dari distrik ke kota kecamatan: dalam lintasan sejarah

159

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH
Page 2: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH
Page 3: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN:

MENYUSURI JEJAK KOTA SATUI

DALAM LINTASAN SEJARAH

Page 4: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH
Page 5: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

Tim Peneliti PSP Sejarah FKIP Unlam

DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN:

MENYUSURI JEJAK KOTA SATUI

DALAM LINTASAN SEJARAH

Page 6: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ iv ~

Tim Peneliti PSP Sejarah FKIP Unlam :

1. DR. Herry Porda N.P., M.Pd

2. Drs. M. Zaenal Arifin Anis, M. Hum

3. Mansyur, S.Pd, M.Hum

4. Heri Susanto, S.Pd, M.Pd

DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN:

MENYUSURI JEJAK KOTA SATUI DALAM LINTASAN SEJARAH

Cover Design : Syamsudinor, S.Pd

Lay Out : Mansyur, S,Pd, M.Hum & Syamsudinor, S.Pd

Jumlah Hlm. : 136 hlm

Ukuran : 14 x 20cm

ISBN : ­

Tahun : 2013

Cover : Peta “Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder

Leiding Van Dr. A.W. Nieuwenhuis”, dibuat dan

dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun 1902.

Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Page 7: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ v ~

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah­Nya, sehingga Tim Peneliti

bisa menyelesaikan penyusunan dan penulisan bukuini.

Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi dan Rasul yang

telah membawa ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin dan

menjadi teladan bagi ummatnya.

Tim Peneliti menyadari bahwa selesainya penulisan

bukuini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai

pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Tim Peneliti

mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang tidak terhingga

kepada semua pihak yang sudah memberikan kontribusinya,

sebagai berikut:

1. Bapak Camat Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Eryanto

Rais, S.H, M.M, yang telah memberikan kepercayaan

sekaligus “pendelegasian” kepada Tim Peneliti untuk

meneliti dan mengumpulkan fakta serta sumber­sumber

sejarah tentang Hari Jadi Kecamatan Satui.

2. Bapak H. Abidin, H.H., Tokoh Masyarakat Satui, atas segala

petuah dan nasehatnya, kemudian bantuan informasinya

Page 8: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ vi ~

tentang Sejarah Satui sekaligus memberikan masukan dan

pertimbangan kepada Tim Peneliti dalam penentuan Hari

Jadi Satui dan penyusunan bukuHari Jadi Satui.

3. Bapak Bambang Sucipto, Ketua Tim Pencari Fakta

Terbentuknya Kecamatan Satui yang telah memberikan

bantuan moril dan materiil kepada Tim Peneliti dalam

proses penelitian sampai penulisan bukuHari Jadi

Kecamatan Satui.

4. Bapak Kapolsek Satui, AKP Ibnu Yulianto, atas bantuannya

dan masukannya dalam penulisan bukuHari Jadi Satui.

5. Bapak Danramil 1004­17 Satui, Kapten Inf. Aries Purwanto

Handoyo atas masukan dan sarannya dalam penulisan

bukuHari Jadi Satui.

6. Bapak H. Ismail (H. Aloy) yang telah memberikan banyak

bantuan informasi mengenai sejarah Kecamatan Satui.

7. Pembina Tim Pencari Fakta Terbentuknya Kecamatan

Satui, Bapak M. Fajar Syahrani, Bapak H. Tajuddin Noor,

Bapak Drs. H. Sulaiman, Bapak H.M. Saleh, atas segala

bantuan dan sumbang­sarannya dalam proses penulisan

bukuHari Jadi Satui.

Page 9: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ vii ~

8. Sekretaris Tim Pencari Fakta Terbentuknya Kecamatan

Satui, Bapak Hery Kurbiansyah, S.Sos, Bendahara Ibu Hj.

Ernawaty serta anggota Tim Pencari Fakta Terbentuknya

Kecamatan Satui,Bapak H.M. Fahmi, Bapak H.Ramli, Bapak

M. Rafi’ie, Bapak H. Salmanudin, Bapak H. Husni Thamrin,

Bapak Fathurrahman serta seluruh Kepala Desa di

Kecamatan Satui atas segala bantuan dan informasinya

dalam proses penulisan BukuHari Jadi Satui.

9. Semua narasumber, dari Pemerintah Kabupaten Tanah

Bumbu serta masyarakat Satui pada umumnya, atas

informasi dan data­data yang telah diberikan pada Tim

Peneliti yang sangat bermanfaat untuk penulisan bukuini.

10. Bapak Drs. H. A. Sofyan, M.A, Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat

Banjarmasin, atas segala bantuannya hingga bukuini dapat

terselesaikan.

11. Bapak Dr. Herry Porda, N.P., M.Pd, Ketua Jurusan PIPS

FKIP Unlam, atas kontribusi dan bantuannya dalam

penelitian dan penulisan buku ini.

Page 10: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ viii ~

12. Bapak Drs. M Zaenal Arifin Anis, M.Hum, Ketua Program

Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Unlam, atas ijin akses ke

Perpustakaan Prodi FKIP Unlam.

13. Terima kasih juga disampaikan kepada Arsip Nasional RI

Jakarta, Perpustakaan Nasional RI Jakarta, Perpustakaan

dan Arsip Daerah (Perpusda) Kalimantan Selatan,

Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP

Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Koninklijk

Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde(KITLV) Jakarta

dan Leiden, Tropen Museum serta Perpustakaan

Universitas Leiden yang koleksi arsip­nya di­download

oleh Tim Peneliti.

Dalam penulisan buku ini, tim penulis menyadari bahwa

masih terdapat kekurangannya terutama dalam hal isi atau

esensinya. Tak ada gading yang tak retak, semoga kehadiran

dan keberadaan buku ini, memiliki nilai manfaat sesuai

dengan apa yang diharapkan. Wassalam.

Banjarmasin, Juni 2013

Tim Penulis

Page 11: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ ix ~

PENGANTAR DARI CAMAT SATUI

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, akhirnya

proses penyusunan buku berjudul “Dari Distrik ke Kota

Kecamatan: Menyusuri Jejak Satui Dalam Lintasan Sejarah”,

dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan buku ini telah

dilakukan melalui studi dan penelitian arsip yang cukup

melelahkan sehingga bisa tersusun dalam buku monumental.

Sebelum dilakukannya penelitian dan penulisan buku ini

oleh Tim Peneliti, masyarakat Satui pada khususnya belum

tahu kapan peringatan Hari Jadi daerahnya. Karena itulah dari

pihak Pemerintah Kecamatan Satui, didukung kelompok

pemuda, Muspika, dan tokoh masyarakat di Satui berinisiatif

untuk “mencari” Hari Jadi Satui.

Inisiatif ini ditindaklanjuti dengan penelitian. Tidak ada

aspek politis yang melandasi penulisan buku ini, tapi lebih

semata­mata adanya “panggilan hati putra daerah” Satui untuk

menulis sejarah daerah ini.

Sejarah suatu masyarakat pada hakekatnya merupakan

catatan kolektif atas berbagai jawaban yang diberikan oleh

Page 12: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ x ~

setiap generasi terhadap permasalahan yang mereka hadapi.

Generasi sekarang hanya akan melihat sejarah sebagai suatu

catatan peristiwa. Dinamika ini akan hilang jika sejarah hanya

dilihat dari kondisi makro atau nasional saja. Karena dinamika

yang khas itulah maka sejarah lokal perlu diberikan tempat

tersendiri.

Buku yang sedang kita baca sekarang ini kita harapkan

mampu mengisi celah­celah yang kosong dalam buku sejarah

dewasa ini. Buku ini akan bercerita tentang bagaimana

“kehadiran” Satui dalam lintasan sejarah di Kalimantan

Selatan sekaligus memberikan rekomendasi Hari Jadi Satui.

Buku ini diharapkan dapat mewariskan semangat melalui

sebuah buku sejarah yang baik bagi generasi mendatang maka

generasi itu akan dikenang bukan saja sebagai generasi

pembuat sejarah tetapi juga dikenal sebagai generasi yang

mewariskan pengetahuan tentang sejarah sekaligus semangat

sejarah kepada para pewarisnya.

Kepada semua kelompok pemuda, Muspika, dan tokoh

masyarakat di Satui serta semua fihak­fihak yang telah

memberi bantuan serta partisipasinya bagi penerbitan buku

ini, sekali lagi kami ucapkan terima kasih. Semoga Allah S.W.T.

Page 13: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ xi ~

dapat membalasnya. Semoga kita sebagai generasi penerus

bangsa senantiasa mendapat petunjuk, bimbingan dan

kekuatan dalam mempersembahkan karya terbaik kepada

bangsa dan negara yang kita cintai ini.

Sungai Danau, Juni 2013

Eryanto Rais, S.H, M.M

Page 14: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ xii ~

Page 15: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ xiii ~

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................... v

PENGANTAR DARI CAMAT SATUI ........................................... ix

DAFTAR ISI ......................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xvii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1

A. Pentingnya Ilmu Sejarah dan Studi

Perkotaan. ................................................................. 1

B. Dasar Penentuan “Hari Jadi Kota” Tidak

Sebarangan! .............................................................. 4

C. Sejarah Satui : Berangkat dari Masalah

sampai ke Tujuan .................................................... 8

BAB II RUJUKAN DAN TEORI­TEORI SEJARAH

PERKOTAAN ..................................................................... 11

A. “Pembanding” Penulisan Sejarah Satui .......... 11

B. Asumsi Teori Sejarah Kota .................................. 14

1. Munculnya Kota & Perkembangannya ..... 14

2. Perkembangan Kota­kota di Indonesia .... 19

Page 16: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ xiv ~

3. Penentuan Hari Jadi Kota di Indonesia .... 35

4. Kota Kecamatan ................................................. 43

BAB III METODE YANG DITERAPKAN DALAM

PENELITIAN ...................................................................... 51

A. Heuristik atau Pengumpulan “Serpihan”

Sumber ......................................................................... 53

B. Kritik, Tidak Asal “Ambil Data” ......................... 59

C. Sumber Sejarah Itu Ditafsirkan, Itulah

GunanyaInterpretasi .............................................. 64

D. Historiografi, “Terminal Terakhir”

Penulisan Sejarah .................................................... 65

BAB IV “JEJAK­JEJAK” SATUI DALAM LINTASAN

SEJARAH DI KALIMANTAN SELATAN .................. 69

A. Satui Tertulis Dalam Sumber Sejarah Sejak

Abad ke­17 ................................................................. 69

B. “Menelusuri Jejak Sejarah” dan Alternatif

Hari Jadi Kota Satui................................................. 83

1. Moment Satui diusulkan menjadi Tanah

Erfact (tanah Sewaan) ................................... 83

2. Tahun 1915, Inskripsi Makam Tertua

Page 17: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ xv ~

di Wilayah Satui................................................ 92

3. Terbitnya Staatsblad van Nederlandisch

Indie voor Het- Jaar 1849 .............................. 98

4. Terbitnya Staatsblad van Nederlandisch

Indie voor Het-Jaar 1898 ............................... 99

5. Tanggal Kelahiran “Putra Daerah” &

Pahlawan Nasional Idham Chalid ............. 102

6. Penetapan Satui Menjadi Distrik Tanggal

1 Mei 1877 .......................................................... 106

7. Kiai Mohamad Jasin Memimpin Satui,

21 April 1877 .................................................... 112

8. Tahun Penulisan Hikayat Banjar,

Tarikh1663 M .................................................. 116

BAB V KESIMPULAN HARI JADI KOTA SATUI .................. 123

A. Tanggal 27 Agustus: Kelahiran Pahlawan

Nasional Idham Chalid .......................................... 123

B. Dasar Penentuan Tarikh Hikayat Banjar

Tahun 1663 Sebagai “HariJadi” Satui .............. 125

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 129

Page 18: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ xvi ~

Page 19: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ xvii ~

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kota Tradisional Banjarmasin Pada

Abad ke­19 ................................................................. 22

Gambar 2 Kota Batavia pada Abad ke­18 .......................... 29

Gambar 3 Sudut Kota Banjarmasin Tahun 1950­an ...... 32

Gambar 4 Keraton Yogyakarta Tempo Dulu ..................... 40

Gambar 5 Koleksi Arsip Kolonial, Arsip Nasional RI .... 56

Gambar 6 Penulisan Sejarah oleh Wartawan

Rosihan Anwar ......................................................... 66

Gambar 7 Beberapa versi Buku Hikayat Banjar .............. 73

Gambar 8 Borneo Kaart ............................................................. 79

Gambar 9 Kaart Van Het Eiland Borneo ............................. 80

Gambar 10 Kaart van Nederlandsh Indie ............................. 81

Gambar 11 Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo .......... 82

Gambar 12 “PutraDaerah” Satui, Idham Chalid .................. 103

Gambar 13 Koran De Locomotief, 1877 Memuat

Penetapan Satui Menjadi Distrik, ..................... 108

Gambar 14 Koran De Locomotief, 1877Memuat

Pemberian Gelar “Kiai” Kepada

Mohamad Jasin, ....................................................... 113

Page 20: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ xviii ~

Page 21: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 1 ~

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pentingnya Ilmu Sejarah dan Studi Perkotaan

Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang

mengkaji secara sistematis keseluruhan perkembangan

proses perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat

dengan segala aspek kehidupannya yang terjadi di masa

lampau.1 Bidang kajian sejarah cukup luas, satu diantaranya

adalah tema sejarah kota. Sejarah perkotaan atau urban

history pada dasarnya merupakan bidang studi internasional

yang ingin mencoba menjawab beberapa pertanyaan dasar

mengenai nature of our societies, dengan menggunakan

pendekatannya yang cenderung multidisiplin.2

Sejarah perkotaan mempunyai hubungan erat dengan

sejarah lokal ataulocal history, dan studi tersebut difokuskan

pada masalah lokal, atau beberapa aspek dari kehidupan di

komunitas lokal yang berhubungan dengan aktivitas manusia

maupun lingkungan.

1Ludwig Von Mises, Theory and History An Interpretation of Social and

Economic Evolution (Alabama: von Mises Institute, 2007), hlm. 257 & 323. 2Dieter Schott, “Urban Environmental History: What Lessons are There to

be Learnt?”, dalam Boreal Environment Research, 2004, hlm. 521.

Page 22: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 2 ~

Konteks sejarah suatu wilayah perkotaan memiliki

banyak aspek. Satu diantaranya adalah sejarah yang

berhubungan dengan penentuan Hari Jadi daerah. Penentuan

hari jadi suatu daerah berkaitan dengan sejarah daerah itu

sendiri. Sejarah daerah merupakan gambar rangkaian

kejadian­kejadian yang melibatkan para pemimpin dan

masyarakat warga daerah tersebut. Dengan kata lain bila

mempelajari sejarah suatu daerah berarti mempelajari

sejarah masyarakat daerah itu. Dalam hal ini sejalan dengan

bidang garapan sejarah, yang membatasi diri terhadap

pembahasan dinamika manusia secara perorangan dan

masyarakat. Dinamika masyarakat dari satu masa ke masa

berikutnya merupakan sejumlah kejadian yang begitu

banyak, sebanyak “pasir” yang pernah ditemui.3

Sejarah akan memilih kejadian­kejadian yang

merupakan hasil karya manusia sesuai dengan konsep yang

telah ditentukan sasarannya. Sasaran itu merupakan kejadian

yang menarik pada masa lalu untuk untuk kepentingan masa

kini dan masa yang akan datang. Kejadian yang merupakan

3Taufik Abdullah, “Wisata Budaya: Sekitar Penentuan Hari Jadi Unit

Adminitratif”, makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Kaji Ulang Hari Jadi Majalengka di Majalengka tanggal 30 Agustus 2005, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, hlm.1­2.

Page 23: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 3 ~

fakta sejarah itu merupakan rangkaian hubungan yang saling

berkaitan. Rangkaian fakta itu disusun sedemikian rupa

dengan penafsiran yang berpedoman pada pendapat dan

timbangan yang kritis, sambil melahirkan tanggapan sejarah

dalam jiwanya, sehingga fakta­fakta yang semula terpisah

dan terpecah­pecah, disusunlah suatu gambaran yang bulat

dan merupakan fakta­fakta yang saling berhubungan

sehingga mudah dipahami.4

Meskipun telah bermula sejak tahun 1950­an, tetapi

kecenderungan kota­kota untuk mencari “hari jadi mereka”

barulah menjadi gejala umum pada masa pemerintahan Orde

Baru. Jika telah ditetapkan oleh DPRD dan Walikota maka

hari jadi itupun dirayakan dengan berbagai cara. Melihat

gejala ini sangat menarik untuk untuk mengetahui bagaimana

kota­kota tersebut “mendapatkan hari jadi mereka”.

Bukankah umumnya kota hanya tumbuh saja tanpa diketahui

kapan dan prosesnya.

4Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto

(Jakarta: UI Press, 1975), hlm. 32.

Page 24: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 4 ~

B. Dasar Penentuan “Hari Jadi Kota” Tidak Sembarangan!

Menentukan Hari Jadi Kota tentunya tidak asal atau tidak

sembarangan. Menurut pendapat sejarawan Taufik Abdullah,

Pembahasan tentang kapan temporal munculnya kota dapat

dilacak dari beberapa kasus yang menjadi landasan

penentuan Hari Jadi kota­kota di Indonesia. Pertama, Hari

Jadi biasanya dikaitkan dengan nilai sejarah dan makna

simbolik, sesuatu yang berdasarkan subjektivisme kolektif,

tetapi dengan gaya kota­kota itu mendapatkan Hari Jadi

mereka pun berbeda­beda. Paling sederhana ialah kalau Hari

Jadi itu terkait dengan pendirian keraton, benteng, atau apa

saja yang memang bisa dianggap sebagai awal dari peranan

sebuah settlement menjadi "kota" dalam pengertian

sosiologis, yaitu sebagai pusat jaringan dari berbagai aktivitas

sosial bagi wilayah sekitarnya.5

Hal ini mungkin saja terjadi karena yang dianggap

sebagai Hari Jadiitu masih berada dalam ingatan kolektif

masyarakat setempat ataupun terekam dalam cacatan. Jika

mengikuti istilah Bernard Lewis, kasus ini bisa disebut

sebagai remembered history. Makna simbolik dari “tanggal”

ini terletak pada fakta pemahaman tentang dinamika kota itu

5Taufik Abdullah, loc.cit.

Page 25: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 5 ~

berdiri, sebab yang dipentingkan adalah sifat historicity atau

kesejarahannya. Misalnya, Hari Jadi Kota Yogyakarta dengan

mudah bisa dikaitkan saja dengan didirikannya keraton oleh

Mangkubumi setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755

ditandatangi. Dengan Hari Jadi,bukan saja kelahiran sebuah

kesultanan/keraton, kepahlawanan Mangkubumi melawan

intervensi Veerenigne oost Indische Compagnie (VOC) bisa

juga diperingati.6

Kasus kedua malah sangat bertentangan dengan kasus

yang pertama. Makna simboliknya­lah yang lebih lebih

dipentingkan, tetapi sialnya peristiwa yang sesuai bisa saja

tidak ada, maka dengan begini Hari Jadi pun didapatkan

berdasarkan penggabungan tahun terjadinya peristiwa

tertentu (seperti didirikannya benteng). Sementara tanggal

dan bulan berdasarkan hari lahir pemimpin yang dikagumi.

Jadi tanggal hanyalah alat untuk merayakan suatu simbol

yang bermakna. Kasus ini boleh disebut sebagai invented atau

prefabricated history. Kepastian sejarah hanyalah sekadar

penentuan waktu saja sebab yang penting adalah nilai yang

ingin dilekatkan pada Hari Jadi itu.

6 Ibid.

Page 26: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 6 ~

Kasus ketiga paling sering terjadi dengan kota­kota di

Jawa dan sebagian Sumatera (khususnya Palembang) yang

mempunyai peninggalan prasasti yang mempunyai angka

tahun. Hari jadi kota diambil saja berdasarkan penanggalan

dari prasasti yang ditemukan itu. Karena itu , maka terdapat

kota­kota yang mengklaim diri telah berumur ratusan tahun.

Jika kaitan antara kota dan prasasti itu bisa

dipertanggungjawabkan, meskipun sering agak meragukan

juga, hal ini bisa disebut sebagai recovered history.7

Paling menarik ialah kasus keempat. Sebuah peristiwa

yang membanggakan yang terjadi di daerah atau sekitar

daerah perkotaan diambil sebagai Hari Jadi Kota. Misalnya

Kota Jakarta. Kemenangan Fatahillah melawan Portugis dan

menukar nama Kalapa menjadi Jayakartaatau kota

kemenangan, dijadikan sebagai Hari Jadi Kota. Bahwa tanggal

pasti penggantian nama Kalapa menjadi Jayakarta itu masih

bisa diperdebatkan, almarhum Husein Djajadiningrat

umpamanya menyangsikan ketetapan tanggal yang diusulkan

Prof. Dr. Sukanto, yang telah terlanjur disetujui DPRD Jakarta,

tidak menjadi halangan karena peristiwanya cocok dengan

hasrat simbolik Jakarta sebagai kota kemenangan. Beberapa

7 Ibid.

Page 27: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 7 ~

kota di Sumatra, juga memakai pendekatan ini. Sebuah

peristiwa membanggakan dipakai sebagai Hari Jadi Kota.

Taufik Abdullah menyebutnya sebagai sejarah berdasarkan

persetujuan.8

Berdasarkan pendapat tersebut, bisa menjadi

pertimbangan penentuan Hari Jadi Kecamatan Satui,

Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Dalam

pemilihan fakta itulah kita akan mencari suatu tonggak

sejarah di Kecamatan Satui yang akan dijadikan sebagai Hari

Jadi. Mencari satu fakta sejarah tersebut tentunya harus

meneliti “serpihan” fakta­fakta sejarah di Kecamatan Satui

yang saling berangkaian sehingga memiliki makna, cukup

berkesan dan memiliki daya aspiratif yang prospektif-

konstruktif serta sejalan dengan dasar­dasar kehidupan

masyarakat Satui pada khususnya dan Bangsa Indonesia pada

umumnya.

Sejarah selalu berazaskan kausalitas dan kondisionalitas,

maka pemilihan fakta sejarah akan merupakan penulisan

kembali dalam penafsiran, sejalan dengan pemikiran generasi

yang mempelajarinya. Fakta itu sendiri tak akan berubah,

tetapi penafsiran akan diwarnai oleh dasar dasar pemikiran

8 Ibid.

Page 28: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 8 ~

generasi tersebut. “Mereka”akan bertanya tentang masa lalu.

Mendekati masa lalu hanya mungkin dengan bertolak dari

masa kini, masa kini adalah ujung masa lalu. Bertolak dari

ujung akan sampai ke pangkal. Sebab itu sejarah tidak akan

selesai­selesai, sejalan dengan “patah tumbuh hilang

berganti”­nya satu generasi ke generasi, dengan memahami

masa lalu, sejarah dapat membekali penentuan masa yang

akan datang.

Dalam penentuan fakta sejarah tentunya harus

mengikatkan diri kepada keobyektifan pemikiran, dalam arti

memilih fakta sejarah dengan penafsiran yang didasari atas

pengabdian terhadap pembangunan generasi mendatang

baik mental spiritual ataupun fisik materiil. Menyelusuri

tonggak sejarah yang bernilai aspiratif, prospektif-konstruktif

bagi penentuan Hari Jadi Kecamatan Satui, akan memberi

cerminan dinamika masyarakat Satui sebagai pengisi sejarah

itu sendiri. Ini berarti tonggak yang dapat di manfaatkan pada

masa kini untuk menentukan politik masa mendatang.

C. Sejarah Satui: Berangkat dari Masalah Sampai keTujuan

Dari narasi yang dipaparkan di atas, maka dapat

diidentifikasi beberapa fokus yang akan dikupas dalam buku

Page 29: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 9 ~

ini. Fokus masalah itu meliputi perkembangan Wilayah Satui

abad ke­19 dan abad ke­20 dan penentuan Hari Jadi

Satui.Berdasarkan narasi tentang fokus masalah tersebut,

maka ada dua permasalahan yang muncul dalam upaya

mengungkap tentang Hari Jadi Kecamatan Satui, Kabupaten

Tanah Bumbu. Permasalahan itu meliputi bagaimana

perkembangan wilayah Satui abad ke­19 dan abad ke­20,

kemudian bagaimana fakta­fakta sejarah yang mendukung

penentuan Hari Jadi Kecamatan Satui.

Adapuntujuan utama penulisan buku ini untuk

mengungkapkan Sejarah Kecamatan Satui. Kemudian

mengungkapkan fakta­fakta sejarah yang mendukung

penentuan Hari Jadi Kecamatan Satui, serta mengungkap

lintasan perkembangan Kota Satui abad ke­19 dan abad ke­

20. Penulisan buku ini juga diharapkan dapat menunjang

penulisan sejarah lokal di wilayah Satui khususnya dan

Kabupaten Tanah Bumbu pada umumnya. Dalam arti yang

luas adalah pengembangan dari penulisan sejarah kota yang

juga bermanfaat untuk penulisan sejarah lokal.

Penulisan buku ini juga bermanfaat praktis yakni sebagai

masukan bagi pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu tentang

“pendidikan kebijakan”, agar transformasi dan rekayasa

Page 30: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 10 ~

sosial berjalan sesuai dengan apa yang masyarakat kenal

dengan baik.Manfaat lainnya, bagi pengembangan Program

Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unlam, hasil penelitian ini

dapat digunakan sebegai rujukan untuk pengembangan

sejarah lokal dengan tema sejarah kota. Hasil ini diharapkan

dapat menjadi masukan dalam pengembangan penelitian

perkembangan kota, khususnya perkembangan ekologi dan

dinamika perkotaan.

Page 31: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 11 ~

BAB II

RUJUKAN DAN TEORI-TEORI SEJARAH PERKOTAAN

A. “Pembanding” Penulisan Sejarah Satui

Sumber tertulis tentang wilayah Satui memang cukup

minim. Terlebih tentang Hari Jadi dan dinamika sejarah

wilayah Satui. Informasi tentang Satui hanya terdapat di

beberapa catatan­catatan awal para peneliti pada masa

Pemerintahan Hindia Belanda. 9 Kepustakaan yang erat

dengan topik penelitian ini diperoleh dari sebuah buku

tentang kota­kota di Jawa, yang berisikan sekumpulan

artikel persembahan kepada Prof. Djoko Suryo, Guru Besar

IlmuSejarah pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu

9Catatan awal tentang wilayah Satui terdapat dalam artikel H. van

Lokhorst, “Schets Eener Geneeskundige Plaatsbeschrijving de Afdeeling Tanah Laut (Zuid en Oosterafdeeling van Borneo)”, terbitan tahun 1863. Lokhorst menuliskan Distrik Satui, Distrik Pleihari dan Distrik Maluka merupakan wilayah Afdeeling Tanah Laut. Distrik Satui berada di wilayah utara Afdeeling tanah laut dan banyak mengandung berlian. Kemudian dari laporan eksplorasi von Dewall dan van Gaffron, yang ditulis Theodore Posewitz, dalam “Borneo: Its Geology and Mineral Resources” tahun 1892 menyebutkan Satui adalah wilayah perbukitan bagian dari rantai pegunungan di tenggara Kalimantan dengan ketinggian 4.200 kaki dari permukaan laut.

Page 32: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 12 ~

Budaya,Universitas Gadjah Mada sebagai “kado ulang

tahun”nya yang ke­70 pada 30 Desember 2009 lalu.10

Dari kumpulan artikel tersebut, terdapat tiga artikel,

masing karya dari Susanto yang membahas tentang Jati Diri

Koto Solo: Problem Sebuah Kota di Jawa. Susanto dalam

karyanya menggunakan buku, koran, arsip, naskah dan

wawancara. Hematnya, kelahiran dan perkembangan kota

Solo mengalami keunikan. Keunikan menjadi “tidak unik”,

ketika pada tahun 1980­an kota Solo mengalami

modernisasi yang mengutamakan pembangunan fisik

memunculkan hedonisme yang menggeser nilai­nilai hidup

yang awalnya sebagai penanda keunikan kota itu seperti

kota­kota lainnya.11

Kemudian tulisan Prima Nurrahmi Mulyasari,

Runtuhnya Sebuah Kejayaan:Kota Banyumas 1900-1937.

Artikel ini menggunakan sumber arsip yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan, buku, artikel, skripsi dan tesis.

Hematnya, berbanding terbalik dengan kota­kota di Jawa

lainnya, justru kota Banyumas pada awal abad ke­20 tidak

10Prima Nurrahmi Mulyasari dkk, Kota-Kota di Jawa; Identitas, Gaya

Hidup, dan Permasalahan Sosial (Yogyakarta: Ombak, 2010). 11Ibid, hlm. 35­48.

Page 33: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 13 ~

berkembang. Ketiadaan sarana transportasi sebagai faktor

utama dalam pendukung mobilitas ekonomi tidak dinikmati

oleh masyarakat.12

Berikutnya, tulisan Sarjana Sigit Wahyudi, Urbanisasi

dan Migrasi di Kersidenan Surabaya Akhir abad XIX dan Awal

Abadke-20. Sumber yang digunakan dalam artikel lebih

banyak menggunakan buku. Hematnya, perkembangan kota

di Surabaya sejak abad 19 dan awal abad 20 diiringi oleh

perkembangan infrastruktur dan meluasnya investasi

membuat pertumbuhan ekonomi perkotaan. Pertumbuhan

ekonomi Surabaya menggiurkan, sehingga terjadi urbanisasi

khususnya orang­orang Madura ke Kota Surabaya.13

Dari artikel di atas tentang sejarah perkotaan,

tampaknya isu yang dilontarkan oleh para penulis sangat

dipengaruhi oleh Kuntowijoyo dalam bukunya tentang

metodologi sejarah, khususnya pada Bab 4 yang membahas

tentang sejarah kota. Hemat Kuntowijoyo, mendiskusikan

tentang sejarah kota permasalahan antara lain, (1)

perkembangan ekologi, (2) transformasi sosial ekonomis,

(3) sistem sosial, (4) problem sosial, dan (5) mobilitas sosial.

12Ibid, hlm. 19­34. 13Ibid, hlm. 189­109.

Page 34: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 14 ~

B. Asumsi Teori Sejarah Kota

1. Munculnya Kota dan Perkembangannya

Munculnya kota selalu dikaitkan dengan peradaban.

Maka lirikan tertuju pada peradaban Asia Barat Daya di

daerah­daerah yang membentang dari Lembah Sungai Nil

hingga Sungai Tigris dan Eufrat. Katakan saja dengan

munculnya Kota Mesopotania (di daerah Irak bagian

selatan) sekitar abad 3500 Sebelum Masehi. Kota

dirancang untuk difungsikan sebagai benteng sekaligus

sebagai pusat perdagangan hasil pertanian. Mesopotania

sebagai kota tidak muncul begitu saja, melainkansecara

bertahap. Tahapan perkembangan dapat disamakan

dengan teori evolusi. Dalam teori evolusi, perkembangan

kota selalu dikaitkan dengan desa.

Kaum evolusioner beranggapan, bahwa desa

mewakili masyarakat yang bersahaja (tradisional),

sedangkan kota mewakili masyarakat modern.

Pandangan di atas bila dikaitkan dengan Bahasa

Sansekerta tampaknya menjadi kesatuan yang terpadu.

Dalam Bahasa Sansekerta, kota dilawankan dengan desa,

yang berarti daerah pedalaman, daerah, mukim, tempat,

daerah momongan atau daerah yang diperintah. Desa

Page 35: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 15 ~

apabila diartikan secara lentur, merupakan sebuah kata

yang menerangkan tentang permukiman di pedalaman,

dunia kaum tani, penyewa tanah dan kaum jelata.

Dikotomi antara kota dan desa juga mengisyaratkan

adanya dua bentuk masyarakat, yaitu masyarakat

tradisional dan modern, seperti yang disebut oleh

Tonnies, yaitu gemainschaft dan gesellschaft, kemudian

Durkheim mengistilahkannya dengan solidaritas mekanis

dan solidaritas organis, serta Redfield yakni masyakat folk

dan urban.

Perkembangan suatu wilayah menjadi kota, menurut

paradigma evolusionis ditandai oleh istilah yang berbeda

antar tahapan. Seperti pandangan E.EBergel: 14

a. Village (desa),sebutan untuk setiap tempat

permukiman para petani. Ciri utama satu desa dengan

desa lainnya tidak saling mendominasi.

b. Town (kota kecil), suatu pemukiman perkotaan yang

mendominasi lingkungan desa. Karekteristik town; (a)

mendominasi desa; (b) memiliki derajathomogenitas

yang menyerupai desa sekitar;

14Purnawan Basundoro, “Penduduk dan Hubungan Antaretnis di Kota

Surabaya Pada Masa Kolonial”, Jurnal Paramita, vol. 22, No.1, 2012. hlm.20.

Page 36: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 16 ~

c. City (kota besar), cirinya antara lain; (a) perbedan city

dan town sangat gradual, yaitu perbedaan jumlah

tingkatan; (b) bersifat lebih kompleks; (c) mempunyai

tingkat diferensiasi yang tinggi; (d) cerminan lengkap

dari konsentrasi manusia dalam suatu ruang.

d. Metropolis (kota hidup) dulu jenis kota ini ditandai

secara kuantitatif yaitu jumlah penduduknya lebih

1.000.000 jiwa, akan tetapi banyak kota yang memiliki

penduduk lebih dari 1.000.000 namun tidak memiliki

kualitas urban. Pada saat ini, katagori metropolis

ditandai arti internasional atau supranasional.

Pandangan kaum evolusioner di atas memperlihatkan

perkembangan dari sebuah desa menjadi sebuah kota.

Lebih lanjut kaum evolusioner menerangkan setelah

menjadi kota ia pun berkembang lagi, seperti yang

ditawarkan oleh Lewis Mumford. 15 Rumusan tentang

perkembangan kota, sebagai berikut:

a. Eopolis, kota merupakan satu pusat dari daerah­daerah

pertanian,mempunyai adat istiadat bercorak kedesaan;

15S.Menno dan Mustawin Alwi, Antropologi Perkotaan (Jakarta: Rajawali

Pers,1992), hlm. 27.

Page 37: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 17 ~

b. Polis, kota sebagai pusat kehidupan beragama dan

pemerintahan;

c. Metropolis, kota yang bercirikan wilayah yang kurang

luas dan penduduknya beragam etnis dan ras. Secara

fisik jenis kota metropolis memamerkan kemegahan,

tetapi sebaliknya secara sosial mempertontonkan dua

kutub berbeda antara kelompok kaya dan miskin;

d. Megapolis, jenis kota ini dari pada dasarnya

merupakan perluasan dari metropolis. Dalam konteks

ini, fenomena sosio-patologi sangat tinggi, birokrasi

kuat menopang munculnya kekayaan dan kekuasaan,

tetapi kemiskinan merajalela membuat masyarakat

mengalami depresi, sehingga mendorong terjadinya

pemberontakan massa.

e. Tiranopolis, jenis kota ini ditandai dengan tingkat

perkembangan sehingga terjadinya merosotnya moral

penduduk, maraknya kejahatan dan kemaksiatan,dan

munculnya kekuatan kaum proletariat yang sewaktu­

waktu dapat menyulutkan pemberontakan yang

melanda kota;

Page 38: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 18 ~

f. Nekropolis, jenis kota ini ditandai dengan kehancuran

kota­kota yang berkeping dan peradaban mengalami

keruntuhan.

Pandangan dari tahapan kota seperti yang

ditawarkan oleh kaum evolusioner kadang­kadang secara

realitas tidak terbukti, katakan saja, tidak semua desa

menjadi kota. Begitu juga tahapan kota dari Mumford,

banyak kota sebelum mencapai tahapan megapolis sudah

menjadi kota mati. Menarik pandangan dari Horton dan

Hunt, setelah mereka mempelajari munculnya kota­kota

peradaban besar dalam sejarah yaitu di Lembah Sungai

Nil, Tigris dan Euphrat. Ia berpendapat, munculnya kota

harus mempunyai tiga persyaratan, yaitu, surplus pangan,

penyedian air dan transportasi. Daerah­daerah subur

akan menghasilkan surplus panen dan tentunya

berdampak pada surplus pangan. Air diperlukan sebagai

kebutuhan pokok penduduk, sedangkan sungai yang lebar

dan tenang memungkinkan terselenggaranya transportasi

air untuk mobilitas penduduk dan ekonomi.16

16Lihat B. Horton & Chester L. Hunt, Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1999),

hlm. 137.

Page 39: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 19 ~

Senada dengan Horton, Gideon Sjoberg,

mengemukakan syarat agar suatu wilayah berkembang

menjadi kota, yaitu (1) ekologi yang mendukung

mudahnya sarana air dan terpenuhinya kebutuhn pangan;

(2) teknologi terutama yang mendukung sektor

pertanian, sehingga mencapainya surplus pangan; dan (3)

adanya dukungan organisasi sosial yang ajeg. Jhonson

menambahkan, berkembangnya desa menjadi kota,

antara lain wilayah itu menjadi pusat keagamaan, daerah

pusat pemerintahan dan pusat perdagangan ataupun

industri. Faktor lain lagi berkembang sebuah kota,

khususnya di Indonesia yang tidak bisa ditampik adalah

kolonial.17

2. Perkembangan Kota di Indonesia

a. Kota­Kota Tradisional

Mencermati perkembangan kota­kota menurut

pendapat Djoko Suryo18 dapat dibedakan atas tiga fase

perkembangan, yaitu periode awal/kuna/lama,

17Giddeon Sjoberg,ThePreindusrialCityPastandPresent (Tronto­ Collier­

Mcmillan, 1965), hlm. 27; Basundoro, op.cit., hlm. 24. 18 Djoko Suryo, “Transformasi Masyarakat Indonesia” dalam

Historiography Indonesia Modern (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Jurusan Sejarah FIB UGM, 2009), hlm. 102.

Page 40: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 20 ~

kolonial dan modern. Tipe kotanya dapat dibedakan

antara tipe kota pedalaman atau kota agraris dan kota

pantai atau kota perdagangan. Karekteristik kota­kota

itu dapat dicermati melaluipersfektif evolusioner.

Dalam konteks ini perkembangan kota­kota di

Indonesia dapat dikelompokkan dalam tiga kategori,

yaitu (1) kota tradisional (kota­kota pra kolonial), (2)

kota kolonial dan (3) kota pascakolonial. Munculnya

kota tradisional, hemat Sjoberg bertautan erat dengan

hadirnya golongan literati (pujangga, sastrawan dan

kaum agama). Pandangan ini mengisyaratkan, bahwa

ciri sebuah kota secara esensi munculnya pembagian

kerja.

Selanjutnya Sjoberg membagi masyarakat menjadi

tiga tipe, yaitu (1) the folk atau preliterate society; (2)

the feudal (pre-industrial civilized atau literate

preindustrial society) dan (3) the industrial urban

society. Hematnya dua masyarakat tipe terakhir ini

bertalian dengan perkembangan sebuah kota.

Berdasarkan pada pandangan di atas, bahwa kota­

kota di Indonesia muncul diawali dengan muncul

Kerajaan Sriwijaya dengan basis agama Budha di

Page 41: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 21 ~

Palembang. Jenis kota ini dikategorikan kota maritim

dengan basis ekonomi perdagangan. Seiring dengan itu

muncul kota pedalaman yaitu Kerajaan Majapahit

dengan Hindu­Budha dengan basis perekonomian

agraris yang kuat.

Pada abad ke­16 dan ke­17, pasca keruntuhan

Sriwijaya dan Majapahit muncul kota­kota pesisir

denganbasis agama Islamnya, seperti Demak, Aceh,

Makassar, Banten, termasuk Banjarmasin. Beriringan

dengan ramai jalur perdagangan dengan Cina, India

dan lain sebagainyakota­kota pelabuhan bertemu

dengan merkantalisme Barat, yaitu Portugis, Spanyol,

Inggris dan Belanda.

Page 42: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

Gambar 1. Kota Tradisional Banjarmasi

Sumber: Lukisan “Bestand: Rivier bij Bandjermasin”, Karya 1852, koleksi commons.wiki

Patut diketengahkan dalam tulisan ini, bahwa

pada tahun

pedagang santri, ulama, wali dan

penting dalam syiar agama dan kebudayaan Islam.

Umumnya mereka tinggal di kota

mampu menciptakan tradisi di kota

~ 22 ~

Gambar 1. Kota Tradisional Banjarmasin Pada Abad ke

Sumber: Lukisan “Bestand: Rivier bij Bandjermasin”, Karya Schwaner pada tahun commons.wiki-media.org.

Patut diketengahkan dalam tulisan ini, bahwa

tahun 1400­1700, peranpara santri pedagang,

pedagang santri, ulama, wali dan mubaligh

penting dalam syiar agama dan kebudayaan Islam.

nya mereka tinggal di kota­kota pelabuhan dan

mampu menciptakan tradisi di kota

n Pada Abad ke-19

Schwaner pada tahun

Patut diketengahkan dalam tulisan ini, bahwa

1700, peranpara santri pedagang,

mubaligh berperan

penting dalam syiar agama dan kebudayaan Islam.

kota pelabuhan dan

mampu menciptakan tradisi di kota­kota lama

Page 43: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 23 ~

Indonesia. Kelak kota­kota selalu ditandai dengan

kehadiran pasar, masjid dan pemerintahan. Hal ini

dapat dikatakan, bahwa kota bukan saja sebagai pusat

politik dan kebudayaan bagi masyarakatnya, tetaapi

juga berfungsi sebagai pusat­pusat magis kerajaan itu

sendiri, atau oleh Gertz disebut sebagai

doctrineoftheexemplary.19

Struktur pemerintah yang berkembang baik masa

Hindu/Budha dan Islam, yaitu struktur pemerintah

patrimonial. Struktur pemerintah model ini, anggota

birokrasinya atau kaum elitenya merupakan kerabat

kepala negara. Para kepala negara sesuai dengan jiwa

zaman pada masa itu membangun simbol­simbol

berujud mitos, bahwa ia sebagaiperpanjangan para

dewa (deva­raja).

Konsep deva-raja secara hakiki pada masa era

Islam tidak berubah, cuma istilah yang berubah, yaitu

para kepala negara selalu memakai gelar khalifah. Raja

atau Sultan sebagai pemegang jabatan tertinggi dalam

hierarki kerajaan, mempunyai kekuasaan yang sangat

19Clifford Geertz, Negara, The Theatre State in Nineteenth Century Bali

(New Jersey: Princeton University Press, 1980), hlm.16.

Page 44: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 24 ~

besar. Hal ini terlihat dengan terdapatnya atribut­

atribut kerajaan atau kingship, seperti benda­benda

pusaka, gelar, ataupun geneologi yang berfungsi

sebagai legitimasi Sultan sebagai penguasaa. Dalam

konteks ini, pemegang jabatan yang tertinggi

memegaangjabatan yang dualistis, yaitu sebagai

pemimpin duniawi dan rokhani (manunggal). Konsep

pemegang kekuasaan dunia dan rokhani berpengaruh

besar terhadap kota­kota tradisional.

Pada periode 1400­1700, kota­kota di Nusantara

berfungsi sebagai wadah dalam dinamika kebudayaan.

Kota­kota itu menjadi tempat pengalihan dan

penerimaan unsur budaya dari luar, sekaligus menjadi

pusat dialog budaya luar dan lokal yang menghasilkan

sintesa budaya bagi pengayaan kebudayan lokal dalam

arti sempit dan kebudayaan nasional dalam arti luas.

Unsur­unsur budaya hasil dari dialog budaya, menjadi

pondasi lokal yang kelak menjadi akar budaya

Indonesia baru. Dalam sisi lain kota sudah berperan

sebagai pusat dinamika kebudayaan telah berlangsung

dalam waktu panjang, diawali pada masa­masa awal

pertumbuhan kota­kota di Indonesia.

Page 45: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 25 ~

b. Kota Kolonial

Mendiskusikan siapa, kapan dan dimana,

pemerintah kolonial membangun kota­kotanya di

Nusantara, tampaknya harus melacak sejarah. Dalam

catatan sejarah, orang­orang Eropa yaitu Portugis dan

Belanda mendarat di kota­kota tradisional yang sudah

maju dan terletak di pantai. Dalam artian, bahwa

mereka mendarat di kota­kota tradisional yang sudah

ada kekuasaan formal, yaitu kerajaan­kerajaan pesisir.

Dalam konteks ini, kota yang dibangun oleh

pemerintah kolonial adalah Batavia, yaitu pada tahun

1619. Sebelum membangun Batavia, Belanda telah

membuat sebuah rancangan yang disebut

plandeBatavia.20

Ciri­ciri kota yang dibangun oleh pemerintah

kolonial Belanda pada awal abad ke­17, mengikuti gaya

bangunan di Eropa yang memiliki empat musin dengan

mengimitasi ke kawasan tropis. Kota­kota di tepi

pantaidibuat dengan bangunan pola berkotak dengan

jalan dan kanal sebagai batas antar blok. Katakan saja

bangunan­bangunan adalah pos­pos perdagangan,

20Basundoro, op.cit., hlm.91.

Page 46: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 26 ~

benteng militer, dan kota yang dilindundungi oleh

benteng. Tipologi ini menurut P.J.M Nas merupakan

refleksi perasaan paranoid orang Eropa, karena

diserang oleh penduduk lokal. Kota Surabaya dan

Makassar merupakan contohnya.

Kota­kota masa yang dibangun pada masa kolonial

di Indonesia mengalami perkembangan yang berarti

pada awal abad ke­19 pada masa Pemerintah Kolonial

Belandadi bawah Daendels (1808­1811). Daendels

melancarkan apa yang disebut reorganisasi

administrasi pemerintahan dalam bentuk prefektur.

Kebajikan kemudian diteruskan pada masa Raffles

(1811­1816) dengan membentuk sistem residen dan

kabupaten. Fakta sejarah ini dapat ditafsirkan sebagai

sebuah tanda kelahiran kota­kota administrasi baru di

tanah jajahan.

Menurut tulisan Paulina Dublin Milone,21 pada

tahun 1854 wilayah teritorial Belanda terbagi atas

wilayah administratif non-otonom yang disebut, gewest

(wilayah administrasi yang dikepalai oleh Gubernur

atau Residen), afdeling (bagian wilayah) dikepalai oleh

21Djoko Suryo, op.cit., hlm.109.

Page 47: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 27 ~

Asisten Residen; kabupaten dikepalai oleh bupati;

onderafdeeling dikepalai oleh controleur; district

dikepalai oleh Asisten Wedana atau Camat; desa/wijk

dikepalai oleh lurah atau wijksmester untuk penduduk.

Penduduk kota dibuat sesuai dengan stratifikasi etnis.

Pembagian pemisahan ini diatur oleh regering

reglement 1894. Masyarakatpada masa ini terbagi atas

3 golongan, yaitu, (1) Golongan Eropa, (2) Golongan

Orang Asing Timur dan (3) Golongan Pribumi.

Jenjang golongan sekaligus terwujud dalam

pembagian tata ruang kota, yang sengaja memisahkan

antar kelompok etnis. Hal ini terlihat, bahwa di kota­

kota terbangun kawasan khusus untuk orang Eropa,

Pecinan untuk orang Tionghoa, Perkampungan

Arabuntuk orang Arab dan terakhir kawasan Kampung

Melayu, khusus untuk pemukiman pribumi.

Pemukiman untuk pribumi pun dibagi lagi dalam

kawasan tertentu, misalnya Kampung Bugis, Kampung

Jawa, Kampung Ambon, Kampung Melayu, Kampung

Banjar dan sebagainya Kawasan etnis ini sengaja

dibangun berdasarkan etnis agar pemerintah kolonial

dengan mudah mengontrolnya.

Page 48: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 28 ~

Pada tahun 1855, pemerintah kolonial Belanda

membentuk lembaga Direktorat Pekerjaan Umum yang

mandiri bernama Burgelijke Openbare Warken yang

melatih para arsitek sipil dan mengerjakan beragam

pekerjaan sipil di perkotaan.22 Misalnya membangun

pasar, rumah sakit, sekolahan, sarana olah raga,

makam, tempat­tempat hiburan dan lain sebagainya.

Puncak perencanaan kota terjadi pada tahun 1903

ketika Pemerintah kolonial mengeluarkan Undang­

Undang.

Berdasarkan Undang­Undang muncul kota­kota

otonom untuk menyelenggarakan pemerintahan

secara mandiri tidak tergantung pada pemerintah

pusat. Kota­kota otonom itu diberi status gemeente dan

berkembang menjadi statusstadsgemeente. Kota­kota

gemeente itu antara lainnya adalah Batavia, Meester

Cornelis (sekarang menjadi Jatinegara di Jakarta),

Bogor, Surabaya, Blitar, Pekalongan, Magelang, Kediri,

Bandung, Malang dan lain sebagainya.

22Nash dalam Basundoro, op.cit., hlm.21.

Page 49: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

Gambar

Sumber :Kaart van het oude Batavia

Hemat Djoko Suryo, kota

menjadi pusat modernisasi, pusat birokrasi

pemerintah,

mulai berkembang, munculnya budaya

mezzo-culture

Indonesia baru, ahirnya golongan elite Indonesia baru

~ 29 ~

Gambar 2. Kota Batavia pada Abad ke

oude Batavia, Koleksi Tropen Museum, Netherland.

Hemat Djoko Suryo, kota­kota kolonial kelak

menjadi pusat modernisasi, pusat birokrasi

pemerintah, segreragasi penduduk dan spesialisasi

mulai berkembang, munculnya budaya

culture yang kelak mendasari terbentuknya kota

Indonesia baru, ahirnya golongan elite Indonesia baru

. Kota Batavia pada Abad ke-18

, Koleksi Tropen Museum, Netherland.

kota kolonial kelak

menjadi pusat modernisasi, pusat birokrasi

penduduk dan spesialisasi

mulai berkembang, munculnya budaya indies atau

ak mendasari terbentuknya kota

Indonesia baru, ahirnya golongan elite Indonesia baru

Page 50: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 30 ~

dan kelak memunculan kesadaran sejarah dan

kesadaran kebangsaan.23

c. Kota Indonesia Baru

Proklamasi 17 Agustus 1945, merupakan penanda

berakhirnya masa kolonialis Belanda di bumi

Indonesia. Katakan saja perubahan kebudayaan Indises

ke kebudayaan Indonesia. Masa itu juga dapat

dikatakan telah terjadinya perubahan sosial dari

masyarakat yang terjajah menjadi masyarakat yang

merdeka. Beriringan dengan perubahan sosial itu telah

terjadi pula perubahan beragam dimensi kehidupan,

baik politik, pendidikan, administrasi pendidikan, ilmu

pengetahuan, teknologi, sosial dan kebudayaan.

Katakan saja telah terjadi perubahan kebudayaan

Indises ke kebudayaan Indonesia.

Pasca kemerdekaan, kota­kota di Indonesia dapat

dikenali dari “tanda­tanda” menurut statusnya dalam

struktur tata­negara dan administrasi pemerintahan.

Kota­kota kecil umumnya merupakanibukota

kabupaten dan kecamatan. Di atas ibukota kabupaten

adalah kotamadya (kotapraja) sejajar dengan daerah

23Djoko Suryo, op.cit., hlm. 110.

Page 51: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 31 ~

otonom tingkat II. Kotamadya dengan

predikatnyaberstatus otonom, ia berhak mengatur dan

menata sesuai dengan sumber­sumber yang dimiliki.

Sebagian kotamadya ada yang menjadi ibukota

provinsi, ada juga yang tidak. Misalnya kota Bogor,

Pare­pare, Banjarbaru dan lain sebagainya. Di atas

kotamadya dan merupakanjenjang kota yang lebih

tinggi adalah kota metropolitan (Jakarta) yang

menyandang predikat sebagai daerah otonom tingkat I

(provinsi) sekaligusberkedudukan sebagai ibukota

Republik Indonesia. Status kotametropolitan tidak

hanya diperuntukan untuk kota Jakarta sebagai

Ibukota Republik Indonesia. Sesuai dengan

perkembangannya kota­kota besar seperti Semarang,

Surabaya, Bandung, Medan dan Makassar mempunyai

potensi menjadi kotametropolitan. Selain itu, ada juga

kota­kota yang mempunyai predikat daerah istimewa,

karena keunikan dalam proses sejarah. Misalnya

Daerah Istimewa Jakarta, Yogyakarta dan Aceh.

Pergeseran era yang dimulai pasca kemerdekaan

sampai era reformasi (1950 sampai kekinian) juga

diikuti dengan perkembangan kota­kota. Misalnya, dari

Page 52: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

kotaIndies

menjadi pusat transformasi budaya perkotaan di

Indonesia yang menjadi pusat kebudayaan Indonesia

baru pada era kekinian.

Gambar 3. Sudut Kota

Sumber: Koleksi Arsip Nasional Museum Lambung Mangkurat.

Pergeseran ini memunculkan kecenderungan baru

dalam simbolisme perkotaan. Fakta

keberadaan maraknya kegiatan industri pertunjukan,

24 Ibid, hlm. 111.

~ 32 ~

menjadi kota Indonesia baru, sekaligus

menjadi pusat transformasi budaya perkotaan di

Indonesia yang menjadi pusat kebudayaan Indonesia

baru pada era kekinian.24

Gambar 3. Sudut Kota Banjarmasin Tahun 1950

Sumber: Koleksi Arsip Nasional Museum Lambung Mangkurat.

Pergeseran ini memunculkan kecenderungan baru

dalam simbolisme perkotaan. Fakta

keberadaan maraknya kegiatan industri pertunjukan,

menjadi kota Indonesia baru, sekaligus

menjadi pusat transformasi budaya perkotaan di

Indonesia yang menjadi pusat kebudayaan Indonesia

Banjarmasin Tahun 1950-an

Pergeseran ini memunculkan kecenderungan baru

dalam simbolisme perkotaan. Fakta­fakta tentang

keberadaan maraknya kegiatan industri pertunjukan,

Page 53: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 33 ~

penerbitan buku, majalah, suratkabar, super mall, mall,

perumahan elite, mobil­mobilbaru yang menghiasi

jalan­jalan di kota, media audio visual­film,ragam

musik, radio dan telivisi, sastra, media massa, bioskop,

yang kesemuanya itu merupakan simbol­simbol

perkotaan buah dari proses ekspansi pasar.

Pada abad 21 dampak dari perkembangan kota­

kota baru yang tidak dapat dipisahkan dari

perkembangan kota induk dan kota­kota sekitar

berdampak terbentuknya sistem metropolitan, yaitu

satu kelompok kota yang terdiri­dari kota induk dan

satelitnya. 25 Hal ini mengisyaratkan adanya saling

ketergantungan antara kota induk dengan kota­kota

baru di sekitarnya. Misalnya kotametropolitan Jakarta

dengan kota­kota satelitnya, yaitu Tanggerang,

Serpong, Bekasi dan Depok. Fenomena ini menarasikan

kota­kota itu sangat tergantung kepada Jakarta sebagai

kota induk, karena ia merupakan pusat kegiatan sosial

dan ekonomi yang sudah ajeg. Hal ini juga membuat

Jakarta selalu diminati oleh para migrant untuk

25Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar Oppset, 2007), hlm.28.

Page 54: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 34 ~

mengadu nasib, sehinggaterjadi proses urbanisasi

besar­besaran ke kota itu.

Menarik juga dicermati pendapat Irwan

Abdullah, 26 bahwa pengembangan permukiman di

kota­kota baru oleh para pengembangnya hanya untuk

para professional muda kota, karena kelompok ini

yang mampu membelinya. Hal ini mengisyaratkan,

bahwa penduduk kota­kota baru terdiri dari

komunitas professional dan kelompok yang menguasai

kapital ekonomi tinggi, tidak diperuntukan untuk para

migrant dari desa. Fenomena ini, mengisyaratkan,

bahwa kaum profesionalis tidak menyukai tinggal di

pusat­pusat industri, ia memilih pemukiman yang hijau

dan tenang.

Fenomena era reformasi menarik juga dicermati

dengan munculnya kebijakan tentang perubahan

predikatkota. Perubahan ditandai dengan muncul

kebijaksanaan tentang pemakaran wilayah. Katakan

saja, kota administratif menjadi kotamadya, Banten

yang dulunya sebuah kota di provinsi Jawa Barat

berubah statusnya menjadi ibukota Provinsi Banten.

26Ibid, hlm. 32.

Page 55: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 35 ~

Paling menarik lagi adalah desa yang berubah menjadi

ibukota kecamatan, katakan saja Desa Sungai Danau

yang menjadi Kota Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah

Bumbu.

3. Penentuan Hari Jadi Kota-Kota di Indonesia

Menurut Taufik Abdullah, adanya kebebasan dalam

menentukan Hari Jadi. Semua bisa diatur asal saja

disetujui semua pihak, tetapi harus disadari bahwa kota

memang mempunyai kebebasan relatif untuk

menentukan Hari Jadi­nya. Walaupun kehadiran kota

sebagai kesatuan administratif ditentukan oleh keputusan

politik, tetapi kota lebih daripada sekadar kesatuan

administratif. Disamping sebuah wilayah tempat tinggal

dengan segala infrastrukturnya, kota adalah pula pusat

dari berbagai jaringan/networks mulai pemerintahan,

pasar, pendidikan, dan sebagainya, bagi wilayah

sekitarnya. Jadi tanpa keputusan politik untuk

menentukan statusnya sebagai kota atau

kotapraja/gemeente, kota itu telah “kota” juga dari sudut

perannya.27

27Taufik Abdullah,op.cit., hlm. 2 ; lihat juga Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu

Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005), hlm. 37.

Page 56: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 36 ~

Kebebasan relatif yang dipunyai kota/kotapraja

untuk menentukan Hari Jadi ini tidak dipunyai oleh

propinsi. Sebab besar atau kecil, otonom atau tidak,

propinsi tak lebih daripada kesatuan wilayah

administratif yang kehadiran dan batas­batasnya

ditentukan oleh keputusan politik pemerintah pusat. Kota

bisa tumbuh dengan sendirinya, dengan atau tanpa hak

administratif “kekotaan” yang diberikan oleh pusat

pemerintahan, sedangkan eksistensi propinsi sepenuhnya

ditentukan oleh keputusan politik dan administrasi

pemerintahan modern. Jadi boleh dikatakan secara

teoretis penentuan Hari Jadi propinsi mempunyai

kebebasan yang terbatas. Kebebasan hanya mungkin

dalam memilih tanggal yang ditentukan oleh rezim yang

mana, kolonial atau pemerintah nasional.28

Propinsi tidak bisa mempunyai klaim sejarah apa­

apa dari masa sebelum kekuasaan kolonial. Propinsi

adalah pembagian wilayah yang modern, bermula ketika

kekuasaan kolonial telah bercokol dan sistem birokrasi

modern telah diperkenalkan. Propinsi murni merupakan

kesatuan administratif yang ditentukan kebijaksanaan

28 Ibid.

Page 57: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 37 ~

pusat pemerintahan. Bahwa dalam menentukan batas­

batas itu pemerintah pusat memperhitungkan faktor­

faktor sejarah, kebudayaan, dan sebagainya adalah suatu

kebijaksanaan belaka. Propinsi bagaimanapun juga

adalah sebuah unit administratif yang kehadirannya dan

batas­batasnya ditentukan sistem kekuasaan negara.29

Jika demikian halnya sudah bisa dipastikan bahwa

“umur propinsi” masih sangat muda. Umurnya tak

mungkin, bahkan sangat tak masuk akal, sampai ratusan

tahun. Juga sangat tak mungkin kalau tanggal dan tahun

berdirinya sebuah dinasti atau kerajaan dipakai sebagai

Hari Jadi. Mana mungkin Hari Jadi dari sebuah kesatuan

politik kekuasaan tradisional, dengan klaim tradisional

pula dipakai sebagai Hari Jadi dari daerah yang

merupakan bagian dari negara­bangsa modern. Jika hal

ini terjadi maka bukan saja berhadapan dengan

anakronisme sistem pemikiran tetapi memperkenalkan

klaim tradisional primordial dalam konteks negara

modern yang nasional. Akibatnya bisa diperkirakan, yaitu

29 Ibid.

Page 58: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 38 ~

disintegrasi pemikiran dalam konteks integrasi nasional,

tak terelakkan.30

Akan tetapi, bagaimana kalau dihilangkan kata

"propinsi"? Kalau demikian halnya tak lagi berhadapan

dengan sejarah yang menyangkut manusia, tetapi sejarah

geologis. Maka tanggalnya tidak akan pernah diketahui,

meskipun umurnya telah bisa diperkirakan sekian ribu

tahun yang lalu. Sayangnya pula umur itu bersifat proses

yang panjang. Bukankah “garis pantai” sampai sekarang

masih berubah?

Kalau argumen ini dilanjutkan maka Hari Jadi

propinsi hanya mungkin berdasarkan pada tanggal

penetapan daerah tertentu itu sebagai propinsi oleh

pemerintah pusat atau kalau sekadar kebebasan ingin

dipakai, tanggal ketika Gubernur pertama dilantik oleh

pemerintah pusat.

Memang selalu ada discrepancy waktu antara

keputusan pemerintah pusat dengan realitas di lapangan.

(Sekarang malah bisa dilihat adanya perbedaan waktu

antara keputusan DPR, penandangan Undang­Undang

30Ibid, lihat juga Dada Meuraxa, Sejarah Hari Jadinya Kota Medan, 1 Juli

1590 (Medan: Sasterawan, 1975), hlm. 4.

Page 59: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 39 ~

oleh Presiden, dan pelantikan Gubernur pertama dari

propinsi baru). Jika dibanding­banding bahkan kabupaten

pun bisa mempunyai kebebasan simbolik yang lebih

besar dari propinsi dalam penentuan Hari Jadi ini.

Kemungkinan pertama, hari jadi bisa saja diambil

berdasarkan keputusan pemerintah pusat. Tetapi

kemungkinan kedua lebih beragam dan tentu saja

masalahnya lebih pelik. Di Jawa banyak kabupaten yang

telah ada sejak kekuasaan pusat berada di tangan

penguasa yang berada di keraton.31

Dalam konteks sistem politik tradisional Jawa yang

bersifat multi­keraton, kabupaten bukan saja bawahan

dari keraton­pusat, tetapi secara potensial adalah juga

pesaingnya. Bukankah sejarah masa pra kolonial Jawa,

khususnya Jawa Tengah dan Timur bisa juga dilihat

sebagai kisah perpindahan pusat­pusat kekuasaan?

Tetapi dengan berpindah kontinuitas legitimasi dijaga

juga. Seperti kisah Kadiri­ Singahasari, Majapahit, Demak,

Pajang dan akhirnya Mataram, yang kemudian pecah dua,

sampai akhirnya pecahan Surakarta mempunyai pecahan

31 Lihat Samsul Muarief, Peduli Generasi Suku Using, (Banyuwangi:

Satubuku, 2001), hlm. 27; Sri Adi Oetomo, Menelusuri dan Mencari Hari Jadi Kota Banyuwangi (Pasuruan: Garoeda Buana Indah, 1993), hlm. 7.

Page 60: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

baru Mangkunegaran d

pecahan Pakulaman.

Gambar 4. Keraton Yogyakarta Tempo Dulu

Sumber : koleksi http://www.pojokejogja.com.

Maka bisa dibayangkan bekas kadipaten/kabupaten,

yang merupakan bawahan/taklukan keraton, tetapi

sekaligus calon pengganti keraton

merupakan kabupaten dari sebuah provinsi, bisa

mempunyai klaim kelahiran pada awal didirikan keraton

kecil kabupaten itu. Atau lebih mungkin ketika wilayah itu

~ 40 ~

baru Mangkunegaran dan Yogyakarta mempunyai

pecahan Pakulaman.

Gambar 4. Keraton Yogyakarta Tempo Dulu

Sumber : koleksi http://www.pojokejogja.com.

Maka bisa dibayangkan bekas kadipaten/kabupaten,

yang merupakan bawahan/taklukan keraton, tetapi

sekaligus calon pengganti keraton­pusat, yang kini telah

merupakan kabupaten dari sebuah provinsi, bisa

mempunyai klaim kelahiran pada awal didirikan keraton

ecil kabupaten itu. Atau lebih mungkin ketika wilayah itu

an Yogyakarta mempunyai

Gambar 4. Keraton Yogyakarta Tempo Dulu

Maka bisa dibayangkan bekas kadipaten/kabupaten,

yang merupakan bawahan/taklukan keraton, tetapi

pusat, yang kini telah

merupakan kabupaten dari sebuah provinsi, bisa

mempunyai klaim kelahiran pada awal didirikan keraton­

ecil kabupaten itu. Atau lebih mungkin ketika wilayah itu

Page 61: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 41 ~

diberi Raja/Sultan kepada bangsawan yang dipercayainya

sebagai tanah lungguh. Jika Bupati dan DPRD mau tanggal

kejadian ini bisa dipakai. Hal ini tentu dimungkinkan juga

oleh fakta bahwa Bupati­bupati pada masa awal

pemerintahan kolonial biasanya adalah keturunan bupati

dari masa kerajaan tradisional.32

Di Sulawesi Selatan (sebelum pemekaran) sebagian

besar kabupaten mempunyai batas yang sama dengan

wilayah kerajaan tradisional, yang dibiarkan “terus

hidup” pada masa kolonial. Sebagai catatan dapat

dikatakan juga bahwa pedalaman Sulawesi Selatan

barulah pada awal abad 20 “dimasuki” Hindia Belanda.

Beberapa kabupaten di Sumatra Timur dan Riau daratan,

kerajaan­kerajaan lama juga adalah unit kabupaten dalam

konstelasi negara kolonial dan kemudian nasional.33

Kemungkinan lainnya, kalau pemerintah/DPRD

kabupaten memilih tanggal atau perkiraan tanggal

terjadinya peristiwa yang membanggakan yang dianggap

sebagai simbol yang sesuai bagi eksistensi kabupaten.

32Ibid. 33Taufik Abdullah,op.cit., hlm. 2 ; Amiruddin Maula & Muh. Iqbal Latief,

Posisi Makassar Dalam Bisnis Global (Makassar: Yayasan Lentera 21, 2000), hlm.10.

Page 62: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 42 ~

Biasanya yang terjadi ialah kabupaten tidak akan

mengambil, umpamanya, kisah kepahlawanan waktu

revolusi, meskipun membanggakan, juga pasti bukan

tanggal kelahiran seorang pahlawan dan sebagainya, jika

kejadian itu masih berada dalam ingatan kolektif. Para

tokoh Kabupaten biasanya cenderung untuk memilih

bukan peristiwa atau kejadian yang teringat dan tercatat

tetapi yang masih hidup dalam tradisi lisan, ingatan yang

turun temurun tentang sesuatu yang terjadi “kira­kira

abad sekian”.

Semakin tua kejadian itu diperkirakan terjadinya

maka semakin mungkin akan dipilih, seakan­akan

ketuaan adalah ukuran dari kebesaran. Tentu saja hal ini

boleh saja, tetapi masalahnya kepastian sejarahnya akan

selalu diperdebatkan. Benarkah hal itu betul­betul terjadi

dan kalau begitu kapan terjadinya. Jika kredibilitas

kejadian dan tanggal dimasalahkan nilai Hari Jadi itu

hanya akan dianggap keperluan seremoni saja.34

Setiap ikatan sosial, apakah yang diikat oleh ideologi,

kepentingan, keluarga atau apa saja dan tentu saja daerah

tentu memerlukan mitos, yang telah menggabungkan

34 Ibid.

Page 63: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 43 ~

sejarah dengan praduga dan hasrat kultural. Masalah

baru muncul kalau mitos itu disahkan sebagai “sumber

sejarah” yang secara teoretis dan metodologi harus bisa

dipertanggung­jawabkan kehadirannya. Kalau telah

begini keabsahan “sejarah” itu akan selalu diuji. Jika saja

dianggap gagal dalam ujian, nilainya sebagai sejarah,

bahkan sebagai mitos pun jadi merosot. Dan masyarakat

pun akan kehilangan sebuah mitos yang selama ini telah

berfungsi sebagai “alat pengikat” dan “alat pengingat”

akan nilai­nilai luhur yang dipancarkannya.35

4. Kota Kecamatan

Penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan diatur

dalam Undang­undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Undang­undang ini mengatur

pokok­pokok proses penyelenggaraan pemerintahan di

daerah, di dalamnya menguraikan pula mengenai konsep

kecamatan. Untuk pengaturan lebih teknis mengenai

organisasi perangkat daerah, maka telah dibuat peraturan

teknisnya. Misalnya dengan dikeluarkanya Peraturan

Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman

Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Tahun

35 Ibid.

Page 64: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 44 ~

2003 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor

4262) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 158

Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kecamatan.

Secara konseptual pengertian kecamatan telah

diuraikan dalam undang­undang No. 32 tahun 2004 pada

pasal 126, ayat (1) dan (2) tertulis: (1) Kecamatan

dibentuk di wilayah Kabupaten/Kota dengan perda

berpedoman pada Peraturan Pemerintah. (2) Kecamatan

dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya

memperoleh pelimpahan sebagian wewenang Bupati atau

Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi

daerah. 36 Proses terbentuknya kecamatan itu sendiri

memerlukan proses yang cukup panjang. Berawal dari

usulan masyarakat, pembetukan kecamatan baru melalui

tahap pembahasan oleh pihak eksekutif dan legislatif,

kajian akademik, dan untuk selanjutnya menghasilkan

Peraturan Daerah (Perda) mengenai pembentukan

kecamatan lalu mendapat registrasi dari Kementerian

Dalam Negeri.

Dinamika masyarakat yang menonjol pada masa

kekinian sangat ditandai oleh arus urbanisasi yang besar.

36Lembaran Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 126.

Page 65: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 45 ~

Sudah barang tentu proses urbanisasi itu diiringi oleh

persoalan sosial yang menyertainya dan berdampak pada

pembangunan nasional. Memahami persoalan sosial tidak

hanya dilihat dari fenomena relasi sosial dalam

masyarakat tetapi juga harus mengikuti tentang sejarah

perkembangan kota, baik ekologi, fungsi dan unsur­unsur

sosial di dalamnya.

Nama kota begitu akrab, persoalannya adalah apa

defenisi kota. Mendiskusikan tentang defenisi kota, maka

harus menjenguk bahasa sansekerta. Sebab, konsep

negara (nagara, nagari, negri) dalam bahasa sansekerta

bermuasal dari kota. Dalam Bahasa Indonesia, negara

juga berarti istana, ibukota, negara, wilayah kekuasaan,

dan lagi kota. Geertz menafsirkan konsep kota dalam

bahasa sansekerta merujuk kepada peradaban klasik.

Pandangan dan kutipan Geertz diperkuat oleh

Wiryomartono (1995) ketika ia menyamakan konsep kota

yang berada di Jawa.

Hematnya, di Jawa konsep awal tentang kota

tercermin dalam negara dan konsep kuta atau kitha. Kuta

secara harafiah dapat diartikan daerah permukiman yang

dilindungi oleh dinding berbentuk persegi. Dinding ini

Page 66: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 46 ~

juga merupakan batas yang kuat.Dalam bahasa lain, kota

dalam peradaban merupakan pancaran dari tradisi besar,

dan identik dengan pusat sistem wewenang politik yang

tinggi dan tentunya peradaban dalam ber­tatakrama.

Konsep kutagara sebagaimana lain dari kuta atau kota

kemudian berkembang menjadi sebutan resmi dari

sebuah wilayah yang bercirikan kota yang sejajar dengan

istilah city.37

Pusat politik berdomisili di kota. Wewenang politik

bersinggungan dengan kekuasaan. Pancaran kekuasaan

akan tampak ketika ada kelompok elite sebagai kelompok

minoritas dengan wewenang yang dimilikinya berkuasa

terhadap kelompok mayoritas. Relasi kekuasaan elite dan

non-eliteakan tampak nyata dipancarkan di kota sebagai

pusat pemerintahan. Tentunya kota sebagai pusat

pemerintahan akan ditandai oleh beragam permukiman

dan beragam kelompok.

Pandangan sebenarnya bukan sesuatu yang baru,

katakan saja pendapat kota, menurut Marx Weber. Hemat

Weber, satu elemen yang muncul dari berbagai batasan

37 Purnawan Basundoro, PengantarSejarahKota, (Yogyakarta; Ombak,

2012), hlm.28.

Page 67: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 47 ~

mengenai kota, adalah adanya kumpulan tempat tinggal

yang terpisah namun dalam satu permukiman yang

tertutup. Di dalam ruang yang tertutup inilah, tercampur

aspek kekuasaan bersenjata/ militeristik sebuah kota

(karena sejatinya kota adalah juga benteng) dan aspek

pasar di mana berbagai komoditas dipertukarkan dan

transformasi/interaksi antar­kultur dipertemukan.38

Weber juga menambahkan, bahwa hanya kota­kota

di Eropa Barat yang memenuhi kriteria untuk disebut

kota, karena memiliki pertahanan kota, pasar, mahkamah

pengadilan, struktur politik lokal dan otonomi yang besar.

Mengacu pada pandangan Weber maka kota berfungsi

juga sebagai pusat pelayanan. Kota sebagai pusat

pelayanan tampaknya juga selaras dengan pandangan

Sirjamaki. 39 Hematnya kota merupakan pusat­pusat

komersil dan industri, sekumpulan penduduk dengan

tingkat pemerintahan sendiri yang diatur oleh

pemerintah kota. Kota juga merupakan pusat­pusat untuk

belajar serta tempat kemajuan peradaban. Lebih lanjut

38 Sartono Kartodirdjo (editor), MasyarakatKuno&Kelompok­kelompok

Sosial (Jakarta: Bulu Obor, 1977), hlm.8­9. 39Basundoro, op.cit., hlm. 16); Nash, P.J.M, Kota di Dunia Ketiga (Jakarta:

Aksara, 1984), hlm. 27.

Page 68: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 48 ~

Sirjamaki menjelaskan, dilihat dari sejarah, kota

merupakan tempat kelahiran peradaban dunia dan

tempat penggodokan peradaban yang lebih tinggi.40

Defenisi kota yang patut diangkat kepermukaan

adalah pandangan dari Wirth. Ia merumuskan kota

sebagai permukiman yang relatif besar, padat dan

permanen, dihuni oleh orang­orang yang heterogen

dalam posisi sosialnya. Pandangan ini juga menarasikan,

bahwa komonitas penghuni mempunyai sifat

kehetorogenan sosial membuat relasi sosial sangat

longgar. Pandangan Wirth tampaknya merupakan

pemahaman tentang kota yang diajukan Mumford. 41

Hematnya, kota merupakan suatu tempat pertemuan

yang berorientasi keluar.

Dari banyak pendapat tentang kota, menarik disimak

pendapat P.J. M Nas yang dilontarkannya pada 1986. Nas

memberikan 5 aspek besar yang tersurat dalam sebuah

kota, yaitu; (1) suatu lingkungan material buatan

manusia, (2) suatu pusat produksi, (3) suatu komunitas

40Ibid. 41Ibid, hlm.28. Nash, op.cit., hlm. 29.

Page 69: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 49 ~

sosial, (4) suatu komunitas budaya dan (5) suatu

masyarakat yang terkontrol.42

Narasi di atas mewartakan tentang beragamnya

pandangan para ahli tentang kota. Dari keberagaman itu,

mengisyaratkan, bahwa para para pakar tersebut belum

meneropongnya dari aspek keruangaan (spasial).

Realitasnya, bahwa kotatentunya berlainan karakternya

dengan desa (rural) yang memang tidak bisa

dibandingkan satu dengan lain. Aspek ruang kota tidak

hanya mengedepankan lokasi bagi terjadinya perubahan

sosial.

Dalam teropongan sejarah, aspek ruang kota dilihat

dari pertanyaan bagaimana ruang kota diproduksi dan

direproduksi dari masa ke masa karena bagaimana pun

struktur dan pola ruang kota tidaklah akan terlepas dari

sejarah pembentukannya. Apabila pentingnya hubungan

antara dinamika masyarakat dan dinamika ruang kota

sudah dapat menjadi dasar penting dalam melihat

perkembangan struktur dan pola ruang kota, pertanyaan

yang pantas diajukan pada saat ini adalah akan dibawa ke

mana pola perkembangan kota di masa mendatang?

42Basundoro, op.cit., hlm. 18.

Page 70: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 50 ~

Page 71: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 51 ~

BAB III

METODE YANG DITERAPKAN DALAM PENELITIAN

Dalam penelitian dan penulisan tentang Hari jadi Kota

Satui ini, tim penulis menggunakan Metode Sejarah. Metode

sejarah yakni metode untuk mengkaji dan menganalisa secara

kritis rekaman dari peninggalan masa lampau.43 Metode sejarah

juga didefenisikan sebagai suatu perangkat aturan­aturan atau

prinsip­prinsip yang secara sistematis dipergunakan untuk

mencari atau menggunakan sumber­sumber sejarah, kemudian

menilai sumber­sumber itu secara kritis dan menyajikan hasil­

hasil dari penelitian itu umumnya dalam bentuk tertulis dari

hasil­hasil yang telah dicapai. Menurut Louis Gottschalk, metode

sejarah dapat merekonstruksi sebanyak­banyaknya peristiwa

masa lampau manusia.44

Dalam mendeskripsikan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah

tentunya harus didukung oleh metode dan teknik mendapatkan

data yang akurat. Karena itulah, Tim Penulis melakukan

43 Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah,terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 27; Muhammad Gade Ismail,“Museum Sebagai Sumber Sejarah Dalam Kaitan Dengan Metode Sejarah”, dalam Bulletin Rumoh Aceh, Informasi dan Komunikasi Museum, No.03/1999, Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh 1999, hlm. 3.

44 ibid, hlm. 32.

Page 72: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 52 ~

pengumpulan sumber yang didasarkan pada seleksi dan akurasi

akan melahirkan suatu tulisan yang ilmiah serta dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Penggunaan metode sejarah dalam penyusunan penulisan

penelitian inisecara tidak langsung sesuai dengan tujuan dari

hasil akhir penulisan adalah ingin mendeskripsikan peristiwa

yang terjadi di masa lampau. Metode sejarah yang telah

dipaparkan di atas, yang bertumpu pada beberapa tahapan yang

disusun secara sistematis yang harus dilalui oleh penulis sejarah

yang tidak boleh ke luar dari kaedah ilmu sejarah diharapkan

dapat menghasilkan penulisan yang bernilai ilmiah. Langkah

awal yang dilakukan adalah menentukan judul, topik,

mengumpulkan sebanyak mungkin sumber­sumber sejarah

yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian. Metode

penelitian sejarah kritis terdiri dari empat tahapan pokok yaitu

heuristik, kritik sumber, interpretasi fakta dan historiografi,

yang akan dijabarkan sebagai berikut.45

45Nugroho Notosusanto, Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah (Jakarta:

Mega Book Store, 1984), hlm. 22­23.

Page 73: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 53 ~

A. Heuristik atau Pengumpulan “Serpihan” Sumber

Tahap pertama adalah heuristik, berasal dari bahasa

Yunani hueriskein artinya memperoleh. 46 Heuristik

merupakan suatu proses untuk mencari dan mengumpulkan

sumber­sumber sejarah, baik sumber primer maupun

sumber sekunder. Sumber­sumber yang dicari dan

dikumpulkan ialah sumber­sumber yang relevan dengan

tema yang diteliti. Heuristik juga dikategorikan sebagai ilmu

pengumpulan bahan­bahan historis atau usaha memilih

obyek dan mengumpulkan informasi mengenainya.47

Dalam tahap heuristik, Tim Penulis melakukan kegiatan

menghimpun data dari jejak­jejak kehidupan masa lampau

48Kemudian Tim Penulis juga mencari untuk menemukan

sumber­sumber sejarah, atau pengumpulan bahan­bahan

historis atau usaha memilih suatu obyek dan mengumpulkan

informasi mengenai objek tersebut.49 Adapun sumber data

46 G.J. Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, terj. Muin Umar

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 113. 47 Louis Gottchalk, 1985, op.cit, hal. 19. 48G.J. Renier, loc.cit. 49Helius Syamsuddin, Metodologi Sejarah (Jakarta: Proyek Pendidikan

Tenaga Akademik, 1996), hlm 1­4.

Page 74: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 54 ~

yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber

primer dan sumber sekunder.

Sumber primer merupakan sumber data yang

didapatkan secara langsung dari narasumber tentang objek

yang diteliti. Dalam hal ini, Tim Penulis menggunakan

sumber­sumber sejarah lisan, dengan metode wawancara.

Wawancara dilakukan dengan narasumber “tetua”, tokoh

dan masyarakat umum di Desa Sungai Danau dan desa­desa

sekitarnya tentang sejarah Kota Satui. Tim penulis juga

melakukan observasi ke Makam­makam Tua, Pemukiman

Lama serta sungai di wilayah Satui.

Kemudian terdapat sumber primer tertulis yang

dikumpulkan melalui metode kepustakaan. Dalam tahap

heuristik ini, Tim Penulis mengumpulkan beberapa naskah

lokal seperti Hikayat Banjar dan Hikayat Lembu Mangkurat

yang menuliskan tentang keberadaan wilayah

Satui.50Hikayat Banjar dan Hikayat Lambung Mangkurat

50Salah satu sumber sejarah adalah hikayat atau cerita, sekalipun harus di

pisahkan lebih dahulu mana yang fakta dan mana yang khayal. Penyaringan isi hikayat untuk menjadi sumber sejarah adalah tugas dari sejarah. Para pengarang hikayat kebiasaan­nya selalu membubuhi hikayat itu dengan ramuan­ramuan khayal agar menarik para pembacanya, sehingga sejarawan harus jeli menentukan fakta sejarah dari suatu hikayat. Hikayat, berasal dari India dan Arab, berisikan cerita kehidupan para dewi, peri, pangeran, putri kerajaan, serta raja­raja yang memiliki kekuatan gaib. Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang dimiliki seseorang, yang diceritakan dalam hikayat kadang tidak masuk akal. Sebagai

Page 75: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 55 ~

termasuk bentuk karya sastra Prosa Lama.51Kemudian Tim

peneliti juga mengumpulkan beberapa dokumen dan arsip­

arsip masa Hindia Belanda, kemudian sumber tertulis lain

berupa buku, majalah, artikel yang berhubungan dengan

objek penelitian. Misalnya arsip­arsip dari Arsip Nasional

Republik Indonesia (ANRI) berupa arsip Algemene Secretarie

(AS), Binnenlandsch Bestur (BB), Memorie van Overgave

(MvO), Koloniaal Verslag (KV), Regerings Almanak (RA),

Staatsblad van Nederlandsch Indie (Stb), arsip ANRI bundel

Borneo Zuid en Oosterafdeeling (BZO), arsip Surat-Surat

Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin Dengan

Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik, Inggris dan Hindia

Belanda 1635–1860, arsip Kontrak Perjanjian, Laporan

Politik danDagregister (Catatan Harian).

Kendala dalam penelitian ini, terutama dalam proses

pencarian data di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI)

referensi perbandingan lihat Chamamah­Soeratno, Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi (Jakarta: Balai Pustaka, 1991); kemudian tulisan Teuku, Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad (Jakarta: Libra, 1996); J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography (The Hague: Martijnus Nijhof, 1968).

51Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena

variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa Latin "prosa", artinya "terus terang". Jenis tulisan prosa biasanya digunakan mendeskripsikan suatu fakta atau ide.

Page 76: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

Jakarta, adalah pencarian arsip ”asli” seperti

Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1898

katalog ANRI tetapi setelah ditelusuri sesuai nomor

arsipnya, sumber sejarah ter

menurut keterangan petugas ANRI yang membidangi koleksi

arsip Hindia Belanda, arsip tersebut dinyatakan hilang.

Gambar 5. Koleksi A

Sumber : Koleksi Pribadi, 2013.

~ 56 ~

Jakarta, adalah pencarian arsip ”asli” seperti

Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1898, memang terdapat di

katalog ANRI tetapi setelah ditelusuri sesuai nomor

arsipnya, sumber sejarah tersebut tidak ada. Bahkan

menurut keterangan petugas ANRI yang membidangi koleksi

arsip Hindia Belanda, arsip tersebut dinyatakan hilang.

Gambar 5. Koleksi Arsip Kolonial, Arsip Nasional RI (ANRI)

Sumber : Koleksi Pribadi, 2013.

Jakarta, adalah pencarian arsip ”asli” seperti Staatsblad van

, memang terdapat di

katalog ANRI tetapi setelah ditelusuri sesuai nomor

sebut tidak ada. Bahkan

menurut keterangan petugas ANRI yang membidangi koleksi

arsip Hindia Belanda, arsip tersebut dinyatakan hilang.

rsip Kolonial, Arsip Nasional RI (ANRI)

Page 77: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 57 ~

Untuk mengatasi kendala arsip “hilang”, tim peneliti lalu

mencari arsip dalam kurun waktu yang hampir sama sebagai

pembanding atau komparasi dengan “arsip asli” yang

dinyatakan hilang tersebut. Kendala lain yakni sumber

sumber berbahasa Belanda tersebut berbahasa Belanda

dengan aksen abad ke ­19 sehingga tim peneliti harus

bekerja keras untuk menerjemahkan arsip tersebut sesuai

dengan “jiwa zaman”nya. Alhamdulillah, semua kendala ini

bisa diatasi berkat bantuan semua pihak dan kerjasama Tim

Penulis.

Sementara sumber sekunderTim Penulis dapatkan dari

studi kepustakaan berupa buku­buku yang relevan dengan

objek penelitian ini yakni membahas tentang perkembangan

kota Satui. Dalam hal ini, tim penulis menggunakan buku­

buku yang berfungsi sebagai acuan yang kemudian

dikembangkan dalam tulisan. Studi kepustakaan ini sangat

penting untuk mendukung data­data yang diperoleh di

lapangan. Sumber sekunder diperoleh melalui riset

kepustakaan meliputi buku­buku karangan ilmiah yang

ditulis oleh para ahli yang relevan dengan masalah yang

diteliti.

Page 78: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 58 ~

Hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa melalui

penelusuran dan penelaahan kepustakaan tersebut, dapat

dipelajari bagaimana mengungkapkan buah pikiran secara

sistematis dan kritis.52 Data juga diperoleh dari internet dan

majalah atau jurnal yang terkait dengan permasalahan­

permasalahan yang dikaji. Sumber sekunder digunakan

untuk membantu dalam melengkapi data yang tidak

diperoleh dari sumber primer.

Perkembangan historiografis pada beberapa tahun

terakhir dan perubahan politik yang terjadi di negara­negara

berkembang telah membawa “angin segar” bagi

perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya sejarah.

Perkembangan ilmu sejarah menuju ke arah yang lebih baik

seiring dengan munculnya pendekatan baru dalam

memahami peristiwa sejarah. Definisi sejarah yang diperluas

telah membuka kesempatan untuk menulis tema­tema baru

dalam kajian sejarah masa kini. Kajian sejarah juga telah

memperluas penggunaan sumber untuk menulis sejarah.

Sebelumnya, sumber sejarah hanya didominasi oleh sumber

52 Irawati Singarimbun, “Pemanfaatan Perpustakaan”, dalam Masri

Singarimbun dan Sofyan Effendy, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 45.

Page 79: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 59 ~

dokumen yang mengakar pada pendapat no document no

history seperti yang dikemukakan oleh von Ranke.

Pendapat Ranke tersebut pada perkembangan mutakhir

tidak dapat dipertahankan. Menguatnya pendekatan

struktural, hermeunetik, posmodernisme dan subalten

history telah memperluas penggunaan sumber sejarah. Saat

ini sejarah yang ditulis, bisa menggunakan sumber lisan

(wawancara­interview), sumber tradisional seperti hikayat,

tambo, babad, dan mithos, meskipun harus mencermati

sumber itu secara ketat dan selektif. Artinya tidak semua

unsur karya itu menjadi sumber sejarah yang valid. Kritik

sumber, verifikasi, interpretasi dan analasis yang ketat

untuk menemukan fakta dalam sumber tradisional menjadi

syarat utama. Hal itu terjadi karena banyak unsur yang

menyertai rekonstruksi dari lahirnya naskah­naskah

tradisional.

B. Kritik, Tidak Asal “Ambil Data”

Kritik sumber adalah penilaian atau pengujian terhadap

sumber­sumber yang telah dikumpulkan. Dalam tahap ini

penulis melakukan dua jenis kritik, yaitu kritik ekstern dan

kritik intern. Kritik intern yang dilakukan menyangkut

Page 80: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 60 ~

penilaian isi sumber tersebut untuk mendapatkan

kredibilitas sumber. 53 Misalnya sumber tertulis tentang

perkembangan Kota Satui pada umumnya, apakah memang

ditulis oleh penulis kompeten dan mengetahui tentang Kota

Satui. Kemudian membandingkannya dengan buku lain

sehingga bisa didapatkan bahan tulisan yang benar­benar

sesuai dan mendukung objek yang diteliti.

Dalam tahap kritik ini, kritik intern diaplikasikan ketika

tim penulis mendapatkan sumber, tim penulis harus dapat

melihat dan menyelidiki isi dari sumber yang diperolehnya

itu. Dalam hal ini sumber­sumber yang telah terkumpul

dikaji, apakah pernyataan yang dibuat dalam sumber itu,

merupakan fakta historis yang meliputi isi, bahasa, situasi

dan lain sebagainya.

Kritik ekstern adalah penyelidikan terhadap sumber

yang diperoleh dengan meneliti keadaan luar dari sumber­

sumber yang digunakan, apakah sumber yang digunakan itu

otentik atau tidak. Kritik intern penting untuk menentukan

apakah sumber yang digunakan kredibel, dapat dipercaya

53Lihat Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer,

Suatu Pengalaman(Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), hlm. 38.Penafsiran atau interpretasi (interpret), merupakan hal utama dalam mengeksplanasi sejarah. Dorongan ini menuntut analisis apapun orientasinya dan proposisinya yaitu deskriptif, naratif dan analisis semuanya akan bermuara pada sintesis.

Page 81: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 61 ~

atau tidak. Kritik ini dilakukan terhadap informasi yang

diperoleh dari para informan, yang kemudian dibandingkan

dengan data dari berbagai sumber tertulis yang relevan dan

telah diseleksi, begitu pula sebaliknya dilakukan kritik

dengan membandingkan data dari sumber tertulis dengan

keterangan yang diperoleh dari informan. Kritik juga

dilakukan terhadap berbagai arsip atau dokumen yang telah

diperoleh, antara lain seperti peta, foto­foto dan sebagainya.

Sementara itu, kritik ekstern yang dilakukan

menyangkut keaslian (otentisitas) sumber dengan

memeriksa pembuat sumber, yaitu apakah sumber dibuat

oleh orang yang berwenang atau terlibat langsung atau

sebagai saksi langsung peristiwa.

Contoh kritik sumber, misalnya keberadaan Hikayat

Banjar sebagai sumber penulisan Sejarah dan Penentuan

Hari jadi Satui memang memiliki konsekuensi historiografis,

yakni menjadi sebuah analisis hermeunetik. Seperti

kebanyakan naskah­naskah pribumi yang dihasilkan

intelektual tradisional khususnya karya yang dihasilkan di

dalam istana cenderung bersifat istana-sentris. Penulisan

sejarah tradisional atau historiografi tradisional, seperti

babad, silsilah, tambo, dan hikayat termasuk Hikayat Banjar,

Page 82: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 62 ~

tidaklah bersifat kritis ilmiah dan “tidak lulus” sebagai karya

sejarah dalam pengertian modern, karena isinya banyak

menceritakan hal­hal yang tidak logis.54

Walaupun demikian, penulisan sejarah (historiografi),

yang pada mulanya lebih merupakan ekspresi kultural dari

usaha untuk merekam masa lampau yang berkenaan dengan

masyarakat yang menghasilkannya. Dalam konteks ini,

makna dan fungsi sejarah lebih berarti daripada peristiwa­

peristiwa yang diungkapkan dari “kelampauan” tersebut.

Dengan demikian, yang menjadi tujuan utamanya bukanlah

kebenaran historis, tetapi pedoman dan penegakan nilai

yang perlu didapatkan. Oleh karena itu, dalam hal ini hikayat

“diposisikan” sebagai ekspresi kultural, isinya erat dengan

unsur­unsur sastra sebagai karya imajinatif, mitologi, dan

54Lihat Wajidi, Hikayat Lambung Mangkurat Dalam Perspektif Sejarah

Modern, dalam website http://bubuhanbanjar.wordpress.com/2009/03/19/ hikayat­lambung­mangkurat­dalam­perspektif­sejarah­modern/ Maret 19, 2009; Lihat juga Soenarto Timoer, Hikayat Panji Sebagai Sumber Penelitian Sejarah: Sebuah Studi Analisis Cerita Rakyat (Yayasan Ilmu Pengetahuan & Kebudayaan Panunggalan Lembaga Javanologi, 1984), hlm 2.; Herman C. Kemp, Oral Traditions of Southeast Asia and Oceania: A Bibliography, Volume 18 dari “Seri Tradisi Lisan Nusantara” (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm. 118.

Page 83: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 63 ~

pandangan hidup yang dihasilkan dengan unsur­unsur

faktual dari peristiwa masa lalu.55

Sebagai tradisi lisan, suatu gambaran realitas tidaklah

identik dengan realitas atau peristiwa itu sendiri, tetapi

sumber hikayat memperlihatkan bagaimana peristiwa itu

dimengerti oleh masyarakatnya, sehingga “yang dimengerti”

itulah yang dianggap sebagai realitas baru atau yang

sebenarnya. Alam pikiran religio magis, pergeseran masa

dan pertukaran waktu, dapat menimbulkan metamorfosa

(perubahan bentuk) peristiwa. Begitu pula sebuah norma

dapat mengalami personifikasi, norma atau ide bisa menjadi

tokoh historis yang sebenarnya tidak ada.56

Hikayat termasuk mitos yang berhubungan dengan

peristiwa sejarah dikenal sebagai sastra sejarah. Sastra

sejarah adalah bayangan sejarah, karena realibilitas data

sejarahnya diragukan, maka penggunaannya harus melalui

kritik sejarah. Untuk memahami dan menggunakan hikayat

sebagai sumber­sumber dalam merekonstruksi sejarah,

55Ibid, Hikayat dan sejenisnya pada mulanya juga dihasilkan oleh

pujangga istana yang mendapat tugas khusus untuk menyusun kronik dan daftar silsilah. Para pujangga menentukan rajanya dalam pusat sejarahnya, dipujanya sebagai dewa sehingga dapat menambah kesaktian raja di mata rakyatnya.

56Ibid

Page 84: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 64 ~

maka dalam tahap kritik hikayat harus terlebih dahulu

“dibersihkan” dari unsur­unsur tidak logis dan

membandingkannya dengan sumber­sumber lain. Dalam

memahaminya dengan konsep berpikir sejarah historical

mindedness, yakni bagaimana pikiran, jiwa dan hati kita

masuk ke dalam “kelampauan”­nya, dan hal itu dapat

diperoleh dengan jalan memiliki kesadaran dan

pengetahuan mendalam tentang latar belakang kultural

masyarakat yang menghasilkannya.57

C. Sumber Sejarah Ditafsirkan, Itulah Gunanya Interpretasi.

Setelah melakukan kritik terhadap berbagai sumber

maka tim peneliti menghimpun informasi­informasi suatu

periode sejarah yang diteliti. Tahap ini dinamakan tahap

interpretasi, yaitu menafsirkan dan menyusun fakta­fakta

sehingga menjadi keseluruhan yang masuk akal dan relevan

dengan masalah yang diteliti.58Disini fakta disintesiskan

dalam bentuk kata­kata dan kalimat, sehingga dapat dibaca

dan dimengerti. Dalam hal ini, Tim Penulis melakukan

penafsiran terhadap fakta­fakta yang yang telah diperoleh

57 Ibid 58 Ibid, hlm. 46.

Page 85: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 65 ~

melalui kritik sumber, yaitu dengan cara mencari dan

menyusun hubungan antar fakta­fakta yang sama dan

sejenis, kemudian disusun secara kronologis dan dalam

hubungan sebab akibat.

D. Historiografi, “Terminal Terakhir” Penulisan Sejarah

Yaitu suatu proses tahapanpenelitian sejarah yang

berkenaan dengan penulisan sejarah secara deskriptif

analitis berdasarkan sistematika dan kronologis, menurut

Veyne dan Tosh menulis sejarah merupakan suatu kegiatan

intelektual dan ini merupakan suatu cara utama untuk

memahami sejarah,59Historiografi merupakan suatu proses

tahapan penelitian sejarah yang berkenaan dengan

penulisan sejarah secara deskriptif analitis berdasarkan

sistematika dan kronologi60

Dalam tahap ini, Tim Penulis melakukan “kegiatan”

menyajikan, mengisahkan atau menuliskan hasil penelitian

menjadi tulisan atau karya sejarah. Tentunya, kemampuan

imajinasi dan seni menulis sangat diperlukan dan

59Helius Syamsuddin, 1996, loc. cit, Gottchalk, 1985, op. cit. hal 32. 60R. Moh. Ali, Penentuan Arti Sedjarah dan Pengaruhnja dalam Metodologi

Sedjarah Indonesia (Djakarta: Bhratara, 1966), hlm. 10.

Page 86: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

menentukan hasil akhir penelitian. Oleh karena itu

Penulis berusaha menggunakan bahasa ba

sehingga mudah dimengerti

kesalahan penafsiran. Dalam tahap ini merupakan bagian

proses penulisan kembali peristiwa sejarah. Fakta yang

sudah disintesiskan dan dianalisis dipaparkan dalam tulisan

dengan bahasa yang

Gambar 6. Penulis Sejarah

Sumber: koleksi http://johnnery.wordpress.com/2010/07/09/grand

~ 66 ~

menentukan hasil akhir penelitian. Oleh karena itu

berusaha menggunakan bahasa baku, baik dan b

sehingga mudah dimengerti dan tidak menimbulkan

kesalahan penafsiran. Dalam tahap ini merupakan bagian

proses penulisan kembali peristiwa sejarah. Fakta yang

sudah disintesiskan dan dianalisis dipaparkan dalam tulisan

dengan bahasa yang baik, sehingga dipahami pembaca.

Sejarah, Wartawan Rosihan

http://johnnery.wordpress.com/2010/07/09/grand

menentukan hasil akhir penelitian. Oleh karena itu Tim

ku, baik dan benar

dan tidak menimbulkan

kesalahan penafsiran. Dalam tahap ini merupakan bagian

proses penulisan kembali peristiwa sejarah. Fakta yang

sudah disintesiskan dan dianalisis dipaparkan dalam tulisan

baik, sehingga dipahami pembaca.

Wartawan Rosihan Anwar

http://johnnery.wordpress.com/2010/07/09/grand­old­men/.

Page 87: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 67 ~

Dalam kerangka historiografi, metode yang digunakan

oleh Tim Penulis dalam penulisan ini adalah deskriptif

dengan penalaran induktif, yaitu menggambarkan secara

rinci data yang telah dikumpulkan untuk selanjutnya di

generalisasikan atau di sintesiskan, sehingga dapat

menjelaskan gejala­gejala yang tampak pada obyek yang

diteliti. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kekeliruan

yang dapat saja terjadi pada saat penulisan.

Hal ini juga ditujukan untuk membahas secara rinci

obyek yang akan ditulis sehingga tidak menimbulkan

beberapa penafsiran yang dapat mempengaruhi interpretasi.

Suatu tulisan sejarah tentu saja tidak akan sulit untuk

dicerna atau dipahami apabilapenulisnya memahami tata

cara atau aturan yang baku dalam historiografi. Demikianlah

pentingnya historiografi sehingga setiap sejarawan dituntut

sebelum memasuki tahap historiografi maka harus benar­

benar memahami tahap­tahap sebelumnya maupun

aplikasinya.

Page 88: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 68 ~

Page 89: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 69 ~

BAB IV

“JEJAK-JEJAK” SATUI DALAM LINTASAN SEJARAH

DI KALIMANTAN SELATAN

A. SatuiTertulis Dalam Sumber Sejarah Sejak Abad ke-17

Nama Satui terdapat dalam beberapa sumber, baik

dalam naskah lokal maupun sumber kolonial.Naskah lokal

pertama dan paling tertua yang memuat nama Satui yaitu

Hikayat Banjar yang ditulis (bertarikh) tahun 1663 M. Dalam

Hikayat Banjar tertulis bahwa pada saat terjadinya

pertikaian antara Pangeran Tumenggung dengan

keponakannya sendiri, Pangeran Samudra, maka Patih

Masih mengirim utusan ke wilayah lain untuk mengabarkan

bahwa Pangeran Samudra menjadi raja di Banjarmasih. Satu

diantara daerah tujuan utusan tersebut adalah Satui.61Dalam

kutipan yang lebih lengkapnya sebagai berikut:

“Maka Patih Masih menyuruh orang memberitahu ke Kintap, ke Satui, ke Sawarangan, ke Hasam-Hasam, ke Laut Pulau, ke Pamukan, ke Pasir, ke Kutai, ke Barau, ke Karasikan, dan memberitahu ke Biadu, ke Sabangau, ke Mandawai, ke Sampit, ke Pambuang, ke Kota Waringin,

61 Johannes Jacobus Ras, 1990, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti

Hawa Salleh (Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS­ Ampang/Hulu Kelang­Selangor Darul Ehsan, Malaysia), hlm. 312.

Page 90: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 70 ~

ke Sukadana, ke Lawai, ke Sambas: Pangeran Samudra menjadi raja di Banjarmasih.”62 (“Patih Masih mengirim utusan untuk menyampaikan pemberitahuan ke daerah Kintap, Satui, Sawarangan (swarangan), Hasam­Hasam (Asam­Asam), Laut Pulau (Pulau Laut), Pamukan, Pasir, Kutai, Barau (Berau), Karasikan, kemudian ke wilayah lain seperti wilayah Biadu, Sabangau (Sebangau), Mandawai (Mendawai/Mandomai?), Sampit, Pambuang (Kuala Pembuang), Kota Waringin (Kotawaringin), Sukadana, Lawai, Sambas, isi pemberitahuan tersebut, bahwa Pangeran Samudra menjadi raja Banjarmasih (Banjarmasin),”).

Interpretasi dari hikayat tersebut bahwa orang Satui,

orang Laut Pulau (Pulau Laut), orang Pamukan (Dayak

Samihin) dan orang Paser maupun orang­orang Dayak Bukit

yang tinggal di pegunungan Meratus adalah penduduk asli di

wilayah Kalimantan bagian tenggara. Selain kutipan

sebelumnya, terdapat pernyataan lain dalam Hikayat Banjar

yang menuliskan tentang keberadaan orang Satui. Adapun

kutipannya sebagai berikut:

“…..Maka orang yang takluk tatkala Maharaja Suryanata sampai kepada zaman Maharaja Sukarama itu, seperti Negeri Sambas dan Negeri Batang Lawai dan Negeri Sukadana dan Negeri Kota Waringin dan

62 Ibid.

Page 91: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 71 ~

Pembuang dan Sampit, Mandawai dan Sabangau dan Barau dan Pasir dan Pamukan dan orang Laut Pulau dan Satuidan Hasam-Hasam dan Kintap dan Sawarangan dan orang Tambangan Laut dan Takisung dan Tabuniau, sekaliannya itu sudah sama datang serta senjatanya serta persembahnya. Sama suka hatinya merajakan Pangeran Samudra itu. …….”63

(“…..Wilayah­wilayah taklukan sejak masa pemerintahan Maharaja Suryanata sampai masa pemerintahan Maharaja Sukarama itu, seperti negeri Sambas, negeri Batang Lawai, negeri Sukadana, negeri Kota Waringin (Kotawaringin), Pembuang (Kuala Pembuang), Sampit, Mandawai (Mendawai atau Mandomai?), Sabangau (sebangau), Barau (Berau), Pasir, Pamukan, orang Laut Pulau (Pulau Laut), orangSatui, orang Hasam Hasam (Asam­Asam),orang Kintap,orang Sawarangan (Swarangan), orang Tambangan Laut, Takisung, Tabuniau (Tabanio), utusan­utusan dari wilayah tersebut berdatangan dengan membawa senjata dan sekaligus upeti untuk Kerajaan Banjarmasih. Utusan tersebut juga bersuka ria merayakan pengangkatan Pangeran Samudera menjadi raja…….”)

Sumber tertulis lain yang mencatat tentang wilayah

dan namaSatui yaitu Hikayat Lembu Mangkurat(Lambung

Mangkurat) yang ditulis “sezaman” dengan Hikayat

63 Ibid, hlm. 323. Dalam indeks teks Hikayat Banjar berbahasa Melayu, namaSatui terdapat di baris 3013 dan 4150. Mengenai orang Satui terdapat pada baris 3326.

Page 92: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 72 ~

Banjaryakni tahun 1663.64 Dalam kurun waktu tersebut

Satui adalah wilayah “desa”. Secara lebih lengkap kutipan

tersebut adalah:

“Ketika Kiai Martapura pergi ke Makassar, maka Karaeng Patingaloang yang memerintah di sana, memohon kepada Marhum Panembahan supaya diperkenankan meminjam dan berdagang di Pasir. Raja memperkenankan permohonan itu dan selain daripada itu menyerahkan pula desa-desa Satui, Asem-Asem, Kintap, Sawarangan,.…”65 (“Ketika Kiai Martapura diutus ke Makassar, maka Karaeng Patingaloang yang memerintah di sana (Kerajaan Gowa­Tallo, Sulawesi Selatan), memohon secara lisan kepada Raja Marhum Panembahan supaya diperkenankan meminjam dan berdagang di wilayah Pasir. Raja kemudian memperkenankan permohonan itu dan menyerahkan pula wilayah­wilayah lain (untuk ditempati oleh orang Bugis­Makassar sebagai wilayah perdagangan) seperti desa­desa Satui, Asem­Asem/Asam­Asam, Kintap, Sawarangan/Swarangan…”)

64 Gusti Mayur, Hikayat Lembu Mangkurat, (Banjarmasin: CV Rapi, 1974), hlm. 42­43. Informasi tentang Satui tersebut khususnya di bab. 3, tentang masa pemerintahan Marhum Panembahan.; lihat juga Kiai Amir Hasan Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, (Banjarmasin: MAI Pertjetakan Fadjar, 1953), hlm. 8.

65 Ibid.

Page 93: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 73 ~

Gambar 7. Beberapa versi Buku Hikayat Banjar

Sumber : Koleksi Pribadi, 2013.

Selain sumber Hikayat Banjar dan Hikayat Lembu

Mangkurat, tidak terdapat sumber naskah lokal lain yang

menulis tentang keberadaan wilayah Satui. Sementara

menurut keterangan sumber lisan dari tokoh masyarakat

Satui, H. Abidin, H. H., Satui berasal dari Satua/ Satwa karena

dahulunya daerahSatui merupakan padang tempat berburu

binatang. Demikian halnya diungkapkan tetua dan

Page 94: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 74 ~

pemukamasyarakat Satui, H. Ismail (H. Aloy) Satui berasal

dari kata Satu, atau dalam ejaan lama Satoe berarti satu.66

Berbeda dengan sumber lokal tertulis yang terbilang

langka, nama wilayah Satui malah lebih banyak tercatat

dalam sumber kolonial. Sumber pertama adalah lampiran

peta arsip Arsip Surat-Surat Perjanjian Antara Kesultanan

Banjarmasin Dengan Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik,

Inggris dan Hindia Belanda 1635 – 1860. Dalam peta wilayah

KeradjaanBandjarmasin tahun 1826­1860 tersebut, 67

wilayah Gebergte Satoi, termasuk dalam wilayah kerajaan

Banjarmasin sebelum diserahkan kepada Pemerintahan

Hindia Belanda tahun 1860.

Beberapa sumber lainnya adalah ensiklopedi tentang

wilayah Hindia Belanda yang disusun oleh Pieter Johannes

Veth dalam Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van

Nederlandsch Indie, menyebut wilayah distrik Satui dengan

66 Wawancara H. Abidin , H.H. di Kantor Kecamatan Satui, Sungai Danau,

Juni 2013.; Wawancara H. Ismail (H. Aloy) di Kantor Kecamatan Satui, Sungai

Danau, Februari 2013.

67 ANRI, “Alteratie en ampliate Op Het Contract Met Den Sulthan Van Bandjarmasin, Van 1 Januarij 1817­13 September 1823”, Arsip Surat-Surat Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin Dengan Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik, Inggris dan Hindia Belanda 1635–1860 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1965), hlm. lampiran. Peta tersebut berskala 1 : 250.000.

Page 95: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 75 ~

Satoi.68Sementara dalam tulisan J.J. De Hollander, Andleiding

bij de Beoefening der Land en Volkenkunde van Nederlansch

Oost Indie (1898),69wilayah Satui tertulis dengan namaG.

(Gebergte) Satoei.

Selanjutnya tulisan H. van Lokhorst, dalam artikelnya

Schets Eener Geneeskundige Plaatsbeschrijving de Afdeeling

Tanah Laut (Zuid en Oosterafdeeling van Borneo), yang

diterbitkantahun 1863 wilayah Satui tertulis dengan

namaSatoei. Demikian halnya dituliskan oleh Theodore

Posewitz, dalam bukunya Borneo: its Geology and Mineral

Resources, 70 wilayah Satui tertulis dengan

namaSatoei.Kemudian dalam laporan J.J. Hollander, Borneo’s

Zuider en Ooster Afdeeling, tentang nama gunung dan sungai

di wilayah Afdeeling Tanah Bumbu tahun 1866, wilayah

68Pieter Johannes Veth, Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van

Nederlandsch Indie (Amsterdam: Van Kampen, 1869), hlm. 257. 69J. J. De Hollander, dalam Andleiding Bij De Beoefening Der Land- En

Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie (1898), Tweede Deel, door R. van Eck, Koninkhjks Militairs Academie,1898, hlm. 118­119.

70Theodore Posewitz, Borneo:Geologi and Mineral Resources (London:

Edward Stanford, 1892), hlm. 68.

Page 96: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 76 ~

Satui disebut dengan namaGebergte Satoei, merupakan

wilayah dalam landschap(bentang alam) Kusan.71

Selanjutnya sumber lainnya yang menuliskan tentang

wilayah Satui terdapat dalam peta Borneo, Koleksi David

Rumsey Historical Map tahun 1827.,72 Satui tertulis dengan

nama G. (Gebergte) Satoi. Selanjutnyadalam Kaart Van Het

Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding van Dr. A.W.

Nieuwenhuis, yangdibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh

E. J. Brill, Tahun 1902, 73 (Peta Versi Kedua), Satui ditulis G.

(Gebergte) Satoi.

Kesimpulannya, mengenai sumber nama Kecamatan

Satui yang dipakai sekarang, memiliki dua versi. Versi

pertama dari Sumber lokal dan kolonial yang mengalami

“metamorfosa” atau perubahan. Dari namaSatui kemudian

menjadi Satoei, Satoi dan terakhir kembali menjadi nama

Satui. Versi yang kedua berasal dari Satua/Satwa dan

71 J.J. Hollander, Borneo’s Zuider en Ooster Afdeeling (Handleiding Bij De

Beoefening Der Land en Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie, Koninklijke Militaire Akademie, 1864), hlm.28­29.

72Pelukis peta aslinya adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Peta

dipublikasikan oleh Ph. Vandermaelen Bruxelles, Tipe Peta: Peta Atlas, Peta asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1 : 1.641.836, berdasarkan pada Garis Meridian Paris.

73Peta asli berskala 1:2.000.000., berukuran 75 cm x 65 cm.

Page 97: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 77 ~

Satuyang kemudian mengalami perubahan nama menjadi

menjadi Satui.Satui resmi menjadi Kecamatan pada tahun

1950. Pada zaman kolonial Hindia Belanda, Satui berstatus

Distrik Satui bagian dari Onderafdeeling Tanah Laut

menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178. Distrik Satui

berbatasan di Timur dengan Lansekap Sabamban dan di

sebelah Barat dengan Distrik Pleihari. Dalam tahun 1902,

Satui masih merupakan bagian dari onderafdeeling Tanah

Laut.Tahun 1950 Satui digabung ke Kabupaten Kotabaru.74

Pada tanggal 4 April 1950 Dewan Kalimantan Tenggara

dibubarkan dan dimasukkan ke dalam wilayah Republik

Indonesia (Yogyakarta) lewat Keputusan Presiden Republik

Indonesia Serikat Nomor 137 dan nomor 138, kemudian

pada tanggal 29 Juni 1950 dikeluarkan surat keputusan

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang

pembentukan wilayah­wilayah Pemerintah yaitu

Kabupaten­Kabupaten, Daerah­Daerah Swapraja dalam

propinsi Kalimantan. Maka daerah Kalimantan Tenggara

dulu diubah menjadi Kabupaten Kotabaru dengan

ibukotanya adalah Kotabaru, sedang yang diangkat sebagai

74Idwar Saleh, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional

(1900-1942) di Kalimantan Selatan, (Jakarta: Depdikbud, 1986), hlm. 22.

Page 98: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 78 ~

kepala Daerah adalah M. Yamani. Sesudah itu keluar

Peraturan Pemerintah tanggal 30 Juni 1950 sebagai

pengganti Undang­undang No. 2 tahun 1950 tentang

Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara

dan Dewan Pemerintahnya untuk seluruh daerah Republik

Indonesia. Yang kemudian diikuti dengan surat Keputusan

Gubernur Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 No.

186/OPB/92/14 di dalam Bab II pasal 4 menyatakan bahwa

Badan­Badan Pemerintah Kabupaten terdiri dari Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Pemerintah Daerah.75

Wilayah Kabupaten Kotabaru menurut undang­undang

darurat Nomor 3 tahun 1953 tentang pembentukan (Resmi)

Daerah Otonomi Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat

Kabupaten dan Kota Besar dalam lingkungan Daerah

propinsi Kalimantan menyatakan bahwa wilayah Kabupaten

Kotabaru meliputi Kawedanan­kawedanan Pulau Laut,

Tanah Bumbu Selatan, Tanah Bumbu Utara dan Pasir.

Kemudian dengan Undang­Undang Darurat No. 3 Tahun

1953 sebagai undang­undang dan menyatakan bahwa

wilayah Kabupaten Kotabaru dikurangi Kawedanan Pasir.76

75Ibid.

76Ibid.

Page 99: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

Gambar

Sumber: “Borneo Kaart, Koleksi David Rumsey Historical Map tahun 1827”,

Pelukis peta aslinya adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Peta dipublikasikan oleh Ph. Vandermaelen Bruxelles, Tipe Peta: Peta Atlas, Peta asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1: 1.641.836, berdasarkan pada Garis Meridian Paris.

~ 79 ~

Gambar 8. Borneo Kaart

Borneo Kaart, Koleksi David Rumsey Historical Map tahun 1827”, aslinya adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Peta

dipublikasikan oleh Ph. Vandermaelen Bruxelles, Tipe Peta: Peta Atlas, Peta asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1: 1.641.836, berdasarkan pada Garis Meridian Paris. Koleksi ANRI.

Borneo Kaart, Koleksi David Rumsey Historical Map tahun 1827”, aslinya adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Peta

dipublikasikan oleh Ph. Vandermaelen Bruxelles, Tipe Peta: Peta Atlas, Peta asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1: 1.641.836,

Koleksi ANRI.

Page 100: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

Gambar 9

Sumber: “Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W.

Nieuwenhuis”, dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun 1902, Koleksi ANRI.

Dalam peta yang sama berjudul

Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W.

Nieuwenhuis, yang dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh

E. J. Brill, Tahun 1902

tertulis dengan nama

77Peta asli berskala 1:2.000.000., peta asli berukuran 75 x 65 cm.

~ 80 ~

9. Kaart Van Het Eiland Borneo

“Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W. Nieuwenhuis”, dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun

ANRI.

Dalam peta yang sama berjudul Kaart Van Het Eiland

Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W.

, yang dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh

E. J. Brill, Tahun 190277 (Peta Versi Pertama) wilayah Satui

tertulis dengan nama G. (Gebergte) Satoewi. Kemudian dalam

Peta asli berskala 1:2.000.000., peta asli berukuran 75 x 65 cm.

. Kaart Van Het Eiland Borneo

“Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W. Nieuwenhuis”, dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun

Kaart Van Het Eiland

Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W.

, yang dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh

(Peta Versi Pertama) wilayah Satui

. Kemudian dalam

Peta asli berskala 1:2.000.000., peta asli berukuran 75 x 65 cm.

Page 101: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

dua peta berikutnya yakni

diterbitkan di Amsterdam oleh J.H. de Bussy, Tahun 1893.

Kemudian dalam peta

Topograpische Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot

1914),79 wilayah Satui

Gambar 10

Sumber: “Kaart van Nederlandsh Indie, diterbitkan di amsterdam oleh J.H.De

Bussy”, Tahun 1893. Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000.

78 Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000. 79 Skala peta 1: 2.000.000.

~ 81 ~

erikutnya yakni Kaart van Nederlandsh Indie

diterbitkan di Amsterdam oleh J.H. de Bussy, Tahun 1893.

Kemudian dalam peta Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo

Topograpische Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot

wilayah Satui ditulis G. (Gebergte) Satoei.

10. Kaart van Nederlandsh Indie

Nederlandsh Indie, diterbitkan di amsterdam oleh J.H.De Bussy”, Tahun 1893. Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000.Koleksi ANRI.

Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000.

Skala peta 1: 2.000.000.

Kaart van Nederlandsh Indie,

diterbitkan di Amsterdam oleh J.H. de Bussy, Tahun 1893.78

Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo

Topograpische Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot

) Satoei.

. Kaart van Nederlandsh Indie

Nederlandsh Indie, diterbitkan di amsterdam oleh J.H.De Bussy”, Tahun 1893. Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan

Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000.

Page 102: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

Gambar 11. Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo

Sumber: “Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo Topograpische Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot 1914)”, Skala peta 1: 2.000.000. Koleksi ANRI.

Berdasarkan sumber lokal

diinformasikan bahwa nama

wilayah Kecamatan Satui dengan ibukota Sungai Danau,

Kabupaten Tanah Bumbu

Gunung/pegunungan

lain berdasarkan sumber tertuli

~ 82 ~

11. Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo

Sumber: “Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo Topograpische Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot 1914)”, Skala peta 1: 2.000.000. Koleksi ANRI.

Berdasarkan sumber lokal dan kolonial

diinformasikan bahwa nama Satui yang sekarang menjadi

wilayah Kecamatan Satui dengan ibukota Sungai Danau,

Kabupaten Tanah Bumbu berasal dari nama wilayah

Gunung/pegunungan atau Gebergte Satui atau dalam ejaan

lain berdasarkan sumber tertulis naskah lokal, sumber lisan

11. Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo

Sumber: “Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo Topograpische Inrichting Batavia,

1909 (Bijgewert Tot 1914)”, Skala peta 1: 2.000.000. Koleksi ANRI.

dan kolonial tersebut dapat

yang sekarang menjadi

wilayah Kecamatan Satui dengan ibukota Sungai Danau,

berasal dari nama wilayah

atau dalam ejaan

s naskah lokal, sumber lisan

Page 103: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 83 ~

(lokal) dansumber tertulis masa kolonial yaitu Satoei, Satoi,

Satoe, Satu dan Satoewi.

B. “Menelusuri Jejak Sejarah” dan Alternatif Hari Jadi Satui

1. MomentSatui Diusulkan Menjadi Tanah Erfacht

(Tanah Sewaan)

Alternatif pertama yang bisa dijadikan Hari Jadi Satui

adalah tanggal pengusulan wilayah Satui sebagai tanah

erfacht (tanah sewaan), tahun 1891 dan tahun 1892.

Adapun lengkapnya tanggal pengusulan tersebut sebagai

berikut:

a. Tanggal 11 Januari 1889, wilayah Satui Maluka,

Pelaihari dan Tabanio diajukan sebagai tanah erfacht

(tanah sewaan), oleh pemodal (investor) Hindia

Belanda yang bernama B.J.F.M. van der Linden.

b. Tanggal 3 Juni 1890, wilayah Satui, diajukan sebagai

tanah erfacht (tanah sewaan) untuk kedua kalinya oleh

pemodal (investor) Hindia Belanda bernama B.J.W.E.

Broers.80

80 Handelingen der Staten­General. Bijlagen 1892­1893, Overzicht

Betreffende de in Erfpacht Aangevraagde Gronden op Java en Madura en in de Buitenbezittingen, die Gedurende 1891 aan de Aanvragers Geweigerd Werden., dalam Koloniaal Verslag van 1892, (Nederland Oost Indie, Bijlage L.), hlm.7.

Page 104: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 84 ~

Data tentang pengajuan sewa tanah tersebut

dirangkum dalam Laporan Kolonial tahun 1892,

khususnya dalam Bijlage L, tentang “Gambaran Penerapan

Sewa Tanah di Wilayah Jawa dan Madura dan Wilayah

Luar serta Lamaran Sewa Tanah yang Ditolak Pemerintah

Hindia Belanda pada tahun 1891”.

Dalam laporan tersebut juga dijelaskan bahwa

wilayah Satui adalah daerah District (setingkat Kecamatan)

yang berada di wilayah Regentchappen (Setingkat

kabupaten) Martapura. Luas wilayah Satui pada tahun

1891 tersebut berdasarkan pengukuran dari Comissie van

Onderzoek (Komisi Investigasi) Pemerintah Hindia

Belanda adalah 10.000 bouwe.81Pada Surat Keputusan

Hindia Belanda Tanggal 29 Agustus 1891 dan 21

Desember 1891, pengajuan tanah erfacht atau sewaan ini

81 Ukuran tanah berdasarkan bahu atau bau (dari bouw, kata bahasa

Belanda, berarti "garapan") dalam agraria adalah satuan luas lahan yang dipakai di beberapa tempat di Indonesia, terutama di Jawa. Ukuran bahu agak bervariasi, namun kebanyakan adalah 0,70 hingga 0,74 hektare (7000­7400 meter persegi) dan ada pula yang menyamakannya dengan 0,8 ha. Seperempat bahu disebut satu iring dan seperdelapannya adalah satu sidu. Dalam ukuran yang disepakati secara nasional, satu bahu adalah 500 ubin (Satu ubin/ru/tumbak setara dengan 14,0625 meter persegi). Satuan bahu banyak digunakan untuk areal pertanian (sawah atau ladang) dan telah dipakai sejak zaman Hindia­Belanda. Menurut Cultuurstelsel, 1 bouw adalah 7096,5 meter persegi. Lihat S. Padmo, Politik Agraria Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah di DIY: Sebuah Refleksi Historis. Artikel pada situs Jurusan Sejarah, FIB UGM, 2007; A.G. Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 2007).

Page 105: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 85 ~

akhirnya ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan

alasan pengajuan tanah sewaan ini terlalu beresiko

(rentan) dan belum tepat, dan karena masih terdapat

wilayah wilayah luas (banyak hamparan besar tanah) yang

belum jelas pemiliknya/tak bertuan. Alasan penolakan

sewa tanah ini sama “kasusnya” dengan penolakan hak

sewa tanah di Distrik Lampung (Lampongsche Districten)

dan Palembang, pada tahun yang sama.

Walaupun pengusulan ini ditolak, akan tetapi dari

bukti tertulis tersebut menunjukkan bahwa wilayah Satui

sejak tahun 1889, menjadi salah satu wilayah penting

dengan bahan tambangnya dan mengandung banyak

sumber daya alam lainnya. Seperti dituliskan H. van

Lokhorst, dalam artikelnya Schets Eener Geneeskundige

Plaatsbeschrijving de Afdeeling Tanah Laut (Zuid en

Oosterafdeeling van Borneo), pada tahun 1863.

Lokhorst menuliskan bahwa pada tahun 1863, Distrik

Satui, Distrik Pleihari dan Distrik Maluka merupakan

wilayah Afdeeling Tanah Laut. Distrik Satui berada di

wilayah utara Afdeeling Tanah Laut dan banyak

mengandung berlian. Kemudian dari laporan hasil

eksplorasi von Dewall dan van Gaffron, yang dirangkum

Page 106: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 86 ~

Theodore Posewitz dalam tulisannya tahun 1892,Borneo:

Its Geology and Mineral Resources.Dalam tulisan tersebut

“menyinggung” tentang wilayah Satui,yang merupakan

perbukitan, bagian dari rantai pegunungan di bagian

tengga Kalimantan dengan ketinggian 4.200 kaki dari

permukaan laut.82Satui juga adalah nama sungai dan desa

(dorp) di wilayah Afdeeling Kalimantan bagian tenggara,

termasuk landschap Tanah Lautdi perbatasan bagian

utara.83

Sebagai perbandingan, pada dua dekade terakhir abad

ke­19 dan awal abad ke­20, tanah­tanah di wilayah

Karesidenan Kalimantan Bagian Selatan dan Timur,

khususnya Afdeeling Tanah Bumbu dan daerah sekitarnya

dibagi atas dua yakni hak atas tanah bagi modal partikelir

di daerah pemerintahan tidak langsung yang dinamakan

concessie dan untuk daerah pemerintahan langsung

disebut erfpacht. Erpacht juga adalah istilah hak sewa

secara turun temurun untuk tidak lebih dari 75 tahun,

untuk perkebunan dan pertanian yang luas maupun

82 H. van Lokhorst, loc.cit.; Theodore Posewitz, loc.cit. 83 Lihat Pieter Johannes Veth, Aardrijkskundig en statistisch woordenboek

van Nederlandsch Indie (Amsterdam: Van Kampen, 1869), hlm. 257.

Page 107: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 87 ~

kecil.84Karena itulah di wilayah Tanah Bumbu terdapat

pemilikan tanah yang bersifat dualistis, yaitu wilayah­

wilayah yang status tanahnya dikuasai hukum Eropa dan

hukum adat (kesultanan).

Perbandingan lain sebagai bahan informasi, pada

abad 18 sampai awal abad 20, pola pemilikan tanah di

wilayah Pagatan, Batulicin, Cantung, Bangkalaan,

Sampanahan, Manunggal dan Cengal dikuasai oleh

84 Adolf Mieremet, De Hedendaagsche Inheemsche Rechtspraak in

Nederlandsch Indië en Haar Regeling (De Haan, 1919), hlm.16; lihat juga Dutch East Indies. Dienst van den Mijnbouw Netherlands, Departement van Kolonien, Jaarboek van het mijnwezen in Nederlandsch-Indië, Bagian 1,Volume 50 (Amsterdam: J.G. Stemler, 1922), hlm.45. Mieremet tidak menjelaskan hukum adat yang dimaksud. Menurut penulis, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu hukum adat mengenai tata negara. Kemudian hukum adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan. Kemudian hukum adat menganai delik (hukum pidana). Kemungkinan yang dimaksud hukum adat oleh Mieremet adalah hukum hukum tak tertulis yang bersifat pidana dan pemberian sanksi bagi pelaku kejahatan akan diadili atau diberikan sanksi oleh pemerintah Hindia Belanda. Sementara itu, mengenai masalah perselisihan perdata antara masyarakat pribumi yang beragama Islam di wilayah Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur akan diselesaikan oleh kepala adat menurut hukum agama atau hukum adat. Bagi golongan hukum Indonesia asli dan timur asing berlaku hukum adat mereka. Lihat arsip ANRI, Reglement op de Godsdienstige Rechtspraak Voor Een Gedeelte van de Residentie Zuider- en Oosterafdeling van Borneo (Ordonantie. van 21 Dec. 1937.) S. 37­638, bundel Borneo Zuid Oosterafdeling (BZO), No.265, hlm.1. Mengenai masalah investasi di Hindia Belanda, Clifford Gerrtz berpendapat bahwa setelah terbitnya Undang Undang Tanah Agraria pada tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda telah mengikuti arus imperialism modern dengan membuka diri terhadap masuknya modal swasta. Lihat Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Jakarta: Bhatara Karya aksara, 1983), hlm 87­88; Tim Penulis, Sejarah Banjar (Banjarmasin: Pemprov Kalsel, 2003), hlm. 241.

Page 108: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 88 ~

penguasa atau raja raja lokal. Dalam hal ini, menurut

Lenggono, dalam hukum tanah berdasar sistem feodal, di

mana segala isi negeri (terutama tanah) adalah milik

mutlak penguasa. Tanah dikuasai raja dan rakyat yang

mengerjakan dengan kewajiban menyerahkan hasilnya,

akibatnya rakyat menjadi alat untuk kekuasaan dan

kehormatan sang raja.85

Dalam sistem pemilikan tanah feodal di Kalimantan

bagian tenggara, pihak raja atau Arung/Pangeran/Aji,

mempunyai hak monopoli atas seluruh wilayah

kekuasaannya. Dalam hal ini termasuk monopoli atas

semua gua sarang burung (wallet), penggalian emas dan

intan, serta pengambilan hasil­hasil hutan. Walaupun

demikian raja­raja di wilayah Tanah Bumbu saat itu tidak

menganggap diri mereka memiliki kekuasaan atas tanah

secara absolut, mengingat luasnya wilayah kerajaan dan

minimnya jumlah penduduk. Dengan demikian tanah

bukan menjadi sesuatu yang sangat berharga dan berarti

sebagai unsur pembobot bagi sebuah kekuasaan.86

85P. Setia Lenggono, Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta

Mahakam, Teori Pembentukan Ekonomi Lokal, (Disertasi Pada Program Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2011), hlm.97.

86Ibid.

Page 109: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 89 ~

Pada tahun 1800 hingga tahun 1900­an, umumnya

sistem kepemilikan tanah di wilayah kedaulatan Kerajaan

Pagatan dan kerajaan kerajaan kecil lainnya di Tanah

Bumbu, hanya dilakukan dengan satu cara. Cara tersebut

adalah para pendatang (migran) tersebut meminta izin

pada penguasa kerajaan (Arung/Sultan) melalui Pua adu

dimana tanah tersebut berada, untuk mendapatkan hak

membuka tanah, dengan jalan pewarisan dan memindah

tangankan menurut hukum adat.87

Pada dasarnya setiap penduduk yang berdiam di

wilayah kerajaan ini berhak untuk memiliki tanah

perorangan. Tanah yang akan dimiliki tersebut syaratnya

haruslah “tanah bebas”, artinya belum dimiliki oleh orang

lain atau telah berpindah tangan karena dijual atau

diberikan. Tanah kerajaan yang diberikan sebagai tanah

hak milik perorangan, adalah tanah kosong atau telah

87Lihat Jacob Mallinckrodt, Het Adatrecht van Borneo, volume. 2 (M.

Dubbeldeman, 1928), hlm. 190­191. Walaupun secara politis, pemerintah Hindia Belanda telah menandatangani kontrak dengan kesultanan Pagatan (Landschap Tanah Pagattan/Koessan) seperti Besluit 19 Junij 1838 no.8, Besluit 21 Junij 1839 no.10, Besluit 6 Maart 1841 no.8, Besluit 3 November 1841 no.14 dan Besluit 16 Mei 1842 no.10, tetapi belum mencampuri urusan tentang pemilikan dan hak atas tanah. ANRI, Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun 1839-1848 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1973), hlm. 180­185.

Page 110: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 90 ~

ditinggalkan oleh penggarapnya sampai berpuluh­puluh

tahun hingga sudah menjadi hutan rimba kembali.88

Perbandingan lainnya adalah pola kepemilikan tanah

bagi Suku Bugis yang tidak berpengaruh pada tanah­tanah

yang dimiliki suku asli yakni suku bangsa Dayak.

Alasannya, karena orang­ orang Bugis hanya menguasai

tanah­tanah di wilayah pesisir dan sekitar muara seperti

Sungai Pagatan dan Batulicin, sedangkan orang Dayak

umumnya tidak mau berbaur dengan pendatang dan

menempati daerah­daerah hulu sungai (Sungai

Kusan).Selanjutnya, pola pemilikan tanah orang Bugis,

berbeda dengan masyarakat Dayak. Pola pemilikan tanah

pada suku bangsa Dayak disebuthak bubuhan. Tanah­

tanah di sekitar pemukiman mereka adalah tanah bubuhan

atau persekutuan yang tidak hanya dikuasai tetapi juga

diatur penggunaannya. Penguasaan atas tanah diperoleh

setelah seseorang pertama kali membuka hutan untuk

pahumaan (ladang).89

88 Lenggono, op.cit., hlm.97. 89 Lebih lengkapnya lihat Charles Hose & William Mc Dougall, Pagan

Tribes Of Borneo, Volume I (Kessinger Publishing, 2004), hlm.5­20. Lihat juga Bernard Sellato, Nomads of the Borneo Rainforest: The Economics, Politics and Ideology of Settling Down (USA: University of Hawaii Press, 1994), hlm. 8­17.

Page 111: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 91 ~

Perangkat hukum yang mengatur tentang pertanahan

(agraria) di wilayah Hindia Belanda pada tahun 1870

sampai 1900, sebenarnya sudah diatur dengan Agrarische

Wet yang diterbitkan pada tahun 1870. Meskipun

demikian peraturan ini belum diberlakukan di luar Jawa

dan Madura. Hal tersebut menyebabkan sejumlah

perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Tanah

Bumbu pada kurun waktu tersebut, harus meminta izin

atau konsesi dari penguasa lokal (Arung/Aji/Pangeran),

jika ingin menggarap tanah atau hutan di wilayahnya.90

Konsekuensi dari penghapusan Kerajaan Pagatan

tersebut menurut Mieremet, hukum adat di wilayah

Pagatan dan Kusan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Selanjutnya kebijakan penghapusan hukum adat di

Pagatan ini, menjadi dasar pijakan Pemerintahan Kolonial

Belanda pada awal tahun 1913­an untuk memantapkan

hegemoni penguasaan dan pengaturan pertanahan di

wilayah jajahan. Hal tersebut dilakukan pemerintah

kolonial untuk menjamin kelancaran investasi modal­

90 Dualisme tanah ini terlihat dari munculnya permintaan konsesi

pertambangan dan pembukaan pertambangan batubara di Pagatan. Lihat ANRI, Arsip "Pegatan en Koesan Suppletoir Contract" dalam Overe enkomsten met Inlandsche vorsten in den Oost- Indischen Archipel (I66.7), bundel Borneo Zuid Oosterafdeling (BZO), No. 122, hlm. 3.

Page 112: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 92 ~

modal partikelir, khususnya di bidang perdagangan dan

perekonomian. Tentunya hal ini berdampak pada status

pemilikan tanah di wilayah Tanah Bumbu, khususnya

sebelum dan pasca tahun 1912.

2. Tahun 1915, Inskripsi Makam Tertua di Satui

Alternatif kedua yang bisa dijadikan Hari Jadi Kota

Satui adalah “pertanggalan” makam tertua di wilayah

Satui yakni tahun 1915 Masehi atau 1329 Hijriyah.

Sayangnya, tidak terdapat tanggal pada nisan tersebut

sehingga perlu dicarikan alternatif tanggal yang sesuai

dan bisa melengkapi tahun tersebut. Adapun nama nama

pada nisan dengan inskripsi Huruf Lontara Bugis

Makassar yang ada di wilayah Satui adalah :

1) Nisan bertuliskan inskripsi emsn airaim (Mesana

Iraima = Nisannya Raima) yang berada dalam satu

makam dengan nisan yang bertuliskan inskripsiauw ln

(Uwa Lana).

2) Nisan kedua yang bertuliskan inskripsi rnn (Ranana).

3) Nisan ketiga yang bertuliskan inskripsilposi (Laposi).

Berdasarkan analisa nama (toponim) pemakaian

gelar auw ln (Uwa Lana) hampir sama dengan

Page 113: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 93 ~

penyebutan gelar “Uwa” bagi tokoh­tokoh Tolotang.91 Jadi,

kemungkinan besar nama Uwa Lana yang ada di wilayah

Satui adalah orang Bugis yang bermigrasi

(pelarian/eksodus) dari Sidenreng Rappang (Sidrap),

Sulawesi Selatan dan daerah sekitarnya, karena di Sidrap

mereka dianggap sebagai komunitas kelas paling bawah,

sekelas hamba sahaya.

Sementara nama kedua lposi (Laposi), jika dianalisa

nama lposi, nama depan “La” pada depan namanya

tersebut menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah

Bangsawan (laki­laki) Bugis. Contoh namaLa yang dipakai

orang Bugis yang hampir sezaman adalah Pambakala

(Kepala Kampoeng) La Suke pada tahun 1920­1955 di

91 Komunitas Tolotang menggunakan bahasa Bugis sehari­hari dengan

dialek Sidenreng­Rappang. Tradisi mereka adalah tradisi yang berasal dari latar belakang Bugis Wajo. Dalam perkembangan berikutnya situasi berubah. Mereka dipinggirkan dan memperoleh perlakuan tak mengenakkan setelah raja­raja Islam Wajo berkuasa. Penghinaan dan penyingkiran ini mereka terima karena budaya dan keyakinan mereka dianggap menyimpang, sesat, dan seterusnya. Komunitas Tolotang dikenal memiliki tradisi dan keyakinan yang banyak berbeda dengan ajaran agama resmi, khususnya Islam yang dianut mayoritas masyarakat Bugis. Mereka disingkirkan, sehingga bermigrasi ke daerah Sidenreng Rappang (Sidrap), dan daerah sekitarnya, sisanya ada yang menetap di Wajo. Di Sidrap mereka dianggap sebagai komunitas kelas paling bawah, sekelas hamba sahaya. Karena itulah, penyebutan “Uwa” diperuntukkan bagi tokoh­tokoh Tolotang. Lihat http://www.desantara.or.id /032008/411/pelanggaran­ham hinduisasi tolotang/, diakses 20 Mei 2013.

Page 114: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 94 ~

wilayah Pagatan. La Suke adalah Kepala KampoengPedjala

dan putra dari La Upe.92

Munculnya orang orang Bugis di wilayah Satui

memang sangat dimungkinkan karena arus migrasi Bugis

ke luar Sulawesi Selatan yang terjadi pada abad ke­17

hingga abad ke­20 menjadi salah satu fenomena diaspora

yang menonjol dalam sejarah Indonesia. Orang Bugis

memandang konteks diasporadalam kerangka

hubungannya dengan migrasi atau msoep (massompe’).

Massompe’ sejalan dengan filosofi orang Bugis yang

berbunyi ekgisi moro soer lopiea kositu tomlbu eseGer

(kegisi monro sore’ lopie’, kositu tomallabu se’ngereng)

yang artinya: “di manaperahu terdampar, disana

kehidupan ditegakkan”.93

Orang Bugis mulai bermigrasi secara intensif pada

awal abad ke­17 bukan semata­mata karena faktor

92 Tim Penulis, Upacara Adat Mappanre Tasi’ di Pagatan Kabupaten Tanah

Bumbu, Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Disbudpar Pemprov Kalimantan Selatan, 2008), hlm.10. Setelah La Suke meninggal digantikan oleh Pambakala La Saing pada tahun 1955­1970.

93Mansyur, Diaspora Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu, Karesidenan

Borneo Bagian Selatan dan Timur Tahun 1842-1942, Tesis pada Program Studi Magister Ilmu Sejarah, Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro Semarang 2012, hlm.1­5. Lihat juga Andi Ima Kesuma, Migrasi dan Orang Bugis: Penelusuran Kehadiran Opu Daeng Rilakka Pada Abad XVIII di Johor (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm 6­7.

Page 115: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 95 ~

ekonomi, tetapi juga karena faktor non­ekonomi, antara

lain tidak adanya ketenteraman jiwa, karena peperangan,

kehilangan kemerdekaan, dan juga karena filosofi yang

dipegang, khususnya orang Bugis dari Wajo yang tertuang

dalam ungkapan mredk to wjoea aedmi npopuw

(Maradeka to-Wajo’e ade’mi napopuwang:Rakyat Wajo itu

merdeka hanya hukumlah yang menjadi tuan). Dengan

bahasa lain, jika dalam penyelenggaraan pemerintahan

hukum tidak bisa ditegakkan, maka orang Bugis dan

Makassar akan bermigrasi atau berpindah ke daerah lain.

Memang sejak abad ke­18 hingga abad ke­20 salah

satu lokasi yang menjadi tujuan migrasi Suku Bugis

adalah wilayah Tanah Bumbu di Kalimantan bagian

tenggara dan sekitarnya karena lokasinya sangat

strategis, terutama memiliki banyak lahan yang bisa

digarap menjadi area pertanian dan perkebunan kelapa,

serta memiliki potensi perikanan yang melimpah. Secara

bertahap, akhirnya para migran Bugis berhasil

membangun daerah pesisir tenggara Kalimantan yang

berpusat di wilayah Pagatan. Pengaruh Bugis juga

Page 116: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 96 ~

terdapat di beberapa distrik yakni Batulicin, Cantung,

Bangkalaan, Sampanahan, Manunggal dan Cengal.94

Menurut Linneton, munculnya pengaruh Bugis ke

wilayah pesisir di beberapa wilayah di Nusantara karena

adanya daya tarik tersendiri. Hal utama yang paling

signifikan yang mempengaruhi migrasi Bugis ke daerah­

daerah lain dalam empat dekade pertama abad kedua

puluh adalah boom tanaman pertanian dan perkebunan

primer khususnya padi dan karet dan kopra. Sebagian

besar imigran Bugis ke Kalimantan dan Malaya terlibat

dalam penanaman karet dan kelapa untuk kopra serta

tidak lagi menanam tanaman­tanaman untuk produksi

pertanian subsistensi seperti di wilayah Sulawesi Selatan.

Hingga tahun 1930, lebih dari sepuluh persen dari etnis

Bugis berdomisili di luar Sulawesi Selatan.95

Dalam sumber kolonial, hasil sensus penduduk yang

dirangkum dalamNederlandsch-Indie Uitkomsten der in de

94 J.J.Hollander, Borneo’s Zuider en Ooster Afdeling, (Handleiding Bij De

Beoefening Der Land en Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie, Koninklijke Militaire Akademie,1864), hlm.143.

95Lihat juga Jacqueline Linneton, “Passompe’ Ugi’: Bugis Migrants and

Wanderers”, dalam Archipel, volume.10, 1973, hlm..181.

Page 117: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 97 ~

Maand November 1920,96menggambarkan bahwa migrasi

keluar dan persebaran etnik Bugis ke Kalimantan adalah

50.189 jiwa atau sekitar 41,26 persen dari total migrasi

suku Bugis ke seluruh daerah kepulauan di Nusantara

seperti pulau Jawa, Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara

serta wilayah Maluku dan Irian Jaya. Jumlah migrasi suku

bangsa Bugis ini lebih besar dibandingkan dengan jumlah

migrasi suku Makassar yang hanya mencapai 595 jiwa

atau 6,13 persen.

Bila dibandingkan dengan migrasi ke daerah

lainnya, jumlah migrasi suku bangsa Bugis ke Kalimantan

ini menempati urutan kedua, di bawah jumlah migrasi

Suku bangsa Bugis ke wilayah Sulawesi Utara dan Tengah

yang mencapai 53.710 jiwa atau 44,15 persen dari jumlah

total migrasi suku bangsa Bugis ke seluruh wilayah

Nusantara. Data tersebut juga memperlihatkan bahwa

hanya suku Bugis dan Makassar yang melakukan migrasi

ke wilayah Kalimantan, sedangkan suku bangsa Mandar

dan Toraja, tidak terdata melakukan migrasi ke

Kalimantan.

96 Nederlandsch­Indie Uitkomsten der in de Maand November 1920,

Gehouden, Volkstelling, Deel I (Drukkerijen Ruygrok & Co., 1922). hlm. 130­259.

Page 118: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 98 ~

Diperkirakan di wilayah Satui berasal dari “embrio”

Kampung Bugis yang pada umumnya sama dengan

Kampung­Kampung Bugis di Sulawesi Selatan umumnya.

Biasanya dipimpin oleh Matoa yang berarti orang yang

dituakan (dalam bahasa Bugis). Asal mula munculnya

kampung nelayan ini karena masyarakat Bugis dalam

kegiatan perekonomiannya adalah nelayan dan melaut

serta bertani. Masyarakat Bugis mahir membuat

konstruksi perahu layar dengan model dan tipe yang

menarik. Para migran Bugis membentuk permukiman

kampung nelayan untuk memudahkan aksesibilitas

terhadap kegiatan sehari­hari.97

3. Terbitnya Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor

Het Jaar 1849

Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun

1849,98 wilayah Satui termasuk wilayah distrik dalam

97 Andi Nuralang, “Pesta Adat Mappanretasi: Obyek Wisata Laut di

Kotabaru, Kalimantan Selatan”, (tulisan tidak diterbitkan koleksi Balai Arkeologi Banjarmasin, 2007).

98 Lembaran Negara dikenal dengan istilah Staatsblad, dimana

dirumuskan ketentuan Undang­Undang hukum perdata yang dapat dibaca oleh umum. Sementara afdeeling adalah sebuah wilayah administratif pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Administratornya dipegang oleh seorang asisten residen. Afdeeling merupakan bagian dari Karesidenan. Suatu afdeeling dapat terdiri dari beberapa onderafdeeling (setingkat kabupaten pada masa

Page 119: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 99 ~

onderafdeeling Tanah Laut, Borneo Zuid Ooster

Afdeeling(Afdeeling Borneo Selatan dan Timur)

berdasarkan Besluit van den Minister van Staat,

Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie Nomor 40,

yang ditetapkan pada tanggal 27 Agustus 1849. Tanggal

ini bisa dijadikan alternatif Hari Jadi Kota Satui, karena

pada tanggal ini adalah penetapan pertama dan tertua

wilayah Satui secara administratif menjadi wilayah

distrik. Wilayah Borneo Zuid Ooster Afdeeling (Afdeeling

Borneo Selatan dan Timur) beribukota di Banjarmasin.99

4. Terbitnya Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor

Het Jaar 1898

Sejak tahun 1898, terjadi perubahan pembagian

wilayah lokal administratif, seperti yang terdapat dalam

sekarang). Onderafdeeling adalah suatu wilayah administratif yang diperintah oleh seorang controleur/kontrolir (wedana bangsa Belanda). Sebuah onderafdeeling terdiri atas beberapa landschap (setingkat kecamatan). Dalam perkembangannya tahun 1863 daerah Tanah Laut menjadi Afdeeling Tanah­Laut.

99 Pembagian wilayah Borneo ini berdasarkan “Besluit van den Minister

van Staat, Gouverneur­Generaal van Nederlandsch­Indie”, pada tanggal 27 Agustus 1849 No. 8, lihat Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1849 (Batavia: Ter Lands Drukkerij, 1849), hlm.1­2. Sebagai arsip pembanding adalah “De Minister van Staat, Gouverneur Generaal van Nederlandsc Indie”, dalam L.J.A. Tollens, Verzameling van Wetten, Besluiten, Bepalingen, Kennisgaven, enz, Over de Jaren 1808-1856, Tweede Deel (Batavia: Lange & Co, 1856), hlm.160. Lihat juga “Het Eiland Borneo en Zijne Bewoners”, dalam J.B.J. van Dooren, Bijragen tot de Kennis van Verschillende Overzeesche Landen, Volken, enz, Eesrste Deel (Amsterdam: J.D. Sybrandi, 1860), hlm. 241.

Page 120: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 100 ~

Staatblad no. 178 tahun 1898 pada wilayah Residentie

Borneo’sZuid en Oosterafdeeling (Karesidenan Borneo

bagian Selatan dan Timur)100Menurut Staatblaad tahun

1898 no. 178 Tanah Laut menjadi salah satu

onderafdeeling di dalam Afdeeling Martapoera yaitu

Onderafdeeling Tanah Laoet terdiri dari Distrik Pleihari,

Distrik Maluka, Distrik Satui. Berdasarkan staatblad atau

lembaran negara tersebut, Satui berstatus Distrik Satui

bagian dari Onderafdeeling Tanah Laut. Menurut

Staatblaad tahun 1898 no. 178. tersebut, Distrik Satui

berbatasan di Timur dengan Landskap Sabamban dan di

sebelah Barat dengan Distrik Pleihari.

Khusus Afdeeling Martapura dipimpin oleh Asisten

Residen E.A. Klerks. Untuk Onderafdeeling Tanah Laut,

Controleur-nyaadalah J.W.J.Wellan. Jabatan Letnan Cina

yang juga bertempat di Pelaihari dipegang oleh Gho Hiap

Seng sejak tahun 1871. Distrik Pelaihari dipinpin oleh

Kiai Mohamad Jusuf dan Distrik Maluka oleh Kiai

100 M. Suriansyah Ideham, et.al. (ed), Sejarah Banjar (Banjarmasin:

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2003), hlm. 233. Lihat juga R.A.Leirissa et.al. (ed), Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jarahnitra, 1983/1984), hlm. 96.

Page 121: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 101 ~

Ahmad.101 Secara umum, menurut Staatsblad (Lembaran

Negara) Tahun 1898 Nomor 178, pembagian wilayah

administratif di Karesidenan Borneo bagian Selatan dan

Timur sebagai berikut:

1) Afdeeling Banjarmasin en Ommelanden (daerah

sekitarnya)

2) Afdeeling Martapura

3) Afdeeling Kandangan

4) Afdeeling Amuntai

5) Afdeeling Doesoenlanden (Tanah­tanah Dusun)

6) Afdeeling Dayaklanden (Tanah­tanah dayak)

7) Afdeeling Sampit

8) Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, Pulau

Kalimantan dikenal dengan sebutan Borneo. Di akhir

abad ke­19 dan permulaan abad ke­20 Kalimantan

Selatan, yang juga meliputi daerah Kalimantan Tengah,

saat itu dimasukkan bersama­sama dengan Kalimantan

Timur dalam satu daerah administratif, dan dikenal

dengan sebutan Residentie Zuider en Ooster Afdeeling Van

101 M. Idwar Saleh, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional

(1900-1942) di Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat, 1977/1978), hlm. 15.

Page 122: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 102 ~

Borneo dengan Banjarmasin sebagai pusat pemerintahan

daerah. Dengan demikian Zuider en Ooster Afdeeling van

Borneo adalah nama untuk menyebutkan daerah selatan

dan timur Kalimantan, yaitu Kalimantan Selatan,

Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah, yang

dipimpin oleh seorang Residen sampai tahun 1938.

Secara hierarkis pemerintahan Keresidenan

Borneo bagian Selatan dan Timur langsung berada di

bawah pemerintahan pusat yang berkedudukan di

bawah Batavia/Bogor. Hubungan Banjarmasin dengan

Batavia adalah sebagai pemerintahan daerah dengan

pemerintahan pusat yang meliputi segi politik, militer,

ekonomi, keuangan, pendidikan, kepolisian dan

sebagainya. Pemerintah pusat di Batavia menjalankan

politik sentralisasi dalam bidang pemerintahan atas

daerah­daerah luar Jawa yang dikuasainya.

5. Tanggal Kelahiran “Putra Daerah Satui” &Pahlawan

Nasional Idham Chalid

Tokoh Idham Chalid adalah seorang “putra daerah”

yang lahir di Satui, 27 Agustus 1921. Idham adalah

Pahlawan Nasional Indonesia dari Kalimantan

Page 123: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

Selatan,salah satu politikus dan menteri Indonesia yang

berpengaruh pada masa

Gambar 12. “Putra Daerah” Satui, Idham Chalid

Sumber : Koleksi www.ma­

Selain sebagai politikus Idham Chalid aktif dalam

kegiatan keagamaan dan beliau pernah menjabat Ketua

Tanfidziyah Nahdlatul Ulama tahun 1956

berkiprah dari remaja, karier Idham di PBNU menanjak.

Ketika NU masih bergabung dengan Masyumi (1950), ia

~ 103 ~

salah satu politikus dan menteri Indonesia yang

berpengaruh pada masa tahun 1950­1970 an

Gambar 12. “Putra Daerah” Satui, Idham Chalid

­darulmaarif.sch.id

Selain sebagai politikus Idham Chalid aktif dalam

kegiatan keagamaan dan beliau pernah menjabat Ketua

Tanfidziyah Nahdlatul Ulama tahun 1956

berkiprah dari remaja, karier Idham di PBNU menanjak.

tika NU masih bergabung dengan Masyumi (1950), ia

salah satu politikus dan menteri Indonesia yang

1970 an.

Gambar 12. “Putra Daerah” Satui, Idham Chalid

Selain sebagai politikus Idham Chalid aktif dalam

kegiatan keagamaan dan beliau pernah menjabat Ketua

Tanfidziyah Nahdlatul Ulama tahun 1956­1984.Sejak

berkiprah dari remaja, karier Idham di PBNU menanjak.

tika NU masih bergabung dengan Masyumi (1950), ia

Page 124: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 104 ~

menjadi ketua umum Partai Bulan Bintang Kalimantan

Selatan. Sementara itu, ia juga menjadi anggota DPR RIS

(1949­1950). Dua tahun kemudian, Idham terpilih

menjadi ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU (1952­

1956). Kemudian, dipilih menjadi orang nomor satu NU

pada 1956. Idham merupakan orang terlama menjabat

ketua umum PBNU.102

Di bidang eksekutif,Idham Chalid beberapa kali jadi

menteri, baik saat masa Orde Lama maupun Orde Baru.

Ketika Bung Karno jatuh pada 1966, Idham Chalid

menjadi anggota presidium Kabinet Ampera I dan

Kabinet Ampera II dan setelah itu ia diangkat menjadi

ketua MPR/DPR pada periode 1971­1977. Jauh

sebelumnya, pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II,

Idham Chalid juga menjabat sebagai wakil PM. Dalam

pemerintahan, beliau pernah juga mengemban tugas

Ketua DPA.Idham Chalid diangkat menjadi Pahlawan

Nasional Indonesia, bersama dengan enam tokoh lain,

berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 113/TK/Tahun

102 Lihat Ahmad Muhajir, Idham Chalid, Guru Politik Orang NU,

(Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2007), hlm. 27­37.; bandingkan dengan Arief Mudatsir Mandan (ed), Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid, Tanggung Jawab Politik NU Dalam Sejarah, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2008), hlm. v­vi.

Page 125: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 105 ~

2011 tanggal 7 November 2011. Idham Chalid meninggal

di Jakarta, 11 Juli 2010 pada usia 88 tahun.103

Alternatif dasar penentuan Hari Jadi Satui

berdasarkan Hari kelahiran tokoh Idham Chalid, 27

Agustus 1921, bisa dijadikan berdasarkan pendapat

sejarawan nasional Taufik Abdullah. Menurut Taufik

Abdullah, dalam penentuan Hari Jadi Daerah, terdapat

alternatif yakni makna simboliknya­lah yang lebih lebih

dipentingkan, tetapi “sialnya” peristiwa yang sesuai bisa

saja tidak ada, maka Hari Jadi pun didapatkan

berdasarkan penggabungan tahun terjadinya peristiwa

tertentu (seperti didirikannya benteng). 104

Penentuan tanggal dan bulan Hari Jadi Daerah bisa

juga berdasarkan hari lahir pemimpin yang dikagumi.

Jadi tanggal hanyalah alat untuk merayakan suatu simbol

yang bermakna. Kasus ini boleh disebut sebagai invented

atau prefabricated history. Kepastian sejarah hanyalah

103 Ibid. 104Taufik Abdullah, “Wisata Budaya: Sekitar Penentuan Hari Jadi Unit

Adminitratif:, makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Kaji Ulang Hari Jadi Majalengka di Majalengka tanggal 30 Agustus 2005, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, hlm.1­2.

Page 126: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 106 ~

sekadar penentuan waktu saja sebab yang penting

adalah nilai yang ingin dilekatkan pada Hari Jadi itu. 105

6. Penetapan Satui Menjadi Distrik Tanggal 1 Mei 1877.

Alternatif lain yang bisa dijadikan menjadi Hari Jadi

Kota Satui adalah tanggal penetapan Satui menjadi

Distrik, di bawah Afdeeling Martapoera tanggal 1 Mei

1877. Penetapan tanggal ini berdasarkan Peraturan

Tentang Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda, pada

masa jabatan Komisaris Pemerintah Komisaris T. N.

Nieuwenhutjzen pada 11 Juni 1860 yang diterbitkan

dengan Proklamasi (pernyataan).

Berdasarkan Surat Keputusan Pasal 20, 29, 31 dan

83 tentang Peraturan Tentang Kebijakan Pemerintah

Hindia Belanda, diwakili Komisaris Pemerintah Komisaris

T. N. Nieuwenhutjzen, dimana wilayah otonom

Bandjarmasin (Kerajaan Banjar) dinyatakan berakhir

(dihapuskan) dan wilayah wilayah yang ada dinyatakan

berada di bawah pemerintahan langsung Gubernur

Jenderal Hindia Belanda. Dalam Proklamasi tersebut telah

105 Ibid.

Page 127: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 107 ~

disetujui beberapa ketentuan yang diterapkan dalam

beberapa pasal.106 Adapun pasal tersebut adalah:

Pada pasal 1, dijelaskan bahwa Karesidenan Borneo

bagian Selatan dan Timur (Borneo Zuider en

Oosterafdeeling) dibagi atas enam wilayah Afdeeling:

a) Bandjermasin en Ommelanden,

b) Amoentai,

c) Martapoera,

d) Doeson dan Dajaklauden,

e) Sampit dan,

f) Koetei dan Pantai Timur Kalimantan. 107

106Penetapan tersebut diberitakan oleh Koran/Surat kabar De Locomotief,

Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 35., hlm. 2. Koran De Locomotief adalah koran pertama yang terbit di Semarang pada zaman Hindia Belanda, berdiri pada tahun 1845. De Locomotief pernah dipimpin oleh Pieter Brooshooft, seorang aktivis politik etis. Awalnya harian ini bernama Semarangsch Nieuws en Advertentieblad. Pada tahun 1863, Koran ini berganti nama menjadi De Locomotief, bersamaan dengan berjalannya kereta api pertama di Semarang. Koran ini sempat ditutup, dan kemudian pada tahun 1947 harian De Locomotief berdiri kembali. Pada tahun 1956, harian tersebut ditutup dan gedung diambil alih oleh Bank Bumi Daya setelah direnovasi.

107 Ibid.

Page 128: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

Gambar 13. Koran De Locomotief, Penetapan Satui Menjadi Distrik, 1 Mei 1877

Sumber: Koran/Surat kabar

Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 35

~ 108 ~

Koran De Locomotief, 1877 Penetapan Satui Menjadi Distrik, 1 Mei 1877

Koran/Surat kabar De Locomotief, Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 35

Yang Memuat Penetapan Satui Menjadi Distrik, 1 Mei 1877

, Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag

Page 129: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 109 ~

Selanjutnya pada pasal 2, dijelaskan bahwa

pemimpin dari empat wilayah pertama yang disebutkan

pada pasal 1 (Bandjermasin en Ommelanden, Amoentai,

Martapoera, dan Doeson dan Dajaklauden) dan Afdeeling

terakhir (Koetei dan Pantai Timur Kalimantan), adalah

pejabat dengan pangkat Asisten Residen,sedangkan di

Afdeeling Sampit diangkat seorang Inspektur dengan

pangkat/status sebagai Pegawai Negeri yang diangkat

oleh pemerintah, semua wilayah ini bawahan Residen

Borneo Bagian Selatan dan Timur.108

Berikutnya pada pasal. 3, dijelaskan Afdeeling

Banjarmasin terdiri atas daerah daerah yang sudah

terdaftar, serta daerah sekitarnya. Pembagian wilayah

Afdeeling Martapoera, terdiri atas Distrik Martapoera,

Marga Sari, Benoea Ampat, Riam Kiwa, Riam Kanan,

Tabanio, Pleihari, Maloeka dan Satoei.109

Kemudian pembagian wilayah Afdeeling Amoentai

terdiri atas Distrik Amoentai, Batang Alai, Laboean Amas,

Balangan, Amandit, Negara, Tabalong dan Kloewa.

Afdeeling Doeson en Dajaklanden dari Distrik Bakoempai,

108 Ibid. 109 Ibid.

Page 130: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 110 ~

Boven Doeson, Beneden Doeson (termasuk Onderdistrict

Siang Murung), Oost Doeson (termasuk wilayah District

Siong, Patai, Pakoe, Dagoe, dan Karau), Mengkatib, Dayak

Besar (yang menghubungkan Afdeeling Kahayan Bawah,

Tengah dan Atas, dan Dayak Kecil (menghubungkan

Onderdistrik Kapuas Bawah, Tengah dan Atas).

Selanjutnya, dalam pembagian wilayah tersebut juga

dijelaskan bahwa Afdeeling Sampit (menghubungkan

Onderdistrik Tjampaga, Mantaja dan Kwajan), Mendawe

(yang menghubungankan Onderdistrik Katingan dan

Samba) dan Pemboeang (Termasuk Onderdistrik

Semboeloe dan Soerajau), diurus oleh penguasa setempat

dariKota Waringin termasuk landschap Koemai dan

landschap Djelei. 110

Wilayah Koetei dan Pantai Timur Kalimantan diurus

oleh penguasa setempat dari Boeloengen, (termasuk

wilayah Tidongsche dan pulau­pulau Tarrakan, dan

Noenoekan, Sabittik dengan pulau­pulau kecil lainnya),

Goenoeng Tabur (yang menghubungkan antara pulau

Raboe­Raboe, Pulu Pandjang, Manimbora, Darawan,

Semamakh, Singga­Laki, Maratoea, Bakoengan, Poelaoe

110 Ibid.

Page 131: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 111 ~

Kokokh, Tengeman, Beelakh, Noesa Kokokh, Belingisan,

Tengalas, Poeloa Samoet, Oemagi, Pendan, Pendananan

Balambangan), Sambalioeng (termasuk wilayah Samsit,

Kakaban, Bilang Bilangan, Kamoengan Basar, Kamoengan

Ketjil, Balikh Koekoep, Manimbora dan Mataka), Koetei

(yang menghubungkan pulau Miang, Birah­Birahan dan

Sitabakh), Pasir, Pegatan dan Koesan, serta landskap yang

dipimpin oleh pemimpin asli (dari daerah sendiri), seperti

Tjingal, Manoengoel, Bangkallan, Sampanahan, Tjantoeng,

Batoe Litjin, Sebambang, Poelaoe Laoaet, termasuk pulau

Saboekoe, semua daerah ini dalam satu landschap yang

disebut Tanah Boemboe. 111

Pada pasal 4, dijelaskan Afdeeling Martapoera,

Amoentai dan Doesoen dan Dajaklanden dijadikan

wilayah Onderafdeeling, yang dikepalai inspektur

binnenlandschur (inspektur yang diangkat oleh Negara),

bawahan Asisten Residen seperti Afdeeling Martapura dan

tigaOnderafdeeling lainnya yakni Benoea Ampat dan

Margasari, Riam Kiwa dan Riam Kanan dan Tanah Laoet;

Afdeeling Amoentai yang dibagi tiga Onderafdeeling yaitu

Batang Alai, Laboean Amas dan Balangar; Amandit dan

111 Ibid.

Page 132: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 112 ~

Negara, dan Tabalong dan Kloewa; Afdeeling Doeson dan

Dayaklanden, dibagi menjadi 3 Onderafdeeling Doeson

dan Dayaklanden. Terakhir pada pasal 5, peraturan ini

berlaku pada 1 Mei 1877. 112

7. Pemberian Gelar “Kiai” Kepada Mohamad

Jasin,Pemimpin Satui, 21 April 1877

Alternatif lain yang bisa dijadikan menjadi Hari Jadi

Kota Satui adalah tanggal Penetapan dan Penunjukan

Mohamad Jasin sebagai Kiai (setingkat kepala

desa/distrik) yang membawahi wilayah Satui, 21 April

1877. Pemberian gelar tersebut diposkan dengan layanan

telegraph. Ditetapkan 21 April 1877, dan dinyatakan

berlaku efektif sejak tanggal tersebut, dirilis G.E.van

derGeugtendari DinasNegara Komisi Kelas Ketiga, untuk

itu ditunjuk petugas untuk Komisi Kelas Ketiga,

yakniM.A.Mayes, dibantu Pengawas/Kurator William III,

dan Sekretaris Pemerintah, J. H. Pannekock. 113

112 Ibid. 113Penetapan tersebut diberitakan oleh Koran/Surat kabar De Locomotief,

Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 116., artikelhlm. 2.

Page 133: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

Gambar 14. Koran De LocomotiefPemberian Gelar “Kiai” Kepada Mohamad Jasin, Pemimpin Satui, 21 April 1877

Sumber: Koran/Surat kabar Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 116.,

~ 113 ~

Gambar 14. Koran De Locomotief, 1877 Pemberian Gelar “Kiai” Kepada Mohamad Jasin, Pemimpin Satui, 21 April 1877

Koran/Surat kabar De Locomotief, Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 116., artikel hlm. 2.

Yang Memuat Pemberian Gelar “Kiai” Kepada Mohamad Jasin, Pemimpin

Nieuws, Handels, en Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag

hlm. 2.

Page 134: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 114 ~

Untuk pemerintah (pegawai) pribumi, diberikan

titel/gelar Radhen untuk Mas Toemenggoeng Soeria

Kasoema dan Ronggo untuk pegawai pribumi di wilayah

Afdeeling Bandjermassin en Ommelanden (Karesidenan

Borneo Bagian Selatan dan Timur), diberikan hadiah gelar

atas jasanya kepada negara, dengan lisensi untuk diri

mereka sendiri. Selanjutnyanama beliau ditulis dengan

nama RadhenToemenggoengSoeriaKasoema. Selain

pemberian gelar Radhen untuk Mas

ToemenggoengSoriaKasoema, juga diberikan ke semua

gelar Ronggo untuk Kiai (setingkat kepala desa/distrik)

yang membawahi wilayah di Afdeeling Banjarmasin dan

sekitarnya (Bandjermasin en Ommelanden), wilayah

lainnya yakni Afdeeling Martapura, Afdeeling Amuntai dan

Afdeeling Doeson en Dajaklanden. 114 Adapun daftar

pemimpin wilayah yang menerima gelar tersebut sebagai

berikut:

114 Ibid.

Page 135: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 115 ~

No Afdeeling/ Distrik Pemimpin Wilayah 1 Afdeeling Martapoera Distrik Martapoera Kiai Soeta Merta Distrik Benoea Ampat Kiai Mohamad Tajib Distrik Margasari Pangeran Koesoemo Giri Distrik Riam Kiwa Klabauw Distrik Riam Kanan Abdul Djalil Distrik Pleihari Mohamad Saleh Distrik Satoei Kiai Mohamad Jasin

Distrik Maloeka Aman Bin Hadji Brahim (Sebelumnya Kepala Distrik Tabanio

Tabanio

Doewahit Bin Pembekel Doelasan (Sebelumnya Demang Koeli Untuk Banjarmasin)

2. Afdeeling Amoentai

Distrik Amoentai Radhen Ngabehi Warga Kasoema

Batang Alai Kiai Demang Joeda Negara

Laboean dari Amas Toemenggoeng Joeda Karta Negara

Amandit Kiai Draboe Negara Kiai Haji Sahaboedin

Kloewa Toemenggoeng Tjakra Negara

Balangan Kiai Demang Soeta Negara Tabalang Kiai Tjakra Widana

3. Afdeeling Doeson en

Page 136: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 116 ~

Dajaklanden Bakompai Kiai Haji Abdul Madjid Oost Doeson, Radhen Soeta Negara Beneden Doesoen, Demang Tabat Mengkatib Demang Patih Anoem

Dayak Kecil

Radhen Johannes Karsa Negara

Dayak Besar Demang Anoem Djaja Karsa

Sumber: Koran/Surat kabarDe Locomotief, Nieuws, Handels, en

Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail NummerZaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 116, hlm. 2.

8. Tahun Penulisan Hikayat Banjar, Tarikh 1663 M

Alternatif terakhir sebagai dasar penentuan “Hari

Jadi” Satui adalah tahun 1663 M.Dalam teks ini,

sedikitnya terdapat tiga kutipan yang “menuliskan”

tentang keberadaan daerah Satui. Bagian akhir teks

sumber lokal Hikayat Banjar yang bertarikh 1663 Masehi.

Teks ini sepanjang 4,787 baris dan120 halaman.Hikayat

Banjar adalah sebuah manuskrip tua yang telah dikenal di

Daerah Kalimantan Selatan sejak zaman Kerajaan Banjar.

Manuskrip tersebut terbagi dalam beberapa bagian

dan “mendapatkan nama” yang berbeda, seperti Hikayat

Lambung Mangkurat, Tutur Candi, Hikayat Raja-Raja

Page 137: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 117 ~

Banjar dan Kota Waringin, Ceritera Lambung Mangkurat

dan Turunan Raja-Raja Banjar dan Kota

Waringin. 115 Tulisan mengenai daerah Satui, terdapat

dalam Resensi II, seperti kutipan berikut:116

baris 3362 : …….dan Pambuang dan Sampit, Mandawai dan

Sabangau dan Biaju Basar dan orang Biaju Kacil dan orang nagri Karasikan dan Kutai dan Barau dan Pasir dan Pamukan dan orang Laut-Pulau dan Satui dan Hasam-Hasam dan Kintap dan Sawarangan dan orang Tambangan Laut dan orang Takisung dan Tabuniau, sakaliannya itu sudah sama datang sarta sinjatanya sarta parsambahnya. ....

baris 3013 : ....... Sagala orang itu kira-kira anam ribu orang

nagri, dan orang yang bardagang itu sama bartulung ada orang saribu. Maka Patih Masih manyuruh orang mambari tahu ka Kintap, ka Satui, ka Sawarangan, ka Hasam-Hasam, ka Laut-Pulau, ka Pamukan, ka Pasir, ka Kutai, ka Barau, ka Karasikan; dan mambari tahu ka Biaju, ka Sabangau, ka Mandawai, ka Sampit, ka .....117

115J.J. Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography, (The Hague:

Nijhoff (Koninklijk Insitituut voor Taal, Land en Volkenkunde, 1968), Bibliotheca Indonesica no.1.

116Terjemahan kutipan tersebut dalam Bahasa Indonesia terdapat pada

halaman 45, 46 dan 47 pada Laporan Penelitian ini; 117Dalam pembahasan sebelumnya dalam Laporan Penelitian ini, pada

halaman 46­47, isi kutipan di atas dimasukkan ke dalam kutipan Hikayat Lambung

Page 138: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 118 ~

baris 4150 : .... anak-cucuku handak aniaya lawan nagri Banjar

mudah-mudahan dibinasakan Allah itu." Maka dipinjamkan oleh Marhum Panambahan. Itulah mulanya Pasir -- sarta dibari desa namanya Satui dan Hasam-Hasam dan Kintap dan Sawarangan itu, Banacala, Balang Pasir dan Kutai dan Barau sarta Karasikan itu -- maka tiada mahanjurkan hupati ka Martapura itu .....

Sebagai informasi, dalam Hikayat Banjar ini

disebutkan Keraton I sebagai Negara Dipa, Keraton II

sebagai Negara Daha, dan Keraton III sebagai

Bandarmasih, serta Keraton IV sebagai Kayu Tangi.

Hikayat Banjar dibagi dua bagian, bagian pertama disebut

Resensi I yang kebanyakan berisi perisitiwa­peristiwa

yang menjurus pada puncak peristiwa, yaitu

pemberontakan Keraton III dan bermulanya era Islam.

Sedangkan bagian kedua yang disebut dengan Resensi II

lebih banyak menceritakan mengenai Keraton I dan II,

menceritakan tentang masa lampau yang

legendaris.118Edisi teks bersama penjelasan lanjut dari

Mangkurat (tulisan versi Gusti Mayor). Perbedaan ini terjadi karena terdapat perbedaan versi tulisan. Beberapa Sejarawan Banjar, misalnya M. Idwar Saleh menggolongkan Hikayat Lambung Mangkurat sebagai bagian dari Hikayat Banjar.

118Hikayat Banjar versi I mau­pun versi II, antara lain dapat dilihat dalam

buku Hikayat Lembu Mangkurat susunan Gusti Mayur (1979) berdasarkan Disertasi A.A. Cense, serta buku Tutur Canditerjemahan M. Idwar Saleh (1986).

Page 139: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 119 ~

segi konteks sejarah budaya dan kesusteraan diterbitkan

ahli filologi Belanda J. J. Ras tahun 1968.119

Pemilihan Hikayat Banjarsebagai dasar penentuan

tahun Hari Jadi Satui dengan alasan Hikayat Banjar adalah

sumber lokal. Sumber lokal sangat penting dalam

“menentukan” identitas daerah dan penulisan sejarah

lokal dan bersifat “lokal­sentris”. Sejarah lokal adalah

sejarah dengan lingkup atau batasan tertentu menurut

geografi. Bisa sejarah provinsi, kabupaten atau sejarah

desa yang memiliki keunikan dan memberi kearifan

kepada masyarakat.120

Namun, jika Sejarah lokal diartikan semata­mata

sebagai sejarah daerah tertentu, maka sejarah semacam

itu sudah lama berkembang di Indonesia. Bahkan sejarah

yang kita miliki sekarang bermula dari tradisi sejarah

Sebagai perbandingan lihat juga J. Hageman, Aantaekeningen it Rijk Bandjermasin, yang dimuat dalam TGB 9, 1861.

119Ibid; lihat juga Tedi Permadi, Cara Kerja Suntingan Teks yang Disajikan J.J. Rass dalam Mengedisi Naskah Hikayat Banjar, tulisan lepas, koleksi Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia, tanpa tahun, hlm. 20­30.

120Singgih Tri Sulistiyono, Penulisan Sejarah Lokal Di Era Otonomi

Daerah: Metode, Masalah, dan Strategi, Makalah pada “Seminar Nasional Peningkatan Kompetensi Penelitian untuk Pengajaran Sejarah di Era Sertifikasi dan Otonomi Daerah” , Semarang, Jawa Tengah, 20 Maret 2009, hlm. 2­5.

Page 140: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 120 ~

Lokal seperti itu. Hal ini bisa dihubungkan dengan

berbagai sejarah daerah dengan nama­nama tradisional

seperti babad, tambo, riwayat, hikayat, dan sebagainya

yang dengan cara­cara yang khas (magis mistis)

menguraikan asal usul suatu daerah tertentu.

Informasi tambahan, mengenai penulis Hikayat

Banjar itu sendiri tidak diketahui secara pasti siapa

penulisnya. Namun diyakini Hikayat Banjar ditulis oleh

banyak orang. Hikayat Banjar juga digunakan oleh pihak

kerajaan untuk meleginitasi kekuasan. Karena itulah

terdapat bermacam­macam cerita yang agak berlainan

versinya. Naskah asli Hikayat Banjar ditulis dengan

tulisan tangan dalam Bahasa Melayu serta menggunakan

huruf Arab gundul. 121

Dalam abad ke­19 perhatian para sarjana Eropa

terhadap Hikayat Banjar ini cukup tinggi. Pada tahun 1825

Thomas S. Raffles, telah meminta pada Sultan Pontianak

sebuah copy darihikayat tersebut. Sultan Pontianak

mendapatkan copy tersebut dari Kotawaringin, yang

121Teks Hikayat Banjar telah ditulis dan disalin beberapa kali. Daripada

beberapa bagian yang dikekalkan; versi "Resensi II" diambil dari versi lebih lama yang berasal dari tradisi lisan (yang merupakan naskah bercorak dunia pewayangan yang sering dinamakan Tutur Candi), sementara versi lain di Leiden University Library MS. Or. 1701, mewakili versi lebih tua.

Page 141: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 121 ~

mungkin berasal dari milik kerajaaan sendiri. Dari tahun

1845 copy dari Hikayat Banjar tersebut telah menjadi milik

British Museum, Inggris.

Pada Tahun 1857, J. Hageman menulis sebuah artikel

berjudul; Bijdrage tot de Geschiesdenis van Borneo.” Dalam

tulisannya, memaparkan beberapa isi dan kutipan tentang

Hikayat Banjar. Kemudian artikel kedua, tulisan A. van der

ven tahun 1860, berjudul Aantaekeningen Pmtrent it Rijk

Bandjermasin, yang dimuat dalam TGB 9. Selain memberikan

informasi mengenai keadaan kerajaan semasa pemerintahan

Sultan Adam, ia juga memuat cerita yang berasal dari Resensi

II. Berikutnya, tahun 1861 J. Hageman kembali menulis

artikel berjudulCoschiedkundige-Aanteekeningen Outrent

Zuidelijk Borneo.Dalam tulisantersebut, dimasukkannya pula

silsilah Raja­Raja Banjar, lengkap dengan angka tahunnya

yang didapatkan dari sumber lokal.122

Selanjutnya, pada tahun 1877, terbit pula artikel E.S.A

de Cleq berjudulDe Vroegste Geschiedenis van Bandjermasin,

dalam TBG 24, dengan isinya yang diambil dari Resensi I.

122A.A Cense, De Kroniek van Bandjermasin (Sanpoort, 1928); E.S.A de

Cleq, De Vroegste Geschiedenis van Bandjermasin, dalam TBG 24; J.J. Mayer, Bijdragen tot de Kennis der Geschiedenis van hot voormaling Bandjermaische Rijk,Residentie Zuid en Ooterafdeeling van Borneo, dalam Indische Gids 213, jaargang., kolom I, tahun 1899.

Page 142: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 122 ~

Barulah 22 tahun kemudian terbit karangan J.J. Mayer, yaitu;

Bij dragen tot de Kennis der Geschiedenis van hot voormaling

Bandjermaische Rijk, thans Residentie Zuid en Ooterafdeeling

van Borneo, dalam Indische Gids 213, tahun 1899.Bahan­

bahan tulisannya diambil dari manuskrip miliknya sendiri

yang berisikan unsur­unsur dari Resensi I dan II, sejumlah

bahasa lisan yang didapatnya dari daerah Tabalong dan

Kelua, ditambah dengan sebuah silsilah Raja­Raja yang agak

terperinci.123

Namun yang terpenting dari semua itu, adalah

Dissertasi A.A Cense tahun 1928 yang berjudulDe Kroniek

van Bandjermasin,diterbitkan Sanpoort, 1928.Baru sekitar

tahun 1930­1931 ada penulis yang menulisnya dengan

bahasa Melayu Modern, yaitu Anang Acil, bergelar Kesumo

Negoro, yang menulis buku Lambung Mangkurat atau

Sejarah Banjar. Kemudian juga dikenal nama seperti Gusti

Mayur, SH. Yang menulis Hikayat Lembu Mangkuratdan

diterbitkan Pendidikan Umum.124

123 Ibid. 124 Ibid.

Page 143: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 123 ~

BAB V

KESIMPULAN HARI JADI SATUI

Berdasarkan pembahasan dan bukti bukti sejarah yang

telah dipaparkan pada babsebelumnya, maka Tim Penulis

merekomendasikan Hari Jadi Kota Satui, adalah tanggal 27

Agustus tahun 1663.Tanggal 27 Agustus tahun 1663ini

disetujui oleh Tim Pencari Fakta Terbentuknya Kecamatan

Satui, berdasarkan rapat tim pada tanggal 22 Oktober 2013

sehingga tanggal 27 Agustus tahun 1663secara resmi

menjadi Hari Jadi Satui. Alasan tanggal 27 Agustus diambil

dariHari Kelahiran Putra Daerah dan Pahlawan Nasional,

Idham Chalid di Satui. Kemudian tahun 1663 diambil dari

sumber lokal Hikayat Banjar (HB) yang menulis tentang

keberadaan wilayah Satui dan “orang” Satui. Hikayat ini

bertarikh (berangka tahun) 1663 Masehi.

A. Tanggal 27 Agustus : Hari Kelahiran Idham Chalid

Tokoh Idham Chalid adalah seorang “putra daerah”

yang lahir di Satui, 27 Agustus 1921. Idham adalah Pahlawan

Nasional Indonesia dari Kalimantan Selatan, salah satu

politikus dan menteri Indonesia yang berpengaruh pada

Page 144: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 124 ~

masa tahun 1950­1970 an. Selain sebagai politikus ia aktif

dalam kegiatan keagamaan dan beliau pernah menjabat

Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1956­1984.

Ketika NU masih bergabung dengan Masyumi (1950),

Idham menjadi ketua umum Partai Bulan Bintang

Kalimantan Selatan. Idham Chalid menjadi anggota DPR RIS

(1949­1950). Dua tahun kemudian, Idham terpilih menjadi

ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU (1952­1956).

Kemudian, Idham dipilih menjadi orang nomor satu NU pada

1956. Bahkan, Idham merupakan orang terlama yang

menjadi ketua umum PBNU.

Dalam bidang eksekutif, Idham beberapa kali jadi

menteri, baik saat masa Orde Lama maupun Orde Baru.

Ketika Bung Karno jatuh pada 1966, Idham menjadi anggota

presidium Kabinet Ampera I dan Kabinet Ampera II dan

etelah itu ia diangkat menjadi ketua MPR/DPR pada periode

1971­1977. Jauh sebelumnya, pada masa Kabinet Ali

Sastroamidjojo II, Idham juga menjabat sebagai wakil PM.

Dalam posisi pemerintahan, beliau pernah juga mengemban

tugas sebagai Ketua DPA.Idham Chalid diangkat menjadi

Pahlawan Nasional Indonesia, bersama dengan enam tokoh

lain, berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011

Page 145: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 125 ~

tanggal 7 November 2011. Idham Chalid meninggal di

Jakarta, 11 Juli 2010 pada usia 88 tahun.

B. Tahun 1663 : Tarikh Penulisan Hikayat Banjar

Rekomendasi berikutnya untuk dasar penentuan “Hari

Jadi” Satui adalah angkatahun 1663 M.Dalam teks ini,

sedikitnya terdapat tiga kutipan yang “menuliskan” tentang

keberadaan daerah Satui. Bagian akhir teks sumber lokal

Hikayat Banjar yang bertarikh dari 1663 Masehi. Teks ini

sepanjang 4,787 baris atau 120 halaman.Hikayat Banjar

adalah sebuah manuskrip tua yang telah dikenal di Daerah

Kalimantan Selatan sejak zaman Kerajaan Banjar.

Manuskrip tersebut terbagi dalam beberapa bagian dan

“mendapatkan nama” yang berbeda, seperti Hikayat

Lambung Mangkurat, Tutur Candi, Hikayat Raja-Raja Banjar

dan Kota Waringin, Ceritera Lambung Mangkurat dan

Turunan Raja-Raja Banjar dan Kota Waringin. Tulisan

mengenai daerah Satui, terdapat dalam Resensi II.

Sebagai informasi, dalam Hikayat Banjar ini

disebutkan Keraton I sebagai Negara Dipa, Keraton II

sebagai Negara Daha, dan Keraton III sebagai Bandarmasih,

serta Keraton IV sebagai Kayu Tangi. Hikayat Banjar dibagi

Page 146: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 126 ~

menjadi dua bagian, bagian pertama disebut Resensi I yang

kebanyakan berisi perisitiwa­peristiwa yang menjurus

pada puncak peristiwa, yaitu pemberontakan Keraton III

dan bermulanya era Islam. Sedangkan bagian kedua yang

disebut dengan Resensi II lebih banyak menceritan

mengenai Keraton I dan II, menceritakan tentang masa

lampau yang legendaris. Edisi teks bersama penjelasan

lanjut dari segi konteks sejarah budaya dan kesusteraan

diterbitkan ahli filologi Belanda J. J. Ras tahun 1968.

Pemilihan Hikayat Banjarsebagai dasar penentuan

tahun Hari Jadi Satui dengan alasan Hikayat Banjar adalah

sumber lokal. Sumber lokal sangat penting dalam

“menentukan” identitas daerah dan penulisan sejarah lokal

dan bersifat “lokal­sentris”. Sejarah lokal adalah sejarah

dengan lingkup atau batasan tertentu menurut geografi.

Bisa sejarah provinsi, kabupaten atau sejarah desa yang

memiliki keunikan dan memberi kearifan kepada

masyarakat.

Sejarah lokal sebagai salah satu cabang dari studi

sejarah sangat menarik untuk diperbincangkan terutama

menyangkut batasan pengertian dan metodologi maupun

dalam hak aspek pengajaran sejarah lokal di sekolah­

Page 147: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 127 ~

sekolah. Istilah sejarah lokal di indonesia kerap digunakan

pula sebagai sejarah daerah, sedangkan di Eropa disamping

dikenal istilah local history juga community history, atau

neighborhood history, maupun nearby history. Sebelumnya

sejarah lokal kurang mendapat perhatian dari berbagai

fihak, mungkin ini berhubungan dengan semangat

persatuan­kesatuan Indonesia yang diperjuangkan sejak

lama (kemerdekaan sebagai bangsadan negara Indonesia).

”Kebangkitan” kembali dari sejarah lokal ini harus disikapi

dengan arif sebagai salah satu bidang kajian sejarah biasa,

bukan untuk menonjolkan dinamikakelokalan semata.

Page 148: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 128 ~

Page 149: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 129 ~

DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Buku/Majalah/Buletin/Jurnal/Tulisan Lepas

Abdullah, Taufik, “Wisata Budaya: Sekitar Penentuan Hari Jadi Unit Adminitratif:, makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Kaji Ulang Hari Jadi Majalengka di Majalengka, 30 Agustus 2005, diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Abdullah, Irwan, 2007, Konstruksi dan Reproduksi

Kebudayaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Oppset).

Ali, R. Moh., 1966, Penentuan Arti Sedjarah dan Pengaruhnja dalam Metodologi Sedjarah Indonesia, (Djakarta: Bhratara, 1966).

Basundoro, Purnawan, 2012, Pengantar Sejarah Kota,

(Yogyakarta; Ombak.

­­­­­­­­­­­­­­, “Penduduk dan Hubungan Antaretnis di Kota Surabaya Pada Masa Kolonial”, Jurnal Paramita, vol. 22, No.1.

Bondan, Kiai Amir Hasan, 1953, Suluh Sedjarah Kalimantan,

(Banjarmasin: MAI Pertjetakan Fadjar).

Geertz, Clifford, 1983, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara).

Page 150: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 130 ~

Gottschalk, Louis, 1975, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press).

Hollander, J. J. De, 1898, Handleiding bij de Beoefening der

land-en Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie, Tweede Deel, door R. van Eck, Koninkhjks Militairs Academie.

­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­ 1864, Borneo’s Zuider en Ooster

Afdeeling (Handleiding Bij De Beoefening Der Land en Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie, Koninklijke Militaire Akademie).

Horton, B.& Chester L. Hunt, 1999, Sosiologi, (Jakarta:

Erlangga).

Hose, Charles & William McDougall, 2004, Pagan Tribes Of Borneo, Volume I (Kessinger Publishing).

Ideham, M. Suriansyah, dkk. (ed), 2003, Sejarah Banjar,

(Banjarmasin: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan).

Ismail, Muhammad Gade 1999, “Museum Sebagai Sumber

Sejarah Dalam Kaitan Dengan Metode Sejarah”, dalam Bulletin Rumoh Aceh, Informasi dan Komunikasi Museum, No.03/1999, Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Kartodirdjo, Sartono (editor), 1977, Masyarakat Kuno &

Kelompok-kelompok Sosial (Jakarta: Bulu Obor).

Page 151: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 131 ~

Kuntowijoyo, 2005, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang).

Kesuma, Andi Ima, 2004, Migrasi dan Orang Bugis:

Penelusuran Kehadiran Opu Daeng Rilakka Pada Abad XVIII di Johor, (Yogyakarta: Ombak).

Linneton, Jacqueline, 1973, “Passompe’ Ugi’: Bugis Migrants

and Wanderers”, dalam Archipel, volume.10. Leirissa, R.A. dkk. (ed), 1983/1984, Sejarah Sosial Daerah

Kalimantan Selatan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jarahnitra).

Maula, Amiruddin & Muh. Iqbal Latief, 2000, Posisi Makassar

Dalam Bisnis Global, (Makassar: Yayasan Lentera 21). Mallinckrodt, Jacob, 1928, Het Adatrecht van Borneo, volume.

2 (Batavia: M. Dubbeldeman). Mandan, Arief Mudatsir (ed), 2008, Napak Tilas Pengabdian

Idham Chalid, Tanggung Jawab Politik NU Dalam Sejarah, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu).

Mansyur, Diaspora Suku Bugis di Wilayah Tanah Bumbu,

Karesidenan Borneo Bagian Selatan dan Timur Tahun 1842-1942, Tesis pada Program Studi Magister Ilmu Sejarah, Universitas Diponegoro Semarang, 2012.

Mayur,Gusti, 1974, Hikayat Lembu Mangkurat, (Banjarmasin:

CV Rapi).

Page 152: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 132 ~

Mises, Ludwig von, 2007, Theory And History An Interpretation of Social and Economic Evolution (Alabama: von Mises Institute).

Mieremet, Adolf, 1919, De Hedendaagsche Inheemsche

Rechtspraak in Nederlandsch Indië en Haar Regeling, (Batavia: De Haan).

Muhajir, Ahmad, 2007, Idham Chalid, Guru Politik Orang NU,

(Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara). Mulyasari, Prima Nurrahmi dkk, 2010, Kota-Kota Di Jawa;

Identitas, Gaya Hidup, dan Permasalahan Sosial, (Yogyakarta: Ombak).

Menno, S. & Mustawin Alwi, 1992, Antropologi Perkotaan,

(Jakarta: Rajawali Pers) Muarief, Samsul, 2001, Peduli Generasi Suku Using,

(Banyuwangi: Satubuku). Meuraxa, Dada, 1975, Sejarah Hari Jadinya Kota Medan, 1 Juli

1590, (Medan: Sasterawan). Nash, P.J.M, 1984, Kota di Dunia Ketiga, (Jakarta: Aksara). Nuralang, Andi, 2007, “Pesta Adat Mappanretasi: Obyek

Wisata Laut di Kotabaru, Kalimantan Selatan”, (tulisan tidak diterbitkan koleksi Balai Arkeologi Banjarmasin).

Page 153: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 133 ~

Notosusanto, Nugroho, 1984, Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah (Jakarta: Mega Book Store).

­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­, 1978, Masalah Penelitian Sejarah

Kontemporer (Suatu Pengalaman, (Jakarta:Yayasan Idayu).

Oetomo, Sri Adi, 1993, Menelusuri dan Mencari Hari Jadi Kota

Banyuwangi (Pasuruan: Garoeda Buana Indah). Posewitz,Theodore, 1892, Borneo: Geologi and Mineral

Resources, (London: Edward Stanford). Pringgodigdo, A.G., 2007, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta:

Kanisius). Ras, Johannes Jacobus, 1990, Hikayat Banjar diterjemahkan

oleh Siti Hawa Salleh (Malaysia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS­ Ampang/Hulu Kelang­Selangor Darul Ehsan).

Renier, G.J., 1997, History Its Purpose and Method, terj. Muin

Umar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). Saleh, M. Idwar, 1977/1978, Sejarah Daerah Tematis Zaman

Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat).

Singarimbun, Masri & Sofyan Effendy, 1982, Metode

Penelitian Survai, (Jakarta: LP3ES).

Page 154: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 134 ~

Syamsuddin, Helius, 1996, Metodologi Sejarah, (Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Akademik).

Suryo, Djoko, 2009, TransformasiMasyarakat Indonesia dalam

Historography Indonesia Modern (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional dan Jurusan Sejarah FIB UGM).

Sellato, Bernard, 1995, Nomads of the Borneo Rainforest: The

Economics, Politics and Ideology of Settling Down (USA: University of Hawaii Press).

Schott, Dieter, 2004, “Urban Environmental History: What

Lessons Are There to be Learnt?”, dalam Boreal Environment Research, 2004.

Sjoberg, Giddeon, 1965, The Preindusrial City Past and

Present, (Tronto­ Collier­Mcmillan). Tim Penulis, 2003, Sejarah Banjar, (Banjarmasin: Pemprov

Kalsel). Tim Penulis, 2008, Upacara Adat Mappanre Tasi’ di Pagatan

Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: Disbudpar Pemprov Kalsel)

Veth, Pieter Johannes, 1869, Aardrijkskundig en statistisch

woordenboek van Nederlandsch Indie (Amsterdam: Van Kampen).

Page 155: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 135 ~

B. Sumber Arsip dan Koran

ANRI, “Besluit van den Minister van Staat, Gouverneur­Generaal van Nederlandsch­Indie”, 27 Agustus 1849 No. 8, dalam Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1849 (Batavia: Ter Lands Drukkerij, 1849).

ANRI, “De Minister van Staat, Gouverneur Generaal van

Nederlandsc Indie”, dalam L.J.A. Tollens, Verzameling van Wetten, Besluiten, Bepalingen, Kennisgaven, enz, Over de Jaren 1808­1856, Tweede Deel (Batavia: Lange & Co, 1856).

ANRI,“Het Eiland Borneo en Zijne Bewoners”, dalam J.B.J. van

Dooren, Bijragen tot de Kennis van Verschillende Overzeesche Landen, Volken, enz, Eesrste Deel (Amsterdam: J.D.Sybrandi, 1860).

ANRI, “Handelingen der Staten­General. Bijlagen 1892­1893,

Overzicht Betreffende de in Erfpacht Aangevraagde Gronden op Java en Madura en in de Buitenbezittingen, die Gedurende 1891 aan de Aanvragers Geweigerd Werden.”, dalam Koloniaal Verslag van 1892, (Nederland Oost Indie, Bijlage L.).

ANRI, “Alteratie en ampliate Op Het Contract Met Den Sulthan

Van Bandjarmasin, Van 1 Januarij 1817­13 September 1823”, Arsip Surat­Surat Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin Dengan Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik, Inggris dan Hindia Belanda 1635–1860 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1965).

Page 156: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 136 ~

ANRI, Reglement op de Godsdienstige Rechtspraak Voor Een Gedeelte van de Residentie Zuider­ en Oosterafdeling van Borneo (Ordonantie. van 21 Dec. 1937.) S. 37­638, bundel Borneo Zuid Oosterafdeling (BZO), No.265.

ANRI, Dutch East Indies. Dienst van den Mijnbouw

Netherlands, Departement van Kolonien, Jaarboek van het mijnwezen in Nederlandsch­Indië, Bagian 1,Volume 50 (Amsterdam: J.G. Stemler, 1922).

ANRI, “Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun 1839­

1848”, (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1973).

ANRI, Arsip "Pegatan en Koesan Suppletoir Contract" dalam

Overe enkomsten met Inlandsche vorsten in den Oost­ Indischen Archipel (I66.7), bundel Borneo Zuid Oosterafdeling (BZO), No. 122.

ANRI, Nederlandsch­Indie Uitkomsten der in de Maand

November 1920, Gehouden, Volkstelling, Dee1 I (Drukkerijen Ruygrok & Co., 1922).

ANRI Koran/ Surat kabarDe Locomotief, Nieuws, Handels, en

Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 116.

ANRI, Koran/Surat kabarDe Locomotief, Nieuws, Handels, en

Advertentieblad, Verschijnt Dagelijks, Behalve Zon En Feestdagen, Mail Nummer Zaterdag 10 Mei, XXVIe Jaargang, Ao 1877 No. 35.

Page 157: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 137 ~

PERPUSNAS, “Lembaran Undang­Undang No. 32 Tahun 2004”, Pasal 126.

C. Sumber Website

S. Padmo, “Politik Agraria Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah di DIY: Sebuah Refleksi Historis”, Artikel pada situs Jurusan Sejarah, FIB UGM, 2007.

Anonim, “Pelanggaran HAM Hinduisasi Tolotang”, dalam

http://www. desantara.or.id /032008/411/pelanggaran­hamhinduisasi tolotang/, diakses 20 Mei 2013.

D. Sumber Peta

ANRI, “Borneo Kaart, Koleksi David Rumsey Historical Map tahun 1827”, Pelukis peta aslinya adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Peta dipublikasikan oleh Ph. Vandermaelen Bruxelles, Tipe Peta: Peta Atlas, Peta asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1: 1.641.836, berdasarkan pada Garis Meridian Paris.

ANRI, “Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder Leiding Van Dr. A.W. Nieuwenhuis”, dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun 1902, Peta asli berskala 1:2.000.000., berukuran 75 cm x 65 cm. (Peta Versi Kedua).

ANRI, “Kaart Van Het Eiland Borneo/Samengesteld Onder

Leiding Van Dr. A.W. Nieuwenhuis”, dibuat dan dipublikasikan di Leiden oleh E. J. Brill, Tahun 1902,

Page 158: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH

~ 138 ~

Peta asli berskala 1:2.000.000., peta asli berukuran 75 x 65 cm. (Peta Versi Pertama).

ANRI, “Kaart van Nederlandsh Indie, diterbitkan di amsterdam oleh J.H.De Bussy”, Tahun 1893. Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp dengan skala 1: 5.000.000.

ANRI, “Overzichtkaart Van Het Eiland Borneo Topograpische

Inrichting Batavia, 1909 (Bijgewert Tot 1914)”, Skala peta 1: 2.000.000.

Page 159: DARI DISTRIK KE KOTA KECAMATAN: DALAM LINTASAN SEJARAH