debu batu bara.pdf

5
Artikel Penelitian J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011 Efek Inhalasi Debu Batubara terhadap Stres Klorinatif dan Kerusakan Endotel 1 Bambang Setiawan,* Nia Kania,** Agus Yuwono,*** Dyah Paramita**** *Bagian Kimia Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru **Bagian Patologi Anatomi, Rumah Sakit Umum Ulin, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ***Bagian Penyakit Dalam, Rumah Sakit Umum Ulin, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ****Dokter Umum, Rumah Sakit Umum Banjarbaru, Banjarmasin Abstrak: Debu batubara akan memicu makrofag fagositik membentuk H 2 O 2 . Selanjutnya, H 2 O 2 akan dikatalisis oleh mieloperoksidase membentuk HOCl yang dapat memicu stres klorinatif pada protein sel endotel berupa peningkatan Circulating Endothelial Cells (CEC). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek paparan debu batubara akut dan sub kronik terhadap stres klorinatif yang diukur melalui pembentukan Advanced Oxidation Protein Products (AOPP) dan kerusakan sel endotel yang diukur dengan CEC. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental toksikologi dengan desain post-test only control group. Subjek penelitian adalah tikus Wistar jantan yang diperoleh dari UGM Yogyakarta. Batubara diperoleh dari tambang di daerah Karuh Asam-asam Kalimatan Selatan. Paparan debu batubara dilakukan dengan alat paparan inhalasi model 2009 selama 1 jam per hari untuk paparan 1 hari (paparan akut) dan paparan 28 hari (paparan sub kronik). AOPP diukur dengan metode Witko-Sarsat yang dimodifikasi Cakatay. CEC diukur dengan metode dari Hladovec ® yang dimofidikasi oleh Widjajanto yang dikembangkan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universi- tas Brawijaya Malang. Hasil penelitian menyatakan bahwa paparan akut menyebabkan peningkatan AOPP dan CEC secara bermakna (p<0,05) yang tidak ditemukan pada paparan subkronik. Dengan demikian, paparan debu batubara akut melalui inhalasi meningkatkan stres klorinatif dan kerusakan endotel. Untuk paparan subkronik tidak didapatkan stres klorinatif dan kerusakan endotel secara bermakna. J Indon Med Assoc. 2011;61: 253-7. Kata kunci: debu batubara, inhalasi, stres klorinatif, kerusakan endotel 253 1 Telah dipresentasikan pada 8 th Basic Molecular Biology Course on Stem Cell, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 23-25 Juni 2010.

Upload: arga

Post on 12-Dec-2015

260 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sedot gn

TRANSCRIPT

Page 1: debu batu bara.pdf

Artikel Penelitian

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011

Efek Inhalasi Debu Batubaraterhadap Stres Klorinatif dan

Kerusakan Endotel1

Bambang Setiawan,* Nia Kania,** Agus Yuwono,*** Dyah Paramita****

*Bagian Kimia Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru

**Bagian Patologi Anatomi, Rumah Sakit Umum Ulin, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

***Bagian Penyakit Dalam, Rumah Sakit Umum Ulin, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

****Dokter Umum, Rumah Sakit Umum Banjarbaru, Banjarmasin

Abstrak: Debu batubara akan memicu makrofag fagositik membentuk H2O

2. Selanjutnya, H

2O

2

akan dikatalisis oleh mieloperoksidase membentuk HOCl yang dapat memicu stres klorinatif

pada protein sel endotel berupa peningkatan Circulating Endothelial Cells (CEC). Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui efek paparan debu batubara akut dan sub kronik terhadap

stres klorinatif yang diukur melalui pembentukan Advanced Oxidation Protein Products (AOPP)

dan kerusakan sel endotel yang diukur dengan CEC. Penelitian ini merupakan penelitian

eksperimental toksikologi dengan desain post-test only control group. Subjek penelitian adalah

tikus Wistar jantan yang diperoleh dari UGM Yogyakarta. Batubara diperoleh dari tambang di

daerah Karuh Asam-asam Kalimatan Selatan. Paparan debu batubara dilakukan dengan alat

paparan inhalasi model 2009 selama 1 jam per hari untuk paparan 1 hari (paparan akut) dan

paparan 28 hari (paparan sub kronik). AOPP diukur dengan metode Witko-Sarsat yang

dimodifikasi Cakatay. CEC diukur dengan metode dari Hladovec® yang dimofidikasi oleh

Widjajanto yang dikembangkan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universi-

tas Brawijaya Malang. Hasil penelitian menyatakan bahwa paparan akut menyebabkan

peningkatan AOPP dan CEC secara bermakna (p<0,05) yang tidak ditemukan pada paparan

subkronik. Dengan demikian, paparan debu batubara akut melalui inhalasi meningkatkan

stres klorinatif dan kerusakan endotel. Untuk paparan subkronik tidak didapatkan stres

klorinatif dan kerusakan endotel secara bermakna. J Indon Med Assoc. 2011;61: 253-7.

Kata kunci: debu batubara, inhalasi, stres klorinatif, kerusakan endotel

253

1 Telah dipresentasikan pada 8th Basic Molecular Biology Course

on Stem Cell, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 23-25

Juni 2010.

Page 2: debu batu bara.pdf

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011254

Acute Inhalation of Coal Dust Increases Chlorinative Stress and

Endothelial Damage

Bambang Setiawan,* Nia Kania,** Agus Yuwono,*** Dyah Paramita****

*Department of Medical Chemistry, Lambung Mangkurat Medical School, Banjarbaru

**Department of Pathology Anatomy, Ulin General Hospital, Lambung Mangkurat

Medical School, Banjarmasin

***Department of Internal Medicine, Ulin General Hospital, Lambung Mangkurat

Medical School, Banjarmasin

****General Medical Practitioner, Banjarbaru General Hospital, Banjarbaru

Abstract: Coal dust induce phagocytic macrophage to produce H2O

2. H

2O

2 would catalyzed by

myeloperoxidase yield HOCl then induce chlorinative stress and protein endothelial damage to

increase circulating endothelial cells. The present work aimed to investigate the effects of acute

and subchronic exposure to coal dust on chlronative stress determined by AOPP and endothelial

damage determined by CEC. This study was experimental toxicology research post test only

control group design. Subject of this study was male Wistar rat obtained from UGM Yogyakarta.

Coal was obtained from mining in Karuh Asam-asam South Kalimantan. Exposure of coal dust

was done by coal dust inhalation exposure equipment 2009 model for one hour a day for 1 day

(acute) and 28 days (subchronic). AOPP was measured by Cakatay modification method on

Witko-Sarsat. Circulating endothelial cell was measured by method from Hladovec modified by

Widjajanto which developed in Pharmacology Laboratory, Brawijaya Medical School. Result

showd increase of AOPP and CEC in acute exposure (p<0.05) but not subchronic. In conclusion,

acute inhalation exposure of coal dust increased chlorinative stress and endothelial damage.

However, in subchronic exposure there is no significant different in chlorinative stress and endot-

helial damage. J Indon Med Assoc. 2011;61: 253-7.

Keywords: coal dust, acute, sub chronic, inhalation, chlorinative stress, endothelial damage

Pendahuluan

Batubara adalah bahan bakar fosil berupa batuan

organik bersedimen dan mudah terbakar yang terbentuk dari

perubahan tanaman melalui konsolidasi di antara strata

batuan yang dipengaruhi oleh tekanan dan panas.1 Ekspor

batubara dari Indonesia menempati urutan kesembilan di

dunia, yaitu sebesar 18,75% dari keseluruhan ekspor batu-

bara dunia. Kalimantan Selatan merupakan penghasil batu-

bara terbesar dengan lokasi pertambangan yang tersebar di

seluruh wilayah.2 Aktivitas batubara di Kalimantan Selatan

terjadi di daerah tambang terbuka maupun jalur transportasi

batubara menuju stockpile di pelabuhan sehingga terjadi

akumulasi debu batubara yang akan disebarluaskan oleh

angin. Pada pertambangan batubara, debu batubara

dihasilkan ketika batubara hancur oleh tubrukan, abrasi,

peremukan, dan penggilasan. Di jalur transportasi batubara,

debu batubara ditimbulkan oleh pergerakan batubara di dalam

bak truk pada berbagai kondisi jalan.

Debu batubara adalah campuran kompleks berbagai

proporsi mineral, trace metal, dan bahan organik dengan

derajat yang berbeda dari partikulat batubara.3 Beberapa

penyakit akibat paparan debu batubara kronik meliputi simple

coal workers pneumoconiosis (CWP), progressive massive

fibrosis (PMF), bronkitis kronik, dan emfisema.4,5 Penelitian

Mullolli et al6 mengungkapkan adanya peningkatan jumlah

penderita asma pada anak yang tinggal di dekat atau jauh

dari lokasi pertambangan batubara terbuka. Hal itu meng-

indikasikan bahwa penyakit akibat debu batubara ber-

hubungan dengan sifat debu yang mudah diterbangkan oleh

angin.

Berbagai komponen aktif debu batubara diduga berperan

secara langsung pada patogenesis penyakit akibat debu

batubara, antara lain silika, carbon centered radical, dan

besi.3 Carbon centered radical adalah radikal bebas dari

komponen organik batubara. Senyawa itu bersifat stabil dan

terperangkap dalam struktur batubara, sehingga tidak terlibat

Efek Inhalasi Debu Batubara terhadap Stres Klorinatif dan Kerusakan Endotel

Page 3: debu batu bara.pdf

Efek Inhalasi Debu Batubara terhadap Stres Klorinatif dan Kerusakan Endotel

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011 255

dalam reaksi biologis di dalam tubuh. Besi (Fe2+ dan Fe3+)

adalah komponen bioaktif yang dilepaskan oleh debu

batubara. Besi mampu mengkatalisis pembentukan senyawa

oksigen reaktif melalui reaksi dengan oksigen dan/atau

hidrogen peroksida.7

Partikel debu batubara yang terdeposit di epitelium

alveolar akan difagosit oleh makrofag alveolar yang selan-

jutnya akan melepaskan H2O

2 dan ·O

2.1,5 H

2O

2 yang terbentuk

akan dikatalisis oleh myeloperoksidase membentuk anion

hipoklorit (HOCl-). Selanjutnya, anion hipoklorit akan bereaksi

dengan gugus amino protein membentuk kloramin. Apabila

kapasitas antioksidan endogen tidak mampu meredam

reaktivitas anion hipoklorit, akan terjadi stres klorinatif. Ad-

vanced Oxidation Protein Products (AOPPs) merupakan

marker yang baik untuk stres klorinatif derivat fagosit.8

Peningkatan AOPP mencerminkan peningkatan pemben-

tukan H2O

2 peningkatan aktivitas myeloperoksidase; dan

peningkatan reaktivitas anion hipoklorit terhadap biomolekul

yang mengandung gugus amino, misalnya protein pada

struktur sel.

Endotelium adalah organ terbesar di dalam tubuh, terdiri

atas selapis sel yang melapisi bagian dalam sistem sirkulasi

(pembuluh darah).9,10 Sel endotel melapisi pohon vaskuler

dan melekat pada membran basal. Pada kondisi sehat, sel ini

akan melekat pada membran basal dan hanya sedikit yang

akan lepas ke dalam darah, lalu dibersihkan oleh sistem

retikuloendotelial. Kerusakan endotelium akan menyebabkan

pengelupasan sel endotel sehingga menyebabkan pening-

katan jumlah circulating endothelial cells (CEC) di aliran

darah. Hanya sekitar <3 sel/mL CEC yang ditemukan pada

individu sehat. Mekanisme pengelupasan CEC bersifat

kompleks dan melibatkan berbagai faktor, meliputi cedera

mekanik, faktor klasik atherosklerosis, perubahan molekul

adhesi sel endotel/sel subendotel, defek ikatan pada protein

matriks anchoring, dan apoptosis seluler dengan penurunan

daya tahan protein sitoskeletal.11 Penelitian Lee et al12 mem-

buktikan peningkatan CEC pada infark miokard dibandingkan

penyakit arteri koroner dan orang sehat. Dipikirkan pula

bahwa kerusakan endotel dapat disebabkan oleh debu

batubara.

Belum ada penelitian yang mengklarifikasi permasalahan

ini sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengukur stres

klorinatif dan kerusakan endotel akibat paparan debu

batubara.

Metode

Penelitian eksperimetal dengan desain post-test only

control group. Subjek penelitian ini adalah tikus Wistar

berjenis kelamin jantan, berat badan 200-250 gram dari UGM-

Yogyakarta. Kelompok penelitian meliputi kontrol, paparan

akut (1 hari), dan paparan subkronik (28 hari). Dengan rumus

Federer diperoleh jumlah tikus per kelompok 8 ekor tikus.

Tahap penelitian meliputi pembuatan debu batubara,

pemaparan debu batubara, dan pemeriksaan parameter.

Penelitian telah lolos uji etik dari komite etik penelitian

Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat.

Tahap Pembuatan Debu Batubara

Batubara yang berbentuk batuan dari tambang Karuh

Asam-asam Kalimantan Selatan dipilih ukuran paling kecil

kemudian dihancurkan dengan martil menjadi butiran kecil.

Selanjutnya butiran kecil diblender sampai berbentuk partikel

halus. Partikel halus kemudian dikumpulkan dan digunakan

pada tahap pemaparan. Partikel kemudian disaring dengan

Mesh MicroSieve® (BioDesign®, USA) sehingga didapatkan

debu batubara diameter <10 µm.

Tahap Pemaparan Debu Batubara

Debu batubara yang dihasilkan akan dipajankan pada

tikus yang berada di dalam kotak pajanan yang terbuat dari

kawat ram dengan ukuran 40 cm3 selama 1 jam per hari selama

1 hari dan 28 hari. Paparan dengan alat paparan debu batubara

model 2009 yang didesain dan tersedia di Bagian Kimia

Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

Mangkurat. Rangkaian alat meliputi blender, blower, selang,

serta kandang pajanan. Debu batubara akan dimasukkan

sebanyak 1 gram ke dalam blender yang kemudian dinyalakan

sehingga terjadi proses penghancuran disertai pembentukan

debu yang beterbangan. Debu yang beterbangan tersebut

akan dihisap dengan blower dan diteruskan melalui selang

menuju kandang paparan. Agar tercipta lingkungan di dalam

kandang paparan sebagai ambien debu batubara, kandang

ditutup dengan plastik berwarna hitam.

Tahap Pemeriksaan Parameter

Setelah dilakukan pemajanan selama 1 hari dan 28 hari,

pada keesokan harinya dilakukan pembedahan pada tikus

yang telah dimasukkan ke dalam bak plastik berisi kapas yang

mengandung eter. Pembedahan dilakukan pada tikus yang

masih mem-punyai detak jantung dengan membuka abdo-

men, memotong kosta, dan membuka rongga dada untuk

menemukan jantung. Darah yang diperoleh dari jantung akan

digunakan untuk pemeriksaan parameter. Pemeriksaan Ad-

vanced Oxidation Protein Products (AOPP) sebagai marker

stres klorinatif dilakukan dengan metode Cakatay yang

memodifikasi metode Witko-Sarsat.13 Pemeriksaan Circulat-

ing Endothelial Cells (CEC) dilakukan metode Hladovec14

yang dimodifikasi oleh Widjajanto et al15.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan uji t tidak

berpasangan dan disimpulkan terdapat perbedaan secara

bermakna apabila didapatkan apabila nilai p<0,05.

Hasil

Pajanan debu batubara akut menyebabkan peningkatan

kadar AOPP secara bermakna dibandingkan kontrol (p=0,032),

namun pajanan subkronik tidak menunjukkan perbedaan

Page 4: debu batu bara.pdf

Efek Inhalasi Debu Batubara terhadap Stres Klorinatif dan Kerusakan Endotel

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011256

secara bermakna dibandingkan kontrol (p=0,968) (Tabel 1).

Pajanan debu batubara akut juga meningkatkan rerata

jumlah CEC secara bermakna dibandingkan kontrol (p=0,02),

sedangkan pajanan subkronik tidak menunjukkan pening-

katan secara bermakna dibandingkan kontrol (p=0,515).

Diskusi

Inhalasi debu batubara akan membentuk senyawa

oksigen reaktif melalui mekanisme secara langsung dan tidak

langsung. Mekanisme langsung melibatkan komponen

bioaktif yang dikandung oleh debu batubara. Sedangkan

mekanisme tidak langsung terjadi akibat respiratory burst

hasil aktivasi makrofag dan leukosit polimorfonuklear ketika

terjadi fagositosis dan inflamasi yang menetap.5,16

Kapasitas oksidatif debu batubara utamanya dise-

babkan oleh kandungan logam transisi, meliputi Fe, Cr, Mn,

Co, Ni, Cu, Zn, dan silika. Beberapa logam tersebut dapat

mengkatalis reaksi Fenton untuk menghasilkan senyawa

oksigen reaktif.5 Selama fagositosis partikel terinhalasi, akan

dibentuk radikal superoksida yang akan mengalami dismutasi

spontan membentuk hidrogen peroksida. Apabila terdapat

logam transisi, maka hidrogen peroksida akan dikonversi

menjadi radikal hidroksil.17

Populasi yang terpapar debu batubara kronik berisiko

lebih tinggi terkena penyakit kardiovaskuler penyakit jantung

koroner dan serangan jantung yang sebanding antara pria

dan wanita.18 Pada penelitian ini, peningkatan stres klorinatif

secara bermakna hanya ditemukan pada pajanan akut dan

tidak ditemukan pada pajanan subkronik. Pada pajanan akut,

kapasitas oksidatif debu batubara memicu reaksi antara HOCl

dengan gugus amin protein membentuk AOPP dan juga

ditemukan peningkatan jumlah CEC yang mencerminkan

peningkatan kerusakan sel endotel. Hal ini mengindikasikan

adanya stres klorinatif pada kadar tinggi yang akan memicu

adanya apoptosis seluler. Bergantung kepada kadar

senyawa reaktif, berbagai faktor transkripsi sensitif redoks

diaktivasi dan akan mengkoordinasikan respons biologis

tertentu. Stres klorinatif pada kadar rendah akan menginduksi

Nrf2, faktor transkripsi yang berimplikasi pada transaktivasi

gen yang menyandi aktivitas antioksidan enzimatik. Senyawa

reaktif pada kadar sedang akan memicu respon inflamasi

melalui aktivasi NF-kB dan AP-1. Namun stres klorinatif pada

kadar tinggi akan mengacaukan pori mitokondria dan

gangguan transfer elektron yang akhirnya menyebabkan

nekrosis atau apoptosis.19

Pada pajanan subkronik, ketidakbermaknaan diduga

disebabkan oleh makrofag yang telah jenuh dalam fagositosis

Tabel 1. Kadar AOPP dan Jumlah CEC pada Berbagai Kelom-

pok

Kontrol Akut Subkronik

Kadar AOPP 0,0361±0,0988 0,0596±0,0209 0,0360±0,0016

Jumlah CEC 2,6667±1,0328 4,8333±0,7527 3,0000±0,6324

atau terdapat mekanisme lain dalam kerusakan oksidatif pada

protein. Makrofag dalam status jenuh memicu penurunan

kemampuan respiratory burst yang ditandai penurunan

pembentukan H2O

2. Hal itu sesuai dengan penelitian Armutcu

et al5 bahwa paparan subkronik tidak ditemukan peningkatan

aktivitas mieloperoksidase (MPO) secara bermakna di paru.

Selanjutnya rendahnya H2O

2 menyebabkan perubahan H

2O

2

menjadi HOCl juga rendah. Akibatnya reaksi antara HOCl

dengan gugus amino protein membentuk AOPP akan me-

nurun. Meskipun demikian, penelitian Pinho et al20 membuk-

tikan peningkatan protein karbonil sebagai marker kerusakan

protein dibandingkan kontrol. Kondisi ini akan mendukung

kompensasi perbaikan endotel oleh Endothelial Progenitor

Cells (EPC) sehingga kerusakan endotel menjadi rendah.

Dengan demikian pajanan akut debu batubara memicu stres

klorinatif serta kerusakan endotel. Selanjutnya kerusakan

endotel akan mendasari munculnya penyakit yang melibatkan

kerusakan endotel, misalnya aterosklerosis. Untuk meng-

hambat kejadian patologis ini dapat dilakukan dengan

menghambat stres klorinatif atau meningkatkan kemampuan

regenerasi endotel oleh endothelial progenitor cell.

Kesimpulan

Paparan debu batubara akut memicu stres klorinatif dan

kerusakan endotel secara bermakna. Untuk paparan subkronik

tidak didapatkan stres klorinatif dan kerusakan endotel secara

bermakna.

Daftar Pustaka

1. Huang X, Finkelman RB. Understanding the chemical properties

of macerals and minerals in coal and its potential application for

occupational lung disease prevention. J Toxicol Environ Health

Part B. 2008;11(1):45-67.

2. Furqan EBM. Fenomena pertambangan batubara di kalimantan

selatan: kebijakan kuras habis dan berorientasi pasar. [2007; Cited:

28 Jan. 2008]. Available from: http:www.walhi.or.id.

3. Dalal NS, Newman J, Pack D, Leonard S, Valyathan V. Hydroxyl

radical generation by coal mine dust: possible implication to coal

workers’pneumoconiosis. Free Rad Biol Med. 1995;18(5):1-20.

4. Naidoo NR, Robins GT, Murray J, Green YHF, Vallyathan V.

Validation of autopsy data for epidemiologic studies of coal min-

ers. Am J Ind Med. 2005;47:83-90.

5. Armutcu F, Gun BD, Altin R, Gurel A. Examination of lung tox-

icity, oxidant/antioxidant status and effect of erdosteine in rats

kept in coal mine ambience. Environ Toxicol Pharmacol.

2007;24:106-13.

6. Mulloli PT, Howel D, Prince H. Prevalence of asthma and other

respiratory symptoms in children living near and away from

opencast coal mining sites. Int J Epidemiol. 2001;30:556-63.

7. Huang C, Li J, Zhang Q, Huang X. Role of bioavailable iron in

coal dust-induced activation of activator protein-1 and nuclear

factor of activated T cell. Am J Respir Cell Mol Biol. 2002;27:568-

74.

8. Boulanger E, Moranne O, Wautier M, Witko-Sarsat M, Descamps-

Latscha B, Kandoussi A, et al. Changes in glycation and oxidation

markers in patients starting peritoneal dialysis. a pilot study.

Peritoneal Dialysis Int. 2006;26:207-212.

9. Segal MS, Bihorac A, Koc M. Circulating endothelial cells: tea

leaves for renal disease. Am J Physiol Renal Physiol. 2002;283:11-

9.

Page 5: debu batu bara.pdf

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 6, Juni 2011

Efek Inhalasi Debu Batubara terhadap Stres Klorinatif dan Kerusakan Endotel

257

10. Lyall F, Greer IA. The vascular endothelium in normal preg-

nancy and pre-eclampsia. Rev Reprod. 1996;1:107-16.

11. Boos CK, Lip GYH, Blann AD. Circulating endothelial cells in

cardiovascular disease. J Am Coll Cardiol. 2006;48:1538-47.

12. Lee KW, Lip GY, Tayebjee M, Foster W, Blaan AD. Circulating

endothelial cells, von Willebrand factor, interleukin-6 and prog-

nosis in patients with acute coronary syndromes. Blood.

2005;105:526-32.

13. Cakatay U, Telcy A, Kayali R, Tekeli F, Akcay T, Silvas A.

Relation of aging with oxidative protein damage parameters in

the rat skeletal muscle. Clin Biochem. 2003;36:51-5.

14. Hladovec B, Rossman P. Circulating endothel cell isolated to-

gether with platelets and experimental modification of their

counts in rats. New York: Pergamon Press Inc; 1973.

15. Widjajanto E, Widodo MA, Rudiyanto A. Correlation between

circulating endothel and profile lipid in diabetes mellitus patient

(preliminary study). Faculty Medicine Brawijaya, Malang, 1994.

16. Nadif R, Mintz M, Jedlicka A, Bertrand J, Kleeberger SR,

Kauffmann F. Association of CAT polymorphisms with catalase

activity and exposure to environmental oxidative stimuli. Free

Rad Res. 2005;39(12):1345-50.

17. Altin R, Kart L, Tekin I, Armutcu F, Tor M, Ornek T. The

presence of promatrix mettaloproteinase-3 and its relation with

different categories of coal worker’s pneumoconiosis. Med

Inflamm. 2004;13(2):105-9.

18. Hendryx M, Zullig KJ. Higher coronary artery disease and heart

attack morbidity in Appalachian coal mining regions. Preven-

tive Med. 2009;49:355-9.

19. Glorie G, Legrand-Poels S, Piette J. NF-kB activation by reactive

oxygen species: fifteen years later. Biochem Pharmacol.

2006;72:1493-505.

20. Pinho RA, Silveira PCL, Silva LA, Steck EL, Dal-Pizzol F,

Moreira JCF. N-acetylsisteine and deferoxamine reduce pulmo-

nary oxidative stress and inflammation in rats after coal dust

exposure. Environ Res. 2005;99:355-60.

YY/MH/FAS