dem

11
PEMBUATAN DIGITAL ELEVATION MODEL (DEM) MENGGUNAKAN TRIANGULAR IRREGULAR NETWORK (TIN) DAN TOPO TO RASTER Seftiawan S. Rijal Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan membandingkan metode TIN dan Topo to Raster secara kuantitatif dan kualitatif. Penilaian kuantitatif dilakukan dengan menggunakan rumus statistik dan penilaian kualitatif dengan menggunakan visualisasi tampilan 3D, arah hadap lereng, hillshade dan profilling. Titik tinggi sebagai nilai acuan ketinggian diambil per kelas kemiringan lereng. Hasil kuantitatif secara keseluruhan menunjukkan secara kuantitatif TIN memiliki RMSE (Root Mean Square Error) lebih rendah dibanding Topo to Raster sedangkan pada hasil kualitatif memperlihatkan visualisasi 3D Topo to Raster lebih baik dibanding TIN. Kata Kunci : DEM, TIN, Topo to Raster, Penilaian Kuantitatif, Penilaian Kualitatif, Lereng I. Pendahuluan Sejak akhir tahun 1950, metode komputerisasi telah berhasil melakukan permodelan permukaan bumi ke dalam bentuk digital atau angka angka numerik, hingga kemudian hal ini telah berkembang menjadi salah satu disiplin ilmu baru yang sekarang kita kenal dengan Digital Terrain Modelling (DTM). Sejak kemunculannya pertama kali hingga saat ini, DTM telah banyak dimanfaatkan pada banyak kegiatan, seperti militer, perencanaan wilayah, pemetaan, penginderaan jauh, teknik sipil, pertambangan, geologi, geomorfologi, dan juga aksesibilitas (Li et al, 2005). Digital Terrain Modelling (DTM) dalam perkembangannya dalam 3 dasawarsa terakhir ini juga dikenal sebagai Digital Elevation Model (DEM), yakni sebuah representasi digital dari variasi relief yang kontinyu di atas permukaan bumi (Burrough, 1986), walaupun terminologi DEM lebih sering dipakai. Disamping itu, di banyak negara terminologi untuk mengistilahkan DTM ini juga berbeda beda, seperti di Amerika yang mengunakan DEM, Jerman yang menggunakan DHM (Digital Height Model), DGM (Digital Ground Model) yang digunakan oleh Inggris dan DTEM (Digital Terrain Elevation Model) yang diperkenalkan dan dipakai oleh USGS dan DMA (Defense Mapping Academy), (Petrie and Kennie (1987) dalam Li et al (2005)). Terdapat banyak metode yang dapat digunakan untuk membuat DEM, diantaranya adalah TIN dan Topo to Raster. Masing masing metode tersebut mempunyai algoritma dan struktur data tersendiri dalam membuat DEM. Penelitian ini dilakukan guna mengetahui DEM bentukan metode manakah yang paling mendekati nilai acuan dengan menggunakan rumus statistik dan guna melihat DEM manakah yang lebih baik dalam menampilkan visualisasi 3D. Dengan demikian para pengguna salah satu dari kedua metode tersebut diatas dapat mengetahui alasan pemakaian metode tersebut. II. Tujuan 1. Mengetahui nilai ketinggian yang dihasilkan oleh DEM yang dibuat melalui metode TIN dan Topo to Raster. 2. Mengetahui visualisasi DEM yang dihasilkan oleh metode TIN dan Topo to Raster.

Upload: eza-leoky

Post on 21-Oct-2015

113 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PEMBUATAN DIGITAL ELEVATION MODEL (DEM) MENGGUNAKAN

TRIANGULAR IRREGULAR NETWORK (TIN) DAN TOPO TO RASTER

Seftiawan S. Rijal

Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan membandingkan metode TIN dan Topo to Raster secara

kuantitatif dan kualitatif. Penilaian kuantitatif dilakukan dengan menggunakan rumus statistik

dan penilaian kualitatif dengan menggunakan visualisasi tampilan 3D, arah hadap lereng,

hillshade dan profilling. Titik tinggi sebagai nilai acuan ketinggian diambil per kelas

kemiringan lereng. Hasil kuantitatif secara keseluruhan menunjukkan secara kuantitatif TIN

memiliki RMSE (Root Mean Square Error) lebih rendah dibanding Topo to Raster sedangkan

pada hasil kualitatif memperlihatkan visualisasi 3D Topo to Raster lebih baik dibanding TIN.

Kata Kunci : DEM, TIN, Topo to Raster, Penilaian Kuantitatif, Penilaian Kualitatif, Lereng

I. Pendahuluan

Sejak akhir tahun 1950, metode komputerisasi telah berhasil melakukan permodelan

permukaan bumi ke dalam bentuk digital atau angka – angka numerik, hingga kemudian hal

ini telah berkembang menjadi salah satu disiplin ilmu baru yang sekarang kita kenal dengan

Digital Terrain Modelling (DTM). Sejak kemunculannya pertama kali hingga saat ini, DTM

telah banyak dimanfaatkan pada banyak kegiatan, seperti militer, perencanaan wilayah,

pemetaan, penginderaan jauh, teknik sipil, pertambangan, geologi, geomorfologi, dan juga

aksesibilitas (Li et al, 2005).

Digital Terrain Modelling (DTM) dalam perkembangannya dalam 3 dasawarsa

terakhir ini juga dikenal sebagai Digital Elevation Model (DEM), yakni sebuah representasi

digital dari variasi relief yang kontinyu di atas permukaan bumi (Burrough, 1986), walaupun

terminologi DEM lebih sering dipakai. Disamping itu, di banyak negara terminologi untuk

mengistilahkan DTM ini juga berbeda – beda, seperti di Amerika yang mengunakan DEM,

Jerman yang menggunakan DHM (Digital Height Model), DGM (Digital Ground Model)

yang digunakan oleh Inggris dan DTEM (Digital Terrain Elevation Model) yang

diperkenalkan dan dipakai oleh USGS dan DMA (Defense Mapping Academy), (Petrie and

Kennie (1987) dalam Li et al (2005)).

Terdapat banyak metode yang dapat digunakan untuk membuat DEM, diantaranya

adalah TIN dan Topo to Raster. Masing – masing metode tersebut mempunyai algoritma dan

struktur data tersendiri dalam membuat DEM. Penelitian ini dilakukan guna mengetahui

DEM bentukan metode manakah yang paling mendekati nilai acuan dengan menggunakan

rumus statistik dan guna melihat DEM manakah yang lebih baik dalam menampilkan

visualisasi 3D. Dengan demikian para pengguna salah satu dari kedua metode tersebut diatas

dapat mengetahui alasan pemakaian metode tersebut.

II. Tujuan

1. Mengetahui nilai ketinggian yang dihasilkan oleh DEM yang dibuat melalui metode

TIN dan Topo to Raster.

2. Mengetahui visualisasi DEM yang dihasilkan oleh metode TIN dan Topo to Raster.

III. Metode

Wilayah studi penelitian ini adalah perbukitan menoreh di Provinsi DIY yang

memiliki variasi kelas kemiringan lereng. Kelas kemiringan lereng pada penelitian ini dibagi

menjadi enam kelas (0% - 140%) sesuai dengan klasifikasi yang dilakukan oleh Van Zuidam

(1979). Nilai acuan ketinggian yang digunakan adalah titik tinggi Peta Rupa Bumi Indonesia.

Selanjutnya akan dijelaskan mengenai Triangulated Irregular Network (TIN) dan Topo to

Raster dan cara penilaian kuantitatif serta kualitatif, sebagai berikut :

Triangulated Irregular Network (TIN)

TIN adalah akronim dari Triangulated Irregular Network (Segitiga Tak Beraturan

yang Saling Berhubungan). TIN adalah sebuah metode interpolasi yang telah banyak

digunakan oleh komunitas pengguna SIG dari tahun ke tahun untuk merepresentasikan

morfologi permukaan dalam bentuk digital. TIN adalah bentukan dari data yang berbasis

vektor dan disambungkan oleh sebuah garis antar titik – titiknya hingga tampaklah layaknya

sebuah segitiga. Metode ini didasarkan pada kriteria delauney triangle, yang mensyaratkan

tidak adanya ketumpangtindihan antara segitiga satu dengan segitiga yang lainnya.

Gambar 1. Delauney Triangle (Sumber : ESRI ArcGIS 9.x Desktop Help)

Secara konsepsi, TIN tersusun dari nodes, edges, triangles, hull polygons, dan

topology. Lebih lanjut akan dibahas secara tersendiri ;

1. Nodes

Nodes atau titik adalah hal yang paling fundamental dari pembentukan TIN. Nodes ini

mula – mula berasal dari titik yang menjadi sumber data ketinggian. Setiap titik adalah saling

menyatukan diri di dalam segitiga TIN. Setiap nodes yang terdapat pada TIN haruslah

memiliki nilai ketinggian.

Gambar 2. Nodes (Sumber : ESRI ArcGIS 9.x Desktop Help)

2. Edges

Setiap nodes adalah selalu saling menyambung dengan nodes lain yang berada di

dekatnya dengan menggunakan edges hingga menjadi sebuah bentuk segitiga, yang mana

segitiga ini akan sesuai dengan kriteria segitiga seperti yang disyaratkan oleh Delauney.

Setiap edges memiliki dua buah nodes, akan tetapi setiap nodes boleh jadi memiliki dua atau

lebih edges. Dikarenakan setiap edges hanya mempunyai sebuah nodes dengan sebuah nilai z

pada setiap ujungnya, adalah tidak mungkin manakala digunakan untuk menghitung lereng

sepanjang edges.

Gambar 3. Edges (Sumber : ESRI ArcGIS 9.x Desktop Help)

Setiap input data yang digunakan untuk membuat TIN akan selalu berkesesuaian

dengan tipe permukaannya. Breakline biasanya ditampilkan dengan menggunakan edges pada

segitiga TIN. Hal ini biasanya terbentuk secara kasar atau halus secara otomatis pada bentuk

edges.

3. Triangles

Setiap sisi dari segitiga TIN menggambarkan keadaan permukaan. Setiap koordinat x,

y dan nilai z yang terdapat pada tiap segitiga dapat digunakan untuk membaca informasi

kelerengan, arah hadap lereng, area permukaan, dan luasnya. Dengan mempertimbangkan

komposisi dari kumpulan segitiga ini, adalah sangat tidak mungkin untuk menurunkan

informasi mengenai permukaan, termasuk didalamnya volume, profil dan analisis visibilitas.

Gambar 4. Triangles (Sumber : ESRI ArcGIS 9.x Desktop Help)

4. Hull

Hull yang ada pada TIN terjadi karena satu atau lebih poligon yang berisi sejumlah

data titik yang digunakan untuk membuat TIN. Hull dapat membantu untuk

menginformasikan daerah mana saja yang diinterpolasi oleh TIN. Pada hull dimungkinkan

untuk melakukan interpolasi permukaan dengan nilai z, menganalisis, dan menampilkan

generalisasi permukaan. Sedangkan diluar hull, tidak dimungkinkan untuk menampilkan

informasi mengenai permukaan. Hull dapat dibentuk oleh satu atau lebih poligon, yang mana

bentuknya dapat beragam.

Sebuah bentuk hull yang tidak cembung harus diperbaiki dengan menggunakan Clip

dan Erase. Fitur ini sekaligus menampilkan edge dari permukaan. Ketika sebuah exclusion

feature (clip and erase) digunakan untuk mendefinisikan hull, TIN akan membentuk sebuah

hull yang cembung untuk membatasi edge dari sebuah TIN. Hull yang cembung adalah

sebuah poligon dengan ciri setiap garis akan menghubungkan dua buah titik dari TIN.

Sedangkan definisi dari hull yang tidak cembung adalah untuk meminimalisir informasi yang

salah dari sebuah area yang tidak diinterpolasi, sehingga kesalahan informasi tersebut tidak

ikut termasuk ke dalam area yang diinterpolasi.

Gambar 5. Hull (Sumber : ESRI ArcGIS 9.x Desktop Help)

Tanpa penggunaan clip, nilai ketinggian yang salah akan ikut diinterpolasi seperti

tampak pada area yang diarsir.

5. Topology

Struktur topology dari TIN dapat didefinisikan sebagai informasi dari setiap nodes,

edge, tipe dan batasannya dengan segitiga yang berada di sebelahnya. Untuk setiap segitiga

yang dibentuk oleh TIN, sedikitnya akan menyimpan enam informasi :

1. Jumlah segitiga

2. Urutan dari setiap segitiga

3. Tiga buah nodes yang membentuk segitiga tersebut

4. Koordinat x dan y dari setiap nodes tersebut

5. Nilai z dari setiap nodes

6. Tipe dari edges (halus atau kasar)

Sebagi tambahan, setiap TIN akan berisi daftar dari seluruh edges yang membentuk

hull dari TIN tersebut dan mendefinisikan informasi dari proyeksi yang digunakan oleh TIN

serta unit pengukurannya.

Dikarenakan setiap titik dapat ditempatkan secara tidak beraturan pada permukaan,

TIN akan menghasilkan resolusi yang tinggi pada area yang mempunyai variasi ketinggian

yang beragam dan resolusi yang rendah pada area dengan variasi ketinggian yang sejenis.

TIN mempunyai tipikal yang dapat digunakan untuk permodelan dengan presisi yang tinggi

pada area yang kecil, seperti pada aplikasi keteknikan, dimana mereka kebanyakan memakai

TIN pada planimetric area, area permukaan dan volume.

Topo to Raster

Topo to raster adalah metode interpolasi yang dibuat secara spesifik untuk membuat

DEM dalam kajian hidrologi. Metode interpolasi ini berbasis pada program ANUDEM,

sebuah program yang dibuat oleh seorang bernama Michael Hutchinson pada tahun 1988

hingga 1989.

Proses Interpolasi

Prosedur interpolasi telah dirancang untuk mengetahui nilai ketinggian dari input data

yang ada dan dari karakterisktik ketinggian permukaan yang diketahui. Metode ini

menggunakan iterasi dari teknik intepolasi secara berbeda. Metode ini dapat berlaku optimal

untuk menghitung keefisienan dari metode interpolasi lokal, seperti inverse distance weigthed

(IDW), tanpa meninggalkan kontiyuitas permukaan seperti yang terdapat pada metode

interpolasi global, yakni kriging dan spline. Pada dasarnya, ia lebih mirip spline (Wahba,

1990), dimana kekasaran permukaan telah diubah untuk mengikuti DEM yang dibentuk,

yakni dengan mengikuti bentukan igir dan alur sungai yang ada. Metode ini juga merupakan

satu – satunya metode interpolasi pada ArcGIS yang secara spesifik didesain untuk

melakukan interpolasi dengan kontur sebagai data input.

Topo to raster menggunakan metode interpolasi multiresolusi, memulai interpolasi

dari raster yang kasar kemudian berangsur – angsur menjadi lebih halus hingga resolusi

maksimal tercapai. Setiap interpolasi yang dilakukan pada masing – masing resolusi dari tiap

kondisi drainase akan menampilkan jumlah sisa dari depresi, yang mana hal ini terekam pada

diagnostic file.

Gambar 6. Proses Iterasi (Pengulangan) (Sumber : ESRI ArcGIS 9.x Desktop Help)

Input data Topo to Raster terdiri dari bermacam jenis, yakni point, contour, stream,

boundary, sink dan lake.

a. Point

Point atau titik dalam topo to raster adalah titik ketinggian yang memiliki informasi

ketinggian atau yang lebih dikenal dengan z values.

b. Contour

Kontur atau garis khayal yang menghubungkan surface pada ketinggian yang sama

pada Topo to Raster juga dijadikan sebagai sumber data ketinggian dikarenakan memiliki

informasi nilai ketinggian.

c. Stream

Topo to Raster akan mendeteksi stream sebagai arus sungai yang mempunyai tipe

data line. Setiap lekukan stream, akan diidentifikasi oleh Topo to Raster dalam pembuatan

DEM.

d. Boundary

Boundary adalah batasan wilayah yang akan diinterpolasi oleh Topo to Raster. Pada

penelitian ini boundary ditentukan dengan batas kelas kemiringan lereng.

e. Sink

Sink yang ada pada Topo to Raster diidentifikasi sebagi depresi topografi. Pada

kenyataan, depresi topografi ini bisa saja berbentuk seperti sumur.

f. Lake

Lake biasa diartikan dengan danau. Akan tetapi pada Topo to Raster, Lake akan

diartikan sebagai area topografi minimum pada suatu wilayah. Pada penelitian ini, tipe data

sungai poligon diidentifikasi sebagai lake, dikarenakan juga merupakan area dengan

topografi minimum.

Cara Penilaian Kuantitatif dan Kualitatif

Penilaian kuantitatif dilakukan dengan menggunakan rumus statistik, dimana akan

mengukur RMSE (Root Mean Square Error), Standar Deviasi dan Rata – rata absolut :

1. RMSE

RMSE = (𝑍𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 .𝑖−𝑍 𝑑𝑒𝑚 .𝑖)²

𝑛−1 𝑛𝑖=1

dimana :

RMSE : Root Mean Square Error

Zground.i : elevasi ground pada titik i

Zdem.i : elevasi DEM pada titik i

2. Rata – rata absolut

ΔZ = 𝑍𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 .𝑖−𝑍𝑑𝑒𝑚 .𝑖 𝑛𝑖−1

𝑁

dimana :

ΔZ : rata rata absolut

Zground.i : elevasi ground pada titik i

Zdem.i : elevasi DEM pada titik i

N : jumlah titik

3. Standar deviasi

σ = ( 𝑍𝑔𝑟𝑜𝑢𝑛𝑑 .𝑖−𝑍𝑑𝑒𝑚 .𝑖 − 𝛥𝑍)²

𝑛−1𝑛𝑖=1

dimana :

σ : standar deviasi

Zground.i : elevasi ground pada titik i

Zdem.i : elevasi DEM pada titik i

Adapun penilaian kualitatif lebih cenderung kepada subyektifitas peneliti atau

pengamat. Penelitian kualitatif dilakukan pada perspektif 3D, arah hadap lereng, hillshade,

dan profiling yang ditampilkan oleh masing – masing DEM.

IV. Hasil dan Pembahasan

Pengukuran model kuantitatif dilakukan dari DEM yang dibuat oleh masing – masing

metode interpolasi. Pengukuran dilakukan pada akurasi vertikal pada sebuah titik acuan (z

ground) dan nilai elevasi DEM (z DEM) dengan menggunakan rumus RMSE, Rata – Rata

Absolut dan Standar Deviasi. Jumlah titik yang dijadikan sampel akurasi adalah sebanyak 47

titik. Sebaran titik diambil dengan memperhatikan kelas kemiringan lereng, semakin terjal

topografi maka semakin banyak pula titik yang dijadikan acuan. Tabel 1 akan menunjukkan

hasil pengukuran masing – masing metode interpolasi pada tiap kelas kemiringan lereng.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Metode Interpolasi di Tiap Kelas Lereng

Metode Interpolasi

RMSE (m)

I II III IV V VI

TIN 4,14 5,83 3,49 6,65 7,96 7,44

Topo to Raster 2,41 4,20 2,82 8,68 14,93 18,36

Standar Deviasi (m)

I II III IV V VI

TIN 17,81 15,74 11,723 37,28 42,73 54,53

Topo to Raster 5,99 15,48 5,763 42,39 159,48 177,44

Rata - Rata Absolut (m)

I II III IV V VI

TIN 13,74 27,23 10,67 39,35 57,07 49,85

Topo to Raster 4,65 14,13 6,96 67,08 200,63 303,53

Sumber : Hasil perhitungan, 2011

2. Model Kualitatif

Menampilkan DEM dari setiap metode interpolasi dengan tujuan melakukan

pengamatan secara visual untuk menentukan metode mana yang paling sesuai dengan

kenyataan. Hasil tampilan DEM terdapat pada gambar X.X.

Secara keseluruhan melalui perhitungan matematis dengan menggunakan rumus yang

ada, maka tingkat akurasi DEM yang paling tinggi adalah TIN, akan tetapi karena bahasan

penelitian ini adalah per kelas lereng, maka penentuan metode interpolasi dilakukan per kelas

lereng. Secara kuantitatif, Topo to Raster lebih baik pada kelas kemiringan lereng I hingga

kelas kemiringan lereng III dan TIN pada kelas kemiringan lereng IV hingga kelas

kemiringan lereng VI.

Sedangkan untuk penilaian kualitatif pada penilaian ini menunjukkan pada kelas

kemiringan lereng I hingga III, TIN dan Topo to Raster adalah sama baiknya. Sedangkan

pada kelas kemiringan lereng IV hingga kelas kemiringan lereng VI metode yang lebih baik

dalam menampilkan perspektif 3D adalah Topo to Raster.

Dengan melihat kedua pertimbangan diatas, maka disimpulkan bahwa, Topo to Raster

adalah lebih baik digunakan pada berbagai macam kelas kemiringan lereng dibandingkan

dengan TIN. Pada kelas kemiringan lereng I hingga kelas kemiringan lereng III, Topo to

Raster memiliki akurasi yang tinggi dan perspektif 3D yang baik dibanding TIN, sedangkan

pada kelas kemiringan lereng IV hingga kelas kemiringan lereng VI, Topo to Raster memang

tidak terlalu akurat dibandingkan TIN akan tetapi perspektif 3D yang dihasilkan jauh lebih

baik.

Surface Hill Shading Perspektif 3D

TIN

Top

o t

o R

aste

r

Aspect Profiling

TIN

Top

o t

o R

aste

r

V. Kesimpulan dan Manfaat

1. RMSE Topo to Raster lebih kecil dibandingkan TIN pada kelas kemiringan lereng I –

III, sedangkan RMSE TIN lebih kecil dibandingkan TIN lebih kecil dibandingkan

TIN pada kelas kemiringan lereng IV – VI

2. Visualisasi DEM oleh Topo to Raster lebih baik daripada TIN.

VI. Daftar pustaka

Burrough, P.A. 1986. Principles of Geographical Information Systems for Land Resources

Assessment. USA : Clarendon Press-Oxford.

Environmental System Research Institute. ArcGIS 9.x Desktop Help.

Istarno. 2011. Pembentukan Model Elevasi Digital Dari Data Lidar dan Interpretabilitasnya

Untuk Obyek Tutupan Lahan di Daerah Koridor Nganjuk-Kertosono. Yogyakarta :

Ringkasan Disertasi Promosi Doktoral Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada.

Li, Zhilin, Qing Zhu, Christopher Gold. 2005. Digital Terrain Modelling : Principles and

Methodology. USA : CRC Press.

Mariana, Dhina. 2004. Akurasi Metode Interpolasi Pada Pembentukan Model Elevasi Digital

Untuk Memperoleh Informasi Unsur Relief. Yogyakarta : Skripsi Fakultas Geografi,

Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh, Universitas Gadjah Mada.

Mutiara, Ira. 2004. Konsep Pengukuran dan Kesalahan. Modul Pengukuran dan Pemetaan

Kota. Surabaya. FTSP – ITS.

Nugroho, Daniel Adi. 2003. Pembuatan Model Permukaan Digital dari Sumber Citra Aster

Secara Semi Otomatis. Yogyakarta : Skripsi Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Geodesi,

Universitas Gadjah Mada.

Pramono, Gatot H. Akurasi Metode IDW dan Kriging Untuk Interpolasi Sebaran Sedimen

Tersuspensi. Jurnal Forum Geografi. Vol. 22 : No. 1, Juli 2008, Hal : 97 – 110.

BIOGRAFI

Seftiawan S. Rijal, lahir pada 2 September 1990 di Balikpapan. Mengawali

pendidikan tinggi pada Program Diploma III SIG dan PJ Fakultas Geografi

UGM. Semasa kuliah pernah aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan.

Kini sedang melanjutkan kuliah jenjang sarjana di Program Extensi

Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Aktif menulis

paper pada seminar geospasial yang diadakan oleh UMS, UNS, seminar

TIK yang diadakan UDINUS Semarang dan International Conference –

ACIKITA Foundation.