dari mayoritas menjadi minoritasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/d_902008006_bab...

25
53 Bab Empat DARI MAYORITAS MENJADI MINORITAS Pengantar Bab ini akan menjelaskan migrasi sekelompok orang Bali ke Alas Cekik. Migrasi ini terjadi sebagai akibat dari ketegangan yang dialami oleh orang-orang Bali-Kristen dengan orang-orang Bali lainnya. Ketegangan dan tekanan ini terjadi di seputar hak atas tanah kuburan dan masalah-masalah lain. Ketegangan itu terjadi sebagai akibat perpindahan (penulisan kata perpindahan selanjutnya akan disebut konversi) agama orang-orang itu dari Hindu menjadi Kristen. Konversi dan penolakan tersebut pada akhirnya membawa implikasi terbentuknya Desa Blimbingsari. Sejarah Migrasi Awal mula berdirinya Desa Blimbingsari dimulai dari kasus penduduk melakukan konversi agama dari Hindu ke agama Kristen. Hal ini karena Pulau Bali dijadikan ladang misi Kristen sejak tahun 1630 1 , dimana terjadi pembaptisan beberapa orang Hindu yang menggemparkan di Tukad Yeh Poh, Untal-Untal Dalung 11 Nopember 1931. Sejak saat itu, Kekristenan terus merambah Bali hingga konversi mencapai sekurangnya 27.500 jiwa. Angka ini baru yang berhasil dihimpun oleh misi Protestan, sementara Katolik diperkirakan mendapatkan pengikut yang setara. Konversi agama ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dengan upaya yang terstruktur, sistematis dan dinaungi oleh badan misi dunia. 1 Ketut Suyaga Ayub, [1999], 2004, 2013.

Upload: hathien

Post on 26-Apr-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

53

Bab Empat

DARI MAYORITAS MENJADI MINORITAS

Pengantar

Bab ini akan menjelaskan migrasi sekelompok orang Bali ke Alas Cekik. Migrasi ini terjadi sebagai akibat dari ketegangan yang dialami oleh orang-orang Bali-Kristen dengan orang-orang Bali lainnya. Ketegangan dan tekanan ini terjadi di seputar hak atas tanah kuburan dan masalah-masalah lain. Ketegangan itu terjadi sebagai akibat perpindahan (penulisan kata perpindahan selanjutnya akan disebut konversi) agama orang-orang itu dari Hindu menjadi Kristen. Konversi dan penolakan tersebut pada akhirnya membawa implikasi terbentuknya Desa Blimbingsari.

Sejarah Migrasi Awal mula berdirinya Desa Blimbingsari dimulai dari kasus

penduduk melakukan konversi agama dari Hindu ke agama Kristen. Hal ini karena Pulau Bali dijadikan ladang misi Kristen sejak tahun 16301, dimana terjadi pembaptisan beberapa orang Hindu yang menggemparkan di Tukad Yeh Poh, Untal-Untal Dalung 11 Nopember 1931. Sejak saat itu, Kekristenan terus merambah Bali hingga konversi mencapai sekurangnya 27.500 jiwa. Angka ini baru yang berhasil dihimpun oleh misi Protestan, sementara Katolik diperkirakan mendapatkan pengikut yang setara. Konversi agama ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dengan upaya yang terstruktur, sistematis dan dinaungi oleh badan misi dunia.

1 Ketut Suyaga Ayub, [1999], 2004, 2013.

Page 2: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

54

Sejumlah sumber mengungkapkan, konversi agama di Bali terbagi atas tiga periode. Periode pertama tahun 1597- 1928, periode kedua tahun 1929-1936 berdasarkan efektifitas usaha penginjilan yang dilakukan. Kemudian periode terakhir 1937-1949 sebagai masa persiapan kelahiran Gereja Kristen Protestan Bali (Surpi, 2009). Sejumlah ahli yang sesungguhnya merupakan misionaris ini mempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya sistem adat, sudah banyak masyarakat Bali yang tidak puas dengan sistem adat dan agama mereka. Hoeval (1993) menyatakan bahwa banyak orang Bali merasakan sistem kasta yang ada dalam agama Hindu Bali tidak adil dan banyaknya upacara dan kewajiban sehubungan dengan penyelenggaraan upacara dan persembahyangan menyebabkan mereka jadi miskin. Inilah yang dipandang oleh Hoeval sebagai celah masuk untuk menyebarkan Kekristenan di Bali.

Namun walau Zending terus bergulir di Bali dengan dikirimnya sejumlah penginjil, upaya pada tahap awal gagal. Tiga Pekabar Injil Belanda yang dikirim, yaitu van Eck, de Vroom, van der Jogt setelah 13 tahun usaha mereka, tahun 1873 hanya berhasil membaptis satu orang Bali yakni I Goesti Wajan Karangasem dari Bali Timur, Jagaraga Singaraja (Dokumen GKPB, Ripe dkk, 2012). Walau demikian badan misi tidak menyerah. Di tengah tertutupnya aktivitas penginjilan, penginjil pribumi Salam Watias yang berasal dari Kediri, bekerja untuk Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) datang ke Bali menjual buku-buku Kristen. Watias menggunakan pendekatan kultural dan mendekati orang-orang Bali karena sesama “Wong Majapahit.” Ia menjual buku-buku tersebut hingga ke pelosok-pelosok desa khususnya di Bali utara.

Karena orang Bali mempunyai kesenangan membaca pelajaran-pelajaran agama, maka ribuan buku terjual. Buku yang paling digemari adalah Injil Lukas yang ditulis dalam bahasa Bali. Tidak tertutup kemungkinan para pendukung Surya Kanta yang tidak puas dengan kondisi riil adat dan agama Bali menjadi pembeli buku Salam Watias. Sekitar 80 orang Bali akhirnya minta dibabtis oleh Watias. Namun pekerjaan penginjilan yang sangat berhasil, dilakukan oleh Dr.

Page 3: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Dari Mayoritas Menjadi Minoritas

55

R.A. Jaffray, Ketua C.M.A. dengan mempekerjakan Penginjil Cina yang bernama Tsang Kam Fuk, yang kemudian menyebut dirinya Tsang To Hang.

Dari Hindu Ke Kristen

Proses konversi agama dari Bali-Hindu ke Bali Kristen tidak terlepas dari kepemimpinan Tsang To Hang, Pdt. I Made Rungu, I Made Tjaduk yang lebih menekankan nilai spiritual dan etos kerja bagi penduduk yang baru memeluk agama Kristen.

Sejak Belanda mulai menginjakkan kakinya di Bali pada abad ke-19, orang-orang Belanda sudah tidak setuju Injil diberitakan di Bali2. Kemungkinan Pemerintah kolonian Belanda tidak ingin pengijilan akan menghancurkan Agama Hindu, agama masyarakat lokal yang dianggap eksotik. Usaha Pemerintah Belanda akhirnya mendapat alasan yang cukup kuat melarang Injil masuk Bali dengan terbunuhnya pendeta utusan Injil Yacob de Vroom pada 8 Juni 1881 di Singaraja. Pembunuhan tersebut dilakukan orang Bali yang bernama I Klana yang kemudian menjadi Kristen. Peristiwa pembunuhan pendeta de Vroom itu dipakai menjadi alasan bahwa pulau Bali akan menjadi tidak aman bila Injil diberitakan di Bali. Dengan alasan keamanan tersebut dikeluarkanlah Undang-Undang nomer 177, Tahun 1881 yang melarang segala usaha pekabaran Injil masuk ke Bali3. Larangan ini berlangsung selama 48 tahun. Baru tahun 1929 Pemerintah Belanda mengijinkan CMA dari Amerika bekerja di Bali dengan mengutus Pendeta Tsang To Hang dari Chinesse Mission. Pada awalnya penginjilan Pendeta Tsang To Hang hanya fokus pada masyarakat Tionghoa di Bali. Setelah satu setengah tahun upaya pendeta tersebut

2 Karena hal itu dianggap merusak agama dan kebudayaan Bali. Sebab pemerintah Belanda menghendaki agar Bali tetap menjadi cagar budaya atau museum hidup. Dengan cara ini Pemerintah Belanda akan dapat menarik keuntungan yang besar, baik politis maupun ekonomis. (Dokumen GKPB, dalam Ripe dkk, 2012). 3 Dengan dikeluarkan undang-undang tersebut maka secara resmi Injil telah dilarang masuk ke Bali, atau dengan kata lain: Bali ditutup bagi pekabaran Injil. (Dokumen GKPB, dalam Ripe dkk, 2012).

Page 4: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

56

di Denpasar hanya mampu membawa empat orang Tionghoa masuk Kristen. Tsang To Hang secara sadar melanggar surat ijin yang diberikan Pemerintah Kolonial belanda dan mulai menginjili orang-orang Bali.

Dalam perkembangan lebih lanjut, pekabaran Injil terus berjalan di Bali yang dilakukan sejumlah lembaga dan perorangan. Pertama, Mas Salam Watias, seorang pemuda asal Kediri yang dibuang keluarganya karena berpindah agama dari Muslim menjadi Kristen pada tahun 1926. Pada tahun 1929, ia pergi ke Bali bersama temannya Petrus Tukiran menjual buku-buku (Alkitab)4. Kedua, I Nengah Mukiarna alias Pak Yakub seorang bekas narapidana asal Gitgit yang mendapat hukuman penjara di Ambon karena dipersalahkan membunuh pacarnya. Di Ambon ia menjadi Kristen. Dan setelah bebas dari hukumannya pada Mei 1931 ia kembali ke Desa Gitgit dan memberitakan Injil5. Ketiga, Pendeta Tartib Efrayim, pada bulan Januari 1932. Ia memulai pekerjaannya di Bubunan, Singaraja. Pada Mei 1933, beberapa orang Bali dibaptis, antara lain, Pan Sandi dan Wayan Sondra Trimurti,6.

Ada beberapa alasan mengapa orang Bali-Hindu berpindah agama menjadi Kristen. Pertama, terjadi penyembuhan ilahi atas penyakit yang diderita Pak Enteg7 selama bertahun-tahun. Penyembuhan ini mengakibatkan warga Bali percaya dan menjadi Kristen. Kedua, beberapa pemilik ilmu hitam di Bali (salah satunya

4 Setelah menjadi Kristen, ia mendapat tugas sebagai kolportir (penjual buku) dari British and Foreign Bible Society yang berpusat di Singaraja. Mereka menjelajahi seluruh Pulau Bali dan banyak buku-buku yang terjual, termasuk diantaranya Pan Loting yang kemudian menjadi tokoh Kristen pertama di Badung. (lihat dokumen GKPB, surat-surat, wawancara dari beberapa tokoh pelaku sejarah, dalam Ripe dkk, 2012). 5 Di desanya ia mulai menyaksikan kepercayaannya yang baru, yang menyebabkan beberapa orang menerima Injil dan menjadi Kristen, diantaranya ialah I Gusti Kompyang Mataram. (Ripe dkk, 2012). 6 Dengan ini mulailah timbul Jemaat baru di Bubunan. (Dokumen GKPB, dalam Ripe dkk, 2012). 7 Pak Enteg seorang yang pertama kali menjadi Kristen di Desa Legian. Wawancara dengan Pak Nyoman Sukartika, 2 November 2009.

Page 5: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Dari Mayoritas Menjadi Minoritas

57

adalah Pan Loting, dari Desa Buduk) yang ingin menguji kesaktian yang dimiliki misionaris Tsang To Hang, mengetahui kehebatan pemberita Injil yang dilindungi oleh sebuah “kuasa”. Mereka kemudian berpindah agama menjadi Kristen. Kehebatan pemberita Injil digambarkan dengan adanya keberanian atau tidak takut kepada siapa pun. Ketiga, ada pemberitaan Injil yang dilakukan oleh misionaris dengan cara yang santun. Memberi contoh hidup yang baik, mengasihi, sabar dengan mengelola ekonomi, sehingga hidupnya lebih sejahtera membuat sejumlah warga Bali menjadi Kristen.

Di bawah ini adalah petikan wawancara seorang informan kunci, Bapak Gusti Rata,8 tentang bagaimana perpindahan agama mengubah iman percayanya:

“Orang tua saya berasal dari Bongan, Kabupaten Tabanan. Nama bapak saya adalah Gusti Putu Griya. Awalnya dia mendapat berita Injil tentang Kristen dari desa Buduk. Orang yang menyampaikan berita tersebut namanya adalah bapak Gusti Putu Sanur. Walaupun orang tua saya masih beragama Hindu tetap saja bapak Gusti Putu Sanur datang berkunjung ke rumah orang tua saya dengan menceritakan “kabar baik” dan sabar sampai akhirnya orang tua saya berpindah agama menjadi pemeluk agama Kristen. Katanya bahwa jikalau bapak memeluk agama Kristen dan percaya serta menyembah Yesus yang adalah damai maka keselamatan, sukacita dan sejahtera akan anda miliki. Mulai dari sanalah berkembang lebih banyak lagi kekristenan dari kakak dan adik orang tua saya. Sampai saudara orang tua saya ada yang disekolahkan di sekolah penginjilan di Penyobekan. Saya tidak tahu mengapa dahulu perkembangan kekristenan sangat cepet, padahal mereka saat ini sudah akur (tidak ada penderitaan) dan malah justru saat kita berpindah agama dan banyak Orang Hindu yang mesepekang (menekan) kita malah perkembangan kekristenannya sangat cepat. Saat itu, di Bongan, Tabanan masyarakat saling bantu antar umat beragama, misalnya kalau di agama Kristen ada yang mengalami kedukaan atau meninggal dunia, maka warga yang beragama Hindu ikut membantu dan sebaliknya“.

8 Wawancara dengan I Gusti Rata, dilakukan di Blimbingsari, tanggal 14 Oktober 2009, Pukul 09.30 Wita

Page 6: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

58

Melalui seorang wanita Bali, istri seorang Tionghoa, ia berkenalan dengan beberapa orang Bali yang ingin keluar dari tradisi Hindu-Bali. Perpindahan agama yang agak besar terjadi dengan pembatisan yang menggemparkan pada tanggal 11 November 1931. Dr. Jaffray membabtis 12 orang Bali yang dipimpin oleh Pan Loting, di Sungai Yeh Poh9.

Pan Loting awalnya menentang ajaran Kristen, karena bagi masyarakat sekitarnya dia adalah dukun sakti dan tokoh leak dari Buduk, yang oleh Tsang To Hang disebut sebagai tukang sihir. Pan Loting yang bernama asli I Made Gepek memiliki pengaruh yang luas karena ia dianggap orang sakti balian yang bisa membuat maupun menyembuhkan penyakit. (wawancara dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, 25 November 2009)

Tsang To Hang diusir Belanda tahun 1933 namun saat itu ia telah berhasil membaptis sekitar 260 orang Bali. Setelah itu, Bali semakin terbuka dengan penginjilan dan puluhan badan misi terus bekerja di Bali menambah pengikut dan jumlah gereja.

Dengan kesadaran baru, keberanian, dan fanatisme,orang Bali yang baru menjadi Kristen mulai memberitakan Injil kepada tetangga dan kawan sekampungnya dan kepada sanak keluarganya yang dekat maupun yang jauh. Akibatnya tumbuhlah beberapa kelompok orang Kristen (Buduk, Padang Tawang, Plambingan, Tuka, Untal-Untal, Abianbase, Ulun Uma, dan Carangsari)10. Kelompok-kelompok orang Kristen inilah yang nantinya melakukan perpindahan/migrasi ke Blimbingsari, yang akan dijelaskan dibagian berikut.

9 Wawancara di Blimbingsari, dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, tanggal 24 Oktober 2009, pukul 09.00). 10 (Ir. Chrisnawan Solaiman, CES, Field Notes, Catatan-catatan penting, surat-surat, wawancara dari beberapa tokoh pelaku sejarah, dalam Ripe dkk, 2012).

Page 7: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Dari Mayoritas Menjadi Minoritas

59

Berawal Dari Kuburan “Indik kuburan, sane keatur saking Budaya baline punika,

inggih punuka uli konsep Tri Hita Karana, terutama sane pawangon, ngatur hidup manuse” (Wawancara dengan sesepuh Blimbingsari, Ibu Wayan Kari, 2009) yang artinya dalam budaya Bali, kuburan diatur berdasarkan konsep Tri Hita Karana11, terutama items pawongan (manusianya) yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia. Setiap desa memiliki tanah setra12, yang diletakkan berlawanan arah dengan letak gunung. Nalar atau keyakinan orang Bali, bahwa gunung (kaja), adalah simbol kesucian, sedangkan laut (kelod) simbol kotor (leteh). Masyarakat Bali-Hindu tidak akan mau menerima Bali-Kristen, jika orang-orang Bali-Kristen tidak mau mengikuti tradisi kaja-kelod ini. Karena itu mereka tidak bisa sembarangan menggunakan tanah, sekalipun tanah milik sendiri dijadikan kuburan. Di sisi lain, apabila ada orang yang meninggal dan memerlukan penguburan pada pihak Bali-Kristen, satu-satunya jalan adalah mereka (Bali-Kristen) harus menggunakan tanah kuburan orang-orang Bali-Hindu untuk penguburan mayat orang Bali-Kristen. Disinilah timbul ketegangan antara orang-orang Bali-Hindu dan orang-orang Bali-Kristen karenaorang-orang Bali-Kristen mengunakan tanah kuburan orang-orang Bali-Hindu. Orang-orang Bali-Kristen merasa berhak menguburkan mayat, namun dari pihak orang-orang Bali-Hindu tidak memperbolehkan mereka karena sudah dianggap keluar dari agama Hindu. Karena orang-orang Bali-Kristen dianggap sudah tidak melaksanakan kewajibannya merawat keberadaan setra dan segala keperluan upacara (piodalan), maka dengan sendirinya hak tradisi mereka dianggap hilang. Dengan semakin banyaknya orang Bali berpindah ke agama Kristen, semakin banyak pula orang yang meninggalkan pelaksanaan adat dan agama Hindu. Di sinilah ketegangan antara orang-orang Bali-Kristen dan Bali-Hindu tidak dapat dielakkan lagi.

11 Tri Hita Karana artinya hubungan manusia yang harmonis dengan Tuhan, Manusia dan Lingkungan. 12 Setra artinya tanah kuburan (dalam bahasa Bali).

Page 8: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

60

Pertikaian orang Bali Hindu dan Bali Kristen bisa disimak dari hasil wawancara dengan Ibu Wayan Kari13. Petikan kalimat di bawah ini mengandung makna yang dalam, mengekspresikan tekanan dan penderitaan orang-orang Bali-Kristen, karena masalah kuburan. Ketegangan karena masalah kesekaratan ini mengakibatkan orang Bali-Kristen harus bermigrasi ke Blimbingsari. “Anake Kristen mrasa ngelah hak nganggo tanah punuka anggontanah kuburan, nanging Anake Hindu punike ngorang Tusing dadi, ulian tusing buin megama Hindu yang artinya “Kehidupan biasanya dimulai dari kelahiran, namun Blimbingsari memulai kehidupan baru dari kesekaratan”

Adalah seorang pepimpin Tsang To Hang yang pertama kali “bekerja“ dan bersemangat masuk ke desa-desa di sekitar Badung mewartakan Injil. Tsang To Hang berhasil masuk ke Bali tahun 1931 setelah CMA berhasil mendapatkan surat ijin khusus untuk menginjil orang-orang Tionghoa di Bali. Mereka telah menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan surat ijin masuk ke Bali, tetapi karena ijin itu tidak kunjung didapatkan, mereka menyiasati dengan meminta ijin untuk penginjilan terbatas pada orang-orang Tionghoa dan Belanda akhirnya mengabulkan permohonan itu. Dia bekerja keras dan menolak semua budaya yang dianggap berbau kafir, penyembahan berhala dan pembakaran mayat14. Orang-orang Bali Kristen yang baru percaya itu menghancurkan sanggah mereka (family temple). Akibatnya terjadi ketegangan dan kekacauan di pemukiman orang-orang Bali Kristen. Orang Kristen baru ini menjadi asing di desanya, tidak mau ikut dalam suka duka, memakai celana pendek atau celana panjang padahal orang Bali memakai kamben. Ketegangan bertambah dan orang-orang Bali Kristen diasingkan. Orang Bali-Hindu tidak boleh berbicara dengan orang Bali Kristen, tidak boleh berbelanja di warung orang Kristen. Sawah orang Bali Kristen tidak boleh mendapat air karena air sawah oleh orang Hindu dipercayai berasal dari Dewi Sri. Sawah mereka menjadi kering. Rumah orang Bali Kristen dilempari, gedung gereja dibakar, isi lumbung padi dijarah. Orang Bali Kristen

13 Wawancara tanggal 20 November 2009. 14 Wawancara dengan Pdt. Suyaga Ayub, 25 November 2009

Page 9: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Dari Mayoritas Menjadi Minoritas

61

juga tidak diperbolehkan menguburkan mayat di kuburan desa, karena dianggap najis (leteh). Orang-orang Bali Kristen yang baru ini mengalami banyak kesulitan, tantangan, tekanan dan kesengsaraan15. Ketegangan terjadi dimana-mana, seperti di Untal-untal, Buduk, Abianbase, Plambingan, Sading, Carang Sari, Bongan, Buleleng. Kekristenan tumbuh dari masyarakat bawah yang miskin, yang bekerja sebagai penggarap. Tidak ubahnya seperti “budak” yang tidak memiliki hak.

Pada tahun 1930-an orang-orang Bali-Kristen yang sudah menerima Injil16 merasa terlepas dari tradisi adat atau ikatan yang selama ini mereka lakukan, seperti metajen (sabung ayam). Metajen adalah suatu kegiatan sabung ayam yang dilakukan orang-orang Bali-Hindu dimana kegiatan tersebut menjadi satu hal yang wajib dilakukan karena berkenaan dengan upacara tabuh rah (dalam agama Hindu diartikan menumpahkan darah ayam yang disabung)17. Sabung ayam itu masih dilakukan di semua desa di Bali saat ini. Namun, sabung ayam kadang-kadang diselewengkan menjadi arena perjudian18.

Di samping itu juga orang-orang Bali-Kristen yang sudah menerima Injil merasa terbebas dari segala beban. Beban yang dimaksud berkenaan dengan upacara-upacara kegiatan keagamaan yang menggunakan banten19 dalam sembahyang umat Hindu. Pembiayaan banten sangat tinggi, apalagi ada upacara-upacara besar seperti manusa yadnya, melis, galungan dan kuningan dan banyak lagi lainnya. Selain itu juga ada beban yang sangat besar ditanggung yaitu

15 Wawancara dengan I Nyoman Sukartika, Wawancara dilakukan di Legian, tanggal 10 November 2009. 16 Menerima Injil maksudnya (memiliki Iman percaya kepada Tuhan Yesus). 17 Wawancara dengan Pdt. I Wayan Sunarya, 20 November 2009 18 Biasanya warga tersebut main memakai uang yang dipertaruhkan, apabila ayam jagoannya menang maka mereka akan menerima uang, dan jika kalah maka akan kehilangan uang yang dipertaruhkannya. Sabung ayam ini menjadi sesuatu yang tidak baik dalam pandangan orang-orang Bali Kristen, wawancara dengan I Nyoman Sukartika, 10 November 2009. 19 Banten adalah sesaji yang dibuat dari daun kelapa yang masih muda, berisikan bunga (sari).

Page 10: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

62

dalam upacara ngaben20. Ngaben adalah pembakaran mayat yang dilakukan masyarakat Bali-Hindu sesuai kasta keluarganya dengan membuat suatu lembu (terbuat dari kayu yang di dalamnya berisi mayat/jenazah yang akan dibakar) atau sejenisnya setelah itu dibakar dan abunya dibuang ke laut. Setelah menerima Injil dan melepas kepercayaan lama menjadikan orang-orang Bali Kristen merasa ada kebebasan dari tradisi-tradisi. Mereka memandang tidak perlu menanggung beban yang banyak lagi dalam hal sembahyang cara Hindu.

Namun kebebasan itu menjadi “malapetaka” karena apabila sudah keluar dari agama Hindu dan desa adat berarti mereka sudah tidak bisa menggunakan kuburan sebagai tempat menguburkan mayat (jenasah) keluarga mereka. Dalam keyakinan Bali-Hindu, hanya ada satu tanah kuburan dalam satu desa, tidak boleh ada dua.

Kekacauan dan ketegangan antara orang-orang Bali-Hindu dan orang-orang Bali Kristen masih saja terjadi. Tekanan terhadap orang Bali Kristen dialami oleh bapak Gusti Rata21 berikut petikan wawancaranya:

“Kita orang-orang Bali Kristen yang percaya pada Yesus Kristus disepekang (dijauhkan). Ada peraturan yang menyebutkan pada waktu itu bahwa barang siapa yang berbicara dengan orang-orang Bali-Kristen akan dikenai denda oleh desa adat saat itu. Jumlah dendanya sangat banyak yang tidak mungkin bisa dibayar oleh warga. Sehingga nyame-nyame (saudara-saudara) saya yang masih beragama Hindu sangat takut berbicara dengan orang-orang Bali Kristen. Di samping itu juga, ada aturan bahwa orang Bali Kristen tidak boleh berbelanja di pedagang yang orangnya beragama Hindu yang ada di Desa Bongan. Akhirnya kebutuhan-kebutuhannya, didapatkan dengan berbelanja di pasar Bongan (di luar kampungnya). Berbelanja

20 Setelah penulis telusuri sejarah orang-orang Bali-Hindu menganggap 2 peristiwa besar dalam agamanya adalah peristiwa Ngaben dan Potong gigi. Itulah sebabnya Ngaben yang berkenaan dengan penguburan orang mati menjadi masalah yang besar yang dianggap “leteh” jika mayat Bali Kristen bersama-sama dikuburkan di setra tanah Bali-Hindu. 21 Wawancara informan dengan penulis. Wawancara dilakukan di Blimbingsari, tanggal 14 Oktober 2009, Pukul 09.30 wita

Page 11: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Dari Mayoritas Menjadi Minoritas

63

di pasar lebih memudahkan kita. Mereka tidak bisa melarang kita belanja, karena mereka tidak tahu dan tidak mungkin mengecek. Itulah strategi yang kami pakai, sehingga kebutuhan kami saat itu bisa terpenuhi. Mereka yang Bali-Hindu sangat marah betul kepada kita karena kita berpindah agama dan mereka hanya berani bersorak-sorak di antara mereka, mengejek tetapi hanya di luar rumah. Kalau masuk dan menyerbu ke rumah kami, mereka tidak berani. Tekanan-tekanan yang lain juga kami lalui seperti sawah kami tidak mendapatkan air untuk irigasi, sehingga bagaimana kita bisa mendapatkan hasil padi yang baik dan tumbuh dengan baik apabila tidak ada air, tekanan lainnya tidak mendapat tanah kuburan seperti tersebut di atas. Sebenarnya hubungan kami sangat baik dengan saudara-saudara saya yang beragama Hindu, namun karena adat yang mengatur begitu, makanya mereka menjadi takut semua. Suatu saat, malam-malam dengan diam-diam saudara-saudara saya datang ke rumah saya dan membawa beras untuk membantu dan lain-lainnya yang kami butuhkan, katanya: ”Ne kangwang bedik, apa je ade abe cang mai (ini seadanya, apa saja yang ada saya bawakan ke sini), sambil ngomong-ngomong”, tetapi jika ada orang yang melihat hal itu pasti niatnya akan diurungkan (tidak jadi main ke rumah), karena saking takutnya dengan awig-awig/aturan adat yang mengatur tersebut”

Ketegangan antara orang-orang Bali-Kristen dan Bali-Hindu yang tidak dapat dihindari adalah seperti di bawah ini. Ada beberapa kasus ketegangan seperti, peristiwa yang terjadi di Pelambingan, Buduk, dimana tubuh manusia yang telah meninggal tidak boleh dikuburkan, walaupun di tanahnya sendiri22. Bahkan sampai tahun 1965 juga masih terjadi hal seperti itu, yaitu keluarga Made Repeg sebagai saksi yang lahir tahun 1915 dengan istri Ni Ketut Rapig lahir tahun 1920, memiliki 12 anak23. (2). Ada juga satu kasus yang sama

22 Pada saat itu yang menjadi Gubernur Bali adalah Bapak Sukarmen dari Malang, dengan kasus tersebut, diantara mereka tidak ada jalan pemecahan, sehingga mayatnya dibawa ke kantor Gubernur. Dalam pemecahan masalah itu Gubernur Bali tahun 1965 mengatakan bahwa tanah ini milik kita bersama bukan hanya milik sekelompok orang. Dengan penjelasan tersebut pada akhirnya pemerintah memberikan tanah kuburan bagi orang-orang Bali Kristen. 23 Wawancara dengan Bapak Wayan Nyatrianta, di Blimbingsari, tanggal 21 Nopember 2009, pukul: 19.00)

Page 12: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

64

tentang mayat yang sudah dikuburkan harus dibongkar kembali24, terjadi di Legian tahun 1966 pada keluarga Bapak Wayan Enteg25.

Ketegangan itu muncul dalam berbagai bentuk dan salah satu yang paling menonjol terjadi dalam penguburan. Bagaimanapun orang-orang Bali Kristen memerlukan tanah kuburan. Orang-orang Bali-Hindu tidak begitu saja dapat menerima keinginan itu, karena konsep penguburan mereka sangat jauh berbeda dengan yang dilakukan orang Bali-Kristen. Hal ini akhirnya menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya migrasi orang-orang Bali-Kristen ke Alas Cekik, Jembrana, Negara.

Pada jaman kolonial Pemerintah Belanda tidak senang dengan kekacauan seperti itu. Dilakukanlah upaya-upaya perdamaian antara orang-orang Bali-Hindu dan orang-orang Bali-Kristen agar tidak terjadi ketegangan. Namun upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Belanda tidak menyentuh akar persoalan.

Migrasi Menuju ke Blimbingsari Desa Blimbingsari, berlokasi di Kecamatan Melaya,

Kabupaten Jembrana, Bali. Sebelum tahun 1939 Jembrana terpilih sebagai tempat pemukiman orang-orang Bali-Kristen, dan ini tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah Belanda tentang lokasi pembuangan para pelanggar adat. Sesuai dengan paswara tahun 1910 (kemudian diubah tahun 1927), seorang laki-laki sudra yang mengawini wanita dari kasta brahmana atau ksatria dianggap telah melakukan pelanggaran adat yang disebut asumundung. Pada zaman kerajaan, pelanggaran ini dikenai hukuman mati. Pemerintah Hindia-Belanda kemudian menggantinya dengan hukuman pembuangan (maselong) seumur hidup di Desa Parigi (Pulau Sulawesi), kemudian

24 Saat itu, Bapak Nyoman Sukartika yang berasal dari Legian melaporkan ke pemerintah, dan pada akhirnya pemerintah memberikan tanah kuburan bagi orang-orang Bali-Kristen di sebelah tanah kuburan orang-orang Bali-Hindu di Legian yang sekarang beralamat di jalan Majapahit. 25 Wawancara dengan Bapak Nyoman Sukartika (mantan majelis pertama di jemaat GKPB Philadelphia Legian) di Legian, tanggal 17 Oktober 2009, pukul 10.00.

Page 13: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Dari Mayoritas Menjadi Minoritas

65

diubah menjadi pembuangan selama sepuluh tahun di Lombok atau kepulauan lain diluar Bali. Sekitar tahun 1937 peraturan ini diubah, pembuangan bisa dilakukan di Bali, umumnya ke Jembrana. Waktu yang sepuluh tahun diubah menjadi tiga tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu tahun.

Selain itu sejak tahun 1935 Jembrana dijadikan daerah transmigrasi, sebagai tindak lanjut dari kebijakan pengaturan pemukiman yang disebut kolonisasi. Para transmigran diberi izin membuka hutan di wilayah timur dan barat negara. Di wilayah timur, ada tiga daerah, yang terletak di Distrik Mendoyo, yakni Badingkayu, Asah Duren (300 hektar), dan Nusa Mara. Di Badingkayu, para transmigran dari Desa Lebih, Karangasem mulai membuka hutan seluas 120 hektar pada awal bulan Januari, yang ternyata cocok ditanami padi. Sekitar bulan Juni 1936 mereka berhasil memanen padi pertama kali. Pada akhir tahun 1938 dan awal 1939 mereka mulai menanam kopi, kapuk dan jeruk. Sedangkan lahan di Nusa Mara diberikan kepada para transmigran dari Nusa Penida. Mereka kebanyakan terdiri dari para korban wabah penyakit desentri yang terjangkit tahun 1936.

Di Jembrana Barat, disediakan lahan di wilayah Candikusuma, yang dikenal dengan nama Alas Cekik dan mulai dibuka tahun 1937. Ada tiga lokasi yang disediakan untuk para transmigran, yakni Blimbingsari, Palasari dan Nusasari. Pembukaan hutan Blimbingsari mulai disosialisasikan tahun 1938, tetapi baru dapat dilakukan akhir tahun 1939. Setelah Blimbingsari barulah beberapa desa disebelah timur Blimbingsari dibuka untuk transmigran. Hutan Palasari dengan luas areal 200 hektar dibuka pertengahan tahun 1940 oleh 18 orang kepala keluarga Bali-Kristen-Katolik. Karena luas lahan tidak sebanding dengan jumlah para transmigran yang sedikit, akhirnya masih tersisa tanah untuk sekitar 75 kepala keluarga. Pemerintah Kolonial juga mengijinkan pembukaan hutan seluas 500 hektar (yang kemudian diberi nama Nusasari) bagi orang-orang dari Nusa Penida. Mereka mulai merabas hutan pada bulan Oktober 1940, dengan jumlah anggota 106 kepala keluarga. Dengan demikian

Page 14: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

66

kedatangan orang orang Nusa Penida lebih lambat sekitar satu hingga dua tahun daripada orang-orang Bali-Kristen Protestan di Blimbingsari.

Dari uraian di atas, tampak sekali kebijakan kolonisasi Pemerintah Hindia-Belanda mengutamakan asas pemerataan kesejah-teraan, artinya tidak hanya diberikan kepada orang-orang Bali-Hindu, tetapi juga Bali-Kristen (Protestan dan Katolik). Pemerataan kesejahteraan dapat juga dilihat dari pembagian tanah tegalan untuk masing-masing transmigran yang luasnya kurang lebih dua hektar. Selain itu, ada juga tunjangan yang diberikan pemerintah kolonial untuk pembangunan bedeng-bedeng penampungan dan subsidi pangan hingga musim panen, sebanyak 1.5 kaci beras untuk setiap hari, ditambah garam, terasi, kacang dan kedelai.

Selain menggunakan asas pemerataan, Pemerintah Belanda memperhitungkan juga faktor keamanan dan kenyamanan. Hal ini dapat dilihat dari lokasi areal para transmigran yang disesuaikan dengan kadar permasalahannya. Setiap kelompok transmigran mempunyai latar belakang masalah sosial yang berbeda satu dengan yang lainnya. Orang-orang Bali-Hindu yang dari Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung dan Karangasem kebanyakan terbelit masalah sosial ekonomi dan kesehatan. Tetapi masyarakat Bali-Kristen baik yang Katolik maupun Protestan tidak saja menghadapi masalah tersebut di atas, tetapi juga masalah sosial-budaya dan sosial politik, terutama konflik dengan orang-orang Bali-Hindu di tempat asal mereka masing-masing.

Sebagian besar masyarakat Bali-Kristen sudah dianggap sebagai orang bermasalah, karena telah berani melawan otoritas desa pekraman. Mereka memang tidak melakukan pelanggaran adat perkawinan asumundung atau alangkahi karang ulu, yang hukumannya berupa pembuangan, tetapi keberanian berpindah agama, apalagi disertai dengan pembongkaran sanggah, sudah dianggap oleh orang-orang Bali-Hindu sebagai bentuk pelanggaran adat, yang harus mendapat hukuman.

Page 15: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Dari Mayoritas Menjadi Minoritas

67

Sesuai dengan perundangan pemerintah, hukuman yang paling cocok bagi orang Bali yang berpindah agama adalah selong atau dibuang ke Jembrana. Apabila pemerintah berani menjatuhkan hukuman kepada orang orang ini, berarti rasa keadilan masyarakat sudah terpenuhi, sehingga kekerasan fisik yang bersumber dari konflik tersebut bisa dihilangkan. Berdasarkan pemikiran seperti itu, secara hukum adat dapat dikatakan orang-orang Bali-Kristen telah dikenai hukuman “maselong” ke Jembrana. Tetapi dalam pengertian formal, mereka termasuk para transmigran yang datang ke Jembrana sesuai dengan proyek kolonisasi pemerintah.

Pemerintah Belanda tentu sadar dengan pertimbangan hukum adat seperti itu, tetapi mereka tidak gegabah menentukan lokasi. Dipilihnya lokasi Alas Cekik, yang menurut hasil survey tim medis tahun 1938 ternyata berpotensi rawan penyakit malaria, tentu akan memberikan rasa puas bagi orang-orang Bali-Hindu yang anti dengan penyebaran agama Kristen. Tetapi di sisi lain, pilihan ini justru menyelamatkan mereka dari gangguan orang-orang Bali-Hindu. Bahaya kematian yang ditimbulkan oleh konflik sosial jauh lebih tinggi daripada bahaya penyakit malaria, karena saat itu sudah dikenal obat Kina, sebagai penolak penyakit itu.

Kebijakan pemerintah kolonial dilandasi ketakutan akan serbuan orang Bali-Hindu terhadap orang Bali-Kristen di tempat tinggal yang baru. Berpikir seperti itu, Pemerintah Belanda tidak memberikan orang Bali-kristen hutan yang kini menjadi wilayah Nusasari, yang terletak tidak begitu jauh dari jalan raya yang seharusnya lebih memungkinkan orang-orang tersebut mendapat lahan ini dibandingkan dengan orang-orang dari Nusa Penida, karena merekalah yang diberi kesempatan bertransmigrasi lebih awal. Akan tetapi demi keselamatan dan memenuhi keinginan orang-orang Bali-Hindu, maka orang-orang Bali-Kristen akhirnya ditempatkan di hutan yang letaknya jauh dari jalan raya, yang tidak saja relatif lebih sulit ditempuh, tetapi cukup menakutkan.

Blimbingsari ini terletak di sebelah tenggara gunung Kelatakan dengan ketinggian 698 meter dari permukaan laut. Topografi

Page 16: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

68

atau keadaan permukaannya, dipenuhi pepohonan besar berdaun lebat dan rimbun, disana-sini diselingi semak belukar. Di atas pepohonan bergelayut kera-kera liar dan di bawah banyak satwa, seperti menjangan, kijang dan babi. Di dekat gunung Kelatakan, masih ada harimau dan binatang buas lainnya. Orang-orang Bali-Hindu menyebutnya sebagai hutan paling angker, konon sudah beberapa kali Pemerintah Belanda membawa para pembuka hutan, tetapi tidak ada satupun yang kembali, semuanya mati. Ada yang mengatakan mereka mati karena sarap macan, diterkam harimau, dimakan buaya dan digigit nyamuk malaria. Mungkin orang-orang Kristen dibawa ke tempat ini, dengan maksud supaya mereka mati seperti nasib para pembuka hutan sebelumnya.

Harapan dan bayangan akan kematian ini, sepertinya tidak mengada-ada. Ini tercermin dari kondisi kejiwaan saat keberangkatan. Sebelum kedua bus Sapakira memberangkatkan ke 30 pendaftar transmigran, tampak ada suasana duka pada wajah sanak saudara yang ditinggalkan dan orang-orang yang bersimpati kepada mereka. Mereka ditangisi seperti orang yang berangkat ke tiang gantungan, yang sebentar lagi akan menghadapi kematian. Mereka dianggap tidak akan pernah lagi kembali ke kampung masing-masing. Anggapan-anggapan seperti itu adalah suatu hal yang wajar saat itu, karena hutan yang akan dirabas oleh orang-orang Bali-Kristen, termasuk daerah yang tidak tersentuh oleh manusia, paling-paling hanya dilalui oleh para juru boros, para pemburu binatang. Letaknya di daerah Melaya, ke arah utara, sekitar tujuh kilometer, melewati jalanan berlumpur dan penuh dengan kubangan sedalam leher kerbau (I Nyoman Wijaya, 2003).

Ada perbedaan pandangan antara pemerintah kolonial dengan Zending tentang penanganan orang Bali-Kristen. Pemerintah memandang hal ini sebagai jalan yang paling baik untuk mengatasi ketegangan-ketegangan, tetapi sebaliknya Gereja dan Zending keberatan dengan pendapat ini. Kebijakan membentuk kampung tersendiri bagi orang Kristen bertentangan dengan prinsip dasar yang menjadi titik tolak pekerjaan Zending di Bali. Prinsipnya seseorang menjadi Kristen, dia harus tetap di desanya dan identitas tetap sebagai

Page 17: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Dari Mayoritas Menjadi Minoritas

69

orang Bali. Sebab itu mereka bisa menjalani kehidupan yang layak di desanya. Tetapi perpindahan ke Blimbingsari ada juga pertimbangan lain yaitu kepentingan ekonomi, seperti kebutuhan akan lahan yang bisa diolah dan digarap. Di Bali bagian tengah yang padat penduduknya, terdapat orang-orang yang tidak memiliki tanah garapan, di antara mereka terdapat juga orang-orang Kristen. Mereka hanya bisa hidup dari sistem bagi hasil, yaitu menggarap sawah orang lain, lalu membagi hasil garapannya.

Dari sudut pandang Pemerintah Belanda, kekacauan yang muncul di desa-desa akibat Kekristenan dapat membawa malapetaka yang lebih besar tahun 193926. Karena itulah Pemerintah Belanda mempunyai keinginan untuk memindahkan orang Kristen. Keputusan ini seperti pedang bermata dua, di satu pihak, upaya memindahkan orang Kristen jauh dari masyarakat umum adalah memberhentikan perkembangan agama Kristen, dipihak lain, kalaupun mereka hidup, biarlah mereka hidup di tempat terasing.

Oleh karena pesatnya perkembangan ajaran Kristen maka diadakan pertemuan antara pemuka Bali-Hindu dan orang Bali-Kristen. Pertemuan tersebut dilangsungkan tahun 1939 di Bale Banjar Gede Abianbase yang dihadiri oleh Perbekel, Punggawa, Kontrolir dan Asisten Residen. Jika benar Kontrolir dan Asisten Residen ikut hadir dalam sebuah pertemuan di tingkat desa, berarti pokok persoalan yang sedang dibahas sudah termasuk sangat penting. Menurut I Gede Dikit, kelian adat Banjar Gede berkata, “kalau orang-orang Kristen tidak dipindahkan, mungkin tidak lama lagi semua anggota banjar akan masuk agama Kristen”.

Kuatnya daya tahan masyarakat Bali-Kristen, terlihat dari dialog antara Punggawa dengan salah seorang Bali-Kristen, peserta rapat yang berkisar pada keseriusan berpindah agama. “Apakah kalian berani mati beragama Kristen?”. Orang-orang Bali Kristen dari desa Untal-Untal, Buduk, Pelambingan, Padangtawang dan sebagainya yang hadir dalam rapat tersebut serentak menjawab: “Berani”.

26 Wawancara dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, 26 November 2009

Page 18: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

70

Mendengar jawaban seperti itu, Asisten Residen Bali dan Lombok mengajukan pertanyaan. Sang punggawa ingin mendapat kepastian apakah ada unsur keterpaksaan atau hal itu datang dari diri sendiri: Punggawa: “Pak, apakah memang betul-betul bersedia pindah ke agama Kristen, bukankah sudah dari dulu kita beragama Hindu?” Salah seorang Bali-Kristen: “Betul, Pak, karena saya tidak cocok beragama Hindu,” jawabnya. Punggawa: “Kalau sudah sengsara begini, bagaimana?” Si Kristen: “Biarpun sengsara, asalkan sudah menyembah Hyang Widhi, Hyang Yesus, saya senang. Saya berani menanggung sengsara asalkan sudah menyembahNya.”

Rapat menghasilkan keputusan, orang-orang Kristen harus dipindahkan ke tengah hutan, yang paling angker di Bali, yaitu Alas Cekik. Setelah rapat usai, asisten residen menyambut baik keberanian dan tekad orang-orang Bali-Kristen, seraya berkata dirinya juga beragama Kristen, dan menyarankan tidak perlu takut, karena agama Kristen lebih kuat.

Pemerintah telah mengijinkan orang-orang Bali-Kristen baru ini membuka perkampungan baru dan ditunjukkan di Bali Barat. Lalu kira-kira bulan Agustus 1936 diutuslah beberapa orang untuk menyelidiki tanah di Bali Barat. Pemimpin yang diutus pada waktu itu adalah: Pekak Luh Wartini (I Made Sela), I Nyoman Regig dan Mas Renggo. Mereka berangkat ke Negara untuk menjumpai Kepala Distrik di sana. Menginap semalam, besoknya mereka berangkat ke Melaya di antar oleh Sedan Agung waktu itu Gst. Bagus Wastra Utama. Di Melaya rombongan disambut oleh Joyo Sentono (lurah Melaya) kemudian menuju ke utara sajauh kurang lebih 6 km. masuk hutan belantara dengan pohon-pohon yang sangat besar. Daerah ini terkenal sangat angker dan banyak binatang buas. Rombongan menelusup diantara kayu-kayu besar, kira-kira di sebelah utara rumah Bapak Ketut Nambrig sekarang, tanah diperiksa dengan mencangkul. Kemudian terus ke utara kira-kira di muka rumah Men Wayan Sudri, tanah diperiksa lagi, ternyata tanahnya baik. Ke timur kira-kira di muka rumah Pak Luh Ratna tanah diperiksa lagi, terus ke timur lagi sampai kira-kira di tegalan Pan Luh Darpi tanah dicangkul lagi dan

Page 19: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Dari Mayoritas Menjadi Minoritas

71

ternyata juga baik. Rombongan lalu istirahat di Ceburan toye (nama sebuah jembatan di sebelah timur desa sekarang). Nampaknya menurut ketiga utusan tadi sangat cocok untuk membuka daerah ini untuk perkampungan.

Hal ini jelas dari percakapan mereka ketika istirahat di ceburan toye. Sedan Agung bertanya: “Kenken jani Bapak-bapak sube merekse tanahe ene ape setuju teken tanahe ene?” Terjemahannya: ”Bagaimana sekarang bapak-bapak sudah melihat tanah tersebut, apakah setuju atau tidak dengan tanah ini”? Pekak Luh Wartini menjawab: “Titiang lebih setuju, duaning asapunika titiang dot pisan”. Terjemahannya: “ Saya setuju, karena saya ingin sekali”. Rombongan lalu kembali.

Ketiga utusan ini kemudian melaporkan hasil penelitian mereka kepada pemimpin-pemimpin Gereja di Denpasar. Melalui persidangan Pasikian Kristen Bali yang diadakan di Desa Sading diputuskan untuk membuka perkampungan di daerah Bali Barat. Tetapi segera setelah itu keluarlah pengumuman dari Pemerintah yang menyatakan bahwa hutan ini ditutup (tidak boleh dibuka untuk perkampungan). Pemerintah mengajukan untuk membuka perkampungan di Sekar Kecula di sebelah utara Yeh Embang). Pekak Luh Wartini dan kawan-kawan meninjau tanah tersebut dan menolak, dan tetap berkeinginan membuka perkampungan di sebelah utara Melaya.

Pada permulaan tahun 1939, Pekak Luh wartini mencoba lagi mohon kepada Pemerintah agar hutan di sebelah utara Melaya boleh dibuka. Permohonan pun dikabulkan. Kemudian oleh pemimpin-pemimpin Gereja diutuslah beberapa orang untuk mencek tanah tersebut sambil membawa surat dari Pemerintah Belanda di Denpasar untuk Regent Negara. Mereka yang diutus para pemimpin itu adalah: Made Rungu, Nyoman Soken (Pekak Gede Susadia), Pan Nade, Pan Riak.

Dengan persetujuan Regent Jembrana dan Sedan Agung, orang Bali-Kristen baru ini diperkenankan membuka hutan yang telah

Page 20: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

72

ditinjau oleh team. Untuk persiapan kedatangan orang Kristen dari berbagai desa ke hutan ini, pemerintah telah menugaskan bogolan untuk membangun sebuah barak di dekat tibuan buaya (nama sebuah dam) yang sekarang disebut Dam Eka Santosa. Setelah melalui banyak pembicaraan yang melelahkan mengenai tanah yang akan mereka dapatkan, maka pada 30 November 1939 berangkat angkatan pertama, belum bersama keluarga.

Sebelum berangkat ke pemukiman baru Alas Cekik, mereka didoakan agar selamat dalam perjalanan, rombongan pelopor ini berjumlah 30 orang. Mereka berkumpul di Abianbase, kemudian berangkat menggunakan dua bus bernama Sapakira, milik seorang pengusaha dari Jembrana. Kisah pembangunan desa Blimbingsari yang melalui proses dan tindakan tansformasi sosial ini dimulai dari perjuangan 30 orang dewasa untuk memulai kehidupan baru dengan menaklukan kawasan yang masih hijau dan belum pernah dijamah dan diolah manusia. Dari titik nol inilah, dalam pengertian belum ada infraktsruktur yang menunjang, baik jalan, irigasi, atau bangunan penunjang apa pun. Modal kelompok masyarakat ini adalah tekad yang kuat untuk maju dan membangun kawasan baru, dengan nilai dan semangat iman, mereka percaya bahwa Tuhan beserta mereka dan memberikan rahmat dan berkat bagi mereka. Mereka tidak gentar dan ragu, yang ada hanya jiwa untuk maju dan menaklukan alam, menguasai dan mengolahnya bagi anak cucunya.

Proses Migrasi Sebuah team kepemimpinan yang terdiri dari Made Sela, Made

Rungu, dan Nyoman Regig berangkat sebagai pemimpin rombongan pembuangan ini27. Pembuangan ke Alas Cekik yang sekarang bernama Blimbingsari, bagi mereka orang Bali Kristen adalah sesuatu yang menakutkan, mengerikan karena tidak jelas dan tidak tahu mau

27 Wawancara di Blimbingsari, dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, tanggal 24 Oktober 2009, pukul 09.00

Page 21: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Dari Mayoritas Menjadi Minoritas

73

dibuang ke mana. Hutan yang penuh dengan nyamuk malaria, binatang buas seperti ular, harimau dan buaya28.

Blimbingsari, Melaya merupakan sebuah tanah yang diolah pertama bagi para keluarga yang jumlahnya 30 orang sebagai perintis. Ada pun nama 30 orang tersebut bisa dilihat dibawah. Nama-nama perintis yang masuk ke Blimbingsari antara lain sebagai berikut (lihat tabel 4.1):

Tabel 4.1 Daftar nama-nama perintis pertama yang masuk ke Blimbingsari29

No. Nama Alias Daerah Asal 1 I Made Tjadug Pan Luh Sudarmi Desa Abianbase, Badung 2 I Wayan Ribet Pan Yunus Desa Pelambingan, Kuta-Badung 3 I Nyoman Cangker Pan Noniah Desa Pelambingan, Kuta-Badung 4 I Nyoman Sutji Pan Simon Desa Pelambingan, Kuta-Badung 5 I Wayan Redes Pan Puspa Desa Pelambingan, Kuta-Badung 6 I Wayan Rebes Pan Made Yahya Desa Pelambingan, Kuta-Badung 7 I Made Sela Pan Sapreg Br. Untal-untal, Dalung-Kuta 8 I Wayan Regug Pan Sukraning Br. Untal-untal, Dalung-Kuta 9 I Wayan Garus Pan Muriani Br. Untal-untal, Dalung-Kuta 10 I Made Lembut Pekak Darsa Br. Untal-untal, Dalung-Kuta 11 I Nyoman Duduk Pan Luh Ratna Br. Untal-untal, Dalung-Kuta 12 I Nyoman Legit Pekak Sudibya Br. Untal-untal, Dalung-Kuta 13 I Nyoman Tiyeb Pan Degir Br. Untal-untal, Dalung-Kuta 14 I Nyoman Suda Pekak Buleleng Desa Bubunan, Singaraja 15 I Wayan Dedet Pan Renduh Desa Carangsari, Denpasar 16 I Wayan Gerenjit Pekak Natan Desa Carangsari, Denpasar 17 I Nyoman Gusat Pan Lison Desa Carangsari, Denpasar 18 I Nyoman Djata Pekak Panus Desa Carangsari, Denpasar 19 Wayan Rembon Pekak Kanah Desa Carangsari, Denpasar 20 I Ketut Kawit Pan De Arid Desa Carangsari, Denpasar 21 I Wayan Tegeg Pan Puja Desa Carangsari, Denpasar 22 I Made Rentan Pan Sari Desa Carangsari, Denpasar 23 Pan Made Ranti Pekak Luh Siki Desa Sading, Denpasar 24 I Made Djirna Pan Luh Marta Desa Sading, Denpasar

28 Wawancara dengan Pdt. Sunarya, 25 Oktober 2009 29 Wawancara di Blimbingsari, dengan Pdt. Wayan Sunarya, tanggal 22 Oktober 2009, pukul 10.00

Page 22: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

74

No. Nama Alias Daerah Asal 25 I Gede Rangkep - Desa Sading, Denpasar 26 I Wayan Rika Pan Gendri Desa Sading, Denpasar 27 I Wayan Siket Pan Sandi Desa Sading, Denpasar 28 I Made Dug - Desa Sading, Denpasar 29 I Wayan Keran - Desa Buduk, Denpasar 30 I Wayan Congker - Desa Tumbakbayuh, Denpasar Sumber: data Sekunder (Pdt Ketut Suyaga Ayub, Blimbingsari, The Promise Land, 2012)

Sebuah perusahaan bus dengan nama Sapakira merupakan kendaraan antar daerah swapraja Badung – Jembrana yang populer pada 1930. Kendaraan ini juga yang mengangkut para perintis (orang-orang Bali Kristen) pada tahun 1939 sebanyak 30 orang, tepatnya tanggal 1 Juni 1939 yang berangkat dari bangsal Untal-Untal, Dalung Gaji menuju Melaya, wilayah Bali Barat.30

Dari Melaya, rombongan perintis berjalan melewati Pangkung Tanah untuk masuk Desa Blimbingsari. Dengan persetujuan Regent Jembrana dan Sedan Agung, orang orang Bali-Kristen berhasil membuka lahan baru. Untuk persiapan kedatangan orang-orang Bali-Kristen dari berbagai desa ke hutan ini, pemerintah telah menugaskan bogolan untuk membangun sebuah barak di dekat tibuan buaya atau sekarang disebut sebagai Dam Eka Santosa. Orang-orang Bali-Kristen masuk dan menempati barak yang telah disiapkan. Ukuran barak nya kira-kira 19x20 meter, yang menampung 30 orang perintis mula-mula. Dari barak ini mereka memulai menerabas dan membakar pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan yang tidak dipakai dan mencabut akar-akar pohon. Perintis memulainya dari wilayah timur ke barat dan terbentuk jalan-jalan yang bisa menghubungkan tegalan/ladang yang satu dengan yang lainnya.

30 Pertama-tama memang ada 30 orang pertama yang membuka barak/jalan tanpa keluarga, hanya yang pria atau kepala keluarga. Memang susah sekali karena alas itu berlumpur dan jalannya berawa, pokoknya gelap. Setelah 3 bulan kemudian ada datang lagi 85 orang untuk membantu menerabas sehingga lebih cepat. Masing-masing keluarga mendapat tanah 2 ha perkebunan dan 20 are pekarangan. Sunarya, 2009. “Lentera Di Tengah Hutan Mandurgama: Selayang Pandang Sejarah Blimbingsari”

Page 23: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Dari Mayoritas Menjadi Minoritas

75

Proses perpindahan digambarkan Pdt. Wayan Sunarya (2009), sungguh sangat mengerikan. Saat perintis menerabas alas Cekik pertama kali, hutan ini penuh dengan pohon-pohon besar, ada kera yang bergelantungan di sana-sini, juga ada babi, rusa (kijang), harimau, ular dan buaya serta banyak lagi yang lainya31. Orang Bali-Kristen yang pertama kali datang ke Blimbingsari tidak langsung menetap, melainkan mengadakan penjajakan, kemudian bermukim setelah sarana dan prasarana pembukaan hutan terpenuhi. Mereka membuka hutan menjadi tanah pemukiman di Blimbingsari.

Angkatan pertama yang membuka hutan tidur, memulai pekerjaan dengan berdoa di waktu pagi dan mengakhiri pekerjaan mereka di sore hari dengan ibadah, bersyukur dan bernyanyi lagu Bali. Judul lagu tersebut ”Suryane sampun surup”. Artinya bahwa masyarakat Blimbingsari harus beristirahat dan memuliakan Tuhan dalam pekerjaan satu hari yang telah diberikan tersebut. Mereka membangun desa sesuai dengan budaya Bali yaitu nyegara gunung berbentuk salib. Gunung di utara, laut di selatan. Jalan yang menghubungkan satu rumah dengan rumah yang lainya ternyata dibuat dengan formasi tiang salib. Desa di tengah hutan ini membuat kaget orang yang terbang melintasi daerah ini, karena mereka melihat jalan seperti salib besar di tengah hutan (lihat gambar 3.1). Dengan berjalannya waktu, mereka terus bekerja dan berusaha membuka lahan-lahan yang lainnya. Dengan semangat kerja keras yang tidak kenal lelah akhirnya hutan-hutan yang tadinya gelap dan mengerikan, menjadi lahan atau areal yang lapang dan menjadi tempat pemukiman keluarga-keluarga yang belum memiliki rumah.

Pdt. Wayan Sunarya (2009) menyatakan bahwa “mereka mengucap syukur karena sudah dapat merayakan hari Natal bersama keluarga pada tahun 1939”32 setelah mereka membuka lahan hutan yang mengerikan tersebut. “len tusing je ade pak Pdt. Made Rungu, ane dados pemimpin ane nganggo etos megae, nilai spiritual totone, pasti i

31 Wawancara dengan Pdt. Wayan Sunarya, di Blimbingsari November 2009. 32 Wawancara dengan Pdt. Wayan Sunarya, di Blimbingsari Oktober 2009.

Page 24: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari

76

rage sukeh ngewangun desane to”, begitu ungkap Pdt. Wayan Sunarya, 2009. Artinya jikalau tidak ada bapak Pdt. Made Rungu sebagai pemimpin yang menggalang etos kerja dan nilai spiritual tersebut, niscaya sulit membangun Desa Blimbingsari itu. Mereka bersukacita menggarap lahan yang telah diberi oleh Pemerintah Belanda saat itu dengan semangat kerja keras, dan saling bahu-membahu.

Kesimpulan Pada bagian ini penulis menjelaskan bahwa peran

kepemimpinan sangat penting dalam proses migrasi dari desanya mula-mula menuju Alas Cekik ini (Blimbingsari) dan mendorong dan mengarahkan warga desa Blimbingsari, untuk bekerja keras dengan menggalang nilai spiritualitas dan etos kerja untuk membangun desanya. Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin desa I Made Sela, dan pemimpin Rohani Pdt. I Made Rungu dan I Made Tjaduk, sehingga desa ini menjadi desa yang makmur. Disamping itu juga penulis menjelaskan mengenai sejarah konversi agama sampai terbentuknya desa baru, Blimbingsari. Yang didalamnya berisi tentang peran kepemimpinan saat perpindahan dari Hindu ke Kristen, tekanan atau penderitaan orang-orang Bali Kristen, perpindahan Bali-Kristen menuju ke Blimbingsari, proses migrasi hingga tiba di Alas Cekik.

Penulis menjelaskan dinamika atau usaha-usaha penginjilan di Pulai Bali dari tahun 1633, Ketegangan antar Bali-Hindu dan Bali-Kristen yang ditunjukkan melalui tanah pekuburan, sampai terjadinya transmigrasi ke Alas Cekik oleh Pemerintah Belanda sebagai satu alasan agar Bali tetap menjadi Museum Hidup.

Di samping itu juga, dalam bab ini dibahas juga mengenai bagaimana proses migrasi dari desanya mula-mula menuju Alas Angker ini (Blimbingsari).

Alas Cekik yang akhirnya berubah menjadi perkampungan Bali-Kristen Protestan dengan menaklukkan alam yang tidak ramah (malaria, ular, buaya dan harimau) yang di mulai dari penempatan

Page 25: DARI MAYORITAS MENJADI MINORITASrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12333/4/D_902008006_BAB IV.pdfmempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya

Dari Mayoritas Menjadi Minoritas

77

barak yang berlokasi dekat dengan dam Eka Santosa. Masyarakat Blimbingsari yang mayoritas Kristen dan yang sudah melakukan migrasi ke Jembrana berjuang dan mencoba mencari cara untuk membuat desa yang ditempatinya menjadi hidup, bisa bertahan dari keterpurukannya dengan kepemimpinan yang menggalang nilai spiritualitas kristen dan etos kerja.