def g6pd
DESCRIPTION
df G6PDTRANSCRIPT
Defisiensi G6PD pada Bayi Baru Lahir
Pendahuluan
Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan enzim pengkatalisis reaksi pertama
jalur pentosa fosfat dan memberikan efek reduksi pada semua sel dalam bentuk NADPH (bentuk
tereduksi nicotinamide adeninedinucleotide phosphate). Senyawa NADPH memungkinkan sel-
sel bertahan dari stress oksidatif yang dapat dipicu oleh beberapa bahan oksidan dan
menyediakan glutathione dalam bentuk tereduksi. Eritrosit tidak memiliki mitokondria sehingga
jalur pentosa fosfat merupakan satu-satunya sumber NADPH, sehingga pertahanan terhadap
kerusakan oksidatif tergantung pada G6PD.1
Defisiensi G6PD merupakan enzimopati yang paling umum diderita manusia dan terkait
dengan kromosom X. Gen pengkode enzim ini terletak di lengan panjang kromosom X
(Xq28).Kebanyakan pasien defisiensi G6PD tidak menunjukkan gejala hingga terpapar obat-
obatan pengoksidasi, infeksi, dan makan kacang fava.Pengobatan terpenting adalah dengan
menghindari bahan pengoksidasi yang dapat menginduksi anemia hemolitik.Skrining neonatus
dan edukasi kesehatan berperan penting dalam mengurangi manifestasi klinis defi -siensi G6PD.2
Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan :3
- Identitas pasien.
- Keluhan utama
- Riwayat penyakit sekarang :
o Waktu dan lamanya keluhan berlangsung .
o Apakah ada serangan rasa nyeri? Pada anemia sel sabit, rasa nyeri yang datang selalu
tiba-tiba dan berakhir tiba-tiba.
o Jika ada rasa nyeri, perlu ditanyakan predileksinya.
o Apakah jenis antibiotik yang pernah dikonsumsi?
o Apakah baru-baru ini melakukan aktivitas tertentu di luar ruangan? Atau sedang
mengalami stress?
o Bagaimana pola hidup pasien belakangan ini?
o Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang sama
pada saat ini?
o Apakah sejak muncul gejala, gejala bertambah parah seiring waktu?
o Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang telah
diminum oleh pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan dengan penyakit
yang saat ini diderita.
- Riwayat penyakit dahulu.
- Riwayat kesehatan keluarga.
- Riwayat penyakit menahun keluarga.
Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Yang perlu diperhatikan adalah:
- Keadaan kulit. Perlu diperhatikan telapak tangan dan bantalan kuku. Pada kondisi
anemia, daerah tersebut akan menjadi pucat (pallor).3,4
- Kondisi konjungtiva dan sklera. Perlu diperiksa apakan skleranya berwarna kuning atau
konjungtiva pucat.
- Aktivitas anak yang diperiksa. Perlu diperhatikan apakah anak tersebut tampak lemas,
mengantuk, dan tidak bersemangat. Jika didapati kondisi tersebut, maka perlu
diperhatikan kemungkinan anak tersebut menderita anemia.5
b. Palpasi
Mengantisipasi hepatoslpenomegali baik akibat anemia hemolitik maupun penyakit lain,
maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik hepar pada anak.
Palpasi hepar dilakukan dengan meletakkan tangan kiri dibelang penderita menyangga
costa ke-11/12 sejajar, minta penderita rileks. Hepar didorong ke depan, diraba dari
depan dengan tangan kanan (bimanual palpasi). Tangan kanan ditempatkan pada lateral
otot rektus kanan, jari di batas bawah hepar dan tekan lembut ke arah atas.
Pasien diminta bernafas dalam sehingga terasa sentuhan hepar bergerak ke bawah (tangan
dikendorkan agar hepar meluncur dibawah jari sehingga meraba permukaan yang lunak
tidak berbenjol, tepi tegas/tajam, tidak ada pembesaran).3,4
c. Perkusi3
Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara
keseluruhan, menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massapadat
atau massa berisi cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam lambungdan usus,
serta adanya udara bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen yang normal
adalah timpani (organ berongga yang berisi udara), kecuali di daerah hati (redup; organ
yang padat).
Perkusi batas bawah hepar: Mulai dari bawah umbilikus kanan, perkusi dari bawah ke
atas sampai suara redup (tidak ada pergeseran ke bawah/ Obstruksi paru kronik).
Dilanjutkan perkusi batas atas hepar: daerah paru ke bawah sampai suara redup. Tinggi
antara daerah redup (tidak ada pembesaran hepar) diukur.
d. Auskultasi5
Auskultasi perlu dilakukan terutama pada bagian dada.Suara pernapasan dan
suara jantung perlu diperhatikan.Pada kondisi anemia berat, seringkali ditemukan
murmur pada bunyi jantung.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah lengkap, yang diperiksa adalah jumlah eritrosit, jumlah leukosit,
kadar hemoglobin, hematokrit, retikulosit dan jumlah trombosit. Patokan nilai normal dapat
berbeda-beda tergantung alat yang dipakai di tiap-tiap laboratorium. Akan tetapi, nilai rujukan
yang dapat digunakan secara universal untuk anak-anak adalah5 :
1. Hitung sel darah merah : 3,8 – 5,8 juta sel darah merah / µL
2. Hitung sel darah putih : 9.000-20.000 sel/mikroliter.
3. Hemoglobin : 14-20mg/dL.
4. Hematokrit : 31-38%.
5. Hitung trombosit : 150.000-450.000 trombosit/mikroliter.
6. Laju endap darah (LED): pria (0-10 mm/jam); wanita (0-20 mm/jam)
7. Hitung jenis leukosit : neutrofil (55-70%); eosinofil (1-3%); basofil (0-1%); limfosit (20-
40%); monosit (2-8%)
8. Hitung retikulosit : 0,5-2,5% dari hitung sel darah merah total
Melalui pemeriksaan darah lengkap, dapat diketahui mean corpuscular volume (MCV),
mean corpuscular hemoglobin (MCH), dan mean corpuscular hemoglobin concentration
(MCHC). MCV adalah nilai hematokrit dibandingkan dengan jumlah eritrosit. MCH adalah
kadar hemoglobin dibandingkan dengan jumlah eritrosit. Sedangkan MCHC adalah kadar
hemoglobin dibandingkan dengan nilai hematokrit. Ketiga hitungan tersebut menunjukkan nilai
eritrosit rata-rata.5 Nilai rujukan untuk ketiga hitungan tersebut adalah :
1. MCV = 84-99 µm
2. MCH = 26-32 pg/sel
3. MCHC = 30-36 g/dl
MCV dan MCH yang rendah merujuk pada morfologi eritrosit mikrositik hipokrom yang
biasa dijumpai pada anemia defisiensi besi. MCV yang konsisten dengan anemia megaloblastik.
Sedangkan MCV dan MCHC yang tinggi mengindikasikan sferositosis.6
Apabila pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan secara otomatis, maka red cell
distribution width (RDW) juga dapat ditentukan. Normalnya adalah 11.5-14.5 coefficient of
variation. Peningkatan RDW menunjukkan anisositosis yang merujuk pada anemia hemolitik.
Selain itu, peningkatan retikulosit menunjukkan terjadinya penurunan jumlah eritrosit,
namun bukan ciri khas dari anemia hemolitik.5,6
Selanjutnya adalah pemeriksaan hapus darah tepi. Yang perlu diperhatikan dari hapus
darah tepi adalah keadaan dari eritrosit, leukosit, dan trombosit. Pada keadaan eritrosit, yang
perlu diperhatikan adalah ukuran, warna, dan bentuknya. Sedangkan pada keadaan limfosit dan
trombosit yang perlu diperhatikan adalah jumlahnya. Dari pemeriksaan darah tepi inilah dapat
ditemukan sel-sel yang merupakan ciri khas dari suatu anemia seperti sferosit, sel sabit, sel
target, dan semacamnya.6
Kemudian pemeriksaan bilirubin. Ada dua jenis bilirubin, direk dan indirek. Bilirubin
direk larut dalam air dan dapat diperiksa melalui urin sedangkan bilirubin indirek tidak larut air
dan hanya dapat diperiksa melalui darah. Pada pemeriksaan serum, nilai normal bilirubin total
adalah 0.2-1 mg%, bilirubin direk adalah 0 - 0.2 mg%, dan bilirubin indirek adalah 0.2-0.8 mg%.
Pada kondisi anemia hemolitik, bilirubin serum biasanya <3mg/dL. Nilai yang lebih tinggi
merujuk ke gangguan fungsi hepar ataupun kolestasis. 5,6
Yang terakhir adalah pemeriksaan badan Heinz dan methemoglobin.Karena disebutkan
bahwa pasien memiliki sensitivitas terhadap kapur barus (naphtalene), maka pemeriksaan ini
perlu dilakukan. Baik intoksikasi naphtalene maupun defisiensi G6PD yang meningkatkan
kerentanan terhadap naphtalene dapat menghasilkan badan heinz dan membentuk
methemoglobin. Kadar met Hb yang normal adalah 0-1% dari Hb normal.1
Uji Fluoresen Spot
Uji ini direkomendasikan oleh International Committee for Standardization in Hematology,
merupakan uji semikuantitatif yang mudah, murah dan cepat.Glukosa-6-fosfat (G6P) dan NADP
ditambahkan pada tetesan darah pada kertas saring kemudian dieksitasi pada panjang gelombang
340 nm.Prinsip uji ini adalah NADPH berfluoresen secara intens ketika teraktivasi dengan
gelombang panjang ultraviolet, sehingga fluoresensi mengindikasikan adanya aktivitas G6PD.
Kelemahan uji ini adalah cut off point yang rendah 2,1 U/gr Hg, sehingga dapat mendeteksi
defisiensi berat, tetapi tidak dapat mendeteksi penderita dengan sisa aktivitas enzim 20–60% dan
perempuan heterozigot. Sensitivitas uji ini dalam mendeteksi perempuan defisiensi heterozigot
sebesar 32% dan spesisfisitasnya 99%.6,7
Analisis Spektrofotometri
Hemolisat ditambahkan ke dalam campuran yang mengandung G6PD dan NADP, kecepatan
pembentukan NADPH dapat diukur dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 340 nm
pada suhu 300.Nilai normal bervariasi pada neonatus. Sebuah penelitian di Afrika menunjukkan
pada nonpenderita G6PD, aktivitas enzim 14,5–33,8 U/grHb (rata-rata 21,8±2,2 U/grHb), di
Israel nilai normal berkisar 9,3–26,2 U/grHb (rata-rata 14,5±3,0 U/grHb). Perempuan
heterozigot merupakan tantangan dalam penegakan diagnosis, karena analisis spektrofotometri
kuantitatif dan fluoresen spot bisa menunjukkan hasil normal. Uji ini dapat dipercaya pada
deteksi laki-laki hemizigot dan perempuan homozigot.Deteksi perempuan heterozigot sulit,
karena populasi eritrosit normal menghasilkan NADPH.Sensitivitas uji ini dalam mendeteksi
perempuan heterozigot adalah 11% dan spesifisitasnya 99%.6,7
Working Diagnosis
Defisiensi G6PD
Defisiensi G6PD diturunkan melalui kromosom X. Laki-laki hanya memiliki satu
kromosom X sehingga dapat memiliki ekspresi gen yang normal maupun defisiensi G6PD.
Perempuan yang memiliki 2 kopi gen G6PD pada setiap kromosom X dapat memiliki ekspresi
gen normal, heterozigot, maupun homozigot. Perempuan heterozigot dapat memiliki mosaic
genetik akibat inaktivasi kromosom X, dan dapat menderita defisiensi G6PD. Persentase
populasi defisiensi G6PD dan karier di India masing-masing 10% dan 11%.7
Gen G6PD terletak pada regio telomerik lengan panjang kromosom X (band Xq28),
dekat dengan gen hemofilia A, diskeratosis kongenital dan buta warna. Gen tersebut terdiri dari
13 ekson dan 12 intron, mengkodekan 515 asam amino. Wild type G6PD disebut 6GPD B.
Semua mutasi gen G6PD yang mengakibatkan defisiensi enzim tersebut berefek pada kode
sekuensi. Hingga saat ini telah dilaporkan 14 mutasi, umumnya subtitusi terjadi pada satu
pasangan basa yang menyebabkan perubahan susunan asam amino.1
Tabel 1. Pembagian Kelas Defisiensi G6PD1
Differential Diagnosis
Ikterus Fisiologis
Pada lingkungan normal, kadar bilirubin dalam serum talipusat yang bereaksi-indirek
adalah 1-3 mg/dL dan naik dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dL/24jam, dengan demikian,
icterus dapat dilihat pada hari ke-2 sampai ke-3, biasanya berpuncak antara hari ke-2 dan ke-4
dengan kadar 5-6 mg/dL dan munurun sampai di bawah 2 mg/dL antara umur hari ke-5 dan ke-7.
Icterus yang disertai dengan perubahan – perubahan ini disebut “fisiologis” dan diduga akibat
kenaikan produksi bilirubin pasca pemecahan sel darah merah janin dikombinasi dengan
keterbatasan sementara konjugasi bilirubin oleh hati.8
Secara keseluruhan, 6-7% bayi cukup bulan mempunyai kadar bilirubin indirek lebih
besar dari 12,9 mg/dL dan kurang dari 3% mempunyai kadar yang lebih besar dari 15 mg/dL.
Factor risiko untuk mengalami hiperbilirubinemia indirek meliputi : diabetes pada ibu, ras (Cina,
Jepang, Korea, dan Amerika Asli), prematuritas, obat – obatan (vitamin K3, novobiosin), tempat
yang tinggi, polisitemia, jenis kelamin laki – laki, trisomy 21, memar kulit, sefalhematom,
induksi oksitosin, pemberian ASI, kehilangan berat badan (dehidrasi atau kehabisan kalori),
pembentukkan tinja lambat, dan ada saudara mengalami icterus fisiologis.8
Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolysis, yaitu pemecahan
eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya. Anemia ini merupakan anemia yang tidak
terlalu sering dijumpai, tetapi bila dijumpai memerlukan pendekatan diagnostic yang tepat.
Anemia hemolitik dapat disebabkan antara lain oleh anemia sel sabit, malaria, penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, dan reaksi transfuse. Pada dasarnya anemia hemolitik dapat dibagi menjadi
dua golongan besar sebagai berikut.9
1. Anemia hemolitik karena faktor di dalam eritrosit sendiri (intrakorpuskular), yang
sebagian besar bersifat herediter-familiar.
2. Anemia hemolitik karena faktor di luar eritrosit (ekstrakorpuskular), yang sebagian besar
bersifat didapatkan..9
Epidemiologi
Defisiensi G6PD merupakan penyakit defisiensi enzim tersering pada
manusia, sekitar 2-3% dari seluruh populasi di dunia diperkirakan sekitar ±
400 juta manusia di seluruh dunia.Frekuensi tertinggi didapatkan daerah
tropis, ditemukan dengan frekuensi yang bervariasi pada berbagai ras Timur
tengah, India, Cina, Melayu, Thailand, Filipina dan Melanesia.10,11Defisiensi
G6PD menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia hemolitik
akut di kawasan Asia Tenggara.Di Indonesia insidennya diperkirakan 1-14%,
prevalensi defisiensi G6PD di Jawa Tengah sebesar 15% .12-13
Etiopatogenesis
Enzim G6PD mengkatalisis reaksi pertama jalur pentosa fosfat; glukosa dikonversi
menjadi gula pentosa yang dibutuhkan untuk glikolisis dan beberapa reaksi biosintesis.Jalur
pentosa fosfat juga memberikan efek reduksi dalam bentuk NADPH oleh kerja G6PD dan 6-
phosphogluconate dehydrogenase Molekul NADPH bekerja sebagai donor elektron pada banyak
reaksi enzimatik yang penting pada jalur biosintesis dan sebagai pelindung sel dari stres
oksidatif.Enzim G6PD juga penting dalam regenerasi bentuk tereduksi glutathione yang
diproduksi dengan 1 molekul NADPH.Glutathione tereduksi penting dalam mereduksi hidrogen
peroksida dan oksigen radikal.1,2
Enzim G6PD monomer terdiri dari 515 asam amino dengan berat molekul 59 kDa.Model
3 dimensi G6PD.Enzim ini aktif dalam bentuk tetramer atau dimer. Setiap monomer terdiri dari 2
domain: N terminal dan β + α domain, kedua domain tersebut dihubungkan oleh α helix.1 Enzim
G6PD ditemukan pada semua sel dengan kadar bervariasi di jaringan yang berbeda. Pada
eritrosit normal, enzim ini bekerja pada 1-2% potensi maksimalnya. Hingga saat ini lebih dari
140 mutasi gen G6PD telah ditemukan dan dihubungkan dengan defi siensi G6PD.1,2
G6PD mengkatalisis reaksi awal dari jalur pentose fosfat, dimana glukosa di konversi
menjadi gula pentosa yang nantinya berperan dalam glikolisis serta reaksi biosintesis yang lain.
Jalur pentosa fosfat juga menyediakan kemampuan reduksi dalam bentuk NADPH, melalui aksi
dari G6PD dan 6-fosfoglukonat dehidrogenase. NADPH menyediakan sebuah donor elektron
untuk banyak reaksi enzimatik esensial pada jalur biosintetik, dan produksinya krusial untuk
melindungi sel dari stress oksidatif. G6PD juga dibutuhkan untuk menghasilkan kembali
glutation tereduksi yang dihasilkan dengan sebuah molekul NADPH. Glutation tereduksi (GSH)
adalah esensial untuk reduksi dari hidrogen peroksida dan radikal oksigen, serta berperan penting
dalam pemeliharaan hemoglobin dan protein sel darah merah lainnya untuk tetap berada dalam
kondisi tereduksi.3-5
GSH dihasilkan melalui jalur fosfat pentosa, seperti diuraikan di atas, melindungi hanya
terhadap stres oksidan dalam eritrosit. Dalam eritrosit yang normal tanpa tekanan G6PD,
aktivitas G6PD hanya sekitar 2% dari total kapasitas. Ini meningkatkan kemungkinan terhadap
tantangan dari stres oksidan dan GSH akan sanggup selalu dipertahankan pada tingkat stabil.
Namun, pada eritrosit dengan defisiensi G6PD, aktivitas enzim G6PD jauh berkurang (10 sampai
20% dari normal pada G6PD A (-) dan 0 sampai 10% dari normal pada G6PD Mediteranian dan
varian serupa (kelas I dan II). Peningkatan stress oksidan dapat menyebabkan berkurangnya
jumlah GSH yang signifikan pada kondisi defisiensi G6PD, karena tidak adanya enzim G6PD
yang cukup untuk menghasilkan NADPH untuk memelihara GSH dalam jumlah adekuat.1,5,6
Stres oksidan tidak terkompensasi dalam eritrosit normal (atau lebih mudah bertumpuk
dalam eritrosit defisiensi G6PD) mengoksidasi hemoglobin menjadi methemoglobin,
membentuk Heinz body, dan merusak membran. Pada keadaan tersebut, eritrosit menjadi lebih
rentan untuk mengalami hemolisis, terutama pada sistem retikuloendotelial. Akibat hilangnya
eritrosit, hematopoiesis akan meningkat sebagai kompensasi tubuh untuk mempertahankan
fungsi normal vaskular, dan banyak retikulosit yang dihasilkan. Retikulosit normalnya
ditemukan kurang dari 1% eritrosit total, tapi pada kondisi hemolisis yang berat, retikulosit dapat
ditemukan hingga 15% dari eritrosit.1,5,6
Hemolisis pada orang dengan defisiensi G6PD dapat dipicu oleh tiga faktor yaitu infeksi,
stress, obat dan bahan kimia. Obat-obatan yang sering menyebabkan hemolisis pada defisiensi
G6PD adalah primakuin, dapson, sulfametoksazol, kotrimoksazol, asam nalidiksat,
nitrofurantoin, niridazol, fenazopiridin, dan asam asetilsalisilat.1,5,6
Struktur Genetika G6PD
G6PD dikode oleh gen Xq28. Mutasi pada gen ini menyebabkan defisiensi G6PD. Laki-laki
hanya memiliki satu kromosom X, sehingga defisiensi G6PD tergantung pada apakah kromosom
X tersebut membawa gen G6PD abnormal.Perempuan memiliki dua kromosom X, sehingga
perempuan bisa saja homozigot normal, homozigot defisiensi G6PD, dan heterozigot defisiensi
G6PD.Fenotip heterozigot disebut juga dengan intermediate. Tabel 6 di bawah ini menunjukkan
kemungkinan genotip dan fenotip G6PD.7
Tabel 2. Genetika G6PD.7
Jenis kelamin Genotip G6PD
Fenotip G6PD Aktivitas G6PD
Laki-laki XnlY Hemizigot normal Normal
Xdef Y Hemizigot defisiensi Defisiensi
Perempuan Xnl Xnl Homozigot normal Normal
Xnl Xdef Heterozigot Intermediate, dapat menjadi normal maupun defisiensi
Xdef Xdef Homozigot defisiensi Defisiensi
nl: normal, def: defisiensi
Intoksikasi Naphtalene
Stress oksidatif dapat menyebabkan methemoglobinemia dan/atau hemolisis. Stress
oksidatif merubah zat besi pada hemoblobin dari bentuk ferro (Fe2+) menjadi ferri (Fe3+) sehingga
merubah hemoglobin menjadi methemoglobin. Perubahan ini menyebabkan sel darah merah
tidak lagi mampu membawa oksigen. Pada saat stress oksidatif mendenaturasi hemoglobin,
kelompok heme dan globin terpisah, kemudian mengalami presipitasi dalam eritrosit,
membentuk Heinz Body. Eritrosit dengan hemoglobin yang terdenaturasi lebih rentan terhadap
hemolisis, baik di luar maupun di dalam sistem retikuloendotelial.14,15
Mekanisme protektif yang terpenting dalam melawan agen oksidan melibatkan generasi
dari NADPH yang tereduksi, yang digunakan untuk menyuplai glutation tereduksi (GSH), agen
pereduksi utama.Daya dari heksosa monofosfat digunakan untuk memproduksi
NADPH.NADPH terbentuk saat G6PD mengonversi glukosa-6-fosfat menjadi 6-fosfoglukonat.
Pasien dengan berbagai derajad variasi defisiensi G6PD lebih rentan terhadap hemolisis dan
methemoglobinemia setelah terpapar stress oksidatif, dengan hemolisis lebih sering dijumpai
pada pasien dengan kondisi ini.14,15
Manifestasi Klinik
Sebagian besar manusia dengan defisiensi G6PD tetap asimtomatik selama hidupnya,
akan tetapi mereka semua beresiko tinggi mengalami neonatal jaundice dan anemia hemolitik
akut. Pada bayi dengan defisiensi G6PD, neonatal jaundice dapat menjadi berat, yang jika tidak
diatasi dengan tepat dapat menyebabkan kernikterus dan kerusakan saraf yang permanen.1,5,6
Gejala klinik timbul 1-3 hari setelah terpapar faktor pencetus, berupa
anemia hemolitik akut dengan gambaran khas berupa rewel, iritabel/tampak
rewel, letargi, suhu meningkat > 380 C, mual, nyeri abdominal, diare,
anemia, ikterik dan kelainan pada urine (hemoglobinuria). Pada pemeriksaan
fisik didapat kepucatan yang bervariasi dan takikardi, lien dan hepar
biasanya membesar. Pada kasus berat terjadi syok hipovolemik dan gagal
jantung10,11,
Anemia hemolitik akut pada pasien yang defisiensi G6PD biasanya dipicu oleh fava
beans, infeksi, dan obat-obatan. Biasanya, serangan hemolitik diawali dengan malaise,
kelemahan, iritabilitas, dan nyeri abdominal atau lumbal. Kemudian dalam beberapa jam atau 2-
3 hari, pasien mengalami jaundice dan sering kali menghasilkan urin berwarna gelap akibat
hemoglobinuria. Onsetnya bisa tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Anemia yang terjadi bisa
ringan sampai berat. Anemia biasanya normositik dan normokrom karena hemolisis yang terjadi
intravaskular. Oleh sebab itu, muncul hemoglobinuria, hemoglobinemia, LDH (Laktat
dehidrogenase) yang tinggi dan plasma haptoglobin yang rendah atau tidak ada sama sekali. Dari
pemeriksaan darah, ditemukan hemighosts (sel darah merah dengan hemoglobin tidak merata)
dan bite cells atau blister cells (sel darah merah yang tampak seperti digigit) yang merupakan ciri
khas dari anemia hemolitik akut.1,5,6
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin adalah gagal ginjal kronis, splenomegali, sepsis, disfungsi
hepar, dan keracunan preparat besi.5,6
Penatalaksanaan
Strategi penatalaksanaan defisiensi G6PD yang paling efektif untuk mencegah hemolysis
adalah mencegah stres oksidatif (misalnya akibat obat-obatan dan kacang fava).Pendekatan ini
memerlukan pemahaman pasien dan bisa tercapai jika ada program skrining defisiensi
G6PD.Hemolisis akut akibat G6PD biasanya tidak lama dan tidak memerlukan terapi spesifik.
Pada kasus jarang (biasanya anak-anak) dapat terjadi anemia berat yang memerlukan transfusi
darah.1,2
Ikterus neonatorum akibat defisiensi G6PD diterapi seperti ikterus neonatorum kausa
lain. Jika kadar bilirubin tidak terkonjugasi melebihi 150 nmol/L diberi fototerapi untuk
mencegah kerusakan saraf. Jika kadarnya >300 nmol/L transfusi darah mungkin
diperlukan.Pasien anemia hemolitik nonsferosis kongenital terkadang mengalami anemia
terkompensasi yang tidak memerlukan transfusi darah kecuali jika ada eksaserbasi akibat stres
oksidatif yang dapat memperburuk anemianya.Pasien anemia hemolitik non-sferosis kongenital
biasanya mengalami splenomegali tetapi tindakan splenektomi jarang memberi keuntungan. Batu
empedu juga merupakan komplikasi akibat hemolisis karena defisiensi G6PD.1,2
Pencegahan
Konseling Genetik (Tes Skrining)
Di berbagai negara, skrining defisiensi G6PD pada neonatus rutin dilakukan.Hal ini
penting karena kernicterus yang merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pada neonatus
defisiensi G6PD dapat dicegah dengan menghindari factor-faktor penyebab hemolisis16.Laporan
dari Singapura menunjukkan setelah program skrining defisiensi G6PD neonatus sejak tahun
1965 menggunakan sampel darah tali pusat, insidens kernikterus turun drastic dalam 20 tahun
terakhir.Dilaporkan hanya1 kasus kernikterus pada neonatus defisiensi G6PD di Singapura.
Neonatus def siensi G6PD dilindungi secara fisik di rumah sakit selama 2 minggu pertama dan
orang tuanya diberikan konseling mengenai obat-obatan yang dapat memicu krisis hemolisis.17
Pao menemukan bahwa insidens hiperbilirubinemia pada neonatus defisiensi G6PD
sebesar 32% dan pada neonates dengan G6PD normal hanya 12,3%, hal ini menunjukkan
perlunya skrining defisiensi G6PD pada neonatus. Pada neonatus laki-laki hemizigot defisiensi
G6PD, kadar G6PD <4,6 u/g Hb dapat digunakan sebagai cutoff , sedangkan pada neonatus
perempuan dianjurkan nilai cut off lebih tinggi, yaitu <6,6 u/g Hb karena terdapat sejumlah
populasi neonatus heterozigot defisiensi G6PD parsial.18
Untuk skrining cepat beberapa metode semikuantitatif telah dikembangkan seperti dye-
decolouration test oleh Motulsky dan tes fluorescent spot yang mengindikasikan defisiensi
G6PD jika spot darah tidak berfluoresen di bawah sinar ultra violet.1
Tes fenotip aktivitas enzimatik G6PD pada darah vena segar merupakan metode
diagnostik yang paling umum. Tes fenotip dapat dibagi menjadi 4 kategori: 19
a) Tes direk yang langsung menilai aktivitas enzimatik G6PD. Standar perhitungan adalah
berdasarkan spektrofotometer. Tes spotfluorescent Beutler’s merupakan tes skrining
populer yang menginkubasi hemolisat dengan substrat reaksi G6PD, ditempatkan di
kertas filter dan disinari ultra violet (450 nm). Fluoresensi menunjukkan aktivitas G6PD.
Tes ini paling mudah meskipun masih jauh dari ideal.
b) Tes indirek yang mencakup tes reduksi methemoglobin. Sel eritrosit direaksikan dengan
nitrit dan substrat glukosa kemudian tingkat NADPH-dependent
methaemoglobinreduction dinilai dengan katalis redoks. Derajat NADPH-dependent
methaemoglobinreduction berkorelasi dengan aktivitas G6PD. Metode indirek lain
menggunakan kromofor seperti brillian cresil blue, resazurin, formazan untuk memantau
produksi NADPH.
c) Tes sitokimia yang menilai status G6PD eritrosit, dapat digunakan untuk deteksi laki-laki
defisiensi homozigot, perempuan defisiensi homozigot dan heterozigot. Tes sitokimia
mencakup methaemoglobin elutiontest dengan melabel eritrosit berdasarkan jumlah
relatif methemoglobinnya sesuai metode indirek dengan tes reduksi methe-moglobin.
Metode terbaru sitofluorometrik mendeteksi autofluoresens terinduksi glutaral-dehid
dengan formazan yang menggunakan teknik flowsitometri.
d) Tes cepat dengan point of care tests (POCT).
Silsilah Keluarga
Gambar 1. Silsilah Keluarga Defisiensi G6PD.20
Defisiensi G6PD merupakan kelainan yang diwariskan dalam pola X-linked resesif sehingga
tidak mungkin laki-laki yang menderita defisiensi G6PD, yang menikah dengan wanita normal,
akan memiliki anak laki-laki dengan defisiensi juga. Laki-laki defisiensi hemizigot dan
perempuan defisiensi homozigot mengekspresikan derajat yang sama defisiensi enzim,
sedangkan laki-laki hemizigot normal dan perempuan homozigot normal juga memiliki tingkat
enzim sebanding. Disebabkan karena deaktifasi acak dari satu kromosom-X selama
perkembangan embriologis pada perempuan, perempuan heterozigot benar-benar memiliki dua
populasi eritrosit (G6PD normal dan defisiensi G6PD) dengan berbagai aktivitas G6PD
tergantung proporsi dari kedua kelompok eritrosit. Aktivitas G6PD perempuan heterozigot bisa
berkisar dari hampir normal hingga mendekati-defisiensi.5
Faktor Resiko Defisiensi G6PD
Defisiensi G6PD ditemukan sebagai hasil investigasi hemolisis pada penderita yang
minum primakuin.Beberapa obat dihubungkan dengan hemolisis akut pada penderita defisiensi
G6PD.Obat-obat spesifik penyebab langsung krisis hemolisis penderita defisiensi G6PD sulit
ditentukan dengan tepat. Pertama, suatu obat yang dinyatakan aman untuk satu penderita
defisiensi G6PD belum tentu aman untuk penderita lain, mungkin karena perbedaan
farmakokinetik tiap individu. Kedua, obat yang memiliki efek oksidan sering diberikan pada
pasien dengan keadaan klinis (misalnya infeksi) yang dapat menyebabkan hemolisis.Ketiga,
pasien mengkonsumsi lebih dari satu jenis obat. Keempat, hemolisis pada defisiensi G6PD
biasanya sembuh sendiri,tidak menyebabkan anemia dan retikulositosis yang signifikan.1,2
Prognosis
Dengan menghindari rangsangan yang dapat merangsang gejala G6PD maka prognosis
yang didapatkan baik adanya.
Kesimpulan
Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan enzim pengkatalisis reaksi pertama jalur
pentosa fosfat dan memberikan efek reduksi pada semua sel dalam bentuk NADPH (bentuk
tereduksi nicotinamideadenine dinucleotide phosphate).Defisiensi G6PD merupakan enzimopati
yang paling umum diderita manusia dan terkait dengan kromosom X. Gen pengkode enzim ini
terletak di lengan panjang kromosom X (Xq28).Prevalensi penyakit ini ditemukan tinggi di
Afrika, Mediterania, Asia Tenggara dan Amerika Latin terutama di daerah dengan endemisitas
malaria yang tinggi. Prevalensi di Indonesia berkisar 2,7% hingga 14,2%.
Sebagian besar penderita defisiensi G6PD tidak bergejala dan tidak mengetahui
kondisinya.Penyakit ini muncul apabila eritrosit mengalami stres oksidatif dipicu obat, infeksi,
maupun konsumsi fava beans.Defisiensi G6PD biasanya bermanifestasi sebagai anemia
hemolitik akut yang diinduksi obat maupun infeksi, favisme, icterus neonatorum maupun anemia
hemolitik non sferosis kronis. Strategi penatalaksanaan defisiensi G6PD yang paling efektif
untuk mencegah hemolisis adalah mencegah stress oksidatif (misalnya akibat obat-obatan dan
kacang fava). Skrining dan diagnosis defisiensi G6PD pada neonatus dapat dilakukan dengan
beberapa metode dan penting untuk mencegah morbiditas dan mortalitas.
Daftar Pustaka
1. Cappellini MD, Fiorelli G. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. Lancet.
2008;371:64-74.
2. Farhud DD, Yazdanpanah L. Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency.
Iranian J Publ Health. 2008;37(4):1-18.
3. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta:EGC;2009.hal.77-89.
4. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan.edisi
8. Jakarta:EGC;2009. Hal. 166-290.
5. Kliegman RM, et al. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19. USA:Elsevier;2011. Hal.
1648-80.
6. Harmening DM. Clinical hematology and fundamentals of hemostasis. Edisi 5.
Philadelphia:FA Davis Company;2009. Hal. 265-6
7. Rai V, Kumar P. Epidemiological study of glucose-6-phosphate dehydrogenase defi
ciency in scheduled caste population of India. J Anthropol. 2012. Hal.134-9.
8. Arvin BK. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Jakarta : EGC ; 2000. h. 611.
9. Davey P. At glance medicine. Jakarta : Erlangga; 2006. h. 306.
10. Retzinger GS. Editors. Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD) Deficiency. In: Lab
Lines. May/Junes. 2002. Vol 8. Issue 3. Available
in :www.med.edu/departme/pathdept/web/lablines/vol813.
11. Chan TK. Glucose-6-Phosphat Dehydrogenase (G6PD) Deficiency; A Review. Available
in :http://www.cchi.can.hk/specialtopic/case1/case1.htm.
12. Soemantri Ag. Biomolecular of Red Cell Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase
Deficiency of Asia Population. Editor: Asian Symposium In Neonatology G6PD
Deficiency and Related Condition. Yogyakarta, Agustus 8-9, 2000: 1-27.
13. Soemantri AG, Saha S, Tay JSH. Molecular Variants of Red Cell Glucose-6-Phosphate
Dehydrogenase Deficiency In Central Java, Indonesia : Hum.Hered,2002;45:346-50.
14. Hoffman RF, et al. Goldfrank’s manual of toxicologic emergencies. USA: McGraw-Hill
Companies; 2007. Hal. 778-80.
15. Toxicological review of naphthalene. Diunduh dari http://www.epa.gov/iris/toxreviews/
0436tr.pdf. 16 September 2012
16. Leong A. Is there a need for neonatal screening of glucose-6-phosphate dehydrogenase
deficiency in Canada? MJM. 2007;10(1):31-4.
17. Joseph R, Ho LY, Gomez JM, Raddurai VS, Sivasankaran S, Yop YY. Mass newborn
screening for glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency in singapore. Southeast
Asian J. Trop. Med.& Publ. Health. 1999;Suppl 2:70-1.
18. Pao M, Kulkarni A, Gupta V, Kaul S, Balan S. Neonatal screening for glucose-6-
phosphate dehydrogenase defi ciency. Indian J Pediatri. 2005;72(10):835-7.
19. Seidlein LV, Auburn S, Espino F, Shanks D, Cheng Q, McCarthy J, et al. Review of key
knowledge gaps in glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency detection with regard
to the safe clinical deployment of 8-aminoquinoline treatment regimens: a workshop
report. Malaria J. 2013.p.112-4.
20. Epstein O, Perkin GD, Cookson J, Watt IS, Rakhit R, Robins AW, Hornett GA. Clinical
examination. 4th Edition. British : Elsevier Limited; 2008. h. 391.