dasar teknologi hijaumarno.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/filofosi-dasar... · web viewpengembangan...

63
1 FILOSOFI TEKNOLOGI HIJAU Diabstraksikan oleh Soemarno, pslp-ppsub 2011 Apa itu Teknologi Hijau ? “Teknologi” lebih bermakna sebagai penerapan pengetahuan untuk tujuan praktis. Sedangkan “teknologi hijau” adalah teknik untuk menghasilkan energi dan/atau produk yang tidak mencemari atau meracuni lingkungan hidup. Teknologi hijau masih terus dikembangkan hingga saat ini. Untuk masa datang, “teknologi hijau” merupakan suatu bidang yang akan melahirkan banyak inovasi dan perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Boleh dikatakan perkembangan teknologi hijau ini dapat disejajarkan dengan ledakan “teknologi informasi” selama dua dekade terakhir ini. Teknologi hijau merupakan salah satu upaya untuk menjaga kelestarian atau keberlanjutan kehidupan di planet bumi ini. Kelestarian atau keberlanjutan (sustainabilitas) yang dapat diartikan sebagai perihal pemenuhan kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan di masa depan tanpa merusak sumber daya alam, atau pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Pada saat sekarang ini kesadaran masyarakat terhadap teknologi hijau masih belum mencapai tahap yang memuaskan. Masih banyak kilang-kilang yang mengeluarkan asap hitam yang membahayakan, penggunaan bahan baker kenderaan bermotor yang begitu mengkhawatirkan emisinya, sumberdaya alam semakin banyak dimusnahkan, sungai-sungai yang kotor dan pelepasan karbon ke udara yang semakin banyak.

Upload: dothien

Post on 06-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

FILOSOFI TEKNOLOGI HIJAU

Diabstraksikan olehSoemarno, pslp-ppsub 2011

Apa itu Teknologi Hijau ?“Teknologi” lebih bermakna sebagai penerapan pengetahuan untuk

tujuan praktis. Sedangkan “teknologi hijau” adalah teknik untuk menghasilkan energi dan/atau produk yang tidak mencemari atau meracuni lingkungan hidup. Teknologi hijau masih terus dikembangkan hingga saat ini. Untuk masa datang, “teknologi hijau” merupakan suatu bidang yang akan melahirkan banyak inovasi dan perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Boleh dikatakan perkembangan teknologi hijau ini dapat disejajarkan dengan ledakan “teknologi informasi” selama dua dekade terakhir ini.

Teknologi hijau merupakan salah satu upaya untuk menjaga kelestarian atau keberlanjutan kehidupan di planet bumi ini. Kelestarian atau keberlanjutan (sustainabilitas) yang dapat diartikan sebagai perihal pemenuhan kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan di masa depan tanpa merusak sumber daya alam, atau pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Pada saat sekarang ini kesadaran masyarakat terhadap teknologi hijau masih belum mencapai tahap yang memuaskan. Masih banyak kilang-kilang yang mengeluarkan asap hitam yang membahayakan, penggunaan bahan baker kenderaan bermotor yang begitu mengkhawatirkan emisinya, sumberdaya alam semakin banyak dimusnahkan, sungai-sungai yang kotor dan pelepasan karbon ke udara yang semakin banyak.

Teknologi hijau adalah aplikasi sains alam sekitar untuk memelihara sumberdaya alam serta mengelola dampak negatif akibat akitivitas manusia. Teknologi hijau adalah teknologi rendah karbon dan lebih ramah lingkungan. Apabila kita menggunakan teknologi hijau, kita menggunakan sumberdaya seperti energi, air, dan sebagainya secara minimum untuk menghasilkan sesuatu produk. Produk itu akan aman digunakan dan menyediakan lingkungan yang sehat dan lebih baik untuk semua kehidupan. Ia juga menghemat energy dan sumberdaya alam serta menggalakkan sumber-sumberdaya yang renewable. Tujuannya adalah mengurangi penggunaan energy dan sekaligus meningkatkan pembangunan ekonomi. Selain itu, teknologi hijau memastikan pembangunan lestari dan memelihara sumberdaya alam untuk generasi mendatang serta meningkatkan pendidikan dan kesedaran masyarakat terhadap teknologi hijau dan

2

menyebar-luaskan aplikasi teknologi hijau. Teknologi hijau juga mampu mengurangi emisi karbon ke udara yang menyebabkan fenomena perubahan iklim global.

Energi dan Kehidupan Manusia

ENERGI berperanan penting dalam semua aktivitas KEHIDUPAN MANUSIA. Sumber energy dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sumber energy konvensional (tidak dapat diperbaharui) dan tidak konvensional (dapat diperbaharui). Sumber energy konvensional yang terbesar adalah petroleum dan jenis sumberdaya ini akan semakin berkurang dan habis jika digunakan secara terus-menerus. Contoh sumber energy bukan konvensional yang ialah bioenergi dan energy solar.

Ketika Revolusi Perindustrian yang bermula di Britain sejak abad ke-18 hingga sekarang, energy yang digunakan untuk menggerakkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dunia ialah bahan bakar fosil yang terdiri atas minyak, gas dan batubara, yang merupakan sumber energi konvensional. Bahan bakar fosil banyak membantu dalam pembangunan, tetapi tidak sadar bahwa dampak penggunaan bahan bakar fosil ini terhadap kelestarian lingkungan hidup. Penggunaan bahan bakar fosil yang semakin meningkat telah berperanan besar dalam fenomena pemanasan global dengan melepaskan karbon dioksida(CO2) ke udara bebas dan seterusnya mempengaruhi perubahan iklim global. Para pemimpin dunia telah memperkenalkan pemakaian energy alternatif untuk dapat menggantikan bahan bakar fosil yang membahayakan.

3

Berbagai jenis material dapat dijadikan alternatif untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, misalnya energy surya (solar = matahari), energy air, energy angin, hidrogen, dan bioenergi dari kelapa sawit. Indonesia merupakan Negara tropis yang beriklim panas dan lembab sepanjang tahun. Kita dapat memanfaatkan cahaya matahari pada waktu siang sebagai seumber energy untuk menggantikan energy listrik. Energi matahari dapat mengurangi pencemaran udara dan dampak rumah kaca serta energinya dapat disimpan untuk penggunaan eletrik pada waktu malam hari. Energi ini dapat dimanfaatkan untuk penerangan umum dan lampu-lampu jalan raya.

Energi hidro berasal dari air yang mengalir, aliran air ini mengandungi energy kinetic yang dapat diubah menjadi energy elektrik. Energi hidro dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pertanian. Indonesia kaya dengan flora dan fauna dan telah menjadi kawasan yang mempunyai cadangan air yang berkelanjutan. Hampir 90% daripada sumber energy yang diperbaharui berasal dari sumber-sumber hidro. Bendungan dan waduk-waduk telah digunakan sebagai prasarana hidro untuk menampung air sungai. Kebihan energy ini adalah murah biayanya. Air juga dapat disimpan di dalam reservoir dan dapat digunakan pada masa yang diperlukan serta tidak ada sisa buangan yang mengakibatkan pencemaran. Energi ini juga lebih diyakini keunggulannya berbanding dengan tenaga angin, matahari dan gelombang.

Hidrogen juga merupakan bahan penggantian untuk bahan bakar fosil. Hidrogen dapat digunakan sebagai sejenis bahan bakar bagi kendaraan bermotor. Hidrogen dibakar dalam system engine melalui kaidah yang serupa dengan kereta petrol tradisional. Dalam penukaran sel bahan bakar, hydrogen bereaksi dengan oksigen untuk menghasilkan air dan elektrik untuk menjalankan motor eletrik. Kendaraan yang menggunakan hidrogen sebagai nahan bakar dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. Tetapi untuk mendapatkan bahan bakar hydrogen ini masih sangat sukar kerana hidrogen diperoleh melalui reaksi termokimia yang menggunakan gas alam, batubara, gas alam cair, bioenergi, melalui proses termolisis atau dihasilkan dari air melalui elektrolisis. Oleh karena itu, hidrogen dikenali sebagai bahan bakar yang relative mahal mahal untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Biofuel (bahan bakar hayati) juga merupakan bahan bakar alternatif untuk bahan bakar fosil yang dihasilkan dari bahan-bahan

4

organik. Biofuel dapat dihasilkan secara langsung dari tanaman atau limbah industry, komersial, domestik, atau pertanian. Ada tiga cara untuk menghasilkan biofuel yaitu sampah organik (sampah domestik), fermentasi limbah basah (kotoran hewan) atau fermentasi tebu , jagung , dan kayu bakar hasil hutan. Biofuel menghasilkan emisi karbon dioksida yang jauh lebih sedikit daripada bahan bakar fosil. Biofuel dapat terurai dan sumber bahan buatan biofuel mampu mengurangi emsisi gas rumah kaca.

Beberapa teknik untuk pencapaian sustainabilitas tersebut, yang telah banyak dikenal, antara lain : - Produk Daur Ulang yaitu penciptaan (siklus) produk-produk

manufaktur yang sepenuhnya dapat direklamasi atau digunakan kembali.

- Inovasi teknologi hijau merupakan pengembangan teknologi alternatif baik berupa bahan bakar fosil atau bahan kimia hasil dari budidaya tanaman – yang telah terbukti tidak merusak kesehatan dan lingkungan hidup.

Bidang-bidang Teknologi Hijau

Studi tentang teknologi hijau yang masih terus dikembangkan dan merupakan kecenderungan teknologi di masa datang, antara lain mencakup bidang-bidang, a.l: Energi terbarukan (renewable energy); Bangunan hijau/ramah lingkungan (green building); Kimia hijau (green chemistry) dan Teknologi Nano Hijau (green nanotechnology).

Energi yang dapat diperbaharuiMengingat keterbatasan sumber energi berbahan baku fosil

(minyak, gas dan batubara), maka energi menjadi masalah yang paling mendesak dalam bidang teknologi hijau, termasuk didalamnya pengembangan bahan bakar alternatif atau energi terbarukan yang efisien.

Energi alternatif adalah istilah yang merujuk kepada semua energi yang dapat digunakan yang bertujuan untuk menggantikan bahan bakar konvensional tanpa akibat yang tidak diharapkan dari hal tersebut. Umumnya, istilah ini digunakan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar hidrokarbon yang mengakibatkan kerusakan lingkungan akibat emisi karbon dioksida yang tinggi, yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global berdasarkan Intergovernmental Panel on Climate Change. Selama beberapa tahun, apa yang sebenarnya dimaksud sebagai energi alternatif telah berubah akibat banyaknya pilihan energi yang bisa dipilih yang tujuan yang berbeda dalam penggunaannya.

5

Istilah "alternatif" merujuk kepada suatu teknologi selain teknologi yang digunakan pada bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi. Teknologi alternatif yang digunakan untuk menghasilkan energi dengan mengatasi masalah dan tidak menghasilkan masalah seperti penggunaan bahan bakar fosil.

Oxford Dictionary mendefinisikan energi alternatif sebagai energi yang digunakan bertujuan untuk menghentikan penggunaan sumber daya alam atau pengrusakan lingkungan.

Energi alternatif yang RAMAH LINGKUNGANSumber energi terbarukan seperti biomassa kadang-kadang

disebut sebagai alternatif untuk bahan bakar fosil yang membahayakan bagi ekologi, karena jika biomassa dikomersialkan dikhawatirkan akan membahayakan hutan sebagai penghasil biomassa terbesar (kayu juga merupakan biomassa). Energi terbarukan belum tentu energi alternatif dengan tujuan tersebut. Seperti contoh, di Belanda, yang pernah digunakan minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar bio, saat ini dihentikan akibat bukti ilmiah bahwa penggunaannya menciptakan kerusakan lebih parah dibandingkan bahan bakar fosil, seperti kemungkinan ekspansi lahan kelapa sawit yang dapat menghabiskan hutan alami. Mengenai bahan bakar bio dari bahan pangan, realisasi mengkonversi seluruh hasil panen di Amerika Serikat hanya mampu menggantikan 16% bahan bakar mobil yang dibutuhkan, dan pemusnahan hutan hujan tropis, yang selama ini sebagai penyerap CO2, untuk dijadikan ladang penghasil bahan bakar bio, sangat jelas akan mengakibatkan efek negatif yang sangat signifikan bagi ekologi dan menghasilkan peningkatan harga bahan pangan akibat kompetisi pasar. Saat ini, alternatif terhadap bahan bakar bio berkelanjutan sedang diupayakan dalam bentuk etanol selulosit.

Konsep baru energi alternatif

Area penangkapan energi angin mengapungArea penangkapan energi angin mengapung sama dengan area

penangkapan energi angin biasa namun mengapung di tengah-tengah lautan. Area penangkapan energi angin lepas pantai dapat ditempatkan di perairan sedalam 40 meter. Keuntungan area penangkapan energi angin mengapung adalah kemampuannya menangkap energi angin di tengah lautan tanpa halangan bukit, pepohonan, dan bangunan; angin di tengah lautan dapat mencapai kecepatan dua kali kecepatan angin di daratan. Perusahaan energi Norwegia, StatoilHydro, akan melakukan percobaan pertama area penangkapan energi angin mengapung di musim gugur 2009.

Energi HidroHidroelektrisitas adalah satu bentuk tenaga hidro digunakan

untuk memproduksi listrik. Kebanyakan tenaga hidroelektrik berasal dari energi potensial dari air yang dibendung dan menggerakkan turbin air dan generator. Bentuk yang kurang umum adalah memanfaatkan energi kinetik seperti tenaga ombak. Tenaga hidro atau Microhidro adalah energi melalui

6

aliran air baik biasanya di sungai yang dapat dipakai untuk membangkitkan listrik dalam daya tertentu. Secara teknis, alat pembangkit dipasang pada aliran sungai, kemudian energi yang dihasilkan disimpan/dialirkan melalui Pembangkit Listrik. Hidroelektrisitas adalah sumber energi terbaharui. Di banyak bagian Kanada (provinsi British Columbia, Manitoba, Ontario, Quebec, dan Newfoundland and Labrador) hidroelektrisitas digunakan secara luas. Pusat tenaga yang dijalani oleh provinsi-provinsi ini disebut BC Hydro, [[[Manitoba Hydro]], Hydro One (dulunya "Ontario Hydro"), Hydro-Québec, dan Newfoundland and Labrador Hydro. Hydro-Québec merupakan perusahaan penghasil listrik hydro terbesar dunia, dengan total listrik terpasang sebesar 31.512 MW (2005).

Tenaga listrik hydro, menggunakan kinetik, atau energi gerakan sungai, sekarang menyediakan 20% listrik dunia. Misalnya Norwegia menghasilkan hampir seluruh listriknya dari hydro, sedangkan Iceland memproduksi 83% dari kebutuhannya (2004), Austria memproduksi 67% dari seluruh listrik yang dihasilkan di negara tersebut. Kanada merupakan penghasil tenaga hidro terbesar dunia dan memproduksi lebih dari 70% listriknya dari sumber hidroelektrik

Energi SuryaEnergi surya adalah energi yang didapat dengan mengubah energi

panas surya (matahari) melalui peralatan tertentu menjadi sumber daya dalam bentuk lain. Energi surya menjadi salah satu sumber pembangkit daya selain air, uap,angin, biogas, batu bara, dan minyak bumi. Teknik pemanfaatan energi surya mulai muncul pada tahun 1839, ditemukan oleh A.C. Becquerel. Ia menggunakan kristal silikon untuk mengkonversi radiasi matahari, namun sampai tahun 1955 metode itu belum banyak dikembangkan. Selama kurun waktu lebih dari satu abad itu, sumber energi yang banyak digunakan adalah minyak bumi dan batu bara. Upaya pengembangan kembali cara memanfaatkan energi surya baru muncul lagi pada tahun 1958. Sel silikon yang dipergunakan untuk mengubah energi surya menjadi sumber daya mulai diperhitungkan sebagai metode baru, karena dapat digunakan sebagai sumber daya bagi satelit angkasa luar

Penerapan energi suryaEnergi surya telah banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa di antara aplikasi tersebut antara lain :1. Pencahayaan bertenaga surya2. Pemanasan bertenaga surya, untuk memanaskan air, memanaskan

dan mendinginkan ruangan,3. Desalinisasi dan desinfektisasi4. Untuk memasak, dengan menggunakan kompor tenaga surya

Biogas hasil pencernaan

7

Biogas hasil pencernaan berhubungan dengan pemanfaatan gas metana yang dilepaskan ketika kotoran hewan membusuk. Gas ini dapat diperoleh dari sampah dan sistem saluran limbah. Sistem penghasil biogas digunakan untuk menghasilkan untuk memproses gas metana melalui bakteri atau dekomposer yang memecah biomassa dalam lingkungan atau kondisi anaerobik. Gas metana yang dikumpulkan dan dimurnikan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif.

HeliokulturHeliokultur adalah proses memanen energi matahari menjadi bahan bakar dengan memindahkan karbon dioksida di atmosfer dengan memanfaatkan pertanian.

Helioculture refers to a patent-pending technology created by Joule Biotechnologies, a renewable energy start-up based in Cambridge, Massachusetts, that produces transportation fuel from photosynthetic organisms within a bioreactor using solar energy and carbon dioxide. Helioculture is a new technology to create fuel using solar energy. Sunlight and carbon dioxide interact with genetically modified photosynthetic organisms within a solar converter to create liquid fuel directly.Joule claims that the Helioculture process “leverages highly engineered photosynthetic organisms to catalyze the conversion of sunlight and CO2“to usable transportation fuels and chemicals.” The company also argues that it can manipulate the types of organisms within the bioreactor to produce different types of fuels, from ethanol to diesel. This process takes place within a bioreactor the company has termed a “SolarConverter”, which is a modular system. This type of system allows Joule to scale installations quickly and easily to meet industrial or commercial production demands. Helioculture installations do not need to be sited on arable land and the company believes installations could also be placed on commercial sites such as on rooftops.

8

Sumber: http://climatelab.org/HeliocultureThe photosynthetic organisms within the bioreactor interact with sunlight and carbon-dioxide to produce fuel within a biomass intermediary.Helioculture mixes gray-water and the photosynthetic organisms with carbon dioxide and sunlight to create liquid fuel. Because it does not require freshwater resources, nor agricultural land, Helioculture represents an opportunity to sidestep many of the criticisms that plague ethanol production from corn, namely that it requires a large number of resources that could be used for food creation. The process also does not require a biological intermediary, such as algae or ethanol produced from corn. With no biomass waste product, Helioculture also reduces waste products produced in the course of creating biofuels.

The company has yet to say what the organisms are within the bioreactor for fear of other start-up companies stealing their process. However, they have said that the organisms are not algae, which other start-up companies have been using in recent biofuel experiments. Joule claims that Helioculture technology is not a new technology for making biofuel. Rather, they claim to be producing “solar fuel” because there is no intermediary product, such as algae, corn, or switchgrass that must be grown or transported before being converted into biofuel. This “solar fuel” can create the chemical equivalent of ethanol and other hydrocarbon-based fuels depending on which type of organism has been placed within the bioreactor and meets current vehicle fuel standards.

9

In November 2009, Joule (Joule Biotechnologies, Inc.) announced that a new breakthrough in genome engineering allows them to directly produce hydrocarbons within laboratory settings. This capacity was based on the discovery of unique genes that code for enzymatic mechanisms that allow the direct synthesis of alkane and olefin molecules (the chemical composition of diesel). Though a pilot development is slated until early 2011, the President and CEO of Joule, Bill Simms, said of the breakthrough, “This achievement marks a critical step towards making renewable diesel fuel a reality at high volumes and competitive costs. We are accelerating the pace to create a direct replacement for petroleum-based diesel that can use today’s storage and distribution methods, with a very high net energy balance, and without the depletion of natural resources incurred by biomass-to-liquid approaches. It won’t happen overnight, but this latest milestone opens the door to an industry-changing technology.”

Because the photosynthetic organisms directly converts sunlight into liquid fuel, the storage issues is contained to how efficient the liquid fuel is and how long it can last in storage. In a press release, Joule argued that the fuel “has up to 100 times the energy storage density of conventional batters and can be very efficiently stored and transported with no degradation of power.”

Joule estimates that it will be able to produce 20,000 gallons of ethanol per acre per year, which is represents a dramatically higher yield than conventional corn-based ethanol. With an estimated 2.7 gallons of ethanol produced from a bushel of corn and an estimated corn yield of 182 bushels per acre, which is an equivalent yield of 492 gallons of ethanol per acre per year. Even if Joule’s yield has been overestimated by 50%, Helioculture could represent a dramatically efficient low-carbon emissions fuel source.Because the bioreactor relies on inputs of sunlight and carbon dioxide, Helioculture can use any source of carbon dioxide to create biofuel. As such, Helioculture installments can be located next to carbon-dioxide producing power plants and Joule is currently looking to create joint-ventures with those providers for a commercial installment, which could range from anywhere between 1,000 and 10,000 acres.

Helioculture is thought to be price-competitive with conventional fuels at a price of $50 per barrel of oil when current subsidies are included. The company announced plans to break ground on pilot plant in 2010 and hopes to open a commercial-scale operation in 2011, which would operate at the full 20,000 gallons per acre per year.

10

Sumber: http://climatelab.org/HeliocultureHelioculture installations can be located on non-arable land and don't require freshwater

resources, lowering the competition with food production for natural resources.

11

Energi Geotermal

Energi panas bumi adalah energi yang diekstraksi dari panas yang tersimpan di dalam bumi. Energi panas bumi ini berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi yang terjadi sejak planet ini diciptakan. Panas ini juga berasal dari panas matahari yang diserap oleh permukaan bumi. Energi ini telah dipergunakan untuk memanaskan (ruangan ketika musim dingin atau air) sejak peradaban Romawi, namun sekarang lebih populer untuk menghasilkan energi listrik. Sekitar 10 Giga Watt pembangkit listrik tenaga panas bumi telah dipasang di seluruh dunia pada tahun 2007, dan menyumbang sekitar 0.3% total energi listrik dunia. Energi panas bumi cukup ekonomis dan ramah lingkungan, namun terbatas hanya pada dekat area perbatasan lapisan tektonik.

Energi panas bumi adalah energi yang diekstraksi dari panas yang tersimpan di dalam bumi. Energi panas bumi ini berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi yang terjadi sejak planet ini diciptakan. Panas ini juga berasal dari panas matahari yang diserap oleh permukaan bumi. Energi ini telah dipergunakan untuk memanaskan (ruangan ketika musim dingin atau air) sejak peradaban Romawi, namun sekarang lebih populer untuk menghasilkan energi listrik. Sekitar 10 Giga Watt pembangkit listrik tenaga panas bumi telah dipasang di seluruh dunia pada tahun 2007, dan menyumbang sekitar 0.3% total energi listrik dunia.

Energi panas bumi cukup ekonomis dan ramah lingkungan, namun terbatas hanya pada dekat area perbatasan lapisan tektonik.

Pembangkit listrik tenaga panas bumi hanya dapat dibangun di sekitar lempeng tektonik di mana temperatur tinggi dari sumber panas bumi tersedia di dekat permukaan. Pengembangan dan penyempurnaan dalam teknologi pengeboran dan ekstraksi telah memperluas jangkauan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi dari lempeng tektonik terdekat. Efisiensi termal dari pembangkit listrik tenaga panas bumi cenderung rendah karena fluida panas bumi berada pada temperatur yang lebih rendah dibandingkan dengan uap atau air mendidih. Berdasarkan hukum termodinamika, rendahnya temperatur membatasi efisiensi dari mesin kalor dalam mengambil energi selama menghasilkan listrik. Sisa panas terbuang, kecuali jika bisa dimanfaatkan secara lokal dan langsung, misalnya untuk pemanas ruangan. Efisiensi sistem tidak memengaruhi biaya operasional seperti pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil.

Energi alternatif dalam transportasiAkibat peningkatan harga gas di tahun 2008 dengan peningkatan

harga bahan bakar hingga 4 US dollar per galon ketika itu, telah ada gerakan untuk mengembangkan kendaraan dengan efisiensi bahan bakar yang lebih tinggi serta kendaraan dengan bahan bakar alternatif. Menanggapi hal tersebut, banyak perusahaan kecil meningkatkan penelitian dan pengembangan untuk secara radikal mengubah cara menggerakkan kendaraan pribadi. Dan saat ini, kendaraan Hybrid dan

12

bertenaga baterai telah tersedia secara komersial dan dapat diterima masyarakat secara luas di seluruh dunia.

Alternatif "zero carbon"Dari sudut pandang isu perubahan iklim, bahan bakar ekonomis

rendah karbon adalah sumber alternatif untuk mengeliminasi emisi karbon dan metana. Demi tujuan ini, sumber energi terbarukan dan berkelanjutan

13

seperti biomassa, dan hidrogen yang dihasilkan dari gas alam, tidak tersedia secara ekonomis untuk melawan peningkatan karbon secara global. Energi nuklir dan tehnik penangkapan dan penyimpanan karbon seperti teknologi batu bara bersih adalah teknologi energi alternatif yang rendah emisi karbonnya, namun tidak sesuai dengan tujuan bahwa energi alternatif harus tidak merusak lingkungan.

Bangunan HijauBangunan hijau (green building) juga mendapat perhatian penting di

bidang teknologi hijau, segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan rumah atau infrastruktur yang ramah lingkungan. Penerapannya mulai sejak pemilihan bahan bangunan hingga lokasi tempat bangunan akan didirikan diharapkan telah mempertimbangan kelestarian lingkungan hidup.

Istilah “green” mencakup dua hal, yaitu green architecture dan green building. Kedua hal ini memiliki dua makna yang berbeda, walaupun masih dalam satu tujuan. Green di sini tidak diartikan sebagai lingkungan terbangun yang serba hijau, tetapi lebih menekankan kepada keselarasan dengan lingkungan global, yaitu udara, air, tanah dan api.Definisi green architecture (arsitektur hijau) adalah sebuah kesadaran lingkungan arsitektur yang tidak hanya memasukkan aspek utama arsitektur (kuat, fungsi, nyaman, rendah biaya, estetika), namun juga memasukkan aspek lingkungan dari sebuah green buildings, yaitu efisiensi energi, konsep keberlanjutan dan pendekatan secara holistik terhadap lingkungan. Green architecture memiliki pengertian sebagai sebuah istilah yang menggambarkan tentang ekonomi, hemat energi, ramah lingkungan, dan dapat dikembangkan menjadi pembangunan berkesinambungan. Green architecture mencakup keselarasan antara manusia dan lingkungan alamnya. Arsitektur hijau mengandung juga dimensi lain seperti waktu, lingkungan alam, sosio-kultural, ruang, serta teknik bangunan.

Green architecture (arsitektur hijau) juga didefinisikan sebagai arsitektur yang berwawasan lingkungan dan berlandaskan kepedulian tentang konservasi lingkungan global alami dengan penekanan pada efisiensi energi (energy-efficient), pola berkelanjutan (sustainable) dan pendekatan holistik (holistic approach). Bertitik tolak dari pemikiran disain ekologi yang menekankan pada saling ketergantungan (interdependencies) dan keterkaitan (interconnectedness) antara semua sistim (artifisial maupun natural) dengan lingkungan lokalnya dan biosfeer. Credo form follows

14

energy diperluas menjadi form follows environment yang berdasarkan pada prinsip recycle, reuse, reconfigure.

RUMAH RAMAH-LINGKUNGAN: Green homeRumah hijau atau Green home adalah tipe rumah yang dirancang

untuk menjadi ramah lingkungan dan lestari, fokus pada efisiensi penggunaan energi, air dan material bangunan.

Green / Energy Star Plans from The House Designers

(Sumber: http://houseplansdesign.com/?p=1902)

Konsep Green architecture yaitu suatu konsep perancangan untuk menghasilkan suatu lingkungan binaan (green building) yang dibangun serta berjalan secara lestari atau berkelanjutan. Berkelanjutan merupakan suatu kondisi dimana unsur-unsur yang terlibat selama proses pemanfaatan suatu sistem sebagian besar dapat berfungsi sendiri, sedikit mengalami penggantian atau tidak menyebabkan sumber lain berkurang jumlah serta kualitasnya.

Lingkup green architecture yang lebih sempit adalah green building. Green building (bangunan hijau) didefinisikan sebagai bangunan yang meminimalkan dampak lingkungan melalui konservasi sumber daya dan memberikan kontribusi kesehatan bagi penghuninya. Secara garis besar, green building lebih ditekankan pada nyaman dan kuat. Sedangkan green architecture penekanannya menyangkut pada aspek kekuatan, kenyamanan, estetika dan komposisi yang tetap mementingkan efisiensi energi, konsep berkelanjutan, dan pendekatan holistic.

15

Aspek-aspek green building yang berprinsip pada ramah lingkungan adalah:

(1) penempatan dan efisiensi desain struktur; (2) efisiensi energi; (3) efisiensi air; (4) efisiensi material; (5) peningkatan kualitas lingkungan dalam ruang; (6) optimalisasi operasional dan perawatan; dan (7) pengurangan sampah.

Disain Ramah Lingkungan – DRL (Sustainable design)Sustainable design (also called environmental design,

environmentally sustainable design, environmentally conscious design, etc.) is the philosophy of designing physical objects, the built environment, and

16

services to comply with the principles of economic, social, and ecological sustainability.

Prinsip-prisip DRLBeberapa prinsip penting adalah: Low-impact materials: choose non-toxic, sustainably produced or

recycled materials which require little energy to process Energy efficiency: use manufacturing processes and produce products

which require less energy Quality and durability: longer-lasting and better-functioning products

will have to be replaced less frequently, reducing the impacts of producing replacements

Design for reuse and recycling: "Products, processes, and systems should be designed for performance in a commercial 'afterlife'."[3]

Design Impact Measures for total carbon footprint and life-cycle assessment for any resource used are increasingly required and available. Many are complex, but some give quick and accurate whole-earth estimates of impacts. One measure estimates any spending as consuming an average economic share of global energy use of 8,000btu per dollar and producing CO2 at the average rate of 0.57 kg of CO2 per dollar (1995 dollars US) from DOE figures.

Sustainable Design Standards and project design guides are also increasingly available and are vigorously being developed by a wide array of private organizations and individuals. There is also a large body of new methods emerging from the rapid development of what has become known as 'sustainability science' promoted by a wide variety of educational and governmental institutions.

Biomimicry : "redesigning industrial systems on biological lines ... enabling the constant reuse of materials in continuous closed cycles..."

Service substitution : shifting the mode of consumption from personal ownership of products to provision of services which provide similar functions, e.g., from a private automobile to a carsharing service. Such a system promotes minimal resource use per unit of consumption (e.g., per trip driven).

Renewability : materials should come from nearby (local or bioregional), sustainably managed renewable sources that can be composted when their usefulness has been exhausted.

Robust eco-design : robust design principles are applied to the design of a pollution sources).

Kimia Hijau Hampir seluruh produk untuk keperluan sehari-hari adalah produk

kimiawi. Oleh karena itu kimia hijau (green chemistry) mulai mendapat perhatian berbagai negara maju dalam hal penemuan, rancangan dan

17

aplikasi produknya termasuk proses yang dijaga dari penggunaan bahan beracun atau zat yang berbahaya bagi kehidupan.

There are the twelve principles of green chemistry. You should have them memorized if you work in a laboratory. At least try to follow them, so you can use your scientific background to make things cleaner.“12 Principles of Green Chemistry”

1. Prevention 2. Atom Economy3. Less Hazardous Chemical Syntheses4. Designing Safer Chemicals5. Safer Solvents and Auxiliaries6. Design for Energy Efficiency7. Use of Renewable Feedstocks8. Reduce Derivatives9. Catalysis10. Design for Degradation11. Real-time analysis for Pollution Prevention12. Inherently Safer Chemistry for Accident Prevention

Sumber: http://www.nanonet.go.jp/english/mailmag/2006/083a.html

18

Nanotechnologi HijauHal yang paling terkini adalah studi tentang Green nanotechnology

(teknologi nano hijau) yang melibatkan manipulasi bahan pada skala nanometer (per satu miliar meter). Beberapa ilmuwan percaya bahwa penguasaan subjek ini di masa datang akan mengubah cara bagaimana segala sesuatu di dunia ini dibuat. “Green nanoteknologi” adalah penerapan kimia hijau tingkat lanjut dengan prinsip-prinsip rekayasa teknologi yang ramah lingkungan.

Bagaimana dengan kita ? Barangkali teknologi hijau belum menjadi prioritas di Indonesia, karena masih banyak bidang, terutama yang menyangkut kesejahteraan warga negaranya yang perlu mendapat perhatian.

Green nanotechnology refers to the use of nanotechnology to enhance the environmental-sustainability of processes currently producing negative externalities. It also refers to the use of the products of nanotechnology to enhance sustainability. It is about doing things right in the first place—about making green nano-products and using nano-products in support of sustainability.Green nanotechnology is the development of clean technologies, "to minimize potential environmental and human health risks associated with the manufacture and use of nanotechnology products, and to encourage replacement of existing products with new nano-products that are more environmentally friendly throughout their lifecycle." Green Nanotechnology has two goals: producing nanomaterials and products without harming the environment or human health, and producing nano-products that provide solutions to environmental problems. It uses existing principles of Green Chemistry and Green Engineering to make nanomaterials and nano-products without toxic ingredients, at low temperatures using less energy and renewable inputs wherever possible, and using lifecycle thinking in all design and engineering stages.In addition to making nanomaterials and products with less impact to the environment, Green Nanotechnology also means using nanotechnology to make current manufacturing processes for non-nano materials and products more environmentally friendly. For example, nanoscale membranes can help separate desired chemical reaction products from waste materials. Nanoscale catalysts can make chemical reactions more efficient and less wasteful. Sensors at the nanoscale can form a part of process control systems, working with nano-enabled information systems. Using alternative energy systems, made possible by nanotechnology, is another way to "green" manufacturing processes.The second goal of Green Nanotechnology involves developing products that benefit the environment either directly or indirectly. Nanomaterials or products directly can clean hazardous waste sites, desalinate water, treat pollutants, or sense and monitor environmental pollutants. Indirectly,

19

lightweight nanocomposites for automobiles and other means of transportation could save fuel and reduce materials used for production; nanotechnology-enabled fuel cells and light-emitting diodes (LEDs) could reduce pollution from energy generation and help conserve fossil fuels; self-cleaning nanoscale surface coatings could reduce or eliminate many cleaning chemicals; and enhanced battery life could lead to less material use and less waste.

Green Nanotechnology takes a broad systems view of nanomaterials and products, ensuring that unforeseen consequences are minimized and that impacts are anticipated throughout the full life cycle.

Sumber: http://www.nanonet.go.jp/english/mailmag/2006/083a.html

20

DEFINISI TEKNOLOGI HIJAU

Teknologi hijau merujuk kepada pembangunan dan apilikasi produk, peralatan serta sistem untuk memelihara lingkungan hidup dan sumberdaya alam dan meinimumkan atau mengurangkan dampak egatif akibat aktivitas manusia

Teknologi hijau merujuk kepada produk, peralatan, atau sistem yang memenuhi kriteria berikut:

• Meminimumkan degrasi kualitas lingkungan • Mempunyai pembebasan gas rumah kaca (GHG) yang rendah • Aman untuk digunakan dan menyediakan lingkungan hidup

sehat dan lebih baik untuk semua kehidupan • Menghemat energy dan sumberdaya alam • Menggalakkan sumber-sumber yang dapat diperbaharui

(renewable).

Lima objektif Dasar Teknologi Hijau

• Untuk menyelaras pertumbuhan industri teknologi hijau dan meningkatkan sumbanganya terhadap ekonomi negara.

• Untuk membantu pertumbuhan dalam industri teknologi hijau dan meningkatkan sumbanganya kepada ekonomi negara.

• Untuk meningkatkan keupayaan bagi inovasi dalam pembangunan teknologi hijau dan miningkatkan daya saing teknologi tersebut

• Untuk memastikan pembangunan berlanjut dan memelihara alam sekitar untuk generasi akan datang.

• Untuk meningkatkan pendidikan dan kesadaran masyarakat terhadap teknologi hijau dan menggalakkan penggunaan secara meluas beragam teknologi hijau.

Empat tonggak Dasar Teknologi Hijau• Energi: Mencari ketidak-bergantungan energi dan

mempromosikan kecukupan energi• Lingkungan hidup dan Alam Sekitar: Memelihara dan

meminimumkan dampak terhadap lingkungan.• Ekonomi: Meningkatkan pembangunan ekonomi negara melalui

penggunaan teknologi• Sosial: Meningkatkan kualitas hidup untuk semua.

21

Bidang berkaitan teknologi hijau• Energi: Ini satu isu yang popular karena melibatkan

pembangunan energi alternatif dan ketahanan energi.• Bangunan Hijau: Melibatkan semua aspek termasuk penggunaan

bahan / material buatan – sintetis dan lokasi bangunan, bukan merujuk kepada warna bangunan tersebut.

• Kimia Hijau: Reka cipta, reka bentuk pemrosesan dan aplikasi kimia serta meminimumkan penggunaan bahan berbahaya.

• Nanoteknologi Hijau: Melibatkan manipulasi bahan pada skalar nanometer atau satu bilion lebih kecil berbanding ukuran satu meter, ia melibatkan aplikasi kimia hijau dan prinsip standarisasi.

There are some examples of the green nanotechnology. There are some DNA templates of gold nanoparticles. We can use a kind of engineered bacteria to make nanoparticles of PHA (polyhydroxyalkanoate). Another example is to lower the energy in fuctionalizing nanotubes by using microwaves. These result from basic research that helps enable a greener kind of manufacturing.

Sumber: http://www.nanonet.go.jp/english/mailmag/2006/083a.html

22

PERTANIAN YANG HIJAU

Sistem Pertanian Modern, merupakan pertanian yang intensif bahan kimia, dengan banyak menggunakan pestisida, herbisida, pupuk nitrogen sintetik, dan lainnya; yang dapart meracuni bumi , membunuh kehidupan liar (wildlife) pedesaan, dan bahkan dapat meracuni panen dan mengganggu kesehatan petani.

23

24

Traditional farming methods have been perfectly adapted to local socio-natural conditions generating a symbiotic, holistic balance between the needs of humanity and the rights of nature. As the word implies, agriculture is a culture, a whole way of life of mutual respect, communal give and take, and cooperative rather than competitive living. There are also agro-innovations of course, but innovations within ecological limits, as the case of Andalusian agricultural science and practice show. It is not a mere business, as the modern corruption of the original word into "agribusiness" would have it, which imposes the corporate tyranny of impersonal profit-maximization on once self-respectful, independent farmers and indigenous peoples, reducing them into wage- and debt-slaves, squatters on the very lands they once have had customary rights to but now wrested from them by faceless, corporations.

25

It is strange that agricultural food production, which once unquestionably served the welfare of humankind, should now, in the hands of big agrochemical companies like Monsanto, be seen to be working toward destroying the very ecological basis of that welfare. In order to return agricultural practice onto the ethical path of mercy toward humanity and nature, an authentic Islamic Agricultural Research Program (IARP) would be one that eschews harmful chemicals altogether and instead looks into the various effective organic methods now available such as permaculture, and develop new ones by, for instance, drawing on the thousand years' accumulated experience of a very successful Islamic agricultural tradition, the original, truly 'green' revolution.

26

10 Eco Friendly Gardening Tips

Taking care of your lawn and garden is just as important as taking care of your roof in terms of resale. An attractive landscape can increase the value of your home and add curb appeal. Maintaining your lawn and garden properly can save money and time. Eco-friendly, or "green," landscaping habits can help the environment and decrease the amount of hazardous chemicals around your home. Did you know that the average suburban lawn uses six times the hazardous chemicals per acre as conventional farming does? Learn how to avoid chemical use below.

Tip 1: EFISIENSI AIR Water during strategically planned times only. The best time to

water is between 5 a.m. and 10 a.m. Watering in the afternoon is inefficient since water is lost due to evaporation and wind. The second-best time to water is between 6 p.m. and 8 p.m. Running an irrigation system excessively can waste a lot of water. Just one hour can use up to 250 gallons of water.

Tip 2: Memasang system irigasi Consider the installation of a sprinkler or irrigation system for your

lawn. Irrigation systems work well at targeting only the specific areas of your lawn that need to be watered, thus cutting back on unnecessary watering of uplanted areas. Irrigation systems are available with a timer option, which helps homeowners avoid overwatering by turning off the system at

27

predetermined times. Make sure to check the weather forecast and turn off the timer when rain is predicted.

Tip 3: Menuju Teknologi OrganikSay goodbye to chemical fertilizers and pesticides. There are many

top-quality organic and natural weed killers. Additionally, organic compost can be used.

Tip 4: Membuat Kompos SendiriMake your own compost to use in your garden. Compost can be

used as a fertilizer, serving as an excellent alternative to chemical-based fertilizers. Making your own compost involves mixing browns (such as dead leaves, branches or twigs, greens (such as grass clippings, vegetable waste, fruit scraps and coffee grounds) and water in a compost bin.

Tip 5: MulsaGarden mulch can enhance the look of your garden and help keep it

healthy. Spreading mulch in your garden can also save time by decreasing the need for watering, applying herbicides and pulling weeds.

Tip 6: Jenis Tanaman Tahan KeringThe technique of using drought-tolerant plants, known as

xeriscaping will significantly help reduce water usage in your garden.

28

Tip 7: Tumbuhan AlamiPlanting native plants will cut down on the need for water and

fertilizer. For example, if you live in Arizona, don't plant high water plants such as bluegrass or clover.

Tip 8: Perlengkapan Penanaman Bibit buatan sendiriMaking your own planters is a great way to reuse empty containers.

Rinse out plastic containers (cottage cheese, yogurt and dessert whip containers are just the right size), fill them with dirt, add a plant and you have a great new planter. Not only is this eco-friendly, it's also inexpensive.

Tip 9: Memanen Air HujanHarvesting rainwater means collecting and storing rainwater to be

used for your lawn or garden. This is a simple way to conserve water and help your garden bloom.

29

Tip 10: Memasang sangkar burung dengan pakannyaBirdfeeders and nesting boxes attract birds to your garden. Birds are

a great benefit to gardens as they eat unwanted pests, such as snails and slugs. Instead of using pesticide against these little bugs, simply invite the birds in and they'll take care of the pests naturally.

30

EKONOMI HIJAU

Green economics defines a theory of economics by which an economy is considered to be loosely component of the ecosystem in which it resides. A holistic approch to the subject is typical, such that economic ideas are commingled with any number of other subjects, depending on the particular theorist. Proponents of feminism, postmodernism, the ecology movement, peace movement, Green movement, green anarchism and the anti-globalization movement have used the term to describe very different ideas. Accordingly, green economics has been viewed as external to mainstream economics, although there are varying degrees of diffusion and debate on what are the points of contention. It is thus preferable to refer to a loose school of "green economists" rather than any single "green economics".

31

Ekonomi Hijau adalah Post-neoklasik . Neoclassical economics represents the main body of modern economics. Neoclassical economists begin with a strict set of assumptions that enable a mathematical treatment of the subject. An unintended consequence of the normal assumptions is to exclude the evolution of a system, including moral or inherited and evolving preferences from analysis. Due to these exclusions, neo-classical economics is almost antithetical to life. The greens are often confused both with political Greens and with advocates of "more mainstream" environmental economics that does not question the neoclassical political economy of global market capitalism - and heavily exploits the neoclassical methods in its subfields environmental finance, Natural Capitalism, measuring well-being and sustainable development.

The green economists share broader ecological and social concerns with capitalism itself. - and seek a new political economy entirely, with one commonly shared objective being to reform instruments of money supply, aligning inflation rates (which set the value of money itself) to ecological and social criteria to overcome "the three deficits: environment, social, and financial."

Konsep Ekonomi HijauUNEP mendefinisikan Ekonomi Hijau sebagai salah satu upaya

peningkatan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial, sembari mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi secara signifikan. Dalam kalimat lain, Ekonomi Hijau dapat dianggap sebagai konsep pembangunan rendah emisi, efisien dalam pengelolaan sumber daya dan menjunjung tinggi kesetaraan sosial. Dalam konsep ini, pertumbuhan lapangan pekerjaan dan pendapatan harus didorong oleh investasi publik dan swasta yang mengurangi emisi dan polusi, meningkatkan efisiensi

32

pemanfaatan energi dan sumber daya, dan mencegah hilangnya keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem.

Konsep “ekonomi hijau” tidak menggantikan konsep “pembangunan berkelanjutan”, namun sekarang telah berkembang kesadaran bahwa keberlanjutan terletak hampir sepenuhnya pada konsep ekonomi yang tepat.

Konsep Ekonomi Hijau menurut UNEP, memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:

mengakui nilai dari dan investasi pada sumber daya alam, mengurangi kemiskinan, meningkatkan lapangan pekerjaan dan kesetaraan sosial, mengalihkan penggunaan bahan bakar fosil ke energi terbarukan

dan rendah emisi, meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan energi, mendorong pola hidup yang rendah emisi dan berkelanjutan, bertumbuh lebih cepat sembari melestarikan sumber daya alam.

Sedangkan menurut para pakar lainnya, sepuluh prinsip Ekonomi Hijau, sebagai berikut:

mengutamakan nilai guna, nilai intrinsik dan kualitas, mengikuti aliran alam, sampah adalah makanan (keluaran suatu proses menjadi asupan

untuk proses yang lain), rapi dan keragaman fungsi, skala tepat guna/skala keterkaitan, keanekaragaman, kemampuan diri, organisasi diri dan rancangan diri, partisipasi dan demokrasi yang langsung, kreativitas dan pengembangan masyarakat, peran strategis dalam lingkungan buatan, lanskap dan

perancangan spasial.

33

Kecenderungan dan Faksi-Faksi Various subgroups of these economists avoid the label green or Green in part to avoid association with political Green Parties and their broader goals. Often these use the older terms environmental economics or resource economics which emphasized the now-mainstream goal of economic sustainability and treating so-called "natural resources" as full "natural capital".

This article covers those who have extended this analysis or reject measures of global "sustainability" - few of whom now use the older terms or accept Natural Capitalism. Those who focus clearly and only on sustainability are a distinct group concerned with environmental finance - the use of financial instruments to set up incentives to save ecology, especially endangered species or fragile ecoregions.

What differentiates all green from labor economists is the insistence on treating natural living systems, including the human body, as factors of production, and clearly differentiating these from any non-living factors. A common characterization is that greens distinguish "factors from actors":

34

Hidup versus Tidak-Hidup . Indeed, what seems to define green economists most clearly is the rejection of all analyses of factors of production or means of production that fail to clearly and fundamentally distinguish between living (nature, persons)and non-living (financial, social, instructional, infrastructural) roles in a productive process. Some have detailed critiques of "Fordism" (after Henry Ford) and "productivism", as best developed by Alain Lipietz of the French Greens. They characterize the belief in such concepts as "economic growth" as a delusion, an ideology, and worse, as they disrupt and destroy ecological growth in life support capacity of a natural ecosystem: air and water filtering, food production, fiber growth. These often characterize their work as "social ecology" and may employ the Marxist analysis of means of production.

However, there is an equally-strong strain of "right greens" who emphasize the role of tax, trade, and tariff laws in encouraging destructive

35

behavior - they often characterize "dirty subsidy" or "dirty money" as the problem - and seek to change banking rather than social values.

Ecologies produce, people create, local is more reliable. Three assumptions that seem to be universal among green economists are:

1. That living ecoregions are better valued as service-producing natural capital than as passive natural resources.

2. That creative "enterprise" or individual capital must be differentiated from more general ideas or analyses of human capital or human resources, as what characterizes both evolution and intelligence is an unpredictable and creative movement towards greater energy economy, e.g. a tree spans a volume so as to most effectively convert available light to energy using its leaves.

3. That local measurements are almost always better than global ones, and scale of measures must match the scale of the commons being managed.

36

Small is beautiful. Of these three assumptions, the third is the oldest, and was first codified clearly in E. F. Schumacher's "Small is Beautiful". It emphasized the value of a local point of view, like that of gardening, that would require "use-value" or "service value" to be assessed in context of a living ecoregion or economic process, and would de-emphasize the value of resource, commodity or product measures. In addition many de-emphasize protest, notably Brian Milani who has contributed significantly to a green micro-economics, e.g. of eco-villages, and notes that "efforts to encourage nature appreciation and environmental protection often reinforce the chasm between the human economy and non-human nature."

He argues that "The environmental movement in particular should put more emphasis on establishing an educational network that both formalizes its educational tasks and systemizes connections with the rest of the community. But this, of course, assumes that the environmental movement becomes more aware of, and proactive about, economic alternatives."

This bottom-up approach seems to mirror that which successfully promoted the emotionalist moral philosophy of Adam Smith and the classical economists, "that eventually caused fundamental changes in politics, culture, religion, and conceptions of human nature." A revolution not of politicians and theorists, but of gardeners, shop-keepers, and purchasers.

37

Can green go global? At the other scale extreme is the view of Goldsmith, that scientific understanding of human bodies, cognition, and Earth's ecology, constitutes "a single order" and "a single set of laws, whose generalities apply equally well to biological organisms, vernacular societies and ecosystems and to Gaia herself." Such views seem to inspire the Global Greens who believe that centralized measurements can perhaps be reformed, in line with a general ethic that emphasizes "Earth First" (the name of one influential NGO) and social and economic measurements as only secondary.

This "recognition that economy is nested within society which is nested within ecology, and that ecological flows (e.g. watersheds, air flows, gene flows) determine political power and bodily service relationships" is seen as pivotal by other greens who see The Enlightenment as being over, and a new movement, The Embodiment, replacing it on a cultural level.

Dapatkah “Hijau” meng-Global? This is a common theme among Greens in general, who have a

broad critique of dominator culture and monoculture which has flowered in the anti-globalization movement to unite with other critics of global capitalism.

Some, following systems biology, differentiate "between Plant (energy-binding), Animal (space-binding), Human (time-binding) and Truth-binding mechanisms" among which they variously count religion, banking,

38

capitalism and economics itself. Whether greens will ever agree on a single "truth-binding" political economy remains a matter of controversy.

Biologi versus Membeli.

There is, as yet, no clear agreement between greens even on basic terms of reference. Difficulty of measuring diverse "ecological flows" makes the field also diverse. It is generally impossible to distinguish green economists, ecology theorists and systems theorists, as the green analysis deliberately uses metaphors from natural capital to describe or design infrastructural capital, i.e. employing biomimicry in the broadest sense. A good summary of attitudes is that of Lynn Margulis who holds that ethics, economics, and biology are indistinguishable, and that all three apply to any study of ecology: "economists study the way that humans make a living, and biologists study how all other species make a living."

She also claims that certain tenets of biology are incompatible with ecology: Darwinian evolution "is totally wrong. It's wrong like infectious medicine was wrong before Pasteur. It's wrong like phrenology is wrong. Every major tenet of it is wrong," she writes, in Kevin Kelly's book "Out of Control : The New Biology of Machines, Social Systems and the Economic World".

Green economists vary drastically in how much they question conventional biology and ethics, how reliant they are on cognitive science as a neutral point of view for their micro-economics of human purchasing. Most however are committed to "moral purchasing" regimes that generally deny the value of nation-states or corporations to diffuse responsibility for moral harms done by one's consumption and purchase habits.

Menuju Ekonomi Rendah Karbon(Oleh : Dangi, Bappeda Kabupaten Cirebon) Pembangunan sering didefinisikan sebagai pembangunan ekonomi.

Pembangunan ekonomi identik dengan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan merupakan kegiatan memanfaatkan sumber daya alam bagi kesejahteraan manusia. Pembangunan dapat juga dikatakan sebagai transformasi ekosistem menjadi barang ekonomi. Untuk menggenjot laju pertumbuhan ekonomi, ekstraksi sumber daya alam dan lingkungan dilakukan secara eksploitatif. Namun, hal yang sering terlupakan adalah bahwa sumber daya alam dan lingkungan bersifat terbatas. Sementara, aktivitas ekonomi bersifat tidak terbatas (unlimited). Sumber daya alam dan lingkungan sudah terlanjur dianggap sebagai barang milik bersama (common goods), sehingga siapapun boleh memilikinya.

39

Dari perspektif ekonomi, penyalahgunaan pemanfaatan sumber daya milik bersama ini timbul karena tidak adanya keseimbangan yang dapat membatasi eksploitasi. Paradigma ekonomi telah mengabaikan keberlangsungan lingkungan hidup. Nilai lingkungan hidup tidak diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan sehingga pembangunan tidak lagi memperhatikan opportunity cost. Nyatanya, pertumbuhan ekonomi makro menghasilkan capaian yang semu. Seiring itu pula, ekstraksi sumber daya alam yang berlebihan ini berdampak pada perubahan fungsi ekosistem. Keberlanjutan sumber daya alam dan fungsi pelayanan lingkungan (environmental services) semakin terancam. Sumber daya alam dan jasa lingkungan semakin langka. Besarannya tergantung pada pola dan cara pelaksanaan pembangunan.

Dampak Revolusi IndustriPercepatan pembangunan semakin meningkat seiring dengan

penemuan teknologi. Penemuan mesin uap oleh James Watt menciptakan revolusi besar dalam pola pembangunan. Revolusi industri menjadi tonggak awal percepatan pembangunan ekonomi. Industri dengan tenaga manusia dan hewan berganti dengan mesin-mesin. Keberadaan mesin-mesin inilah yang memacu produksi. Peningkatan produksi membutuhkan jumlah sumber daya alam yang banyak. Dampaknya tidak hanya peningkatan nilai ekonomi, tetapi pemenuhan bahan baku industri untuk “menyuapi” mesin-mesin produksi mengakselerasi eksploitasi sumber daya alam tidak bisa dihindari. Derap eksploitasi ekosistempun berlangsung secara berlebihan.

40

Akibatnya, kerusakan dan pencemaran lingkungan marak terjadi di mana-mana. Laju degradasi lingkungan bagaikan deret ukur. Sementara, recovery lingkungan bagaikan deret hitung.

Pada saat ini, degradasi lingkungan menjadi isu global yang ramai dibicarakan. Akselerasi roda perekonomian yang polutif telah menimbulkan entropi yang semakin mengkhawatirkan. Era revolusi industri dituding menjadi penyebabnya. Revolusi industri ternyata menghasilkan excess demand. Salah satu output negatifnya adalah emisi (buangan) gas karbon semakin meningkat. Secara global, emisi gas karbon mencapai 72 persen per tahun. Di Indonesia, emisi gas karbon bertambah 4,6 persen per tahun. Peningkatan emisi gas karbon berkontribusi memicu terjadinya pemanasan global (global warming). Bumipun beranjak semakin panas. Rata-rata kenaikan suhunya sebesar 0,3 derajat per 10 tahun. Kondisi ini berdampak pada perubahan iklim (climate change) atau Gas Rumah Kaca (GRK). Secara berantai, ini mengganggu kehidupan manusia dan keseimbangan alam. Kenaikan permukaan air laut karena pencairan es di wilayah kutub, anomali musim, kemunculan vektor baru bagi penyebaran penyakit, kepunahan keanekaragaman hayati adalah sederetan dampak perubahan iklim. Walau bagaimana, emisi karbon tidak bisa dihindari. Gas buang karbon tidak hanya berasal dari aktivitas manusia, tetapi juga bersumber dari proses alam seperti gunung meletus dan penguapan (evapotranspirasi dan evaporasi). Lantas, bagaimana kita bisa tetap produktif sekaligus ekonomi berkarbon rendah (low carbon economy)?

Nilai Penting Ekonomi HijauBelajar dari perjalanan sejarah pembangunan, paradigma ekonomi

hijau (green economy) menjadi perhatian serius. Ini menjadi satu tonggak penting bagi sistem perekonomian dunia. Ekonomi hijau menjadi suatu keniscayaan. Ekonomi Rendah Karbon (ERK) berarti juga menggagas ekonomi hijau. Efektivitas implementasinya bertitik awal dari pemahaman mengenai perubahan iklim dan intensitas kegiatan ekonomi. Tentu, masalah perubahan iklim harus ditemukan pada cara berekonomi, yaitu konsumsi dan produksi. Dari segi konsumsi, kesadaran konsumen menjadi kunci. Gaya hidup konsumen akan memilih barang dan jasa yang berkarbon rendah. Tuntutan konsumen akan “memaksa” produsen untuk merespon pasar. Di Eropa dan Amerika, produk hijau berkaitan dengan kadar karbon (carbon content) mulai dijadikan label barang-barang (eco-labelling), sehingga masyarakat makin lama makin punya pilihan. Tentunya, pada tahap-tahap awal pengembangan green market untuk low carbon tersebut memerlukan mekanisme sertifikasi yang bersifat independent third party certification system. Lantas, apa nilai penting ekonomi hijau bagi Indonesia?. Saat ini, Indonesia mengandalkan sumber daya alam sebagai modal dasar

41

pembangunan. Ekonomi hijau akan mengefisiensi penggunaan sumber daya alam. Selain itu, ekonomi hijau juga akan mengurangi kerusakan lingkungan. Ke depan, Ekonomi hijau memberikan nilai tambah bagi aktivitas ekonomi. Ekonomi rendah karbon memberikan keuntungan seiring dengan isu tren perubahan iklim. Carbon content akan menjadi barier to entry, requirement carbon content menjadi persyaratan mekanisme perdagangan internasional. Ekonomi hijau berupaya untuk mengharmonisasikan kegiatan ekonomi dengan sistem alam. Dengan demikian, ekonomi hijau akan memberikan nilai ganda bagi Indonesia.

Langkah-langkah StrategisPemanasan global menjadi tanggung jawab oleh seluruh negara

sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sebagai bagian dari koneksitas perekonomian dunia, Indonesia berkomitmen untuk menuju ERK. Komitmen

42

yang sudah dicanangkan Presiden pada sidang G-20 adalah pengurangan emisi karbon sebesar 26% - 41% sampai tahun 2020. Langkah strategisnya adalah pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Rencana aksi ini mencakup 6 bidang yaitu pengelolaan hutan dan lahan gambut, limbah, pertanian, transportasi dan energi, dan industri. Artinya, secara pro aktif Indonesia mengawali pembangunan ekonomi hijau melalui sinergisitas di enam bidang tersebut.

Pemerintah telah mengambil langkah politis di pertemuan negara-negara maju (G-20). Pemerintah juga telah menggulirkan regulasi. Selanjutnya, derivasi regulasi harus operatif yang menginternalisasi nilai lingkungan hidup kedalam kebijakan ekonomi. Instrumen ekonomi seperti

43

subsidi (insentif), disinsentif (pajak, retribusi), deposit daur ulang harus ditujukan untuk melakukan peningkatan kualitas lingkungan. Otonomi daerah memberikan ruang bagi daerah untuk melakukan valuasi lingkungan. Pemerintah daerah menindaklanjuti RAN-GRK menjadi Rencana Aksi Strategis Daerah (RAD) yang disesuaikan dengan kapasitas masing-masing. Desentralisasi hendaknya dapat menciptakan harmoni yang kondusif bagi terbentuknya ekonomi rendah karbon. Selain itu, Komitmen yang sudah dicanangkan harus mendapat dukungan dari seluruh stakeholders. Perubahan gaya hidup masyarakat menjadi salah satu kunci utama bagi keberhasilan ekonomi rendah karbon. Tanpa itu, ekonomi hijau hanya menjadi komoditas politis, yang hanya beredar pada atmosfer birokrasi.

Nilai Kehidupan.

One holy grail of green economists is a theory of why humans see value in such commodities as gold, and why they habitually reward social and sexual fitness (i.e. appearances) strongly over ecological fitness (i.e. energy efficiency, survival) whenever they have the luxury to build complex financial systems. This parallels and opposes the ambition of neoclassical economics to find parallels in radically autonomous physics and chemistry - but the two views are complementary, and come together in such doctrines as Natural Capitalism, which seems to reflect both green and neoclassical constraints.

A less ambitious field is environmental finance which seeks to justify biodiversity directly as a unit of stored value, e.g. a rainforest standard replace the gold standard. Some refer to this as a "biosecurity standard" or "biosafety standard" of value, but these are not yet common usage - instead a broad strategy of using conventional financial instruments to save ecology deemed unique or irreplaceable has developed, without any agreement on any one standard of biodiversity's value

44

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, C. 1979. The Timeless Way of Building, New York: Oxford University Press.

Bacher, J. 2000. Petrotyranny, Toronto: Science for Peace/Dundern Press, 2000

Benholt-Thomson, Veronika, and Maria Mies. 1999. The Subsistence Perspective: Beyond the Globalized Economy, London/NY: Zed Books.

Bill Mollison, 1997. Introduction to Permaculture, rev. ed. (Sisters Creek, Tasmania: Tagari Publications.

Douthwaite, R. 1996. Short-Circuit: Strengthening Local Economies for Security in an Unstable World, Dublin: Lilliput Press.

Greco, Thomas A. 1994. New Money for Healthy Communities, Tucson: Thomas A. Greco Publishers.

Harrison, B. 1994. Lean and Mean: The Changing Landscape of Corporate Power in the Age of Flexibility , New York: Basic Books.

Hawken, P. 1993. The Ecology of Commerce: A Declaration of Sustainability , New York: Harper Business.

Hayden, A. 1999. Sharing the Work, Sparing the Planet: Work, Consumption and Ecology, Toronto: Between the Lines.

Hayden, D. 1984. Redesigning the American Dream: The Future of Housing, Work and Family Life , New York: W.W. Norton.

Henderson, H. 1999. Beyond Globalization: Shaping a Sustainable Global Economy, West Hartford CT: Kumarian Press.

Hough, M. 1995. Cities and Natural Process, New York: Routledge. Jackson, T. 1996. Material Concerns: Pollution, Profit and Quality of Life ,

London/New York: Routledge. Korten, D. 1999. The Post-Corporate World: Life After Capitalism , Berrett-

Koehler Publishers. Kurtzman, J. 1993. The Death of Money: How the Electronic Economy Has

Destabilized the World's Markets and Created Financial Chaos, New York: Little Brown and Co.

Lyle, John Tillman. 1994. Regenerative Design for Sustainable Development , New York: John Wiley.

Mander, Jerry and Edward Goldsmith. 1996. The Case Against the Global Economy—and for a turn to the local, San Francisco: Sierra Club Books.

Mollison, B. 1990. Permaculture, New York: Island Press, 1990 Morris, D. 2001. Seeing the Light: Regaining Control of Our Electricity

System, Minneapolis/Washington DC: Institute for Local Self-Reliance.

Murray, R. 1999. Creating Wealth From Waste, London: Demos.

45

Nicanor Perlas, 1991. Biotechnology or Sustainable Agriculture? in Kesturi, Journal of the Islamic Academy of Science Malaysia, Vol. 1 (June 1991) No. 1, 43-80.

O'Sullivan, E. 1999. Transformative Learning: Educational Vision for the 21st Century , London/Toronto: Zed/U of Toronto Press.

Pauli, G. 1998. Upsizing: the road to zero emissions, more jobs, more income, no pollution , Sheffield UK: Greenleaf Publishing.

Roberts, W. and S. Brandum. 1995. Get a Life! How to make a good buck, Dance around the dinosaurs, and Save the world while you're at it , Toronto: Get a Life Publishers.

Robertson, J. 1985. Future Work: Jobs, Self-Employment and Leisure After the Industrial Age , Aldershot, Hants, England: Gower Publishing.

Sachs, Wolfgang, Reinhard Loske, and Manfred Linz. 1998. The Wuppertal Institute for Climate, Environment and Energy, Greening the North: A Post-Industrial Blueprint for Ecology and Equity , London: Zed Books.

Schumacher, E.F. 1974. Small Is Beautiful: A Study of Economics as if People Mattered , London: Abacus Press.

Van der Ryn, Sim and Stuart Cowan. 1996. Ecological Design , Washington DC: Island Press.

Vaughan, G. 1997. For-Giving: a Feminist Critique of Exchange , Austin Texas: Plain View Press.

Wackernagel, Mathis and William Rees. 1996. Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth, Gabriola Island BC/Philadelphia: New Society.

Watson, M. 1983. Agricultural Innovation in the Early Islamic World. Cambridge: Cambridge University Press.