data pendidikan indonesia

29
STK Bongkar Kepalsuan Pendidikan Indonesia Yogya, Bernas Keputusan pemerintah untuk memberikan surat tanda kelulusan (STK) hanya kepada siswa yang memenuhi kriteria kelulusan dalam ujian akhir nasional (UAN) mendatang, merupakan shock therapy bagi dunia pendidikan Indonesia. Kebijakan itu sekaligus menunjukkan keberanian pemerintah untuk mengubah wajah pendidikan Indonesia yang selama ini dibalut kepalsuan. Hal itu dikatakan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Suyanto MEd PhD, dalam pertemuan pers di Ruang Sidang Rektorat UNY, Rabu (30/4). "Siapa bilang STK masih terlalu dini untuk diberlakukan? Ini malah sudah terlambat lima tahun. Makanya, harus ada yang berani untuk melakukan perubahan dalam dunia pendidikan. Tidak boleh ada status quo dalam dunia pendidikan. Sudah saatnya pendidikan Indonesia bicara tentang kualitas, dan bukan sekadar formalitas," kata Rektor. STK, seperti telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 017/U/2003 tertanggal 7 Februari 2003, justru akan menyadarkan masyarakat untuk bersikap realistis dalam memahami penyelenggaraan dan pencapaian pendidikan di Indonesia. "Banyak sudah yang menjadi saksi palsu dunia pendidikan Indonesia. Nilai rapor dikatrol agar bisa lulus. Nilai Ebtanas Murni (NEM) Matematika disulap agar bisa tinggi, padahal rata- rata NEM Matematika nasional memang hanya 4,5. Ini kan ndak bener. Banyak guru yang mengeluhkan hal ini," kata Rektor, yang juga menjadi Panja RUU Sisdiknas. Rektor tidak sependapat dengan sejumlah kekhawatiran yang kini berkembang dalam masyarakat, jika STK benar-benar diberlakukan. Di antaranya, bahwa STK akan mematikan kesempatan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi karena mereka hanya mengantongi surat tanda tamat belajar (STTB). Bahwa STK akan membuat perguruan tinggi swasta (PTS) kelabakan karena tidak berhasil menjaring calon mahasiswa. "Apanya yang dikhawatirkan? Daya tampung PTN itu hanya 15

Upload: engkun-permata

Post on 20-Oct-2015

13 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

STK Bongkar Kepalsuan Pendidikan Indonesia

STK Bongkar Kepalsuan Pendidikan Indonesia

Yogya, BernasKeputusan pemerintah untuk memberikan surat tanda kelulusan (STK) hanya kepada siswa yang memenuhi kriteria kelulusan dalam ujian akhir nasional (UAN) mendatang, merupakan shock therapy bagi dunia pendidikan Indonesia. Kebijakan itu sekaligus menunjukkan keberanian pemerintah untuk mengubah wajah pendidikan Indonesia yang selama ini dibalut kepalsuan.Hal itu dikatakan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Suyanto MEd PhD, dalam pertemuan pers di Ruang Sidang Rektorat UNY, Rabu (30/4)."Siapa bilang STK masih terlalu dini untuk diberlakukan? Ini malah sudah terlambat lima tahun. Makanya, harus ada yang berani untuk melakukan perubahan dalam dunia pendidikan. Tidak boleh ada status quo dalam dunia pendidikan. Sudah saatnya pendidikan Indonesia bicara tentang kualitas, dan bukan sekadar formalitas," kata Rektor.STK, seperti telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 017/U/2003 tertanggal 7 Februari 2003, justru akan menyadarkan masyarakat untuk bersikap realistis dalam memahami penyelenggaraan dan pencapaian pendidikan di Indonesia."Banyak sudah yang menjadi saksi palsu dunia pendidikan Indonesia. Nilai rapor dikatrol agar bisa lulus. Nilai Ebtanas Murni (NEM) Matematika disulap agar bisa tinggi, padahal rata- rata NEM Matematika nasional memang hanya 4,5. Ini kan ndak bener. Banyak guru yang mengeluhkan hal ini," kata Rektor, yang juga menjadi Panja RUU Sisdiknas.Rektor tidak sependapat dengan sejumlah kekhawatiran yang kini berkembang dalam masyarakat, jika STK benar-benar diberlakukan. Di antaranya, bahwa STK akan mematikan kesempatan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi karena mereka hanya mengantongi surat tanda tamat belajar (STTB). Bahwa STK akan membuat perguruan tinggi swasta (PTS) kelabakan karena tidak berhasil menjaring calon mahasiswa."Apanya yang dikhawatirkan? Daya tampung PTN itu hanya 15 persen dari total lulusan SMU/MA/SMK. Sementara prediksi yang tidak lulus pada tahun ini adalah 25 persen. Artinya, kekhawatiran itu sangat tidak beralasan," ujar Rektor.Mengutip pernyataan Mendiknas Malik Fajar dalam sebuah kesempatan di Malang, beberapa waktu lalu, Rektor mengatakan, bahwa sistem dan konsep pendidikan sesungguhnya tidak didisain secara rigid (kaku). Karena itu, perguruan tinggi tetap dapat menerima para lulusan SMU/MA/SMK sebagai calon mahasiswa baru, meskipun mereka hanya memegang STTB dan tidak mengantongi STK."Mereka itu tetap bisa diterima, dengan syarat kepada mereka harus diberikan sejumlah materi matrikulasi untuk mengejar ketertinggalan. Lagipula, kalau PTS sampai tidak mendapat mahasiswa, itu bukan karena faktor STK. Pasti ada faktor lainnya, seperti mungkin karena mereka memang tidak tertarik untuk mendaftar ke PTS itu," papar Rektor.

Memburuk

Di bagian lain, Rektor UNY mengakui bahwa kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia semakin mengkhawatirkan. Bahkan dalam lima tahun terakhir, mutunya cenderung memburuk. Dari 173 negara di dunia, Indonesia menduduki peringkat ke 110 sebagai negara dengan kualitas SDM buruk."Mau tahu sebabnya? Ini lebih karena pemerintah kita memang tidak mempunyai political will untuk memajukan sektor pendidikan di Indonesia," kata Rektor.Paparan data yang diterimanya dari Komisi VI DPR RI menyebutkan, bahwa hampir 75 persen anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk pendidikan ternyata justru diserap oleh pendidikan kedinasan.Pada tahun anggaran 2003, dana pendidikan yang dialokasikan untuk pendidikan kedinasan mencapai Rp 50,7 triliun atau sebesar 74,6 persen dari total anggaran pendidikan. Dari jumlah tersebut, Rp 30 triliun dialokasikan untuk gaji pegawai. Sekadar perbandingan, alokasi gaji untuk non kedinasan hanya Rp 0,4 triliun. Padahal jumlah guru yang bernaung di bawah non kedinasan mencapai 3 juta orang."Sudah pemerintahnya seperti itu, masyarakatnya juga tidak pro pendidikan. Partisipasi mereka hanya 11 persen saja, dan itu ditunjukkan dengan kesadaran yang rendah untuk berinvestasi dalam bidang pendidikan. Makanya, sekalipun sulit partisipasi itu akan diupayakan untuk ditingkatkan menjadi 20 persen. Masak, beli rokok Rp 7.000 per bungkis bisa, tapi beli telur untuk tambahan gizi bagi anak-anaknya ndak mau. Benar ndak? Masak belanja kosmetik lebih penting ketimbang buku anak-anaknya," kata Rektor. (idt)

SUARA PEMBARUAN DAILY

Revolusi di Dunia Pendidikan Indonesia

Oleh J RiberuRISIS multidimensional yang melanda Indonesia membuka mata kita terhadap mutu sumber daya manusia (SDM) kita, dan dengan sendirinya juga terhadap mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu. Faktor penyebab krisis memang kompleks, tapi penyebab utama adalah SDM kita yang kurang bermutu. SDM kita belum cukup profesional, belum memiliki keterampilan managerial yang andal. Dan yang paling merisaukan SDM kita sering bertindak tanpa moralitas.

Menurut IMD (2000) Indonesia menduduki peringkat ke-45 (dari 47 negara) dalam hal daya saing. Padahal Singapura berada pada posisi no.2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Daya saing ditentukan oleh mutu SDM. Ditinjau dari segi mutu SDM, Indonesia menduduki peringkat 46. SDM Indonesia ternyata kurang menguasai sains dan teknologi, dan kurang mampu secara manajerial. Dalam kedua hal ini Indonesia mendapat nomor urut 42 dan 44.

Penelitian lain mengungkapkan, produktivitas SDM Indonesia rendah, karena kurang percaya diri, kurang kompetitif, kurang kreatif dan sulit berprakarsa sendiri (=selfstarter, N Idrus CITD 1999). Hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down, dan yang tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas.

Di samping itu, semua kita harus malu karena banyak pusat kajian menggolongkan Indonesia pada kelas amat wahid dalam hal korupsi. Korupsi berkaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, dengan kebohongan, ketidakjujuran, bahkan dengan ketidakadilan dan pemerasan. Semua itu tanda-tanda kemerosotan bahkan kebejatan moral.

Tidak adil apabila kita hanya mempersalahkan dunia pendidikan. Karena kemerosotan turut dipengaruhi oleh faktor lingkungan, khususnya media massa. Namun, tetap benar institusi yang ex officio bertanggung jawab terhadap pembinaan SDM adalah dunia pendidikan. Oleh sebab itu, penting sekali negara berkembang seperti Indonesia mengikuti nasihat peneliti McDougall: invest in man not in plan.

Supaya investasi dalam pengembangan manusia dapat berhasil, kita harus mengatur kembali dunia pendidikan kita, bukan secara tambal sulam melainkan secara menyeluruh dan mendasar. Kita membutuhkan satu revolusi di bidang pendidikan. Kita harus menjungkirbalikan paham dan nilai yang ada, dan menggeser serta mengubah paradigma yang keliru.

Belajar untuk Apa?Pada tempat pertama semua kegiatan pendidikan harus diarahkan dengan jelas dan tegas kepada tujuan pendidikan. Kita belajar bukan untuk sekolah (non scholae) tetapi untuk hidup (sed vitae discimus). Sistem pendidikan di Indonesia sudah mengubah sama sekali adagium kuno ini. Kita belajar bukan untuk hidup melainkan untuk sekolah. Sekolah menentukan kurikulum dan silabus. Sekolah menentukan metode belajar-mengajar. Sekolah menentukan ulangan, ujian, kelulusan, wisuda sampai dengan pakaian (bahkan sepatu) seragam. Sekolah menentukan uang pangkal, uang sekolah, sumbangan ini dan itu.

Masyarakat mengikuti apa yang ditentukan sekolah, tanpa mempertanyakan secara kritis apa manfaat semuanya itu, ditinjau dari segi pencapaian tujuan pendidikan. Banyak hal yang ditentukan sekolah merupakan ritus hampa (Ivan Illich), yang sama sekali tidak berkaitan dengan tujuan pendidikan.

Ambillah sebagai contoh mata ajaran Pendidikan Agama (dapat ditambah dengan P4 dahulu dan Budi Pekerti). Dua jam per pekan, sekian puluh jam per tahun, sekian ratus jam per jenjang sekolah. Tetapi hasilnya? Mengecewakan!

Kita memperoleh sekian banyak orang yang menghapal dan mungkin juga memahami ajaran dan tradisi keagamaannya, tetapi sama sekali tidak menjalankannya di dalam hidupnya. Padahal tujuan pendidikan agama bukannya penumpukan pengetahuan tentang agama melainkan pembinaan sikap dan perilaku seorang beriman sejati. Tujuan ini dapat tercapai tanpa menjejalkan sekian banyak pengetahuan ke dalam benak (atau bahkan ingatan!) murid.

Berkaitan dengan tujuan pendidikan paradigma lama terlalu abstrak dan kurang "operasional". Ia harus lebih dikonkritkan. Tujuan pendidikan adalah kepribadian mandiri, yang mampu menata kehidupan dan penghidupannya di dalam sikon hidup konkrit dan kontemporer. Kemampuan menata kehidupan dan penghidupan diperoleh karena murid menguasai satu atau satu jenis pekerjaan sebagai sumber nafkah.

Dengan demikian ia dapat memasuki pasar kerja atau menciptakan lapangan kerjanya sendiri. Menguasai satu/satu jenis pekerjaan merupakan tujuan penting yang tidak boleh diabaikan.

Sistem pendidikan memang tidak berkewajiban mencari atau memberikan lapangan kerja kepada murid.

Akan tetapi ia berkewajiban mempersiapkan murid untuk memasuki lapangan kerja tertentu atau menciptakan lapangan kerjanya sendiri.

Keterkaitan antara pasar kerja dan pendidikan merupakan masalah besar yang harus ditanggapi secara serius. Tiap hari koran-koran menawarkan berbagai lapangan kerja. Tetapi para pelamar "mundur teratur", karena merasa tidak sanggup memenuhi persyaratan yang dituntut. Sekolah sama sekali tidak menyiapkan mereka untuk itu. Sekolah tidak merasa perlu mendidik orang yang fasih berbahasa Inggris, padahal banyak iklan menuntut: fluent in English. Masyarakat modern membutuhkan orang-orang yang melek komputer.

Sekolah merasa sudah puas dengan manusia melek huruf, penguasaan komputer menjadi urusan "kursus-kursus". Sebaliknya ada hal-hal yang tidak perlu, tetapi karena masih tercantum dalam kurikulum tetap diajarkan. Akademi Sekretaris misalnya masih sangat mengutamakan penguasaan Steno Karundeng, padahal alat perekam sudah menggeser kedudukan Steno. Semua itu menunjukkan bahwa paradigma lama: pendidikan sebagai penyalur dan pengawet kebudayaan sangat diperhatikan, sedangkan paradigma pendidikan sebagai agen perubahan dan modernisasi, diabaikan.

Kemampuan menata kehidupan dan penghidupan diterapkan bukan di wilayah tak bertuan, melainkan di dalam sikon konkret di Indonesia. Sikon itu tidak sama dan tidak seragam dari Sabang sampai Merauke. Ada keanekaan tantangan situasi hidup konkrit di wilayah Indonesia yang begitu luas dan bervariasi. Tiap wilayah/daerah memiliki ciri khas. Ciri itu dapat dikaitkan dengan keadaan geografis dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ada wilayah agraris lahan kering, ada wilayah agraris lahan basah; ada wilayah maritim dengan berbagai kekayaannya; ada wilayah industri ringan/berat, industri pariwisata dan lain-lain.

Selain keanekaan wilayah ada lagi variasi besar kemajuan yang telah diraih tiap wilayah. Ada wilayah yang baru keluar dari zaman batu atau pola hidup normal dengan ekonomi barter; ada yang sudah di tengah budaya industri bahkan pascaindustri. Dan di mana-mana sudah terasa trend globalisasi dengan pengaruh iptek dan teknologi. Situasi yang berbeda-beda mengakibatkan tuntutan dan kebutuhan yang berbeda-beda pula.

Sebab itu harus dikembangkan variasi yang seluas-luasnya di dalam penataan pendidikan dan pengajaran. Ada variasi kurikulum, variasi metode mengajar-belajar, variasi jenis sekolah dengan variasi pengetahuan dan keterampilan yang dialihkan. Di samping itu, semua harus diperhatikan juga tuntutan globalisasi dengan trend iptek yang makin mendunia. Ini semua mewajibkan kita meninggalkan paradigma pola tunggal dan uniform.

KebhinekaanKita wajib mengusahakan kebhinekaan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan yang berbeda-beda. Untuk menghadapi tantangan yang berbeda-beda demikian pula trend masa depan, wajib dibuat semacam analisis swot, sehingga kita mendapat peta keada- an yang cukup realistik. Berdasarkan analisis itu dibuat rencana induk pendidikan seluruh bangsa dan tiap wilayah.

Temuan peneliti Harvard pada awal dasawarsa 80-an wajib dicermati. Penelitian longitudinal Howard Gardner cs menemukan bahwa keberhasilan seseorang di dalam hidup bukan ditentukan oleh IQ tetapi terlebih oleh EQ, kecerdasan emosional dengan kompetisi inter- dan intrapersonal. Di samping EQ ada lagi kecerdasan lain yang berperan seperti SQ dan AQ.

Kalau dunia pendidikan ingin membantu murid menata kehidupan dan penghidupan dengan berhasil, maka mata ajaran/pelatihan, proses pembelajaran dan interaksi di sekolah harus melowongkan waktu yang lebih banyak bagi pengembangan potensi-potensi lain di luar IQ. Sekarang ini semua diarahkan kepada pengembangan kemampuan intelektual/akademis. Kemampuan lain kurang diperhatikan. Paradigma akademis harus didampingi dengan paradigma keterampilan hidup dalam berinteraksi dengan lingkungan alam dan masyarakat.

Kecerdasan intelektual juga tidak boleh direndahkan menjadi kemampuan merekam dengan ingatan (seperti yang lazim terjadi sekarang ini), dan juga tidak boleh terbatas hanya kepada kemampuan berpikir logis perseptif, dan logis konvergen. Harus diberdayakan kemampuan berpikir kritis, divergen, kreatif dan inovatif. Hanya manusia Indonesia yang kritis dan kreatif dapat menghasilkan inovasi di dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat bangsa.

Kurikulum yang begitu padat masih menghantui para guru di sekolah-sekolah kita. Sejak beberapa waktu lalu sudah mulai diadakan perampingan kurikulum, dan belakangan ini orang berbicara tentang kompetisi dasar. Kita harus mengubah paradigma penumpukan materi dengan paradigma pemberdayaan potensi peserta didik. Sejalan dengan itu metode "sekolah dengar" harus diganti dengan metode sekolah aktif yang mengutamakan swakarsa dan swakarya murid.

Yang penting bukannya menjejalkan sebanyak mungkin materi ke dalam benak murid, melainkan memicu murid menggunakan potensi-potensinya, sehingga potensi itu berkembang. Dengan kata lain pemberdayaan potensi jauh lebih penting daripada pencekokan materi. Untuk itu materi diciutkan, sehingga tersedia lebih banyak waktu untuk melatih, memberdayakan potensi.

Kompetisi yang paling dasar adalah kemampuan belajar sendiri. Oleh sebab itu sebelum diajarkan berbagai ilmu, diajarkan lebih dulu cara belajar sendiri. Untuk itu, perlu dikembangkan metode pembelajaran yang disebut pola proses. Pola proses mengutamakan peserta didik sendiri memanfaatkan potensi dan pengetahuan yang dimilikinya untuk menghadapi sesuatu.

Tidak terlalu bermanfaat menerima dan menabung sejumlah pengetahuan yang disajikan "satu arah" dari pihak guru. Yang lebih penting adalah mendorong murid dengan bahan yang terseleksi untuk mengerjakan sesuatu dengan potensinya. Pola penyajian bahan jadi yang tuntas harus diganti dengan pola pelontaran dan penyelesaian masalah (problem posing, problem solving). Satu masalah yang dekat dengan hidup diangkat dan dipelajari serta dicarikan penyelesaiannya oleh para murid baik sendiri-sendiri maupun dalam kerjasama kelompok. Daya serap tidak lagi menjadi tuntutan utama. Daya tanggap peserta didik dan keterampilannya untuk menghadapi sesuatu harus menjadi fokus proses pembelajaran.

Kunci UtamaMutu pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan mutu tenaga kependidikan, khususnya tenaga pengajar. Hasil penelitian LPTK se-Indonesia seperti dilaporkan dalam Musyawarah Nasional LPTK di Bandung (1994) menunjukkan bahwa selama hampir dua dasawarsa terakhir, yang "memilih" masuk IKIP/LPTK bukannya kelompok top ten melainkan bottom ten dari lulusan SMU, dengan perbedaan skor yang sangat signifikan antara pelamar. Universitas dan pelamar IKIP/LPTK. Itu berarti bahwa pendidikan anak bangsa diserahkan kepada para pendidik yang mutunya tidak terlalu dapat dibanggakan.

Dapatkah kita membulatkan tekad untuk menjaring anak-anak bangsa terbaik untuk menjadi pendidik dan pengajar? Kalau begitu harus ada pula kebijakan yang meningkatkan pamor dan status sosial para guru/pendidik. Jaminan kesejahteraan guru dan jaminan-jaminan sosial lain harus ditingkatkan, agar angkatan muda top ten juga berminat untuk menjadi pengajar/pendidik.

Kecuali itu harus ada kebijakan yang jelas mengenai pendidikan guru. Kebijakan sekitar IKIP/LPTK yang kemudian dijadikan universitas menunjukkan bahwa kita tidak memiliki arah yang jelas. Bagaimanapun dari seorang pengajar dan pendidik dituntut: penguasaan materi ajaran, dan penguasaan pedagogik, didaktik dan metodologi pendidikan/pengajaran. Proses pembelajaran di lembaga pendidikan guru harus mengupayakan kedua hal ini secara imbang.

Mengingat tugas pendidik/pengajar bukan hanya mengasah otak, tetapi terutama membina kepribadian, maka mereka diharapkan memiliki kepribadian yang mantap dan menarik. Untuk itu diusulkan agar pendidikan guru dilaksanakan dalam asrama. Pembinaan dalam kebersamaan satu asrama di bawah bimbingan pendidik yang kompeten, diharapkan lebih ampuh menghasilkan tenaga yang berkepribadian. Sejarah pendidikan guru di masa lampau memang telah membuktikan hal ini.

Akhirnya revolusi pendidikan hanya dapat dilaksanakan apabila dunia pendidikan dibebaskan. Para penyelenggara dan pengelola pendidikan harus dibebaskan dari cengkeraman etatisme yang berlebihan. Sekarang ini dunia pendidikan ditentukan hampir seluruhnya oleh Negara (=Etat, Prancis) dengan aparat birokrasinya. Tidak boleh dilupakan bahwa hak mendidik pada tempat pertama ada pada orang tua yang melahirkan anak dan kemudian pada masyarakat. Hak ini terlalu kurang diperhatikan.

Semua diserahkan kepada negara dan pejabatnya. Penentuan kebijakan oleh Negara lebih memperhatikan aspek-aspek politis-administratif daripada aspek pedagogis, psikologis dan metodologis. Penyelenggara dan pengelola pendidikan yang umumnya terhimpun dalam Yayasan Pendidikan harus diberi kebebasan untuk berprakarsa dan mengupayakan pendidikan yang paling sesuai dengan tuntutan zaman.

Negara menggoreskan kebijakan dan petunjuk umum, yang merupakan rambu-rambu penjamin hak-hak warga sehubungan dengan pendidikan. Di luar itu segala sesuatu diserahkan kepada kebijakan penyelenggara dan pengelola. Mereka akan menyusun rencana dan strategi untuk menyajikan pendidikan yang paling baik dan paling relevan. Ada cukup banyak penyelenggara dan pengelola yang bermutu dan bertanggung jawab.

Penilaian MayarakatMereka akan melaksanakan tugas mendidik dengan baik dan efisien, apabila tidak terlalu dibatasi oleh ketetapan/keputusan penguasa (politis!). Penyelenggara, pengelola, serta sekolah itu sendiri akan dinilai terus menerus oleh masyarakat berdasarkan mutu tamatannya. Penilaian ini lebih menjamin mutu yang sebenarnya dan bukannya mutu di lembar kertas resmi.

Untuk meningkatkan peran masyarakat dianjurkan agar diadakan Dewan-dewan pendidikan daerah, sesuai dengan kesamaan kebutuhan/kepentingan. Dewan-dewan akan bermusyawarah sendiri-sendiri pada waktunya dan sesudah itu bersama-sama di tingkat nasional. Yang ditentukan secara nasional dijadikan acuan bersama. Karena yang ditentukan secara nasional turut dipertimbangkan oleh daerah, maka diharapkan agar kebutuhan dan kepentingan daerah sudah terakomodasi. Dengan demikian paradigma top down kita gantikan dengan bottom up.

Dalam waktu dekat Indonesia akan memilih pemimpin nasionalnya. Penulis mengimbau pemimpin terpilih untuk mengambil langkah revolusioner dengan membebaskan jenjang wajib belajar 9 tahun dari segala pungutan biaya. Kebijakan ini sesuai dengan amanat UU Sisdiknas 2003 Pasal 34 Ayat (2) dan (3), dan lebih lagi sesuai dengan amanat Pembukaan UUD yang mewajibkan negara mencerdaskan bangsa. Sekaligus Pemerintah menjadi pelopor penegakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Karena de facto biaya sekolah yang mahal sudah turut memperlebar kesenjangan sosial, dan karena itu turut "menyemarakan" ketidakadilan sosial. Ketidakadilan sosial akan terus terjadi apabila masih terjadi diskriminasi, karena kesempatan bersekolah (di sekolah yang bermutu!) tidak diberikan kepada semua. Maklum, melalui pendidikan yang baik manusia diberdayakan untuk memperbaiki nasibnya sendiri. *

Penulis adalah PhD dalam Ilmu Pendidikan; dosen emeritusUI, Atma Jaya, dan berbagai

Indeks pendidikan Indonesia Menurun

31, 2007Posted by fajarwisnu in Pendidikan. trackback Pembangunan Pendidikan

Nama negara seperti Malta, Armenia, Santa Lucia, atau Mauritius tidak terlalu akrab dengan telinga kita. Kalaupun ada yang pernah mendengar, boleh jadi tidak mengetahui di belahan bumi manakah negara-negara kecil tersebut berada. Bagaimana bentuk pemerintahannya pun, mungkin kita menerka-nerka.

Akan tetapi, jangan terlalu menganggap remeh. Sebab, negara-negara kecil itu ternyata memiliki kualitas pendidikan lebih baik daripada negara yang jumlah penduduknya besar seperti Indonesia.

Kenyataan ini tergambar dalam Indeks Pembangunan Pendidikan atau EDI (Education Development Index) yang terdapat pada laporan EFA (Education For All) yang dipublikasikan dalam Global Monitoring Report 2008. Laporan GMR dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) setiap tahun yang berisi hasil pemonitoran reguler pendidikan dunia.

Indeks pendidikan ini dibuat dengan mengacu pada enam tujuan pendidikan EFA yang disusun dalam pertemuan pendidikan global di Dakar, Senegal, tahun 2000.

Dalam laporan terakhir yang dipublikasikan pada November 2007, EDI mengompilasi data pendidikan dari 129 negara di seluruh dunia. Indeks ini dibuat dengan membagi tiga kategori penilaian, yaitu nilai EDI tinggi, sedang, dan rendah.

Pada GMR kali ini, Indonesia tetap berada pada EDI kategori sedang bersama 53 negara lainnya. Total nilai EDI diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas 5 sekolah dasar (SD).

Posisi Indonesia

Mengetahui posisi Indonesia di dunia mungkin tidak harus membandingkannya dengan negara-negara yang secara geografis letaknya jauh seperti di atas. Cukup dengan melihat posisinya di antara sesama negara Asia Tenggara.

Hasil indeks pembangunan pendidikan terakhir ternyata menunjukkan adanya pergeseran posisi Indonesia dan Malaysia. Jika pada tahun- tahun sebelumnya peringkat Indonesia selalu berada di atas Malaysia, kali ini terjadi perbedaan hasil.

Dalam laporan yang dipublikasikan November lalu itu, posisi Malaysia melonjak enam tingkat dari peringkat 62 menjadi 56. Sebaliknya, peringkat Indonesia turun dari posisi 58 menjadi 62. Nilai total EDI yang diperoleh Indonesia juga turun 0,003 poin, dari 0,938 menjadi 0,935. Sementara itu, Malaysia berhasil meraih total nilai 0,945, atau naik 0,011 poin dari tahun sebelumnya.

Dalam penghitungan kali ini, Malaysia berhasil menaikkan poin pada tiga komponen penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, dan angka partisipasi menurut kesetaraan jender. Adapun kategori angka bertahan kelas 5 SD memperoleh nilai sama dengan tahun sebelumnya.

Indonesia hanya berhasil menaikkan poin pada angka bertahan kelas 5 SD sebesar 0,004 poin. Adapun pada kategori lain, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar dan angka partisipasi menurut kesetaraan jender, poinnya justru turun sebesar 0,007 poin. Sedangkan angka melek huruf berhasil mempertahankan skor yang sama dengan tahun sebelumnya.

Sistem penilaian EDI juga membagi tiga kategori skor, yaitu kelompok negara dengan indeks pendidikan tinggi (0,950 ke atas), sedang (0,800 sampai di bawah 0,950), dan rendah (di bawah 0,800).

Pada pembagian ini tercatat enam negara Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja, berada di kelompok negara dengan kategori EDI sedang. Sementara Brunei Darussalam yang baru tahun ini masuk dalam penilaian berada di kelompok negara dengan indeks pembangunan pendidikan tinggi.

Negara Asia Tenggara lain, yaitu Laos, hingga saat ini masih termasuk dalam kelompok negara dengan indeks pembangunan pendidikan rendah. Khusus untuk Singapura dan Thailand tidak tercatat dalam penilaian sehingga tidak dapat dibandingkan.

Satu hal yang patut dicatat, tahun ini Malaysia berhasil meraih poin 0,945, atau hanya butuh 0,005 poin lagi untuk masuk ke kelompok negara dengan indeks pendidikan tinggi. Sedangkan Indonesia sedikitnya membutuhkan 0,015 poin lagi untuk masuk dalam kategori EDI tinggi. Itu pun jika tahun depan tidak lagi terjadi penurunan seperti tahun ini.

Jika mengamati perolehan total skor indeks pendidikan selama empat tahun, yaitu antara tahun 2001 dan 2005, terlihat hanya Myanmar dan Kamboja yang menunjukkan peningkatan setiap tahun. Bahkan, pada tahun 2005 terjadi lompatan posisi Kamboja dengan berhasil masuk ke kelompok EDI medium (sedang) dari tahun-tahun sebelumnya di kelompok negara ber-EDI rendah. Seperti juga Malaysia, pada tahun tersebut hampir semua nilai komponen dalam indeks pendidikan Kamboja meningkat. Hanya angka melek huruf yang stagnan, sama dengan tahun sebelumnya.

Kenaikan poin setiap tahun sebenarnya terjadi juga pada Malaysia, khususnya periode 2002-2005. Untuk tahun 2001, Malaysia belum tercatat dalam pengukuran indeks pembangunan pendidikan dunia.

Mengenai posisi Indonesia di EFA kali ini, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, penurunan peringkat pencapaian EFA di UNESCO itu tidak perlu dibesar-besarkan. Pasalnya, peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia sudah mulai diakui negara lain.

Media massa jangan mencari yang jelek-jelek saja dalam pencapaian reformasi pendidikan di Indonesia. Secara kualitas, pendidikan Indonesia sudah mengalami lompatan yang luar biasa. Meskipun masih masuk kategori yang perekonomiannya menengah, Indonesia memberanikan diri mengikuti program penilaian PISA atau Programme for International Assessement. Setidaknya Indonesia berani ikut penilaian dengan 30 negara industri maju, kata Bambang.

Untuk menindaklanjuti hasil evaluasi UNESCO terhadap pencapaian EFA 2015, tanggal 11-13 Desember lalu diadakan pertemuan evaluasi pertengahan pencapaian EFA. Pertemuan dihadiri pemimpin negara, lembaga donor, dan lembaga internasional lainnya. Evaluasi ini menolong negara yang berkomitmen mewujudkan pencapaian EFA sehingga masing-masing negara menjadi tahu bagaimana posisinya dalam pencapaian pendidikan dasar, yang umumnya masih jauh dari target EFA 2015. Kelemahan pencapaian umumnya terlihat di pencapaian pendidikan dasar dan pendanaan.

Dalam peningkatan kualitas pendidikan, ada tiga kebijakan yang ditekankan. Pertama, negara-negara harus mengembangkan kebijakan untuk melatih dan merekrut sebanyak-banyaknya guru SD dengan memerhatikan perkembangan karier mereka.

Kedua, melakukan pendekatan komprehensif dengan berfokus pada kurikulum, pedagogi, persamaan jender, bahasa pengantar, buku teks, dan fasilitas yang layak.

Ketiga, adanya kebijakan untuk menyiapkan anak-anak siap belajar, caranya dengan meningkatkan partisipasi pendidikan anak usia dini serta akses kesehatan dan gizi di sekolah. (Kompas)

December 12, 2007

Peringkat Pendidikan Turun dari 58 ke 62

Oleh Moh. Yamin

Dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada Kamis (29/11/07) menunjukkan, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Yang jelas, education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965).

Mau tidak mau, itu mengilustrasikan bahwa kualitas pendidikan kita pun semakin dipertanyakan. Sebab, tingkat pendidikan Indonesia kian melorot. Alih-alih akan mencerdaskan kehidupan bangsa, itu hanya sebuah utopia.

Lalu siapa yang harus disalahkan? Kita harus banyak introspeksi. Saya juga tidak bisa menyalahkan pemerintah seratus persen, kendati pemerintah tetap harus bertanggung jawab atas malapetaka tersebut.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengapa kualitas pendidikan kita bernasib sedemikian tragis. Pertama, kondisi pemerintah yang sangat kental politis punya peran penting serta signifikan untuk memperkeruh keadaan. Tatkala keadaan pemerintah berpolitis, itu akan menyebabkan atmosfer pendidikan labil, sebut saja dalam hal kebijakan pendidikan yang dilahirkan pemerintah.

Sebab, gerbong pemerintah ditarik dua kekuatan besar tak terlihat (invisibile big power) dengan kepentingan politik berbeda saat menentukan sebuah keputusan politik pendidikan tertentu. Diakui atau tidak, itu realitas politik di depan hidung kita semua.

Karena itu, wajar pendidikan selalu berada dalam rangkulan kepentingan politik tertentu. Aroma "politik pendidikan penguasa" sangat lekat dalam dunia pendidikan. Untuk melepaskan hal tersebut, ibarat panggang jauh dari api.

Kedua, kondisi keuangan negara yang sangat sedikit bisa memperburuk dunia pendidikan. Sebab, minimnya dana akan menghambat pembangunan pendidikan dalam segala hal, baik infrastruktur maupun suprastruktur.

Miskinnya dana dalam dunia pendidikan akan membuat bangunan-bangunan sekolah dan fasilitas pendidikan lain tidak bisa digarap dengan sedemikian maksimal serta optimal. Dengan demikian, kondisi ironis itu pun sangat muskil akan menyegerakan tercapainya pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa secara merata.

Justru, yang terjadi adalah kemiskinan pendidikan yang mengglobal di ibu pertiwi ini akan membumi. Akibatnya, rakyat tetap buta huruf dan begitu seterusnya. Jangan harap pula, kita bisa menjadi bangsa maju. Yang pasti, tidak adanya anggaran cukup dan besar dari pemerintah pusat maupun daerah dalam bentuk anggaran pendapatan belanja negara (APBN) serta anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) sangat memicu gagalnya pelaksanaan pendidikan sebagaimana yang diharapkan, termasuk dalam agenda Millineum Development Goals (MDGs); cerdas, pintar, terampil, dan seterusnya.

Ketiga, kondisi kota maupun kabupaten dengan sumber daya manusia (SDM) yang terbatas sangat memberikan efek buruk bagi mandeknya pembangunan pendidikan. Sebab, adanya SDM menjadi kata kunci bagi keberhasilan sekian banyak agenda pendidikan di daerah.

Logikanya adalah bagaimana kota dan kabupaten akan bisa melakukan pembangunan pendidikan, sementara para pejabat dan aparat terkait di daerah tidak memiliki kemampuan-kemampuan tertentu dalam bidang yang diembannya.

Roda pembangunan pendidikan yang bisa berjalan dinamis dan konstruktif menjadi bentuk untuk menjawab tamparan keras UNESCO terhadap pendidikan Indonesia. Pertama, kepemimpinan yang kuat sangat diharapkan bisa diwujudkan secara praksis dan konkret. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai nakhoda kapal Indonesia harus tegas dalam mengambil sebuah kebijakan politik pendidikan. Jangan mau diintervensi pihak-pihak tertentu yang coba menggodanya.

Etos kerja tinggi, komitmen politik, dan tanggung jawab politik sebagai pengemban amanat rakyat untuk memajukan dunia pendidikan sangat dibutuhkan secara nyata.

Kedua, tata kelola pemerintahan yang baik harus bisa dijalankan secara sinergis dan komplementer. "The right man on the right place" menjadi pintu utama untuk menyukseskan program pendidikan yang mencerdaskan. Kerja sama politik yang baik di banyak elite lapis diperlukan secara praksis.

Ketiga, partisipasi semua pihak juga wajib hadir dalam konteks mendukung program-program pendidikan yang mencerdaskan. Semua lapisan masyarakat ditagih untuk ikut aktif dalam pengembangan dan pemajuan dunia pendidikan.

Keempat, memunculkan sikap sadar terhadap persoalan-persoalan pendidikan harus pula dilakukan semua lapisan masyarakat. Sebab, pendidikan itu bukan hanya milik segelintir orang an sich, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Moh. Yamin, staf peneliti pada FKIP Universitas Islam Malang

Sumber : jawa pos dotcomTags: jawa pos, Moh. Yamin, Pendidikan IndonesiaFiled under Pendidikan, Blog by Hasan

Kualitas Pendidikan Indonesia Memperihatinkan

Written by Muhammad Syafii

Wednesday, 07 November 2007

Bahrudin: "Kulitas Rendah Karena Potensi Anak Tidak Pernah Digali"

Jombang Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di asia pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.

Bahruddin (42), Direktur SMP Alternatif Qorriyah Toyyibah Salatiga Jawa Tengah mengatakan, salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa, ujarnya saat lokakarya analisa masalah pendidikan yang digelar oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU Jombang.

Menurut Bahruddin, pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Ia mengatakan, proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan, jelas pria berputra dua ini.

Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif.

ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadinya, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kata Bahruddin di Aula KPRI Karya Sehat.

Lebih lanjut ia mengatakan, kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca, indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan, ujarnya jumat (2/11) siang. (Ms)

DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA KRITIS [ Kamis, 10 Januari 2008 | .149 pembaca | 2.918 byte ]Semarang, Dunia pendidikan Indonesia saat ini berada pada titik kritis. Penyebab utamanya adalah kekeliruan dalam menata kebijakan dan sistem pedagogis. Kondisi ini akan semakin memburuk dan memprihatinkan bila hingga tahun 2004 tidak ada pembenahan yang signifikan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

Keprihatinan ini disampai-kan Menteri Pendidikan Nasio-nal (Mendiknas) Abdul Malik Fadjar seusai melantik Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Drs AT Soegito SH MM di Semarang, Sabtu (15/6), menggantikan Drs Rasdi Ekosiswoyo MSc. Selain menghadiri pelantikan Rektor Unnes, pada hari yang sama, Mendiknas juga menghadiri pelantikan kembali Prof Ir Eko Budihardjo MSc sebagai Rektor Universitas Diponegoro (Undip) di Auditorium Imam Bardjo, Undip.

Malik menambahkan, terpuruknya pendidikan Indonesia terbukti dengan buruknya peringkat mutu pendidikan Indonesia di Asia maupun di dunia. Di tingkat dunia, peringkat mutu pendidikan Indonesia menduduki nomor 102. "Ini sangat memprihatinkan dan membuat jajaran pendidikan Indonesia harus segera membenahinya," ujar Malik.

Malik menegaskan, salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah terputusnya dunia pendidikan dengan kepentingan masyarakat luas. Untuk itu, ia mengimbau agar perguruan tinggi mampu menjembatani antara kepentingan masyarakat dengan dunia pendidikan.

"Perguruan tinggi jangan hanya besar karena jajaran gedung dan ketersediaan jumlah sarana dan prasarananya saja, tetapi harus bisa mencetak lulusan yang bisa dimanfaatkan masyarakat melalui getaran-getaran akademik yang sehat," jelasnya. Dia menambahkan, pembenahan dunia pendidikan Indonesia harus dimulai sejak tingkat SD, sebab SD merupakan basis pendidikan yang paling mendasar.

Kekurangan guru

Pada bagian lain Malik mengatakan, saat ini Indonesia kekurangan tenaga guru pada semua tingkatan pendidikan di berbagai tempat. Diperkirakan kekurangan guru mencapai 200.000 orang. Kekurangan tenaga guru ini akibat adanya kebijakan pemerintah zero growth yang berlaku sejak tahun 1990. "Perlu ada terobosan untuk mengangkat guru kontrak. Guru kontrak itu bisa dari guru wiyata bakti atau orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menjadi guru," ujarnya.

Malik mengatakan, kekurangan guru ini disebabkan oleh pengangkatan guru yang tidak merata. Terlebih di era otonomi daerah, semua wewenang pengangkatan guru berada di pemerintah kabupaten/ kota. Akibatnya, pengangkatan guru menjadi tidak seimbang. Artinya, antara jumlah guru pensiun dengan yang menggantinya tidak seimbang. Contohnya, dari 10 guru yang pensiun, yang menggantikan atau diangkat hanya dua orang.

Mengenai pembiayaan, tambah Malik, pemerintah pusat akan membantu pembiayaan honor guru kontrak itu. "Perkiraan sementara, kalau satu guru mendapat honor Rp 200.000 atau Rp 250.000 per bulan, lalu dikalikan dengan 200.000 tenaga," ujar Malik. (kompas)

Indeks Pendidikan Indonesia Modern

Pembangunan Pendidikan (Kompas 31/12-2007)Indeks Pendidikan Indonesia Menurun

Nama negara seperti Malta, Armenia, Santa Lucia, atau Mauritius tidak terlaluakrab dengan telinga kita. Kalaupun ada yang pernah mendengar, boleh jadi tidakmengetahui di belahan bumi manakah negara-negara "kecil" tersebut berada.Bagaimana bentuk pemerintahannya pun, mungkin kita menerka-nerka.Akan tetapi, jangan terlalu menganggap remeh. Sebab, negara-negara "kecil" ituternyata memiliki kualitas pendidikan lebih baik daripada negara yang jumlahpenduduknya besar seperti Indonesia.

Kenyataan ini tergambar dalam Indeks Pembangunan Pendidikan atau EDI (EducationDevelopment Index) yang terdapat pada laporan EFA (Education For All) yangdipublikasikan dalam Global Monitoring Report 2008. Laporan GMR dikeluarkanOrganisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PerserikatanBangsa-Bangsa (UNESCO) setiap tahun yang berisi hasil pemonitoran regulerpendidikan dunia.Indeks pendidikan ini dibuat dengan mengacu pada enam tujuan pendidikan EFA yangdisusun dalam pertemuan pendidikan global di Dakar, Senegal, tahun 2000.Dalam laporan terakhir yang dipublikasikan pada November 2007, EDI mengompilasidata pendidikan dari 129 negara di seluruh dunia. Indeks ini dibuat denganmembagi tiga kategori penilaian, yaitu nilai EDI tinggi, sedang, dan rendah.Pada GMR kali ini, Indonesia tetap berada pada EDI kategori sedang bersama 53negara lainnya. Total nilai EDI diperoleh dari rangkuman perolehan empatkategori penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek hurufpada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, danangka bertahan siswa hingga kelas 5 sekolah dasar (SD).Posisi IndonesiaMengetahui posisi Indonesia di dunia mungkin tidak harus membandingkannya dengannegara-negara yang secara geografis letaknya jauh seperti di atas. Cukup denganmelihat posisinya di antara sesama negara Asia Tenggara.Hasil indeks pembangunan pendidikan terakhir ternyata menunjukkan adanyapergeseran posisi Indonesia dan Malaysia. Jika pada tahun- tahun sebelumnyaperingkat Indonesia selalu berada di atas Malaysia, kali ini terjadi perbedaanhasil.Dalam laporan yang dipublikasikan November lalu itu, posisi Malaysia melonjakenam tingkat dari peringkat 62 menjadi 56. Sebaliknya, peringkat Indonesia turundari posisi 58 menjadi 62. Nilai total EDI yang diperoleh Indonesia juga turun0,003 poin, dari 0,938 menjadi 0,935. Sementara itu, Malaysia berhasil meraihtotal nilai 0,945, atau naik 0,011 poin dari tahun sebelumnya.Dalam penghitungan kali ini, Malaysia berhasil menaikkan poin pada tiga komponenpenilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia15 tahun ke atas, dan angka partisipasi menurut kesetaraan jender. Adapunkategori angka bertahan kelas 5 SD memperoleh nilai sama dengan tahunsebelumnya.Indonesia hanya berhasil menaikkan poin pada angka bertahan kelas 5 SD sebesar0,004 poin. Adapun pada kategori lain, yaitu angka partisipasi pendidikan dasardan angka partisipasi menurut kesetaraan jender, poinnya justru turun sebesar0,007 poin. Sedangkan angka melek huruf berhasil mempertahankan skor yang samadengan tahun sebelumnya.Sistem penilaian EDI juga membagi tiga kategori skor, yaitu kelompok negaradengan indeks pendidikan tinggi (0,950 ke atas), sedang (0,800 sampai di bawah0,950), dan rendah (di bawah 0,800).Pada pembagian ini tercatat enam negara Asia Tenggara, yaitu Indonesia,Malaysia, Filipina, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja, berada di kelompok negaradengan kategori EDI sedang. Sementara Brunei Darussalam yang baru tahun inimasuk dalam penilaian berada di kelompok negara dengan indeks pembangunanpendidikan tinggi.Negara Asia Tenggara lain, yaitu Laos, hingga saat ini masih termasuk dalamkelompok negara dengan indeks pembangunan pendidikan rendah. Khusus untukSingapura dan Thailand tidak tercatat dalam penilaian sehingga tidak dapatdibandingkan.Satu hal yang patut dicatat, tahun ini Malaysia berhasil meraih poin 0,945, atauhanya butuh 0,005 poin lagi untuk masuk ke kelompok negara dengan indekspendidikan tinggi. Sedangkan Indonesia sedikitnya membutuhkan 0,015 poin lagiuntuk masuk dalam kategori EDI tinggi. Itu pun jika tahun depan tidak lagiterjadi penurunan seperti tahun ini.Jika mengamati perolehan total skor indeks pendidikan selama empat tahun, yaituantara tahun 2001 dan 2005, terlihat hanya Myanmar dan Kamboja yang menunjukkanpeningkatan setiap tahun. Bahkan, pada tahun 2005 terjadi lompatan posisiKamboja dengan berhasil masuk ke kelompok EDI medium (sedang) dari tahun-tahunsebelumnya di kelompok negara ber-EDI rendah. Seperti juga Malaysia, pada tahuntersebut hampir semua nilai komponen dalam indeks pendidikan Kamboja meningkat.Hanya angka melek huruf yang stagnan, sama dengan tahun sebelumnya.Kenaikan poin setiap tahun sebenarnya terjadi juga pada Malaysia, khususnyaperiode 2002-2005. Untuk tahun 2001, Malaysia belum tercatat dalam pengukuranindeks pembangunan pendidikan dunia.Mengenai posisi Indonesia di EFA kali ini, Menteri Pendidikan Nasional BambangSudibyo mengatakan, penurunan peringkat pencapaian EFA di UNESCO itu tidak perludibesar-besarkan. Pasalnya, peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia sudahmulai diakui negara lain."Media massa jangan mencari yang jelek-jelek saja dalam pencapaian reformasipendidikan di Indonesia. Secara kualitas, pendidikan Indonesia sudah mengalamilompatan yang luar biasa. Meskipun masih masuk kategori yang perekonomiannyamenengah, Indonesia memberanikan diri mengikuti program penilaian PISA atauProgramme for International Assessement. Setidaknya Indonesia berani ikutpenilaian dengan 30 negara industri maju," kata Bambang.Untuk menindaklanjuti hasil evaluasi UNESCO terhadap pencapaian EFA 2015,tanggal 11-13 Desember lalu diadakan pertemuan evaluasi pertengahan pencapaianEFA. Pertemuan dihadiri pemimpin negara, lembaga donor, dan lembagainternasional lainnya. Evaluasi ini menolong negara yang berkomitmen mewujudkanpencapaian EFA sehingga masing-masing negara menjadi tahu bagaimana posisinyadalam pencapaian pendidikan dasar, yang umumnya masih jauh dari target EFA 2015.Kelemahan pencapaian umumnya terlihat di pencapaian pendidikan dasar danpendanaan.Dalam peningkatan kualitas pendidikan, ada tiga kebijakan yang ditekankan.Pertama, negara-negara harus mengembangkan kebijakan untuk melatih dan merekrutsebanyak-banyaknya guru SD dengan memerhatikan perkembangan karier mereka.Kedua, melakukan pendekatan komprehensif dengan berfokus pada kurikulum,pedagogi, persamaan jender, bahasa pengantar, buku teks, dan fasilitas yanglayak.Ketiga, adanya kebijakan untuk menyiapkan anak-anak siap belajar, caranya denganmeningkatkan partisipasi pendidikan anak usia dini serta akses kesehatan dangizi di sekolah.PALUPI PANCA ASTUTI & ESTER LINCE NAPITUPULU

Penurunan Peringkat Pendidikan Indonesia Harus Jadi Cambuk

[JAKARTA] Laporan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, Educationals, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) 2007 menunjukkan, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 dari 130 negara di dunia. Penurunan peringkat itu, harus dijadikan cambuk bagi pemerintah Indonesia untuk terus memajukan dunia pendidikan nasional.

Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Arief Rachman, mengatakan hal itu kepada /SP/, di Jakarta, pekan lalu menanggapi laporan UNESCO yang menempatkan posisi pendidikan Indonesia pada peringkat ke 62. Namun kata Arief, peringkat itu bisa dijadikan pula pembanding di internal.

''Kita berkaca sendiri mengenai dunia pendidikan nasional. Apakah masyarakat sudah memperoleh akses pelayanan pendidikan bermutu atau belum," kata penasihat Perguruan Diponegoro itu.

*Secara Global*

Selain laporan UNESCO bisa menjadi pemacu kinerja pemerintahan, Arief menerangkan, kualitas pendidikan nasional tidak bisa dilihat dari kasus per kasus. Namun harus dilihat secara global dengan melihat beberapa faktor seperti, kondisi pemerintahan, kondisi keuangan negara, kondisi kota atau kabupaten, dan sebagainya.

" Kualitas pendidikan nasional bisa membaik jika minimal ada empat faktor yakni kepemimpinan yang kuat, tata kelola pemerintahan yang baik, partisipasi semua pihak, dan kesadaran terhadap permasalahan pendidikan,'' ujarnya.

Dalam laporan UNESCO edisi ke 6 mengenai "Education for All Global Monitoring" yang dirilis pada Kamis (29/11), menyebutkan education development index (EDI) 0.935, di bawah Malaysia (56) dan Brunei Darussalam (43), dengan EDI 0.945 dan 0.965.

EDI menggambarkan rata-rata kemajuan pendidikan yang dicapai di suatu negara, khususnya pada akses memperoleh pelayanan pendidikan dan kesetaraan gender.

Sumber : SUARA PEMBARUAN DAILY