demokrasi · setiap negara dan setiap budaya, ... 8 national security council ... kali memposisikan...
TRANSCRIPT
DEMOKRASISEBAGAI ALAT HEGEMONIK. Mustarom
DEMOKRASI
SEBAGAI ALAT HEGEMONI
LAPORAN KHUSUS
EDISI XI / APRIL 2014
Penulis:
K. Mustarom
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS
merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka
membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini
didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua
elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah
satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk
bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong
kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar
sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan
gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang
lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
1
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
“Karena mereka tidak tahu yang lebih baik, mereka menyebutnya ‘peradaban’, padahal sejatinya
adalah bagian dari perbudakan mereka.”1
(Gaius Cornelius Tacitus)
“Senjata yang paling kuat dalam peperangan melawan ekstrimisme bukanlah peluru atau bom—
namun adalah daya tarik universal kebebasan... Amerika Serikat berkomitmen akan memajukan
kebebasan dan demokrasi sebagai alternatif yang baik untuk represi dan radikalisme."1
“Kita dibawa, baik oleh peristiwa maupun sense bersama, menuju satu kesimpulan: kelangsungan
kebebasan di tanah kita sangat bergantung pada suksesnya kebebasan di tempat lain. Harapan terbaik
bagi terciptanya perdamaian di dunia ini adalah ekspansi kebebasan di seluruh dunia… Maka, sudah
menjadi kebijakan AS untuk mencari dan mendukung pertumbuhan gerakan dan lembaga demokratis di
setiap negara dan setiap budaya, dengan tujuan akhir adalah berakhirnya tirani di dunia ini.”1
(George W. Bush)
Akhir-akhir ini, promosi demokrasi menjadi
mata uang resmi bagi kebijakan luar negeri AS. AS
dan promosi demokrasi terus berjalan beriringan
meski kini mereka tidak lagi menjadi sebuah
sinonim. 1 Menurut Wittes, demokrasi kini
bersinonim dengan kerusuhan politik dan
ketidakadilan ekonomi.2 Meski demikian, ia terus
menempati posisi kunci dalam setiap kebijakan luar
negeri AS.
Hampir semua peradaban besar--baik Babylonia,
Yunani atau Romawi--berusaha untuk menyebarkan
sistem politik dan ideologi diluar batas-batas
geografis mereka. Mereka meyakini akan
kebenaran universal dari pesan yang mereka bawa.
AS pun demikian, mereka berusaha menyebarkan
1 McFaul, Michael (2004). ‘Democracy Promotion as a World
Value‘, the Washington Quarterly, winter 2004-05 2 Wittes, Tamara Cofman (2008). Freedom’s unsteady
march: America's role in building Arab democracy. The Brookings Institution
pandangannya akan dunia, sebuah ideologi yang
berasal dari kombinasi antara nilai-nilai politik
demokrasi liberal dan prinsip-prinsip ekonomi pasar
bebas. Usaha ini pertama kali dilakukan oleh AS
atas Filipina pada akhir abad ke-19, ketika Presiden
William McKinley menyeru kepada AS untuk
'memajukan, membuat beradab (civilising), dan
mengkristenkan' masyarakat Filipino.3 Pada abad
ke-20, fitur-fitur dasar dalam ideologi AS terus
diasah dan dikembangkan dalam rangka
mempertahankan kepentingan AS di luar negeri.
Salah satu contohnya adalah doa Presiden
Woodrow Wilson agar dunia "harus dibuat aman
bagi demokrasi",4 pada malam masuknya AS dalam
3Dikutip dari Markakis, Dionysius, US Democracy Promotion in
the Middle East: The Pursuit of Hegemony?, Department of International Relationsofthe London School of Economics for the degree of Doctor of Philosophy, London, Oktober2012, hal. 9 4Wilson, W., U.S. Declaration of War with Germany, 2/4/1917,
http://www.firstworldwar.com/source/usawardeclaration.htm
2
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
Perang Dunia I tahun 1917. Promosi demokrasi
kemudian menjadi pondasi ideologis bagi AS untuk
melawan musuh-musuhnya. Bahkan dalam tingkat
yang lebih jauh, ia kini telah ditetapkan dalam
bentuk sistem internasional. Realitas ini
direfleksikan dalam berbagai 'gelombang'
demokrasi yang terjadi di seluruh dunia pada akhir-
akhir ini. Azar Gat menyoroti kontribusi AS bagi
demokrasi:
“Jika ada faktor yang telah memberikan
keuntungan bagi demokrasi liberal, itu adalah
keberadaan AS dibanding semua keuntungan lain
yang melekat padanya. Bahkan, jika bukan karena
AS, demokrasi liberal mungkin telah kalah dalam
pertempuran besar di abad kedua puluh. Ini adalah
pemikiran sederhana yang sering diabaikan dalam
studi tentang penyebaran demokrasi di abad kedua
puluh.”5
Kebijakan luar negeri AS pun berkembang, dari
penekanan awal 'civilising’ kini telah berganti
menjadi 'demokratisasi'. Menurut Markakis,
berdasarkan alur pemikiran ini, jika negara
berperadaban (civilising countries) diposisikan
sebagai ‘tema utama orang kulit putih’, maka
mendemokrasikan mereka mungkin merupakan
'tema utama orang Barat’.6
Promosi demokrasi telah menjadi fitur utama
dalam kebijakan luar negeri AS sejak awal abad ke-
20, seiring dengan munculnya mereka sebagai aktor
utama di dunia internasional. Berakhirnya Perang
5Gat, A., ‘The Return of Authoritarian Great Powers’, Foreign
Affairs, Vol. 86, No. 4, 2007 6 Markakis, hal. 10
Dingin, yang membuat AS menjadi kekuatan
superpower tunggal mempercepat proses
‘demokratisasi’ dunia.
Promosi demokrasi muncul sebagai strategi
terorganisir AS pada awal tahun 1980. Ia menjadi
ciri utama sikap AS di luar negeri. Demokrasi
menjadi “alat yang paling layak untuk memastikan
stabilitas dan kontrol sosial di Dunia Ketiga.”7
Secara garis besar, terdapat dua tujuan utama
dari strategi promosi demokrasi. Pertama,
memelihara stabilitas di negara-negara yang
bersangkutan, baik bagi negara itu sendiri maupun
masyarakat luas. Stabilitas ini mempengaruhi
berbagai kepentingan politik, ekonomi, militer dan
lainnya yang diidentifikasi oleh Amerika Serikat di
masing-masing negara tersebut. Pentingnya
stabilitas bagi kepentingan AS dibuktikan dari
penekanan yang diberikan oleh pemerintah Bush
pada negara yang gagal (failed states), seperti
Afghanistan, Somalia, dan Sudan. Bush menyatakan
bahwa “Amerika kini tidak begitu terancam oleh
negara yang sedang ditaklukkan dibanding
(ancaman yang diberikan) oleh negara-negara yang
gagal.”8
Stabilitas adalah syarat yang dibutuhkan bagi
keberhasilan ekonomi pasar bebas, yang telah
menjadi perhatian utama AS. Sebagai bagian dari
strategi ini, AS telah berupaya untuk secara
7 Robinson, W., Promoting Polyarchy: Globalization, US
Intervention and Hegemony, Cambridge University Press, 1996, hal. 15. 8
National Security Council (NSC), The National Security Strategy of the United States of America, September 2002, hal. 1
3
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
bertahap menggantikan pemerintahan otoriter
dengan demokrasi yang berbasis kelompok elit.
Demokrasi berbasis kelompok elit merujuk pada
“sebuah sistem dimana sebuah kelompok kecil
secara aktual menguasai, dan partisipasi massa
dalam pembuatan keputusan terbatas pada
pemilihan kepemimpinan yang secara hati-hati
dikelola oleh kelompok elit yang bersaing.”9
Jika pemerintahan otoriter lebih bergantung
pada pemaksaan untuk menjalankan pemerintahan,
demokrasi berbasis kelompok elit cenderung
menggabungkan sarana yang lebih konsensual
dalam pemerintahan. Dengan pola semacam itu,
demokrasi berbasis elit cenderung menimbulkan
dukungan rakyat, dan akibatnya mampu
memastikan bentuk stabilitas yang lebih lama.
Strategi promosi demokrasi menandai
perkembangan yang lebih halus dalam mengejar
stabilitas di luar negeri.
Kedua, tujuan promosi demokrasi adalah untuk
mencapai hegemoni sebagaimana teori yang
diungkapkan oleh Gramscian. Hegemoni akan
terjadi ketika ideologi dipromosikan—dalam hal ini
norma-norma demokrasi liberal sebagai bagian dari
dorongan politik, ekonomi, sosial dan budaya Barat
diterima sebagai sebuah 'fitrah’ oleh masyarakat
luas. Dengan mengintegrasikan promosi demokrasi
dengan berbagai kebijakan ekonomi, sosial dan
budaya, AS telah berusaha untuk secara strategis
“menembus bukan hanya negara, tetapi juga
9 Robinson, W., Globalization, the World System, and
“Democracy Promotion” in U.S. Foreign Policy, Theory and Society, Vol. 25, No. 5, Oktober 1996, hal. 623-4.
masyarakat sipil ... dan kemudian melakukan
kontrol di dalamnya.” 10 William Robinson
berpendapat bahwa “tujuan promosi demokrasi
bukanlah untuk menekan tapi untuk melakukan
penetrasi dan menaklukkan masyarakat sipil di
negara yang diintervensi, yaitu organisasi-organisasi
“privat” yang kompleks seperti partai politik,
persatuan dagang, media, dan lain-lain, untuk
kemudian mengintegrasikan kelompok-kelompok
kelas bawah dan kelompok nasional dalam sebuah
tatanan sosial yang menghegemoni.”11
Masyarakat sipil terbukti telah menjadi fokus
utama dari program promosi demokrasi AS di
seluruh dunia. Hal ini mencerminkan pergeseran
bertahap dalam penekanan strategis AS, dari
sebelumnya berfokus pada pemerintahan sebuah
negara—sebagai upaya untuk melakukan reformasi
top down—kini AS juga berusaha menggalang
aktor-aktor di masyarakat, untuk mendorong
reformasi dari dalam, bukan hanya dari atas.
Presiden Ronald Reagan adalah yang pertama
kali memposisikan ideologi 'demokrasi' sebagai
prinsip pemandu dalam kebijakan luar negeri AS,
dengan keyakinan bahwa 'kebebasan' bisa
mengalahkan 'kekaisaran jahat' Uni Soviet.12
Pemerintahan Reagan kemudian merumuskan
strategi promosi demokrasi, membangun banyak
‘infrastruktur demokrasi', seperti the National
10
Robinson, Globalization, the World System, and “Democracy Promotion” in U.S. Foreign Policy, hal.643. 11
Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 29 12
Reagan, R., ‘Address to Members of the British Parliament’, 8/6/1982, at http://www.reagan.utexas. edu/archives/speeches/1982/60882a.htm,
4
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
Endowment for Democracy (NED), dan
melaksanakan inisiatif reformasi di berbagai negara
seperti Filipina, Chili dan Poland.13
Strategi ini didasarkan pada pengakuan bahwa
pemeliharaan status quo, yaitu dukungan kepada
pemerintah otoriter, tidak bisa berkelanjutan dalam
jangka panjang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh
Carl Gershman, presiden NED pada tahun 1986: "Di
dunia dengan komunikasi yang semakin canggih
dan pengetahuan yang meledak, tidak mungkin lagi
hanya mengandalkan kekuatan untuk
mempromosikan stabilitas dan mempertahankan
keamanan nasional. Persuasi menjadi semakin
penting, dan Amerika Serikat harus meningkatkan
kapasitasnya untuk membujuk dengan
mengembangkan teknik untuk menjangkau
masyarakat di berbagai tingkatan.” 14 Gershman
menganjurkan penggunaan promosi demokrasi
untuk “meningkatkan kapasitas AS dalam
melakukan persuasi.”15
Strategi promosi demokrasi dilanjutkan oleh
George H.W. Bush di Nicaragua dan Panama, tetapi
mengingat bahwa masa kepresidenannya terjadi di
masa transisi monumental di tengah-tengah
runtuhnya Uni Soviet, ia mengadopsi sikap yang
lebih pragmatis dibanding sikap ideologis yang
dilakukan oleh Reagan. Namun, template sudah
ditetapkan. Seperti yang disampaikan oleh William
Robinson:
13
idem 14
Gershman, C., Fostering Democracy Abroad: The Role of the National Endowment for Democracy, American Political Science Foundation Convention, 29/8/1986, dikutip dalam Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 2. 15
idem
“Antara tahun 1984 dan 1992, NED dan cabang-
cabang lain dari AS melakukan program "promosi
demokrasi" di 109 negara di seluruh dunia,
termasuk 30 negara di Afrika, 24 negara di Asia, 21
negara di Eropa Tengah dan Timur (termasuk bekas
Uni Soviet), 8 negara di Timur Tengah, dan 26
negara di Amerika Latin dan Caribbean.16
Ketika Presiden Bill Clinton berkuasa, ia
mengartikulasikan visinya untuk sebuah sistem
internasional satu kutub pasca-Perang Dingin
dengan istilah 'pembesaran demokrasi'. 17
Pemerintahan Clinton menciptakan istilah 'pasar
demokrasi', yang menekankan adanya hubungan
intrinsik antara pasar bebas dan pemerintahan yang
demokratis. Clinton menilai bahwa “strategi terbaik
untuk memastikan keamanan kita dan untuk
membangun perdamaian abadi adalah dengan
mendukung kemajuan demokrasi di tempat lain.”18
Di bawah pemerintahan Bush, setelah serangan
11 September 2001, promosi demokrasi menjadi
salah satu fitur yang paling menonjol dari kebijakan
luar negeri AS. Hal ini tercermin dalam besarnya
dana yang dialokasikan untuk program promosi
demokrasi di seluruh dunia, yang meningkat secara
signifikan dari $500 juta/tahun pada tahun 2000
menjadi $1 milyar/tahun pada tahun 2004. Pada
16
Robinson, W., Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervention and Hegemony, Cambridge University Press, 1996. hal. 332. 17
Brinkley, D., Democratic Enlargement: The Clinton Doctrine, Foreign Policy, No. 106, (Spring) 1997 18
http://www.washingtonpost.com/wp-srv/politics/special/states/docs/sou94.htm
5
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
tahun 2005 meningkat lagi menjadi $2 milyar,
ternasuk biaya invasi ke Afghanistan dan Irak.19
Pemerintahan George W. Bush membawa
program promosi demokrasi ke arah yang belum
pernah terjadi sebelumnya, meletakkannya di satu-
satunya wilayah yang selama ini kebal terhadap
‘gelombang' demokrasi, yaitu Timur Tengah.
Demokrasi Sebagai Alat untuk Menjaga Hegemoni
Menurut Gramsci, hegemoni adalah persetujuan
"spontan" yang diberikan oleh populasi massa atas
arahan umum yang diterapkan pada kehidupan
sosial oleh kelompok dominan. 20 Dia
menghubungkan persetujuan ini dengan 'prestise’
dan kepercayaan yang dinikmati oleh kelompok
dominan karena posisi dan fungsi yang mereka
miliki di dunia yang telah mereka hegemoni. Konsep
hegemoni bertumpu pada asumsi bahwa 'dalam
tatanan sosial yang stabil, harus ada menjadi
perjanjian dasar yang begitu kuat sehingga dapat
menangkal perpecahan dan kekuatan mengganggu
yang timbul dari berbagai konflik kepentingan...
yaitu, pada nilai-nilai, norma-norma, persepsi dan
keyakinan yang mendukung dan menentukan
struktur otoritas pusat.'21 Berbeda dengan konsepsi
realis, yang melihat hegemoni sebagai
kepemimpinan atau dominasi satu negara atas
orang lain, teori Gramscian menawarkan
19
Melia, T., The Democracy Bureaucracy:The Infrastructure of American Democracy Promotion, Princeton Project on National Security, (September) 2005,hal. 13-14 20
Gramsci, A., Selections From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci, Lawrence and Wishart, 1971, hal. 12. 21
Femia,J., Gramsci’s Political Thought: Hegemony, Consciousness, and the Revolutionary Process, Clarendon Press, 1981, hal. 39
interpretasi yang lebih kompleks dan bernuansa.
Hal ini dicapai dengan membedakan antara
mekanisme kontrol sosial yang bersifat koersif dan
konsensual. Mekanisme kontrol koersif didasarkan
pada pemaksaan dalam melakukan kontrol sosial,
sedangkan konsensual didasarkan pada konsesus
untuk menjalankan kontrol sosial masyarakat.
Sistem demokrasi yang berusaha disebarkan oleh
AS lebih didasarkan pada bentuk yang kedua,
dimana ia memberikan sarana untuk mengelola
atau mengatasi konflik, salah satu contohnya
adalah dengan melakukan pemilihan umum secara
periodik. Meski demikian, penting dicatat bahwa
demokrasi juga menggunakan kekuatan paksaan
sebagai kebijakan kedua jika praktik hegemoni
gagal dilakukan. Gramsci menyebutnya sebagai
'hegemoni yang dilindungi oleh baju besi
pemaksaan.’22
Hasil dari sebuah hegemoni sangat bergantung
pada persetujuan aktif dari pihak yang diatur, dan
kemampuan mereka untuk menginternasionalisasi
ideologi yang dipromosikan sebagai sebuah konsep
yang logis atau 'alami'. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Robinson: 'hegemoni Gramscian
melibatkan internalisasi pada pihak kelas bawahan
tentang nilai-nilai moral dan budaya, kode etik
praktis, dan cara pandang dunia dari kelas dominan.
Atau secara garis besar berarti internalisasi logika
sosial dari sistem dominasi itu sendiri.'23 Hegemoni
ini terjadi ketika kelompok elit 'mengartikulasikan
22
Gramsci, Selections From The Prison Notebooks, hal. 263. 23
Robinson, W., Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervention and Hegemony, Cambridge University Press, 1996, hal. 21
6
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
visi sosialnya dengan klaim untuk melayani
kepentingan semua pihak’, dengan menggunakan
insentif untuk memobilisasi dukungan dari
kelompok-kelompok bawahan, serta menghalangi
setiap oposisi.24 Hal ini dicapai ketika ideologi yang
dipromosikan secara sukarela diasimilasi oleh
masyarakat itu sendiri.25
Esensi dari sebuah hegemoni terletak pada
ideologi yang dipromosikan. Dalam kasus AS, nilai-
nilai politik demokrasi liberal dan prinsip-prinsip
ekonomi pasar bebas, yang berasal dari warisan
politik, ekonomi, sosial dan budaya Barat yang lebih
luas, merupakan unsur-unsur utama dari ideologi
yang dipromosikan. Hal ini menjadi pemahaman
umum mengenai istilah demokrasi di Barat.
Christopher Hobson mengungkapkan bahwa:
“Konotasi asli dari istilah Demokratia
[demokrasi]... telah dikaburkan oleh
kecenderungan untuk menerjemahkannya hanya
sebagai rakyat (demos) yang menjalankan
kekuasaan (kratos). Sementara demos sebenarnya
dibaca sebagai komunitas politik secara
keseluruhan, secara umum ia dipahami dalam arti
yang lebih sempit sebagai satu kelas rakyat saja,
yaitu kaum miskin yang banyak. Penafsiran ini
ditemukan terutama dari penulis seperti Plato dan
Aristoteles, dan juga digunakan untuk menyusun
konsep demokrasi pada abad ke-19. Sementara itu,
Kratos memiliki konotasi yang jauh lebih kuat dan
24
Rupert, M., ‘Marxism and Critical Theory’, in Dunne, T., Kurki, M., Smith, S., (eds.), International Relations Theories: Discipline and Diversity, Oxford University Press, 2007, hal. 157 25
Femia, Gramsci’s Political Thought, hal. 47
memaksa dibanding sekadar ‘untuk memerintah’
atau ‘untuk menjalankan kekuasaan’. Keane
mencatat bahwa kratos mempunyai rasa militer di
dalamnya. Ia bersifat menaklukkan dan memaksa.26
Kratos memiliki dimensi yang penuh dengan
paksaan dan cenderung pada kekerasan. Istilah
kratos mengacu pada “tenaga, kekuatan,
keagungan imperium, ketangguhan, kekuatan
kejayaan, dan kemenangan atas pihak lain,
khususnya melalui penerapan kekuatan”.27
Hobson menyimpulkan bahwa: “Apa yang
dianggap sebagai elemen yang menentukan dari
pengalaman Athena—yaitu penggunaan kekuatan
secara langsung dan penuh dengan pemaksaan oleh
mayoritas yang buruk dalam sebuah pemerintahan
kecil—telah melahirkan keluhan dan kekhawatiran
yang mengutuk demokrasi agar tidak digunakan lagi
dan dipandang tidak relevan selama beberapa
abad.”28 Kekhawatiran atas tirani mayoritas inilah
yang membuat para pendiri AS menolak demokrasi
pada saat kemerdekaan tahun 1776. Mewakili
pandangan dominan saat itu, Thomas Jefferson
berpendapat bahwa: “Demokrasi tidak lain
hanyalah aturan rimba, dimana lima puluh satu
persen orang merampas hak empat puluh
sembilan persen lainnya.”29
26
John Keane, ‘Does Democracy Have a Violent Heart?’, The University of Sydney, Juli 2006, hal. 15. 27
Hobson, C., ‘Beyond the End of History: The Need for a “Radical Historicisation” of Democracy in IR’, Millennium Journal of International Studies, Vol. 37, 2009, hal. 647. 28
Hobson, C., ‘Beyond the End of History: The Need for a “Radical Historicisation” of Democracy, hal. 647. 29
Jefferson, T., dikutip dari http://www.americanhistorycentral.com/entry.php?rec=453&view=quotes
7
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
Dalam nada yang sama, James Madison
menyatakan bahwa: 'Demokrasi adalah bentuk
pemerintahan paling busuk. Demokrasi pernah
menjadi pusat kekacauan dan pertengkaran; pernah
ditemukan tidak sesuai dengan keamanan pribadi,
atau hak-hak atas harta benda; dan secara umum,
sesingkat kehidupan mereka, mereka juga penuh
dengan kekerasan dalam kematian mereka.'30
Hanya setelah seruan dari Presiden Wilson untuk
dunia yang akan 'dibuat aman bagi demokrasi' pada
tahun 1917 yang membuat demokrasi kembali
muncul di Barat. Meskipun pemikiran ini pada
awalnya tidak disambut oleh kekuatan Sekutu
lainnya, ia mampu berfungsi sebagai pembingkai
dan justifikasi bagi upaya perang yang dilancarkan
pasukan Sekutu. Kemenangan mereka setelah itu
merupakan salah satu katalis utama dari ekspansi
normatif demokrasi di abad-abad selanjutnya.31
Oleh karena itu pemahaman populer akan
istilah 'demokrasi' saat ini secara radikal sangat
berbeda dari konsepsi sejarah yang dominan, yang
menganggapnya sebagai 'bentuk aturan yang
berbahaya dan tidak stabil yang secara pasti akan
menyebabkan anarki atau kesewenang-
wenangan.' 32 Fakta kelam demokrasi ini coba
dikaburkan oleh narasi diskursif yang dilakukan oleh
AS dan Barat, dimana sejarah demokrasi
digambarkan sebagai sebuah kemajuan linear,
dengan demokrasi liberal sebagai kesimpulan akhir
teleologisnya. Menurut interpretasi mereka, 30
Madison, J., dikutip dari http://madison.thefreelibrary.com/ 31
Hobson, ‘Beyond the End of History’, hal. 650. 32
Idem, hal. 632
demokrasi ditemukan di Athena dan kemudian
diteruskan ke Roma, sebagai tempat lahirnya
peradaban Barat, sebelum dicetak menjadi bentuk
kontemporer melalui revolusi Amerika dan Perancis
pada abad kedelapan belas. Abstraksi sederhana
dari konsep demokrasi, dikombinasikan dengan re-
interpretasi secara universal, telah menjadi elemen
kunci dari upaya AS untuk mempromosikan ideologi
secara luas.33
Aspek kunci dari strategi AS dalam usaha
mendemokratisasi dunia adalah dengan berusaha
memposisikan demokrasi sebagai satu-satunya
bentuk pemerintahan yang sah. Francis Fukuyama
dalam 'the End of History’ mencontohkan
pendekatan monokultural AS dalam melakukan
promosi demokrasi. Ia menyebut bahwa
'universalisasi demokrasi liberal Barat merupakan
bentuk final pemerintahan manusia.' Menurut
Fukuyama, demokrasi adalah akhir dari sejarah
umat manusia dan titik akhir dari evolusi ideologi
umat manusia.34
AS berusaha melakukan internalisasi terhadap
komunitas lain atas interpretasi AS terhadap
demokrasi, norma dan nilai-nilai, sebagai sebuah
tatanan alami. Keberhasilan proses ini bisa dilihat
dari fakta bahwa istilah demokrasi itu sendiri saat
ini secara universal diidentifikasikan dengan Barat.
Barat selama ini berusaha untuk menyebarkan
slogan ‘kebebasan, persamaan, dan persaudaraan’
sebagai ekspresi demokrasi yang ideal. Namun
33
Idem, hal. 633 34
Fukuyama, F., ‘The End of History’, The National Interest, Issue 16, (Summer) 1989.
8
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
dalam praktiknya, persamaan yang menjadi tema
utama demokrasi, sulit terealisasikan. Mengutip
pernyataan Gaetano Mosca:
“Apa yang terjadi pada bentuk pemerintahan
lain—dimana minoritas yang terorganisir
memaksakan kehendaknya terhadap mayoritas
yang tidak terorganisir—juga terjadi secara
sempurna pada sistem representasi, meski
penampakannya nampak tidak seperti itu. Ketika
kita mengatakan bahwa pemilih memilih wakil
mereka, kita telah menggunakan bahasa yang
sangat tidak tepat. Yang terjadi sebenarnya adalah
sang wakil lah yang membuat dirinya dipilih oleh
para pemilih.”35
Pemilu merupakan sumber utama legitimasi
dalam sistem demokrasi berdasarkan norma
pemerintahan Barat saat ini. 36 Meski demikian,
berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh
Ralph Miliband, “Aksi voting adalah bagian dari
proses politik yang jauh lebih besar, yang ditandai…
oleh pengaruh yang tidak seimbang. Berkonsentrasi
pada aksi voting saja justru membantu
menyembunyikan terjadinya ketidakadilan. 37
Ketidakadilan dalam politik demokrasi saat ini
tercermin dalam peran uang dalam proses pemilu.
Sebagai contoh, pada tahun 2000 para calon
presiden AS menghabiskan total $ 500,9 juta, pada
tahun 2004 angka ini meningkat menjadi $ 820,3
juta, sedangkan pada pemilu 2008 total sebesar $
35
Mosca, G., The Ruling Class, McGraw-Hill, 1939, hal. 154 36
Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 49. 37
Miliband, R., The State in Capitalist Society, Basic Books, 1969, hal. 194.
1,7 miliar telah dihabiskan.38 Dalam setiap kasus,
calon yang menang adalah yang memiliki dana yang
lebih besar.39 Fenomena ini sangat relevan dalam
konteks promosi demokrasi, mengingat penekanan
yang dilakukan oleh AS atas peran pemilu di negara-
negara di mana ia beroperasi.
Jika ada yang meyakini bahwa dalam sistem
demokrasi setiap warga negara memiliki hak dan
kesempatan yang sama, maka pada dasarnya
kesimpulan tersebut terbukti salah. 40
Ketidakadilan—baik di bidang politik, ekonomi, atau
sosial—adalah lazim dalam demokrasi liberal.
Demokrasi menempatkan rakyat sebagai
kedaulatan tertinggi. Bagi negara demokrasi
slogan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah
suara Tuhan) menggantikan istilah l’etat e’est
moi (negara adalah saya) sebagi sistem bernegara
yang berlangsung lama di Eropa.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah
bagaimana rakyat bisa memerintah? Thomas R. Dye
dan Harmon Zeigler dalam The Irony of Demcracy;
An Uncommon Introduction to American
Politics memberikan penjelasan bahwa democracy
38
Salan, J., ‘Spending Doubled as Obama Led Billion-Dollar Campaign’, Bloomberg, 27 Des 2008, http://www.bloomberg.com/apps/news?pid=20601087&sid=anLDS9WWPQW8 &refer=home 39
Fenomena ini tidak selalu terjadi. Pada pemili 1992 Clinton mengeluarkan dana lebih sedikit dibanding George H.W. Bush dan tetap bisa menang, meskipun dengan margin 43% vs 38%. Fenomena yang jarang terjadi ini diduga disebabkan oleh kehadiran Ross Perot sebagai calon independen. Lihat ‘1992 Presidential Election’, Roper Center, at http://www.ropercenter.uconn.edu/elections/presidential/presidential_election_ 1992.html. 40
Anderson, P., ‘The Antinomies of Antonio Gramsci’, New Left Review, Vol. 100, 1976, hal. 30.
9
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
is government “by the people,” but the survival of
democracy rest on the shoulders of elits. Dalam
keniscayaannya demokrasi menjadi ruang bagi
sekumpulan orang dengan tujuan tertentu (the
elits) untuk memimpin rakyat yang semestinya
memiliki kedaulatan. Pemain sejati dalam
demokrasi hanya ada di kalangan atas. Massa hanya
diberi ruang untuk memilih, berteriak, bertepuk
tangan, mencemooh, atau bahkan melempar batu,
tapi mereka tidak pernah dijinkan untuk
berpartisipasi dalam permainan. Para pemimpin
yang terpilih hanya berkewajiban untuk
meyakinkan masyarakat bahwa hanya merekalah
yang bisa melindungi kepentingan rakyat.
Dalam model institusional demokrasi, nilai-nilai
politik demokrasi liberal dan prinsip ekonomi pasar
bebas secara instrinsik sangat berhubungan.
Pemerintah AS dalam setiap periodenya
berpendapat bahwa pasar bebas merupakan
prasyarat bagi demokrasi. Misalnya, pemerintahan
George W. Bush menyatakan dalam Strategi
Keamanan Nasional tahun 2002 bahwa:
“Sebuah ekonomi dunia yang kuat akan
meningkatkan keamanan kita dengan memajukan
kemakmuran dan kebebasan di seluruh dunia.
Pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh
perdagangan bebas dan pasar bebas akan
menciptakan lapangan pekerjaan baru dan
pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini
memungkinkan bagi setiap orang untuk
mengangkat kehidupan mereka keluar dari
kemiskinan, memacu reformasi ekonomi dan
hukum, serta perjuangan melawan korupsi, dan
memperkuat kebiasaan kebebasan.41
Namun Robinson mengemukakan tentang “sifat
kontradiktif pemikiran demokrasi di bawah
kapitalisme. Di mana di satu sisi menekankan
kesucian hak milik pribadi, dan karenanya
melegitimasi kesenjangan sosial dan ekonomi serta
monopoli sumber daya masyarakat oleh minoritas,
sementara di sisi lain mereka menekankan
kedaulatan rakyat dan persamaan hak.42
Demokrasi yang dipromosikan oleh AS
dipresentasikan sebagai sebuah nilai universal yang
netral dimana seluruh manusia di berbagai belahan
dunia menginginkannya, serta bisa diterapkan
dimanapun. Narasi ini diciptakan untuk menutupi
paradoks yang terdapat dalam jantung promosi
demokrasi: di satu sisi mereka berusaha untuk
secara konseptual memisahkan antara sistem
politik dengan tatanan sosio ekonomi, namun di sisi
lain AS memuji prinsip pasar bebas sebagai bagian
intergral dalam perkembangan demokrasi. Ini
adalah kontradiksi yang inheren dalam demokrasi,
dimana mereka berusaha mengklaim persamaan
hak dalam politik namun melegitimasi ketidakadilan
di bidang sosio ekonomi.
Dalam teori demokrasi, kedaulatan tertinggi
berada di tangan warganya. Dengan demikian,
warga dapat berpartisipasi dalam menjalankan roda
pemerintahan. Ironisnya dalam realitas politik,
warga hanya dijadikan objek politik bagi
41
NSC, The National Security Strategy of the United States of America, (September) 2002, hal. 17. 42
Robinson, Promoting Polyarchy, hal. 52
10
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
pemerintah (penguasa) untuk mempertahankan
hegomoni politiknya. Sebagaimana ungkapan
Barchmi yang menyatakan bahwa: ‘Prinsip
kedaulatan di tangan warga sebenarnya tidak
pernah ada’, ide kedaulatan warga hanyalah
sebatas fatamorgana. Pemahaman ini mengklaim
bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat
sumbernya. Dimana, setiap aspirasi yang muncul
dari kehendak warganya dianggap telah memenuhi
parameter kebenaran dan keadilan. Oleh karena
itu, prinsip kedaulatan akan memberikan peluang
para wakilnya melakukan kekuasaan absolut. Hal ini
disebabkan wakilnya yang menjalankan roda
pemerintahan memiliki kecendrungan
mempertahankan power-nya dengan berbagai
macam dalih guna “mendoktrin” warganya.
Menurut Barchmi: “Prinsip kedaulatan di tangan
rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa
kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan
kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim
bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat
sumbernya. Atas dasar ini maka setiap aspirasi yang
muncul dari kehendak rakyat, dianggap telah
memenuhi parameter kebenaran dan keadilan.
Aspirasi rakyat itu juga dianggap tak perlu
diragukan dan diperdebatkan lagi dari segi ini
(memenuhi kebenaran dan keadilan-pen.), bukan
karena argumentasinya kuat, melainkan karena ia
muncul dari kehendak rakyat. Jadi prinsip
kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum
(mustahil keliru/dosa) kepada rakyat. Oleh karena
itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa
rakyat (atau para wakilnya) berpeluang melahirkan
kekuasaan absolut, yaitu kesewenang-wenangan
(kediktatoran). Karena apabila kehendak rakyat
dianggap kehendak yang legal hanya karena muncul
dari rakyat, maka dengan demikian dari segi
legislasi undang-undang, rakyat akan dapat berbuat
apa saja. Jadi rakyat pada dasarnya tidak perlu lagi
mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apa
yang diinginkannya.”43
Begitu juga dengan hasil hukum yang keluar
darinya. Menurut Boogena Giyanah Stchijfska,
“hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir
dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah
bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan
atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya
yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban individu dan tanggung jawab pribadi.
Semua itu didasarkan pada kepentingan dan
kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah
diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu
selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi
dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam
sejarah hukum-hukum positif buatan manusia,
bahwa hukum yang terakhir akan bertentangan
dengan hukum yang pertama dalam rincian-
rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat
berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat
berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat
berubah menjadi wajar.”44
43
Ali Belhaj, Dikutip dari “Kritik Tajam Terhadap Demokrasi”, Februari 2011, http://www.globalmuslim.web.id/2011/02/syaikh-ali-belhaj-kritik-tajam-terhadap.html 44
idem
11
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
Tiga Cara menyebarkan dan memelihara hegemoni
Barat:
Liberalisme adalah alat yang dipromosikan oleh
"Barat" untuk mempertahankan dan memperkuat
statusnya sebagai hegemon global. Konsepsi
Gramsci tentang "hegemoni" digunakan untuk
menggambarkan pengaruh "Barat" dalam
komunitas global. Gramsci menyatakan bahwa
konsensus, bukan pemaksaan, harus berada di
garda terdepan dari pengaruh hegemon tersebut.
Jadi jika persetujuan hadir, maka hegemoni bisa
dikatakan sah. Charlotte Langridge berpendapat
bahwa "Barat" menggunakan liberalisme sebagai
alat untuk mempertahankan statusnya sebagai
hegemon global, karena liberalisme bergantung
pada persetujuan dan karena itu ia mendapat self-
legitimation.
Barat menggunakan liberalisme sebagai alat
untuk memelihara hegemoni mereka melalui
lembaga-lembaga internasional, perdagangan
internasional, dan demokrasi. Saat suatu negara
terintegrasi ke dalam salah satu dari ketiga metode
tersebut, mereka secara bertahap akan
terintegrasikan ke dalam area lain dari tatanan
dunia liberal. Selanjutnya, ketiga jalur tersebut akan
menyerap setiap upaya kontra-hegemoni yang
akhirnya akan memperkuat legitimasi dari
hegemoni Barat itu sendiri. Namun, sifat agresif
"Barat" untuk mengekspor liberalisme mereka
justru akan mendelegitimasi hegemoni yang
mereka miliki saat ini.
Charlotte Langridge berpendapat bahwa
legitimasi rezim liberal Barat bersifat sangat
ekspansionis, tidak lagi bergantung pada
persetujuan dari negara-negara yang dibidik untuk
bergabung. Mereka kini tidak memiliki pilihan lain,
jika mereka ingin mendapatkan kekuasaan politik
atau ekonomi, mereka harus ikut dalam sebuah
sistem hegemoni Barat tersebut. Langridge
berpendapat bahwa kondisi ini adalah bentuk
pemaksaan tersembunyi yang justru akan
mendelegitimasi hegemoni Barat.
"Barat" didefinisikan oleh Hurrell sebagai
"perkumpulan dengan kekuatan besar".45 Puchala
mendefinisikan "Barat", dalam hal ekonomi,
sebagai kelompok negara-negara kapitalis, yang
berkomitmen untuk membuka pasar; dalam hal
politik, sebagai perkumpulan dari negara-negara
demokrasi; secara ideologis, sumber dan pusat
internasionalisme liberal; secara hegemoni, koalisi
transnasional para elit untuk berbagi kepentingan,
tujuan dan aspirasi yang berasal dari lembaga-
lembaga sejenis dan ideologi umum.’46 Ide-ide dan
cita-cita bersama menyatukan elit "Barat" menjadi
apa yang oleh Gramsci disebut sebagai "Blocco
Storico" atau blok bersejarah. Di era pasca-Perang
Dingin, "Barat " belum tertandingi dan mungkin
akan tetap demikian untuk beberapa waktu dekat.
Hal ini karena tidak ada negara tunggal atau
gabungan beberapa negara dalam waktu dekat
yang mengungguli kekuatan kolektif dari 45
Hurrell, A. (2006) ‘Hegemony, Liberalism and Global Order: What Space for Would-be Great Powers?, International Affairs, 82(1): 1-19 46
Puchala, D. (2005) ‘World Hegemony and the United Nations’, International Studies Review, 7 (4): 571-584
12
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
Organisation for Economic Cooperation and
Development (OECD). Puchala menegaskan bahwa
‘perayaan liberalisme telah mendefinisikan Barat;
universalisasi liberalisme adalah proyek Barat;
menggunakan kekuatan Barat untuk membangun
dunia liberal adalah tujuan dari hegemoni Barat hari
ini.’47
Hegemoni Barat terdiri dari nilai-nilai dan budaya
liberal yang dimiliki oleh kelas-kelas dominan. Ia
dikomunikasikan dan diekspor ke seluruh dunia
melalui tiga variabel institusionalisme liberal:
lembaga-lembaga internasional, perdagangan
internasional dan demokrasi. Oleh karena itu,
"Barat" menggunakan liberalisme sebagai alat
untuk mempertahankan hegemoni. Liberalisme
menyerap kontra-hegemoni melalui lembaga-
lembaga internasionalnya, saling ketergantungan
dalam hal ekonomi, dan melalui demokrasi. Ekspor
liberalisme telah memaksa negara lain untuk
mendirikan lembaga-lembaga internasional,
meliberalisasi ekonomi mereka dan memperkuat
demokrasi mereka. Topeng legitimasi mereka
dibangun di atas persetujuan yang sebenarnya
adalah pemaksaan terselubung.
1. Lembaga Internasional
Lembaga-lembaga internasional Barat meliputi
Bretton Woods Institutions, World Bank (WB) dan
International Monetary Fund (IMF), World Trade
Organisation (WTO) dan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), Uni Eropa (EU) dan North Atlantic
Treaty Organisation (NATO). Cox menyatakan lima
47
Puchala, D. (2005) ‘World Hegemony and the United Nations’, International Studies Review, 7 (4): 580
norma universal hegemoni yang diterapkan melalui
lembaga-lembaga internasional, yang dalam kasus
hegemoni Barat, berarti lembaga internasional
liberal:
(1) Mereka mewujudkan aturan yang memfasilitasi
perluasan tatanan dunia hegemonik;
(2) Mereka sendiri adalah produk dari tatanan
dunia hegemonik;
(3) Secara ideologis, mereka melegitimasi norma-
norma tatanan dunia;
(4) Mereka mengkooptasi para elit di negara-
negara pinggiran
(5) Mereka menyerap ide-ide kontra-hegemonik.
Kelima unsur tersebut digunakan untuk
mempertahankan legitimasi hegemonik "Barat".
Fungsi pertama yang dimiliki oleh lembaga tersebut
adalah pemeliharaan hegemoni. Tujuan ini dicapai
melalui aturan-aturan yang mendorong ekspansi
kekuatan ekonomi yang dominan; Poverty
Reduction Strategy Papers (PRSP) milik IMF adalah
bentuk ideologi liberal yang sudah dimanipulasi.48
Fungsi kedua, yaitu bahwa lembaga internasional
adalah produk dari tatanan dunia hegemonik,
merupakan sifat sejati dari IMF dan WB yang diatur
oleh AS. Partisipasi dalam lembaga tersebut
seringkali cenderung lebih berpihak pada kekuatan
dominan. Terdapat struktur politik informal dalam
lembaga-lembaga tersebut yang mencerminkan
kekuatan politik dan ekonomi riil dari masing-
48
Jones, T. and Hardstaff, P. (2005) Denying Democracy: How the IMF and the World Bank take Power from the People, World Development Movement, London
13
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
Mereka juga memberikan kesempatan pada kelompok subordinat untuk membuat
perubahan, dengan batasan bahwa dampak menyakitkan
dari perubahan tersebut harus seminimal mungkin sebagai cara
untuk melegitimasi tindakan kelompok hegemonik tersebut.
masing negara yang berpartisipasi. Kekuatan
dominan tersebut menjalankan peran ideologis,
dan menegaskan kembali hirarki hegemonik
mereka. Pada saat yang sama mereka juga
memberikan kesempatan pada kelompok
subordinat untuk membuat perubahan, dengan
batasan bahwa dampak menyakitkan dari
perubahan tersebut harus seminimal mungkin
sebagai cara untuk melegitimasi tindakan kelompok
hegemonik tersebut. Misalnya, institusi-institusi
Bretton Woods, seperti memberikan perlindungan
lebih pada masalah sosial seperti pengangguran
dalam negeri daripada yang dilakukan oleh sistem
Gold Standard. Namun, hal tersebut dilakukan
dengan syarat bahwa kebijakan nasional harus
konsisten dengan tujuan ekonomi dunia liberal,
sehingga memperluas pengaruh Barat.49 Kondisi ini
nampak semakin melegitimasi hegemoni "Barat"
dan sesuai dengan fungsi keempat lembaga
hegemon yang diutarakan oleh Cox di atas, yaitu
mengkooptasi para elit di negara-negara pinggiran.
Pengaruh hegemoni Barat juga dapat dilihat di
PBB. PBB melembagakan dan mengatur tatanan
dunia internasional liberal.50 Selama Perang Dingin,
misalnya, PBB adalah alat yang sering digunakan
untuk kebijakan luar negeri AS, terutama dalam
melakukan kecaman atas Iran pada tahun 1979. AS
melindungi kepentingannya melalui ancaman veto
di Dewan Keamanan, pengaruh sangat besar pada
saat pemilihan Sekretaris Jenderal PBB, dan 49
Cox, R., ‘Gramsci, Hegemony and International Relations: An Essay in Method’, Millennium: Journal of International Studies, 1983, 12 (2): 162-175 50
Puchala, D.,‘World Hegemony and the United Nations’, International Studies Review, 2005, 7 (4): 571-584
overrepresentation di Sekretariat PBB. Hal ini
ditunjukkan dalam penolakan keanggotaan China
sampai Washington menyetujui. Kondisi ini
bukannya tanpa kritik, terutama dari Kelompok 77
yang memandang AS menggunakan PBB untuk
mendukung penyebaran liberalisme ekonomi dan
demokratisasi. "Peran utama PBB di bawah
hegemoni Barat adalah untuk memvalidasi tatanan
dunia liberal'.51 Hal ini sesuai dengan fungsi ketiga
lembaga-lembaga internasional yang diungkapkan
oleh Cox di atas, yaitu untuk mempertahankan
hegemoni. Tidak mengejutkan jika Barat
mencurahkan begitu banyak perhatian terhadap
lembaga-lembaga ini. PBB, sebagai produk dari
hegemoni liberal Barat, digunakan sebagai alat oleh
AS untuk mempertahankan posisi di tataran global.
Lembaga-lembaga ini sangat penting bagi Barat
untuk mendapatkan legitimasi di arena
internasional.
51
Puchala, D.,‘World Hegemony and the United Nations’, hal. 581
14
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
Lembaga-lembaga internasional juga
menjalankan proses untuk menghilangkan gerakan
kontra- hegemonik, yang oleh Gramsci disebut
sebagai "transformismo". Mereka menyerap ide-ide
yang berpotensi menjadi kontra-hegemonik dan
menyesuaikannya dengan doktrin hegemonik. 52
Mereka membuat sebuah kondisi yang tidak
memungkinkan bagi gerakan yang menantang
hegemoni Barat untuk melakukan perlawanan.
Kelompok lain yang ingin mendapatkan kontrol atas
suprastruktur lembaga-lembaga internasional, tidak
bisa melakukan apa-apa karena suprastruktur
tersebut terhubung dengan golongan hegemonik
nasional dari negara-negara inti. Sebagaimana kata
Cox, 'hegemoni itu seperti bantal: menyerap
pukulan dan cepat atau lambat calon penyerang
akan merasa nyaman untuk beristirahat di
atasnya'.53 Lembaga-lembaga internasional, seperti
yang disebutkan di atas, memenuhi fungsi kelima
yang disampaikan oleh Cox. Lembaga-lembaga
internasional bertindak sebagai saluran dimana
nilai-nilai liberal dan keterbukaan ekonomi
ditransmisikan. Penjelasan di atas menunjukkan
bagaimana "Barat" menggunakan liberalisme
sebagai alat untuk mempertahankan hegemoni
melalui lembaga-lembaga internasional. Mereka
lahir dari "Barat" setelah Perang Dunia Kedua.
Mereka bersifat self-legitimating dan menyerap
gerakan kontra-hegemonik. Mereka yang ingin
melawan tatanan liberal berisiko dikategorikan
sebagai rezim nakal, musuh kebebasan ekonomi
dan politik. Legitimasi dan otoritas mereka sebagai 52
Cox, 1983 53
Idem, hal. 63
negara berdaulat pun dipertanyakan. "Barat" kini
menentukan apa yang dimaksud dengan legitimasi.
2. Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional berfugsi sebagai
media komunikasi.54 Kesalingtergantungan ekonomi
Uni Eropa menyokong demokrasi dan membuat
perang antara negara-negara anggota tidak rasional
secara ekonomi. Prinsip-prinsip perdagangan
internasional liberal dibangun di atas kapitalisme
Barat, yaitu kompetisi dan perdagangan bebas. Ia
lah yang pertama kali menyatukan "Barat" dan
sekarang "Barat" berusaha untuk menyatukan
dunia menggunakan alat bernama ekonomi liberal.
Kita bisa melihat secara historis bagaimana
organisasi yang bertujuan untuk melakukan
liberalisasi ekonomi menyebar: misalnya,
Organisation for European Economic Cooperation,
yang dikenal secara global dengan nama
Organisation for Economic Cooperation and
Development, menyebarkan hegemoni liberal
Barat.55 Secara luas diakui bahwa ekonomi kapitalis
adalah fitur utama dari tatanan Barat. "Barat"
berusaha membujuk negara-negara baru untuk
masuk ke dalam sistem liberal melalui argumen
keuntungan absolut dan relatif. Menurut Deudney
dan Ikenberry, ada beberapa alasan politik kenapa
negara-negara Barat berusaha menjaga
keterbukaan ekonomi, yaitu 'untuk menyebarkan
perdagangan bebas dan memperkuat demokrasi
liberal.’ Ekspansi kapitalisme yang dirangsang oleh
54
Russet, B. (2010) ‘Liberalism’ in T. Dunne, M. Kurki, and S. Smith (eds), International Relations Theories: Discipline and Diversity, 2
nd edn, Oxford: Oxford University Press, hal. 95-115
55 idem
15
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
perdagangan bebas cenderung mengubah
preferensi dan karakter dari negara-negara lain ke
arah liberal dan demokrasi, sehingga menghasilkan
sistem yang lebih ramah secara strategis dan politis
bagi "Barat" untuk mengimpor ideologi liberal.’56
"Barat" berusaha mendorong negara lain untuk
meliberalisasi ekonomi mereka, dengan sebuah
keyakinan bahwa sistem tersebut bermanfaat bagi
semua, terutama dunia liberal. Meski demikian,
hanya sedikit negara yang liberalisasi ekonomi
mereka benar-benar meningkatkan kekayaan
masyarakat. Meksiko adalah salah satu contoh di
mana keterlibatan World Bank dan IMF lebih
merusak daripada menguntungkan.57 Kebanyakan
orang Meksiko akan menjadi lebih baik pada tahun
1998, jika pemerintah mereka tidak memaksakan
liberalisasi ekonomi. Kebijakan liberalisasi dari IMF
dan WB tidak hanya merusak negara berkembang,
tapi sebagaimana kata Stiglitz, bahkan IMF sekali
pun sepakat bahwa mereka telah mendorong
liberalisasi terlalu jauh, yang mengakibatkan
goyahnya hegemoni Barat dan terjadinya krisis
keuangan secara global pada tahun 1990-an. 58
Kondisi ini membuat dunia melihat bagaimana
kebijakan liberal "Barat" telah gagal, dan
menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi
mereka.
56
Deudney, D. and Ikenberry, J. (1999) ‘The Nature and Sources of Liberal International Order’, Review of International Studies, 25 (2), hal. 1992 57
Pieper, U. and Taylor, L. (1996, revised Jan 1998), The Revival of the liberal Creed: the IMF, the World Bank, and Inequality in a Globalized Economy, CEPA Working Paper Series 1, No. 4 58
Stiglitz, J. (2002) Globalization and its Discontents, London: Allen Lane
3. Demokrasi
Morozov menyatakan bahwa demokrasi berasal
dari “Barat”.59 Promosi demokrasi di Eropa Timur,
Amerika Latin, dan Asia Timur telah membentuk
'kue lapis yang kompleks dari inisiatif integratif yang
mengikat dunia industri demokratis secara
bersama-sama'. 60 Tidak mengherankan bahwa
"Barat" sangat tergila-gila untuk melestarikan dan
memperluas kontrol atas lembaga, pasar, dan
politik dunia, mengingat liberalisme telah
memberikan penghargaan asimetris kepada
mereka. Konsekwensinya, negara-negara non-Barat
terus berada di bawah tekanan untuk melakukan
liberalisasi secara politik dan ekonomi, dan
mengimpor kebijakan dari Eropa Barat dan Amerika
59
Morozov, V. (2010) ‘Global Democracy, Western Hegemony, and the Russian Challenge’, in C. Browning and M. Lehti (eds), The Struggle for the West: A Divided and Contested Legacy, London, New York: Routledge, 185-200 60
Ikenberry, J. (2004) ‘Liberalism and Empire: Logics of Order in the American Unipolar Age’, Review of International Studies, 30 (4): 622
16
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
“Hegemoni itu seperti bantal: menyerap pukulan
dan cepat atau lambat calon penyerang akan merasa nyaman untuk
beristirahat di atasnya.”
Serikat. 61 Standar kebaikan sebuah bangsa pun
diukur berdasarkan perbandingan dengan AS dan
Uni Eropa.
Hegemoni Barat menyerap ide-ide kontra-
hegemonik dengan membuat jalur liberal nampak
lebih akomodatif dan menarik. Meningkatnya
gairah masyarakat dan negara untuk bergabung ke
dalam sistem kapitalis internasional semakin
memberikan kredibilitas kepada visi liberal ini.62
Karena itulah "Barat" terus berusaha untuk
mengintegrasikan Cina dan Rusia dan mendorong
mereka untuk melakukan konversi ke arah
demokrasi. Usaha ini antara lain dilakukan dengan
"menyusun gerbang" dunia demokratis dan
mengeluarkan negara non-demokratis. Pengeluaran
Rusia dari G-8 adalah salah satu contohnya.63 Barat
berusaha mempertahankan hegemoni mereka
melalui peningkatan integrasi rezim-rezim otokratis
dan usaha untuk mempengaruhi mereka agar mau
bekerjasama, menenangkan mereka dari potensi
sebagai ancaman, dan akhirnya mengkonversi
mereka ke arah demokrasi.64
Usaha penyebaran demokrasi oleh Barat
bukannya tanpa kritik. Morozov menjelaskan
bagaimana para pemimpin non-Barat mengkritik
“Barat” dengan sebutan “tidak demokratis”.
Mereka merebut kekuasaaan dan mempromosikan
61
Morozov, V. (2010) ‘Global Democracy, Western Hegemony, and the Russian Challenge’ 62
Deudney, D. and Ikenberry, J. (2009) ‘The Myth of the Autocratic Revival: Why Liberal Democracy Will Prevail’, Foreign Affairs, 88 (1): 79 63
Deudney, D. and Ikenberry, J. (2009) ‘The Myth of the Autocratic Revival: Why Liberal Democracy Will Prevail’, Foreign Affairs, 88 (1): 93 64
Charlotte Langridge
kepentingan "peradaban" mereka atas nama
demokrasi, padahal justru mereka sendirilah yang
tidak demokratis. Demokrasi yang dipaksakan dari
luar seringkali disajikan sebagai solusi terhadap
berbagai masalah politik.' 65 Barat seringkali
mengeskpor demokrasi melalui pemaksaan
terselubung. Hal ini semakin dibenarkan oleh
“perang salib demokrasi” yang dilancarkan oleh AS
dan logika “with us or against us”nya. Uni Eropa
juga membuat kebijakan kondisionalitas yang
berusaha untuk mengubah bentuk negara tetangga,
mulai dari Montenegro, Rusia, hingga Libya, sesuai
dengan gambar dan kecenderungan yang mereka
inginkan. Dalam pernyataan yang diungkapkan oleh
Richard Cheney, “kembalinya reformasi demokratis
di Rusia” adalah sinonim dengan “penyelarasan
Rusia dengan Barat”.66
65
Chandler, D. (2006) ‘Back to the Future? The Limits of Neo-Wilsonian Ideas of Exporting Democracy’, Review of International Studies, 32 (3): 483 66
Cheney, R. (2006) Vice Presidents Remarks at the 2006 Vilnius Conference, Reval Hotel Lietuva, Vilnius, Lithuania, 4 Mei2006, www.whitehouse.gov/news/releases/2006/05/20060504-1.html
17
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
Sisi Gelap Demokrasi
“Banyak sistem pemerintahan yang telah dicoba,
dan akan terus dicoba di dunia yang penuh dosa
dan duka ini. Tidak seorang pun berpura-pura
bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan
yang sempurna atau pemenuh semua harapan.
Bahkan, pantas dikatakan bahwa demokrasi adalah
sistem pemerintahan terburuk selain bentuk
pemerintahan lain yang telah dicoba dari waktu ke
waktu.” (Winston Churchill, Hansard [transkrip
parlemen], 11 November 1947)
Sebenarnya, kegagalan demokrasi adalah
sesuatu yang lumrah. Aristoteles beribu-ribu tahun
lalu pernah menyatakan: “Baik aristokrasi maupun
demokrasi memiliki potensi korupsi yang meningkat
secara eksploitatif, bertepatan dengan
penyalahgunaan kekuasaan dan kebebasan yang
manipulatif. Korupsi akan membawa pada revolusi,
ketika demokrasi menelanjangi dirinya sendiri dan
menjadi bentuk otokrasi, salah satunya oligarki.”
Bagaimanapun kedaulatan di tangan rakyat
adalah sesuatu yang utopis. Tidak pernah ada suatu
ahli politik mana pun yang sanggup merumuskan
konsep demokrasi yang benar, mulai dari jaman
Plato hingga Obama saat ini. Demokrasi hanya
memindahkan kekuasan dari tangan para raja,
bangsawan, ataupun gerejawan kepada otoritarian
lainnya, yaitu tidak lain adalah para pemilik modal.
Menjadi biasa saja, sebab demokrasi memerlukan
biaya yang mahal dalam prosesnya. Hingga akhirnya
politik menjadi komoditas laiknya dagang sapi di
pasar-pasar, sehingga kebijakan dari rahim
demokrasi adalah kebijakan yang sekali lagi jika
dipikirkan hanya berupa omong kosong perjuangan
atas nama rakyat. Karena telah jelas, bahwa semua
ini dilakukan atas kepentingan para pemilik modal
kapitalis penjajah asing.
Namun hegemoni Barat dan kekalahan psikologis
sebagian besar masyarakat dunia kini
memposisikan demokrasi sebagai sebuah produk
yang sakral tak tersentuh, tak peduli betapa
opresifnya kultur mereka dan betapa lalim dan
sadisnya aksi-aksi mereka.
Demokrasi lahir dan ditemukan oleh bangsa
Yunani. Kelahirannya sendiri cukup sulit dan
kompleks. Demokrasi berarti seluruh rakyat berhak
untuk mengatur dengan cara memilih langsung
wakil yang dianggap terbaik untuk menjalankan
pemerintahan.
Sejak diperkenalkan, demokrasi telah
menggambarkan diri sebagai solusi dari situasi
chaos dan berbagai kekerasan yang dilakukan oleh
tirani. Namun, menurut Denni Ross, sejak awal
berdirinya demokrasi pada hakikatnya adalah
kekerasan. Dalam konteks perang melawan teror,
demokrasi menjadi justifikasi digunakannya sarana-
sarana kekerasan. Negara-negara yang menyatakan
diri sebagai negara demokratis memberikan hak
pada diri mereka sendiri untuk melakukan
kekerasan atas nama perang melawan teror.
Tema tentang perang dan demokrasi, dan
simbiosis diantara mereka, baru-baru ini
menghangat kembali oleh fakta bahwa hampir
semua negara demokrasi hari ini terjebak dalam
18
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
perang permanen melawan 'teror'. Atas nama
'perlindungan demokrasi' dan 'promosi demokrasi ',
para tentara telah dikumpulkan dan dikirim ke luar
negeri; beberapa lembaga-lembaga demokrasi telah
dimiliterisasi, seolah-olah perang permanen demi
demokrasi mengharuskan pemangkasan
mekanisme pembagian kekuasaan dan mekanisme
perwakilan yang selama ini melekat pada
demokrasi. Pengawasan dan pemeriksaan rutin
'keamanan'; perluasan kekuasaan polisi;
pembenaran atas penggunaan penyiksaan, semua
dilakukan atas nama perlindungan atas demokrasi.
Semua warga diperingatkan untuk selalu waspada,
setiap saat, seolah-olah kehidupan sehari-hari
mereka adalah medan perang permanen. Para
pemilih bahkan telah mendengar panggilan keras
yang dilakukan oleh para politisi dan intelektual
untuk melindungi pemerintah, di rumah dan di luar
negeri, dengan mengambil 'aksi militer pre-emptive
terhadap ancaman besar bagi kelangsungan hidup
mereka atau peradaban mereka'.
Tren tersebut membuat para pengamat dan
analis berkesimpulan bahwa sejatinya, demokrasi
memiliki kecenderungan pada kekerasan.
Demokrasi dikatakan memiliki 'sisi gelap' kekerasan
politik. 67 Bahkan, demokrasi itu sendiri bersifat
‘membunuh’.68
Salah seorang ilmuwan asal Australia, Daniel
Ross, telah menarik kesimpulan bahwa 'asal mula
67
Paul Collier, Wars, Guns, and Votes (London and New York, 2009); Michael Mann, The Dark Side of Democracy (Cambridge and New York, 2005) 68
Humphrey Hawksley, Democracy Kills. What’s So Good About the Vote? (London 2009)
dan jantung demokrasi pada dasarnya adalah
kekerasan'.69 Ancaman serangan teroris tidak hanya
mengekspos bentuk baru ‘kekerasan demokrasi’,
namun juga membuka kedok karakter sejati dari
demokrasi yang selama ini diagung-agungkan
sebagai sistem terbaik di dunia ini.
Barrington Moore mengingatkan bahwa
“Demokrasi Barat mempunyai sejarah yang penuh
dengan kekerasan di belakangnya.”70 Dengan kata
lain, kekerasan sangat berkontribusi pada sejarah
politik Barat. Namun, kini banyak ilmuwan Barat
dan para pengikutnya yang mengesampingkan—
bahkan terkadang menyangkal—sejarah kekerasan
yang ada pada demokrasi. Kekerasan dan
demokrasi seringkali dikonseptualisasikan sebagai
dua hal yang terpisah, bahkan berlawanan. Jika
kekerasan disebutkan dalam konteks demokrasi,
demokratisasi, atau dalam konteks yang lebih luas,
perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan
politik, ia seringkali dipandang lebih sebagai sebuah
ancaman.
Moore menegaskan bahwa “salah satu pendapat
yang cukup kuat dipegang tentang hubungan antara
kekerasan dan demokrasi menyatakan bahwa
demokrasi Barat modern adalah pengganti yang
baik bagi kekerasan dan sama sekali tidak cocok
dengan segala bentuk kekerasan. Surat suara lebih
baik daripada peluru... Dalam penilaian saya,
69
Daniel Ross, Violent Democracy (Melbourne 2005), hal. i 70
Barrington Moore Jr., “Thoughts on Violence and Democracy,” Proceedings of the Academy of Political Science (1968) Vol.29 (1), hal 3.
19
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
kesimpulan tersebut adalah sebuah kepuasan yang
keliru akan masa kini dan masa lalu".71
Demokrasi tidak pernah dapat berkembang
tanpa mengganggu atau menyingkirkan pihak lain.
Jika ada yang masih percaya mitos Hegel bahwa
sejarah Barat adalah kisah perkembangan tak
pernah henti dari tirani politik (dimana satu orang
memerintah), kemudian oligarki (dimana minoritas
memerintah), dan akhirnya menuju demokrasi (di
mana 'rakyat' yang memegang kedaulatan), Ross
membantah bahwa dalam setiap pergeseran
historis demokrasi selalu melibatkan kekerasan,
sebagaimana dalam perjuangan politik di masa-
masa sebelumnya. Sebagaimana yang disampaikan
oleh Machiavelli, tidak ada demokrasi tanpa ada
pemancungan Raja, atau tanpa ‘penjinakan’
perbatasan.72
Di masa lalu, kekerasan demokrasi banyak
dilakukan oleh mayoritas—yang dianggap sebagai
pemegang kedaulatan—terhadap pihak minoritas
yang menentang kehendak mereka. Mereka
membantai penduduk pribumi, dan
menghancurkan siapapun yang melawan pondasi
baru kedaulatan rakyat. Kini kekerasan demokrasi
telah berubah, menuju arah tertentu sepanjang
abad 20 dan 21 ini. Dalam pandangan Ross,
kampanye militer di Irak dan Afghanistan pasca 11
September yang dipimpin oleh negara-negara
pengusung demokrasi, kekerasan yang dilakukan
oleh AS terhadap ‘kombatan musuh’ di Irak dan
71
Barrington Moore, Jr., hal. 1. 72
Daniel Ross, dikutip dalam Matthew Sharpe, Democracy's Violent Heart, Borderlands E-Journal, Volume IV No. 1, 2005.
Guantanamo, serta penjara rahasia AS di beberapa
negara membuktikan bahwa demokrasi mempunyai
potensi untuk melakukan kekerasan.
Istilah demokrasi selama ini dianggap bersinonim
dengan legitimate (sah), baik dalam hal politik
maupun moral. Banyak pengusung demokrasi
melihat demokrasi sebagai kekuatan yang secara
moral sah yang bisa diterapkan dalam keputusan
apapun. Demokrasi menjadi semacam pembersih
moral. Atas nama demokrasi, dan dengan klaim
mewakili suara rakyat, tindakan apapun bisa
dianggap sebagai tindakan bermoral. Demokrasi
pun dipandang sebagai kebenaran moral yang
absolut. Konsekuensinya, mereka menganggap
bahwa tidak ada prinsip, moral, maupun kekuatan
non-demokratis yang dianggap sah untuk
melakukan perlawanan terhadap keputusan
demokratis. Dalam etika demokrasi, satu-satunya
obat bagi kerusakan dalam demokrasi adalah
demokrasi itu sendiri. Tidak ada metode atau
proses lain yang bisa diterima sebagai respon yang
sah pada proses demokrasi, apalagi penggunaan
kekuatan. Kata ‘tidak demokratis’ pun bersinonim
dengan ‘kriminal’, ‘terorisme’, atau ‘permusuhan’.
Ia digunakan untuk memberi cap kepada setiap
serangan yang terjadi di masyarakat. Klaim
legitimasi demokrasi mengindikasikan fungsi utama
teori demokrasi, yaitu untuk melegitimasi tatanan
yang ada saat ini, betatapun buruknya tatanan
tersebut.
Demokrasi tidak pernah mengijinkan adanya
pemisahan diri dari kelompok yang tidak sepakat
dengan hasil demokrasi. Misalnya, jika diadakan
20
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
pemilihan umum secara terbuka bebas dan adil,
dan setiap pihak yang tidak sepakat dengan hasil
pemilu tersebut diperkenankan untuk membentuk
negara yang terpisah, maka tidak ada satu pun
pengusung demokrasi yang menganggap tindakan
tersebut sebagai demokrasi. Bagi kalangan
demokrat, harus ada kesatuan, dimana pemisahan
diri tidak diperbolehkan. Kesatuan ini adalah
‘demos’. Dalam konteks modern, demos yang
dimaksud adalah democratic nation state, negara
yang demokratis. Kesatuan demos ini sama
pentingnya dengan legitimasi, karena legitimasi
akan runtuh di hadapan pemisahan diri
(secessionism). Kelompok yang berusaha
memisahkan diri memandang pemerintah yang
berkuasa saat ini sebagai ‘pihak asing’, dan mereka
tidak lagi merasa berkewajiban untuk mematuhi
hukum, lembaga, dan kebijakannya. Karena itu,
sebuah pemerintah yang demokratis akhirnya
bergantung pada kekuatan militer untuk
mempertahankan kekuasaannya, dan untuk
mencegah pemisahan diri tanpa batas dari kalangan
minoritas. Aspek ini membawa demokrasi kepada
sebuah persekutuan jangka panjang dengan
nasionalisme. Karenanya, no guns, no democracy.
Tidak ada senjata, tidak ada demokrasi.73
Demokrasi juga gagal untuk mengeliminasi
ketidakadilan sosial. Dan fenomena ini nampak
sebagai kegagalan yang permanen dan struktural.
Tidak disangkal lagi bahwa di seluruh masyarakat
demokratis selalu terjadi ketidakadilan sosial—
73
Paul Treanor, “Why Democracy Is Wrong”, 12 Mei 2006, http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/democracy.html
perbedaan substansial dalam pendapatan,
kekayaan, dan status sosial. Dalam sebuah negara
demokrasi yang stabil seperti di Barat, ketidakadilan
nampak semakin meningkat. Pola yang terjadi
adalah pendapatan terendah tidak meningkat dan
seluruh keuntungan pertumbuhan ekonomi selalu
menjadi milik kelompok dengan pendapatan yang
lebih tinggi. Fakta bahwa demokrasi jarang disebut
sebagai penyebab semua itu adalah sebuah pilihan
politis.
Di masa lalu, banyak kalangan aristokrat
konservatif khawatir bahwa demokrasi akan
memungkinkan masyarakat miskin untuk menyita
kekayaan si kaya. Namun pada kenyataannya,
kecenderungan sejarah justru nampak sebaliknya.
Demokrasi bukanlah tentang ‘orang biasa’ melawan
kelompok elit, tapi ia adalah tentang orang-orang
biasa yang bergabung dengan kelompok elit untuk
'menampar kalangan bawah'. Jaminan hak-hak asasi
fundamental tidak mencegah minoritas kelas
rendah menjadi sasaran, baik secara politik maupun
sosial. Di beberapa negara Eropa partai politik
bersaing satu sama lain untuk menunjukkan betapa
kerasnya mereka terhadap minoritas yang tidak
popular—pencari suaka dan umat Islam misalnya.
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh kalangan
minoritas, selama partai politik tidak melanggar
hak-hak mereka. Sayangnya perkembangan ini
mungkin masih dalam tahap awal: masih ada
kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Dalam
demokrasi, mereka yang berada dalam skala sosial
terendah hanya bisa berharap akan kondisi
kehidupan yang semakin memburuk.
21
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
Dalam sejarahnya, demokrasi juga adalah sistem
yang penuh dengan darah. Invasi ke Irak adalah
salah satu contoh terkini betapa berdarahnya
proses demokratisasi. Sejak berakhirnya Perang
Dunia kedua, masyarakat Barat di Eropa dan AS
merasa normal untuk memaksakan demokrasi
dengan perang. Ketidakstabilan geopolitik
sepanjang Perang Dingin serta kekhawatiran
terjadinya serangan nuklir membuat sikap tersebut
sempat mereda. Namun, penaklukan atas nama
demokrasi kini kembali mengemuka. Sekali lagi,
nilai-nilai demokrasi secara eksplisit diklaim sebagai
justifikasi dilakukannya perang. Sebagian besar
semua rezim demokratis di Eropa dan belahan
dunia lainnya dipaksakan dari luar dengan invasi,
penjajahan, atau sebagai syarat diberikannya
bantuan ekonomi. Demokrasi sering datang dari
laras senapan atau melalui kekuatan dollar, jarang
yang berasal dari rakyat.
Dalam pengamatan Treanor, sejak tahun 1939
negara yang melakukan transisi dari non-demokrasi
menuju demokrasi sebagian besar dilakukan
melalui intervensi militer dari kekuatan demokratis.
Ia juga menyimpulkan bahwa setiap intervensi
militer yang dilakukan oleh kekuatan demokratis
akan berujung pada penerapan demokrasi di negara
yang diserang. Invasi Irak, dengan tujuan untuk
melakukan ‘perubahan rezim’, adalah contoh
teraktual keterlibatan ‘aktor eksternal’ dalam
program demokratisasi. Beberapa tahun sebelum
perang Irak, USAID telah menyiapkan taktik untuk
melakukan pengembangan negara pro-demokrasi.
Taktik tersebut mengindikasikan keterlibatan ‘aktor
eksternal’ dalam proses demokratisasi. Program
demokrasi USAID akan mendukung:74
- Mekanisme konstitusional, meliputi bantuan
teknis dan organisasional terhadap pembuat
konstitusi.
- Pembuat undang-undang yang terpilih secara
demokratis, termasuk program untuk
meningkatkan kemampuan material, teknis, dan
pembuatan keputusan dari para pembuat
undang-undang.
- Sistem hukum, meliputi peradilan independen
dan kepolisian yang dikontrol oleh sipil, serta
mekanisme alternatif dan informal untuk
menyelesaikan perselisihan.
- Entitas pemerintah lokal, terutama yang
mendapatkan otoritas dan tanggungjawab
institusional tambahan.
- Pemilu yang kredibel dan efektif, dimana para
pemilih mempercayai proses tersebut.
- Organisasi lokal, nasional, regional, dan
internasional yang melindungi hak asasi
manusia, termasuk hak pekerja, penduduk
pribumi, minoritas, dan wanita.
- Persatuan dagang, asosiasi professional,
kelompok wanita, entitas pendidikan, dan LSM-
LSM lokal, terutama mereka yang menjadi
partner dalam program pengembangan.
- Partai politik dan mekanisme ekspresi politik
nasional lain, dimana dukungan tersebut
dilakukan dalam cara non partisan, sesuai
74
http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/1868/200sai.pdf
22
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XI/APRIL 2014
dengan batas-batas undang-undang, dalam cara
yang tidak mempengaruhi hasil pemilu.
- Media independen yang dibentuk untuk
mempromosikan dan melindungi kebebasan
berekspresi.
- Peningkatan relasi sipil-militer, termasuk kontrol
sipil yang efektif terhadap pengembangan
militer.
- Institusi dan organisasi yang bisa meningkatkan
respon dan akuntabilitas pemerintah dalam skala
nasional dan lokal.
- Usaha pendidikan bagi anak-anak dan remaja
yang merefleksikan partisipasi komunitas,
mempromosikan pembentukan LSM lokal, dan
mendorong toleransi dalam masyarakat.
- Terakhir, sebagai pelengkap bagi usaha
pembangunan demokrasi jangka panjang, USAID,
berkonsultasi dengan badan pemerintah AS
lainnya dan dengan perlindungan hak asasi
manusia yang cukup, akan mendukung program
transisi bagi pembentukan institusi politik
demokratis dan program demobilisasi dan
pelatihan tentara dan pemberontak.
Dalam pandangan Treanor, taktik tersebut
sangat berbeda dengan pemberontakan lokal.
Berdasarkan definisi, tidak ada proses yang diinisiasi
oleh USAID atau aktor eksternal lain yang bisa
dikatakan murni ‘berasal dari rakyat’ di dalam
teritorial negara yang ingin didemokrasikan. Di
Bosnia dan Kosovo, kekuatan demokratis bisa
menerapkan program demokratisasi karena
penjajahan militer. Tujuan yang sama juga
dilakukan di Irak dan Afghanistan. Secara umum,
program tersebut memerlukan pendanaan
terhadap partai, kelompok, dan media pro-
demokrasi, dan dana tersebut akan mengalir ke
kelompok elit tertentu.75
Bagi siapa yang memandang demokrasi sebagai
bentuk pemerintahan yang menarik, maka mereka
harus memikirkan pihak yang tidak terwakili,
namun terpengaruh oleh bentuk pemerintahan
tersebut, yaitu korban demokrasi. Dalam kasus ini,
lebih dari 500.000 rakyat sipil Irak terbunuh atas
nama pembebasan dan perluasan nilai-nilai
demokrasi. Dalam bahasa Aldous Huxley, “hanya
kaum demokrat yang paling mistis—yang
menganggap voting sebagai tindakan religius, dan
yang merasa mendengar suara Tuhan di tubuh
rakyat—yang dapat memiliki alasan untuk terus
mengabadikan sebuah sistem dimana penipu,
orang kaya, dan dukun dapat diberi kekuasaan
oleh suara pemilih yang terdiri dari sebagian besar
orang yang bermental Peter Pan, yang sifat
kekanak-kanakannya membuat mereka sangat
rentan terhadap bujukan dari penghasut dan
sugesti tak kenal henti dari surat kabar orang-
orang kaya."76
75
Paul Treanor, “Why Democracy Is Wrong”, 12 Mei 2006, http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/democracy.html 76
Aldous Huxley, "Poli�cal Democracy", Aldous Huxley: Complete Essays, Volume II, 1926-1929, ed. Robert S. Baker and James Sexton, (Chicago: Ivan R. Dee, 2000), hal. 216, 228 )
RALAT:
Pada Laporan Khusus Syamina Edisi X / Maret 2014 halaman 39 paragraf terakhir terdapat kesalahan:
Tertulis “500 juta rakyat sipil Irak tewas akibat invasi
AS ke Irak dari tahun 2003-2011”, seharusnya “500
ribu rakyat sipil Irak tewas akibat invasi AS ke Irak
dari tahun 2003-2011.”