definisi siyasah

95
Definisi Siyasah Politik dalam bahasa arab biasa disebut dengan siyasah. Siyasah berasal dari kata assasa yang berarti dasar-dasar atau pondasi. Ataupun di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Dalam perspektif islam, siyasah adalah pengaturan urusan-urusan masalah dalam dan luar negeri berdasarkan hukum-hukum islam. Politik ini dilaksanaakan secara langsung oleh Negara islam dan khilafah dan diawasi oleh individu dan kelompok rakyat. (lihat Takiyudin An-nabhani, Mafahim siyasiyah li Hizb Al tahrir hal.1). Pada awalnya, makna siyasah (politik) adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan yang dilakukan oleh kaum kafir kepada kaum muslim. Untuk itu perlunya mengetahui akan apa yang dilakukan oleh seorang penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslim, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini

Upload: abdul-rauf

Post on 02-Aug-2015

476 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Definisi Siyasah

Definisi Siyasah

Politik dalam bahasa arab biasa disebut dengan siyasah. Siyasah berasal dari kata assasa yang berarti dasar-dasar atau pondasi. Ataupun di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).

 

Dalam perspektif islam, siyasah adalah pengaturan urusan-urusan masalah dalam dan luar negeri berdasarkan hukum-hukum islam. Politik ini dilaksanaakan secara langsung oleh Negara islam dan khilafah dan diawasi oleh individu dan kelompok rakyat. (lihat Takiyudin An-nabhani, Mafahim siyasiyah li Hizb Al tahrir hal.1).

 

Pada awalnya, makna siyasah (politik) adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan yang dilakukan oleh kaum kafir kepada kaum muslim. Untuk itu perlunya mengetahui akan apa yang dilakukan oleh seorang penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslim, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :

“Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim)

 

Sistem Politik, Kekuasaan dan Pemerintahan IslamIslam dan KekuasaanOrientasi utama yang terkait dengan masalah kekuasaan ialah menegaknya hukum-hukum Allah

Page 2: Definisi Siyasah

di muka bumi. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan tertinggi ialah kekuasaan Allah. Sementara, manusia pada dasarnya sama sekali tidak memiliki kekuasaan. Tugas manusia di muka bumi ini adalah sebagai wakil Allah di muka bumi. Manusia bertugas mengatur, membangun, serta memelihara bumi. Oleh karena itu segala aspek-aspek kehidupan pun harus sesuai dengan ketentuan Allah, termasuk pula dalam masalah umat yang terjadi

Dalam hubungannya dengan kekuasaan manusia di muka bumi, manusia diberikan wewenang untuk menjadi pemimpin di bumi yang menjalankan tugas sebagai seorang khalifah. Menjadikan adanya seorang pemimpin yang mengatur kehidupan umat maupun mengatasi masalah umat secara adil dan bijaksana sesuai syariat islam.Islam sangat menentang adanya penguasaan mutlak seorang manusia atas manusia yang lain, karena yang demikian ini bertentangan dengan kalimat taqwa: Laa ilaha illallah yang telah membebaskan manusia dari segenap thaghut (tiran). Sehingga, kekuasaan manusia yang menentang hukum-hukum Allah adalah tidak sah.

 

Tujuan Siyasah dalam IslamIslam memandang kehidupan dunia sebagai ladang bagi kehidupan akhirat. Kehidupan dunia harus diatur seapik mungkin sehingga manusia bisa mengabdi kepada Allah secara lebih sempurna. Tata kehidupan di dunia tersebut harus senantiasa tegak diatas aturan-aturan islam. Konsep ini sering dianggap mewakili tujuan siyasah dalam Islam : iqamatud din (hirasatud din) wa siyasatud dunya (menegakkan din dan mengatur urusan dunia).

 

Hubungan antara Islam dan PolitikIslam merupakan agama yang mencakup keseluruhan sendi kehidupan manusia (syamil). Islam bukanlah sekedar agama kerahiban yang hanya memiliki prosesi-prosesi ritual dan ajaran kasih-sayang . Islam bukan pula agama yang hanya mementingkan aspek legal formal tanpa

Page 3: Definisi Siyasah

menghiraukan aspek-aspek moral. Politik, sebagai salah satu sendi kehidupan, dengan demikian juga diatur oleh Islam. Akan tetapi, Islam tidak hanya terbatas pada urusan politik. Namun juga mencakup seluruh aspek – aspek kehidupan manusia.

Home Profil Galeri Foto Galeri Video Kontak

Berita Khazanah Islam Mutiara Kalam

o KH. M. Hasyim Asy'ari o KH. A. Wahid Hasyim o KH. M. Yusuf Hasyim o KH. Ishomuddin Hadzik o KH. Abdurrahman Wahid

Uswah Muslimah Tanya Jawab Pengumuman Pojok Tebuireng

Home »  KH. Ishomuddin Hadzik »  Fiqh Siyasah dan Budaya Politik NU

Fiqh Siyasah dan Budaya Politik NU

Page 4: Definisi Siyasah

Sabtu, 30 Juni 2012 12:18:38 - Oleh : admin - Dibaca : 657

Tebuireng.org - Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia yang memiliki puluhan juta massa, Nahdlatul Ulama (NU) nyaris selalu terlibat dalam setiap pergulatan politik. Dengan basis massa yang begitu besar, NU memang menggiurkan sebagai alat legitimasi politik, terlebih politik agama.

Sejak kelahirannya pada 1926, warna politik sudah kental melekat pada NU. Tetapi sebagai ormas keagamaan tradisional, kiprah politik NU tak lepas dari nilai- nilai dan norma-norma Islam yang secara baku dirumuskan dalam fiqh, termasuk untuk masalah-masalah politik dan kenegaraan. Tak heran jika kemudian muncul terminologi figh siyasah atau fiqh politik yang mendasari setiap keputusan politik NU.

Sayang, disiplin fiqh siyasah itu belum memperoleh perhatian serius. Di pusat-pusat studi Islam, Timur Tengah maupun Barat, literatur fiqh siyasah terhitung langka. Apalagi di Indonesia. Bahkan dari kalangan intelektual muslim pribumi, baru beberapa gelintir orang yang menunjukkan minat dan mau menulis mengenai hal itu. Misalnya Munawir Syadzali dengan bukunya Islam dan Tata Negara, A. Syafi'i Maarif yang membukukan disertasinya berjudul Islam dan Masalah Kenegaraan dan M. Ali Haidar yang menulis NU dan Islam di Indonesia.

 

Latar Belakang

Kurangnya minat terhadap kajian fiqh siyasah, barangkali di latarbelakangi kecenderungan para pemikir Islam masa lalu yang lebih menekankan bahasan-bahasan fiqh pada aspek ibadah secara

Page 5: Definisi Siyasah

rinci. Bahkan bahasan tentang aspek muamalah pun tak cukup lengkap, sehingga aspek siyasah praktis terabaikan.

Penekanan berlebihan pada aspek ibadah, seperti diungkapkan Abdurrahman Wahid, merupakan pengaruh dari tasauf yang berkembang setelah munculnya huru-hara politik yang menorehkan pengalaman traumatik. Konflik kekuasaan menyusul habisnya era al khulafa arrasyidin, telah melahirakan instabilitas politik di panggung para umara yang berebut naik ke puncak kekuasaan, sekaligus instabilitas teologi di pentas para ulama yang memunculkan beragama aliran aqidah dari yang lurus hingga yang sesat. Pengalaman pahit ini mendorong para tokoh Islam untuk mengembangkan kehidupan sufistik yang mengacu pada upaya pencapaian taraf spiritual tertinggi, misalnya melalui tarekat.

Di satu sisi, orientasi sufistik itu berdampak positif pada peningkatan kesalehan individual. Tetapi di sisi lain, muncul dampak negatif, yakni menurunnya kepeduliaan pada persoalan- persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melingkupi kehidupan umat. Dan fiqh pun terkena imbasnya. Padahal, seperti di katakan Sidney Jones, pandangan hidup dan tradisi pemikiran umat Islam cenderung fiqh sentris. Mereka mengkaji segala persoalan, termasuk persoalan-persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya dari kacamata fiqh seperti yang dilakukan para kiai NU melalui forum bahtsul masail.

Tentu saja tidak gampang memahami, apalagi mengimplementasikan, persoalan-persoalan tersebut melalui pendekatan fiqh. Tetapi untunglah bahwa para ulama cukup piawi dalam mensiasati kaidah-kaidahnya, sehingga pendekatan fiqh mampu mengakomodasikan pelbagai persoalan, termasuk masalah politik dan kenegaraaan.

 

Kecenderungan Akomodatif

Cukup banyak contoh yang dapat dikedepankan dalam kaitannya dengan ciri legal formal fiqh yang diimplementasikan secara akomodatif dalam persoalan siyasah itu. Kebanyakan memang diambil dari hasil kajian para kiai NU yang pada masa lalu sangat intensif terlibat dalam pergulatan politik.

Salah satu contoh ialah implikasi penerapan norma-norma fiqh dalam pandangan kenegaraan yang dianut mayoritas umat Islam. Mereka memandang bahwa kewajiban hidup bermasyarakat dan bernegara, merupakan hal yang tak bisa ditawar lagi. Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan kepada pemerintah sebagai sebuah mekanisme pengaturan hidup, terlepas dari perilaku penguasa dalam kapasitas pribadinya. Kesalahan tindakan atau keputusan pemerintah, tidak mengharuskan adanya perubahan sistem. Konsekuensinya ialah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan terhadap pemecahan alternatif yang memaksakan perubahan secara radikal.

Dengan demikian, perbaikan sistem mesti dilakukan secara gradual guna menghindari anarki. Kaidah populer yang digunakan para ulama sunni dalam hal ini adalah sulthonun zholum

Page 6: Definisi Siyasah

khoirun min fitnatin tadum, yang berarti sistem kekuasaan yang mapan dan menjamin stabilitas lebih baik ketimbang kondisi anarki yang berkepanjangan. Itu pula yang mendasari keluarnya fatwa jihad oleh Rais Akbar NU K.H. Hasyim Asy'ari menjelang pecahnya peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Dalam kasus semacam ini, kewajiban bela negara harus diberlakukan meski keadaan negara masih jauh dari kondisi ideal.

Contoh yang lain ialah penetapan status kenegaraan Indonesia dalam konteks persoalan syariat Islam. Menjelang Muktamar NU di Banjarmasin, muncul persoalan. Yaitu, bagaimana sesungguhnya status kenegaraan Indonesia pasca kemerdekaan. Sebab, dengan mengambil Pulau Jawa sebagai basis Indonesia, kekuasaan pemerintah yang dianggap sah menurut syariat Islam dimulai dari Kerajaan Demak, lalu Pajang, dan Mataram Islam, sehingga ketika itu Indonesia layak menyandang status Darul Islam.

Sementara itu, sejak kedatangan penjajah Belanda, lalu Inggris dan disusul Jepang, kekuasaan pemerintah penjajah yang kafir itu tak diakui dan otomatis status Darul Islam lenyap selama ratusan tahun. Mungkinkah status Darul Islam itu pulih kembali pasca kemerdekaan. Ternyata berdasarkan fatwa Mufti Hadlramaut Syekh Muhammad Sholih Ar Rois dalam suratnya yang dikirim kepada para kiai NU di Jawa, status Darul Islam tetapi melekat pada negara Indonesia dengan merujuk pada kaidah al ashlu baqa'u ma kana ala ma kana, yang berarti selama tak ada perubahan mendasar maka status yang berlaku sebelumnya tetap dipertahankan.

Maka, Muktamar NU pun menetapkannya. Cuma saja, untuk menghargai bangsa Indonesia yang majemuk dan berdasarkan Pancasila, Muktamar NU memutuskan mengubah istilah Darul Islam yang bermakna negara Islam menjadi Darul Salam yang berkonotasi negara yang damai. Dengan begitu, maka perasaan terancam dari agama lain dpat dihindarkan. Karena itu, NU menerima asas tunggal Pancasila dan menetapkan negara kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk yang final.

Sesungguhnya masih banyak contoh lainnya yang relevan dalam perspektif kekinian, yang kesemuanya menunjukkan bahwa dengan menggunakan fiqh siyasah sebagai landasan politik, NU dapat mengembangkan peran politiknya dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa harus mengorbankan prinsip. Sebab, kebenaran, keadilan dan demokrasi yang menjadi konsern NU memang sulit diperjuangkan secara radikal, dan karena itu perbaikan sistem dengan pendekatan fiqh selalu diupayakan secara gradual.

Memang, dengan cara seperti itu muncul kesan yang kuat bahwa sikap dan budaya politik NU cenderung oportunistik. Hal itu sering dijadikan kambing hitam terhadap inkonsistensi perjuangan Islam di Indonesia dan penyebab utama munculnya perbedaan strategi perjuangan yang dianut NU dan kelompok Islam lain di Indonesia. Padahal, itu tidak sepenuhnya tepat. Karena yang menjadi pedoman bagi NU bukanlah strategi perjuangan politik atau pandangan ideologi politik, tetapi keabsahan di mata fiqh.

Pedoman ini menjadi tolok ukur bagi seluruh kegiatan kenegaraan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Itu sebabnya diberlakukan kaidah tasharruf al imam ala ar raiyyah manuthun bi al mashlahah (kebijakan dan tindakan pemegang kekuasaan terhadap rakyat, harus berorientasi

Page 7: Definisi Siyasah

pada kebaikan bersama).

Dari sini, nampak --sebagaimana diutarakan Munawir Syadzali- - bahwa para teoritisi politik Islam sama sekali tak mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan yang Islami, melainkan justru menekankan penggunaan bentuk yang sudah ada. Ibnu Khaldun, Abu Ya'la dan Al Mawardi, jelas menempuh upaya perbaikan keadaan negara secara gradual dengan mencoba mencarikan masukan dari fiqh untuk menyempurankan sistem yang ada menuju welfare state yang mereka istilahkan dengan baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.

Kiranya, perubahan secara gradual menuju kesempurnaan itulah yang harus dilakukan oleh NU. Tanpa upaya itu, maka perjuangan yang selama ini didengungkan atas nama Islam tak akan banyak berarti. Justru yang timbul adalah kesan NU sebagai penjaga status quo dan terkooptasi oleh sistem yang ada, seperti terjadi pada sebagian ormas Islam yang lain. Memang itu bukan hal yang mudah. Perlu adanya pengembangan visi serta perluasan wawasan, sehingga apa yang diperjuangkan menjadi jelas dan terarah.

Ditulis oleh M. Ishom Hadzik dan A. Halim Asnafi, aktivis Forum Santri Indonesia (FSI) dan pengajar di Pesantren Tebuireng Jombang.

Dimuat di Jawa Post, 24 Oktober 1996(abdullah/tbi.org)Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum DiperiksaLangsung ke: navigasi, cari

Dalam sains dan metode ilmiah, empiris berarti suatu keadaan yang bergantung pada bukti atau konsekuensi yang teramati oleh indera. Data empiris berarti data yang dihasilkan dari percobaan atau pengamatan.

Dalam statistika, kuantitas "empiris" berarti nilai-nilai yang berasal dari pengamatan atau percobaan. Nilai ini berlawanan arti dengan kuantitas "teoretis" yang diturunkan dari analisis teoretis.

EMPIRIS TENTANG

Page 8: Definisi Siyasah

SISTEM POLITIKDAN DEMOKRASI DALAM IMPLEMENTASI PROGRAMPEMBANGUNAN

Page 9: Definisi Siyasah

OlehE. KosmayadiBAB I : PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang MasalahSejak bangsa Indonesia merdeka,

Page 10: Definisi Siyasah

sistem politik dan pemerintahan di Indonesiamengalami pasang surut yang berdampak pada hak yang seharusnya diterima olehrakyat (warga negara). Pasca

Page 11: Definisi Siyasah

reformasi, terjadi perubahan sistem politik yang eratkaitannya dengan sistem pemerintahan. Karena seringnya terjadi perubahan, terjadistagnasi

Page 12: Definisi Siyasah

karena kebingungan dalam menentukan arah, akibatnya banyak program yangtersendat bahkan tak pernah tuntas karena perubahan kebijakan, yang

Page 13: Definisi Siyasah

pada ujungnyamasyarakat lagi yang dirugikan.Perubahan sistem politik yang terjadi tidak terlepas dari perjalanan sejarah yangmempengaruhi

Page 14: Definisi Siyasah

nya. Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yangterjadi di dalamnya. Untuk menguraikannya tidak cukup hanya sekedar melihat

Page 15: Definisi Siyasah

sejarahBangsa Indonesia secara garis besar, tetapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif.Dalam proses politik, biasanya terdapat interaksi fungsional

Page 16: Definisi Siyasah

yaitu proses aliran yangberputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karenasistem ini dikelilingi oleh

Page 17: Definisi Siyasah

lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan baik daridalam negeri maupun tekanan dari luar negeri.Dalam menganalisa sistem bisa dengan

Page 18: Definisi Siyasah

pendekatan satu sudut pandang saja,misalnya hanya dari sistem kepartaian. Tetapi tidak bisa hanya dilihat dari pendekatantradisional dengan

Page 19: Definisi Siyasah

melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas.Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan

Page 20: Definisi Siyasah

sistem,pelaku, saranan, tujuan, dan pengambilan keputusan. Dengan demikian, tidaklah mudahmenganalisis sistem politik secara menyeluruh, diperlukan waktu

Page 21: Definisi Siyasah

dan energi yangmemadai. 

 2Namun demikian, dalam pendekatan sederhana dapat juga dilakukan analisisdengan cara melihat gejala-gejala yang

Page 22: Definisi Siyasah

dominan muncul, seperti maraknya demo yangdilakukan elemen masyarakat, maraknya ambisi partai dalam meraih tujuan melalui jalur politik ptraktis, dan

Page 23: Definisi Siyasah

kasus-kasus penanganan korupsi yang sering ditayangkan dimedia elektronik.Kaitannya dengan pembahasan makalah ini, penulis

Page 24: Definisi Siyasah

mencoba menganalisamelalui pengindraan jarak jauh ditambah sedikit prediksi atau taksiran, fenomena yangmenarik saat ini adalah pesta demokrasi yang

Page 25: Definisi Siyasah

meriah dengan biaya tinggi tanpakejelasan output yang akan diperoleh kelak. Pernyataan-pernyataan yangdikumandangkan oleh elit politik

Page 26: Definisi Siyasah

memang menarik, walaupun terkadang ada juga yangmenggelikan dan menggelitik hati. Masalahnya, semua orang tahu janji politik tak jauhberbeda dengan

Page 27: Definisi Siyasah

janji lain yang memiliki dua kemungkinan besar, yakni ditepati ataudipungkiri bahkan dihianati.Permasalahan yang menarik perhatian penulis,

Page 28: Definisi Siyasah

mungkinkah janji politik tersebutdapat terwujud ? Sementara sistem yang ada penuh dengan ketidakpastian ganda,dilengkapi dengan sub sistem

Page 29: Definisi Siyasah

yang sebagian tumpang tindih, sebagian lagi tidak memiliki titik temu yang jelas, ditambah dengan posisi jabatan yang bersifat sementara.Akibatny

Page 30: Definisi Siyasah

a, tidak cukup waktu untuk memikirkan masa depan yang panjang danberkelanjutan, di sisi lain masyarakat sudah bosan dengan sejumlah percobaan gagasanbaru yang

Page 31: Definisi Siyasah

tak pernah jelas juntrungannya. Maka, pembahasan makalah ini penulisfokuskan kepada kajian empiris tentang sistem politik dan demokrasi

Page 32: Definisi Siyasah

dalamimplementasi program pembangunan.1.2 MasalahDilihat dari usia dan perjalanan sejarah kemerdekaan bangsa, Indonesiamestinya

Page 33: Definisi Siyasah

telah dewasa yang ditandai dengan kemandirian. Tetapi, secara umum bangsaini masih tertatih-tatih mencari jatidiri yang hakiki. Dalam proses pencarian

Page 34: Definisi Siyasah

jatidiritersebut, di samping banyak tekanan baik dari dalam maupun dari luar, landasan pokok pun banyak dilupakan. Misalnya, dari sisi ideologis nilai-nilai

Page 35: Definisi Siyasah

yang terkandung padaPancasila banyak yang dihianati. Kemanusiaan banyak dilanggar, persatuan tercabik- 

 3cabik, musyawarah

Page 36: Definisi Siyasah

mupakat terkontaminasi oleh skenariosiluman,keadilan sosial barusebatas cita-cita. Dari sisi agama, nilai-nilai ajaran agama yang

Page 37: Definisi Siyasah

diyakini benar belummampu mewarnai prilaku bangsa secara menyeluruh.Idealnya, bangsa Indonesia ini mampu tampil sebagai bangsa yang

Page 38: Definisi Siyasah

bermartabatdan mampu bersaing dengan bangsa lain di dunia. Dengan alasan, bangsa Indonesiamemiliki sejumlah potensi yang tidak dimiliki bangsa lain. Secara

Page 39: Definisi Siyasah

kuantitas SDM-nyabanyak, mau mengerjakan apa pun cepat selesai karena banyak yang membantu,Sumber Daya Alam melimpah, ideologi Pancasila tidak

Page 40: Definisi Siyasah

bertentangan dengan nilai-nilaidari ajaran agama. Tetapi karena belum mampu mengelola dengan baik dan amanah,potensi tersebut justru

Page 41: Definisi Siyasah

menjadi beban. Masalah utamanya adalah, di mana letak kesaahannya? Mampukah sistem politik dan demokrasi yang ada dalam mewujudkanprogra

Page 42: Definisi Siyasah

m pembangunan untuk kesejahteraan bangsa?1.3 Tujuan Penulisan MakalahDari masalah di atas, makalah ini bertujuan untuk mengetahui sistem

Page 43: Definisi Siyasah

politik dandemokrasi yang berlaku di Indonesia dalam mewujudkan program pembangunan. Disamping itu bertujuan untuk mencari alternatif

Page 44: Definisi Siyasah

solusi pemecahannya, agar persoalanbangsa tidak berlarut-larut karena ditunggu oleh rakyat yang lapar.1.4 

Page 45: Definisi Siyasah

PendekatanDalam memecahkan sistem politik dan demokrasi kaitannya dengan upayamewujudkan persoalan pembangunan, penulis

Page 46: Definisi Siyasah

menggunakan pendekatan analisisempiris dipandu sedikit teori. Adapun penulisan makalah menggunakan sistematikayang terdiri atas Bab I

Page 47: Definisi Siyasah

yang merupakan pendahuluan dan memuat latarbelakang,masalah, tujuan, dan pendekatan. Bab II merupakan pembahasan dan uraian

Page 48: Definisi Siyasah

dalammenjawab masalah yang diajukan, dan Bab II merupakan kesimpulan yang meliputitemuan, jawaban, pemecahan

Page 49: Definisi Siyasah

masalah, dan intisari makalah.Politik IslamDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Langsung ke: navigasi, cari

Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar WikipediaMerapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).

Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : ‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’, artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).

Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang

Page 50: Definisi Siyasah

dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :

"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)

Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Ia menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).

Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim.

Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak memengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.

Pranala luar

[1] - Info lebih lanjut

Kategori:

Politik Islam

Buat akun baru Masuk log

Halaman Pembicaraan

Page 51: Definisi Siyasah

Baca Sunting Versi terdahulu

Halaman Utama Perubahan terbaru Peristiwa terkini Halaman sembarang

Komunitas

Warung Kopi Portal komunitas Bantuan

Wikipedia

Cetak/ekspor

Peralatan

Halaman ini terakhir diubah pada 13.17, 14 Maret 2011. Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi/Berbagi Serupa Creative Commons; ketentuan tambahan

mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.

Memaknai Politik Syar’i Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 049

(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc.)

 

Makna Politik

Politik, dalam bahasa arab disebut dengan siyasah. Dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzhur (juz 6 hal. 429) disebutkan bahwa kata siyasah bermakna mengurus sesuatu dengan kiat-kiat yang membuatnya baik.

Politik itu sendiri, menurut Al-Imam Ibnul Qayyim t terbagi menjadi dua macam:

1. Politik yang diwarnai kezaliman. Maka ini diharamkan dalam syariat Islam.

2. Politik yang diwarnai keadilan. Maka ini bagian dari syariat Islam. (Lihat Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 4)

Page 52: Definisi Siyasah

Politik, bila dilihat dari sisinya yang buruk (politik yang diwarnai kezaliman) semata, akan melahirkan trauma politik pada seseorang. Ujung-ujungnya berkesimpulan bahwa politik itu kejam dan politikus tak lain hanyalah ahli tipu muslihat yang kental dengan sifat makar, dusta, dan licik. Sebenarnya bila dilihat dari segala sisinya, ada pula politik yang syar’i (politik yang diwarnai keadilan). Bahkan ia merupakan salah satu cabang dan pintu dari syariat Islam yang mulia ini, sebagaimana dikatakan Al-Imam Ibnul Qayyim t dalam kitabnya yang monumental I’lamul Muwaqqi’in, juz 4 hal. 452. Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, politik yang syar’i disebut dengan as-siyasah asy-syar’iyyah.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah l, lantas apakah keterangan di atas merupakan legitimasi bagi politik praktis yang ‘diimani’ partai politik (parpol) Islam sekarang ini? Untuk mengetahui jawabannya simaklah penjelasan berikut ini.

 

Fatamorgana Politik Praktis

Politik praktis merupakan cara berpolitik ala barat (baca: musuh-musuh Islam) dalam menentukan kepala negara/pemerintahan serta anggota lembaga legislatif (baca: politik untuk mencapai kekuasaan), yang dijejalkan di negeri-negeri muslim. Sistem tersebut tidaklah diciptakan dan dijejalkan di negeri-negeri muslim melainkan untuk mem-fait accompli kekuatan umat Islam yakni agar mereka tidak punya pilihan di negerinya sendiri (seakan-akan tidak bisa menghindarinya), sekaligus memalingkan mereka dari mendalami agamanya (tafaqquh fiddin) dengan berbagai kesibukan politik. Sehingga tidaklah satu negeri muslim pun yang menganut sistem tersebut, melainkan kekuatan dan keilmuan umat Islamnya benar-benar terpantau dengan jelas oleh musuh-musuhnya.

Mungkinkah sistem yang diciptakan barat (baca: musuh-musuh Islam) dengan sekian pelanggarannya tersebut dapat mengantarkan umat Islam kepada kejayaannya? Spontan, orang yang berakal akan menjawab: “Tidak mungkin!”

Tak ubahnya fatamorgana, dari jauh seakan air yang menyejukkan, namun setelah didekati ternyata pemandangan semu belaka.

Tengoklah kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir, pimpinan Hasan Al-Banna. “Perjuangan” bertahun-tahun harus berakhir di tiang gantungan, penjara, atau tembak mati. Demikian pula FIS (sebuah partai “Islam” di Aljazair) yang berhasil menang pada putaran pertama pemilu tahun 1412 H. Impian pun lenyap manakala militer melakukan kudeta dengan alasan ‘negeri dalam kondisi darurat’. FIS pun meradang, genderang “jihad” melawan penguasa ditabuh. Pertempuran bersenjata pun terjadi, dan akhirnya pertumpahan darahlah kesudahannya.1 Lagi-lagi umat Islam sebagai tumbalnya. Agama mereka terlantar, dakwah pun semakin hari semakin tergerus oleh ‘kejamnya’ kehidupan berpolitik mereka.2

Lebih dari itu, konsekuensinya sangat berat khususnya bagi seorang muslim yang berteguh diri di atas Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah n. Mengapa demikian? Karena asasnya adalah demokrasi yang ‘menuhankan’ suara rakyat (mayoritas). Kendaraannya adalah kampanye dengan

Page 53: Definisi Siyasah

segala pelanggaran syar’i dan etikanya. Panoramanya adalah ikhtilath (campur-baur laki perempuan). Ciri khasnya adalah persaingan ketat, bahkan perseteruan tak sehat dengan obral janji yang (nampak) menggiurkan. Taruhannya adalah menjual prinsip al-wala’ wal bara’.3 Wallahul Musta’an.

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah l, untuk mengetahui lebih rinci tentang jalan yang mengantarkan kepada kejayaan umat Islam, silakan buka kembali Majalah Asy Syariah edisi Polemik Menuju Negara Islam (No. 16/II/1426 H/2005). Adapun rincian bahasan seputar partai politik Islam, maka dapat anda ikuti pada Kajian Utama Majalah Asy Syariah edisi kali ini, insya Allah.

 

Apa Itu As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i)?

Setelah mengikuti bahasan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa as-siyasah asy-syar’iyyah adalah bagian dari syariat Islam. Sedangkan politik praktis, tak lain adalah ciptaan barat (baca: musuh-musuh Islam) yang tidak ada kaitannya dengan as-siyasah asy-syar’iyyah dan sudah barang tentu bukan dari Islam.

Bila demikian, apa definisi as-siyasah asy-syar’iyyah menurut terminologi syariat? Menurut terminologi syariat, as-siyasah asy-syar’iyyah bermakna pengaturan urusan pemerintahan kaum muslimin secara menyeluruh dengan kiat-kiat yang dapat mewujudkan kebaikan (maslahat) serta mencegah terjadinya keburukan (mafsadah), dengan tetap menjaga batasan-batasan syar’i dan prinsip-prinsipnya secara umum -meskipun tidak secara nash- serta perkataan para imam ahli ijtihad. (As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Abdul Wahhab Khallaf, hal. 15. Dinukil dari Madarikun Nazhar fis Siyasah hal. 126-127)

Dari sini, diketahui bahwa as-siyasah asy-syar’iyyah disamping berpegang dengan dalil yang tegas, juga berpijak pada maslahah mursalah, yaitu suatu maslahat di mana tidak didapati dalil secara tegas baik yang memerintahkan maupun yang melarang. Tentunya, yang menentukan sebagai maslahat adalah para imam ahli ijtihad, bukan sembarang orang. Demikianlah penjelasan Ibnu ‘Aqil, Ibnul Qayyim, Ibnu Nujaim, dan yang lainnya rahimahumullah dari para pakar di bidang ini. (Lihat Madarikun Nazhar fis Siyasah hal. 128-129)

Mengenai rincian as-siyasah asy-syar’iyyah, sesungguhnya telah dijelaskan para ulama Islam dalam banyak karya tulisnya. Di antaranya; Al-Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wal Wilayat Ad-Diniyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (yang terhimpun dalam Majmu’ Fatawa, juz 28), Al-Imam Ibnul Qayyim dalam Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, dan selainnya.

 

Mengenal Lebih Jauh As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i)

Page 54: Definisi Siyasah

Para pembaca yang semoga dirahmati Allahl, mengingat as-siyasah asy-syar’iyyah amat terkait dengan pengaturan urusan pemerintahan, maka tentunya ada dua pihak yang saling terkait dengannya; pihak pengatur dalam hal ini adalah para penguasa (ulil amri) dan pihak yang diatur dalam hal ini adalah rakyat. As-siyasah asy-syar’iyyah yang dijalankan para penguasa tersebut tak akan berjalan dengan baik tanpa adanya sambutan ketaatan dari rakyat. Maka dari itu, adanya gayung bersambut antara para penguasa dan rakyatnya dalam hal penerapan as-siyasah asy-syar’iyyah merupakan keharusan. Karena dengan itulah terwujud kehidupan yang tenteram, aman, dan sentosa. Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat sahabat di bawah kepemimpinan Rasulullah n dan juga masyarakat tabi’in serta tabi’ut tabi’in di bawah kepemimpinan para penguasanya.

Di antara dasar pijakan as-siyasah asy-syar’iyyah adalah firman Allah l:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 58-59)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Menurut para ulama, ayat pertama (dari dua ayat di atas) turun berkaitan dengan para penguasa (ulil amri), agar mereka menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sedangkan ayat kedua turun berkaitan dengan rakyat baik dari kalangan militer maupun selainnya, agar mereka senantiasa taat kepada para penguasanya dalam hal pembagian jatah, keputusan, komando pertempuran, dan lain sebagainya. Kecuali jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak boleh menaati makhluk (para penguasa tersebut) dalam rangka bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah l). Jika terjadi perbedaan pendapat antara para penguasa dengan rakyatnya dalam suatu perkara, hendaknya semua pihak merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah n. Namun jika sang penguasa tidak mau menempuh jalan tersebut, maka perintahnya yang tergolong ketaatan kepada Allah l dan Rasul-Nya n tetap wajib ditaati. Karena ketaatan kepada para penguasa dalam perkara ketaatan tersebut merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah l dan Rasul-Nya n. Demikian pula hak mereka (para penguasa), tetap harus dipenuhi (oleh rakyatnya), sebagaimana yang diperintahkan Allah l dan Rasul-Nya n. Allah l berfirman:

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2) [Lihat Majmu’ Fatawa, juz 28 hal. 245-246]

Untuk mengenal lebih jauh tentang contoh as-siyasah asy-syar’iyyah dan penerapannya, perhatikanlah poin-poin berikut ini.

Page 55: Definisi Siyasah

1. Suatu tugas/jabatan diberikan kepada yang berhak menyandangnya, baik terkait dengan kemiliteran maupun selainnya. Pemberian tugas/jabatan tersebut tak boleh didasari kedekatan pribadi ataupun hubungan kekerabatan (nepotisme). Sahabat Umar bin Al-Khaththab z berkata: “Barangsiapa mempunyai suatu kewenangan terhadap urusan kaum muslimin, kemudian memberikan tugas/jabatan kepada seseorang karena kedekatan pribadi atau hubungan kekerabatan, maka ia telah berkhianat kepada Allah l dan Rasul-Nya n serta kaum muslimin.”

2. Kriteria kelayakan mendapat tugas/jabatan ada dua: kuat dan dapat dipercaya. Sebagaimana firman Allah l:

“Sesungguhnya orang terbaik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26)

Kuat di sini tergantung pada tugas/jabatan yang diemban. Kuat dalam hal kepemimpinan perang tolok ukurnya adalah keberanian/ketegaran jiwa, pengalaman bertempur dengan segala tipu muslihatnya serta keahlian dalam mengatur strategi pertempuran. Kuat dalam hal memutuskan perkara (hukum) di antara manusia tolok ukurnya adalah kepahaman tentang prinsip-prinsip keadilan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kemampuan untuk merealisasikan keputusannya tersebut. Adapun dapat dipercaya (amanah), maka tolok ukurnya adalah rasa takut kepada Allah l, tidak menjual ayat Allah l dengan harga yang murah (hal-hal duniawi, red.) serta tidak takut terhadap (celaan) manusia (dalam keputusannya).

3. Berkumpulnya dua sifat, kuat dan dapat dipercaya pada seseorang, merupakan sesuatu yang langka. Oleh karena itu, jika ada dua orang; yang satu lebih amanah sedangkan yang lainnya lebih kuat, maka yang diutamakan adalah yang paling bermanfaat bagi (kelangsungan) tugas tersebut dan yang paling sedikit mudaratnya. Atas dasar itu, yang diutamakan dalam hal kepemimpinan perang adalah seorang yang kuat lagi pemberani/tegar jiwanya –walaupun terkadang jatuh dalam kesalahan- daripada seseorang yang lemah mentalnya –walaupun ia seorang yang dapat dipercaya-. Jika suatu tugas butuh sifat amanah yang lebih, maka diutamakanlah seorang yang dapat dipercaya, seperti tugas mengelola perbendaharaan dan yang semisalnya. Adapun tugas pendistribusian uang sekaligus pengelolaannya, dibutuhkan seorang yang kuat lagi dapat dipercaya.

Dalam hal memutuskan perkara (hukum), diutamakan hakim yang paling berilmu tentang prinsip-prinsip keadilan, paling wara’ (berhati-hati), dan paling mampu dalam merealisasikan keputusan. Jika ada dua hakim, yang satu lebih berilmu sedangkan yang lain lebih wara’ (berhati-hati), maka dalam perkara yang penyelesaian hukumnya mudah namun rawan mengikuti hawa nafsu dalam memutuskannya, diutamakanlah hakim yang lebih wara’ (berhati-hati). Sedangkan dalam perkara yang rumit penyelesaiannya dan dikhawatirkan terjadi kerancuan dalam memutuskannya, maka diutamakanlah hakim yang lebih berilmu. Kemudian jika ada dua hakim; yang satu lebih berilmu dan lebih wara’ (berhati-hati), sedangkan yang lain lebih mampu dalam merealisasikan keputusan hukum (tegas), maka pada kasus yang penyelesaiannya didukung penguasa diutamakan seorang hakim yang lebih berilmu dan lebih wara’ (berhati-hati). Namun pada kasus yang penyelesaiannya kurang mendapat dukungan dari berbagai pihak (kebijakan yang tidak populer) dan tidak terlalu dibutuhkan ilmu dan wara’ yang berlebih, maka diutamakan seorang hakim yang lebih mampu dalam merealisasikan keputusan hukum tersebut.

Page 56: Definisi Siyasah

4. Pentingnya memerhatikan partner (pasangan) dalam suatu tugas. Jika pemimpin suatu tugas berkarakter lembut, maka wakilnya yang berkarakter keras. Jika pemimpin berkarakter keras, maka wakilnya yang berkarakter lembut. Demikian itu agar tercipta suatu keseimbangan (kestabilan) dalam lingkungan tugas tersebut. Oleh karena itu, Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq z (yang berkarakter lembut) lebih memilih Khalid bin Al-Walid z (yang berkarakter keras) sebagai wakilnya dalam komando perang. Sedangkan Khalifah Umar bin Al-Khaththab z (yang berkarakter keras) lebih memilih Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah z (yang berkarakter lembut) sebagai wakilnya. Sehingga terciptalah suatu keseimbangan (kestabilan) dalam lingkup tugas tersebut.

5. Di antara sebab langgengnya suatu kepemimpinan adalah manakala diwarnai dengan kedermawanan dan keberanian/ketegaran jiwa. Kedermawanan di sini adalah mendistribusikan keuangan (seperlunya) kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya -walaupun mereka para tokoh-, untuk stabilisasi sosial politik, kepentingan keagamaan baik yang bersifat fisik maupun non fisik, dan lain sebagainya. Adapun keberanian/ketegaran jiwa, maksudnya adalah tegar dalam mengatasi masalah, bersabar, dan tidak marah kecuali karena Allah l. Suatu kepemimpinan yang jauh dari kedermawanan dan keberanian/ketegaran jiwa tersebut, maka kepemimpinannya akan cepat berakhir dan berpindah ke tangan orang lain.

(Disarikan dari kitab As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, yang terhimpun dalam Majmu’ Fatawa juz 28 hal. 244-296)

Adapun poin-poin penting yang dapat disarikan dari kitab Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Al-Imam Ibnul Qayyim t adalah sebagai berikut:

1. Tugas inti pemerintah muslim adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran) di tengah rakyatnya. Sedangkan poros keberhasilan dari seluruh tugas/jabatan pemerintahan adalah kejujuran dalam pemberian informasi/data dan keadilan dalam memutuskan suatu putusan perkara. Ada suatu tugas/jabatan yang sangat membutuhkan kejujuran pejabatnya. Seperti penanggung jawab keuangan yang bertugas mencatat arus keluar masuk uang negara dan juga para staf ahli kenegaraan yang bertanggung jawab menyampaikan informasi valid tentang perkembangan situasi dan kondisi negara kepada penguasa (ulil amri).

Ada pula tugas/jabatan yang sangat membutuhkan keadilan pejabatnya, yaitu manakala posisinya sebagai pembuat keputusan yang ditaati. Seperti para pemimpin (instansi pemerintahan) baik sipil maupun militer, hakim, dan lain sebagainya. Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban bagi kepala negara (pemimpin) untuk menjadikan orang-orang yang jujur dan adil sebagai pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahannya. Adapun rincian deskripsi tugas pada masing-masing tugas/jabatan, maka menyesuaikan situasi dan kondisi. [Hal. 184-185]

2. Diperbolehkan bagi pemerintah muslim untuk menerapkan siyasah juz’iyyah (politik parsial). Yaitu menentukan satu keputusan di luar keumuman yang terjadi, bila diyakini dapat mendatangkan maslahat yang bersifat umum bagi umat Islam. Contohnya;

- Keputusan Khalifah Umar bin Al-Khaththab z agar umat Islam (di masanya) menunaikan ibadah haji dengan jenis haji ifrad (salah satu jenis haji yang sah dengan mengkhususkan ibadah

Page 57: Definisi Siyasah

haji semata tanpa umrah). Padahal Rasulullah n sangat menekankan haji tamattu’ yang padanya terdapat rangkaian ibadah haji dan juga umrah. Keputusan tersebut diambil manakala melihat Masjidil Haram lengang dari para mu’tamirin (orang-orang yang berumrah) di luar musim haji. Maka dengan keputusan tersebut Masjidil Haram pun selalu diramaikan umat Islam baik di musim haji maupun di luar musim haji.

- Ketika terjadi pertikaian sengit antara dua orang sahabat Nabi n di masa kekhalifahan Utsman bin Affan z dalam hal bacaan Al-Qur’an dan sama-sama bersaksi bahwa itulah yang didapat dari Rasulullah n, maka Khalifah Utsman bin Affan z (dengan kesepakatan para sahabat Nabi n) memerintahkan penyusunan Al-Qur’an untuk kali kedua4 dengan satu dialek bacaan saja di antara dialek-dialek yang didapat dari Nabi n. Kemudian membakar mushaf-mushaf selainnya. [Hal. 10-18]

3. Bagi hakim selaku pemberi amar putusan dalam suatu perkara, diperbolehkan untuk:

- Mengatakan sesuatu yang sebenarnya ia tidak akan melakukannya: “Saya akan lakukan demikian”, dalam rangka melacak kebenaran pihak yang ditanganinya.

- Memutuskan sesuatu yang menyelisihi pernyataan/pengakuan pihak yang berseteru, manakala meyakini bahwa yang benar tidaklah seperti apa yang dinyatakan pihak yang berseteru tersebut.

- Membatalkan putusan yang dijatuhkannya disebabkan adanya putusan lain dari hakim yang setara atau lebih mumpuni darinya.

Dasar dari semua itu adalah sabda Rasulullah n: “Dahulu ada dua orang wanita (masing-masing) bersama anaknya. Tiba-tiba datang seekor serigala memangsa salah satu dari anak keduanya. Kedua wanita itu pun mengklaim bahwa anak yang dimangsa tersebut bukan anaknya, akan tetapi anak kawannya. Akhirnya keduanya pergi ke Nabi Dawud q untuk menyelesaikan perkaranya. Maka diputuskanlah bahwa anak yang ada saat ini adalah milik wanita (ibu) yang lebih tua. Kemudian keduanya pergi ke Nabi Sulaiman bin Dawud e dan menyampaikan putusan Nabi Dawud q tersebut. Nabi Sulaiman q berkata: “Datangkanlah kepadaku sebilah pisau untuk memotong anak tersebut menjadi dua bagian.” Maka dengan spontan wanita (ibu) yang lebih muda mengatakan: “Jangan kau lakukan itu -semoga Allah l merahmatimu- sungguh anak tersebut miliknya.” Akhirnya Nabi Sulaiman q pun memutuskan bahwa anak tersebut milik wanita (ibu) yang lebih muda. (HR. Al-Bukhari no. 3427)

- Memutuskan suatu putusan berdasarkan indikasi kuat, manakala diyakini dapat mengantarkan kepada putusan yang tepat.5 Sebagaimana yang ditempuh Raja Mesir Al-Aziz6 seputar kasus istrinya yang menuduh Nabi Yusuf q berbuat tak senonoh terhadap dirinya. Dengan melihat posisi koyakan baju gamis Nabi Yusuf q yang berada di bagian belakang, maka diputuskanlah oleh Al-Aziz bahwa yang salah adalah istrinya. Karena posisi koyakan baju gamis Nabi Yusuf q yang berada di bagian belakang merupakan indikasi kuat bahwa istrinyalah yang mengajak Nabi Yusuf q untuk melakukan perbuatan tak senonoh itu. Ketika Nabi Yusuf q tak menyambut ajakannya lalu pergi meninggalkannya, wanita itu pun berupaya mengejar Nabi Yusuf q dan menggapai baju gamis beliau hingga koyak di bagian belakangnya. Allah l berfirman:

Page 58: Definisi Siyasah

“Maka tatkala suami wanita itu (Al-Aziz) melihat baju gamis Yusuf koyak di bagian belakang, berkatalah dia: ‘Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu (istrinya), sesungguhnya tipu daya kamu sangatlah besar’.” (Yusuf: 28) [Hal. 4-5]

4. Putusan perkara yang dijatuhkan kepada anggota masyarakat (rakyat), bermuara pada dua kasus:

a. Pengaduan (tuduhan) satu pihak terhadap pihak lainnya, baik dalam perkara pidana maupun perdata.

Dalam kasus ini, pihak yang diadukan/dituduh terdiri dari tiga jenis;

Pertama: Si tertuduh dinyatakan bersih dari tuduhan tersebut. Maka menurut kesepakatan ulama, dia tidak boleh dihukum. Sedangkan si penuduh dijatuhi hukuman atas tuduhan dustanya itu.

Kedua: Si tertuduh adalah seorang yang majhul (tidak jelas keadaannya) dari jenis orang baik ataukah tidak. Maka untuk sementara waktu ia ditahan hingga jelas duduk permasalahannya.

Ketiga: Si tertuduh dikenal dengan kejahatannya. Maka dia ditahan hingga jelas duduk permasalahannya. Khusus jenis ini, boleh diancam dengan kekerasan atau dipukul jika diperlukan. Adapun cara dalam memutuskan suatu putusan perkara dalam kasus pengaduan/tuduhan tersebut ada 25 cara, sebagaimana disebutkan Ibnul Qayyim t dalam kitabnya di atas hal. 83-182.

b. Pelanggaran yang murni terkait dengan pelaksanaan agama, baik dalam hal ibadah, muamalah, akhlak, dan lain sebagainya (tak terkait secara langsung dengan pengaduan/tuduhan).

Untuk menanganinya, maka pemerintah muslim membentuk tim/badan khusus yang dalam kitab fiqh disebut Al-Hisbah. Tugas pokoknya adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran). Merekalah yang bertugas memerintahkan orang-orang untuk menunaikan shalat lima waktu tepat pada waktunya. Memberikan sanksi terhadap orang yang tidak shalat baik dengan pukulan maupun penjara. Mengontrol para imam masjid dan muadzin. Memerintahkan orang-orang untuk shalat Jum’at, shalat berjamaah, menunaikan amanah, dan berlaku jujur. Menyampaikan nasihat baik dengan ucapan maupun perbuatan. Melarang dari perbuatan khianat, mengurangi timbangan dan sukatan, serta berlaku curang dalam produksi barang dan perdagangannya. Mengontrol para produsen makanan maupun pakaian serta melarang mereka untuk memproduksi produk-produk yang diharamkan dalam agama ini. Melarang transaksi yang dilarang Allah l dan Rasul-Nya n, seperti riba dan segala transaksi yang mengandung unsur judi. Menormalkan harga pasar dan mencegah para pedagang dari menimbun barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan menekan para penimbun tersebut agar menjualnya dengan harga pasar yang wajar, dan lain sebagainya. [183-223]

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah l, demikianlah selayang pandang tentang as-siyasah asy-syar’iyah (politik yang syar’i) yang dapat disajikan dalam kesempatan kali ini. Semoga

Page 59: Definisi Siyasah

sedikit sajian tersebut dapat membuka cakrawala berpikir umat tentang kehidupan beragama sekaligus menjadi motivator untuk semakin mendalami agama Islam yang haq ini.

Amin ya Rabbal ‘Alamin.

1 Untuk mengetahui lebih rinci tentang ratap tangis politik di Aljazair, silakan merujuk kitab Madarikun Nazhar fis Siyasah dan Fatawa Al-Ulama’ Al-Akabir Fima Uhdira min Dima’ fi Aljazair. Keduanya karya Asy-Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ar-Ramadhani.

2 Prinsip berpolitik praktis itu sendiri diingkari para “reformis” Ikhwanul Muslimin (IM) seperti Sayyid Quthb (Mesir), Abul A’la Al-Maududi (Pakistan), dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Menurut mereka, “jalan satu-satunya” adalah melakukan gerakan penggulingan kekuasaan (kudeta). Padahal dengan prinsip tersebut -disadari ataupun tidak- mereka telah teridentifikasi sebagai Neo-Khawarij yang diperingatkan Rasulullah n dalam banyak sabdanya. (Untuk lebih rincinya, lihat Manhajul Anbiya’ fid Da’wati Ilallah, Fihil Hikmah wal ‘Aql, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali).

Demikian halnya dengan Hizbut Tahrir (HT). Mereka lebih memilih berada di luar sistem dengan terus melakukan penentangan terhadap para penguasa, mengungkapkan pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya, jika hak-hak umat dilanggar atau pemerintah tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, yaitu bila melalaikan salah satu urusan umat atau menyalahi hukum-hukum Islam. Ironisnya, dengan prinsip tersebut -disadari ataupun tidak- HT telah meniti jejak Al-Qa’adiyyah, salah satu sekte dari kelompok sesat Khawarij. Menurut Al-Imam Abdullah bin Muhammad Adh-Dha’if, Al-Qa’adiyyah merupakan kelompok Khawarij yang paling jahat. (Lihat Masail Al-Imam Ahmad karya Al-Imam Abu Dawud, t hal. 271, Tahdzibut Tahdzib juz 8 hal. 114, dan Hadyus Sari Muqaddimah Fathil Bari hal. 454, keduanya karya Al-Hafizh Ibnu Hajar t, dan rubrik Manhaji Majalah Asy Syariah, edisi Polemik Menuju Negara Islam No. 16/II/1426 H/2005).

3 Untuk mengetahui lebih rinci tentang al-wala’ wal-bara’ khususnya yang ada pada kelompok Ikhwanul Muslimin, lihat rubrik Manhaji Majalah Asy Syariah edisi Sejarah Hitam IM (Ikhwanul Muslimin) (No. 20/II/1426 H/2005).

4 Penyusunan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf untuk kali pertama terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakr Ash-Shiddiq z (dengan kesepakatan para sahabat Nabi n), ketika para ahli Al-Qur’an dari kalangan sahabat banyak yang gugur dalam pertempuran Yamamah di mana dikhawatirkan Al-Qur’an akan lenyap di tengah umat.

5 Al-Imam Ibnul Qayyim t telah berpanjang lebar dalam menjelaskan kaidah tersebut beserta contoh-contohnya, sebagaimana pada hal. 3-50.

6 Al-Aziz adalah sebutan bagi raja Mesir, secara harfiah berarti yang mulia. Sedangkan namanya adalah Ar-Rayyan bin Al-Walid. Silakan lihat pembahasan tentang nama Raja Mesir di masa Nabi Yusuf q pada rubrik Tafsir edisi ini. -red