dd obstruksi mekanis
DESCRIPTION
124TRANSCRIPT
Obstruksi usus atau obstruksi saluran cerna adalah terjadinya sumbatan pada saluran cerna.
Berdasarkan etiologinya, obstruksi dapat disebabkan oleh kelainan mekanis dan ileus (tidak
ada kelainan organik yang nyata). Secara umum gejala dari obstruksi usus halus adalah nyeri
abdominal periumbilikal, muntah (berwarna hijau apabila obstruksi terjadi di bagian
proksimal usus halus, berwarna gelap jika obstruksi terjadi di bagian bawah distal usus
halus), konstipasi/diare, serta kembung. Adapun gejala dari obstruksi usus besar antara lain
nyeri di daerah pinggang, kembung di daerah pinggang dan pelvis, diare, konstipasi serta
kembung (jarang ditemukan, kecuali pada kasus lanjut). Jika obstruksi disebabkan oleh
tumor/keganasan maka gejalanya antara lain adanya kelemahan, ditemukan darah pada tinja,
kehilangan selera makan serta penurunan berat badan.
Kelainan mekanis
1. Intususepsi
Intususepsi sering terjadi pada usia 3 bulan-6 tahun, di mana puncaknya adalah usia 5-10
bulan dan paling sering pada laki-laki. Intususepsi merupakan penyebab abdomen akut kedua
paling sering pada kelompok usia ini. Pada intususepsi segmen proksimal usus mengalami
invaginasi ke segmen distalnya, 95% terjadi di ileosekal. Sedangkan intususepsi ileoileal dan
kolokolik jarang terjadi. Intususepsi ileoileal merupakan salah satu komplikasi bedah,
misalnya pada penderita tumor Wilms.
Anak dengan kelainan intususepsi akan menunjukkan gejala seperti nyeri abdominal/kolik
yang sangat berat sehingga terkadang anak menarik kedua tungkainya, gelisah, lethargy
hingga shock. Muntah terjadi pada awal kelainan dan 30% kasus muntahan mengandung
empedu. Tinja dapat mengandung darah dan mukus setelah 12 jam. Pada 20% kasus terdapat
suatu triad klasik untuk intususepsi: nyeri kolik yang hebat, massa yang dapat teraba dengan
palpasi, sertacurrant-jelly stools.
2. Atresia intestinal
Atresia merupakan suatu kelainan di mana terjadi absen/tidak terbentuknya suatu
bagian/porsi dari saluran cerna, sehingga membentuk saluran yang buntu. Atresia dapat
terjadi di duodenum, jejunum, ileum dan kolon. Atresia duodenum biasanya berhubungan
dengan sindrom Down. Penyebab terjadinya atresia adalah gangguan vaskular pada saat
embriologi (dalam uterus) terutama pada saat pembentukan saluran cerna, menyebabkan
perfusi dan iskemik sehingga lumen saluran cerna tidak terbentuk dengan baik bahkan
mengalami obliterasi. Selain itu gangguan/oklusi pada arteri mesenterika superior pada masa
embriologi dapat menyebabkan atresia intestinal.
Pada neonatus, atresia yang paling sering terjadi adalah atresia jejunoilealis dan stenosis
(okulsi intraluminal yang inkomplet).
Gejala yang timbul pada atresia antara lain distensi abdomen, muntah yang mengandung
empedu, jaundice pada 32% pasien, serta riwayat polyhidramnion.
3. Hernia inkarserasi
Hernia inkarserasi merupakan hernia di mana isi dari kantung hernia tidak bisa dikembalikan
ke rongga perut/asalnya. Hernia inkarserasi dapat berupa hernia inguinal, femoral atau
umbilikal. Mayoritas hernia inguinal adalah hernia indirek. Pada hernia inguinal, inkarserasi
terjadi pada 6-18% pasien dan dapat meningkat sampai 30% pada bayi berusia kurang dari 2
bulan. Sedangkan hernia femoral jarang terjadi. Adapun hernia umbilikal lebih jarang
inkarserasi dan dapat menutup spontan setelah usia 5 tahun.
Gejala dari hernia inkarserasi yang dihubungkan dengan obstruksi intestinal antara lain:
muntah yang mengandung empedu, distensi abdomen, konstipasi, massa yang teraba edema
dan pucat di daerah inguinal (dapat menjadi eritematosa apabila terjadi strangulasi), dan
demam apabila terjadi nekrosis dan perforasi.
4. Malrotasi dan volvulus
Malrotasi intestinal merujuk kepada kelainan embriologis, di mana usus tengah mengalami
gangguan perputaran terhadap sumbu arteri mesenterika superior. Bentuk malrotasi dapat
berupa nonrotasi, rotasi terbalik (situs inversus) dan gangguan fiksasi terhadap rongga
peritoneal di sekitarnya. Malrotasi selalu terjadi bersamaan dengan gastrokisis, omfalokel,
hernia diafragma dan sering dihubungkan dengan lesi lain seperti penyakit Hirschprung,
intususepsi dan atresia (jejunum, duodenum, esofagus)
Pada anak-anak, malrotasi sering terjadi karena proses perputaran yang inkomplet dan
ligamentum Treitz yang tidak terfiksasi dengan baik. Akibatnya volvulus (puntiran) terhadap
arteri mesenterika superior dapat terjadi, menyebabkan obstruksi dan berujung pada nekrosis.
Gejala dari volvulus adalah muntahan yang mengandung empedu, gagal tumbuh kembang,
terkadang nyeri kolik, feses yang menunjukkan hasil positif pada tes guaiac, serta darah yang
keluar dari rektum.
5. Perlekatan (adhesi) pascabedah
Perlekatan pascabedah merupakan salah satu komplikasi setelah pembedahan, namun
insidensnya berkurang semenjak ditemukannya prosedur laparoskopi. Pada perlekatan
pascabedah dapat ditemukan adanya pita jaringan ikat yang menyebabkan perlekatan segmen
saluran cerna. Perlekatan pasca bedah merupakan penyebab 7% dari obstruksi usus pada bayi
dan anak. Onset dapat terjadi mulai dari 2 hari hingga 10 tahun setelah bedah, dan 50% di
antaranya terjadi dalam waktu 3-6 bulan setelah bedah.
Gejala dari perlekatan pascabedah antara lain kram/nyeri perut, anoreksia, mual dan muntah.6. Pankreas anular
Pankreas anular merupakan suatu kelainan embriologis di mana jaringan pankreas memutar
mengelilingi duodenum pars descendens . Hal ini dapat bermanifestasi sebagai keadaan
asimtomatis, namun dapat juga menyebabkan kompresi eksternal terhadap duodenum
sehingga terjadi obstruksi sebagian atau total.
Gejala dari adanya pankreas anular adalah muntah yang mengandung empedu, distensi
abdomen (proksimal dari obstruksi) dan ileus.
7. Hernia mesokolik
Hernia mesokolik merupakan kelainan yang dapat terjadi bersamaan malrotasi, di mana
mesenterium kolon/duodenal yang tidak terfiksasi dengan sempurna membentuk kantung
hernia dan memerangkap usus (kolon) yang sedang berotasi sehingga menyebabkan
obstruksi. Hal ini dapat diperparah dengan inkarserasi dan strangulasi. Angka insidensnya
tidak diketahui dengan pasti, namun kelainan ini cukup jarang terjadi.
8. Enterokolitis nekrotikans (NEC)Enterokolitis nekrotikans dapat menyebabkan striktur pada bayi–bayi prematur dan paling
sering terjadi di ileum dan kolon. Striktur tersebut dapat menyebabkan kematian pada 15%
bayi berusia lebih dari 1 minggu yang memiliki berat lahir rendah (<1500 gram). Sedangkan
pada yang lainnya striktur dapat terjadi 1-6 bulan setelah onset NEC. Penyebab NEC belum
diketahui secara pasti, namun berbagai faktor diduga terlibat seperti: iskemik, hipoksia
mukosa, invasi bakteri dan nekrosis intestinal.
Gejala dari NEC umumnya kurang spesifik, antara lain lethargy, suhu tubuh yang berubah-
ubah, palpasi menunjukkan abdomen yang lemah dan eritema.
9. Volvulus sekal
Volvulus sekal merupakan kelainan yang jarang terjadi, akibat sekum yang tidak terfiksasi.
Volvulus sekal terjadi akibat puntiran sekum, kolon ascendens dan ileum terminal. Gejalanya
antara lain nyeri, distensi, konstipasi dan muntah.
10. Kista duplikasiKista duplikasi merupakan sekelompok kelainan yang jarang terjadi berupa duplikasi saluran
cerna bagian tertentu dan s dapat terjadi di mana saja sepanjang saluran cerna, namun paling
sering terjadi di ileum terminal. 85% kasus dapat dideteksi sebelum usia 2 tahun. Anak
dengan kista duplikasi umumnya memberikan gejala sebagai berikut: distensi abdomen,
adanya massa yang bisa teraba dengan palpasi, muntah, perdarahan dan frekuensi berkemih
yang jarang.
11. Ileus mekoniumIleus mekonium terjadi pada pasien dengan kistik fibrosis, di mana sekresi pankreas eksokrin
yang tidak adekuat menyebabkan terbentuknya mekonium yang pekat. Akibatnya mekonium
dapat melekat pada mukosa usus halus dan menyebabkan obstruksi. Gejala ileus mekonium
antara lain muntah, kegagalan mengeluarkan mekonium dalam 48 jam pertama serta distensi
abdomen. Dapat terjadi peritonitis.
13. Tumor/keganasanTumor dapat menyebabkan obstruksi dengan cara memblokade lumen saluran cerna.IleusIleus merupakan gangguan motilitas usus namun tidak ditemukan kelainan organik yang
nyata. Pada anak ileus sering dikaitkan dengan pascabedah atau infeksi (pneumonia,
peritonitis, gastroenteritis). Pada ileus sering ditemukan keadaan sebagai berikut: uremia,
hipokalemia, asidosis, atau adanya penggunaan obat-obatan tertentu seperti loperamid (obat
bersifat antimotilitas yang digunakan pada gastroenteritis). Ileus paralitik, disebut juga
pseudo-obstruksi, merupakan penyebab utama obstruksi saluran cerna pada bayi dan balita.
Penyebab ileus paralitik antara lain:
1. Kimia, elektrolit, atau gangguan mineral (seperti turunnya kadar potassium)
2. Komplikasi bedah intraabdominal
3. Cedera/penurunan suplai darah ke daerah abdominal
4. Infeksi intra abdominal
5. Penyakit ginjal dan paru
6. Penggunaan obat-obat tertentu, seperti narkotik
Pada anak, ileus paralitik mungkin terkait dengan bakteri, virus, atau keracunan makanan
(gastroenteritis) yang sebagian diasosiasikan dengan peritonitis/apendisitis. Ileus dapat
ditandai dengan adanya distensi abdomen disertai nyeri perut, bising usus pada onset dan
gambaran air-fluid levels pada radiologi. Penatalaksanaan ileus dapat berupa dekompresi
nasogastrik atau penggunaan agen prokinetik seperti cisapride atau erytrhomicin.
DiagnosisDiagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik (dengan melihat tanda
dan gejala) serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dapat pemeriksaan
radiologis atau pemeriksaan lain seperti penanda tumor dll. Pada pemeriksaan radiologi untuk
melihat adanya obstruksi adalah pencitraan dengan modalitas:
1. Abdominal CT-SCAN2. Abdominal X-ray3. Barium enema
TatalaksanaTatalaksana bergantung kepada jenis obstruksi dan derajat keparahannya. Apabila obstruksi
bersifat parsial, maka akan diberikan cairan intravena sambil memantau apakah obstruksi
tersebut sudah hilang dengan sendirinya. Apabila tidak, maka dilakukan tindakan bedah.
Selain itu penggunaan Nasogastric Tube untuk mengevakuasi cairan dan gas di saluran cerna,
dengan demikian menghilangkan distensi dan muntah. Pada intususepsi dapat dilakukan
enema (udara, barium atau gastrografin) untuk menghilangkan obstruksi. Pemasangan stent
dapat dilakukan untuk membantu pengeluaran isi saluran cerna yang terganggu oleh
obstruksi.
Tindakan bedah diperlukan apabila penggunaan tube tidak menghilangkan simptom, atau
ditemukan adanya tanda-tanda kematian jaringan. Misalnya pada obstruksi akibat
divertikulitis, penyakit Crohn, volvulus atau keganasan. Tindakan bedah dapat dilakukan
dengan metode laparoskopi. Setelah pembedahan mungkin dilakukan pemasangan
kolostomi/ileostomi untuk jangka waktu sementara maupun permanen.
Obstruksi usus atau obstruksi saluran cerna adalah terjadinya sumbatan pada saluran cerna.
Berdasarkan etiologinya, obstruksi dapat disebabkan oleh kelainan mekanis dan ileus (tidak
ada kelainan organik yang nyata). Secara umum gejala dari obstruksi usus halus adalah nyeri
abdominal periumbilikal, muntah (berwarna hijau apabila obstruksi terjadi di bagian
proksimal usus halus, berwarna gelap jika obstruksi terjadi di bagian bawah distal usus
halus), konstipasi/diare, serta kembung. Adapun gejala dari obstruksi usus besar antara lain
nyeri di daerah pinggang, kembung di daerah pinggang dan pelvis, diare, konstipasi serta
kembung (jarang ditemukan, kecuali pada kasus lanjut). Jika obstruksi disebabkan oleh
tumor/keganasan maka gejalanya antara lain adanya kelemahan, ditemukan darah pada tinja,
kehilangan selera makan serta penurunan berat badan.
Kelainan mekanis
1. Intususepsi
Intususepsi sering terjadi pada usia 3 bulan-6 tahun, di mana puncaknya adalah usia 5-10
bulan dan paling sering pada laki-laki. Intususepsi merupakan penyebab abdomen akut kedua
paling sering pada kelompok usia ini. Pada intususepsi segmen proksimal usus mengalami
invaginasi ke segmen distalnya, 95% terjadi di ileosekal. Sedangkan intususepsi ileoileal dan
kolokolik jarang terjadi. Intususepsi ileoileal merupakan salah satu komplikasi bedah,
misalnya pada penderita tumor Wilms.
Anak dengan kelainan intususepsi akan menunjukkan gejala seperti nyeri abdominal/kolik
yang sangat berat sehingga terkadang anak menarik kedua tungkainya, gelisah, lethargy
hingga shock. Muntah terjadi pada awal kelainan dan 30% kasus muntahan mengandung
empedu. Tinja dapat mengandung darah dan mukus setelah 12 jam. Pada 20% kasus terdapat
suatu triad klasik untuk intususepsi: nyeri kolik yang hebat, massa yang dapat teraba dengan
palpasi, sertacurrant-jelly stools.
2. Atresia intestinal
Atresia merupakan suatu kelainan di mana terjadi absen/tidak terbentuknya suatu
bagian/porsi dari saluran cerna, sehingga membentuk saluran yang buntu. Atresia dapat
terjadi di duodenum, jejunum, ileum dan kolon. Atresia duodenum biasanya berhubungan
dengan sindrom Down. Penyebab terjadinya atresia adalah gangguan vaskular pada saat
embriologi (dalam uterus) terutama pada saat pembentukan saluran cerna, menyebabkan
perfusi dan iskemik sehingga lumen saluran cerna tidak terbentuk dengan baik bahkan
mengalami obliterasi. Selain itu gangguan/oklusi pada arteri mesenterika superior pada masa
embriologi dapat menyebabkan atresia intestinal.
Pada neonatus, atresia yang paling sering terjadi adalah atresia jejunoilealis dan stenosis
(okulsi intraluminal yang inkomplet).
Gejala yang timbul pada atresia antara lain distensi abdomen, muntah yang mengandung
empedu, jaundice pada 32% pasien, serta riwayat polyhidramnion.
3. Hernia inkarserasi
Hernia inkarserasi merupakan hernia di mana isi dari kantung hernia tidak bisa dikembalikan
ke rongga perut/asalnya. Hernia inkarserasi dapat berupa hernia inguinal, femoral atau
umbilikal. Mayoritas hernia inguinal adalah hernia indirek. Pada hernia inguinal, inkarserasi
terjadi pada 6-18% pasien dan dapat meningkat sampai 30% pada bayi berusia kurang dari 2
bulan. Sedangkan hernia femoral jarang terjadi. Adapun hernia umbilikal lebih jarang
inkarserasi dan dapat menutup spontan setelah usia 5 tahun.
Gejala dari hernia inkarserasi yang dihubungkan dengan obstruksi intestinal antara lain:
muntah yang mengandung empedu, distensi abdomen, konstipasi, massa yang teraba edema
dan pucat di daerah inguinal (dapat menjadi eritematosa apabila terjadi strangulasi), dan
demam apabila terjadi nekrosis dan perforasi.
4. Malrotasi dan volvulus
Malrotasi intestinal merujuk kepada kelainan embriologis, di mana usus tengah mengalami
gangguan perputaran terhadap sumbu arteri mesenterika superior. Bentuk malrotasi dapat
berupa nonrotasi, rotasi terbalik (situs inversus) dan gangguan fiksasi terhadap rongga
peritoneal di sekitarnya. Malrotasi selalu terjadi bersamaan dengan gastrokisis, omfalokel,
hernia diafragma dan sering dihubungkan dengan lesi lain seperti penyakit Hirschprung,
intususepsi dan atresia (jejunum, duodenum, esofagus)
Pada anak-anak, malrotasi sering terjadi karena proses perputaran yang inkomplet dan
ligamentum Treitz yang tidak terfiksasi dengan baik. Akibatnya volvulus (puntiran) terhadap
arteri mesenterika superior dapat terjadi, menyebabkan obstruksi dan berujung pada nekrosis.
Gejala dari volvulus adalah muntahan yang mengandung empedu, gagal tumbuh kembang,
terkadang nyeri kolik, feses yang menunjukkan hasil positif pada tes guaiac, serta darah yang
keluar dari rektum.
5. Perlekatan (adhesi) pascabedah
Perlekatan pascabedah merupakan salah satu komplikasi setelah pembedahan, namun
insidensnya berkurang semenjak ditemukannya prosedur laparoskopi. Pada perlekatan
pascabedah dapat ditemukan adanya pita jaringan ikat yang menyebabkan perlekatan segmen
saluran cerna. Perlekatan pasca bedah merupakan penyebab 7% dari obstruksi usus pada bayi
dan anak. Onset dapat terjadi mulai dari 2 hari hingga 10 tahun setelah bedah, dan 50% di
antaranya terjadi dalam waktu 3-6 bulan setelah bedah.
Gejala dari perlekatan pascabedah antara lain kram/nyeri perut, anoreksia, mual dan muntah.6. Pankreas anular
Pankreas anular merupakan suatu kelainan embriologis di mana jaringan pankreas memutar
mengelilingi duodenum pars descendens . Hal ini dapat bermanifestasi sebagai keadaan
asimtomatis, namun dapat juga menyebabkan kompresi eksternal terhadap duodenum
sehingga terjadi obstruksi sebagian atau total.
Gejala dari adanya pankreas anular adalah muntah yang mengandung empedu, distensi
abdomen (proksimal dari obstruksi) dan ileus.
7. Hernia mesokolik
Hernia mesokolik merupakan kelainan yang dapat terjadi bersamaan malrotasi, di mana
mesenterium kolon/duodenal yang tidak terfiksasi dengan sempurna membentuk kantung
hernia dan memerangkap usus (kolon) yang sedang berotasi sehingga menyebabkan
obstruksi. Hal ini dapat diperparah dengan inkarserasi dan strangulasi. Angka insidensnya
tidak diketahui dengan pasti, namun kelainan ini cukup jarang terjadi.
8. Enterokolitis nekrotikans (NEC)
Enterokolitis nekrotikans dapat menyebabkan striktur pada bayi–bayi prematur dan paling
sering terjadi di ileum dan kolon. Striktur tersebut dapat menyebabkan kematian pada 15%
bayi berusia lebih dari 1 minggu yang memiliki berat lahir rendah (<1500 gram). Sedangkan
pada yang lainnya striktur dapat terjadi 1-6 bulan setelah onset NEC. Penyebab NEC belum
diketahui secara pasti, namun berbagai faktor diduga terlibat seperti: iskemik, hipoksia
mukosa, invasi bakteri dan nekrosis intestinal.
Gejala dari NEC umumnya kurang spesifik, antara lain lethargy, suhu tubuh yang berubah-
ubah, palpasi menunjukkan abdomen yang lemah dan eritema.
9. Volvulus sekal
Volvulus sekal merupakan kelainan yang jarang terjadi, akibat sekum yang tidak terfiksasi.
Volvulus sekal terjadi akibat puntiran sekum, kolon ascendens dan ileum terminal. Gejalanya
antara lain nyeri, distensi, konstipasi dan muntah.
10. Kista duplikasiKista duplikasi merupakan sekelompok kelainan yang jarang terjadi berupa duplikasi saluran
cerna bagian tertentu dan s dapat terjadi di mana saja sepanjang saluran cerna, namun paling
sering terjadi di ileum terminal. 85% kasus dapat dideteksi sebelum usia 2 tahun. Anak
dengan kista duplikasi umumnya memberikan gejala sebagai berikut: distensi abdomen,
adanya massa yang bisa teraba dengan palpasi, muntah, perdarahan dan frekuensi berkemih
yang jarang.
11. Ileus mekoniumIleus mekonium terjadi pada pasien dengan kistik fibrosis, di mana sekresi pankreas eksokrin
yang tidak adekuat menyebabkan terbentuknya mekonium yang pekat. Akibatnya mekonium
dapat melekat pada mukosa usus halus dan menyebabkan obstruksi. Gejala ileus mekonium
antara lain muntah, kegagalan mengeluarkan mekonium dalam 48 jam pertama serta distensi
abdomen. Dapat terjadi peritonitis.
13. Tumor/keganasanTumor dapat menyebabkan obstruksi dengan cara memblokade lumen saluran cerna.IleusIleus merupakan gangguan motilitas usus namun tidak ditemukan kelainan organik yang
nyata. Pada anak ileus sering dikaitkan dengan pascabedah atau infeksi (pneumonia,
peritonitis, gastroenteritis). Pada ileus sering ditemukan keadaan sebagai berikut: uremia,
hipokalemia, asidosis, atau adanya penggunaan obat-obatan tertentu seperti loperamid (obat
bersifat antimotilitas yang digunakan pada gastroenteritis). Ileus paralitik, disebut juga
pseudo-obstruksi, merupakan penyebab utama obstruksi saluran cerna pada bayi dan balita.
Penyebab ileus paralitik antara lain:
7. Kimia, elektrolit, atau gangguan mineral (seperti turunnya kadar potassium)
8. Komplikasi bedah intraabdominal
9. Cedera/penurunan suplai darah ke daerah abdominal
10. Infeksi intra abdominal
11. Penyakit ginjal dan paru
12. Penggunaan obat-obat tertentu, seperti narkotik
Pada anak, ileus paralitik mungkin terkait dengan bakteri, virus, atau keracunan makanan
(gastroenteritis) yang sebagian diasosiasikan dengan peritonitis/apendisitis. Ileus dapat
ditandai dengan adanya distensi abdomen disertai nyeri perut, bising usus pada onset dan
gambaran air-fluid levels pada radiologi. Penatalaksanaan ileus dapat berupa dekompresi
nasogastrik atau penggunaan agen prokinetik seperti cisapride atau erytrhomicin.
DiagnosisDiagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik (dengan melihat tanda
dan gejala) serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dapat pemeriksaan
radiologis atau pemeriksaan lain seperti penanda tumor dll. Pada pemeriksaan radiologi untuk
melihat adanya obstruksi adalah pencitraan dengan modalitas:
4. Abdominal CT-SCAN5. Abdominal X-ray6. Barium enema
TatalaksanaTatalaksana bergantung kepada jenis obstruksi dan derajat keparahannya. Apabila obstruksi
bersifat parsial, maka akan diberikan cairan intravena sambil memantau apakah obstruksi
tersebut sudah hilang dengan sendirinya. Apabila tidak, maka dilakukan tindakan bedah.
Selain itu penggunaan Nasogastric Tube untuk mengevakuasi cairan dan gas di saluran cerna,
dengan demikian menghilangkan distensi dan muntah. Pada intususepsi dapat dilakukan
enema (udara, barium atau gastrografin) untuk menghilangkan obstruksi. Pemasangan stent
dapat dilakukan untuk membantu pengeluaran isi saluran cerna yang terganggu oleh
obstruksi.
Tindakan bedah diperlukan apabila penggunaan tube tidak menghilangkan simptom, atau
ditemukan adanya tanda-tanda kematian jaringan. Misalnya pada obstruksi akibat
divertikulitis, penyakit Crohn, volvulus atau keganasan. Tindakan bedah dapat dilakukan
dengan metode laparoskopi. Setelah pembedahan mungkin dilakukan pemasangan
kolostomi/ileostomi untuk jangka waktu sementara maupun permanen.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wein, A.J. Campbell-Walsh Urology. Ed.9. Philadelphia: Saunders, An imprint of
Elsevier. 2007
2. Landman. Kidney cyst (simple and complex). 2006. Kidney Cancer institute. Taken by :
http://www.kidneycancerinstitute.com/kidney-cyst.html
3. Anonym. Simple cyst. 2007.NIDDK. taken by :
http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/cysts .
4. Marion A. Kista Ginjal. 2009. NeoEase. Taken by: http://www.bedahugm.net/tag/kista-
ginjal/
5. Anonym. Tumor wilms. Available from http: //www. Ilmu-bedah.htm.
6. Anonym. Embriologi Urogenital. Available from http: //www. Embriologi-
urogenital.htm
7. Purnomo B. In: Dasar-Dasar Urologi.2nd ed. Jakarta: Sagung Seto; 2003. p. 2-4
8. Tanagho EA, McAninch JW. In: Smith`s General Urology. 17 th ed. California: McGraw
Hill Lange; 2008. p. 671-91
9. Wein AJ. In: Campbell-Walsh Urology. 9th ed. Philapdelphia: Saunder Elsevier
Company; 2007. p. 1
10. Waugh A, Grant A. In: Ross and Wilson Anatomy and Physiology in Health and Ilness.
9th ed. Edinburgh: Chucrill Livingstone; 2001. p. 341
11. Guyton AC, Hall JE. In: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9 th ed. Jakarta: EGC; 1997. p.
400-1
12. Anonym .the kidney and How They Work. 2009. NIDDIK. Taken by: http://www .
Kidney .niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/yourkidneys/index.htm
13. Anatomi Ginjal 2010. Cited from: http://id.wikipedia.org/wiki/Ginjal
14. Anomym. Simple Kidney Cysts.2010. NIDDK. Taken by :
http://www.kidney.niddk.nih.gov
15. Ritz E, Nahm A. The simple renal cyst. 2000. Oxford Journals. Taken by:
http://www.simple cyst/1702.full.simple.htm
16. Curry NS, Cochran ST. Renal cyst. 2012. Wikipedia. Taken by :
http://www.renal_cyst1.html.