dekade kedua - menengok ke belakang, menatap ke depan · alam sebuah makalah kebijakan yang...

8
D alam sebuah makalah kebijakan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum, Islam, dan Masyarakat Indonesia di Universitas Melbourne, Cate Sumner dan Nani Zulminarni menggambarkan sebuah kolaborasi satu dekade yang telah mengantarkan lebih dari satu juta perempuan Indonesia untuk mengakses Pengadilan Agama. Mereka juga mempertimbangkan berbagai elemen yang telah berkontribusi pada hasil yang dicapai, hal-hal terpenting bagi program-program yang memprioritaskan akses perempuan kepada keadilan dan, khususnya, akses kepada sistem peradilan formal. Salah satu temuan utama dari penelitian awal yang dilakukan dengan dukungan DFAT melalui Indonesia Australia Legal Development Facility (IALDF) ini selain jarak ke dan biaya proses di Pengadilan Agama, hambatan lainnya terkait kemampuan pengadilan dalam memberikan informasi yang jelas bagi masyarakat miskin yang buta huruf atau hanya lulus sekolah dasar. Dekade Kedua - Menengok ke Belakang, Menatap ke Depan: Akses Perempuan ke Pengadilan Agama di Indonesia Cate Sumner dan Nani Zulminarni 1 Paparan disampaikan dalam University and Community Paralegal Clinics in Indonesia dalam International Journal of Clinical Legal Education Conference, yang diselenggarakan oleh Monash University, 28-30 November 2018. 1

Upload: others

Post on 20-Feb-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dekade Kedua - Menengok ke Belakang, Menatap ke Depan · alam sebuah makalah kebijakan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum, Islam, dan Masyarakat Indonesia di Universitas Melbourne,

Dalam sebuah makalah kebijakan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum, Islam, dan Masyarakat Indonesia di Universitas Melbourne, Cate Sumner dan Nani Zulminarni menggambarkan

sebuah kolaborasi satu dekade yang telah mengantarkan lebih dari satu juta perempuan Indonesia untuk mengakses Pengadilan Agama. Mereka juga mempertimbangkan berbagai elemen yang telah berkontribusi pada hasil yang dicapai, hal-hal terpenting bagi program-program yang memprioritaskan akses perempuan kepada keadilan dan, khususnya, akses kepada sistem peradilan formal.

Salah satu temuan utama dari penelitian awal yang dilakukan dengan dukungan DFAT melalui Indonesia Australia Legal Development Facility (IALDF) ini selain jarak ke dan biaya proses di Pengadilan Agama, hambatan lainnya terkait kemampuan pengadilan dalam memberikan informasi yang jelas bagi masyarakat miskin yang buta huruf atau hanya lulus sekolah dasar.

Dekade Kedua - Menengok ke Belakang, Menatap ke Depan: Akses Perempuan ke Pengadilan Agama di Indonesia

Cate Sumner dan Nani Zulminarni

1

Paparan disampaikan dalam University and Community Paralegal

Clinics in Indonesia dalam International

Journal of Clinical Legal Education Conference, yang diselenggarakan

oleh Monash University, 28-30 November 2018.

1

Page 2: Dekade Kedua - Menengok ke Belakang, Menatap ke Depan · alam sebuah makalah kebijakan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum, Islam, dan Masyarakat Indonesia di Universitas Melbourne,

Selama 20 tahun terakhir, jumlah penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan telah menurun drastis dari hampir 50 juta jiwa menjadi hampir 28 juta, atau dari 24 persen menjadi 11 persen dari populasi. Namun, biaya untuk mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama besarnya sekira Rp 441.0001 atau 122 persen dari pendapatan bulanan penduduk yang hidup di garis kemiskinan yaitu sebesar Rp 361.990 (US $ 27) (BPS, 2017). Ini adalah penghalang yang signifikan, karena sekitar 40 persen penduduk Indonesia tetap rentan untuk jatuh ke dalam kemiskinan, karena pendapatan mereka hanya sedikit di atas garis kemiskinan nasional.2

Dalam 10 tahun terakhir, dua perubahan signifikan telah terjadi di Indonesia. Yang pertama adalah penetapan kebijakan dan anggaran yang memungkinkan tersedianya layanan penasihat hukum gratis di Pengadilan Agama seluruh Indonesia. Yang kedua berkaitan dengan munculnya layanan paralegal yang ditawarkan oleh universitas dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), seperti OMS pemberdayaan perempuan PEKKA, yang melatih non-pengacara untuk mendampingi perkara tertentu di tingkat desa.

Layanan konsultasi hukum gratis di Pengadilan Agama baru berjalan pada 2011, ketika 69 Pengadilan Agama memberikan ruang bagi penyedia bantuan hukum independen untuk membantu klien yang membawa perkara hukum keluarga mereka ke pengadilan. Pada 2019, 244 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia akan memiliki pendanaan bagi penyediaan layanan penasihat hukum yang bebas dan independen. Tujuh dari sepuluh perkara yang dibawa ke Pengadilan

1 <http://pa-bandung.go.id/biaya-perkara>2 <https://www.worldbank.org/en/country/indone-

sia/overview>

Agama diajukan oleh pihak perempuan3 namun mereka kurang mendapatkan akses pendanaan yang dibutuhkan untuk membayar biaya pengadilan atau untuk melakukan perjalanan ke ibukota kabupaten di mana pengadilan berada, sehingga pembebasan biaya perkara dan layanan sidang keliling Pengadilan Agama sangat bermanfaat bagi mereka, di samping layanan penasihat hukum gratis yang disediakan di pengadilan.

Bersamaan dengan itu, klinik bantuan hukum di universitas dan OMS mulai melatih mahasiswa dan paralegal untuk memberikan bantuan kepada klien Pengadilan Agama dalam mengisi formulir pengadilan dan menyusun dokumen yang diperlukan untuk mengajukan perkara.

Sejak 2010, paralegal PEKKA sudah dapat memberikan informasi dan bantuan hukum di 20 provinsi. Mereka telah mendampingi lebih dari 150.000 orang dengan masalah hukum keluarga untuk mendapatkan dokumen identitas hukum dan mengakses program perlindungan sosial tertentu.

PEKKA mengidentifikasi anggota organisasi yang ingin bekerja sebagai paralegal, kemudian melatih mereka untuk memberikan pendampingan dalam perkara hukum keluarga dan dokumen identitas hukum. PEKKA, didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ). Dukungan hadir berupa pembiayaan perjalanan PEKKA untuk mengunjungi desa dan kota dimana Pengadilan, Kantor Urusan Agama dan Catatan Sipil berada.

PEKKA mengamati bagaimana pelatihan paralegal di daerah-daerah terpencil di Indonesia ini bukan hanya mendampingi

3 Pada 2017, 60% perkara yang diajukan ke Penga-dilan Agama dilakukan oleh perempuan sendiri, dan 12% lainnya diajukan bersama dengan pasangan mereka. Laki-laki secara pribadi mengajukan 26% perkara di Pengadilan Agama.

2

Page 3: Dekade Kedua - Menengok ke Belakang, Menatap ke Depan · alam sebuah makalah kebijakan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum, Islam, dan Masyarakat Indonesia di Universitas Melbourne,

penyelesaian masalah hukum perempuan dan sebagai saluran untuk membantu mereka mengakses sistem peradilan formal. Namun juga merupakan pemberdayaan perempuan baik bagi perempuan paralegal maupun yang dibantu, karena secara bersama-sama mereka berhasil menemukan solusi terhadap perkara hukum keluarga atau masalah lain, yang sebelumnya berada di luar kemampuan mereka.

Dekade pertama kolaborasi lebih berfokus pada pemahaman berbagai hambatan yang dihadapi perempuan dalam mengakses Pengadilan Agama dan menerapkan perubahan kebijakan serta anggaran untuk mengatasinya. Makalah ini berpendapat bahwa dekade kedua perlu lebih berfokus pada kualitas hasil capaian untuk perempuan dalam masalah hukum keluarga mereka, dan data yang diperlukan untuk mengukur hal ini.

Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) melanjutkan keterlibatannya dengan mitra-mitra utama Indonesia melalui dukungannya terhadap:

• Kelompok Kerja Mahkamah Agungtentang Perempuan dan Anak-anak dan peran pentingnya dalammembimbing lembaga peradilanuntuk menegakkan prinsip-prinsipkesetaraan gender yang progresifdalam keputusan mereka, melaluiPeraturan Mahkamah Agung No.3 tahun 2017 tentang PedomanMengadili Perkara PerempuanBerhadapan dengan Hukum.

• Peningkatan pengumpulan, analisis,dan publikasi dari data terpilahberdasarkan jenis kelamin olehMahkamah Agung dan yurisdiksi yangdiawasinya.

• Keterlibatan dengan KementerianAgama dan Pengadilan Agama untukmeningkatkan transparansi datatentang pernikahan terdaftar untuklebih memahami kesulitan yangdihadapi di daerah terpencil dalammendaftarkan pernikahan padasaat yang sama dengan upacarakeagamaan.

• Keterlibatan dengan PEKKA dan OMSperempuan lain serta MahkamahAgung untuk lebih memahami hasilcapaian bagi perempuan dan anakperempuan dalam kasus perceraiandan dispensasi pernikahan mereka,dan mempertimbangkan bagaimanameningkatkannya dalam dekademendatang.

• Mendukung keterlibatan setaradari Pengadilan Keluarga Australiadan Mahkamah Agung, termasukyurisdiksi yang diawasinya, dalammendukung hasil capaian yang lebihbaik bagi perempuan dan anak-anakdalam persidangan perkara hukumkeluarga mereka.

Makalah kebijakan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum, Islam, dan Masyarakat Indonesia Universitas Melbourne berjudul Dekade Kedua - Menengok ke Belakang, Menatap ke Depan: Akses Perempuan ke Pengadilan Agama di Indonesia dapat dibaca selengkapnya di sini:

http://bit.ly/cilispaperpekkacatesumner

33

Page 4: Dekade Kedua - Menengok ke Belakang, Menatap ke Depan · alam sebuah makalah kebijakan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum, Islam, dan Masyarakat Indonesia di Universitas Melbourne,

Akses Keadilan bagi Masyarakat Miskin di DesaOleh: Nani Zulminarni

Executive Director, PEKKA

Thomas kecil (2 tahun) datang dengan Ina Theresa sang nenek yang merupakan anggota Serikat PEKKA NTT untuk mengurus akte kelahirannya di KLIK-PEKKA (Klinik Bantuan Hukum Keliling- PEKKA) yang hari itu mulai di luncurkan di Pulau Adonara, Flores Timur. Ibu Thomas telah meninggal dunia ketika melahirkannya. Ayahnya bekerja di Batam dan hanya pulang sesekali. Thomas hidup bersama sang nenek yang dengan segala keterbatasannya mencoba memenuhi segala kebutuhan Thomas. Kesadaran akan pentingnya akte kelahiran bagi Thomas mengantarkan sang nenek ke KLIK-PEKKA. Pemahaman akan hal ini diperoleh sang Nenek melalui kegiatan pemberdayaan hukum PEKKA.

4

Page 5: Dekade Kedua - Menengok ke Belakang, Menatap ke Depan · alam sebuah makalah kebijakan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum, Islam, dan Masyarakat Indonesia di Universitas Melbourne,

Ina Theresa dan Inaq Sinamah adalah potret muram jutaan perempuan kepala keluarga miskin yang didampingi oleh PEKKA selama ini. Tidak kurang 68% perempuan kepala keluarga miskin melakukan pernikahan tanpa mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Sementara itu hanya sekitar 25% anak dikeluarga miskin yang memiliki akte kelahiran (SPKBK-PEKKA 2012). Ketiadaan identitas hukum keluarga seperti akte nikah dan akte lahir bukanlah kesalahan mereka melainkan kontribusi dari berbagai faktor yang saling berkelindan. Ketidakfahaman akan pentingnya memiliki dokumen identitas hukum, tidak difahaminya prosedur untuk pengurusan, jauhnya akses layanan serta biaya yang tidak murah, telah menjauhkan mereka dari keinginan untuk memiliki dokumen-dokumen penting ini.

Sementara itu, Inaq Sinamah, 50 tahun, mendatangi KLIK PEKKA di Gerung, Lombok, Nusa Tenggara Barat, guna mengkonsultasikan persoalannya. Beliau sudah 10 tahun bercerai, namun karena tidak pernah memiliki surat nikah perceraian ini juga hanya berlangsung begitu saja tanpa surat menyurat. Suaminya menikah lagi dan pergi begitu saja meninggalkan Inaq Sinamah dengan tanggungan 4 orang anak. Saat ini anaknya yang paling kecil berumur 20 tahun sedang membutuhkan akte kelahiran untuk keperluan pendidikannya. Untuk itulah dia berharap mendapatkan arahan dari paralegal PEKKA di KLIK PEKKA apa yang harus dia lakukan agar anaknya mendapatkan akte kelahiran yang dibutuhkan.

5

Page 6: Dekade Kedua - Menengok ke Belakang, Menatap ke Depan · alam sebuah makalah kebijakan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum, Islam, dan Masyarakat Indonesia di Universitas Melbourne,

Sementara itu, di wilayah-wilayah pedesaan praktek nikah secara adat dan agama tanpa mencatatkannya pada lembaga pemerintah yang berwenang, terjadi secara merata. Mahalnya biaya pernikahan yang tercatat serta masih kuatnya keyakinan akan syah nya pernikahan secara adat dan agama, menyebabkan sebagian besar masyarakat memilih melaksanakan pernikahan secara agama dan adat saja. Hal ini mengakibatkan munculnya berbagai persoalan yang tidak hanya terkait dokumen kependudukan lainnya namun juga terkait kehidupan keluarga. Perkawinan yang tidak dicatatkan umumnya merugikan perempuan karena tidak memiliki perlindungan hukum atas perkawinannya. Suami dapat leluasa melakukan poligami, pengabaian, bahkan menceraikan istri dengan semena-mena. Selain itu, anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat akan sulit mendapatkan akte kelahiran.

Proses pengorganisasian yang dilakukan langsung di komunitas PEKKA selama ini mengantarkan PEKKA pada kenyataan bahwa kemiskinan dan keterpinggiran komunitas PEKKA dan perempuan lainnya di wilayah kerja PEKKA ternyata juga berkaitan langsung dengan persoalan hukum khususnya hukum keluarga. Padahal pendekatan pengentasan kemiskinan selama ini tidak pernah secara langsung dikaitkan dengan akses hukum keluarga. Pilihan memfasilitasi komunitas PEKKA dan keluarganya untuk mengakses identitas hukum seperti akte kelahiran, akte nikah dan akte cerai merupakan pendekatan pemberdayaan hukum yang dapat dilakukan PEKKA karena masih dalam ranah perdata. Jaringan kerja dengan pemangku kepentingan penegakan hukum, cukup efektif dalam membantu paralegal PEKKA mengakses berbagai layanan bagi komunitasnya termasuk sidang keliling untuk itsbat nikah dan layanan satu atap lainnya.

6

Page 7: Dekade Kedua - Menengok ke Belakang, Menatap ke Depan · alam sebuah makalah kebijakan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum, Islam, dan Masyarakat Indonesia di Universitas Melbourne,

Kerja pemberdayaan hukum di PEKKA tidak terlepas dari kerangka upaya reformasi hukum di Indonesia. Salah satunya adalah dalam bentuk kerjasama Indonesia dengan Australia melalui program penguatan hukum. Diawali dengan keterlibatan PEKKA dalam survei tentang akses dan kesetaraan dalam peradilan agama yang difasilitasi oleh Indonesia Australia Legal Development Facility (IALDF) tahun 2006, persoalan pelik akses keadilan komunitas PEKKA menemukan jalan dan polanya.

Survei ini sendiri menggaris bawahi enam temuan penting bagi PEKKA: 1. Bagi komunitas PEKKA menyelesaikan masalah keluarga melalui

pengadilan agama memberikan kepastian hukum. Dalam kasus perceraian, keputusan pengadilan agama juga menjelaskan tanggung jawab hukum terhadap dukungan keuangan bagi anak-anak yang lahir dalam pernikahan mereka.

2. Namun demikian, komunitas PEKKA menghadapi kendala yang berarti dalam membawa masalah hukum keluarga mereka ke Pengadilan Agama. Sebagai akibatnya 96% komunitas PEKKA yang memiliki persoalan hukum keluarga tidak membawa kasus mereka ke pengadilan agama.

3. Hambatan utama yang dihadapi oleh komunitas PEKKA sebagai kelompok termiskin dalam masyarakat adalah terkait dengan biaya perkaya dan biaya transportasi untuk menjangkau pengadilan dan pemenuhan persyaratan. 98% komunitas PEKKA mengatakan akan membawa perkara ke pengadilan agama jika dilakukan di dekat tempat tinggal mereka.

7

Page 8: Dekade Kedua - Menengok ke Belakang, Menatap ke Depan · alam sebuah makalah kebijakan yang diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum, Islam, dan Masyarakat Indonesia di Universitas Melbourne,

4. Akibatnya kerap terjadi proses perkawinan dan perceraian yang tidaksesuai kaedah hukum di Indonesia khususnya bagi komunitas PEKKAyang sangat miskin. Mereka kemudian mengalami kesulitan danhambatan dalam mendapatkan identitas hukum yang menjadi hak nyasebagai warga negara

5. Hambatan sekunder yang dihadapi oleh komunitas PEKKA dalammengakses Pengadilan Agama berkaitan dengan akses informasi yangjelas karena sebagian besar mereka buta huruf.

6. Keberadaan Forum Pemangku Kepentingan akses keadilan yangdikembangkan PEKKA telah sangat membantu komunitas PEKKAmendapatkan akses layanan pengadilan agama untuk menyelesaikanmasalah mereka.

Sebagai tindak lanjut survei, PEKKA memperkuat program pemberdayaan hukum untuk memfasilitasi komunitas PEKKA dan masyarakat miskin di wilayah kerja PEKKA mendapatkan manfaat maksimal dari proses pembaharuan Pengadilan Agama. Salah satu instrumen yang dikembangkan PEKKA melalui program pemberdayaan hukumnya adalah KLIK-PEKKA; Klinik Layanan Informasi dan Konsultasi Hukum Bergerak. KLIK-PEKKA diadakan setelah melihat tingginya kebutuhan masyarakat terhadap informasi hukum. KLIK-PEKKA berlangsung di wilayah desa-desa terpencil untuk melayani konsultasi dan informasi hukum pada masyarakat miskin. Sifat pelayanannya adalah bergerak karena dilakukan bergiliran dan berpindah-pindah (mobile) dari satu desa ke desa lain.

KLIK - PEKKA

8