ini

adalah kontradiksi yang inheren dalam demokrasi,

dimana mereka berusaha mengklaim persamaan

hak dalam politik namun melegitimasi ketidakadilan

di bidang sosio ekonomi.

Dalam teori demokrasi, kedaulatan tertinggi

berada di tangan warganya. Dengan demikian,

warga dapat berpartisipasi dalam menjalankan roda

pemerintahan. Ironisnya dalam realitas politik,

warga hanya dijadikan objek politik bagi

41

NSC, The National Security Strategy of the United States of America, (September) 2002, hal. 17. 42

Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 52

Page 12: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

10

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

pemerintah (penguasa) untuk mempertahankan

hegomoni politiknya. Sebagaimana ungkapan

Barchmi yang menyatakan bahwa: ‘Prinsip

kedaulatan di tangan warga sebenarnya tidak

pernah ada’, ide kedaulatan warga hanyalah

sebatas fatamorgana. Pemahaman ini mengklaim

bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat

sumbernya. Dimana, setiap aspirasi yang muncul

dari kehendak warganya dianggap telah memenuhi

parameter kebenaran dan keadilan. Oleh karena

itu, prinsip kedaulatan akan memberikan peluang

para wakilnya melakukan kekuasaan absolut. Hal ini

disebabkan wakilnya yang menjalankan roda

pemerintahan memiliki kecendrungan

mempertahankan power-nya dengan berbagai

macam dalih guna “mendoktrin” warganya.

Menurut Barchmi: “Prinsip kedaulatan di tangan

rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa

kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan

kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim

bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat

sumbernya. Atas dasar ini maka setiap aspirasi yang

muncul dari kehendak rakyat, dianggap telah

memenuhi parameter kebenaran dan keadilan.

Aspirasi rakyat itu juga dianggap tak perlu

diragukan dan diperdebatkan lagi dari segi ini

(memenuhi kebenaran dan keadilan-pen.), bukan

karena argumentasinya kuat, melainkan karena ia

muncul dari kehendak rakyat. Jadi prinsip

kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum

(mustahil keliru/dosa) kepada rakyat. Oleh karena

itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa

rakyat (atau para wakilnya) berpeluang melahirkan

kekuasaan absolut, yaitu kesewenang-wenangan

(kediktatoran). Karena apabila kehendak rakyat

dianggap kehendak yang legal hanya karena muncul

dari rakyat, maka dengan demikian dari segi

legislasi undang-undang, rakyat akan dapat berbuat

apa saja. Jadi rakyat pada dasarnya tidak perlu lagi

mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apa

yang diinginkannya.”43

Begitu juga dengan hasil hukum yang keluar

darinya. Menurut Boogena Giyanah Stchijfska,

“hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir

dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah

bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan

atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya

yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-

kewajiban individu dan tanggung jawab pribadi.

Semua itu didasarkan pada kepentingan dan

kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah

diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu

selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi

dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam

sejarah hukum-hukum positif buatan manusia,

bahwa hukum yang terakhir akan bertentangan

dengan hukum yang pertama dalam rincian-

rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat

berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat

berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat

berubah menjadi wajar.”44

43

Ali Belhaj, Dikutip dari “Kritik Tajam Terhadap Demokrasi”, Februari 2011, http://www.globalmuslim.web.id/2011/02/syaikh-ali-belhaj-kritik-tajam-terhadap.html 44

idem

Page 13: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

11

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

Tiga Cara menyebarkan dan memelihara hegemoni

Barat:

Liberalisme adalah alat yang dipromosikan oleh

"Barat" untuk mempertahankan dan memperkuat

statusnya sebagai hegemon global. Konsepsi

Gramsci tentang "hegemoni" digunakan untuk

menggambarkan pengaruh "Barat" dalam

komunitas global. Gramsci menyatakan bahwa

konsensus, bukan pemaksaan, harus berada di

garda terdepan dari pengaruh hegemon tersebut.

Jadi jika persetujuan hadir, maka hegemoni bisa

dikatakan sah. Charlotte Langridge berpendapat

bahwa "Barat" menggunakan liberalisme sebagai

alat untuk mempertahankan statusnya sebagai

hegemon global, karena liberalisme bergantung

pada persetujuan dan karena itu ia mendapat self-

legitimation.

Barat menggunakan liberalisme sebagai alat

untuk memelihara hegemoni mereka melalui

lembaga-lembaga internasional, perdagangan

internasional, dan demokrasi. Saat suatu negara

terintegrasi ke dalam salah satu dari ketiga metode

tersebut, mereka secara bertahap akan

terintegrasikan ke dalam area lain dari tatanan

dunia liberal. Selanjutnya, ketiga jalur tersebut akan

menyerap setiap upaya kontra-hegemoni yang

akhirnya akan memperkuat legitimasi dari

hegemoni Barat itu sendiri. Namun, sifat agresif

"Barat" untuk mengekspor liberalisme mereka

justru akan mendelegitimasi hegemoni yang

mereka miliki saat ini.

Charlotte Langridge berpendapat bahwa

legitimasi rezim liberal Barat bersifat sangat

ekspansionis, tidak lagi bergantung pada

persetujuan dari negara-negara yang dibidik untuk

bergabung. Mereka kini tidak memiliki pilihan lain,

jika mereka ingin mendapatkan kekuasaan politik

atau ekonomi, mereka harus ikut dalam sebuah

sistem hegemoni Barat tersebut. Langridge

berpendapat bahwa kondisi ini adalah bentuk

pemaksaan tersembunyi yang justru akan

mendelegitimasi hegemoni Barat.

"Barat" didefinisikan oleh Hurrell sebagai

"perkumpulan dengan kekuatan besar".45 Puchala

mendefinisikan "Barat", dalam hal ekonomi,

sebagai kelompok negara-negara kapitalis, yang

berkomitmen untuk membuka pasar; dalam hal

politik, sebagai perkumpulan dari negara-negara

demokrasi; secara ideologis, sumber dan pusat

internasionalisme liberal; secara hegemoni, koalisi

transnasional para elit untuk berbagi kepentingan,

tujuan dan aspirasi yang berasal dari lembaga-

lembaga sejenis dan ideologi umum.’46 Ide-ide dan

cita-cita bersama menyatukan elit "Barat" menjadi

apa yang oleh Gramsci disebut sebagai "Blocco

Storico" atau blok bersejarah. Di era pasca-Perang

Dingin, "Barat " belum tertandingi dan mungkin

akan tetap demikian untuk beberapa waktu dekat.

Hal ini karena tidak ada negara tunggal atau

gabungan beberapa negara dalam waktu dekat

yang mengungguli kekuatan kolektif dari 45

Hurrell, A. (2006) ‘Hegemony, Liberalism and Global Order: What Space for Would-be Great Powers?, International Affairs, 82(1): 1-19 46

Puchala, D. (2005) ‘World Hegemony and the United Nations’, International Studies Review, 7 (4): 571-584

Page 14: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

12

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

Organisation for Economic Cooperation and

Development (OECD). Puchala menegaskan bahwa

‘perayaan liberalisme telah mendefinisikan Barat;

universalisasi liberalisme adalah proyek Barat;

menggunakan kekuatan Barat untuk membangun

dunia liberal adalah tujuan dari hegemoni Barat hari

ini.’47

Hegemoni Barat terdiri dari nilai-nilai dan budaya

liberal yang dimiliki oleh kelas-kelas dominan. Ia

dikomunikasikan dan diekspor ke seluruh dunia

melalui tiga variabel institusionalisme liberal:

lembaga-lembaga internasional, perdagangan

internasional dan demokrasi. Oleh karena itu,

"Barat" menggunakan liberalisme sebagai alat

untuk mempertahankan hegemoni. Liberalisme

menyerap kontra-hegemoni melalui lembaga-

lembaga internasionalnya, saling ketergantungan

dalam hal ekonomi, dan melalui demokrasi. Ekspor

liberalisme telah memaksa negara lain untuk

mendirikan lembaga-lembaga internasional,

meliberalisasi ekonomi mereka dan memperkuat

demokrasi mereka. Topeng legitimasi mereka

dibangun di atas persetujuan yang sebenarnya

adalah pemaksaan terselubung.

1. Lembaga Internasional

Lembaga-lembaga internasional Barat meliputi

Bretton Woods Institutions, World Bank (WB) dan

International Monetary Fund (IMF), World Trade

Organisation (WTO) dan Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB), Uni Eropa (EU) dan North Atlantic

Treaty Organisation (NATO). Cox menyatakan lima

47

Puchala, D. (2005) ‘World Hegemony and the United Nations’, International Studies Review, 7 (4): 580

norma universal hegemoni yang diterapkan melalui

lembaga-lembaga internasional, yang dalam kasus

hegemoni Barat, berarti lembaga internasional

liberal:

(1) Mereka mewujudkan aturan yang memfasilitasi

perluasan tatanan dunia hegemonik;

(2) Mereka sendiri adalah produk dari tatanan

dunia hegemonik;

(3) Secara ideologis, mereka melegitimasi norma-

norma tatanan dunia;

(4) Mereka mengkooptasi para elit di negara-

negara pinggiran

(5) Mereka menyerap ide-ide kontra-hegemonik.

Kelima unsur tersebut digunakan untuk

mempertahankan legitimasi hegemonik "Barat".

Fungsi pertama yang dimiliki oleh lembaga tersebut

adalah pemeliharaan hegemoni. Tujuan ini dicapai

melalui aturan-aturan yang mendorong ekspansi

kekuatan ekonomi yang dominan; Poverty

Reduction Strategy Papers (PRSP) milik IMF adalah

bentuk ideologi liberal yang sudah dimanipulasi.48

Fungsi kedua, yaitu bahwa lembaga internasional

adalah produk dari tatanan dunia hegemonik,

merupakan sifat sejati dari IMF dan WB yang diatur

oleh AS. Partisipasi dalam lembaga tersebut

seringkali cenderung lebih berpihak pada kekuatan

dominan. Terdapat struktur politik informal dalam

lembaga-lembaga tersebut yang mencerminkan

kekuatan politik dan ekonomi riil dari masing-

48

Jones, T. and Hardstaff, P. (2005) Denying Democracy: How the IMF and the World Bank take Power from the People, World Development Movement, London

Page 15: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

13

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

Mereka juga memberikan kesempatan pada kelompok subordinat untuk membuat

perubahan, dengan batasan bahwa dampak menyakitkan

dari perubahan tersebut harus seminimal mungkin sebagai cara

untuk melegitimasi tindakan kelompok hegemonik tersebut.

masing negara yang berpartisipasi. Kekuatan

dominan tersebut menjalankan peran ideologis,

dan menegaskan kembali hirarki hegemonik

mereka. Pada saat yang sama mereka juga

memberikan kesempatan pada kelompok

subordinat untuk membuat perubahan, dengan

batasan bahwa dampak menyakitkan dari

perubahan tersebut harus seminimal mungkin

sebagai cara untuk melegitimasi tindakan kelompok

hegemonik tersebut. Misalnya, institusi-institusi

Bretton Woods, seperti memberikan perlindungan

lebih pada masalah sosial seperti pengangguran

dalam negeri daripada yang dilakukan oleh sistem

Gold Standard. Namun, hal tersebut dilakukan

dengan syarat bahwa kebijakan nasional harus

konsisten dengan tujuan ekonomi dunia liberal,

sehingga memperluas pengaruh Barat.49 Kondisi ini

nampak semakin melegitimasi hegemoni "Barat"

dan sesuai dengan fungsi keempat lembaga

hegemon yang diutarakan oleh Cox di atas, yaitu

mengkooptasi para elit di negara-negara pinggiran.

Pengaruh hegemoni Barat juga dapat dilihat di

PBB. PBB melembagakan dan mengatur tatanan

dunia internasional liberal.50 Selama Perang Dingin,

misalnya, PBB adalah alat yang sering digunakan

untuk kebijakan luar negeri AS, terutama dalam

melakukan kecaman atas Iran pada tahun 1979. AS

melindungi kepentingannya melalui ancaman veto

di Dewan Keamanan, pengaruh sangat besar pada

saat pemilihan Sekretaris Jenderal PBB, dan 49

Cox, R., ‘Gramsci, Hegemony and International Relations: An Essay in Method’, Millennium: Journal of International Studies, 1983, 12 (2): 162-175 50

Puchala, D.,‘World Hegemony and the United Nations’, International Studies Review, 2005, 7 (4): 571-584

overrepresentation di Sekretariat PBB. Hal ini

ditunjukkan dalam penolakan keanggotaan China

sampai Washington menyetujui. Kondisi ini

bukannya tanpa kritik, terutama dari Kelompok 77

yang memandang AS menggunakan PBB untuk

mendukung penyebaran liberalisme ekonomi dan

demokratisasi. "Peran utama PBB di bawah

hegemoni Barat adalah untuk memvalidasi tatanan

dunia liberal'.51 Hal ini sesuai dengan fungsi ketiga

lembaga-lembaga internasional yang diungkapkan

oleh Cox di atas, yaitu untuk mempertahankan

hegemoni. Tidak mengejutkan jika Barat

mencurahkan begitu banyak perhatian terhadap

lembaga-lembaga ini. PBB, sebagai produk dari

hegemoni liberal Barat, digunakan sebagai alat oleh

AS untuk mempertahankan posisi di tataran global.

Lembaga-lembaga ini sangat penting bagi Barat

untuk mendapatkan legitimasi di arena

internasional.

51

Puchala, D.,‘World Hegemony and the United Nations’, hal. 581

Page 16: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

14

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

Lembaga-lembaga internasional juga

menjalankan proses untuk menghilangkan gerakan

kontra- hegemonik, yang oleh Gramsci disebut

sebagai "transformismo". Mereka menyerap ide-ide

yang berpotensi menjadi kontra-hegemonik dan

menyesuaikannya dengan doktrin hegemonik. 52

Mereka membuat sebuah kondisi yang tidak

memungkinkan bagi gerakan yang menantang

hegemoni Barat untuk melakukan perlawanan.

Kelompok lain yang ingin mendapatkan kontrol atas

suprastruktur lembaga-lembaga internasional, tidak

bisa melakukan apa-apa karena suprastruktur

tersebut terhubung dengan golongan hegemonik

nasional dari negara-negara inti. Sebagaimana kata

Cox, 'hegemoni itu seperti bantal: menyerap

pukulan dan cepat atau lambat calon penyerang

akan merasa nyaman untuk beristirahat di

atasnya'.53 Lembaga-lembaga internasional, seperti

yang disebutkan di atas, memenuhi fungsi kelima

yang disampaikan oleh Cox. Lembaga-lembaga

internasional bertindak sebagai saluran dimana

nilai-nilai liberal dan keterbukaan ekonomi

ditransmisikan. Penjelasan di atas menunjukkan

bagaimana "Barat" menggunakan liberalisme

sebagai alat untuk mempertahankan hegemoni

melalui lembaga-lembaga internasional. Mereka

lahir dari "Barat" setelah Perang Dunia Kedua.

Mereka bersifat self-legitimating dan menyerap

gerakan kontra-hegemonik. Mereka yang ingin

melawan tatanan liberal berisiko dikategorikan

sebagai rezim nakal, musuh kebebasan ekonomi

dan politik. Legitimasi dan otoritas mereka sebagai 52

Cox, 1983 53

Idem, hal. 63

negara berdaulat pun dipertanyakan. "Barat" kini

menentukan apa yang dimaksud dengan legitimasi.

2. Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional berfugsi sebagai

media komunikasi.54 Kesalingtergantungan ekonomi

Uni Eropa menyokong demokrasi dan membuat

perang antara negara-negara anggota tidak rasional

secara ekonomi. Prinsip-prinsip perdagangan

internasional liberal dibangun di atas kapitalisme

Barat, yaitu kompetisi dan perdagangan bebas. Ia

lah yang pertama kali menyatukan "Barat" dan

sekarang "Barat" berusaha untuk menyatukan

dunia menggunakan alat bernama ekonomi liberal.

Kita bisa melihat secara historis bagaimana

organisasi yang bertujuan untuk melakukan

liberalisasi ekonomi menyebar: misalnya,

Organisation for European Economic Cooperation,

yang dikenal secara global dengan nama

Organisation for Economic Cooperation and

Development, menyebarkan hegemoni liberal

Barat.55 Secara luas diakui bahwa ekonomi kapitalis

adalah fitur utama dari tatanan Barat. "Barat"

berusaha membujuk negara-negara baru untuk

masuk ke dalam sistem liberal melalui argumen

keuntungan absolut dan relatif. Menurut Deudney

dan Ikenberry, ada beberapa alasan politik kenapa

negara-negara Barat berusaha menjaga

keterbukaan ekonomi, yaitu 'untuk menyebarkan

perdagangan bebas dan memperkuat demokrasi

liberal.’ Ekspansi kapitalisme yang dirangsang oleh

54

Russet, B. (2010) ‘Liberalism’ in T. Dunne, M. Kurki, and S. Smith (eds), International Relations Theories: Discipline and Diversity, 2

nd edn, Oxford: Oxford University Press, hal. 95-115

55 idem

Page 17: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

15

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

perdagangan bebas cenderung mengubah

preferensi dan karakter dari negara-negara lain ke

arah liberal dan demokrasi, sehingga menghasilkan

sistem yang lebih ramah secara strategis dan politis

bagi "Barat" untuk mengimpor ideologi liberal.’56

"Barat" berusaha mendorong negara lain untuk

meliberalisasi ekonomi mereka, dengan sebuah

keyakinan bahwa sistem tersebut bermanfaat bagi

semua, terutama dunia liberal. Meski demikian,

hanya sedikit negara yang liberalisasi ekonomi

mereka benar-benar meningkatkan kekayaan

masyarakat. Meksiko adalah salah satu contoh di

mana keterlibatan World Bank dan IMF lebih

merusak daripada menguntungkan.57 Kebanyakan

orang Meksiko akan menjadi lebih baik pada tahun

1998, jika pemerintah mereka tidak memaksakan

liberalisasi ekonomi. Kebijakan liberalisasi dari IMF

dan WB tidak hanya merusak negara berkembang,

tapi sebagaimana kata Stiglitz, bahkan IMF sekali

pun sepakat bahwa mereka telah mendorong

liberalisasi terlalu jauh, yang mengakibatkan

goyahnya hegemoni Barat dan terjadinya krisis

keuangan secara global pada tahun 1990-an. 58

Kondisi ini membuat dunia melihat bagaimana

kebijakan liberal "Barat" telah gagal, dan

menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi

mereka.

56

Deudney, D. and Ikenberry, J. (1999) ‘The Nature and Sources of Liberal International Order’, Review of International Studies, 25 (2), hal. 1992 57

Pieper, U. and Taylor, L. (1996, revised Jan 1998), The Revival of the liberal Creed: the IMF, the World Bank, and Inequality in a Globalized Economy, CEPA Working Paper Series 1, No. 4 58

Stiglitz, J. (2002) Globalization and its Discontents, London: Allen Lane

3. Demokrasi

Morozov menyatakan bahwa demokrasi berasal

dari “Barat”.59 Promosi demokrasi di Eropa Timur,

Amerika Latin, dan Asia Timur telah membentuk

'kue lapis yang kompleks dari inisiatif integratif yang

mengikat dunia industri demokratis secara

bersama-sama'. 60 Tidak mengherankan bahwa

"Barat" sangat tergila-gila untuk melestarikan dan

memperluas kontrol atas lembaga, pasar, dan

politik dunia, mengingat liberalisme telah

memberikan penghargaan asimetris kepada

mereka. Konsekwensinya, negara-negara non-Barat

terus berada di bawah tekanan untuk melakukan

liberalisasi secara politik dan ekonomi, dan

mengimpor kebijakan dari Eropa Barat dan Amerika

59

Morozov, V. (2010) ‘Global Democracy, Western Hegemony, and the Russian Challenge’, in C. Browning and M. Lehti (eds), The Struggle for the West: A Divided and Contested Legacy, London, New York: Routledge, 185-200 60

Ikenberry, J. (2004) ‘Liberalism and Empire: Logics of Order in the American Unipolar Age’, Review of International Studies, 30 (4): 622

Page 18: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

16

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

“Hegemoni itu seperti bantal: menyerap pukulan

dan cepat atau lambat calon penyerang akan merasa nyaman untuk

beristirahat di atasnya.”

Serikat. 61 Standar kebaikan sebuah bangsa pun

diukur berdasarkan perbandingan dengan AS dan

Uni Eropa.

Hegemoni Barat menyerap ide-ide kontra-

hegemonik dengan membuat jalur liberal nampak

lebih akomodatif dan menarik. Meningkatnya

gairah masyarakat dan negara untuk bergabung ke

dalam sistem kapitalis internasional semakin

memberikan kredibilitas kepada visi liberal ini.62

Karena itulah "Barat" terus berusaha untuk

mengintegrasikan Cina dan Rusia dan mendorong

mereka untuk melakukan konversi ke arah

demokrasi. Usaha ini antara lain dilakukan dengan

"menyusun gerbang" dunia demokratis dan

mengeluarkan negara non-demokratis. Pengeluaran

Rusia dari G-8 adalah salah satu contohnya.63 Barat

berusaha mempertahankan hegemoni mereka

melalui peningkatan integrasi rezim-rezim otokratis

dan usaha untuk mempengaruhi mereka agar mau

bekerjasama, menenangkan mereka dari potensi

sebagai ancaman, dan akhirnya mengkonversi

mereka ke arah demokrasi.64

Usaha penyebaran demokrasi oleh Barat

bukannya tanpa kritik. Morozov menjelaskan

bagaimana para pemimpin non-Barat mengkritik

“Barat” dengan sebutan “tidak demokratis”.

Mereka merebut kekuasaaan dan mempromosikan

61

Morozov, V. (2010) ‘Global Democracy, Western Hegemony, and the Russian Challenge’ 62

Deudney, D. and Ikenberry, J. (2009) ‘The Myth of the Autocratic Revival: Why Liberal Democracy Will Prevail’, Foreign Affairs, 88 (1): 79 63

Deudney, D. and Ikenberry, J. (2009) ‘The Myth of the Autocratic Revival: Why Liberal Democracy Will Prevail’, Foreign Affairs, 88 (1): 93 64

Charlotte Langridge

kepentingan "peradaban" mereka atas nama

demokrasi, padahal justru mereka sendirilah yang

tidak demokratis. Demokrasi yang dipaksakan dari

luar seringkali disajikan sebagai solusi terhadap

berbagai masalah politik.' 65 Barat seringkali

mengeskpor demokrasi melalui pemaksaan

terselubung. Hal ini semakin dibenarkan oleh

“perang salib demokrasi” yang dilancarkan oleh AS

dan logika “with us or against us”nya. Uni Eropa

juga membuat kebijakan kondisionalitas yang

berusaha untuk mengubah bentuk negara tetangga,

mulai dari Montenegro, Rusia, hingga Libya, sesuai

dengan gambar dan kecenderungan yang mereka

inginkan. Dalam pernyataan yang diungkapkan oleh

Richard Cheney, “kembalinya reformasi demokratis

di Rusia” adalah sinonim dengan “penyelarasan

Rusia dengan Barat”.66

65

Chandler, D. (2006) ‘Back to the Future? The Limits of Neo-Wilsonian Ideas of Exporting Democracy’, Review of International Studies, 32 (3): 483 66

Cheney, R. (2006) Vice Presidents Remarks at the 2006 Vilnius Conference, Reval Hotel Lietuva, Vilnius, Lithuania, 4 Mei2006, www.whitehouse.gov/news/releases/2006/05/20060504-1.html

Page 19: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

17

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

Sisi Gelap Demokrasi

“Banyak sistem pemerintahan yang telah dicoba,

dan akan terus dicoba di dunia yang penuh dosa

dan duka ini. Tidak seorang pun berpura-pura

bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan

yang sempurna atau pemenuh semua harapan.

Bahkan, pantas dikatakan bahwa demokrasi adalah

sistem pemerintahan terburuk selain bentuk

pemerintahan lain yang telah dicoba dari waktu ke

waktu.” (Winston Churchill, Hansard [transkrip

parlemen], 11 November 1947)

Sebenarnya, kegagalan demokrasi adalah

sesuatu yang lumrah. Aristoteles beribu-ribu tahun

lalu pernah menyatakan: “Baik aristokrasi maupun

demokrasi memiliki potensi korupsi yang meningkat

secara eksploitatif, bertepatan dengan

penyalahgunaan kekuasaan dan kebebasan yang

manipulatif. Korupsi akan membawa pada revolusi,

ketika demokrasi menelanjangi dirinya sendiri dan

menjadi bentuk otokrasi, salah satunya oligarki.”

Bagaimanapun kedaulatan di tangan rakyat

adalah sesuatu yang utopis. Tidak pernah ada suatu

ahli politik mana pun yang sanggup merumuskan

konsep demokrasi yang benar, mulai dari jaman

Plato hingga Obama saat ini. Demokrasi hanya

memindahkan kekuasan dari tangan para raja,

bangsawan, ataupun gerejawan kepada otoritarian

lainnya, yaitu tidak lain adalah para pemilik modal.

Menjadi biasa saja, sebab demokrasi memerlukan

biaya yang mahal dalam prosesnya. Hingga akhirnya

politik menjadi komoditas laiknya dagang sapi di

pasar-pasar, sehingga kebijakan dari rahim

demokrasi adalah kebijakan yang sekali lagi jika

dipikirkan hanya berupa omong kosong perjuangan

atas nama rakyat. Karena telah jelas, bahwa semua

ini dilakukan atas kepentingan para pemilik modal

kapitalis penjajah asing.

Namun hegemoni Barat dan kekalahan psikologis

sebagian besar masyarakat dunia kini

memposisikan demokrasi sebagai sebuah produk

yang sakral tak tersentuh, tak peduli betapa

opresifnya kultur mereka dan betapa lalim dan

sadisnya aksi-aksi mereka.

Demokrasi lahir dan ditemukan oleh bangsa

Yunani. Kelahirannya sendiri cukup sulit dan

kompleks. Demokrasi berarti seluruh rakyat berhak

untuk mengatur dengan cara memilih langsung

wakil yang dianggap terbaik untuk menjalankan

pemerintahan.

Sejak diperkenalkan, demokrasi telah

menggambarkan diri sebagai solusi dari situasi

chaos dan berbagai kekerasan yang dilakukan oleh

tirani. Namun, menurut Denni Ross, sejak awal

berdirinya demokrasi pada hakikatnya adalah

kekerasan. Dalam konteks perang melawan teror,

demokrasi menjadi justifikasi digunakannya sarana-

sarana kekerasan. Negara-negara yang menyatakan

diri sebagai negara demokratis memberikan hak

pada diri mereka sendiri untuk melakukan

kekerasan atas nama perang melawan teror.

Tema tentang perang dan demokrasi, dan

simbiosis diantara mereka, baru-baru ini

menghangat kembali oleh fakta bahwa hampir

semua negara demokrasi hari ini terjebak dalam

Page 20: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

18

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

perang permanen melawan 'teror'. Atas nama

'perlindungan demokrasi' dan 'promosi demokrasi ',

para tentara telah dikumpulkan dan dikirim ke luar

negeri; beberapa lembaga-lembaga demokrasi telah

dimiliterisasi, seolah-olah perang permanen demi

demokrasi mengharuskan pemangkasan

mekanisme pembagian kekuasaan dan mekanisme

perwakilan yang selama ini melekat pada

demokrasi. Pengawasan dan pemeriksaan rutin

'keamanan'; perluasan kekuasaan polisi;

pembenaran atas penggunaan penyiksaan, semua

dilakukan atas nama perlindungan atas demokrasi.

Semua warga diperingatkan untuk selalu waspada,

setiap saat, seolah-olah kehidupan sehari-hari

mereka adalah medan perang permanen. Para

pemilih bahkan telah mendengar panggilan keras

yang dilakukan oleh para politisi dan intelektual

untuk melindungi pemerintah, di rumah dan di luar

negeri, dengan mengambil 'aksi militer pre-emptive

terhadap ancaman besar bagi kelangsungan hidup

mereka atau peradaban mereka'.

Tren tersebut membuat para pengamat dan

analis berkesimpulan bahwa sejatinya, demokrasi

memiliki kecenderungan pada kekerasan.

Demokrasi dikatakan memiliki 'sisi gelap' kekerasan

politik. 67 Bahkan, demokrasi itu sendiri bersifat

‘membunuh’.68

Salah seorang ilmuwan asal Australia, Daniel

Ross, telah menarik kesimpulan bahwa 'asal mula

67

Paul Collier, Wars, Guns, and Votes (London and New York, 2009); Michael Mann, The Dark Side of Democracy (Cambridge and New York, 2005) 68

Humphrey Hawksley, Democracy Kills. What’s So Good About the Vote? (London 2009)

dan jantung demokrasi pada dasarnya adalah

kekerasan'.69 Ancaman serangan teroris tidak hanya

mengekspos bentuk baru ‘kekerasan demokrasi’,

namun juga membuka kedok karakter sejati dari

demokrasi yang selama ini diagung-agungkan

sebagai sistem terbaik di dunia ini.

Barrington Moore mengingatkan bahwa

“Demokrasi Barat mempunyai sejarah yang penuh

dengan kekerasan di belakangnya.”70 Dengan kata

lain, kekerasan sangat berkontribusi pada sejarah

politik Barat. Namun, kini banyak ilmuwan Barat

dan para pengikutnya yang mengesampingkan—

bahkan terkadang menyangkal—sejarah kekerasan

yang ada pada demokrasi. Kekerasan dan

demokrasi seringkali dikonseptualisasikan sebagai

dua hal yang terpisah, bahkan berlawanan. Jika

kekerasan disebutkan dalam konteks demokrasi,

demokratisasi, atau dalam konteks yang lebih luas,

perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan

politik, ia seringkali dipandang lebih sebagai sebuah

ancaman.

Moore menegaskan bahwa “salah satu pendapat

yang cukup kuat dipegang tentang hubungan antara

kekerasan dan demokrasi menyatakan bahwa

demokrasi Barat modern adalah pengganti yang

baik bagi kekerasan dan sama sekali tidak cocok

dengan segala bentuk kekerasan. Surat suara lebih

baik daripada peluru... Dalam penilaian saya,

69

Daniel Ross, Violent Democracy (Melbourne 2005), hal. i 70

Barrington Moore Jr., “Thoughts on Violence and Democracy,” Proceedings of the Academy of Political Science (1968) Vol.29 (1), hal 3.

Page 21: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

19

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

kesimpulan tersebut adalah sebuah kepuasan yang

keliru akan masa kini dan masa lalu".71

Demokrasi tidak pernah dapat berkembang

tanpa mengganggu atau menyingkirkan pihak lain.

Jika ada yang masih percaya mitos Hegel bahwa

sejarah Barat adalah kisah perkembangan tak

pernah henti dari tirani politik (dimana satu orang

memerintah), kemudian oligarki (dimana minoritas

memerintah), dan akhirnya menuju demokrasi (di

mana 'rakyat' yang memegang kedaulatan), Ross

membantah bahwa dalam setiap pergeseran

historis demokrasi selalu melibatkan kekerasan,

sebagaimana dalam perjuangan politik di masa-

masa sebelumnya. Sebagaimana yang disampaikan

oleh Machiavelli, tidak ada demokrasi tanpa ada

pemancungan Raja, atau tanpa ‘penjinakan’

perbatasan.72

Di masa lalu, kekerasan demokrasi banyak

dilakukan oleh mayoritas—yang dianggap sebagai

pemegang kedaulatan—terhadap pihak minoritas

yang menentang kehendak mereka. Mereka

membantai penduduk pribumi, dan

menghancurkan siapapun yang melawan pondasi

baru kedaulatan rakyat. Kini kekerasan demokrasi

telah berubah, menuju arah tertentu sepanjang

abad 20 dan 21 ini. Dalam pandangan Ross,

kampanye militer di Irak dan Afghanistan pasca 11

September yang dipimpin oleh negara-negara

pengusung demokrasi, kekerasan yang dilakukan

oleh AS terhadap ‘kombatan musuh’ di Irak dan

71

Barrington Moore, Jr., hal. 1. 72

Daniel Ross, dikutip dalam Matthew Sharpe, Democracy's Violent Heart, Borderlands E-Journal, Volume IV No. 1, 2005.

Guantanamo, serta penjara rahasia AS di beberapa

negara membuktikan bahwa demokrasi mempunyai

potensi untuk melakukan kekerasan.

Istilah demokrasi selama ini dianggap bersinonim

dengan legitimate (sah), baik dalam hal politik

maupun moral. Banyak pengusung demokrasi

melihat demokrasi sebagai kekuatan yang secara

moral sah yang bisa diterapkan dalam keputusan

apapun. Demokrasi menjadi semacam pembersih

moral. Atas nama demokrasi, dan dengan klaim

mewakili suara rakyat, tindakan apapun bisa

dianggap sebagai tindakan bermoral. Demokrasi

pun dipandang sebagai kebenaran moral yang

absolut. Konsekuensinya, mereka menganggap

bahwa tidak ada prinsip, moral, maupun kekuatan

non-demokratis yang dianggap sah untuk

melakukan perlawanan terhadap keputusan

demokratis. Dalam etika demokrasi, satu-satunya

obat bagi kerusakan dalam demokrasi adalah

demokrasi itu sendiri. Tidak ada metode atau

proses lain yang bisa diterima sebagai respon yang

sah pada proses demokrasi, apalagi penggunaan

kekuatan. Kata ‘tidak demokratis’ pun bersinonim

dengan ‘kriminal’, ‘terorisme’, atau ‘permusuhan’.

Ia digunakan untuk memberi cap kepada setiap

serangan yang terjadi di masyarakat. Klaim

legitimasi demokrasi mengindikasikan fungsi utama

teori demokrasi, yaitu untuk melegitimasi tatanan

yang ada saat ini, betatapun buruknya tatanan

tersebut.

Demokrasi tidak pernah mengijinkan adanya

pemisahan diri dari kelompok yang tidak sepakat

dengan hasil demokrasi. Misalnya, jika diadakan

Page 22: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

20

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

pemilihan umum secara terbuka bebas dan adil,

dan setiap pihak yang tidak sepakat dengan hasil

pemilu tersebut diperkenankan untuk membentuk

negara yang terpisah, maka tidak ada satu pun

pengusung demokrasi yang menganggap tindakan

tersebut sebagai demokrasi. Bagi kalangan

demokrat, harus ada kesatuan, dimana pemisahan

diri tidak diperbolehkan. Kesatuan ini adalah

‘demos’. Dalam konteks modern, demos yang

dimaksud adalah democratic nation state, negara

yang demokratis. Kesatuan demos ini sama

pentingnya dengan legitimasi, karena legitimasi

akan runtuh di hadapan pemisahan diri

(secessionism). Kelompok yang berusaha

memisahkan diri memandang pemerintah yang

berkuasa saat ini sebagai ‘pihak asing’, dan mereka

tidak lagi merasa berkewajiban untuk mematuhi

hukum, lembaga, dan kebijakannya. Karena itu,

sebuah pemerintah yang demokratis akhirnya

bergantung pada kekuatan militer untuk

mempertahankan kekuasaannya, dan untuk

mencegah pemisahan diri tanpa batas dari kalangan

minoritas. Aspek ini membawa demokrasi kepada

sebuah persekutuan jangka panjang dengan

nasionalisme. Karenanya, no guns, no democracy.

Tidak ada senjata, tidak ada demokrasi.73

Demokrasi juga gagal untuk mengeliminasi

ketidakadilan sosial. Dan fenomena ini nampak

sebagai kegagalan yang permanen dan struktural.

Tidak disangkal lagi bahwa di seluruh masyarakat

demokratis selalu terjadi ketidakadilan sosial—

73

Paul Treanor, “Why Democracy Is Wrong”, 12 Mei 2006, http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/democracy.html

perbedaan substansial dalam pendapatan,

kekayaan, dan status sosial. Dalam sebuah negara

demokrasi yang stabil seperti di Barat, ketidakadilan

nampak semakin meningkat. Pola yang terjadi

adalah pendapatan terendah tidak meningkat dan

seluruh keuntungan pertumbuhan ekonomi selalu

menjadi milik kelompok dengan pendapatan yang

lebih tinggi. Fakta bahwa demokrasi jarang disebut

sebagai penyebab semua itu adalah sebuah pilihan

politis.

Di masa lalu, banyak kalangan aristokrat

konservatif khawatir bahwa demokrasi akan

memungkinkan masyarakat miskin untuk menyita

kekayaan si kaya. Namun pada kenyataannya,

kecenderungan sejarah justru nampak sebaliknya.

Demokrasi bukanlah tentang ‘orang biasa’ melawan

kelompok elit, tapi ia adalah tentang orang-orang

biasa yang bergabung dengan kelompok elit untuk

'menampar kalangan bawah'. Jaminan hak-hak asasi

fundamental tidak mencegah minoritas kelas

rendah menjadi sasaran, baik secara politik maupun

sosial. Di beberapa negara Eropa partai politik

bersaing satu sama lain untuk menunjukkan betapa

kerasnya mereka terhadap minoritas yang tidak

popular—pencari suaka dan umat Islam misalnya.

Tidak ada yang bisa dilakukan oleh kalangan

minoritas, selama partai politik tidak melanggar

hak-hak mereka. Sayangnya perkembangan ini

mungkin masih dalam tahap awal: masih ada

kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Dalam

demokrasi, mereka yang berada dalam skala sosial

terendah hanya bisa berharap akan kondisi

kehidupan yang semakin memburuk.

Page 23: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

21

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

Dalam sejarahnya, demokrasi juga adalah sistem

yang penuh dengan darah. Invasi ke Irak adalah

salah satu contoh terkini betapa berdarahnya

proses demokratisasi. Sejak berakhirnya Perang

Dunia kedua, masyarakat Barat di Eropa dan AS

merasa normal untuk memaksakan demokrasi

dengan perang. Ketidakstabilan geopolitik

sepanjang Perang Dingin serta kekhawatiran

terjadinya serangan nuklir membuat sikap tersebut

sempat mereda. Namun, penaklukan atas nama

demokrasi kini kembali mengemuka. Sekali lagi,

nilai-nilai demokrasi secara eksplisit diklaim sebagai

justifikasi dilakukannya perang. Sebagian besar

semua rezim demokratis di Eropa dan belahan

dunia lainnya dipaksakan dari luar dengan invasi,

penjajahan, atau sebagai syarat diberikannya

bantuan ekonomi. Demokrasi sering datang dari

laras senapan atau melalui kekuatan dollar, jarang

yang berasal dari rakyat.

Dalam pengamatan Treanor, sejak tahun 1939

negara yang melakukan transisi dari non-demokrasi

menuju demokrasi sebagian besar dilakukan

melalui intervensi militer dari kekuatan demokratis.

Ia juga menyimpulkan bahwa setiap intervensi

militer yang dilakukan oleh kekuatan demokratis

akan berujung pada penerapan demokrasi di negara

yang diserang. Invasi Irak, dengan tujuan untuk

melakukan ‘perubahan rezim’, adalah contoh

teraktual keterlibatan ‘aktor eksternal’ dalam

program demokratisasi. Beberapa tahun sebelum

perang Irak, USAID telah menyiapkan taktik untuk

melakukan pengembangan negara pro-demokrasi.

Taktik tersebut mengindikasikan keterlibatan ‘aktor

eksternal’ dalam proses demokratisasi. Program

demokrasi USAID akan mendukung:74

- Mekanisme konstitusional, meliputi bantuan

teknis dan organisasional terhadap pembuat

konstitusi.

- Pembuat undang-undang yang terpilih secara

demokratis, termasuk program untuk

meningkatkan kemampuan material, teknis, dan

pembuatan keputusan dari para pembuat

undang-undang.

- Sistem hukum, meliputi peradilan independen

dan kepolisian yang dikontrol oleh sipil, serta

mekanisme alternatif dan informal untuk

menyelesaikan perselisihan.

- Entitas pemerintah lokal, terutama yang

mendapatkan otoritas dan tanggungjawab

institusional tambahan.

- Pemilu yang kredibel dan efektif, dimana para

pemilih mempercayai proses tersebut.

- Organisasi lokal, nasional, regional, dan

internasional yang melindungi hak asasi

manusia, termasuk hak pekerja, penduduk

pribumi, minoritas, dan wanita.

- Persatuan dagang, asosiasi professional,

kelompok wanita, entitas pendidikan, dan LSM-

LSM lokal, terutama mereka yang menjadi

partner dalam program pengembangan.

- Partai politik dan mekanisme ekspresi politik

nasional lain, dimana dukungan tersebut

dilakukan dalam cara non partisan, sesuai

74

http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/1868/200sai.pdf

Page 24: DEMOKRASI · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 National Security Council ... kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,

22

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014

dengan batas-batas undang-undang, dalam cara

yang tidak mempengaruhi hasil pemilu.

- Media independen yang dibentuk untuk

mempromosikan dan melindungi kebebasan

berekspresi.

- Peningkatan relasi sipil-militer, termasuk kontrol

sipil yang efektif terhadap pengembangan

militer.

- Institusi dan organisasi yang bisa meningkatkan

respon dan akuntabilitas pemerintah dalam skala

nasional dan lokal.

- Usaha pendidikan bagi anak-anak dan remaja

yang merefleksikan partisipasi komunitas,

mempromosikan pembentukan LSM lokal, dan

mendorong toleransi dalam masyarakat.

- Terakhir, sebagai pelengkap bagi usaha

pembangunan demokrasi jangka panjang, USAID,

berkonsultasi dengan badan pemerintah AS

lainnya dan dengan perlindungan hak asasi

manusia yang cukup, akan mendukung program

transisi bagi pembentukan institusi politik

demokratis dan program demobilisasi dan

pelatihan tentara dan pemberontak.

Dalam pandangan Treanor, taktik tersebut

sangat berbeda dengan pemberontakan lokal.

Berdasarkan definisi, tidak ada proses yang diinisiasi

oleh USAID atau aktor eksternal lain yang bisa

dikatakan murni ‘berasal dari rakyat’ di dalam

teritorial negara yang ingin didemokrasikan. Di

Bosnia dan Kosovo, kekuatan demokratis bisa

menerapkan program demokratisasi karena

penjajahan militer. Tujuan yang sama juga

dilakukan di Irak dan Afghanistan. Secara umum,

program tersebut memerlukan pendanaan

terhadap partai, kelompok, dan media pro-

demokrasi, dan dana tersebut akan mengalir ke

kelompok elit tertentu.75

Bagi siapa yang memandang demokrasi sebagai

bentuk pemerintahan yang menarik, maka mereka

harus memikirkan pihak yang tidak terwakili,

namun terpengaruh oleh bentuk pemerintahan

tersebut, yaitu korban demokrasi. Dalam kasus ini,

lebih dari 500.000 rakyat sipil Irak terbunuh atas

nama pembebasan dan perluasan nilai-nilai

demokrasi. Dalam bahasa Aldous Huxley, “hanya

kaum demokrat yang paling mistis—yang

menganggap voting sebagai tindakan religius, dan

yang merasa mendengar suara Tuhan di tubuh

rakyat—yang dapat memiliki alasan untuk terus

mengabadikan sebuah sistem dimana penipu,

orang kaya, dan dukun dapat diberi kekuasaan

oleh suara pemilih yang terdiri dari sebagian besar

orang yang bermental Peter Pan, yang sifat

kekanak-kanakannya membuat mereka sangat

rentan terhadap bujukan dari penghasut dan

sugesti tak kenal henti dari surat kabar orang-

orang kaya."76

75

Paul Treanor, “Why Democracy Is Wrong”, 12 Mei 2006, http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/democracy.html 76

Aldous Huxley, "Poli�cal Democracy", Aldous Huxley: Complete Essays, Volume II, 1926-1929, ed. Robert S. Baker and James Sexton, (Chicago: Ivan R. Dee, 2000), hal. 216, 228 )

RALAT:

Pada Laporan Khusus Syamina Edisi X / Maret 2014 halaman 39 paragraf terakhir terdapat kesalahan:

Tertulis “500 juta rakyat sipil Irak tewas akibat invasi

AS ke Irak dari tahun 2003-2011”, seharusnya “500

ribu rakyat sipil Irak tewas akibat invasi AS ke Irak

dari tahun 2003-2011.”